Anda di halaman 1dari 95

LAPORAN I CLINICAL EXPOSURE III

SUSPEK FARINGITIS BAKTERI

Disusun Oleh:
Jason Leonard Wijaya
01071180063
Dibimbing Oleh:
Dr. Sia, Elizabeth Ariel Setiawan

PUSKESMAS KRESEK
PERIODE 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
BAB 1

Illustrasi Kasus

Identitas Pasien :

Nama : Bapak. N

Umur : 44 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Tukang Ojek

Alamat : Kresek

Status: Sudah Kawin

Tanggal masuk puskesmas: 21 Januari 2020

Metode Anamnesis: Autoanamnesis

a. Keluhan Utama

Datang dengan keluhan demam yang terjadi sejak 2 hari yang lalu yang tidak kunjung
membaik

b. Keluhan tambahan

Mual, muntah, nyeri menelan, pusing kepala dan juga penurunan nafsu makan sejak 2 hari
yang lalu

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Bapak N datang ke Puskesmas Kresek pada tanggal 21 Januari 2020 dengan keluhan
demam yang Ia alami sejak 2 hari yang lalu. Selain demam pasien juga mengalami mual,
muntah, pusing kepala, nyeri menelan, dan serta mengalami penurunan nafsu makan
sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengaku bahwa pasien memuntahkan isi perut paling tidak
sebanyak 1 gelas sebanyak 2 kali dalam kurun waktu 2 hari dan berwarna kuning. Pasien
juga mengaku mengalami penurunan nafsu makan. Pasien mengaku demam yang ia alami
stabil (tidak terjadi demam yang naik-turun). Bapak J mengaku mengalami demam
dengan suhu tubuh 38.6 C. Pasien mengaku akan bertambah nyeri telannya ketika
memakan gorengan dan merokok. Dari skala 1-10 pasien mengaku rasa nyeri telan
berada di skala 4 dari 10. Sejak 2 hari yang lalu hingga pada saat pasien datang ke
puskesmas, keluhan yang dirasakan tidak mengalami perubahan. Pasien belum
mengkonsumsi obat untuk meredahkan keluhannya. Pasien tidak pernah berkunjung ke
dokter sebelumnya untuk berkonsultasi tentang keluhan yang dialaminya. Adanya sesak
napas pada pasien disangkal.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya (kira-kira 1 tahun yang lalu).

e. Riwayat Keluarga

Riwayat penyakit hipertensi, diabetes, diabetes, asma, jantung, atau TB pada keluarga pasien
disangkal

f. Riwayat Kebiasaan

Pasien memiliki kebiasaan merokok sebanyak 1 kotak rokok di setiap harinya selama kurang
lebih 20 tahun. Kebiasaan menimum-minuman alkohol, maupun mengkomsusmsi obat-
obatan dalam jangka panjang pasien disangkal

g. Riwayat Social Ekonomi

Kegiatan sehari-hari pasien adalah bekerja di jalanan dan lingkungan disekitar rumahnya
dinilai cukup bersih.

h. Riwayat alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi

i. Pemeriksaan Fisik
● Status Generalis :

- Kesan umum : Sakit Ringan

- Kesadaran : GCS 15 (Compos Mentis)

- Berat badan : 60 kg

- Tinggi badan : 173 cm

● Tanda-tanda Vital :

- Tekanan darah : 120/80 mmHg

- Pulse rate : 100x/menit (reguler)

- Respiratory Rate : 16x/menit

- Suhu : 38.5 ℃

Kulit keseluruhan - Sianosis/kebiruan (-)


- Jaundice (-)
- Elastisitas dan turgor normal
- Erythema (-)
- Tidak ada keringat berlebihan (diaphoresis)
Kepala, Rambut, Kepala - Bentuk kepala normosefali
dan leher* Rambut - Rambut berwarna hitam
- Rambut tersebar merata
Fungsi - Pergerakan kepala normal
- Tidak ada keterbatasan gerak
Mata* - Konjungtiva anemis (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
- Mata normal
- Pupil Bulat (+/+)
- Bentuk sama besar dan isokor(+/+)
Hidung* - Penampakan hidung normal
- Nafas cuping hidung (-/-)
- Hidung simetris
- Septum Deviasi (-/-)
- Darah Kering (-/-)
- Massa (-/-)
- Discharge (-/-)
Telinga* - Sekret (-/-)
- Serumen (-/-)
- Darah (-/-)
- Nyeri tekan mastoid (-/-)
- Tidak ada gangguan fungsi pendengaran
Mulut - Sianosis (-)
- Tidak ada gusi berdarah
- Mulut tidak kering
- Stomatitis (-)
- Tidak pucat
- Tidak ada luka pada sudut bibir
- Faring Hiperemis (+/+)
- Tonsil (T1/T1)
Leher* - Retraksi supra sternal (-)
- Deviasi trakeal (-)
- Peningkatan JVP (-)
- Pembesaran kelenjar limfatik (-)
Thorax
Jantung* Inspeksi - Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi - Ictus cordis tidak teraba
Perkusi - Batas jantung normal, tidak ada
pembesaran
Auskultasi - Suara jantung normal (S1, S2 normal, tidak
ada murmur dan gallop), tidak ada palpitasi
Paru-paru Inspeksi - Gerakan napas paru-paru simetris
- Barrel chest (-)
- Pectus Excavatum (-)
- Pectus Carinatum (-)
- Massa (-)
- Lesi (-)
- Ruam (-)
- Tidak ada bekas luka
- Retraksi intercostal
- Retraksi supraklavikular (-)
Palpasi - Taktil fremitus normal dan simetris di
kedua lapang paru, tidak ada peningkatan
atau penurunan
Perkusi - Perkusi paru normal
- Batas paru hepar normal
Auskultasi - Auskultasi normal
Abdomen* Inspeksi - Caput medusa (-)
- Bentuk abdomen membesar
- Tidak ada bekas luka
- Bentuk perut normal
- Darm contour (-)
- Darm steifung (-)
Auskultasi - Ada gerakan peristaltic
- Tidak ada bunyi metalik
- Tidak ada bruit
- Abdomen normal
Perkusi - Shifting dullness (-)
- Timpani di seluruh lapang perut
Palpasi - Nyeri tekan (-)
- Hepatomegaly (-)
- Ballotement test (-/-)
- CVA (-/-)
- Murphey sign (-)
- McBurney (-)
Ekstremitas* Inspeksi - Tidak ada sianosis
- Tidak ada deformitas
- Clubbing finger (-)
- White nails (-)
- Palmar erythema (-)
Palpasi - Ekstremitas hangat
- Edema (-)
Fungsi - Pergerakan normal, tidak ada keterbatasan
gerak

*tidak dilakukan (hasil yang diharapkan)

Centor Score
- Demam
- Anterior Cervical lymphadenopathy
- Tidak ada batuk
- Eksudat tonsil
Tiap kriteria ini bila dijumpai diberi skor 1.
1-3: 40% terinfeksi streptococcus group A
4 : 50% terinfeksi streptococcus group A
Score pasien: 2 (Demam dan tidak ada batuk)

RESUME

Bapak. N datang ke Puskesmas Kresek pada tanggal 21 Januari 2020 dengan keluhan demam
yang terjadi sejak 2 hari yang lalu. Pasien mengaku demam yang dialami relative stabil.
Pasien mengaku bahwa kemarin Ia sudah mengukur suhu tubuh dan terukur 38.6 C. Selain
itu, pasien juga disertai dengan nyeri telan, mual, muntah dan nyeri menelan. Dari skala 1-10
pasien mengaku rasa nyeri menelan pada skala 4. Ditemukan faring hiperemis.

Diagnosis Utama

- Suspek Faringitis Bacterial

Diagnosis Banding

- Faringits Viral
- Tonsilitis

Pemeriksaan Penunjang: belum dilakukan pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Penunjang yang disarankan: pemeriksaan darah lengkap dan pemeriksaan


mikroskopik dengan pewarnaan Gram

Tata laksana:

Puskesmas Yang disarankan


Farmakologis: Farmakologis:

 Amoxicilin 3 x 250 mg selama 10 hari  Amoxicilin 3 x 250 mg selama 10 hari

 Paracetamol 2 x 500 mg (jika masih  Paracetamol 2 x 500 mg (jika masih


demam) demam)
Non-Farmakologis: Non-Farmakologis:

 Istirahat cukup  Istirahat cukup

 Menjaga asupan cairan dan gizi  Menjaga kebersihan mulut dan tangan

 Meminum antibiotic secara rutin dan  Meminum obat-obatan secara rutin


sampai habis
 Meminum antibiotic sampai habis
 Menghindari makanan seperti
 Menghindari makanan seperti
gorengan (yang dapat mengiritasi
gorengan yang dapat melukai faring
faring)
 Menjaga asupan cairan dan gizi
Prognosis:
- Ad vitam:
Bonam
- Ad functionam:
Bonam
- Ad sanationam:
Bonam

BAB 2
Tinjauan Pustaka

I. Definisi
Faringitis adalah peradangan dari mukosa pada faring atau tonsilopalatina. Pada umumnya,
faringitis akut merupakan bagian dari infeksi orofaring akut yaitu tonsilofaringitis atau
bagian dari rinofaringitis. Faringitis akut dapat disebabkan oleh virus atau bakteri, yang
biasanya ditandai dengan nyeri tenggorokan, demam, faring yang hiperemis dan eksudat,
pembesaran kelenjar getah bening leher dan badan terasa lemas.1
II. Etiologi

Faringitis pada umumnya dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, iritan, trauma, alergi,
dan lain-lain. Virus yang biasanya merupakan faktor pencetus faringitis akut di antaranya
Rhinovirus, Parainfluenza, Adenovirus, Epsteinn-Barr virus, Coxsackievirus, dan Herpes
virus. Sedangkan bakteri yang dapat menyebabkan faringitis yaitu, Streptococcus ß
hemolyticus group A, Chlamydia, Corynebacterium diphtheriae, Hemophilus influenzae,
Neisseria gonorrhoeae. Selain bakteri dan virus, jamur juga dapat menyebabkan faringitis.
Jamur spesies Candida merupakan spesies jamur yang paling sering menyebabkan faringitis
akut, akan tetapi hal ini sangat jarang terjadi pada manusia pada umumnya. Hal ini biasanya
menyerang seseorang yang menderita imunokompromis seperti orang dengan HIV/AIDS,
lupus, atau orang-orang yang meminum obat immunosuppressant. Mengkonsumsi makanan
yang merupakan iritan dapat menjadi penyebab faringitis akut atau dapat memperberat
faringitis.1
III. Epidemiologi

Setiap tahunnya diperkirakan ada ± 40 juta orang mengunjungi pusat pelayanan kesehatan
akibat faringitis. Anak-anak ataupun orang dewasa biasanya mengalami 3 sampai 5 kali
infeksi virus saluran pernafasan atas termasuk faringitis. Akan tetapi penyakit faringitis lebih
banyak timbul pada anak-anak. Diperkirakan 15 hingga 30% kasus faringitis pada anak-anak
usia sekolah dan 10% kasus pada orang dewasa. Faringitis biasanya paling sering terjadi pada
musim dingin akibat infeksi dari Streptococcus ß hemolyticus group A.3

IV. Klasifikasi

Faringitis dapat dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu


- Faringitis Viral
Viral faringitis disebabkan oleh berbagai macam species virus di antaranya Adenovirus,
Rinovirus, virus Influenza, Epstein Barr Virus, Cytomegalovirus, Coxsachievirus dan
virus lainnya. Gejala dan tanda yang timbul biasanya adalah demam disertai rinorea,
nyeri tenggorokan, mual dan muntah, dan nyeri menelan. Pada pemeriksaan tampak
faring dan tonsil hiperemis. Setiap virus memiliki beberapa ciri khas yang berbeda-beda
Virus influenza, Coxsachievirus dan Cytomegalovirus tidak menghasilkan eksudat.
Ciri dari faringitis yang disebabkan oleh coxsachievirus adalah timbulnya lesi vesikular
di orofaring dan lesi kulit yang berupa maculopapular rash. Untuk faringitis yang
disebebakan oleh Adenovirus biasanya dapat timbul gejala konjungtivitis terutama pada
anak. Sedangkan untuk Epstein bar virus menyebabkan faringitis yang disertai eksudat
pada faring yang cukup banyak, hepatosplenomegali dan juga dapat ditemukan
pembesaran kelenjar limfa di seluruh tubuh terutama daerah retroservikal. Faringitis
akibat infeksi dari HIV-1 dapat menyebabkan keluhan nyeri tenggorokan, nyeri menelan,
mual dan demam. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan faring yang hiperemis,
eksudat, limfadenopati di leher dan pasien tampak lemah.2
- Faringitis Bakteri

Infeksi dari Streptococcus ß hemolyticus group A adalah pencetus faringitis bakteri akut
pada sebagian besar anak-anak dan terkadang juga dapat menyerang orang dewasa.
Keluhan yang timbul pada umumnya dapat meliputi nyeri kepala hebat, muntah, demam
tinggi, dan terkadang tidak disertai batuk. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tonsil
yang membesar, kelenjar limfa leher anterior yang membesar, kenyal dan nyeri apabila
ada penekanan, faring tonsil yang hiperemis dan terdapat eksudat dipermukaannya.
Setelah beberapa hari kemudian dapat timbul bercak petechiae pada palatum dan faring.2

V. Tata Laksana

Tata laksana farmakologi:


- Metisoprinol (isoprenosine) dapat diberikan dengan dosis 60−100 mg/kgBB yang dibagi
menjadi 4−6 kali pemberian per hari (untuk orang dewasa). Pada anak-anak kurang dari lima
tahun diberikan metisoprinol diberikan 50 mg/kgBB dibagi dalam 4−6 kali pemberian/hari.
- Faringitis bakteri bila sudah terbukti penyebabnya adalah Streptococcus group A dapat
diberikan antibiotik berupa penicillin G benzatin 50.000 U/kgBB/IM dosis tunggal. Selain
itu, juga dapat diberikan amoksisilin dengan dosis 50 mg/kgBB yang dibagi 3 kali per hari
selama sepuluh hari dan pada dewasa 3x500 mg per hari selama 6−10 hari atau eritromisin
4x500 mg/hari. Selain pemberian antibiotic, juga dapat diberikan kortikosteroid karena
steroid dapat menunjang perbaikan klinis karena dapat menekan reaksi peradangan. Salah
satu steroid yang dapat diberikan berupa deksametason dengan anjuran pakai 3x0,5 mg pada
orang dewasa selama tiga hari dan pada anak-anak dengan dosis 0,01 mg/kgBB/hari dengan
cara dibagi tiga kali pemberian selama tiga hari. 4,5

VI. Edukasi
- Menghimbau keluarga untuk menjaga daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi
makan bergizi, suplemen dan olahraga secara rutin.
- Menghimbau keluarga untuk tidak mengkonsumsi makanan yang dapat
mengiritasi tenggorokan.
- Menghimbau keluarga dan pasien untuk selalu menjaga kebersihan mulut.
- Menghimbau keluarga untuk mencuci tangan secara teratur.5

