Anda di halaman 1dari 7

Teori Konsentrasi Belajar

Konsentrasi adalah pemusatan pemikiran kepada suatu objek tertentu. Semua kegiatan
kita membutuhkan konsentrasi. Dengan konsentrasi kita dapat mengerjakan pekerjaan lebih
cepat dan dengan hasil yang lebih baik. Karena kurang konsentrasi hasil pekerjaan biasanya
tidak dapat maksimal dan diselesaikan dalam waktu yang cukup lama.
Oleh karena itu konsentrasi sangat penting dan perlu dilatih. Pikiran kita tidak boleh
dibiarkan melayang-layang karena dapat menyebabkan gangguan konsentrasi. Pikiran harus
diarahkan kesuatu titik dalam suatu pekerjaan. Dengan begitu pikiran kita makin hari akan
semakin kuat.
Konsentrasi adalah bagaimana anak fokus dalam mengerjakan atau melakukan sesuatu
sehingga pekerjaan itu mampu dikerjakan dalam waktu tertentu. Kemampuan anak
berkonsentrasi berbeda-beda sesuai dengan usianya. Rentang perhatian anak dalam menerima
informasi melalui aktivitas apapun juga berbeda.
Rentang perhatian pada anak pra-sekolah sangat dipengaruhi oleh banyak faktor,
misalnya kurang menariknya materi, faktor lingkungan yang ramai, kesulitan anak untuk
mengerjakan, dll. Untuk anak-anak memang sangat dibutuhkan kemampuan yang aktif untuk
menyampaikan materi dan disesuaikan dengan perkembangan motoriknya.
Sedangkan yang dimaksud dengan kesulitan konsentrasi adalah bila tidak fokus dalam
memperhatikan suatu hal atau perhatiannya terpecah dan mudah beralih. Jadi, untuk suatu
pekerjaan, dia tidak bisa menuntaskannya. Sedikit-sedikit, perhatiannya sudah berubah dan itu
terjadi pada semua hal. Akan tetapi kesimpulan bahwa seorang anak sulit konsentrasi, baru
bisa didapat setelah dibandingkan dengan anak normal umumnya.

A. Teori Belajar Menurut Thorndike (Teori Koneksionisme)


Menurut Thorndike, belajar merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-asosiasi
antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R ). Stimulus adalah
suatu perubahan dari lingkungan eksternal yang menjadi tanda untuk mengaktifkan
organisme untuk beraksi atau berbuat sedangkan respon dari adalah sembarang tingkah laku
yang dimunculkan karena adanya perangsang. Bentuk paling dasar dari belajar adalah “trial
and error learning atau selecting and connecting learning” dan berlangsung menurut hukum-
hukum tertentu. Oleh karena itu teori belajar yang dikemukakan oleh Thorndike ini sering
disebut dengan teori belajar koneksionisme atau teori asosiasi.
Thorndike menemukan hukum-hukum belajar sebagai berikut :
1. Hukum Kesiapan (law of readiness), yaitu semakin siap suatu organisme memperoleh
suatu perubahan tingkah laku, maka pelaksanaan tingkah laku tersebut akan
menimbulkan kepuasan individu sehingga asosiasi cenderung diperkuat. Prinsip pertama
teori koneksionisme adalah belajar suatu kegiatan membentuk asosiasi (connection)
antara kesan panca indera dengan kecenderungan bertindak. Masalah-masalah yang
terjadi dalam hukum Law of Readiness:
a) Masalah pertama hukum law of readiness adalah jika kecenderungan bertindak dan
orang melakukannya, maka ia akan merasa puas. Akibatnya, ia tak akan melakukan
tindakan lain.
b) Masalah kedua, jika ada kecenderungan bertindak, tetapi ia tidak melakukannya,
maka timbullah rasa ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan tindakan lain
untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
c) Masalah ketiganya adalah bila tidak ada kecenderungan bertindak padahal ia
melakukannya, maka timbullah ketidakpuasan. Akibatnya, ia akan melakukan
tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasannya.
2. Hukum Latihan (law of exercise), yaitu semakin sering tingkah laku diulang/ dilatih
(digunakan), maka asosiasi tersebut akan semakin kuat. Prinsip law of exercise adalah
koneksi antara kondisi (yang merupakan perangsang) dengan tindakan akan menjadi
lebih kuat karena latihan-latihan, tetapi akan melemah bila koneksi antara keduanya tidak
dilanjutkan atau dihentikan. Prinsip menunjukkan bahwa prinsip utama dalam belajar
adalah ulangan. Makin sering diulangi, materi pelajaran akan semakin dikuasai.
3. Hukum akibat (law of effect), yaitu hubungan stimulus respon cenderung diperkuat bila
akibatnya menyenangkan dan cenderung diperlemah jika akibatnya tidak memuaskan.
Hukum ini menunjuk pada makin kuat atau makin lemahnya koneksi sebagai hasil
perbuatan. Suatu perbuatan yang disertai akibat menyenangkan cenderung dipertahankan
dan lain kali akan diulangi. Sebaliknya, suatu perbuatan yang diikuti akibat tidak
menyenangkan cenderung dihentikan dan tidak akan diulangi.

