Anda di halaman 1dari 19

JOURNAL READING

Analisis Toksikologi Forensik dalam Keracunan Sianida: Dua Laporan Kasus

Pembimbing:
Saebani, SKM., M.Kes
Residen Pembimbing: dr.Risma Gayanti
Oleh :
Komang Vita P (Trisakti)
Monica Jenyfer C N (Atma Jaya)
Aditya Putra (Atma Jaya)
Eirene Amestris (Atma Jaya)
Favian Sergius R H (Atma Jaya)
Natasha Gabby R (Atma Jaya)
Jason Avizkan (Atma Jaya)
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR.KARIADI SEMARANG
PERIODE 10 FEBRUARI 2020 - 22 FEBRUARI 2020

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan bimbingan sehingga
penulis dapat menyelesaikan dapat menyelesaikan tugas journal reading yang berjudul
“Analisis Toksikologi Forensik dalam Keracunan Sianida: Dua Laporan Kasus” ini disusun
sebagai syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Penulisan journal reading ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dorongan,
semangat, dan petunjuk dari berbagai pihak yang telah senantiasa membantu. Oleh sebab itu,
pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah mendukung dengan segala cara dalam penyelesaian tugas ini, terutama
kepada:
1. Bapak Saebani, SKM, M.Kes. selaku dosen pembimbing;
2. dr. Risma Gayanti selaku residen pembimbing;
3. Orang tua dan teman-teman penulis yang memberikan dukungan moral dan spiritual;
4. Semua pihak yang telah memberikan dukungan dan bantuan selama penyusunan.
Penulis berharap agar tugas journal reading ini dapat bermanfaat dalam memberikan
pengetahuan tambahan bagi mereka yang membacanya. Penulis menyadari bahwa tugas journal
reading ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
membangun untuk memperbaiki kekurangan tugas journal reading ini. Penulis juga memohon
maaf jika ada kata-kata penulis yang kurang berkenan. Atas perhatian yang diberikan, penulis
mengucapkan terima kasih

Semarang, 17 Februari 2020

Penulis

Analisis Toksikologi Forensik dalam Keracunan Sianida: Dua Laporan Kasus

Abstrak
Pendahuluan: Toksisitas sianida telah dikenal luas lebih dari dua abad, meskipun sebagian besar
kasus keracunan sianida merupakan kasus yang tidak disengaja, seperti pada korban kebakaran,
sianida terkadang digunakan untuk bunuh diri atau pembunuhan.

Metode dan temuan: Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Headspace
extraction dan Gas Chromatography ditambah dengan Nitrogen dan Phosphorus Detector (HS-
GC/NPD), yang telah menunjukkan hasil yang baik untuk deteksi dan kuantifikasi keracunan
sianida, dengan sensitivitas dan reproduksibilitas tinggi. Penelitian ini mencapai linearitas baik
(r2> 0,99), dengan akurasi dan presisi yang tinggi. Batas deteksi dan kuantifikasi jauh di bawah
konsentrasi darah sianida yang dapat mematikan.

Kesimpulan: Metode ini cocok untuk deteksi keracunan sianida bahkan pada konsentrasi kecil,
dan telah berhasil diterapkan dalam dua kasus mematikan keracunan sianida.

Kata kunci: Sianida; Gas Chromatography; Nitrogen dan Phosphorus Detector; Intoksikasi

Introduksi
Keracunan sianida telah diteliti lebih dari dua abad. Sianida menghambat proses
kehidupan seluler dengan berinteraksi dengan enzim yang mengandung zat besi, seperti
cytochrome oxidase dan catalase, sehingga menghambat konsumsi oksigen oleh sel-sel dan
mengakibatkan penurunan fungsi vital.
Terdapat beberapa sumber kontaminasi sianida, yang paling utama adalah penggunaan
garam sianida untuk industri. Kontaminasi sianida dapat ditemukan pada limbah buangan dari
pabrik polyacrylonitrile, resin akrilik, nitriles dan aldehydes, selain itu juga pada industri obat
dan zat pewarna, pestisida, ekstraksi emas dan perak, electroplating, produksi foto-foto dan asap
dari produk tembakau. Namun dari semua kemungkinan yang ada, keracunan sianida biasanya
terjadi secara tidak sengaja, meski dapat juga didasari motif bunuh diri atau pembunuhan.
Beberapa penelitian melaporkan dosis mematikan dari sianida yang berbeda-beda namun
konsentrasi serendah 1 μg/mL biasanya dianggap mematikan.
Analisis toksikologi sangatlah penting untuk mengkonfirmasi diagnosis dari keracunan
secara klinis maupun forensik. Meskipun terdapat beberapa kesulitan mendeteksi sianida karena
pada kasus-kasus keracunan hanya melibatkan konsentrasi yang rendah atau karena
ketidakstabilan dari sianida pada spesimen biologis.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeteksi dan mengidentifikasi sianida di berbagai
matriks biologis dari dua kasus keracunan yang mematikan menggunakan HS-GC/NPD.

