Anda di halaman 1dari 10

TATALAKSANA F50 GANGGUAN MAKAN

a. Terapi umum gangguan makan


Penyembuhan dapat dilakukan psikoterapi pada penderita, keluarga maupun
lingkungan tempat penderita berasal.

Terapi nutrisi diperhatikan dalam 3 aspek, yaitu asupan kalori, zat gizi
makro, dan zat gizi mikro. Pada asupan kalori, dibagi lagi menjadi 3 fase: fase
inisial, dimana makanan akan ditambah sekitar 30-40 kkal/kg/hari hingga
mencapai antara 1000 sampai 1600 kkal/hari. Setelah itu, akan dilanjutkan ke fase
peningkatan berat badan terkontrol. Pada fase ini, target yang dituju adalah
peningkatan berat badan pasien sekitar 2-3lb/minggu. Dan setelah berat yang
dituju tercapai, fase terakhir adalah fase maintenance atau pemeliharaan berat
badan, agar berat badan yang sudah tercapai tidak akan turun lagi. Asupan kalori
pada fase terakhir adalah 40-60 kkal/kg/hari. Pada aspek zat gizi makro, sumber
kalori diperhatikan dalam bentuk protein, karbohidrat dan lemak. Protein meliputi
15%-20% total asupan kalori per hari, karbohidrat antara 50%-55%, dan lemak
pada 25%-30% total asupan harian. Terkadang perlu disertakan serat dalam
konsumsi untuk mengatasi gangguan konstipasi. Sedangkan pada zat gizi mikro,
dianjurkan untuk mengkonsumsi pil suplemen multivitamin dan mineral untuk
memenuhi kebutuhan harian zat gizi. Dalam pemberian terapi, tetap diperlukan
juga dukungan psikologis pasien yang baik. Terapi tidak akan berjalan dengan
baik tanpa dukungan dan komitmen pasien. Walaupun terapi sudah sukses
terjalankan, potensi untuk pasien kembali seperti keadaan semula terbukti cukup
tinggi. Untuk itu, selain terapi pengembalian tingkat konsumsi, diperlukan
konseling untuk menuntun arah psikologis penderita. Sebaiknya perawatan/terapi
dilakukan secara intensif dan dapat dilakukan di rumah, tetapi bila kondisi sangat
parah maka harus rawat inap di rumah sakit (Krisnani et al., 2018).
b. Terapi Anoreksia Nervosa
Mengingat implikasi psikologi dan medis anoreksia nervosa yang sulit, suatu
rencana pengobatan harus menyeluruh, termasuk perawatan di rumah sakit jika
diperlukan dan terapi individual serta keluarga adalah dianjurkan. Pendekatan
perilaku, interpersonal, dan kognitif pada beberapa kasus medikasi harus
dipertimbangkan (Fo¨cker et al., 2013; Academy for Eating Disorder, 2006;
Chavez et al., 2006).

1. Perawatan di rumah sakit. Clinical harus memutuskan pasien mana yang harus
diberi perawatan di rumah sakit, dan yang tidak harus.

1. Kehilangan energi yang banyak, pada umumnya, pasien anoreksia


nervosa yang berada 20% di bawah berat badan yang diharapkan untuk
tinggi badannya adalah dianjurkan untuk program rawat inap, dan pasien
yang berada 30% di bawah berat badan yang diharapkan memerlukan
perawatan rumah sakit psikiatrik yang terentang dari dua sampai 6 bulan.

2. Hypokalemi atau EKG mengalami perubahan akibat meningkatnya


potassium.

3. Lingkaran muntah, dan pengurangan makanan yang tidak dapat


diputuskan.

4. Assessment yang berhati-hati dan penatalaksanaan masalah kesehatan dan


gangguan kejiwaan lainnya.

5. Modifikasi perilaku lainnya untuk usaha peningkatan berat badan,


seperti :

1. Tirah baring dengan pengawasan konsumsi makanan sebagai langkah


awal untuk setiap pasien. Frekuensi pemberian makan 5-6 kali, dengan
kalori 1500 – 2000 kalori yang ditingkatkan secara bertahap, biasanya
diberikan makanan yang sama selama sehari sehingga pasien tidak
mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang besar sekali makan.
2. Keinginan untuk menaikan berat badan harus disesuaikan dengan
pendidikan pasien.

