Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

TRADISI PERBEDAAN DALAM FIKIH DAN FAKTOR PENYEBABNYA


Diajukan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah TARIKH TASYRI’
Oleh Dosen Pengampu : Ahmad Fauzi Abdurrahman, Lc, M.H

Disusun Oleh :

Badrul Ma’arif (1821407023)

HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
IAIN SAMARINDA
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT, shalawat serta salam senantiasa Allah
karuniakan atas penutup dan Nabi paling mulia, Muhammad SAW juga atas
segenap keluarganya, para shahabat, para Tabi’in dan Tabi’in-tabiin serta para
pengikut setia Nya hingga akhir zaman.

Makalah yang berjudul “Tradisi Perbedaan Dalam Fikih dan Faktor


Penyebabnya” ini, kami susun unuk memenuhi tugas yang diamanahkan kepada
kami pada mata kuliah Tarikh Tasyri’ serta sebagai wasilah untuk memperdalam
tentang Perbedaan Pendapat dan pihak lain yang berkenan membacanya, makalah
ini fokus pada pokok bahasan sehingga mudah dipahami dan memiliki ruang
lingkup yang terbatas pada judul diatas. Oleh karena itu, kami berterima kasih
kepada :
1. Allah SWT, yang telah menyempatkan kami menyelesaikan tugas ini.
2. Bapak Ahmad Fauzi Abdurrahman, Lc, M.H Selaku dosen pembimbing
dalam mata kuliah Tarikh Tasyri’
Namun kami menyadari bahwa makalah ini masih belum sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat diharapkan untuk
perbaikan makalah mendatang. Untuk itu pada kesempatan ini kami
menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini. Kami berharap mudah-mudahan makalah ini
bermanfaat bagi para pembaca. Amiin.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

Samarinda, November 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...........................................................................1
B. Rumusan Masalah……………………………………………..2
C. Tujuan .......................................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian perbedaan pendapat para ulama …………………..3
B. Klasifikasi ikhtilaf para ulama ……………………………......5
C. Sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama ………………...8
D. Faedah mengetahui sebab terjadinya perbedaan pendapat para
ulama ………………………………………………………...15
E. Cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama ……………16

BAB III : PENUTUP

Kesimpulan ……………………………………………………...18
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbedaan, pro dan kontra, selalu akan muncul dalam dinamika kehidupan.
Jangankan yang berasal manusia, yang berasal dari yang Maha Benar pun, Allah
azza wa jalla, menimbulkan pro dan kontra. Oleh karena itu, perbedaan adalah
sesuatu yang niscaya bagi kita, tidak bisa kita menghindari perbedaan. Allah
berfirman: “ … Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu” (QS 5:48).

Perbedaan pendapat, dalam koridor keilmuan merupakan rahmat bagi kita,


perbedaan itu akan memperkaya pengetahuan kita, dan ini telah dibuktikan oleh
ulama-ulama besar dahulu seperti para imam, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali. Namun, yang kita sayangkan adalah perdebatan itu kadang-kadang kita
melupakan ajaran Allah yang lain, yaitu kasih sayang, tidak jarang kita lihat kata-
kata kotor meluncur begitu saja, cacian, hujatan bahkan pengkafiran begitu mudah
kita dengar. Kalau kita lihat mereka yang berdebat dengan mengabaikan akhlakul
karimah biasanya dari kalangan yang tidak kita kenal kapabilitasnya dalam ilmu,
namun begitu, celakanya, ada juga di antara mereka yang berdebat tanpa
mengindahkan etika justru dari kalangan yang kita kenal berilmu. Betapa banyak
kita menemukan perbedaan pendapat, dari kalangan ulama sampai kalangan
awam, perbedaan, pertentangan begitu riuh rendah.

Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama kita akan mendapati
bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an
dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena
Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa

1
ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil
dihapus.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian perbedaan pendapat para ulama (ikhtilaf al-ulama)?

2. Bagaimana klasifikasi ikhtilaf para ulama?

3. Apa sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama?

4. Apa faedah mengetahui sebab terjadinya perbedaan pendapat para ulama?

5. Apa hikmah adanya perbedaan pendapat para ulama?

6. Bagaimana cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui pengertian perbedaan pendapat para ulama (ikhtilaf al-


ulama);

2. Untuk mengetahui klasifikas ikhtilaf para ulama;

3. Untuk mengetahui sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama;

4. Untuk mengetahui faedah mengetahui sebab terjadinya perbedaan pendapat


para ulama;

5. Untuk mengetahui hikmah adanya perbedaan pendapat para ulama;

6. Untuk mengetahui cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perbedaan Pendapat Para Ulama (Ikhtilaf al- Ulama)

Secara etimologi, term ikhtilaf berasal dari akar kata khalafa yang mempunyai
arti ganti atau beda. Term khalafa bila dijadikan bentuk fiil tsulatsi mazid dengan
tambahan hamzah dan ta’ maka akan menjadi ikhtalafa yang bentuk mashdarnya
adalah ikhtilaf. Ikhtilaf mempunyai arti ‘adam al-Ittifaq (tidak adanya
persetujuan). Dengan demikian ketika diucapkan Takhalafa al-Qaumu wa
Ikhtalafuu, maka berarti sekelompok masyarakat saling berbeda dan tak
sependapat. Term ikhtilaf ini merupakan lawan kata dari Ittifaq yang mempunyai
makna persetujuan.