BAB 3
Case Reasoning
Bedasarkan anamnesis yang telah dilakukan dan pemaparan penyakit diatas pasien Bapak N
disuspek terkena faringitis bakteri. Keluhan yang dialami oleh pasien bermula pada saat bakteri
masuk ke dalam tubuh pasien, dimana tubuh mendeteksi bakteri dan memicu terjadinya
inflamasi/radang sebagai respon pertahanan tubuh. Hal ini mengakibatkan keluhan-keluhan
seperti sakit kepala, demam, dan nyeri telan dapat timbul. Diagnosis kerja yang dilakukan dapat
diperjelas dengan gejala yang pasien alami sesuai dengan pemaparan gejala yang telah
dijelaskan, yaitu demam tinggi (38.5℃), sulit menelan akibat nyeri telan, sakit kepala, dan
penurunan nafsu makan. Selain itu, pemeriksaan fisik mulut menunjukkan adanya hiperemis
pada faring pasien. Untuk bacterial faringitis sendiri, bakteri yang paling sering menyebabkan
penyakit ini adalah Streptococcus ß hemolyticus group A. Biasanya bakteri ini dapat tertular
melalui kontak langsung dengan air ludah orang yang terinfeksi. Untuk mengkonfirmasi
diagnosis ini, dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti kultur dari throat swab.
Diagnosis banding pertama yang saya ambil adalah viral faringitis karena gejala yang terjadi
pada pasien yang mengalami viral faringitis memiliki beberapa kesamaan dengan gejala pada
bacterial faringitis yaitu demam, sulit menelan akibat nyeri telan, bdan batuk berdahak. Pada
pemeriksaan fisik pun dapat ditemukan kesamaan di antara viral faringits dan bacterial faringitis
yaitu ditemukannya faring yang hiperemis. Pada viral faringitis, dahak yang dikeluarkan
biasanya berwarna putih dan viral faringitis dapat disertai rinnorhea. Viral faringits juga dapat
menimbulkan demam, tapi jika dibandingkan dengan bacterial faringitis, pasien viral faringitis
cenderung mengalami demam yang tidak terlalu tinggi. Dengan beberapa hal yang sudah
disebutkan, maka diagnosis banding viral faringitis dapat disingkirkan.
Sedangkan diagnosis banding kedua yang saya ambil adalah tonsilitis karena gejala yang terjadi
pada tonsilitis mempunyai beberapa kesamaan seperti sulit menelan karena nyeri telan, dan
demam.Tetapi diagnosis ini dapat disingkirkan karena pada pemeriksaan fisik, pasien dengan
penyakit tonsilitis biasanya dapat ditemukan pembengkakan tonsil dan biasanya terdapat white
spot (tonsil stone) pada tonsil. Selain itu, diagnosis banding tonsillitis dapat disingkirkan melalui
anamnesis, dimana pada pasien ini tidak ditemukan adanya nyeri yang menjalar ke telinga,
adanya plummy voice, dan bau mulut, dimana pada pasien dengan tonsillitis terdapat keluhan
serupa. Pada pasien ini tidak ditemukan pembengkakan dan white spot pada tonsil.
Bedasarakan pemaparan teori yang sudah dijelaskan pasien, dapat diberikan paracetamol untuk
meredahkan demam dan juga dapat diberikan amoxicillin 3 x 250 mg selama 10 hari ke depan
serta pemberian paracetamol 2 x 500 mg untuk menurunkan demam sebagai tatalaksana
medicamentosa. Selain itu, pasien juga dihimbau untuk menjaga daya tahan tubuh dengan
menjaga asupan cairan dan nutrisi, memiliki waktu istirahat yang cukup, menjaga kebersihan
mulut dan tangan, serta menghabiskan antibiotic yang telah diberikan. Selama gejala faringitis
masih berlangsung, alangkah baiknya jika pasien dapat menghindari konsumsi makanan yang
dapat mengiritasi tenggorokan (seperti gorengan). Komplikasi dari bacterial faringitis sendiri
adalah demam reumatik, gangguan ginjal (glomerulonephrithis), atau bisa juga menyebabkan
abses pada tonsil atau jaringan tenggorokan lain. Penyakit faringitis bakterial ini memiliki
prognosis yang baik karena bacterial faringitis tidak mengancam kelangsung hidup pasien (Ad
vitam: Bonam) dan tidak akan menganggu fungsi organ pasien (Ad functionam: Bonam). Jika
pasien mengikuti terapi pengobatan dengan benar, maka dapat dipastikan bahwa pasien akan
sembuh (Ad sanationam: Bonam). Untuk menghindari terulangnya penyakit ini, disarankan agar
tidak melakukan kontak langsung terhadap air ludah dari orang yang terinfeksi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Adam, G.L. Boies, L.R. Higler. Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta: EGC.
1997. (Adam dan Boies, 1997)

2. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. ke-8. Mcgraw-Hill. 2003
(Lee, 2003)

3. Dennis L. Kasper, Stephen L. Hauser, J. Larry Jameson, Anthony S. Fauci, Dan L.


Longo, Joseph Loscalzo. Harrison's Principles of Internal Medicine, 19th ed. United
States: McGraw-Hill Professional; 2015.

4. Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu
penyakit dalam , 6 ed. Indonesia: Interna Publishing; 2014.

5. Rusmarjono. Soepardi, E.A.Faringitis, Tonsilitis, dan Hipertrofi Adenoid dalam Buku


Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tengorrok, Kepala dan Leher. Ed. ke-6 Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007 (Hafil, et al., 2017)

LAPORAN II CLINICAL EXPOSURE III


TUBERCULOSIS PARU
Disusun Oleh:
Jason Leonard Wijaya
01071180063
Dibimbing Oleh:
Dr. Sia, Elizabeth Ariel Setiawan

PUSKESMAS KRESEK
PERIODE 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
BAB 1

Illustrasi Kasus

Identitas Pasien :

Nama : Bapak. T

Umur : 53 tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

Pekerjaan : Tukang Parkir

Alamat : Kresek

Status: Sudah Kawin

Tanggal masuk puskesmas:

22 Februari 2020

24 Februari 2020

25 Februari 2020

Metode Anamnesis: Autoanamnesis

j. Keluhan Utama

Batuk darah sejak 3 hari yang lalu, disertai dengan batuk berdahak kehijauan sejak 3 minggu

k. Keluhan tambahan

Demam hilang timbul, nyeri dada pada saat batuk, keringat malam, kelelahan selama tiga
minggu

l. Riwayat Penyakit Sekarang

Bapak T datang ke Puskesmas Kresek pada tanggal 25 Februari 2020 untuk melihat hasil
pemeriksaan penunjang. Sebelumnya Bapak T datang ke Puskesmas Kresek pada tanggal
22 Februari dengan keluhan batuk darah sejak tiga hari yang lalu, sebelumnya juga
disertai dengan batuk berdahak kehijauan sejak tiga minggu yang lalu. Pasien mengaku
dahak yang dihasilkan pasien diperkirakan mencapai 3 sendok teh. Pasien juga
mengeluhkan adanya nyeri dada pada saat pasien batuk yang biasanya terjadi di pagi hari.
Dari skala 1- 10 rasa sakit dada yang dirasakan pasien terdapat pada skala 4. Pasien juga
datang dengan keluhan demam yang hilang timbul yang biasanya memuncak pada malam
hari dan keringat malam sejak kurang lebih tiga minggu yang lalu. Pasien belum pernah
mengukur suhu tubuh. Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya. Tidak ada faktor yang memperingan atau memperberat keluhan pasien.
Pasien sudah mengkonsumsi Dumin (paracetamol) untuk meredahkan demam, tetapi
demam akan timbul kembali dalam beberapa saat. Selain itu pasien juga mengeluhkan
mengenai kondisi tubuhnya lebih cepat merasa kelelahan. Pasien juga mengalami
penurunan nafsu makan dan penurunan berat badan. Pasien tidak mengalami sesak napas
dan tidak pernah mengkonsumsi obat anti-tuberkulosis sebelumnya. Pasien sebelumnya
sudah pernah ke puskemas lain satu bulan yang lalu dan sudah diberi obat, tetapi tidak
diselesaikan oleh pasien, alih-alih meminum obat pasien malah mengkonsumsi obat-
obatan tradisional racikan istrinya (jamu). Bapak T akhirnya diminta pihak puskesmas
untuk melakukan Uji tuberculin dan pengambilan sample dahak SPS.
m. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.

n. Riwayat Keluarga

Riwayat penyakit hipertensi, diabetes, diabetes, asma, jantung, atau TB pada keluarga pasien
disangkal

o. Riwayat Kebiasaan

Menimum-minuman alkohol, maupun mengkomsusmsi obat-obatan dalam jangka panjang


pasien disangkal. Pasien memiliki kebiasaan merokok 2 x 16 batang rokok sehari selama
kurang lebih 30 tahun.

p. Riwayat Social Ekonomi


Kegiatan sehari-hari pasien adalah bekerja di terminal dan hidup di daerah perkampungan

q. Riwayat alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi

r. Pemeriksaan Fisik

● Status Generalis :

- Kesan umum : Sakit Sedang

- Kesadaran : GCS 15 (Compos Mentis)

- Berat badan : 44 kg

- Tinggi badan : 172 cm

● Tanda-tanda Vital :

- Tekanan darah : 120/80 mmHg

- Pulse rate : 112x/menit (tachycardia)

- Respiratory Rate : 22x/menit (tachypnea)

- Suhu : 38.7 ℃

Kulit keseluruhan - Sianosis/kebiruan (-)


- Jaundice (-)
- Elastisitas dan turgor normal
- Erythema (-)
- Tidak ada keringat berlebihan (diaphoresis)
Kepala, Rambut, Kepala - Bentuk kepala normosefali
dan leher* Rambut - Rambut berwarna hitam
- Rambut tersebar merata
Fungsi - Pergerakan kepala normal
- Tidak ada keterbatasan gerak
Mata - Konjungtiva anemis (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
- Mata normal
- Pupil Bulat (+/+)
- Bentuk sama besar dan isokor(+/+)
Hidung* - Penampakan hidung normal
- Nafas cuping hidung (-/-)
- Hidung simetris
- Septum Deviasi (-/-)
- Darah Kering (-/-)
- Massa (-/-)
- Discharge (-/-)
Telinga* - Sekret (-/-)
- Serumen (-/-)
- Darah (-/-)
- Nyeri tekan mastoid (-/-)
- Tidak ada gangguan fungsi pendengaran
Mulut* - Sianosis (-)
- Tidak ada gusi berdarah
- Mulut tidak kering
- Stomatitis (-)
- Tidak pucat
- Tidak ada luka pada sudut bibir
Leher* - Retraksi supra sternal (-)
- Deviasi trakeal (-)
- Peningkatan JVP (-)
- Pembesaran kelenjar limfatik (-)
Thorax
Jantung Inspeksi - Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi - Ictus cordis tidak teraba
Perkusi - Batas jantung normal, tidak ada
pembesaran
Auskultasi - Suara jantung normal (S1, S2 normal, tidak
ada murmur dan gallop), tidak ada palpitasi
Paru-paru Inspeksi - Gerakan napas paru-paru simetris
- Barrel chest (-)
- Pectus Excavatum (-)
- Pectus Carinatum (-)
- Massa (-)
- Lesi (-)
- Ruam (-)
- Tidak ada bekas luka
- Retraksi intercostal
- Retraksi supraklavikular (-)
Palpasi - Taktil vocal fermitus mengalami
penurunan di semua lapang paru
Perkusi - Perkusi paru normal
- Batas paru hepar normal
Auskultasi - Ronchi basah (+) apex
- Stridor (+)
- Suara napas bronkial (+) apex
- Wheezing (-)
Abdomen* Inspeksi - Caput medusa (-)
- Bentuk abdomen membesar
- Tidak ada bekas luka
- Bentuk perut normal
- Darm contour (-)
- Darm steifung (-)
Auskultasi - Ada gerakan peristaltic
- Tidak ada bunyi metalik
- Tidak ada bruit
- Abdomen normal
Perkusi - Shifting dullness (-)
- Timpani di seluruh lapang perut
Palpasi - Nyeri tekan (-)
- Hepatomegaly (-)
- Splenomegaly (-)
- Ballotement test (-/-)
- CVA (-/-)
- Murphey sign (-)
- McBurney (-)
Ekstremitas* Inspeksi - Tidak ada sianosis
- Tidak ada deformitas
- Clubbing finger (-)
- White nails (-)
- Palmar erythema (-)
Palpasi - Ekstremitas hangat
- Edema (-)
Fungsi - Pergerakan normal, tidak ada keterbatasan
gerak

*tidak dilakukan (hasil yang diharapkan)

RESUME

Bapak T datang dengan keluhan utama batuk darah sejak tiga hari yang lalu, yang juga
disertai dengan batuk berdahak kehijauan yang sudah dialami selama tiga minggu yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri dada pada saat batuk. Dari skala 1-10 pasien
mengeluh nyeri dada yang pasien rasakan berada pada skala 4. Pasien juga mengeluh demam
yang hilang timbul dan keringat malam pada kurang lebih tiga minggu terakhir. Pasien
mengaku mengalami penurunan nafsu makan. Suhu tubuh pasien berada di angka 38.7℃.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan suara napas bronkial, ronchi basah, stridor, dan penurunan
taktil vocal fremitus yang terjadi di semua lapang paru.

Diagnosis Utama

- TB Paru

Diagnosis Banding

- Empiema
- Pneumonia

Pemeriksaan Penunjang:

- Pemeriksaan BTA (3+) dengan >10 BTA/LP

- Uji Tuberkulin: diameter indurasi 11 mm

Pemeriksaan Penunjang yang diharapkan: pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan x-ray thorax

Tata laksana:

Puskesmas Yang disarankan


Farmakologis: Farmakologis:

 2RHZE 3 x 1 selama 2 bulan (tahap  2RHZE 3 x 1 selama 2 bulan (tahap


intensif) intensif

 Paracetamol 2 x 500 mg (4-6 sekali  Paracetamol 2 x 500 mg (4-6 sekali


hingga demam hilang) hingga demam hilang)
Non-Farmakologis: Non-Farmakologis:

 Istirahat  Istirahat cukup

 Menjaga asupan cairan dan nutrisi  Mengkonsumsi obat-obatan secara


rutin
 Mengkonsumsi obat-obatan secara
rutin  Menjaga asupan cairan dan nutrisi

 Berhenti merokok  Mengkonsumsi makanan yang bersih

 Berhenti merokok

 Menjaga kebersihan (membersihkan


dahak dengan benar)

Prognosis:
- Ad vitam:
Dubia ad Bonam
- Ad functionam:
Dubia ad Bonam
- Ad sanationam:
Bonam

BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang pada umumnya disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium sangatlah bermacam-macam, beberapa contoh
spesies Mycobacterium adalah M. tuberculosis, M. africanum, M. bovis, M. Leprae, dll.
Bakteri Mycobacterium juga dikenal sebagai Bakteri Tahan Asam. Kelompok bakteri
Mycobacterium selain Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyebabkan gangguan pada
system pernafasan dikenal sebagai MOTT (Mycobacterium Other Than Tuberculosis).
2.2 Manifestasi Klinis

Gejala yang timbul pada pengidap penyakit TB adalah:


- Batuk darah

- Keringat malam

- Demam

- Penurunan berat badan

- Batuk berdahak selama 3 minggu/lebih

- Nyeri dada saat napas/batuk

2.3 Faktor Risiko

Faktor risiko dari penyakit TB meliputi beberapa hal, yaitu:


- Lingkungan kumuh

- Sirkulasi udara yang tidak baik

- Immunodefisiensi

- Anak-anak di bawah 5 tahun

- Orang yang bekerja di tempat tertentu (rumah sakit atau tempat penampungan)

- Ras dari suku bangsa tertentu (India, Africa, dan Asia)

2.4 Etiologi

Penyebab utama TB paru adalah bakteri Mycrobacterium tuberkulosis. Bakteri ini berbentuk
batang dan memiliki sifat tahan terhadap asam (Batang Tahan Asam/BTA). Pengidap TB
BTA (+) merupakan sumber penularan utama penyakit ini, umumnya ketika bersin ataupun
batuk. Penyebaran dari penyakit ini pada umumnya melalui respiratory droplet yang
mengandung bakteri aktif yang nantinya jika terhisap oleh orang lain dapat menularkan
penyakit. Banyaknya jumlah kuman yang di keluarkan dari paru-paru pengidap
mempengaruhi penularan dari seorang penderita TB. Dalam pemeriksaan BTA secara
mikroskopis, semakin positif hasil pemeriksaan sputum, maka semakin infeksius penderita
tersebut, begitu juga dengan sebaliknya. Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan
selama beberapa jam di udara dengan suhu kamar.
2.5 Epidemiologi

Indonesia berada di peringkat kelima di kategori negara dengan beban TB tertinggi di dunia.
Estimasi prevalensi TB semua kasus diperkirakan sebanyak 660,000 (menururt WHO) dan
perkiraan insidensi berjumlah 430,000 kasus baru per tahun. Sedangkan, angka kematian
yang disebabkan oleh TB diperkirakan 61,000 kematian per tahunnya. Angka MDR-TB
diperkirakan kurang lebih sebesar 2% dari seluruh kasus TB baru (lebih rendah dari estimasi
di tingkat regional sebesar 4%) dan 20% dari kasus TB dengan pengobatan ulang.
Diestimasukan, terdapat sekitar 6.300 kasus MDR TB setiap tahunnya. Meskipun memiliki
beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia adalah negara pertama diantara High Burden
Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu mencapai target global TB
untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun 2006. Pada tahun 2009, tercatat
sejumlah kurang lebih 294.732 kasus TB telah terdeteksi dan berhasil diobati dan lebih dari
169.213 diantaranya terdeteksi Bakteri Tahan Asam+. Dengan demikian, Case Notification
Rate untuk TB Bakteri Tahan Asam+ adalah 73 per 100.000 (Case Detection Rate 73%).
Pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun terakhir adalah sekitar 90% dan
pada kohort tahun 2008 mencapai 91%. Pencapaian target global tersebut merupakan
pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama [3].

