Anda di halaman 1dari 12

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Swelling Volume
Menurut Murillo et al. (2008), swelling volume (daya kembang) berkaitan
dengan kemampuan pati mengembang dalam air. Proses gelatinisasi dapat
mengakibatkan pecahnya amilosa sehingga meningkatkan kemampuan granula
mengembang dalam air. Air yang berasal dari proses pemanasan akan mengisi
rongga-rongga amilosa dan menyebabkan granula mengembang. Kadar amilosa
yang tinggi menyebabkan nilai pengembangan volume juga tinggi.
Kelarutan pati terjadi disebabkan adanya ikatan – ikatan non kovalen antara
molekul pati. Kelarutan pati semakin tinggi dengan meningkatnya suhu serta
kecepatan peningkatan kelarutan khas untuk tiap pati. Kelarutan menunjukkan
karakteristik sifat kelarutan pati setelah dilakukan pemanasan. Pada proses
gelatinisasi, air yang ada dalam suspensi pati akan masuk ke daerah amorphous
yang terdiri dari molekul pati amilosa. Proses masuknya air dalam granula pati
ini menyebabkan granula menjadi membengkak sehingga diameter granula pati
bertambah besar. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan granula
pati pecah sehingga air yang terdapat dalam granula pati dan molekul pati yang
terlarut air dengan mudah keluar masuk ke dalam sistem larutan. Molekul pati
yang larut dalam air panas (amilosa) akan ikut keluar bersama air tersebut
sehingga terjadi leaching amilosa (Chen et al, 2003).
Kelarutan dan swelling volume merupakan dua hal yang berkaitan dan
terjadi pada saat gelatinisasi. Menurut Hoover dan Hadziyev (1981) dalam
Ratyanake et al. (2002) ketika sejumlah pati dipanaskan dalam jumlah air yang
berlebih, struktur kristalinnya menjadi terganggu sehingga menyebabkan
kerusakan pada ikatan hidrogen dan molekul hidrogen keluar dari grup
hidroksil amilosa dan amilopektin. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan
swelling. Pemanasan yang terus berlangsung akan menyebabkan granula pati
pecah sehingga air yang terdapat dalam granula pati dan molekul pati yang larut
air dengan mudah keluar dan masuk ke dalam sistem larutan (Baah, 2009).
Praktikum kali ini menguji swelling volume dari berbagai jenis tepung dan
pati baik yang sudah dimodifikasi maupun belum. Tepung dan pati yang
digunakan adalah tepung dan pati beras, ubi kayu, singkong dan beras.
Modifikasi yang digunakan adalah HMT, MHT dan Annealing. Pengujian
kelarutan bertujuan untuk mengetahui kemampuan bahan untuk melarut dalam
air. Semakin tinggi nilai kelarutan suatu bahan, maka semakin mudah bahan
tersebut melarut dalam air. Sedangkan nilai swelling power menunjukkan
kemampuan bahan untuk mengembang dalam air. Semakin tinggi nilai swelling
power-nya, maka semakin tinggi pula kemampuan bahan untuk mengembang
dalam air.
Prosedur dalam menguji swelling volume dan kelarutan adalah pertama,
sampel diambil sebanyak 0,35 gram kemudian ditambahkan 12,5 ml akuades.
Secara umum mekanisme swelling volume adalah ketika pati dipanaskan dalam
air yang berlebih, ikatan hidrogen yang berperan menstabilkan struktur pati,
menjadi putus, dan digantikan oleh ikatan hidrogen pada air, sehingga granula
pati menjadi mengembang atau volumenya meningkat, dan pati menjadi lebih
mudah larut atau kelarutannya tinggi. Lalu, sampel dimasukkan ke vortex selama
30 detik sebelum disimpan di waterbath selama setengah jam dengan suhu 80 oC.
