Anda di halaman 1dari 21

LAPORAN

KIMIA FARMASI ANALISIS II


TURUNAN ASAM HIDROKSI BENZOAT
(Acetosal)
Jumat, 12 Febuari 2016

Disusun oleh:
Citra Purnamasari 31113009
Mia Fitriana 31113029
Nikken Nurul Ramadhani 31113033

Farmasi 3A

PROGRAM STUDI FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
BAKTI TUNAS HUSADA
TASIKMALAYA
2016
I. Tujuan: Penetapan Kadar Acetosal Menggunakan Metode Asidimetri

II. Prinsip Percobaan:


Pada prinsipnya asidimetri adalah analisa titrimetri yang
menggunakan asam kuat sebagai titrannya dan sebagai analitnya
adalah basa atau senyawa yang bersifat basa, ataupun pengukuran
dengan asam (yang diukur jumlah basa atau garamnya).

III. Dasar Teori:


Titrasi asam-basa merupakan suatu metode yang
memungkinkan dilakukannya analisis kuantitatif untuk menentukan
konsentrasi larutan asam atau basa yang tidak diketahui. Dalam titrasi
asam-basa, basa akan bereaksi dengan asam lemah dan membentuk
suatu larutan yang mengandung asam lemah dan basa terkonjugasi
sampai semua asam ternetralkan semuanya (Satyajit, D : 2007).
Asidimetri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif terhadap
senyawa-senyawa yang bersifat basa dengan menggunakan baku asam
(Gandjar, Ibnu Gholib : 136). Asidimetri adalah suatu metode analisa
titrimetri yang didasarkan pada pengukuran saksama jumlah volume
asam yang digunakan, baik untuk zat-zat organik atau zat-zat
anorganik, sedangkan pengukuran jumlah kuantitatif asam yang
terdapat dalam contoh dengan cara titrasi dengan basa yang sesuai
disebut alkalimetri. Dengan kata lain kedua cara ini mempunyai
prinsip yang sama, yaitu menetapkan kadar asam atau basa dengan
cara penambahan sejumlah larutan asam atau basa yang setara, dari
jumlah volume larutan asam atau basa yang ditambahkan dapat
dihitung kadar asam atau basa yang terdapat dalam contoh (Susanti
:2000).
Semua perhitungan dalam titrimetri didasarkan pada
konsentrasi titran sehingga konsentrasi titran harus dibuat secara
teliti. Titran semacam ini disebut dengan larutan baku (standar).
Konsentrasi larutan dapat dinyatakan dengan normalitas, molalitas
atau bobot per volume (Gandjar :2007).
Suatu larutan standar dapat dibuat dengan cara melarutkan
sejumlah senyawa baku tertentu yang sebelumnya senyawa tersebut
ditimbang secara tepat dalam volume larutan yang diukur dengan
tepat. Larutan standar ada 2 macam yaitu larutan baku primer dan
larutan baku sekunder. Larutan baku primer mempunyai kemurnian
yang tinggi. Larutan baku sekunder harus dibakukan dengan larutan
baku primer. Suatu proses yang mana larutan baku sekunder
dibakukan dengan larutan baku primer disebut dengan standarisasi
(Gandjar :2007).
O

