2. Ritma
Ritma sangat berhubungan dengan bunyi dan juga berhubungan dengan pengulangan bunyi, kata,
frasa, dan kalimat. Ritma puisi berbeda dari metrum (matra). Metrum berupa pengulangan kata
yang tetap. metrum sifatnya statis. Ritma berasal dari bahasa yunani rheo yang berarti gerakan-
gerakan air yang teratur, terus menerus, dan tidak putus-putus ( mengalir terus).
Pil
memang pil seperti pil macam pil walau pil
hanya pil hampir pil sekedar pil ya toh pil
meski pil tapi tak pil apalah pil
pil pil pil mengapa gigil? ku demam pil bilang
obat jadi barah
apakah pasien?
tempeleng!
1976
(Sutardji Calzoum Bachri, O Amuk Kapak:91)
Puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri diatas diciptakan dengan cara mempermainkan unsur
bunyi. Akibatnya, unsur musikalitas menjadi dominan pada puisi-puisi tersebut. Dengan
memanfaatkan bunyi sepenuhnya, irama sajak tercipta, dan hal tersebut dapat membantu
menciptakan suasana tertentu. hal itu menyebabkan pembaca atau penikmat berkonsentrasi dan
”meleburkan” diri kedalam puisi-puisi tersebut. Dengan cara seperti itu, akhirnya daya saran
yang dimiliki sajak akan sampai kepada penikmat atau pembaca.
Selain itu ada juga contoh Sajak Sutardji Calzoum Bachri:
PARA PENYAIR
para penyair
jangan biarkan dirimu
berlamalama
di lembahlembah
para penyair
jangan biarkan
batinmu
tercengang pulas
tenggelam
di kelembahan badan
ayo
mendaki
taklukkan kelembahanmu
walau pedih tebing-tebing
harus kau atasi kepedihan
meski luka di lembahlembah
atas kedukaan
jangan tenggelam
ingat!
Ibrahim tak suka barang tenggelam
ayo
 mengatas
 meninggi
 sampai tanah menyatu
mengatasi keanekaragaman tanah
sampai langit
tanah
menyatu
mengucap
hakikat
ayo
para mawar
tanggalkan kelopak pongahmu
mendakilah
di puncak
tanah menyibak langit
langit menyibak tanah
tanah mendekap langit
langit memeluk tanah
saling membuka
saling menutup berpelukan
di puncak
segalanya terbuka
dan tersimpan
1987
Sajak "Para Penyair". Tak banyak, atau bahkan tak ada penyair yang kukuh memposisikan
diri seperti Sutardji. Di sajak ini dia mengajak, "ayo (para penyair, mendakilah, taklukkan
kelembahanmu..." Orang yang mengajak orang lain untuk menaklukkan sesuatu, untuk
melakukan sesuatu, maka bila tidak ingin ditertawakan maka orang itu harus sudah melakukan
dan menaklukkan apa yang dia ajakkan itu. Sutardji saya kira sudah sangat menyadari bahwa dia
sudah menjalani pendakian-pendakian sendiri, dia sudah taklukkan kelembahannya sendiri. Dia
mengajak, karena dia sudah tahu bahwa, "di puncak segalanya terbuka dan tersimpan".
Sutardji juga menyindir - dengan cara halus - para penyair yang berwangi-wangi dengan
sajak wangi, "ayo para mawar, tanggalkan kelopak pongahmu, mendakilah!"
Sajak ini masih sanggup memperlihatkan kepiawaian Sutardji menyusun pengucapan yang khas,
dan tak terlawankan itu. Ia tawarkan frasa "keanekaragaman tanah", "di kelembahan badan",
"tanah menyibak langit", "tangah mendekap langit", "langit memeluk tanah". Frasa-frasa ajaib
tapi tidak sekedar kegenitan fesyen bahasa itu saya kira hanya bisa muncul dari penyair yang
pernah punya kredo membebaskan kata dari tradisi lapuk yang membelenggunya. Sutardji
memetik apa yang dimungkinkan oleh pembebasannya itu: KREATIVITAS!
Terhadap Sutardji tentu kita bebas pula bersikap. Dia tidak hendak menyumpal telinga
kita dengan teriakan-teriakannya. Dia pasti juga tidak hendak mendoktrin kita untuk patuh pada
seruan-seruannya. Tapi, ah bagi saya, betapa benarnya ia. Siapapun kita, tak hanya bila kita
penyair, kita memang tak harus membiarkan batin kita tercengang pulas tenggelam di
kelembahan badan.
Pada sampiran kata-kata yang membentuk kalimat dalam sampiran memang mempunyai
makna kalau diambil satu per satu secara terpisah, tetapi dalam keseluruhan pantun, menjadi
kehilangan makna karena tak ada pertautan pesan dengan bagian isi pantun.
Menarik untuk disimak bahwa penerobosan yang dilakukan Sutardji terhadap makna
membawa dia kepada percobaan lain untuk menerobos batas-batas bahasa. Penerobosan terhadap
batas-batas bahasa ini dilakukan dengan melakukan penyimpangan dari semantik dan
penyimpangan dari sintaksis. Semantik menunjuk hubungan ontara bahasa dan suatu obyek di
luar bahasa, sedangkan sintaksis menunjuk hubungan internal antara unsur-unsur bahasa itu
sendiri.
Penerobosan terhadap semantik dilakukan dengan memakai fonem-fonem atau bunyi-
bunyi bahasa yang tidak ada maknanya secara leksikal. Meski demikian, penyairnya sadar juga
bahwa hanya dengan bunyi-bunyi tanpa makna itu tidak mungkin lahir sebuah puisi dalam arti
yang kita kenal. Maka, dalam beberapa sajaknya Sutardji menerapkan teknik menyusun pantun
dalam bentuk yang lebih diperluas.
Jumlah baris dalam bait jauh lebih bebas dan tidak hanya terbatas pada empat baris, jumlah suku
kata juga dibuat tanpa mengikuti pakem pantun, dan rima juga tidak harus mengikuti formula
ab/ab.
Akan tetapi, yang dipertahankan dari unsur pantun adalah kontras antara sampiran dan isi,
kontestasi antara makna dan tanpa makna. Dengan demikian, fonem-fonem yang tanpa makna itu
seakan-akan menjadi sampiran dalam sajak-sajak Sutardji, tetapi isi sajaknya masih selalu
dimunculkan dalam kata-kata dengan makna yang kita kenal.
Contoh paling tipikal dari kecenderungan ini dapat kita amati dalam beberapa baris sajak berikut
ini:
hai Kau dengar manteraku
izukalizu
mapakazaba itazatali
tutulita
Dalam sajak ini dua kalimat pertama "Kau dengar manteraku/Kau dengar kucing
memanggilMu" adalah seruan kepada sesuatu yang rupa-rupanya mengatasi semua kategori
manusia termasuk bahasa, mungkin sesuatu yang tak terbatas, yang kudus, atau yang ilahi, yang
dicoba didekati dengan memanggilNya dengan berbagai nama yang tidak kita kenal dalam kode
leksikal bahasa Indonesia.