2.6 Klasifikasi

Penyakit TB dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu:


2.6.1 TB Paru
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru tetapi tidak
termasuk pleura. Berdasar hasil pemeriksaan dahak, TB paru dibagi menjadi dua, TB
Paru BTA (+) dan TB Paru BTA (-)
2.6.1.1 TB Paru BTA (+)

Seseorang dapat didiagnosa dengan TB Paru BTA (+) apabila:


a. 2 dari 3 spesimen dahak SPS menunjukan BTA positif.

b. Spesimen dahak SPS menunjukan BTA positif dan foto rontgen dada
menunjukkan illustrasi tuberkulosis aktif. [4]

2.6.1.2 TB Paru BTA (-)

Seseorang dapat didiagnosa dengan TB Paru BTA (-) apabila pemeriksaan 3 spesimen
dahak SPS hasilnya BTA negatif dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran
tuberkulosis aktif. TB paru BTA negatif rontgen positif dibagi berdasarkan keparahan
penyakitnya, berat atau ringan. Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada
memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”
atau millier), dan/atau keadaan umum penderita baik [4].
2.6.2 TB Ekstra Paru

Tuberkulosis ekstraparu adalah infeksi tuberkulosis yang terdapat di organ tubuh lain
selain paru (kelenjar getah bening, selaput otak, tulang, ginjal, saluran kencing,dll).
Penegakan diagnosis didasarkan atas kultur positif atau patologi anatomi dari tempat lesi.
Untuk kasus yang tidak memungkinkan untuk pengambilan spesimen maka diperlukan
bukti klinis yang kuat dan konsisten yang cocok dengan TB ekstra paru aktif [4].
2.7 Klasifikasi TB berdasarkan riwayat pengobatan

2.7.1 Kasus Baru

Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan [4].
2.7.2 Kasus kambuh (relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah
dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif [4]
2.7.3 Kasus dropped out

Pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan
berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai [4].
2.7.4 Kasus gagal

Pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir
bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan [4].
2.7.5 Kasus Kronik

Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang
dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik [4].
2.7.6 Kasus bekas TB

Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial
menunjukkan gambaran yang menetap [4].
2.8 Pemeriksaan Penunjang

2.8.1 Pemeriksaan Darah

Pemeriksaan darah pada pasien yang mengidap TB dapat ditandai dengan meningkatnya
laju endap darah (dalam keadaan tertentu bisa normal) dan meningkatnya kadar limfosit
[5]
2.8.2 X-ray Thoraks Posterior-Anterior dan lateral

Hasil pemeriksaan X-ray Thoraks pada pengidap TB dapat menunjukan [6]:


- Bayangan lesi terletak di lapangan atas paru atau segmen apical lobus bawah

- Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular)

- Adanya kavitas tunggal/ganda


- Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru

- Adanya kalsifikasi

- Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian

- Bayangan milier

2.8.3 Kultur Dahak

Kultur Dahak merupakan salah satu metode pemeriksaan penunjang untuk menegakkan
diagnosis TB. Materi yang akan diuji adalah dahak pasien (sputum) dan media yang
digunakan biasanya adalah Lowenstein Jensen atau Coco Blood Malachite Green. Setelah
beberapa saat, jika media yang digunakan adalah Lowenstein Jensen, maka akan timbul
koloni yang bewarna kekuningan seperti bunga kol. Apabila media yang digunakan
adalah Coco Blood Malachite Green, maka yang timbul adalah koloni bewarna putih
yang tampak tipis dan menyebar [5]
2.8.4 Uji Tuberkulin (Mantoux test)

Uji tuberculin atau Mantoux test adalah salah satu dasar kenyataan bahwa infeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis akan menyebabkan reaksi DTH (delayed-type
hypersensitivity) terhadap antigen yang berasal dari ekstrak Mycobacterium tuberculosis
atau yang biasa disebut dengan tuberkulin. Uji tuberkulin dilakukan dengan injeksi 0,1 ml
tuberkulin intradermal di permukaan belakang lengan bawah. Injeksi tuberkulin
menggunakan jarum gauge 27 dan spuit tuberculin dan injeksi harus membentuk sudut
30° antara kulit dan jarum. Masuknya tuberculin pada saat injeksi akan menyebabkan sel
T tersensitisasi dan menggerakkan limfosit ke tempat injeksi melalui molekul MHC-II.
Limfosit akan memicu indurasi dan vasodilatasi lokal, edema, deposit fibrin dan
penarikan sel inflamasi lainnya ke tempat injeksi, reaksi ini merupakan reaksi DTH
(delayed-type hypersensitivity). Test kulit positif maka akan tampak edema lokal atau
infiltrat maksimal 48-72 jam setelah suntikan. Hasil uji tuberkulin dicatat sebagai
diameter indurasi bukan kemerahan dengan cara palpasi. Standarisasi digunakan diameter
indurasi diukur secara transversal dari panjang axis lengan bawah dicatat dalam
milimeter. Hasil uji tuberculin dapat diinterpretasikan berdasarkan ukuran diameter dari
indurasi seperti berikut [8]:
 Indurasi > 5 mm

- Close contact dengan suspek TB dalam waktu kurang lebih 2 tahun

- Suspek TB aktif berdasarkan bukti klinis dan radiologi.

- Positif terinfeksi HIV

- Individu dengan perubahan radiologis berupa fibrotic (tanda TB)

- Individu yang telah menjalani transplantasi organ dan immuncompromised.

 Indurasi > 10 mm

- Berasal dari daerah dengan prevalensi TB yang tinggi

- HIV negative

- Pengguna NAPZA (Narkotik, Psikotropika, Zat Addiktif)

- Individu dengan kondisi klinis yang merupakan resiko tinggi TB seperti DM,
malabsorbsi, tumor di leher/kepala, leukemia, lymphoma, penurunan BB > 10%

 Indurasi > 15 mm

- Bukan resiko tinggi tertular TB

2.9 Tatalaksana

Tatalaksana tuberculosis dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2-3 bulan pertama) dan
fase lanjutan (selama 4-7 bulan ke depan). Selain itu, tatalaksana tuberculosis dapat dibagi
berdasarkan terapi, yaitu tatalksana farmakologi dan non-farmakologi.
2.9.1 Tatalaksana farmakologi
Tabel 1TB
Tatalaksana farmakologi untuk penyakit Jenis
paruOAT
dibedakan menjadi dua, tablet terpisah
dan Fixed-dose Combination, dengan dosis-dosis tertentu seperti yang bisa dilihat di table
berikut:
Jenis Obat OAT Harian Intermittent
Rifampicin 10 mg/kg BB (8- 10 mg/kg BB (8-
12) 12)
Isoniazid 5 mg/kg BB (4- 10 mg/kg BB (8-
6) 12)
Pyrazinamide 25 mg/kg BB 35 mg/kg BB
(20-30) (30-40)
Ethambutol 15 mg/kg BB 30 mg/kg BB
(15-20) (20-35)
Streptomycin 15 mg/kg BB
(12-18)

Tabel 2 Dosis paduan OAT Kombipak Kategori


1
Tahap Lama Isoniazid Rifampisin Pyrazinamid Etambutol Jumlah
Pengobatan Pengobatan (300 mg) (450 mg) (500 mg) (250 mg) hari/kali
menelan
obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48

Tabel 3 Fixed-Dose Combination – Tahap Intensif (2 bulan) Kategori 1


Berat Badan 2RHZE Harian 2RHZ Harian 2RHZ Intermittent
(rifampicin 150 mg + ( rifampicin 150 mg + ( rifampicin 150
isoniazid 75 mg + isoniazid 75 mg + mg + isoniazid
pyrazinamide 400 mg + pyrazinamide 400 mg) 150 mg +
ethambutol 275 mg) pyrazinamide 500
mg)

30-37 kg 2 2 2
38-54 kg 3 3 3
55-70 kg 4 4 4
>71 kg 5 5 5

Tabel 4 Fixed-Dose Combination – Tahap Lanjutan (4 - 6 bulan)


Kategori 1
Berat Badan 4RH Harian (rifampicin 150 4RH Intermittent – 3x per
mg + isoniazid 75 mg) minggu
(rifampicin 150 mg +
isoniazid 150 mg)
30-37 kg 2 2
38-54 kg 3 3
55-70 kg 4 4
>71 kg 5 5

Tabel 5 Fixed-dose Combination Kategori 2

Berat Badan Tahap Intensif Tahap Intensif Tahap Lanjutan 2RH


4RHZE Harian 4RHZE Harian Intermittent
(rifampicin 150 mg + (rifampicin 150 mg + (rifampicin 150 mg +
isoniazid 75 mg + isoniazid 75 mg + isoniazid 150 mg) +
pyrazinamide 400 mg pyrazinamide 400 mg etambutol 400 mg
+ ethambutol 275 + ethambutol 275
mg) + S mg) + S
56 Hari 28 Hari

30-37 kg 2 Tablet + 500 mg 2 Tablet 2 Tablet + 2 Tablet


Streptomycin Etambutol

38-54 kg 3 Tablet + 750 mg 3 Tablet 3 Tablet + 3 Tablet


Streptomycin Etambutol

55-70 kg 4 Tablet + 1000 mg 4 Tablet 4 Tablet + 4 Tablet


Streptomycin Etambutol

>71 kg 5 Tablet + 1000 mg 5 Tablet 5 Tablet + 5 Tablet


Streptomycin Etambutol
Tabel 6 Dosis paduan OAT Kombipak – Kategori 2

Tahap Lama Isonizia Rifampisin Pyrazinamid Etambutol Etambutol Streptomycin Jumlah


Pengobatan Pengobatan d 300 450 mg e 500 mg 250 mg 400 mg Injeksi hari/kali
mg menelan
obat
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 0,75 gr 56
1bulan 1 1 3 3 28
Lanjutan 4 bulan 2 1 1 2 60

Tabel 7 Fixed-dose Combination Obat Sisipan

Berat Badan Tahap Intensif RHZE Harian (rifampicin 150


mg + isoniazid 75 mg + pyrazinamide 400 mg
+ etambutol 275 mg)
30-37 kg 2 tablet
38-54 kg 3 tablet
55-70 kg 4 tablet
>71 kg 5 tablet

Tabel 8 Kombipat Obat Sisipan


Tahap Lama Isoniazid Rifampisin Pyrazinamid Etambutol Jumlah
Pengobatan Pengobatan e hari/kali
menelan
obat
Tahap 1 Bulan 1 1 3 3 28
Intensif
(harian)
2.9.2 Tatalaksana non-farmakologi

- Mencegah penularan dengan cara tidak membuang dahak sembarangan dan


menerapkan etika batuk

- Istirahat dengan cukup

- Mengkonsumsi obat secara teratur


- Menjaga kebersihan lingkungan

- Menjaga sirkulasi udara di rumah

2.10 Komplikasi

Jika tidak ditangani segera, maka bakteri Mycobacterium Tuberculosis bisa menjalar ke
daerah/organ lain dan dapat menyebabkan beberapa komplikasi di antaranya:
- Kerusakan Tulang dan Sendi

- Tuberculosis Uveitis

- Hepatic Tuberculosis

- Renal Tuberculosis

- Cardiac Tuberculosis

BAB 3
Case Reasoning

Bedasarkan anamnesis yang telah dilakukan dan pemaparan penyakit diatas Bapak T
didiagnosa terkena tuberkulosis paru.
Diagnosis yang dilakukan dapat diperjelas dengan gejala yang pasien alami sesuai dengan
pemaparan gejala yang telah dijelaskan, yaitu batuk darah, yang sebelumnya disertai dengan
batuk berdahak yang bewarna kehijauan selama tiga minggu, demam (38.4℃), nyeri dada
pada saat batuk, dan penurunan berat badan.
Untuk tuberculosis, bakteri yang paling sering menyebabkan penyakit ini Mycobacterium
Tuberculosis. Biasanya bakteri ini dapat tersebar melalui kontak langsung dengan air ludah
orang (respiratory droplet) yang pengidap TB.
Bapak T menderita TB paru dan termasuk ke dalam TB kasus baru karena belum pernah
mengkonsumsi Obat Anti Tuberkulosis. Selain itu, hasil dari pemeriksaan BTA menunjukan
ada lebih dari 10 BTA dalam 1 LP dan berdasarkan hasil uji tuberculin dari Bapak T,
indurasi yang muncul di daerah injeksi berdiameter kurang lebih 11 mm.
Sedangkan diagnosis banding pertama yang saya ambil adalah empiema karena gejala yang
terjadi pada empiema mempunyai beberapa kesamaan seperti nyeri dada pada saat
batuk/napas, demam, keringat malam dan penurunan berat badan. Tetapi diagnosis ini dapat
disingkirkan karena pasien memiliki keluhan batuk darah, di mana pada pasien empyema
tidak ditemukan dahak ataupun darah. Selain itu, pada pemeriksaan fisik (perkusi), pasien
dengan empyema cenderung menghasilkan suara perkusi pekak yang menandakan adanya
cairan dimana pada Bapak T, tidak ditemukan suara perkusi pekak di lapang paru. Selain itu,
di dahak pasien dengan pneumonia juga tidak ditemukkan biakan positif Mycobacterium
Tuberculosis jika dilakukan kultur dahak atau tidak terdeteksi BTA jika dilakukan
pemeriksaan mikroskopis. Maka dari itu diagnosis banding empyema dapat disingkirkan
Sedangkan, diagnosis banding kedua yang saya ambil adalah pneumonia karena gejala yang
terjadi pada pasien yang mengalami pneumonia memiliki beberapa kesamaan dengan gejala
pada TB paru yaitu demam, batuk berdahak, keringat malam, nyeri dada pada saat batuk,
hingga sama-sama dapat mengakibatkan batuk darah. Tetapi, jika dilakukan pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan BTA, maka di dahak pasien dengan pneumonia tidak
ditemukan Bakteri Tahan Asam, dimana pada dahak pasien dengan TB BTA + paling tidak
ditemukan beberapa BTA di dalam satu lapang pandang. Selain itu, agen yang paling sering
menyebabkan pneumonia adalah Streptococcus pneumonia, sedangkan agen yang
menyebabkan penyakit TB adalah bakteri dari genus Mycobacterium. Hal ini dapat
ditegakkan dengan kultur dahak dimana dahak pasien dengan TB jika dibiakkan akan
menimbulkan koloni yang berwarna kuning (menggunakan media Lowen-stein Jensen) dan
pasien tanpa TB (salah satunya pneumonia) menunjukan tidak adanya perkembangan dari
microorganism.
Bedasarakan pemaparan teori yang sudah dijelaskan, TB dapat diobati dengan OAT (Obat
Anti-Tuberkulosis) misalnya rifampisin, isoniazid, pirazinamil, dan etambutol. Sedangkan
untuk meredahkan demam, bisa diberikan paracetamol. Tatalaksana farmakologis yang telah
diberikan oleh puskemas kepada Bapak T sudah tepat, yaitu pemberian 2RHZE (meliputi
rifampicin 150 mg + isoniazid 75 mg + pyrazinamide 400 mg + ethambutol 275 mg) yang
akan dikonsumsi sebanyak 3x1 yang akan dikonsumsi selama kurang lebih 2 bulan ke
depan , serta paracetamol 500 mg 2 x 1 hari untuk meredahkan demam. Selain itu, pasien
juga dihimbau untuk beristirahat dengan cukup, minum obat secara teratur, makan makanan
yang bergizi terutama makanan yang mengandung lemak dan vitamin A, menjaga lingkungan
rumah, menjaga sirkulasi udara di rumah, serta mencegah penyebaran dengan cara
menerapkan etika batuk dan membersihkan dahak.
Menurut pemaparan, tatalaksana yang telah diberikan oleh puskemas sudah tepat dengan
memberikan 2RHZE yang meliputi rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg, pyrazinamide 400
mg, dan etambutol 275 mg sebanyak 3x1 karena sudah memenuhi kriteria yang telah
dipaparkan di atas. Selain itu puskesmas juga telah memberikan paracetamol 500 mg yang
dapat meredahkan demam pasien jika diminum sesuai anjuran (2x1 atau sampai tidak
demam).

Jika tidak ditangani dengan tepat atau tidak segera ditangani, penyakit TB akan
menyebabkan beberapa komplikasi mengingat bakteri TB dapat menjangkau daerah lain
seperti jantung, tulang, hati, bahkan mata.

Untuk penyakit TB, prognosis pasien ini cenderung mengarah ke ketidak-pastian karena TB
sendiri dapat mengancam kelangsung hidup pasien apabila tidak ditangani dengan tepat dan
segera, tetapi akan membaik jika ditangani dengan tepat (Ad vitam: Dubia ad bonam). Selain itu,
penyakit TB juga dapat menganggu fungsi organ pasien apabila tidak ditangani dengan benar
karena jika terjadi penundaan tatalaksana, maka jaringan paru akan terus menerus mengalami
gangguan dan dapat menganngu fungsi organ (Ad functionam: Dubia ad bonam). Jika ditangani
dengan tepat dan cepat, dan pasien mengikuti terapi pengobatan dengan benar, maka dapat
dipastikan bahwa pasien akan membaik atau bahkan sembuh (Ad sanationam: Bonam). Untuk
menghindari terulangnya penyakit ini, disarankan agar pasien menjalankan terapi secara teratur
dan hingga tuntas. Selain itu, pasien dihimbau untuk menghindari faktor-faktor risiko seperti
menghindari kontak cairan dengan pengidap TB, menghindari tempat-tempat yang beresiko
tinggi (rumah sakit, tempat penampungan), menjaga sirkulasi udara, makan makanan begirizi,
dan membersihkan lingkungan

DAFTAR PUSTAKA

1. Kesehatan, K. (n.d.). Pusat Data dan Informasi - Kementerian Kesehatan Republik


Indonesia. [Internet] Pusdatin.kemkes.go.id. Available at:
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/. [Accessed 9 Nov. 2019].
2. Helper Sahat P. Manalu, 2010. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian TB Paru
Dan Upaya Penanggulangannya. Jurnal Ekologi Kesehatan, 9, pp.1340–1346.
Available at: http://www.mysciencework.com/publication/file/1495417. [Accessed 9
Nov. 2019].

