Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN III CLINICAL EXPOSURE III

REFLUKS GASTROESOFAGEAL

Disusun Oleh:
Jason Leonard Wijaya
01071180063
Dibimbing Oleh:
Dr. Sia, Elizabeth Ariel Setiawan

PUSKESMAS KRESEK
PERIODE 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
BAB 1

Illustrasi Kasus

Identitas Pasien :

Nama : Ibu. D

Umur : 22 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pegawai restoran

Alamat : Kh astari

Status: Belum Kawin

Tanggal masuk puskesmas:

Metode Anamnesis: Autoanamnesis

a. Keluhan Utama

Datang dengan keluhan nyeri di daerah ulu hati hingga ke bagian dada yang terasa seperti
terbakar sejak 3 hari yang lalu

b. Keluhan tambahan

Mual dan muntah, mulut terasa asam, juga mengalami susah tidur sejak 3 hari yang lalu

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Ibu D datang ke Puskesmas Kresek dengan keluhan nyeri di daerah ulu hati hingga ke
bagian dada yang Ia alami sejak 3 hari yang lalu. Rasa nyeri yang dialami oleh pasien
dideskripsikan seperti rasa terbakar. Selain itu pasien kerap kalo mengalami mual dam
muntah. Selama 3 hari ke belakang, pasien sudah muntah sebanyak 2 kali. Pasien
mengaku muntah yang dikeluarkan kurang lebih sebanyak 1-2 gelas. Pasien mengaku
tidak terdapat darah di muntah pasien. Sejak 3 hari yang lalu hingga pada saat pasien
datang ke puskesmas, keluhan yang dirasakan tidak mengalami perubahan. Pasien
mengaku bahwa rasa nyeri yang pasien alami akan bertambah sakit di malam hari,
biasanya setelah makan malam. Dari skala 1-10 pasien mengaku rasa nyeri berada di
skala 5 dan pada malam hari dapat mencapai skala 7. Pasien juga mengaku mulutnya
sering terasa asam. Pasien tidak mengalami batuk atau pilek sebelum gejala ini timbul.
Pasien tidak mengalami demam. Masalah BAB dan BAK disangkal. Pasien mengaku
tidak menemukan darah di kotoran yang dihasilkan. Pasien belum mengkonsumsi obat-
obatan untuk mengatasi keluhan pasien. Pasien tidak pernah berkunjung ke dokter
sebelumnya untuk berkonsultasi tentang keluhan yang dialaminya.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat

e. Riwayat Keluarga

Riwayat penyakit hipertensi, diabetes, diabetes, asma, jantung, atau TB pada keluarga pasien
disangkal

f. Riwayat Kebiasaan

Kebiasaan merokok, menimum-minuman alkohol, maupun mengkomsusmsi obat-obatan


dalam jangka panjang pasien disangkal. Pasien mengaku sering membeli makanan di luar.

g. Riwayat Social Ekonomi

Kegiatan sehari-hari pasien adalah bekerja di restoran dan tinggal di kos-kosan.

h. Riwayat alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi

i. Pemeriksaan Fisik

● Status Generalis :

- Kesan umum : Sakit Ringan


- Kesadaran : GCS 15 (Compos Mentis)

- Berat badan : 56 kg

- Tinggi badan : 161 cm

● Tanda-tanda Vital :

- Tekanan darah : 120/80 mmHg

- Pulse rate : 93x/menit (reguler)

- Respiratory Rate : 17x/menit

- Suhu : 36.7 ℃

Kulit keseluruhan - Sianosis/kebiruan (-)