3. Setiap pagi pasien harus ditimbang setiap pagi, setelah mengosongkan


kandung kemihnya dan sebelum sarapan.

4. Menguatkan kembali keinginan pasien untuk meningkatkan berat


badannya.

5. Jika pasien tidak lagi tirah baring, pasien harus diawasi selama 2 jam
setelah makan. Hal ini dilakukan agar pasien tidak memuntahkan
makanannya.

6. Pemberian makan secara paksa dilakukan jika pasien mengalami


penurunan berat badan yang drastic, dan membahayakan jiwa pasien.

7. Cyproheptadine hydrochloride, merupakan antagonis antihistamine dan


serotonin, telah terbukti efektif sebagai stimulus untuk pasien anoreksia
nervosa yang mempunyai sedikit efek samping. Dosis harian adalah
8mg peroral dan dinaikan 32mg/hari pada akhir minggu kedua.

8. Amitrypline, dimulai dengan dosis 50mg/hari dan dinaikan


perlahanlahan sampai 150mh/hari. Obat ini terbukti bermanfaat untuk
pasien anoreksia nervosa, biasanya pasien mengalami panaikan berat
badan, biasanya digunakan untuk pasien dengan gangguan depresi.

9. Alprazolam, 0,25mg, setiap 1 jam sebelum makan, diperuntukan untuk


pasien yang mengalami anxietas yang berat.

c. Terapi Bulimia Nervosa

Untuk mengurangi dan mengeliminasi perilaku makan/muntah, individu tersebut


perlu menjalani kaunseling gizi dan psikoterapi, terutama terapi perilaku kognitif
(cognitive behavioral therapy (CBT)) atau diberi pengobatan seperti antidepresan
seperti fluoksetin, yang merupakan satu-satunya obat yang dibenarkan oleh Food
and Drug Administration untuk mengobati BN (National Collaborating Centre for
Mental Health, 2004). CBT merupakan pengobatan psikologis jangka pendek (4-6
bulan) yang berfokus pada perhatian berlebihan pada bentuk dan berat badan, diet
yang persisten dan perilaku makan/muntah yang menggambarkan gangguan ini
(Walsh et al., 2008).

Terapi BED

Terapi berbasis bukti yang efektif dan tersedia untuk BED , meliputi terapi
kognitif perilaku (CBT), terapi interpersonal (IPT), terapi perilaku dialektis
(DBT), dan farmakoterapi. Semua perawatan harus dievaluasi dalam matriks
risiko, manfaat, dan alternatif (Hudson et al., 2007; Anderson et al., 2004).

TATALAKSANA F51 GANGGUAN TIDUR NON-ORGANIK

a. Terapi insomnia

Adapun penatalaksanaan insomnia terdiri dari terapi non-


farmakologis dan terapi farmakologis. Berikut ini adalah penjelasannya:

Terapi non-farmakologis
 Teknik deconditioning : pada teknik ini pasien diminta untuk
menggunakan tempat tidurnya hanya untuk tidur dan bukan untuk hal-
hal lainnya, bila pasien tidak tertidur dalam 5 menit, maka mereka
diminta untuk bangun dan melakukan hal lain. Terkadang, berganti
tempat atau ruangan tidur berguna bagi pasien (Sadock B. & Sadock
V., 2014).
 Edukasi tentang sleep hygiene menurut Ebert Michael H. (2008)
dengan menggunakan terapi kontrol stimulus, yaitu :
Terapi Kontrol Stimulus

Menjaga waktu tidur dan terbangun agar konstan, bahkan saat hari libur.

Saat sudah di tempat tidur hentikanlah kegiatan menonton tv, membaca

buku atau bekerja.


Hindari tidur siang.

Berolahraga secara rutin (3-4 kali per minggu), namun hindari berolahraga

di sore hari bila mengganggu waktu tidur nantinya.


Hentikan atau kurangi mengkonsumsi alkohol, kafein, rokok dan substansi

lain yang dapat mengganggu tidur.


Sebelum tidur lakukan aktifitas yang dapat menenangkan.

Aturlah agar ruangan tempat tidur terasa nyaman dan tenang.

