Anda di halaman 1dari 59

TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA

MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas dan memenuhi salah satu syarat guna mencapai gelar
Sarjana Hukum

Oleh :

VIVKA WINDA PRAMESTI


NIM. 2016500110

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS


DR. SOETOMO
SURABAYA
2020
TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA
MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

SKRIPSI

Oleh:

VIVKA WINDA PRAMESTI


NIM. 2016500110

Disetujui untuk diuji,

Pembimbing

( )

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS DR.SOETOMO
SURABAYA
2020
HALAMAN PENGESAHAN

TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA


MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP)

OLEH:

VIVKA WINDA PRAMESTI


NIM. 2016500110

Telah diuji pada tanggal 23 Februari 2020

1. Dosen Pembimbing dan Penguji,


----------------------------

2. Dosen Penguji I ----------------------------

3. Dosen Penguji II ----------------------------

Surabaya, 2020
Mengesahkan,
Dekan
SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini,


Nama : Vivka Winda Pramesti
Nomor Induk Mahasiswa : 2016500110
Fakultas : Hukum
Universitas : Dr. Soetomo Surabaya

Dengan ini menyataka bahwa skripsi berjudu “Tindak Pidana Terhadap Pelaku
n l
Pembunuhan Berencana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)” adalah hasil

karya saya sendiri dan saya susun berdasarkan hasil penelitian saya sendiri.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan bertanggungjawab.

Surabaya, 2020
Yang menyatakan

VIVKA WINDA PRAMESTI


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dengan berkahnya
skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan judul “Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan
Berencana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”

Tujuan Skripsi ini adalah untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar
Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo. Pada kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih tak terhingga kepada semua pihak yang telah memberikan
kemdahan, bekal ilmu pengetahuan, bimbingan, petunjuk dan semangat sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan, ialah :

1. Bapak Dr. Bachrul Amiq, SH.,MH. Rektor Universitas DR. Soetomo Surabaya.

2. Bapak Irawan Soerodjo, S.H.,M.Si, Dekan Fakultas Hukum Universitas DR. Soetomo
Surabaya.

3. Sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini.

4. Seluruh Dosen dan Staff Tata Usaha Fakultas Hukum Universitas Dr. Soetomo Surabaya.

5. Orang Tua, dan Saudara-saudaraku yang telah memberikan semangat dalam belajar dan
menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman-temanku fakultas hukum dan yang diluar sana yang selalu mendukung dan
memberi semangat dalam mengerjakan skripsi ini.

Atas segala kekurangan dan ketidaksempurnaan skripsi ini, penulis sangat mengharapkan
masukan, kritik dan saran yang bersifat membangun ke arah perbaikan dan penyempurnaan. Akhir
kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan semoga amal
baik yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan dari Allah SWT

Surabaya, 2020

VIVKA WINDA PRAMESTI


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN............................................................................ ii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii

HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

DAFTAR ISI ...................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN

1. Permasalahan : Latar belakang dan Rumusannya .......................... 1


2.
3. Penjelasan Judul ............................................................................. 6
4. Tujuan Penelitian ............................................................................ 7
5. Metode Penelitian ........................................................................... 7
6. Pertanggungjawaban Sistematika ................................................... 10

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU


PEMBUNUHAN BERENCANA MENURUT KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
1. Tinjauan Umum Tindak Pidana………………………………………………12
2. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana…………………………………….17
3. Pengaturan Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana…..19

BAB III UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU


PEMBUNUHAN BERENCANA
1. Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Nyawa dalam KUH Pidana……25
2. Unsur-Unsur Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana…………26
3. Unsur-Unsur keikutsertaan Dalam Melakukan Tindak Pidana
Pembunuhan Berencana……………………………………………………….30
BAB IV SANKSI TINDAK PIDANA TERHADAP
PELAKU PEMBUNUHAN BERENCANA

1. Faktor-Faktor Pelaku Melakukan Pembunuhan Berencana…………38


2. Sanksi Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana…43

BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan………………………………………………………………..........67
2. Saran……………………………………………………………………………..68
DAFTAR BACAAN
BAB I

PENDAHULUAN

1. Permasalahan : Latar Belakang Dan Rumusannya

Pembunuhan merupakan kejahatan yang sangat berat dan cukup mendapat

perhatian di dalam kalangan masyarakat. Berita di surat kabar, majalah dan surat

kabar online sudah mulai sering memberitakan terjadi nya pembunuhan. Tindak

pidana pembunuhan di kenal dari zaman ke zaman dan karena bermacam-macam

faktor. Zaman modern ini tindak pidana pembunuhan malah makin marak terjadi.

Tindak pidana pembunuhan berdasarkan sejarah sudah ada sejak dulu, atau dapat

dikatakan sebagai kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan

kebudayaan manusia itu sendiri.

Tindak pidana pembunuhan adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja

maupun tidak, menghilangkan nyawa orang lain. Perbedaan cara melakukan

perbuatan tindak pidana pembunuhan ini terletak pada akibat hukum nya, ketika

perbuatan tindak pidana pembunuhan ini dilakukan dengan sengaja ataupun

direncanakan terlebidahulu maka akibat hukum yaitu sanksi pidana nya akan lebih

berat dibandingkan dengan tindak pidana pembunuhan yang dilakukan tanpa ada

unsurunsur pemberat yaitu direncanakan terlebidahulu. Pembunuhan berencana

sesuai Pasal 340 KUHP adalah suatu pembunuhan biasa seperti Pasal 338 KUHP,

akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terdahulu. Direncanakan lebih dahulu

(voorbedachte rade) sama dengan antara timbul maksud untuk membunuh dengan

1
2

pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang

memikirkan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan.

Perbedaan antara pembunuhan dan pembunuhan direncanakan yaitu kalau

pelaksanaan pembunuhan yang dimaksud Pasal 338 itu dilakukan seketika pada

waktu timbul niat, sedang pembunuhan berencana pelaksanan itu ditangguhkan

setelah niat itu timbul, untuk mengatur rencana, cara bagaimana pembunuhan itu

akan dilaksanakan.

Jarak waktu antara timbulnya niat untuk membunuh dan pelaksanaan

pembunuhan itu masih demikian luang, sehingga pelaku masih dapat berfikir,

apakah pembunuhan itu diteruskan atau dibatalkan, atau pula merencana dengan

cara bagaimana ia melakukan pembunuhan itu. Perbedaan lain terletak dalam apa

yang terjadi didalam diri si pelaku sebelum pelaksanaan menghilangkan jiwa

seseorang (kondisi pelaku).

Pembunuhan direncanakan terlebih dulu diperlukan berfikir secara tenang bagi

pelaku, namun dalam pembunuhan biasa, pengambilan putusan untuk

menghilangkan jiwa seseorang dan pelaksanaannya merupakan suatu kesatuan,

sedangkan pada pembunuhan direncanakan terlebih dulu kedua hal itu terpisah

oleh suatu jangka waktu yang diperlukan guna berfikir secara tenang tentang

pelaksanaannya, juga waktu untuk memberi kesempatan guna membatalkan

pelaksanaannya. Direncanakan terlebih dulu memang terjadi pada seseorang

dalam suatu keadaan dimana mengambil putusan untuk menghilangkan jiwa

seseorang ditimbulkan oleh hawa nafsunya dan di bawah pengaruh hawa nafsu itu

juga dipersiapkan, sehingga dalam pelaksanaan nya pelaku akan lebih mudah
3

1
membunuh korban. Mengenai unsur dengan rencana terlebih dahulu, pada

dasarnya mengandung tiga unsur/ syarat:

1) Memutuskan kehendak dalam suasana tenang.


2) Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan
pelaksanaan kehendak.
2
3) Pelaksanaan kehendak ( perbuatan ) dalam suasana tenang.

Pembunuhan berencana mempunyai unsur-unsur, yang pertama unsur

subyektif yaitu dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu dan yang

kedua unsur obyektif terdiri atas, Perbuatan : menghilangkan nyawa, Obyeknya :

nyawa orang lain. Pembunuhan merupakan salah satu tindak kejahatan

pelanggaran hak asasi manusia karena teleh menghilangkan suatu hak dasar yang

melekat pada diri seseorang baik sebelum dilahirkan didunia maupun didalam

kandungan yaitu hak untuk hidup

Tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan

mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang

3
melanggar larangan tersebut. Dampak dari suatu kejahatan/pelanggaran adalah

pertanggungjawaban pidana, adapun definisi dari pertanggungjawaban pidana adalah

suatu yang dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap seseorang yang

melakukan perbuatan pidana atau tindak pidana. Manusia mempunyai hak untuk

hidup bahkan pelaku tindak pidana pembunuhan pun mempunyai hak untuk hidup.

Sanksi terberat pada kejahatan pembunuhan di Indonesia adalah hukuman mati

1
http://alexanderizki.blogspot.com/2011/03/analisis-pidana-atas-pembunuhan
pokok.html.diakses,pada tanggal 10 Desember 2019 pukul 20.30 Wib
2 http://id.wikipedia.org/wiki/pembunuhan_berencana,diakses pada tanggal 10 Desember 2019
pukul 20.30 wib
3 Roeslan saleh, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana. aksara baru, jakarta, 1981, hlm 80
4

terhadap pelaku pembunuhan. Terlihat jelas ada suatu perlindungan hukum yang

diberikan oleh negara untuk melindungi hak untuk hidup, akan tetapi pada pelaku

tindak pidana pembunuhan kebanyakan hanya dihukum lebih ringan dari ancaman

hukuman yang berlaku di negara kita ini.

