Anda di halaman 1dari 5

Liger - tigon

Liger jantan Liger betina

Liger merupakan singkatan dari dari nama lion dan tiger, atau dalam bahasa Indonesia
dikenal sebagai Simau (singkatan dari singa dan harimau). Hewan ini merupakan hasil perkawinan
antara singa jantan dan harimau betina. Sedangkan kebalikannya, Tigon merupakan hasil
persilangan antara harimau jantan dan singa betina. Jika seekor singa jantan dikawinkan dengan
seekor liger, maka akan menghasilkan Li-Liger yang lebih dominan seperti singa. Sedangkan jika
seekor harimau jantan dikawinkan dengan seekor liger, maka akan menghasilkan Ti-Liger yang
lebih dominan seperti harimau.

Berbeda dari liger, tigon lebih cenderung mengalami dwarfism (kekerdilan) sehingga
memiliki badan berukuran kecil. Hal ini dikarenakan tigon selalu mewarisi gen penghambat
pertumbuhan dari induk singa betina sehingga berat tigon hanya sekitar 200 kilogram. Perkawinan
harimau dan singa saat ini lebih banyak direkayasa oleh manusia, oleh karena itu liger dan tigon
yang ada saat ini lebih banyak terlahir tidak secara alami dan cenderung tumbuh tidak normal atau
memiliki penyakit sehingga umur mereka lebih pendek.

Liger dan tigon memiliki karakteristik yang hampir sama dengan menurunkan sifat kedua
induknya. Misalnya kebiasaan liger yang suka berenang seperti harimau, dan juga memiliki tubuh
bintik-bintik seperti singa. Berat liger bisa mencapai 400 kilogram dengan ukuran dua kali ukuran
induknya. . Liger biasanya tumbuh lebih besar daripada induknya, tidak seperti tigon yang
cenderung seperti harimau betina. Liger dapat berenang seperti karakteristik yang dimiliki oleh
harimau dan dapat bersosialisasi seperti singa. Liger hanya dapat bertahan di lingkungan tertentu
karena habitat induknya tidak berada di alam liar. Dalam sejarah, ketika Singa Asia mengalami
musim offsping, wilayah dari singa dan harimau saling tumpang tindih.

Melansir dari sains.me, secara umum perkawinan silang ini sering terjadi secara alami,
namun di alam liar keberadaan kedua spesies hibrida ini mulai punah. Oleh karena itu, saat ini
mulai banyak penangkaran satwa liar di dunia mulai mengembangbiakkan spesies ini.
Artikel tentang Liger dan Tigon “Liger (Singa-Harimau) Hasil Rekayasa Genetika Ganggu
Keseimbangan Ekosistem”

Tim penyidik Kepolisian Resor Bogor dan Bidang Konservasi Sumber Daya Alam
Wilayah I Bogor menemukan simau atau peranakan singa-harimau dipelihara di Vila 99
Bojonghonje, Gununggeulis, Sukaraja, Kabupaten Bogor. Namun, keberadaan peranakan hewan
berbeda spesies dengan campur tangan manusia dianggap mengganggu keseimbangan ekosistem
dan melabrak sisi kehewanan makhluk hidup. Demikian diutarakan oleh peneliti dari Fakultas
Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor drh Ligaya Ita Tumbelaka, Rabu (30/10/2013). Di
dunia, simau dikenal dengan nama liger atau lion-tiger yang dihasilkan akibat unsur paksaan
(rekayasa biologi) oleh manusia. Cara menghasilkan simau antara lain menangkarkan singa jantan
dan harimau betina dalam satu kandang sehingga terjadi kawin silang. Cara lain, menyuntikkan
sperma singa jantan pada organ reproduksi harimau betina. "Kemungkinan pembuahan berhasil
sebenarnya amat kecil, dari 20 kali percobaan bisa jadi cuma berhasil sekali," kata Ligaya.

Liger berkarakteristik campuran singa dan harimau. Singa tidak suka berenang dan hidup
berkelompok. Harimau suka berenang, tetapi hidup sendiri. Secara fisik raut wajah Simau (Liger)
berumbai seperti singa. Kulitnya coklat, tetapi ada motif loreng harimau. Liger suka berenang dan
senang berkelompok. Ukuran liger bisa dua kali lipat dibandingkan dengan kedua induk. Namun,
usia hidup liger cuma separuh usia hidup kedua induk. Rata-rata liger hanya bisa hidup sampai 25
tahun. Agak berbeda dari tigon (tiger-lion) atau mausi (harimau-singa) yang dihasilkan dalam
kawin silang antara harimau jantan dan singa betina.

Tigon berkecenderungan mengalami kekerdilan atau lebih kecil dari induk karena
mewarisi gen penghambat pertumbuhan yang terdapat dalam singa betina. Usia hidup tigon juga
separuh dari usia hidup induk. Karena merupakan hasil kawin silang, ada sifat yang tidak
diturunkan induk kepada anak simau maupun tigon, yakni sifat alami berburu. Liger dan Tigon
cenderung manja dan tidak berkemampuan berburu. Bila dilepas ke alam, Liger dan Tigon
diyakini tidak akan bertahan hidup dengan baik.