3. Aditama T, Subuh M. Strategi Nasional Pengendalian TB [Internet]. Searo.who.int.


2011. Available at: http://www.searo.who.int/indonesia/topics/tb/stranas_tb-2010-
2014.pdf. [Accesed 10 November 2019].

4. Anonim. 2006. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). Pedoman Diagnosis &
Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia [Internet]. Availabe at:
www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html. [Accesed 9 Nov. 2019]

5. Pedoman Interpretasi Data Klinik [Internet]. Farmalkes.kemkes.go.id. 2011.


Available at: http://farmalkes.kemkes.go.id/?
wpdmact=process&did=MTcyLmhvdGxpbms=. [cited 10 November 2019]

6. Miller C, Lönnroth K. Chest Radiography in Tuberculosis Detection [Internet].


Apps.who.int. 2006 .Available from:
https://apps.who.int/iris/bitstream/10665/252424/1/9789241511506-eng.pdf. [cited 10
November 2019].

7. Tuberculosis (TB) [Internet]. Who.int. 2019. Available from:


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/tuberculosis. [cited 10 November
2019]

8. Buku Panduan Pemeriksaan Sputum BTA [Internet]. Eprints.uns.ac.id. 2017.


Available from: https://eprints.uns.ac.id/890/1/19501104197511100101.pdf. [cited 11
November 2019]
LAPORAN III CLINICAL EXPOSURE III
REFLUKS GASTROESOFAGEAL
Disusun Oleh:
Jason Leonard Wijaya
01071180063
Dibimbing Oleh:
Dr. Sia, Elizabeth Ariel Setiawan

PUSKESMAS KRESEK
PERIODE 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG

BAB 1

Illustrasi Kasus
Identitas Pasien :

Nama : Ibu. D

Umur : 22 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Pekerjaan : Pegawai restoran

Alamat : Kh astari

Status: Belum Kawin

Tanggal masuk puskesmas:

Metode Anamnesis: Autoanamnesis

s. Keluhan Utama

Datang dengan keluhan nyeri di daerah ulu hati hingga ke bagian dada yang terasa seperti
terbakar sejak 3 hari yang lalu

t. Keluhan tambahan

Mual dan muntah, mulut terasa asam, juga mengalami susah tidur sejak 3 hari yang lalu

u. Riwayat Penyakit Sekarang

Ibu D datang ke Puskesmas Kresek dengan keluhan nyeri di daerah ulu hati hingga ke
bagian dada yang Ia alami sejak 3 hari yang lalu. Rasa nyeri yang dialami oleh pasien
dideskripsikan seperti rasa terbakar. Selain itu pasien kerap kalo mengalami mual dam
muntah. Selama 3 hari ke belakang, pasien sudah muntah sebanyak 2 kali. Pasien
mengaku muntah yang dikeluarkan kurang lebih sebanyak 1-2 gelas. Pasien mengaku
tidak terdapat darah di muntah pasien. Sejak 3 hari yang lalu hingga pada saat pasien
datang ke puskesmas, keluhan yang dirasakan tidak mengalami perubahan. Pasien
mengaku bahwa rasa nyeri yang pasien alami akan bertambah sakit di malam hari,
biasanya setelah makan malam. Dari skala 1-10 pasien mengaku rasa nyeri berada di
skala 5 dan pada malam hari dapat mencapai skala 7. Pasien juga mengaku mulutnya
sering terasa asam. Pasien tidak mengalami batuk atau pilek sebelum gejala ini timbul.
Pasien tidak mengalami demam. Masalah BAB dan BAK disangkal. Pasien mengaku
tidak menemukan darah di kotoran yang dihasilkan. Pasien belum mengkonsumsi obat-
obatan untuk mengatasi keluhan pasien. Pasien tidak pernah berkunjung ke dokter
sebelumnya untuk berkonsultasi tentang keluhan yang dialaminya.

v. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Riwayat

w. Riwayat Keluarga

Riwayat penyakit hipertensi, diabetes, diabetes, asma, jantung, atau TB pada keluarga pasien
disangkal

x. Riwayat Kebiasaan

Kebiasaan merokok, menimum-minuman alkohol, maupun mengkomsusmsi obat-obatan


dalam jangka panjang pasien disangkal. Pasien mengaku sering membeli makanan di luar.

y. Riwayat Social Ekonomi

Kegiatan sehari-hari pasien adalah bekerja di restoran dan tinggal di kos-kosan.

z. Riwayat alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi

aa. Pemeriksaan Fisik

● Status Generalis :

- Kesan umum : Sakit Ringan

- Kesadaran : GCS 15 (Compos Mentis)

- Berat badan : 56 kg

- Tinggi badan : 161 cm

● Tanda-tanda Vital :

- Tekanan darah : 120/80 mmHg


- Pulse rate : 93x/menit (reguler)

- Respiratory Rate : 17x/menit

- Suhu : 36.7 ℃

Kulit keseluruhan - Sianosis/kebiruan (-)


- Jaundice (-)
- Elastisitas dan turgor normal
- Erythema (-)
- Tidak ada keringat berlebihan (diaphoresis)
Kepala, Rambut, Kepala - Bentuk kepala normosefali
dan leher Rambut - Rambut berwarna hitam
- Rambut tersebar merata
Fungsi - Pergerakan kepala normal
- Tidak ada keterbatasan gerak
Mata* - Konjungtiva anemis (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
- Mata normal
- Pupil Bulat (+/+)
- Bentuk sama besar dan isokor(+/+)
Hidung* - Penampakan hidung normal
- Nafas cuping hidung (-/-)
- Hidung simetris
- Septum Deviasi (-/-)
- Darah Kering (-/-)
- Massa (-/-)
- Discharge (-/-)
Telinga* - Sekret (-/-)
- Serumen (-/-)
- Darah (-/-)
- Nyeri tekan mastoid (-/-)
- Tidak ada gangguan fungsi pendengaran
Mulut - Sianosis (-)
- Tidak ada gusi berdarah
- Mulut tidak kering
- Stomatitis (-)
- Tidak pucat
- Tidak ada luka pada sudut bibir
Leher - Retraksi supra sternal (-)
- Deviasi trakeal (-)
- Peningkatan JVP (-)
- Pembesaran kelenjar limfatik (-)
Thorax
Jantung Inspeksi - Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi - Ictus cordis tidak teraba
Perkusi - Batas jantung normal, tidak ada
pembesaran
Auskultasi - Suara jantung normal (S1, S2 normal, tidak
ada murmur dan gallop), tidak ada palpitasi
Paru-paru Inspeksi - Gerakan napas paru-paru simetris
- Barrel chest (-)
- Pectus Excavatum (-)
- Pectus Carinatum (-)
- Massa (-)
- Lesi (-)
- Ruam (-)
- Tidak ada bekas luka
- Retraksi intercostal
- Retraksi supraklavikular (-)
Palpasi - Taktil fremitus normal dan simetris di
kedua lapang paru, tidak ada peningkatan
atau penurunan
Perkusi - Perkusi paru normal
- Batas paru hepar normal
Auskultasi - Auskultasi normal
Abdomen Inspeksi - Caput medusa (-)
- Bentuk abdomen membesar
- Tidak ada bekas luka
- Bentuk perut normal
- Darm contour (-)
- Darm steifung (-)
Auskultasi - Ada gerakan peristaltic
- Tidak ada bunyi metalik
- Tidak ada bruit
- Abdomen normal
Perkusi - Shifting dullness (-)
- Timpani di seluruh lapang perut
Palpasi - Nyeri tekan (+)
Regio Epigastric
- Hepatomegaly (-)
- Splenomegaly (-)
- Ballotement test (-/-)
- CVA (-/-)
- Murphey sign (-)
- McBurney (-)
Ekstremitas* Inspeksi - Tidak ada sianosis
- Tidak ada deformitas
- Clubbing finger (-)
- White nails (-)
- Palmar erythema (-)
Palpasi - Ekstremitas hangat
- Edema (-)
Fungsi - Pergerakan normal, tidak ada keterbatasan
gerak

*tidak dilakukan (hasil yang diharapkan)

RESUME
Ibu. D datang ke Puskesmas Kresek dengan keluhan nyeri seperti terbakar di daerah ulu
hati hingga ke bagian dada sejak 3 hari yang lalu. Selain itu pasien kerap kali mengalami
mual dam muntah. Dalam kurun waktu 3 hari ke belakang, pasien mengaku sudah
muntah sebanyak 2 kali. Pasien mengaku muntah yang dikeluarkan kurang lebih
sebanyak 1-2 gelas. Pasien mengaku bahwa rasa nyeri yang pasien alami akan bertambah
sakit di malam hari, biasanya setelah makan malam. Dari skala 1-10 pasien mengaku rasa
nyeri berada di skala 5 dan pada malam hari dapat mencapai skala 7. Pasien juga
mengaku mulutnya sering terasa asam. Setelah dilakukan pemeriksaan fisik, ditemukan
adanya nyeri tekan abdomen di daerah epigastric.

Diagnosis Utama

- Refluks Gastroesofageal

Diagnosis Banding

- Akhalasia

- Ulkus Peptik

Pemeriksaan Penunjang: belum dilakukan pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Penunjang yang diharapkan: endoskopi dan biopsy (bila perlu)

Tata laksana:

Puskesmas Yang disarankan


Farmakologis: Farmakologis:

 Omeprazole 2 x 20 mg selama 7-14  Omeprazole 2 x 20 selama 7-14 hari


hari atau

 Lansoprazole 2 x 30 mg.hari

 Domperidone 3 x 10 mg/hari
Non-Farmakologis: Non-Farmakologis:
 Tidak mengkonsumsi zat-zat yang  Makan yang tidak terlalu berlemak
dapat mengiritiasi lambung (makanan
 Makan dengan porsi yang lebih kecil
pedas, makanan asam, caffeine)
 Berhenti merokok
 Tidak makan terlalu banyak
 Berhenti mengkonsumsi zat-zat yang
 Tidur minimal 2-4 jam setelah makan
dapat mengiritasi lambung (aspirin,
alcohol, makanan pedas, makanan
asam, caffeine)

 Tidur minimal 2-4 jam setelah makan

BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) atau refluks esofageal adalah penyakit yang
menyebabkan isi lambung mengalami refluks secara berkali-kali ke esophagus, yang dapat
menimbulkan gejala dan/atau komplikasi yang menganggu. Penyakit ini juga dipandang
sebagai sebuah kelainan yang menyebabkan isi lambung mengalami refluks ke esophagus
dan menimbulkan gejala khas yaitu heartburn (rasa terbakar di dada yang kadang disertai
rasa nyeri dan pedih). Selain itu gejala-gejala lain juga dapat timbul seperti regurgitasi (rasa
asam dan pahit di lidah), nyeri epigastrium, nyeri dada non-kardiak, mual, kembung, nyeri
telan, mudah kenyang dysphagia, dan odinofagia.1
2.2 Epidemiologi
Prevalensi GERD dan komplikasinya di Asia secara umum relative rendah jika dibandingkan
dengan negara barat (Amerika dan Eropa), tetapi hasil terakhir menunjukkan bahwa
prevalensinya di Asia mengalami peningkatan. Hal ini dikarenakan adanya perubahan gaya
hidup yang tidak baik dan pada akhirnya meningkatkan resiko seseorang terkena GERD,
seperti merokok dan obesitas.2
2.3 Manifestasi Klinis

Gejala khas yang muncul pada pasien dengan refluks esophageal adalah sensasi panas seperti
terbakar (heartburn) di regio epigastrium pada abdomen atau retrosternal, regurgitasi dari
asam lambung dan rasa asam atau pahit di lidah. Biasanya gejala-gejala ini dapat dirasakan
pada saat setelah makan. Pasien juga dapat diserati dengan keluhan odinofagia, rasa kembung
dan mual, rasa begah, merasa cepat kenyang, sering bersendawa, dan hipersalivasi.
Sedangkan, gejala ekstra esofageal adalah nyeri dada non-kardiak, suara serak, laringitis,
batuk, bronkiektasis, hingga asma. Namun gejala-gejala ini lebih jarang terjadi.1

2.4 Faktor Risiko

Beberapa faktor resiko Refluks Gastroesofageal adalah:3


 Usia lebih dari 40 tahun
 Pria
 Obesitas
 Riwayat keluarga
 Merokok
 Asthma/PPOK
 Konsumsi alkohol, kopi, coklat, dan makanan berlemak

2.5 Etiologi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan seseorang dapat menderita refluks


gastroesofageal4:
 Kebiasaan hidup: rokok, konsumsi alcohol, berat badan berlebih
 Obat-obatan: Bronchodilator, aspirin
 Makanan: makanan dengan caffeine (kopi), makanan berlemak, makanan asam, alkohol
 Motilitas:sphincter esophageal yang tidak dapat berkontraksi dengnan wajar
Beberapa mekanisme lain yang berperan dalam patogenesis dari Refluks esofageal antara
lain menurunnya bersihan esofagus, disfungsi sphincter pada esophagus, dan
lambatnya pengosongan lambung

2.6 Patogenesis
GERD merupakan penyakit multifactorial, di mana esophagitis dapat terjadi sebagai
akibat dari refluks isi lambung ke dalam esophagus apabila5:
 Terjadi kontak langsung yang cukup lama antara mukosa esophagus dan refluksat
 Terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esophagus, walaupun durasi kontak mukosa
esophagus dan refluksat tidak terlalu lama
 Masalah sensitivitas rangsangan isi lambung, yang dapat disebabkan karena adanya modulasi
persepsi neural esophageal
Kandungan dari isi lambung yang meningkatkan potensi daya rusak di antaranya adalah:
asam lambung, garam empeduh, pepsin, dan enzim pancreas (asam lambung memiliki daya
rusak paling tinggi). Ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam patogenesis GERD, di
antaranya adalah: infeksi bakteri Helicobacter pylori, kebiasaan/gaya hidup, motilitas, dan
hipersensitivitas viseral.
 Hipersensitivitas Neural: peranan refluks non-asam/gas dalam patogenesis GERD yang
didasarkan atas hipersensitivitas viseral. Hipersensitivitas viseral dapat memodulasi respom
neural sentral dan perifer terhadap rangsangan
2.7 Diagnosis
GERD dapat didiagnosis melalui anamnesis dengan gejala khasnya yaitu heartburn dan/atau
regurgitasi tanpa memerlukan pemeriksaan penunjang. Kuesioner GERD dapat membantu
pemeriksaan GERD, dan melakukan uji coba terapi PPI, yaitu memberi PPI dosis ganda
selama 1-2 minggu. Jika terjadi perbaikan terhadap gejala, maka GERD dapat dianggap
positif.1,3
Pemeriksaan penunjang seperti endoskopi dapat dilakukan jika pasien berumur di atas 40
tahun dan memiliki tanda bahaya yaitu disfagia, anemia, penurunan berat badan, odinofagia,
hematemesis/melena, riwayat keganasan lambung/esofagus, dan penggunaan NSAIDs
kronik. Selain itu juga digunakan metode esofagografi barium, manometri esophagus, tes
impedans, tes bilitec, tes histopatologi dan tes Bernstein.6
2.8 Tatalaksana
Penatalaksanaan untuk penyakit Refluks esophageal, meliputi tindakan terapi non-
farmakologik, farmakologik, endoskopik, dan bedah. Terdapat 5 tujuan yang ingin dicapai
dan harus selalu diperhatikan saat merencanakan tatalaksana yang hendak dilakukan kepada
pasien yang meliputi menghilangkan gejala/keluhan, menyembuhkan lesi di mukosa
lambung/esofagus, mencegah/mengurangi kekambuhan, meningkatkan kualitas hidup, dan
mencegah komplikasi.
 Non-medikamentosa

Perhatian utama ditujukan kepada memodifikasi berat badan berlebih dan meninggikan
kepala lebih kurang 15-20 cm pada saat tidur, serta faktor-faktor tambahan lain seperti
menghentikan merokok, minum alkohol, mengurangi makanan dan obat-obatan yang
merangsang asam lambung dan menyebabkan refluks, makan tidak boleh terlalu kenyang dan
makan malam paling lambat 3 jam sebelum tidur.7
 Medikamentosa
Obat-obatan yang telah diketahui dapat mengatasi gejala GERD meliputi antasida,
prokinetik, antagonis reseptor H2, Proton Pump Inhibitor (PPI) dan Baclofen. Dari semua
obat-obatan tersebut di atas, PPI paling efektif dalam menghilangkan gejala serta
menyembuhkan lesi esofagitis pada GERD. 17 PPI terbukti lebih cepat menyembuhkan lesi
esofagitis serta menghilangkan gejala GERD dibanding golongan antagonis reseptor H2 dan
prokinetik. Apabila PPI tidak tersedia, dapat diberikan H2RA.30,31,32 Pada individu-
individu dengan gejala dada terbakar atau regurgitasi episodik, penggunaan H2RA (H2-
Receptor Antagonist) dan/atau antasida dapat berguna untuk memberikan peredaan gejala
yang Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal
(Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) di Indonesia 16 cepat. Selain itu, di Asia
penggunaan prokinetik (antagonis dopamin dan antagonis reseptor serotonin) dapat berguna
sebagai terapi tambahan. Pengobatan GERD dapat dimulai dengan PPI setelah diagnosis
GERD ditegakkan (lihat bab diagnosis). Dosis inisial PPI adalah dosis tunggal per pagi hari
sebelum makan selama 2 sampai 4 minggu. Apabila masih ditemukan gejala sesuai GERD
(PPI failure), sebaiknya PPI diberikan secara berkelanjutan dengan dosis ganda sampai gejala
menghilang. Umumnya terapi dosis ganda dapat diberikan sampai 4-8 minggu8.

