Makalah Fix Tarikh Tasyri PDF
Makalah Fix Tarikh Tasyri PDF
Disusun Oleh :
Segala puji bagi Allah SWT, shalawat serta salam senantiasa Allah
karuniakan atas penutup dan Nabi paling mulia, Muhammad SAW juga atas
segenap keluarganya, para shahabat, para Tabi’in dan Tabi’in-tabiin serta para
pengikut setia Nya hingga akhir zaman.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...........................................................................1
B. Rumusan Masalah……………………………………………..2
C. Tujuan .......................................................................................2
BAB II : PEMBAHASAN
A. Pengertian perbedaan pendapat para ulama …………………..3
B. Klasifikasi ikhtilaf para ulama ……………………………......5
C. Sebab-sebab perbedaan pendapat para ulama ………………...8
D. Faedah mengetahui sebab terjadinya perbedaan pendapat para
ulama ………………………………………………………...15
E. Cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama ……………16
Kesimpulan ……………………………………………………...18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perbedaan, pro dan kontra, selalu akan muncul dalam dinamika kehidupan.
Jangankan yang berasal manusia, yang berasal dari yang Maha Benar pun, Allah
azza wa jalla, menimbulkan pro dan kontra. Oleh karena itu, perbedaan adalah
sesuatu yang niscaya bagi kita, tidak bisa kita menghindari perbedaan. Allah
berfirman: “ … Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu
umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya
kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah
kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu” (QS 5:48).
Di antara sekian banyak "asbab al-ikhtilaf" para ulama kita akan mendapati
bahwa ternyata perbedaan pendapat itu justru karena berpegang pada Al-Qur'an
dan Hadis; kita akan takjub mendapati bahwa perbedaan itu justru terbuka karena
Al-Qur'an sendiri "menyengaja" timbulnya perbedaan itu. Kita akan temui bahwa
1
ternyata perbedaan pendapat, dalam titik tertentu, adalah suatu hal yang mustahil
dihapus.
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penulisan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Secara etimologi, term ikhtilaf berasal dari akar kata khalafa yang mempunyai
arti ganti atau beda. Term khalafa bila dijadikan bentuk fiil tsulatsi mazid dengan
tambahan hamzah dan ta’ maka akan menjadi ikhtalafa yang bentuk mashdarnya
adalah ikhtilaf. Ikhtilaf mempunyai arti ‘adam al-Ittifaq (tidak adanya
persetujuan). Dengan demikian ketika diucapkan Takhalafa al-Qaumu wa
Ikhtalafuu, maka berarti sekelompok masyarakat saling berbeda dan tak
sependapat. Term ikhtilaf ini merupakan lawan kata dari Ittifaq yang mempunyai
makna persetujuan.
3
Selain itu, ternyata ada juga ulama yang menyebut term khilaf dengan tidak
menyebut ikhtilaf yang memiliki arti perdebatan atau pertentangan di antara dua
orang untuk menemukan kebenaran dan mengalahkan kebathilan. Meskipun
secara lafdzi antara term khilaf dan ikhtilaf memiliki perbedaan, tetapi secara
substansi artikulasi, kuduanya memiliki kesamaan. Imam Al-Jurjani dalam
karyanya “At-Ta’riifaat” -sebagaimana dikutip Bakariy Tunkara- lebih suka
menggunakan term khilaf, namun makna yang dikehendaki tetap memiliki
kesamaan. Demikian juga Yasir Husain Barhami, ia lebih tertarik menggunakan
term khilaf. Dalam karyanya yang berjudul “Fiqh al-Khilaf Baina al-Muslimin”,
sekilas Syekh Yasin tampak tidak konsisten dalam penggunaan istilah. Dalam
satu sub pembahasan ia menggunakan term ikhtilaf, tetapi dalam sub bab yang
lain ia menyebut khilaf. Boleh jadi inkonsistensi term ini berpijak dari
anggapannya yang tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf.2 Ahmad
Warson, dalam kamus al-Munawwirnya tidak membedakan
antara khilaf dan ikhtilaf yang memiliki arti perbedan pendapat atau perselisihan
faham. Demikian juga Thaha Jabir Fayyadl, dalam “Adab al-Ikhtilaf fil Islam”,
menganggap sama antara khilaf dan ikhtilaf yang mempunyai makna perbedaan
ucapan. pendapat, keadaan maupun sikap. Dengan demikian secara isti’mal,
mayoritas fuqaha tidak membedakan antara term khilaf dan ikhtilaf . Keduanya
merupakan dua kata yang berbeda secara lafdzi, tetapi sama secara makna. Dalam
kaidah bahasa arab, sinonimitas linguistik seperti ini dianggap wajar.
