Anda di halaman 1dari 31

PARADIGMA PENDIDIKAN KARAKTER DI INDONESIA

Makalah
“Disusun untuk Memenuhi Salah Tugas Kelompok Mata Kuliah
Manajemen Pendidikan Bidang Studi”

Dosen:

Dr. Suharyanto, M.Pd

Disusun Oleh :
Fauzi Hamzah
Ujang Maman
Ofa Faturrohman

PROGRAM MAGISTER MANAJEMEN PENDIDIKAN


UNIVERSITAS ISLAM NUSANTARA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dewasa ini kita berada pada era global. Arus globalisasi membawa dampak
terhadap karakter bangsa dan masyarakatnya. Globalisasi memunculkan pergeseran
nilai, nilai lama semakin meredup, yang digeser dengan nilai-nilai baru yang belum
tentu pas dengan nilai-nilai kehidupan di masyarakat. Globalisasi, selain berdampak
pada pergeseran nilai, juga berdampak pada pendidikan sebuah bangsa.
Kita semua menyadari bahwa pendidikan sesungguhnya bukan sekedar
transfer ilmu pengetahuan melainkan sekaligus juga transfer nilai. Untuk itu,
penanaman nilai-nilai budaya dan karakter bangsa dalam pendidikan merupakan
pilar penyangga demi tegaknya pendidikan di Indonesia.
Oleh karena itu, persoalan budaya dan karakter bangsa tersebut kini menjadi
sorotan tajam masyarakat di berbagai aspek kehidupan, baik di keluarga, sekolah
dan masyarakat. Untuk itulah sangat diperlukan adanya pendidikan karakter di
Indonesia.
Pemerintah memiliki kesungguhan nyata dalam mewujudkan generasi muda
Indonesia yang berkualitas. Hal itu, setidaknya ditunjukkan dengan adanya upaya
serius, sistematis dan berkelanjutan mengenai reformasi pendidikan di Indonesia.
Salah satu wujud nyata dari reformasi pendidikan di Indonesia, yaitu melakukan
agenda pengembangan kurikulum berkelanjutan, sesuai dengan kebutuhan dan
tantangan zaman.
Di awal Pemerintahan Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla, digulirkan
pemberlakuan Kurikulum Nasional, yang merupakan bagian penting dan strategis
dalam pengembangan pendidikan berkelanjutan dari Kurikulum 2013. Selaras
dengan visi revolusi mental, Kurikulum Nasional menekankan aspek pendidikan
karakter. Bahkan, di tahun 2017 dikeluarkan Peraturan presiden tentang Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK).
Adhyaksa Dault (2008:xi) menegaskan bahwa pembangunan karakter bangsa
merupakan bagian penting dalam rangka pembangunan bangsa secara keseluruhan.
Ketidakmampuan kita mengatasi berbagai persoalan yang muncul menyusul krisis
ekonomi dunia, satu decade lalu, antara lain disebabkan karena kita memiliki
persaoalan watak atau karakter, seperti rendahnya etos kerja, kurangnya rasa
tanggungjawab, serta dangkalnya moralitas.
Realitas sosial yang tampak dalam dekade terakhir, memunculkan sebuah
kekhawatiran kolektif bagi bangsa Indonesia. Hal mencolok misalnya, pengaruh
dari penggunaan gadget atau teknologi informasi dan komunikasi menyebabkan
karakter budaya atau mental generasi muda Indonesai rapuh. Terbiasa dengan
membuat berita hoax, kurang bertanggungjawab dalam membagi pesan berantai
(media sosial), maupun juga kerap memproduksi informasi yang tidak
kebenarannya. Kebiasaan dan karakter ini, selain melemahkan kesetiakawanan,
kebersamaan dan kegotongroyongan, juga menunjukkan integritas generasi muda
Indonesia yang rendah.
Kemudian, di lain tempat, budaya hidup modern, seperti hedonisme,
pergaulan bebas, kriminalitas, narkoba, tindak pidana korupsi dan kelakuan
budaya-budaya yang tidak selaras dengan budaya Timur atau ke-Indonesia, makin
kentara. Karakter ini, selain menyebabkan devaluasi budaya bangsa, juga
mengancam disintegrasi bangsa Indonesia.
Kekhawatiran kolektif terhadap masalah itulah, yang kemudian menuntun
Pemerintah secara sadar dan sistematis, untuk mengembangkan model Pendidikan
Karakter atau lebih tepatnya penguatan pendidikan karakter terhadap seluruh
elemen bangsa Indonesia, melalui jalur pendidikan yang ada di negeri kita.
Dalam kaitan ini, Marzuki memberikan pandangan :
Membangun karakter bangsa membutuhkan waktu yang lama dan harus
dilakukan secara berkesinambungan. Karakter yang melekat pada bangsa kita
akhir-akhir ini bukan begitu saja terjadi secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui
proses yang panjang. Potret kekerasan, kebrutalan, dan ketidakjujuran anak-
anak bangsa yang ditampilkan oleh media baik cetak maupun elektronik
sekarang ini sudah melewati proses panjang. Budaya seperti itu tidak hanya
melanda rakyat umum yang kurang pendidikan, tetapi sudah sampai pada
masyarakat yang terdidik, seperti pelajar dan mahasiswa, bahkan juga
melanda para elite bangsa ini.
Secara teoritik, pendidikan karakter itu dimaksudkan untuk membangun
kepribadian peserta didik, yang akan menjadi warga negara. Karakter Bangsa
adalah salah satu isu yang melekat pada antropologi (Saifudin – Karim, 2008:3),
psikologi (Zuhdi, 2008:71), dan pendidikan umum. Dalam Kurikulum Pendidikan,
jika karakter diartikan dengan kepribadian, maka tugas dan tanggungjawab
pendidikan karakter ini lebih dekat dengan mata pelajaran agama dan akhlak mulia,
serta Pendidikan Kewarganegaraan dan Kepribadian.
Dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017, dinyatakan bahwa
tujuan dari Penguatan Pendidikan Karakter adalah :
a. Membangun dan membekali Peserta Didik sebagai generasi emas Indonesia
Tahun 2045 dengan jiwa Pancasila dan pendidikan karakter yang baik guna
menghadapi dinamika perubahan di masa depan;
b. Mengembangkan platform pendidikan nasional yang meletakkan pendidikan
karakter sebagai jiwa utama dalam penyelenggaraan pendidikan bagi Peserta
Didik dengan dukungan pelibatan publik yang dilakukan melalui pendidikan
jalur formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan keberagaman
budaya Indonesia; dan
c. Merevitalisasi dan memperkuat potensi dan kompetensi pendidik, tenaga
kependidikan, Peserta Didik, masyarakat, dan lingkungan keluarga dalam
mengimplementasikan PPK.

