Anda di halaman 1dari 188

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASKEP TEORI MARASMUS

KEPERAWATAN ANAK

OLEH:

1. Ulfa Solfadila (P27820118048)


2. Sheila Milenia Aisyah Wahyudi (P27820118068)
3. Rika Salsabila (P27820118069)
4. Agung Purwaningsih (P27820118087)

PRODI DIII KEPERAWATAN SOETOMO


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA
TAHUN AKADEMIK
2020/2021
1.1 Pengertian

Marasmus adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan karena rendahnya konsumsi
energi kalori dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga mengakibatkan tidak
adekuatnya intake kalori yang dibutuhkan oleh tubuh. Maramus adalah bentuk malnutrisi
kalori protein yang terutama akibat kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi
selama tahun pertama kehidupan. Zat gizi adalah zat yang diperoleh dari makanan dan
dugunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan, pertahanan dan atau perbaikan. Selain itu,
malnutrisi bisa disebabkan apabila asupan kalori yang berlebih dari kebutuhan harian dan
mengakibatkan penyimpanan energi dalam bentuk bertambahannya jaaringan adipose
(DEPKES RI 2011)

Zat gizi dikelompokkan menjadi karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air.
Marasmus ialah suatu bentuk kekurangan kalori-protein yang berat. Keadaan ini merupakan
akhir dari interaksi kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan ada
beberapa faktor lain dari diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh
terhadap terjadinya marasmus.

1.2 Klasifikasi

Untuk kepentingan praktis di klinik maupun dilapangan klasifikasi MEP ditetapkan


dengan patokan perbandingan berat badan terhadap umur anak sebagai berikut :

1. Berat badan 60-80% standar tanpa edema : gizi kurang (MEP ringan)
2. Berat badan 60-80% standar dengan edema : kwashiorkor (MEP berat)
3. Berat badan <60% standar tanpa edema : marasmus (MEP berat)
4. Berat badan <60% standar dengan edema : marasmus kwashiorkor

1.3 Etiologi

Keadaan marasmus merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan
penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan, ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri
yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis
besar penyebab marasmus (Nurarif & Kusuma 2015) ialah sebagai berikut :

a. Masukan makanan yang kurang


Marasmus terjadi akibat masukan kalori yang sedikit, oemberuan makanan tidak
sesuai dengan yang dianjurkan akibat dari ketidaktahuan orang tua si anak, misalnya
pemakaian secara luar susu kaleng yang terlalu encer.
b. Infeksi
Infeksi yang berat dan lama menyebabkan marasmus, terutama infeksi enteral
misalnya infantil gastroenteritis, bronkhopneumonia, pielonephritis dan sifilis
kongenital.
c. Kelainan struktural bawaan
Misalnya : penyakit jantung bawaan, penyakit Hirschprung, deformitas palatum,
palatoscizis, microganathia, stenosis pilorus, hiatus hernia, hidrosefalus, cystic fibrosis
pankreas.
d. Prematuritas dan penyakit pada masa neonatus
Pada keadaan-keadaan tersebut pemberian asi kurang akibat reflek mengisap yang
kurang kuat
e. Pemberian ASI
Pemberian asi yang terlalu lama tanpa pemberian makanan tambahan yang cukup.
f. Gangguan metabolik
Misalnya : renal asidosis, idiophatic hypercalcemia, galactosemia, lactose intolerance.
g. Tumor hypothalamus
Jarang dijumpai dan baru ditegakkan bila penyebab marasmus yang lain telah
disingkirkan
h. Penyapihan
Penyepihan yang terlalu dini disertai dengan pemberian makanan yang kurang akan
menimbulkan marasmus
i. Urbanisasi
Urbanisasi mempengaruhi dan merupakan predisposisi untuk timbulnya marasmus,
meningkatnya arus urbanisasi diikuti pula perubahan kebiasaan penyapihan dini dan
kemudian diikuti dengan pemberian susu manis dan susu yang terlalu encer akibat dari
tidak mampu membeli susu dan bila disertai dengan infeksi berulang, terutama
gastroentritis akan menyebabkan anak jatuh dalam marasmus.

1.4 Patofisiologi

Pertumbuhan yang kurang atau terhenti disertai atrofi otot dan manghilangkan lemak di
bawah kulit. Pada mulanya kelainan demikian merupakan prosesn fisiologis. Untuk
kelangsungan hidup jaringan tubuh memerlukan energi, namun tidak didapat sendiri dan
cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut. Penghancuran
jaringan pada defisiensi kalori tidak saja membantu memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga
untuk memungkinkan sintesis glukosa dan metabolit esensial lainnya seperti asam amino
untuk komponen homeostatik. Oleh karena itu, pada marasmus berat kadang-kadang masih
ditemukan asam amino yang normal, sehingga hati masih dapat membentuk cukup albumin.
(Ngastiyah, 2005 : 259).

1.5 Pathway

1.6 Manifestasi klinik

Marasmus sering dijumpai pada usia 0-2 tahun. Keadaan yang terlihat mencolok
adalah hilangnya lemak subkutan, terutama pada wajah. Akibatnya ialah wajah si anak
lonjong, berkeriput dan tampak lebih tua (old man face). Otot-otot lemah dan atropi,
bersamaan dengan hilangnya lemak subkutan maka anggota gerak terlihat seperti kulit dengan
tulang. Tulang rusuk tampak lebih jelas. Dinding perut hipotonus dan kulitnya longgar. Berat
badan turun menjadi kurang dari 60% berat badan menurut usianya. Suhu tubuh bisa rendah
karena lapisan penahan panas hilang (Nurarif & Kusuma, 2015)
Selain itu manifestasi klinik Menurut Ngastiyah (2005 : 259) tanda dan gejala dari marasmus
adalah

1. Anak cengeng, rewel, dan tidak bergairah.


2. Diare.
3. Mata besar dan dalam.
4. Akral dingin dan tampak sianosis.
5. Wajah seperti orang tua.
6. Pertumbuhan dan perkembangan terganggu.
7. Terjadi pantat begi karena terjadi atrofi otot.
8. Jaringan lemak dibawah kulit akan menghilang, kulit keriput dan turgor kulit jelek..
9. Perut membuncit atau cekung dengan gambaran usus yang jelas.
10. Nadi lambat dan metabolisme basal menurun.
11. Vena superfisialis tampak lebih jelas.
12. Ubun-ubun besar cekung.
13. Tulang pipi dan dagu kelihatan menonjol.
14. Anoreksia.
15. Sering bangun malam.

1.7 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Fisik
a. Mengukur TB dan BB, mengukur antropometri
b. Menghitung indeks massa tubuh, yaitu BB (dalam kilogram) dibagi dengan TB
(dalam meter)
c. Mengukur ketebalan lipatan kulit dilengan atas sebelah belakang (lipatan trisep)
ditarik menjauhi lengan, sehingga lapisan lemak dibawah kulitnya dapat diukur,
biasanya dangan menggunakan jangka lengkung (kaliper). Lemak dibawah kulit
banyaknya adalah 50% dari lemak tubuh. Lipatan lemak normal sekitar 1,25 cm
pada laki-laki dan sekitar 2,5 cm pada wanita.
d. Status gizi juga dapat diperoleh dengan mengukur LLA untuk memperkirakan
jumlah otot rangka dalam tubuh (lean body massa, massa tubuh yang tidak
berlemak).
2. Pemeriksaan laboratorium : albumin, kreatinin, nitrogen, elektrolit, Hb, Ht,
transferin.dengan pemeriksaan laboratorium yang lebih rinci, dapat pula lebih jelas
diketahui penyebab malnutrisi dan komplikasi-komplikasi yang terjadi.
3. Antropometrik
Lebih ditujukan untuk menemukan malnutrisi ringan dan sedang. Pada pemeriksaan
antropometrik dilakukan pengukuran fisik anak (berat, tinggi, lingkar lengan dll) dan
dibandingkan dengan angka standard (anak normal).
Untuk anak terdapat 3 parameter yang biasa digunakan yaitu :
a. Berat dibandingkan dengan umur anak
b. Tinggi dibandingkan dengan umur anak
c. Berat dibandingkan dengan tinggi/panjang anak
Parameter tersebut lalu dibandingkan dengan tabel standar yang ada untuk
membandingkan berat badan umur anak, dapat pula digunakan grafik pertumbuhan
yang terdapat pada KMS.

1.8 Penatalaksanaan
1. Keadaan ini memerlukan diet yang berisi jumlah cukup protein. Diit tinggi kalori,
protein, mineral dan vitamin
2. Pemberian terapi cairan dan elektrolit
3. Penatalaksanaan segera setiap masalah akut seperti masalah diare berat
4. Pengkajian riwayat status ekonomi, kaji riwayat pola makan, pengkajian,
antopometri, kaji manifestasi klinis, monitor hasil laboratorium, timbang berat
badan, kaji tanda-tanda vital.
Menurut Mansjoer (2000 : 514 – 517) penatalaksanan marasmus adalah :

1. Atasi / cegah hipoglikemia


Periksa gula darah bila ada hipotermia (suhu aksila < 35oC, suhu rektal 35,5oC).
Pemberian makanan yang lebih sering penting untuk mencegah kondisi tersebut.

2. Atasi/cegah hipotermia
Bila suhu rektal < 35,5oC

a. Segera beri makanan cair/fomula khusus.


b. Hangatkan anak dengan pakaian atau selimut sampai menutup kepala.
3. Atasi/cegah dehidrasi
Lakukan pemberian cairan infus dengan hati-hati dengan tetesan pelan-pelan untuk
mengurangi beban sirkulasi dan jantung.
4. Koreksi gangguan keseimbang elektrolit
Pada marasmus berat terjadi kelebihan natrium tubuh, walaupun kadar natrium
plasma rendah.

a) Tambahkan Kalium dan Magnesium dapat disiapkan dalam bentuk cairan


dan ditambahkan langsung pada makanan. Penambahan 20 ml larutan pada 1
liter formula.
5. Obati / cegah infeksi dengan pemberian antibiotik
6. Koreksi defisiensi nitrien mikro, yaitu dengan :
Berikan setiap hari :

1). Tambahkan multivitamin.


2). Asam folat 1 mg/hari (5 mg hari pertama).
3). Seng (Zn) 2 mg/KgBB/hari.
4). Bila berat badan mulai naik berikan Fe (zat besi) 3 mg/KgBB/hari.
5). Vitamin A oral pada hari 1, 2, dan 14.
Umur > 1 tahun : 200 ribu SI (satuan Internasional).

Umur 6-12 bulan : 100 ribu SI (satuan Internasional).

Umur 0-5 bulan : 50 ribu SI (satuan Internasional).

6). Mulai pemberian makan

Pemberian nutrisi harus dimulai segera setelah anak dirawat dan harus
dirancang sedemikian rupa sehingga cukup energi dan protein untuk
memenuhi metabolisme basal.

1.9 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi menurut (Markum : 1999 : 168) defisiensi
Vitamin A, infestasi cacing, dermatis tuberkulosis, bronkopneumonia, noma, anemia,
gagal tumbuh serta keterlambatan perkembangan mental dan psikomotor.

a. Defisiensi Vitamin A
Umumnya terjadi karena masukan yang kurang atau absorbsi yang terganggu.
Malabsorbsi ini dijumpai pada anak yang menderita malnurtrisi, sering terjangkit
infeksi enteritis, salmonelosis, infeksi saluran nafas) atau pada penyakit hati.
Karena Vitamin A larut dalam lemak, masukan lemak yang kurang dapat
menimbulkan gangguan absorbsi.

b. Infestasi Cacing
Gizi kurang mempunyai kecenderungan untuk mudahnya terjadi infeksi
khususnya gastroenteritis. Pada anak dengan gizi buruk/kurang gizi investasi
parasit seperti cacing yang jumlahnya meningkat pada anak dengan gizi kurang.

c. Tuberkulosis
Ketika terinfeksi pertama kali oleh bakteri tuberkolosis, anak akan
membentuk “tuberkolosis primer”. Gambaran yang utama adalah pembesaran
kelenjar limfe pada pangkal paru (kelenjar hilus), yang terletak dekat bronkus
utama dan pembuluh darah. Jika pembesaran menghebat, penekanan pada bronkus
mungkin dapat menyebabkanya tersumbat, sehingga tidak ada udara yang dapat
memasuki bagian paru, yang selanjutnya yang terinfeksi. Pada sebagian besar
kasus, biasanya menyembuh dan meninggalkan sedikit kekebalan terhadap
penyakit ini. Pada anak dengan keadaan umum dan gizi yang jelek, kelenjar dapat
memecahkan ke dalam bronkus, menyebarkan infeksi dan mengakibatkan penyakit
paru yang luas.

d. Bronkopneumonia
Pada anak yang menderita kekurangan kalori-protein dengan kelemahan otot
yang menyeluruh atau menderita poliomeilisis dan kelemahan otot pernapasan.
Anak mungkin tidak dapat batuk dengan baik untuk menghilangkan sumbatan pus.
Kenyataan ini lebih sering menimbulkan pneumonia, yang mungkin mengenai
banyak bagian kecil tersebar di paru (bronkopneumonia).

e. Noma
Penyakit mulut ini merupakan salah satu komplikasi kekurangan kalori-
protein berat yang perlu segera ditangani, kerena sifatnya sangat destruktif dan
akut. Kerusakan dapat terjadi pada jaringan lunak maupun jaringan tulang sekitar
rongga mulut. Gejala yang khas adalah bau busuk yang sangat keras. Luka
bermula dengan bintik hitam berbau diselaput mulut. Pada tahap berikutnya bintik
ini akan mendestruksi jaringan lunak sekitarnya dan lebih mendalam. Sehingga
dari luar akan terlihat lubang kecil dan berbau busuk.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
PADA KLIEN MARASMUS

I. PENGKAJIAN
Pengkajian fokus pada penderita marasmus antara lain :
1. Riwayat Kesehatan
Biasanya penderita marsmus sering dibarengi dengan diare, peningkatan suhu
tubuh, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, dan perubahan aktifitas.
2. Riwayat penyakit terdahulu
Biasanya pada penderita marasmus memiliki riwayat prematur, diit yang tidak baik
dan sering sakit-sakitan karena terjadi penurunan ketahanan tubuh.
3. Riwayat keluarga
Ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang sama dengan pasien, atau
menderita penyakit seperti asma, TBC, jantung dan Diabetes Melitus.
4. Pola-pola fungsi kesehatan meliputi :
Pola nutrisi : Pada penderita marasmus biasanya mengalami penurunan nafsu
makan dan mual muntah
Pola eliminasi : penderita marasmus biasanya sering disertai dengan diare
Pola aktifitas : penderita marasmus biasanya mengalami gangguan dengan
aktifitasnya karena mengalami kelemahan tubuh yang disebabkan adanya
gangguan metabolisme.
Pola istirahat dan tidur : anak dengan marasmus biasanya sering rewel karena
selalu merasa lapar mesipun sudah diberi susu sehingga sering terbangun pada
malam hari.
5. Pengakjian fisik
a. Keadaan umum yang meliputi:
Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada penderita marasmus yang berat,
berat badan menurut usia < 60% dari berat badan normal usianya, kebersihan
kurang. Pada umumnya tekanan darah penderita marasmus lebih rendah
dibandingkan dengan anak sehat seumur.
b. Kepala : lingkar kepala biasanya lebih kecil dari ukuran normal
c. Rambut Kepala :tampak rambut yang kering, tipis dan mudah
rontok, berserabut, rapuh, pudar, depigmentasi
d. Sistem Neurologis : Lesu, peka rangsang, letargi, apatis
e. Wajah : Penderita marasmus tampak seperti wajah orang tua.
f. Mata : pada penderita marasmus biasanya konjungtiva anemis
g. Hidung : pada penderita marasmus biasanya terpasang sonde untuk memnuhi
intake nutrisi, terdapat sekret
h. Mulut : biasanya terdapat lesi dan mukosa bibir kering
i. Leher : biasanya leher mengalami kaku kuduk
j. Torax : ada tarikan dinding dada, weezing, ronchi,  frekuensi pernafasan yang
mengurang
k. Jantung : Tidak jarang terdapat bradikardi
l. Sistem Darah : Pada umumnya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah
m. Abdomen : ada acites, bising usus meningkat, suara hipertympani, distensi,
lembek, menonjol besar, perototan buruk
n. Ekstermitas
Ekstermitas atas : lingkar lengan atas standar normal, akral hangat
Ekstermitas bawah : edema tungkai
o. Integumen : Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang,
kapilary refill lebih dari 3 detik, kulit keriput
6. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama jenis
normositik normokrom karena adanya gangguan sistem eritropoesis akibat
hipoplasia kronis sum-sum tulang di samping karena asupan zat besi yang kurang
dalam makanan, kerusakan hati dan gangguan absorbsi. Selain itu dapat ditemukan
kadar albumin serum yang menurun. Pemeriksaan neurologis juga perlu dilakukan
untuk menemukan adanya kelainan pada paru.

Analisis Penentuan Status Gizi Secara Langsung


1) Antropometri 
 Mengukur tinggi badan dan berat badan
  Menghitung indeks massa tubuh, yaitu berat badan (dalam kilogram)
dibagi dengan tinggi badan
 Mengukur ketebalan lipatan kulit dilengan atas sebelah belakang (lipatan
trisep)
2) Biofisik adalah metode penentuan status gizi dengan melihat kemampuan
fungsi (khususnya jaringan) dan melihat perubahan struktur dari jaringan
3) Penilaian status gizi dengan biokimia adalah pemeriksaan spesimen yang
diuji secara laboratoris yang dilakukan pada berbagai macam jaringan tubuh.
Jaringan tubuh yang digunakan antara lain: darah, urine, tinja dan juga
beberapa jaringan tubuh seperti hati dan otot.