Hal ini berguna agar larutan bisa homogen. Selesai dari waterbath, sampel
didinginkan selama 1 menit dan kemudian dipindahkan ke tabung sentrifugasi
untuk disentrifugasi pada 3500 RPM sampai homogen, Penggunaan sentrifugasi
ditujukan agar supernatan bisa diambil dan diamati. Supernatan diambil
kemudian diamati volumenya. Supernatan lalu dipindahkan ke cawan kosong
yang telah ditimbang. Cawan berisi supernatan tersebut dipanaskan selama 24
jam di suhu 110oC. Pemanasan berfungsi untuk mengeringkan supernatan karena
berat pengeringan supernatan menunjukkan jumlah pati. Supernatan digunakan
untuk menghitung swelling power dari pati sedangkan filtratnya digunakan untuk
menganalisis solubility. Berikut ini adalah hasil swelling volume dan kelarutan.
Tabel 1. Swelling Volume dan Kelarutan Pati
Sampel SV Kelarutan
Ubi Kayu HMT 10 31.140%
Pisang HMT 5,714 0.860%
Beras HMT 7,428 9.142%
Ubi Kayu MHT 13,14 3.714%
Pisang MHT 8,286 10.286%
Beras MHT 11,889 6.000%
Ubi Kayu ANN 12,571 18.857%
Pisang ANN 9,428 21.142%
Beras ANN 6,28 6.570%
Ubi kayu Native 10,29 4.570%
Sampel SV Kelarutan
Pisang Native 6,57 23.140%
Beras Native 7,43 2.290%
(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)
Berdasarkan hasil pengamatan di atas, pati ubi kayu alami adalah 10,29
g/g. Sedangkan, menurut literatur, yakni pati ubi kayu menurut Pinasthi (2011)
memiliki nilai swelling volume sebesar 14,91 g/g. Berdasarkan hasil pengamatan,
kelarutan pati ubi kayu alami adalah 4,57% sedangkan menurut Pinasthi (2011),
kelarutan pati singkong alami adalah 9,66%. Pati ubi kayu MHT berdasarkan
pengamatan memiliki nilai SV 13,14 g/g sesdangkan menurut Pinasthi (2011)
memiliki swelling volume sebesar 14,73 g/g, Pati singkong modifikasi HMT
menurut Reputra (2009) memiliki nilai swelling volume sebesar 17,75 g/g,
sedangkan hasil pengamatan menunjukkan nilai swelling volume sebesar 10 g/g.
Pati modifikasi annealing mengalami kenaikan swelling volume dari pati tanpa
modifikasi menjadi 12,571 g/g. Perbedaan nilai ini dapat terjadi karena adanya
perbedaan perlakuan atau proses dalam menganalisis swelling volume pada pati
ubi kayu dan atau karena perbedaan pati yang dipakai. Selain itu juga diketahui
bahwa peningkatan swelling volume pada pati akibat pemanasan suspensi pati
pada suhu yang semakin tinggi disebabkan kadar amilosa yang semakin rendah
atau amilopektin dalam pati lebih tinggi. Amilopektin berada pada daerah amorf
granula pati. RHood, (1982) dalam Haryadi (2006) menyatakan bahwa daerah
amorf merupakan daerah yang renggang dan kurang padat, sehingga mudah
dimasuki air. Bagian amorf merupakan bagian yang lebih mudah menyerap air.
Semakin banyak amilopektin pada pati, maka daerah amorf akan semakin luas,
sehingga penyerapan air akan semakin besar.
Menurut Astuti (2009) swelling volume dan kelarutan beras adalah 18,86
g/g dan 11,42%. Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan, pati beras alami
memiliki nilai swelling volume dan kelarutan setinggi 7,43 g/g dan 2.290%. Pati
beras annealing memiliki swelling volume dan kelarutan setinggi 6,28 g/g dan
6.570%, pati beras HMT 7,428 g/g dan 9.142% serta pati beras MHT sebesar
11,889 g/g dan 6.000%. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pati beras
memiliki kelarutan dan swelling volume yang lebih rendah setelah dimodifikasi.
Menurut Wiriani (2015), pati pisang alami memiliki kelarutan 14,57% dan pati
pisang HMT memiliki kelarutan 8,13%.
Hasil pengamatan pati pisang jauh lebih rendah dibandingkan literatur.
