Anda di halaman 1dari 36

1

REFERAT

SYSTEMIC INFLAMMATION RESPONSE SYNDROME (SIRS)

Disusun Oleh:

Yorim Sora Pasila NPM. 109170034

Dosen Pembimbing:

dr. Triyanti K.A. Putri

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SWADAYA

GUNUNG JATI

CIREBON

2011
2

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Systemic inflammatory response syndrome (SIRS), secara sederhana


merupakan kondisi inflamasi yang sifatnya sistemik, dan menjadi
penyebab kematian tersering di negara barat, khususnya Amerika Serikat.
Angka kematian ini terus meningkat seiring dengan kemajuan ilmu
kedokteran, misalnya meluasnya pemakaian kateter intravaskular tetap,
bertambahnya implantasi bahan prostetik, dan pemberian obat
imunosupreif dan kemoterapeutik.
Di dalam dunia medis, fenomena SIRS seringkali berujung pada
MODS sekunder (multiple organ dysfunction syndrome), yang pada
dasarnya menjadi penyebab utama tingginya angka kematian (> 60%)
dalam kasus ini. Angka mortalitas yang masih tinggi menyebabkan SIRS
sebagai masalah kesehatan dunia. SIRS menimbulkan angka kematian
yang cukup tinggi hampir di semua ICU.
Di USA lebih dari 500.000 penderita tiap tahun terus meningkat serta
menyebabkan lebih dari 175.000 pasien meninggal tiap tahunnya. Data di

Amerika Serikat menunjukkan kejadian sepsis pada pasien yang dirawat di


unit perawatan intensif anak pediatrics intensive care unit (PICU)
mencapai lebih dari 42 000 kasus dengan angka kematian sebesar 10,3%.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan beberapa penelitian disimpulkan
bahwa SIRS masih merupakan masalah besar. Hal ini ditunjukkan dari
tingginya angka kematian dari jumlah total pasien yang dirawat di bangsal
penyakit dalam, yakni ± 59,17%.
Sindrom disfungsi organ multipel dapat terjadi pada penderita-
penderita penyakit dengan kondisi kritis atau pasca trauma berat, dan
seperti halnya SIRS, MODS dapat terjadi tanpa adanya fokus infeksi,
bahkan secara eksperimental MODS dapat ditimbulkan cukup dengan
menyuntikkan mediator-mediator inflamasi.
3

Mortalitas akibat MODS tergantung dari jumlah organ dan lamanya


organ-organ tersebut mengalami kegagalan fungsi. Hanya saja, MODS
sebagai konsekuensi dari SIRS tetap menjadi penyebab kematian tertinggi
di ruang rawat intensif non-koroner. Oleh sebab itu, sangatlah penting bagi
seorang klinisi untuk mengerti mekanisme tercetusnya SIRS beserta
kumpulan gejala klinisnya, mengingat SIRS dapat menimbulkan
konsekuensi yang sifatnya fatal bagi pasien.

I.2. Tujuan dan Manfaat

I.2.1. Tujuan Umum

Sebagai syarat untuk mengikuti Ujian Akhir Blok

I.2.2. Tujuan Khusus

a) Untuk memberikan penjelasan mengenai definisi, etiologi dan


patogenesis dari SIRS
b) Untuk memberikan pengetahuan dasar mengenai gambaran
klinis berbagai kasus dalam dunia medis yang terkait dengan
SIRS

I.2.3. Manfaat

a) Menjadi bahan pembelajaran pribadi yang menambah


pengetahuan serta wawasan penulis mengenai sindrom respon
inflamasi sistemik
b) Pembaca dapat memahami lebih jauh tentang SIRS dan
komponen yang ikut berperan dalam menyebabkan terjadinya
SIRS
c) Dapat menambah bahan bahan pustaka institusi
4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Definisi SIRS

Systemic inflammatory response syndrome (SIRS), adalah suatu


keadaan peradangan nonspesifik yang dapat ditemukan baik pada keadaan
infeksi maupun noninfeksi seperti pankreatitis, emboli paru, dan infark
miokardium (Stephen and William, 2007). Singkatnya, SIRS merupakan
kondisi inflamasi yang mempengaruhi seluruh tubuh, dan seringkali
respon dari sistem kekebalan tubuh untuk infeksi. Hanya saja perlu
ditekankan bahwa tidak selamanya SIRS disebabkan oleh agen infeksius
(Shulman, 1994).
Sesuai dengan definisinya, SIRS tidak dapat dipisahkan dengan
respon inflamasi dan komponen-komponennya, dimana pada dasarnya
reaksi inflamasi itu sendirilah yang mencetuskan munculnya fenomena ini
(Shulman, 1994). Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah
suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab
awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan
oleh kerusakan asal. Namun, walaupun inflamasi membantu
membersihkan infeksi dan bersama-sama dengan proses perbaikan
memungkinkan terjadinya penyembuhan luka, sangatlah penting untuk
mengetahui bahwa baik inflamasi maupun proses perbaikan itu sendiri
begitu potensial menimbulkan bahaya (Robbins dkk, 2007).
Sebenarnya, inflamasi merupakan suatu poses yang dinamis dan
kontinu pada kejadian-kejadian yang terkoordinasi dengan baik (Silvia &
Lorraine, 2006). Hal ini dapat dijelaskan melalui interaksi antara mediator
proinflamasi dan anti-inflamasi dalam meregulasi proses ini, sehingga
diharapkan tercapai homeostasis dan pasien sembuh. Akan tetapi, pada
kasus SIRS tedapat ketidakseimbangan antara kedua komponen ini
sehingga mengakibatkan munculnya tanda-tanda yang seringkali
mengarah pada ancaman disfungsi organ (Sudoyo et al, 2009).
5

Fenomena SIRS pertama kali dijelaskan oleh Dr. William R. Nelson,


dari University of Toronto, dalam presentasi untuk pertemuan
Mikrosirkulasi Nordik di Geilo, Norwegia pada Februari 1983. Dalam
pertemuan ini ditetapkan beberapa variabel yang menjadi parameter SIRS.
SIRS ditegakkan apabila 2 atau lebih dari variabel-variabel berikut
ditemukan :

Tabel 2.1.Variabel SIRS


Variabel Nilai Acuan
Suhu < 36 ° C (97 ° F) atau > 38 ° C (100 ° F)
Denyut jantung > 90/min
Pernafasan > 20/min atau PaCO2 <32 mmHg (4,3 kPa)
9 9
WBC < 4x10 / L (< 4000/mm ³), > 12x10 / L
( > 12.000 / mm³), atau > 10% stab
(Janotha, 2002)

Sindrom respon inflamasi sistemik tidak lain merupakan suatu proses


menuju kegagalan sistem organ dalam fungsinya mempertahankan
homeostasis. Penelitian-penelitian terdahulu menemukan adanya infeksi,
kadang-kadang tersamar, sebagai faktor klinis utama yang berhubungan
dengan SIRS. Tetapi dalam penelitian-penelitian terakhir terbukti SIRS
dapat terjadi tanpa adanya fokus infeksi, bahkan secara eksperimental
dapat ditimbulkan dengan cara menyuntikkan mediator-mediator
inflamasi. Lebih jauh, dengan terlebih dahulu meninjau kembali berbagai
kasus dalam dunia medis, diketahui bahwa SIRS dapat memicu disfungsi
organ multipel yang dikenal dengan istilah MODS (Sudoyo et al, 2009).