- Jaundice (-)
- Elastisitas dan turgor normal
- Erythema (-)
- Tidak ada keringat berlebihan (diaphoresis)
Kepala, Rambut, Kepala - Bentuk kepala normosefali
dan leher Rambut - Rambut berwarna hitam
- Rambut tersebar merata
Fungsi - Pergerakan kepala normal
- Tidak ada keterbatasan gerak
Mata* - Konjungtiva anemis (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
- Mata normal
- Pupil Bulat (+/+)
- Bentuk sama besar dan isokor(+/+)
Hidung* - Penampakan hidung normal
- Nafas cuping hidung (-/-)
- Hidung simetris
- Septum Deviasi (-/-)
- Darah Kering (-/-)
- Massa (-/-)
- Discharge (-/-)
Telinga* - Sekret (-/-)
- Serumen (-/-)
- Darah (-/-)
- Nyeri tekan mastoid (-/-)
- Tidak ada gangguan fungsi pendengaran
Mulut - Sianosis (-)
- Tidak ada gusi berdarah
- Mulut tidak kering
- Stomatitis (-)
- Tidak pucat
- Tidak ada luka pada sudut bibir
Leher - Retraksi supra sternal (-)
- Deviasi trakeal (-)
- Peningkatan JVP (-)
- Pembesaran kelenjar limfatik (-)
Thorax
Jantung Inspeksi - Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi - Ictus cordis tidak teraba
Perkusi - Batas jantung normal, tidak ada
pembesaran
Auskultasi - Suara jantung normal (S1, S2 normal, tidak
ada murmur dan gallop), tidak ada palpitasi
Paru-paru Inspeksi - Gerakan napas paru-paru simetris
- Barrel chest (-)
- Pectus Excavatum (-)
- Pectus Carinatum (-)
- Massa (-)
- Lesi (-)
- Ruam (-)
- Tidak ada bekas luka
- Retraksi intercostal
- Retraksi supraklavikular (-)
Palpasi - Taktil fremitus normal dan simetris di
kedua lapang paru, tidak ada peningkatan
atau penurunan
Perkusi - Perkusi paru normal
- Batas paru hepar normal
Auskultasi - Auskultasi normal
Abdomen Inspeksi - Caput medusa (-)
- Bentuk abdomen membesar
- Tidak ada bekas luka
- Bentuk perut normal
- Darm contour (-)
- Darm steifung (-)
Auskultasi - Ada gerakan peristaltic
- Tidak ada bunyi metalik
- Tidak ada bruit
- Abdomen normal
Perkusi - Shifting dullness (-)
- Timpani di seluruh lapang perut
Palpasi - Nyeri tekan (+)
Regio Epigastric
- Hepatomegaly (-)
- Splenomegaly (-)
- Ballotement test (-/-)
- CVA (-/-)
- Murphey sign (-)
- McBurney (-)
Ekstremitas* Inspeksi - Tidak ada sianosis
- Tidak ada deformitas
- Clubbing finger (-)
- White nails (-)
- Palmar erythema (-)
Palpasi - Ekstremitas hangat
- Edema (-)
Fungsi - Pergerakan normal, tidak ada keterbatasan
gerak

*tidak dilakukan (hasil yang diharapkan)

RESUME

Ibu. D datang ke Puskesmas Kresek dengan keluhan nyeri seperti terbakar di daerah ulu
hati hingga ke bagian dada sejak 3 hari yang lalu. Selain itu pasien kerap kali mengalami
mual dam muntah. Dalam kurun waktu 3 hari ke belakang, pasien mengaku sudah
muntah sebanyak 2 kali. Pasien mengaku muntah yang dikeluarkan kurang lebih
sebanyak 1-2 gelas. Pasien mengaku bahwa rasa nyeri yang pasien alami akan bertambah
sakit di malam hari, biasanya setelah makan malam. Dari skala 1-10 pasien mengaku rasa
nyeri berada di skala 5 dan pada malam hari dapat mencapai skala 7. Pasien juga
mengaku mulutnya sering terasa asam. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, ditemukan
adanya nyeri tekan abdomen di daerah epigastric.

Diagnosis Utama

- Refluks Gastroesofageal

Diagnosis Banding

- Akhalasia

- Ulkus Peptik

Pemeriksaan Penunjang: belum dilakukan pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Penunjang yang diharapkan: endoskopi dan biopsy (bila perlu)

Tata laksana:

Puskesmas Yang disarankan


Farmakologis: Farmakologis:

 Omeprazole 2 x 20 mg selama 7-14  Omeprazole 2 x 20 selama 7-14 hari


hari atau

 Lansoprazole 2 x 30 mg.hari

 Domperidone 3 x 10 mg/hari
Non-Farmakologis: Non-Farmakologis:

 Tidak mengkonsumsi zat-zat yang  Makan yang tidak terlalu berlemak


dapat mengiritiasi lambung (makanan
 Makan dengan porsi yang lebih kecil
pedas, makanan asam, caffeine)
 Berhenti merokok
 Tidak makan terlalu banyak
 Berhenti mengkonsumsi zat-zat yang
 Tidur minimal 2-4 jam setelah makan
dapat mengiritasi lambung (aspirin,
alcohol, makanan pedas, makanan
asam, caffeine)

 Tidur minimal 2-4 jam setelah makan

BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau refluks esofageal adalah penyakit yang
menyebabkan isi lambung mengalami refluks secara berkali-kali ke esophagus, yang dapat
menimbulkan gejala dan/atau komplikasi yang menganggu. Penyakit ini juga dipandang
sebagai sebuah kelainan yang menyebabkan isi lambung mengalami refluks ke esophagus
dan menimbulkan gejala khas yaitu heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai
rasa nyeri dan pedih). Selain itu gejala-gejala lain juga dapat timbul seperti regurgitasi (rasa
asam dan pahit di lidah), nyeri epigastrium, nyeri dada non-kardiak, mual, kembung, nyeri
telan, mudah kenyang dysphagia, dan odinofagia.1
2.2 Epidemiologi
Prevalensi GERD dan komplikasinya di Asia secara umum relative rendah jika dibandingkan
dengan negara barat (Amerika dan Eropa), tetapi hasil terakhir menunjukkan bahwa
prevalensinya di Asia mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan adanya perubahan gaya
hidup yang tidak baik dan pada akhirnya meningkatkan resiko seseorang terkena GERD,
seperti merokok dan obesitas.2
2.3 Manifestasi Klinis

Gejala khas yang muncul pada pasien dengan refluks esophageal adalah sensasi panas seperti
terbakar (heartburn) di regio epigastrium pada abdomen atau retrosternal, regurgitasi dari
asam lambung dan rasa asam atau pahit di lidah. Biasanya gejala-gejala ini dapat dirasakan
pada saat setelah makan. Pasien juga dapat diserati dengan keluhan odinofagia, rasa kembung
dan mual, rasa begah, merasa cepat kenyang, sering bersendawa, dan hipersalivasi.
Sedangkan, gejala ekstra esofageal adalah nyeri dada non-kardiak, suara serak, laringitis,
batuk, bronkiektasis, hingga asma. Namun gejala-gejala ini lebih jarang terjadi.1

2.4 Faktor Risiko

Beberapa faktor resiko Refluks Gastroesofageal adalah:3


 Usia lebih dari 40 tahun
 Pria
 Obesitas
 Riwayat keluarga
 Merokok
 Asthma/PPOK
 Konsumsi alkohol, kopi, coklat, dan makanan berlemak

2.5 Etiologi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang dapat menderita refluks


gastroesofageal4:
 Kebiasaan hidup: rokok, konsumsi alcohol, berat badan berlebih
 Obat-obatan: Bronchodilator, aspirin
 Makanan: makanan dengan caffeine (kopi), makanan berlemak, makanan asam, alkohol
 Motilitas:sphincter esophageal yang tidak dapat berkontraksi dengnan wajar
Beberapa mekanisme lain yang berperan dalam patogenesis dari Refluks esofageal antara
lain menurunnya bersihan esofagus, disfungsi sphincter pada esophagus, dan
lambatnya pengosongan lambung

