Anda di halaman 1dari 43

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat pada
waktunya yang berjudul “Perencanaan Program Intervensi Perubahan Perilaku di Sekolah”.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi nilai tugas untuk mata kuliah Promosi
Kesehatan Intermediet. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna,
meskipun kami telah berusaha melakukan yang terbaik dalam penulisan makalah ini. Oleh
karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.

Harapan kami, makalah ini dapat menambah informasi dan wawasan bagi para pembaca
terkait Perencanaan Program Intervensi Perubahan Perilaku di Sekolah.

Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Millennium Development Goals atau disingkat dalam MDGs yang merupakan hasil
kesepakatan kepala Negara dan perwakilan dari 189 negara Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) telah dijalankan mulai September 2000, dan memiliki beberapa sasaran, salah satunya
yaitu tercapainya kesejahteraan rakyat dan pembangunan masyarakat pada tahun 2015.
Pencapaian kesejahteraan rakyat didukung oleh kesehatan masyarakat salah satunya meliputi
kesehatan anak-anak. Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals,
disingkat MDGs), pada 2015 agenda pembangunan global ini resmi berakhir. Sebagai
gantinya, 193 negara, termasuk Indonesia, bersepakat mengadopsi agenda pembangunan
global baru yang dikenal dengan Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan.
Di Indonesia, dari tahun ke tahun, sentral pembangunan tidak terlepas dari
pembangunan ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Kesehatan yang merupakan salah satu
dimensi pembangunan manusia juga termasuk dalam agenda prioritas pembangunan 2015-
2019 (Nawa Cita Presiden). Sebagaimana diketahui bahwa kesehatan yang baik merupakan
dasar terciptanya sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas.
Promosi kesehatan menjadi langkah strategis dalam meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat. Tidak hanya di lingkup masyarakat, promosi kesehatan di sekolah menjadi
wadah yang baik dalam komunikasi, informasi dan edukasi kesehatan pada anak dan remaja.
Promosi kesehatan melalui komunitas sekolah cukup efektif untuk meningkatkan kesadaran
masyarakat dalam menjalankan perilaku hidup bersih dan sehat. Promosi kesehatan di
sekolah merupakan suatu upaya menciptakan sekolah menjadi suatu komunitas yang mampu
meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sekolah melalui 3 kegiatan utama, yakni
penciptaan lingkungan sekolah yang sehat, pemeliharaan dan pelayanan di sekolah, dan
upaya pendidikan yang berkesinambungan. Ketiga kegiatan tersebut di kenal dengan Trias
UKS. Sebagai suatu institusi pendidikan, sekolah mempunyai peranan dan kedudukan
strategis dalam upaya promosi kesehatan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar anak usia
5-19 tahun terpajan dengan dunia pendidikan dalam jangka waktu yang cukup lama. Jumlah
usia 7-12 tahun berjumlah 25.409 jiwa dan sebanyak 25.267.914 anak (99.44%) aktif dalam
proses belajar. Untuk anak kelompok 13-15 tahun berjumlah 12.070.200 jiwa dan sebanyak
10.438.667 anak (86.5 %) aktif dalam sekolah (Depdiknas, 2007). Dari segi populasi promosi
kesehatan di sekolah dapat menjangkau 2 jenis populasi yaitu populasi anak sekolah dan
masyarakat umum/keluarga. Promosi kesehatan di sekolah membantu meningkatkan
kesehatan siswa, guru, karyawan, keluarga serta masyarakat sekitar, sehingga belajar
mengajar berlangsung lebih produktif.
Setiap anak usia sekolah dan remaja harus diberikan pelayanan kesehatan. Pelayanan
kesehatan anak usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud ditujukan agar setiap anak
memiliki kemampuan berperilaku hidup bersih dan sehat, memiliki keterampilan hidup sehat,
dan keterampilan sosial yang baik sehingga dapat belajar, tumbuh dan berkembang secara
harmonis dan optimal menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Pelayanan kesehatan
anak usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud dilakukan paling sedikit melalui usaha
kesehatan sekolah (UKS) dan pelayanan kesehatan peduli remaja. Pelayanan kesehatan pada
anak sekolah dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan melibatkan guru pembina UKS, guru
bimbingan dan konseling, kader kesehatan sekolah dan konselor sebaya. Usaha kesehatan
sekolah meliputi kegiatan pendidikan kesehatan, pelayanan kesehatan dan pembinaan
lingkungan sekolah sehat. UKS dilaksanakan melalui koordinasi dengan lintas program dan
lintas sektor. Pelayanan kesehatan melalui UKS dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Komunikasi, informasi dan edukasi diberikan kepada semua anak usia sekolah dan
remaja yang dapat disampaikan oleh tenaga kesehatan, guru usaha kesehatan sekolah, guru
pembimbing dan konseling serta konselor sebaya. Komunikasi, informasi dan edukasi dapat
dilakukan dengan ceramah tanya jawab, kelompok diskusi terarah dan diskusi interaktif
dengan menggunakan sarana dan media komunikasi, informasi dan edukasi. Materi
pemberian komunikasi, informasi dan edukasi dapat meliputi, perilaku hidup bersih dan sehat
(PHBS), tumbuh kembang anak usia sekolah dan remaja (Anemia), kesehatan reproduksi,
imunisasi, Keswa dan NAPZA, Gizi, Penyakit menular termasuk HIV/AIDS dan lain-lain.
Dewasa ini, Indonesia sedang mengangkat isu nasional terkait kesehatan yakni
“Stunting” atau kondisi gagal tumbuh pada anak yang disebabkan oleh kekurangan asupan
gizi kronis yang tentu akan berpengaruh pada kualitas sumber daya manusia Indonesia ke
depan. Proporsi stunting di Indonesia, diketahui sebesar 29.9% (Riskesdas, 2018). Hal ini
menunjukkan bahwa 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting. Salah satu penyebab
stunting adalah ibu hamil yang mengalami anemia. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar
Indonesia tahun 2018 (Riskesdas) proporsi anemia pada ibu hamil sebesar 48.9% yang
meningkat dibanding data Riskesdas tahun 2013 yakni sebesar 37.1%. Jika dilihat
berdasarkan umur, kasus anemia tertinggi berada di rentang umur remaja yakni 15 hingga 24
tahun, yaitu sebesar 84.6%. Menjelang bonus demografi, menjadi keuntungan bagi Indonesia
jika mempersiapkan kaum muda berkualitas. Remaja putri yang merupakan calon ibu akan
melahirkan generasi penerus bangsa. Tidak hanya berdampak panjang terhadap kualitas
generasi di masa mendatang, kejadian anemia pada remaja berdampak pada proses belajar di
sekolah yang menjadi tidak maksimal. Faktor-faktor terkait kasus kehamilan remaja yang
meningkat serta pola makan yang tidak seimbang dan perilaku diet yang buruk karena
mengikuti tren menjadi batu sandungan bagi kesehatan ibu dan anak di masa mendatang,
sehingga penting untuk melakukan intervensi kesehatan dimulai saat remaja untuk memutus
siklus masalah gizi.
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, penting untuk melakukan
perencanaan program intervensi perubahan perilaku di sekolah dalam rangka pencegahan
anemia pada remaja putri usia sekolah.
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari perencanaan program intervensi kesehatan di sekolah
adalah tersedianya metode intervensi yang tepat dalam upaya perubahan perilaku pada
remaja sehingga meningkatkan kesehatannya dan terhindar dari anemia.
2. Tujuan Khusus
a. Meningkatkan pengetahuan tentang pencegahan anemia pada remaja
b. Menimbulkan kesadaran untuk menjaga kesehatan dan gizi
c. Menciptakan perubahan perilaku remaja
C. Manfaat
1. Jangkauan kegiatan intervensi promosi kesehatan jelas dan terorganisir dengan baik
2. Memusatkan perhatian pada tujuan promosi kesehatan yang ingin dicapai.
3. Menjadi dasar bagi pelaksanaan, pengawasan, pemantauan dan penilaian upaya promosi
kesehatan di sekolah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Promosi Kesehatan
1. Pengertian Promosi Kesehatan
Menurut Green (Notoatmodjo, 2007), promosi kesehatan adalah segala bentuk
kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan ekonomi, politik, dan
organisasi, yang direncanakan untuk memudahkan perilaku dan lingkungan yang kondusif
bagi kesehatan. Green juga mengemukakan bahwa perilaku ditentukan oleh tiga faktor
utama yaitu :
a. Faktor predisposisi (predisposising factors), yang meliputi pengetahuan dan sikap
seseorang;
b. Faktor pemungkin (enabling factors), yang meliputi sarana, prasarana, dan fasilitas
yang mendukung terjadinya perubahan perilaku;
c. Faktor penguat (reinforcing factors) merupakan faktor penguat bagi seseorang untuk
mengubah perilaku seperti tokoh masyarakat, undang-undang, peraturan-peraturan
dan surat keputusan.

Menurut Lawrence Green 1984, dalam Notoatmodjo, 2003, promosi kesehatan


adalah segala bentuk kombinasi pendidikan kesehatan dan intervensi yang terkait dengan
ekonomi, politik, dan organisasi yang dirancang untuk memudahkan perubahan perilaku
dan lingkungan yang baik bagi kesehatan. Pada dasarnya tujuan utama promosi kesehatan
adalah untuk mencapai 3 hal, yaitu : 1) Peningkatan pengetahuan atau sikap masyarakat
2) Peningkatan perilaku masyarakat 3) Peningkatan status kesehatan masyarakat Menurut
Lawrence Green (1990) dalam buku Promosi Kesehatan Notoatmodjo (2007) tujuan
promosi kesehatan terdiri dari 3 tingkatan, yaitu :
a. Tujuan Program Merupakan pernyataan tentang apa yang akan dicapai dalam periode
waktu tertentu yang berhubungan dengan status kesehatan;
b. Tujuan Pendidikan Merupakan deskripsi perilaku yang akan dicapai untuk mengatasi
masalah kesehatan yang ada;
c. Tujuan Perilaku Merupakan pendidikan atau pembelajaran yang harus tercapai
(perilaku yang diinginkan). Oleh sebab itu tujuan perilaku berhubungan dengan
pengetahuan dan sikap.