Analisis Penentuan Status Gizi Secara Tidak Langsung


1) Survei Konsumsi Makanan
Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak
langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi
2) Statistik Vital
Statistik vital adalah dengan menganalisis data beberpa statistik kesehatan
seperti angka kematian berdasarkan umur, angka kesakitan dan kematian
akibat penyebab tertentu dan data lainnya yang berhubungan dengan gizi.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN


a. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status nutrisi ditandai
dengan kerusakan jaringan dan lapisan kulit
b. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi makanan ditandai
dengan berat badan menurun dibawah rentang ideal dan nafsu makan menurun
c. Risiko infeksi berhubungan dengan malnutrisi
III. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan status nutrisi ditandai
dengan kerusakan jaringan dan lapisan kulit.
Tujuan : Pemenuhan nutrisi adekuat
Kriteria Hasil : Peningkatan elastisitas kulit dan perfusi jaringan membaik

No Intervensi Rasional
.
1 Identifikasi penyebab gangguan Untuk mengkaji keadaan pasien
integritas kulit

2 Anjurkan minum air yang cukup Untuk mencegah dehidrasi tubuh dan tetap
menjaga kesegaran kulit

3 Anjurkan meningkatkan asupan Agar asupan nutrisi dalam tubuh tetap adekuat dan
nutrisi terpenuhi

2. Defisit nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan mengabsorbsi makanan ditandai


dengan berat badan menurun dibawah rentang ideal dan nafsu makan menurun
Tujuan : asupan nutrisi menjadi adekuat dan terpenuhi
Kriteria Hasil : Peningkatan elastisitas kulit dan perfusi jaringan membaik

No Intervensi Rasional
.
1 Identifikasi status nutrisi Untuk mengetahui status nutrisi pasien saat itu

2 Monitor asupan makanan Untuk menjaga asupan makanan yang dibutuhkan


tubuh

3 Kolaborasi dengan ahli gizi


Kolaborasi dengan ahli gizi dapat membantu
untuk menentukan jumlah kalori mengetahui jenis makan apa yang baik untuk
dan jenis nutrien yang pasien
dibutuhkan

3. Risiko infeksi berhubungan dengan malnutrisi


Tujuan :
Kriteria Hasil : nafsu makan meningkat dan tidak ada tanda-tanda infeksi

No Intervensi Rasional
.
1 Monitor tanda dan gejala infeksi untuk mengetahui keadaan dan lokasi infeksi
lokal dan sistemik

2 Jelaskan tanda dan gejala


untuk megetahui adanya tanda-tanda infeksi dapat
infeksi
memberikan tindakan lebih cepat untuk menangani
nya

3 Anjurkan meningkatkan asupan Agar asupan nutrisi dalam tubuh tetap adekuat dan
nutrisi terpenuhi

IV. PELAKSANAAN
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan dari rencana intervensi keperawatan
yang telah direncanakan oleh perawat dan merupakan tahap keempat dari proses
keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan.

V. EVALUASI
Evaluasi adalah membandingkan suatu hasil/perbuatan dengan standar untuk tujuan
pengambilan keputusan yang tepat sejauh mana tujuan tercapai.
DAFTAR PUSTAKA

Mansjore, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Anak, Jilid 1. Jakarta : FKUI

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakiti. Jakarta : EGC

Behman, R.E. 1999. Ilmu Kesehatan Anak : Nelson Edisi 15 vol 1. Jakarta : EGC

Nurarif, A. H & Kusuma, H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis dan Nanda Nic-Noc edisi Revisi jilid. Yogyakarta : Mediaction

PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan kriteria hasil
keperawatan, edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

PPNI (2018). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia : Definisi dan Tindakan


keperawatan, Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI

file:///C:/Users/SAMSUNG/Downloads/jtptunimus-gdl-laelakurni-5152-2-bab2.pdf diakses
pada tanggal 3 February 2020 pada pukul 12.00
TUGAS KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK

DENGAN KEJANG DEMAM

DOSEN PEMBIMBING :
Indriatie, S.Kp., M.MKes.

DISUSUN OLEH :
1. Salda Aisyah Hediani (P27820118050)
2. Evi Ayu Sejati (P27820118070)
3. Nur Annisa Citra. P (P27820118071)
4. Rika Fatmawati (P27820118089)
TINGKAT II REGULER B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


PRODI DIII KEPERAWATAN SOETOMO
TAHUN AJARAN 2019-2020

LAPORAN PENDAHULUAN KEJANG DEMAM

A. Pengertian
Kejang demam pada anak merupakan masalah sehari-hari yang sering terjadi, dan kita
tidak boleh luput untuk mengenali bagaimana penatalaksanaan yang terbaik terhadap
kejang demam pada anak.
Kejang demam sendiri terdiri dari 2 kata yang harus dipenuhi yaitu kejang dan
demam, yang berarti kejang yang terjadi disebabkan oleh demam dengan kenaikan suhu
tubuh mencapai di atas 38ᵒC. Dikatakan kejang demam pada anak apabila terjadi pada
anak usia 6 bulan – 5 tahun, tidak ada gangguan elektrolit, tidak ada gangguan
metabolisme, dan tidak ada kelainan sistem saraf pusat. Kejang demam pada anak murni
diakibatkan dari respon tubuh karena adanya demam yang diakibatkan oleh infeksi selain
infeksi dari sistem saraf pusat. Infeksi bisa terjadi karena ISPA (Infeksi Saluran
Pernafasan Akut), ada masalah pada telinga, pada anak-anak yang menggunakan
pampers cukup sering sehingga terjadi infeksi pada saluran kemih yang menyebabkan
demam dan menimbulkan kejang.
Menurut Wikipedia Ensiclopedia Bebas, Kejang demam merupakan penyakit yang
lazim ditemui pada bayi dan anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dan paling sering ditemui
pada usia 9-20 bulan. Kejang demam merupakan penyakit yang diturunkan, jika orang
tua pernah mengalami kejang deman maka anak mereka berpotensi sangat besar untuk
mengalami kejang demam. Kejang demam biasanya dianggap sebagai kondisi yang tidak
membahayakan. Kejang yang terjadi biasanya bersifat lokal pada awalnya dan hanya
akan menjadi kejang umum jika terdapat peningkatan suhu tubuh pasien yang melewati
ambang batas. Kejang akibat demam jarang sekali berlangsung lebih dari beberapa menit,
selain itu umunya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan Elektro Enchepalo Graphi
(EEG) saat kejang terjadi dan pasien memiliki kemungkinan untuk sembuh sempurna.
Kejang demam biasanya timbul pada anak dengan suhu tubuh diatas 38 °C (100.4 °F).
Selain itu infeksi virus atau bakteri dan bahkan imunisasi yang menyebabkan demam
tinggi seperti herpes virus dapat menjadi faktor penyebab dari kejang demam. Hingga
saat ini masih belum ditemukan obat profilaksis antiepilepsi untuk mencegah terjadinya
kejang demam.
B. Epidemiologi
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4
tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang
demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000;72-73).
Faktor resiko penyebab anak-anak usia 6 bulan – 5 tahun rentan terhadap kejang
demam yaitu karena pada usia tersebut otak belum matang sempurna dan pusat pengatur
suhu tubuhnya juga belum sempurna sehingga akan beresiko kejang, terutama saat suhu
tubuhnya tinggi. Pada saat suhu tubuh tinggi kebutuhan oksigen akan meningkat. Faktor
resiko lain juga bisa disebabkan oleh adanya riwayat kejang pada keluarga.

C. Etiologi
Penyebab kejang demam belum diketahui dengan pasti, namun disebutkan penyebab
utama kejang demam ialah demam yag tinggi. Menurut Arif Mansjoer. 2000) demam
yang terjadi sering disebabkan oleh :
1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)
2. Gangguan metabolik
3. Penyakit infeksi diluar susunan saraf misalnya tonsilitis, otitis media, bronchitis.
4. Keracunan obat
5. Faktor herediter
6. Idiopatik.

Selain penyebab diatas Ada 5 Faktor yang mempengaruhi kejang, faktor – faktor tersebut
adalah

1. Umur
a. Kurang lebih 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami
kejang demam.
b. Jarang terjadi pada anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
c. Insiden tertinggi didapatkan pada umur 2 tahun dan menurun setelah berumur 4
tahun. Hal ini mungkin disebabkan adanya kenaikan dari ambang kejang sesuai
dengan bertambahnya umur. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahu
pertama dan kemudian menurun dengan bertambahnya umur.
2. Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering didapatkan pada anak laki-laki daripada anak perempuan
dengan perbandingan 2:1. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh karena pada wanita
didapatkan kematangan otak yang lebih cepat dibanding laki-laki.
3. Suhu badan
Adanya kenaikan suhu badan merupakan suatu syarat untuk terjadinya kejang demam.
Tingginya suhu badan pada saat timbulnya serangan merupakan nilai ambang kejang.
Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38.30C – 41.40C.
Adanya perbedaan ambang kejang ini dapat menerangkan mengapa pada seseorang
anak baru timbul kejang sesudah suhu meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak
lainnya kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi.
4. Faktor keturunan
Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam.
Beberapa penulis mendapatkan 25 – 50% daripada pada anak dengan kejang demam
mempunyai anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam sekurang-
kurangnya sekali.

D. Patofisiologi
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan
bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam yang terjadi
singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang
yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik,
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran
darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan
timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah
medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat
menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
hingga terjadi epilepsi.
E. Pathway

F. Klasifikasi
Klasifikasi kejang demam menurut Fukuyama dibedakan menjadi dua yaitu kejang
demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana harus
memenuhi semua kreteria antara lain : keluarga penderita tidak ada riwayat epilepsy,
sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun, serangan kejang demam
yang pertama terjadi antara usia 6 bulan sampai 6 tahun, lamanya kejang berlangsung
tidak lebih dari 20 menit, kejang tidak bersifat fokal, tidak didapatkan gangguan atau
abnormalitas pasca kejang, sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis
atau abnormal perkembangan, kejang tidak berulang dalam waktu singkat. Bila kejang
demam tidak memenuhi kriteria tersebut di atas maka digolongkan sebagai kejang deman
jenis kompleks. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15
menit, fokal atau multiple (lebih daripada 1 kali kejang perepisode demam).
Ciri-ciri kejang demam sederhana :
• Usia anak 6 bulan – 6 tahun
• Demam tinggi (> 38,5 derajat C)
• Kejang umum (seluruh tubuh)
• Tak sadar
• Mata mendelik keatas
• Nafas agak terganggu
• Mulut berbusa
• Mungkin ngompol dan muntah
• Berlangsung < 15 menit
• Pasca kejang anak tampak diam, mengantuk, tertidur yang berlansung beberapa detik
atau menit kemudian pulih seperti biasa
• Tidak ditemukan kelainan fungsi saraf sebelum maupun sesudah kejang.
• Kejang tidak berulang dalam 24 jam
• Kejang tidak berulang > 4 kali dalam setahun

Ciri - ciri kejang kompleks : Kejang demam disebut kompleks bila,


• Kejang tidak umum tetapi hanya mengenai sebagian tubuh mis. tangan saja.
• Kejang berlangsung > 15 menit
• Kejang berulang dalam 24 jam
• Kejang berualang > 4 kali setahun
Kejang demam kompleks menunjukkan ada kelainan di sistem saraf, keadaan ini kelak
berpotensi berkembang jadi epilepsi sehingga perlu dievaluasi lebih lanjut.

G. Manifestasi klinis
Adapun tanda gejala yang dapat ditemukan yaitu :
a. Serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral
b. Mata terbalik ke atas
c. Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan atau
kekakuan fokal
d. Umumnya kejang berlangsung kurang dari 6 menit, kurang dari 8% berlangsung
lebih dari 15 menit
e. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis todd),
f. Suhu 38°c atau lebih

H. Pemeriksaan diagnostik
1. EEG
Untuk membuktikan jenis kejang fokal / gangguan difusi otak akibat lesi organik,
melalui pengukuran EEG ini dilakukan 1 minggu atau kurang setelah kejang.
2. CT SCAN
Untuk mengidentifikasi lesi serebral, mis: infark, hematoma, edema serebral, dan
Abses.
3. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan
kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
4. Laboratorium
Darah tepi, lengkap ( Hb, Ht, Leukosit, Trombosit ) mengetahui sejak dini apabila ada
komplikasi dan penyakit kejang demam. (Arif Mansyoer,2000)

I. Penatalaksanaan Medis
Dalam penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu :
a. Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan
untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar
oksigenisasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu,
pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air dan
pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti sebelum
diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang
lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit
gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB<10>10kg). bila kejang tidak berhenti dapat
diulang selang 5 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan
dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit. Setelah
pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin
bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan
langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg dan
umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian diberikan
fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan
setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200mg/hari.
Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran dan depresi pernapasan. Bila
kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-8mg/KgBB/hari,
12-24 jam setelah dosis awal.

b. Mencari dan mengobati penyebab


Pemeriksaan cairan serebrospinalis dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus
yang dicurigai sebagai meningitiss, misalnya bila ada gejala meningitis atau kejang
demam berlangsung lama.

c. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam atau (2)
profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Untuk profilaksis
intermiten diberian diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi
menjadi 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat diberikan pula secara intrarektal
tiap 8 jam sebanyak 5mg (BB<10kg)>10kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih
dari 38,5 0 C. efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat
yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya
epilepsy dikemudian hari. Profilaksis terus menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-
5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam
valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama 1-2
tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1
atau 2) yaitu :
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologist atau
perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
- Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologist sementara
dan menetap.
- Ada riwayat kejang tanpa demma pada orang tua atau saudara kandung.
- Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang multiple dalam satu episode demam.
Bila hanya mmenuhi satu criteria saja dan ingin memberikan obat jangka panjang
maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam
oral atau rectal tuap 8 jam disamping antipiretik.

J. Komplikasi
Menurut Arif Mansyoer (2000) kejang demam dapat mengakibatkan :
a. Kerusakan sel otak
b. Penurunan IQ pada kejang demam yang berlangsung lama lebih dari 15 menit dan
bersifat unilateral
c. Kelumpuhan

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI KEJANG DEMAM PADA ANAK

a. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
1.1 Identitas Klien
Kejang demam paling sering terjadi pada anak usia 2 tahun dan
menurun setelah 4 tahun. Hal ini mnugkin disebabkan kenaikan dari
ambang kejang sesuai dengan pertambahan umur. Kejang demam jarang
terjadi pada anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
Kejang demam lebih sering dialami oleh anak laki-laki daripada anak
perempuan dengan perbandingan 2:1. Kemungkinan ini disebabkan oleh
kematangan susunan saraf pusat pada perempuan lebih cepat dibandingkan
laki-laki.
1.2 Keluhan Utama
Biasanya keluhan dengan kasus Kejang Demam ini, keluarga pasien
mengeluh bahwa anaknya panas tinggi kemudian kejang.
1.3 Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya anak/bayi tersebut panasnya tinggi, kejang disertai dengan sesak
nafas yang terjadi secara tiba-tiba atau mendadak.
1.4 Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya anak mempunyai riwayat penyakit epilepsy
1.5 Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien dengan epilepsy ini biasanya berasal/diturunkan dari anggota
keluarga/orang tuanya, karena kejang demam yang disebabkan oleh
epilepsi tersebut adalah merupakan penyakit menurun/genetic.
1.6 Pemeriksaan Fisik
a. Pola persepsi dan tata laksana kesehatan
Klien dengan kejang demam, tidak bermasalah dalam pola
persepsi dan tata laksana hidup sehat.
b. Pola nutrisi dan metabolic
Dalam pola ini tidak ada masalah selama klien tidak demam,
klien mau makan.
c. Pola eliminasi
Pada pola ini tidak ada masalah
d. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami gangguan tidur apabila panas tinggi, tetapi
apabila panasnya sudah turun klien dapat tidur secara normal.
e. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti
biasanya layaknya seorang anak kecil (selama tidak terjadi serangan)
dan apabila serangan tersevut timbul maka klien dapat jatuh atau
cedera, lidah bisa tergigit.
f. Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya pada kasus ini, yang mengalami gangguan persepsi
dan konsep diri adalah orang tuanya karena penyakit ini adalah
penyakit keturunan dan mereka (orang tua) takut apabila anak mereka
berikutnya juga dapat mengalami penyakit tersebut.
g. Pola sensori dan kognitif
Panca indera klien tidak mengalami gangguan. Keluarga klien
biasanya kurang mengetahui tentang cara penanganan anaknya
apabila mengalami kejang demam.
h. Pola reproduksi dan seksual
Alat kelamin anak (klien tidak mengalami gangguan)
i. Pola hubungan dan peran
Biasanya keluarga klien mengalami gangguan dalam pola ini
karena penyakit ini (apabila penyebabnya epilepsy) adalah keturunan
sehingga orang tua merasa bersalah dan kadang-kadang merasa malu.
j. Pola penanggulangan stress
Dalam pola ini tidak ada masalah pada klien, tetapi bermasalah
pada keluarga klien.
k. Pola tata nilai dan keyakinan
Dalam pola ini tidak ada masalah.
1.7 Pemeriksaan
a. Keadaan umum
Biasanya pada klien dengan kejang demam keadaan umumnya
adalah lemah, tubuh panas tinggi dan anak cenderung menangis.
b. Pemeriksaan fisik
- Inspeksi : Klien terlihat lemas, nafas tersengal-sengal,
telapak tangan dan kaki kebiruan, kejang, panas (suhu tubuh
≥37,5℃) keluar keringat dingin, adanya sekret.
- Palpasi : Akral dingin
- Auskultasi: Suara nafas cepat dangkal, nadi 120x/menit, RR :
24x/menit.