B. Teori Belajar Menurut Skinner


B.F. Skinner dikenal sebagai tokoh behavioris dengan pendekatan model instruksi
langsung dan meyakini bahwa perilaku dikontrol melalui proses operant conditioning.
Operant Conditioning adalah suatu proses perilaku operant (penguatan positif atau negatif)
yang dapat mengakibatkan perilaku tersebut dapat berulang kembali atau menghilang sesuai
dengan keinginan.
Skinner mengatakan bahwa unsur terpenting dalam belajar adalah penguatan.
Maksudnya adalah pengetahuan yang terbentuk melalui ikatan stimulus respon akan
semakin kuat bila diberi penguatan. Skinner membagi penguatan ini menjadi dua yaitu
penguatan positif dan penguatan negatif. Bentuk bentuk penguatan positif berupa hadiah,
perilaku, atau penghargaan. Bentuk bentuk penguatan negatif antara lain menunda atau tidak
memberi penghargaan, memberikan tugas tambahan atau menunjukkan perilaku tidak
senang. Beberapa prinsip Skinner antara lain:
1. Hasil belajar harus segera diberitahukan kepada siswa, jika salah dibetulkan, jika bebar
diberi penguat.
2. Proses belajar harus mengikuti irama dari yang belajar.
3. Materi pelajaran, digunakan sistem modul.
4. Dalam proses pembelajaran, tidak digunkan hukuman. Untuk itu lingkungan perlu
diubah, untuk menghindari adanya hukuman.
5. Dalam proses pembelajaran, lebih dipentingkan aktifitas sendiri.
6. Tingkah laku yang diinginkan pendidik, diberi hadiah.
7. Dalam pembelajaran digunakan shaping.

C. Teori Belajar Menurut Robert M. Gagne


Gagne membagi proses belajar berlangsung dalam empat fase utama, yaitu
1. Fase Receiving the stimulus situation/ apprehending, merupakan fase seseorang
memperhatikan stimulus tertentu kemudian menangkap artinya dan memahami stimulus
tersebut untuk kemudian ditafsirkan sendiri dengan berbagai cara.
2. Fase Stage of Acquition, pada fase ini seseorang akan dapat memperoleh suatu
kesanggupan yang belum diperoleh sebelumnya dengan menghubung-hubungkan
informasi yang diterima dengan pengetahuan sebelumnya.
3. Fase storage/ retensi adalah fase penyimpanan informasi, ada informasi yang disimpan
dalam jangka pendek ada yang dalam jangka panjang, melalui pengulangan informasi
dalam memori jangka pendek dapat dipindahkan ke memori jangka panjang.
4. Fase Retrieval/ recall, adalah fase mengingat kembali atau memanggil kembali
informasi yang ada dalam memori.
Kemudian ada fase-fase lain yang dianggap tidak utama, yaitu
5. Fase motivasi sebelum pelajaran dimulai guru memberikan motivasi kepada siswa untuk
belajar.
6. Fase generalisasi adalah fase transfer informasi, pada situasi-situasi baru, agar lebih
meningkatkan daya ingat, siswa dapat diminta mengaplikasikan sesuatu dengan
informasi baru tersebut.
7. Fase penampilan adalah fase dimana siswa harus memperlihatkan sesuatu penampilan
yang nampak setelah mempelajari sesuatu, seperti mempelajari struktur kalimat dalam
bahasa mereka dapat membuat kalimat yang benar.
8. Fase umpan balik, siswa harus diberikan umpan balik dari apa yang telah ditampilkan
(reinforcement).