2. MODEL PERENCANAAN PROMOSI KESEHATAN

Beberapa model telah dikembangkan untuk membantu para praktisi membuat konsep dan
melakukan perencanaan intervensi promosi kesehatan. Model tersebut memecah proses perencanaan
menjadi sejumlah tugas yang saling tergantung. Beberapa model yang paling umum digunakan
diantaranya:

A. PRECEDE-PROCEED

• Diusulkan oleh Green dan Kreuter (2005), model PRECEDE-PROCEED membedakan antara
tahap perencanaan dan tahap implementasi intervensi.
• PRECEDE adalah sebuaha akronim yang digunakan untuk menggambarkan tahap
perencanaan dan pengembangan model, yaitu Predisposing, Reinforcing, dan Constructs
yang memungkinkan dalam diagnosis dan evaluasi Ekologis.
• PROCEED adalah akronim yang digunakan untuk menggambarkan implementasi strategi dan
tahapan evaluasi, yaitu Policy, Regulatory, and Organizational Constructs in Educational
and Environmental Development. (Kebijakan, Peraturan, dan Konstruksi Organisasi dalam
Pendidikan dan Pengembangan Lingkungan.)
• Model PRECEDE-PROCEED menekankan bahwa, agar intervensi efektif, faktor penentu
penyebab perilaku kesehatan harus diidentifikasi sebelum intervensi dirancang. Dengan
demikian, terdapat tiga kategori faktor yang dapat berkontribusi terhadap perilaku kesehatan
diantaranya :
1. Faktor predisposisi, yang memotivasi individu atau kelompok untuk mengambil
tindakan, seperti pengetahuan, kepercayaan, sikap, nilai, dan norma budaya;
2. Faktor-faktor yang memungkinkan, yang mewakili keterampilan pribadi dan sumber
daya yang tersedia yang diperlukan untuk melakukan perilaku; dan
3. Memperkuat faktor, memberikan insentif untuk perilaku kesehatan dan hasil yang
harus dipertahankan.
B. PABCAR

Model PABCAR adalah alat praktis untuk melakukan perencanaan program kesehatan yang
dikembangkan oleh Maycock et al. (2001). PABCAR adalah akronim dari lima langkah kunci yang
diusulkan oleh model yaitu

• Problem identification/ Identifikasi masalah: Apa masalahnya? Apa signifikansinya bagi


masyarakat?
• Amenable to change/ Dapat diubah: Dapatkah Anda mengubah faktor-faktor yang
menyebabkan masalah? Bagaimana Anda tahu?
• Benefits and Costs/ Manfaat dan Biaya: Apa saja biaya dan manfaat sosial, etis, dan ekonomis
dari intervensi tersebut? Apakah Manfaat umumnya harus melebihi biaya.?
• Acceptability /Penerimaan: Apakah kelompok sasaran dapat menerima intervensi atau,
paling tidak, tidak menentangnya?
• Recommendations, yaitu rekomendasi untuk tindakan dan pemantauan.

Kerangka Kerja untuk Praktek Kesehatan Masyarakat

Kerangka Perencanaan untuk Praktik Kesehatan Masyarakat (NPHP, 2000) adalah alat untuk
meningkatkan perencanaan dan manajemen dalam kesehatan masyarakat, mengambil dari elemen-
elemen umum dalam proses perencanaan yang ada dalam kesehatan masyarakat untuk dapat
menghasilkan ketelitian dan konsistensi dalam perencanaan intervensi. Kerangka kerja ini mencakup
enam langkah diantaranya :

• Identifikasi faktor penentu masalah kesehatan, konteks di mana mereka beroperasi, dan
kelompok populasi yang terkena dampak;
• Menilai risiko dan manfaat yang ditimbulkan oleh masing-masing penentu untuk
mengidentifikasi apa yang harus ditangani;
• Identifikasi opsi intervensi dan menaksirnya, termasuk tingkat bukti untuk efektivitasnya;
• Tentukan portofolio intervensi yang dapat mengatasi masalah;
• Menerapkan portofolio;
• Mengevaluasi portofolio.
C.ASTOR

ASTOR adalah cara mengingat lima dimensi yang perlu didefinisikan sebagai bagian dari
perencanaan semua intervensi promosi kesehatan. Dimensi tersebut adalah Aim, Setting, Target,
Objectives, and Resources (Tujuan, Pengaturan, Target, Tujuan, dan Sumber Daya). Intervensi dapat
direncanakan dengan memulai salah satu dari lima dimensi. Pertanyaan yang membantu menentukan
dimensi ini, menggunakan titik awal yang berbeda, diantaranya :

1. Mulailah dengan tujuan / kebutuhan


- Siapa yang memiliki tujuan / kebutuhan yang tidak terpenuhi? Di mana mereka bisa
ditemui?
- Kegiatan apa yang mengurangi kebutuhan yang bisa dilakukan di sana? Sumber daya apa
yang dibutuhkan?
2. Mulai dengan grup target
- Kebutuhan apa yang mereka miliki belum terpenuhi? Di mana mereka bisa ditemui?
- Kegiatan apa yang mengurangi kebutuhan yang bisa dilakukan di sana? Sumber daya apa
yang dibutuhkan?
3. Mulailah dengan beberapa sumber
- Kebutuhan siapa yang ingin Anda tangani?
- Kebutuhan / tujuan apa yang kurang mereka penuhi? Di mana mereka bisa ditemui?
- Apa yang dapat dilakukan di sana dalam sumber daya yang akan memenuhi kebutuhan
yang tidak terpenuhi?
4. Mulai dengan pengaturan
- Kegiatan apa yang bisa dilakukan di sana? Siapa yang bisa ditemui di sana?
- Apa kebutuhan yang tidak terpenuhi yang mereka miliki yang dapat diatasi dengan
kegiatan yang layak? Sumber daya apa yang dibutuhkan?
5. Mulailah dengan tujuan / alat
- Sumber daya apa yang dibutuhkan?
- Di mana tujuan dapat dilakukan? Siapa yang bisa ditemui di sana?
- Kebutuhan apa yang dapat diatasi oleh alat yang tersedia yang belum terpenuhi oleh target?
3. RENCANA INTERVENSI PROMOSI KESEHATAN”

Mengidentifikasi dan Melibatkan Pemangku Kepentingan


Individu dan lembaga yang memiliki kepentingan dalam intervensi sering disebut
pemangku kepentingan. Stakeholder dapat dibagi menjadi tiga jenis (Green and Tones,
2010):
● Stakeholder primer : penerima manfaat potensial dari intervensi;
● Stakeholder sekunder : mereka yang mungkin terlibat dalam pengiriman intervensi;
● Pemangku kepentingan utama : Tanpa adanya mereka, intervensi tidak dapat
dilanjutkan/terlaksana.

Menentukan Tujuan
Tujuan adalah pernyataan luas tentang perubahan apa yang ingin dicapai oleh suatu
intervensi. Tujuan promosi kesehatan secara keseluruhan biasanya luas dan dapat dicapai
hanya melalui beberapa pelengkap intervensi yang dikelompokkan bersama menjadi satu
program, bukan oleh satu intervensi saja. Setiap intervensi perlu memiliki tujuan yang jelas
yang berkontribusi pada program. Misalnya, tujuan keseluruhan dari program makan sehat
mungkin untuk mengurangi obesitas pada anak-anak. Tujuan dari proyek yang merupakan
salah satu elemen dari program ini, seperti proyek pendidikan gizi berbasis sekolah, mungkin
untuk meningkatkan pengetahuan kaum muda tentang makan sehat. Suatu proyek mungkin
memiliki lebih dari satu tujuan.
Menentukan Sasaran
Ketika memutuskan tujuan intervensi promotor kesehatan harus menentukan
sasarannya. sasaran menggambarkan bagaimana kita akan mencapai tujuan. Cara berpikir
sederhana tentang sasaran yang jelas adalah model SMART. Ini singkatan untuk :
● Spesifik : Dengan output yang jelas dan terdefinisi
● Measurable (Dapat diukur): Kita akan dapat mengetahui kapan kita telah mencapai hasil
ini
● Agreed (Setuju) : Output disepakati sebelumnya
● Realistis : Keluaran tidak bergantung pada faktor-faktor lain yang tidak
mungkin terjadi
● Time-Limited (Terbatas waktu) : output akan terjadi dalam waktu yang ditentukan
.
Menentukan metode berdasrkan Teori Promosi kesehatan
Ketika memutuskan suatu metode yang akan digunakan dalam promosi kesehatan,
promotor kesehatan harus menentukan teori yang mendukung asumsi bahwa metode yang
digunakan akan mencapai tujuan. Teori dapat didefinisikan sebagai pengetahuan yang
terorganisasi secara sistematis yang dapat diterapkan dalam berbagai keadaan yang relatif
luas yang dirancang untuk menganalisis, memprediksi, atau menjelaskan dengan bijak sifat
atau perilaku serangkaian fenomena tertentu yang dapat digunakan sebagai dasar untuk
tindakan (Van Ryn dan Heany, 1992). Karena banyak teori yang digunakan dalam promosi
kesehatan belum diuji secara ketat dibandingkan dengan, misalnya, teori yang digunakan
dalam ilmu fisika, mereka menyebutnya sebagai 'model'.
Tabel 2.1 Teori yang mendukung Promosi Kesehatan
Area Perubahan Teori atau Model

Teori-teori yang menjelaskan perilaku kesehatan • Model kepercayaan kesehatan


dan perubahan perilaku kesehatan dengan • Teori tindakan yang beralasan
berfokus pada individu • Model transtheoretical (tahapan
perubahan)
• Teori pembelajaran sosial

Teori-teori yang menjelaskan perubahan dalam • Mobilisasi masyarakat


komunitas dan aksi komunitas untuk kesehatan
- Perencanaan sosial

- Tindakan sosial

- Pengembangan masyarakat

• Difusi inovasi

Teori yang memandu penggunaan strategi • Komunikasi untuk perubahan perilaku


komunikasi untuk perubahan dalam • Pemasaran sosial
meningkatkan kesehatan
Model yang menjelaskan perubahan dalam • Teori perubahan organisasi
organisasi dan penciptaan praktik organisasi yang • Model aksi antar sektor
mendukung kesehatan

Model yang menjelaskan pengembangan dan • Kerangka kerja untuk kebijakan publik
implementasi kebijakan publik yang sehat yang sehat - kesehatan dalam semua
kebijakan
• Penilaian dampak kesehatan

Sumber : Nutbeam et al. (2010)

