Anda di halaman 1dari 22

FAKULTAS KEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITAS HASANUDDIN JUNI 2019

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


HIPOPIGMENTASI POST-INFLAMASI

OLEH:

DISUSUN OLEH:

Syarifah Nurul Arifah C014182161


Andaris Ruslan C014182207
Imam Amriadi.AS C014182214
Sri Angilda C014182215
Andi Muhammad. Ghiffari M. M. C014182240

Pembimbing Residen
dr. Andi Hardianty

Dosen Pembimbing
dr. Asnawi Madjid, Sp.KK(K)., MARS, FINSDV, FAADV

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2019
HALAMAN PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa:


Nama:
1. Syarifah Nurul Arifah C014182161
2. Andaris Ruslan C014182207
3. Imam Amriadi.AS C014182214
4. Sri Angilda C014182215
5. Andi Muhammad. Ghiffari M. M C014182240

Judul Referat: Etiologi dan Patogenesis Hipopigmentasi Post-Inflamasi

Telah menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan klinik pada


Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin.

Makassar, Juni 2019

Pembimbing Supervisor Pembimbing Residen

dr. Asnawi Madjid, Sp.KK(K)., dr. Andi Hardianty


MARS, FINSDV, FAADV

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i

HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB 1. PENDAHULUAN......................................................................................1

BAB 2. PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1 Anatomi..........................................................................................................3

2.2 Fisiologi..........................................................................................................5

2.3 Etiologi...........................................................................................................7

2.4 Patogenesis.....................................................................................................9

2.5 Gejala klinis..................................................................................................11

2.6 Diagnosis......................................................................................................12

2.7 Diagnosis banding........................................................................................13

2.8 Tatalaksana...................................................................................................15

2.9 Prognosis......................................................................................................16

BAB 3. KESIMPULAN ........................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Warna kulit manusia sangat tergantung dari ras atau keturunannya. Warna
kulit di turunkan secara genetik dan merupakan total pigmen melanin pada kulit.
Warna kulit ini ditentukan oleh pigmen yang terdiridari eumelanin dan
feomelanin. Eumelanin adalah pigmen basil oksidasi yang berwarna cokelat tua
dan feomelanin adalah pigmen hasil reduksi yang berwarna kuning krem.
Pengaruh sinar matahari memperbanyak pembentukan eumelanin sehingga
menghitamkan kulit. Kondisi ini banyak terjadi di negara yang beriklim tropis,
seperti Asia, Amerika Latin, dan Afrika. Eumelanin ini sangat berguna untuk
menangkal pengaruh sinar matahari yang berupa ultra violet yang berbahaya bagi
kesehatan kulit, karena bisa menyebabkan kanker kulit.1
Salah satu kelainan kulit yang paling sering dialami oleh manusia diantarnya
adalah hipopigmentasi post inflamasi. Hipopigmentasi post inflamasi merupakan
kelainan pigmen yang sangat umum. Kelainan bercak putih pada kulit ini
dikarenakan adanya penurunan dari melanin atau tidak adanya produksi melanin
dari melanosit.Hal ini bisa disebabkan oleh peradangan kulit, cidera, atau
pengobatan dermatologis. Ada juga banyak kondisi spesifik yang muncul dengan
hipopigmentasi selain hipopigmentasi post inflamasi. Gangguan ini dapat terjadi
pada semua jenis kulit. Namun, lebih umum dan lebih cenderung pada orang
dengan kulit lebih gelap, hal ini mungkin dikarenakan warnanya kontras dengan
kulit normal kulit gelap. Dikatakan bahwa tidak ada perbedaan gender dalam
kejadian hipopigmentasi post inflamasi. Penyakit yang paling sering
menyebabkan hipopigmentasi post inflamasi diantaranya psoriasis, dermatitis
seboroik, liken planus, liken striatus, dermatitis atopi, pitiriasis likenoides kronika,
mycosis fungioides, lupus eritematous semuanya dapat memberikan manifestasi
berupa hipopigmentasi.2,3
Sebagian besar kasus hipopigmentasi post inflamasi akan membaik secara
spontan dalam beberapa minggu atau bulan jika penyebab primernya berhenti.

