Anemia Hemolitik Autoimun Laporan Kasus
Anemia Hemolitik Autoimun Laporan Kasus
PENDAHULUAN
Anemia hemolitik adalah kadar hemoglobin kurang dari nilai normal akibat
kerusakan sel eritrosit yang lebih cepat dari kemampuan sumsum tulang untuk
menggantikannya, atau anemia yang terjadi karena adanya destruksi atau pembuangan
sel darah merah dari sirkulasi sebelum waktunya, yaitu 120 hari yang merupakan masa
hidup sel darah merah normal.1,2
Hiperplasia eritropoiesis dan pelebaran anatomik sumsum tulang menyebabkan
meningkatnya destruksi eritrosit beberapa kali lipat sebelum pasien menjadi anemis –
penyakit hemolitik terkompensasi. Sumsum tulang dewasa normal, setelah pelebaran
maksimal, mampu menghasilkan eritrosit dengan kecepatan enam sampai delapan kali
normal asalkan etritropoiesis ini efektif. Hal ini menyebabkan retikulosis yang
bermakna, khususnya pada anemia yang lebih berat. Oleh karena itu, anemia hemolitik
mungkin tidak tampak sampai masa hidup eritrosit kurang dari 30 hari.3
Pada prinsipnya anemia hemolitik dapat terjadi karena: (1) defek molekular:
hemoglobinopati atau enzimopati; (2) abnormalitas struktur dan fungsi membran-
membran; (3) faktor lingkungan seperti trauma mekanik atau autoantibodi. Anemia
hemolitik dapat terjadi melalui 2 mekanisme: (1) hemolitik intravaskular, yaitu
destruksi sel darah merah terjadi di dalam sirkulasi pembuluh darah dengan pelepasan
isi sel ke dalam plasma; (2) hemolitik ekstravaskular, yaitu destruksi sel darah merah
yang ada kelainan membran oleh makrofag di limpa dan hati.2
Derajat keparahan anemia tergantung pada apakah hemolisis timbul secara
bertahap atau tiba-tiba dan sejauh mana telah terjadi kerusakan eritrosit. Hemolisis
ringan dapat bersifat asimtomatik sementara anemia hemolitik berat dapat mengancam
kehidupan dan menyebabkan angina dan dekompensasi cardiopulmonary. Manifestasi
klinis juga mencerminkan penyebab dari anemia hemolitik. Anemia hemolitik memiliki
berbagai macam penyebab, dan manifestasi klinis dapat berbeda tergantung pada
etiologi. Berbagai jenis tes laboratorium tersedia untuk mendeteksi adanya hemolisis,
dan beberapa tes khusus dapat digunakan untuk mendiagnosis penyebab hemolisis.
Terdapat perbedaan dalam penanganan berbagai jenis anemia hemolitik.4
Anemia hemolitik mewakili sekitar 5% dari semua anemia. Akut AIHA relatif
jarang, dengan kejadian 1-3 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Anemia hemolitik
tidak spesifik pada setiap ras. Namun, anemia sel sabit ditemukan terutama di Afrika,
1
Afrika Amerika, beberapa orang Arab, dan Aborigin di India selatan. Terdapat juga
beberapa varian dari defisiensi G6PD. Varian A(-) ditemukan di Afrika Barat dan
Afrika Amerika. Sekitar 10% orang Amerika Afrika membawa setidaknya 1 salinan gen
untuk varian ini. Varian Mediterania terjadi pada individu keturunan Mediterania dan di
beberapa negara Asia.4
Sebagian besar kasus anemia hemolitik tidak spesifik pada jenis kelamin
tertentu. Namun, AIHA sedikit lebih mungkin terjadi pada wanita dibandingkan pada
laki-laki. Defisiensi G6PD adalah gangguan resesif terkati kromosom X. Oleh karena
itu, laki-laki biasanya lebih banyak terkena, dan perempuan adalah pembawa. Meskipun
anemia hemolitik dapat terjadi pada orang dari segala usia, gangguan herediter biasanya
terlihat pada awal kehidupan. AIHA adalah lebih mungkin terjadi pada orang setengah
baya dan lebih tua.4
Prognosis untuk penderita anemia hemolitik tergantung pada penyebab yang
mendasarinya. Secara keseluruhan, tingkat kematian cukup rendah pada anemia
hemolitik. Namun, risikonya lebih besar pada pasien yang berusia lebih tua dan pasien
dengan gangguan kardiovaskular. Morbiditas tergantung pada etiologi hemolisis dan
gangguan yang mendasarinya, seperti anemia sel sabit atau malaria.4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANEMIA HEMOLITIK
A. PENGERTIAN
Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena destruksi atau pembuangan sel
darah merah dari sirkulasi sebelum waktunya, yaitu 120 hari yang merupakan masa
hidup sel darah merah normal. Ada 2 mekanisme terjadinya hemolitik yaitu:1,2
Hemolitik intravaskular : destruksi sel darah merah terjadi di dalam sirkulasi
pembuluh darah dengan pelepasan isi sel ke dalam plasma. Penyebabnya antara
lain karena trauma mekanik dari endotel yang rusak, fiksasi komplemen serta
aktivasi pada permukaan sel, dan infeksi.
Hemolitik ekstravaskular : destruksi sel darah merah yang ada kelainan membran
oleh makrofag di limpa dan hati. Sirkulasi darah difiltrasi melalui splenic cords
menuju sinusoid limpa. Sel darah merah dengan abnormalitas struktur membran
tidak dapat melewati proses filtrasi sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh
makrofag yang ada di sinusoid.