Untuk kebutuhan hal itu, maka setiap lembaga pendidikan, baik pendidikan
formal, maupun informal, mulai dari jenjang pendidikan dasar sampai pada
pendidikan tinggi, memiliki kewajiban untuk menerapkan pendidikan karakter.
Secara praktis dan operasional, setiap satuan pendidikan memiliki lingkungan
sosial dan lingkungan pendidikan yang berbeda. Satuan pendidikan di kota akan
berbeda dengan lingkungan pendidikan di pedesaan. Kemudian satuan pendidikan
keagamaan akan memiliki karakter khusus dibandingkan dengan pendidikan
nasional, termasuk dalam konteks ini yaitu pendidikan madrasah. Sehubungan hal
itu, makalah ini dimaksudkan untuk menggali infomasi mengenai implementasi
pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di sekolah khususnya madrasah.

B. Rumusan Masalah
Merujuk pada latar belakang masalah itu, tampak bahwa pendidikan karakter
itu, merupakan satu kebutuhan dasar bagi sebuah bangsa. Bangsa yang besar,
adalah bangsa yang mampu menjaga karakter kebangsaannya. Modal sosial ini
penting dan berguna, untuk menjaga kesinambungan bangsa dan negara dimaksud.
Dalam Perpres itu sendiri, “PPK dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai
Pancasila dalam pendidikan karakter terutama meliputi nilai-nilai religius, jujur,
toleran, disiplin, bekerja keras, kreatit mandiri, demokratis, rasa ingin tahu,
semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta
damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggungiawab.”
Sehubungan hal itu, penulis bermaksud untuk melakukan kajian intensif
terkait implementasi pedidikan karakter dalam konteks pendidikan di sekolah.
Rumusan masalah yang diajukan :
1) Bagaimana makna atau hakikat pendidikan karakter dalam konteks
penunjangan terhadap tujuan pendidikan di sekolah?
2) Bagaimana pengembangan pendidikan karakter di Indonesia?
3) Implementasi pengembangan pendidikan karakter pada tingkat pendidikan di
sekolah/madrasah.
Melalui tiga rumusan masalah itu, diharapkan mampu menggali dan
merumuskan (konstruksi) peran pendidikan karakter dalam kontek pendidikan
sekolah di Indonesia.

C. Tujuan
Seiring selaras dengan rumusan masalah tersebut, tujuan penulisan makalah
ini adalah untuk menggali gambaran mengenai penerapan pendidikan karakter di
Indonesia dalam konteks pendidikan madrasah. Hal ini dirasa perlu dilakukan,
terkait dengan perlunya pengembangan kurikulum ke dalam konteks satuan
pendidikan yang ada di seluruh Tanah Air Indonesia.
Adapun tujuan tujuan secara khusus yaitu :
1) Menggali makna atau hakikat pendidikan karakter dalam konteks penunjangan
terhadap tujuan pendidikan di sekolah.
2) Memaparkan Pengembangan kurikulum berbasis karakter
3) Memaparkan tentang implementasi pengembangan kurikulum berbasis karakter
pada tingkat pendidikan di sekolah/madrasah.

D. Manfaat
Dengan rumusan tujuan itu, diharapkan makalah ini, bisa dimanfaatkan
sebagai dokumen akademik atau makalah pembanding bagi setiap pemangku
kebijakan pendidikan di satuan pendidikan khususnya dan pemerintahan pada
umumnya, dalam menerapkan pengembangan kurikulum ke dalam konteks satuan
pendidikan.

BAB II
LANDASAN TEORI

A. Makna atau Hakikat Paradigma Pendidikan Karakter


Sebelum memahami jauh tentang penerapan pendidikan karakter kita harus
memahami terlebih dahulu tentang hakikat atau makna dari pendidikan karakter itu
sendiri.
1. Pengertian Paradigma Pendidikan Karakter