2.6 Patogenesis
GERD merupakan penyakit multifactorial, di mana esophagitis dapat terjadi sebagai
akibat dari refluks isi lambung ke dalam esophagus apabila5:
 Terjadi kontak langsung yang cukup lama antara mukosa esophagus dan refluksat
 Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esophagus, walaupun durasi kontak mukosa
esophagus dan refluksat tidak terlalu lama
 Masalah sensitivitas rangsangan isi lambung, yang dapat disebabkan karena adanya modulasi
persepsi neural esophageal
Kandungan dari isi lambung yang meningkatkan potensi daya rusak di antaranya adalah:
asam lambung, garam empeduh, pepsin, dan enzim pancreas (asam lambung memiliki daya
rusak paling tinggi). Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam patogenesis GERD, di
antaranya adalah: infeksi bakteri Helicobacter pylori, kebiasaan/gaya hidup, motilitas, dan
hipersensitivitas viseral.
 Hipersensitivitas Neural: peranan refluks non-asam/gas dalam patogenesis GERD yang
didasarkan atas hipersensitivitas viseral. Hipersensitivitas viseral dapat memodulasi respom
neural sentral dan perifer terhadap rangsangan
2.7 Diagnosis
GERD dapat didiagnosis melalui anamnesis dengan gejala khasnya yaitu heartburn dan/atau
regurgitasi tanpa memerlukan pemeriksaan penunjang. Kuesioner GERD dapat membantu
pemeriksaan GERD, dan melakukan uji coba terapi PPI, yaitu memberi PPI dosis ganda
selama 1-2 minggu. Jika terjadi perbaikan terhadap gejala, maka GERD dapat dianggap
positif.1,3
Pemeriksaan penunjang seperti endoskopi dapat dilakukan jika pasien berumur di atas 40
tahun dan memiliki tanda bahaya yaitu disfagia, anemia, penurunan berat badan, odinofagia,
hematemesis/melena, riwayat keganasan lambung/esofagus, dan penggunaan NSAIDs
kronik. Selain itu juga digunakan metode esofagografi barium, manometri esophagus, tes
impedans, tes bilitec, tes histopatologi dan tes Bernstein.6
2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan untuk penyakit Refluks esophageal, meliputi tindakan terapi non-
farmakologik, farmakologik, endoskopik, dan bedah. Terdapat 5 tujuan yang ingin dicapai
dan harus selalu diperhatikan saat merencanakan tatalaksana yang hendak dilakukan kepada
pasien yang meliputi menghilangkan gejala/keluhan, menyembuhkan lesi di mukosa
lambung/esofagus, mencegah/mengurangi kekambuhan, meningkatkan kualitas hidup, dan
mencegah komplikasi.
 Non-medikamentosa

Perhatian utama ditujukan kepada memodifikasi berat badan berlebih dan meninggikan
kepala lebih kurang 15-20 cm pada saat tidur, serta faktor-faktor tambahan lain seperti
menghentikan merokok, minum alkohol, mengurangi makanan dan obat-obatan yang
merangsang asam lambung dan menyebabkan refluks, makan tidak boleh terlalu kenyang dan
makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur.7
 Medikamentosa
Obat-obatan yang telah diketahui dapat mengatasi gejala GERD meliputi antasida,
prokinetik, antagonis reseptor H2, Proton Pump Inhibitor (PPI) dan Baclofen. Dari semua
obat-obatan tersebut di atas, PPI paling efektif dalam menghilangkan gejala serta
menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. 17 PPI terbukti lebih cepat menyembuhkan lesi
esofagitis serta menghilangkan gejala GERD dibanding golongan antagonis reseptor H2 dan
prokinetik. Apabila PPI tidak tersedia, dapat diberikan H2RA.30,31,32 Pada individu-
individu dengan gejala dada terbakar atau regurgitasi episodik, penggunaan H2RA (H2-
Receptor Antagonist) dan/atau antasida dapat berguna untuk memberikan peredaan gejala
yang Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal
(Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) di Indonesia 16 cepat. Selain itu, di Asia
penggunaan prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin) dapat berguna
sebagai terapi tambahan. Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis
GERD ditegakkan (lihat bab diagnosis). Dosis inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari
sebelum makan selama 2 sampai 4 minggu. Apabila masih ditemukan gejala sesuai GERD
(PPI failure), sebaiknya PPI diberikan secara berkelanjutan dengan dosis ganda sampai gejala
menghilang. Umumnya terapi dosis ganda dapat diberikan sampai 4-8 minggu8.