c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Darah lengkap
- Glukosa darah : mengalami penurunan konsentrasi
- Elektrolit : Intoksikasi air, kalium serum yang rendah di
bawah 5mg/100 ml, konsentreksi ion magnesium atau hidrogen
yang rendah.
- Bahan toksik : Kadar anti konvulsan dalam darah rendah.
2) Urine lengkap : Bahan toxic dalam urine kadang ada
3) Cairan serebro spinal (CSS) : terdapat leukosit meningkat,
adanya penurunan glukosa.
4) EEG (Elektro Enchepalografi)
Pada EEG ini ada 3 gelombang, yaitu gelombang alfa,
gelombang beta. Dan gelombang delta. Gelombang alfa terlihat
sebagian besar orang normal ketika mereka sadar dan dalam keadaan
istirahat mental.
Gelombang beta terlihat pada anak-anak. Gelombang delta
terlihat pada anak muda dan dalam tidur yang dalam pada
pemeriksaan EEG ini pada saat suatu serangan granmal amplitudo
besar, frekuensi tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas dapat
melibatkan sistem aktivitas retikuler dalam batang otak sehingga
bagian korteks distimulasi dan menjadi aktif pada saat yang sama.
Pada serangan apetitinal pola berbeda, yaitu pola paku dan kubah
terhadap seluruh otak. Hal ini dapat juga memperlihatkan pelepasan
muatan yang abnormal yang timbul dari satu titik saja, menunjukkan
suatulesi orak pada titik tersebut (Rosa M. Socharin, Prinsip
Keperawatan Pediatrik, 1993).

a. CT-Scan : pada pemeriksaan ini dapat menunjukkan adanya


lesi pada daerah kepala

b. Pemeriksaan neurologis, meliputi :


- Perilaku dan status mental, kemampuan anak untuk berhubungan
dengan orang lain tingkat kemampuan dan aktivitas, misalnya
hiperaktivitas dan hipoaktivitas.
- Pemeriksaan motorik, terdiri dari:
1) Penilaian kekuatan otot, tonus otot.
2) Gerakan invalenter
3) Pemeriksaan reflek, terjadinya peningkatan atau penurunan
reflek

2. Analisa Data
2.1 -Data Mayor : - Pasien sesak nafas
- Data Minor : - Nafas tersengal-sengal, cepat dangkal, adanya sekret.
- Pasien terlihat lemas
- Telapak tangan dan kaki serta bibir kebiruan
- Akral dingin
- Nadi 120x/menit, RR 34x/menit
- Kemungkinan penyebab : Penumpukan sekret
- Masalah : Ketidak efektifan bersihan jalan nafas

2.2 – Data mayor : - Klien terasa panas


- Data minor : suhu lebih dari 38℃
- Nadi 120x/menit, RR 34x/menit
- Keluar keringan dingin
- Kemungkinan penyebab : Dampak psikologis dari penyakitnya
- Masalah : Peningkatan suhu tubuh

2.3 – Data Mayor : - Kejang


- Data minor : - Kadang pasien bisa jatuh atau tidak
- Lidah kadang dapat tergigit atau tidak
- Kemungkinan penyebab : Terjadinya kejang
- Masalah : Resiko cedera

2.4 – Data mayor : Keluarga pasien mengatakan tidak tahu tentang tata
cara penanganan anaknya apabila serangan kejang timbul
- Data minor : -
- Kemungkinan penyebab : kurang informasi
- Masalah : Kurangnya pengetahuan tentang cara penanganan
penderita selama kejang.

b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko Aspirasi d.d penurunan tingkat kesadaran (Sdki D.0006)
2. Resiko cidera d.d kegagalan mekanisme tubuh (Sdki D.0136)
3. Hipertermia b.d peningkatan laju metabolisme d.d kejang (Sdki D.0130)

c. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko Aspirasi d.d penurunan tingkat kesadaran
Tujuan : Dengan melakukan asuhan keperawatan selama 1x 24 jam
diharapkan tingkat aspirasi menurun
KH : - Tingkat kesadaran meningkat
- Kemampuan menelan meningkat
- Frekuensi nafas membaik
Rencana tindakan
a. Monitor pola nafas Klien
b. Monitor tingkat kesadaran dan kemampuan menelan
c. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengab head - tilt
d. Berikan oksigen, jika perlu

2. Resiko cidera d.d kegagalan mekanisme tubuh.


Tujuan : Dengan melakukan asuhan keperawatan selama ..... Diharapkan
tingkat cedera menurun
KH : - Kejadian cedera menurun
- Ketengangan otot menurun
Rencana tindakan :
a. Indentifikasi area lingkungan yang berpotensi menyebabkan cedera
b. Sosialisasikan pasien dan keluarga dengan lingkungan ruang rawat
c. Gunakan pengaman tempat tidur sesuai dengan kebijakan pelayanan
kesehatan
d. Jelaskan alasan intervensi pencegahan jatuh ke keluarga pasien

3. Hipertermia b.d peningkatan laju metabolisme d.d kejang


Tujuan : Dengan melakukan asuhan keperawatan selama ..... Diharapkan
termogulasi klien membaik
KH : - Kejang menurun
- Suhu tubuh membaik
Rencana tindakan
a. Monitor suhu tubuh anak tiap dua jam, jika perlu
b. Monitor warna dan suhu kulit klien
c. Monitor komplikasi akibat hepertemia
d. Hindari pemberian antipiretik atau aspirin
e. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena, jika perlu
d. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan merupakan penjelasan dan perwujudan dari rencana tindakan meliputi
beberapa bagian yaitu validasi, rencana keperawatan, pemberian asuhan
keperawatan dan pengumpulan data.

e. EVALUASI
Evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dari rencana tindakan dari maslaah
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer, dkk,. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2, Edisi III. Media Aesculapius,
Jakarta. 2001
Lynda Juall Carpenti. Diagnosa Keperawatan. Edisi III, Jakarta, EGC.1999
Ditjen Yankes. 2019. Kejang Demam Pada Anak. Diakses pada 01 Februari 2020, dari
www.yankes.kemenkes.go.id/read-kejang-demam-pada-anak-7030.html

Majalah Ar-Risalah. 2020. Kejang Demam Pada Anak. Diakses pada 01 Februari
2020, dari https://www.arrisalah.net/kejang-demam-pada-anak/

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2018. Standar Luaran Keperawatan

Indonesia. Jakarta Selatan: Tim Pokja SLKI DPP PPNI.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2016. Standar Diagnosis Keperawatan

Indonesia. Jakarta Selatan: Tim Pokja SDKI DPP PPNI.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2018. Standar Intervensi Keperawatan

Indonesia. Jakarta Selatan: Tim Pokja SIKI DPP PPNI.


TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN TEORI PADA


KLIEN ATRESIA ANI

Dibimbing Oleh :

Indriatie, SKp., M.Kep

Disusun Oleh :

1. Hikmatus Saniyah Arsabani (P27820118051)


2. Fina Fitriyah (P27820118052)
3. Hela Setyapratiwi (P27820118072)

TINGKAT II REGULER B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN KAMPUS SOETOMO
TAHUN AJARAN 2019/2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ATRESIA ANI

A. PENGERTIAN
Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna.  Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2010).
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun
tidak berhubungan langsung dengan rectum. ( agung hidayat, 2009 )
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R, 2010).

B. ETIOLOGI
1.      Secara pasti belum diketahui
2.      Merupakan anomali gastrointestinal dan genitourynari
Namun ada sumber yang mengatakan kelainan anus bawaan disebabkan oleh:
a.   Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan
pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
b.   Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang
anus.
c.   Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
d.   Kelainan bawaan , dimana sfingter internal mungkin tidak memadai. (Betz. Ed 7. 2012)

C. PATOFISIOLOGI
Terjadinya anus imperforata karena kelainan congenital dimana saat proses
perkembangan embrionik tidak lengkap pada proses perkembangan anus dan rectum. Dalam
perkembangan selanjutnya ujung ekor dari belakang berkembang jadi kloaka yang juga akan
berkembang jadi genitor urinary dan struktur anoretal.
Atresia ani ini terjadi karena tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan kolon
antara 7-10 minggu selama perkembangan janin. Kegagalan tersebut terjadi karena
abnormalitas pada daerah uterus dan vagina, atau juga pada proses obstruksi. Anus
imperforate ini terjadi karena tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga
menyebabkan feses tidak dapat dikeluarkan.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstuksi dan adanya 'fistula. Obstuksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperchloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara
rectum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina)
atau perineum (rektovestibuler). Pada laki- laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula
menuju ke vesika urinaria atau ke prostate (rektovesika) pada letak rendah fistula menuju ke
urethra (rektourethralis). (Mediana,2011)
D. PATHWAY
Faktor kongenital dan faktor lain
Yang tidak diketahui / Idiopatik

ATRESIA ANI

Ujung rektum buntu

Ketidakmampuan fekal dikeluarkan

Pre operasi Fekal menjadi menumpuk diatas Dilakukan tindakan operasi

Kurang pengetahuan Obstruksi


Colostomy Terputusnya kontinuitas Pembuatan lubang anus
ttg tindakan Operasi
Distensi abdomen jaringan
Perubahan
Respon psikologis Waktu lama tidak terkontrol
Mendorong diafragma Merangsang peningkatan Konsep diri
Pot de entri Merangsang mediator Penutupan anus
Pasien dan keluarga Peristaltik usus mikroorganisme
Complience paru terganggu HDR kimia ( BHSP ) ujung-
cemas ujung saraf bebas Distensi abdomen
Memudahkan masuknya
Kebutuhan O2tidak adekuat Penumpukan feses
Pergerakan makanan Mk : Body kuman kedalam tubuh Radix Dorsalis Penumpukan Feses
Mk : Ansietas Pernafasan tdk optimal lambat Image
Proses peradangan Infeksi Impuls / rangsangan
Sesak Rasa penuh diperut Mk: Gangguan Eliminasi
Pengeluaran Medulla spinalis
Thalamus
Peningkatan HCL inter Leukin I Mk : Resiko Alvi
(asam lambung) Infeksi Korteks serebri
Mk: Ketidakefektifan Pola Set point Temperature
Nafas Anoreksia, mual , meningkat Persepsi nyeri Merangsang RAS
muntah
Febris Tidur terjaga
Mk: Nyeri Akut
Muntah berlebihan
Mk : Peningkatan Mk: Gangguan Istirahat
Mk: Ketidakseimbangan
suhu tubuh / Tidur
nutrisai kurang dari
Hipertermi
kebutuhan tubuh Mk : Deficit
Volume Cairan Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma , 2015
E. KLASIFIKASI
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu
1.      Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai
melalui saluran fistula eksterna.Kelompok ini terutma melibatkan bayi perempuan dengan
fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan
bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
2.      Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar
tinja.Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi
spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa
diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
a.  Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter
internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat
hubungan dengan saluran genitourinarius.
b.  Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter
eksternal berada pada posisi yang normal.
c.  Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya
berhungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina
(perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.
( Amin Huda & hardhi Kusuma, 2015 )

F. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang khas pada klien antresia ani seperti :
1.      Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2.      Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3.      Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya
4.      Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
5.      Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6.      Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
7.      Perut kembung. ( Amin Huda & hardhi Kusuma, 2015 )

G. PENATALAKSANAAN

35
Penatalaksanaan pada klien dengan atresia ani menurut Aziz Alimul Hidayat (2010), Suriadi
dan Rita Yuliani  ( 2011 ), Fitri Purwanto ( 2009 ) adalah sebagai berikut :
1.    Penatalaksanaan Medis
a.  Therapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan defek.
Untuk anomaly tinggi dilakukan colostomi beberapa hari setelah lahir, bedah
definitifnya yaitu anoplasti perineal ( prosedur penarikan perineum abdominal ).
Untuk lesi rendah diatasi dengan menarik kantong rectal melalui sfingter sampai
lubang pada kulit anal, fistula bila ada harus ditutup. Defek membranosa
memerlukan tindakan pembedahan yang minimal yaitu membran tersebut dilubangi
dengan hemostat atau scalpel.
b.  Pemberian cairan parenteral seperti KAEN 3B
c.  Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk mencegah infeksi pada
pasca operasi.
d.  Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.

2.     Penatalaksanaan Keperawatan
a.  Monitor status hidrasi ( keseimbangan cairan tubuh intake dan output ) dan ukur
TTV tiap 3 jam.
b.  Lakukan monitor status gizi seperti timbang berat badan, turgor kulit, bising usus,
jumlah asupan parental dan enteral.
c.  Lakukan perawatan colostomy, ganti colostomybag bila ada produksi, jaga kulit tetap
kering.
d.  Atur posisi tidur bayi kearah letak colostomy.
e.  Berikan penjelasan pada keluarga tentang perawatan colostomy dengan cara
membersihkan dengan kapas air hangat kemudian keringkan dan daerah sekitar
ostoma diberi zing zalf, colostomybag diganti segera setiap ada produksi.

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
1.  Pemeriksaan radiologist
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2.  Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui
jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
3.  Ultrasound terhadap abdomen
36
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4.   CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5.  Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6.  Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
7.   Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan
traktus urinarius. (Betz. Ed 7. 2012)

I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
1.  Obstruksi
2.  Perforasi
3.  Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
4.  Komplikasi jangka panjang.
a.    Eversi mukosa anal
b.   Stenosis
5.  Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
6.  Inkontinensia (akibat stenosis awal )
7.  Prolaps mukosa anorektal.
8.  Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)
9.  Sepsis. (Wong, Whaley.2011)

37
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
ATRESIA ANI

A. PENGKAJIAN
1. Data Demografi

Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.

1. Keluhan Utama

Pasien yang datang ke Rumah Sakit biasanya mengeluh tidak dapat BAB
dikarenakan tidak memiliki lubang anus.

2. Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien pernah dirawat di Rumah Sakit selama beberapa hari dengan keluhan
penyakit yang sama.

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke Rumah Sakit dengan mengeluh perut kembung, dan terlihat
mengalami sesak nafas. Dan saat diperiksa, pasien ternyata tidak memiliki anus
2. Pengkajian Pola Gordon
1. Pola Nutrisi dan Metabolik:
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan
atresia ani post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu
oleh mual dan munta dampak dari anestesi.
2. Pola Eliminasi :
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh
dibersihkan dari bahan – bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk
buangan. Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus,
sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi
3. Pola Aktifitas dan Latihan :
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.
4. Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka
inisisi.

38
5. Pola Kognitif & Perseptual
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya
ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
6. Pola Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort.
Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan
operasi
7. Pola Hubungan Peran
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit.
Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik
untuk melaksanakan peran
8. Pola Reproduktif dan Sexual
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi
9. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi,
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan
10. Pola Keyakinan dan Nilai
Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang
dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat
dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya
pelaksanaan ibadah.
3. Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak
merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan
hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan
vagina. (Mediana,2011)

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :


1. Pre Operasi

a. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


anoreksia, mual, muntah.

b. Deficit volume cairan berhubungan dengan muntah berlebihan.

39
c. Peningkatan suhu tubuh / Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan,
pengeluaran inter Leukin I.

d. Ketidakefektifan Pola Nafas berhubungan dengan sesak, distensi abdomen.

e. Kecemasan / ansietasberhubungan dengan kurang pengetahuan tentang penyakit dan


prosedur perawatan.

2. Post Operasi
a. Nyeri Akut berhubungan dengan insisi pembedahan.

b. Gangguan eliminasi Alvi berhubungan dengan penumpukan feses.

c. Gangguan pola tidur berhubungan dengan persepsi nyeri post pembedahan

d. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan.

e. Body image berhubungan dengan colostomy.