D. Teori Belajar Menurut Bruner


Bruner menyatakan belajar merupakan suatu proses aktif yang memungkinkan
manusia untuk menemukan hal-hal baru di luar informasi yang diberikan kepada dirinya.
Agar pembelajaran dapat mengembangkan keterampilan intelektual anak dalam
mempelajari sesuatu pengetahuan (misalnya suatu konsep matematika), maka materi
pelajaran perlu disajikan dengan memperhatikan tahap perkembangan kognitif/
pengetahuan anak agar pengetahuan itu dapat diinternalisasi dalam pikiran (struktur
kognitif) orang tersebut. Proses internalisasi akan terjadi secara sungguh-sungguh (yang
berarti proses belajar terjadi secara optimal) jika pengetahuan yang dipelajari itu dipelajari
dalam tiga model tahapan yaitu model tahap enaktif, model ikonik dan model tahap
simbolik.
1. Model Tahap Enaktif
Dalam tahap ini penyajian yang dilakukan melalui tindakan anak secara langsung
terlibat dalam memanipulasi (mengotak-atik) objek. Pada tahap ini anak belajar sesuatu
pengetahuan di mana pengetahuan itu dipelajari secara aktif, dengan menggunakan
benda-benda konkret atau menggunakan situasi yang nyata.
2. Model Tahap Ikonik
Tahap ikonik, yaitu suatu tahap pembelajaran sesuatu pengetahuan di mana
pengetahuan itu direpresentasikan (diwujudkan) dalam bentuk bayangan visual (visual
imaginery), gambar, atau diagram, yang menggambarkan kegiatan kongkret atau situasi
kongkret yang terdapat pada tahap enaktif.
3. Model Tahap Simbolis
Dalam tahap ini bahasa adalah pola dasar simbolik, anak memanipulasi simbul-
simbul atau lambang-lambang objek tertentu. Pada tahap simbolik ini, pembelajaran
direpresentasikan dalam bentuk simbol-simbol abstrak (abstract symbols), yaitu simbol-
simbol arbiter yang dipakai berdasarkan kesepakatan orang-orang dalam bidang yang
bersangkutan, baik simbol-simbol verbal (misalnya huruf-huruf, kata-kata, kalimat-
kalimat), lambang-lambang matematika, maupun lambang-lambang abstrak yang lain.