1
Namun, dapat juga bertahan sampai berminggu-minggu setelah infeksi aktif
menghilang bahkan permanen jika ada kehancuran total dari melanosit.2,4
Hipopigmentasi post inflamasi yang terjadi pada daerah wajah, leher, atau
tangan dapat menyebabkan gangguan psikologik. Efek negatif hipopigmentasi
post inflamasi dapat memengaruhi kesehatan emosional pasien (menyebabkan
cemas dan depresi), interaksi sosial, kepercayaan diri, dan kesempatan
bekerja.Selain itu, hipopigmentasi post inflamasi ini dapat membuat stres karena
sulit untuk diobati. Pengobatan penyebab peradangan dan penggunaan tabir surya
merupakan terapi yang efektif. Hipopigmentasi post inflamasi biasanya diberikan
terapi topikal, tapi tidak untuk hipopigmentasi post inflamasi dermal. Hidrokuinon
kombinasi dengan steroid topikal, retinoid, asam glikolat, asam laktat, asam kojik,
arbutin, asam askorbat, soy, dan niasinamid merupakan beberapa terapi topikal.
Chemical peeling asam salisilat dan asam glikolat, begitu juga laser quality-
switched (QS) neodymium-doped yttrium aluminum garnet (Nd: YAG), QS Ruby,
1550 nm erbium fiber fractional thermolysis, dan 1927 nm fractional thulium
fiber menunjukkan efikasi yang baik untuk pengobatan hiperpigmentasi wajah.5

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi

2.1.1 Anatomi Kulit


Kulit merupakan organ istimewa pada manusia. Berbeda dengan organ
lain, kulit terletak pada bagian terluar tubuh sehingga memudahkan untuk
melakukan pengamatan setiap hari. Dari kulit muncul berbagai aksesoris yang
terindera oleh manusia seperti rambut, kuku, dan kelenjar. Secara anatomis,
kulit merupakan organ terbesar pada manusia. Kulit terdiri dari tiga lapisan
yakni lapisan epidermis, lapisan dermis, dan lapisan hypodermis(subkutis).
Lapisan epidermis membentuk pertahanan terhadap dunia luar dan merupakan
tempat fungsi pengawasan dan aktivasi imun untuk mencegah dan melawan
infeksi. Lapisan dermis memberikan kontribusi subtansi utama untuk struktur
kulit (Kolagen). Membentuk lapisan penyambung utama antara vaskularisasi
dan system nervus di kulit, dan secara langsung berhubungan dengan epidermis
dalam mengoordinasikan fungsi kulit. Hipodermis (Subkutis) adalah area
dibawah dermis yang mengandung banyak lemak subkutan yang memiliki
fungsi dalam keseimbangan energy.6

Gambar 1. Penampang kulit

3
Gambar 2. Lapisan Epidermis

2.1.2 Melanosit
Melanosit merupakan sel yang memproduksi pigmen pada kulit. Terletak
pada epidermis kulit tepatnya pada lapisan sel basal (stratum basalis).
Terdapat 1 melanosit dari setiap 4-10 sel basal keratinosit. Jumlahnya hampir
sama pada setiap orang, namun aktivitas produksinya lebih tinggi pada orang
dengan kulit yang lebih gelap. Melanosit dapat diidentifikasi dengan
sitoplasmanya yang pucat/jernih serta nukleusnya yang berwarna ungu gelap
(basofilik).7
Pada sumber lain, dikatakan bahwa 1 melanosit dikelilingi oleh sekitar 36
sel keratinosit yang menjadi target pendistribusian pigmen melanin. Struktur
molekular dari melanin juga diperuntukkan untuk perlindungan terhadap
radiasi sinar UV dari sinar matahari. Sel melanosit ini selain di kulit juga dapat
di temukan pada jaringan lain seperti system saraf pusat dan system
kardiovaskular, uvea pada mata, koklea, dan bahkan pada jaringan lemak.8

4
Gambar 3. Melanosit pada Epidermis kulit

Gambar 4. Skema hubungan Melanosit dan Keratinosit pada kulit

2.2 Fisiologi
2.2.1 Fisiologi Kulit
Secara umum kulit memiliki fungsi antara lain:9
1. Perlindungan fisik terhadap gaya mekanik, sinar ultraviolet, dan
bahan kimia
2. Perlindungan imunologik
3. Ekskresi sisa-sisa cairan tubuh
4. Persepsi atau pengindera
5. Termoregulasi atau pengatur suhu