II.2. Sindrom Respon Inflamasi Sistemik dan Sepsis

Sepsis juga menjadi penyebab kematian tersering kesepuluh di


Amerika Serikat, dengan lebih dari 600.000 kasus yang terjadi setiap tahun
dengan angka kematian keseluruhan mendekati 20%. Tingginya tingkat
kematian karena sepsis mengundang perhatian para ahli kesehatan untuk
6

melakukan berbagai penelitian khusus terkait kasus ini. Penelitian tentang


sepsis dipermudah dengan dikembangkannya pembakuan definisi kasus.
Perlu diperhatikan, bahwa SIRS tidak sama dengan sepsis. Sepsis
didefinisikan sebagai adanya SIRS pada keadaan infeksi yang menjadi
pemicunya (Sepsis bagian dari SIRS). Sepsis merupakan respon sistemik
pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam
sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Aktivasi proses
inflamasi dalam sepsis menimbulkan keadaan syok kemudian terjadi
gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak
adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel maupun jaringan. Sepsis
berat terjadi jika terdapat bukti objektif disfungsi organ, misalnya gagal
ginjal, hati, perubahan mental, yang biasanya berkaitan dengan hipoperfusi
jaringan (Sudoyo et al, 2009).
Terdapat berbagai sebab terjadinya syok seperti pendarahan, infark
miokard, anafilaksis, emboli paru dan yang cukup sering ditemukan adalah
syok septik. Tahap akhir sepsis adalah syok septik, yang didefinisikan
sebagai hipotensi (tekanan darah sistol < 90 mmHg atau penurunan
sebesar 40 mmHg di bawah tekanan darah sistol dasar) yang tidak
berespon terhadap resusitasi cairan.
Syok septik termasuk keadaan gawat darurat yang memerlukan
penanganan segera oleh karena semakin cepat syok diatasi, akan
meningkatkan kemungkinan keberhasilan pengobatan dan menurunkan
resiko kegagalan organ maupun kematian. Oleh karena itu strategi
penatalaksanaan syok septik yang tepat dan optimal perlu diketahui untuk
mendapatkan hasil yang diharapkan (Stephen dan William, 2007).

Gambar 2.1. Hubungan antara SIRS, Sepsis dan Infeksi


(Janotha, 2002)
7

II.3. Sindrom Respon Inflamasi Sistemik dan Sindrom Disfungsi Multi


Organ

Multi organ disfunction syndrome (MODS) menjadi penyebab


terbanyak mortalitas di unit terapi intensif mayor dan komplikasi bedah.
MODS juga menjadi penyebab utama kematian lanjut setelah cedera.
Disfungsi multi organ dapat bersifat primer maupun sekunder. MODS
primer terjadi sebagai akibat langsung jejas pada organ-organ tertentu,
misalnya kontusio paru. Respon inflamasi pada MODS primer tidaklah
menonjol. Sebaliknya, MODS sekunder bukan akibat langsung dari jejas
awal, tapi terjadi sebagai konsekuensi dari adanya SIRS. Bila proses ini
terjadi akibat infeksi disebut sepsis.

Gambar 2.2. Kausa dan Akhir yang Berbeda dari MODS

(Janotha, 2002)

II.4. Etiologi

Secara umum, penyebab dari SIRS dapat dikategorikan kedalam 2


golongan, yakni infeksius dan noninfeksius. Beberapa jejas (insult) baik
fisiologis maupun patologis dapat menginduksi munculnya SIRS. Berikut
8

adalah beberapa penyebab SIRS yang dibagi ke dalam 2 kategori, yakni


infeksius dan non-infeksius.

Tabel 2.2. Kausa SIRS

Infeksius (sepsis) Non-infeksius


Bakteremia Trauma
Viremia Luka bakar masif
Fungemia Luka pasca operasi
Penyakit riket Iskemia visceral
Mycobacteria Pankreatitis
Infeksi protozoa Transfusi masif
Infeksi Organ Solid, dll Kanker
Suntikan sitokin
Overdosis obat
Sindrom aspirasi
HIV, dll
(Sudoyo et al, 2009)

II.5. Komponen Respon Peradangan

Respon radang memiliki banyak pemain, yaitu sel dan protein plasma
dalam sirkulasi, sel dinding pembuluh darah, dan sel serta matriks
ekstraselular jaringan ikat di sekitarnya.

Sel-sel Sel endotel


jaringan ikat

Komplemen Sel-sel dalam


sirkulasi
Faktor

hemokoagulasi
plasma

Gambar 2.2. Komponen Penting Sistem Peradangan

(Janotha, 2002)
9

a. Sel-sel jaringan ikat

Sel jaringan ikat meliputi sentinel untuk menginvasi, misalnya sel


mast, makrofag, dan limfosit serta fibroblas yang mensintesis matriks
ekstraselular dan dapat berproliferasi untuk mengisi luka. Dalam
peristiwa peradangan, sel dari jaringan ikat yang terutama berperan
dalam reaksi awal adalah sel mast.
Sel mast berasal dari sum-sum tulang dan tersebar luas dalam
jaringan; sel ini ditemukan menonjol pada daerah dekat pembuluh
darah dan saraf. Sitoplasmanya mengandung granula dilapisi
membran dengan berbagai mediator yang aktif secara biologis dan
dilepaskan sebagai respon terhadap berbagai rangsangan: (1) cedera
fisik, seperti trauma atau panas; (2) reaksi imun yang menyebabkan
pengikatan antibodi IgE terhadap reseptor pada membran sel mast; (3)
fragmen C3a dan C5a komplemen, juga disebut anafilaktosin; (4)
sitokin tertentu seperti IL-1 dan IL-8 (Robbins dkk, 2007).

b. Endotel

Secara umum, dinding pembuluh darah tersusun dari 3 lapisan


utama, yakni tunika intima, media dan eksterna. Lapisan paling dalam
adalah tunika intima, yang tersusun dari sel-sel endotel (disebut juga
endotelium). Lapisan tersebut terdiri atas suatu membran elastik yang
dilapisi oleh selapis tunggal sel-sel epitel pipih. Endotelium tersebut
memiliki struktur yang luar biasa mulusnya, sehingga hanya
memberikan resistensi minimal terhadap aliran darah. Kemulusan
semacam ini sangatlah penting untuk menghindari inisiasi proses
pembekuan darah (George, 2006).
Jejas langsung pada endotel akan mengakibatkan kebocoran
vaskuler, kemudian nekrosis dan lepasnya sel endotel. Efek ini
biasanya terlihat setelah cedera berat (misalnya luka bakar atau
infeksi). Poin terpenting dari kejadian ini, adalah bahwa lepasnya
10

endotel sering kali disertai dengan adhesi trombosit dan trombosis.


Pada sebagian kasus, kebocoran dimulai segera setelah terjadi jejas
dan menetap selama beberapa jam (atau hari) sampai pembuluh darah
yang rusak mengalami trombosis atau diperbaiki. Reaksi ini dikenal
sebagai immediate sustained response. Venula, kapiler, dan arteriol
semuanya dapat mengalami hal ini, bergantung pada tempat jejas.
Sel endotel mengatur beberapa aspek (dan seringkali berlawanan)
hemostasis normal. Di satu sisi, pada tingkatan dasar sel ini
menunjukkan adanya perangkat antitrombosit, antikoagulan, dan
fibrinolisis; di sisi lain, sel ini mampu (setelah mengalami cedera atau
aktivasi) menunjukkan fungsi prokoagulan. Yang perlu diperhatikan
disini adalah bahwa endotel dapat diaktifkan oleh agen infeksi, faktor
hemodinamik, mediator plasma, dan (paling bermakna) oleh sitokin.
Keseimbangan antara aktivitas anti- dan protrombosis endotel
menentukan terjadinya pembentukan, peningkatan, atau penghancuran
trombus.