Hukuman yang pantas untuk pelaku tindak pidana pembunuhan berencana yaitu

hukuman mati, sanksi terberat yang berlaku dalam suatu peraturan. Ketentuan

peraturan perundang-undangan yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana (KUHP) mengatur salah satu nya tentang tindak pidana

pembunuhan ini yang tertuang pada Pasal 338 sampai dengan Pasal 350. Ancaman

terberat pada tindak pidana kejahatan terhadap nyawa adalah pembunuhan

berencana yang tercantum pada Pasal 340 KUHP yang menyatakan:

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebidahulu merampas


nyawa orang lain,diancam karena pembunuhan dengan rencana,dengan
pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu
tertentu,paling lama dua puluh tahun”

Ketika merujuk pada pasal ini jelas ancaman hukuman maximal nya adalah

hukuman mati dan paling rendah yaitu selama waktu tertentu, paling lama dua

puluh tahun, namun pada kenyataan nya hal tersebut tidak terealisasi sebagai mana

aturan nya. Tindak pidana pembunuhan berencana, termasuk pula dalam masalah

hukum yang sangat penting untuk dikaji secara mendalam. Untuk itu penulis

memberikan sebuah Contoh Kasus pembunuhan berencana di bawah ini, sebagai

berikut:

Pertama, Pada tanggal 6 Januari 2016, Wayan Mirna Salihin, 27 Tahun,


meninggal dunia setelah meminum Kopi es Vietnam di Olivier Cafe, Grand
Indonesia. Saat kejadian, Mirna diketahui sedang berkumpul bersama kedua
temannya, Hani dan Jessica Kumala Wongso. Menurut hasil otopsi pihak
5

kepolisian, ditemukan pendarahan pada lambung Mirna dikarenakan


adanya zat yang bersifat korosif masuk dan merusak mukosa lambung.
Belakangan diketahui, zat korosif tersebut ditemukan oleh Pulslabfor Polri
di sampel kopi yang diminum oleh Mirna. Berdasarkan hasil olah TKP dan
pemeriksaan saksi, polisi menetapkan Jessica Kumala Wongso sebagai
tersangka. Jessica dijerat dengan pasal 340 KHUP tentang Pembunuhan
Berencana. Setelah melewati beberapa kali persidangan Jessica Kumala
Wongso pada akhirnya dituntut 20 Tahun penjara atas tindak pidana
pembunuhan yang diatur dalam Pasal 340 KUHP. Dalam tuntutannya,
jaksa menyebutkan bahwa Jessica diyakini terbukti bersalah meracuni
Mirna dengan menaruh racun sianida dengan kadar 5 gram. Jessica disebut
menutupi aksinya dengan cara meletakkan 3 kantong kertas di meja nomor
54. Maka pada tanggal 27 Oktober 2016, Jessica Kumala Wongso dijatuhi
4
vonis pidana penjara selama 20 Tahun.
Kedua Banda Aceh l Terdakwa kasus pembunuhan satu keluarga di
Gampong Mulia Banda Aceh beberapa waktu, Ridwan (22), didakwa
hukuman mati. Dakwaan itu dibacakan Jaksa Penuntut Umum (Jaksa)
Kejari Banda Aceh, Riki Febriandri Cs di Pengadilan Negeri (PN) Banda
Aceh, Selasa, (26/6/18). Dalam sidang yang dipimpin Majelis Hakim
Totok Yanuarto (ketua), terdakwa dihadirkan dan didampingi kuasa
hukum yang ditunjuk majelis hakim. "JPU mendakwa Ridwan dengan
pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman
hukuman mati, sesuai pasal 339 tentang pembunuhan disertai tindakan
pidana lain dengan ancaman seumur hidup atau 20 tahun dan Pasal 338
5
tentang pembunuhan dengan ancaman 15 tahun,"

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk membuat penelitian

berupa skripsi dengan judul “Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan

Berencana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)”

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka penulis membuat 3 (tiga)

permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Bagaimana Pengaturan Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan

Berencana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ?

4 Kasus Pembunuhan Berencana, Jessica Divonis 20 Tahun . CNN Indonesia, Diakses


tanggal 10 Desember 2019 pukul 20.30 Wib
5
https://modusaceh.co/news/terdakwa-kasus-pembunuhan-satu-keluarga-di-gampong-mulia-
didakwa-hukuman-mati/index.html,diakses pada tanggal 10 Desember 2019 pukul 20.30 Wib
6

b. Bagaimana Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Menurut

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)?

c. Bagaimana Sanksi Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan

Berencana?

2. Penjelasan Judul

Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap judul”Tindak Pidana Terhadap

Pelaku Pembunuhan Berencana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP)” maka penulis memberikan pengertian atas judul tersebut,

sebagaimana penulis jelaskan di bawah ini:

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-

undang, melawan hukum, yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan.

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan

perbuatan tersebut dengan pidana apabila ia mempunyai kesalahan, seseorang

mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatan dilihat dari segi

masyarakat menunjukan pandangan normatif mengenai kesalahan yang telah

6
dilakukannya.

Pengertian pembunuhan berencana di jelaskan dalam Pasal 340 Kitan Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi “Barangsiapa dengan sengaja dan

dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena

6
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia.
Jakarta.2001. hlm. 45
7

pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau

selama waktu tertentu dua puluh tahun.”

3. Tujuan Penulisan
a. Untuk Mengetahui Pengaturan Tindak Pidana Terhadap Pelaku

Pembunuhan Berencana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP).

b. Untuk Mengetahui Unsur-Unsur Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

c. Untuk Mengetahui Sanksi Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan

Berencana.

4. Metodologi Penelitian

a. Jenis Penelitian

Dalam membahas permasalahan di atas, Jenis Penelitian menggunakan

yuridis normatif, yuridis normatif adalah dengan mengkaji atau

menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum terutama

bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dengan memahami

hukum sebagai seperangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam

sistem Perundang-Undangan yang mengatur mengenai kehidupan

manusia.7

7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan Singkat”,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004, hlm. 14
8

b. Pendekatan Masalah

Dalam penelitian yuridis normatif ini dipergunakan pendekatan peraturan

Perundang-undangan (Statute Approach), di lakukan dengan menelaah

semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu

hukum yang sedang ditangani. Dan pendekatan konseptual (Conceptual

Approach), beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan

menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum.

Konsep-konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu

yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-

doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun

suatu argumentasi hukum dalam memecahkan isu hukum yang dihadapi.

c. Sumber Bahan Hukum

Sumber bahan hukum yang digunakan dalam penulisan skripsi ini

diperoleh dari:

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer dalam penelitian ini adalah berupa, Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Kitab

Undang-Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

2) Bahan Hukum Sekunder

Diperoleh studi kepustakaan yang relevan dengan pokok

permasalahan, yang terdiri literatur, serta pendapat atau opini para


9

pakar dan praktisi hukum yang ada di internet dan juga kumpulan

teori-teori hukum dari para pakar ilmu hukum

3) Bahan Hukum Tersier

Yang terdiri dari Kamus-kamus hukum serta karya ilmiah atau

ensiklopedia.

d. Prosedur Pengumpulan dan Pengolahan bahan Hukum

Prosedur pengumpulan bahan hukum primer diawali dengan pemahaman

atas norma hukum peraturan perundang- undangan yang mendukung.

Kemudian dilanjutkan dengan pengumpulan dan pengkajian terhadap

bahan hukum sekunder yaitu pendapat ahli hukum seperti yang tertuang

dalam literatur, buku, atau sumber lainnya, setelah dirasa cukup bahan-

bahan hukum dipilah-pilah sesuai dengan sistematika penulisan sehingga

diharapkan mendapat gambaran yang jelas dan konstruktif terhadap

permasalahan yang ada.

e. Analisis Bahan Hukum

Setelah bahan hukum diklasifikasikan, kemudian dilakukan analisa bahan

hukum dengan menggunakan penafsiran hu kum dan teori-teori hukum

yang relevan, kemudian ditarik kesimpulan secara deduktif. Berpangkal

dari peraturan perundang-undangan yang dijadikan dasar dalam penelitian

ini, kemudian dikaitkan atau diterapkan pada kasus-kasus berkenaan

dengan Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana

selanjutnya ditarik kesimpulan.


10

5. Pertanggungjawaban Sistematika

Penulisan skripsi ini terdiri dari 5 (lima) bab, antara bab satu dengan yang lain

saling berkaitan sehingga skripsi ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan.

Pada Bab 1 Pendahuluan Pada bab ini merupakan gambaran secara umum

mengenai masalah yang akan dibahas di dalamnya, diuraikan Latar Belakang,

Rumusan Masalah, Penjelasan Judul, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian dan

Pertanggungjawaban Sistematika.

Selanjutnya pada Bab II Pengaturan Tindak Pidana Terhadap Pelaku

Pembunuhan Berencana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP). Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana, Tindak Pidana Pembunuhan

Berencana, Teori Pemidananaan, Pengaturan Tindak Pidana Terhadap Pelaku

Pembunuhan Berencana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Pada Bab III Unsur-Unsur Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan

Berencana. Pada bab ini membahas tentang Tindak Pidana Kejahatan Terhadap

Nyawa Dalam (KUHP), Unsur-Unsur Tindak Pidana,

Pada Bab IV Sanksi Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan

Berencana. pada bab ini berisi Faktor-Faktor Pelaku Melakukan Pembunuhan

Berencana, Sanksi Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana

Pada Bab V Kesimpulan Dan saran pada bagian ini terdiri dari kesimpulan

dan saran, penulis mencoba menarik kesimpulan dan menjawab permasalahan

pokok yng diangkat dalam skripsi dan selanjutnya akan memberikan saran sebagai
11

hasil pemikiran penelitian yang dapat memecahkan permasalahan yang ada dan

diharapkan dapat dipergunakan pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan.