E. Teori belajar Menurut Piaget


Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari perkembangan dunia
individu, yaitu pengorganisasian dan penyesuaian. Untuk membuat dunia kita diterima oleh
pikiran, kita melakukan pengorganisasian pengalaman-pengalaman yang telah terjadi.
Piaget yakin bahwa kita menyesuaikan diri dalam dua cara yaitu asimiliasi dan akomodasi.
Asimilasi terjadi ketika individu menggabungkan informasi baru ke dalam
pengetahuan mereka yang sudah ada. Sedangkan akomodasi adalah terjadi ketika individu
menyesuaikan diri dengan informasi baru. Piaget mengatakan bahwa kita melampui
perkembangan melalui empat tahap dalam memahami dunia, yaitu:
1. Tahap sensorimotor (Sensorimotor stage), yang terjadi dari lahir hingga usia 2 tahun,
merupakan tahap pertama piaget. Pada tahap ini, perkembangan mental ditandai oleh
kemajuan yang besar dalam kemampuan bayi untuk mengorganisasikan dan
mengkoordinasikan sensasi (seperti melihat dan mendengar) melalui gerakan-gerakan
dan tindakan-tindakan fisik.
2. Tahap praoperasional (preoperational stage), yang terjadi dari usia 2 hingga 7 tahun,
merupakan tahap kedua piaget, pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-
kata dan gambar-gambar. Mulai muncul pemikiran egosentrisme, animisme, dan intuitif.
3. Tahap operasional konkrit (concrete operational stage), yang berlangsung dari usia 7
hingga 11 tahun, merupakan tahap ketiga piaget. Pada tahap ini anak dapat melakukan
penalaran logis menggantikan pemikiran intuitif sejauh pemikiran dapat diterapkan ke
dalam cotoh-contoh yang spesifik atau konkrit.
4. Tahap operasional formal (formal operational stage), yang terlihat pada usia 11 hingga
15 tahun, merupakan tahap keempat dan terkahir dari piaget. Pada tahap ini, individu
melampaui dunia nyata, pengalaman-pengalaman konkrit dan berpikir secara abstrak dan
lebih logis.
5. Perlu diingat, bahwa pada setiap tahap tidak bisa berpindah ke tahap berikutnya bila
tahap sebelumnya belum selesai dan setiap umur tidak bisa menjadi patokan utama
seseorang berada pada tahap tertentu karena tergantung dari ciri perkembangan setiap
individu yang bersangkutan.

F. Teori Belajar Menurut Ausubel


Ausubel (dalam Dahar, 1988:137) mengemukakan bahwa belajar dikatakan
bermakna (meaningful) jika informasi yang akan dipelajari peserta didik disusun sesuai
dengan struktur kognitif yang dimiliki peserta didik sehingga peserta didik dapat
mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Ausubel (dalam
Dahar,1988 :142)
Menurut Ausubel, Novak,dan Hanesian ada dua jenis belajar:
1. Belajar bermakna (meaningful learning)
Belajar bermakna adalah suatu proses belajar dimana informasi baru
dihubungkan dengan struktur penertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang
belajar. Belajar bermakna terjadi bila pelajar mencoba menghubungkan fenomena baru
dengan konsep yang telah ada sebelumnya.
2. Belajar menghafal (rote learning)
Bila konsep yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada maka informasi
baru tersebut harus dipelajari secara menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila
seseoarang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak
berhubungan dengan apa yang ia ketahiu sebelumnya.

Menurut Ausubel belajar dapat diklasifikasikan kedalam dua dimensi. Dimensi


pertama berhubungan dengan cara informasi atau materi pelajaran itu disajikan kepada
siswa melalui penerimaan atau penemuan. Selanjutnya dimensi kedua menyangkut
bagaimana siswa dapat mengaitkan informasi itu pada struktur kognitif yang telah ada. Jika
siswa hanya mencoba menghafalkan informasi baru itu tanpa menghubungkan dengan
struktur kognitifnya, maka terjadilah belajar dengan hafalan. Sebaliknya jika siswa
menghubungkan atau mengaitkan informasi baru itu dengan struktur kognitifnya maka yang
terjadi adalah belajar bermakna.
Langkah – langkah belajar bermakna Ausubel adalah :
1. Pengatur awal (advance organizer)
Pengatur awal dapat digunakan untuk membantu mengaitkan konsep yang lama dengan
konsep yang baru yang lebih tinggi maknanya.
2. Diferensiasi Progregsif
Dalam pembelajaran bermakna perlu ada pengembangan dan kolaborasi konsep- konsep.
Caranya unsur yang inklusif diperkenalkan terlebih dahulu kemudian baru lebih
mendetail.