O
O

OH
aspirin

Asam asetilsalisilat yang lebih dikenal sebagai Asetosal atau


Aspirin adalah analgetik anatipiretik dan antiinflamasi yang sangat luas
digunakan dan digolongkan dalam obat bebas (Farmakologi dan
Kemoterapi, 1993).
Tablet asam asetilsalisilat mengandung asam asetilsalisilat
C9H804 dan tidak kurang dari 90,0 % dan tidak lebih dari 110,0 % dari
jumlah yang tertera pada etiket (Farmakope Indonesia ed. IV, 32).
Beberapa metode telah digunakan untuk analisis asetosal atau asam
asetil salisilat baik dalam keadaan senyawa ruah (raw materials) atau
dalam sediaan farmasetik (tunggal atganikau dalam campuran dengan obat
lain).
Aspirin merupakan obat analgetik. Aspirin mungkin merupakan
obat analgesika yang paling popular dan paling banyak digunakan
disebabkan oleh struktur kimianya yang sederhana dan harganya
yang murah. Aspirin secara kimiawi dikenal dengan nama asam asetil
salisilat, suatu molekul organik. Senyawa awal aspirin adalah salisin,
yang ditemukan dalam batang kayu. Meskipun demikian, aspirin
dengan mudah dapat dibuat dari fenol dengan reaksi Kolbe (Satyajit :
2007 hal 2).
Salah satu efek samping aspirin adalah pendarahan lambung,
yang sebagian disebabkan oleh sifat asamnya. Dalam lambung, aspirin
akan terhidrolisis menjadi asam salisilat. Gugus asam karboksilat (-
COOH) dan gugus hidroksil fenolik (-OH) yang terdapat pada molekul
aspirin akan membuat senyawa ini bersifat asam. Jadi, penggunaan
aspirin akan meningkatkan kondisi asam di lambung (Satyajit : 2007
hal 2).

IV. Monografi Bahan

1. Aspirin (DITJEN POM edisi IV, 1995)


Nama IUPAC : Acidum acetylsalicylium
Sinonim : Asam asetilsalisilat
Berat molekul : 180,16
Pemerian : Hablur tidak berwarna, atau serbuk
hablur putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau, rasa asam
Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, mudah
larut dalam etanol, larut dalam kloroform
Kegunaan umum : Analgetikum, antipiretikum

2. Asam sulfat (DITJEN POM edisi III, 1979)


Nama resmi : Acidum sulfaricum
Sinonim : Asam sulfat
Rumus molekul : H2SO4
Berat molekul : 98,07
Berat Jenis : ± 1,84 gr/vol
% unsur penyusun : Asam sulfat mengandung tidak dari
95,0% dan tidak lebih dari 98,0% b/b H2SO4
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Sebagai katalisator

3. Natrium Karbonat (Depkes RI, 1979 Halaman 400)


Nama resmi : NATRII KARBONAS
Nama lain : Natrium Karbonat
Rumus kimia : Na2CO3
Berat molekul : 106
Pemerian : hablur tidak berwarna, atau serbuk hablur
putih
Kelarutan : mudah larut dalam air, lebih mudah larut
dalam air mendidih
Kegunaan : sebagai zat tambahan.

4. Natrium Hidroksida (Depkes RI, 1979 Halaman 421)


Nama resmi : NATRII HIDROCIDUM
Nama lain : Natrium Hidroksida
Rumus kimia : Na(OH)
Berat molekul : 40
Pemerian : bentuk batang massa hablur air keping-
keping, keras dan rapuh dan menunjukkan susunan hablur putih mudah
meleleh basa sangat katalis dan korosif segera menyerap karbondioksida.
Kelarutan : sangat mudah larut dalam air
Kegunaan : sebagai zat tambahan.
5. Phenolphtaleein (Depkes RI, 1979 Halaman 675)
Nama Resmi : PENOLPHTALEEIN
Nama Lain : Fenolftalein

Rumus Molekul : C20H14O4

Berat Molekul : 318,32


Pemerian : Serbuk hablur putih, putih atau kekuningan.
Kelarutan : Sukar larut dalam air, larut dalam etanol, agak
sukar larut dalam eter.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : Larutan indikator

6. Ethanol (FI III, 93)


Nama lain : Aethanolum
Bobot Jenis : 0,8119 – 0,8139
RM : C2H6O
Pemerian : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap, dan
mudah bergerak; bau khas; rasa panas. Mudah terbakar dengan
memberikan nyala biru yang tidak berasap.
Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform p, dan
dalam eter p.
Kegunaan : Sebagai pelarut dan penarik.
7. Asam Oksalat (FI III, 651)
Nama lain : Asam Oksalat
RM : (CO2H)2.2H2O
BM : 63,03
Pemerian : Hablur tidak berwarna
Kelarutan : Larut dalam air dan dalam etanol 95 %
Kegunaan : Analit untuk baku standar basa
8. Aquadest (FI III, 96)
Nama Lain : Aqua Destillata, Air suling
BM : 18,02
RM : H2O
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna; tidak berbau; tidak
mempunya rasa.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik
Kegunaan : sebagai pelarut.