Laporan Kasus
Seorang laki-laki berusia 56 tahun yang bekerja di rumah sebagai pengrajin emas
ditemukan meninggal di lantai dapur rumahnya. Sebuah botol plastik yang diduga mengandung
garam sianida ditemukan di sebelah tubuh jenazah. Sebuah surat bunuh diri juga ditemukan di
salah satu ruangan bersama dengan peralatan pembuat perhiasan yang digunakan untuk bekerja,
dimana garam sianida diketahui digunakan sebagai agen pembersih perhiasan. Pemeriksaan luar
menunjukkan tanda sianosis berat, perdarahan dari lubang hidung dan tidak terdapat tanda
kekerasan. Pada pemeriksaan otopsi, didapat kira-kira 30 mL darah femoral, 20 mL urin dan
seluruh isi perut ditampung dan dikirimkan kepada Laboratorium Toksikologi Forensik Vitoria-
ES, Brasil.
Kasus lainnya adalah seorang perempuan berusia 18 tahun, pelajar teknik kimia
ditemukan tidak sadarkan diri di lorong sekolah dimana korban menerima pertolongan pertama
namun tidak berhasil. Pemeriksaan dari tempat kejadian perkara tidak dilakukan. Pada telepon
genggam milik korban yang diperiksa oleh kepolisian, ditemukan gambar murid yang sedang
membawa wadah diduga berisikan Potasium Sianida. Pemeriksa medis tidak melaporkan adanya
temuan ketidak kelainan pada tubuh seperti luka-luka maupun tanda sianosis. Pada pemeriksaan
otopsi, 3,5 mL darah dan 2 mL isi perut serta 6 mL eksudat hepar didapatkan dan dikirimkan ke
Laboratorium Kimia Forensik di Institut Kriminal Nasional Polisi Federal, di Brasilia/Brasil,
yang kemudian dianalisis di Laboratorium Toksikologi Forensik Vitoria.

Material dan metode


Reagen dan larutan
Kalium Sianida (KCN) didapatkan dari Isofar (Rio de Janeiro, Brasil). Acetonitrile
(ACN) didapatkan dari Cromoline (Sao Paulo, Brasil). Asam sulfat didapatkan dari Impex
(Novo Hamburgo, Brasil). Semua solven dan reagen memiliki kualitas analisa yang baik.
Larutan standar internal dipersiapkan dengan 1 mL ACN dalam 100 mL tabung
volumetrik dan didilusi dengan air. Larutan ini kemudian didilusi menjadi 1/1000 untuk
mencapai konsentrasi final 7.86 μg/mL ACN.
Larutan sianida kemudian dipersiapkan dengan menimbang 25 mg KCN dan didilusi
dengan 0,1 N NaOH dalam 100 mL tabung volumetrik untuk mencapai larutan dengan
konsentrasi 100 μg/mL CN. Kemudian dilusi dilakukan berulang kali hingga didapat
konsentrasi 10 dan 1 μg/mL.

Instrumentation
Analisa sianida dilakukan Gas Chromatography (GC) yang dilengkapi dengan Nitrogen
dan Phosphorus Detector (NPD) (Varian, Palo Alto, CA, USA) dengan kolom kapiler tipe
VF 624 (ukuran ketebalan film 30 m x 0,32 mm i.d., 1,8 μm) (Agilent Technologies, Palo
Alto, CA, USA). Suhu oven dan syringe yang digunakan diatur pada 60 derajat celcius.
Sampel kemudian dipanaskan selama 10 menit dengan pengocokkan secara kontinu (500
rpm). Temperatur pada oven diatur sebagai berikut: 30 derajat celcius selama 0,25 menit,
ditingkatkan hingga 150 derajat celcius (40 derajat celcius per menit) dan dipertahankan
selama 1 menit dengan total waktu pemanasan adalah 7,3 menit). Suhu dari injektor dan
detektor adalah 200 dan 300 derajat celcius. Injektor dioperasikan dalam mode split (20:1),
dan aliran gas pembawa (nitrogen) adalah 2 mL/menit dengan tekanan 25 psi selama 0,25
menit.