.
BAB II

PENGATURAN TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU

PEMBUNUHAN BERENCANA MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG

HUKUM PIDANA

1. Tinjauan Umum Tindak Pidana

A. Pengertian Tindak Pidana

Dalam sistem Perundang-undangan hukum pidana, tindak pidana dapat dibagi

menjadi dua golongan yaitu kejahatan (misdrijve) dan pelanggaran (overtrdingen).

Alasan pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran adalah jenis pelanggaran

lebih ringan dari pada kejahatan. Kedua istilah tersebut pada hakikatnya tidak ada

perbedaan yang tegas karena keduanya sama-sama delik atau perbuatan yang

boleh dihukum. Hal ini dapat diketahui dari ancaman pidana pada pelanggaran

tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan dan

denda, sedangkan kejahatan lebih didominasi dengan ancaman pidana penjara.

Secara kuantitatif pembuat Undang-undang membedakan delik kejahatan dan

8
pelanggaran sebagai berikut:

1) Pasal 5 KUHP hanya berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang merupakan

kejahatan di Indonesia. Jika seorang indonesia yang melakukan delik

diluar negeri yang digolongkan sebagai delik pelanggaran di indonesia,

maka dipandang tidak perlu dituntut.

8 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana. . Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hlm. 34

12
13

2) Percobaan dan membantu melakukan delik pelanggaran tidak dipidana.

3) Pada pemidanaan terhadap anak dibawah umur tergantung pada apakah itu

kejahatan atau pelanggaran

Berdasarkan penjelasan yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan

bahwa pelanggaran adalah:

1) Perbuatan yang bertentangan dengan apa yang secara tegas dicantumkan

dalam Undang-undang pidana.

2) Pelanggaran merupakan tindak pidana yang lebih ringan dari kejahatan

baik perbuatannya maupun hukumannya.

Dengan demikian suatu tindakan dinyatakan telah melanggar apabila hakikat

dari perbuatan itu menimbulkan adanya sifat melawan hukum dan telah ada aturan

dan atau telah ada Undang-undang yang mengaturnya. Walaupun perbuatan itu

telah menimbulkan suatu sifat yang melanggar hukum, namun belum dapat

dinyatakan sebagai suatu bentuk pelanggaran sebelum diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Sistem pemidanaan di Indonesia menurut pasal 10 KUHP berbunyi sebagai

9
berikut:

a. Pidana Pokok
1. Pidana Mati
2. Pidana Penjara
3. Kurungan.
4. Denda
b. Pidana Tambahan
1. Pencabutan Hak-hak Tertentu

9
Lamintan P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 1997,
hlm 23
14

2. Perampasan barang-barang Tertentu


3. Pengumuman putusan hakim

Dengan demikian hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain

yang dirumuskan dalam pasal 10 KUHP. Pidana dan tujuan penjatuhannya

merupakan dua faktor penting dalam hukum pidana. Dengan mengetahui dan

berpersepsi sama atas makna pidana dan tujuannya, maka dapat dicapai sasaran

yang dikehendaki dalam melakukan penegakan hukum pidana. Jadi, antara pidana

dan tujuan penjatuhannya mempunyai kaitan yang strategis, juga sifat dan bentuk

pidananya. Teori tujuan pemidanaan dalam literatur disebutkan berbeda-beda

namun secara subtansi sama. Teori-teori tujuan pemidanaan tersebut pada

umumnya ada 3 (tiga) teori yang sering di gunakan dalam mengkaji tentang tujuan

10
permidanaan yaitu:

1) Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Menurut teori absolut ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana

tidak boleh tidak tanpa tawar menawar. Seseorang mendapat pidana

karena telah melakukan kejahatan. Tidak dipedulikan, apakah dengan

demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa

lampau, tidak dilihat ke masa depan. Inilah dasar pembenar dari

penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Penjatuhan

pidana yang pada dasarnya penderitaan pada penjahat dibenarkan karena

penjahat telah membuat penderitaan bagi orang lain.

10 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta,2011, hlm.157-166.


15

2) Teori Relatif atau Teori Tujuan

Menurut teori ini, suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu

pidana. Untuk ini, tidaklah cukup adanya suatu kejahatan tetapi harus

dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau bagi

si penjahat sendiri. Teori relatif atau teori tujuan berpangkal pada dasar

bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam

masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat, dan untuk

menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.

3) Teori Integrative atau Teori Gabungan

Menurut teori penggabungan ini berdasarkan pidana pada asas pembalasan

dan asas pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu

menjadi dasar dari tujuan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan

menjadi dua golongan besar yaitu, sebagai berikut:

a) Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu

tidak boleh melampaui batas dari apa yang perlu dan cukup untuk dapat

dipertahankannya tata tertib masyarakat.

b) Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib

masyarakat, tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih

berat dari pada perbuatan yang dilakukan terpidana.


16

B. Unsur-Unsur Pidan

Dari rumusan tindak pidana yang terdapat dalam KUHP maka dapat diketahui

11
adanya 2 unsur tindak pidana yaitu:

1) Unsur perbuatan (unsur obyektif), yaitu:

a. Mencocoki rumusan delik.

b. Melawan hukum

c. Tidak ada alasan pembenar

2) Unsur pembuat (unsur subyektif), yaitu:

a. Adanya kesalahan terdiri dari dolus dan culpa

b. Dapat dipertanggungjawabkan

c. Tidak ada alasan pemaaf

Selain itu dalam unsur tindak pidana setidak-tidaknya dibagi menjadi 2 sudut

12
pandang, yakni:

1. Dari sudut pandang Teoritis

Teoritis artinya berdasarkan pendapat para ahli hukum, yang tercermin

pada bunyi rumusannya.

2. Dari sudut Undang-undang

Dari sudut undang-undang adalah kenyataan tindak pidana dirumuskan

menjadi tindak pidana tertentu dalam pasal perundang-undangan yang ada.

11 P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1997,hlm.43
12
Adami chazawi, pelajaran Hukum Pidana (Stetsel Pidana, TindakPidana, Teori-Teori
Pemidanaan & Batas Berlakunya Hkum Pidana), (Bagian Rja Grafindo Persada. 1 Jakarta 2002).
Hlm 23
17

13
Menurut menurut Moeljatno unsur tindak pidana adalah:
1. Perbuatan.

2. Yang dilarang (oleh aturan hukum);

3. Ancaman Pidana (yang melanggar larangan)

Meskipun rincian dari rumusan di atas tampak berbeda-beda, namun pada

hakikatnya ada persamaannya, yaitu tidak memisahkan antara unsur-unsur

mengenai perbuatannya maupun mengenai diri orangnya

2. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

Pembunuhan dengan rencana terlebih dahulu atau disingkat pembunuhan

berencana adalah pembunuhan yang paling berat ancaman pidananya dari seluruh

bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

rumusannya adalah :

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu


menghilangkan nyawa orang lain, dipidana karena pembunuhan dengan
rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama 20 tahun” .

Rumusan tersebut terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :

1) Unsur Subyektif:

a. dengan sengaja.

b. dan dengan rencana terlebih dahulu.

2) Unsur Obyektif:

a. Perbuatan: menghilangkan nyawa.

13 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana,


(Bina Aksara, Bandung).1983. hlm 21
18

b. Obyeknya: nyawa orang lain.

Pasal 340 dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur Pasal

338, kemudian ditambah dengan satu unsur lagi yakni “dengan rencana terlebih

dahulu”. Oleh karena itu, maka pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai

pembunuhan yang berdiri sendiri (een zelfstanding misdrifj) lepas dan lain dengan

pembunuhan biasa dalam bentuk pokok (Pasal 338).

Pada dasarnya pembunuhan berencana mengandung 3 unsur yaitu :

a. Memutuskan kehendak dalam susana tenang.

b. Ada tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan

pelaksanaan kehendak.

c. Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang.

Memutuskan kehendak dalam suasana tenang adalah pada saat memutuskan

kehendak untuk untuk membunuh itu dilakukan dalam suasana yang tenang, tidak

tergesa-gesa atau tiba-tiba, tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang tinggi.

Melainkan telah dipikirkan dan dipertimbangkan terlebih dahulu yang akhirnya

memutuskan kehendak untuk berbuat.

Ada tenggang waktu yang cukup antara sejak timbulnya kehendak sampai

pelaksanaan keputusan kehendaknya itu. Waktu yang cukup adalah relatif , tidak

terlalu singkat, karena jika telalu singkat tidak mempunyai kesempatan untuk

berpikir tapi juga tidak terlalu lama. Sebab, jika terlalu lama sudah tidak lagi

menggambarkan ada hubungan antara pengambilan putusan kehendak untuk

membunuh dengan pelaksanaan pembunuhan. Pelaksanaan pembunuhan secara


19

tenang maksudnya pada saat melaksanakan pembunuhan itu tidak dalam suasana

yang tergesa-gesa dan rasa takut yang berlebihan.

Ancaman Pidana terhadap pembunuhan yang direncanakan (moord) ini lebih

berat jika dibandingkan dengan pembunuhan dalam Pasal 338 maupun 339, yaitu

pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun. Pasal 340

dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur Pasal 338, maka

pembunuhan berencana dapat dianggap sebagai pembunuhan yang berdiri sendiri

(een zelfstanding missdrijf) lepas dan lain dengan pembunuhan biasa salam bentuk

14
pokok.

3. Pengaturan Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana

Indonesia merupakan negara hukum yang dimana seharusnya hal tersebut

mampu memberikan perlindungan dan kepastian, serta keadilan didalam hukum

itu sendiri. Hal ini telah dinyatakan didalam Pasal 1 ayat (3) perubahan ke-4 UUD

1945 bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Tidak dapat dipungkiri hal

mengenai penegakan hukum merupakan bagian yang rapuh di Negara Indonesia.

Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya tingkat kriminalitas yang terjadi di

seluruh wilayah Indonesia. Hal itu menjadi tantangan bagi para pelaku Penegakan

hukum terutama dalam hal memutuskan penjatuhan sanksi pidana oleh hakim.

Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh

UndangUndang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Hakim di dalam

menjalankan tugas dan fungsinya wajib menjaga kemandirian peradilan (Pasal 3 (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Hakim

14 R.soesilo, Kitab Undang-Undang Pidana ,politea,Bogor,1995,hlm 249


20

dan Undang- undang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Seorang

hakim harus mampu memberikan setiap keadilan yang sama di mata hokum. Hakim

dianggap sebagai wakil Tuhan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang

menyatakan bahwa “Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa”. Dalam memutus suatu perkara hakim dituntut harus bersikap adil agar

hukum berjalan dengan baik sesuai dengan apa tujuan dari hukum tersebut yaitu

adanya kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum.

Di Indonesia akhir-akhir ini makin marak tindak kejahatan, salah satunya

kejahatan pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa seseorang. Pembunuhan

merupakan suatu tindakan menghilangkan nyawa orang lain, karena pembunuhan

biasa, dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Pembunuhan juga merupakan suatu perbuatan jahat yang dapat mengganggu

keseimbangan hidup, keamanan, ketentraman, dan ketertiban dalam pergaulan

hidup bermasyarakat.

Pembunuhan secara yuridis diatur dalam Pasal 338 KUHP yang menyatakan

bahwa “Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang, karena

pembunuhan biasa, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima belas

tahun”.

Berdasarkan peristiwa ini perlu dibuktikan suatu perbuatan yang mengakibatkan

kematian orang lain, dan kematian itu memang disengaja. Apabila kematian itu tidak

disengaja, tidak dikenakan pasal 338 KUHP, melainkan misalnya dikenakan Pasal

359 (karena kurang hati-hatinya, menyebabkan matinya orang


21

lain), atau Pasal 353 sub 3 (penganiayaan dengan dierencanakan terlebih dahulu,

mengakibatkan matinya orang lain) atau Pasal 354 sub 2 (penganiayaan

beratmengakibatkan matinya orang lain) atau Pasal 355 sub 2 (penganiayaan berat

dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan matinya orang lain). Untuk

dapat dituntut menurut pasal 338 KUHP, pembunuhan harus dilakukan dengan

segera setelah timbul maksud, dan tidak dipikir pikir lebih lama.

Namun realitannya, walaupun sudah ada sanksi yang cukup tegas di

Indonesia, tetapi masih sering terjadinya tindak pembunuhan. Hal tersebut

menjadi suatu keprihatinan bahwa hukum yang ada dan ditegakkan oleh para

penegak hukum yang dipilih oleh negara belum mampu memberikan efek jera

bagi pelaku tindak pidana. Pembunuhan juga dapat terjadi di lingkungan keluarga

seperti halnya seorang suami membunuh seorang istri karena dilandaskan dendam

semata atau seorang ayah yang membunuh anaknya sendiri.

Di lingkungan keluarga, suami dan istri seharusnya hidup harmonis. Dalam

praktek sering terjadi konflik dalam rumah tangga, yang berujung pada

pembunuhan. Konflik tersebut terjadi karena beberapa faktor, salah satunya

adalah adanya wanita idaman lain atau pria idaman lain di dalam hubungan rumah

tangga, yang menyebabkan amarah seseorang yang tidak dapat terkontrol dan

dapat melakukan tindak pembunuhan dalam keluarga. Secara umum, pembunuhan

diatur dalam KUHP Pasal 338-340, Pembunuhan dan Kekerasan dalam lingkup

rumah tangga secara khusus tidak diatur dalam KUHP.

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan

terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo
22

et bono) dan mengandung kepastian hukum, disamping itu juga mengandung

manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini

harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Putusan hakim seyogyanya

konsisten dan disparitasnya tidak terlalu besar dalam memutus perkara yang

serupa termasuk dalam putusan tindak pidana pembunuhan.

Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terutama rumusan yang

mencantumkan “direncanakan” sebagai unsur tindak pidana. Ketentuan pidana

dimaksud adalah terdapat dalam Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal tersebut, rumusannya sebagai berikut : Barangsiapa yang dengan sengaja

dan dengan rencana terlebih dahulu merampas jiwa orang lain, karena melakukan

pembunuhan berencana, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur

hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun. Dalam rumusan delik ini dapat

disimpulkan unsur-unsur adalah

a. Barangsiapa

b. Dengan sengaja dan rencana terlebih dahulu.

c. Merampas jiwa orang lain.

Delik yang memenuhi ketiga unsur ini diberi nama atau kwalitas pembunuhan

berencana. Rumusan delik ini, merupakan bentuk lain atau bentuk khusus dari

delik atau kejahatan terhadap nyawa yang biasa atau umum ialah pembunuhan

yang dirumuskan pada pasal 38 KUHPidana sebagai berikut :

“Barangsiapa yang dengan sengaja merampas jiwa orang lain, karena


melakukan pembunuhan, diancam dengan pidana penjara maksimal 15
(lima belas) tahun”
23

S. R. Sianturi memberikan pendapatnya sebagai berikut : Pasal 336 ini pada

dasarnya adalah tolok ukur dari seluruh kejahatan yang diatur pada pasal 339 s.d

349. Artinya pada pasal-pasal berikutnya selaku harus ternyata ada orang lain

yang terbunuh, namun ada hal atau keadaan lain yang dipandang memberatkan

atau meringankan. Hal yang memberatkan itu dapat berupa tindak pidana lainnya

atau adanya rencana terlebih dahulu. Sedangkan yang meringankan itu dapat

terjadi karena sesuatu yang mempengaruhi subyek atau objeknya, misalnya itu

masih berupa janin atau baru saja lahir ataupun karena kehendak dari objek itu

sendiri. Karenanya apabila hal-hal yang memberatkan atau meringankan itu tidak

ada maka selalu dapat dikembalikan kepada pasal 338 Dasar dari pada semua

tindak pidana pembunuhan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana adalah

pasal 338, yang unsur pokoknya ialah :

a. Barang siapa.

b. Dengan Sengaja.

c. Merampas jiwa orang lain Hakekat tindak pidana pembunuhan adalah

dengan sengaja merampas nyawa orang lain atau merampas jiwa orang

15
lain.

“Adanya bentuk-bentuk lain dari tindak pidana pembunuhan, bukan terletak

pada hakekatnya tetapi pada keadaan-keadaan tertentu baik pada cara melakukan

perbuatan maupun pada objek perbuatan.”

15 S. R. Sianturi Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni A. H. M. HM, Jakarta,


1983 hlm. 489.
24

Pada cara melakukan perbuatan keadaan khususnya adalah adanya unsur

berencana, sedangkan pada pembunuhan anak keadaan khusus adalah pada objek

ialah seorang anak yang baru lahir. Adanya unsur sengaja dikatakan : unsur sengaja

meliputi tindakannya dan objeknya. Artinya ia mengetahui dan menghendaki matinya

seseorang dengan tindakannya itu. Mengenai unsur kesengajaan ini dikatakan: Dalam

kepustakaan pada umumnya diakui ada tiga corak kesengajaan:

(1) kesengajaan sebagai maksud.

(2) kesengajaan sebagai keharusan dan

(3) kesengajaan sebagai kemungkinan.

Dalam kesengajaan sebagai maksud perbuatan itu disengaja karena memang

maksud untuk mencapai suatu tujuan. Corak kesengajaan sebagai keharusan ada

apabila perbuatan yang dilakukan itu bukanlah yang dimaksud, tetapi untuk

mencapai yang dimaksud itu harus melakukan perbuatan itu pula. Jalan yang

dimaksud melalui perbuatan tersebut. dalam kesengajaan sebagai kemungkinan

saja. kalau orang melakukan perbuatan yang dimaksud dengan tidak takut akan

kemungkinan dilakukannya pula suatu perbuatan pidana, maka dikatakan

16
perbuatan pidana itu dilakukan dengan kesengajaan sebagai kemungkinan.

16 Ewis Meywan Batas Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Menurut Pasal 340 Kitab
Undang-undang Hukum Pidana, Jurnal Hukum Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016
BAB III

UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU

PEMBUNUHAN BERENCANA

1. Tindak Pidana Kejahatan Terhadap Nyawa dalam KUHPidana

Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, terutama rumusan yang

mencantumkan “direncanakan” sebagai unsur tindak pidana. Ketentuan pidana

dimaksud adalah terdapat dalam Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

Pasal tersebut, rumusannya sebagai berikut : Barangsiapa yang dengan sengaja

dan dengan rencana terlebih dahulu merampas jiwa orang lain, karena melakukan

pembunuhan berencana, diancam dengan pidana mati, pidana penjara seumur

hidup atau sementara maksimum dua puluh tahun.

Dalam rumusan delik ini dapat disimpulkan unsur-unsur adalah :

a. Barangsiapa.

b. Dengan sengaja dan rencana terlebih dahulu.

c. Merampas jiwa orang lain.

Delik yang memenuhi ketiga unsur ini diberi nama atau kwalitas pembunuhan

berencana. Rumusan delik ini, merupakan bentuk lain atau bentuk khusus dari

delik atau kejahatan terhadap nyawa yang biasa atau umum ialah pembunuhan

yang dirumuskan pada pasal 38 KUHPidana sebagai berikut : “Barangsiapa yang

dengan sengaja merampas jiwa orang lain, karena melakukan pembunuhan,

diancam dengan pidana penjara maksimal lima belas tahun”.