4. Promosi Kesehatan di Sekolah


Notoatmodjo (2012: 40) mengemukakan promosi kesehatan di sekolah adalah
“Suatu upaya menciptakan sekolah menjadi komunitas yang mampu meningkatkan
derajat kesehatannya melalui penciptaan lingkungan sekolah yang sehat, pemeliharaan
dan pelayanan kesehatan di sekolah dan upaya pendidikan kesehatan yang
berkesinambungan”. Promosi kesehatan di sekolah diupayakan melalui pemeliharaan,
pelayanan dan pendidikan kesehatan. Dengan upaya-upaya tersebut adanya promosi
kesehatan sekolah sangat diperlukan di sekolah. Sekolah menjadi tempat yang cukup
strategis dalam mengupayakan kesehatan. Sekolah sebagai tempat pendidikan bagi semua
orang, dari usia anak-anak hingga usia remaja. Sekolah merupakan tempat aktivitas sosial
sehingga mudah untuk mendapatkan informasi. Bentuk dari upaya promosi kesehatan di
sekolah, yaitu Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). UKS mengupayakan kesehatan melalui
pemeliharaan, pelayanan dan pendidikan (TRIAS UKS).
Sebagai suatu institusi pendidikan, sekolah mempunyai peranan dan kedudukan
strategis dalam upaya promosi kesehatan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar anak
usia 5-19 tahun terpajan dengan lembaga pendidikan dalam jangka waktu cukup lama.
Jumlah usia 7-12 berjumlah 25.409.200 jiwa dan sebanyak 25.267.914 anak (99.4%) aktif
dalam proses belajar. Untuk kelompok umur 13-15 thn berjumlah 12.070.200 jiwa dan
sebanyak 10.438.667 anak (86,5%) aktif dalam sekolah (sumber: Depdiknas, 2007). Dari
segi populasi, promosi kesehatan di sekolah dapat menjangkau 2 jenis populasi, yaitu
populasi anak sekolah dan masyarakat umum/keluarga. Apabila promosi kesehatan
ditujukan pada usia sampai dengan 12 tahun saja, yang berjumlah sekitar 25 juta, maka
mereka akan mampu menyebarluaskan informasi kesehatan kepada hampir 100 juta
populasi masyarakat umum yang terpajan promosi kesehatan. Sekolah mendukung
pertumbuhan dan perkembangan alamiah seorang anak, sebab di sekolah seorang anak
dapat mempelajari berbagai pengetahuan termasuk kesehatan. Promosi kesehatan di
sekolah membantu meningkatkan kesehatan siswa, guru, karyawan, keluarga serta
masyarakat sekitar, sehingga proses belajar mengajar berlangsung lebih produktif.
Dalam promosi kesehatan sekolah, keluarga anak sekolah dapat dipandang
sebagai 2 aspek yaitu sebagai pendukung keberhasilan program promosi kesehatan di
sekolah (support side) dan sebagai pihak yang juga memperoleh manfaat atas
berlangsungnya promosi kesehatan di sekolah itu sendiri (impact side) Pada segi
pendukung keberhasilan, promosi kesehatan di sekolah seringkali akan lebih berhasil jika
mendapat dukungan yang memadai dari keluarga si murid. Hal terkait dengan intensitas
hubungan antara anak dan keluarga, dimana sebagian besar waktu berinteraksi dengan
keluaraga lebih banyak. Pada segi pihak yang turut memperoleh manfaat, peran orang tua
yang memadai, hangat, membantu serta berpartisipasi aktif akan lebih menjamin
keberhasilan program promosi kesehatan. Sebagai contoh bila di sekolah dilakukan
kampanya perilaku Cuci Tangan Pakai Sabun kemudian dirumah orang tua juga
menyediakan fasilitas CTPS, maka perilaku anak akan lebih lestari (sustainable). Bentuk
dukungan orang tua ini meyakinkan bahwa tindakan cuci tangan pakai sabun merupakan
tindakan yang benar, baik di sekolah maupun di rumah.
Notoatmodjo (2012: 40) mengemukakan promosi kesehatan di sekolah adalah
“Suatu upaya menciptakan sekolah menjadi komunitas yang mampu meningkatkan
derajat kesehatannya melalui penciptaan lingkungan sekolah yang sehat, pemeliharaan
dan pelayanan kesehatan di sekolah dan upaya pendidikan kesehatan yang
berkesinambungan”. Promosi kesehatan di sekolah diupayakan melalui pemeliharaan,
pelayanan dan pendidikan kesehatan. Dengan upaya-upaya tersebut adanya promosi
kesehatan sekolah sangat diperlukan di sekolah. Sekolah menjadi tempat yang cukup
strategis dalam mengupayakan kesehatan. Sekolah sebagai tempat pendidikan bagi semua
orang, dari usia anak-anak hingga usia remaja. Sekolah merupakan tempat aktivitas sosial
sehingga mudah untuk mendapatkan informasi. Bentuk dari upaya promosi kesehatan di
sekolah, yaitu Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). UKS mengupayakan kesehatan melalui
pemeliharaan, pelayanan dan pendidikan (TRIAS UKS).
1. Strategi Promosi Kesehatan
Lembaga kesehatan dunia WHO mencanangkan lima strategi promosi kesehatan
di sekolah yaitu:
a. Advokasi
Kesuksesan program promosi kesehatan di sekolah sangat ditentukan oleh
dukungan dari berbagai pihak yang terkait dengan kepentingan kesehatan masyarakat,
khususnya kesehatan masyarakat sekolah. Guna mendapatkan dukungan yang kuat
dari berbagai pihak terkait tersebut perlu dilakukan upaya-upaya advokasi untuk
menyadarkan akan arti penting program kesehatan sekolah. Advokasi lebih ditujukan
kepada berbagai pihak yang akan menentukan kebijakan program, termasuk
kebijakan yang terkait dana untuk kegiatan;
b. Kerjasama
Kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait sangat bermanfaat bagi
jalannya program promosi kesehatan sekolah. Dalam kerjasama ini berbagai pihak
dapat saling belajar dan berbagi pengalaman tentang keberhasilan dan kekurangan
program, tentang cara menggunakan berbagai sumber daya yang ada, serta
memaksimalkan investasi dalam pemanfaatan untuk melakukan promosi kesehatan
c. Penguatan kapasitas
Kemampuan kerja dalam kegiatan promosi kesehatan di sekolah harus dapat
dilaksanakan secara optimal. Untuk itu berbagai sektor terkait harus diyakini dapat
memberikan dukungan untuk memperkuat program promosi kesehatan di sekolah.
Dukungan berbagai sektor ini dapat terkait dalam rangka penyusunan rencana
kegiatan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi program promosi kesehatan sekolah;
d. Kemitraan
Kemitraan dengan berbagai unit organisasi baik pemerintah, LSM maupun
usaha swasta akan sangat mendukung pelaksanaan program promosi kesehatan
sekolah. Disamping itu, dengan kemitraan akan dapat mendorong mobilisasi guna
meningkatkan status kesehatan di sekolah.

e. Penelitian
Penelitian merupakan salah satu komponen dari pengembangan dan penilaian
program promosi kesehatan. Bagi sektor terkait, penelitian merupakan akses untuk
masuk dalam mengembangkan promosi kesehatan di sekolah baik secara nasional
maupun regional, disamping untuk melakukan evaluasi peningkatan PHBS siswa
sekolah.

B. Masalah Kesehatan Remaja


Masalah kesehatan usia remaja merupakan salah satu masalah penting dalam siklus
kehidupan. Masalah kesehatan di usia dewasa sebagian berkaitan dengan perilaku kesehatan
ataupun gaya hidup di usia muda termasuk di usia remaja.
Perilaku hidup sehat sejak usia dini merupakan salah satu upaya yang cukup penting
dalam menciptakan sumber daya manusia yang produktif dan berkualitas di masa yang akan
datang. Menurut survey nasional kesehatan berbasis Sekolah di Indonesia Beberapa perilaku
berisiko pada usia remaja diantaranya adalah : Gizi tidak seimbang beresiko anemia,
kebiasaan merokok, kurang aktifitas fisik, hygiene dan sanitasi individu, kesehatan mental
(depresi/stress), konsumsi obat-obatan terlarang dan konsumsi minuman beralkohol, dan
kesehatan reproduksi.
1. Anemia Pada Remaja Putri
Remaja putri pada umumnya memiliki karakteristik kebiasaan makan tidak sehat.
Antara lain kebiasaan tidak makan pagi, malas minum air putih, diet tidak sehat karena
ingin langsing (mengabaikan sumber protein, karbohidrat, vitamin dan mineral),
kebiasaan ngemil makanan rendah gizi dan makan makanan siap saji. Sehingga remaja
tidak mampu memenuhi keanekaragaman zat makanan yang dibutuhkan oleh tubuhnya
untuk proses sintesis pembentukan hemoglobin (Hb). Bila hal ini terjadi dalam jangka
waktu yang lama akan menyebabkan kadar Hb terus berkurang dan menimbulkan anemia.
Anemia merupakan masalah gizi yang paling utama di Indonesia. Anemia dapat
disebabkan oleh penyakit infeksi, asupan zat gizi yang kurang, kehilangan darah
(menstruasi) dan pengetahuan yang dimiliki.
Anemia merupakan masalah gizi yang mempengaruhi jutaan orang di negara-
negara berkembang dan tetap menjadi tantangan besar bagi kesehatan manusia.
Prevalensi anemia diperkirakan 9 persen di negara-negara maju, sedangkan di negara
berkembang prevalensinya 43 persen. Anak-anak dan wanita usia subur (WUS)
adalah kelompok yang paling berisiko, dengan perkiraan prevalensi anemia pada
balita sebesar 47 persen, pada wanita hamil sebesar 42 persen, dan pada wanita yang
tidak hamil usia 15-49 tahun sebesar 30 persen. World Health Organization (WHO)
menargetkan penurunan prevalensi anemia pada WUS sebesar 50 persen pada tahun
2025.
Anemia pada remaja putri sampai saat ini masih cukup tinggi, menurut World
Health Organization (WHO), prevalensi anemia dunia berkisar 40-88%. Menurut WHO,
angka kejadian anemia pada remaja putri di Negara-negara berkembang sekitar 53,7%
dari semua remaja putri, anemia sering menyerang remaja putri disebabkan karena
keadaan stress, haid, atau terlambat makanan.
Masa remaja telah dilaporkan menjadi kesempatan untuk pertumbuhan catch-up.
Kecepatan pertumbuhan yang tinggi menyebabakan remaja membutuhkan energi dan
protein yang tinggi. Masa remaja merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan, baik
secara fisik, mental, dan aktivitas sehingga, kebutuhan makanan yang mengandung zat-
zat gizi menjadi cukup besar. Remaja putri banyak mengalami kekurangan zat-zat gizi
dalam konsumsi makanan sehari-harinya. Kekurangan zat besi dianggap penyebab paling
umum dari anemia secara global, tetapi beberapa lainnya kekurangan gizi (termasuk folat,
vitamin B12 dan vitamin A), akut dan peradangan kronis, parasit infeksi dapat
menyebabkan anemia (Brown JF, et al. 2004).
Selain itu, berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi anemia di
Indonesia yaitu 21,7% dengan penderita anemia berumur 5-14 tahun sebesar 26,4% dan
18,4% penderita berumur 15-24 tahun. Data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 2012 menyatakan bahwa prevalensi anemia pada balita sebesar 40,5%, ibu hamil
sebesar 50,5%, ibu nifas sebesar 45,1%, remaja putri usia 10-18 tahun sebesar 57,1% dan
usia 19-45 tahun sebesar 39,5%. Wanita mempunyai risiko terkena anemia paling tinggi
terutama pada remaja putri. Angka prevalensi anemia di Indonesia, yaitu pada remaja
wanita sebesar 26,50%, pada wanita usia subur sebesar 26,9%, pada ibu hamil sebesar
40,1% dan pada balita sebesar 47,0%.
Anemia adalah keadaan rendahnya jumlah sel darah merah dan kadar
hemoglobin atau hematokrit di bawah normal (Brunner & Suddarth, 2000). Anemia
defisiensi besi adalah jenis anemia yang paling sering terjadi. Menurut WHO, ambang
batas kadar hemoglobin normal pada wanita usia 11 tahun keatas adalah 12 gr/dl. WHO
mengklasifikasikan anemia berdasarkan kadar hemoglobin seseorang, yakni :