Sample preparation
Genangan darah dari tujuh korban yang berbeda dianalisis untuk mengkonfirmasi tidak
adanya sianida dan kemudian digunakan sebagai matriks kosong. Sampel untuk kalibrasi dan
kontrol kualitas (QC) disiapkan untuk meningkatkan kadar sianida pada sampel darah bebas
sianida dengan sianida berkonsentrasi 0,1 (rendah), 0,7 (sedang) dan 3,0 μg / mL (tinggi).
Setengah milliliter kalibrator, QC dan sampel (darah, urin, isi lambung dan eksudat hati)
ditempatkan ke dalam vial headspace 20 mL dengan 0,5 mL IS larutan kerja. 50 μL asam
sulfat ditambahkan, dan vial segera ditutup dan dianalisis dengan metode HSGC / NPD.
Hasil dan pembahasan
Metode ini menyajikan pemisahan kromatografi yang baik tanpa adanya interfensi. Studi
Linearity dilakukan dengan menggunakan enam kalibrator pada rentang konsentrasi 0,1-4,0 μg /
mL, dengan enam ulangan untuk setiap konsentrasi. Koefisien A penentu lebih besar dari 0,99
diperoleh (r2 = 0,9984). Batas deteksi (LOD) diukur dengan analisa mengurangi konsentrasi
sianida dan ditentukan pada 0,05 μg / mL. Batas kuantifikasi (LOQ) yang dicapai dari metode
adalah 0,1 μg / mL dan kriteria penerimaan didasarkan pada akurasi dari lima penentuan
independen di konsentrasi dengan deviasi maksimum dari nominal nilai dalam 20%.
Ketepatan dan keakuratan metode dipastikan oleh pengukuran tiga level CQ, selama
periode tiga hari dengan lima ulangan dari setiap konsentrasi. Inter dan presisi intra-hari (%
RSD) berkisar antara 82,4 hingga 91,7% dan dari 86,3 menjadi 95,2%. Nilai akurasi (% bias)
terletak antara 82,4 (CQ rendah) dan 91,7%.
Kasus 1
Didapatkan Sianida sebesar 30,7 μg / mL dalam darah, 100,5 μg / mL dalam isi lambung
dan 0,1 μg / mL dalam urin. Darah dan isi perut diencerkan masing-masing 10 dan 100
kali, untuk hasil pengukuran yang benar. Konsentrasi rendah pada sampel urin dapat
dijelaskan dalam kasus keracunan akut mengakibatkan kematian yang cepat, karena tidak
ada waktu untuk mengeliminasi agen toksik. Sianida juga terdeteksi di garam putih
ditemukan di TKP.

Kasus 2
Didapatkan sianida sebesar 26,7 μg / mL dalam darah, 12,8 μg / mL dalam eksudat hati
dan 41,5 μg / mL dalam isi lambung. Darah dan eksudat hati harus diencerkan 10 kali,
sedangkan isi perut diencerkan 200 kali. Tidak dilakukan analisa/pemeriksaan kimia pada
botol sianida yang diduga digunakan oleh korban.

Kesimpulan
Metode ini menunjukkan hasil yang baik untuk mendeteksi dan kuantifikasi dalam
keracunan sianida, dengan sensitivitas dan reproduktivitas yang baik. Baik LOD dan LOQ di
bawah konsentrasi darah sianida yang dapat mematikan, menjadikan metode yang ini cocok
untuk deteksi keracunan sianida pada konsentrasi kecil.
Analisis toksikologis dari kedua kasus menunjukkan tingginya konsentrasi dalam darah,
isi lambung dan eksudat hati (hanya Kasus 2), memungkinkan kesimpulan terjadinya kematian
ini karena keracunan akut sianida. Kasus 1 merupakan kasus bunuh diri yang ditandai dari
temuan di TKP, seperti posisi tubuh, indikasi bunuh diri dengan mengonsumsi garam sianida dan
catatan bunuh diri. Untuk kasus 2, cara kematian belum ditentukan, masih menunggu
penyelidikan (hipotesis dari kasus ini karena kecelakaan dan bunuh diri)