( Amin Huda & hardhi Kusuma, 2015 )

C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa INTERVENSI RASIONAL
Keperawatan
Pre Operasi
1. Ketidakseimbangan nutrisi 1. Kaji KU pasien 1. Mengetahui keadaan umum
kurang dari kebutuhan tubuh 2. Timbang berat badan pasien pasien
berhubungan dengan 3. Catat frekuensi mual, muntah 2.Mengantisipasi adanya
anoreksia, mual, muntah.
pasien malnutrisi
Tujuan : Setelah dilakukan 4. Catat masukan nutrisi pasien 3.  Mengetahui output pasien
tindakan keperawatan selama 5. Beri motivasi pasien untuk 4. Mengetahui input pasien.
3x24 jam diharapkan pasien tidak meningkatkan asupan nutrisi 5. Untuk menambah nutrisi
terjadi kekurangan nutrisi. 6. Kolaborasi dengan ahli gizi pasien
dalam pengaturan menu 6. Mengetahui diit yang
Kriteria Hasil : dibutuhkan
1. Pasien tidak mengalami
penurunan berat badan
2. Turgor pasien baik
3. Pasien tidak mual, muntah
4. Nafsu makan bertambah
2. Deficit volume cairan .   1. Monitor intake – output cairan 1. 1. Mengantisipasi adanya
berhubungan dengan muntah 2. 2. Monitor status hidrasi dehidrasi.
berlebihan. (kelembapan membran mukosa,
2. 2.Perubahan status hidrasi,
nadi adekuat)
2. 3. Lakukan pemasangan infus dan membran mukosa, turgor kulit
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama berikan cairan IV menggambarkan berat ringannya
3x24 jam diharapkan kebutuhan 4. Pantau TTV kekurangan cairan.
40
volume cairanpasien terpenuhi 5. 5. Dorong keluarga untuk membantu2.  3. Mengetahui kehilangan cairan
pasien makan. melalui suhu tubuh yang tinggi.
Kriteria Hasil : 4.Mengetahui keadaan umum
1.Output urin 1-2 ml/kg/jam,  pasien.
2.Capillary refill 3-5 detik,  5. Keluarga sebagai pendorong
3.Turgor kulit baik, membrane pemenuhan kebutuhan cairan
mukosa lembab klien.
4.Pengeluaran feses terkontrol
3. Peningkatan suhu tubuh / 1. Pantau tanda-tanda 1. Tanda-tanda vital merupakan
Hipertermi berhubungan vitalterutama suhu aluan untuk mengetahui
dengan proses peradangan, 2. air (1500-2000 cc/hari)Beri keadaan umum pasien
pengeluaran inter Leukin I. pasien banyak minum terutama suhu tubuhnya.
3. Beri pasien kompres air hangat 2. Dengan minum banyak air
Tujuan : Setelah dilakukan atau air dingin diharapkan cairan yang
tindakan keperawatan selama 3 4. Beri selimut pendingin hilang dapat diganti.
jam diharapkan suhu tubuh tidak 5. Pantau suhu lingkungan
panas lagi 3. Dengan kompres akan terjadi
6. Kolaborasi dalam pemberian perpindahan panas secara
obat antipiretik dan antibiotik konduksi dan kompres
Kriteria Hasil :
hangat akan  mendilatasi
1. Suhu tubuh dalam rentang
pembuluh darah.
normal (36,5-37,50C)
2. Nadi dan RR dalam rentang 4. Untuk mengurangi demam
umumnya lebih besar dari
normal
39,5-400C dan untuk
3. Tidak ada perubahan warna mengurangi respon
kulit dan tidak pusing hipertermi.
5. Suhu ruangan harus dirubah
agar dapat membantu
mempertahankan suhu
pasien
6. Pemberian oabt antibiotik
unuk mencegah infeksi
pemberian obat antipiretik
untuk penurunan panas.
4. Ketidakefektifan Pola Nafas 1.Kaji frekuensi kedalaman 1. Kecepatan biasanya
berhubungan dengan sesak, pernafasan dan ekspansidada. mencapai kedalaman
distensi abdomen.
Catat upaya pernafasan termasuk pernafasan bervariasi
Tujuan : Setelah dilakukan penggunaan ototbantu pernafasan tergantung derajat gagal
tindakan keperawatan selama 3x24 / pelebaran nasal. nafas. Expansi dada terbatas
jam diharapkan pola nafas kembali 2.Auskultasi bunyi nafas dan catat yang berhubungan dengan
efektif. adanya bunyi nafas seperti atelektasis dan atau nyeri
krekels, wheezing. dada.
Kriteria Hasil : 3.Tinggikan kepala dan 2. ronki
1. Pola nafas efektif, bunyi nafas bantumengubah posisi. dan wheezing menyertai
normal atau bersih. 4.Observasi pola batuk dankarakter obstruksi jalannafas /
2. TTV dalam batas normal sekret. kegagalan pernafasan.
3. batuk berkurang, ekspansi 5.Dorong/bantu pasien dalamnafas 3. duduk
paru mengembang. dan latihan batuk. tinggi memungkinkan
ekspansiparu dan
memudahkan pernafasan.
4. Kongest
i alveolarmengakibatkan
batuk sering/iritasi.
41
5. mening
katkan/banyaknya sputum
dimana gangguanventilasi
dan ditambah ketidak
nyaman upaya bernafas.
4. Kecemasan / 1. 1. Jelaskan dg istilah yg dimengerti 1. 1. Agar orang tua mengerti
ansietasberhubungan dengan tentang anatomi dan fisiologi kondisi klien.
kurang pengetahuan tentang saluran pencernaan normal. 2. 2. Pengetahuan tersebut
penyakit dan prosedur 2. 2. Gunakan alat, media dan gambar. diharapkan dapat membantu
perawatan. 3.  Beri informasi pada orang tua menurunkan kecemasan.
tentang operasi kolostomi 3. Membantu mengurangi
Tujuan : Setelah dilakukan kecemasan klien
tindakan keperawatan selama
1x24 jam diharapkan kecemasan
orang tua dapat berkurang.

Kriteria Hasil :
1. Pasien tidak lemas
2. Vital sign dalam batas normal
3. Menunjukkan tehnik untuk
mengontrol cemas
4. Postur tubuh, ekspresi wajah,
bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjukkan
berkurang nya kecemasan

Post Operasi
1. Nyeri Akut berhubungan 1. 1. Kaji tingkat nyeri yang dirasakan 1. Mengetahui tingkat nyeri
dengan insisi pembedahan. pasien. pada pasien.
2. 2. Berikan penjelasan pada pasien 2. Pasien mampu menerima apa
Tujuan : Setelah dilakukan
tentang nyeri yang terjadi. yang terjadi pada pasien.
tindakan keperawatan selama
1x24 jam diharapkan nyeri 3. 3. Ajarkan teknik relaksasi, 3.Mengurangi rasa nyeri 4.Agar
berkurang. distraksi. tidak terjadi imobilitas pada
4. 4. Bantu melakukan latihan rentang pasien.
Kriteria Hasil : gerak. 5.Mengurangi rasa nyeri pada
1. Nyeri berkurang 5. 5. Kolaborasi pemberian analgetik luka post operasi.
2. Pasien merasa tenang
3. Status lingkungan yang
nyaman
4. Mampu mengontrol nyeri
5. Status kenyamanan meningkat
6. Tidak ada perubahan tanda
vital

2. Gangguan eliminasi alvi 1. Kaji tingkat nyeri yang 1.Mengetahui pola BAB pasien
berhubungan dengan dirasakan pasien. 2. Mengetahui input dan output
penumpukan feses.
2. Ajarkan teknik relaksasi cairan yang ada dalam tubuh
distraksi. klien
Tujuan : Setelah dilakukan 3. Berikan posisi yang nyaman  3.Mengetahui adanya
tindakan keperawatan selama pada pasien. komplikasi
1x24 jam diharapkan tidak terjadi 4. Kolaborasi pemberian obat 4.Mengurangi  rasa sakit
perubahan pola eliminasi BAB. sesuai indikasi.

42
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat BAB dengan
normal
2. Tidak ada perubahan pada
jumlah feses

3. Gangguan pola tidur 1.   Pantau keadaan umum pasien 1.   Mengetahui kesadaran, dan
berhubungan dengan persepsi dan TTV.
nyeri post pembedahan 2.   Kaji Pola Tidur. kondisi tubuh dalam keadaan
3.   Kaji fungsi pernapasan: bunyi normal atau tidak.
Tujuan : Setelah dilakukan napas, kecepatan, irama. 2.   Untuk mengetahui
tindakan keperawatan 4.   Kaji faktor yang menyebabkan
selama 1 x 24 jam diharapkan gangguan tidur (nyeri, takut, kemudahan dalam tidur.
pasien dapat istirahat tidur malam stress, ansietas, 3.   Untuk mengetahui tingkat
dengan optimal. imobilitas,gangguan eliminasi
kegelisahan.
sepertisering
Kriteria Hasil : berkemih,gangguan 4.   Untuk mengidentifikasi
1. Melaporkan istirahat tidur metabolisme, gangguan penyebab aktual dari
malam yang optimal. transportasi,lingkungan yang
asing, temperature,aktivitas gangguan tidur.
2. Tidak menunjukan perilaku
gelisah. yang tidak adekuat). 5.   Untuk memantau seberapa
3. Wajah tidak pucat dan 5.   Catat tindakan kemampuan jauh dapat bersikap tenang
konjungtiva mata tidak anemis untuk mengurangikegelisahan.
karena kurang tidur malam. 6.   Ciptakan dan rilex.
4.  Mempertahankan (atau suasananyaman, Kurangi atau 6.   Untuk membantu relaksasi
membentuk) pola tidur yang hilangkan distraksi
saat tidur.
memberikan energi lingkungan dan gangguan tidur.
yang cukup untuk menjalani 7.Batasi pengunjung selama 7.   Tidur akan sulit dilakukan
aktivitas sehari-hari. periode istirahat yang optimal tanpa relaksasi,
(mis; setelahmakan).
4. Resiko infeksi berhubungan 1. 1. Kaji KU pasien 1. Untuk mengetahui keadsaan
dengan prosedur pembedahan.2.    2. Observasi tanda-tanda infeksi umum pasien
3. Kolaborasi pemberian antibiotik 2.Mengetahui adanya tanda-
Tujuan : Setelah dilakukan
tanda infeksi
tindakan keperawatan
selama 2 x 24 jam diharapkan 3. Untuk meminimalkan jumlah
tidak ada tanda-tanda infeksi. bakteri

Kriteria Hasil :
1. Pasien bebas dari tanda dan
gejala infeksi
2. Menunjukkan kemampuan
untuk mencegah timbulnya
infeksi
5. Body image berhubungan 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien 1. Mengidentifikasi luas
dengan colostomy. ttg kondisi dan pengobatan. masalah dan perlunya
2. Diskusi arti dari perubahan intervensi.
Tujuan : Setelah dilakukan pasien. 2. Beberapa pasien
tindakan keperawatan selama 3. Anjurkan orang terdekat memandang situasi
1x24 jam diharapkan nyeri memperlakukan pasien secara sebagai tantangan.
berkurang. normal dan bukan sebagai orang 3. Menyampaikan harapan
cacat bahwa pasien mampu
Kriteria Hasil :
untuk mengatur situasi
1. Body image positif
2. Mampu mengidentifikasi dan membantu untuk
43
kekuatan personal mempertahankan perasaan
3. Mempertahankan interaksi harga diri dan tujuan
sosial. hidup.

D. PELAKSANAAN KEPERAWATAN
Tahap pelaksanaan merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan dengan
melaksanakann berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah
direncanakan dalam rencana tindakan keperrawatan. Dalam tahap ini, perawat harus
mengetahui berbagai hal di antaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada klien,
tehnik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari
pasien serta dalam memahami tingkat perkembangan pasien. Dalam pelaksanaan rencana
tindakan terdapat dua jenis tindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan kolaborasi
(Hidayat, A. Aziz Alimul, 2010: 122).

E. EVALUASI KEPERAWATAN
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap ini
adalah memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan mengembalikan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan
keperawatan pada kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu:
a. Evaluasi formatif menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan
intervensi dengan respon segera.
b. Evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status
klien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap
perencanaan. Di samping itu, evaluasi juga sebagai alat ukur suatu tujuan yang
mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak
tercapai atau tercapai sebagian.
1)      Tujuan tercapai
Tujuan dikatakan tercapai bila klien telah menunjukan perubahan dan
kemajuan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2)      Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak tercapai
secara keseluruhan sehingga masih perlu dicari berbagai masalah atau
penyebabnya, seperti klien dapat makan sendiri tetapi masih merasa
mual. Setelah makan bahkan kadang-kadang muntah.
3)      Tujuan tidak tercapai
44
Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukan adanya perubahan
kearah kemajuan sebagaimana kriteria yang diharapkan.
Adapun evaluasi akhir yang ingin dicapai dari tiap-tiap diagnosa adalah:
a.       Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
b.      Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
c.       Kecemasan orang tua dapat berkurang.
d.      Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
e.       Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
f.       Tidak terjadi infeksi.
g.       Gangguan pola eliminasi teratasi.

45
DAFTAR PUSTAKA

Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Nanda NIC-NOC. Jogjakarta :
Penerbit Mediaction

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2012. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisike-3.
Jakarta : EGC.
Hidayat,Agung . 2009. http//Askep Atresia Ani Pada Anak « Hidayat2's Blog.com  yang
diakses pada tanggal 12 April 2016 pada pukul 15.20
Hidayat, A. Azis Alimul . (2010) . Pengantar Ilmu Anak buku 2. Editor Dr Dripa Sjabana
Suriadi & Rita Yuliani, 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak edisi 2. Jakarta : Penebar
swadaya.
Wong, Donna L. 2011. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Monica Ester (Alih Bahasa).
Sri Kurnianianingsih (ed),. edisi ke-4. Jakarta : EGC.

46
TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN TEORI PADA


KLIEN NEUROBLASTOMA

Dosen Pembimbing :

Indriatie, SKp., M.Kep

Disusun Oleh :

4. Findy Ella Verania (P27820118053)


5. Muhsinaturrisa R. H. (P27820118054)
6. Ain Putri Rizky Rachmadina (P27820118073)
7. Elvira Dwi Priyantika (P27820118074)

TINGKAT II REGULER B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN KAMPUS SOETOMO
TAHUN AJARAN 2019/2020

47
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb.

Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Keperawatan Anak
yang berjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Teori pada Klien
Neuroblastoma” yang diberikan oleh Ibu Indriatie, SKp., M.Kep. selaku dosen pengajar.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Indriatie, SKp., M.Kep.
selaku dosen pengajar mata kuliah Keperawatan Soetomo di Prodi D-III Keperawatan
Soetomo yang telah memberikan banyak bantuan, bimbingan, serta pengarahan hingga
terselesaikannya makalah ini.

Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengharapkan pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun. Kritik dari pembaca kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Kami berharap semoga berbagai saran dan kritik yang bersifat membangun dapat menjadi
bekal penulis untuk penyempurnaan penulisan makalah selanjutnya.

Wassalammualaikum Wr. Wb.

Surabaya, 01 Februari 2020

Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
2.1 Laporan Pendahuluan Neuroblastoma...........................................................................3
2.2 Asuhan Keperawatan Teori pada Klien Neuroblastoma...............................................14
BAB III PENUTUP...........................................................................................................23
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................23
3.2 Saran..............................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak adalah harta yang berharga untuk orang tuanya dan mereka akan melakukan
apapun untuk anaknya. Orang tua yang memiliki anak yang sakit akan berusaha
semaksimal mungkin untuk mengupayakan kesembuhan anaknya, apalagi terkena
penyakit yang dianggap berbahaya dan mematikan seperti kanker.
Penyakit kanker yang diderita pada usia balita umumnya tidak bisa dicegah
seperti penyakit pada orang dewasa. Menurut data statistik resmi dari International
Agency for Research on Cancer (IARC), bahwa satu dari 600 anak akan menderita
kanker sebelum umur 16 tahun. Berdasarkan fakta dari Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia (2002-2012) setiap tahun sebanyak 4.100 anak atai 2-3 persen
anak-anak di Indonesia menderita kanker, dimana gejalanya seringkali sulit dideteksi.
Neuroblastoma adalah salah satu jenis kanker yang umum diderita pada masa
kanak-kanak dan mewakili 7-10 persen keganasan pada anak. Sekitar 75 persen
kanker ini diderita oleh anak dibawah usia 5 tahun. Neuroblastoma merupakan tumor
yang sangat ganas. Setengah dari penderita biasanya datang ke dokter untuk pertama
kali berobat saat kanker sudah menyebar ke bagian tubuh lain atau berada pada tahap
akhir penyakit.
Neuroblastoma pada anak memang tidak dapat dicegah karena faktor risiko dan
penyebabnya pun belum diketahui. Namun, jika ditemukan sejak dini peluang
kesembuhan kanker pada anak cukup besar. Di Amerika Serikat, angka kelangsungan
hidup sampai 5 tahun untuk neuroblastoma mencapai 87 persen pada anak berusia
kurang dari setahun.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Neuroblastoma?

1.2.2 Apa saja yang menyebabkan terjadinya Neuroblastoma?


1.2.3 Bagaimana patofisiologi Neuroblastoma?
1.2.4 Apakah manifestasi klinis dari klien dengan Neuroblastoma?
1.2.5 Pemeriksaan apa yang dapat menunjukkan terjadinya Neuroblastoma?
1.2.6 Hal apa yang dapat terjadi jika Neuroblastoma semakin memburuk?
1.2.7 Bagaimana penatalaksanaan pada Neuroblastoma?
3
1.2.8 Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan Neuroblastoma?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mahasiswa dapat memahami yang dimaksud dengan Neuroblastoma
1.3.2 Mahasiswa dapat mengetahui penyebab terjadinya Neuroblastoma
1.3.3 Mahasiswa memahami bagaimana Neuroblastoma dapat terjadi
1.3.4 Mahasiswa dapat mengetahui tanda dan gejala terjadinya Neuroblastoma
1.3.5 Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan yang dilakukan pada Neuroblastoma
1.3.6 Mahasiswa dapat memahami dampak dari Neuroblastoma yang memburuk
1.3.7 Mahasiswa dapat mengetahui cara menangani Neuroblastoma
1.3.8 Mahasiswa dapat mengatahui asuhan keperawatan pada Neuroblastoma

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Laporan Pendahuluan Neuroblastoma


2.1.1 Definisi Neuroblastoma
Neuroblastoma adalah tumor embrional dari sistem saraf otonom yang mana sel
tidak berkembang sempurna. Neuroblastoma umumnya terjadi pada bayi usia rata-rata
17 bulan. Tumor ini berkembang dalam jaringan sistem saraf simpatik, biasanya dalam
medula adrenal atau ganglia paraspinal, sehingga menyebabkan adanya sebagai lesi
massa di leher, dada, perut, atau panggul. Insiden neuroblastoma adalah 10,2 kasus per
juta anak di bawah 15 tahun. Yang paling umum kanker didiagnosis ketika tahun
pertama kehidupan (Jhon, 2010).
Neuroblastoma adalah tumor ganas yang berasal dari sel Krista neurak
embronik, dapat timbul di setiap lokasi sistem saraf simpatis, merupakan tumor padat
ganas paling sering dijumpai pada anak. Insiden menempati 8% dari tumor ganas
anak, atau di posisi ke-4. Umumnya ditemukan pada anak balita, puncak insiden pada
usia 2 tahun. Lokasi predeileksi di kelenjar adrenal retroperitoneal, mediastrinum,
pelvis dan daerah kepala-leher. Tingkat keganasan neuroblastoma tinggi, sering
metastasis ke sumsum tulang, tulang, hati, kelenjar limfe, dan lain-lain (Willie, 2008).
Neuroblastoma adalah tumor ganas yang terjadi pada sistem persarafan yang
berasal dari sel-sel saraf kelenjar adrenal, leher, dada, atau sumsum tulang belakang.
Berasal dari sel Krista neuralis sistem saraf dan karena itu dapat timbul dimanapun
dari fossa kranialis sampai koksik. Secara histologis, Neuroblastoma terdiri atas sel
bulat kecil dengan granula yang banyak. Neuroblastoma adalah satu-satunya tumor
yang dapat menghasilkan hormon.