2
Husain Barhami, Yasir, 2000. Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin, (Kairo: Dar al-Aqidah, 2000) h.
128
4
sebagai ikhtilaf. Imam at-Tahawuni termasuk salah satu ulama yang juga
membedakan kedua term tersebut. Ia menegaskan bahwa khilaf terjadi jika
terdapat pendapat yang marjuh (lemah) berhadapan dengan pendapat
yang rajih (kuat), namun bila dalam perbedaan pendapat itu tidak ditemukan
pendapat yang kuat maupun lemah, maka yang demikian ini disebut
sebagai ikhtilaf. Ringkasnya, menurut at-Tahawuni, bila terdapat salah satu
pendapat yang bertentangan dengan nash sharih ataupun ijma’, maka dianggap
sebagai khilaf, jika tidak maka disebut ikhtilaf.
3
Yanggo, Huzaemah Tahido, Pengantar Perbandingan Mazhab, (Jakarta: Gaung Persada Press,
2011) h. 101-102
5
biasa dikenal dengan sebutan firaq daallah (firqah-firqah sesat) dan ahlul bida’
wal ahwaa’ (ahli bid’ah aqidah dan mengikut hawa nafsu), seperti Khawarij,
Rawafidh (Syi’ah), Qadariyah (Mu’tazilah dan Jabriyah), Jahmiyah, Murji-ah, dan
lain-lain.
ق َوا ْﻟ َﻤ ْﻐﺮِب
ِ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ﺑَﺎ ِﻋ ْﺪ ﺑَ ْﯿﻨِﻲ َوﺑَﯿْﻦَ َﺧﻄَﺎﯾَﺎيَ َﻛﻤَﺎ ﺑَﺎ َﻋﺪْتَ ﺑَﯿْﻦَ ا ْﻟ َﻤ ْﺸ ِﺮ
4
Pembukuan Manhaji, Team, Paradigma Fiqih Masail, (Kediri: Lirboyo, 2003) h.56-57
6
ْﺲ اﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ا ْﻏﺴِﻞ
ِ َاﻟﻠﱠﮭُ ﱠﻢ ﻧَﻘﱢﻨِﻲ ﻣِﻦَ ا ْﻟ َﺨﻄَﺎﯾَﺎ َﻛﻤَﺎ ﯾُﻨَﻘﱠﻰ اﻟﺜﱠﻮْ بُ اﻷَ ْﺑﯿَﺾُ ﻣِﻦَ اﻟ ﱠﺪﻧ ﺞ
ِ ي ﺑِﺎ ْﻟﻤَﺎ ِء َواﻟﺜﱠ ْﻠ
َ َﺧﻄَﺎﯾَﺎ
.َوا ْﻟﺒَ َﺮ ِد
Doa ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah
bahwasanya suatu ketika Rasulullah pernah mengucapkan doa tersebut sesaat
setelah melakukan takbir dalam shalat. Sebagian ulama juga ada yang berpendapat
bahwa doa iftitah adalah:
ﻗﻞ إِنﱠ ﺻ ََﻼﺗِﻲ َوﻧُ ُﺴﻜِﻲ، َت َو ْاﻷَرْ ضَ َﺣﻨِﯿﻔًﺎ وَ َﻣﺎ أَﻧَﺎ ﻣِﻦَ ا ْﻟ ُﻤ ْﺸ ِﺮﻛِﯿﻦ
ِ إﻧﻲ َو ﱠﺟﮭْﺖُ َوﺟْ ﮭِﻲ ﻟِﻠﱠﺬِي ﻓَﻄَ َﺮ اﻟ ﱠﺴﻤَﺎ َوا
ﻚ أُﻣِﺮْ تُ َوأَﻧَﺎ أَ ﱠو ُل ا ْﻟ ُﻤ ْﺴﻠِﻤِﯿﻦ
َ ِ َوﺑِ َﺬﻟ،ُﻚ ﻟَﮫ
َ ي َو َﻣﻤَﺎﺗِﻲ ِ ﱠ ِ رَبﱢ ا ْﻟﻌَﺎﻟَﻤِﯿﻦَ َﻻ َﺷﺮِﯾ
َ َوﻣَﺤْ ﯿَﺎ
Doa tersebut berlandaskan hadis yang diriwiyatkan oleh sahabat Ali ibn
Abi Thalib bahwasanya Rasulullah pernah membaca doa itu saat melakukan
iftitah dalam shalat. Kedua doa iftitah tersebut dianggap sebagai doa yang sama-
sama ma’tsur dan boleh diamalkan.