Pembina Forum Konservasi Satwaliar Indonesia Toni Sumampau mengatakan, dari aspek
konservasi, kawin silang beda spesies harus dipertimbangkan lagi. "Karena mengganggu
keseimbangan ekosistem," katanya. Toni mengatakan, pada 2007, di Bali pernah dibuat percobaan
kawin silang dan menghasilkan lima Liger. Satwa kemudian dipelihara sebagai bahan
pembelajaran bagi manusia bagaimana hewan hasil kawin silang tidak memiliki karakter alami
seperti dalam rantai makanan. Singa dan harimau merupakan hewan pemangsa atau pemburu,
tetapi simau dan mausi kehilangan watak itu.– www.Kompas.com

Liger merupakan hasil rekayasa genetika. Mereka lebih besar dan lebih kuat serta
cenderung lebih sehat dari orang tuanya. Singa dan macan mempunyai 19 kromosom. Itu berarti
ada 19 pasang – dari ayah dan ibunya, sehingga total ada 38 kromosom. Liger hidup sampai remaja
akhir atau sekitar 20 tahun, seperti singa dan harimau yang hidup di penangkaran. Jika ada, liger
cenderung hidup beberapa tahun lebih lama. Ukuran bayi liger sama dengan bayi harimau. Karena
merupakan hasil dari rekayasa genetika, liger cenderung tahan dari penyakit dan punya ciri-ciri
yang dominan antara singa dan harimau. Liger hanya memakan daging yang berkualitas dan
bervitamin, maka dari itu biaya perawatannya sangat mahal. Liger memiliki nafsu makan yang
besar, sebagai salah satu karakteristik hewan hasil rekayasa genetika.

Liger adalah hasil rekayasa genetika yang menyumbangkan ratusan dolar untuk konservasi
harimau dan hewan lain yang terancam punah dengan memberikan wawasan baru tentang hasil
rekayasa genetika. Rekayasa genetika sebenarnya telah lama muncul sejak ribuan tahun yang lalu,
sejak munculnya pertanian dan peternakan. Banyak kebun binatang (AZA) di luar negri telah
menangkarkan Liger dan Tigon seperti The Caribbean Gardens in Naples Florida, the Hogale,
Utah zoo and the Zoo of the Dakotas adalah tiga pemimpin dari AZA yang memamerkan Liger.
AZA bukanlah otoritas kebun binatang tertinggi. AZA merupakan perkumpulan lama dan khusus
untuk menangani kebun binatang di kota yang kuno mengenai cara merawat hewan di kebun
binatang. Liger menarik perhatian semua orang dengan ukuran besarnya dan keindahannya. Liger
merupakan kartu awal bagi banyaknya spesies di dunia yang terancam punah. Secara resmi, ada
100 liger di dunia. Jumlah populasi ini berdasarkan data kebun binatang di dunia, penangkaran
hewan,

Dampak Positif Dikembangbiakkannya Liger :


Dapat mengatasi kepunahan yang akan terjadi pada spesies singa dan harimau dengan ciri fisik
yang mempunyai kelebihan dibandingkan aslinya karena merupakan suatu hasil dari rekayasa
genetika. Misalnya kekeuatan tubuh Liger yang melebihi spesies aslinya seperti tahan terhadap
penyakit dan fisik yang lebih besar. Selain itu dengan adanya rekayasa genetika Liger dan Tigon
dapat memperkaya berbagai jenis spesies yang ada di dunia sehingga pengetahuan manusia
semakin bertambah.

Dampak negatif Dikembangbiakkannya Liger :


Secara teknis, menurut kepercayaan tertentu hal ini dilarang karena sebagai manusia tidak
seharusnya menciptakan makhluk hidup walaupun untuk kepentingan pengetahuan. Sifat alamiah
dari makhluk hidup itu sendiri akan berbeda karena merupakan buatan / rekayasa genetika dengan
yang asli. Selain itu, rekayasa genetika yang gagal dari liger dikhawatirkan memicu kelainan
genetik / cacat.

Dampak Positif dan Negatif Rekayasa Genetika Secara Umum

Dampak Positif
1. Rekayasa transgenik dapat menghasilkan produk lebih banyak dari sumber yang lebih
sedikit.
2. Rekayasa tanaman dapat hidup dalam kondisi lingkungan ekstrem akan memperluas daerah
pertanian dan mengurangi bahaya kelaparan.
3. Makanan dapat direkayasa supaya lebih lezat dan menyehatkan.
4. Tanaman transgenik memiliki kualitas lebih dibanding tanaman konvensional, kandungan
nutrisi lebih tinggi, tahan hama, tahan cuaca, umur pendek, dll; sehingga penanaman
komoditas tersebut dapat memenuhi kebutuhan pangan secara cepat dan menghemat devisa
akibat penghematan pemakaian pestisida atau bahan kimia lain serta tanaman transgenik
produksi lebih baik.