2.1.2 Etiologi Neuroblastoma


Kebanyakan etiologi dari neuroblastoma adalah tidak diketahui. Ada laporan
yang menyebutkan bahwa timbulnya neuroblastoma infantile (pada anak-anak)
berkaitan dengan orang tua atau selama hamil terpapar obat-obatan atau zat kimia
tertentu seperti hidantoin, etanol, dan lain-lain. (Willie, 2008).
Penyebabnya tidak diketahui secara pasti, tetapi juga diduga melibatkan faktor
genetik. Kurang dari 2% terjangkit karena faktor keturunan. Kebanyakan kasus terjadi
secara sporadik dan merupakan hasil dari mutasi genetik yang mempengaruhi

5
perkembangan sel-sel di ginjal. Dapat berhubungan dengan kelainan bawaan tertentu,
seperti :
 Kelainan saluran kemih.
 Anridia ( tidak memiliki iris ).
 Hemyhipertrofi ( pembesaran separuh bagian tubuh).

2.1.3 Patofisiologi Neuroblastoma


Sel-sel kanker yang berasal dari medula adrenal dan sistem saraf simpatik
berploriferasi, menekan jaringan sekitarnya, kemudian menginfasi sel-sel normal
disekitarnya. Stadium neuroblastoma menurut INSS (Brodeur dkk, 1993):

1. Stadium 1
Tumor terlokalisasi dengan eksisi luas lengkap dengan / tanpa adanya
penyakit residual secara mikroskopik; tidak ada pembesaran KGB ipsilateral dan
kontralateral terhadap tumor secara mikroskopik (mungkin didapatkan
pembesaran KGB yang melekat pada tumor primer dan diambil secara
bersamaan). Semua tumor yang ada dapat dilihat dan bisa dihilangkan selama
operasi.
2. Stadium 2, dibagi menjadi tahap 2A dan 2B
a. Stadium 2A : Tumor ini hanya dalam satu area (unilateral), tidak ada
pembesaran KB yang ipsilateral dan tidak melekat pada tumor, dan semua
tumor yang dapat dilihat bisa sepenuhnya dihapus selama operasi.
b. Stadium 2B : Tumor ini hanya dalam satu area, pembesaran KGB
kontralateral tidak terdapat secara makroskopis, dan semua tumor yang
terlihat mungkin sepenuhnya dihapus selama operasi.
3. Stadium 3
Pada stadium tiga, bila telah terjadi salah satu dari pernyataan dibawah
a. Tumor unilateral yang tidak dapat sepenuhnya dihapus selama operasi dan
telah menyebar dari satu sisi tubuh ke sisi yang lain dan mungkin juga telah
menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya.
b. Tumor hanya ada di satu bidang, di satu sisi tubuh, tetapi telah menyebar ke
kelenjar getah bening di sisi tubuh lain
c. Tumor berada di tengah-tengah tubuh dan telah menyebar ke jaringan atau
kelenjar getah bening di kedua sisi tubuh, dan tumor tidak dapat dihilangkan
dengan pembedahan.

6
4. Stadium 4, pada tahap ini dibagi menjadi tahap 4 dan tahap 4S
a. Stadium 4 : Tumor menginvasi nodus limfe lebih jauh, mengenai tulang
sumsum tulang, hati, kulit, dan organ lain.

b. Stadium 4S :
1) Menyerang anak kurang dari 1 tahun.
2) Kanker telah menyebar ke kulit, hati, dan atau tulang sumsum.
3) Sel-sel kanker dapat ditemukan dalam kelenjar getah bening di dekat
tumor.

Gambar: Stadium neuroblastoma pada anak

Ada 3 kelompok risiko pada neuroblastoma :


a. Berisiko rendah dan menengah neuroblastoma berisiko memiliki peluang besar
untuk sembuh.
b. Risiko sedang pada pasien yang dirawat dengan operasi dan kemoterapi.
c. Neuroblastoma berisiko tinggi, mungkin sulit untuk disembuhkan.

2.1.4 Manifestasi Klinis


Neuroblastoma bisa tumbuh di berbagai bagian tubuh. Kanker ini berasal dari
jaringan yang membentuk sistem saraf simpatis (bagian dari sistem saraf yang
mengatur fungsi tubuh involunter/diluar kehendak, dengan cara meningkatkan denyut
jantung dan tekanan darah, mengkerutkan pembuluh darah dan merangsang hormon
tertentu).
Kebanyakan tumor primer terjadi dalam rongga abdomen (65%). Pada bayi
tumor primer lebih sering terjadi pada daerah toraks dan leher. Kira-kira 1% dari
pasien tidak ditemukan tumor primernya. Metastasis dapat melalui kelenjar limfe
regional terjadi sebanyak 35%. Penyebaran secara hematogen sering terjadi ke
7
sumsum tulang, tulang, hepar dan kulit, seperti yang telah kami jelaskan
dipembahasan sebelumnya. Jarang terjadi penyebaran penyakit ke paru dan parenkim
otak, yang biasanya terjadi akibat kambuhnya penyakit atau penyakit sudah dalam
stadium terminal.

Gejala awal biasanya berupa:


1. Sekitar 90% neuroblastoma menghasilkan hormon (misalnya epinefrin, yang
dapat menyebabkan meningkatnya denyut jantung dan terjadinya kecemasan)
2. Kulitnya pucat, irritable, dan lemah (sering terjadi pada anak usia 3-5 tahun)
3. Pada bayi, pembesaran hepar dengan nodul subkutan
4. Proptosis dan ekimose periorbital akibat infiltrasi tumor ke tulang periorbita
5. Sesak napas
6. Mudah memar atau pendarahan, petachiae (datar, menunjukkan titik-titik di
bawah kulit yang disebabkan oleh pendarahan)
7. Tekanan darah tinggi
8. Gerakan mata tidak terkendali
9. Pembengkakan pada kaki, pergelangan kaki, atau skrotum
10. Diare yang parah berair
11. Rasa tidak enak badan (malaise) berlangsung selama berminggu-minggu atau
berbulan-bulan
12. Keringat berlebihan
13. Rewel
Perlu berkonsultasi kepada petugas medis bila terdapat gejala :
1. Benjolan di perut, leher, atau dada
2. Mata melotot.
3. Di sekeliling mata tampak lingkaran hitam.
4. Nyeri tulang.
5. Bengkak perut dan kesulitan bernapas pada bayi.
6. Sakit, benjolan kebiruan di bawah kulit pada bayi.
7. Kelemahan atau paralysis (kehilangan kemampuan untuk memindahkan bagian
tubuh)
Neuroblastoma akan lebih parah bila tumor menekan jaringan terdekat seperti
tumbuh atau menyebarnya kanker yang bergantung pada asal dan luas penyebaran
tumor, ciri-cirinya sebagai berikut:
1. Kanker yang telah menyebar ke tulang akan menyebabkan nyeri tulang.

8
2. Kanker yang telah menyebar ke paru-paru bisa menyebabkan gangguan
pernafasan
3. Perut yang membesar, perut terasa penuh dan nyeri perut.
4. Kanker yang telah menyebar ke kulit bisa menyebabkan terbentuknya
benjolan- benjolan di kulit.
5. Kanker yang telah menyebar ke korda spinalis bisa menyebabkan kelemahan
pada lengan dan tungkai.
6. Kanker yang telah menyebar ke sumsum tulang menyebabkan:
a. Berkurangnya jumlah sel darah merah sehingga terjadi anemia.
b. Berkurangnya jumlah trombosit sehingga anak mudah mengalami memar.
c. Berkurangnya jumlah sel darah putih sehingga anak rentan terhadap infeksi.

2.1.5 Pemeriksaan pada Neuroblastoma

2.1.5.1 Pemeriksaan Radiologi


1. Pemeriksaan Sumsum Tulang
Berdasarkan INSS (International Neuroblastoma Staging Sistem)
disepakati bahwa pasien neuroblastoma harus menjalani pemeriksaan
histologi terhadap aspirat sumsum tulang dan trephine yang diambil dari 2
tempat yang berbeda. Pemeriksaan aspirat sumsum tulang dapat dilihat
menggunakan mikroskop. Biasanya terdapatkan kelompok-kelompok
keganasan non –hematopoeitik multipel bila ada metastasis. Sel-sel non –
hematopoeitik tersebut cenderung mengelompok dan membentuk
pseudorosette. Panduan Internasional menyarankan pemeriksaan histologi
sumsum tulang terhadap minimal 1 cm jaringan hematopoietik untuk
mendapatkan hasil yang adekuat.
2. X-ray
3. Radiodiagnostik
Pemeriksaan pencitraan dengan CT scan MRI dapat digunakan untuk
menentukan batas atau perluasan tumor primer dan pembesaran kelenjar
getah bening (KGB). Deteksi metastase ke hepar dapat dilakukan dengan CT
scan abdomen, sedangkan adanya pembesaran KGB dan batas tumor primer
dapat dilihat dengan CT scan atau MRI dengan hasil yang cukup baik. Bila
dikerjakan dengan seorang ahli radiologis anak yang berpengalaman, maka
pemeriksaan CT scan atau MRI dapat digantikan dengan ultrasonografi

9
abdomen. MRI merupakan teknik yang optimal untuk menunjukkan adanya
perluasan ke intraspinal melalui foramen neural.
4. USG Perut dan Dada (Ultra Sonografi)
Sebuah prosedur yang tinggi energi gelombang suara (ultrasound) yang
memantul jaringan atau organ internal dan membuat gema. Gema membentuk
gambaran jaringan tubuh disebut sonogram. Gambar dapat dicetak untuk
dilihat di kemudian hari.
5. MIBG Scanning
Meta Iodobenzy lguanidine (MIBG) merupakan substansi yang akan
masuk ke dalam sel sistem saraf simpatis yang terutama terlibat dalam
sintesis katekolamin. Oleh karena itu, bila substansi tersebut diberi label
radioaktif maka dapat menunjukkan lokalisasi neuroblastoma primer dan
metastasisnya denagn sensitivitas >90% dan spesifisitas >90%. Untuk
mencegah pengambilan zat iodine radioaktif oleh tiroid, maka sebelum
pemberian isotop akan diberikan iodine lugol yang dapat menghambat proses
pengambilan tersebut secara spesifik.
Pada 5-10% kasus neurobalstoma tidak terjadi pengambilan MIBG
sehingga tidak dapat dideteksi adanya metastasis dengan tidak didapatkannya
hasil positif pada pemerikasaan ini terhadap trumor primer.
2.1.5.2 Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan untuk mengetahui kadar eritrosit, leukosit, trombosit dan
hemoglobin yang terkandung dalam darah. Gejala neuroblastoma umumnya
menunjukkan jumlah dopamine dan norepinefrin lebih tinggi dari biasanya.
2. Tes Urine (Tes Esbach)
Tes yang dilakukan untuk mengukur jumlah zat tertentu pada
kandungan urin. Jika jumlah normal zat asam homovanilic (HMA) dan asam
vanilyl mandelic (VMA) meningkat, ada kemungkinan penderita mengidap
penyakit neuroblastoma. Kadar dopamin dapat pula diperiksa sebagai
pemeriksaan tambahan. Pada 90-95% urin pasien neuroblastoma akan didapat
kan peningkatan sekresi metabolit-metabolit tersebut.
3. Uji Neurologis
Serangkaian tes untuk memeriksa fungsi otak, saraf tulang belakang,
dan fungsi saraf. Selain itu juga untuk memeriksa status mental seseorang,

10
koordinasi, dan kemampuan untuk berjalan dengan normal, seberapa baik
otot, indra, dan refleks bekerja.
4. Pengkajian Neurohistokimia
Yaitu sebuah prosedur pewarnaan atau penambahan enzim ke darah /
sampel sumsum tulang untuk menguji antigen tertentu.

2.1.6 Komplikasi Neuroblastoma


Komplikasi dari neuroblastoma yaitu adanya metastase tumor yang relatif dini
ke berbagai organ secara limfogen melalui kelenjar limfe maupun secara hematogen
ke sumsum tulang, tulang, hati, otak, paru dan lain-lain. Metastasis tulang umumnya
ke tulang kranial atau tulang panjang ekstremitas. Hal ini sering menimbulkan nyeri
ekstremitas, artralgia, pincang pada anak. Metastase ke sumsum tulang menyebabkan
anemia, perdarahan dan trombositopenia.

2.1.7 Penatalaksanaan Neuroblastoma


Menurut Cecily (2002), International Staging Sistem untuk neuroblastoma
menetapkan definisi standar untuk diagnosis, pertahapan, dan pengobatan serta
mengelompokkan pasien berdasarkan temuan-temuan radiografik dan bedah, ditambah
keadaan sumsum tulang. Tumor yang terlokalisasi dibagi menjadi tahap I, II, III,
tergantung ciri tumor primer dan status limfonodus regional. Penyakit yang telah
mengalami penyebaran dibagi menjadi tahap IV dan IV (S untuk spesial ), tergantung
dari adanya keterlibatan tulang kortikal yang jauh, luasnya penyakit sumsum tulang
dan gambaran tumor primer.
Anak dengan prognosis baik umumnya tidak memerlukan pengobatan,
pengobatan minimal, atau banyak reseksi. Reseksi dengan tumor tahap I. Untuk tahap 
II pembedahan saja mungkin sudah cukup, tetapi kemoterapi juga banyak digunakan
dan terkadang ditambah dengan radioterpi lokal. Neuroblastoma tahap IV S
mempunyai angka regresi spontan yang tinggi, dan penatalaksanaannya mungkin
hanya terbatas pada kemoterapi dosis rendah dan observasi ketat.
Neuroblastoma tahap II dan IV memerlukan terapi intensif, termasuk
kemoterapi, terapi radiasi, pembedahan, transplantasi sumsum tulang autokolog atau
alogenik, penyelamatan sumsum tulang, metaiodobenzilquainid (MIBG), dan
imunoterapi dengan antibody monoklonal yang spesifik terhadap neuroblastoma.
Empat tipe-tipe dari perawatan standar digunakan:

11
1. Operasi
Operasi biasanya digunakan untuk merawat neuroblastoma. Tergantung
pada dimana tumornya dan apakah ia telah menyebar, sebanyak mungkin tumor
akan dikeluarkan. Jika tumor tidak dapat dikeluarkan, sebagai gantinya biopsi
mungkin dilakukan.
2. Kemoterapi
Kemoterapi menggunakan obat untuk membunuh sel-sel kanker di seluruh
tubuh. Perawatan ini menyebabkan pembelahan sel dengan cepat sehingga sel
normal yang terkena berganti dengan cepat, begitu pula sel-sel kanker.
Akibatnya, obat ini dapat memiliki efek samping mual, muntah, kehilangan
nafsu makan, rambut rontok dan jumlah sel darah putih yang rendah.
Kebanyakan efek samping akan membaik setelah obat dihentikan dan berkurang
selama terapi. Pada dosis tinggi, kemoterapi dapat menghancurkan sel-sel
sumsum tulang. Jika seorang anak akan menjalani kemoterapi dosis tinggi,
dokter anak mungkin memberitahu bahwa sel-sel sumsum dibuang dahulu.
Setelah kemoterapi, sumsum akan dikembalikan melalui jalur intravena,
prosedur ini disebut autologous bone marrow reinfusion.
3. Terapi radiasi
Terapi radiasi menggunakan sinar-X atau sumber sinar berenergi tinggi
lainnya untuk membunuh sel kanker. Kemungkinan efek sampingnya antara
lain; mual, kelelahan dan iritasi kulit. Diare dapat terjadi setelah radiasi ke
perut .
4. Pengobatan bertahap
a. Kanker Tahap I atau II
Jika kanker terbatas pada ginjal atau struktur di dekatnya dan jenis
sel tumornya tidak agresif, anak akan menjalani pengangkatan jaringan
ginjal dan beberapa kelenjar getah bening di dekat ginjal yang terkena.
Setelah itu diikuti dengan kemoterapi. Beberapa kanker stadium II juga
diobati dengan radiasi.
b. Kanker Tahap III atau IV
Jika kanker telah menyebar di dalam perut dan tidak dapat
sepenuhnya dihapus tanpa membahayakan struktur seperti pembuluh
darah utama, radiasi akan ditambahkan untuk operasi dan kemoterapi.
Anak mungkin menjalani kemoterapi sebelum operasi untuk mengecilkan
tumor.
12
c. Kanker Tahap V
Jika sel-sel tumor ada di kedua ginjal, bagian kanker dari kedua
ginjal akan diangkat selama operasi dan kelenjar getah bening diambil
untuk dilihat apakah mengandung sel-sel tumor. Kemoterapi diberikan
untuk mengecilkan tumor yang tersisa. Pembedahan diulangi untuk
mengangkat tumor sebanyak mungkin dan jaringan ginjal yang masih
berfungsi dipertahankan. Kemoterapi dan terapi radiasi dapat diberikan
selanjutnya.