Paradigma berasal dari kata itu sendiri yang merupakan kata pinjaman
dari bahasa Latin pada 1483, yang berarti bahwa paradigma model atau pola;
Paradeigma Yunani (yang+deiknunai) yang berati “membandingkan”,
“berdampingan” (para) dan show (deik). Sedangkan menurut Patton (1975),
paradigma diartikan sebagai pandangan dunia, sebuah sudut pandang umum,
atau cara untuk menguraikan kompleksitas dunia nyata. Secara umum,
paradigma bisa diartikan sebagai suatu konsep termasuk nilai, nilai atau
metode yang disepakati oleh sekelompok masyarakat dalam memahami dan
mempersepsi segala sesuatu.
Paradigma adalah kumpulan tata nilai yang membentuk pola pikir
seseorang sebagai titik tolak pandangannya sehingga akan membentuk citra
subjektif seseorang mengenai realita dan akhirnya akan menentukan
bagaimana seseorang menanggapi realita itu.
Dari segi etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani
“Paedagogike”. Terdiri dari kata “PAES” yang berarti “anak” dan kata “Ago”
yang artinya “aku membimbing”. Jadi Paedagogike berarti aku membimbing
anak. Orang yang pekerjaannya membimbing anak dan membawanya ke
tempat belajar dalam bahasa Yunani disebut Paedagogos. Secara umum,
pendidikan adalah usaha terencana yang meliputi pembelajaran, pengetahuan,
keterampilan dan kebiasaan sekelompok orang yang diturunkan dari satu
generasi ke generasi berikutnya melalui pengajaran, pelatihan atau penelitian.
Karakater berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark atau
menandai dan memfokuskan bagaimana mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan
dalam bentuk tindakah atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur,
kejam, rakus, dan perilaku jelek lainnya dikatakan orang berkarakter jelek.
Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah moral disebut orang
berkarakter mulia. Secara etimologis, kata karakter bisa bearti sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang. Karakter
identik dengan kepribadian atau akhlak. Sedangkan Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (2008:623), karakter adalah sifat-sifat kejiwaan; akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak.
Pendidikan karakter tersusun dari dua kata yaitu kata pendidikan dan
karakter. Banyak para ahli yang mengemukakan arti dari pendidikan salah
satunya Prof. Sofyan Sauri dalam salah satu blognya mengungkapkan bahwa
:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Menurut Koesoema mengartikan pendidikan sebagai proses
internalisasi budaya ke dalam diri individu dan masyarakat menjadi
beradab. Ada pula yang mendefinisikan pendidikan sebagai proses
dimana sebuah bangsa mempersiapkan generasi mudanya untuk
menjalankan kehidupan, dan untuk memenuhi tujuan hidup secara efektif
dan efisien.
Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional dalam Pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar anak didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Uraian di atas menjelaskan tentang pengertian dari pendidikan,
selanjutnya agar kita memahami pengertian dari pendidikan karakter maka
kita harus mengetahui terlebih dahulu pengertian dari karakter. Karakter
berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to engrave atau
mengukir. Berbeda dengan Wynne (1991) yang menyebutkan bahwa karakter
berasal dari bahasa Yunani yang berarti to mark (menandai) dan
memfokuskan pada bagaimana menerapkan nilai-nilai kebaikan dalam
tindakan nyata atau perilaku sehari-hari (E.Mulyasa, 2018:3).
Sutarjo Adisusilo, dengan mengutip pendapat F.W. Foerster
menyebutkan bahwa karakter adalah sesuatu yang mengualifikasi seorang
pribadi. Karakter menjadi identitas, menjadi ciri, menjadi sifat yang
tetap, yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Jadi
karakter adalah seperangkat nilai yang telah menjadi kebiasaan hidup
sehingga menjadi sifat tetap dalam diri seseorang, misalnya
kerja keras, pantang menyerah, jujur, sederhana, dan lain-lain.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ‘karakter’ diartikan sebagai
tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dangan yang lain, dan watak. Dirjen Pendidikan Agama Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia (2010) mengemukakan bahwa
karakter dapat diartikan sebagai totalitas ciri-ciri pribadi yang melekat dan
dapat diidentifikasi pada perilaku individu yang bersifat unik, dalam arti
secara khusus ciri-ciri ini membedakan antara satu individu dengan yang
lainnya (E.Mulyasa, 2018:4). Dari pernyataan ini dapat dikatakan bahwa
karakter erat kaitannya dengan kepribadian seseorang.
Berdasarkan definisi yang telah disebutkan terdapat perbedaan sudut
pandang yang menyebabkan perbedaan pada pendefinisiannya. namun
demikian, jika melihat esensi dari definisi-definisi tersebut ada terdapat
kesamaan bahwa karakter itu mengenai sesuatu yang ada dalam diri
seseorang, yang membuat orang tersebut disifati.
Mengacu pada berbagai pengertian dan definisi tentang
pendidikan dan karakter secara sederhana dapat diartikan bahwa
pendidikan karakter adalah upaya sadar yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang (pendidik) untuk menginternalisasikan nilai-nilai
karakter pada seseorang yang lain (peserta didik) sebagai pencerahan
agar peserta didik mengetahui, berfikir dan bertindak secara bermoral
dalam menghadapi setiap situasi. Banyak para ahli yang mengemukakan
pendapatnya tentang pendidikan karakter, diantaranya Lickona yang
mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya yang sungguh-
sungguh untuk membantu seseorang memahami, peduli dan bertindak
dengan landasan nilai-nilai etis.
Pendidikan Karakter menurut Koesoema adalah diberikannya
tempat bagi kebebasan individu dalam mennghayati nilai-nilai yang
dianggap sebagai baik, luhur, dan layak diperjuangkan sebagai
pedoman bertingkah laku bagi kehidupan pribadi berhadapan dengan
dirinya, sesama dan Tuhan.
Dalam bukunya Prof. Dr. E. Mulyasa menjelaskan bahwa
pendidikan karakter merupakan upaya untuk membantu perkembangan jiwa
anak-anak baik lahir maupun batin, dari sifat kodratinya menuju kearah
peradaban yang manusiawi dan lebih baik. Selaras dengan apa yang
dikemukakan oleh Islam, Prof. Dr. Sofyan Sauri menjelaskan bahwa
pendidikan karakter atau pendidikan akhlak adalah inti dari semua jenid
pendidikan karena ia mengarahkan terciptanya perilaku lahir dan batin
manusia sehinga menjadi manusia yang seimbang dalam arti terhadap
dirinya maupun terhadap luaran dirinya.
Pendidikan karakter menurut Lickona mengandung tiga unsur
pokok, yaitu mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai
kebaikan (desiring the good), dan melakukan kebaikan (doing the good).
Thomas Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami
seseorang dalam merespons situasi secara bermoral yang
dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik,
jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia
lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh
Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau
kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona
menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan
dengan indah: knowing, loving, and acting the good. Menurutnya
keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter
yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan atas
karakter baik itu.
Pendidikan karakter menurut Lkin dan Sweet(2004), Pendidikan
Karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk membantu orang
memahami, peduli, dan bertindak berdasarkan nilai-nilai etika inti. Jadi,
pendidikan karakter adalah usaha manusia dalam bentuk bimbingan, contoh
dan praktik untuk membentuk pola pikir atau persepsi peserta didik terhadap
suatu realita yang terjadi.
Adapun 18 nilai-nilai dalam pendidikan karakter menurut Diknas
adalah:
1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru
dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan
kewajiban dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih
mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan
didengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan
kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya.
12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komunikatif
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain.
14. Cinta Damai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain.
15. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain
dan masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan
kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan
Yang Maha Esa.
Menurut Ramli, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna
yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya
adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik,
warga masyarakat yang baik dan warga Negara yang baik. Adapun
kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik , dan warga
Negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum
adalah nilai-nilai sosial tertentu yang banyak dipengaruhi oleh budaya
masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat pendidikan
karakter dalam konteks pendidikan Indonesia adalah pendidikan nilai,
yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa
Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter adalah proses menanamkan karakter tertentu
sekaligus memberi benih agar peserta didik mampu menumbuhkan
karakter khasnya pada saat menjalankan kehidupan. Dengan kata lain,
peserta didik tidak hanya memahami pendidikan sebagai bentuk
pengetahuan, namun juga menjadikan sebagai bagian dari hidup dan
secara sadar hidup berdasarkan pada nilai tersebut.