3
C. DIAGNOSIS
Tabel 2. Diagnosis dan Terapi Anemia Hemolitik1,2
Hal yang
Klasifikasi Etiologi Diagnosis Terapi
berhubungan
Acquired Immune-mediated Antibodi Idiopatik, Sferosit dan Atasi
terhadap keganasan, DAT (direct penyebab,
antigen kelainan antiglobulin hentikan obat-
permukaan autoimun, test) + obatan yang
sel darah obat-obatan, menjadi
merah infeksi, penyebab,
transfusi darah hindari suhu
dingin, steroid,
gama globulin
IV,
plasmaferesis,
sitotoksik,
danazol,
splenektomi
Microangiopathic Gangguan TTP, HUS, Schistocytes Atasi
mekanik sel DIC, eklamsia, penyebabnya
darah merah preeklamsia,
di sirkulasi hipertensi
malignan,
katup jantung
prostetik
Infeksi Malaria, Kultur, Antibiotik
babesiosis, serologis,
klostridium apusan darah
tebal dan tipis
Herediter Enzymopathies Defisiensi Infeksi, obat- Enzim G6PD Atasi infeksi
G6PD obatan rendah dan
menghentikan
obat-obatan
Membranopathies Sferositosis Sferosit, Splenektomi
herediter riwayat
keluarga, DAT
-
Hemoglobinopati Talasemia Hemoglobin, Asam folat,
dan sickle elektroforesis, transfusi
cell disease pemeriksaan
genetik
4
Pendekatan diagnosis pada anemia hemolitik yaitu :1
Keterangan :
LDL : Laktat dehidrogenase DAT : Direct antiglobulin test
PT : Prothrombin time G6PD : Glucose-6-phosphate dehydrogenase
PTT : Partial thromboplastin time TTP : Thrombotic Thrombocytopenic Purpura
HUS : Hemolytic Uremic Syndrome DIC : Disseminated intravascular coagulation
Gambar 1. Algoritme Evaluasi Anemia Hemolitik1
B. PATOFISIOLOGI
Perusakan sel-sel eritrosit yang diperantarai antibodi ini terjadi melalui aktivasi sistem
komplemen, aktivasi mekanisme seluler, atau kombinasi keduanya.6
5
1. Aktivasi sistem komplemen
Secara keseluruhan aktivasi sistem komplemen akan menyebabkan hancurnya membran
sel eritrosit dan terjadilah hemolisis intravaskuler yang ditandai dengan
hemoglobinemia dan hemoglobinuri.6
Sistem komplemen akan diaktifkan melalui jalur klasik ataupun jalur alternatif.
Antibodi-antibodi yang memiliki kemampuan mengaktifkan jalur klasik adalah IgM,
IgG1, IgG2, IgG3. IgM disebut sebagai aglutinin tipe dingin, sebab antibodi ini
berikatan dengan antigen polisakarida pada permukaan sel darah merah pada suhu di
bawah suhu tubuh. Antibodi IgG disebut aglutinin hangat karena bereaksi dengan
antigen permukaan sel eritrosit pada suhu tubuh.6
a. Aktivasi komplemen jalur klasik
Reaksi diawali dengan aktivasi C1 suatu protein yang dikenal sebagai recognition
unit. C1 akan berikatan dengan kompleks imun antigen antibodi dan menjadi aktif
serta mampu mengkatalisis reaksi-reaksi pada jalur klasik. Fragmen C1 akan
mengaktifkan C4 dan C2 menjadi suatu kompleks C4b,2b (dikenal sebagai C3-
convertase). C4b,2b akan memecah C3 menjadi fragmen C3b dan C3a. C3b
mengalami perubahan konformational sehingga mampu berikatan secara kovalen
dengan partikel yang mengaktifkan komplemen (sel darah merah berlabel
antibodi). C3 juga akan membelah menjadi C3d,g, dan C3c. C3d akan tetap
berikatan pada membran C3. C3b akan membentuk kompleks dengan C4b,2b
menjadi C4b2b3b (C5 convertase). C5 convertase akan memecah C5 menjadi
C4a (anafilatoksin) dan C5b yang berperan dalam kompleks penghancur
membran. Kompleks penghancur membran terdiri dari molekul C5b, C6, C7, C8,
dan beberapa molekul C9. Kompleks ini akan menyisip ke dalam membran sel
sebagai suatu aluran transmembran sehingga permeabilitas membran normal akan
terganggu. Air dan ion akan msuk ke dalam sel sehingga sel membengkak dan
ruptur.6
b. Aktivasi komplemen jalur alternatif
Aktivator jalur alternatif akan mengaktifkan C3, dan C3b yang terjadi akan
berikatan dengan membran sel darah merah. Faktor B kemudian melekat pada
C3b, dan oleh D faktor B dipecah menjadi Ba dan Bb. Bb merupakan suatu
protease serin, dan tetap melekat pada C3b. Ikatan C3bBb selanjutnya akan
memecah molekul C3 lagi menjadi C3a dan C3b. C5 akan berikatan dengan C3b
6
dan oleh Bb dipecah menjadi C5a dan C5b. Selanjutnya C5b berperan dalam
penghancuran membran.6
C. ETIOLOGI
Etiologi pasti dari penyakit autoimun memang belum jelas, kemungkinan terjadi karena
gangguan central tolerance, dan gangguan pada proses pembatasan limfosit autoreaktif
residual.6
7
pada suhu tubuh < anemia : post infeksi (Mycoplasma
37oC pneumonia, mononucleosis),
berkaitan dengan keganasan sel B,
kelainan limfoproliferatif
Diperantarai oleh cold
Primary or idiopathic mixed AHA
hemolysins
Secondary:
Anemia hemolitik Donath-
Landsteiner, umumnya berhubungan
dengan sindrom virus akut pada
anak-anak (sering)
Sifilis kongenital/tertier pada dewasa
(jarang)
Mixed cold and warm Primary or idiopathic
autoantibodies mixed AHA
Secondary mixed AHA Berhubungan dengan penyakit
rheumatik seperti SLE
Drug-immune
Hapten or drug adsorption
hemolytic anemia
mechanism
Ternary (immune) complex
mechanism
True autoantibody
mechanism
Pada umumnya 80% kasus tergolong warm-reactive antibodies terhadap IgG. Golongan
cold agglutinins mempunyai autoantibodi terhadap IgM, dan cold hemolysins terhadap
IgG. Autoantibodi akan terikat pada sel darah merah. Pada saat sel darah merah dilapisi
oleh antibodi, maka akan difagositosis oleh makrofag dan memicu terjadinya
eritrofagositosis yang dapat berlangsung intravaskular maupun ekstravaskular.7
E. DIAGNOSIS
Tabel 4. Diagnosis Anemia Hemolitik Autoimun5,7
AHA Warm-Antibody AHA Cold-Antibody
Anamnesis Keluhan utama, ikterik. Keluhan penyakit Berlangsung kronik. Self
penyebabnya. Keluhan angina atau gagal limiting dalam waktu 1-3
jantung. Riwayat dalam keluarga. Dapat minggu.