2.1.8 Prognosis

Kelangsungan hidup 5 tahun 60%. Kadang-kadang dilaporkan pemulihan


spontan (Thomas, 1994). Identifikasi faktor prognosis spesifik adalah penting untuk
perencanaan terapi. Prediktor paling menonjol bagi keberhasilan adalah umur dan
stadium penyakit. Anak yang berusia kurang dari satu tahun agak lebih baik daripada
anak berumur lebih tua dengan stadium penyakit yang sama. Angka ketahanan hidup
bayi dengan penyakit berstadium rendah melebihi 90% dan bayi dengan penyakit
metastasis mempunyai angka ketahanan hidup jangka panjang 50% atau lebih. Anak
dengan penyakit stadium rendah umumnya mempunyai prognosis yang sangat baik,
tidak tergantung umur. Makin tua umur penderita dan makin menyebar penyakit,
makin buruk prognosisnya. Meskipun dengan terapi konvensional atau CST yang
agresif, angka ketahanan hidup bebas penyakit untuk anak lebih tua dengan penyakit
lanjut jarang melebihi 20% (Nelson, 2000)
Faktor yang terpenting dalam prognosis neuroblastoma adalah ada tidaknya
ampilifikasi oncogen N-myc.
1. Ampilifikasi oncogen N-myc  di atas 10 kopi menunjukkan prognosis buruk
dan terapi perlu diperkuat.
2. Pasien stadium III tanpa  ampilifikasi oncogen N-myc digunakan terapi
kombinasi agresif dan survival dapat mencapai 50%
3. Pasien stadium I/II  dan IVS tanpa ampilifikasi oncogen N-myc  dapat memiliki
survival mencapai 90% lebih (Willie, 2008)

13
2.1.9 Pathway

14
2.2 Asuhan Keperawatan Teori pada Klien Neuroblastoma
2.2.1 Pengkajian
4. Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status
perkawinan, dan penanggung biaya.
Usia rata-rata anak-anak terdiagnosis neuroblastoma adalah 22 bulan dan
90% dari kasus terdiagnosis pada usia 5 tahun.
5. Keluhan Utama
Pasien yang datang ke Rumah Sakit biasanya mengeluh dengan adanya
gejala-gejala awal yang terjadi seperti perut membesar, perut terasa penuh, dan
nyeri perut. Bisa juga pasien datang ke Rumah Sakit karena tumor yang sudah
menyebar di beberapa bagian tubuh seperti jika tumor sudah menyebar pada
tulang. Pasien akan mengalami nyeri tulang. Jika tumor telah menyebar ke
bagian sumsum tulang akan terjadi anemia dan memar. Jika telah menyebar di
bagian kulit akan terjadi benjolan pada kulit. Yang lebih parahnya jika tumor
telah menyebar ke daerah paru-paru akan terjadi gangguan pernapasan.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah dirawat di Rumah Sakit selama beberapa hari karena
terjadi pendarahan dan wajah tampak pucat. Pendarahan yang ditandai dengan
terjadinya patachiae.
4. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Rumah Sakit dengan mengeluh demam tinggi dengan
didukung wajah yang pucat. Keluarnya banyak keringat juga dialami oleh
pasien. Pasien selalu mengeluh nyeri yang ditandai dengan anak selalu rewel.
Namun keluarga pasien dan pasien tidak tahu apa yang terjadi dalam tubuhnya,
seberapa parah tumor itu telah menyebar.
2.2.2 Pengkajian Pola Gordon
11. Pola Nutrisi dan Metabolik:
Suhu badan normal hanya panas hari pertama sakit. Dapat terjadi
kelebihan beban sirkulasi karena adanya retensi natrium dan air, edema pada
sekitar mata dan seluruh tubuh. Klien mudah mengalami infeksi karena adanya
depresi sistem imun. Adanya mual, muntah dan anoreksia menyebabkan intake

15
nutrisi yang tidak adekuat. BB meningkat karena adanya edema. Perlukaan
pada kulit dapat terjadi karena uremia.
12. Pola Eliminasi :
Eliminasi alvi tidak ada gangguan, eliminasi urin gangguan pada
glumerulus menyebakan sisa-sisa metabolisme tidak dapat diekskresi dan
terjadi penyerapan kembali air dan natrium pada tubulus yang tidak mengalami
gangguan yang menyebabkan oliguria sampai anuria, proteinuri, hematuria.
13. Pola Aktifitas dan Latihan :
Pada Klien dengan kelemahan malaise, kelemahan otot dan kehilangan
tonus karena adanya hiperkalemia. Dalam perawatan klien perlu istirahat
karena adanya kelainan jantung dan dan tekanan darah mutlak selama
2 minggu dan mobilisasi duduk dimulai bila tekanan darah sudah normal
selama 1 minggu. Adanya edema paru maka pada inspeksi terlihat retraksi
dada, pengggunaan otot bantu napas, teraba, auskultasi terdengar rales dan
krekels, pasien mengeluh sesak, frekuensi napas. Kelebihan beban
sirkulasi dapat menyebabkan pemmbesaran jantung [Dispnea, ortopnea dan
pasien terlihat lemah], anemia dan hipertensi yang juga disebabkan oleh
spasme pembuluh darah. Hipertensi yang menetap dapat menyebabkan gagal
jantung. Hipertensi ensefalopati merupakan gejala serebrum karena hipertensi
dengan gejala penglihatan kabur, pusing, muntah, dan kejang-kejang. GNA
munculnya tiba-tiba orang tua tidak mengetahui penyebab dan penanganan
penyakit ini.
14. Pola Tidur dan Istirahat
Klien tidak dapat tidur terlentang karena sesak dan gatal karena adanya
uremia. keletihan, kelemahan malaise, kelemahan otot dan kehilangan tonus
15. Pola Kognitif & Perseptual
- Peningkatan ureum darah menyebabkan kulit bersisik kasar dan rasa gatal.
- Gangguan penglihatan dapat terjadi apabila terjadi ensefalopati hipertensi.
Hipertemi terjadi pada hari pertama sakit dan ditemukan bila ada infeksi karena
inumnitas yang menurun.
16. Pola Persepsi Diri
Klien cemas dan takut karena urinenya berwarna merah dan edema
dan perawatan yang lama. Anak berharap dapat sembuh kembali seperti semula
17. Pola Hubungan Peran

16
Anak tidak dibesuk oleh teman – temannya karena jauh dan lingkungan
perawatann yang baru serta kondisi kritis menyebabkan anak banyak diam.
2.2.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik berdasarkan Review of Sistem :
1. B1 (Breath) : Sesak napas.
2. B2 (Blood) : Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah meningkat,
perdarahan di bawah kulit, pucat.
3. B3 (Brain) : Nyeri
4. B4 (Bladder) : Retensi urin
5. B5 (Bowel) : Pembesaran perut, mual
6. B6 (Bone) : Rasa tidak enak badan (malaise), pembengkakan pada kaki,
pergelangan kaki atau skrotum, lelah. Terjadinya ptachiae.

2.2.4 Diagnosa keperawatan


1. Nyeri berhubungan dengan penyebaran tumor ke semua organ ditandai dengan
gelisah, tampak meringis, dan mengeluh/merasakan nyeri
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan kehilangan nafsu makan ditandai dengan
berat badan menurun dan nafsu makan menurun
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan metastase ke paru dan abdomen,
adanya tekanan pada diafragma ditandai dengan dispnea, pola napas abnormal,
dan ekskursi dada berubah
4. Retensi urin berhubungan dengan metastase pada kelenjar adrenal ditandai
dengan disuria/anuria
5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan, hipermetabolisme, dan
anemia ditandai dengan tampak lemah, dispnea saat/setelah aktivitas, dan
sianosis
6. Ansietas berhubungan dengan kekhawatiran akan hasil tes diagnosa, prosedur
dan pengobatan ditandai dengan tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur, dan
frekuensi nadi meningkat
7. Gangguan tumbuh kembang pada anak berhubungan dengan efek metastase sel
kanker pada anak ditandai dengan pertumbuhan fisik terganggu, tidak mampu
melakukan perilaku sesuai usianya, dan respon sosial lambat

2.2.5 Intervensi Keperawatan

17
1. Nyeri berhubungan dengan penyebaran tumor ke semua organ ditandai dengan
gelisah, tampak meringis, dan mengeluh/merasakan nyeri
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
nyeri yang dirasakan pada klien berkurang
Kriteria Hasil :
- Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang.
- Klien tidak merasa kesakitan

Intervensi Rasional
1. Kaji kebutuhan untuk 1. Mengetahui tingkat nyeri yang
penatalaksanaan nyeri. dialami pasien.
2. Evaluasi efektifitas penghilang nyeri 2. Menurunkan derajat nyeri pada
dengan derajat kewaspadaan. pasien.
3. Lakukan teknik pengurangan nyeri 3. Menghindari untuk terjadinya
nonfarmakologis yang tepat. pendarahan pada pasien.
4. Hindari aspirin atau senyawanya 4. aspirin meningkatkan
kecenderungan pendarahan.

2. Defisit nutrisi berhubungan dengan kehilangan nafsu makan ditandai dengan


berat badan menurun dan nafsu makan menurun
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
kebutuhan nutrisi klien dapat terpenuhi dengan adekuat
Kriteria Hasil :
- Antropometri : berat badan tidak turun (stabil), tinggi badan normal,
lingkar lengan normal
- Biokimia : albumin normal dewasa (3,5-5,0) g/dl
Hb normal anak (11 sampai 13 gr/dl)
- Clinis : tidak tampak kurus, terdapat lipatan lemak, rambut tidak jarang
dan merah
- Diet : klien menghabiskan porsi makannya dan nafsu makan bertambah

Intervensi Rasional
1. Dorong orang tua untuk 1. Meningkatkan nafsu makan pada
merilekskan tekanan pada saat anak
18
makan.
2. Izinkan anak untuk memakan semua 2. Memenuhi kebutuhan nutrisi yang
makanan yang dapat ditoleransi. adekuat.
3. Perkaya makanan dengan suplemen 3. Susu banyak mengandung
nutrisi seperti susu bubuk. komponen nutrisi yang dibutuhkan
oleh anak
4. Izinkan anak untuk terlibat dalam 4. Untuk mendorong anak mau
persiapan dan pemilihan makanan. makan

3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan metastase ke paru dan abdomen,
adanya tekanan pada diafragma ditandai dengan dispnea, pola napas abnormal,
dan ekskursi dada berubah
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pola napas efektif.
Kriteria Hasil : Mempertahankan pola napas efektif.

Intervensi Rasional
1. Pantau adanya pucat dan cyanosis. 1. Memastikan pasien tidak
kekurangan suplai oksigen.
2. Pantau kedalaman, kecepatan,
2. Memastikan bahwa pasien tidak
irama dan usaha respirasi.
mengalami gangguan pernapasan.
3. Pantau pola pernapasan. 3. Untuk meningkatkan pola
Informasikan kepada pasien dan pernapasan.
keluarga tentang teknik relaksasi 4. Posisi semifowler membantu
meringankan ekspansi dada
4. Berikan posisi semifowler pada
pasien untuk mengoptimalkan
pernapasan

4. Retensi urin berhubungan dengan metastase pada kelenjar adrenal ditandai


dengan disuria/anuria
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pasien dapat BAK dengan normal
Kriteria Hasil : Jumlah urin pasien 100 cc/jam atau normal
19
Intervensi Rasional
1. Inspeksi adanya pembesaran pada 1. Untuk mengetahui adanya
daerah abdomen penyebaran tumor pada kelenjar
2. Monitor frekuensi, konsistensi, adrenal
volume, dan warna 2. Untuk mengetahui perkembangan
3. Kolaborasi dengan dokter dalam baik eliminasi urin pasien
pemberian obat-obatan yang dapat 3. Hal tersebut diperlukan untuk
melancarkan BAK serta membantu pasien BAK
mengurangi rasa nyeri

5. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan kelemahan, hipermetabolisme, dan


anemia ditandai dengan tampak lemah, dispnea saat/setelah aktivitas, dan
sianosis
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pasien dapat beraktifitas secara normal
Kriteria Hasil : Pasien dapat mobilisasi tanpa gangguan
Intervensi Rasional
1. Berikan lingkungan tenang dan 1. Agar klien dapat merasakan tenang
batasi pengunjung selama dan dapat beristirahat total sehingga
perawatan, dorong penggunaan dapat mendukung proses
manajemen stress dan pengalihan kesembuhannya.
yang cepat
2. Perhatikan dispnea, peningkatan 2. Agar kondisi pasien dapat terpantau
kelemahan perubahan vital, tiap harinya sehingga dapat
takikardia selama dan setelah menentukan sejauh apa
aktivitas. kemajuannya.
3. Jelaskan pentingnya istirahat dalam 3. Pasien dapat patuh untuk
rencana pengobatan dan perlunya beristirahat sehingga dapat
keseimbangan aktivitas dan membantu kesembuhan klien.
istirahat
4. Bantu aktivitas perawatan diri. 4. Pasien dapat sedikit demi sedikit
Berikan peningkatan aktivitas melakukan seluruh aktivitasnya
selama fase penyembuhan. seecara mandiri

20
6. Ansietas berhubungan dengan kekhawatiran akan hasil tes diagnosa, prosedur
dan pengobatan ditandai dengan tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur, dan
frekuensi nadi meningkat
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pasien tidak mengalami ketakutan yang berlebih.
Kriteria Hasil : : Pasien menunjukkan penurunan rasa takut yang
berhubungan dengan prosedur dan tes diagnostik.
Intervensi Rasional
1. Jelaskan prosedur dengan cermat 1. Memberikan informasi dan upaya
sesuai dengan tingkat pemahaman menurunkan tingkat kecemasan
anak. dan ketakutan pada anak.
2. Jelaskan tentang apa yang 2. Mempermudah dalam melakukan
dilakukan dan apa yang akan prosedur pengobatan.
dirasakan, dilihat dan didengar
anak.
3. Gunakan metode mengingatkan 3. Untuk meningkatkan rasa kontrol,
kembali setiap langkah sebagai mendorong kerjasama dan
metode distraksi. mendukung keterampilan koping
anak.
4. Jelaskan permintaan-permintaan 4. Diharapkan anak dapat kooperatif
khusus pada anak untuk dalam pelaksanaan tindakan
mendorong kerjasama.

7. Gangguan tumbuh kembang pada anak berhubungan dengan efek metastase sel
kanker pada anak ditandai dengan pertumbuhan fisik terganggu, tidak mampu
melakukan perilaku sesuai usianya, dan respon sosial lambat
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan anak
dapat tumbuh dan berkembang denga normal
Kriteria hasil :
Periode tumbuh dan kembang anak berlangsung secara teratur sesuai
dengan masa-masa pada periodenya
Intervensi Rasional
1. Kaji gerak kasar atau motorik 1. Hal ini berhubungan dengan
kasar kemampuan anak melakukan
21
pergerakan dan sikap tubuh yang
melibatkan otot-otot besar seperti
duduk, berdiri, dan sebagainya
2. Kaji gerak halus atau motorik 2. Berhubungan dengan kemampuan
halus pada anak anak melakukan yang melibatkan
bagian-bagian tubuh tertentu yang
dilakukan oleh otot kecil tetapi
memerlukan koordinasi yang cermat,
seperti menulis, mengamati sesuatu
dan sebagainya
3. Kaji gangguan bicara dan bahasa 3. Hal ini berhubungan dengan
pada anak kemampuan untuk memberikan
respon terhadap suara, berbicara,
berkomunikasi, mengikuti perintah,
dan sebagainya.
4. Kaji sosialisasi dan kemandirian 4. Berhubungan dengan kemampuan
pada anak mandiri anak (makan sendiri,
membereskan mainan sendiri),
bersosialisasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya dan
sebagainya
5. Sediakan aktivitas yang 5. Agar kemampuan merespon
memotivasi anak berinteraksi lingkungan sosial semakin baik
dengan anak lainnya
6. Fasilitasi anak melatih 6. Untuk melatih dan meningkatkan
keterampilan pemenuhan perkembangan anak
kebutuhan secara mandiri
7. Anjurkan orang tua berinteraksi 7. Agar kemampuan merespon

dengan anak lingkungan sosial semakin baik dan


orang tua mengetahui tingkat
perkembangan anak

2.2.6 Implementasi Keperawatan


Melaksanakan tindakan keperawatan sesuai dengan intervensi keperawatan dan
mencatat respon pasien atas tindakan yang telah dilaksanakan

22
2.2.7 Evaluasi Keperawatan
Melakukan evaluasi terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan dengan
berdasarkan pada respon pasien apakah tindakan yang dilakukan sudah mencapai
kriteria hasil dan tujuan atau tidak.

23
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Neuroblastoma  merupakan tumor lunak, padat yang berasal dari sel-sel crest
neuralis yang merupakan prekusor dari medula adrenal dan sistem saraf simpatis.
Neuroblastoma dapat timbul di tempat terdapatnya jaringan saraf simpatis.cvfev Tempat
tumor primer yang umum adalah abdomen, kelenjar adrenal atau ganglia paraspinal
toraks, leher dan pelvis.
Neuroblastoma umumnya bersimpati dan seringkali bergeseran dengan jaringan
atau organ yang berdekatan (Cecily & Linda, 2002). Kebanyakan etiologi dari
neuroblastoma adalah tidak diketahui. Adapun manifestasi klinis dari neuroblastoma
yaitu tergantung lokasinya, di retroperitoneal, mediastinal leher, pelvis, dan lain-lain.
Sedangkan penatalaksanaannya tergantung stadium dari neuroblastoma itu sendiri
3.2. Saran
Perawatan dan pengawasan yang berkualitas sangat dibutuhkan pada anak dengan
kasus neuroblastoma. Tenaga medis, tenaga kesehatan, dan keluarga sebaiknya
memberikan pelayanan dan perawatan yang baik kepada anak. Penjelasan materi dalam
makalah ini jauh dari kata sempurna. Saran dan kritik yang membangun dari pembaca
sangat kami harapkan.

24
DAFTAR PUSTAKA

Fitri. 2015, Makalah Neuroblastoma. https://dokumen.tips/documents/makalah-


neuroblastoma-kel-6.html (Diakses tanggal 2 Pebruari 2020)

Adhytama Taufiq. 2014, Referat Neuroblastoma.


https://id.scribd.com/doc/195561763/Referat-Neuroblastoma (Diakses tanggal 2 Pebruari
2020)

Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri  Edisi 3.  Jakarta: EGC.

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : Dewan Pusat PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : Dewan Pusat PPNI.

25
TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN ANAK

ATRESIA ESOFAGUS

Dibimbing Oleh :

Indriatie, SKp.,M.M.Kes.