 Endoskopik
Komplikasi GERD seperti Barret’s esophagus, striktur, stenosis ataupun perdarahan, dapat
dilakukan terapi endoskopik berupa Argon plasma coagulation, ligasi, Endoscopic Mucosal
Resection, bouginasi, hemostasis atau dilatasi. Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal
Tabel 1. Dosis Reflux GERD
PPI untuk Pengobatan Disease/GERD) di Indonesia 20
Terapi endoskopi untuk GERD masih terus berkembang dan sampai saat ini masih dalam
konteks penelitian. Terapi endoskopi yang telah dikembangkan adalah9:
- Radiofrequency energy delivery
- Endoscopic suturing

Namun demikian sampai saat ini masih belum ada laporan mengenai terapi endoskopi untuk
GERD di Indonesia.
 Bedah
Penatalaksanaan bedah mencakup tindakan pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen,
perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk mengatasi komplikasi. Pembedahan
antirefluks (fundoplikasi Nissen) dapat disarankan untuk pasien-pasien yang intoleran
terhadap terapi pemeliharaan, atau dengan gejala mengganggu yang menetap (GERD
refrakter). Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa, apabila dilakukan dengan baik,
efektivitas pembedahan antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa, namun memiliki
efek samping disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan gangguan usus
pascapembedahan10.