Sementara secara terminologi, ikhtilaf berarti seseorang menempuh metode


atau pendapat yang berbeda dengan yang lain. Ada juga yang mengatakan bahwa
ikhtilaf adalah seseorang mengambil sebuah cara yang berbeda dengan cara
pertama. Di samping itu ada juga yang menyatakan bahwa ikhtilaf adalah seorang
alim yang berpendapat berbeda dengan yang lain.1

Definisi-definisi tersebut mencakup ikhtilaf yang mahmud (terpuji)


dan madzmum (tercela) maupun jidal (perdebatan sengit yang hanya didorong
hawa nafsu belaka). Karena itulah, dari sekian definisi di atas yang dianggap lebih
shahih adalah definisi yang menyatakan bahwa ikhtilaf adalah ketika seorang alim
berbeda pendapat dengan yang lain semata-mata demi mencari kebenaran. Dalam
definisi tersebut terdapat batasan alim yang tidak memasukkan ikhtilafnya orang
bodoh lantaran ikhtilafnya tidak dianggap sebagai ikhtilaf syar’i. Sementara
batasan demi mencari kebenaran ini mengecualikan perbedaan pendapat yang
hanya didasari hawa nafsu belaka.
1
Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh al-Islami, (Beirut: Dar al-Fikr, 1986) h. 78

3
Selain itu, ternyata ada juga ulama yang menyebut term khilaf dengan tidak
menyebut ikhtilaf yang memiliki arti perdebatan atau pertentangan di antara dua
orang untuk menemukan kebenaran dan mengalahkan kebathilan. Meskipun
secara lafdzi antara term khilaf dan ikhtilaf memiliki perbedaan, tetapi secara
substansi artikulasi, kuduanya memiliki kesamaan. Imam Al-Jurjani dalam
karyanya “At-Ta’riifaat” -sebagaimana dikutip Bakariy Tunkara- lebih suka
menggunakan term khilaf, namun makna yang dikehendaki tetap memiliki
kesamaan. Demikian juga Yasir Husain Barhami, ia lebih tertarik menggunakan
term khilaf. Dalam karyanya yang berjudul “Fiqh al-Khilaf Baina al-Muslimin”,
sekilas Syekh Yasin tampak tidak konsisten dalam penggunaan istilah. Dalam
satu sub pembahasan ia menggunakan term ikhtilaf, tetapi dalam sub bab yang
lain ia menyebut khilaf. Boleh jadi inkonsistensi term ini berpijak dari
anggapannya yang tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf.2 Ahmad
Warson, dalam kamus al-Munawwirnya tidak membedakan
antara khilaf dan ikhtilaf yang memiliki arti perbedan pendapat atau perselisihan
faham. Demikian juga Thaha Jabir Fayyadl, dalam “Adab al-Ikhtilaf fil Islam”,
menganggap sama antara khilaf dan ikhtilaf yang mempunyai makna perbedaan
ucapan. pendapat, keadaan maupun sikap. Dengan demikian secara isti’mal,
mayoritas fuqaha tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf . Keduanya
merupakan dua kata yang berbeda secara lafdzi, tetapi sama secara makna. Dalam
kaidah bahasa arab, sinonimitas linguistik seperti ini dianggap wajar.

Namun demikian, sebagian ulama ada yang membedakan keduanya.


Dalam “Fath al-Qadir”, “Ad-Durr al-Mukhtar” dan “Hasyiyah Ibn
‘Abidin” disebutkan bahwa terdapat perbedaan antara khilaf dan ikhtilaf. Ketika
perbedaan pendapat tersebut tidak didasarkan pada dalil yang jelas, maka
perbedaan semacam ini disebut sebagai khilaf. Sebaliknya, jika perbedaan
pendapat tersebut masing-masing didasarkan atas dalil, maka disebut

2
Husain Barhami, Yasir, 2000. Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin, (Kairo: Dar al-Aqidah, 2000) h.
128

4
sebagai ikhtilaf. Imam at-Tahawuni termasuk salah satu ulama yang juga
membedakan kedua term tersebut. Ia menegaskan bahwa khilaf terjadi jika
terdapat pendapat yang marjuh (lemah) berhadapan dengan pendapat
yang rajih (kuat), namun bila dalam perbedaan pendapat itu tidak ditemukan
pendapat yang kuat maupun lemah, maka yang demikian ini disebut
sebagai ikhtilaf. Ringkasnya, menurut at-Tahawuni, bila terdapat salah satu
pendapat yang bertentangan dengan nash sharih ataupun ijma’, maka dianggap
sebagai khilaf, jika tidak maka disebut ikhtilaf.

B. Klasifikasi Ikhtilaf Para Ulama

Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful


qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk
kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak
ditolerir. Dan ini mencakup serta meliputi semua jenis perbedaan dan perselisihan
yang terjadi antar ummat manusia, tanpa membedakan tingkatan, topik masalah,
faktor penyebab, unsur pelaku, dan lain-lain. Yang jelas jika suatu perselisihan
telah memasuki wilayah hati, sehingga memunculkan rasa kebencian,
permusuhan, sikap wala’-bara’, dan semacamnya, maka berarti itu
termasuk tafarruq (perpecahan) yang tertolak dan tidak ditolerir. Kedua, ikhtilaful
‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan
pemahaman), yang masih bisa dibagi lagi menjadi dua3:

1. Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini jelas termasuk


kategori tafarruq atau iftiraq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak
ditolerir. Maka pembahasannya tidak termasuk dalam materi fiqhul ikhtilaf,
melainkan dalam materi aqidah, yang biasa saya sebut dan istilahkan
dengan fiqhul iftiraq (fiqih perpecahan). Dan perselisihan jenis inilah yang
melahirkan kelompok-kelompok sempalan dan menyimpang di dalam Islam yang

3
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Gaung Persada Press,
2011) h. 101-102

5
biasa dikenal dengan sebutan firaq daallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’
wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan mengikut hawa nafsu), seperti Khawarij,
Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murji-ah, dan
lain-lain.

2. Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Inilah perbedaan


dan perselisihan yang secara umum termasuk kategori ikhtilafut
tanawwu’ (perbedaan keragaman) yang diterima dan ditolerir, selama tidak
berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang
menjadi bahasan utama dalam materi fiqhul ikhtilaf pada umumnya, dan dalam
tulisan ini pada khususnya.

Dalam “Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin”, Syaikh Yasir Husain, menyatakan


bahwa ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf tanawwu’ (variatif) dan ikhtilaf
tadladud (kontradiktif).4

Pertama, ikhtilaf tanawwu’ adalah perbedaan yang sebenarnya, antara


pendapat yang satu dengan yang lain tidak bertentangan. Pendapat-pendapat
tersebut semuanya dianggap pendapat yang benar. Artinya, dalam ikhtilaf jenis ini
terdapat banyak pendapat yang benar namun berbeda dari segi bentuk saja.
Perbedaan pendapat jenis ini seperti yang terjadi pada perbedaan qira’at dalam al-
Qur’an, bacaan tasyahud, kalimat dzikir dan sebagainya. Dalam surat al-Fatihah,
ada yang membaca “Maaliki yaumi ad-din” dan ada juga yang membaca “maliki
yaumi ad-din”. Keduanya dianggap sama-sama benar dan boleh diamalkan.
Demikian juga yang terjadi pada kasus tasyahud. Terdapat beberapa jenis bacaan
tasyahud, di antaranya adalah tasyahud versi Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Umar
ibn Khattab. Semuanya dianggap bacaan shahih yang boleh diamalkan. Demikian
juga ikhtilaf dalam hal bacaan doa iftitah. Sebagian ulama ada yang mengatakan
bahwa doa iftitah berbunyi:

‫ق َوا ْﻟ َﻤ ْﻐﺮِب‬
ِ ‫اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ﺑَﺎ ِﻋ ْﺪ ﺑَ ْﯿﻨِﻲ َوﺑَﯿْﻦَ َﺧﻄَﺎﯾَﺎيَ َﻛﻤَﺎ ﺑَﺎ َﻋﺪْتَ ﺑَﯿْﻦَ ا ْﻟ َﻤ ْﺸ ِﺮ‬
4
Pembukuan Manhaji, Team, Paradigma Fiqih Masail, (Kediri: Lirboyo, 2003) h.56-57

6
ْ‫ﺲ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ا ْﻏﺴِﻞ‬
ِ َ‫اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ﻧَﻘﱢﻨِﻲ ﻣِﻦَ ا ْﻟ َﺨﻄَﺎﯾَﺎ َﻛﻤَﺎ ﯾُﻨَﻘﱠﻰ اﻟﺜﱠﻮْ بُ اﻷَ ْﺑﯿَﺾُ ﻣِﻦَ اﻟ ﱠﺪﻧ‬ ‫ﺞ‬
ِ ‫ي ﺑِﺎ ْﻟﻤَﺎ ِء َواﻟﺜﱠ ْﻠ‬
َ ‫َﺧﻄَﺎﯾَﺎ‬
.‫َوا ْﻟﺒَ َﺮ ِد‬

Doa ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah
bahwasanya suatu ketika Rasulullah pernah mengucapkan doa tersebut sesaat
setelah melakukan takbir dalam shalat. Sebagian ulama juga ada yang berpendapat
bahwa doa iftitah adalah:

‫ ﻗﻞ إِنﱠ ﺻ ََﻼﺗِﻲ َوﻧُ ُﺴﻜِﻲ‬، َ‫ت َو ْاﻷَرْ ضَ َﺣﻨِﯿﻔًﺎ وَ َﻣﺎ أَﻧَﺎ ﻣِﻦَ ا ْﻟ ُﻤ ْﺸ ِﺮﻛِﯿﻦ‬
ِ ‫إﻧﻲ َو ﱠﺟﮭْﺖُ َوﺟْ ﮭِﻲ ﻟِﻠﱠﺬِي ﻓَﻄَ َﺮ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎ َوا‬
‫ﻚ أُﻣِﺮْ تُ َوأَﻧَﺎ أَ ﱠو ُل ا ْﻟ ُﻤ ْﺴﻠِﻤِﯿﻦ‬
َ ِ‫ َوﺑِ َﺬﻟ‬،ُ‫ﻚ ﻟَﮫ‬
َ ‫ي َو َﻣﻤَﺎﺗِﻲ ِ ﱠ ِ رَبﱢ ا ْﻟﻌَﺎﻟَﻤِﯿﻦَ َﻻ َﺷﺮِﯾ‬
َ ‫َوﻣَﺤْ ﯿَﺎ‬

Doa tersebut berlandaskan hadis yang diriwiyatkan oleh sahabat Ali ibn
Abi Thalib bahwasanya Rasulullah pernah membaca doa itu saat melakukan
iftitah dalam shalat. Kedua doa iftitah tersebut dianggap sebagai doa yang sama-
sama ma’tsur dan boleh diamalkan.