PENYEBAB KURANG KONSENTRASI


Sulit berkonsentrasi, terlebih dahulu harus dilihat apa penyebab anak sulit
berkonsentrasi? Banyak para orang tua yang bingung dan khawatir mengenai anaknya yang
sulit berkonsentrasi atau anaknya termasuk hiperaktif. Ada tiga hal yang menyebabkan
terjadinya kesulitan berkonsentrasi, yaitu:
1. Faktor eksternal, ada dua hal yang bisa mempengaruhi, antara lain:
a. Lingkungan. Untuk faktor lingkungan, misalnya, anak diberi tugas menggambar. Pada
saat yang bersamaan, ia mendengar suara ramai dan itu lebih menarik perhatiannya
sehingga tugasnya pun diabaikan. Berarti lingkungan mempengaruhi konsentrasinya.
b. Pola pengasuhan yang permissive yaitu pengasuhan yang sifatnya menerima atau
membolehkan apa saja yang anak lakukan. Sehingga anak kurang dilatih untuk
menyelesaikan suatu tugas sampai selesai dan jika ia mengalami kesulitan orang tua bisa
membantunya sehingga ia mampu menyelesaikannya tidak dibiarkan saja anak beralih
melakukan sesuatu yang lain.
2. Faktor psikologis
Faktor psikologia anak juga bisa mempengaruhi konsentrasi anak. Anak yang
mengalami tekanan, ketika mengerjakan sesuatu ia bisa menjadi tidak konsentrasi sehingga
tidak fokus dalam menyelesaikan pekerjaannya. Contoh yang berbeda, misalnya “suasana
di sekolah yang berbeda dengan suasana di rumah. Anak kaget, karena mempunyai teman
yang lebih berani, sehingga ketakutan dan kekhawatiran si anak membuatnya sulit untuk
konsentrasi. Akibatnya, konsentrasi di kelas untuk menerima pelajaran menjadi berkurang.
Jadi, karena faktor psikologis anak yang disebabkan karena kurangnya kemampuan
bersosialisasi bisa membuat anak menjadi kurang berkonsentrasi di sekolah.
3. Faktor internal
Berkenaan dengan faktor internal adalah faktor dari dalam dirinya sendiri antara lain
karena adanya gangguan perkembangan otak dan hormon yang dihasilkan lebih banyak
sehingga anak cenderung menjadi hiperaktif. Jika anak lamban/lambat disebabkan karena
hormone yang dihasilkan oleh neurotransmitter-nya kurang. Sehingga bisa mengakibatkan
lambannya konsentrasi.
Konsentrasi atau perhatian biasanya berada di otak daerah frontal (depan) dan
parientalis (samping). Gangguan di daerah ini bisa menyebabkan kurang atensi atau perhatian.
Jadi, karena sistem di otak dalam memformulasikan fungsi-fungsi aktivitas, seperti
penglihatan, pendengaran, motorik, dan lainnya, di seluruh jaringan otak itu terganggu, maka
anak tidak dapat berkonsentrasi karena input yang masuk ke otak terganggu. Akibatnya,
stimulasinya pun tidak bagus, Gangguan ini bukan merupakan bawaan melainkan bisa didapat
misalnya karena terkena infeksi otak.
Karena itulah penyebab sulitnya berkonsentrasi harus dicari terlebih dahulu apakah
karena faktor eksternal atau internal. Apabila penyebabnya karena faktor lingkungan, orang
tua dapat membantu anak untuk meminimalkan lingkungan sedemikian rupa agar anak bisa
fokus atau memusatkan perhatiannya. Biasanya kalau sudah memasuki usia sekolah, di mana
rentang konsentrasi-nya sudah lebih panjang, anak tidak terlalu bermasalah kecuali jika anak
memang mempunyai kelainan. Sedangkan untuk anak yang mengalami gangguan konsentrasi
yang lebih disebabkan karena faktor dari dalam dirinya seperti hiperaktif, terapi yang diberikan
adalah secara medik/obat dan terapi perilaku. Umumnya kalau sudah diberi obat, hiperaktifnya
berkurang. Sedangkan untuk konsentrasi lambat diterapi untuk meningkatkan konsentrasinya.