Analisis Jurnal Pembanding


Pembanding 1 - “Acute cyanide poisoning among jewelry and textile industry workers”

Metode yang digunakan merupakan studi retrospektif yang didapatkan dari data penanganan di
instalasi gawat darurat (rekam medis) di sebuah rumah sakit di Brazil, dan didapatkan 9 kasus
mengenai kejadian keracunan sianida pada pengrajin emas dan pekerja industri textile.
Pada jurnal ini menerangkan adanya hasil dari pemeriksaan darah yang mendukung proses
patofisiologis dari sianida di dalam tubuh yang menyebabkan asidosis. Dari 9 sample yang
didapatkan, karakteristik dan demografi datang dari berbagai segi usia ( rata-rata usia 32±15
tahun). Dalam jurnal ini juga dijelaskan bagaimana memberikan tatalaksana yang baik serta
outcome setelah diberikan tatalaksana tersebut.Namun dari jurnal ini tidak melakukan
pemeriksaan secara kuantitatif sehingga tidak dapat memberikan konklusi secara definitif. Pada
jurnal ini juga belum menyimpulkan efektivitas dari metode metode dalam mendeteksi sianida.

Pembanding 2 - “Blood Cyanide Determination in Two Cases of Fatal Intoxication:


Comparison Between Headspace Gas Chromatography and a Spectrophotometric
Method”

Pada jurnal ini menjelaskan 2 kasus intoksikasi fatal dan menganalisa kadar sianida dalam darah
secara kuantitatif, di 2 laboratorium. Studi yang digunakan dalam jurnal ini merupakan studi
analitik. Dalam jurnal ini untuk mendeteksi adanya sianida dalam darah menggunakan metode
spektrofotometrik (VIS) dan HS-GC/NPD pada masing-masing sampel dan disimpulkan bahwa
metode HS-GC/NPD merupakan metode yang lebih efektif digunakan dalam mendeteksi sianida
dalam darah. Namun, dalam jurnal ini sample untuk mendeteksi adanya sianida hanya diambil
dari darah saja, tidak mengambil dari bagian lain seperti cairan lambung, urin dan exudate hepar.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Sianida
Sianida adalah senyawa kimia dari kelompok Siano, yang terdiri dari 3 buah atom
karbon yang berikatan dengan nitrogen (C=N), dan dikombinasi dengan unsur-unsur lain
seperti kalium atau hidrogen. Secara spesifik, sianida adalah anion CN-. Senyawa ini ada
dalam bentuk gas, liquid (cairan) dan solid (garam). Kata “sianida” berasal dari bahasa
Yunani yang berarti “biru” yang mengacu pada hidrogen sianida yang disebut Blausäure
("blue acid") di Jerman Sianida dapat terbentuk secara alami maupun dibuat oleh
manusia dan memiliki sifat racun yang sangat kuat dan bekerja dengan cepat. Contohnya
adalah HCN (hidrogen sianida) dan KCN (kalium sianida).
Hidrogen sianida merupakan cairan jernih yang bersifat asam, larut dalam air,
alkohol dan eter; mempunyai titik didih 26.5oC (mudah menguap dalam suhu ruangan)
dan titik beku 14oC. Dalam bentuk gas tidak memiliki rasa dan memiliki bau pahit yang
seperti bau almond, peach pit. Hidrogen sianida disebut juga formonitrile, dalam bentuk
cairan dikenal sebagai asam prussit dan asam hidrosianik. Dalam bentuk cairan, HCN
tidak berwarna atau dapat juga berwarna biru pucat pada suhu kamar. HCN bersifat
volatil dan mudah terbakar serta dapat berdifusi baik dengan udara dan bahan peledak
juga sangat mudah bercampur dengan air sehingga sering digunakan. HCN dipakai dalam
sintesis kimia dan fumigasi gudang-gudang kapal sebagai pembunuh tikus.
Natrium sianida dan kalium sianida merupakan garam sianida berbentuk bubuk
putih dengan bau yang menyerupai almond. Garam ini dipakai dalam proses pengerasan
besi dan baja, dalam proses penyepuhan emas dan perak serta dalam fotografi (K-
Ferosianida). Adanya hidrolisis dari KCN dan NaCN, HCN dapat terbentuk dengan
reaksi sebagai berikut:
NaCN + H2O -----> HCN + NaOH KCN + H2O ----> HCN + KOH
AgCN dipakai untuk pembuatan semir sepatu putih. Acrylonitrite untuk sintesis
karet. Ca-Cyanide untuk pupuk penyubur. Cyanogen (C2N2) dipakai dalam sintesis
kimiawi. Sianida alami pada biji tumbuhan terutama biji-bijian genus prunus
mengandung glikosida sianogenetik atau amigdalin seperti singkong liar, umbi-umbian
liar, temu lawak, cherry liar, plum, aprikot, amigdalin liar, jetberry bus.