Kedua, ikhtilaf tadladud, yaitu ikhtilaf yang antara satu pendapat dan lainnya
saling bertentangan. Ikhtilaf ini terbagi menjadi dua yakni ikhtilaf Sa’igh ghairu
Madzmum ( boleh dan tak tercela) dan Ghairu Sa’igh madzmum (tidak boleh dan
tercela). Ikhtilaf tadladud jenis pertama umumnya terjadi pada permasalahan
furu’iyah (partikular syariat), yaitu pada kasus-kasus yang bersifat praktis bukan
masalah i’tiqadiyah (keyakinan). Namun menurut Yasir Husain, bahwa yang lebih
tepat adalah membatasi ikhtilaf jenis ini dengan ikhtilaf-ikhtilaf yang tidak
bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas, baik yang berkaitan
dengan masalah amaliah praktis (fiqih) maupun yang berhubungan dengan
persoalan i’tiqadiyah (keimanan). Tetapi ikhtilaf jenis ini relatif sedikit pada
masalah i’tiqad karena banyaknya dalil-dalil yang bersifat qath’i (pasti) sehingga
kesempatan ikhtilaf ini muncul tidak sebesar pada ikhtilaf dalam hal fiqih yang
sebagian besar dalilnya bersifat dhanni (asumtif). Karena benyaknya dalil dhanni
inilah kemudian para ulama menyatakan bahwa ikhtilaf jenis ini adalah ikhtilaf
wajar yang tidak tercela.5

5
Pembukuan Manhaji, Team, Paradigma Fiqih Masail, (Kediri: Lirboyo, 2003) h.60

7
Sedangkan jenis ikhtilaf tadladud yang kedua yakni perbedaan pendapat yang
tidak diperbolehkan sekaligus tercela adalah perpedaan dalam masalah-masalah
ushuluddin yang lebih populer dengan masalah pokok atau akidah. Namun,
menurut syekh Yasir, ikhtilaf yang tidak diperbolehkan adalah ikhtilaf yang
bertentangan dengan nash al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas, baik masalah
tersebut masuk dalam wilayah furu’ (partikular syari’at) maupun ushuluddin
(pokok agama/akidah).

C. Sebab-sebab Perbedaan Pendapat Para Ulama

Sebagaimana yang telah terdeskripsikan dalam latar belakang masalah di atas,


bahwa perbedaan pendapat dalam istinbath hukum adalah sesuatu yang niscaya
dan tak bisa dihindari. Syariat Islam menjadi lahan yang amat subur bagi
terciptanya perbedaan-perbedaan pendapat ini. Di antara faktor yang
menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut adalah6:

1. Adanya perbedaan watak dan karakter manusia

Perbedaan watak dan karakter manusia ini menjadi penyebab utama


munculnya berbagai macam perbedaan pendapat. Hal ini dikarenakan Allah telah
menjadikan manusia berbeda-beda dari segi watak, sikap dan pemahaman,
sehingga mau tidak mau dan disadari atau tidak akan memunculkan persepsi dan
pandangan yang berbeda dalam menyikapi segala sesuatu.

2. Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda

Pemahaman terhadap bahasa arab menjadi salah satu modal penting bagi
mujtahid dalam memahami syariat Islam. Ini disebabkan lantaran sumber primer
syariat menggunakan bahasa Arab. Permasalahannya kemudian adalah dalam hal
pemahaman. Masing-masing ulama memiliki pemahaman yang berbeda satu sama

6
Afif, Abdul Wahhab, Pengantar Studi Perbandinga Mazhab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1995)
h.200-203

8
lain. Perbedaan itu mencakup segi-segi penggunaan, gaya bahasa, dilalah, kata-
kata musytarak, mutaradif, hakikat, majaz dan sebagainya. Salah satu contohnya
adalah dalam hal pemahaman nash yang menjelaskan tentang kewajiban
membasuh kedua tangan saat berwudhu yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat
6. Mayoritas ulama menyatakan bahwa wajib untuk membasuh tangan sampai
pada siku-siku, artinya siku-siku pun harus ikut terbasuh. Hal ini didasarkan
karena lafadz “ila” pada kalimat “ilal mirfaqaini” bermakna “ma’iyyah”
(bersama/ikut serta). Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa siku
tak harus ikut terbasuh karena makna “ila” bermakna “ghayah”(batas akhir).

3. Adanya perbedaan penetapan maslahah

Tak diragukan lagi, bahwa syariat diturunkan semata-mata untuk


kemaslahatan umat. Asumsi pastinya bahwa setiap hukum mesti mengandung apa
yang disebut sebagai maslahah atau kebaikan. Namun demikian, dalam hal
penetapan maslahah ini ternyata para ulama mempunyai pandangan masing-
masing akibat perbedaan adat istiadat, kebiasaan dan kondisi lingkungan yang
melingkupi. Bahkan, lantaran begitu besarnya pengaruh kondisi lingkungan dalam
penetapan maslahah ini, imam Syafi’i sampai harus mengeluarkan dua pendapat
berbeda dalam satu kasus. Munculnya qaul qadim dan qaul jadidnya menjadi
bukti nyata bahwa faktor lingkungan amat mempengaruhi perbedaan pendapat.

4. Adanya perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif)

Sebagian besar nash adalah nash-nash yang bersifat asumtif. Nash-nash ini
pada akhirnya memunculkan banyak takwil dan praduga yang bervariatif dari para
mujtahid. Terkadang sebuah nash bersifat global yang menurut sebagian
ulama ditakhsis dengan dalil lain, namun menurut sebagian yang lain nash
tersebut tidak mengalami pentakhsisan (pengkhususan). Terkadang pula sebuah
nash bersifat mutlak yang menurut sebagian ulama diqayyidi (dibatasi) dengan
dalil lain, tetapi menurut sebagian yang lain nash tersebut tetap dengan
kemutlakannya.