2. Tujuan Pendidikan Karakter


Rumusan tujuan pendidikan nasional yang terdapat pada UUSPN
No.20 tahun 2003 Bab 2 pasal 3:
Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk
berkembangnya potensi anak didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dengan kecerdasan emosi, seseorang akan dapat berhasil dalam


menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk
berhasil secara akademis. Hal ini sesuai dengan
Pendidikan karakter pada tingkat satuan pendidikan mengarah pada
pembentukan budaya sekolah/madrasah, yaitu nilai-nilai yang melandasi
perilaku, tradisi, kebiasaan sehari-hari, serta simbol-simbol yang
dipraktikan oleh semua warga sekolah/madrasah, dan masyarakat
sekitarnya. Budaya sekolah/madrasah merupakan ciri khas, karakter atau
watak, dan citra sekolah/madrasah tersebut di mata masyarakat luas
(E.Mulyasa,2018 : 9). Selaras dengan pendapat dari Prof E. Mulyasa,
menurut Prof. Dr. Sofyan Sauri mengungkapkan sebagai institusi sosial,
sekolah memiliki peranan dan fungsi tersendiri. Sekolah membimbing dan
mengarahkan siswa untuk mengenal, memahami, dan mengaktualisasipola
hidup yang berlaku dalam masyarakat .
Sedangkan dari segi pendidikan, pendidikan karakter bertujuan untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang
mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia
peserta didik secara utuh, terpadu dan seimbang.

B. Pengembangan Kurikulum Berbasis Karakter


Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh dalam peringatan Hardiknas
di Jakarta, menekankan pentingnya pendidikan karakter sebagai bagian dari upaya
membangun karakter bangsa. Selaras dengan pernyataan Menteri pendidikan
tersebut dalam bukunya Prof. Dr. Sofyan Sauri mengungkapkan bahwa :
Pendidikan yang hanya berbasis pada ranah kognitif tidak akan mampu
membangun generasi bangsa yang berkarakter. Selain itu rumusan definisi
pendidikan,pendidikan nasional dan tujuan pendidikan nasional yang
ditegaskan dalam UU Sisdiknas, selalu selalu menegaskan secara tersurat
tentang kekuatan spiritual keagamaan, nilai-nilai keagamaan, akhlak mulia,
serta iman dan takwa. Hal tersebut mengandung makna bahwa sesungguhnya
core value pembangunan pendidikan nasional harus bermuara kepada nilai-
nilai trasendental.