SOLUSI
A. Mencari tahu penyebab kesulitan anak berkonsentrasi.
Dari beberapa faktor penyebab kesulitan konsentrasi yang telah dibahas diatas,
langkah selanjutnya adalah menganalisa penyebab kesulitan anak. Misalnya: ketika
mengikuti lomba mewarnai, anak sibuk melihat pekerjaan teman sehingga ia tidak
mengerjakan gambarnya. Hal ini bisa disebabkan karena kesempatan bersosialisasi dengan
teman-teman sebayanya kurang, sehingga ketika ia berada di luar rumah ia begitu senangnya
sehingga ia lupa dengan tugasnya. Bisa juga anak kurang tertarik dengan mewarnai karena
merasa bosan dengan aktivitas yang menuntutnya untuk duduk diam. Setelah itu, barulah
mencari solusi dan strategi yang tepat agar anak bersedia bekerja sama menyelesaikan
tugasnya.
B. Mencari strategi yang sesuai dengan anak.
Dalam mencari strategi yang tepat untuk mengatasi perilaku anak yang sulit, bisa
didiskusikan bersama dengan anak, untuk membuat aturan bersama-sama. Dalam membuat
peraturan dan batasan waktu pengerjaan sesuaikan dengan kemampuan anak. Memasuki
usia 4-5 tahun anak sudah mulai paham dan bisa diajak kerja sama. Misalnya: ketika ia
mengikuti lomba mewarnai anak harus menyelesaikan tugasnya terlebih dahulu. Jika ia
cepat menyelesaikan tugasnya ia akan diajak berjalan-jalan dan bermain di mall. Jika anak
terlalu lama maka ia tidak jadi diajak-jalan. Dengan begitu, harapannya anak lebih
berkonsentrasi untuk menyelesaikan tugasnya.
Orang tua bisa menentukan target dan waktu pencapaian sesuai dengan kemampuan
anak. Begitu juga dalam penerapannya orang tua bisa dengan menggunakan pemberian
hadiah, pujian atau pemberian yang ia suka sehingga anak termemotivasi untuk
menyelesaikan apa yang sedang ia lakukan. Anak-anak memang senang denga hadiah
namun hati-hati dalam pemberiannya agar tidak terlalu berlebihan. Dalam pemberian
hadiah, selalu ada usaha yang dilakukan. Misalnya dengan system stiker, ketika anak bisa
menyelesaikan suatu pekerjaan yang kita tugaskan ia kita beri stiker, kemudiasetelah stiker
terkumpul 5 barulah diberi hadiah. Namun sebelumnya hadiah yang diberikanpun
rundingkanlah terlebih dahulu dan sesuaikan dengan kemampuan.
C. Melakukan aktivitas yang dapat melatih konsentrasi anak
Sebelum bersekolah, sebaiknya orang tua mulai melatih anak berkonsentrasi mulai
dengan memberikan tugas yang sederhana sampai tugas yang tingkat kesulitannya lebih
tinggi. Latihlah anak untuk mampu konsentrasi dalam situasi yang berbeda-beda, mulai dari
belajar sambil ditemani, belajar sendiri sampai belajar konsentrasi bersama teman-
temannya. Sehingga ketika anak bersekolah mampu mengikuti penjelasan dari gurunya.
Manfaatkan tingginya rasa ingin tahu anak, dengan memperkenalkan beragam
aktivitas meski rentang konsentrasinya masih pendek. Gunanya, selain memperkaya
pengetahuan, juga mempertahankan daya konsentrasi anak. Sebisa mungkin orang tua
kreatif memberikan variasi kegiatan agar anak tidak bosan. Terus evaluasi rentang waktu
konsentrasi anak. Pendeknya rentan waktu konsentrasi anak bisa juga disebabkan karena
kurangnya latihan atau stimulasi melakukan suatu tugas.
Melalui aktivitas bermain, berolah raga dan seni juga bisa melatih konsentrasi anak.
1. Aktivitas bermain
Dalam permainan biasanya ada instruksi yang diberikan. Dengan demikian secara
tidak langsung melatih anak untuk mengikuti instruksi dan mampu melakukannya dengan