Tabel 1. Batas Normal Kadar Hemoglobin Menurut Umur dan Jenis Kelamin

Upaya-upaya untuk mencegah anemia menurut Departemen Kesehatan tahun


2012, antara lain sebagai berikut:
a. Makan-makanan yang banyak mengandung zat besi dari bahan hewani (daging, ikan,
ayam, hati, dan telur), dari bahan nabati (sayuran yang berwarna hijau tua, kacang-
kacangan dan tempe).
b. Banyak makan-makanan sumber vitamn C yang bermanfaat untuk peningkatan
penyerapan zat besi. Misalnya jambu,jeruk, tomat dan nanas.
c. Minum Tablet penambah darah setiap hari, khususnya mengalami haid.
d. Melakukan tes laboratorium untuk mengetahui kualitas sel darah merah (hemoglobin)
e. Harus diyakinkan bahwa masukan zat gizi yang kurang dari yang dibutuhkan akan
berakibat buruk bagi pertumbuhan dan kesehatan
f. Istirahat yang teratur dan menggunakan kebiasaan hidup sehat
g. Bagi yang merasakan tanda dan gejala anemia segera konsultasi ke dokter.

Program penanggulangan anemia yang selama ini lebih terfokus pada ibu hamil,
padahal remaja putri adalah calon ibu yang harus sehat agar melahirkan bayi sehat
sehingga akan tumbuh dan berkembang menjadi sumber daya manusia yang tangguh dan
berkualitas dengan harapan. Program yang ditargetkan kepada wanita usia reproduktif
merupakan intervensi yang sangat strategis dalam menentukan kualitas sumber daya
manusia Indonesia. Dampak kekurangan zat besi pada wanita hamil dapat diamati dari
besarnya angka kesakitan dan kematian maternal, peningkatan angka kesakitan dan
kematian janin, serta peningkatan resiko terjadinya berat badan lahir rendah. Secara
khusus, kontrol anemia pada wanita usia subur sangat penting untuk mencegah bayi lahir
rendah berat badan dan kematian perinatal dan ibu, serta prevalensi penyakit di kemudian
hari. Anemia saling terkait dengan lima global lainnya target gizi (stunting, berat badan
lahir rendah, masa kanak-kanak, kelebihan berat badan, pemberian ASI eksklusif dan
wasting). Oleh karena itu dalam pembuat kebijakan untuk melakukan investasi yang
diperlukan pada anemia sekarang sebagai sarana untuk mempromosikan modal manusia
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi negara mereka dan jangka panjang kesehatan,
kekayaan dan kesejahteraan.
2. Kebiasaan Merokok
Tembakau adalah penyebab utama kematian yang dapat dicegah dan lebih dari
lima juta orang meninggal secara global akibat dampak tembakau setiap tahun, lebih
banyak daripada HIV / AIDS, malaria, dan TBC. Setiap delapan detik seseorang, di suatu
tempat di dunia, meninggal sebagai akibatnya penggunaan tembakau.
a. Dilaporkan bahwa pada tahun 2030, jumlah kematian kemungkinan akan melebihi
delapan juta per tahun.
b. Hal ini juga menimbulkan kembali masalah kesehatan utama di India juga.
c. Telah dilaporkan bahwa ada kecenderungan peningkatan kebiasaan merokok di
antara para layanan kesehatan siswa yang meneliti pendidikan kesehatan, seperti anak
muda lainnya. Sedikit perhatian telah diberikan pada konteks kapan dan bagaimana
layanan kesehatan siswa mengalami perubahan sikap dan perilaku sehubungan
dengan kebiasaan merokok mereka sendiri dan konsumsi alcohol.
d. Terlebih lagi, profesional kesehatan, yang kebetulan adalah promotor kesehatan /
pendidik & peran model kesehatan untuk masyarakat di masa depan dapat memiliki
dampak negatif di masyarakat jika mereka sendiri terlibat dalam praktek konsumsi
tembakau.
Meskipun sebagian besar masyarakat mengetahui bahaya merokok, karena papan
iklan rokokpun menyampaikan hal tersebut, namun kebiasaan merokok tetap banyak
dilakukan di masyarakat. Yang lebih menyedihkan dari fenomena merokok adalah bahwa
kebiasaan ini tidak hanya terjadi pada orang dewasa namun telah merambah ke remaja
bahkan siswa sekolah. Tidak hanya siswa SMA atau SMU, tetapi sudah merambah ke
siswa SMP bahkan siswa SD. Hasil penelitian yang dilakukan oleh karang taruna
Kelurahan Mojosongo, diketahui bahwa sebanyak 60% siswa SD di Mojosongo
menyatakan pernah merokok (Septiyaning, 2013). Berdasarkan hasil survey di SD
Sabrang Lor Mojosongo diketahui sebanyak 7 siswa SD kelas V dan VI pernah merokok.
Meskipun sebagian orang pertama kali merokok hanya untuk coba-coba atau ikut-ikutan
teman, namun selanjutnya dapat menjadi kebiasaan yang sulit dihentikan. Hal ini
disebabkan karena nikotin yang ada dalam rokok akan menyebabkan efek kecanduan.
Kenyataan adanya siswa SD yang telah merokok tentu membuat keprihatinan,
hal ini disebabkan karena rokok mempunyai sifat membuat orang kecanduan. Pada hal
usia SD merupakan usia yang masih belia, mereka adalah anak-anak bangsa yang
diharapkan kelak menjadi generasi penerus bangsa yang di pundak mereka nasib bangsa
ini akan ditentukan. Jika sejak kecil mereka sudah diracuni oleh rokok, maka hal ini akan
berpengaruh tidak hanya pada fisik mereka tetapi juga mental mereka. Jika anak-anak
sudah kecanduan rokok sejak kecil maka akan lebih sulit untuk dihentikan. Oleh karena
itu perlu dilakukan upaya untuk menghentikan kebiasaan ini pada anak SD yang sudah
pernah merokok dan mencegah terjadinya kebiasaan merokok pada siswa yang belum
pernah merokok. Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan melakukan
pendidikan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang bahaya merokok.
Dengan demikian diharapkan mereka dapat menghentikan kebiasaan merokok dan
menghindari rokok bagi yang belum pernah mengkonsumsinya. Berdasarkan hasil
penelitian Puryanto, (2012) diketahui bahwa ada pengaruh yang signifikan antara sebelum
dan sesudah pemberian pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan dan sikap siswa
tentang bahaya merokok. Penelitian lain juga membuktikan bahwa pendidikan kesehatan
berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan siswa tentang bahaya merokok di SMAN 1
Manado (Tumigolung, 2013).
Perokok reguler di antara anak laki-laki berusia 15 sampai 19 tahun meningkat
dari 36,8% pada tahun 1997) menjadi 42,6% pada tahun 2000 (WHO, 2003). Data dari
survei tembakau pada anak sekolah usia 13 – 15 tahun Global Youth Tobacco Survey
(GYTS) yang dilakukan di 50 sekolah menunjukkan prevalensi pelajar yang pernah
merokok sebesar 33%, sedangkan prevalensi perokok saat ini (perokok tiap hari dan
kadang-kadang) diantara pelajar adalah 22% 4 . Data dari Susenas 2001 menunjukkan
bahwa persentase merokok pada usia 10 tahun ke atas di Jawa Barat adalah sebesar 31%,
dimana angka tersebut lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional (27.7%). Masih dari
hasil Susenas 2001, persentase usia mulai merokok tertinggi di Jawa Barat adalah pada
kelompok usia 15 – 19 tahun (62.9%), sedangkan persentase untuk usia mulai merokok
lebih muda, 10 – 14 tahun adalah 5.6%. Sementara data dari GYTStahun 2009
menunjukkan proporsi pernah merokok pada laki-laki usia 13 -15 tahun adalah sebesar
57.8% di populasi anak sekolah di Jawa dan Sumatra (Gambar 1).
Gambar 1. Proporsi (%) Perilaku Konsumsi Tembakau Anak Sekolah Usia 13-15 Tahun