Sifat antitrombosis

- Efek antitrombosit
Suatu endotel utuh mencegah bertemunya tombosit dengan ECM
endotel yang sangat trombogenik. Trombosit inaktif tidak
menempel pada endotel, suatu perangkat intrinsik pada membran
plasma endotel. Selain itu, jika terjadi cedera endotel, trombosit
tersebut dihambat oleh prostasiklin endotel dan nitrit oksida agar
tidak menempel pada endotel di sekelilingnya yang tidak cedera.
- Sifat antikoagulan
Sifat ini diperantarai oleh molekul mirip heparin yang mempunyai
membran, dan trombomodulin, yaitu suatu reseptor trombin yang
spesifik. Molekul ini bekerjasebagai kofaktor yang
memungkinkan anti-trombin III untuk menginaktivasi trombin,
faktor Xa, dan beberapa faktor pembekuan lainnya.
11

- Sifat fibrinolisis
Sel endotel mensintesis t-PA, yang meningkatkan aktivitas
fibrinolisis untuk membersihkan deposit fibrin dari permukaan
endotel.


Sifat protrombosis

Sementara sel endotel menunjukkan sifat yang dapat membatasi


pembekuan darah, sel tersebut juga bersifat protrombosis.
Sebenarnya pada saat jejas endotel menimbulkanadhesi trombosit,
peristiwa ini dipermudah oleh faktor von willebrand (vWF), suatu
kofaktor penting untuk mengikatkan trombosit pada kolagen dan
permukaan lain. Sebaiknya diperhatikan bahwa vWF merupakan
produk endotel normal yang ditemukan pada plasma; faktor ini
tidak disintesis secara khusus setelah terjadi jejas endotel. Sel
endotel diinduksi pula oleh sitokin atau endotoksin bakteri untuk
memproduksi faktor jaringan, yang mengaktivasi jalur permukaan
eksrinsik. Akhirnya, sel endotel juga menyekresi inhibitor
akivator plasminogen, yang menekan fibrinolisis (Robbins dkk,
2007).

Dengan meninjau kembali fungsi fisiologis endotelium, diketahui


bahwa sel-sel tersebut memegang peranan yang cukup besar dalam
SIRS. Hal ini terlihat jelas pada saat terjadinya gangguan regulasi
yang mendasari pembentukan trombus penyebab iskemia sesaat
sebelum SIRS beralih menjadi MODS, fenomena ini dikenal juga
sebagai trombosis, yakni pembentukan suatu bekuan darah pada
pembuluh darah yang tidak mengalami cedera (Janotha, 2002).
Jejas endotel merupakan pengaruh yang menonjol dan dengan
sendirinya dapat menyebabkan trombosis. Pengaruh ini secara khusus
mendominasi dalam pembentukan trombus pada sirkulasi jantung dan
12

arteri, misalnya pada lokasi terjadinya jejas vaskular akibat trauma


atau peradangan.
Harap diperhatikan bahwa endotel tidak perlu dikikis atau dilukai
secara fisik untuk menimbulkan trombosis; setiap terjadi gangguan
dalam keseimbangan efek protrombosis dan antitrombosis dapat
mempengaruhi peristiwa pembekuan lokal. Oleh karena itu, disfungsi
endotel yang bermakna dapat terjadi (misalnya karena endotoksin
bakteri). Tanpa memperhatikan penyebab, hilangnya endotel secara
fisik mengakibatkan pajanan kolagen subendotel, perlekatan

trombosit, pelepasan faktor jaringan, serta deplesi PGI2 dan PA lokal.


Endotel yang mengalami disfungsi dapat menghasilkan faktor
prokoagulasi dalam jumlah yang lebih besar dan efektor anti-koagulan
dalam jumlah yang lebih kecil (Robbins dkk, 2007).

c. Sel-sel dalam sirkulasi

Sel-sel dalam sirkulasi terdiri dari leukosit polimorfonuklear


(PMN) yang berasal dari sumsum tulang (neutrofil), eosinofil, dan
basofil; limfosit dan monosit; serta trombosit.
Platelet atau trombosit, pada keadaan fisiologis berperan penting
dalam hemostasis. Pada saat dalam aliran darah, trombosit merupakan
cakram halus dilapisi membran yang mengeluarkan sejumlah reseptor
glikoprotein kelompok integrin. Setelah terjadi jejas vaskular,
trombosit bertemu dengan unsur ECM yang biasanya tersimpan di
bawah endotel yang utuh; unsur ini meliputi kolagen, proteoglikan,
dan glikoprotein adhesif lain.Saat bertemu dengan ECM, trombosit
mengalami tiga reaksi umum : (1) adhesi dan perubahan bentuk, (2)
Reaksi pelepasan (sekresi), (3) dan agregasi (Robbins dkk, 2007).
Leukosit dalam sirkulasi darah yang beremigrasi ke dalam
eksudat peradangan berasal dari sumsum tulang, tempat eritrosit dan
trombosit juga dihasilkan secara terus menerus. Jumlah tiap jenis
13

leukosit dalam sirkulasi darah perifer sangat terbatas tetapi berubah


sesuai kebutuhan jika timbul proses peradangan.

Granulosit
Granulosit, suatu kelompok leukosit yang terdiri atas neutrofil,
eosinofil, dan basofil. Walaupun masing-masing jenis sel tersebut
terdapat di dalam sirkulasi darah, leukosit tidak secara acak
terlihat di dalam eksudat, tetapi tampaknya sebagai akibat sinyal-
sinyal kemotaktik khusus yang timbul dalam berkembangnya
proses peradangan.

- Neutrofil
Granulosit yang pertama kali timbul dalam jumlah besar pada
eksudat adalah neutrofil. Jika sel-sel ini dilepas ke dalam sirkulasi
darah, maka waktu paruhnya di dalam sirkulasi adalah sekitar 6
jam. Neutrofil membunuh antigen hidup dengan berbagai cara,
termasuk mengubah pH intraselular setelah fagositosis, melepas
zat-zat antibakteri ke dalam vakuola fagositik, dan menghasilkan
zat-zat antibakteri seperti hidrogen peroksida. Dalam keadaan
tertentu, enzim-enzim pencernaan dan metabolit-metabolit
oksigen pada neutrofil dapat dilepaskan ke dalam jaringan pejamu
bukannya ke dalam fagolisosom intraselular. Jika hal ini terjadi,
maka neutrofil menjadi agen yang poten pada cedera jaringan .

- Eosinofil
Eosinofil merupakan jenis granulosit lain yang dapat ditemukan
dalam eksudat peradangan, walaupun biasanya dalam jumlah
yang relatif sedikit. Eosinofil berespon terhadap rangsang
kemotaktik; eosinofil memfagositosis berbagai jenis partikel; dan
bahkan membunuh mikroorganisme tertentu. Akan tetapi, hal
yang berbeda adalah bahwa eosinofil berespon terhadap stimulus
kemotaktik khas yang timbul selama reaksi-reaksi alergik dan
14

eosinofil juga mengandung zat-zat toksik serta zat-zat yang


memediasi reaksi peradangan.
- Basofil
Jenis granulosit ketiga adalah basofil granula pada jenis sel ini
mengandung berbagai enzim, heparin, dan histamin. Basofil
tampaknya memberi respon terhadap sinyal kemotaktik yang
dilepaskan dalam reaksi imunologik tertentu dan biasanya
terdapat dalam jumlah yang sangat kecil di dalam eksudat (Silvia
dan Lorraine, 2006).