Dari pernyataan tersebut dapat dikatakan bahwa pendidikan karakter sangatlah


penting karena merupakan tujuan dari pendidikan nasional. Salah satu cara untuk
mewujudkan pendidkan berbasis karakter tersebut adalah dengan melakukan
pengembangan kurikulum, yang sebelumnya lebih menekankan sisi kognitif
menjadi kurikulum berbasis karakter.
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengembangan kurikulum berbasis
karakter sebaiknya kita mengulas dahulu tentang model-model pengembangan
kurikulum. Terdapat beberapa model pengembangan kurikulum yang telah di
kembangkan oleh para ahli, yaitu :
a. Robert S Zais
Zais menjelaskan tiga model pengembangan kurikulum yaitu Model
Administrative, Model Akar Rumput (grass roots), dan Model Demonstrasi.
1. Model Administratif
Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang paling
awal dan sangat umum. Dalam model administrative terdapat garis
model dari atas ke bawah (top-down) yang artinya bahwa inisiatif
pengembangan kurikulum berasal dari pejabat tinggi, lalu secara
structural dilaksanakan ditingkat bawah.
Cara kerja Model Administratif:
 Atasan membentuk tim yang terdiri atas pejabat teras yang
berwenang
 Tim merencanakan konsep rumusan tujuan umum dan rumusan
falsafah
 Dibentuk beberapa kelompok kerja yang terdiri dari guru-guru dan
spesialis kurikulum untuk mermuskan tujuan kurikulum yang
spesifik, menyusun materi, kegiatan pembelajaran, dan system
penilaian
 Hasil kerja kemudian direvisi oleh tim atas dasar pengalaman atau
hasil dari try out
 Setelah kurikulum direvisi kemudian baru dapat diimplementasikan
Kekurangan dari model ini ada pada kurangnya dampak perubahan
kurikulum, karena hasil kegiatannya dilaksanakan dari atas tanpa
memperhatikan bawahan.
2. Model Akar Rumput ( Grass-Roots)
Berbeda dengan model Administratif, inisiatif pada model akar rumput
ini berada pada staf pengajar yang sebagai pelaksana pada suatu sekolah
atau pada beberapa sekolah sekaligus. Didasarkan bada pandangan
bahwa implementasi kurikulum akan lebih berhasil jika staf pengajar
sebagai pelaksana sudah sejak semula diikutsertkan dalam
pengembangan kurikulum dan pengmbangan kurikulum bukan hanya
melibatkan personel yang professional saja, namun melibatkan juga
peran siswa, orang tua, dan anggota masyarakat.
Prinsip-prinsip pada Model Grass-Roots:
 Kurikulum akan bertambah baik jika kemampuan professional guru
bertambah baik,
 Kompetensi guru akan berambah baik jika guru terlibat secara
pribadi di dalam merevisi kurikulum,
 Hasil pengembangan kurikulum akan lebih bermakna jika guru
terlibat dalam merumuskan tujuan yang ingin dicapai, menyeleksi,
mendefinisikan dan memecahkan masalah, dan mengevalusi hasil,
3. Model Demonstration
Dalam model demonstarsi, sejumlah guru dalam satu sekolah dituntut
untuk mengorganisasikan dirinya dalam memperbaharui kurikulum
dalam bentuk organisasi yang terstruktur ataupun bekerja sendiri-
sendiri. Dalam model ini, pembaharuan kurikulum dilaksanakan dalam
suatu skala kecil dahulu yang kemudian diadopsikan kepada pengajar
lainya. Yang diutamakan dalam model ini adalah pemberian contoh dan
teladan yang baik dengan harapan agar yang didemonstrasikan akan
disebarluaskan oleh guru/sekolah lain.
4. Model Terbalik Hilda Taba
Model ini dimulai dengan melaksanakan eksperimen, diteorikan
kemudian diimplementasikan, dengan maksud untuk menyesuaikan
antara teori dan praktik, serta menghilangkan sifat keumuman dan
keabstrakkan kurikulum, maka ada kegiatan eksperimental. Langkah
yang ditempuh dalam model ini adalah :
 Sejumlah staf pengajar menghasilkan unit-unit kurikulum yang akan
di eksperimenkan terlebih dahulu,
 Unit-unit kurikulum tadi diujicobakan,
 Merevisi serta mengkonsultaikan hasil uji coba,
 Mengembangkan kerangka kerja teoritis,
 Mengimplementasikan hasil yang telah diperoleh.
5. Model Oliva
Menurut Olivia, model perkembangan kurikulum terdiri dari tiga
kriteria, yaitu : simple, komprehensif dan sistematis. Model
perkembangan kurikulum dari Oliva 1976 mempunyai 6 komponen
yaitu :
 Statement of philosophy
 Statement of goals
 Statement of objectives
 Design of plan
 Implementation
 Evaluation
6. Model Tyler
Model ini merupakan model yang paling dikenal bagi perkembangan
kurikulum dengan perhatian khusus pada fase perencanaan. Walaupun
Tyler mengajukan model pengembangan kurikulum secara
komprehensif tetapi bagian pertama dari modelnya (seleksi tujuan)
menerima sambutan yang hangat dari para educator.
Ada beberapa langkah pengembangan kurikulum yang diambil oleh
model ini, yaitu :
 Perencanaan kurikulum agar mengidentifikasikan tujuan umum
dengan mengumpulkan data dari tiga sumber, yaitu : kebutuhan
peserta didik, masyarakat dan subject matter,
 Mereview dengan cara menyaring melalui dua saringan, yaitu
filosofi pendidikan dan psikologi belajar,
 Menyeleksi pengalaman belajar yang menunjang pencapaian tujuan,
 Mengorganisasikan pengalaman kedalam unit-unit dan
menggambarkan berbagai prosedur evaluasi,
 Mengarahkan dan menguatkan pengalaman-pengalaman belajar dan
mengkaitkannya dengan evaluasi terhadap keefektifan perencanaan
dan pelaksanaan,
 Evaluasi pengalaman belajar.
Berdasarkan model-model pengembangan kurikulum menurut para ahli di
atas, menurut Prof. E. Mulyasa pengembangan kurikulum pendidikan karakter di
sekolah/madrasah dapat dilakukan dalam 5 model sebagai berikut :
1. Model subjek matter dalam bentuk mata pelajaran sendiri
Model ini memposisikan pendidikan karakter sebagai sebuah mata pelajaran
tersendiri yang memiliki rumusan yang jelas mengenai standar isi, standar
kompetensi dan kompetensi dasar,silabus, RPP, bahan ajar, prosedur dan
evaluasi pendidikan karakter di sekolah/madrasah.
2. Model korelasi dalam mata pelajaran sejenis
Dalam model ini pendidikan karakter diintegrasikan dengan mata pelajaran
sejenis karena setiap kelompok mata pelajaran memiliki tujuan dalam
membentuk karakter positif peserta didik. Pendidikan karakter menjadi
tanggung jawab guru pada kelompok mata pelajaran tertentu.
3. Model terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran
Model ini berasumsi bahwa guru adalah pendidik karakter, sehingga model
ini mengintegrasikan pendidika karakter dengan seluruh mata pelajaran.
4. Model suplemen
Pendidikan karakter pada model ini dilakukan diluar jam sekolah yaitu
melalui kegiatan ekstrakurikuler atau melalui kemitraan dengan lembaga lain
yang memiliki kapabilitas pembinaan karakter.
5. Model gabungan
Model ini menggabungkan beberapa model sebelumnya. Pada model ini
selain diposisikan sebagai mata pelajaran secara otonom, pendidikan karakter
dipahami sebagai tanggung jawab sekolah/madrasah bukan guru mata
pelajaran saja. Dengan demikian tanggung jawab sekolah/madrasah, sehingga
sekolah/madrasah memiliki misi pembentukan karakter.
C. Paradigma Baru Pendidikan Karakter
Di masa lalu, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang ramah,
menjunjung tinggi tata krama, sopan santun, budi pekerti luhur, gotong royong dan
kekeluargaan. Namun, masyarakat Indonesia saat ini sudah jauh berbeda
keadaannya. Perbedaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, masyarakat Indonesia saat ini sudah berubah dari kehidupan
masyarakat budaya agraris kepada masyarakat budaya industrialis dan informasi,
atau masyarakat budaya kota. Pada masyarakat budaya kota ini ditandai oleh hal-
hal berikut:
a. Orientasi kehidupan ke masa depan;
b. Lebih bersifat rasional, pragmatis dan hedonistik;
c. Sangat menghargai waktu;
d. Bekerja dengan penuh perhitungan dan perencanaan yang cermat;
e. Komunikasi banyak bertumpu pada penggunaan peralatan teknologi
komunikasi;
f. Kurang memiliki waktu untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah;
g. Mengikuti budaya pop atau sesuatu yang sedang tenar;
h. Profesional dalam bekerja
i. Cenderung individualistik
j. Cenderung mengikuti budaya barat yang hedonistik, materialistik dan
pragmatis.
Keadaan masyarakat yang demikian itu telah mempengaruhi cara pandang
atau paradigma dalam memperlakukannya. Metode dan pendekatan dalam
membentuk karakter masyarakat urban seperti itu jauh berbeda dengan metode dan
pendekatan dalam membentuk karakter masyarakat agraris sebagaimana tersebut di
atas.
Kedua, masyarakat Indonesia saat ini sudah semakin kritis, ingin
diperlakukan secara adil, demokratis, egaliter, manusiawi. Keadaan ini selain
dipengaruhi oleh perkembangan global, yakni perjuangan menegakan HAM, juga
oleh perubahan budaya politik yang terjadi di era reformasi pada kurun waktu 10
tahun terakhir, yakni perubahan dari sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi
sistem pemerintahan yang desentralistik, dan dari keadaan masyarakat yang
tertutup dan terkekang menjadi masyarakat yang terbuka dan bebas. Keadaan ini
telah merubah paradigma dalam memberikan pelayanan pada masyarakat, termasuk
memberikan pelayanan pada pendidikan.
Ketiga, masyarakat Indonesia saat ini sudah banyak yang terpengaruh oleh
budaya global (budaya barat) yang cenderung hedonistik, materialistik, pragmatis
dan sekularistik. Dalam masyarakat yang demikian itu, nilai-nilai moral, akhlak
mulia, spritual dan transendental semakin terabaikan dan terpinggirkan. Berbagai
keputusan dan tindakan yang diputuskan masyarakat saat ini banyak didasarkan
pada pertimbangan nilai-nilai hedonistik, materialistik, pragmatis dan sekularistik.
Hal ini dapat dilihat dari cara mereka menentukan pilihan lembaga pendidikan bagi
putera-puterinya, yaitu lembaga pendidikan yang menjanjikan masa depan ekonomi
yang lebih baik.
Dengan mengemukakan tiga hal diatas, dapat diketahui bahwa masyarakat telah
berubah. Yakni dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industrialis, informatis
dan urban. Selain itu, masyarakat Indonesia juga sudah dipengaruhi tuntutan
penegakan HAM, corak pemerintahan yang desentralistik, perilaku yang bebas
tanpa terkendali, serta peralatan teknologi informasi.