V. Persamaan Reaksi
 Reaksi antara Asetosal dengan NaOH

acetosal
 Reaksi antara Asam Asetat dengan NaOH

+ NaOH + H2 O

 Reaksi antara Natrium Asetil Salisilat dengan NaOH

2NaOH + H2SO4 Na2SO4 + 2H2O

Reaksi yang terjadi pada penetapan kadar asetosal bersama dengan


hasil uraiannya.
VI. Metode
a. Alat dan Bahan
Alat
 Buret
 Statif dan klem
 Kaki tiga dan kasa
 Labu Erlenmeyer
 Tabung sentrifugasi
 Corong kaca
 Vortex
 Centrifugasi
 Pipet ukur
 Spirtus
 Gelas kimia
 Kertas saring
 Gelas ukur
b. Bahan
 Sampel acetosal
 NaOH 0,1 N
 H2SO4 0,1 N
 Ethanol
 Na2CO3 0.1 N
 Indikator phenolphthalein
 Aquadest
c. Prosedur
 Prosedur Isolasi

Timbang 1 gram Sampel dilarutkan Sampel di


sampel 7b dalam etanol 10 ml vortex
Sampel disetrifugasi Filtrat dipisahkan
selama 10 menit dari endapan
dalam 1000 rpm

Sisa cairan dalam endapannya di uji Filtrat acetosal yang didapat


dengan FeCl3 Jika masih berwarna diencerkan dengan etanol
ungu ulangi perlakuan sampai sampai 100 ml.
didapat acetosal murni

 Pembakuan NaOH oleh Asam Oksalat

Timbang 50 mg Larutkan dengan


asam oksalat 10 ml aquadest

Tambahkan 3 Titrasi oleh


tetes imdikator PP NaOH 0,1 N

 Pembakuan NaOH oleh Asam Oksalat

Larutkan dengan
Timbang 50 mg
10 ml aquadest
Na2CO3

Tambahkan Titrasi dengan


3 tetes indicator H2SO4 0,1 N
PP

 Prosedur Penentuan Kadar Acetosal

Siapkan Erlenmeyer Masukkan 10 ml


acetosal hasil isolasi

Tambahkan indikator Titrasi oleh NaOH sampai


PP 3 tetes berwarna merah muda
(TAT)
Ukur volume NaOH yang Tambahkan 15 ml
digunakan NaOH (berlebih)

Panaskan selama 10 Diamkan beberapa saat


menit sampai suhu kamar

Titrasi dengan H2SO4 0,1 N


sampai terjadi perubahan Ukur volume H2SO4
warna dari merah muda yang digunakan
menjadi bening

VII. Data Hasil Pengamatan


a. Pembakuan NaOH oleh Asam Oksalat
No Berat Sampel (mg) Volume NaOH (ml)
1 50 7,7
2 50 7,8
3 50 7,9
2
Rata 50 7,8

b. Pembakuan H2SO4 oleh Na2CO3


No Berat Sampel (mg) Volume H2SO4 (ml)
1 50 9,2
2 50 9,4
3 50 9,3
Rata2 50 9,3

c. Penetapan Kadar Asetosal


No Volume Sampel (ml) Volume NaOH (ml)
1 10 5,1
2 10 5,2
3 10 5,1
Rata2 10 5,13

No Volume Sampel (ml) Volume H2SO4 (ml)