Disusun Oleh :

1. Safira Nahar Fitriana (P27820118055)


2. Arvina Lita (P27820118056)
3. Rahayu Widasari (P27820118075)

TINGKAT II REGULER B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI D-3 KEPERAWATAN KAMPUS SOETOMO

TAHUN AJARAN 2019/2020

26
KATA PENGANTAR

Assalammualaikum Wr. Wb.


Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Keperawatan Anak
yang berjudul “Atresia Esofagus” yang diberikan oleh Ibu Indriatie, SKp.,M.M.Kes selaku
dosen pengajar.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ibu Indriatie,
SKp.,M.M.Kes selaku dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan Anak di Prodi D-III
Keperawatan Soetomo yang telah memberikan banyak bantuan, bimbingan, serta pengarahan
hingga terselesainya makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengharapkan pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang
dapat membangun. Kritik dari pembaca kami harapkan untuk penyempurnaan makalah
selanjutnya. Kami berharap semoga berbagai saran dan kritik yang bersifat membangun dapat
menjadi bekal penulis untuk penyempurnaan penulisan makalah selanjutnya.
Wassalamualaikum Wr. Wb.

Surabaya, 31 Januari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1
1.3 Tujuan.........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Atresia Esofagus...........................................................................................3
2.2 Etiologi Atresia Esofagus...........................................................................................3
2.3 Klasifikasi Atresia Esofagus.......................................................................................3
2.4 Patofisiologi Atresia Esofagus....................................................................................4
2.5 Pathway Atresia Esofagus .........................................................................................5
2.6 Manifestasi Klinis Atresia Esofagus ..........................................................................5
2.7 Pemeriksaan Penunjang pada Atresia Esofagus.........................................................6
2.8 Komplikasi Atresia Esofagus ....................................................................................6
2.9 Penatalaksanaan Atresia Esofagus .............................................................................7
2.10 Asuhan Keperawatan Teori pada Atresia Esofagus ..................................................7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................12
3.2 Saran.........................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................13

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Esophageal Atresia atau Atresia Esofagus adalah kelainan pada esophagus yang
ditandai dengan tidak menyambungnya esophagus bagian proksimal dengan esophagus
bagian distal.
Atresia esophagus merupakan kelainan kongenital yang harus di curigai sebagai salah
satu differential diagnosis bila terdapat anak yang mengalami kesulitan makan dan
bernafas dalam beberapa hari pertama lahir.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Atresia Esofagus?
1.2.2 Apa saja penyebab Atresia Esofagus dapat terjadi?
1.2.3 Apa saja jenis dari Atresia Esofagus?
1.2.4 Bagaimana proses terjadinya Atresia Esofagus?
1.2.5 Bagaimana tanda dan gejala dari seseorang yang mengalami Atresia Esofagus?
1.2.6 Pemeriksaan apa saja yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis bahwa
seseorang mengalami Atresia Esofagus?
1.2.7 Komplikasi apa yang dapat terjadi jika mengalami Atresia Esofagus?
1.2.8 Bagaimana cara menangani Atresia Esofagus?
1.2.9 Bagaimana contoh asuhan keperawatan pada klien Atresia Esofagus?

1.3 Tujuan
1.3.1 Mahasiswa dapat mengetahui yang dimaksud dengan Atresia Esofagus
1.3.2 Mahasiswa dapat mengetahui penyebab terjadinya Atresia Esofagus
1.3.3 Mahasiswa dapat mengenal jenis dari Atresia Esofagus
1.3.4 Mahasiswa dapat memahami proses terjadinya Atresia Esofagus
1.3.5 Mahasiswa dapat mengenal tanda dan gejala dari Atresia Esofagus
1.3.6 Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan apa saja yang dilakukan untuk
mendiagnosis Atresia Esofagus
1.3.7 Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari Atresia Esofagus
1.3.8 Mahasiswa dapat memahami cara menangani Atresia Esofagus
1.3.9 Mahasiswa dapat menerapkan asuhan keperawatan yang baik dan benar terhadap
klien Atresia Esofagus
4
BAB II
5
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Atresia Esofagus


Esophageal Atresia atau Atresia Esofagus adalah kelainan pada esophagus yang
ditandai dengan tidak menyambungnya esophagus bagian proksimal dengan esophagus
bagian distal.
Atresia esophagus merupakan kelainan kongenital yang harus di curigai sebagai salah
satu differential diagnosis bila terdapat anak yang mengalami kesulitan makan dan
bernafas dalam beberapa hari pertama lahir.

2.2 Etiologi Atresia Esofagus


Atresia esofagus merupakan kelainan bawaan yang etiologinya sampai saat ini belum
diketahui dengan jelas. Secara embriologis kelainan ini terjadi antara minggu ketiga dan
minggu keenam kehamilan. Secara embriologis anomali ini terjadi akibat:
1) Diferensiasi usus depan yang tidak sempurna dalam memisahkan diri untuk
masing-masing menjadi esofagus dan trakea.
2) Perkembangan sel entodermal yang tidak lengkap sehingga menyebabkan
terjadinya atresia.
3) Perlekatan dinding lateral usus depan yang tidak sempurna sehingga terjadifistula
trakeoesofagus.
Faktor genetik tidak berperan dalam patogenesis kelainan ini.

2.3 Klasifikasi Atresia Esofagus


Adapun klasifikasi Atresia Esofagus menurut Vogt adalah sebagai berikut:
A. Atresia Esofagus dengan fistula trakeosofagus distal
Ini merupakan jenis yang paling sering terjadi. Esophagus bagian proksimal
berdilatasi dan dinding muscular akan menebal dan berujung pada mediastinum
superior setinggi vertebra thorasics III sampai IV. Esophagus distal (Fistel), yang
mana lebih tipis dan sempit, memasuki dinding posterior trakea setinggi carina atau 1-
2 cm diatasnya. Jarak antara esophagus proksimal yang buntu dan fistula
trakeoesefagus distal bervariasi mulai dari bagian yang berpapasan hingga berjarak
jauh.
B. Atresia Esofagus terisolasi tanpa fistula
Esophagus distal dan proksimal benar-benar berakhir tanpa hubungan dengan segmen
esophagus proksimal, dilatasi dan dinding menebal dan biasanya berakhir setinggi
6
mediastinum posterior sekitar vertebra thorakalis II. Esofagus distal sangat pendek
dan berakhir pada jarak yang bervariasi diatas diafragma.
C. Fistula trakeoesefagus tanpa atresia
Terdapat hubungan fistula antara esophagus yang secara anatomi cukup dengan
trakea. Traktus yang mempunyai fistula yang seperti ini biasa sangat tipis dengan
diameter 3-5 mm dan umumnya berlokasi pada daerah servikal paling bawah.
Biasanya fistulanya hanya satu tapi pernah ditemukan dua atau tiga fistula.
D. Atresia Esofagus dengan fistula proksimal trakeoesefagus proksimal
Kelainan yang jarang ditemukan namun perlu dibedakan dari jenis terisolasi. Fistula
bukan pada ujung distal esophagus tapi berlokasi 1-2 cm diatas dinding depan
esophagus.
E. Atresia Esofagus dengan fistula trakeoesefagus proksimal dan distal
Pada kebanyakan bayi, kelainan ini sering terlewati mendiagnosa dan diterapi sebagai
atresia proksimal dan fistula distal. Sebagai akibatnya infeksi saluran pernafasan
berulang. Jika fistula bagian proksimal tidak teridentifikasi sebelum operasi,
diagnosisnya seharusnya dicurigai dari kebocoran gas banyak keluar dari kantong atas
selama membuat anastomosis dari esophagus.

2.4 Patofisiologi Atresia Esofagus


Esophagus berkembang pertama kali dari postpharyngeal foregut dan dapat dibedakan
dari abdomen pada masa 4 minggu embrio berkembang. Dan disaat yang bersamaan
trakea mulai berkembang menonjol ke anterior dari esophagus yang sedang berkembang,
trakea terbentuk menjadi diverticulum ventral dari faring primitive (bagian caudal dari
foregut). Septum trakeoesofagus terbentuk pada tempat dimana pembungkus
trakeoesofagus longitudinal bergabung kea rah garis tengah dan menyatu. Septum ini
terbagi menjadi bagian ventral (tuba laringotudinal) dan bagian dorsal (esophagus),
septum bagian ventral ini yang akan berkembang menjadi paru-paru.
Adanya gangguan pada stadium ini dapat menyebabkan kelainan congenital seperti
atresia esophagus dengan fistula trakeoesofagus. Atresia esophagus terjadi jika septum
trakeoesofagus deviasi ke posterior. Deviasi ini membuat pemisahan esophagus dari
saluran laringotrakea tidak komplit sehingga terjadi fistula trakeoesofagus. Panjang dari
esophagus berkisar 8-10 cm setelah lahir, menjadi dua kali lipat saat berumur 2-3 tahun,
dan menjadi kurang lebih 25 cm saat dewasa.
Esophagus bagian abdominal pada masa 8 minggu embrio sebesar lambung tetapi
akan mengecil seiring dengan waktu. Di lokasi intra abdominal ini, bagian distal
7
esophagus dengan LES (Lower Esophageal Spinchter) mempunyai peran penting dalam
anti refluks. Aktivitas menelan di esophagus dapat terlihat pada masa gestasi 16-20
minggu, untuk membantu sirkulasi dari cairan amnion (Polyhidramnion) merupakan
tanda dari gangguan proses menlan dari esophagus atau obstruksi traktus gastrointestinal
bagian atas. Oleh karena itu polyhidramnion merupakan salah satu tanda atau factor
resiko dari terjadinya atresia esophagus.
2.5 Pathway Atresia Esofagus

Kongenital/Idiopatik

Atresia Esofagus
Kurang Informasi
tentang kondisi
dan pengobatan
Batuk, Hipersekresi
Saliva

Kurang Nausea Vomiting,


Pengetahuan Regurgitasi Makanan Intake Tidak
Adekuat

Resiko Aspirasi
Gangguan Nutrisi
Kurang Dari
Kebutuhan Tubuh

Gangguan Bersihan
Jalan Nafas Tidak
Efektif

2.6 Manifestasi Klinik Atresia Esofagus


Ada beberapa keadaan yang merupakan gejala dan tanda atresia esophagus, antara lain:
1) Ditemukan riwayat polihidramnion pada ibu.
2) Kateter yang dipakai untuk resusitasi tidak dapat masuk ke lambung.
3) Terdapat banyak sekresi mulut pada bayi.
8
4) Bayi tersedak, batuk, atau sianotik pada saat diberi minum.
Kesulitan yang terjadi adalah bahwa dugaan terhadap kelainan tersebut baru
terpikirkan setelah selesai pemberian minum sehingga bayi sudah mengalami
aspirasi. Walaupun dengan pengisapan sekresi di mulut dan faring seringkali
dapat menolong, tetapi gejala aspirasi akan selalu berulang.

2.7 Pemeriksaan Penunjang Atresia Esofagus


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain adalah
1) Darah lengkap
Untuk mengetahui apabila terjadi suatu infeksi pada saluran pernafasan akibat aspirasi
makanan ataupun cairan
2) Elektrolit
Untuk mengetahui keadaan abnormal bawaan lain yang menyertai. Biasanya pada
anak dengan Atresia Esofagus akan mengalami penurunan jumlah natrium (<135
mEq/L), penurunan kalium (<3,5 mEq/L),
3) Analisa Gas Darah Arteri
Untuk mengetahui apabila ada gangguan respiratorik terutama pada bayi. Biasanya
bayi akan mengalami Alkalosis Respiratorik.
4) USG

Sebelum kelahiran, pemeriksaan USG bisa memperlihatkan ketuban dalam jumlah


terlalu banyak (poli hidramnion), yang bisa memperlihatkan tanda atresia esophagus
atau penyakit lain terkait tersumbatnya saluran pencernaan. Kelainan ini juga
terdeteksi sesaat setelah kelahiran saat proses menyusui dilakukan dan bayi langsung
batuk, muntah, atau membiru. Begitu kondisi ini dicurigai sebagai atresia esofagus,
saluran kecil dibuat dari mulut atau hidung ke perut oleh tenaga kesehatan prfesional,

9
tetapi usaha ini tidak akan secara sempurna menyalurkan seluruh bahan makanan ke
perut bayi.
5) CT-Scan

Pada pemeriksaan CT-Scan helical tranversal menunjukkan adanya distensi udara


pada esofagus proksimal ( tanda panah ).

2.8 Komplikasi Atresia Esofagus


Komplikasi yang dapat terjadi antara lain adalah :
1) Stenosis pada sisi anastomosis
2) Kesulitan menelan dan regurgitasi
3) Pneumonia aspirasi dan atelectasis
4) Apnea atau henti nafas
5) Dehidrasi
6) Inanition
7) Striktur esophagus (komplikasi pasca bedah)
8) Anomali kongenital tambahan (jantung, ginjal, dan/atau gastrointestinal)

2.9 Penatalaksanaan Atresia Esofagus


1) Gastrostomi : Untuk memasukan makanan atau mengurangi tekanan (dekompresi)
lambung.
2) Anastomosis Esofagus: Sambungan bedah yang menggabungkan dua struktur.
Sambungan ini dibuat saat bagian yang sakit pada saluran pencernaan harus diangkat.
Kemudian, kedua ujung yang tersisa dihubungkan kembali. Hal ini dilakukan untuk
mengembalikan aliran normal makanan atau cairan lambung di saluran pencernaan.

10
2.10 Asuhan Keperawatan Teori
2.10.1 Data Subyektif:
a. Indentitas pasien dan penanggung jawab
Atresia Esofagus biasanya diderita oleh bayi karena merupakan suatu kelainan
bawaan lahir dan tidak dipengaruhi oleh status keturunan keluarga.
b. Keluhan Utama
Berisi keluhan klien atresia esophagus. Pada klien dengan atresia esophagus
akan mengeluhkan sesak dan kesulitan bernafas, kesulitan dan penurunan
nafsu makan, mengalami batuk pada saat makan atau minum.
c. Riwayat penyakit sekarang
Bayi dengan ibu polihidramion memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadi
atresia esophagus. Setelah lahir, bayi akan mengalami hipersaliva disertai
keluarnya cairan oral lain. Bayi akan mengalami kesulitan dalam menelan ASI.
d. Riwayat penyakit yang lalu:
Apakah klien pernah menderita penyakit ini sebelumnya. Penyakit atresia
esophagus merupakan suatu kelainan bawaan lahir. Biasanya klien memiliki
riwayat pneumonia pada bulan pertama kelahiran (Polihidramnion maternal).
e. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga ada yang menderita penyakit yang sama dengan
klien. penyakit Atresia esophagus bukan merupakan penyakit keturunan,
sehingga riwayat kesehatan keluarga tidak berpengaruh.
f. Pola aktivitas sehari-hari:
1. Pola nutrisi
Pada klien dengan atresia esophagus biasanya mengalami penurunan nafsu
makan atau tidak mampu menerima nutrisi yang cukup.
2. Pola eliminasi
Mengkaji mengenai kebiasaan BAB dan BAK klien SMRS dan MRS. Pada
klien dengan atresia esophagus mengalami perubahan dalam pola eliminasi
karena intake makanan yang tidak adekuat.
3. Pola tidur
Pada klien dengan aresia esophagus akan mengalami masalah tidur karena
rasa sesak dan ketidaknyamanan yang dirasakan.
4. Pola aktivitas:

11
Pada anak dengan atresia esophagus biasanya akan mudah mengalami sesak
karena kesulitan bernafas, dan merasa lemas karena terdapat gangguan
dalam intake nutrisi.
2.10.2 Data Obyektif:
- Keadaan umum dan kesadaran
Pada anak dengan atresia esophagus biasanya memiliki kesulitan untuk bernafas,
batuk pada saat makan atau minum, menunjukkan kurangnya minat terhadap
makanan atau ketidakmampuan untuk menerima nutrisi yang cukup. Pada anak
dengan atresia esophagus memiliki kesadaran compos mentis.
- Mengukur tanda-tanda vital
Pada pengukuran tanda-tanda vital ditemukan penignkatan pada frekuensi nafas
karena pada pasien dengan atresia esophagus akan mengalami sesak dan kesulitan
untuk bernafas.
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : Simetris, tidak ada kelainan pada kepala
- Muka : Simetris dan tampak pucat
- Mata : Alis mata normal, Kelopak mata normal, Konjungtiva anemis
- Telinga : Tes weber simetris, Tidak ada serumen, Tidak ada benda asing
- Hidung : Tidak terdapat secret dari kedua lubang hidung, terdapat pernafasan
cuping hidung.
- Mulut : terjadi hipersalivasi (drooling)
- Leher : Simetris, Kelenjar Limphe tidak membesar
- Dada : Tidak simetris, terdapat suara ronchi pada suara pernafasan dan terjadi
peningkatan frekuensi pernafasan karena klien merasakan sesak dan ditemukan
suara ronchi, terjadi distress pernafasan ringan
- Abdomen : tidak terjadi penonjolan pada sekitar umbilicus.
- Genetalia: Genetalia normal
- Ekstermitas : Pergerakan aktif, tidak terdapat fraktur dan kelainan.
2.10.3 Test Diagnostik
1. Ketidakmampuan untuk memasukkan selang nasogastrik ke dalam lambung
2. Rontgen esofagus menunjukkan adanya kantong udara dan adanya udara di
lambung serta usus
2.10.4 Diagnosa Keperawatan yang sering muncul dan Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan dan Intervensi yang dapat dilakukan antara lain adalah :

12
1) Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan ditandai
dengan otot menelan lemah
a. Memantau asupan makanan
R : Untuk menyesuaikan antara intake nutrisi yang diberikan dengan output
nutrisi.
b. Memberikan nutrisi parenteral
R : Agar dapat memberikan nutrisi yang mencukupi untuk mencegah terjadinya
kekurangan energy, protein, dan asam lemak esensial.
c. Mengidentifikasi perlunya menggunakan NGT
R : Apabila mengalami kesulitan menelan pemberian nutrisi melalui NGT
diperlukan makanan cair untuk mempertahankan nutrisi.
d. Memantau berat badan setiap hari
R : Mencegah terjadinya penurunan berat badan secara signifikan.
2) Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan
a. Mengidentifikasi indikasi pemasangan NGT
R : Melakukan pemasangan NGT untuk membantu memenuhi kebutuhan
nutrisi pasien.
b. Mengedukasi tujuan dan prosedur kepada orang tua pasien dan pasien
R : Memberikan informasi dan mengedukasi kepada pasien dan orang tua agar
memahami prosedur yang dilakukan dan tidak terjadi kebingungan mengenai
tindakan yang akan dilakukan.
c. Menginformasikan kemungkinan ketidaknyamanan pada hidung dan
kemungkinan muntah
R : Agar orang tua anak memahami efek samping yang mungkin terjadi terkait
pemasangan NGT.
d. Melakukan tindakan terapeutik pemasangan NGT
R: Agar tercipta hubungan saling percaya antara perawat dengan orang tua
anak dan anak.
3) Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang terpapar informasi tentang
kondisi dan pengobatannya.
a. Menyiapkan orangtua untuk menerima informasi prosedur preoperasi yang
diperlukan
R : Agar orang tua anak lebih siap terkait dengan prosedur operasi yang akan
dilakukan dan memberikan informasi terkait dengan prosedur preoperasi yang
akan dilakukan.
13
b. Menjelaskan prosedur pembedahan pada orang tua anak
R : Mencegah terjadinya kesalahan informasi terkait prosedur pembedahan.
c. Menjelaskan alasan status puasa pasien
R : Untuk memberikan informasi yang sesuai dengan keadaan, pengobatan
yang akan dilakukan sehingga mencegah terjadinya rasa bingung bagi orang
tua anak.
d. Mengkaji kecemasan pada orang tua anak
R : Membantu mengenali masalah yang dihadapi dan mencegah atau
mengurangi timbulnya stress.
2.10.5 Implementasi
Pelaksanaan merupakan tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencana
keperawatan yang sudah dibuat dan merupakan tindakan atau realisasi dari rencana
yang telah disusun berdasarkan prioritas tindakan yang telah dilakukan berdasarkan
rencana tindakan.