Monosit dan Makrofag
Monosit juga berasal dari sumsum tulang, tetapi siklus hidupnya 3
sampai 4 kali lebih lama daripada granulosit. Presentasi sel-sel ini
biasanya meningkat seiring dengan semakin lamanya usia
eksudat. Sel yang sama, yaitu monosit, di dalam sirkulasi darah
disebut makrofag. Setelah aktivasi, makrofag menyekresi produk
yang aktif secara biologis dalam jumlah beragam, yang apabila
tidak diawasi, dapat menyebabkan jejas jaringan dan
menimbulkan tanda-tanda inflamasi sistemik. Produk tersebut
mencakup :

- Protease asam dan protease netral


- Komponen-komponen dan faktor koagulasi
- Spesies oksigen reaktif dan NO
- Metabolit AA
- Sitokin (Silvia dan Lorraine, 2006)

d. Faktor hemokoagulasi plasma

Plasma darah merupakan sumber yang kaya akan sejumlah


mediator-mediator penting. Mediator-mediator ini dibentuk melalui
kerja enzim proteolitik tertentu yang membangun semacam sistem
15

pertahanan yang saling berhubungan. Agen utama yang mengatur


faktor ini adalah faktor hageman (faktor XII), yang terdapat di dalam
plasma dalam bentuk inaktif dan dapat diaktifkan oleh berbagai
macam tipe cedera (Silvia dan Lorraine, 2006).

e. Komplemen

Sistem komplemen dapat diaktifkan melalui 2 cara, pertama yaitu


melalui kompleks Imunogen-imunoglobulin, dan yang kedua melalui
jalur alternatif, yakni jalur aktivasi komplemen yang tidak
membutuhkan kompleks antigen-antibodi untuk pengaktifannya. Jalur
kedua ini pada kebanyakan kasus diaktifkan oleh endotoksin bakteri,
dinding sel fungus, dan selubung luar virus.
Pada inflamasi, aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur
alternatif, selain jalur klasik. Potongan fragmen pendek dari
komplemen yaitu C3a, C4a dan C5a (anafilatoksin) akan berikatan
pada reseptor di sel menimbulkan respons inflamasi berupa:
kemotaksis dan adhesi neutrofil, stimulasi pembentukan radikal
oksigen, eukosanoid, PAF, pelepasan sitokin, peningkatan
permeabilitas kapiler dan ekspresi faktor jaringan. Faktor inilah yang
kemudian membuat kompleks komplemen ikut mengambil bagian
yang cukup bermakna dalam respon inflamasi sistemik (Shulman,
1999).

II.6. Mediator inflamasi

Inflamasi terbagi menjadi 2 pola dasar, yakni inflamasi akut dan


kronik. Inflamasi akut adalah radang yang berlangsung relatif singkat, dari
beberapa menit sampai beberapa hari, dan ditandai dengan eksudasi cairan
dan protein plasma serta akumulasi leukosit neutrofilik yang menonjol. Di
sisi lain, inflamasi kronik berlangsung lebih lama (berhari-hari sampai
bertahun-tahun) dan ditandai khas dengan influks limfosit dan makrofag
16

disertai proliferasi pembuluh darah dan jaringan parut. Berikut merupakan


mediator yang berperan dalam respon inflamasi akut dan kronik (Robbins
dkk, 2007).

a. Mediator inflamasi akut



Amina vasoaktif
Contoh dari amina vasoaktif adalah histamin dan serotonin. Pada
manusia, histamin menyebabkan dilatasi arteriol dan merupakan
mediator utama pada peningkatan permeabilitas vaskuler fase
cepat. Serotonin juga merupakan mediator vasoaktif yang berefek
sama dengan histamin,ditemukan terutama di dalam granula padat
trombosit dan dilepaskan saat terjadinya agregasi trombosit.

Protease plasma
Banyak efek peradangan diperantarai oleh 3 faktor yang berasal
dari plasma yang saling terkait; kinin, sistem pembekuan dan
komplemen. Yang akan dibahas pada poin ini adalah sistem kinin.
Aktivasi dari sistem kinin menyebabkan pembentukan bradikinin
dari prekursornya dalam sirkulasi. Seperti histamin, bradikinin
menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular, kontraksi otot
polos bronkus dan dilatasi arteriol. Selain itu bradikinin juga
dapat menimbulkan efek nyeri pada saat dilepaskan dalam
jaringan.

Metabolit asam arakhidonat (mediator lipid)
Asam arakhidonat (AA) merupakan suatu asam lemak tak jenuh
ganda, terdapat dalam tubuh dalam bentuk ester sebagai
komponen fosfolipid membran sel. Asam arakhidonat dilepaskan
dari fosfolipid melalui fosfolipase membran yang sebelumnya
telah diaktivasi oleh rangsang mekanik, kimia, atau fisik, atau
oleh mediator peradangan seperti C5a. Poses metabolisme AA
terjadi melalui satu atau dua jalur utama : siklooksigenase, yang
17

menyintesis prostaglandin dan tromboksan, dan lipoksigenase,


yang menyintesis leukotrien dan lipoksin.

Tabel 2.3. Kerja Eikosanoid pada Inflamasi


Kerja Metabolit
Vasokontriksi Tromboksan A2,
Leukotrien C4, D4, E4
Vasodilatasi Prostasiklin (PGI2), PGE1,
PGE2, PGD2, Lipoksin
Peningkatan pemeabilitas Leukotrien C4, D4, E4
vaskular
Kemotaksis dan adhesi leukosit Leukotrien B4, Lipoksin
(Robbins dkk, 2007).

Sitokin
Sitokin merupakan produk polipeptida dari banyak jenis sel
(tetapi pada dasarnya merupakan produk limfosit dan makrofag
yang teraktivasi) yang melakukan fungsi jenis sel lainnya. Sitokin
dihasilkan selama terjadinya proses radang dan imun, sekresinya
bersifat sementara dan diatur secara ketat, namun seringkali
berlebihan dalam aktivitas serupa yang dapat diinduksi oleh
berbagai protein yang berbeda. Secara garis besar, sitokin dapat
dikelompokkan ke dalam 5 kelompok berdasarkan cara kerja atau
targetnya.

1. Sitokin yang mengatur fungsi limfosit, seperti aktivasi,


pertumbuhan, dan diferensiasi (misalnya IL-2, yang
merangsang proliferasi, dan transforming growth factor β
yang menginhibisi pertumbuhan limfosit)
2. Sitokin yang terdapat pada imunitas bawaan, yaitu respon
primer terhadap rangsang yang membahayakan. Sitokin ini
meliputi 2 sitokin peradangan utama, TNF dan IL-1.
3. Sitokin yang mengaktifkan sel radang (terutama makrofag)
selama terjadi respon imun yang diperantarai oleh sel, seperti
interferon-γ dan IL-2.
18

4. Sitokin yang merangsang hematopoiesis, yaitu faktor


perangsang koloni monosit-granulosit (GM-CSF) dan IL-3.
5. Kemokin yang memiliki aktivitas kemotaksis terhadap
berbagai leukosit (Robbins dkk, 2007).