Dampak Negatif
1. Potensi toksisitas bahan pangan
Transfer genetik terjadi di dalam tubuh organisme transgenik akan muncul bahan
kimia baru yang berpotensi menimbulkan pengaruh toksisitas pada bahan pangan. Sebagai
contoh, transfer gen tertentu dari ikan ke dalam tomat, yang tidak pernah berlangsung secara
alami, berpotensi menimbulkan risiko toksisitas yang membahayakan kesehatan. Rekayasa
genetika bahan pangan dikhawatirkan dapat mengintroduksi alergen atau toksin baru yang
semula tidak pernah dijumpai pada bahan pangan konvensional. Kemungkinan timbulnya
risiko yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan terkait dengan akumulasi hasil
metabolisme tanaman, hewan, atau mikroorganisme yang dapat memberikan kontribusi
toksin, alergen, dan bahaya genetik lainnya di dalam pangan manusia.
2. Potensi menimbulkan penyakit/gangguan kesehatan
WHO pada tahun 1996 menyatakan bahwa munculnya berbagai jenis bahan kimia
baru, baik yang terdapat di dalam organisme transgenik maupun produknya, berpotensi
menimbulkan penyakit baru atau pun menjadi faktor pemicu bagi penyakit lain. Sebagai
contoh, gen aad yang terdapat di dalam kapas transgenik dapat berpindah ke bakteri penyebab
kencing nanah (GO), Neisseria gonorrhoeae. Akibatnya, bakteri ini menjadi kebal terhadap
antibiotik streptomisin dan spektinomisin.
Padahal, selama ini hanya dua macam antibiotik itulah yang dapat mematikan bakteri
tersebut. Oleh karena itu, penyakit GO dikhawatirkan tidak dapat diobati lagi dengan adanya
kapas transgenik. Dianjurkan pada wanita penderita GO untuk tidak memakai pembalut dari
bahan kapas transgenik. Contoh lainnya adalah karet transgenik yang diketahui menghasilkan
lateks dengan kadar protein tinggi sehingga apabila digunakan dalam pembuatan sarung
tangan dan kondom, dapat diperoleh kualitas yang sangat baik.
Namun, di Amerika Serikat pada tahun 1999 dilaporkan ada sekitar 20 juta penderita
alergi akibat pemakaian sarung tangan dan kondom dari bahan karet transgenik. Selain pada
manusia, organisme transgenik juga diketahui dapat menimbulkan penyakit pada hewan. A.
Putzai di Inggris pada tahun 1998 melaporkan bahwa tikus percobaan yang diberi pakan
kentang transgenik memperlihatkan gejala kekerdilan dan imunodepresi.
3. Potensi erosi plasma nutfah
Penggunaan tembakau transgenik telah memupus kebanggaan Indonesia akan
tembakau Deli yang telah ditanam sejak tahun 1864. Tidak hanya plasma nutfah tanaman,
plasma nutfah hewan pun mengalami ancaman erosi serupa. Sebagai contoh,
dikembangkannya tanaman transgenik yang mempunyai gen dengan efek pestisida, misalnya
jagung Bt, ternyata dapat menyebabkan kematian larva spesies kupu-kupu raja (Danaus
plexippus) sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan gangguan keseimbangan ekosistem
akibat musnahnya plasma nutfah kupu-kupu tersebut.
Hal ini terjadi karena gen resisten pestisida yang terdapat di dalam jagung Bt dapat
dipindahkan kepada gulma milkweed (Asclepia curassavica) yang berada pada jarak hingga
60 m darinya. Daun gulma ini merupakan pakan bagi larva kupu-kupu raja sehingga larva
kupu-kupu raja yang memakan daun gulma milkweed yang telah kemasukan gen resisten
pestisida tersebut akan mengalami kematian. Dengan demikian, telah terjadi kematian
organisme nontarget, yang cepat atau lambat dapat memberikan ancaman bagi eksistensi
plasma nutfahnya.
4. Potensi pergeseran gen
Daun tanaman tomat transgenik yang resisten terhadap serangga Lepidoptera setelah
10 tahun ternyata mempunyai akar yang dapat mematikan mikroorganisme dan organisme
tanah, misalnya cacing tanah. Tanaman tomat transgenik ini dikatakan telah mengalami
pergeseran gen karena semula hanya mematikan Lepidoptera tetapi kemudian dapat juga
mematikan organisme lainnya. Pergeseran gen pada tanaman tomat transgenik semacam ini
dapat mengakibatkan perubahan struktur dan tekstur tanah di areal pertanamannya.
5. Potensi pergeserean ekologi
Organisme transgenik dapat pula mengalami pergeseran ekologi. Organisme yang
pada mulanya tidak tahan terhadap suhu tinggi, asam atau garam, serta tidak dapat memecah
selulosa atau lignin, setelah direkayasa berubah menjadi tahan terhadap faktor-faktor
lingkungan tersebut. Pergeseran ekologi organisme transgenik dapat menimbulkan gangguan
lingkungan yang dikenal sebagai gangguan adaptasi.

Anda mungkin juga menyukai