1 10 4,2
2 10 4,1
3 10 4,1
Rata2 10 4,13

VIII. Perhitungan
a. Pembakuan NaOH 0,1 N dengan Asam Salisilat
mg /BE Asam Oksalat
N NaOH = V NaOH

50 mg /63,03
N NaOH = 7,8 ml

N NaOH = 0,101 N

b. Pembakuan H2SO4 dengan Na2CO3


mg /BE Asam Oksalat
N H2SO4 = V NaOH
50 mg /53
N H2SO4 = 9,3 ml

N H2SO4 = 0,101 N

c. Penentuan Kadar Asetosal


1. Volume NaOH yang bereaksi dengan H2SO4
V NaOH x N NaOH = V H2SO4 x N H2SO4
V NaOH x 0,101 = 4,13 x 0,101
0,41713
V NaOH = 0,101

V NaOH = 4,13 ml
2. Volume NaOH yang bereaksi dengan sampel
V NaOH yang ditambahkan - V NaOH yang bereaksi
= 15ml - 4,13 ml
= 10,87 ml
3. Penetapan Kadar Sampel Asetosal
a. V sampel x N sampel = V NaOH x N NaOH
= 10 x N sampel = 10,87 x 0,101
N sampel = 0,109787 N
b. Gram Asetosal
𝑚𝑔𝑟/𝑒𝑘
N= 𝑣

mg = BE x N x V
= 180,16 x 0,109787 x 10
= 197,792 mg
= 0,197 g
c. % Kadar Sampel
𝑔 𝐴𝑠𝑒𝑡𝑜𝑠𝑎𝑙
% kadar = x 100%
𝑔 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙
0,197
= x 100%
1

= 19,7 %

IX. Pembahasan
Pada praktikum kali ini yaitu penetapan kadar Asetosal (aspirin)
dari sediaan tablet dengan menggunakan metode titrasi asam basa
(asidimetri) . Asidimetri merupakan penetapan kadar secara kuantitatif
terhadap senyawa-senyawa yang bersifat basa dengan menggunakan baku
asam (Ibnu Gholib,2007).
O

O
O

OH
aspirin
Tablet asam asetilsalisilat mengandung asam asetilsalisilat
C9H804 dan tidak kurang dari 90,0 % dan tidak lebih dari 110,0 % dari
jumlah yang tertera pada etiket (Farmakope Indonesia ed. IV, 32).
Asam asetilsalisilat yang lebih dikenal sebagai Asetosal atau
Aspirin adalah analgetik anatipiretik dan antiinflamasi yang sangat luas
digunakan dan digolongkan dalam obat bebas (Farmakologi dan
Kemoterapi, 1993).
Asetosal bersifat asam karena dapat mendonorkan proton.
Pelepasan proton ini diakibatkan adanya ikatan rangkap terkonjugasi pada
gugus karboksil dimana atom O memiliki pasangan atom melimpah
sehingga sifatnya elektronegatif. Hal itu menyebabkan elektron pada atom
C akan lebih tertarik pada atom O yang menyebabkan atom C bersifat
elektropositif karena atom C pun berikatan pada gugus OH, menyebabkan
atom O akan bersifat elektronegatif. Akibatnya atom H akan bersifat
elektropositif yang nantinya akan didonorkan sesuai teori Bronstead-
Lowry yang berbunyi, asam adalah senyawa yang cenderung melepaskan
proton, sedangkan basa adalah senyawa yang cenderung menangkap
proton. (Ibnu Gholib, 2007).
Isolasi sampel Asetosal dilakukan dengan cara ekstraksi padat cair.
Yaitu sebanyak 1 gram sampel ditimbang lalu ditambahkan 10 ml pelarut
etanol. Untuk menghomogenkan campuran dilakukan proses
penghomogenan dengan alat vortex dan setelah dihasilkan larutan
homogen maka dilakukan pemisahan antara fasa etanol (pelarut) yang
melarutkan zat aktif asetosal dan fasa yang tidak larut dalam pelarut etanol
yang berisi matriks tablet. Dari hasil sentrifugasi akan diperoleh filtrat dan
residu. Filtrat merupakan fasa etanol dan asetosal, dan residu adalah
matriks tablet. Larutan sampel hasil isolasi yang diambil untuk titrasi
adalah sebanyak 10 ml.
Pelarut yang digunakan untuk memisahkan asetosal pada saat
ekstraksi adalah etanol. Alasan pemilihan etanol sebagai pelarut adalah
karena Asetosal sebagai zat aktif yang akan diisolasi memiliki kelarutan
yang sangat baik dalam etanol yaitu mudah larut dengan perbandingan 1 :
1 – 10. Ketidaklarutan dalam air juga dapat ditinjau dari struktur kimia
Asetosal yang memiliki banyak ikatan rangkap dan tersusun atas banyak
atom C sehingga mengurangi kelarutannya dalam air. Sedangkan matriks
tablet tidak larut dan praktis tidak larut dalam etanol sehingga ketika
disentrifugasi filtrat merupakan bagian yang larut dalam pelarut etanol,
yaitu Asetosal sebagai analit untuk dilakukan titrasi.
Asetosal dapat dititrasi secara langsung dengan menggunakan baku
basa, seperti NaOH. Senyawa ini mudah terhidrolisis, karenanya kelebihan
basa selama titrasi harus dihindari. Pada penetapan asetosal dengan cara
ini digunakan larutan NaOH 0,1 N dan suhu dijaga pada 15° - 20° C.
Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut :

Kerugian pada metode ini pada penetapan kadar ester (seperti


asetosal) adalah tidak dapat membedakan antara esternya dan asam bebas
yang mungkin terbentuk karena hidrolisis ester (Sudjadi,2012 ).
Pada pengujian dengan menggunakan metode asam basa tidak
langsung ini, yaitu kelebihan basanya di titrasi dengan H2SO4 0,1 N.
Pengujian ini dilakukan dengan penambahan NaOH 0,1 N secara berlebih
yang sebelum dititrasi dipanaskan terlebih dahulu selama 15 menit dengan
tuujuan untuk menghomogenkan. Kemudian campuran yang telah
homogen sempurna dititrasi kelebihan basanya dengan H2SO4 0,1 N
sehingga terbentuk pada akhir tittrasi terjadi perubahan warna dari merah
muda menjadi tidak berwarna. Asam yang gugus hidroksilnya teresterkan
seperti asetosal mudah larut dalam NaOH encer dan akan terhidrolisis
dalam basa berlebihan pada pemanasan di atas penangas air.
Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut :

NaOH + H2SO4 Na2SO4 + H2O

Berat molekul asetosal adalah 180,16. Banyaknya NaOH harus


cukup berlebihan untuk menetralkan asam salisilat dan asam asetat yang
terbentuk. Berat ekivalen asetosal adalah setengah dari berat molekulnya
karena alkali menetralkan asam salisilat dan asam asetat yang terbentuk
pada saat hidrolisis.
Sebelum dilakukan titrasi pada sampel dilakukan pembakuan
NaOH dengan menggunakan asam oksalat, tujuannya yaitu untuk
mengetahui normalitas yang sebenarnya dari baku sekunder dan untuk
mengetahui konsentrasi NaOH yang nantinya akan digunakan dalam
mencari kadar sampel yang dibutuhkan. Hasil yang diperoleh pada
pembakuan NaOH ini adalah sebesar 0,101 N dengan volume rata-rata
titrasinya adalah sebanyak 7,8 ml.
Selanjutnya dilakukan titrasi dengan membakukan H2SO4 0,1 N
yang bertindak sebagai larutan baku sekunder dengan menggunakan
Na2CO3 . Tujuannya yaitu untuk mengetahui normalitas H2SO4 0,1 N yang
sebenarnya dari baku sekunder dan untuk mengetahui konsentrasi yang
nantinya akan digunakan dalam mencari kadar sampel yang dibutuhkan.
Hasil yang diperoleh pada pembakuan H2SO4 0,1 N ini adalah sebesar
0,101 N dengan volume rata-rata titrasinya adalah sebanyak 9,3 ml.
Selanjutnya sampel hasil dari isolasi diambil sebanyak 10 ml yang
digunakan untuk titrasi. Titrasi dilakukan segera setelah asetosal
dilarutkan dan ditambahkan 3 tetes indikator fenolftalein . Hal ini untuk
mengurangi kemungkinan terurainya asetosal. NaOH akan menetralkan
gugus karboksil dari asetosal, asam salisilat, natrium salisilat, dan natrium
asetat. Setelah titrasi pertama selesai, natrium asetil salisilat dihidrolisis