Selain itu, pisang HMT juga memiliki kelarutan yang lebih rendah dibandingkan
pisang alami. Menurut Rahman (2007), lebih rendahnya nilai kelarutan dan
swelling volume setelah mengalami modifikasi disebabkan pati alami telah
mengalami pemanasan yang berulang-ulang sehingga menyebabkan terjadinya
pemutusan ikatan hidrogen pada rantai linier dan berkurangnya daerah amorf
yang mudah dimasuki oleh air, daerah amorf merupakan suatu daerah yang
renggang dan kurang padat, sehingga mudah dimasuki oleh air. Namun, pada pati
termodifikasi daerah amorf telah berkurang akibat terjadinya pemutusan ikatan
hidrogen sehingga kelarutan pati termodifikasi lebih rendah dibandingkan dengan
pati alami. Selain itu menurut Miyoshi (2001) pati yang dimodifikasi HMT
mengalami perubahan susunan struktur dan kristalisasi. Perubahan ini
kemungkinan menyebabkan pembentukan ikatan hidrogen antara air yang berada
di luar granula dengan molekul pati baik amilosa maupun amilopektin menjadi
lebih sulit, sehingga kemampuan granula untuk membengkak menjadi terbatas.
Menurut literatur, seharusnya semakin tinggi nilai kelarutan, maka akan
semakin tinggi pula nilai swelling power-nya. Menurut Leach (1965), plot kurva
hubungan antara swelling power terhadap persen kelarutan pada berbagai macam
pati hampir dapat ditarik sebuah garis lurus yang menunjukkan betapa eratnya
keterkaitan di antara kedua sifat tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa
dari hasil pengamatan tidak sesuai dengan literatur.
Menurut Jading et al. (2011), swelling power pada pati dipengaruhi oleh
daya serap air. Semakin besar daya serap air menyebabkan swelling power
meningkat. Kong et al. (2009) menyatakan bahwa swelling power pati tergantung
pada komponen amilosanya. Hasil penelitian Yuliasih et al. (2007) juga
menyatakan bahwa komponen pati mempengaruhi kemampuan penyerapan air
dan daya pengembangan pati. Selain itu, kelarutan pati akan meningkat dengan
meningkatnya suhu dan kecepatan peningkatan kelarutan adalah khas untuk tiap
pati (Pomeranz, 1991).
Rahman (2007) melaporkan bahwa korelasi positif terjadi antara amilosa
dengan kelarutan pati. Hal ini juga dilaporkan oleh Li dan Yeh (2001), bahwa
kelarutan meningkat seiring dengan peningkatan suhu untuk semua jenis pati.
Semakin tinggi suhu pemanasan maka ikatan hidrogen antar molekul semakin
lemah, sehingga molekul amilosa semakin banyak lepas dari granula dan larut
dalam suspensi pati.
Yuliasih et al. (2007) menyebutkan bahwa kelarutan pati yang semakin
meningkat akibat pemanasan suspensi pati yang semakin tinggi disebabkan
amilosa telah mengalami depolimerisasi. Suhu tinggi menyebabkan terjadinya
depolimerisasi molekul pati. Hal tersebut menyebabkan molekul amilosa yang
dihasilkan lebih sederhana, yaitu terdapat rantai lurus yang pendek sehingga
sangat mudah larut dalam air. Amilosa merupakan komponen pati yang
mempunyai rantai lurus dan larut dalam air (Ben et al., 2007).

4.2 Kekuatan Gel


Kekuatan gel dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu pengukuran kekerasan
gel dan daya pecah gel. Kekerasan gel merupakan besarnya beban untuk
melakukan deformasi gel sebelum terjadi 41 pemecahan gel atau kerusakan gel.
Semakin besar kekerasan gel, maka gel semakin sulit melakukan deformasi.
Daya pecah gel merupakan batas elastisitas gel atau besarnya daya tahan gel
terhadap deformasi (Elliason, 1986).
Pada praktikum ini hanya dilakukan pengukuran kekuatan gel dalam hal
kekerasan saja karena produk bubur gel ini bukanlah berbentuk gel seperti agar-
agar. Pertama, sampel sebanyak 4 gram dimauskkan ke dalam beaker glass.