Nitrit oksida dan radikal bebas yang berasal dari oksigen
Nitrit oksida (NO) merupakan gas radikal bebas yang mudah larut
dan berumur pendek yan dihasilkan oleh berbagai sel dan mampu
memerantarai beberapa fungi efektor. NO banyak berperan dalam
inflamasi, yaitu (1) relaksasi otot polos pembuluh darah, (2)
antagonisme semua tahap aktivasi trombosit, (3) penurunan
rekrutmen leukosit pada tempat radang, dan (4) berperan sebagai
agen mikrobisidal pada makrofag teraktivasi (Robbins dkk, 2007).

b. Mediator Inflamasi Kronik



Protease asam dan protease netral

Komponen komplemen dan faktor koagulasi

Walaupun hepatosit merupakan sumber utama protein ini di dalam


plasma, makrofag teraktivasi dapat melepaskan protein ini dalam
jumlah yang bermakna secara lokal ke dalam matriks
ekstraselular. Komponen ini, meliputi protein komplemen C1
sampai C5; properdin; faktor koagulasi V dan VIII; dan faktor
jaringan.

Spesies oksigen reakif dan NO

Metabolit AA (eikosanoid)

Sitokin, seperti IL-1 dan TNF, serta berbagai faktor pertumbuhan
yang mempengaruhi proliferasi sel otot polos dan fibroblas, serta
produksi matriks ekstraselular.
19

II.7. Patogenesis

Suatu reaksi inflamasi yang masif mendasari baik SIRS maupun


MODS, dan karena respon inflamasi yang mirip pada kedua kasus ini,
dipikirkanlah patofisiologi yang sama.

Gambar 2.4 Teori Baru MODS


(Sudoyo et al, 2009)

Akibat dari jejas lokal atau infeksi, mediator-mediator proinflamasi


dilepaskan untuk melawan antigen-antigen asing dan mempercepat proses
penyembuhan luka. Kemudian akan diikuti pelepasan mediator-mediator
anti-inflamasi untuk meregulasi proses ini. Apabila homeostasis dicapai,
pasien akan sembuh. Namun, jika jejas patologis berat, dan mekanisme
pertahanan lokal tidak berhasil mengatasinya, maka mediator-mediator
inflamasi akan masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan merekrut leukosit-
leukosit baru di daerah inflamasi. Terjadilah respon terhadap stres di
20

seluruh tubuh. Sekali lagi, mediator-mediator anti-inflamasi dilepaskan ke


dalam sirkulasi sistemik untuk memperbaiki kaskade proinflamasi
sehingga tercapai kembali homeostasis.
Bila respon proinflamasi sistemik yang terjadi sifatnya berat, atau bila
respon anti-inflamasi sebagai kompensasinya tidak adekuat sehingga gagal
meregulasi respon proinflamasi, terjadilah ketidakseimbangan dengan
predominan proinflamasi. Pada keadaan ini didapatkan tanda-tanda SIRS,
dan mulai didapat ancaman disfungsi organ. Sebaliknya, jika terjadi
predominansi respon anti-inflamasi, dengan akibat anergi dan
imunosupresi, keadaan ini dinamakan compensatory anti-inflammatory
response syndrome (CARS).
Kelangsungan hidup bergantung pada tercapainya homeostasis. Bila
homeostasis tidak berhasil dicapai, sampailah pada fase terakhir proses
patogenik ini, immunological dissonance. Pada fase ini keseimbangan
antara proses pro- dan anti-inflamasi hilang, sehingga secara klinis
didapatkan tanda-tanda MODS.
Terdapat beberapa peran yang sangat penting dalam terjadinya reaksi
inflamasi sistemik.

a) Peran sitokin :

Beberapa sitokin yang berperan dalam terjadinya SIRS dan


MODS : TNF-α, IL-1β, IL-8, IL-6, IL-10, yang kadarnya berkaitan
dengan morbiditas dan mortalitas sepsis.
TNF-α dan IL-1β, diproduksi terutama oleh monosit. Selain
mengantarai demam, sitokin-sitokin ini mengaktivasi pembekuan,
menginduksi ekspresi molekul-molekul adhesi, saling memacu
sintesis keduanya, dan memicu produksi IL-6, IL-8 dan IL-10. IL-6
memicu fase akut produksi protein dan meregulasi produksi TNF-α
dan IL-1β.
Sebagai respon terhadap mediator-mediator proinflamasi, akan
diproduksi sitokin-sitokin anti-inflamasi dan antagonis sitokin. IL-4,
21

IL-10 dan IL-13 menginhibisi produksi sitokin leukosit. Antagonis


reseptor IL-1 (IL-1RA) dan reseptor TNF terlarut pada konsentrasi
tinggi akan mengikat IL-1 dan TNF. Dengan demikian akan mencegah
aktivitas biologisnya. Suntikan IL-10 mengurangi produksi TNF-α
dan menurunkan mortalitas sedangkan anti IL-10 meningkatkan
mortalitas sepsis pada binatang percobaan. Kadar IL-10 yang
berlebihan, diperkirakan sebagai predisposisi untuk imunosupresi,
ditemukan pada pasien-pasien yang meninggal karena sepsis. Di sisi
lain, kadar IL-10 yang rendah diperkirakan memudahkan terjadinya
inflamasi yang tidak terkontrol, dikaitkan dengan memburuknya
prognosis ARDS. Kadar sitokin yang abnormal akan mempengaruhi
kemampuan sel untuk memproduksi baik mediator proinflamasi
maupun mediator anti-inflamasi. Fenomena ini dapat menerangkan
modem two-hit pada patogenesis SIRS maupun MODS (gambar 2.2),
dimana jejas awal tidak sanggup/cukup kuat untuk menimbulkan
MODS, kecuali ada faktor-faktor lain, misalnya infeksi sekunder, atau
dilepaskannya sitokin-sitokin dari usus maupun paru (Sudoyo et al,
2009).

b) Peran mediator lipid

Bila kaskade inflamasi diaktifkan, PLA2 (phospolipase A2)


memetabolisme membran fosfolipid dari sel-sel inflamasi untuk
memproduksi PAF (platelet activating faktor) dan AA (asam
arakhidonik). AA akan dimetabolisme oleh siklooksigenase atau 5’
lipoksigenase menghasilkan sejumlah prostaglandin dan leukotrien,
yang mempunyai efek pro- dan anti-inflamasi seperti pada beberapa
sitokin.
TXA2 (tromboksan A2) mempunyai peran yang penting pada fase
akut dari kerusakan organ antara lain engan merangsang agregasi
trombosit sehingga terjadi trombosis di mikrovaskular dan kerusakan
jaringan. TXA2 dapat menyebabkan bronkokonstriksi dengan akibat
22

V/Q mismatch dan menyebabkan depresi miokard. Kadar TXB2

(metabolit TXA2 yang stabil) yang tinggi ditemukan pada pasien

sepsis yang fatal. Berbeda dengan TXA2, PGE2 dan prostasiklin


mempunyai efek yang menguntungkan. Sementara efek negatif yang
utama adalah vasodilatasi, molekul-molekul ini berperan dalam
menstabilkan lisosom dan dengan demikian mempunyai efek
antiproteolitik, menginhibisi aktivasi sel T dan sel B serta mencegah
produksi sitokin oleh makrofag.
PAF bekerjasama dengan sitokin-sitokin lain, meningkatkan
produksi IL-1 dari monosit. PAF juga mempunyai efek langsung pada
proses inflamasi yaitu terhadap endotel dengan hasil adhesi sel-sel
neutrofil dan meningkatnya permeabilitas vaskular (Sudoyo et al,
2009).

c) Pengaruh genetik

Pasien yang berasal dari keluarga dengan produksi TNF yang


rendah, mempunyai resiko peningkatan sebesar 10 kali lipat infeksi
meningokokus yang bersifat fatal, dan resiko ini naik menjadi 20 kali
lipat bila produksi IL-10 tinggi. Sayangnya determinan genetik
terhadap prognosis sepsis maupun MODS ternyata lebih kompleks
dari sekedar ekspresi kuantitatif satu atau beberapa sitokin (Sudoyo et
al, 2009).

d) Kerusakan jaringan

Kerusakan jaringan terjadi selama proses inflamasi dan berjalan


progresif menuju disfungsi dan berakhir dengan gagal organ. Endotel
vaskular mengekspresikan molekul-molekul adhesi sehingga leukosit
berpindah tempat dari sirkulasi ke dalam jaringan. Leukosit
berkelompok sebagai respon terhadap kemokin seperti IL-8,
degranulasi sel-sel leukosit melepaskan protease-protease seperti
23

elastase dan melatoproteinase matriks yang merusak struktur jaringan.