5
6. Pembentukan vitamin D
7. Kosmetik dan kecantikan
Fungsi-fungsi tersebut lebih mudah dipahami dengan meninjau struktur
mikroskopik kulit yang terbagi menjadi 3 lapisan: Epidermis, Dermis, dan
Subkutis. Dalam menjalankan berbagai fungsi diatas, ketiga lapisan tersebut
bertindak sebagai satu kesatuan yang saling terikat.9

2.1.2 Melanogenesis
Melanosit mengandung melanosom, yang merupakan organel sel
berbentuk seperti lisosom dan berfungsi dalam sintesis (melanogenesis) dan
penyimpanan melanin sebelum didistribusikan ke keratinosit sekitarnya. Proses
biosintetsis melanin baik eumelanin maupun feimelanin memerlukan enzim
yang merupakan precursor inisisasi tirosin, yaitu tirosinase. Enzim tirosinase
bergantung pada tembaga dan berperan dalam proses awal katalisis untuk
mengonversi tirosin menjadi L-3,4-dihydroxyphenylalanine (DOPA), dan
selanjutnya teroksidasi menjadi DOP-Aquinone (DQ). Sistein selanjutnya akan
mengubah DQ menjadi sisteinil DOPA, dan akan teroksidasi, juga
terpolimerisasi menjadi feomelanin yang berwarna kuning kemerahan, dan
merupakan melanin yang dapat larut. Jika tak ada senyawa thiol (sistein dan
glutation atau thioredoxin), DQ akan langsung menjadi DOPAchrome yang
berwarna coklat kehitaman. DOPAchrome secara spontan akan kehilangan
asam karboksilat dan 5,6 dihydroxyindole (DHI) yang segera teroksidasi dan
terpolimerisasi menjadi coklat kehitaman. DOPAchrome tautomerase
(TYRP2/DCT) akan mengubah DOPAchrome menjadi DHI-2-carboxyl acid
(DHICA). Selanjutnya tirosinase dan TYRP1 akan mengonversi menjadi
melanin yang berwarna coklat terang. Melanin DHI dan melanin DHICA
berwarna coklat kehitaman yang disebut sebagai eumelanin.10

6
Gambar 5. Skema Jalur Biosintesis Melanin

Pheomelanin lebih banyak terdapat pada orang yang berambut merah


sedangkan eumelanin banyak terdapat pada orang dengan warna rambut selain
merah. Seluruh proses pembentukan melanin terjadi di dalam melanosom dan
dipengaruhi oleh beberapa protein yaitu tirosinase, Trp-1, dan Trp-2. Melanin
yang sudah terbentuk di dalam melanosom selanjutnya akan ditransfer ke
keratinosit melalui dendrit-dendrit melanosit.10

2.3 Etiologi

Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipopigmentasi


postinflamasi. Diantaranya, seperti pityriasis lichenoides chronica (PLC) dan
lichen striatus (LS) yang cenderung menginduksi hipopigmentasi postinflamasi
daripada hiperpigmentasi. Cedera kulit akibat luka bakar, iritasi, dan prosedur
dermatologis (misalnya Chemical peeling, dermabrasi, cryotherapy, terapi laser)
juga dapat menyebabkan hipopigmentasi postinflamasi.2

2.3.1 Dermatitis Atopik

Pasien dengan dermatitis atopik (AD) dapat mengalami hipopigmentasi


postinflamasi. Perubahan pigmen lebih umum dan sering terjadi bila

7
kortikosteroid topikal kuat digunakan. Depigmentasi mirip-vitiligo telah
dilaporkan sebagai konsekuensi dari Dermatitis Atopi yang parah.2

2.3.2 Liken Simpleks

Liken simpleks juga penyebab umum lain dari hipopigmentasi


postinflammatory, dengan insidensi hingga 59%.2

2.3.2 Dermatosis

Dermatosis sembuh secara spontan dalam 2 tahun, meninggalkan


hipopigmentasi sementara, terutama pada orang berkulit gelap. Selain itu,
fase inflamasi mungkin tidak terdeteksi, dan hipopigmentasi mungkin
merupakan satu-satunya fitur.2