akut maupun kronik.
Pemeriksaan Dapat normal, pucat, ikterik, takikardia, Ikterik +/-, acrocyanosis,
fisik demam, hepatosplenomegali. dapat ditemukan ulserasi kulit
dan nekrosis, splenomegali +/-
8
Pemeriksaan
DPL : hemoglobin menurun, hematokrit < DPL : hemoglobin menurun,
penunjang
10% atau normal jika sudah hematokrit 15-20%
terkompensasi, leukopenia, neutropenia,
Sediaan darah tepi :
trombosit normal
autoaglutinasi
Hitung retikulosit : meningkat
Bilirubin plasma : peningkatan
Bilirubin plasma : peningkatan bilirubin bilirubin unconjugated dan
unconjugated dan bilirubin total bilirubin total
Laktat dehidrogenase : meningkat, Laktat dehidrogenase :
merupakan hasil dari destruksi sel darah meningkat, merupakan hasil
merah dari destruksi sel darah merah
Haptoglobin : menurun Haptoglobin : menurun
Sediaan darah tepi : sferosit, fragment sel DAT + : hanya terdeteksi
darah merah, sel darah merah berinti komplemen
DAT + : terdeteksi adanya autoantibodi Urinalisis : urobilinogen +,
dan/atau fragmen proteolitik dari bilirubin +/-, hemoglobinuria
komplemen (C3)
Aspirasi sumsum tulang :
Urinalisis : urobilinogen +, bilirubin +/-, eritroid hiperplasia
hemoglobinuria
Aspirasi sumsum tulang : eritroid
hiperplasia
9
Tabel 5. Kemungkinan Pola Reaksi pada DAT7
Pola reaksi Tipe kelainan imunitas
Hanya IgG AHA Warm-Antibody, drug-immune hemolytic anemia, Hapten or
drug adsorption mechanism
Hanya komplemen AHA Warm-Antibody dengan deposit IgG yang sedikit
(subthreshold), penyakit cold agglutinins, paroxysmal nocturnal
hemoglobinuria (PNH), drug-immune hemolytic anemia : tipe
ternary complex
IgG dan komplemen AHA Warm-Antibody, drug-immune hemolytic anemia : tipe
autoantibodi
F. TATALAKSANA
Jika pasien mengalami hemolisis minimal, hematokrit stabil, dengan DAT positif
umumnya tidak membutuhkan terapi dan hanya diobservasi jika terjadi kelainan klinis.
Transfusi PRC (packed red cell) dapat diberikan terutama jika ada penyakit komorbid
seperti penyakit arteri koroner simtomatik atau anemia berat dengan kegagalan sirkulasi
seperti pada paroxysmal cold hemoglobinuria.7
10
setelah episode akut hemolitik reda. Terapi dapat dihentikan setelah 1-2 bulan
atau diganti alternate-day therapy schedule.
- Alternate-day therapy schedule: hanya dapat diberikan setelah remisi stabil
pada dosis prednison 15-20 mg/hari, untuk mengurangi efek samping
glukokortikoid. Terapi diberikan sampai DAT negatif.
- Metilprednisolon 100-200 mg IV (dosis terbagi) dalam 24 jam pertama, atau
prednison dosis tinggi selama 10-14 hari jika keadaannya berat.
- Jika terapi dihentikan, masih dapat terjadi remisi, sehingga harus dilakukan
pemantauan minimal beberapa tahun setelah terapi. Jika remisi maka
diperlukan terapi glukokortikoid ulang, splenektomi atau imunosupresan.
Rituximab
- Antibodi monoklonal terhadap antigen CD 20 yang ada pada limfosit B,
sehingga dapat mengeliminasi limfosit B pada kasus AHA.
- Dosis : 375 mg/m2 /minggu selama 2-4 minggu
Obat imunosupresan
- Cyclophosphamide, 6-mercaptopurine, azathioprine, dan 6-thioguanine: dapat
mensupresi sintesis autoantibodi.
- Cyclophosphamide 50 mg/kg berat badan ideal/hari selama 4 hari berturut-
turut.
- Jika pasien tidak dapat mentoleransi dapat diberikan cyclophosphamide 60
mg/m2 azathioprine 80 mg/m2 setiap hari.
- Jika pasien dapat mentoleransi: terapi dilanjutkan sampai 6 bulan untuk
melihat respon. Jika berespon, dosis dapat diturunkan. Jika tidak ada respon,
dapat digunakan obat alternatif lain.