D. Implementasi Pengembangan Pendidikan Karakter di Indonesia


Pada umumnya pendidikan karakter menekankan pada keteladanan,
penciptaan lingkungan, dan pembiasaan melalui berbagai tugas keilmuan dan
kegiatan kondusif. Engan demikian apa yang dilihat, didengar, dirasakan dan
dikerjakan oleh peserta didik dapat membentuk karakter mereka. Selain menjadikan
keteladanan dan pembiasaan sebagai metode pendidikan utama, penciptaan iklim
dan budaya serta lingkungan yang kondusif juga sangat penting, dan turut
membentuk karakter peserta didik (E.Mulyasa, 2018:9).
Berkaitan dengan pendidikan karakter ini, Character Education Quality
Standars merekomendasikan 11 prinsip untuk mewujudkan pendidikan karakter
yang efektif sebagai berikut :
1. Mempromosikan nilai-nilai dasar etika sebagai basis karakter;
2. Mengidentifkasi karakter secara komprehensif supaya mencakup pemikiran,
perasaan, dan perilaku;
3. Menggunakan pendektan yang tajam, proaktif dan efektif untuk membangun
karakter;
4. Menciptakan komunitas sekolah yang memiliki kepedulian;
5. Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukan perilaku yang
baik;
6. Memiliki cakupan terhadap kurikulum yang bermakna menantang
menghargai peserta didik, membangun karakter mereka dan membantu
mereka untuk sukses;
7. Mengusahakan tumbuhnya motivasi diri dari para peserta didik;
8. Memfungsikan seluruh staf sekolah/madrasah sebagai komunitas moral yang
berbagi tanggungjawab untuk pendidikan karakter dan setia kepada nilai yang
sama;
9. Adanya pembagian kepemimpinan moral dan dukungan luas dalam
membangun inisiatif pendidikan karakter;
10. Memfungsikan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam usaha
membangun karakter;
11. Mengevaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai guru-guru
karakter, dan manifestasi karakter positif dalam kehidupan peserta didik.
BAB III
PEMBAHASAN