Kedua, ikhtilaf tadladud, yaitu ikhtilaf yang antara satu pendapat dan lainnya
saling bertentangan. Ikhtilaf ini terbagi menjadi dua yakni ikhtilaf Sa’igh ghairu
Madzmum ( boleh dan tak tercela) dan Ghairu Sa’igh madzmum (tidak boleh dan
tercela). Ikhtilaf tadladud jenis pertama umumnya terjadi pada permasalahan
furu’iyah (partikular syariat), yaitu pada kasus-kasus yang bersifat praktis bukan
masalah i’tiqadiyah (keyakinan). Namun menurut Yasir Husain, bahwa yang lebih
tepat adalah membatasi ikhtilaf jenis ini dengan ikhtilaf-ikhtilaf yang tidak
bertentangan dengan al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas, baik yang berkaitan
dengan masalah amaliah praktis (fiqih) maupun yang berhubungan dengan
persoalan i’tiqadiyah (keimanan). Tetapi ikhtilaf jenis ini relatif sedikit pada
masalah i’tiqad karena banyaknya dalil-dalil yang bersifat qath’i (pasti) sehingga
kesempatan ikhtilaf ini muncul tidak sebesar pada ikhtilaf dalam hal fiqih yang
sebagian besar dalilnya bersifat dhanni (asumtif). Karena benyaknya dalil dhanni
inilah kemudian para ulama menyatakan bahwa ikhtilaf jenis ini adalah ikhtilaf
wajar yang tidak tercela.5
5
Pembukuan Manhaji, Team, Paradigma Fiqih Masail, (Kediri: Lirboyo, 2003) h.60
7
Sedangkan jenis ikhtilaf tadladud yang kedua yakni perbedaan pendapat yang
tidak diperbolehkan sekaligus tercela adalah perpedaan dalam masalah-masalah
ushuluddin yang lebih populer dengan masalah pokok atau akidah. Namun,
menurut syekh Yasir, ikhtilaf yang tidak diperbolehkan adalah ikhtilaf yang
bertentangan dengan nash al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas, baik masalah
tersebut masuk dalam wilayah furu’ (partikular syari’at) maupun ushuluddin
(pokok agama/akidah).
Pemahaman terhadap bahasa arab menjadi salah satu modal penting bagi
mujtahid dalam memahami syariat Islam. Ini disebabkan lantaran sumber primer
syariat menggunakan bahasa Arab. Permasalahannya kemudian adalah dalam hal
pemahaman. Masing-masing ulama memiliki pemahaman yang berbeda satu sama
6
Afif, Abdul Wahhab, Pengantar Studi Perbandinga Mazhab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1995)
h.200-203
8
lain. Perbedaan itu mencakup segi-segi penggunaan, gaya bahasa, dilalah, kata-
kata musytarak, mutaradif, hakikat, majaz dan sebagainya. Salah satu contohnya
adalah dalam hal pemahaman nash yang menjelaskan tentang kewajiban
membasuh kedua tangan saat berwudhu yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat
6. Mayoritas ulama menyatakan bahwa wajib untuk membasuh tangan sampai
pada siku-siku, artinya siku-siku pun harus ikut terbasuh. Hal ini didasarkan
karena lafadz “ila” pada kalimat “ilal mirfaqaini” bermakna “ma’iyyah”
(bersama/ikut serta). Sementara sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa siku
tak harus ikut terbasuh karena makna “ila” bermakna “ghayah”(batas akhir).