5. Adanya perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i

9
Sebagian besar ulama ushul menyatakan bahwa sumber syari’at berjumlah 4,
yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Tetapi pada kenyataannya masih
ditemukan sebagian ulama lain yang tidak mengakui legalitas dari salah satu
sumber syari’at. Ibnu Hazm misalnya, ia adalah salah satu pengikut mazhab
Dawud az-Zhahiri yang tidak mengakui legalitas qiyas. Ia menyatakan bahwa
pendapat yang didasarkan atas qiyas adalah pendapat dusta yang tak bisa
dipertanggungjawabkan. Qiyas dianggap sebagai metode yang mempermainkan
maksud Tuhan dengan hanya berdasar pradugaa. Pada kasus yang lain, didapati
bahwa imam Abu Hanifah dan para pengikutnya terkenal sebagai pengguna
metode istihsan. Di dalam banyak kitab-kitab yang berafiliasi pada mazhab
Hanafiyah banyak dijumpai redaksi yang berbunyi “Al- Hukm fi hadzihi al-
Mas’alah Qiyasan Kadza , Wa istihsanan Kadza” (secara qiyas, hukum dalam
masalah ini adalah begini dan secara istihsan adalah seperti ini). Mereka
menjadikan istihsan sebagai sumber hukum kelima setelah empat sumber yang
telah disepakati. Bahkan, sebenarnya istihsan ini merupakan bentuk kemenangan
qiyas khafiy atas qiyas jaliy. Sementara itu, imam Syafi’i dikenal sebagai ulama
mazhab yang menentang konsep istihsan. Ia pun tak segan-segan melontarkan
adagium “Man istahsana faqad Syara’a” (siapa yang beristihsan, maka ia telah
membuat syari’at baru). Perbedaan-perbedaan sumber hukum seperti inilah yang
pada gilirannya memicu perbedaan formulasi hukum yang dihasilkan.

6. Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah

As-Sunnah merupakan salah satu sumber hukum Islam yang menempati


posisi kedua setelah al-Qur’an. Seluruh ulama mengakui akan hal itu. Problemnya
kemudian adalah tak semua ulama satu suara dalam menilai validitas sebuah
sunnah Nabi. Tak jarang dijumpai sebuah hadis yang menurut sebagian ulama
dianggap sebagai hadis shahih yang layak untuk dijadikan hujjah, tetapi di satu
sisi ada juga ulama lain yang menilai hadis tersebut adalah hadis dla’f yang
terdapat cacat sehingga tak diperkenankan untuk dijadikan sebagai landasan
hukum. Problem seperti ini juga pada akhirnya berimplikasi pada perbedaan hasil
ijtihad.

10
7. Adanya perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah

Munculnya sebuah kaidah ushuliyah berawal dari ijtihad para ulama.


Sementara, mustahil untuk menyatukan ijtihad-ijtihad tersebut dalam satu suara.
Masing-masing ulama memiliki cara dan metode tersendiri dalam menciptakan
sebuah kaidah. Terkadang sebagian ulama memproklamirkan sebuah kaidah
tertentu, namun ulama lain menentangnya sebagaimana yang terjadi pada kaidah
ushul “Ma la yatimmu al-Wajibu illa bihi fahuwa wajibun” (sebuah kewajiban
yang tidak bisa sempurna kecuali dengan melakukan pekerjaan tertentu, maka
pekerjaan itu menjadi wajib). Kaidah ini, sering digunakan kalangan Syafi’iyah
dalam menetapkan suatu hukum. Wudlu misalnya, hukum asal wudlu sebenarnya
adalah mubah, tetapi di satu sisi wudlu merupakan salah satu syarat untuk
melaksanakan ibadah shalat. Dengan demikian hukum berwudlu menjadi ikut
wajib. Mayoritas ulama menyetujui hal tersebut lantaran sebelumnya terdapat
nash yang menyinggung permasalahan wudlu. Akan tetapi ketika kaidah tersebut
dibenturkan dengan problem pekerjaan (perantara) sebuah kewajiban yang
bersifat mutlak, tanpa ada kejelasan dari nash, maka dalam hal ini terdapat ulama
yang tidak menyetujuinya, sebagaimana persoalan keharusan mengusap sebagian
kepala demi kesempurnaan membasuh wajah dalam wudlu.

8. Adanya perbedaan pemahaman terhadap pendapa ulama terdahulu

Tak dapat dipungkiri, bahwa salah satu penyebab munculnya perbedaan


pendapat adalah akibat berbedanya pandangan dalam menyikapi ucapan imam-
imam mazhab. Sering dijumpai perbedaan-perbedaan pandangan dari para ulama
pengikut mazhab meski sama-sama berafiliasi dalam satu mazhab. Imam Nawawi,
salah seorang ulama pengikut mazhab Syafi’i misalnya, dalam beberapa hal
ternyata memiliki pandangan dengan imam Nawawi yang notabene adalah
pengikut mazhab Syafi’i juga. Perbedan-perbedaan seperti itu akan juga banyak
ditemukan dalam mazhab-mazhab yang lain.

Ulama lain berpendapat bahwa dikelompokkan kedalam empat sebab utama:

11
1. Perbedaan pendapat tentang valid - tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu
sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang
shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena
seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).