 Endoskopik
Komplikasi GERD seperti Barret’s esophagus, striktur, stenosis ataupun perdarahan, dapat
dilakukan terapi endoskopik berupa Argon plasma coagulation, ligasi, Endoscopic Mucosal
Resection, bouginasi, hemostasis atau dilatasi. Revisi Konsensus Nasional Penatalaksanaan
Penyakit Refluks Gastroesofageal (Gastroesophageal
Tabel 1. Dosis Reflux GERD
PPI untuk Pengobatan Disease/GERD) di Indonesia 20
Terapi endoskopi untuk GERD masih terus berkembang dan sampai saat ini masih dalam
konteks penelitian. Terapi endoskopi yang telah dikembangkan adalah9:
- Radiofrequency energy delivery
- Endoscopic suturing

Namun demikian sampai saat ini masih belum ada laporan mengenai terapi endoskopi untuk
GERD di Indonesia.
 Bedah
Penatalaksanaan bedah mencakup tindakan pembedahan antirefluks (fundoplikasi Nissen,
perbaikan hiatus hernia, dll) dan pembedahan untuk mengatasi komplikasi. Pembedahan
antirefluks (fundoplikasi Nissen) dapat disarankan untuk pasien-pasien yang intoleran
terhadap terapi pemeliharaan, atau dengan gejala mengganggu yang menetap (GERD
refrakter). Studi-studi yang ada menunjukkan bahwa, apabila dilakukan dengan baik,
efektivitas pembedahan antirefluks ini setara dengan terapi medikamentosa, namun memiliki
efek samping disfagia, kembung, kesulitan bersendawa dan gangguan usus
pascapembedahan10.
BAB 3
Case Reasoning

Bedasarkan anamnesis yang telah dilakukan dan pemaparan penyakit diatas Ibu D didiagnosa
menderita GERD atau Refluks Esophageal.
Diagnosis yang dilakukan dapat diperjelas dengan adanya beberapa gejala yang sesuai
dengan pemaparan yang ada yaitu mulut pasien sering terasa asam pahit dan terdapat nyeri di
daerah epigastric dengan karakteristik nyeri seperti terbakar (heartburn) terutama di malam
hari setelah makan. Selain itu, pasien juga disertai nyeri tekan di region epigastric dan juga
disertai mual muntah.
Terjadinya refluks esophageal ini dapat disebabkan oleh terjadinya kontak antara bahan
refluksat dan mukosa lambung, penurunan resistensi jaringan mukosa esophagus, terjadinya
gangguan sensitivitas terhadap rangsangan isi lambung, dan lemahnya sphincter. Hal ini
dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu gaya hidup, motilitas, dan hipersensitivitas
visceral.
Untuk menegakkan diagnosis GERD, sebenarnya diperlukan pemeriksaan penunjang dengan
cara melakukan pemeriksaan endoskopi untuk saluran cerna bagian atas di mana akan
ditemukan mucosal break di esophagus. Selain itu pasien juga dapat diminta untuk mengisi
kuosioner GERD-Q untuk memperkuat diagnosis.
Diagnosis banding pertama yang saya ambil adalah akhalasia karena gejala yang terjadi
mempunyai beberapa kesamaan seperti rasa nyeri epigastric yang dapat dideskripsikan
seperti rasa terbakar, terjadinya regurgitasi isi lambung ke esophagus, hingga dapat
menyebabkan nyeri dada. GERD dan akhalasia mempunyi pokok permasalahan yang sama,
yaitu masalah di motilitas di lower esophageal sphincter. Tetapi diagnosis ini dapat
disingkirkan karena pasien tidak disertai dengan disfagia atau kesusahan untuk menelan di
mana pada penyakit achalasia disfagia merupakan gejala utama. Maka dari itu diagnosis
banding psoriasis dapat disingkirkan.
Sedangkan, diagnosis banding kedua yang saya ambil adalah ulkus peptik karena gejala yang
terjadi pada pasien yang mengalami ulkus peptik memiliki beberapa kesamaan dengan gejala
pada GERD yaitu timbulnya rasa kembung, heartburn, mual, merasa cepat kenyang, dan
sering bersendawa. Sebenarnya penyakit GERD dapat berkembang menjadi ulkus peptic
akibat asam lambung yang terus-menerus mengikis mukosa lambung yang pada akhirnya
dapat menimbulkan luka di berbagai tempat, seperti di mukosa lambung. Menurut hasil
anamnesis, diagnosis banding ulkus peptic dapat disingkirkan karena pada penderita ulkus
peptic biasanya pasien dengan ulkus peptic menghasilkan kotoran yang berwarna hitam yang
mengindikasikan adanya pendarahan saluran cerna atas, sedangkan Ibu D mengaku tidak
menghasilkan warna kotoran yang demikian. Maka dari itu diagnosis banding ulkus peptic
dapat disingkirkan.
Bedasarakan pemaparan teori yang sudah dijelaskan, keluhan yang dialami pasien (GERD)
memiliki beberapa pilihan tatalaksana yang dapat diberikan. Untuk tatalaksana yang
diberikan oleh puskesmas, Puskesmas Kresek memberikan omeprazole 2 x 20 mg selama 7-
14 hari. Omeprazole merupakan salah satu contoh dari obat golongan penghambat pompa
proton atau PPI. Penghambat pompa proton atau PPI adalah obat yang berguna untuk
menghambat produksi asam lambung sehingga insiden terjadinya refluks dapat berkurang.
Menurut saya tatalaksana yang telah diberikan oleh puskesmas sudah tepat, tetapi akan lebih
baik jika diberikan juga prokinetik yang dapat mempercepat pergerakan lambung seperti
domperidone dengan anjuran pakai 3 x 10 mg selama 7-14 hari. Lalu untuk pemakaian,
biasanya diminum 2 jam sebelum atau sesudah makan.
Jika tidak ditangani dengan tepat atau tidak segera ditangani, Refluks Gastroesofageal akan
menyebabkan beberapa komplikasi seperti esophagitis, ulkus esophagus, perdarahan
esophagus, hingga Barret’s esophagus
Untuk penyakit GERD, pasien memiliki prognosis yang baik, mengingat refluks
gastroesofageal tidak mengancam kelangsungan hidup pasien (Ad vitam: Bonam). Selain itu,
penyakit GERD dapat menganggu fungsi organ pasien karena sewaktu-waktu gejala dapat
kambuh (Ad functionam: Dubia ad Bonam). Biasanya penyakit GERD akan menyebabkan
gangguan yang berjangka cukup lama dan keluhan akan meredah apabila pengobatan
dilaksanakan secara rutin dan gaya hidup tetap dijaga (Ad sanationam: Dubia ad Malam).
Untuk menghindari kambuhnya penyakit ini, disarankan agar pasien untuk meminum obat
sesuai dengan anjuran dokter dan menjaga gaya hidup seperti menjaga berat badan agar tetap
ideal, berhenti/menghindari kebiasaan merokok, tidak terlalu sering mengkonsumsi zat-zat
yang dapat mengiritasi lambung seperti cafein, aspirin dan alcohol. Selain itu juga dianjurkan
untuk tidur minimal 2-4 jam setelah makan, makan dengan porsi yang tidak terlalu banyak,
dan makan makanan yang tidak terlalu berlemak.
DAFTAR PUSTAKA

1. Fock KM, Talley NJ, Fass R, et al. Asia-Pacific consensus on the management of
gastroesophageal reflux disease: update. J Gastroenterol Hepatol 2008;23:8-22
2. Sontag SJ. The medical management of reflux esophagitis. Role of antacids and acid
inhibition. Gastroenterol Clin North Am 1990;19:683-712.
3. Rosaida MS, Goh KL. Gastro-oesophageal reflux disease, reflux oesophagitis and
non-erosive reflux disease in a multiracial Asian population: a prospective, endoscopy
based study. Eur J Gastroenterol Hepatol 2004;16:495-501.
4. Fujiwara Y, Arakawa T. Epidemiology and clinical characteristics of GERD in the
Japanese population. J Gastroenterol 2009;44:518-34
5. Dickman R, Fass R. The Pathophysiology of GERD. In. Wien ; New York: Springer;
2006:13-22
6. Jones R, Junghard O, Dent J, et al. Development of the GerdQ, a tool for the diagnosis
and management of gastro-oesophageal reflux disease in primary care. Aliment
Pharmacol Ther 2009;30:1030-8.
7. Kaltenbach T, Crockett S, Gerson LB. Are lifestyle measures effective in patients
with gastroesophageal reflux disease? An evidence-based approach. Arch Intern Med
2006;166:965- 71.
8. M. Storr, A. Meining, HD. Allescher, Pathopysiology and Pharmalogical Treatment
of Gastroesophageal Reflux Disease, Digestive Disease 2000; 18:93-102.
9. Lichtenstein, David, et al. Role of Endoscopy in The Management of GERD.
American Society fo Gastrointestinal Endoscopy. 2007.
10. Kahrilas PJ, Shaheen NJ, Vaezi MF, et al. American Gastroenterological Association
Medical Position Statement on the management of gastroesophageal reflux disease.
Gastroenterology 2008;135:1383-91, 91 e1-5.
LAPORAN IV CLINICAL EXPOSURE III
SCABIES DENGAN INFEKSI SEKUNDER

Disusun Oleh:
Jason Leonard Wijaya
01071180063
Dibimbing Oleh:
Dr. Sia, Elizabeth Ariel Setiawan

PUSKESMAS KRESEK
PERIODE 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
BAB 1
Illustrasi Kasus

Identitas Pasien :
Nama : Anak R
Umur : 5 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Pekerjaan : -
Alamat : Kresek
Metode Anamnesis: Alloanamnesis
b. Keluhan Utama

Gatal di daerah tangan dan kaki sejak 1 minggu yang lalu


c. Keluhan tambahan

Luka di daerah tangan dan kaki yang disertai dengan darah dan nanah
d. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang bersama Ibu pasien ke Puskesmas Kresek dengan keluhan gatal yang ia mulai
rasakan sejak 1 minggu yang lalu di daerah tangan dan kaki (di punggung dan telapak tangan
dan kaki pasien). Rasa gatal pada awalnya hanya terasa di kedua tangan, kemudian selang
beberapa hari gatal juga mulai terasa di kedua kaki. Selain rasa gatal, ditemukan banyak
bentolan-bentolan merah di sela-sela tangan dan kaki pasien. Menurut pasien, lokasi dimana
Ia merasa paling gatal terletak di sela-sela jari tangan dan kaki dan rasa gatal biasanya akan
lebih sering timbul dan bertambah gatal pada malam hari. Selain itu, pasien juga memiliki
luka di daerah tangan dan kaki akibat menggaruk bentolan-bentolan untuk meredahkan rasa
gatal yang menyebabkan kulit pasien mengeluarkan darah dan nanah. Pasien belum pernah
berobat atau mengkonsumsi obat untuk meredakan keluahnnya. Tidak ada ruam kemerahan
lain selain yang telah dipaparkan sebelumnya. Pasien tidak disertai gejala lain seperti demam.

e. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya.


f. Riwayat Keluarga

Keluarga pasien mengalami hal serupa, akan tetapi tidak separah pasien (tidak mengelurakan
darah dan nanah). Tidak ada keluarga pasien yang memiliki penyakit hipertensi, diabetes,
diabetes, asma, jantung, TB.
g. Riwayat Imunisasi

Tabel 1 Riwayat Imunisasi

� � �
� � � � � �

� � � � �
� � � �
� � � �
� � �



h. Riwayat Kehamilan

Ibu pasien ketika hamil tidak mengalami sakit yang berat (morbiditas kehamilan) dan ibu
pasien sering mengunjungi puskesmas untuk kontrol ketika masa kehamilan (perawatan
antenatal)

i. Riwayat Kelahiran

Tempat kelahiran: puskesmas

Cara persalinan: spontan

Masa gestasi: Cukup

Keadaan bayi:

1. Berat lahir: ±2900 gram

2. Panjang: 49 cm
3. Langsung menangis

4. Kelainan (-)

j. Riwayat Tumbuh Kembang

Usia Pertumubuhan (Tinggi Perkembangan (Motorik +


Badan + Berat Badan) Kognitif)
0-3 bulan Tinggi Badan: 62 cm Motorik: menggerakan
beberapa bagian tangan,
Berat Badan: 4,5 kg
kepala, dan mulai belajar
memiringkan tubuh

Kognitif: mulai mengenal


suara, bentuk benda, dan
warna
6-9 bulan Tinggi Badan: 67 cm Motorik: dapat menegakan
kepala, belajar tengkurap
Berat Badan: 8,1 kg
sampai dengan duduk, dan
memainkan ibu jari kaki

Kognitif: mengoceh,
mengenal wajah,
membedakan suara, belajar
mengunyah dan makan
12-18 bulan Tinggi Badan: 78 cm Motorik: belajar berjalan,
mulai bermain, dan
Berat Badan: 10,3 kg
koordinasi mata mengalami
kemajuan

Kognitif: mulai belajar


berbicara, mempunyai
ketertarikan terhadap jenis-
jenis benda, muncul rasa
ingin tahu
2-3 tahun Tinggi Badan: 88 cm Motorik: sudah pandai
berlari, berolahraga, dan
Berat Badan: 12,2 kg
meloncat

Kognitif: keterampilan
tangan mengalami
kemajuan (menggunting
kertas, dll), menyanyi,
membuat coretan
4-5 tahun Tinggi Badan: 102 cm Motorik: dapat berdiri pada
satu kaki, mulai dapat
Berat Badan: 15,6 kg
menari, melakukan gerakan
olah tubuh, keseimbangan
tubuh membaik

Kognitif: mulai belajar


membaca, menghitung,
menggambar, mewarnai,
dan merangkai kalimat
dengan baik

k. Riwayat Kebiasaan

Pasien memiliki kebiasaan bersekolah, bermain di lingkungan terbuka, dan makan makanan
yang dimasak di rumah
l. Riwayat Social Ekonomi

Kegiatan sehari-hari pasien adalah bersekolah dan tinggal di daerah perkampungan. Tetangga
pasien juga banyak yang mengalami keluhan serupa
m. Riwayat alergi

Pasien tidak memiliki riwayat alergi


Pemeriksaan Fisik
· Status Generalis :

- Kesan umum : Sakit ringan

- Kesadaran : GCS 15 (Compos Mentis)

- Berat badan : 17.3 kg

- Tinggi badan : 117 cm

· Tanda-tanda Vital :

- Tekanan darah : 120/80 mmHg

- Pulse rate : 95x/menit

- Respiratory Rate : 15 x/menit

- Suhu : 36.7℃

Kulit keseluruhan - Sianosis/kebiruan (-)


- Jaundice (-)
- Elastisitas dan turgor normal
- Tidak ada keringat berlebihan (diaphoresis)
Kepala, Rambut, Kepala - Bentuk kepala normosefali
dan leher Rambut - Rambut berwarna hitam
- Rambut tersebar merata
Fungsi - Pergerakan kepala normal
- Tidak ada keterbatasan gerak
Mata* - Konjungtiva anemis (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
- Mata normal
- Pupil Bulat (+/+)
- Bentuk sama besar dan isokor(+/+)
Hidung* - Penampakan hidung normal
- Nafas cuping hidung (-/-)
- Hidung simetris
- Septum Deviasi (-/-)
- Darah Kering (-/-)
- Massa (-/-)
- Discharge (-/-)
Telinga* - Sekret (-/-)
- Serumen (-/-)
- Darah (-/-)
- Nyeri tekan mastoid (-/-)
- Tidak ada gangguan fungsi pendengaran
Mulut - Sianosis (-)
- Tidak ada gusi berdarah
- Mulut tidak kering
- Stomatitis (-)
- Tidak pucat
- Tidak ada luka pada sudut bibir
Leher* - Retraksi supra sternal (-)
- Deviasi trakeal (-)
- Peningkatan JVP (-)
- Pembesaran kelenjar limfatik (-)
Thorax*
Jantung* Inspeksi - Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi - Ictus cordis tidak teraba
Perkusi - Batas jantung normal, tidak ada
pembesaran
Auskultasi - Suara jantung normal (S1, S2 normal, tidak
ada murmur dan gallop), tidak ada palpitasi
Paru-paru* Inspeksi - Gerakan napas paru-paru simetris
- Barrel chest (-)
- Pectus Excavatum (-)
- Pectus Carinatum (-)
- Massa (-)
- Lesi (-)
- Ruam (-)
- Tidak ada bekas luka
- Retraksi intercostal
- Retraksi supraklavikular (-)
Palpasi - Taktil fremitus normal dan simetris di
kedua lapang paru, tidak ada peningkatan
atau penurunan
Perkusi - Perkusi paru normal
- Batas paru hepar normal
Auskultasi - Auskultasi normal
Abdomen* Inspeksi - Caput medusa (-)
- Bentuk abdomen membesar
- Tidak ada bekas luka
- Bentuk perut normal
- Darm contour (-)
- Darm steifung (-)
Auskultasi - Ada gerakan peristaltic
- Tidak ada bunyi metalik
- Tidak ada bruit
- Abdomen normal
Perkusi - Shifting dullness (-)
- Timpani di seluruh lapang perut
Palpasi - Nyeri tekan (-)
- Hepatomegaly (-)
- Splenomegaly (-)
- Ballotement test (-/-)
- CVA (-/-)
- Murphey sign (-)
- McBurney (-)
Ekstremitas* Inspeksi - Tidak ada sianosis
- Tidak ada deformitas
- Clubbing finger (-)
- White nails (-)
- Palmar erythema (-)
Palpasi - Ekstremitas hangat
- Edema (-)
Fungsi - Pergerakan normal, tidak ada keterbatasan
gerak

Status Dermatologis Ad region: punggung tangan, telapak kaki,


dan punggung kaki
Didapatkan effloresensi berupa papul dan
abses benbentuk bulat,
berbatas tegas dan dengan susunan papul
diseminata dan susunan abses
yang soliter. Ukuran papul kira-kira 0,2 cm x
0,2 cm dan ukuran abses
Diperkiran sebesar 2 cm x 1,5 cm.