 Terapi kognitif : pasien insomnia sering memiliki pemikiran


dan kepercayaan yang negatif tentang konsekuensi dari kondisi
mereka. Membantu pasien dalam menangani pemikiran dan
kepercayaan mereka yang tidak tepat adalah tujuan dasar dari terapi
ini. Hal ini juga dapat menurunkan kecemasan yang berhubungan
dengan insomnia (Pigeon, 2010).
 Terapi pembatasan tidur (retriksi) : terapi ini didasarkan pada prinsip
bahwa membatasi waktu yang dihabiskan di tempat tidur dapat
membantu memperbaiki kualitas tidur nantinya (McCurry et. al.,
2007).

Terapi Farmakologis
Terdapat dua penggolongan obat untuk pasien-pasien insomnia,
yaitu benzodiazepine dan non-benzodiazepine. Dimana golongan
benzodiazepine adalah nitrazepam dengan dosis anjuran 5 – 10
mg/malam, flurazepam 15 – 20 mg/malam dan estazolam 1 – 2
mg/malam. Sedangkan, zolpidem dengan dosis anjuran 10 – 20 mg/malam
merupakan golongan non-benzodiazepam. Pada orang-orang usia lanjut,
dosis yang diberikan harus lebih kecil dan peningkatan untuk dosis harus
dilakukan secara perlahan untuk menghindari terjadinya oversedation dan
intoksikasi (Maslim, 2007).

TATALAKSANA F52 DISFUNGSI SEKSUAL

Sebelum tahun 1970 pengobatan yang sering untuk disfungsi seksual


adalah psikoterapi individual. Teori psikodinamika klasik menyatakan
bahwa ketidakberdayaan seksual memiliki akar pada konflik
perkembangan awal dan gangguan seksual diobati sebagai bagian
gangguan emosional pervasif. Pengobatan dipusatkan pada penggalian
konflik, motivasi, fantasi dan berbagai kesulitan interpersonal yang
tidak disadari.

Macam-macam terapi yang dilakukan adalah :

 Terapi seks berdua

Dasar teori adalah konsep unit atau kesatuan perkawinan sebagai


objek terapi. Dalam terapi seks berdua tidak ada penerimaan
gagasan setengah dari pasangan pasien adalah sakit. Kedua
pasangan adalah terlibat dalam hubungan yang menyakitkan secara
seksual, keduanya harus berperan dalam program terapi.

Teknik dan latihan fisik :

pada kasus vaginismus, wanita dianjurkan untuk mendilatasikan


vagina dengan membukanya dengan jari atau dilator lainnya. Pada
kasus ejakulasi prematur, suatu latihan yang dikenal sebagai teknik
penekanan digunakan untuk meningkatkan ambang eksitabilitas
penis. Dalam latihan tersebut laki- laki atau wanita menstimulasi
penis yang terereksi sampai dirasakan sensasi terawal akan
mengalami ejakulasi. Pada saat itu wanita dengan kuat menekan
sulkus korona dari glans penis, ereksi menurun, dan ejakulasi
dihambat. Program latihan akhirnya meningkatkan ambang sensasi
untuk ejakulasi yang tidak dapt dihindari dan memungkinkan laki-
laki menjadi menyadari sensasi seksualnya dan yakin terhadap
kinerja seksualnya.
 Hipnoterapi
Keberhasilan penggunaan hipnoterapi memungkinkan pasien
mendapatkan kontrol terhadap gejala yang telah menurunkan harga
dirinya dan mengganggu homeostasis psikologis. Pusat dari terapi
adalah menghilangkan gejala dan perubahan sikap. Pasien
diinstruksikan untuk mengembangkan cara alternatif untuk
menghadapi situasi yang menyebabkan kecemasan, pertemuan
seksual.
Dengan metode tersebut yang menghilangkan kecemasan, respon
fisiologis yang terhadap stimulasi seksual dapat segera
menyebabkan rangsangan yang menyenangkan dan pelepasan.
Halangan psikologis terhadap lubrikasi vagina, ereksi dan orgasme
dihilangkan dan fungsi seksual dapt kembali normal.

 Terapi tingkah laku


Ahli terapi perilaku memungkinkan pasien untuk mengatasi
kecemasannya melalui program standar desensitisasi sistemik.
Program tersebut dirancang untuk menghambat respon kecemasan
yang dipelajari dengan mendorong perilaku antitetik terhadap
kecemasan. Latihan ketegasan adalah membantu dalam mengajari
pasien untuk mengekspresikan kebutuhan seksualnya secara terbuka
dan tanpa rasa takut. Diberikan secara bersama-sama dengan terapi
seks. Pasien didorong untuk membuat permintaan seksual dan
menolak permintaan seksual yang dirasakan tidak beralasan. Satu
variasi pengobatan adalah melibatkan peran serta pasangan seksual
pasien dalam program desensitisasi.