2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu. Jadi


meskipun suatu dalil telah disepakati keshahihannya, namun potensi perbedaan
dan perselisihan tetap saja terbuka lebar. Dan hal itu disebabkan karena adanya
perbedaan dan perselisihan para ulama dalam memahami, menafsirkan dan
menginterpretasikannya, juga dalam melakukan pemaduan atau pentarjihan antara
dalil tersebut dan dalil-dalil lain yang terkait.

3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil
(sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang
memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih
mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.

4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan realita kehidupan,


situasi, kondisi, tempat, masyarakat, dan semacamnya. Oleh karenanya, di
kalangan para ulama dikenal ungkapan bahwa, suatu fatwa tentang hukum syar’i
tertentu bisa saja berubah karena berubahnya faktor zaman, tempat dan faktor
manusia (masyarakat). Dan sebagai contoh misalnya, dalam beberapa masalah di
madzhab Imam Asy-Syafi’i rahimahullah dikenal terdapat qaul qadiim (pendapat
lama, yakni saat beliau tinggal di Baghdad Iraq) dan qaul jadiid (pendapat baru ,
yakni setelah beliau tinggal di Kairo Mesir). Begitu pula dalam madzhab Imam
Ahmad rahimahullah, dikenal banyak sekali riwayat-riwayat yang berbeda-beda
dari beliau tentang hukum masalah-masalah tertentu.

Salah satu penyebab perbedaan pendapat atau ikhtilaf adalah diakibatkan oleh
Perbedaan dalam memahami ayat al-Qur'an. Al-Qur'an merupakan pegangan
pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka seringkali berbeda
dalam memahaminya, disebabkan:

a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak).

12
Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Dimana quru’ bisa berarti suci bisa
juga berarti haidh. Bahkan sebelum ayat tersebut diturunkan, kata Quru' telah
dikenal oleh bangsa Arab bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan masa kotor.

Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar)
memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga,
maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang
bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya
(meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda
pendapat dalam hal ini.

b. Susunan ayat Al-Qur'an membuka peluang terjadinya perbedaan pendapat


Huruf "fa", "waw", "aw", "illa", "hatta" dan lainnya mengandung banyak fungsi
tergantung konteksnya.

Sebagai contoh, huruf "FA" dalam QS 2:226-227 mengandung dua fungsi.


Sebagian memandang huruf "FA" itu berfungsi "li tartib dzikri" (susunan dalam
tutur kata). Sebagian lagi berpendapat bahwa huruf "FA" dalam ayat di atas
berfungsi "li tartib haqiqi" (susunan menurut kenyataan). Walhasil kelompok
pertama berpendapat bahwa suami setelah 'ila (melakukan sumpah untuk tidak
campur dengan isteri), harus campur dengan isteri sebelum empat bulan, kalau
sudah lewat empat bulan maka jatuh talak. Kelompok kedua berpendapat bahwa
tuntutan supaya campur dengan isteri (untuk menghindari jatuhnya talaq) itu
setelah lewat empat bulan.

c. Perbedaan memandang lafaz 'am - khas, mujmal-mubayyan, mutlak-muqayyad,


dan nasikh-mansukh.

Lafaz al-Qur'an adakalanya mengandung makna umum ('am) sehingga


membutuhkan ayat atau hadis untuk mengkhususkan maknanya. Kadang kala tak
ditemui qarinah (atau petunjuk) untuk mengkhususkannya, bahkan ditemui
(misalnya setelah melacak asbabun nuzulnya) bahwa lafaz itu memang am tapi
ternyata yang dimaksud adalah khusus (lafzh 'am yuradu bihi al-khushush). Boleh
jadi sebaliknya, lafaznya umum tapi yang dimaksud adalah khusus (lafzh khas

13
yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata
"amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna
umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang
kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada
kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa
perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini
(misalnya memukul, dan sebagainya).

Dan persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat
sebagai berikut:

 lafaz umum dan memang maksudnya untuk umum, atau


 lafaz umum tetapi maksudnya untuk khusus; dan
 lafaz khusus dan memang maksudnya khusus; atau
 lafaz khusus tetapi maksudnya umum.

d. Perbedaan dalam memahami lafaz perintah dan larangan

Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga
kemungkinan:

 al-aslu fil amri lil wujub : (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk
dilakukan)
 al-aslu fil amri li an-nadab : (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk
dilakukan)
 al-aslu fil amri lil ibahah : (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk
dilakukan)

Contohnya lafaz "kulluu wasyrabuu" (makan dan minumlah) menggunakan


bentuk perintah, tetapi yang dimaksud adalah mubah. Lafaz "fankihuu maa thaba
lakum minn nisa" (nikahilah wanita-wanita yang kamu sukai) juga menggunakan
bentuk perintah. Para ulama ada yang memandang bahwa itu adalah wajib
(mazhab Zhahiri), dan ada yang memandang sunnah (jumhur ulama).

14
D. Faedah Mengetahui Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Para
Ulama

Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para Imam Mazhab


dan para ulama’ fiqih, sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari taqlid
buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan
pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Sehingga dengan
demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang
diperselisihkan.