BAB 3
Case Reasoning

Bedasarkan anamnesis yang telah dilakukan dan pemaparan penyakit diatas Ibu D didiagnosa
menderita GERD atau Refluks Esophageal.
Diagnosis yang dilakukan dapat diperjelas dengan adanya beberapa gejala yang sesuai
dengan pemaparan yang ada yaitu mulut pasien sering terasa asam pahit dan terdapat nyeri di
daerah epigastric dengan karakteristik nyeri seperti terbakar (heartburn) terutama di malam
hari setelah makan. Selain itu, pasien juga disertai nyeri tekan di region epigastric dan juga
disertai mual muntah.
Terjadinya refluks esophageal ini dapat disebabkan oleh terjadinya kontak antara bahan
refluksat dan mukosa lambung, penurunan resistensi jaringan mukosa esophagus, terjadinya
gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung, dan lemahnya sphincter. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu gaya hidup, motilitas, dan hipersensitivitas
visceral.
Untuk menegakkan diagnosis GERD, sebenarnya diperlukan pemeriksaan penunjang dengan
cara melakukan pemeriksaan endoskopi untuk saluran cerna bagian atas di mana akan
ditemukan mucosal break di esophagus. Selain itu pasien juga dapat diminta untuk mengisi
kuosioner GERD-Q untuk memperkuat diagnosis.
Diagnosis banding pertama yang saya ambil adalah akhalasia karena gejala yang terjadi
mempunyai beberapa kesamaan seperti rasa nyeri epigastric yang dapat dideskripsikan
seperti rasa terbakar, terjadinya regurgitasi isi lambung ke esophagus, hingga dapat
menyebabkan nyeri dada. GERD dan akhalasia mempunyi pokok permasalahan yang sama,
yaitu masalah di motilitas di lower esophageal sphincter. Tetapi diagnosis ini dapat
disingkirkan karena pasien tidak disertai dengan disfagia atau kesusahan untuk menelan di
mana pada penyakit achalasia disfagia merupakan gejala utama. Maka dari itu diagnosis
banding psoriasis dapat disingkirkan.
Sedangkan, diagnosis banding kedua yang saya ambil adalah ulkus peptik karena gejala yang
terjadi pada pasien yang mengalami ulkus peptik memiliki beberapa kesamaan dengan gejala
pada GERD yaitu timbulnya rasa kembung, heartburn, mual, merasa cepat kenyang, dan
sering bersendawa. Sebenarnya penyakit GERD dapat berkembang menjadi ulkus peptic
akibat asam lambung yang terus-menerus mengikis mukosa lambung yang pada akhirnya
dapat menimbulkan luka di berbagai tempat, seperti di mukosa lambung. Menurut hasil
anamnesis, diagnosis banding ulkus peptic dapat disingkirkan karena pada penderita ulkus
peptic biasanya pasien dengan ulkus peptic menghasilkan kotoran yang berwarna gelap,
sedangkan Ibu D mengaku tidak menghasilkan warna kotoran yang demikian. Maka dari itu
diagnosis banding ulkus peptic dapat disingkirkan
Bedasarakan pemaparan teori yang sudah dijelaskan, keluhan yang dialami pasien (GERD)
memiliki beberapa pilihan tatalaksana yang dapat diberikan. Untuk tatalaksana yang
diberikan oleh puskesmas, Puskesmas Kresek memberikan omeprazole 2 x 20 mg selama 7-
14 hari. Omeprazole merupakan salah satu contoh dari obat golongan penghambat pompa
proton atau PPI. Penghambat pompa proton atau PPI adalah obat yang berguna untuk
menghambat produksi asam lambung sehingga insiden terjadinya refluks dapat berkurang.
Menurut saya tatalaksana yang telah diberikan oleh puskesmas sudah tepat, tetapi akan lebih
baik jika diberikan juga prokinetik yang dapat mempercepat pergerakan lambung seperti
domperidone dengan anjuran pakai 3 x 10 mg selama 7-14 hari. Lalu untuk pemakaian,
biasanya diminum 2 jam sebelum atau sesudah makan.
Jika tidak ditangani dengan tepat atau tidak segera ditangani, Refluks Gastroesofageal akan
menyebabkan beberapa komplikasi seperti esophagitis, ulkus esophagus, perdarahan
esophagus, hingga Barret’s esophagus
Untuk penyakit GERD, pasien memiliki prognosis yang baik, mengingat refluks
gastroesofageal tidak mengancam kelangsungan hidup pasien (Ad vitam: Bonam). Selain itu,
penyakit GERD dapat menganggu fungsi organ pasien karena sewaktu-waktu gejala dapat
kambuh (Ad functionam: Dubia ad Bonam). Biasanya penyakit GERD akan menyebabkan
gangguan yang berjangka cukup lama dan keluhan akan meredah apabila pengobatan
dilaksanakan secara rutin dan gaya hidup tetap dijaga (Ad sanationam: Dubia ad Malam).
Untuk menghindari kambuhnya penyakit ini, disarankan agar pasien untuk meminum obat
sesuai dengan anjuran dokter dan menjaga gaya hidup seperti menjaga berat badan agar tetap
ideal, berhenti/menghindari kebiasaan merokok, tidak terlalu sering mengkonsumsi zat-zat
yang dapat mengiritasi lambung seperti cafein, aspirin dan alcohol. Selain itu juga dianjurkan
untuk tidur minimal 2-4 jam setelah makan, makan dengan porsi yang tidak terlalu banyak,
dan makan makanan yang tidak terlalu berlemak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fock KM, Talley NJ, Fass R, et al. Asia-Pacific consensus on the management of
gastroesophageal reflux disease: update. J Gastroenterol Hepatol 2008;23:8-22
2. Sontag SJ. The medical management of reflux esophagitis. Role of antacids and acid
inhibition. Gastroenterol Clin North Am 1990;19:683-712.
3. Rosaida MS, Goh KL. Gastro-oesophageal reflux disease, reflux oesophagitis and
non-erosive reflux disease in a multiracial Asian population: a prospective, endoscopy
based study. Eur J Gastroenterol Hepatol 2004;16:495-501.
4. Fujiwara Y, Arakawa T. Epidemiology and clinical characteristics of GERD in the
Japanese population. J Gastroenterol 2009;44:518-34
5. Dickman R, Fass R. The Pathophysiology of GERD. In. Wien ; New York: Springer;
2006:13-22
6. Jones R, Junghard O, Dent J, et al. Development of the GerdQ, a tool for the diagnosis
and management of gastro-oesophageal reflux disease in primary care. Aliment
Pharmacol Ther 2009;30:1030-8.
7. Kaltenbach T, Crockett S, Gerson LB. Are lifestyle measures effective in patients
with gastroesophageal reflux disease? An evidence-based approach. Arch Intern Med
2006;166:965- 71.
8. M. Storr, A. Meining, HD. Allescher, Pathopysiology and Pharmalogical Treatment
of Gastroesophageal Reflux Disease, Digestive Disease 2000; 18:93-102.
9. Lichtenstein, David, et al. Role of Endoscopy in The Management of GERD.
American Society fo Gastrointestinal Endoscopy. 2007.
10. Kahrilas PJ, Shaheen NJ, Vaezi MF, et al. American Gastroenterological Association
Medical Position Statement on the management of gastroesophageal reflux disease.
Gastroenterology 2008;135:1383-91, 91 e1-5.

Anda mungkin juga menyukai