Seperti yang telah tertuang pada bab sebelumnya pengertian dan definisi
tentang pendidikan dan karakter secara sederhana dapat diartikan bahwa
pendidikan karakter adalah upaya sadar yang dilakukan seseorang atau
sekelompok orang (pendidik) untuk menginternalisasikan nilai-nilai karakter
pada seseorang yang lain (peserta didik) sebagai pencerahan agar peserta didik
mengetahui, berfikir dan bertindak secara bermoral dalam menghadapi setiap
situasi. Banyak para ahli yang mengemukakan pendapatnya tentang
pendidikan karakter, diantaranya Lickona yang mendefinisikan pendidikan
karakter sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk membantu seseorang
memahami, peduli dan bertindak dengan landasan nilai-nilai etis. Dapat dikatakan
bahwa esensi dari pendidikan karakter yaitu mengenai sesuatu yang ada dalam
diri seseorang, yang membuat orang tersebut disifati.
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi dari pendidikan moral,
karena pendidikan karakter tidak hanya berkaitan dengan masalah karena benar-
salah, akan tetapi bagaimana menananmkan kebiasaan tentang hal-hal yang baik
dalam kehidupan, sehingga peserta didik memiliki kesadaran, dan pemahaman
yang tinggi, serta kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebijakan dalam
kehidupan sehari-hari. Agar pendidikan berbasis karakter ini menjadi kebiasaan
maka perlu dilakukan penanaman yang berkesinambungan sehingga peserta didik
menjadi terlatih dan menjadi terbiasa dan kebiasaan.
Dalam uraian sebelumnya dijelaskan ada 18 nilai karakter menurut Diknas
yaitu sebagai berikut :
1. Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun
dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang
yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi
Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,
pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4. Disiplin
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras
Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai
ketentuan dan peraturan.
6. Kreatif
Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru
dari sesuatu yang telah dimiliki.
7. Mandiri
Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8. Demokratis
Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban
dirinya dan orang lain.
9. Rasa Ingin Tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam
dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
10. Semangat Kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan
bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
12. Menghargai Prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/Komunikatif
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain.
14. Cinta Damai
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu
yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati
keberhasilan orang lain.
15. Gemar Membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang
memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada
lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk
memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial
Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan
masyarakat yang membutuhkan.
18. Tanggung Jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya,
yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan
(alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa.
Nilai-nilai pendidikan karakter yang dapat dihayati diantaranya religius,
nasionalis, cerdas, tanggung jawab, disiplin, mandiri, jujur, dan arif, hormat
dan santun, dermawan, suka menolong, gotong- royong, percaya diri, kerja
keras, tangguh, kreatif, kepemimpinan, demokratis, rendah hati, toleransi,
solidaritas dan peduli.
Ada sembilan pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur
universal, yaitu :
1. Karakter cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
2. Kemandirian dan tanggung jawab
3. Kejujuran/amanah, diplomatis
4. Hormat dan santun
5. Dermawan, suka tolong menolong dan gotong royong/kerjasama
6. percaya diri dan pekerja keras
7. Kepemimpinan dan keadilan
8. Baik dan rendah hati
9. Karakter toleransi, kedamaian, dan kesatuan.
Kesembilan karakter itu, perlu ditanamkan dalam pendidikan holistik
dengan menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting
the good. Hal tersebut diperlukan agar anak mampu memahami,
merasakan/mencintai dan sekaligus melaksanakan nilai-nilai kebajikan. Bisa
dimengerti, jika penyebab ketidakmampuan seseorang untuk berperilaku baik,
walaupun secara kognitif anak mengetahui, karena anak tidak terlatih atau
terjadi pembiasaan untuk melakukan kebajikan.
Pendidikan karakter pada tingkat satuan pendidikan mengarah pada
pembentukan budaya sekolah/madrasah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku,
tradisi, kebiasaan sehari-hari, serta simbol-simbol yang dipraktikan oleh semua
warga sekolah/madrasah, dan masyarakat sekitarnya. Budaya sekolah/madrasah
merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah/madrasah tersebut di
mata masyarakat luas (E.Mulyasa,2018 : 9). Selaras dengan pendapat dari Prof E.
Mulyasa, menurut Prof. Dr. Sofyan Sauri mengungkapkan sebagai institusi sosial,
sekolah memiliki peranan dan fungsi tersendiri. Sekolah membimbing dan
mengarahkan siswa untuk mengenal, memahami, dan mengaktualisasipola hidup
yang berlaku dalam masyarakat .
Pada dasarnya Pendidikan karakter bertujuan untuk meningkatkan
mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu,
dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Penyelenggaraan
pendidikan karakter menjadi satu hal yang multlak dilakukan di jenjang
pendidikan manapun, khususnya di jenjang pendidikan dasar. Hal ini sangat
beralasan karena pendidikan dasar adalah pondasi utama bagi tumbuh
kembang generasi muda Indonesia.
Melalui pendidikan karakter diharapkan peserta didik mampu secara
mandiri meningkatkan dan menggunakan pengetahuannya, mengkaji dan
menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai karakter dan akhlak
mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Melalui pendidikan karakter, seorang anak akan menjadi cerdas, tidak
hanya otaknya namun juga cerdas secara emosi. Kecerdasan emosi adalah bekal
terpenting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan. Dengan
kecerdasan emosi, seseorang akan dapat berhasil dalam menghadapi segala
macam tantangan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Dari uraian di atas jelaslah pendidikan karakter sangatlah penting dan mesti
diterapkan pada pendidikan di tingkat sekolah/madrasah melalui pengembangan
kurikulum berbasis karakter. Adapun langkah-langkah pengembangan kurikulum
berbasis karakter sebagai berikut :
1. Mengidentifikasikan dan menganalisis/memetakan berbagai permasalahan
yang berkaitan dengan pendidikan karakter;
2. Menentukan standar-standar perilaku berkarakter;
3. Menentukan kompetensi–kompetensi dasar perilaku berkarakter yang
diperlukan untuk mencapai kompetensi standar-kompetensi standar yang
telah ditetapkan;
4. Menjabarkan standar-standar perilaku yang telah ditetapkan ke dalam aspek-
aspek atau indikator pendidikan karakter yang lebih terukur.
5. Mengembangkan bahan ajar pendidikan karakter;
6. Menentukan Strategi pelaksanaan pendidikan karakter;
7. Mengembangkan instrumen evaluasi pendidikan untuk mengukur
ketercapaian program pendidikan karakter.
Sedangkan pengembangan kurikulum berbasis karakter menurut Prof. E.
Mulyasa dapat dilakukan melalui 5 model sebagai berikut :
1. Model subjek matter dalam bentuk mata pelajaran sendiri
Model ini memposisikan pendidikan karakter sebagai sebuah mata pelajaran
tersendiri yang memiliki rumusan yang jelas mengenai standar isi, standar
kompetensi dan kompetensi dasar,silabus, RPP, bahan ajar, prosedur dan
evaluasi pendidikan karakter di sekolah/madrasah.
2. Model korelasi dalam mata pelajaran sejenis
Dalam model ini pendidikan karakter diintegrasikan dengan mata pelajaran
sejenis karena setiap kelompok mata pelajaran memiliki tujuan dalam
membentuk karakter positif peserta didik. Pendidikan karakter menjadi
tanggung jawab guru pada kelompok mata pelajaran tertentu.
3. Model terintegrasi dalam seluruh mata pelajaran
Model ini berasumsi bahwa guru adalah pendidik karakter, sehingga model
ini mengintegrasikan pendidika karakter dengan seluruh mata pelajaran.
4. Model suplemen
Pendidikan karakter pada model ini dilakukan diluar jam sekolah yaitu
melalui kegiatan ekstrakurikuler atau melalui kemitraan dengan lembaga
lain yang memiliki kapabilitas pembinaan karakter.
5. Model gabungan
Model ini menggabungkan beberapa model sebelumnya. Pada model ini
selain diposisikan sebagai mata pelajaran secara otonom, pendidikan
karakter dipahami sebagai tanggung jawab sekolah/madrasah bukan guru
mata pelajaran saja. Dengan demikian tanggung jawab sekolah/madrasah,
sehingga sekolah/madrasah memiliki misi pembentukan karakter.
Sri Narwanti, dengan mengutip pendapat Anis Matta menyebutkan ada
beberapa kaidah pembentukan karakter dalam membentuk karakter muslim, yaitu
sebagai berikut:

a. Kaidah kebertahapan
Proses pembentukan dan pengembangan karakter harus dilakukan secara
bertahap. Orang tidak bisa dituntut untuk berubah sesuai yang diinginkan
secara tiba-tiba dan instan. Namun, ada tahap-tahap yang harus dilalui
dengan sabar dan tidak terburu-buru. Orientasi kegiatan ini adalah pada
proses bukan pada hasil.
b. Kaidah kesinambungan
Seberapapun kecilnya porsi latihan yang terpenting adalah kesinambungan.
Proses yang berkesinambungan inilah yang nantinya membentuk rasa dan
warna berpikir seseorang lama-lama akan menjadi kebiasaan dan seterusnya
menjadi karakter pribadi yang jelas.
c. Kaidah momentum
Penggunaan berbagai momentum peristiwa untuk fungsi pendidikan dan
latihan. Misalnya bulan Ramadhan untuk mengembangkan sifat sabar,
kemauan yang kuat, kedermawanan, dan seterusnya.