*tidak dilakukan (hasil yang diharapkan)

RESUME
Pasien datang ke Puskesmas Kresek dengan keluhan gatal di kedua tangan dan kaki sejak 1
minggu yang lalu (di punggung dan di telapak tangan dan kaki pasien). Ditemukan ruam
berupa papul di tangan dan kaki pasien yang disertai dengan nanah. Menurut pasien, lokasi
yang paling gatal terletak di sela-sela jari tangan dan kaki dan rasa gatal, biasanya akan lebih
sering timbul dan bertambah gatal pada malam hari. Ditemukan terowongan-terowongan
yang Nampak di kulit pasien. Ditemukan papul eritema di telapak kaki, punggung kaki, dan
telapak, tangan, yang beukuran 0,2 x 0,2 cm dan abses di telapak kaki dengan ukuran 2 cm x
1,5 cm
Diagnosis Utama
- Scabies dengan Infeksi Sekunder

Diagnosis Banding
- Psoriasis

- Eczema
- Skabies Krustosa

Pemeriksaan Penunjang : -
Pemeriksaan Penunjang yang disarankan: Kerokan kulit, tes tinta, videodermatoskopi
Tata laksana :
Puskesmas Yang disarankan
Farmakologis: Farmakologis:

 Krim Pemetrin 5%  Krim Pemetrin 5%


Dioleskan di seluruh tubuh Dioleskan di seluruh tubuh
berdasarkan takaran yang berdasarkan takaran yang
dianjurkan (1-5 tahun: 7,5 gr, dianjurkan (1-5 tahun: 7,5 gr,
6-12 tahun: 15 gr, dewasa: 30 6-12 tahun: 15 gr, dewasa: 30
gr) kecuali di daerah muka, gr) kecuali di daerah muka,
setelah 10 jam krim pemetrin setelah 10 jam krim pemetrin
dibersihkan dengan sabun dibersihkan dengan sabun
Non-Farmakologis: Non-Farmakologis:

 Menerapkan terapi farmakologis ke  Mengoleskan salep pada seluruh


seluruh anggota keluarga/penghuni anggota keluarga sesuai aturan
rumah  Merebus semua barang yang terbuat
 Merebus semua barang yang terbuat dari kain/tekstil dengan air mendidih
dari kain/tekstil dengan air mendidih untuk membasmi kutu scabies
untuk membasmi kutu scabies  Menghidari kontak langsung dengan
 Menghidari kontak langsung dengan orang yang tidak terkena untuk
orang yang tidak terkena untuk mecegah penularan
mecegah penularan  Menghindari memakai barang yang
 Menjaga sanitasi lingkungan telah bersentuhan dengan penderita
 Membersihkan tubuh secara teratur  Menjaga kebersihan lingkungan
 Membersihkan tubuh secara teratur
Prognosis :

- Ad vitam
Bonam
- Ad functionam
Bonam

- Ad sanationam
Bonam

BAB 2
Tinjauan Pustaka

2.1 Definisi
Skabies adalah penyakit yang disebabkan oleh infestasi Sarcoptes scabei var. Hominis atau
yang biasa dikenal dengan the itch, budukan, gudik, gatal agogo, atau kudis sangat mudah
menular. Penularan penyakit ini bisa terjadi secara langsung atau tidak langsung. Penularan
secara langsung dapat terjadi jika seseorang yang terkena scabies melakukan kontak
langsung dengan orang normal, contohnya ibu yang bermain dan bersentuhan dengan
anaknya yang menderita skabies atau penderita yang hanya sebatas bergandengan tangan
dengan orang yang tidak terinfeksi. Penularan secara tidak langsung biasanya berasal dari
lingkungan, misalnya melalui tempat tidur, handuk, pakaian dan lain-lain1.
2.11 Tanda Cardinal

Penyakit scabies memiliki 4 tanda cardinal yaitu2:


- Pruritus Nokturna

- Penyakit menyerang manusia secara berkelompok

- Adanya terowongan (kunikulus) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna


putih atau keabu-abuan, berbentuk garis lurus atau dapat berkelok-kelok, dan rata-
rata panjang

- Ditemukannya tungau dengan pemeriksaan mikroskopis

2.12 Faktor Risiko

Faktor risiko dari penyakit scabies meliputi beberapa hal, yaitu3:


- Masyarakat yang hidup dalam kelompok yang padat seperti tinggal di asrama,
pesantren, atau tempat penampungan

- Higiene yang buruk

- Sosial ekonomi rendah seperti di panti asuhan dsb

- Hubungan seksual yang sifatnya promiskuitas

2.13 Etiologi

Penyebab penyakit scabies adalah infestasi tungau Acarus scabiei atau pada manusia dikenal
sebagai Sarcoptes scabiei Var. hominis. Sarcoptes scabiei merupakan golongan filum
Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acarina, super famili Sarcoptes. Secara morfologis,
Sarcoptes scabiei berbentuk oval dan gepeng, berwarna putih kotor, transulen dengan bagian
punggung lebih lonjong dibandingkan perut, dan tidak berwarna. Tungau betina berukuran
lebih besar daripada tungau jantan yaitu 300-350 mikron, di mana yang jantan hanya
berukuran 150-200 mikron. Stadium dewasa dari Sarcoptes scabiei mempunyai 4 pasang
kaki, 2 pasang kaki depan dan 2 pasang kaki belakang. Siklus hidup dari telur sampai
menjadi dewasa berlangsung selama satu bulan. Yang menjadi pembeda di antara sarcoptes
scabiei betina dan sarcoptes scabiei jantan terdapat pada jumlah cambuk. Pada sarcoptes
scabiei betina, cambuknya terletak pada pasangan kaki ke-3 dan ke-4. Tungau jantan hanya
4
memiliki bulu cambuk pada pasangan kaki ke-3 saja .
2.14 Epidemiologi

Skabies telah menyebar ke seluruh dunia, terutama pada daerah beriklim tropis dan subtropis.
Di beberapa negara berkembang, prevalensi dari penyakit skabies dilaporkan berkisar antara
6-27% dari populasi umum dan insiden tertinggi terdapat pada anak usia sekolah dan remaja.
Di negara maju, prevalensi penyakit skabies sama untuk semua kelompok usia dan skabies
pada anak-anak masih merupakan suatu masalah besar. Di Indonesia sendiri penyakit skabies
belum memiliki angka yang pasti, namun berdasarkan laporan Departemen Kesehatan,
skabies menempati urutan 3 dari 10 urutan penyakit kulit terbesar pada pelita IV. Frekuensi
penyakit scabies tidak memandang jenis kelamin4.
2.15 Pemeriksaan Penunjang

2.15.1 Kerokan Kulit

Kerokan kulit dilakukan di daerah sekitar papula. Hasil kerokan diletakkan di atas kaca
objek dan ditetesi dengan KOH 10% kemudian ditutup dengan kaca penutup dan
diperiksa di bawah mikroskop. Diagnosis skabies positif apabila ditemukan tungau,
nimpa, larva, telur atau kotoran Sarcoptes scabiei5.
2.15.2 Test Tinta

Metode tes tinta dilakukan pada trowongan di dalam kulit yang dilakukan dengan cara
menggosok papula menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papul yang telah terisi
tinta lalu didiamkan selama 20-30 menit. Tinta kemudian diusap atau dihapus dengan
kapas yang dibasahi alcohol. Tes dinyatakan positif jika tinta masuk dan membentuk
gambaran khas berupa garis berliku-liku yang mengindikasikan adanya terowongan5.
2.15.3 Videodermatoskopi
Videodermatoskopi dilakukan menggunakan mikroskop video dengan pembesaran seribu
kali selama 5 menit. Umumnya metode ini masih harus dikonfirmasi dengan hasil
kerokan kulit5.
2.16 Tatalaksana

Tatalaksana yang akan dilakukan kepada orang dengan penyakit scabies berupa tatalaksana
farmakologi dan tatalaksana non-farmakologi
2.16.1 Tatalaksana farmakologi

- Sulfur presipitatum (belerang endap), dengan kadar 4-20% dalam bentuk salep
atau krim. Kekurangannya adalah dapat menimbulkan bau, dapt mengotori
pakaian dan terkadang dapat menimbulkan iritasi. Penggunaan belerang endap ini
dapat dipakai pada bayi yang berumur kurang dari 2 tahun

- Emulsi benzil-benzoas dengan kadar 20-25%, efektif terhadap semua stadium,


diberikan setiap malam selama tiga hari.

- Gama benzena heksa klorida (gammexane) dengan kadar 1% berupa krim atau
lotion, efektif terhadap semua stadium, mudah digunakan, dan jarang memberi
iritasi. Pada umumnya obat ini hanya diberikan satu kali saja, kecuali jika masih
ada gejala diulangi seminggu kemudian

- Krotamiton dengan kadar 10% berupa krim atau lotion, mempunyai dua efek
sebagai anti skabies dan anti gatal. Harus dijauhkan dari mata, mulut, dan uretra.

- Permetrin dengan kadar 5% dalam bentuk krim, kurang toksik dibandingkan


gameksan, efektifitasnya sama, aplikasi hanya sekali dan dihapus setelah 10 jam.
Bila belum sembuh diulangi setelah seminggu. Tidak dianjurkan pada bayi di
bawah umur 12 bulan.

Salep yang dianjurkan harus digunakan oleh seluruh anggota keluarga/penghuni


rumah agar pengobatan efektif dan untuk mencegah terulangnya penyakit6.
2.16.2 Tatalaksana non-farmakologi

- Menjaga kebersihan dan mandi secara teratur setiap hari


- Merebus/mencuci dengan air mendidih semua barang yang terbuat dari
tekstil/kain di rumah

- Menghindari kontak langsung dengan orang yang terkena scabies

- Menghindari pemakaian bersama barang-barang dari orang dengan skabies

- Menjaga asupan nutrisi

- Tidak menggaruk luka

- Istirahat cukup

2.17 Komplikasi

Jika tidak ditangani segera, maka penyakit scabies dapat menyebabkan komplikasi di
antaranya7:
- Infeksi Bakteri

- Norwegian scabies atau kudis berkrusta

BAB 3
Case Reasoning

Bedasarkan anamnesis yang telah dilakukan dan pemaparan penyakit diatas Anak R
didiagnosa menderita penyakit scabies dengan infeksi sekunder.
Diagnosis yang dilakukan dapat diperjelas dengan adanya 2 atau lebih tanda cardinal dari
penyakit scabies yaitu nocturnal Pruritus Nokturna, terdapat terowongan (kunikulus) pada
tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan berbentuk garis berkelok-
kelok, dan penyakit yang menyerang sekelompok orang (keluarga pasien). Selain itu, juga
terjadi infeksi sekunder yang ditandai abses yang timbul di lesi telapak kaki pasien.
Penyakit scabies disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei Var. hominis. Biasanya tungau
akan bersarang di epidermis penderita dan akan tahan terhadap air panas dan sabun.
Sedangkan diagnosis banding pertama yang saya ambil adalah psoriasis karena gejala yang
terjadi mempunyai beberapa kesamaan seperti rasa gatal dan menimbulkan ruam. Tetapi
diagnosis ini dapat disingkirkan karena rasa gatal yang pasien rasakan biasanya timbul di
malam hari sedangkan rasa gatal yang ditimbulkan oleh penyakit psoriasis waktunya tidak
menentu. Selain itu, orang dengan psoriasis biasanya menimbullkan kesan kulit bersisik
dimana pada penyakit scabies tidak ditemukan kulit bersisik. Penyakit psoriasis dapat
menimbulkan kekuan hingga pembengkakan sendi, dimana pada penyakit scabies tidak dapat
menyebabkan kekakuan dan pembengkakan sendi. Maka dari itu diagnosis banding psoriasis
dapat disingkirkan.
Sedangkan, diagnosis banding kedua yang saya ambil adalah eczema karena gejala yang
terjadi pada pasien yang mengalami eczmea memiliki beberapa kesamaan dengan gejala pada
penyakit skabies yaitu timbulnya ruam dan terasa sangat gatal. Tetapi, jika dilihat dari
penyebabnya, eczema dapat timbul akibat stress, alergi, benda yang dapat menyebabkan
iritasi kulit, dan produk perawatan kulit yang tidak cocok. Sedangkan penyakit scabies
bukanlah penyebab alergi tetapi disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei Var. hominis.
Selain itu, penyakit scabies sangat khas dengan lesi papul dan terdapat “terowongan” di
lapisan epidermis sedangkan eczema tidak menimbulkan “terowongan”. Jika dilakukan
pengerokan kulit, maka pasien dengan scabies akan menunjukan adanya telur, larva, atau
mungkin tungau scabies dimana orang dengan eczema tidak ditemukan adanya telur, larva
atau tungau scabies. Maka dari itu diagnosis banding eczema dapat disingkirkan.
Diagnosis banding ketiga yang saya ambil adalah penyakit scabies krustosa, dimana terdapat
sama-sama disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei Var. hominis, tetapi penyakit scabies
klasik dengan penyakit scabies krustosa memiliki beberapa gejala yang berbeda. Pada
penyakit scabies klasik, lesi biasanya berupa papul, vesikel, atau pustule sedangkan pada
penyakit scabies krustosa bentuk lesi biasanya berupa hyperkeratosis tebal dan luas. Jika
dilihat dari predileksi, scabies klasik biasanya berpredileksi di sela jari tangan dan kaki,
lipatan kulit (siku, ketiak, payudara, dan bokong), bahu, punggung, inguinal, dan genital.
Sedangkan penyakit scabies krustosa biasa berpredileksi di telapak tangan dan kaki, kulit
kepala, telinga, dan sikut. Jika dilihat dari tingkat intensitas rasa gatal, penyakit scabies
umum biasanya lebih terasa gatal terutama di malam hari sedangkan penyakit scabies
krustosa biasanya memiliki intensitas gatal yang lebih ringan. Jika dilihat dari jumlah kutu
secara pemeriksaan mikroskopis, jumlah kutu untuk penyakit scabies klasik biasanya <20
tungau dari seluruh permukaan kulit, dimana jumlah kutu pada orang dengan scabies
krustosa biasanya 4000 tungau per gram kulit, terutama di lesi berkrusta. Berdasarkan alasan-
alasan sebelumnya, maka kita dapat menyingkirkan diagnosis banding scabies berkrusta.
Bedasarakan pemaparan teori yang sudah dijelaskan, penyakit scabies klasik dapat diobati
dengan skabisid misalnya sulfur presipitatum, emulsi benzyl-benzoas, gammexane,
krotamiton, dan permetrin. Tatalaksana farmakologis yang telah diberikan oleh puskemas
kepada Anak R sudah tepat, yaitu pemberian krim permetrin 5% yang dioleskan di seluruh
badan pasien kecuali di daerah muka. Selain itu, selain pasien, seluruh anggota keluarga atau
penghuni rumah diharuskan untuk mengoleskan salep permetrin disekujur badannya juga.
Tidak hanya itu, untuk membasmi tungau Sarcoptes scabiei Var. hominis yang berada di
lingkungan, seluruh barang di rumah yang terbuat dari kain/tekstil semuanya harus di cuci
atau direbus dengan air panas. Pasien juga dihimbau untuk beristirahat dengan cukup,
menjaga kebersihan tubuh dengan cara mandi setiap hari, makan makanan yang bergizi,
mencegah penularan dengan cara tidak bersentuhan dengan orang yang tidak terinfeksi atau
berbagi dalam memakai barang. Selain itu pasien dihimbau untuk tidak menggaruk lesi agar
tidak terjadi infeksi yang lebih parah.
Jika tidak ditangani dengan tepat atau tidak segera ditangani, penyakit scabies klasik akan
menyebabkan beberapa komplikasi mengingat seperti penyakit scabies krustosa dan juga
dapat menimbulkan infeksi sekunder
Untuk penyakit scabies, pasien memiliki prognosis yang baik, mengingat penyakit scabies
klasik tidak akan mengancam kelangsungan hidup pasien (Ad vitam: Bonam). Selain itu,
penyakit scabies klasik juga tidak dapat menganggu fungsi organ pasien (Ad functionam:
Bonam). Jika ditangani dengan tepat dan pasien mengikuti terapi pengobatan juga
membersihkan lingkungan dengan benar, maka dapat dipastikan bahwa pasien akan sembuh
(Ad sanationam: Bonam). Untuk menghindari terulangnya penyakit ini, disarankan agar
pasien untuk tidak bersentuhan langsung atau berbagi pemakaian barang dengan orang yang
terinfeksi skabies.