 Terapi kelompok

Digunakan untuk memeriksa masalah intrapsikis dan interpersonal


pada pasien dengan gangguan seksual. Terapi kelompok
memberikan sistem dukungan yang kuat bagi pasien yang malu,
cemas, atau bersalah terhadap masalah seksual tertentu. Ini adalah
tempat pertemuan yang berguna untuk mengatasi mitos seksual,
memperbaiki pandangan yang salah, dan memberikan informasi
yang akurat tentang anatomi, fisiologi, dan berbagai perilaku
seksual.
 Terapi seks berorientasi analitik

Salah satu pengobatan yang paling efektif adalah pemakaian terapi


seks digabungkan dengan psikoterapi berorientasi psikodinamika
atau psikoanalitik. Terapi seks dilakukan selama periode waktu yang
lebih lama dari biasanya dan jadwal pengobatan yang lebih luas
memungkinkan untuk mempelajari kembali kepuasan seksual.
 Terapi biologis

Methohexital sodium intra vena telah digunakan dalam terapi


desensitisasi. Obat antianxietas telah digunakan pada pasien yang
mengalami ketegangan, walaupun obat-obatan dapat mempengaruhi
respon seksual. Kadang-kadang efek samping obat tertentu seperti
thioridazine dan obat trisiklik digunakan untuk memperpanjang
respon seksual pada keadaan tertentu seperti ejakulasi prematur.
Pemakaian trisiklik telah dianjurkan dalam pengobatan pasien yang
memiliki fobia terhadap seks.
DAFTAR PUSTAKA

Kaplan, Harold dkk. 1997. Sinopsis Psikiatri Jilid II Edisi Ketujuh.


Binarupa Aksara. Jakarta.

Krisnani, Hetty & Santoso, Meilanny & Putri, Destin. (2018).


GANGGUAN MAKAN ANOREXIA NERVOSA DAN
BULIMIA NERVOSA PADA REMA. Prosiding Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat. 4. 10.
10.24198/jppm.v4i3.15714.

Maslim, Rusdi. 2007. Panduan Praktis Penggunaan Obat


Psikotropik (Psychotropic Medication) edisi ketiga. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya.

Memon, A. A., Coleman, J. J., & Amara, A. W. (2020). Effects of


exercise on sleep in neurodegenerative
disease. Neurobiology of Disease, 104859.

Pigeon, W. R. (2010). Treatment of adult insomnia with cognitive–


behavioral therapy a. Journal of clinical psychology, 66(11),
1148-1160.

Sadock, B. J., Sadock, V. A., & Sussman, N. (2018). Manual de


farmacologia psiquiátrica de Kaplan & Sadock-6. Artmed
Editora.

Fo¨cker M., Knoll S., Hebebrand J. Anorexia nervosa: Eur Child


Adolesc Psychiatry (2013) 22 (Suppl 1):S29–S35.

Academy for Eating Disorder, 2006. Prevalence of Eating


Disorders. Austria: Academy for Eating Disorder. Available
from :
http://www.aedweb.org/eating_disorders/prevalence.cfm
Chavez, M., Insel, T.R., 2007. Eating Disorders: National Institute
of Mental Health’s Perspective. American Psychology,
62(3): 159-166.

Walsh, B. T., 2008. Eating Disorders, in: Fauci, A. S., Kasper, D.


L., Longo, D. L., Braunwald, E., Hauser, S. L., Jameson, J.
L., Loscalzo, J., ed. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 473-477.

Hudson, J.I., Hiripi, E., Pope, H.G. et al. (2007)The prevalence and
correlates of eating disorders in the National Comorbidity
Survey Replication. Biol.Psychiatry, 61, 348– 358.

Aigner M., Treasure J., Kaye W., Kasper S. Guidelines World


Federation of Societies of Biological Psychiatry (WFSBP)
Guidelines for the Pharmacological Treatment of Eating
Disorders: The World Journal of Biological Psychiatry,
2011; 12: 400–443.

National Collaborating Centre for Mental Health, 2004. Core


Interventions in the Treatment and Management of Anorexia
Nervosa, Bulimia Nervosa and Related Eating Disorders.
The British Psychological Society and Gaskell.

Anda mungkin juga menyukai