2.3.4 Pityriasis Lichenoides Chronic

Pada banyak pasien berkulit gelap, PLC dapat hadir dengan


hipopigmentasi luas dengan beberapa lesi papula bersisik yang khas.2

2.3.5 Luka Bakar

Perubahan pigmen biasa terjadi setelah luka bakar dan pembekuan


termal. Pada luka bakar superfisial, hiperpigmentasi pascainflamasi biasa
terjadi, sedangkan luka bakar dalam dapat menyebabkan hipopigmentasi
pascainflamasi.2

2.3.6 Chemical Peeling

Hipopigmentasi pascainflamasi juga merupakan komplikasi yang


mungkin terjadi pada kulit kimia. Penggunaan kulit fenol Baker di masa lalu
dikaitkan dengan kulit porselen-putih (alabaster). Kemungkinan
hipopigmentasi tergantung pada jumlah fenol yang diterapkan, tingkat oklusi,
jenis kulit dan photodamage yang ada.2

8
2.4 Patogenesis

Informasi yang memuat tentang mekanisme dan patogenesis hipopigmentasi


post inflamasi sangat terbatas. Variasi respon dari tiap individu terhadap
peradangan kulit atau trauma belum bisa dipahami dengan baik. Ruiz-Maldonado
mengusulkan istilah 'kecenderungan kromatik individu' untuk menggambarkan
variasi ini. Melanosit dapat bereaksi dengan produksi melanin yang normal,
meningkat atau menurun sebagai respons terhadap peradangan kulit atau trauma.
Kecenderungan kromatik secara genetis menentukan, dan diwariskan dalam pola
dominan autosom. Orang dengan melanosit yang lemah, yang memiliki
kerentanan tinggi terhadap kerusakan, lebih mungkin mengembangkan
hipopigmentasi, sedangkan mereka yang memiliki melano-sit yang kuat
cenderung mengalami hiperpigmentasi. Namun, orang yang berkulit gelap tidak
selalu memiliki melano-cytes yang kuat, dan mereka yang memiliki melanocytes
yang lemah cenderung mengalami hipopigmentasi.2

Melanogenesis adalah proses yang kompleks, yang mencakup sintesis


melanin, transportasi, dan pelepasan keratinosit. Ia dikendalikan oleh beberapa
mediator (mis., Faktor pertumbuhan, sitokin) yang bekerja pada melanosit,
keratinosit dan fibroblas. Melalui pelepasan mediator ini, peradangan kulit dapat
menyebabkan penyimpangan melanogenesis. Sebuah penelitian yang
menggunakan pemeriksaan histopatologis terhadap lesi hipopigmentasi terjadi
setelah cincin laser ditemukan variasi dalam jumlah melanin epidermal dan
jumlah melanosit. Disarankan bahwa hipopigmentasi dapat dihasilkan dari
penghambatan melanogenesis daripada kerusakan melanosi. Namun, peradangan
parah dapat menyebabkan hilangnya melanosit atau bahkan kematian melanosit,
dan dengan demikian perubahan pigmen permanen.2

Kelainan bercak putih pada kulit merupakan kelainan melanin yaitu


penurunan atau tidak diproduksinya melanin tersebeut dari melanosit. Secra garis
besar, kelainan bercak putih pada kulit dibagi menjadi dua yaitu tidak adanya atau
menurunnya jumlah melanosit dan tidak adanya atau menurunnya produksi

9
melanin (Jumlah melanosit dalam keadaan normal). Adapun keadaan lain yang
dapat menyebabkan hipopigmentasi yaitu penambahan zat inhibitor enzim
tirosinase yang juga dapat menurunkan produksi melanin. Mekanisme terjadinya
hipoigmeentasi terbagi atas dua. Pertama, adanya faktor pemicu yang akan
menghibisi kerja enzim tirosinase, enzim tirosinase ini berperan penting dalam
sintesis melanin sel melanosit. Keadaan ini kemudian akan menurunkan produksi
melanin sehingga jumlah melanin yang disintesis oleh sel melanosit akan
menurun. Akibatnya, pada kulit akan terlihat sebagai bercak yang berwarna lebih
putih dari kondisi normal. Mekanisme ke dua terjadinya hipopigmentasi adallah
adanya faktor pemicu lainnya, terutama microorganisme superficial yang
menutupi permukaan kulit yang akan meenghambat masuknya sinar matahari ke
bagian kulit lebih dalam. Sinar matahari berperan dalam pegaktifan enzim
tirosinase, maka apabila terjadi hambatan pancaran matahari ke kukit, enzim
tirosinase tetap dalam keadaan inaktif sehingga proses melanogenesis tidak
berlangsung.1