Sebagian besar nash adalah nash-nash yang bersifat asumtif. Nash-nash ini
pada akhirnya memunculkan banyak takwil dan praduga yang bervariatif dari para
mujtahid. Terkadang sebuah nash bersifat global yang menurut sebagian
ulama ditakhsis dengan dalil lain, namun menurut sebagian yang lain nash
tersebut tidak mengalami pentakhsisan (pengkhususan). Terkadang pula sebuah
nash bersifat mutlak yang menurut sebagian ulama diqayyidi (dibatasi) dengan
dalil lain, tetapi menurut sebagian yang lain nash tersebut tetap dengan
kemutlakannya.
9
Sebagian besar ulama ushul menyatakan bahwa sumber syari’at berjumlah 4,
yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ dan qiyas. Tetapi pada kenyataannya masih
ditemukan sebagian ulama lain yang tidak mengakui legalitas dari salah satu
sumber syari’at. Ibnu Hazm misalnya, ia adalah salah satu pengikut mazhab
Dawud az-Zhahiri yang tidak mengakui legalitas qiyas. Ia menyatakan bahwa
pendapat yang didasarkan atas qiyas adalah pendapat dusta yang tak bisa
dipertanggungjawabkan. Qiyas dianggap sebagai metode yang mempermainkan
maksud Tuhan dengan hanya berdasar pradugaa. Pada kasus yang lain, didapati
bahwa imam Abu Hanifah dan para pengikutnya terkenal sebagai pengguna
metode istihsan. Di dalam banyak kitab-kitab yang berafiliasi pada mazhab
Hanafiyah banyak dijumpai redaksi yang berbunyi “Al- Hukm fi hadzihi al-
Mas’alah Qiyasan Kadza , Wa istihsanan Kadza” (secara qiyas, hukum dalam
masalah ini adalah begini dan secara istihsan adalah seperti ini). Mereka
menjadikan istihsan sebagai sumber hukum kelima setelah empat sumber yang
telah disepakati. Bahkan, sebenarnya istihsan ini merupakan bentuk kemenangan
qiyas khafiy atas qiyas jaliy. Sementara itu, imam Syafi’i dikenal sebagai ulama
mazhab yang menentang konsep istihsan. Ia pun tak segan-segan melontarkan
adagium “Man istahsana faqad Syara’a” (siapa yang beristihsan, maka ia telah
membuat syari’at baru). Perbedaan-perbedaan sumber hukum seperti inilah yang
pada gilirannya memicu perbedaan formulasi hukum yang dihasilkan.
10
7. Adanya perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah
11
1. Perbedaan pendapat tentang valid - tidaknya suatu teks dalil syar’i tertentu
sebagai hujjah (tentu saja ini tertuju kepada teks hadits, yang memang ada yang
shahih dan ada yang dha’if, dan tidak tertuju kepada teks ayat Al-Qur’an, karena
seluruh ayat Al-Qur’an disepakati valid, shahih dan bahkan mutawatir).
3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil
(sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya) yang
memang diperselisihkan di antara para ulama, seperti qiyas, istihsan, mashalih
mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
Salah satu penyebab perbedaan pendapat atau ikhtilaf adalah diakibatkan oleh
Perbedaan dalam memahami ayat al-Qur'an. Al-Qur'an merupakan pegangan
pertama semua Imam Mazhab dan ulama. Hanya saja mereka seringkali berbeda
dalam memahaminya, disebabkan:
a. Ada sebagian lafaz al-Qur'an yang mengandung lebih dari satu arti (musytarak).
12
Contoh lafaz "quru" dalam QS 2: 228. Dimana quru’ bisa berarti suci bisa
juga berarti haidh. Bahkan sebelum ayat tersebut diturunkan, kata Quru' telah
dikenal oleh bangsa Arab bahwa ia memiliki dua arti; masa suci dan masa kotor.