25
26

S. R. Sianturi, SH memberikan pendapatnya sebagai berikut :

Pasal 336 ini pada dasarnya adalah tolok ukur dari seluruh kejahatan yang
diatur pada pasal 339 s.d 349. Artinya pada pasal-pasal berikutnya selaku
harus ternyata ada orang lain yang terbunuh, namun ada hal atau keadaan
lain yang dipandang memberatkan atau meringankan. Hal yang
memberatkan itu dapat berupa tindak pidana lainnya atau adanya rencana
terlebih dahulu. Sedangkan yang meringankan itu dapat terjadi karena
sesuatu yang mempengaruhi subyek atau objeknya itu masih berupa janin
atau baru saja lahir ataupun karena kehendak dari objek itu sendiri.
Karenanya apabila hal-hal yang memberatkan atau meringankan itu tidak
17
ada maka selalu dapat dikembalikan kepada pasal 338 ini.

Dasar dari pada semua tindak pidana pembunuhan dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana adalah pasal 338, yang unsur pokoknya ialah :

a. Barangsiapa
b. Dengan sengaja.
c. Merampas jiwa orang lain.

Hakekat tindak pidana pembunuhan adalah dengan sengaja merampas nyawa

orang lain atau merampas jiwa orang lain.

Adanya bentuk-bentuk lain dari tindak pidana pembunuhan, bukan terletak pada

hakekatnya tetapi pada keadaan-keadaan tertentu baik pada cara melakukan

perbuatan maupun pada objek perbuatan.

2. Unsur-Unsur Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

Pembunuhan merupakan salah satu tindakan untuk menghilangkan nyawa

seseorang baik dengan cara melanggar hukum maupun dengan cara tidak

melanggar hukum, hakikat dari tindak pidana pembunuhan yaitu dengan sengaja

merampas nyawa orang lain atau dapat disebut juga menyebabkan orang lain

17 R. Sianturi, SH : Tindak Pidana di KUHP berikut uraiannya, Alumni AHM. PT. HM.
Jakarta, 1983, hal. 489.
27

18
kehilangan nyawanya. tindak pidana pembunuhan dapat dilihat pengaturannya

pada Pasal 338 sampai Pasal 350 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Adanya perbedaan bentuk-bentuk dari tindak pidana pembunuhan bukan terletak

kepada hakikatnya, melainkan pada keadaan-keadaan tertentu baik terhadap

keadaan-keadaan tertentu maupun terhadap cara melakukan perbuatan tersebut

dan objek dari perbuatannya.

Terhadap tindak pidana pembunuhan berencana, hal tersebut diatur didalam

Pasal 340 KUHP yang menyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan dengan

rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena

pembunuhan dengan rencana dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau

selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

Pada dasarnya, rumusan didalam Pasal 340 KUHP tersebut sama dengan pasal

338 KUHP, namun perumusannya ditambah lagi dengan satu delik bagian inti yakni

direncanakan terlebih dahulu (met voorbedachte rade). Adanya tindak pembunuhan

berencana dimaksudkan oleh para pembuat undang-undang sebagai pembunuhan

bentuk khusus yang memberatkan, dimana rumusan pada kata khusus tersebut

dicantumkan pada kata “pembunuhan yang dilakukan dengan rencana terlebih

dahulu”. Penjelasan terhadap apa yang dimaksud dengan “direncanakan terelebih

dahulu” dapat dilihat pada Memorie van Toelichting (MvT) yang menyatakan bahwa

istilah met voorbedachte rade atau “direncanakan terlebih dahulu” menunjuk kepada

19
suatu saat untuk mempertimbangkannya dengan tenang.

18
Ewis Meywan Batas, Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Menurut Pasal 340 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana, Jurnal Lex Crimen, Vol. V/No.2,Februari, 2016, hal.11
19 Tongat, Hukum Pidana Materiil Tinjauan Atas Tindak Pidana Terhadap Subyek Hukum
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm.23.
28

Adanya jangka waktu yang panjang atau pendek dalam memutuskan

perencanaannya bukan merupakan suatu kriteria bagi “direncanakan terlebih

dahulu”, akan tetapi jangka waktu tersebut harus ada untuk menetapkan apakah

orang yang melakukan tindak pidana pembunuhan berencana tersebut setelah ada

dalam keadaan dapat berfikir telah memikirkan arti dan akibat-akibat yang

ditimbulkan dari perbuatan yang dimaksudkan. Adanya suatu hal dimana pelaku

dapat memikirkan pikiran yang tenang guna merencanakan segala sesuatunya

merupakan pemenuhan unsur tindak pidana pembunuhan berencana.

Tidak diperlukannya tneggang waktu yang lama antara waktu merencanakan dan

waktu melakukan perbuatan menghilangkan nyawa orang lain. Hal tersebut

20
bergantung kepada keadaan konkret dari setiap peristiwa yang terjadi. Sehingga

dapat disimpulkan bahwa tindak pidana pembunuhan yang direncanakan adalah

pembunuhan yang terlebih dahulu berpotensi terjadi karena adanya tenggang waktu

yang tidak terlalu sedikit antara kehendak atau niat dengan pelaksanaan perbuatan

menghilangkan nyawa orang lain. Tenggang waktu tersebut seharusnya menjadi

peluang untuk pelaku untuk berfikir kembali mengenai berbagai kemungkinan dalam

melaksanakan tindak pidana. Pasal 340 KUHP atau pasal pembunuhan berencana

dirumuskan dengan cara mengulang kembali seluruh unsur Pasal 338 KUHP atau

pasal pembunuhan, kemudian ditambah dengan satu unsur lagi yaitu “dengan

rencanan terlebih dahulu”. Oleh karena itu, maka pembunuhan berencana dapat

dianggap sebagai kejahatan pembunuhan yang berdiri sendiri, lepas dan lain dengan

pembunuhan biasa dalam bentuk pokoknya yaitu Pasal 338 KUHP. Untuk

20
Moeljanto, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm123.
29

memenuhi unsur-unsur pembunuhan berencana, pada rumusan didalam ketentuan

pidana yang direncanakan terlebih dahulu sebagaimana dimaksud dalam pasal 340

21
KUHP harus memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

a. Unsur Subjektif

1) Dengan sengaja atau opzettelijk.

2) Direncanakan terlebih dahulu atau Voorbedachte raad

b. Unsur Objektif

1) Menghilangkan atau behoven.

2) Nyawa atau leven.

3) Orang lain atau een ander

Unsur dengan sengaja atau opzettelijk mengandung makna bahwa perbuatan

tersebut telah dikehendaki (telah ada niat) dari pelaku dan mengetahui akibat dari

perbuatan tersebut, atau dalam pengertian lain yaitu setiap perbuatannya telah

disadari oleh pelaku. Sedangkan dalam unsur direncanakan terlebih dahulu, unsur

perencanaan dapat diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan dengan terdapat

jarak waktu yang cukup atau masih memiliki kesempatan untuk melanjutkan atau

22
membatalkan niat untuk melakukan perbuatan tersebut.

Unsur objektif mengandung Perbuatan menghilangkan nyawa, yang dimana

objeknya adalah orang lain. Pembunuhan berencana adalah suatu pembunuhan

biasa seperti yang tertuang dalam pasal 338 KUHP yang dilakukan dari niat, dan

rencana pembunuhan tersebut dilaksanakan pada saat niat itu timbul, dalam

21
P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, Kejahatan Terhadap Nyawa, Tubuh, dan Kesehatan,
Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 52.
22
Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Tubuh Dan Nyawa, Rajawali Pers, Depok, 2017, hlm 83
30

pembunuhan tersebut dapat mengambil keputusan bahwa mengilangkan nyawa

seseorang itu timbul dari hawa nafsu. Adanya tegang waktu dari sejak

dipertimbangkan dan diputuskan keputusan untuk membunuh dan

melaksanakannya. Lama waktunya tidak tergantuk pada waktu yang tertentu

melainkan bergantung pada keadaan atau kejadian yang berlaku

3. Unsur-Unsur Keikutsertaan Dalam Melakukan Tindak Pidana

Pembunuhan Berencana

Untuk menentukan unsur keikutsertaan dalam Tindak pidana pembunuhan

berencana perlu kiranya untuk membahas terlebih dahulu siapa saja yang dapat

didakwa dalam tindak pidana pembunuhan berencana. Dari kata “barang siapa”

dalam awal rumusan, dapat diketahui bahwa yang dapat menjadi pelaku tindak

pidana adalah orang atau manusia sebagai subjek hukum. Berdasarkan teori ada

dua mengenai orang yang dapat dikatakan sebagai pelaku yaitu aequialentieleer

dan adaequate caualiteitsleer

Pada paham aequialentieleer, yang dihubungkan dengan pasal 55 dan pasal 56

KUHP yang isinya mengatue tentang daderschap dan deelneming, yang

menjelaskan:

a. Melakukan (pleger)

Pleger yaitu pelaku tindak pidana yang melakukan perbuatannya sendiri,

baik memakai alat maupun tidak melakukan alat. Misalnya terhadap orang

yang melakukan pembunuhan atas perintah dari yang menyuruh dalam

melakukan pembunuhan sehingga terjadi pembunuhan berencana.

Berdasarkan dari yang melakukan pembunuhan tersebut tidak tahu dari inti
31

permasalahan yang timbul, dan pelaku pleger tersebut melakukannya atas

dari suruhan dari orang lain.

b. Menggerakkan (uitlokker)

Uitlokker yaitu setiap orang yang menggerakkan atau membentuk orang

lain untuk melakukan suatu tindak pidana. Istilah “menggerakkan”

merupakan pelaku yang menggerakkan dalam pelaksanaan sebelum

pembunuhan tersebut terjadi. Dalam menggerakan suatu tindak pidana

pembunuhan berencana yang dirancang bagaimana setrategi untuk

melaksanakan pembunuhan itu kanan dilakukan

c. Membantu Melakukan (medeplichtige)

Membantu melakukan dalam pelaksanaan pembunuhan yang dimana

dalam melakukannya lebih dari 1 orang. Dalam pelaksanaan pembunuhan

berencana tersebut ada orang yang ikut serta atau terlibat secara langsung

bersama pelaku dalam melakukan suatu tindak pidana atas rekrutmen dari

dalang dari pelaku pembunuhan tersebut.