B. Farmakodinamik & Farmakokinetik :


● Farmakokinetik
Sianida dapat masuk lewat tubuh melewati oral, inhalasi dan dermal, beberapa
sumber menyebutkan sianida dapat masuk lebih cepat melalui inhalasi dan oral namun
beberapa jurnal juga mengatakan melalui jalur inhalasi adalah yang tercepat dalam
menyebabkan tanda tanda intoksikasi sianida, ini disebabkan karena faktor kontak
dengan organ dalam lebih cepat ketika melalui jalur inhalasi.
Sianida bersifat lipid soluble (larut lemak) , merupakan zat tidak terionisasi dan
asam lemah, sehingga dapat cepat diabsorpsi oleh lambung (karena memiliki PH yang
sangat rendah) dan dapat menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh (dalam beberapa detik
ke menit), namun tergantung dari jalur masuk (Port de entree) dan dosis sianida yang
masuk ke dalam tubuh. Oleh karena reaksi dengan asam lambung mempercepat proses
penyerapan, kematian akibat sianida pada orang dengan kondisi lambung kosong lebih
cepat dan kondisi lambung terisi penuh dapat memperlambat kematian hingga 1 jam
Dosis mematikan atau lethal dose sianida yang telah disepakati adalah 1,5
mg/kgBB. Absorbsi zat terjadi dengan sangat cepat dan terdapat beberapa kasus pada
individu dimana penggunaan sianida dalam dosis sangat tinggi menunjukkan level
absorbsi yang lebih kecil, dicurigai individu tersebut telah mengalami kematian sebelum
absorpsi terjadi secara menyeluruh. Bioavailabilitas sianida juga dianggap rendah dan
berbeda-beda pada setiap individu (faktor diet dan lainnya), ini dikarenakan kurangnya
studi yang melibatkan manusia sebagai subjek penelitian. Distribusi sianida sendiri
bersifat cepat dan beragam di setiap penelitian dan individu yang dimana kadar hidrogen
sianida lebih tinggi ditemukan pada paru-paru (0,75 mg/100g jaringan), jantung (0,42
mg/100g jaringan), darah (0,41 mg/100g jaringan), ginjal (0,33 mg/100g jaringan), dan
otak (0,32 mg/100g jaringan) pada kasus keracunan secara inhalasi
Sebagian besar (80%) sianida baik yang dikonsumsi dan inhalasi diekskresikan
melalui urin dengan mengubah sianida menjadi tiosianat dengan memindahkan sulfane
sulfur dari tiosulfat dibantu enzim rhodanese. Enzim rhodanese tersebar di seluruh tubuh
karena ada didalam mitokondria jaringan dengan konsentrasi terbanyak di hepar, ginjal,
jantung dan otot. Hasil perpindahan sulfane sulfur ini menghasilkan thiocyanate (SCN)
yang tidak beracun, proses ini dilakukan dengan cepat dan ekskresi cepat ini
mengakibatkan penurunan konsentrasi sianida dalam darah dalam waktu yang singkat
dengan perkiraan waktu paruh eliminasi 1-2 jam. Sebagian kecil sianida dapat
dikeluarkan dari paru (karena CN dapat dioksidasi menjadi CO2). Sianida tidak
menyebabkan efek akumulasi di dalam tubuh, sedangkan tiosianat menghasilkan efek
akumulasi yang kemudian menimbulkan efek toksik bagi tiroid seperti goiter dan
kretinisme.