Kemudian, ditambahkan 10 ml aquades sebelum akhirnya disimpan di waterbath
dengan suhu 95oC selama 30 menit. Setelah dikeluarkan dari waterbath, sampel
didinginkan di suhu 4oC selama 30 detik dan disimpan di suhu ruang selama 24
jam. Lalu, sampel diamati dengan TPA atau Texture Profile Analysis.
Texture Profile Analysis (TPA) merupakan bentuk penilaian obyektif dari
analisis tekstur secara sensori. Pada TPA, probe akan melakukan kompresi
sebanyak dua kali terhadap sampel. Hal ini dapat dianalogikan sebagai gerakan
mulut pada saat mengunyah / menggigit makanan. Oleh karena itu, TPA disebut
juga sebagai ”two-bite test.” Larmond (1976) menyatakan bahwa analisis
menggunakan TPA merupakan analasis yang multipoint karena hanya dengan
sekali analisis akan didapatkan nilai dari beberapa parameter tekstur. Parameter
tekstur yang dapat diukur menggunakan TPA yaitu hardness, fracturability,
springiness, cohesiveness, adhesiveness, gumminess, chewiness, dan resilience.
Nilai dari beberapa parameter tekstur dapat langsung ditentukan dari grafik yang
dihasilkan. Namun terdapat pula beberapa parameter yang nilainya bergantung
pada parameter lain. Parameter tersebut yaitu gumminess dan chewiness.
Gumminess berkaitan dengan nilai hardness dan cohesiveness sedangkan
chewiness selain berkaitan dengan kedua parameter tersebut juga dipengaruhi
oleh nilai springiness.
Gambar 1. Grafik TPA Tepung

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)

Gambar 2. Grafik TPA Pati

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2019)


Sedangkan berdasarkan hasil pengamatan untuk pati beras annealing
memiliki kekuatan gel yang lebih tinggi daripada pati beras annealing, dimana
hal ini didukung oleh pernyataan Chung et al. (2000), yaitu bahwa perlakuan
modifikasi annealing dapat meningkatkan kekuatan gel pati. Pati beras HMT
lebih besar kekuatan gelnya daripada pati beras annealing, dimana hal ini sesuai
dengan literatur beberapa penelitian lain yaitu perlakuan HMT dapat
meningkatkan kekuatan gel pada pati beras (Hormdok., et.al, 2007; Klein, et.al,
2013).
Meski begitu, berdasarkan hasil pengamatan tepung, tepung beras yang
memiliki kekuatan gel paling rendah adalah tepung beras MHT sedangkan tepung
beras dengan kekuatan gel tertinggi adalah tepung beras alami. Hal ini
menunjukkan ketidaksesuaian dengan literatur yang telah disebutkan
sebelumnya.
Pati pisang alami memiliki kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan
kekuatan gel pati pisang termodifikasi lainnya. Sedangkan tepung pisang MHT
memiliki kekuatan gel yang paling rendah dan tepung pisang annealing memiliki
kekuatan gel yang tertinggi. Sandhu dan Singh (2007) mengatakan bahwa
besarnya nilai kekuatan gel ini berhubungan dengan besarnya nilai setback yang
menunjukkan kemampuan pati untuk beretrogradasi dan sineresis. Semakin
tinggi nilai setback, menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk
membentuk gel.
Pati singkong dengan kekuatan gel terendah dipegang oleh pati singkong
annealing, lalu diikuti oleh pati singkong alami, HMT kemudian MHT. Penelitian
Klein et al. (2013) menyebutkan bahwa perlakuan HMT juga dapat
meningkatkan kekuatan gel pada pati singkong.Berbeda dengan tepung singkong,
dimana tepung singkong HMT memiliki kekuatan gel yang terendah. Penurunan
kekuatan gel ini dapat disebabkan oleh penurunan viskositas setback, dimana
semakin rendah nilai setback maka menunjukkan semakin rendah pula
kecenderungan untuk membentuk gel.