dengan NaOH 0,1 N berlebihan yang diukur dengan seksama dan
membentuk natrium salisilat dan natrium asetat (Djibran,2012).
Pada pendinginan larutan harus dijaga terhadap CO2 dari udara ,
sebab larutan panas NaOH cepat menyerap panas dari CO2 yag berasal
dari udara membentuk natrium natrium karbonat yang menyebabkan
terjadinya perubahan warna indikator sebelum titik akhir titrasi tercapai
(Sudjadi,2012).
Adapun fungsi dari penambahan indikator PP adalah untuk
mengetahui titik akhir titrasi yaitu berupa perubahan warna menjadi merah
muda.fenolftalein memiliki nilai pKa 9,4 dan akan berubah pada rentang
pH 8,4-10,4. Dimana pada rentang pH 8,4-10,4 PP mengalami pengaturan
ulang struktur karena satu proton dihilangkan dari salah satu gugus
fenolnya seiring dengan meningkatnya pH dan hasil ini menyebabkan
perubahan warna, dan mengalami perubahan struktur tergantung pH yang
sama. Dan itulah sebabnya PP sangat cocok digunakan pada metode titrasi
asam basa (Watson, David 2002).

Persamaan reaksinya adalah sebagai berikut :

+ NaOH + H2 O

Sedangkan pada hidrolisis natrium asetil salisilat dengan NaOH,


reaksi yang terjadi adalah :

2NaOH + H2SO4 Na2SO4 + 2H2O


Reaksi yang terjadi pada penetapan kadar asetosal bersama dengan
hasil uraiannya.
Pada penetapan kadar asetosal yang terdapat bersama-sama dengan
hasil uraiannya(asam salisilat dan asam asetat), yaitu sebanyak 10 ml
asetosal hasil dari isolasi ditambahkan indikator PP dan dititrasi segera
dengan NaOH 0,1 N sampai mencapai titik akhir titrasi. Pengujian ini
dilakukan dengan penambahan NaOH 0,1 N secara berlebih yang sebelum
dititrasi dipanaskan terlebih dahulu selama 15 menit dengan tujuan untuk
menghomogenkan. Kemudian campuran yang telah homogen sempurna
dititrasi kelebihan basanya dengan H2SO4 0,1 N sehingga terbentuk pada
akhir tittrasi terjadi perubahan warna dari merah muda menjadi tidak
berwarna(bening). Asam yang gugus hidroksilnya teresterkan seperti
asetosal mudah larut dalam NaOH encer dan akan terhidrolisis dalam basa
berlebihan pada pemanasan di atas penangas air.
Hasil akhir dari titrasi tersebut didapatlah volume rata-rata dari
titrasi tersebut sebanyak 4,13 ml. Dimana hasil tersebut dikurangi dengan
volume NaOH yang ditambahkan secara berlebih sebanyak 15 ml.
Didapatlah volume NaOH yang bereaksi dengan ampel adalah sebesar
10,87 ml. Setelah didapatkan hasil tersebut maka dapat digunakan untuk
menetapkan kadar sampel asetosal. Dari hasil perhitungan didapat kadar
sampel sebesar 197 mg dengan konsentrasi 19,7 % .