● Farmakodinamik
Sianida adalah obat yang sangat beracun. Jika tidak ada pengobatan yang cepat
dan memadai, paparan terhadap dosis tinggi sianida dapat mengakibatkan kematian
dalam beberapa menit karena penghambatan sitokrom oksidase yang mengakibatkan
terhentinya respirasi seluler. Mekanisme dari paparan sianida yang merupakan zat larut
dalam lemak, maka sianida dapat berdifusi dengan cepat ke jaringan tubuh dan berikatan
dengan organ target dalam beberapa detik. Sianida dapat menyebabkan hipoksia seluler
melalui ikatan yang bersifat ireversibel dengan Fe3+ yang ada di dalam sitokrom
oksidase A3 mitokondria. Ion Fe3+ dalam sitokrom oskidase a3 berfungsi dalam
mengakatalisis reaksi enzim yang melibatkan transfer elektron seperti (reduksi dan
oksidasi).

Hal ini menyebabkan gangguan pada metabolisme aerobik pada tahap fosforilasi
oksidatif dimana NADH tidak dapat direduksi menjadi ATP. Energi yang tidak terbentuk
mengakibatkan kegagalan mitokondria dalam mengambil oksigen dari darah ke sel,
sehingga proses pembentukkan ATP yang seharusnya membutuhkan oksigen tidak
terbentuk. Akibat dari kekurangan oksigen pada tingkat sel, metabolisme dari aerob
menjadi anaerob yang hasil akhirnya berupa asam laktat. Asam laktat yang berlebih
kemudian akan menyebabkan keadaan asidosis metabolik. Pada umumnya korban
meninggal karena kegagalan bernapas akibat tidak terbentuknya energi untuk
melanjutkan proses bernapas itu sendiri. Korban kemudian meninggal dengan keadaan
asfiksia namun dengan kadar O2 berlebih di dalam darah.

Dalam keracunan sianida akut dalam jumlah masif, mekanisme toksisitas


mungkin melibatkan sistem enzim lain juga. Tanda dan gejala keracunan sianida sistemik
akut dapat berkembang pesat dalam beberapa menit, tergantung pada rute dan besarnya
paparan sianida. Kapan dan bagaimana terjadinya asidosis laktat, belum diketahui dengan
pasti dalam kaitannya dengan konsentrasi sianida dalam darah. Jaringan seperti sel otot
jantung dan sel saraf, dengan cepat mengkonsumsi sisa energi dan mulai mati.

C. Hasil Temuan Autopsi Pada Korban Keracunan Sianida


- Gambaran Lebam Mayat Berwarna Merah Terang (cherry red color, tidak pasti).
- Ditemukannya seperti partikel kristal-kristal sianida di sekitar hidung korban dan
mulut korban.
- Terciumnya bau sianida pada korban (bitter almond odour, hanya bisa dicium
oleh beberapa orang yang punya genetik penghidu sianida).
- Peningkatan kadar sianida dalam darah.
- Peningkatan kadar sianida dalam beberapa organ dalam tubuh yang
memetabolisme sianida (hati, sistem pencernaan, otot, dsb).
- Kerusakan dan erosi mukosa lambung dan saluran pencernaan.
- Dapat ditemukannya tanda perdarahan atau bintik perdarahan pada saluran cerna.
- Peningkatan kadar laktat darah.

Tabel 1. Tanda dan Gejala Keracunan Sianida dan Karbon Monoksida

D. Perbedaan Keracunan Sianida dan Karbon Monoksida

Gambaran lebam mayat “cherry red” adalah temuan klasik pada keracunan
karbon monoksida (CO), namun hanya 1-3% yang memberikan gambaran tersebut. CO
memiliki afinitas yang lebih tinggi dengan hemoglobin (Hb) dibandingkan dengan O 2.
Tingginya kadar CO-Hb menghambat penghantaran oksigen ke jaringan dan pemakaian
oksigen pada jaringan. 10-15% CO ditemukan di ekstravaskuler dan berikatan pada
mioglobin, sitokrom dan NADPH reduktase. Proses pemakaian oksigen di organ yang
terganggu juga dapat ditemukan pada keracunan CN. Afinitas CO dengan Hb lebih kuat
dibandingkan dengan O2. Pada kadar CO-Hb yang tinggi dapat mengganggu
penghantaran oksigen ke jaringan dan utilitas oksigen pada organ. Proses utilisasi okigen
yang terganggu juga ditemukan pada keracunan sianida. 10-15% CO ditemukan di
ekstravaskuler dan berikatan dengan mioglobin, sitokrom, dan NADPH reduktase. Lebam
berwarna “cherry red” hanya muncul pada konsentrasi
carboxyhemoglobin (COHb) ≥ 30%, semakin tinggi kadar CO-Hb,
semakin cerah warna lebamnya.
Pada Keracunan CN menyebabkan tingginya kadar oksigen dalam darah, yang
tidak di uptake oleh sel. Pada sebuah studi menyatakan tingginya kadar oksigen dan
oksihemoglobin dalam darah inilah yang berkontribusi dalam gambaran “cherry red”
pada keracunan CN. Sel-sel pada keracunan CN tidak dapat mengambil O2 dari arteri
sehingga kadar O2 pada arteri dan vena hampir sama. Keracunan CN juga sering
ditemukan bersamaan dengan keracunan CO, contohnya pada kasus korban kebakaran.
Sehingga gambaran “cherry red” pada lebam mayat tidak spesifik untuk menentukan
substansi kimia yang menyebabkan kematian.