Gambar 6. Skema Patogenesis Hipoigmentasi post inflamasi

10
2.5 Gejala Klinis

Gambaran klinis ditandai dengan macula hipopigmentasi berwarna putih dan


biasanya diikuti dengan lesi inflamasi, tapi, terkadang juga hanya lesi
hipopigmentasi yang terlihat seperti pada sarkoidosis atau mycosis jamur.
Hipopigmentasi Post Inflamasi, baik yang terlokalisir maupun yang tersebar,
biasanya dikarenakan oleh penurunan pigmen melanin. Depigmentasi komplit
biasanya terlihat pada penyakit dermatitis atopi berat.3

Pada Hipopigmentasi Post-Inflamasi biasanya tampak arean hipopigmentasi


yang memiliki batas yang tegas yang menandakan kekurangan pigmentasi. 11
Penyebarannya menyesuaikan terhadap distribusi dari penyakit inflamasi
dermatosis yang mendasarinya. Pada pasien yang mengalami penurunan pigmen
dan bukannya kehilangan, akan menjadi sulit untuk diprediksi apakah lesi
hipopigmentasi akan menetap atau menghilang secara perlahan. Contohnya pada
macula hipopigmentasi yang disebabkan oleh penyembuhan dermatitis atopi
biasanya hilang beberapa minggu, sedangkan macula yang ditinggalkan oleh
scleroderma, lupus eritematosus dapat menjadi permanen. 12

Gambar 7 : Psoriasis Gambar 8 : Dermatitis Seboroik

11
Gambar 9. Lichen Stratus Gambar 10: Dermatitis Atopi Berat

2.6 Diagnosis

Diagnosis Hipopigmentasi Post-Inflamasi dapat ditegakkan berdasarkan


anamnesis dan pemeriksaan fisis. Diagnosis hipopigmentasi post inflamasi
biasanya ditegakkan berdasarakan gejala dan tanda klinik yang ditemukan. Gejala
klinis yang mendukung diagnosis dari hipopigmentasi post inflamasi yaitu macula
hipopigmentasi yang ukuran dan bentuknya biasanya berkorelasi dengan distribusi
dan konfigurasi dermatosis inflamasi asli, dan warna berkisar dari hipopigmentasi
hingga depigmentasi.13

Berikut beberapa pemeriksaan yang bisa dilakukan, diantarnya:2


1.Pemeriksaan Lampu Wood

Pemeriksaan Wood dapat membantu membedakan antara hipopigmentasi


dan lesi depigmented. Selain itu, dapat membantu untuk menyingkirkan
beberapa diagnose lain.

2. Histopatologi

Histopatologi dari hipopigmentasi post inflamasi menunjukkan temuan


yang nonspesifik seperti penurunan epidermal melanin, derajat infiltrasi
variabel lymfositik yang dangkal, dan adanya melanophages pada dermis
atas. Selain itu, ada beberapa bukti histopatologi yang dapat membantu

12
untuk menegakkan diagnosis penyebab hipopigmentasi post inflamasi,
seperti pada lupus eritematosus.

2.7 Diagnosis banding

1. Vitiligo
Vitiligo adalah penyakit akibat proses depigmentasi pada kulit
yang disebabkan faktor genetic maupun non-genetik dan pada
kenyataannya merupakan peristiwa autoimun pada melanosit. Terkadang
mulai sejak lahir, bisa sejak kanak-kanak, dan remaja rata-rata usia 20
tahun-an. Efloresensi berupa makula putih susu homogen yang berbatas
tegas yang kronis. Penyebarannya terbagi menjadi generalisata, lokalis,
dan universal berdasarkan Ortonne, 1983. Vitiligo juga terkait masalah
pada aspek psikologis penderita, terutama bila terlihat oleh orang lain.9