Leukosit-leukosit yang teraktivasi memprodusi ROS (reactive oxygen
species) yang ikut berperan dalam kerusakan jaringan (Sudoyo et al,
2009).

e) Peran nitrit oksida

Inducible nitrit oxyde sintase (iNOS) dalam respon terhadap


inflamasi menghasilkan NO dalam jumlah berlebihan. NO
menyebabkan vasodilatasi, inotropik negatif dan nitrosilasi jaringan.
Miosit pasien sepsis menunjukkan nitrosilasi dari protein intraselular.
Salah satu syarat berfungsinya suatu organ secara normal adalah
kemampuan sel-sel epitel menjaga permeabilitas paraselular dan
nitrosilasi merusak integritas paraselular dengan akibat antara lain
meningkatnya permeabilitas mukosa usus. Loss of compartmenta-
lization terjadi pada ARDS, gagal ginjal akut dan kolestasis
intrahepatik (Sudoyo et al, 2009).

f) Hipoksia jaringan dan kerusakan jaringan karena perfusi buruk

Kematian sel karena hipoksia dapat menyebabkan respon


inflamasi. Hipoksia juga mengakibatkan sel-sel epitel melepaskan
TNF-α dan IL-8 dengan akibat meningkatnya permeabilitas epitel. IL-
8 berperan sebagai kemotraktan terhadap neutrofil, dan memblok efek
autokrin dari TNF-α sehingga fungsi penyekat (barrier)
dipertahankan.
Hipoksia juga menyebabkan pelepasan IL-6, sitokin utama dalam
respon fase akut. Reperfusi jaringan yang iskemik akan diikuti
pembentukan ROS sebagai hasil metabolisme xantin dan hipoxantin
oleh oksidase xantin, dan metabolisme AA serta produksi superoksida
oleh neutrofil yang teraktivasi. Sebagai tambahan, terjadi influks
24

kalsium ke dalam sel dengan akibat kerusakan sel (Sudoyo et al,


2009).

g) Apoptosis

Apoptosis atau kematian sel yang terprogram adalah suatu


mekanisme penting dalam homeostasis selular pada organisme
multiselular. Fenomena ini dilestarikan secara genetik, suatu
mekanisme yang memerlukan energi, yang bertujuan mengontrol
jumlah sel. Berbeda dengan keadaan tanpa inflamasi dan respon
inflamasi akut, pada SIRS/MODS terjadi perubahan dinamik dan
regulasi dari apoptosis.

Tabel 2.4. Apoptosis dalam Patofisiologi Sepsis


Pengamatan Hipotesis
Penundaan Menguntungkan Meningkatkan fungsi
apoptosis Memperpanjang fungsi
neutrofil Merugikan Memperpanjang elaborasi
metabolit yang bersifat toksik
Dapat mengakibatkan
nekrosis neutrofil
Apoptosis Menguntungkan Mengurangi otoreaktivitas
limfosit Mengurangi sel-sel efektor
meningkat yang dapat memperpanjang
proses inflamasi
Supresi imun
Merugikan Mengurangi beban sel-sel
sekarat
Apoptosis Menguntungkan Menghapus jejak inflamasi
parenkim Merugikan Mengurangi kapasitas fungsi
dari organ
(Sudoyo et al, 2009)

h) Peranan gangguan koagulasi

Penelitian pada mikrosirkulasi hati menunjukkan bahwa dalam


waktu 5 menit setelah penyuntikan endotoksin telah terjadi
mikrotrombus. Bila tantangan endotoksin di dalam sirkulasi sistemik
25

berlanjut maka bekuan-bekuan fibrin akan mulai terakumulasi.


Akibatnya terjadi daerah-daerah hipoperfusi, dan nekrosis koagulasi
serta kerusakan jaringan yang ireversibel. Dengan mengukur aktivasi
koagulasi dapat dipastikan bahwa pada semua pasien syok septik
terjadi trombin.
Mekanisme kontrol utama terhadap pembentukan trombin adalah
jalur antikoagulasi protein C. Trombin bersifat proinflamasi,
prokoagulasi dan juga regulasi proliferasi selular melalui
perangsangan pelepasan growth factor. Defisiensi protein C pada
SIRS/MODS memudahkan terjadinya trombin, dengan akibat
disfungsi sel-sel endotel.

Gambar 2.5. Spiral Progresi Inflamasi-Koagulasi


(Sudoyo et al, 2009)

i. Peranan intervensi medis dalam SIRS/MODS

Banyak efek merugikan yang timbul sebagai akibat penggunaan


alat-alat penunjang kehidupan di ICU yang turut berperan dalam
penurunan fungsi organ.
26

Tabel 2.5. Faktor Latrogenik yang Berperan pada Kerusakan


Jaringan dalam Patogenesis SIRS & MODS
Intervensi medis Komplikasi dan kerusakan jaringan
Komplikasi kateterisasi - Pendarahan
venasentral dan arteri - Infeksi
pulmonalis - Simpul dan kateter
- Aritmia
- Infark paru, pecah arteri
pulmonalis
- Target terapi tidak tepat
Komplikasi terapi cairan - Hipovolemia yang tidak
I.V. terdeteksi
- Penurunan tekanan onkotik
- Pemberian cairan kristaloid atau
koloid berlebihan
- Edema paru
Komplikasi obat inotropik - Aritmia
dan vasopresor - Iskemia/infark miokard
- Vasokonstriksi yang tidak
dikehendaki
- Hiperglikemia
- Asidosis metabolik
Kompilasi ventilasi - Volutrauma
mekanik - Gangguan hemodinamik
- Pelepasan sitokin ke dalam
sirkulasi sistemik
- Supresi imun
Komplikasi nutrisi - Hiperglikemia
parental - Steatosis dan disfungsi hati
- Produksi CO2 berlebih
- Supresi imun
- Atrofi mukosa gastrointestinal
dan limfoid
(Wim dan Sjamsuhidajat, 2005)

II.8. Gambaran Klinis dari Konsekuensi SIRS

a. Gangguan kardiovaskular

Pada MODS, NO menurunkan resistensi vaskular sistemik, dan


bersama TNF-α serta IL-1β menekan fungsi miokard. Penurunan
perfusi akan terjadi di semua organ. Hilangnya fungsi penyekat dari
27

endotel menyebabkan edema dan redistribusi cairan. Resusitasi cairan


dapat menyebabkan dilatasi miokard. Pada pasien sepsis indeks
kardiak meningkat. Sepertiga pasien sepsis mengalami disfungsi
miokard.
Secara definisi, gagal kardiovaskular dideteksi apabila ditemukan
tanda-tanda sebagai berikut :