E. Pemeriksaan Laboratorium Intoksikasi Sianida

Pemeriksaan laboratorium intoksikasi sianida kini dapat memberikan data


kuantitatif. Pemeriksaan kualitatif dari intoksikasi sianida seperti uji saring, uji Prussian
Blue dan uji Gettler Goldbaum masih digunakan untuk skrining.

Metode gas chromatography (GC) adalah metode modern yang dikembangkan


pada abad 20. Metode GC berfungsi mengkuantifikasi komponen volatil yang dapat
menguap pada suhu di bawah 300 derajat celcius, dan biasa digunakan tidak hanya untuk
mendeteksi kadar toksin dalam sampel yang diperoleh dari subjek atau untuk
mempelajari kadar toksin dalam lingkungan. Metode ini kini diteliti dapat menggantikan
metode lampau seperti: (1) spektrofotometri, (2) fluorimetri, (3) elektrokimia. Metode
serupa seperti High-Performance Liquid Chromatography (HPLC) memiliki prinsip
dasar yang sama, yaitu pemisahan komponen dari sampel yang didapat, HPLC
menggunakan cairan/larutan sedangkan GC menggunakan gas. HPLC dinilai memiliki
kerugian berupa biayanya yang lebih mahal, dan kini semakin dikembangkan metode GC
yang biayanya lebih murah, sensitifitas lebih tinggi, mampu mendeteksi pada konsentrasi
yang lebih sedikit, meski memerlukan lingkungan dengan suhu yang sangat tinggi untuk
dapat mencapai pemisahan komponen yang efektif dan sampel yang diinjeksikan
memiliki output yang tidak dapat digunakan untuk pemeriksaan lainnya. Penelitian ini
juga bertujuan untuk membuktikan efektifitas GC untuk mendeteksi sianida dalam kadar
yang sangat sedikit, mengingat sianida dapat menyebabkan gejala yang mematikan dalam
kadar yang sangat sedikit, hal ini didukung oleh sebuah studi yang melaporkan bahwa
HS-GC/NPD dapat mendeteksi hingga 0,5 1 μg/mL sianida dalam darah.