- Indikasi: jika tidak respon terhadap terapi glukokortikoid
- Selama terapi: monitor DPL, retikulosit
- Efek samping: meningkatkan risiko keganasan, sistitis hemoragik berat
Splenektomi
- Indikasi : pasien yang mendapatkan prednison berkepanjangan > 15 mg/hari
untuk menjaga konsentrasi hemoglobin
- 2 minggu sebelum operasi, diberikan vaksinasi H. Influenzae type B,
pneumococcal, dan meningococcal.
Tatalaksana lain
11
- Asam folat 1 mg/hari : untuk memenuhi kebutuhan produksi sel darah merah
yang meningkat.
- Plasmaferesis : masih kontroversial
- Thymectomy : pada anak yang refrakter terhadap glukokortikoid dan
splenektomi
- Danazol : golongan androgen, dikombinasi dengan prednison dapat
menurunkan kebutuhan splenektomi, memperpendek durasi prednison.
- Globulin IV dosis tinggi
- Purine analogue 2-chlorodeoxyadenosine (cladribine)
G. KOMPLIKASI
Emboli paru, infeksi, kolaps kardiovaskular, tromboemboli, gagal ginjal akut.
H. PROGNOSIS
Pasien dengan AHA warm antibody idiopatik dapat relaps dan remisi. Tidak ada
faktor yang dapat memprediksi prognosisnya. Umumnya berespon terhadap
glukokortikoid dan splenektomi. Angka kematian mencapai 46% pada beberapa kasus.
Angka harapan hidup dalam 10 tahun sebesar 73%. Sedangkan prognosis AHA warm
antibody sekunder tergantung penyakit penyebabnya. Pada kasus AHA cold antibody
idiopatik, perjalanan penyakit umumnya benign dan bertahan untuk beberapa tahun.
Kematian karena infeksi, anemia berat atau proses limfoproliferatif yang mendasarinya.
Jika disebabkan karena infeksi, AHA cold antibody akan sembuh sendiri dalam
beberapa minggu. Pada kasus hemoglobinuria masif dapat terjadi gagal ginjal akut yang
membutuhkan hemodialisa.7
12
A. PENGERTIAN
Hemolisis yang terjadi tanpa keterlibatan imunoglobulin tetapi karena faktor defek
molekular, abnormalitas struktur membran, faktor lingkungan yang bukan autoantibodi
seperti hipersplenisme, kerusakan mekanik eritrosit akibat mikroangiopati atau infeksi
yang mengakibatkan kerusakan eritrosit tanpa mengikutsertakan mekanisme imunologi
seperti malaria, babesiosis, dan klostridium.2
B. ENZIMOPATI
Pada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk menghasilkan energi (ATP). ATP
digunakan untuk kerja pompa ionik dalam rangka mempertahankan milieu ionik yang
cocok bagi eritrosit. Sebagian kecil energi hasil metabolisme tersebut digunakan juga
untuk penyediaan besi hemoglobin dalam bentuk ferro. Pembentukan ATP ini
berlangsung melalui jalur Embden Meyerhof yang melibatkan sejumlah enzim seperti
glukosa fosfat isomerase dan piruvat kinase. Selain digunakan untuk membentuk
energi, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme dalam ertirosit melalui jalur
heksosa dehidrogenase (G6PD) untuk menghasilkan glutation yang penting untuk
melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan. Defisiensi piruvat kinase,
glukosa fosfat isomerase dan glukosa 6 dehidrogenase dapat mempermudah dan
mempercepat hemolisis. Berturut-turut prevalensi tersering kejadian defisiensi enzim
tersebut adalah G6PD, piruvat kinase dan glukosa fosfat isomerase.2
C. HEMOLISIS MIKROANGIOPATIK
Pada hemolisis mikroangiopatik terjadi kerusakan membran sel eritrosit secara mekanik
dalam sirkulasi darah karena adanya fibrin atau mikrotrombin trombosit yang tertimbun
di arteriol. Sel eritrosit terperangkap dalam jala-jala fibrin dan mengakibatkan
terfragmentasinya sel eritrosit.2
Hemolisis mikroangiopatik dapat terjadi pada abnormalitas dinding pembuluh darah,
misalnya pada hipertensi maligna, eklampsia, rejeksi allograft ginjal, kanker
diseminata, hemangioma atau disseminated intravascular coagulation (DIC), dan
mikroangiopati trombotik: Trombotic Thrombocytopenia Purpura (TTP) dan Hemolytic
Uremic Syndrome (HUS).2
13
D. MEMBRANOPATI
Membranopati yang dapat menyebabkan anemia hemolitik yaitu sferositosis herediter
dan elipsitosis herediter.2
E. INFEKSI MIKROORGANISME
Mikroorganisme memiliki mekanisme yang bermacam-macam saat menginfeksi
eritrosit menyebabkan terjadinya anemia hemolitik. Ada yang secara langsung
menyerang eritrosit seperti pada malaria, babesiosis, dan bartonellosis. Melalui
pengeluaran toksin hemolisis oleh Clostridium perfringens, pembentukan antibodi atau
otoantibodi terhadap eritrosit. Dapat pula dengan deposit antigen mikroba atau reaksi
kompleks imun pada eritrosit.2
14
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. AR
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Panasen Kakas
Pekerjaan :-
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan : SMA (tamat)
No RM : 718448
Tanggal MRS : 10 Juni 2016
B. ANAMNESIS
Keluhan Utama :
Demam
Riwayat Penyakit Sekarang :
Demam dialami oleh pasien sejak ± 1 hari sebelum MRS. Demam tinggi
pada perabaan, tidak disertai menggigil, nyeri kepala, nyeri sekitar mata, dan
nyeri sendi. Muntah-muntah dialami pasien sejak ± 1 hari dengan frekuensi > 5
kali / hari terutama saat setelah makan, isi cairan warna kuning dan sisa
makanan, tidak disertai mual, nyeri perut, dan nyeri ulu hati. Badan kuning dan
pucat dialami sejak lama. Pasien juga mengeluh badan terasa lemah. BAB dan
BAK biasa.