 HR (heart rate) ≤ 54/menit


 MAP (mean arterial pressure) ≤ 49 mmHg
 VT (ventricular tachycardia) atau VF (ventricular fibrillation)
 pH serum ≤ 7,24 dengan PCO2 ≤ 40 mmHg (Lumb, 1991).

b. Disfungsi respirasi

Disfungsi pulmonar sering terjadi pada pasien SIRS dengan

tanda-tanda : takipnea, hipoksemia (rasio PaO2/F1O2 menurun) dan


hiperkarbia. Sepsis/SIRS dapat berkembang menjadi ALI (acute lung
injury) bahkan ARDS (acute respiratory response syndrome). Enam
puluh persen pasien syok septik mengalami ARDS.
Hipoksemia dan hipoksia pada SIRS dapat terjadi sebagai akibat
disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi
maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan dapat pula terganggu
akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan
penurunan curah jantung yang secara langsung akan menimbulkan
efek pada oksigenasi jaringan. Transpor oksigen ke jaringan juga
dipengaruhi oleh gangguan perfusi akibat disfungsi vaskular.
28

Tabel 2.6. Pembakuan Definisi Disfungsi Respirasi Terkait


SIRS/MODS
Tipe Variabel Acuan
Gagal respirasi RR PaCO2 ≤ 5/menit, atau ≥ 49/menit
P(A-a) O2 ≥ 50mmHg
≥ 350 mmHg
Ventilasi mekanik atau CPAP
pada hari ke-4
ARDS PaO2/FIO2 < 200 mmHg
PCWP < 18 mmHg
-
 Infiltrat difus pada foto
- rontgen dada
 Tidak ada infeksi paru atau
penyebab lain dari distress
- pernapasan
 Penurunan pulmonary
compliance
 Riwayat penyakit yang
menyokong
ALI PaO2/FIO2 < 300 mmHg (Acuan lainnya
sama dengan acuan pada ARDS)
(Lumb, 1991)

c. Disfungsi ginjal

Ginjal mudah mengalami kerusakan jaringan yang diperantarai


oleh leukosit melalui produksi protease dan ROS. Hipovolemia,
cardiac output yang rendah, obat-obat yang bersifat nefrotoksik,
tekanan intra-abdominal yang meningkat, dan rabdimiolisis berperan
dalam disfungsi ginjal. Medula yang lebih aktif dalam metabolisme
relatif lebih parah daripada korteks ginjal dalam menghadapi iskemia.
Berikut adalah manifestasi klinis yang dapat ditemukan :
 Diuresis ≤ 479 ml/24 jam atau ≤ 159 ml/8 jam
 BUN ≥ 100 mg/dl
 Kreatinin serum ≥ 3,5 mg/dl (Lumb,

1991) d. Disfungsi gastrointestinal

Hipoperfusi splanchnic sering dijumpai pasca trauma, pada sepsis


dan syok. Iskemia mukosa usus meningkatkan permeabilitas dengan
akibat terjadi translokasi bakteri dan mediator-mediator ke dalam
29

sirkulasi sistemik. Fenomena ini mendukung teori model two-hit


dalam patogenesis SIRS/MODS. Terjadi nitrosilasi dalam sel-sel
epitel usus yang juga akan menaikkan permeabilitas usus.
Manifestasi iskemia splanchnic dapat berupa pendarahan stress
ulcer, Ileus, hepatitis iskemik, kolesistitis tanpa batu dan pankreatitis.
Hiperglikemia terjadi sebagai akibat meningkatnya glukoneogenesis
dan gangguan bersihan glukosa. Lipolisis meningkatkan gliserol dan
asam lemak bebas dalam plasma serta menurunkan keton. Pada
MODS lanjut terjadi hipertrigliseridimia akibat menurunnya bersihan
trigliserida, dan praterminal terjadi kegagalan glukoneogenesis, yang
menyebabkan hipoglikemia.

Tabel 2.7. Gagal hati dan variabelnya


Variabel Acuan
Bilirubin serum ≥ 6 mg/dl
PT (prothrombin time) > 4 s di atas kontrol
(Samra dan Summers, 1996)

e. Disfungsi neurologis

Disfungsi pada SSP menjadi salah satu dari konsekuensi SIRS


jika selama respon inflamasi berlangsung ditemukan skor glasgow
coma scale dengan nilai ≤ 6 tanpa pemberian bahan yang bersifat
sedatif (McKinlay, 2003)

II.9. Penatalaksanaan

Umumnya, pengobatan untuk SIRS diarahkan pada masalah yang


mendasari atau penyebab jejas, hanya saja pada keadaan berat, tatalaksana
terutama dilakukan untuk menangani gejala-gejala syok yang mengarah
pada kematian.
Meskipun SIRS hanyalah sejumlah proses menuju kegagalan sistem
organ, sangatlah penting untuk memahami bahwa tanpa penanganan
secepat mungkin, SIRS dapat menjadi keadaan gawat darurat yang
sifatnya fatal (Hotchkiss, 2003).
30

Pada tahun 2004, ACCP dan SCCM merekomendasikan suatu


pegangan dalam tatalaksana SIRS, sepsis, syok sepsis dan MODS dengan
urutan sebagai berikut : 1). Resusitasi awal; 2). Diagnosis; 3). Terapi
antibiotik; 4). Kontrol sumber infeksi; 5). Terapi cairan; 6). Vasopresor; 7).
Terapi inotropik; 8).kortikosteroid; 9). Recombinant human activated
protein C; 10). Pemberian produk darah; 11). Ventilasi mekanik; 12).
Sedasi/analgetik; 13). Kontrol gula darah; 14). Terapi pengganti fungsi
ginjal; 15). Terapi bikarbonat; 16). Pencegahan trombosis vena dalam; 17).
Pencegahan stress ulcer.

a. Tatalaksana suportif

Hal utama yang perlu diperhatikan di sini adalah konsekuensi dari


SIRS, yakni kegagalan organ. Seiring berjalannya waktu, pasien
SIRS/sepsis akan menerima konsekuensi yang fatal apabila tidak
mendapat terapi penunjang yang tepat.

- Oksigenasi
Terapi ini terutama diberikan apabila ditemukan tanda-tanda
pasien mengalami hipoksemia dan hipoksia berat. Dalam
tatalaksana hipoksemia dan hipoksia semua faktor yang
mempengaruhi baik ventilasi, perfusi, delivery dan penggunaan
oksigen perlu mendapat perhatian dan dikoreksi. Pada keadaan
hipoksemia berat dan gagal nafas bila disertai penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu
segera dilakukan.
- Terapi cairan
Hipovolemia pada SIRS perlu segera diatasi dengan pemberian
cairan baik kristaloid (NaCL 0,9 % maupun ringer laktat) maupun
koloid. Kristaloid merupakan pilihan terapi awal karena mudah
didapatkan, tetapi perlu diberikan dalam jumlah banyak. Volume
cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak
kurang ataupun berlebih. Pada keadaan albumin < 2 gr/dl koreksi
31

albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit diperlukan pada


keadaan pendarahan aktif atau bilamana kadar hemoglobin rendah
pada keadaan iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar HB
yang dicapai pada SIRS dipertahankan di atas 8 hingga 10 g/dl.
Namun pertimbangan kadar HB bukan hanya berdasarkan kadar
HB semata, melainkan juga keadaan klinis pasien, sarana yang
tersedia, serta keuntungan dan kerugian pemberian transfusi.
- Vasopresor dan Inotropik
Vasopresor diberikan apabila keadaan hipovolemik teratasi masih
ditemukan kondisi hipotensi. Terapi vasopresor diberikan mulai
dosis terendah secara titrasi untuk mencapai tekanan arteri rata-
rata (MAP) 60 mmHg, atau tekanan darah sistolik 90 mmHg.
Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8
mikrogram (mcg)/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit.
Sebagai inotropik yang dapat digunakan dobutamin dengan dosis
2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mcg/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5
mcg/kg/menit atau inhibitor fosfodiesterase.
- Bikarbonat
Pada SIRS terjadi hipoperfusi dengan konsekuensi terjadinya
gangguan transpor karbondioksida dari jaringan, sehingga akan
terjadi penurunan pH sel ke tingkat yang sangat rendah. Secara
empirik bikarbonat dapat diberikan bila pH < 7,2 atau serum
bikarbonat < 9 meq/l, dengan disertai upaya untuk memperbaiki
keadaan hemodinamik.
- Disfungsi renal
Gangguan fungsi renal pada SIRS terjadi sebagai akibat buruknya
perfusi ke organ tersebut. Dopamin dosis renal (1-3
mcg/kg/menit) terbukti tidak menurunkan mortalitas, untuk itu
sebagai terapi pengganti dilakukan hemodialisis dan hemofiltrasi
kontinu.
32

- Nutrisi
Pada SIRS, kecukupan nutrisi berupa kalori, protein (asam
amino), asam lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan
sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan bila
tidak memungkinkan baru diberikan secara parenteral.
Pengendalian kadar glukosa darah juga perlu dilakukan oleh
karena berbagai penelitian menunjukkan manfaatnya terhadap
proses inflamasi dan penurunan mortalitas.
- Kortikosteroid
Beberapa penelitian akhir-akhir ini membuktikan bahwa dengan
pemberian kortikosteroid dengan dosis fisiologis didapatkan
perbaikan syok dan disfungsi organ (Bone, 1992).

b. Kontrol Kausa

Hal terpenting dalam tatalaksana SIRS adalah menghilangkan


faktor presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi (khususnya
sepsis).

- Antibiotik
Usaha mencari pathogen penyebab infeksi harus dilakukan
maksimal, termasuk kultur darah dan cairan badan, pemeriksaan
serologi dan aspirasi perkutan. Pemberian antimikroba yang tepat
pada awal perjalanan penyakit infeksi akan memperbaiki
prognosis dan bersama-sama dengan pencegahan infeksi sekunder
serta penyakit nosokomial akan menurunkan insiden MODS.
- Pembedahan
Umumnya dilakukan pada tatalaksana SIRS yang disebabkan oleh
trauma. Sumber dari respon inflamasi tidak selalu jelas, kadang-
kadang diperlukan pembedahan eksplorasi terutama bila dicurigai
sumber inflamasi berasal dari intra-abdomen.
33

- Kontrol kausa lainnya


Faktor-faktor lain seperti burns (luka bakar) dan trauma disertai
fraktur dapat memicu respon inflamasi sistemik. Untuk itu, fiksasi
patah tulang yang lebih dini, debridemen luka bakar, reseksi usus
yang iskemik atau jaringan mati serta pengasatan pus perlu
dilakukan untuk mengontrol penyebab SIRS (Bone, 1992).

c. Terapi inovatif

- Modulasi imun
Penelitian berskala besar dengan pemberian antibodi monoklonal
serta obat-obatan lain yang bertujuan untuk memanipulasi sistem
imun menunjukkan tidak adanya penurunan presentasi mortalitas
pasien-pasien Sepsis.
- Inhibitor NO
Dari penelitian terbukti pemberian inhibitor NOS bahkan
meningkatkan mortalitas. Di masa mendatang mungkin inhibitor
yang selektif terhadap iNOS mempunyai peranan dalam
tatalaksana MODS
- Filtrasi darah
Hemofiltrasi volume tinggi (2-6 filtrasi/jam) mungkin dapat
menyaring sitokin-sitokin dan mediator inflamasi lainnya dan
mengeluarkannya dari jaringan.
- Manipulasi kaskade pembekuan darah
Pemberian terapi ini menghasilkan penurunan mortalitas pada
pasien sebesar 6% (Bone, 1992).
34

BAB III
PENUTUP

III.1. Kesimpulan

1. SIRS adalah respon peradangan sistemik yang dapat muncul sebagai


akibat dari faktor yang sifatnya infeksius maupun noninfeksius.
2. SIRS berkaitan erat dengan sepsis dan MODS sebagai
konsekuensinya.
3. Komponen yang berperan dalam tercetusnya SIRS tidak lain adalah
komponen dari sistem inflamasi, yakni leukosit, platelet, faktor
hemokoagulasi plasma, komplemen dan sel endotel.
4. Inflamasi maupun proses perbaikan jaringan tubuh sangat potensial
dalam menimbulkan bahaya.
5. MODS dapat muncul sebagai akibat langsung dari jejas awal namun
dapat pula muncul sebagai konsekuensi dari SIRS.
6. SIRS membutuhkan penanganan yang dilakukan secepat mungkin
mengingat konsekuensi yang ditimbulkannya akan bersifat fatal bagi
pasien.

III.2. Saran

Walaupun dalam dua dekade terakhir ini banyak banyak dilakukan


penelitian mengenai terapi yang tepat pada pasien SIRS, hasilnya masih
jauh dari memuaskan. Adanya tumpang tindih dari berbagai terapi
membuat penatalaksanaan dari fenomena medis ini tetap saja gagal dalam
menyelamatkan pasien. Karena itu, sangat disarankan untuk terus
menggali informasi yang lebih rinci lagi mengenai materi ini.
35

DAFTAR PUSTAKA

Bone RC. Definition for Sepsis and Organ Failure and Guidelines for The Use of
Innovative Therapies in SIRS. The ACCP/SCCM consensus conference
comittee. Chest 1992; 101: 1644-55.
George HF., George JH. Biologi Edisi 2 Vol 1. Jakarta. Penerbit Erlangga. 2006.
Hotchkiss RS. The Pathophysiology and Treatment of Sepsis. N Engl J Med.
2003; 348 : 138.
Janotha J. 2002. SIRS and MODS (On-line). Praha.http://www.lf1.cuni.cz/patf.
Diunduh pada 5 November 2011.
Kumar V., Cotran R., Robbins S. Buku Ajar Patologi Edisi 7 Vol 1. Jakarta. EGC.
2007.
Lumb PD. Multiple Organ Failure in Critically Ill patients. Medical Progress
2002; July : 27-35.
Sylvia AP., Lorraine MW. Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi 6 Vol
1. Jakarta. EGC. 2006.
Sudoyo AW., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi Keempat Jilid I. Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam Universitas Indonesia. 2009.
Stephen JM., William FG. Patofisiologi Penyakit Edisi 5 Vol 1. Jakarta. EGC.
2007.
Sjamsuhidajat R., Wim DJ. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2 Volume1. Jakarta.
EGC. 2005.
Shulman ST. Pengenalan Penyakit Infeksi. Dalam: Dasar Klinis dan Penyakit
Infeksi Edisi IV (terjemahan). Gajah Mada University Press; 1994.h.1-5.
Samra JS., Summers LKM., Frayn KN. Sepsis and Fat Metabolism. Br J Surg
1996; 83 : 1186-96.
36

Anda mungkin juga menyukai