Gambar 11: Vitiligo

2. Pitiriasis Alba
Pitiriasis Alba adalah bentuk dermatitis yang tak spesifik dan
penyebabnya belum diketahui. Gejala klinisnya lesi asimptomatik berupa
lesi berwarna merah muda dengan skuama halus dan setelah eritem
menghilang akan menyisakan macula putih dengan skuama halus
berbentuk bulat hingga oval dengan ukuran diameter 2-4 cm. Predileksinya

13
biasanya pada kepala/pipi, lengan atas bagian eksternal, serta leher dan
tungkai.14

Gambar 12: Pitiriasis Alba

3. Pitiriasis Versikolor
Pitiriasis Versikolor adalah penyakit infeksi kronis asimtomatik
yang disebabkan oleh jamur Malassezia species pada stratum korneum.
Jamur jenis tersebut merupakan flora normal namun dalam suhu dan
kelembaban yang tinggi, hyperhidrosis, dan imunosupresi dapat memicu
flora ersebut untuk menginfeksi. Gambaran klinisnya berupa macula
berbentuk oval atau bulat berbatas tegas yang tersebar pada badan, leher,
dan lengan atas di lokasi terdapat banyak kelenjar sebasea. Lesi macula
tersebut dapat tampak sebagai hiperpigmentasi pada pasien yang memiliki
kulit terang dan tampak hipopigmentasi pada pasien dengan kulit yang
gelap.15

Gambar 13: Pitiriasis Versikolor

14
2.8 Tatalaksana:

Penatalaksanaan hipopigmentasi pasca inflamasi biasanya sesuai dengan


kelainan kulit yang mendasarinya. Keadaan hipopigmentasi ini tidak akan
membaik jika proses inflamasi masih terus berlangsung, repigmentation tidak
mungkin terjadi. Setelah penyebab yang mendasari secara efektif diobati. 13
Pengobatan hipopigmentasi pasca inflamasi sangat sulit, hanya sedikit pilihan
terapi yang berhasil. Berikut ini beberapa pilihan terapi yang digunakan pada
pengobatan hipopigmentasi pasca inflamasi:16

1. Kortikosteroid

Kortikosteroid topikal potensi medium dikombinasikan dengan


preparat tar telah digunakan sebagai terapi pada hipopigmentasi pasca
inflamasi, meskipun demikian mekanisme kerja belum diketahui secara
jelas. Preparat kortikosteroid berfungsi sebagai antiinflamasi dan tar
sebagai terapi fotodinamik yang menginduksi melanogenesis.

Untuk meminimalkan efek samping kortikosterid topikal,


pemakaian sediaan ini hendaknya dioleskan secara tipis pada derah yang
akan diobati.

15
2. Pimekrolimus topical

Penelitian menggunakan krim pimekrolimus % diberikan 2 kali


perhari selama 16 minggu pada kasus dermatitis seboroik dengan
hipopigmentasi pasca inflamasi pada kulit berwarna menunjukan hasil
yang memuaskan.

3. Ultraviolet atau sinar matahari

Penggunaan 8-methoxypsoralen 0,1%, coal tar 0,5-1 %, antralin


diikuti dengan paparan sinar matahari membantu mengembalikan warna
kulit. Berbagai regimen fotokemoterapi topikal (psoralen UVA topikal)
telah digunakan dengan hasil terapi yang cukup baik.

4. Laser

Laser excimer 308 nm digunakan untuk menstimulasi pigmentasi


pada skar hipopigmentasi menunjukan repigmentasi 60-70 % setelah 9
minggu terapi dengan frekuensi terapi 2x perminggu. Laser CO2
fraksional ablatif, laser fraxel restore juga efektif untuk terapi
hipopigmentasi pasca inflamasi. Namun, pengobatan selanjutnya teratur
diperlukan setiap 1-4 bulan untuk menjaga hasil. Untuk lesi yang luas,
narrow-band UVB fototerapi atau oral PUVA dapat digunakan 2-3 kali
seminggu.