3. Aktifitas Fisik
Aktivitas fisik merupakan faktor penting dalam memelihara kesehatan yang baik
secara keseluruhan. Menjadi aktif secara fisik memiliki manfaat kesehatan yang
signifikan, termasuk mengurangi resiko berbagai penyakit kronik, membantu mengontrol
berat badan dan mengembangkan kesehatan mental. Beberapa bentuk aktivitas fisik juga
bisa membantu memanajemen kondisi jangka panjang, seperti artritis dan diabetes tipe 2,
dengan mereduksi efek dari kondisi tersebut dan meningkatkan kualitas hidup
penderitanya (Healey, 2013).
Obesitas pada anak dan remaja telah menjadi masalah gizi yang makin menonjol
di Indonesia. Obesitas memiliki banyak konsekuensi dalam menyumbangkan berbagai
penyakit, termasuk diabetes mellitus, hipertensi, stroke, dan penyakit kardiovaskuler.
Kasus obesitas pada remaja lebih tinggi dan lebih banyak ditemukan pada wanita (10,2%)
dibanding laki-laki (3,1%). Pola perilaku makan dan aktivitas fisik diduga menjadi pemicu
utama tingginya prevalensi tersebut.
Factor diet dan pola aktivitas fisik mempunyai pengaruh kuat terhadap
keseimbangan energi. Diet tinggi lemak dan kalori, serta pola hidup kurang gerak
(sedentary lifestyles) berkaitan erat dengan peningkatan prevalensi obesitas. Pola perilaku
sedentary ini telah membawa konsekuensi berkurangnya aktivitas remaja saat ini.
4. Hygine dan Sanitasi Individu
Higiene adalah usaha kesehatan yang mempelajari pengaruh kondisi lingkungan
terhadap kesehatan manusia, mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh kondisi
lingkungan terhadap kesehatan manusia, mencegah timbulnya penyakit karena pengaruh
faktor lingkungan (Fathonah, 2006).
Sanitasi adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi
kebersihan lingkungan dari subyeknya (Depkes RI, 2004). Misalnya menyediakan air
yang bersih untuk keperluan mencuci tangan, menyediakan tempat sampah untuk
mewadai sampah agar tidak dibuang sembarangan. Higiene dan sanitasi mempunyai
hubungan yang erat dan tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Higiene dan
sanitasi merupakan usaha kesehatan masyarakat yang bertujuan untuk mencegah
terjadinya penyakit pada manusia.
Faktor yang mempengaruhi higiene sanitasi adalah personal higiene atau
kesehatan perorangan adalah sikap bersih perilaku petugas penjamah makanan, agar
makanan yang ditangani tidak tercemar oleh petugas penjamah makanan. Menurut
(Nurlaela, 2011) sikap bersih inilah yang harus disadari oleh para petugas penjamah
makanan karena dalam kegiatannya menyangkut kesehatan orang banyak.
Higiene sanitasi pada pedagang makanan jajanan tradisional menunjukkan
bahwa sebesar 47,8% responden higiene perorangannya tidak baik, didapatkan 65,2%
responden memiliki sanitasi yang tidak baik dari peralatan yang digunakan oleh pedagang
makanan jajanan tradisional tersebut sehingga makanan yang dijual akan lebih mudah
terkontaminasi mikrorganisme (Agustina, 2009).
Kualitas makanan jajanan yang tidak memenuhi standar gizi termasuk sanitasi,
dapat menyebabkan berbagai penyakit menular, serta dalam jangka panjang dapat
menyebabkan penyakit tidak menular, seperti kanker dan beberapa penyakit degenaratif
lainnya.
Kondisi higiene sanitasi akan mempengaruhi sikap konsumen terhadap
pembelian makanan dan jajanan akan tetapi ada kalangan konsumen yang tidak
memperhatikan kondisi higiene sanitasi tersebut karena kurangnya pengetahuan dan sikap
konsumen tentang arti kesehatan dan kebersihan.
5. Kesehatan Mental
Beberapa masalah gangguan kesehatan jiwa di usia dini atau usia sekolah dasar
di Jakarta Timur adalah gagap, neurosis fungsional, gangguan tidur, gangguan tingkah
laku agresif tak berkelompok, kecemasan, retardasi mental ringan, fungsi intelektual
ambang, problem hubungan orang tua-anak, problema dalam keluarga, dan problem
situasi keluarga spesifik lainnya. Beberapa upaya yang selama ini sudah dikembangkan
oleh pemerintah adalah adanya program Upaya Kesehatan Sekolah di tingkat SMP dan
SMA yang dikoordinir oleh Puskesmas setempat. Akan tetapi tidak semua SMP dan SMA
mempunyai kegiatan UKS yang aktif dan rutin . Untuk lebih meningkatkan efektifitas
program kesehatan usia remaja dan meningkatkan status kesehatan anak sekolah
khususnya tingkat SMP dan SMA, maka penting untuk mengembangkan suatu strategi
yang tepat untuk pengendalian beberapa perilaku berisiko yang menjadi masalah di usia
remaja melalui strategi promosi kesehatan berbasis sekolah.
Kesehatan pada usia sekolah menjadi penting karena adanya keterkaitan antara
kesehatan dan fungsi akademik karena periode ini merupakan periode belajar,
pertumbuhan dan perkembangan. Indikator kesehatan yang berkaitan dengan fungsi
akademik dapat dikategorikan dalam indikator sosial psikologikal dan fisik:
a. Kondisi fisik yang baik mempunyai dampak positif terhadap kemampuan akademik
murid sekolah,
b. Disamping itu, kemampuan akademik murid sekolah juga berkaitan dengan
dukungan sosial, proses belajar dan kesehatan, serta pengalaman di masa lalu.

6. NAPZA
Faktor risiko perilaku lainnya yang juga berperan dalam status kesehatan usia
remaja adalah pemakaian obat-obatan terlarang atau penyalahgunaan zat dan konsumsi
minuman beralkohol. Penyalahgunaan obat terlarang masih merupakan salah satu masalah
remaja di Indonesia, yang diketahui erat kaitannya dengan masalah sosial seperti
kejahatan, pengangguran, kesehatan, dan juga masalah ekonomi. Penelitian yang
dilakukan di Rumah Sakit Ketergantungan Obat, Jakarta, selama bulan Oktober dan
Desember 2000 menunjukkan bahwa psikopatologi mempunyai hubungan yang bermakna
dengan keparahan penggunaan zat diantara remaja. Hasil SDKI (2012) menunjukkan
bahwa perilaku konsumsi minuman beralkohol cukup tinggi dikalangan remaja remaja
laki-laki usia 15 – 24 tahun (15.6%) untuk pernah minum akohol kadang-kadang dimana
angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan angka nasional Riskesdas 2007 yaitu
sebesar 5.5% . Meskipun masing-masing survey menggunakan instrumen yang berbeda
dan definisi operasional yang berbeda untuk pernah minum alkohol kadang-kadang. Pada
data Riskesdas 2007 , peminum alkohol dalam 12 bulan terakhir, sementara pada SDKI
2012 peminum alkohol kadang-kadang termasuk individu yang minum alkohol saat ini
atau minum alkohol dalam tiga bulan terakhir tetapi tidak tiap hari. Data dari Riskesdas
2007, kemungkinan kurang dapat menggambarkan permasalahan konsumsi minuman
beralkohol pada remaja laki-laki karena periode waktu yang sudah lebih lama sementara
data SDKI lebih menggambarkan periode waktu yang relative lebih baru. Disamping itu
data Riskesdas lebih menggambarkan kebiasaan yang berjangka lebih panjang (satu
tahun) atau riwayat dalam satu tahun terkahir, sementara data SDKI menggambarkan
kebiasaan saat ini atau kondisi dalam periode waktu yang lebih pendek (3 bulan).
Persentase minum minuman beralkohol masih sangat rendah pada remaja
perempuan, yaitu sebesar 1% untuk peminum kadang-kadang. Secara nasional, kebiasaan
minum alkohol belum menjadi masalah di Indonesia, meskipun demikian, masalah minum
minuman beralkohol cenderung lebih tinggi di wilayah Indonesia bagian timur. Riskesdas
2007 menunjukkan prevalensi yang tertinggi untuk pernah minum alkohol dalam 12 bulan
terakhir pada usia 10 tahun ke atas di Nusa Tenggara Timur (17.7%), di Sulawesi Utara
(17.4%) dan Gorontalo (12.3%).
7. Kesehatan Reproduksi
Kesehatan reproduksi juga masih merupakan salah satu masalah kesehatan di
usia remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Suwandono, dkk di Jawa Tengah, Jawa
Timur, dan Bali, menunjukkan bahwa 65% orang tua remaja, 83.3% guru sekolah, dan
77.3% remaja mempunyai pengetahuan yang kurang, dalam hal perkembangan reproduksi
remaja, perubahan psikologis dan emosional remaja, penyakit menular seksual dan
abortus. Gangguan kesehatan jiwa mendapat perhatian khusus pada usia remaja seiring
dengan masalah krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia.
C. Usaha Kesehatan Sekolah
UKS adalah usaha yang di lakukan untuk meningkatkan kesehatan anak usia sekolah
pada setiap jalur, jenis dan jenjang pendidikan mulai dari TK sampai SMA/SMK/MA (Tim
pembina UKS, 2010). UKS adalah usaha kesehatan masyarakat yang di jalankan di sekolah–
sekolah, dengan sasaran utama adalah anak-anak sekolah dan lingkunganya (Soenarjo,2002:
1). Usaha kesehatan sekolah adalah salah satu wahana untuk meningkatkan kemampuan
hidup sehat dan derajat kesehatan peserta didik sedini mungkin, selanjutnya di sebutkan UKS
harus sudah mendapat tempat dan perhatian yang baik di dalam lingkungan pendidikan.
Secara garis besar UKS dapat dikelompokan dalam tiga bidang atau di sebut dengan 3
program UKS atau yang dikenal sebagai Trias UKS yaitu: pendidikan kesehatan,
pemeliharaan atau pelayanan kesehatan, dan kehidupan lingkungan yang sehat. Usaha ini
dijalankan mulai dari Sekolah Dasar sampai sekolah lanjutan, sekarang pelaksanaanya
diutamakan di Sekolah Dasar. Hal ini disebabkan karena Sekolah merupakan komunitas
(kelompok) yang sangat besar, rentan terhadap berbagai penyakit, dan merupakan dasar bagi
pendidikan selanjutnya. Meskipun demikian bukan berarti mengabaikan pelaksanaan
selanjutnya di sekolah sekolah lanjutan (Mu’rifah,1991).

Dapat disimpulkan bahwa yang di maksud dengan UKS adalah usaha kesehatan
sekolah yang di dalam lingkungan sekolah maupun yang di sekitar lingkungan sekolah, yang
sasaranya adalah peserta didik beserta masyarakat sekolah yang lainya yang bertujuan untuk
meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik sehingga peserta didik dapat belajar,
tumbuh dan berkembang secara harmonis serta optimal, menjadi sumber daya manusia yang
berkualitas. 2. Sasaran Usaha Kesehatan Sekolah UKS ialah upaya pelayanan kesehatan yang
terdapat di sekolah yang bertujuan menangani anak didik yang mengalami kecelakaan ringan,
melayani kesehatan dasar bagi anak didik selama sekolah (pemberian imunisasi), memantau
pertumbuhan dan status gizi anak didik (Drajat Martianto, 2005 : 1). Sasaran pembinaan dan
pengembangan UKS meliputi peserta didik sebagai sasaran primer, guru pamong
belajar/tutor orang tua, pengelola pendidikan dan pengelola kesehatan serta TP UKS di setiap
jenjang sebagai sasaran sekunder. Sedangkan sasaran tertier adalah lembaga pendidikan
mulai dari tingkat pra sekolah/TK sampai SLTA, termasuk satuan pendidikan luar sekolah
dan perguruan tinggi agama serta pondok pesantren beserta lingkungannya (Depkes, 2008).
Sasaran lainnya adalah sarana dan prasarana pendidikan kesehatan dan pelayanan kesehatan.
sasaran tertier lainnya adalah lingkungan yang meliputi lingkungan sekolah, keluarga dan
masyarakat sekitar sekolah. Sekolah sebagai lembaga (institusi) pendidikan merupakan
media yang penting untuk menyalurkan segala bentuk pembaharuan tata cara dan kebiasaan
hidup sehat, agar lebih mudah tertanam pada anak-anak. Dengan demikian, akan dapat
memberikan pengaruh terhadap kehidupan keluarga, masyarakat sekitarnya, bahkan
masyarakat yang lebih luas lagi. Anak didik dikemudian hari diharapkan akan memiliki sikap
dan kebiasaan hidup dangan norma-norma kesehatan. Pendidikan kesehatan di sekolah dasar
melalui program UKS mempunyai peranan yang sangat efektif sebab Sekolah Dasar, sebagai
lembaga pendidikan yang tersebar luas di daerah pelosok tanah air, dari pedesaan hingga
kota-kota besar. Di pandang dari segi pembiayaan pemerintah dan harapan untuk masa
depan, pelaksanaan UKS di sekolah dasar adalah ekonomis. Apalagi untuk kepentingan ini
masyarakat (orang tua murid) selalu dilibatkan dalam berbagai bentuk, melalui PGOM
(persatuan guru dan orang tua murid). Menurut Depkes RI (1982) bahwa peserta didik dari
tingkat sekolah dasar sampai tingkat menengah termasuk perguruan tinggi beserta
lingkungannya merupakan sasaran utama dari pembinaan UKS. Didalam pembangunan
nasional, perhatian terhadap dunia anak-anak tidak dapat diabaikan. Anak-anak merupakan
penerus dalam bidang tenaga kerja, sehingga pembinaan terhadap golongan ini perlu dimulai
sedini mungkin. Sehubungan dengan ini bidang pendidikan dan kesehatan mempunyai
peranan yang besar karena secara organisasai sekolah berada dibawah departemen
pendidikan nasional, Secara fungsional departemen kesehatan bertanggung jawab atas
kesehatan anak didik. Mengingat hal tersebut, UKS dijalankan atas dasar titik tolak
pemikiran bahwa:

a. Sekolah merupakan lembaga yang sengaja dihidupkan untuk mempertinggi derajat


bangsa dalam segala aspek,
b. Usaha kesehatan melalui masyarakat sekolah mempunyai kemungkinan yang lebih
efektif diantara beberapa usaha yang ada, untuk mencapai kebiasaan hidup sehat dari
masyarakat pada umumnya, karena masyarakat sekolah:
a) Mempunyai prosentase yang tinggi,
b) Merupakan masyarakat yang telah terorganisir, sehingga mudah dicapai
dalam rangka pelaksanaan usaha-usaha kesehatan masyarakat,
c) Peka terhadap pendidikan pada umumnya, dapat menyebarkan modernisasi
(sebagai agent of change), karena dalam usia ini anak-anak sekolah berada
dalam taraf perkembangan dan pertumbuhan, mudah dibimbing dan dibina.
Pada masa ini adalah masa yang tepat untuk menanamkan kebiasaan-
kebiasaan hidup sehat dengan harapan agar mereka dapat meneruskan serta
mempengaruhi lingkungannya sekarang dan dimasa yang akan datang.
Masyarakat sehat yang akan datang merupakan salah satu hasil dari sikap
dan kebiasaan hidup sehat yang dimiliki anak-anak pada waktu sekarang.
(Soenaryo, 2002: 148).

2.3.1 Tujuan Usaha Kesehatan Sekolah

Menurut Suliha dkk (2002: 36) Tujuan UKS secara umum adalah untuk
meningkatkan kemampuan hidup sehat dan derajat kesehatan peserta didik sedini mungkin
serta menciptakan lingkungan sekolah yang sehat sehingga memungkinkan pertumbuhan dan
perkembangan anak yang harmonis dan optimal dalam rangka pembentukan manusia
indonesia yang berkualitas. Menurut Suliha dkk (2002: 57-58) Secara khusus tujuan usaha
kesehatan sekolah adalah untuk memupuk kebiasaan hidup sehat dan mempertinggi derajat
kesehatan peserta didik yang mencakup memiliki pengetahuan, sikap, dan ketrampilan untuk
melaksanakan prinsip hidup sehat, serta berpartisipasi aktif di dalam usaha peningkatan
kesehatan. Sehat fisik, mental, sosial maupun lingkungan, serta memiliki daya hayat dan daya
tangkal terhadap pengaruh buruk, penyalahgunaan narkoba, alkohol dan kebiasaan merokok
serta hal-hal yang berkaitan dengan masalah pornografi dan masalah sosial lainnya Jadi
tujuan UKS yaitu untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kemampuan hidup sehat peserta
didik agar dapat menciptakan lingkungan yang sehat, sehingga memiliki pengetahuan, sikap
dan keterampilan untuk melaksanakan prinsip hidup sehat, baik fisik, mental, maupun sosial
serta memiliki daya hayat dan daya tangkal terhadap pengaruh buruk, penyalahgunaan
narkoba dan sebagainya.

Upaya peningkatan kesehatan disekolah melalui kegiatan yang dilaksanakan melalui


masyarakat disekolah dipandang lebih efektif dibanding kegiatan lain yang dilakukan dalam
masyarakat umum. Menurut Soenaryo (2002: 2 ) program UKS sangat efektif karena: 1.
Sekolah Dasar sebagai masyarakat sekolah, mempunyai komunitas peserta didik yang sangat
besar. 2. Sekolah Dasar sebagai lembaga pendidikan yang tersebar luas seluruh pelosok tanah
air. 3. Anak anak usia SD sangat peka terhadap perubahan dan pembaharuan, bahkan anak
anak mempunyai sifat yang menyampaikan apa yang dia terima dan diperoleh dari orang
lain. 4. Di pandang dari pembiayaan pemerintah dan harapan untuk masa depan pelaksanaan
UKS di sekolah dasar sangat ekonomis.

D. Pergaulan Sebaya Remaja


Pergaulan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berasal dari kata dasar gaul
yang artinya hidup berteman atau bersahabat (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1996: 296) Pergaulan merupakan salah satu cara seseorang untuk berinteraksi dengan
lingkungannya. Manusia adalah makhluk sosial memiliki kecenderungan hidup bersama satu
sama lain. Mereka tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan orang lain.

Menurut Abdulah Idi (2011: 83) pergaulan adalah kontak langsung antara individu
yang satu dengan individu yang lainnya. Pergaulan seharihari yang dilakukan individu satu
dengan yang lainnya adakalanya setingkat usianya, pengetahuannya, pengalamannya, dan
jika dilakukan dalam jangka waktu tertentu akan membentuk jalinan persahabatan atau
pertemanan. Dari pergaulan yang dilakukan oleh siswa, maka siswa mulai mengenal berbagai
pihak yang terdapat dalam lingkungan pergaulan tersebut. Salah satunya adalah teman
sebaya. Menurut Santrock (2012: 109) teman sebaya adalah anak-anak dengan usia atau tikat
kedewasaan yang kurang lebih sama. Ahzami (2006: 164) berpendapat bahwa sebaya adalah
mereka yang lahir pada waktu yang sama dan memiliki usia yang sama. Teman sebaya
menurut Zainal Madon dan Mohd. Ahmad (2004: 49) adalah kelompok anak-anak atau
remaja yang sama umur atau peringkat perkembangannya. Teman sebaya pada umumnya
adalah teman sekolah dan atau teman bermain di luar sekolah (Izzaty, dkk., 2008: 114).

Menurut Horton dan Hunt dalam Damsar (2011: 74) menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan kelompok teman sebaya (peer group) adalah suatu kelompok dari orang
orang yang seusia dan memiliki status sama, dengan siapa seseorang umumnya berhubungan
atau bergaul.Lingkungan teman sebaya merupakan suatu interaksi dengan orang-orang yang
mempunyai kesamaan dalam usia, status sosial, hobi dan pemikiran yang sama, dalam
berinteraksi mereka akan mempertimbangkan dan lebih memilih bergabung dengan orang-
orang yang mempunyai kesamaan dalam hal-hal tersebut (Robert E.Slavin, 2011: 114).
Dalam kelompok teman sebaya individu akan merasakan adanya persamaan satu dengan
yang baik usia, status sosial, kebutuhan, dan tujuan untuk memperkuat kelompok itu,
sehingga individu didalam kelompok tersebut akan merasa menemukan dirinya dan akan
mengembangkan rasa sosialnya seiring dengan perkembangan kepribadiannya (Slamet
Santosa, 2009: 77).

Dapat disimpulkan bahwa kelompok teman sebaya adalah kelompok sosial yang
terbentuk karena individu satu dengan lainnya mempunyai persamaan usia, status sosial,
jenis kelamin, kebutuhan serta minat yang membuat individu yang bergabung di dalam
kelompok tersebut menjadi nyaman. Jadi pergaulan kelompok teman sebaya adalah
hubungan interaksi sosial yang timbul karena individu-individu yang berkumpul dan
membentuk suatu kelompok yang didasarkan pada persamaan usia, status sosial, kebutuhan
serta minat yang seiring berjalannya waktu akan membentuk pertemanan atau persahabatan.
Teman sebaya yang dipilih biasanya adalah teman yang memiliki kesamaan status sosial
dengan dirinya. Misalnya siswa yang duduk di bangku SMP kebanyakan temannya juga
sesama siswa, baik yang satu sekolah maupun berbeda sekolah. Jarang ditemui seorang siswa
SMP berteman akrab dengan orang yang berbeda status sosial dengan dirinya. Teman sebaya
tersebut merupakan orang yang sering terlibat dalam melakukan tindakan secara bersama-
sama dalam pergaulan.

2.4.1 Fungsi Pergaulan Teman Sebaya

Pada prinsipnya hubungan lingkungan teman sebaya mempunyai arti sangat penting
bagi remaja. Menurut Jean Piaget dan Harry Stack S dalam Desmita (2013: 220) menekankan
bahwa melalui teman sebaya anak dan remaja belajar tentang hubungan timbal balik yang
sistematis.