X. Kesimpulan
Dari percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa konsentrasi
aspirin yang terkandung adalah 19,7 % yaitu sebesar 197 mg. Percobaan
dilakukan dengan menggunakan metode asidimetri dengan indikator PP.
Hasil pembakuan NaOH adalah 0,101 N . Dan hasil pembakuan H2SO4
adalah 0,101 N.
XI. Daftar Pustaka

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia


Edisi IV. Jakarta: Kemetrian Kesehatan RI.
Gandjar, Ibnu Gholib dan Rohman, Abdul. 2007. Kimia Farmasi Analisis.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Soedjadi dan Abdul Rohman. 2008. Analisis Kuantitatif Obat.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Sarker, Satyajit dan Nahar, Lutfun. 2007. Kimia untuk Mahasiswa
Farmasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Roth,J Herman dan Blaschke.1985. Analisis Farmasi. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Watson,David G. 2007. Analisis Farmasi Edisi 2. Jakarta : Buku
Kedokteran EGC.

standar yaitu larutan standar primer dan larutan standar


sekunder.
Larutan standar primer adalah larutan standar yang
konsentrasinya diperoleh dengan cara menimbang. Syarat senyawa
yang dapat dijadikan standar primer:
1. Memiliki kemurnian 100%.
2. Bersifat stabil pada suhu kamar dan stabil pada suhu
pemanasan (pengeringan) disebabkan standar primer biasanya
dipanaskan dahulu sebelum ditimbang.
3. Mudah didapatkan (tersedia dimana-mana).
4. Memiliki berat molekul yang tinggi (MR), hal ini untuk
menghindari kesalahan relative pada saat menimbang. Menimbang
dengan berat yang besar akan lebih mudah dan memiliki kesalahan
yang kecil dibandingkan dengan menimbang sejumlah kecil zat
tertentu.
Larutan standar sekunder adalah larutan yang konsentrasinya
diperoleh dengan cara mentitrasi dengan larutan standar primer.
NaOH tidak dapat dipakai untuk standar primer disebabkan NaOH
bersifat higroskopis oleh sebab itu maka NaOH harus dititrasi dahulu
dengan KHP agar dapat dipakai sebagai standar primer. Begitu juga
dengan H2SO4 dan HCl tidak bisa dipakai sebagai standar primer,
supaya menjadi standar sekunder maka larutan ini dapat dititrasi
dengan larutan standar primer Na2CO3.
Larutan yang dipergunakan untuk penentuan larutan yang tidak
diketahui konsentrasinya diletakkan di dalam buret dan larutan ini
disebut sebagai larutan standar atau titran atau titrator, sedangkan
larutan yang tidak diketahui konsentrasinya diletakkan di Erlenmeyer
dan larutan ini disebut sebagai analit.
Titran ditambahkan sedikit demi sedikit pada analit sampai
diperoleh keadaan dimana titran bereaksi secara equivalen dengan
analit, artinya semua titran habis bereaksi dengan analit keadaan ini
disebut sebagai titik equivalen. Mungkin kamu bertanya apabila kita
menggunakan dua buah larutan yang tidak bewarna seperti H2SO4
dan NaOH dalam titrasi, bagaimana kita bisa menentukan titik
equivalent?. Titik equivalent dapat ditentukan dengan berbagai
macam cara, cara yang umum adalah dengan menggunakan indicator.
Indikator akan berubah warna dengan adanya penambahan sedikit
mungkin titran, dengan cara ini maka kita dapat langsung
menghentikan proses titrasi.
Sebagai contoh titrasi H2SO4 dengan NaOH digunakan indikator
fenolftalein (pp). Bila semua larutan H2SO4 telah habis bereaksi