Keluhan lain seperti batuk, sesak napas, nyeri menelan tidak dialami
oleh pasien. Perdarahan dari gusi, hidung, dan di bawah kulit tidak dialami oleh
pasien. Nafsu makan biasa, dan tidak terdapat penurunan berat badan pada
pasien. Riwayat bepergian ke daerah endemis malaria tidak ada.
15
dengan Anemia Hemolitik. Pasien dulunya beberapa kali dirawat di rumah sakit
di Manado untuk mendapatkan pengobatan dan transfusi darah.
Pasien pernah dirawat di RS Bethesda tahun 2015 dengan keluhan yang
sama dengan sekarang, dan sempat mendapatkan transfusi darah. Keluhan
sering demam, pucat, dan badan kuning sudah beberapa kali dialami oleh
pasien. Pasien pernah mendapatkan terapi metilprednisolon selama berbulan-
bulan. Riwayat mengkonsumsi obat-obatan lain disangkal. Riwayat perdarahan
berulang dari hidung, gusi, timbul petekie, memar di kulit, BAB hitam
disangkal. Pasien memiliki riwayat BAK berwarna gelap seperti teh.
Riwayat penyakit hati, paru-paru, jantung, gastrointestinal, dan penyakit
infeksi lain disangkal.
Riwayat Keluarga :
Hanya pasien yang menderita sakit seperti ini di keluarga.
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital : Tekanan darah : 110/70 mmHg
Nadi : 110 x/menit
Respirasi : 20 x/menit
Suhu badan : 39,0 °C
Kepala : normal
Mata : konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
Hidung : sekret (-/-)
Gigi & Mulut : carries (-), lidah beslag (-)
Tenggorokan : tonsil T1-T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)
Telinga : membran (+/+)
16
Leher : pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Cor : Inspeksi : iktus cordis tidak nampak
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung kanan : ICS IV linea parasternalis
dextra
batas jantung kiri : ICS V linea midklavikularis
sinistra
Auskultasi : S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo : Inspeksi : pergerakan dada kiri = kanan
Palpasi : stem fremitus kiri = kanan
Perkusi : sonor kiri = kanan
Auskultasi : vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
Inspeksi : cembung
Auskultasi : bising usus (+) normal
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-)
Hepar : tidak teraba
Lien : Schuffner IV, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-)
Genitalia : tidak dievaluasi
Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-/-), oedema (-/-)
Kulit : ikterus generalisata (+), petekie (-), purpura (-)
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (11-06-2016)
Eritrosit : 1,62 x 106
Leukosit : 3.510
MCH : 28,4
MCHC : 33,2
MCV : 85,6
Trombosit : 143.000
Hemoglobin : 4,6
Hematokrit : 13,9
17
Natrium : 145
Kalium : 3,3
Chlorida : 111
SGOT : 40
SGPT : 56
Ureum : 61
Creatinin : 0,85
Asam urat : 17,8
Bilirubin total : 16,3
Bilirubin direk : 3,5
Bilirubin indirek : 12,8
Urinalisa (11-06-2016)
SG : 1,015
pH :6
Leukosit :-
Nitrit :-
Protein :+
Glukosa :-
Keton :-
Uro : 4.0
Bilirubin :+
Blood :-
Color : not entered
E. DIAGNOSIS KERJA
Anemia Hemolitik Autoimun
F. DIAGNOSIS BANDING
Malaria
Anemia hemolitik drug-induced
Anemia e.c. peptic ulcer bleeding
G. PENATALAKSANAAN
18
IVFD NaCl 0,9% 14 gtt/menit
Inj Metoklopramid extra 1 amp i.v
Paracetamol 3x500 mg
Domperidon 3x10 mg
H. FOLLOW UP
11-06-2016 (Hari Perawatan I)
S : demam (+), muntah (+), pucat (+), kuning (+), perdarahan aktif (-),
riwayat bepergian di daerah endemis malaria (-), BAB dan BAK biasa
O : KU = sedang Kes = compos mentis
T = 110/70 N = 84 R = 20 Sb = 38
Kepala = konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
Leher = pembesaran KGB (-/-)
Thorax = cor pulmo dalam batas normal
Abdomen = datar, lemas, BU(+) normal
Hepar : tidak teraba
Lien : schuffner IV, konsistensi, nyeri tekan (-)
Extremitas = hangat, oedema (-/-)
A : Anemia hemolitik
P : - IVFD NaCl 0,9% 14 gtt/menit
- Paracetamol 3x500 mg
- Domperidone 3x1 tab
19
A : Anemia hemolitik
P : - IVFD NaCl 0,9% 14 gtt/menit
- Paracetamol 3x500 mg
- Domperidone 3x1 tab
- Rencana USG Abdomen
- Transfusi PRC 1 bag
20
A : Anemia hemolitik
P : - IVFD NaCl 0,9% 14 gtt/menit
- Paracetamol 3x500 mg
- Domperidone 3x1 tab
- Transfusi PRC 1 bag
- Pindah ke isolasi
21
Leher = pembesaran KGB (-/-)
Thorax = cor pulmo dalam batas normal
Abdomen = datar, lemas, BU(+) normal
Hepar : tidak teraba
Lien : schuffner IV, nyeri tekan (-)
Extremitas = hangat, oedema (-/-)
A : Anemia hemolitik
P : - IVFD NaCl 0,9% 14 gtt/menit
- Paracetamol drips 3x500 mg ganti oral
- Domperidone 3x1 tab
- Inj Dexamethasone 3x1 amp i.v