DAFTAR PUSTAKA

1. Handoko R.P., Djuanda A., Sularsito S.A. et al 2013. Skabies Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. 6th ed. Jakarta: FKUI, pp 122-5.

2. Harahap M., 2000. Ilmu Penyakit Kulit. 1 st ed. Hipokrates. Jakarta

3. Sungkar. S, 2000, Skabies, Yayasan Penerbit Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta


4. WHO. 2005. Epidemiology and Management of Common Skin Disease in Children in
Developing Countries. WHO/FCH/CAH/05.12.

5. Notoatmodjo, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta.

6. Baker F., 2010. Scabies Management. Paediatri Child Health. Vol 6: 775-7.

7. Wolff K.,& Johnson R.A., 2009. Fitzpatrick’s, Color Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. 6 th ed. New York: McGraw-Hill, pp. 45.

REFERAT I CLINICAL EXPOSURE III


OTITIS EKSTERNA AKUT
Disusun Oleh:
Jason Leonard Wijaya
01071180063
Dibimbing Oleh:
Dr. Sia, Elizabeth Ariel Setiawan

PUSKESMAS KRESEK
PERIODE 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Otitis eksterna atau swimmer’s ear adalah peradangan akut atau kronis saluran
pendengaran bagian luar, daun telinga, atau keduanya. Penyakit ini dapat menjalar ke
daerah lain seperti pina, periaurikular, atau ke tulang temporal. Penyakit ini pada
umumnya merupakan infeksi bakteri akut pada kulit saluran telinga, tetapi virus dan jamur
juga dapat menyebabkan penyakit ini, hanya saja lebih jarang. Bakteri yang paling sering
menyebabkan otitis eksterna adalah Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus
aureus.1
1.2 Epidemiologi
Secara global, otitis eksterna merupakan salah satu penyakit yang cukup sering
ditemukan. Prevalensi rata-rata kejadian otitis eksterna secara global diperkiran mencapai
10%. Sedangkan di Indonesia sendiri, sebuah penelitian di Poliklinik THT-KL RSU Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado ditemukan ada 440 kasus otitis eksterna dari 5297 pasien.
Sebuah penelitian lain di RS Pirngadi Medan 2012 mengatakan bahwa kelompok usia
yang paling sering menderita otitis eksterna adalah usia 14-24 tahun.2,3
1.3 Etiologi
Otitis Eksterna pada umumnya disebabkan oleh bakteri, meskipun patogen selain bakteri
juga dapat menyebabkan otitis eksterna. Selain bakteri, jamur merupakan patogen
selanjutnya yang paling sering menyebabkan terjadinya otitis eksterna. Bakteri yang
paling sering menjadi pencetus otitis eksterna adalah Pseudomonas spp. (38% dari
semua kasus), Staphylococcus spp., dan anaerob, dan organisme gram negatif.1
1. 4 Faktor Resiko
Faktor resiko osteoarthritis adalah:1,4
- Sering beraktivitas di air (berenang, menyelam, arum-jeram), terutama berenang di kolam
renang karena air kolam renang dapat menyebabkan maserasi kulit dan merupakan
sumber bakteri
- Kelembaban udara
- Penggunaan bahan kimia yang dapat mengiritasi dan membuat bakteri masuk (shampoo,
pewarna rambut, suplemen rambut, hairspray)
- Diabetes
- Orang dengan infeksi telinga tengah
- Orang yang suka membersihkan telinga dengan cotton bud atau ujung jari

1.5 Patofisiologi
Pada umumnya, sel-sel kulit mati (termasuk serumen), akan dibersihkan dan dikeluarkan
dari gendang telinga melalui liang telinga secara alami. Cotton bud atau alat lain yang
merupakan alat pembersih telinga dapat mengganggu mekanisme tersebut sehingga sel-
sel kulit mati dan serumen malah akan menumpuk di sekitar gendang telinga. Hal ini akan
diperburuk oleh adanya susunan anatomis pada liang telinga yang berlekuk-lekuk.
Keadaan ini dapat menyebabkan air yang masuk ke dalam liang telinga dapat tertimbun,
biasanya ketika mandi atau berenang. Kulit yang basah, lembab, gelap, dan lembab
merupakan tempat yang kondusif bagi pertumbuhan patogen seperti bakteri dan jamur.4
Selain itu, faktor predisposisi otitis eksterna juga dapat menyebabkan berkurangnya
lapisan pelindung yang dapat menyebabkan edema pada epitel skuamosa. Keadaan ini
bisa menimbulkan trauma lokal dan bakteri akan masuk melalui kulit dengan mudahnya
sehingga terjadi inflamasi dan keluarnya cairan eksudat. Rasa gatal yang timbul akibat
peradangan meningkatkan resiko terjadinya iritasi. Lalu infeksi terjadi dan terjadilah
pembengkakan yang pada akhirnya menimbulkan rasa nyeri. Infeksi yang berjalan
menyebabkan peningkatan suhu dan menimbulkan rasa tidak nyaman pada telinga.
Proses infeksi juga akan mengeluarkan cairan/nanah yang bisa menimbun liang telinga sehingga
suara yang didengar akan terhalang dan mengakibatkan penurunan pendengaran. Infeksi
ini dapat menyebar ke pinna, periaurikuler dan tulang temporal.4
1.6 Manifestasi Klinis
- Otalgia
- Rasa gatal
- Rasa penuh di liang telinga
- Penurunan pendengaran
- Terdengar suara berdengung (tinnitus)
- Adanya cairan berbau dari liang telinga
- Demam
- Gejala pada satu telinga
1.7 Diagnosis

Otitis Eksterna dapat diklasifikan menjadi beberapa golongan yaitu6,7:

- Otitis eksterna akut

 Otitis eksterna sirkumskripta (bisul/furunkel)

Otitis eksterna sirkumskripta berasal dari infeksi yang terjadi di


folikel rambut pada liang telinga. Hal ini biasanya disebabkan oleh
Staphylococcus spp. dan dapat menyebabkan furunkel untuk
timbul di 1/3 liang telinga bagian luar. Pada otitis eksterna
sirkumskripta, bisul dapat terlihat jelas di liang telinga

 Otitis eksterna difus

Otitis eksterna difus merupakan infeksi yang pada umumnya


disebabkan oleh bakteri Pseudomonas spp. Otitis eksterna difus
berlokasi di 2/3 liang telinga. Pada otitis eksterna difus, tidak
terlihat adanya bisul/furunkel dan bisa ditemukan sekret yang
berbau tidak sedap

- Otitis eksterna kronis

Otitis eksterna dapat disebut sebagai otitis eksterna kronis apabila


telah berlangsung cukup lama dan biasanya ditandai
dengan adanya jaringan parut yang menyebabkan liang
telinga menyempit

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan7:

- Nyeri tekan tragus

- Eritematosa dan edema saluran auditori eksternal

- Demam

- Adenopati Periarcular dan servikal

- Discharge purulent
- Eczema dari daun telinga

- Test garpu tala: normal/tuli konduktif

- Otitis eksterna sirkumskripta: terdapat bisul di liang telinga

- Otitis eksterna difus: liang telinga luar sempit, kulit liang telinga luar tampak hiperemis
dengan edema batas tidak jelas

1.8 Diagnosis Banding


- Otomikosis

Otomikosis merupakan infeksi jamur pada liang telinga yang biasanya ditunjang oleh
kelembaban yang tinggi. Patogen yang paling sering menyebabkan otomikosis adalah
Aspergilus spp., tetapi terkadang Candida albicans juga dapat menyebabkan otomikosis.
Gejalanya yang timbul biasanya berupa rasa gatal dan rasa penuh di dalam liang telinga.
Yang membedakan otomikosis dan otitis eksterna lainnya adalah berdasarkan patogen
dan penampakannya di mana pada otomikosis terlihat infeksi yang disebabkan oleh jamur
(berwarna putih)1
1.9 Tatalaksana
- Medikamentosa5
 Sistemik
- Antibiotic diberikan pada infeksi berat
- Pemberian analgetik seperti ibuprofen atau paracetamol
 Topikal
- Larutan antiseptic povidon iodine
- Pada Otitis eksterna sirkumskripta:
Salep ikthiol/salep antibiotic Polymixin-B atau Basitrasin
- Pada Otitis eksterna difus:
Tampon yang diberi campuran Polymixin-B, neomycin, hydrocortisone, dan anestesi
topical
- Non-medikamentosa5
i. Tidak mengorek telinga dengan alat pembersih
ii. Menghindari aktivitas di dalam air (berenang, menyelam, dll)
iii. Menjaga kelembaban dan kebersihan liang telinga
iv. Menjalankan terapi dengan benar dan rutin

1.10 Komplikasi
Jika tidak segera ditangani atau tidak mendapat tindakan yang tepat, maka ostitis eksterna
dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi di antaranya7:
 Timbul abses
 Infeksi kronis liang telinga (otitis eksterna kronis)
 Stenosis liang telinga

1.11 Pencegahan
Untuk mengurangi resiko osteoarthritis, ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu5:
 Menghimbau pasien untuk tidak terlalu sering mengkorek telinga dengan alat
pembersih telinga
 Menjaga kelembapan dan kebersihan liang telinga
 Berenang di lingkungan yang bersih

1.12 Prognosis
Jika otitis eksterna ditangani dengan cepat dan tepat, penyakit otitis eksterna akut pada
umumnya tidak akan menganggu kelangsungan hidup pasien (Ad vitam: Bonam). Selain
itu, penyakit ini juga tidak akan menganggu fungsi organ pasien (Ad functionam:
Bonam). Pada Umumnya otitis eksterna dapat sembuh jika segera diobati dengan benar
dan faktor pencetusnya dapat diatasi/dihindari. Akan tetapi penyakit ini dapat
terulang kembali apabila kebersihan liang telinga tidak dijaga atau terapi tidak dijalankan
dengan benar1.
BAB 2
KESIMPULAN

Otitis eksterna atau swimmer’s ear adalah peradangan akut atau kronis saluran
pendengaran bagian luar, daun telinga, atau keduanya. Gejala dari penyakit ini adalah
adanya otalgia, rasa penuh di telinga, penurunan pendengaran, terdengar suara
berdengung (tinnitus), dan dapat disertai demam. Otitis eksterna dapat dibagi menjadi 2 tipe,
akut maupun kronis. Penyakit ini pada umumnya merupakan infeksi bakteri akut pada kulit
saluran telinga, tetapi virus dan jamur juga dapat menyebabkan penyakit ini, hanya
saja lebih jarang. Bakteri yang paling sering menyebabkan otitis eksterna adalah
Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Secara global, otitis eksterna
merupakan salah satu penyakit yang cukup sering ditemukan. Otitis Eksterna pada
umumnya disebabkan oleh bakteri, meskipun patogen selain bakteri juga dapat
menyebabkan otitis eksterna. Selain bakteri, jamur merupakan patogen selanjutnya
yang paling sering menyebabkan terjadinya otitis eksterna. Bakteri yang paling sering
menjadi pencetus otitis eksterna adalah Pseudomonas spp. Beberapa faktor yang
dapat meningkatkan resiko seseorang untuk terkena otitis eksterna adalah orang yang
sering beraktivitas dengan air, orang yang sering membersihkan telinga menggunakan
alat pembersih telinga, orang dengan diabetes, dan penggunaan bahan kimia seperti hairspray
yang terlalu sering. Kelembapan telinga dan adanya iritasi merupakan penyebab utama
yang dapat menyebabkan infeksi dapat terjadi di liang telinga. Untuk menunjang
diagnosis, pemeriksaan fisik dan anamnesis lebih lanjut dapat dilakukan. Tatalaksana
medikamentosa yang dapat dilakukan meliputi pemberian antibiotic secara topical atau
sistemik jika infeksi cukup berat. Jika tidak ditangani dengan tepat dan dengan segera, akan
timbul komplikasi- komplikasi seperti timbul abses, infeksi kronis, dan stenosis liang telinga.
Secara umum prognosis dari penyakit otitis eksterna cukup baik. Kelangsungan hidup pasien
tidak akan terganggu (Ad vitam: Bonam), fungsi organ pasien tidak akan terganggu (Ad
functionam: Bonam), dan pasien akan sembuh dari penyakit ini (Ad sanationam: Bonam) jika
pasien menghindari faktor pencetus dan melakukan terapi sesuai anjuran. Tetapi penyakit ini
dapat terulang kembali apabila pasien tidak menjaga kebersihan dan kelembaban liang
telinga dengan benar. Maka dari itu pasien dihimbau untuk tidak terlalu sering
membersihkan liang telinga menggunakan alat pembersih telinga, menjaga kebersihan
liang telinga, dan berenang di perairan yang bersih.
DAFTAR PUSTAKA

1. Hafil, F., Sosialisman, Helmi. Kelainan Telinga Luar dalam Buku Ajar, Hidung,
Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-6. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta. 2007 (Hafil, et, al., 2007)

2. Lumbantobing AS. Gambaran Karakteristik Penderita Otitis Eksterna di Rumah sakit


Umum DR. Pringadi Medan periode Januari Sampai Dengan Desember 2012.
Universitas HKBP Nom Kunarto. Otitis Eksterna di Poliklinik THT BLU RSUP Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari 2007- Desember 2010. Manado:
Universitas Sam Ratulangi. 2011.

3. Kunarto. Otitis Eksterna di Poliklinik THT BLU RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode Januari 2007- Desember 2010. Manado: Universitas Sam Ratulangi.
2011.