Di samping dari itu apabila diketahui bahwa sebab yang menimbulkan


perbedaan tersebut kurang tepat dijadikan alasan, maka akan diusahakan untuk
mendudukannya pada proporsi yang tepat. Sebagaimana telah diketahui, bahwa
sebagian dasar yang mereka pergunakan adalah hadits. Sedangkan hadist dikala
itu masih belum dibukukan. Jadi bila ternyata ada fatwa sahabat atau generasi
sahabat itu didasarkan pada ra’yu saja karena tidak ditemukan hadits dalam suatu
masalah, maka dengan adanya hadits shahih yang bertalian dengan masalah
tersebut, tentu hukum yang mereka telah tetapkan boleh ditinjau kembali dan
tidak perlu dicari-cari alasan untuk membela alasan mereka, karena mereka
sendiri sepakat, bahwa sepanjang ada hadits (nash) terutama yang shahih maka
ra’yu harus dikesampingkan.

Menurut Abdul Wahhab Afif, faidah mempelajari ikhtilaf adalah sebagai


berikut7:

1. Dengan mempelajari dalil-dalil ulama dalam menyampaikan suatu masalah


fiqhiyah (ijtihadiyah), ia akan mendapatkan keuntungan ilmu pengetahuan secara
sadar dan meyakinkanakan ajaran agamanya.

7
Afif, Abdul Wahhab, Pengantar Studi Perbandinga Mazhab,(Jakarta: Darul Ulum Press, 1995)
h. 230

15
2. Akan menjadi kelompok yang benar-benar menghormati semua imam
mazhab, tanpa membedakan satu dengan yang lainnya, karena pandangan dan
dalil yang dikemukakan pada hakikatnya tidak terlepas dari aturan-aturan ijtihad

3. Dengan memperhatikan landasan berfikir mereka mengenai dalil/alasan,


seorang muqarin dapat mengetahui bahwa dasar-dasar mereka tidak keluar dari
mushaf al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad saw dengan perbedaan
interpretasi, atau mereka mengambil Qiyas, maslahah mursalah, istishab, atau
prinsip-prinsip umum dalam nushus syari’at Islam dalam dalam menyelesaikan
semua persoalan yang ada dalam masyaarakat, baik yang bersifat ibadah maupun
muamalah.dengan demikian, muqarin memahami bahwa kehidupan sehari-hari
dari penganut mazhab lain itu bukan diatur oleh hukum diluar Islam, sehingga ia
tidak mengkafirkannya.

Sedangkan menurut Huzaemah Tahido Yanggo, mengetahui sebab-sebab


terjadinya perbedaan pendapat para imam mazhab dan para ulama fiqih, sangat
penting untuk membentu kita agar keluar dari taklid buta, karena kita akan
mengetahui yang mereka gunakan serta jalan pikiran mereka dalam menetapkan
hukum pada suatu masalah. Sehingga dengan demikian akan terbuka
kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang diperselisihkan,
meneliti system dan cara yang lebih baik serta tepat dalam menetapkan hukum,
jugs umtuk mrngembanngkan kemampuan dalam hukum fikih, bahkan akan
terbuka kemungkinan untuk menjadi mujtahid.

E. Hikmah Adanya Perbedaan Pendapat Para Ulama

Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika


didasarkan pada beberapa hal berikut yaitu:

1. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan
salah satu dalil dari sekian banyak model dalil;

2. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala
berpikir;

16
3. Memberikan kesempatan berbicarakepada lawan bicara atau pihak lain yang
berbeda pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut
kehidupan diseputar mereka.

Perbedaan pendapat dalam menetapkan sebagian hukum pada masalah furu’


suatu kemestian. Sehubungan dengan ini, DR. Yusuf Al-Qardhawi yang dikutip
dari buku Studi Perbandingan Mazhab kerya Huzaemah Tahido Yanggo,
mengomentari, bahwa orang yang ingin menyatukan kaum muslimin dalam satu
pendapat, tentang ibadat, muamalat, dan cabang agama lainnya, handaknya ia
mengetahui dan menyadari, bahwa sebenarnya mereka menginginkan suatu yang
nihil. Karena perbedaan dalam memahami hukum-hukum syari’at yang tidak
prinsipal itu adalah suatu kemestian (darurat) dan tidak dapat dihindari. Lebih
jauh beliau mengemukakan beberapa faktor adanya kemestian dari hal tersebut,
antara lain:

1. Tabiat Agama

Allah SWT menghendaki diantara hukum-hukumnya ada yang dijelaskan


secara eksplisit dan secara implisit.diantara yang ditegaskan secara eksplisitpun
ada hal-hal yang berrsifat qath’iyyah (pasti) dan Zhanniyah (tidak pasti) serta
sharih (jelas) dan mu’awwal (kemungkinan adanya interpretasi). Berkenaan
dengan hal yang memungkinkan ijtihad dan istinbath, maka kita dituntut untuk
melakukannya. Sedangkan berkenaan dengan hal-hal yang tidak
memungkinkannya, kita dituntut untuk menerima dan meyakininya (ta’abbudi).

2. Tabiat bahasa

Al-Qur’an adalah wujud ilahi yang diaplikasikan ke dalam wujud teks-teks


bahasa dan lafal.demikian pula sebagian sunnah dalam memahami teks-teks al-
Qur’an dn Sunnah, harus mengikuti kaidah-kaidah bahasanya. Dalam bahasa al-
Qur’an ada lafal yang multi-makna (msytarak), ‘am (umum, khas (khusus),
muqayyad, dan mubayyan.

3. Tabiat manusia

17
Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang beragam. Setiap insan
berbeda dalam bentuk wajahnya, tekanan suaranya, sidik jarinya dan sebagainya.
Demikian juga dengan pola pikirnya, kehendaknya, profesinya, sikap,
kecenderungan, dan lain sebagainya.