- Omeprazole 1x20 mg
22
T = 100/60 N = 80 R = 16 Sb = 36,5
Kepala = konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
Leher = pembesaran KGB (-/-)
Thorax = cor pulmo dalam batas normal
Abdomen = datar, lemas, BU(+) normal
Hepar : tidak teraba
Lien : schuffner IV, nyeri tekan (-)
Extremitas = hangat, oedema (-/-)
A : Anemia hemolitik
P : - IVFD NaCl 0,9% 14 gtt/menit
- Paracetamol tab 3x500 mg (k/p)
- Domperidone 3x1 tab (k/p)
- Prednison 3x20 mg
- Omeprazole 1x20 mg
23
S : demam (-), muntah (-), mual (-), lemah badan (+)
O : KU = sedang Kes = compos mentis
T = 100/70 N = 76 R = 18 Sb = 36,5
Kepala = konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
Leher = pembesaran KGB (-/-)
Thorax = cor pulmo dalam batas normal
Abdomen = datar, lemas, BU(+) normal
Hepar : tidak teraba
Lien : schuffner IV, nyeri tekan (-)
Extremitas = hangat, oedema (-/-)
A : Anemia hemolitik
P : - Aff IVFD
- Paracetamol 3x500 mg (k/p)
- Domperidone 3x1 tab (k/p)
- Prednison 3x10 mg
- Omeprazole 1x20 mg
24
22-06-2016 (Hari perawatan XII)
S :-
O : KU = sedang Kes = compos mentis
T = 100/70 N = 76 R = 16 Sb = 36,5
Kepala = konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (+/+)
Leher = pembesaran KGB (-/-)
Thorax = cor pulmo dalam batas normal
Abdomen = datar, lemas, BU(+) normal
Hepar : tidak teraba
Lien : schuffner IV, nyeri tekan (-)
Extremitas = hangat, oedema (-/-)
A : Anemia hemolitik
P : - Paracetamol 3x500 mg (k/p)
- Domperidone 3x1 tab (k/p)
- Prednison 3x5 mg
- Omeprazole 1x20 mg
- Rencana blood smear + Coombs test batal
- Hematologi lengkap
- Rawat jalan kontrol ke poli penyakit dalam
Laboratorium (22-06-2016)
Leukosit : 7920
Eritrosit : 2,62 x 106
MCH : 28,0
MCHC : 31,1
MCV : 89,8
Trombosit : 266.000
Hemoglobin : 8,0
Hematokrit : 25,7
25
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang wanita, 23 tahun, masuk rumah sakit dengan keluhan utama demam
tinggi, disertai badan lemah, dan muntah-muntah sejak ± 1 hari sebelum masuk RS.
Pasien juga mengalami pucat dan badan kuning yang berlangsung sudah sejak lama.
Riwayat penyakit dahulu: pasien pernah didiagnosis dengan anemia hemolitik pada
masa kanak-kanak. Riwayat pengobatan: pasien sebelumnya pernah mengkonsumsi
metilprednisolon selama berbulan-bulan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
konjungtiva anemis, sklera ikterik, dan seluruh kulit pasien tampak kuning, serta
demam dengan suhu badan 39,0oC dan takikardia dengan frekuensi nadi 110 kali per
menit, dan ditemukan splenomegali.
Pada anemia hemolitik pasien dapat menunjukkan gejala umum dari anemia
seperti lemah, pusing, cepat lelah, dan sesak napas. Pasien juga dapat mengalami
demam, kuning disertai urin berwarna kecoklatan. Dari anamnesis yang diperoleh pada
kasus ini ditemukan beberapa keluhan yang sesuai dengan gejala relaps anemia
hemolitik, yaitu demam, lemah, pucat dan badan kuning yang berlangsung sejak lama,
disertai dengan riwayat berhenti mengkonsumsi obat metilprednisolon. Demam
merupakan salah satu tanda dari penyakit autoimun. Lemah badan dan pucat yang
dialami oleh pasien disebabkan karena anemia, sedangkan kuning merupakan suatu
manifestasi dari adanya hemolisis.
Pada anemia hemolitik dapat ditemukan hepatomegali atau splenomegali, dan
pada anemia berat dapat ditemukan takikardia dan murmur pada auskultasi jantung.
Pada pasien ini ditemukan penemuan fisik yang sesuai dengan diagnosis anemia
hemolitik, yaitu pasien tampak anemia, ditemukan ikterus generalisata, serta demam
dengan splenomegali.
Pemeriksaan laboratorium memiliki peran penting dalam mendiagnosis anemia
hemolitik. Retikulositosis merupakan salah satu indikator terjadinya hemolisis.
Retikulositosis dapat diamati segera, 3-5 hari setelah penurunan hemoglobin. Akan
tetapi pada pasien ini tidak dilakukan pemeriksaan hitung retikulosit. Pemeriksaan
laboratorium yang dilakukan pada pasien ini antara lain: pemeriksaan hematologi
lengkap, kadar bilirubin total, bilirubin direk dan indirek, serta tes fungsi hati. Dari data
pemeriksaan hematologi lengkap didapatkan kadar hemoglobin rendah yaitu 4,6 g/dl
dan hematokrit juga rendah yaitu 13,9 %, dengan nilai MCV, MCH dan MCHC dalam
26
batas normal, juga ditemukan leukopenia dan trombositopenia ringan. Anemia pada
hemolisis biasanya bersifat normositik. Kadar hemoglobin dan hematokrit yang rendah
dengan nilai MCV, MCH dan MCHC normal pada kasus ini menunjukkan suatu anemia
normositik normokrom.