d. Kaidah motivasi intrinsic


Karakter yang kuat akan terbentuk sempurna jika dorongan yang
menyertainya benar-benar lahir dari dalam diri sendiri. Jadi, proses
“merasakan sendiri”, “melakukan sendiri” adalah hal penting. Hal ini sesuai
dengan kaidah umum bahwa mencoba sesuatu akan berbeda hasilnya antara
yang dilakukan sendiri dengan yang hanya dilihat atau diperdengarkan saja.
Pendidikan harus menanamkan motivasi atau keinginan yang kuat dan lurus
serta melibatkan aksi fisik yang nyata.
e. Kaidah pembimbingan
Pembentukan karakter ini tidak bisa dilakukan tanpa seorang guru dan
pembimbing. Kedudukan seorang guru atau pembimbing ini adalah untuk
memantau dan mengevaluasi perkembangan sesorang. Guru atau
pembimbing juga berfungsi sebagai unsur perekat, tempat “curhat” dan
sarana tukar pikiran bagi muridnya.
Implementasi pendidikan berbasis karakter di sekolah/madrasah emberikan
kewenangan kepada daerah dan sekolah untuk mengembangkan kurikulum
pendidikan karakter, terutama dalam mengidentifikasi karakter, dan
mengembangkan silabus sesuai dengan kebutuhan daerah, kebutuhan dan
karakteristik peserta didik. Dengan demikian pembelajaran yang dilakukan akan
memberikan makna (meaningfull learning) bagi setiap peserta didik dalam
mengembangkan potensinya masing-masing. Adapun langkah-langkah
Implementasi Pendidikan Karakter dalam Kurikulum Sekolah sebagai berikut :
1. Mengkaji deskripsikan kompetensi dasar tiap mata pelajaran;
2. Mengidentifikasi aspek-aspek atau materi-materi pendidikan karakter yang
akan diintegrasikan ke mata pelajaran;
3. Mengintegrasikan butir-butir pendidikan karakter ke dalam kompetensi dasar
(materi pelajaran) yang dipandang relevan atau ada kaitannya;
4. Melaksanakan pembelajaran;
5. Menentukan evaluasi pembelajaran; dan
6. Menentukan sumber belajar.
Keberhasilan implementasi kurikulum berbasis karakter di sekolah/madrasah
sangat ditentukan dan sangat tergantung pada kondisi berikut :
a. Partisipasi dan komitmen orangtua serta masyarakat terkhadap pendidikan
karakter yang direfleksikan dalam kekuatan dewan pendidikan dan posisi
komite sekolah/madrasah;
b. Program jaminan mutu dan akuntabilitas yang dipahami dengan baik oleh
semua pihak dalam jajaran kementerian pendidikan nasional;
c. Pelaksanaan tes kompetensi yang memungkinkan kantor dinas pendidikan
propinsi, dinas pendidikan kabupaten/kota, unit pelaksana teknis sampai
sekolah memperoleh informasi tentang kinerja sekolah;
d. Adanya perencana strategic sekolah, yang memungkinkan sekolah untuk
memahami visi, misi, dan sasaran-sasaran prioritas pengembangan sekolah;
e. Implementasi pendidikan karakter juga perlu didukung oleh laporan
kemajuan sekolah dalam mencapai perencanaan tahunan.
Dalam implementasinya guru adalah faktor terpenting dalam keberhasilan
pendidikan berbasis karakter di tingkat sekolah/madrasah karena guru merupakan
pigur utama, serta ontoh dan teladan bagi peserta didiknya. Agar implementasi
pendidikan bebasis karakter berhasil maka guru harus melakukan hal-hal sebagai
berikut :
1. Menggunakan metode pendidikan karakter yang bervariasi;
2. Memberikan tugas yang berbeda bagi peserta didik;
3. Memodifikasi dan memperkaya bahan;
4. Menghubungu spesialis, bila ada peserta didik yang mempunyai kelainan, dan
penyimpangan karakter;
5. Menggunakan prosedur yang bervariasi dalam membuat penilaian dan
laporan pendidikan karakter;
6. Memahami bahwa karakter peserta didik tidak berkembang alam kecepatan
yang sama;
7. Mengembangkan situasi belajar yang memungkinkan setiap peserta didik
bekerja dengan kemampuannya masing-masingpada proses pendidikan
karakter;
8. Mengusahakan keterlibatan peserta didik dalam berbagai kegiatan
berkarakter.
Indikator dari keberhasilan program pendidikan karakter di sekolah/madrasah
dapat dilihat dari perilaku sehari-hari dari peserta didik yang tampak pada beberapa
aktivitas sebagai berikut : kesadaran, kejujuran, keikhlasan, kesederhanaan,
kemandirian, kebebasan dalam bertindak, kecermatan/ketelitian, dan komitmen.

DAFTAR PUSTAKA
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam dengan Pendekatan Multidisipliner,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010)

Adhyaksa Dault. 2008. “Sambutan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga RI”
dalam Refleksi Karakter Bangsa. Kementrian Pemuda dan Olahraga – IKA UI –
Forum Kajian Antropologi Indonesia.

Achmad Fedyani Saifudin dan Mulyawan Karim. “Memperbincangkan Kembali


Karakter Bangsa” dalam Refleksi Karakter Bangsa. Kementrian Pemuda dan
Olahraga – IKA UI – Forum Kajian Antropologi Indonesia.

Aar. 2018. dikutip dari https://rumahinspirasi.com/18-nilai-dalam-pendidikan-


karakter-bangsa/ (diakses 05 Maret 2019)
Asrofiabdul. 2015. dikutip dari
http://asrofiabdul.blogs.uny.ac.id/2015/10/19/model-model-pengembangan-
kurikulum/(diakses 05 Maret 2019)
Marzuki, Konsep Dasar Pendidikan Karakter dikutip dari
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132001803/lainlain/Dr.+Marzuki,+M.Ag_.+Konsep+Dasar+Pend
idikan+Karakter.pdf (diakses 05 Maret 2019)

Mulyasa,E. (2018). Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara


Nim Hati Nurani. 2017. dikutip dari
http://digilib.iainkendari.ac.id/887/3/BAB%20II.pdf (diakses 05 Maret 2019)
Peraturan Presiden Nomor 87 tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter.

Sofyan Sauri.2009. Implementasi Pendidikan Nilai Dalam Pembelajaran dikutip


dari http://sofyanpu.blogspot.com/2009/05/implementasi-pendidikan-nilai-dalam.html
(diakses 05 Maret 2019)
Sauri,S. (2017).Kesantunan Berbahasa. Bandung: Royyan
Sauri,S. (2018).Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam. Bandung: Rizqi

Anda mungkin juga menyukai