Menurut Choi dan Kerr (2003), tekstur gel dipengaruhi oleh amilosa serta
volume dan perubahan bentuk granula. Gel pati merupakan sistem padat-cair
yang memiliki jaringan yang saling berhubungan dimana fase cair terjebak di
dalam fase padatan. Molekul amilosa bebas dapat membentuk ikatan hidrogen
tidak hanya dengan molekul amilosa lainnya tetapi juga dengan rantai cabang
amilopektin dari granula yang mengembang sehingga menjadi bagian jaringan
padat yang saling berhubungan. Keberadaan amilosa dalam fase ini
menyebabkan gel menjadi kuat. Semakin tinggi nilai viskositas akhir, semakin
kuat gel yang dihasilkan.
Nilai kekuatan gel juga dipengaruhi oleh rendahnya solubility dan swelling
volume pati. Dimana semakin rendah solubility dan swelling volume pati,
menunjukkan semakin tinggi pula kecenderungan untuk membentuk gel (Chung,
et.al, 2000; Eliasson, 2004).
Pengamatan di atas menunjukkan bahwa modifikasi tepung dan pati bisa
merubah kekuatan gel secara signifikan. Peningkatan nilai kekuatan gel ini
dikarenakan teraturnya kembali (rearrangement) molekul-molekul dalam granula
pati yang akan berikatan semakin kuat selama proses modifikasi. Secara teori
menurut (Hoover & Vasanthan, 1994; Collado & Corke, 1999) peningkatan
leaching amilosa akan meningkatkan kekuatan gel. Dikutip oleh Miyoshi (2001),
HMT dapat meningkatkan rekristalisasi komponen molekul amilosa yang
mengalami leaching sehingga kekuatan gel akan meningkat.
V. PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah:
- Semakin tinggi nilai kelarutan, maka akan semakin tinggi pula nilai swelling
power-nya
- Pati beras annealing memiliki swelling volume terendah, sedangkan pati beras
MHT memiliki swelling volume tertinggi
- Pati beras alami memiliki kelarutan terendah, sedangkan pati beras HMT
memiliki swelling volume tertinggi
- Pati singkong HMT memiliki swelling volume terendah, sedangkan pati
singkong MHT memiliki swelling volume tertinggi
- Pati singkong HMT memiliki kelarutan terendah, sedangkan pati singkong
MHT memiliki swelling volume tertinggi
- Pati pisang annealing memiliki swelling volume tertinggi, sedangkan pati beras
HMT memiliki swelling volume terendah
- Pati pisang alami memiliki kelarutan tertinggi, sedangkan pati beras HMT
memiliki swelling volume terendah
- Semakin tinggi kekuatan gel, semakin rendah kelarutan dan swelling volume
- Modifikasi pati dan tepung mempengaruhi nilai kekuatan gel

5.2. Saran
Sebaiknya lebih hati - hati dalam menjalani prosedur dan menghitung
karena dapat mempengaruhi hasil akhir.
DAFTAR PUSTAKA
Baah, D.F. 2009. Characterization of Water Yam (Dioscorea atalata) for Existing
and Potensial Food Products. Thesis. Faculty of Biosciences Kwame
Nkrumah University, Nigeria.
Chen Z, Schols HA, Voragen AGJ. 2003. Physicochemical properties of starches
obtained from three different varieties of Chinese sweet potatoes. J Food Sci
68:431-437.
Choi, S. G., and Kerr, W. L. 2003. Water mobility and textural properties of
native and hydroxypropylated wheat starch gels. Carbohydrate Polymers,
51, 1–8.
Chung, K. M., Moon, T. W., and Chun, L. K. 2000. Influence of annealing on gel
properties of mung bean starch. Cereal Chemistry, 77, 567–571.
Collado, L.S., L.B. Mabesa, C.G. Oates & H. Corke. 2001. Bihon-types noodles
from heat mouisture treated Sweet potato starch. Journal of Food Science
66: 604-609
Eliasson, A. C. 2004. Starch in Food : Structure, Function, and Application. CRC
Press. North America
Erpiyana Astuti F34104085. Karakterisasi Tepung Beras Menir Pragelatinisasi
Dan Perubahan Mutunya Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan Ir.