Hemolisis baik intravaskular maupun ekstravaskular meningkatkan katabolisme
heme dan pembentukan bilirubin tidak terkonjugasi, sehingga terjadi peningkatan
bilirubin pada pasien dengan anemia hemolitik. Pada kasus ini ditemukan peningkatan
kadar bilirubin total yaitu sebesar 16,3, dengan kadar bilirubin direk 3,5 dan bilirubin
indirek 12,8. Hal ini menunjukkan adanya hemolisis karena terjadi peningkatan yang
besar pada bilirubin indirek.
Berdasarkan etiologi anemia hemolitik dibagi dalam dua kelompok yaitu anema
hemolitik herediter dan anemia hemolitik didapat. Anemia hemolitik herediter seperti
defek enzim / enzimopati; hemoglobinopati seperti Thalassemia, anemia sickle cell; dan
defek membran seperti sferositosis herediter, sedangkan anemia hemolitik didapat
antara lain anemia hemolisis imun misalnya: idiopatik, keganasan, obat-obatan,
kelainan autoimun; mikroangiopati seperti TTP (Thrombotic thrombocytopenic
purpura), HUS (Hemolytic uremic syndrome), DIC (Disseminated intravascular
coagulation); dan infeksi seperti malaria, babesiosis, dan infeksi Clostridium.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta laboratorium yang telah diuraikan
pada kasus maka ditegakkan suatu diagnosis kerja yaitu anemia hemolitik autoimun
relaps. Pada kasus ini tidak ditemukan penyebab lain dari anemia hemolitik, seperti
kelainan bawaan sejak lahir atau riwayat keluarga yang menderita penyakit serupa, juga
tidak ditemukan riwayat penggunaan obat-obatan tertentu, riwayat perdarahan atau
gangguan pembekuan darah. Untuk memastikan apakah hemolisis pada pasien ini
merupakan suatu penyakit autoimun atau bukan, diperlukan pemeriksaan penunjang,
yaitu pemeriksaan DAT (Direct agglutinine test) atau direct Coomb’s Test untuk
menentukan ada tidaknya autoantibodi yang menyebabkan hemolisis dan peripheral
blood smear (apusan darah tepi) untuk menilai morfologi dari sel darah merah. Pada
kasus ini pasien telah dirawat selama beberapa hari di rumah sakit sebelum dianjurkan
untuk dilakukan pemeriksaan apusan darah tepi dan Coomb’s test. Hal ini disebabkan
oleh ketidak tersediaan kedua pemeriksaan penunjang ini di laboratorium rumah sakit
Bethesda dan keluarga pasien tidak bersedia dilakukan pemeriksaan di tempat lain.
Pada pemeriksaan DAT hasil yang diharapkan untuk menentukan diagnosis suatu
anemia hemolitik autoimun adalah DAT positif. Pada pemeriksaan apusan darah tepi
27
dapat ditemukan adanya gambaran sferosit pada anemia hemolitik autoimun. Gambaran
sferosit pada apusan darah tepi juga dapat ditemukan pada sferositosis herediter, namun
tanpa disertai pemeriksaan DAT yang positif. Pada anemia hemolitik tipe lain seperti
TTP dan HUS dapat ditemukan gambaran schistocytes (fragmented red blood cells),
sedangkan pada anemia sickle cells ditemukan gambaran sickle cells atau sel darah
merah berbentuk seperti bulan sabit, dan pada penyakit talasemia didapatkan gambaran
sel darah merah yang mikrositik dan hipokromik.
Tanda dan gejala yang ditemukan pada kasus ini seperti demam, pucat, kuning
dan splenomegali dapat juga ditemukan pada penyakit seperti malaria. Malaria yang
berlangsung kronik dapat menyebabkan hemolisis, sehingga timbul gejala yang serupa
dengan anemia hemolitik autoimun. Meskipun tidak dilakukan pemeriksaan parasit
malaria pada kasus ini, namun dari anamnesis dapat disingkirkan kemungkinan malaria
karena tidak ada riwayat bepergian di daerah endemis malaria sebelumnya. Selain
malaria, diagnosis banding lain yang dapat diambil yaitu anemia hemolitik drug-
induced. Penggunaan obat-obatan seperti antibiotik golongan sefalosporin, penicillin
dan turunannya, levofloxacin, levodopa, methyldopa, dan golongan NSAID dalam
jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan terjadinya hemolisis. Pada kasus ini
tidak didapatkan riwayat penggunaan obat-obatan tersebut dalam jangka waktu panjang,
maka kemungkinan diagnosis anemia hemolitik drug-induced dapat disingkirkan.
Pada kasus ini didapatkan riwayat penggunaan obat metilprednisolon selama
berbulan-bulan sehingga diambil diagnosis banding yaitu perdarahan saluran cerna oleh
karena peptic ulcer. Penggunaan steroid dalam jangka waktu panjang dapat
mengaktifkan peptic ulcer dan memicu terjadinya perdarahan pada gastrointestinal yang
dapat mengakibatkan anemia. Untuk itu perlu dilakukan pemeriksaan rektum untuk
memastikan adanya perdarahan saluran cerna. Pada kasus ini tidak ditemukan tanda-
tanda perdarahan saluran cerna seperti hematemesis ataupun melena, maka
kemungkinan diagnosis peptic ulcer bleeding dapat disingkirkan.
Penatalaksanaan anemia hemolitik tergantung dari penyebab yang mendasari
terjadinya hemolisis. Pada anemia hemolitik autoimun terapi kortikosteroid
diindikasikan dengan dosis 1-1,5 mg/kgBB/hari. Dalam 2 minggu sebagian besar akan
menunjukkan respon klinis baik (hematokrit meningkat, retikulosit menurun, direct
Coomb’s test positif lemah, dan indirect Coomb’s test negatif). Nilai normal dan stabil
akan dicapai pada hari ke-30 sampai hari ke-90. Bila ada tanda respons terhadap
steroid, dosis diturunkan tiap minggu sampai mencapai dosis 20-30 mg/hari.