Anak mempelajari prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan melalui peristiwa


pertentangan dengan remaja. Mereka juga mempelajari secara aktif kepentingan-kepentingan
dan perspektif teman sebaya dalam rangka memuluskan integrasi dirinya dalam aktifitas
teman sebaya yang berkelanjutan. Santrock (2012: 109) mengatakan bahwa salah satu fungsi
yang terpenting dari kelompok teman sebaya adalah untuk memberikan sumber informasi
dan perbandingan tentang dunia di luar lingkungan keluarga. Menurut Slamet Santosa (2009:
79) fungsi kelompok teman sebaya adalah sebagai berikut:

1) Mengajarkan kebudayaan kelompok teman sebaya ini diajarkan kebudayaan yang


berada di tempat itu. Misalnya orang luar negeri masuk ke Indonesia, maka teman
sebayanya di Indonesia mengajarkan kebudayaan Indonesia;
2) Mengajarkan mobilitas sosial Mobilitas sosial adalah perubahan status yang lain.
Misalnya ada kelas menengah dan kelas rendah (tingkat sosial). Dengan adanya
kelas rendah pindah ke kelas menengah dinamakan mobilitas sosial. Seorang anak
akan senang bila masuk kedalam kelompok teman sebaya yang memiliki status
sosial tinggi.Dengan masuk dalam status sosial yang tinggi maka status mereka
juga akan meningkat. Seorang anak yang berada dalam kelompok teman sebaya
status sosialnya akan lebur menjadi satu bagian dengan kelompoknya, karena
identitas kelompoknya berarti identitas dirinya;
3) Membantu peranan sosial yang baru kelompok teman sebaya memberikan
kesempatan bagi anggotanya untuk mengisi peranan sosial yang baru. Misalnya
anak yang belajar bagaimana menjadi pemimpin yang baik dan sebagainya;
4) Kelompok teman sebaya sebagai sumber informasi bagi orang tua, guru bahkan
masyarakat Kelompok teman sebaya sebagai sumber informasi bagi guru dan
orang tua tentang hubungan sosial individu dan seorang yang berprestasi baik
dapat dibandingkan dalam kelompoknya. kelompok teman sebaya di masyarakat
sebagai sumber informasi, kalau salah satu anggotanya berhasil maka anggota
lainnya berhasil, maka di mata masyarakat kelompok teman sebaya itu berhasil.
Atau sebaliknya, bila suatu kelompok sebaya itu sukses maka anggota-
anggotanya juga baik;
5) Dalam kelompok teman sebaya individu dapat mencapai ketergantungan satu
sama lain Seorang anak akan lebih nyaman berbagi dengan temannya karena
temannya biasanya lebih mengerti dirinya dan persoalan yangdihadapinya.
Mereka saling menumpahkan perasaan dan permasalahan yang tidak bisa mereka
ceritakan pada orang tua maupun guru mereka. Dalam kelompok teman sebaya,
individu dapat mencapai ketergantungan satu sama lain. Karena dalam kelompok
teman sebaya ini mereka dapat merasakan kebersamaan dalam kelompok, mereka
saling tergantung satu sama lainnya;
6) Kelompok teman sebaya mengajarkan moral orang dewasa. Anggota kelompok
teman sebaya bersikap dan bertingkah laku seperti orang dewasa, untuk
mempersiapkan diri menjadi orang dewasa mereka memperoleh kemantapan
sosial. Tingkah laku mereka seperti orang dewasa, tapi mereka tidak mau disebut
orang dewasa. Melakukan segala sesuatu sendiri tanpa bantuan orang dewasa,
mereka ingin menunjukan bahwa mereka juga bisa berbuat seperti orang dewasa;
7) Mencapai kebebasan sendiri. Kebebasan disini diartikan sebagai kebebasan untuk
berpendapat, bertindak atau untuk menemukan identitas diri. Karena dalam
kelompok itu, anggota-anggota yang lain juga mempunyai tujuan dan keinginan
yang sama. Berbeda dengan kalau anak bergabung dengan orang dewasa, maka
anak akan lebih sulit untuk mengutarakan pendapat atau untuk bertindak, karena
status orang dewasa selalu berada di atas dunia anak sebaya;
8) Belajar mengontrol tingkah laku Dalam kelompok teman sebaya seorang anak
akan lebih mudah dalam pengawasannya, karena tingkah laku setiap individu
menunjukan perilaku umum dari kelompoknya.Hal ini mempermudah
pengawasan bagi orang tua maupun guru.

Berikut merupakan 6 fungsi positif dari teman sebaya menurut Kelly dan Hansen (1987)
dalam Desmita (2013: 220-221), yaitu:

1) Mengontrol impuls-impuls agresif. Melalui interaksi teman sebaya, remaja


belajar bagaimana memecahkan pertentangan-pertentangan dengan cara-cara
yang lain selain dengan tindakan agresif langsung;
2) Memperoleh dorongan emosional dan sosial serta menjadi lebih independen.
Teman-teman dan kelompok teman sebaya memberikan dorongan bagi remaja
untuk mengambil peran dan tanggung jawab baru mereka. Dorongan yang
diperoleh dari teman-teman sebaya mereka ini akan menyebabkan berkurangnya
ketergantungan remaja pada dorongan keluarga mereka;
3) Meningkatkan keterampilan-keterampilan sosial, mengembangkan kemampuan
penalaran dan belajar untuk mengekspresikan perasaan dengan cara lebih matang.
Melalui percakapan dan perdebatan dengan teman sebaya, remaja belajar
mengekpresikan ide-ide dan perasaanperasaan serta mengembangkan
kemampuan mereka memecahkan masalah;
4) Mengembangkan sikap terhadap seksualitas dan tingkah laku peran jenis kelamin;
5) Memperkuat penyesuaian moral dan nilai-nilai. Umumnya orang dewasa
mengejarkan kepada anak-anak mereka tentang apa yang benar dan apa yang
salah. Dalam kelompok teman sebaya, remaja mencoba mengambil keputusan
atas diri mereka sendiri. Remaja mengevaluasi nilai-nilai yang dimilikinya dan
yang dimiliki teman sebayanya, serta memutuskan mana yang benar. Proses
mengevaluasi ini dapat membantu remaja mengembangkan kemampuan
penalaran moral mereka.
6) Meningkatkan harga diri (self-esteem). Menjadi orang yang disukai oleh sejumlah
besar teman-teman sebayanya membuat remaja merasa enak atau senang tentang
dirinya.

Menurut Slamet Santosa (2009:82), menjelaskan : Dampak negatif yang ditimbulkan


adalah adanya sebagian anak remaja yang ditolak atau diabaikan oleh teman sebaya
yang dapat menimbulkan permusuhan dan menimbulkan perasaan kesepian yang bisa
mengganggu perkembangan anak tersebut, timbulnya rasa iri dan persaingan pada
anggota kelompok yang tidak memiliki kesamaan dengan dirinya, timbulnya
pertentangan antar kelompok teman sebaya (Slamet Santosa, 2009: 82).

Jadi dapat disimpulkan bahwa teman sebaya sangat berfungsi bagi tercapainya
interaksi sesama manusia, karena dari teman sebaya kita dapat memperoleh informasi-
informasi, mengajarkan kebudayaan, mengajarkan mobilitas sosial, membantu peranan
sosial yang baru, mengajarkan moral dan nilai-nilai, serta meningkatkan
keterampilanketerampilan sosial. Tetapi teman sebaya juga memiliki fungsi negatif salah
satunya adalah dapat menimbulkan permusuhan bahkan persaingan dikala timbulknya rasa
iri antar kelompok teman sebaya.

2.4.2 Faktor Yang Mempengaruhi Pergaulan Teman Sebaya

Conny R. Semiawan (1999: 165-167) menyatakan faktor-faktor yang mempengaruhi


pergaulan teman sebaya yaitu:

a. Kesamaan usia lebih memungkinkan anak untuk memiliki minatminat dan tema-
tema pembicaraan atau kegiatan yang sama sehingga mendorong terjalinnya
hubungan pertemanan dengan teman sebaya ini;
b. Situasi Faktor situasi berpengaruh di saat berjumlah banyak anak-anak akan
cenderung memilih permainan yang kompetitif dari pada permainan yang
kooperatif;
c. Keakraban Kolaborasi ketika pemecahan masalah lebih baik dan efisien bila
dilakukan oleh anak di antara teman sebaya yang akrab. Keakraban ini juga
mendorong munculnya perilaku yang kondusif bagi terbentukknya persahabatan;
d. Ukuran kelompok Apabila jumlah anak dalam kelompok hanya sedikit, maka
interaksi yang terjadi cenderung lebih baik, lebih kohesif, lebih berfokus, dan
lebih berpengaruh;
e. Perkembangan kognisi Anak yang kemampuan kognisinya meningkat, pergaulan
dengan teman sebayanya juga meningkat.

Anak-anak yang keterampilan kognisinya lebih unggul cenderung tampil sebagai


pemimpin atau anggota kelompok yang memiliki pengaruh dalam kelompoknya, khususnya
ketika kelompok menghadapi persoalan yang perlu dipecahkan. Menurut Hurlock (1997:
158) faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan teman sebaya yaitu:
a. Anak yang dianggap serupa dengan dirinya dan memenuhi kebutuhan. Biasanya
anak cenderung memilih mereka yang berpenampilan menarik sebagai teman
baik karena daya tarik fisik mempengaruhi kesan pertama;
b. Pemilihan teman anak-anak terbatas pada lingkungan yang relatif sempit. Anak
cenderung memilih teman dari kelasnya di sekolah dan yang dipilih adalah teman
yang berjenis kelamin sama;
c. Sifat-sifat kepribadian penting dalam memilih teman. Anak lebih menyukai
teman yang ramah, baik hati, sportif, jujur dan murah hati untuk dijadikan teman
bermain maupun teman baik.

E. Literature Review
Tabel 2. Literature Review

No. Judul Tahun Author Hasil dan Kesimpulan


1. Efektifitas media 2017 Saban Hasil penelitian menunjukan media
video dan leaflet video lebih efektif dibandingkan media
terhadap leaflet terhadap pengetahuan tentang
pengetahuan tentang anemia siswi SMAN 2 ngaglik sleman.
Anemia siswi Perlu upaya peningkatan pengetahuan
SMAN 2 dan pencegahan anemia pada program
Ngaglik sleman UKS terhadap siswi di SMAN 1
Sleman ngaglik sleman bekerja sama dengan
institusi terkait, seperti puskesmas
untuk memberikan penyuluhan tentang
anemia dan pemberian tablet fe pada
remaja putri.

2. Pengaruh 2018 Surjantini & a. Ada pengaruh pendidikan teman


pendidikan teman saragih sebaya (peer education) terhadap
sebaya (peer perilaku remaja putri yang
education) terhadap menderita anemia di madrasah
perilaku remaja stanawiyah islamiyah kota medan
putri yang menderita b. Rata-rata kadar hb subjek
anemia di madrasah meningkat sebesar 2,13 sesudah
stanawiyah diberikan intervensi.
islamiyah c. Rata-rata skor penilaian perilaku
kota medan subjek meningkat sebesar 34,33
sesudah diberikan intervensi.
No. Judul Tahun Author Hasil dan Kesimpulan
3. Gerakan remaja 2017 Wirawati dkk Gerakan remaja setia memberikan hasil
setia (sehat tanpa yang positif dengan bukti dapat
anemia) dapat meningkatkan rata-rata kadar
pencegah anemia hemoglobin pada remaja dengan nilai
pada remaja rata-rata hemoglobin pemeriksaan awal
11.42 dan akhir adalah 15.15, nilai p =
0,019. Intervensi “gerakan remaja
setia” diharapkan dapat diterapkan di
berbagai sekolah dan dimasukkan
dalam program UKS.

4. Pendampingan 2018 Amareta & KKR adalah kader kesehatan sekolah


kader kesehatan ardianto yang berasal peserta didik kelas VII
remaja dalam dan VIII yang telah mendapat
pencegahan anemia pelatihan kader kesehatan remaja.
pada remaja putri Pelibatan siswa sebagai kader bermula
dari pemikiran untuk menjadikan
mereka sebagai subjek pembangunan
kesehatan, sehingga mereka dapat
berperan secara sadar dan bertanggung
jawab dalam pembangunan kesehatan.
KKR dapat terintegrasi dengan UKS.