Dari penjelasan dari istilah aequialentieleer menerangkan bahwa dari seluruh

keseluruhan pelaku dapat dipandang bahwa yang dilakukan tersebut dapat

disimpulkan melakukan tindak pidana pembunuhan berencana. Sedangkan Pada

paham adaequate caualiteitsleer, dimana mereka berpendapat yang dapat dipandang

sebagai penyebab dari suatu akibat hanyalah prilaku-prilaku yang secara wajar atau

layak dipandang sebagai tindakanyang dapat menimbulkan suatu akibat. Sehingga,


32

mereka yang melakukan tindakan serta perilakunya dapat dipandang sebagai

akibat timbul sebagai pelaku tindak pidana.

Apabila kita melihat dari rumusan tersebut, unsur terhadap kesengajaan terletak

dari unsur lainnya yang berarti bahwa semua unsur terletak pada kesengajaan,

berdasarkan dari unsur kesengajaan dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:

1) Kesengajaan sebagai maksud.

2) Kesengajaan sebagai kepastian.

3) Kesengajaan sebagai kemungkinan

Secara eksplisit, pada tindak pidana penyertaan (deelneming) terdapat dua

bagian unsur yang diantaranya unsur objektif dan unsur subjektif. Adapun

penjelasan terhadap kedua unsur tersebut yakni:

a. Unsur objektif

Dimana dalam pelaksanaannya menganjurkan terhadap orang lain

melakukan perbatan tindak pidana, dengan menggunakan cara

1) Memberikan sesuatu.

2) Menjanjikan sesuatu

3) Menyalah gunakan kekuasaan

4) Menyalah gunakan martabat.

5) Dengan kekerasan.

6) Dengan ancaman.

7) Dengan penyesatan.

8) Dengan memberi kesempatan.

9) Dengan memberi saran.


33

10) Dengan memberikan keterangan

b. Unsur subjektif

Suatu tindakan atau perlakuan seseorang atau sekelompok orang yang

melakukan suatu tindak pidana berdasarkan kesengajaan untuk berbuat,

yakn:

1) Adanya hubungan batin (kesengajaan) dengan tindak pidana yang

hendak diwujudkan, artinya kesengajaan dalam berbuat membuat arah

untuk melakukan tindak pidana, disini sedikit atau banyak ada

kepentingan untuk terwujudnya tindak pidana.

2) Ada hubungan batin (kesengajaan, seperti mengetahui) antara dirinya

dengan peserta yang lainnya dan bahkan dengan apa yang diperbuat oleh

peserta lainnya dalam melakukan tindak pidana pembunuhan

berencana tersebut.

Dalam unsur pertama, perbuatan dimana kawan berbuat tidak langsung

memberi bagian dalam pelaksanaannya, tidak diperlukan harus selesai dan juga

tidak diperlukan bahwa perbuatan asli harus dihukum pula. Unsur kedua, dengan

persepakatan, hasutan dan pantuan dimaksud oleh kawan berbuat tidak langsung

untuk terjadinya perbuatan tertentu. Kalau tidak ada perbuatan tertentu yang

dimaksudkan maka dianggap turut berbuat pada setiap perbuatan yang terjadi,

apabila dimungkinkan oleh niatnya. Unsur ketiga turut berbuat langsung bisa

terjadi dengan jalan:

a) Persepakatan
34

Persepakatan bisa terjadi karena adanya saling memahami dan karena

kesamaan kehendak untuk membuat pidana. Kalau ada persepakatan

sebelumnya, maka tidak ada turut berbuat. Jika tidak ada turut berbuat

maka tidak ada persepakatan sebelumnya, tetapi bukan atas perbuatan

yang terjadi dalam perlakuan kejahatan bersama.

b) Menyuruh

Yang dimaksud dengan menyuruh adalah membujuk orang lain untuk

berbuat kejahatan, dan bujukan itu menjadi pendorong untuk diberbuatnya

kejahatan walapun tidak ada bujukan atau hasutan maka bujukan tersebut

tidak dikatakan sebagai pendorongnya. Baik bujukan tersebut sebagai

pengaruh terjadinya perlakukan tindak pidana sehingga dijatuhi hukuman

pidana.

c) Memberi bantuan

Orang yang memberikan bantuan kepada orang lain dalam memperbuat

kejahatan dianggap sebagai kawan dalam pelaksanaan tindak pidana.

Meskipun Berdasarkan uraian di atas kiranya dapat kita simpulkan

perbedaan mendasar dari “turut melakukan” tindak pidana dengan

“membantu melakukan” tindak pidana. Dalam “turut melakukan” ada

kerja sama yang disadari antara para pelaku dan mereka bersama-sama

melaksanakan kehendak tersebut, para pelaku memiliki tujuan dalam

melakukan tindak pidana tersebut. Sedangkan dalam “membantu

melakukan”, kehendak dari orang yang membantu melakukan hanyalah


35

untuk membantu pelaku utama mencapai tujuannya, tanpa memiliki tujuan

sendiri.

Motif atau motivasi dipakai untuk menunjukkan suatu keadaan dalam diri

sesorang yang berasal dari adanya suatu kebutuhan yang mengaktifkan atau

membangkitkan perilaku untuk memenuhi kebutuhan. Motif dapat diartikan

sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Motif

dapat dikatakan sebagai daya penggerak dari dalam dan di dalam subjek untuk

melakukan aktifitas-aktifitas tertentu demi mencapai suatu tujuan. Bahkan motif

dapat dikatakan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan).

Selain unsur-unsur tersebut, unsur motif juga merupakan hal yang mendorong

seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan atau alasan seseorang. Motif dalam

kaitannya dengan Kejahatan berarti dorongan yang terdapat dalam sikap batin

pelaku untuk melakukan kejahatan. Dalam kriminologi (diluar konteks hukum

pidana), dikenal bermacam-macam motif kejahatan, bahkan ada kriminolog yang

mengelompokkan kejahatan berdasarkan motif pelaku, seperti yang dikemukakan

oleh Bonger menggolongkan (mengklasifikasi) kejahatan dalam empat golongan

yaitu: kejahatan ekonomi (Pencurian, perampokan, penipuan dan lain-lain),

kejahatan seksual (Misalnya perkosaan, penyimpangan seksual dan sebagainya),

Kejahatan kekerasan (seperti penganiayaan, pembunhan.), dan kejahatan politik

seperti makar untuk menggulingkan pemerintahan atau pemberontakan.

Dalam tindak pidana pembunuhan berencana, motif dilakukannya kejahatan

perlu dibuktikan, karena motif harus selalu dijelaskan dalam tindak pidana. Namun

itu tergantung kepada teknik pembuktian, apabila motif dalam kasus tertentu
36

ternyata tidak dapat digali, yang menjadi pertanyaan apabila profesionalisme

proses penyidikannya tidak dapat digali, maka motif apa yang hendak digunakan

dalam penyidikan.

Kemudian bagaimana menetapkan bentuk dari keikutsertaan para Terdakwa

dalam melakukan kejahatan tersebut? Karena hubungan dari para peserta terhadap

perbuatan kejahatan dapat mempunyai berbagai macam bentuk, maka ajaran dari

penyertaannya berpokok kepada “menentukan pertanggungjawaban terhadap

pelaku tindak pidana yang telah dilakukan”. Disamping menentukan

pertanggungjawaban dari penyertaanya, ajaran dalam penyertaan tindak pidana

juga mempersoalkan peranan atau hubungan dari tiap-tiap pelaku dalam suatu

pelaksanaan tindak pidana, sumbangan apa yang telah diberikan oleh para pelaku

tindak pidana dalam menyelesaikan aksi kejahatannya tersebut.

Dalam tindak pidana penyertaan, masalah penyertaan dalam melakukan

kejahatan dapat dibagi menurut sifatnya pada:

1) Bentuk Penyertaan Berdiri Sendiri.

Bentuk penyertaan yang berdiri sendiri ini adalah mereka yang melakukan

dan yang turut serta melakukan tindak pidana. Pertanggungjawaban

masing-masing pelaku dapat dinilai atau dihargai sendiri-sendiri atas

segala perbuatan atau tindakan kejahatan yang dilakukan.

2) Bentuk Penyertaan yang Tidak Berdiri Sendiri

Dalam bentuk penyertaan yang tidak berdiri sendiri disini adalah pembujuk,

pembantu dan orang yang menyuruh untuk melakukan suatu tindak pidana.
37

Pertanggungjawaban dari pelaku yang satu digantungkan kepada perbuatan

23
pelaku yang lainnya.

23 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pres, Jakarta, 2014, hlm 30.
BAB IV

SANKSI TINDAK PIDANA TERHADAP PELAKU PEMBUNUHAN

BERENCANA

1. Faktor-Faktor Pelaku Melakukan Pembunuhan Berencana

Menurut Pasal 338 Kitab UndangUndang Hukum Pidana menjelaskan bahwa

definisi dari pembunuhan adalah suatu perbuatan yang dengan sengaja

menhilangkan nyawa orang lain, karena bersalah telah melakukan “pembunuhan”

dipidana dengan pidana penjara selamalamanya lima belas tahun”. Dikatakan

melakukan tindak pidana pembunuhan dengan kesengajaan, adalah apabila orang

tersebut memang menghendaki perbuatan tersebut, baik atas kelakuan maupun

akibat atau keadaan yang timbul karenanya. Namun juga mungkin tidak

dikehendaki sama sekali oleh pelakunya. Pembunuhan yang direncanakan lebih

dahulu (Moord). Kejahatan ini diatur dalam pasal 340 KUHP, yang pada pokok

isinya adalah sebagai berikut:

”Barang siapa yang dengan sengaja dan dengan rencana lebih dahulu
merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan dengan rencana
(Moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.”