28
Penatalaksanaan pada pasien ini yaitu dilakukan pemasangan intravenous line
dengan cairan NaCl 0,9% rumatan, untuk keperluan tindakan transfusi darah. Saat
masuk rumah sakit pasien diberikan obat-obatan simtomatik seperti antipiretik yaitu
Paracetamol 3x500 mg, dan antiemetik yaitu Domperidon 3x1 tablet. Selama 4 hari
perawatan di rumah sakit pasien hanya diberikan terapi simtomatik dan transfusi darah.
Kemudian pada hari ke-5 perawatan mulai diberikan terapi kortikosteroid, yaitu
Dexametason injeksi 3x1 ampul / hari diberikan selama 2 hari, kemudian dilanjutkan
dengan Prednison 3x20 mg dengan dosis diturunkan secara bertahap. Meskipun tanpa
dilakukan pemeriksaan Coomb’s test untuk memastikan penyebab autoimun, pasien ini
diberikan terapi kortikosteroid sesuai dengan penatalaksaan anemia hemolitik autoimun
relaps. Berdasarkan status lama, pasien sebelumnya telah didiagnosis dengan anemia
hemolitik autoimun tanpa dilakukan pemeriksaan apusan darah tepi dan Coomb’s test,
dan telah mendapatkan pengobatan kortikosteroid jangka panjang. Pasien saat itu
direncanakan untuk dirujuk ke RSUP Kandou Manado, akan tetapi pasien tidak pergi ke
rumah sakit rujukan untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Terapi transfusi darah bukan merupakan suatu kontraindikasi mutlak. Pada
kondisi yang dapat mengancam jiwa (Hb < 3 g/dl) transfusi dapat diberikan, sambil
menunggu terapi steroid dan immunoglobulin bekerja. Pada kasus ini pasien
mendapatkan transfusi PRC (packed red cells) sebanyak 2 kantong selama perawatan,
dikarenakan Hb pasien saat masuk rumah sakit sebesar 4,6 g/dl, dan pasien telah
mendapatkan transfusi PRC sebelum terapi kortikosteroid mulai diberikan. Pemberian
transfusi darah pada kasus anemia hemolitik tanpa dimulai dengan terapi kortikosteroid
dapat mengakibatkan terjadinya lisis pada darah yang ditransfusi.
Pada follow up harian, dapat dilihat bahwa pada lima hari perawatan di rumah
sakit pasien belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan, seperti pasien masih demam
dan timbul keluhan sesak napas pada hari kelima perawatan. Hal ini dapat disebabkan
oleh karena penyebab penyakit yaitu autoimun belum ditangani, dan selama lima hari
itu pasien hanya mendapatkan terapi simtomatik dan transfusi PRC. Pada hari kelima
perawatan pasien kemudian mulai diterapi dengan kortikosteroid, dan setelah itu
dipantau pada follow up bahwa keadaan klinis pasien mulai mengalami perbaikan, yaitu
demam dan muntah mulai berkurang. Pada hari terakhir perawatan dilakukan
pemeriksaan hematologi kontrol dan didapatkan adanya peningkatan hemoglobin
menjadi 8 g/dl dan hematokrit menjadi 25,7%. Peningkatan hemoglobin dan hematokrit
ini tidak hanya disebabkan oleh pemberian transfusi PRC, karena respon terhadap
29
pemberian kortikosteroid pada anemia hemolitik autoimun biasanya dapat dilihat
setelah 2 minggu terapi.
Kelemahan atau kekurangan pada kasus ini yaitu manajemen anemia hemolitik
tidak sesuai dengan teori mengenai anemia hemolitik, sehingga penyebab pasti dari
anemia hemolitik pada kasus ini belum diketahui dan terapi kortikosteroid yang tidak
segera dimulai, meskipun pasien menunjukkan respon yang cukup baik selama
perawatan. Pasien ini kemudian dianjurkan untuk kontrol ke poli penyakit dalam setelah
dirawat jalan agar terapi kortikosteroid dapat diteruskan. Pada pasien dengan terapi
kortikosteroid jangka panjang perlu diberikan informasi mengenai efek samping yang
dapat timbul seperti peningkatan berat badan, osteoporosis, peningkatan risiko
terjadinya infeksi, tekanan darah meningkat, kelemahan otot, dan peningkatan risiko
terjadinya ulkus peptikum. Sebaiknya pasien ini dianjurkan untuk dilakukan
pemeriksaan hematologi ulang setelah 2 minggu diterapi dengan kortikosteroid untuk
menilai keberhasilan dari terapi tersebut.
Pada anemia hemolitik autoimun hanya sebagian kecil pasien mengalami
penyembuhan komplit dan sebagian besar memiliki perjalanan penyakit yang
berlangsung kronik, namun terkendali. Survival 10 tahun berkisar 70%. Anemia, DVT,
emboli paru, infark lien, dan kejadian kardiovaskuler bisa terjadi selama periode
penyakit aktif. Mortalitas 5-10 tahun sebesar 15-25%. Prognosis pada AIHA sekunder
tergantung penyakit yang mendasari. Pada kasus ini pasien termasuk dalam sebagian
besar yang memiliki perjalanan penyakit yang berlangsung kronik yaitu lebih dari 10
tahun.
30
DAFTAR PUSTAKA
3. Hoffbrand AV, Pettit JE, Moss PAH. Alih bahasa: Setiawan L. Editor: Mahanani
DA. Kapita Selekta Hematologi. Edisi 4. Jakarta: EGC; 2005. Hal 51-63
5. Luzzato L. Hemolytic Anemias and Anemia Due to Acute Blood Loss. In: Longo
Fauci Kasper, Harrison’s Principles of Internal Medicine 18th edition. United
States of America. Mcgraw Hill. 2012
31