5. Pencegahan anemia 2019 Chasanah dkk. Kegiatan pengabdian masyarakat


melalui program Ini untuk meningkatkan pengetahuan
“student friendly” siswi agar dapat mencegah anemia
melalui program student friendly
dengan teknik peer education, dan
membentuk kader kesehatan di
sekolah. Kegiatan dilakukan dengan
ceramah, diskusi kelompok, pelatihan
konseling, dan pembentukan program
student friendly. Kegiatan monitoring
dan evaluasi kegiatan dengan
pendekatan one group pretest dan post-
test design.
No. Judul Tahun Author Hasil dan Kesimpulan

6. Effect of health 2009 Shakouri et al. Above results indicate positive effect of
education program educational intervention program base
base on precede on PRECEDE model and main
model in controlling components (predisposing, enabling,
iron-deficiency reinforcing factors) in improving of
anemia among high iron deficiency anemia preventive
school girl students behaviors in the study population.
in talesh

7. Intervention for 2017 Bandyopadhyay After health education intervention,


improvement of et al. knowledge score increased with a
knowledge on medium effect size.
anemia prevention: Health education will play an effective
a school-based role in improving health of adolescents
study in a rural area by increasing knowledge and changing
of west bengal their attitude.

8. Impact of education 2012 Hossein et al. The present study indicated that an
based on precede educational intervention program
model on based on the PRECEDE model and
knowledge, attitude main components (predisposing,
and behavior of enabling, and reinforcing factors) have
grade two guidance a positive effect in improving iron
school girls deficiency anemia preventive
regarding iron behaviors in the study population.
deficiency anemia
(ida) in isfahan, iran

9. Low anemia 2007 Muthayya et al. The current low anemia prevalence in
prevalence in bangalore could be due to the impact
school-aged of school-based intervention programs
children in that have been in place since 2003.
bangalore, south
india: possible effect
of school health
initiatives

10. Effect of nutritional 2013 Morteza et al. The finding shows that education
education based on based on HBM model can affect on
hbm model on students knowledge and attitude
anemia in golestan toward anemia. Therefore we suggest
girl guidance school implementing an educational plan for
students student in large scale about anemia
based on HBM model.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Promosi kesehatan di sekolah merupakan suatu upaya untuk menciptakan sekolah menjadi
suatu komunitas yang mampu meningkatkan derajat kesehatan masyarakat sekolah melalui
3 kegiatan utama :
(a) penciptaan lingkungan sekolah yang sehat
(b) pemeliharaan dan pelayanan di sekolah, dan
(c) upaya pendidikan yang berkesinambungan
Ketiga kegiatan tersebut dikenal dengan istilah TRIAS UKS. Sekolah menyelengarakan
Strategi promosi kesehatan menurut WHO :
a. Advokasi
b. Kerjasama
c. Penguatan kapasitas
d. Penelitian
Program promosi kesehatan Menciptakan lingkungan sekolah yang sehat ( healthful school
living) Lingkungan sekolah yang sehat, mencakup 2 aspek, yakni sosial (non-fisik) dan
fisik.
1. Pendidikan kesehatan ( Health Education )
2. Pemeliharaan Pelayanan Kesehatan disekolah ( Health Service in School)
Beberapa jenis kegiatan yang dapat di lakukan pada Program Promosi Kesehatan Sekolah,
adalah:
o Penyuluhan kelompok di kelas
o Penyuluhan perorangan (penyuluhan antar teman/peer group education)
o Pemutaran film/video
o Penyuluhan dengan media panggung boneka
o Penyuluhan dengan metode demonstrasi, Pemasangan poster, Pembagian leaflet
Promosi kesehatan membantu meningkatkan kesehatan siswa, guru, karyawan
sekitar, sehingga proses belajar mengajar berlangsung lebih produktif

Pada kegiatan ini kelompok mendapatkan data bahwa masih tinggingnya persentase
remaja putri yang mengalami anemi di sekolah. Tingkat asupan zat besi remaja putri
termasuk dalam kelompok kurang jika dibandingkan dengan angka kecukupan gizi dan
jumlah remaja putri yang tidak mengalami anemia dan anemia hampir sama. Dengan
memaksimalkan kegitan promosi kesehatan diharapkan dapat meneka angka kejadian anemia
remaja putrid di sekolah, tentunya kegiatan ini bukan hanya dilakukan oleh pihak sekolah
dan Puskesmas saja, butuh komitmen yang kuat antara remaja putrid dan keluarga.

4.2 Saran

Dalam pendekatan promosi kesehatan perlu adanya hubungan kerja sama


dengan pihak-pihak yang berpengaruh dalam upaya peningkatan kesehatan di sekolah. Perlu
adanya kerjasama yang baik untuk mengintervensi masalahanemia pada remaja putrid
disekolah. Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
promosi kesehatan . Makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu penulis berharap bagi
yang membaca makalah ini bisa memberikan masukan yang membangun.

4.2.1 Bagi Siswi Remaja Putri

1. Memperbaiki pola makan dengan meningkatkan konsumsi pangan lauk hewani dalam
menu sehari. Apabila mengkonsumsi lauk nabati dianjurkan untuk mengimbangi
dengan buah yang mengandung vitamin C.
2. Menghindari minum teh atau susu setelah makan. Apabila ingin minum teh atau susu
diberi jeda minimal 1 jam setelah makan.

4.2.2 Bagi Sekolah

1. Mengadakan kegiatan edukasi kesehatan terutama mengenai gizi dan anemia kepada
seluruh siswa secara rutin dan berkala.
2. Berkoordinasi dengan pihak Puskesmas melalui guru UKS untuk mengadakan
pemeriksaan kadar hemoglobin secara rutin dan berkala maupun pada acara tertentu.
3. Dapat mengembangkan Duta Remaja Putri Tanpa Anemia
4. Melaksanakan kerja sama yang berkesinambungan dengan Puskesmas, orang tua
dalam intervensi anemia pada anak sekolah

4.2.3 Bagi Puskesmas

1. Mengadakan kegiatan edukasi kepada wali murid tentang gizi dan anemia agar wali
murid dapat menyiapkan makanan dengan pola gizi seimbang untuk membantu
putrinya terhindar dari anemia.
2. Memberikan tablet tambah darah bagi siswi yang mengalami anemia.
DAFTAR PUSTAKA

Kementerian Kesehatan RI. 2018. Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia. Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan

Brown JF, Isaacs JS, Krinke UB, Murtaugh MA, Stang J, Wooldridge NH. Nutriton Through
the life cycle. second edition. Thomson Wadsworth. USA. 2004

Suryani D, dkk. 2015. Analisis Pola Makan dan Anemia Gizi Besi pada Remaja Putri Kota
Bengkulu

Singh I, et al. 2014. Prevalence Of Tobacco Habits Among Health Care Students in Jaipur

Wong, D.L. 2008. Buku ajar keperawatan pediatrik Wong (Edisi 6, Vol.1) (Agus Sutarna,
Neti Jurniati, Kuncara., Penerjemah). Jakarta: EGC.

Zaviera, F. 2008. Mengenali dan Memahami Tumbuh Kembang Anak, Yogyakarta: Kata
Hati

Hermien Nugraheni, Sofwan Indarjo, dan Suhat Buku Ajar Promosi Kesehatan Berbasis
Sekolah
Notoatmodjo S. 2003. Ilmu kesehatan masyarakat prinsip - prinsip dasar. Rineka cipta :
Jakarta.

Notoatmodjo S. 2005. Promosi kesehatan teori dan aplikasinya. Rineka cipta : Jakarta.

Notoatmodjo S. 2007. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Rineka cipta : Jakarta.

Notoatmodjo S. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.

Brunner & Suddarth , 2000. Buku Ajar Keperawatan Medikal – Bedah. Terjemahan Suzanne
C. Smeltzer. Edisi 8. Vol 8. Penerbit Buku. Kedokteran EGC

Arisman. 2004. Gizi dalam Daur Kehidupan. Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 180-. 195.

Supariasa, IDN. Penilaian status gizi. Jakarta: EGC; 2002


Tim Pembina Usaha Kesehatan Sekolah Pusat. 2007, Pedoman pembinaan dan
pengembangan usaha kesehatan sekolah. Depdiknas, Jakarta.

Soenarjo R.J. 2002. Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Bandung: PT. Remaja. Rosdakarya.

Mu'rifah dan Hardianto Wibowo. (1991). Pendidikan Kesehatan. Jakarta; Departemen


Pendidikan

Drajat Martianto. (2005). Menjadikan UKS sebagai upaya promosi tumbuh kembang anak
didik. Jakarta

Suliha, U. dkk. 2002. Pendidikan Kesehatan dalam Keperawatan. Jakarta: EGC.

Sunaryo. (2002). Psikologi untuk keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku. Kedokteran EGC.

Abdullah, Idi (2011). Sosiologi Pendidikan Individu, Masyarakat dan Pendidikan. Jakarta:
Rajawali Pers.

Santrock, John W. 2002. Life-span Development : Perkembangan Masa Hidup. Edisi. 5 jilid
2, Jakarta : Erlangga.

Ahzami, Samiun Jali. 2006. Kehidupan dalam Pandangan Al-Quran. Jakarta: Gema Insani
Press.

Mohd Sharani Ahmad (2004) Psikologi kanak-kanak Bentong: PTS Publications &
Distributors Sdn Bhd

Damsar, 2011. Pengantar Sosiologi Ekonomi Edisi Revisi. Jakarta: Kencana.

Slavin Robert E. 2015. Cooperative Learning: Teori, Riset dan Praktik. Bandung: Nusa
Media.

Santoso S. Kesehatan dan Gizi. Jakarta : Rineka Cipta; 2009

Desmita, (2015). Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Rita Eka Izzaty, Dkk. (2008). Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta: UNY Press.

Conny R. Semiawan. 1999. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Depdikbud.

Hurlock,Elizabeth.1997. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang. Rentang


Kehidupan. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kesumasari C. Anemia Gizi Masalah dan Pencegahannya. Jogjakarta: Kalika; 2012.

Depkes [Departemen Kesehatan]. Pedoman Penanggulangan Anemia Gizi untuk Remaja


Putri danWanita Usia Subur. Jakarta: Depkes RI; 2012.
Arisman M. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC; 2008.

Arumsari. Faktor Risiko Anemia Pada Remaja Putri Peserta Program Pencegahan
danPenanggulangan Anemia Gizi Besi di Kota Bekasi. IPB: Bogor; 2008.

Arisman. Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC; 2004.

Sadikin. Biokimia Darah. Jakarta: Widya Medika; 2001.

Almatsier. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama; 2001.

Martini. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian anemia pada remaja putri di MAN
1Metro. Kesehatan Metro Sai Wawai.VIII:1.

Anda mungkin juga menyukai