tepat dan cepat.
a) Menjumput (menggunakan jempol dan telunjuk) butiran kacang merah, jagung kedelai
sambil menghitung jumlahnya, selain melatih konsentrasi juga melatih motorik halus
anak. Atau jika bosan bisa dengan menempelkannya di sebuah tempat (tempayan)
dengan digambar pola terlebih dahulu.
b) Memindahkan air dari mangkuk/baskom kedalam botol dengan menggunakan tutup
botol tersebut. Dilakukan dengan tangan kanan dan kiri secara bergantian.
c) Bermain Puzzle juga diyakini dapat meningkatkan konsentrasi dan memori anak. Kotak
susu bekas dapat dibuat menjadi puzzle sederhana.
d) Menyusun balok bisa juga dilakukan. Menyusun balok secara horisontal keatas maupun
vertikal dalam bentuk barisan.
2. Aktivitas olah raga
Dari penelitian menunjukkan bahwa dengan aktif bergerak dan berolah-raga dapat
meningkatkan kecerdasan karena dengan berolah-raga aliran darah dan oksigen ke otak akan
lebih baik. Penelitian lain juga menunjukkan, aktif bergerak akan membantu proses
disintesa protein-protein sebagai penumbuh saraf otak yang baru, yang dapat membantu
menyimpan memori jangka panjang. Dengan demikian, jelaslah bahwa aktivitas olah raga
bisa membantu regenerasi kerja otak, selain manfaat kesehatan yang akan kita peroleh. Jadi
secara fisik dan mental akan lebih sehat lagi. Misalnya olah raga:
a) Berenang, terutama dengan gaya bebas juga merupakan olahraga yg baik untuk anak,
karena berenang bisa menstimulasi indera-in sensoris, melatih konsentrasi, juga
menstimulasi otak kanan dan kiri (pada gerakan gaya bebas).
b) Sepak bola juga bisa melatih anak untuk menendang bola dengan lurus dan fokus
mengarah ke gawang.
3. Aktivitas seni
Di era yang serba modern seperti saat ini, banyak sekali cara-cara yang diterapkan
sebagai bentuk usaha dalam peningkatan kecerdasan otak dan daya konsentrasi anak. Salah
satunya melalui terapi musik. Dikalangan masyarakat cara seperti ini mungkin sudah tidak
asing lagi, banyak orangtua yang menerapkan terapi ini pada buah hatinya.
Peran musik memang sangat besar untuk merangsang perkembangan otak anak.
Efeknya dapat mempengaruhi kemampuan kognitif anak, yaitu kemampuan untuk
mengenali atau menafsirkan lingkungannnya dalam bentuk bahasa, memori dan visual.
Musik mampu meningkatkan pertumbuhan otak anak, karena musik merangsang
pertumbuhan sel otak. Musik bisa membuat kita menjadi rileks dan riang, yang merupakan
emosi positif. Emosi positif inilah yang membuat fungsi berfikir seseorang menjadi
maksimal. Oleh karena itu kalau orang tua mau memanfaatkan fungsi musik sebagai terapi
dirumah, selain hasilnya akan sangat bagus bagi perkembangan anak, termasuk dalam hal
konsentrasi, bisa juga membuat atmosfer rumah lebih bersemangat tapi semuanya
tergantung dari musik yang didengarkan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan dengan
mendengarkan musik di pagi hari akan meningkatkan daya konsentrasi siapapun yang
mendengarkan.
Semua aktivitas yang dilakukan membutuhkan usaha maksimal, konsistensi, dan
kesabaran dalam melatih, mengarahkan dan memotivasi anak. Semua aktivitas yang
dilakukan tidak ada yang sifatnya instan, cepat mendapatkan hasil. Semuanya ada
pengorbanan, terutama untuk orang tua, agar meluangkan waktu bersama dengan anak dan
melatihnya dengan penuh kesabaran.

Anda mungkin juga menyukai