Sehubungan dengan masalah di atas, IbnuTaimiyah pernah ditanya tentamg


seseorang yang mengikuti sebagian ulama dalam masalah ijtihadiyah. “apakah ia
harus diingkari?” jawabnya . Beliau menjawab, “Segala puji bagi Allah, seseorang
yang dalam persoalan ijtihadiyah yang mengamalkan sebagian pendapat ulama,
tidak boleh dihindari ataupun diingkari, demikian orang yang mengamalkan salah
satu dari dua pendapat, maka bagi orang yang telah nampak mana yang lebih
akurat, boleh beraamal sesuai keyakinannya, tetapi kalau tidak, maka dia boleh
beramal sesuai pendapat ulama yang dapat dipercayadalam menjelaskan pada
kondisi lingkungan dan sosial tertentu.Dr. Yusuf Al-Qardhawi mengatakan bahwa
Allah SWT telah menentukan sifat krelemturan, fleksibilitas, dan keluwesan yang
menakjubkan, sehingga membuat syari’ah Islam daapat dijadikan sebagai rahmat
bagi ummatnya. Orang yang mempelajari syari’at dan fikih, akan merasajkan
luasnya ruang kemaafanatau ruaaaang kosong yang disengajakosong oleh nashg-
nash Agamadibiarkan demikian sebagai ruang kosong bagi para mujtahid untuk
diidsi dengan hal-hal yang lebih baik bagi ummat, sesuai dengan zaman dan
kondisinya, dengan selalu mempelajari tujuan-tujuan (maqashid) syari’at yang
umum.
Jumhur ulama, baik dari kalangan salaf maupun dari kalangan khalaf telah
memahami hakikat perbadaan pendapat dan hikmahmya. Mereka bahkan
menuliskan buku-buku tentang hikmah perbedaan pendapat dalam berfikih
F. Cara Menyikapi Perbedaan Pendapat Para Ulama
1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman,
amal dan akhlaq secara proporsional. Karena tanpa pemaduan itu semua, akan
sangat sulit sekali bagi seseorang untuk bisa menyikapi setiap masalah dengan
benar, tepat dan proporsional, apalagi jika itu masalah ikhtilaf atau khilafiyah.

18
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap
masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah
kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar
seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan)
dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai
bagian dari rahmat Allah bagi umat. Dan ini adalah salah satu bagian
dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap
mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-
jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu diingatkan
bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas sebagai hadits, yakni yang
berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu (perselisihan umatku adalah rahmat),
bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karenanya
bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai
rahmat bagi umat itu. Namun dasarnya adalah warisan sikap dari para ulama salaf
dan khalaf yang hampir sepakat dalam masalah ini. Sampai-sampai ada ulama
yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat
bagi Umat dalam perbedaan pendapat para imam).
5. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau
memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan
berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang
mampu, baik dari kalangan para ulama maupun para thullaabul-’ilmisy-
syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan
yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa
tahu dalil) saja pada para imam terpercaya atau ulama yang diakui kredibelitas
dan kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada siapa saja yang dipilih,
mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak berdasarkan hawa
nafsu.8

8
Afif, Abdul Wahhab, Pengantar Studi Perbandinga Mazhab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1995)
h. 233-234

19
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

· Secara etimologi, term ikhtilaf berasal dari akar kata khalafa yang
mempunyai arti ganti atau beda. Term khalafa bila dijadikan bentuk fiil tsulatsi
mazid dengan tambahan hamzah dan ta’ maka akan menjadi ikhtalafa yang bentuk
mashdarnya adalah ikhtilaf. Ikhtilaf mempunyai arti ‘adam al-Ittifaq (tidak adanya
persetujuan).
· Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful
qulub (perbedaan dan perselisihan hati). Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal
afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan
pemahaman). Dalam “Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin”, Syaikh Yasir Husain,
menyatakan bahwa ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf tanawwu’ (variatif)
dan ikhtilaf tadladud (kontradiktif).
· Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut
adalah:
1. Adanya perbedaan watak dan karakter manusia;
2. Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda;
3. Adanya perbedaan penetapan maslahah;
4. Adanya perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif);
5. Adanya perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i;
6. Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah;
7. Adanya perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah;
8. Adanya perbedaan pemahaman terhadap pendapa ulama terdahulu.
· Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para Imam Mazhab
dan para ulama’ fiqih, sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari taqlid
buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan
pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Sehingga dengan
demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang
diperselisihkan.

20
· Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika
didasarkan pada beberapa hal berikut yaitu:
1. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan
salah satu dalil dari sekian banyak model dalil;
2. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala
berpikir;
3. Memberikan kesempatan berbicarakepada lawan bicara atau pihak lain yang
berbeda pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut
kehidupan diseputar mereka.
· Cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama, anatar lain:
1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal
dan akhlaq secara proporsional;
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap
masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah
kecil seperti masalah-masalah khilafiyah;
3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian
dari rahmat Allah bagi umat.

21
DAFTAR PUSTAKA

Afif, Abdul Wahhab, Pengantar Studi Perbandinga Mazhab, Jakarta: Darul Ulum
Press, 1995

Az-Zuhaili, Wahbah, Ushul Fiqh al-Islami, Beirut: Dar al-Fikr, 1986

Husain Barhami, Yasir, 2000. Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin. Kairo: Dar al-
Aqidah, 2000

Pembukuan Manhaji, Team, Paradigma Fiqih Masail, Kediri: Lirboyo, 2003

Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Gaung


Persada Press, 2011

Anda mungkin juga menyukai