Adapun yang menjadi unsur-unsur dari kejahatan yang direncanakan terlebih

dahulu (Moord) ialah:

a. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja.

b. Perbuatan tersebut harus dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu.

38
39

c. Perbuatan tersebut dimaksud untuk menimbulkan matinya orang lain.

Maksud direncanakan di sini, adalah antara timbulnya maksud untuk

membunuh dengan pelaksanaan itu, masih ada tempo bagi si pembuat

untuk dengan tenang memikirkan dengan cara bagaimanakah pembunuhan

itu dilaksanakan.

Terdapat sejumlah teori pada ilmu kriminologi yang dapat dikelompokkan ke

dalam faktorfaktor yang menyebabkan seseorang melakukan kejahatan

pembunuhan berencana dengan mutilasi. Penulis menggunakan teori yang

dikemukakan oleh C.S.T Kansil dan berdasarkan teori psikologi kriminal, yaitu:

1) Motivasi Intrinsik yaitu:

a. Faktor kebutuhan ekonomi yang terdesak.

b. Faktor intelligence.

c. Faktor usia.

d. Faktor jenis kelamin

2) Motivasi Ekstrinsik (Ekstern), yaitu:

a. Faktor pendidikan.

b. Faktor pergaulan.

c. Faktor lingkungan.

d. Faktor Pekerjaan.

e. Faktor Lemahnya Sistem Keamanan Lingkungan Masyarakat.

Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan pembunuhan berdasarkan teori

psikologi kriminal meliputi:


40

1) Personality characteristic (sifat- sifat kepribadian)

Empat alur penelitian psikologis yang berbeda telah menguji hubungan

antara kepribadian dengan kejahatan:

a. Melihat pada perbedaanperbedaan antara struktur kepribadian dari

penjahat dan bukan penjahat.

b. Memprediksi tingkah laku.

c. Menguji tingkatan di mana dinamika-dinamika kepribadian normal

beroperasi dalam diri penjahat.

d. Mencoba menghitung perbedaan-perbedaan individual antara tipe-tipe

dan kelompok-kelompok pelaku kejahatan. Berdasarkan teori ini

kemungkinan untuk dilakukannya sebuah kejahatan mutilasi yaitu

dapat terjadi karena sifat-sifat kepribadian dari seseorang

2) Teori Psikoanalisa

Teori psikoanalisa tentang kriminalitas menghubungkan delinquent dan

perilaku criminal dengan suatu “conscience” yang baik dia begitu

menguasai sehingga menimbulkan perasaan dorongan-dorongan si

individu, dan bagi suatu kebutuhan yang harus dipenuhi segera.

3) Personality Traits

Dewasa ini penyakit mental tadi disebut antisocial personality atau

psychopathy sebagai suatu kepribadian yang ditandai oleh suatu

ketidakmampuan belajar dari pengalaman, kurang ramah, bersifat cuek, dan

tidak pernah merasa bersalah. Pencarian/penelitian personality traits (sifat

kepribadian) telah dimulai dengan mencoba menjelaskan kecakapan mental


41

secara biologis. Feeblemindedness (lemah pikiran), insanity (penyakit

jiwa), stupidity (kebodohan), dan dull-wittednes (bodoh) dianggap

diwariskan.

4) Moral Development Theory Teori perkembangan moral tumbuh

preconventional stage atau tahap pra-konvensional. Disini aturan moral dan

nilai-nilai moral anak terdiri atas “lakukan” dan “jangan lakukan” untuk

menghindari hukuman. Menurut teori ini, anak-anak di bawah umur 9 tahun

hingga 11 tahun biasanya berpikir pada tingkatan pra-konvensional ini.

kebutuhan akan kehangatan dan kasih sayang sejak lahir dan konsekuensinya

jika tidak mendapat hal itu. Remaja biasanya berfikir pada conventional law

(tingkatan konvensional). Pada tingkatan ini seorang

individu meyakini dan mnegadopsi nilai-nilai dan aturan masyarakat.

24
Lebih jauh lagi, mereka berusaha menegakkan aturan itu.

Kriminologi memberikan penjelasan mengenai sebab-sebab orang melakukan

kejahatan yakni :

1) Pendapat bahwa kriminalitas itu disebabkan karena pengaruh yang

terdapat diluar diri pelaku.

2) Pendapat bahwa kriminalitas merupakan akibat dari bakat jahat yang

terdapat di dalam diri pelaku sendiri.

24 Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial Tarsito, Bandung, 1981, hlm 41.
42

Pendapat yang menggabungkan bahwa kriminalitas itu disebabkan baik karena

25
pengaruh diluar pelaku maupun sifat atau bakat si pelaku. Menurut Sugi

Baurkes menyatakan bahwa pembunuhan berencana itu sulit di tentukan, maka

pelaku dalam melakukan pembunuhan sudah terencana maka semua pun sudah

terencana dan jika pelaku melakukan pembunuhan biasa maka tidak dapat

dikatakan terencana tetapi pelaku merasa panik setelah ia membunuh dan pelaku

berinisiatif untuk membunuh korban untuk menghindari dari jeratan hukum.

Menurut Adek Suci Febrianto, Berkaitan dengan hal tersebut ada beberapa

yang menjadi faktor penyebab kejahatan pembunuhan berencana yaitu faktor

ekonomi, faktor dendam, faktor asmara, faktor menghilangkan jejak dan faktor

yang paling dominan dalam pembunuhan berencana adalah faktor keluarga,

karena keluarga merupakan dasar dalam pembentukan karakter seseorang, dan

faktor yang dilakukan untuk menghilangkan jejak pelaku.

Terdapat dua jenis ekspresi penyimpangan perilaku berdasar teori penyakit

jiwa. Pertama, psikopat yaitu bentuk kekalutan mental yang ditandai ketiadaan

pengorganisasian diri dari pengintegrasian pribadi. Ciri khas yang melekat adalah

ganas dan buas tanpa sebab jelas serta bertindak kriminal. Kedua, defect, yakni

individu yang jahat, antisosial, tak memahami dan mengendalikan tingkah laku

yang salah, dan jahat.

Berdasarkan uraian di atas penulis berpendapat bahwa faktor-faktor yang

menjadi pendorong pembunuhan berencana terbagi dalam dua faktor yaitu faktor

dari internal dan eksternal. Faktor internal yaitu faktor dari dalam diri seseorang

25 Prasetyo, Eko, Guru: Mendidik Itu Melawan, Riset, Jogjakarta, 2005.hlm.56


43

untuk melakukan kejahatan seperti pembunuhan dengan cara mutilasi yang sudah

terlihat dari pelaku itu sejak lahir biasanya terjadi tergantung kepada keadaan

psikis si pelaku, dimana si pelaku cenderung mengalami gangguan kejiwaan,

faktor jenis kelamin, faktor usia, faktor intelligence, dan faktor kebutuhan

ekonomi yang terdesak. Faktor eksternal yaitu faktor pendidikan, faktor

pergaulan, faktor pekerjaan, dan faktor lemahnya sistem keamanan lingkungan

masyarakat, faktor dalam keluarga juga sangat mendorong seseorang melakukan

kejahatan pembunuhan, faktor dari luar seperti faktor lingkungan pelaku kejahatan

itu tinggal juga dapat membuat seseorang melakukan pembunuhan bahkan sampai

memutilasi korbannya untuk memastikan korban tersebut benar-benar meninggal

dan pelaku menghilangkan jejak menandakan bahwa pelakunya tidak ingin korban

mudah dikenali mencari cara untuk mudah menyingkirkan mayat korban.

2. Sanksi Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana

Bukan hanya karena kepentingan umum dari umat manusia bahwa kejahatan tidak

boleh dilakukan tapi bahwa kejahatan jenis apapun harus berkurang sebanding

dengan keburukan yang dihasilkan untuk masyarakat. Oleh karena itu perangkat yang

dipergunakan oleh badan pembuat Undang-Undang untuk mencegah kejahatan

bersifatmerusak keamanan dan kebahagiaan public dank arena godaan itu sekarang,

ada proporsi yang tetap antara kejahatan dengan hukuman. Pembunuhan berencana

dan pidana mati dalam syarat hukum pidana merupakan dua komponen permasalahan

yang erat berkaitan.Hal ini tampak dalam berbagai kitab Undang-Undang hukum

pidana di berbagai Negara yang merupakan pembunuhan berencana dengan pidana

mati. Dalam pada itu teori-teori pidana nio klasik juga


44

menghubunghubungkan pembunuhan berencana dengan pidana mati dalam

26
berbagai ulasan. Para Sarjana yang menyetujui adanya hukuman mati

memberikan syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi untuk dipertahankan jenis

hukuman ini.

Adapun syarat-syarat termasuk adalah :

1) Hukuman mati harus merupakan ancaman yang merupakan sebagai suatu

alternative Dario jenis hukuman lainnya dan sama sekali tidak

diperolehkan sebagai hal yang semata-mata.

2) Hukuman mati hanya boleh dijatuhkan apabila kesalahan sitertuduh dapat

dibuktikan dengan selengkap-lengkapnya.

Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang

dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-

undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan

dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, apabila tindakan tersebut

melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan

hukum untuk pidana yang dilakukannya.

Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung

jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan

perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah

dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan Di dalam suatu tindak

26 J. E Sahetapy, Suatu studi khusus Mengenai ancaman pidana mati terhadap pembunuhan
berencana, Rajawali Jakarta 1982, hlm. 279
45

pidana pembunuhan, terkadang seorang pelaku membutuhkan pelaku lain yang

membantu untuk melaksanakan kejahatannya tersebut. Pelaku yang membantu

kejahatan ini di dalam KUHP disebut disebut sebagai pembantu kejahatan. Pada

pasal 56 KUHP, adapun yang dimaksud sebagai pembantu kejahatan adalah:

1) Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan.

2) Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk

melakukan kejahatan.

Perbuatan membantu tersebut sifatnya menolong atau memberi sokongan.

27
Dalam hal ini, tidak boleh merupakan perbuatan pelaksanaan. Jika telah

melakukan perbuatan pelaksanaan, pelaku telah termasuk mededader, bukan lagi

membantu. Dalam melakukan suatu pada penyertaan terhadap tindak pidana

pembunuhan, terdapat perbedaan peran antara pelaku dengan pembantu kejahatan,

sehingga terdapat sanksi yang berbeda antara yang melakukan suatu kejahatan

dengan yang membantu melakukan kejahatan. Pemberian pidana terhadap pelaku

yang membantu kejahatan tersebut selanjutnya diatur pada pasal 57 KUHP yaitu:

1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan,

dikurangi sepertiga.

2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Sehingga, Membantu melakukan kejahatan diatur dalam Pasal 56 KUHP dan

dalam memahami Pasal 56 KUHP, perlu diperhatikan lebih dahulu rumusan Pasal 57

ayat (4) KUHP yang menyatakan “Untuk menentukan hukuman bagi pembantu,

27 Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hlm. 90.
46

hanya diperhatikan perbuatan yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancar

oleh pembantu itu serta akibatnya.”

Yang dimaksud rumusan “dengan sengaja memudahkan” adalah perbuatan

yang memudahkan si pelaku untuk melakukan kejahatan tersebut, yang dapat

terdiri atas berbagai bentuk atau jenis, baik materiil maupun immateriil.

Pertanggungjawaban dari “membantu” diatur dalam Pasal 57 ayat (4) KUHP

menjelaskan:

1) Maksimum hukuman pokok yang diancamkan atas kejahatan, dikurangi

sepertiga bagi si pembantu.

2) Jika kejahatan itu dapat dihukum dengan hukuman mati atau hukuman

penjara seumur hidup, maka dijatuhkan hukuman penjara selamalamanya

lima belas tahun.

3) Hukuman tambahan untuk kejahatan dan membantu melakukan kejahatan

itu, sama saja.

Untuk menentukan hukuman bagi pembantu hanya diperhatikan perbuatan

yang dengan sengaja memudahkan atau diperlancar oleh pembantu itu serta

akibatnya. Jadi sanksi pidana terhadap pelaku yang turut serta melakukan tindak

pidana pembunuhan berencana memiliki 3 (tiga) ancaman sebagaimana dimaksud

didalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yakni:

1) Dalam ketentuan penjatuhan hukuman oleh hakim adalah pidana mati,

maka para pelaku yang turut serta dikenakan hukuman pidana 15 (lima

belas) tahun penjara.


47

2) Terhadap ketentuan penjatuhan hukuman oleh hakim adalah pidana

penjara seumur hidup, maka para pelaku yang turut serta juga dapat

dikenakan hukuman pidana 15 (lima belas) tahun penjara.

3) Apabila ketentuan penjatuhan hukuman oleh hakim adalah pidana penjara

dalam waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun lamanya, maka

dari penjatuhan hukuman tersebut dapat dikurangi sepertiga (1/3) dari

hukuman pokoknya. Sehingga para pelaku yang turut serta melakukan

tindak pidana pembunuhan berencana dapat dijatuhi hukuman selama 14

(empat belas) tahun karena telah dikurangi sepertiga dari hukuman pokok

yakni 20 (dua puluh) tahun penjara.

Sanksi yang dijatuhkan kepada tersangka kasus tindak pidana pembunuhan

dengan berencana ini masih terbilang kabur atau sanksi yang di jatuhkan kerap

kali berbeda-beda. sesuai yang diatur dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi

“Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam karena

pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.”

Sedangkan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, yang berbunyi

“Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa

orang lain, diancam kerna pembunuhan berncana, dengan pidana mati atau pidana

seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama 20 (dua puluh) tahun”
BAB

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Kesimpulan

a. Pengaturan Tindak Pidana Terhadap Pelaku Pembunuhan Berencana

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diatur dalam

pasal 340 KUHP

b. Perbuatan pembunuhan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan

sengaja menghilangkan nyawa orang lain. Pasal dasar pembunuhan adalah

Pasal 338 KUHP yang kemudian ditambah unsur direncanakan terlebih

dahulu dalam pasal 340 KUHPidana. Pembunuhan adalah merupakan

istilah yang umum digunakan dalam hukum pidana untuk mendeskripsikan

tindak pidana kejahatan dimana tersangka/terdakwa menyebabkan

kematian pada orang lain

c. Sanksi yang dijatuhkan kepada tersangka kasus tindak pidana pembunuhan

dengan berencana ini masih terbilang kabur atau sanksi yang di jatuhkan

kerap kali berbeda-beda. sesuai yang diatur dalam Pasal 338 KUHP yang

berbunyi “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam

karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)

tahun.” Sedangkan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana, yang

berbunyi “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu

merampas nyawa orang lain, diancam kerna pembunuhan berncana,

48
49

dengan pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu,

paling lama 20 (dua puluh) tahun”

2. Saran

a. Pemahaman yang baik tentang hukum pidana serta ilmu bantu lainnya

sangat diperlukan bagi semua aparat penegak hukum agar dalam

menerapkan unsur- unsur delik dalam KUHPidana khususnya Pasal 340

KUHPidana tidak terjadi kekeliruan yang mengakibatkan, rusaknya asas-

asas hukum pidana disamping kepastian hukum yang terabaikan dan

Sebaiknya penanganan terhadap kasus kejahatan utamanya kejahatan

pembunuhan berencana dilakukan dengan perhatian khusus, sebab sebagai

manusia sungguh sangat disayangkan apabila seseorang terlibat dengan

kasus kejahatan yang tergolong berat tersebut karena dendam yang

disebabkan tidak harmonisnya hubungan dalam lingkungan keluarga dan

masyarakat lainnya.

b. Unsur-unsur delik seperti direncanakan terlebih dahulu harus menjadi

perhatian yang serius dalam rangka menerapkan hukum baik dalam

penyidikan, penuntutan terlebih bagi hakim yang mengadili serta

memutuskan sesuatu perkara pidana agar tidak terjadi kesesatan hukum.

c. Hendaknya upaya atau langkahlangkah yang telah ditempuh harus lebih

ditingkatkan lagi dan lebih memaksimal serta lebih memantapkan kinerja para

penegak hukum, peningkatan dan pemantapan aparatur penegak hukum,

meliputi pemantapan organisasi, personel dan sarana prasarana untuk


50

menyelesaikan perkara pidana dan perundang-undangan yang dapat

berfungsi mengkanalisir dan membendung kejahatan dan mempunyai

jangkauan ke masa depan.


DAFTAR BACAAN

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana. . Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001
-----------------------pelajaran Hukum Pidana (Stetsel Pidana, TindakPidana, Teori-
Teori Pemidanaan & Batas Berlakunya Hkum Pidana), (Bagian Rja
Grafindo Persada. 1 Jakarta 2002
Andi Hamzah. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia
Indonesia. Jakarta.2001
J. E Sahetapy, Suatu studi khusus Mengenai ancaman pidana mati terhadap
pembunuhan berencana, Rajawali Jakarta 1982
Lamintan P.A.F, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung 1997
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2012
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana,
(Bina Aksara, Bandung).1983
-------------- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, 2009
Prasetyo, Eko, Guru: Mendidik Itu Melawan, Riset, Jogjakarta, 2005
R.soesilo, Kitab Undang-Undang Pidana ,politea,Bogor,1995,
Roeslan saleh, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Pidana. aksara baru, jakarta,
1981
R. Sianturi, SH : Tindak Pidana di KUHP berikut uraiannya, Alumni AHM. PT.
HM. Jakarta, 1983
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif “Suatu Tinjauan
Singkat”, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004
S. R. Sianturi Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya, Alumni A. H. M. HM,
Jakarta, 1983
Simandjuntak, Pengantar Kriminologi dan Patologi Sosial Tarsito, Bandung, 1981,

Tongat, Hukum Pidana Materiil Tinjauan Atas Tindak Pidana Terhadap Subyek
Hukum Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Djambatan, Jakarta,
2003
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pres, Jakarta, 2014
Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Internet

http://alexanderizki.blogspot.com/2011/03/analisis-pidana-atas-pembunuhan
pokok.html.diakses,pada tanggal 10 Desember 2019 pukul 20.30 Wib
http://id.wikipedia.org/wiki/pembunuhan_berencana,diakses pada tanggal 10
Desember 2019 pukul 20.30 wib

Kasus Pembunuhan Berencana, Jessica Divonis 20 Tahun . CNN Indonesia,


Diakses tanggal 10 Desember 2019 pukul 20.30 Wib.

https://modusaceh.co/news/terdakwa-kasus-pembunuhan-satu-keluarga-di-
gampong-mulia-didakwa-hukuman-mati/index.html,diakses pada tanggal 10
Desember 2019 pukul 20.30 Wib

Jurnal
Ewis Meywan Batas Tindak Pidana Pembunuhan Berencana Menurut Pasal 340
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Jurnal Hukum Lex Crimen Vol. V/No.
2/Feb/2016

Anda mungkin juga menyukai