dengan NaOH maka adanya penambahan sedikit mungkin NaOH
larutan akan berubah warna menjadi merah mudah. Bila telah terjadi
hal yang demikian maka titrasi pun kita hentikan. Keadaan dimana
titrasi dihentikan dengan adanya berubahan warna indikator disebut
sebagai titik akhit titrasi. Titrasi yang bagus memiliki titik equivalent
yang berdekatan dengan titik akhir titrasi dan kalau bisa sama.
Perhitungan titrasi didasarkan pada rumus: V.N titran = V.N analit
Dimana V adalah volume dan N adalah normalitas. Kita tidak
menggunakan molaritas (M) disebabkan dalam keadaan reaksi yang
telah berjalan sempurna (reagen sama-sama habis bereaksi) yang
sama adalah mol-equivalen bukan mol. Mol-equivalen dihasilkan dari
perkalian normalitas dengan volume. Tidak semua zat bisa ditentukan
dengan cara titrasi akan tetapi kita harus memperhatikan syaratsyarat
titrasi untuk mengetahui zat apa saja yang dapat ditentukan dengan
metode titrasi untuk berbagai jenis titrasi yang ada. Mengenal
berbagai macam peralatan yang dipergunakan dalam titrasipun
sangat berguna agar kita mahir melakukan teknik titrasi.
Cara Melakukan Titrasi Asam Basa:
1. Zat penitrasi (titran) yang merupakan larutan baku dimasukkan
ke dalam buret
2. Zat yang dititrasi (titrat) ditempatkan pada wadah (gelas kimia
atau erlenmeyer). Ditempatkan tepat dibawah buret berisi titran.
3. Tambahkan indikator yang sesuai pada titrat, misalnya,
indikator fenoftalien
4. Rangkai alat titrasi dengan baik. Buret harus berdiri tegak,
wadah titrat tepat dibawah ujung buret, dan tempatkan sehelai kertas
putih atau tissu putih di bawah wadah titrat
5. Atur titran yang keluar dari buret (titran dikeluarkan sedikit
demi sedikit) sampai larutan di dalam gelas kimia menunjukkan
perubahan warna dan diperoleh titik akhir titrasi. Hentikan titrasi!!
Agar diketahui kapan harus berhenti menambahkan titran, maka
dapat menggunakan bahan kimia, yaitu indikator, yang bereaksi
terhadap kehadiran titran yang berlebih dengan melakukan
perubahan warna. Perubahan warna ini bisa saja terjadi persis pada
titik ekivalen , tetapi bisa juga tidak. Titik dalam titrasi dimana
indikator berubah warnanya disebut titik akhir ( Day dan
Underwood).
Titik Ekuivalen adalah titik dimana terjadi kesetaraan reaksi
secara stokiometri antara zat yang dianalisis dan larutan standar.
Pada umumnya, titik ekuivalen lebih dahulu dicapai lalu diteruskan
dengan titik akhir titrasi.Ketelitian dalam penentuan titik akhir titrasi
sangat mempengaruhi hasil analisis pada suatu senyawa.Untuk
menggetahui kesempurnaan berlansungnya reaksi maka digunakan
suatu zat yang disebut indicator.
Indikator adalah zat warna larut yang perubahan warnanya tampak
jelas dalam rentang pH yang sempit. Jenis indikator yang khas adalah
asam organik yang lemah yang mempunyai warna berbeda dari basa
konjugatnya. Indikator yang baik mempunyai intensitas warna yang
sedemikian rupa sehingga hanya beberapa tetes larutan indikator
encer yang harus ditambahkan ke dalam larutan yang sedang diuji.
Konsentrasi molekul indikator yang sangat rendah ini hampir tidak
berpengaruh terhadap pH larutan. Perubahan warna indikator
mencerminkan pengaruh asam dan basa lainnya yang terdapat dalam
larutan (Oxtoby, 2001).

Anda mungkin juga menyukai