4. Adam, G.L. Boies, L.R. Highler, Boies. Buku Ajar Penyakit THT. Ed. ke-6. Jakarta:
EGC. 1997. (Adam&Boies, 1997)

5. Sander, R. Otitis Externa: A Practical Guide to Treatment and Prevention. Am Fam


Physician. 2001. Mar 1: 63(5):927-937. (Sander, 2001)

6. Lee, K. Essential Otolaryngology, Head and Neck Surgery. Ed. ke-8. McGraw-Hill.
2003. (Lee, 2003)

7. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi Keenam. Cetakan
Keempat. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010
REFERAT II CLINICAL EXPOSURE III
OSTEOARTHRITIS

Disusun Oleh:
Jason Leonard Wijaya
01071180063
Dibimbing Oleh:
Dr. Sia, Elizabeth Ariel Setiawan
PUSKESMAS KRESEK
PERIODE 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
TANGERANG
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi
Osteoartitis (OA) merupakan penyakit degenerative yang menyerang sendi, yang dapat
mengakibatkan terjadinya perubahan patologis terhadap keseluruhan struktur sendi.
Penyakit ini ditandai dengan kerusakan tulang rawan hyalin sendi, meningkatnya
ketebalan serta sklerosis lempeng tulang, proliferasi osteofit di tepi sendi,
merenggangnya kapsula sendi, peradangan pada sendi, dan melemahnya otot–otot sendi.1
1.2 Epidemiologi
Osteoartritis merupakan sebagian besar bentuk arthritis dan penyebab utama disabilitas
pada lansia. OA merupakan penyebab beban utama untuk pasien, pemberi pelayanan
kesehatan, dan masyarakat. WHO melaporkan 40% penduduk dunia yang lansia akan
menderita OA, dari jumlah tersebut 80% mengalami keterbatasan gerak sendi. Penyakit
ini biasanya terjadi pada usia diatas 70 tahun. Bisa terjadi pada pria dan wanita, tetapi
pria bisa terkena pada usia yang lebih muda. Prevalensi Osteoartritis di Indonesia cukup
tinggi yaitu 5% pada usia > 40 tahun, 30% pada usia 40-60 tahun dan 65% pada usia > 61
tahun.7 Berdasarkan studi yang dilakukan di pedesaan Jawa Tengah menemukan
prevalensi untuk OA mencapai 52% pada pria dan wanita antara usia 40-60 tahun dimana
15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita 1,2 . Sebesar 32,6% penduduk Provinsi Bali
mengalami gangguan persendian, dan angka ini lebih tinggi dari prevalensi Nasional
yaitu 22,6% dengan 60 < 4% kasus terjadi pada kelompok umur 55-74 tahun yang
umumnya dikeluhkan pada sendi lutut dan pergelangan kaki. Berdasarkan data kunjungan
di poliklinik Reumatologi RSUP Sanglah Denpasar pada tahun 2001-2003, osteoartritis
merupakan kasus tertinggi (37%) diikuti dengan RNA, AG, SLE, dan lain-lain. Kelainan
pada lutut merupakan kelainan terbanyak dari OA diikuti sendi panggul dan tulang
belakang.1, 2
1.3 Etiologi
Etiologi dari pemyakit osteoarthritis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu osteoarthritis
primer dan osteoarthritis sekunder. Osteoarthritis dapat disebut sebagai osteoarthritis
primer apabila osteoarthritis terjadi akibat proses degeneratif secara alami tanpa
melibatkan faktor ekstrinsik. Sementara osteoarthritis dapat digolongkan sebagai
osteoarthritis sekunder apabila osteoarthritis disebabkan oleh faktor ekstrisik, misalnya
kelainan metabolik, endocrine, trauma, pasca operasi, dan lain-lain.3

1.4 Faktor Resiko


Adapun beberapa faktor yang dapat meningkatkan resiko seseorang untuk menderita
osteoarthritis, di antaranya4:
- Usia

Golongan usia untuk laki-laki yang menderita osteoarthritis adalah 55-64 tahun,
sementara pada wanita 65-74 tahun. Osteoarthritis jarang ditemukan pada individu yang
berumur kurang dari 40 tahun
- Obesitas/berat badan berlebih

Semakin besar massa tubuh seseorang, semakin berat beban yang harus ditanggung oleh
sendi
- Gender

Osteoarthritis lebih sering ditemukan pada wanita dibanding pada pria, biasanya setelah
menopause akibat menurunnya hormone estrogen
- Etnis/Ras

Ras Afrika-Amerika memiliki resiko menderita osteoarthritis 2 kali lebih besar


dibandingkan ras Kaukasia
- Genetik
Adanya mutasi pada kode genetic yang berperan untuk sintesis kolagen yang bersifat
turunan
- Riwayat trauma

Seseorang yang memiliki riwayat cedera pada sendi penumpu dapat meningkatkan resiko
menderita osteoarthritis
- Pekerjaan

Orang-orang dengan sering mengangkat beban yang berat lebih rentan menderita
osteoarthritis
1.5 Patofisiologi
Osteoarthritis pada umunya disebabkan oleh perubahan biomekanikal dan biokimia
tulang rawan yang terjadi oleh adanya penyebab multifactorial seperti umur, gender,
etnis, berat badan yang akan mengakibatkan adanya ketidakseimbangan di antara proses
degradasi dan sintesis tulang rawan. Hal ini menyebabkan terproduksinya enzim-enzim
degradasi dan pengeluaran kolagen yang akan mengakibatkan kerusakan tulang rawan
pada sendi dan struktur di sekitarnya. Selain itu ketidakseimbangan ini akan memicu
pembentukan osteofit sebagai proses perbaikan untuk mengembalikan persendian seperti
semula. Dua golongan enzim yang berperan penting dalam degradasi matriks adalah
metaloproteinase dan aggrecanases. Metaloproteinase (stromelysin, gelatinase,
collagenase) akan memecah kolagen, gelatin, dan komponen protein lain pada matriks.
Enzim ini disekresi oleh sel sinovial dan kondrosit dan aggrecanases (ADAMTS) akan
mendegradasi aggrecan. Peningkatan degradasi aggrecans oleh enzim aggrecanases
adalah salah satu indikasi dari osteoarthritis tahap awal, dan memberikan kontribusi yang
terhadap hilangnya struktur dan fungsi tulang rawan. Pada tulang rawan normal, aktivitas
degradasi enzim diregulasi oleh faktor pertumbuhan dan inhibitor degradasi enzim.
Faktor pertumbuhan ini memicu kondrosit untuk mensistesis DNA dan protein seperti
kolagen dan proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth
factor (IGF-1), growth hormone, transforming growth factor b (TGF-b) dan colony
stimulating factors (CSFs). Tetapi pada saat terjadi peradangan, sel menjadi kurang
sensitif terhadap efek IGF-1 yang akan menghambat mekanisme tersebut. Tissue
inhibitor of metalloproteinase (TIMP) dan plasminogen activator inhibitor (PAI-1) adalah
enzim inhibitor yang berfungsi untuk mendegradasi collagenase dan aggrecanase.
Pembentukan dan perkembangan dari osteoarthritis sudah melibatkan inflamasi sejak
tahap awal penyakit, meskipun kadang tidak terlalu nampak. Keseimbangan aktivitas
sendi terganggu melalui suatu degradative cascade dan penyebab IL- 1 dan TNF dalam
proses inflammasi. Sekresi dari factor inflamasi merupakan mediator yang bisa
menyebabkan proses metabolism terganggu dan meningkatkan proses katabolik pada
sendi. IL-1 dan TNF yang diproduksi oleh kondrosit, sel mononeuklear, osteoblast dan
jaringan sinovial menstimulasi sintesis dan sekresi metalloproteinase dan tissue
plasminogen activator serta mensupresi sintesis proteoglikan pada sendi.

1.6 Manifestasi Klinis


Osteoarthritis biasanya menyerang sendi sendi besar yang menjadi sendi tumpuan tubuh,
misalnya lutut, dan panggul. Osteoarthritis bersifat unilateral, yaitu hanya menyerang
salah satu sendi saja, misalnya hanya sendi kanan saja atau hanya sendi kiri saja.2
Gejala osteoarthritis adalah:2
- Nyeri sendi
- Kekakuan

Salah satu gejala utama osteoarthritis adalah rasa kaku pada sendi yang bermasalah di
pagi hari yang biasanya kurang dari 30 menit.
- Hambatan gerakan sendi
- Krepitasi pada sendi yang bermasalah
- Pembengkakan sendi
- Perubahan cara berjalan
- Kemerahan pada daerah sendi

1.7 Diagnosis
Menurut American College of Rheumatology (ACR) seseorang dapat didiagnosis
osteoarthritis jika ada nyeri lutut dan memenuhi minimal 3 gejala di bawah ini:1
- Usia > 50 tahun
- Kaku pagi < 30 menit
- Krepitus
- Nyeri tekan
- Pembesaran tulang
- Tidak panas pada perabaan
- Pemeriksaan X-ray juga dapat menunjang hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
telah dilakukan. Pada pemeriksaan X-ray dapat terlihat peningkatan densitas tulang
subkondral, kista pada tulang, penyempitan pada celah sendi, osteofit di tepi sendi, dan
perubahan struktur anatomis dari sendi

Osteoarthritis dapat dibagi menjadi beberapa tingkatan atau stage, di antaranya:5


- Stage 1 (Minor)

Pada tahap ini, pasien belum merasakan nyeri dan terdapat pertumbuhan osteofit yang
masih minimal.
- Stage 2 (Mild)

Pasien mulai merasakan gejala seperti nyeri pada saat berjalan, kaku sendi, dan nyeri
tekan sendi. Pertumbuhan osteofit makin bertambah tetapi jarak antara tulang masih
terlihat normal.
- Stage 3 (Moderate)

Pada stage ketiga, telah terjadi erosi dari permukaan tulang rawan sehingga terdapat
penyempitan celah sendi. Pada tahap ini, tulang sudah bergesekkan dengan tulang
sehingga terdengar krepitasi. Gejala yang dialami pasien akan semakin parah jika tidak
ditangani.
- Stage 4 (Severe)
Pada tahap akhir, jarak antar tulang sudah sangat menyempit dan tulang rawan akan
semakin tergerus. Cairan synovial akan semakin berkurang, sehingga pasien akan
merasakan nyeri hebat saat menggerakkan sendinya.
1.8 Diagnosis Banding
- Rheumatoid Arthritis

Rheumatoid arthritis adalah penyakit autoimun pada sendi yang gejalanya hamper sama
dengan osteoarthritis, yaitu nyeri sendi, kaku sendi, pembengkakan sendi, hambatan
bergerak, krepitasi, dan sendi yang kemerahan. Yang membedakan rheumatoid arthritis
dengan osteoarthritis adalah kaku di pagi hari pada rheumatoid arthritis akan berlangsung
lebih lama yaitu > 30 menit. Selain itu, gejala yang timbul pada rheumatoid arthritis juga
bilateral, yang berarti gangguan menyerang kedua sisi dan lebih sering menyerang sendi-
sendi kecil seperti metatarsofalangeal dan pergelangan tangan. Rheumatoid arthritis juga
dapat disertai dengan memiliki gejala sistemik lain seperti penurunan berat badan, rasa
lemas, dan demam.1
- Gout Arthritis

Gout arthritis adalah penyakit metabolik yang menyerang sendi. Gejalanya yang timbul
dapat berupa nyeri sendi, kemerahan pada sendi, rasa hangat pada sendi, hambatan gerak,
dan pembengkakan sendi. Gout arthritis terjadi secara unilateral dan paling sering
menyerang sendi-sendi kecil seperti metatarsophalangeal dan metacarpofalangeal. Pada
Gout arthritis juga dapat ditemukan topus, nodul pada kulit yang merupakan akumulasi
kristal asam urat. Topus paling sering ditemukan di telinga, metatarsofalangeal dan
metacarpofalangeal. Gout juga dapat disertai oleh gejala-gejala sistemik lainnya seperti
demam, malaise, dan menggigil.1

1.9 Tatalaksana
Tatalaksana untuk penderita osteoarthritis cukup beragam, ditinjau dari derajat
keparahan dari penyakit itu sendiri
- Stage 1 (Minor)
Tatalaksana pada tahap ini adalah berolahraga tanpa menambah beban bagi sendi yang
bermasalah, misalnya berenang atau static bike. Pasien juga disarankan untuk memulai
gaya hidup yang sehat dan menjaga berat badan yang ideal.
- Stage 2 (Mild)

Pada tahap ini, pasien tetap direkomendasikan untuk berolahraga dan menjaga gaya
hidup. Pasien juga akan diberi obat anti nyeri seperti Ibuprofen atau Tylenol.
- Stage 3 (Moderate)

Pasien dapat diberi obat anti nyeri seperti codeine atau oxycodone. Pasien juga bisa
mendapatkan injeksi hyaluronic acid secara intraartikular.
- Stage 4 (Severe)

Pada stage ini, dapat dilaksanan operasi untuk memperbaiki posisi tulang, seperti
osteotomy, atau arthroplasty yaitu mengganti sendi secara keseluruhan.
1.10 Komplikasi
Jika tidak segera ditangani atau tidak mendapat tindakan yang tepat, maka osteoarthritis
dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi di antaranya6:
 Berkurangnya ROM dan fungsi sendi
 Timbulnya deformitas yang permanen
 Gangguan cara jalan
 Menurunnya kualitas hidup

1.11 Pencegahan
Untuk mengurangi resiko osteoarthritis, ada beberapa hal yang dapat dilakukan yaitu7:
 Rajin berolahraga
 Menjaga berat badan ideal
 Menjaga postur duduk
 Beristirahat cukup

1.12 Prognosis
Untuk prognosis dari penyakit osteoarthritis biasanya tidak mengancam jiwa (Ad vitam:
bonam). Tetapi untuk fungsi sendi biasanya sering terganggu dan sering mengalami
kekambuhan (Ad functionam: dubia ad malam). Sedangkan untuk kesembuhan dari
penyakit Osteoarthritis sendiri, perubahan yang telah terjadi tidak dapat kembali
seperti semula, hanya saja diberikan penanganan agar gejala tidak mudah kambuh dan
memperlambat progresivitas penyakit (Ad sanationam: malam)6.

BAB 2
KESIMPULAN

Osteoarthritis adalah penyakit degeneratif yang menyebabkan tulang rawan (cartilage) di


sendi rusak. Osteoarthritis lebih sering terjadi di sendi-sendi besar yang menjadi
penyangga berat badan, yaitu lutut, panggul, tulang belakang, dan pergelangan
kaki. Osteoarthritis bersifat unilateral, yang berarti osteoarthritis tidak terjadi di sendi kanan
dan kiri. Biasanya penyakit ini banyak dialami oleh wanita dengan umur 60 tahun ke atas.
Penyakit ini memiliki dua tipe, osteoarthritis primer dan osteoarthritis sekunder dimana
yang primer merupakan akibat dari degenerative alami dan yang sekunder merupakan
akibat dari suatu hal seperti gangguan metabolik, endokrin, trauma, atau post-surgery.
Beberapa faktor resiko yang dapat meningkatkan resiko seseorang untuk dapat mengidap
penyakit ini antara lain adalah faktor usia, pekerjaan, gender, dan kepadatan tulang.
Secara singkat penyakit osteoarthritis ini disebabkan oleh menurunnya atau hilangnya kondrosit
dan collagen type 2 yang menyebabkan cartilage tidak lagi cukup elastis dan kuat,
menyebabkan kedua tulang yang seharusnya “dibantali” oleh cartilage bersentuhan dan
menimbulkan gesekan yang membuat nyeri. Gejala klinis yang muncul akibat penyakit
osteoarthritis adalah kekakuan, pembengkakan sendi, hambatan gerak sendi, bunyi
gemeretak, perubahan atau hambatan ROM, dan kemerahan pada sendi. Untuk
mendiagnosa penyakit ini, dibutuhkan anamnesis dan pemeriksaan rontgen sendi.
Beberapa penyakit yang menjadi diagnosis banding dari penyakit osteoarthritis adalah
Rheumatoid Arthritis dan Gout. Penyakit Rheumatoid Arthritis adalah penyakit autoimun
yang menyerang sendi besar maupun kecil. Penyakit Gout arthritis merupakan penyakit
yang menyerang sendi akibat gangguan metabolic dan dapat ditemukan topus dan kristal
asam urat. Tatalaksana medikamentosa yang dapat diberikan kepada pasien adalah
pemberian NSAID, injeksi intraartikular/intra lesi, hingga operasi. Sedangkan untuk
tatalaksana non-medikamentosa yang dianjurkan kepada pasien adalah menjaga berat
badan yang ideal, menggunakan alat bantu, melakukan olahraga ringan seperti static bike,
melatih pasien untuk menggunakan dan melindungi sendinya. Selain itu rehabilitasi
medic atau fisioterapi dapat menjadi pilihan terapi untuk pasien. Komplikasi yang dapat
ditimbulkan oleh penyakit osteoarthritis ini adalah berkurangnya mobilitas dan fungsi
sendi, deformitas permanen, gangguan cara jalan, dan penurunan kualitas hidup. Penyakit
osteoarthritis tidak dapat dicegah, tetapi ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk
menurunkan resiko seseorang terkena penyakit osteoarthritis dengan cara rajin
berolahraga, beristirahat dengan cukup, menjaga berat badan yang ideal, menjaga postur
duduk, dan menjaga cara jalan yang baik. Prognosis dari penyakit osteoarthritis tidak
mengancam jiwa (Ad vitam: bonam). Tetapi untuk fungsi organ pada umumnya sering
terganggu dan sering mengalami kekambuhan (Ad functionam: dubia ad
malam). Sedangkan untuk kesembuhan dari penyakit Osteoarthritis sendiri,
perubahan yang telah terjadi tidak dapat kembali seperti semula, hanya saja diberikan
penanganan agar gejala tidak mudah kambuh dan memperlambat progresivitas
penyakit (Ad sanationam: malam)

DAFTAR PUSTAKA

1. S Joewono, I Haryy, K Handono, B Rawan, P Riardi. Chapter 279 : Osteoartritis. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV FKUI 2006. 1195- 1202
2. Kapoor, M. et al. Role of Pro-inflammatory Cytokines in Pathophysiology of Osteoarthritis.
Nat. Rev. Rheumatol. 7, 33–42 (2011)
3. Mahajan A, Tandon V, Verma S. Osteoarthritis. JAPI [Internet]. 2005 July. Available
from:http://www.japi.org/july2005/U-634.pdf
4. B Mandelbaum, W David. Etiology and Pathophysiology of Osteoarthritis. ORTHO
Supersite Februari 1 2005
5. DB Kenneth. Harrison Principle of Internal Medicine 16 th edition. Chapter 312 :
Osteoartritis. Mc Graw Hills 2005. 2036-2045
6. Abbas A, Aster J, Kumar V. Robbins Basic Pathology. 9th edition. Philadelphia: Elsevier;
2012.
7. Arthritis in Knee: 4 Stages of Osteoarthritis [Internet]. Illinois Bone and Joint Institute. 2016
January. Available from: https://www.ibji.com/blog/orthopedic-care/arthritis-in-knee-4-
stages-of-osteoarthritis/

Anda mungkin juga menyukai