Akibat perbedaan lafaz "quru" ini, sebagian sahabat (Ibnu Mas'ud dan Umar)
memandang bahwa manakala perempuan itu sudah mandi dari haidnya yg ketiga,
maka baru selesai iddahnya. Zaid bin Tsabit, sahabat nabi yg lain, memandang
bahwa dengan datangnya masa haid yang ketiga perempuan itu selesai haidnya
(meskipun belum mandi). Lihatlah, bahkan para sahabat Nabi pun berbeda
pendapat dalam hal ini.
13
yuradu bihi al-'umum). Contoh yang pertama, Qs at-Taubah ayat 103 terdapat kata
"amwal" (harta) akan tetapi tidak semua harta terkena kewajiban zakat (makna
umum harta telah dikhususkan kedalam beberapa jenis harta saja). Contoh yang
kedua, dalam QS al-Isra: 23 disebutkan larangan untuk mengucapkan "ah" pada
kedua orangtua. Kekhususan untuk mengucapkan "ah" itu diumumkan bahwa
perbuatan lain yang juga menyakiti orang tua termasuk ke dalam larangan ini
(misalnya memukul, dan sebagainya).
Dan persoalannya, dalam kasus lain para ulama berbeda memandang satu ayat
sebagai berikut:
Ketika ada suatu lafaz berbentuk "amr" (perintah) para ulama mengambil tiga
kemungkinan:
al-aslu fil amri lil wujub : (dasar "perintah" itu adalah wajib untuk
dilakukan)
al-aslu fil amri li an-nadab : (dasar "perintah" itu adalah sunnah untuk
dilakukan)
al-aslu fil amri lil ibahah : (dasar "perintah" itu adalah mubah untuk
dilakukan)
14
D. Faedah Mengetahui Sebab Terjadinya Perbedaan Pendapat Para
Ulama
7
Afif, Abdul Wahhab, Pengantar Studi Perbandinga Mazhab,(Jakarta: Darul Ulum Press, 1995)
h. 230
15
2. Akan menjadi kelompok yang benar-benar menghormati semua imam
mazhab, tanpa membedakan satu dengan yang lainnya, karena pandangan dan
dalil yang dikemukakan pada hakikatnya tidak terlepas dari aturan-aturan ijtihad
1. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan
salah satu dalil dari sekian banyak model dalil;
2. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala
berpikir;
16
3. Memberikan kesempatan berbicarakepada lawan bicara atau pihak lain yang
berbeda pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut
kehidupan diseputar mereka.
1. Tabiat Agama
2. Tabiat bahasa
3. Tabiat manusia
17
Allah SWT menciptakan manusia dalam bentuk yang beragam. Setiap insan
berbeda dalam bentuk wajahnya, tekanan suaranya, sidik jarinya dan sebagainya.
Demikian juga dengan pola pikirnya, kehendaknya, profesinya, sikap,
kecenderungan, dan lain sebagainya.
18
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap
masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah
kecil seperti masalah-masalah khilafiyah misalnya. Karena tanpa sikap dasar
seperti itu, biasanya seseorang akan cenderung ghuluw (berlebih-lebihan)
dan tatharruf (ekstrem) dalam menyikapi setiap masalah khilafiyah yang ada.
3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai
bagian dari rahmat Allah bagi umat. Dan ini adalah salah satu bagian
dari ittibaa’us-salaf (mengikuti ulama salaf), karena memang begitulah sikap
mereka, yang kemudian diikuti dan dilanjutkan oleh para ulama ahlus-sunnah wal-
jama’ah sepanjang sejarah. Dan dalam konteks ini mungkin perlu diingatkan
bahwa, nash (teks) ungkapan yang selama dikenal luas sebagai hadits, yakni yang
berbunyi: Ikhtilafu ummati rahmatu (perselisihan umatku adalah rahmat),
bukanlah shahih sebagai hadits Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Karenanya
bukanlah ”hadits” tersebut yang menjadi dasar sikap penerimaan ikhtilaf sebagai
rahmat bagi umat itu. Namun dasarnya adalah warisan sikap dari para ulama salaf
dan khalaf yang hampir sepakat dalam masalah ini. Sampai-sampai ada ulama
yang menulis kitab dengan judul: Rahmatul Ummah Fi-khtilafil Aimmah (Rahmat
bagi Umat dalam perbedaan pendapat para imam).
5. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau
memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan
berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui. Tentu saja ini bagi yang
mampu, baik dari kalangan para ulama maupun para thullaabul-’ilmisy-
syar’i (para penuntut ilmu syar’i). Sedangkan untuk kaum muslimin kebanyakan
yang awam, maka batas kemampuan mereka hanyalah ber-taqlid (mengikuti tanpa
tahu dalil) saja pada para imam terpercaya atau ulama yang diakui kredibelitas
dan kapabelitasnya. Yang penting dalam ber-taqlid pada siapa saja yang dipilih,
mereka melakukannya dengan tulus dan ikhlas, serta tidak berdasarkan hawa
nafsu.8
8
Afif, Abdul Wahhab, Pengantar Studi Perbandinga Mazhab, (Jakarta: Darul Ulum Press, 1995)
h. 233-234
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
· Secara etimologi, term ikhtilaf berasal dari akar kata khalafa yang
mempunyai arti ganti atau beda. Term khalafa bila dijadikan bentuk fiil tsulatsi
mazid dengan tambahan hamzah dan ta’ maka akan menjadi ikhtalafa yang bentuk
mashdarnya adalah ikhtilaf. Ikhtilaf mempunyai arti ‘adam al-Ittifaq (tidak adanya
persetujuan).
· Ikhtilaf (perbedaan) bisa dibedakan menjadi dua. Pertama, ikhtilaful
qulub (perbedaan dan perselisihan hati). Kedua, ikhtilaful ‘uqul wal
afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan
pemahaman). Dalam “Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin”, Syaikh Yasir Husain,
menyatakan bahwa ikhtilaf terbagi menjadi dua, yaitu ikhtilaf tanawwu’ (variatif)
dan ikhtilaf tadladud (kontradiktif).
· Di antara faktor yang menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat tersebut
adalah:
1. Adanya perbedaan watak dan karakter manusia;
2. Adanya pemahaman kaidah bahasa arab yang berbeda;
3. Adanya perbedaan penetapan maslahah;
4. Adanya perbedaan dalam memahami nash yang dhanni (asumtif);
5. Adanya perbedaan dalam penetapan sebagian hujjah-hujjah syar’i;
6. Adanya perbedaan pemahaman tentang as-Sunnah;
7. Adanya perbedaan penggunaan kaidah ushuliyah;
8. Adanya perbedaan pemahaman terhadap pendapa ulama terdahulu.
· Mengetahui sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat para Imam Mazhab
dan para ulama’ fiqih, sangat penting untuk membantu kita agar keluar dari taqlid
buta, karena kita akan mengetahui dalil-dalil yang mereka pergunakan serta jalan
pemikiran mereka dalam penetapan hukum suatu masalah. Sehingga dengan
demikian akan terbuka kemungkinan untuk memperdalam studi tentang hal yang
diperselisihkan.
20
· Ikhtilaf yang mengikuti ketentuan-ketentuan akan memberikan manfaat, jika
didasarkan pada beberapa hal berikut yaitu:
1. Niatnya jujur dan menyadari akan tanggung jawab bersama. Ini bisa dijadikan
salah satu dalil dari sekian banyak model dalil;
2. Ikhtilaf itu digunakan untuk mengasah otak dan untuk memperluas cakrawala
berpikir;
3. Memberikan kesempatan berbicarakepada lawan bicara atau pihak lain yang
berbeda pendapat dan bermua’malah dengan manusia lainnya yang menyangkut
kehidupan diseputar mereka.
· Cara menyikapi perbedaan pendapat para ulama, anatar lain:
1. Membekali diri dan mendasari sikap sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal
dan akhlaq secara proporsional;
2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap
masalah-masalah besar ummat, daripada perhatian terhadap masalah-masalah
kecil seperti masalah-masalah khilafiyah;
3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian
dari rahmat Allah bagi umat.
21
DAFTAR PUSTAKA
Afif, Abdul Wahhab, Pengantar Studi Perbandinga Mazhab, Jakarta: Darul Ulum
Press, 1995
Husain Barhami, Yasir, 2000. Fiqh al-Khilaf baina al-Muslimin. Kairo: Dar al-
Aqidah, 2000