Sugiarto, MSi. dan Dr. Ir. Indah Yuliasih, MSi. 2009.
Gutkosko, L.C, and Dias, A.R.G. 2013. Effect of single and dual heat–moisture
treatments on properties ofrice, cassava, and pinhao starches. Carbohydrate
Polymers 98, 1578– 1584
Haryadi. 2006. Teknologi Pengolahan Beras. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Hoover, R dan Hadziyev, D. 1981. Characterization of Potato Starch and Its
Monoglyceride Complexes.Starch/Starke. 33, 290-300.
Hormdok, R., & Noomhorm, A. 2007. Hydrothermal treatments of rice starchfor
improvement of rice noodle quality. LWT-Food Science and Technology,
40,1723–1731
Hoover, R.A. & T. Vasanthan. 1994. Effect of heat moisture treatment on
structure and physicochemical properties of cereal, legume, and tuber
starches. Carbohydrate Research 252: 33-53.
Jading, A., Tethool, E., Payung, P. dan Gultom, S. 201). Karakteristik fi sikokimia
pati sagu hasil pengeringan secara fl uidisasi menggunakan alat pengering
cross fl ow fl uidized bed bertenaga surya dan biomassa. Reaktor 13(3): 155-
164.
Klein, B., Pinto, V.Z., Vanier, N.L.., Zavareze., E.R., Colussi., R., Evangelho,
J.A.,
Kong, X., Bao, J. dan Corke H. 2009. Physical properties of Amaranthus starch.
Food Chemistry 113: 371-376.
Larmond, E. 1976. The Texture Profile di dalam Rheology and Texture in Food
Quality. J. M. DeMan, P. W. Voisey., V. F. Rasper., dan D. W. Stanley (eds.).
The AVI Publishing Company Inc., Westport, Connecticut.
Leach, M. W. 1965. Gelatinization of starch. Di dalam. Whistler, R. L., J. N.
BeMiller dan E. F. Paschall (Ed). 1984. Starch Chemistry and Technology.
Academic Press Inc, Orlando, Florida.
Miyoshi E. 2001. Effects of heat-moisture treatment and lipids on gelatinization
and retrogradation of maize and potato starches. Cereal Chem 79(1):72-77.
Murillo, C.E.C., Wang, Y.J., and Perez, L.A.B. 2008. Morphological,
Physicochemical
and Structural Characteristics of Oxidized Barley and Corn Starches.
Starch/Stärke Vol. 60, 634-645.
Pinasthi, W. 2011. Pengaruh Modifikasi Heat Moisture Treatment (HMT) dengan
Radiasi Microwave terhadap Karakteristik Fisikokimia dan Fungsional
Tapioka dan Maizena (Skripsi). Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Rahman, A. M. 2007. Mempejalari karakteristik kimia dan fisik tepung tapioka
dan mocal (modified cassava flour) sebagai penyalut kacang pada Produk
kacang Salut.Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institusi Pertanian
Bogor, Bogor.
Reputra, J. 2009. Karakterisasi Tapioka dan Penentuan Formulasi Premis sebagai
Bahan Penyalut untuk Produk Fried Snack (Skripsi). Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sandhu, K. S., and Singh, N. 2007. Some properties of corn starches II:
physicochemical, gelatinization, retrogradation, pasting and gel textural
properties. Food Chemistry, 101, 1499–1507
Wiriani, D., Rusmarilin, H. dan Yusraini, E. 2015. Karakteristik Fisikokimia Dan
Fungsional Pati Pisang Dan Pati Kentang Hasil Heat Moisture Treatment
(HMT) Dan Pengaruhnya Terhadap Sifat Fisik Dan Sensori Bihun
Instan Pati Kentang. USU, Medan.
Yuliasih, I., Irawadi, T.T., Sailah, I., Pranamuda, H., Setyowati K. dan Sunarti,
T.C. 2007. Pengaruh proses fraksinasi pati sagu terhadap karakteristik fraksi
amilosanya. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 17(1): 29-36.

Anda mungkin juga menyukai