2.9 Prognosis

Hipopigmentasi minimal biasanya sembuh dalam beberapa minggu,


tapihipopigmentasi parah dan depigmentasi terkait dengan lupus eritematosus,
scleroderma atau luka bakar mungkin memerlukan beberapa tahun untuk menjadi
repigmented, dan tidak menutup kemungkinan untuk permanen.13

16
BAB III

KESIMPULAN

Kelainan bercak putih pada kulit merupakan penurunan dari melanin atau
tidak adanya produksi melanin dari melanosit. Untuk memahami patofisiologi
yang mendasari gangguan kulit hipopigmentasi dan hiperpigmentasi, diperlukan
diketahui fisiologis normal proses produksi pigmen, apresiasi struktur dan fungsi
melanosit.

Banyak kondisi yang dapat menyebabkan hipopigmentasi postinflamasi.


Diantaranya, seperti pityriasis lichenoides chronica (PLC) dan lichen striatus
(LS), cenderung menginduksi hipopigmentasi postinflamasi daripada
hiperpigmentasi. Cedera kulit akibat luka bakar, iritasi, dan prosedur dermatologis
(misalnya Chemical peeling, dermabrasi, cryotherapy, terapi laser) juga dapat
menyebabkan hipo-pigmentasi postinflamasi.

Penatalaksanaan hipopigmentasi pasca inflamasi biasanya sesuai dengan


kelainan kulit yang mendasarinya. Keadaan hipopigmentasi ini tidak akan
membaik jika proses inflamasi masih terus berlangsung.

Hipopigmentasi minimal biasanya sembuh dalam beberapa minggu, tapi


hipopigmentasi parah dan depigmentasi terkait dengan lupus eritematosus,
scleroderma atau luka bakar mungkin memerlukan beberapa tahun untuk menjadi
repigmented, dan tidak menutup kemungkinan untuk permanen.

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Tabri F, Firmansyah RSP. Tatalaksana bercak putih pada kulit anak. Al


Hayaatun putra Mufidah. Desember 2016. 9-10 p.

2. Vachiramon V, Thadanipon K. Postinflammatory Hypopigmentation. Clinical


Experimental Dermatology. 2011.

3. Bolognia JL, Schaffer JV, Cerroni L. Dermatology. 4 th Ed. USA: Elsevier.


2018.

4. Wolff K, Johnson RA, Saavedra AP. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis
of Clinical Dermatology. 7th Ed. USA: Mc Graw Hill Edu. 2013.

5. Wardhani PH, Rahmadewi. Pilihan Terapi Hiperpigmentasi Pascainflamasi


pada Kulit Berwarna. Periodical J Dermatology and Venereology. 2016
Dec;28(3).

6. Kang S, Amagai M, Bruckner AL, et al, editors. Fitzpatrick’s Dermatology 9 th


Ed. USA: Mc Graw Hill Edu. 2019.

7. Peckham M. Histology At a Glance. 1st Ed. London: Wiley-Blackwell. 2011

8. D’Mello SAN, Finlay GJ, Baguley BC, et al. Signaling Pathway in


Melanogenesis. New Zealand: Int. J Mol Sci. 2016 Jul 15;1144(7)

9. Linuwih S, Bramono K, Indriatmi W, editor. Ilmu Penyakit Kulit dan


Kelamin. 7th Ed. Indonesia: FKUI. 2016.3-4p, 352-353p.

10. Suryaningsih BE, Soebono H. Biologi Melanosit. Yogyakarta: MDVI.


2016;43(2). 79-80p.

11. Griffiths CEM, Barker J, Bleiker T, et al. Rook’s Textbook of Dermatology.


9th Ed. UK: Wiley-Blackwell. 2016.

12. Maldonado R, Luz M. Postinflammatory Hypopigmentation and


Hyperpigmentation. Mexico: J Cutaneus Med Surg. 1997 Mar;16(1). 41-42p.

13. Tyas M, Basuki R, Ratnaningrum K. Buku Ajar Sistim Integumen. Semarang:


Unimus Press. 2017. 91-94p.

14. Habif TP & Dinulas JGH. Skin Disease Diagnosis and Treatment. 4 th Ed.
China: Elsevier. 2017.

15. Gubta AK & Foley KA. Antifungal Treatment for Pityriasis Versicolor.
Canada: J Fungi. 2015 Mar 12;3390(10). 13-14p.

18
16. Praharsini I. Manajemen Perubahan Pigmen Pasca Infeksi pada Kulit.
Indonesia: Nat Symp Dermatology and Venerology. 2016 Oct 23. 211-212p.

19

Anda mungkin juga menyukai