Metode GC memanfaatkan 2 fase, yaitu fase stationary dan fase mobile, dimana
fase stationary membutuhkan lilin atau minyak silikon pada dinding dari kolom (salah
satu komponen mesin GC, yang dimana terjadi pemisahan komponen tersebut) dan fase
mobile membutuhkan gas inert sebagai gas pembawa seperti helium atau nitrogen. Kedua
fase ini akan memfasilitasi pemisahan dimana ketika sampel diinjeksikan masuk ke
dalam kolom, injektor diatur dalam suhu yang lebih tinggi dibandingkan suhu kolom
untuk mempercepat pemisahan. Sampel juga terlebih dahulu dilarutkan dalam solven
volatil seperti aseton dan diberikan asam kuat agar membentuk HCN. Pada proses
pemisahan, gas pembawa yang digunakan akan membawa komponen yang lebih volatil
dengan lebih cepat, sehingga terjadi pemisahan sementara komponen yang kurang volatil
akan cenderung mempertahankan wujud cairnya dan lebih lama dalam fase stationary.
Komponen yang lebih volatil ini kemudian lebih cepat mencapai detektor dan tercipta
bacaan chromatogram.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lee SK, Rhee JS, Yum HS. Cyanide poisoning deaths detected at the national
forensic service headquarters in seoul of Korea: a six year survey (2005~2010).
Toxicol Res. 2012;28(3):195–199. doi:10.5487/TR.2012.28.3.195
2. Padmakumar K. Review Paper Postmortem Examination Cases of Cyanide
Poisoning a Biological Hazard. J Indian Acad Forensic Med, 32 (1)
3. Parker-Cote J, Rizer J, Vakkalanka J, Rege S, Holstege C. Challenges in the
diagnosis of acute cyanide poisoning. Clinical Toxicology. 2018;56(7):609-617.
4. Graham J, Traylor J. Cyanide Toxicity. [Updated 2019 Dec 16]. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507796/
5. Rhee J, Jung J, Yeom H, Lee H, Lee S, Park Y et al. Distribution of cyanide in
heart blood, peripheral blood and gastric contents in 21 cyanide related fatalities.
Forensic Science International. 2011;210(1-3):e12-e15.
6. Fowler S, Roush R, Wise J. Concepts of Biology. Openstax. 2013
7. Evers R. Development of a Liquid Chromatography Ion Trap Mass Spectrometer
Method for Clinical Drugs of Abuse Testing with Automated On-Line Extraction
Using Turbulent Flow Chromatography. ResearchGate. 2014.
8. Nita Cahyawati, P., Zahran, I. and jufri, I. (2017). Keracunan akut sianida. Jurnal
Lingkunagn dan Pembangunan, 1(1), pp.80-87.
9. Wibisama W, Nun’im TWA. Ilmu Kedokteran Forensik. Ed 1, cetakan ke-2.
Bagian Kedokteran Forensik. FKUI. 1997: 95-100.
10. Steven J. Carbon Monoxide and Cyanide Poisoning in Smoke Inhalation Victims:
A Review. Trauma Reports. January, 2015.
11. Cahyawati, P. and Zahran, I. (2017). Keracunan Akut Sianida. 1(1), pp.80-87.
12. Hamel J. A Review of Acute Cyanide Poisoning With a Treatment Update.
Critical Care Nurse. 2011Jan;31(1):72–82.
13. Centers for Disease Control and Prevention. Facts About Cyanide. Centers for Disease
Control and Prevention Website. Available from:
http://www.bt.cdc.gov/agent/cyanide/basic/facts.asp.
14. Agency for Toxic Substances and Disease Registry. Toxicology Profile for Cyanide.
2006. Atlanta, GA: US Dept of Health and Human Services, Public Health Service,
Agency for Toxic Substances and Disease Registry. Available from:
http://www.atsdr.cdc.gov/toxicprofiles/tp8.pdf
15. Gambaro, V., Arnoldi, S., Casagni, E., Dell’Acqua, L., Pecoraro, C., & Froldi, R. (2007).
Blood Cyanide Determination in Two Cases of Fatal Intoxication: Comparison Between
Headspace Gas Chromatography and a Spectrophotometric Method*. Journal of Forensic
Sciences, 52(6), 1401–1404.
16. Seto, Y., Tsunoda, N., Ohta, H., & Shinohara, T. (1993). Determination of blood cyanide
by headspace gas chromatography with nitrogen-phosphorus detection and using a
megabore capillary column. Analytica Chimica Acta, 276(2), 247–259.
doi:10.1016/0003-2670(93)80391-w
17. Weizmann Institute of Science. Cyanide Poisoning. Malacards. Available from:
https://www.malacards.org/card/cyanide_poisoning
18. Agilent. GC Systems. Available from: https://www.agilent.com/en/products/gas-
chromatography/gc-systems
19. Graham J, Traylor J. Cyanide toxicity. StatPearls. 2019. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK507796/
20. Panigrahi N, et al. Cyanide Toxicity!! Colour of Blood Says It All. Indian J Crit Care
Med. 2019. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6487624/
21. Longo LD, Hill EP. Carbon monoxide uptake and elimination in fetal and maternal
sheep. Am J Phsiol. 1977;232:324–330.
22. Gozobuyuk AA, et al. Epidemiology, pathophysiology, clinical evaluation, and treatment
of carbon monoxide poisoning in child, infant, and fetus. Notrh Incln Instanb. 2017.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC5530151/
23. Clardy PF, Manaker S, Perry H. Carbon monoxide poisoning. UpToDate. 2019.
Available from: https://www.uptodate.com/contents/carbon-monoxide-poisoning
24. Kao L, Nañagas K. Toxicity Associated with Carbon Monoxide. Clinics in Laboratory
Medicine. 2006;26(1):99-125.

Anda mungkin juga menyukai