2.10.6 Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP
(subyektif, obyektif, assessment, planning). (Dinarti, Aryani dkk, 2013). Evaluasi
dapat berupa evaluasi struktur proses dan hasil.

14
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Atresia esofagus merupakan keadaan dimana tertutupnya (buntu) bagian ujung
esofagus. Pada seperempat sampai sepertiga esofagus bagian bawah yangberhubungan
dengan trakhea setinggi karina (atresia esofagus dengan fistula) dan merupakan kelainan
bawaan pada saat kehamilan. Penyakit ini sampai saat ini belum dapat diketahui secara
pasti penyebab atau etiologinya. Sehingga untuk meminimalkan angka kejadian atresia
esofagus sebaiknya dilakukan pencegahan antara lain dengan melakukan pemeriksaan
rutin selama kehamilan, menjaga pola hidup sehat oleh Ibu, dan lingkungan sekitar untuk
15
menghindari paparan (sinar X, asap rokok, polusi kendaraan dan infeksi virus TORCH
serta penyakit kelainan bawaan).
3.2 Saran
a. Bagi perawat
Perawat seharusnya mengetahui mengenai penatalaksanaan atresia esofagus. Selain
itu, perawat juga dapat melakukan promosi kesehatan sebagai salah satu tindakan
pencegahan. Hal ini yang tidak kalah penting bagi perawat adalah mampu melakukan
asuhan keperawatan pada penderita atresia esofagus. Oleh perawat disarankan untuk
selalu mengikuti informasi terbaru mengenai penatalaksanaan hingga asuhan
keperawatan pada klien dengan atresia esofagus.
b. Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat ikut berpartisipasi aktif dalam pencegahan penyakit
atresia esofagus dengan mengikuti kegiatan promosi kesehatan. Selain itu, masyarakat
juga dianjurkan melakukan pemeriksaan rutin bagi ibu hamil atau melakukan
konsultasi selama kehamilan pada tenaga ahli kesehatan.

Daftar Pustaka

Hadiyah, Aziz Alimul A. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak Buku 2. Jakarta : Salemba
Medika

Hidayat. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta : Salemba Medika

Lubis, Armi Fadli, Hasanul Arifin, 2013, Penatalaksanaan Anestesi pada Koreksi Atresia
Esophagus dan Atresia Esofagus, Jurnal Anastesiologi Indonesia, Vol V, N0.3, 217-
224

Rahayu, Dedeh Sri. 2009. Asuhan Keperawatan Anak dan Neonatus. Jakarta : Salemba Medika

16
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.

PPNI, T. P. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Persatuan


Perawat Indonesia.

PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Persatuan


Perawat Nasional Indonesia.

Tucker, Susan Martin. et al. 1999. Standar Perawatan Pasien: Proses Keperawatan, Diagnosis,
dan Evaluasi. Volume 4. Edisi V. Jakarta: EGC.

17
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA KLIEN HISPRUNG

Dosen Pembimbing :

Indriatie, Skp., Ns., M.Kep

Nama Kelompok :

1. Indira Ismi Azizah (P27820118057)


2. Achmad Ristio (P27820118058)
3. Febrina Ayu Ifana M. (P27820118076)
4. Istifada Rahlia (P27820118078)

TINGKAT II REGULER B

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA

JURUSAN KEPERAWATAN

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN KAMPUS SOETOMO SURABAYA

TAHUN AJARAN 2019/2020

18
LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA KLIEN HISPRUNG

A. Definisi

Penyakit hirschsprung adalah anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi


mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian dari usus. (Donna L. Wong, 2003 :
507)
Penyakit Hisprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini
merupakan keadaan dimana usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas) yang
tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi “kelumpuhan” usus besar dalam
menjalanakan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (megakolon). Panjang usus
besar yang terkena berbeda-beda untuk setiap individu.

B. Etiologi

Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah
diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan
Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.

C. Klasifikasi

Berdasarkan panjang segmen yang terkena, dapat dibedakan 2 tipe yaitu :


1. Penyakit Hirschprung segmen pendek

19
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70%
dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan.
2. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau
usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.

D. Manifestasi Klinis

Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, Anak dengan
Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut:
a. Konstipasi
b. Tinja seperti pita dan berbau busuk
c. Distenssi abdomen
d. Adanya masa difecal dapat dipalpasi
e. Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi ( Betz cecily & sowden, 2009 ).

E. Patofisiologi

Istilah congenital aganglionic Mega Colon menggambarkan adanya kerusakan primer


dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding sub mukosa kolon distal. Segmen
aganglionic hampir selalu ada dalam rectum dan bagian proksimal pada usus besar.
Ketidakadaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga
pendorong ( peristaltik ) dan tidak adanya evakuasi usus spontan serta spinkter rectum
tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang
menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian
proksimal sampai pada bagian yang rusak pada Mega Colon (Betz, Cecily & Sowden,
2009).
Semua ganglion pada intramural plexus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi
dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik dan
feses terkumpul didaerah tersebut, menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang
proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian Colon
tersebut melebar.

F. Komplikasi
20
1. Obstruksi usus
2. Konstipasi
3. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
4. Entrokolitis
5. Struktur anal dan inkontinensial ( pos operasi ) (Betz, Cecily & Sowden, 2009).

G. Pathway

H. Penatalaksanaan
1. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus
besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar

21
sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a. Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk
melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar
untuk mengembalikan ukuran normalnya.
b. Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak
mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi
pertama Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson,
Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang
paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian
akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah
2. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak
secara dini
b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan)
d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak
dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status
fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik
seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan
tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total.

I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan:

a. Daerah transisi
b. Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
c. Entrokolitis padasegmen yang melebar
d. Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam (Darmawan K, 2004 : 17 )
2. Biopsi isap
Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari
sel ganglion pada daerah sub mukosa (Darmawan K, 2004 : 17 )
22
3. Biopsi otot rectum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum
4. Pemeriksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada
penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase
(Darmawan K, 2004 : 17 )
5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus
6. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang
menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang
menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi
pembusukan.

23
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA KLIEN HISPRUNG

A. Pengkajian
1. Identitas
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan
kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan
lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang
melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada
anak laki-laki dan perempuan
2. Riwayat Keperawatan.
a. Keluhan utama
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang
sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam
setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah
muntah dan diare.
b. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total
saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium.
Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa
konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi
usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare,
distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.
c. Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit
Hirschsprung.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya.
e. Riwayat kesehatan lingkungan
Tidak ada hubungan dengan kesehatan lingkungan.
f. Imunisasi
Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit Hirschsprung.
g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
h. Nutrisi

24
3. Pemeriksaan fisik.
a. Sistem kardiovaskuler
Tidak ada kelainan.
b. Sistem pernapasan
Sesak napas, distres pernapasan, irama nafas tidak teratur karena membesarnya
abdomen.
c. Sistem pencernaan
- Inspeksi : Tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan
rectum dan feses akan didapatkan adanyaperubahan feses seperti pita dan
berbau busuk.
- Auskultasi : Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan
berlanjut dengan hilangnya bising usus.
- Perkusi : Timpani akibat abdominal mengalami kembung.
- Palpasi : Teraba dilatasi kolon abdominal.
d. Sistem genitourinarius
Saat dipalpasi terdapat nyeri tekan pada usus
e. Sistem saraf
Tidak ada kelainan.
f. Sistem muskuloskeletal
Klien biasanya tampak tidak nyaman dan lemas
g. Sistem endokrin
Tidak ada kelainan.
h. Sistem integumen
Akral teraba hangat, ada nyeri tekan post op
i. Sistem pendengaran.
Tidak ada kelainan.
4. Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
a. Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat
gambaran obstruksi usus rendah.
b. Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran
kontraksi usus yang tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada
segmen yang melebar dan terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.
c. Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
d. Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.

25
e. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat
peningkatan aktivitas enzim asetilkolin eseterase.

B. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.
2) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.
3) Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
5) Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak.

C. Intervensi keperawatan
1) Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.
Tujuan : klien tidak mengalami ganggguan eliminasi dengan kriteria defekasi
normal, tidak distensi abdomen.
Intervensi :
a. Monitor cairan yang keluar dari kolostomi.
Rasional : Mengetahui warna dan konsistensi feses dan menentukan rencana
selanjutnya
b. Pantau jumlah cairan kolostomi.
Rasional : Jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan untuk
penggantian cairan
c. Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi.
Rasional : Untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola defekasi
terganggu.
2) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat mentoleransi diet
sesuai kebutuhan secara parenteal atau per oral.
Intervensi :
a. Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.
Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
b. Pantau pemasukan makanan selama perawatan.
26
Rasional : Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan 1300-3400
kalori
c. Pantau atau timbang berat badan.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan berat badan
3) Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
Tujuan : Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami
dehidrasi, turgor kulit normal.
Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda dehidrasi.
Rasional : Mengetahui kondisi dan menentukan langkah selanjutnya
b. Monitor cairan yang masuk dan keluar.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh
c. Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprograrmkan.
Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi
4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak
menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur.
Intervensi :
a. Kaji terhadap tanda nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
b. Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
c. Berikan obat analgesik sesuai program.
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem
saraf pusat

27
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
DENGAN ECHEPHALITIS

Disusun Oleh:
KELOMPOK 10

INTAN LU’LU’UL FU’ADAH (P27820118059)


GRACIA IRNADIANIS IVADA (P27820118060)
BELINDA CHALVERA SUNARYO (P27820118080)
AKHMAD WAHYUDI (P27820118081)

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI D III KEPERAWATAN KAMPUS SOETOMO
SURABAYA
2019

28
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA ANAK ENCHEPHALITIS

1.1. DEFINISI
Enchephalitis merupakan infeksi jaringan otak yang bisa disebabkan oleh berbagai
organisme hidup, salah satunya virus. Terdapat 2 jenis enchephalitis, yaitu primer dan
sekunder. Enchephalitis primer terjadi saat virus langsung menyerang otak dan saraf
tulang belakang. Sedangkan pada enchephalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi di
mana saja dalam tubuh dan kemudian menjalar ke otak.

Enchephalitis adalah penyakit radang otak yang jarang dijumpai. Kemungkinan


terjadinya 0,5 per 100.000 orang, biasanya menyerang anak-anak dan bayi yang
memiliki sistem imun tubuh rendah. Echephalitis juga disebabkan oleh bakteri, jamur
atau parasit yang menyerang otak. Paparan bahan kimia atau reaksi autoimun juga dapat
menyebabkan encephalitis

Istilah untuk menyebut encephalitis yang disebabkan oleh infeksi virus disebut viral


encephalitis, sedangkan encephalitis yang disebabkan oleh infeksi bakteri
adalah bakterial encephalitis. Proses infeksi dapat terjadi secara primer maupun
sekunder. Pada infeksi primer, pathogen tersebut langsung menyerang otak. Pada infeksi
sekunder, pathogen tersebut menyerang daerah lain selain otak dan tidak dapat
dihancurkan oleh sistem imun tubuh, akibatnya dapat menyebar ke otak dan
menimbulkan peradangan di otak. Timbulnya gejala encephalitis pada infeksi sekunder,
biasanya terjadi sekitar 2-3 minggu setelah infeksi awal terjadi.

Ensefalitis yang mengakibatkan kerusakan otak, dapat menyebabkan


atau memperburuk gejala gangguan perkembangan atau penyakit mental.
Disebut ensefalitis lethargica, yang membentuk berbagai gejala penyakit
Parkinson seperti parkinsonianism postencephalitik. Dalam beberapa kasus ensefalitis
menyebabkan kematian. Pengobatan ensefalitis harus dimulai sedini
mungkin untuk menghindari dampak serius dan efek seumur hidup. terapi tergantung
pada penyebab peradangan, mungkin termasuk antibiotik, obat anti-virus, dan obat-
obatan anti!inflamasi. jika hasil kerusakan otak dari ensefalitis,terapi seperti terapi fisik
atau terapi restorasi kognitif dapat membantu pasiensetelah kehilangan fungsi.

1.2. ETIOLOGI

29
Beberapa tipe enchephalitis ada yang disebabkan oleh infeksi virus. Virus dapat
masuk ke tubuh anak melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah
masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar dan berkembang biak di jaringan otak Si
Kecil bahkan di beberapa organ tubuhnya. Ada sejumlah virus penyakit yang bisa
menyebabkan enchephalitis, seperti cacar air, campak, dan gondongan. Virus yang
paling berbahaya adalah Virus Herpes Simplex (VHS), tapi kasusnya sangat jarang
terjadi.

Ensefalitis biasanya bersifat infektif tetapi bisa juga yang non infektif seperti pada


proses dimielinisasi pada Acute disseminated encephalitis. Ensefalitis bisa disebabkan
oleh virus, bakteria, parasit, fungus dan riketsia. Age virus, seperti virus HSV tipe 1 dan
2 (hampir secara eksklusif pada neonatus), EBV, virus campak (PIE dan SSPE),
virus gondok, dan virus rubella, yang menyebar melalui kontak orang-ke-orang. Virus
herpes manusia juga dapat menjadi penyebab. CDC telah mengkonfirmasi bahwa virus
West Nile dapat ditularkan melalui transplantasi organ dan melalui transfusi darah.
Vektor hewan penting termasuk nyamuk, kutu (arbovirus), dan mamalia seperti rabies.

1.3. PATOFIOLOGI

Virus masuk ke dalam tubuh pasien melalui kulit, saluran nafas, dan saluran
pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh virus akan menyebar ke seluruh tubuh
melalui cara :

1. Setempat : virus hanya menginfeksi selaput lendir, permukaan atau organ


tertentu
2. Penyebaran hematogen primer : virus masuk ke dalam darah kemudian menyebar
ke berbagai organ dan berkembang biak pada organ tersebut.
3. Penyebaran hematogen sekunder : virus berkembang biak di daerah pertama kali
ia masuk (permukaan selaput lendir) kemudian menyebar ke organ lain.
4. Penyebaran melalui saraf : virus berkembang biak dipermukaan selaput lender
dan menyebar melalui sistim saraf

Setelah terjadi penyebaran ke otak terjadi manifestasi klinis encephalitis. Masa


prodromal berlangsung 1-4 hari ditandai dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah
nyeri tenggorokan, malaise, nyeri ekstremitas, dan pucat. Suhu badan meningkat, foto
fobia, sakit kepala, muntah-muntah, kadang disertai kaku kuduk apabila infeksi

30
mengenai meningen. Pada anak, tampak gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku.
Dapat disertai gangguan penglihatan, pendengaran, bicara, serta kejang. Gejala lain
berupa gelisah, rewel, perubahan perilaku, gangguan kesadaran, kejang. Kadang-kadang
disertai tanda neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplagia, ataksia, dan
paralisis saraf otak. Masa inkubasi virus ini berkisar 4-15 hari.

1.4. KLASIFIKASI

Klasifikasi encephalitis berdasar jenis virus serta epidemiologinya ialah:

1. Infeksi virus yang bersifat endemic


a. Golongan enterovirus : Poliomyelitis, virus Coxsackie, virus ECHO.
b. Golongan virus Arbo : Western equine encephalitis, St. Louis encephalitis,
Eastern equine encephalitis, Japanese B encephalitis, Russian spring summer
encephalitis, Murray valley encephalitis.
2. Infeksi virus yang bersifat sporadik : Rabies, Herpes simpleks, Herpes zoster,
Limfogranuloma, Mumps, Lymphocytic choriomeningitis, dan jenis lain yang
dianggap disebabkan oleh virus tetapi belum jelas.
3. Encephalitis pasca-infeksi : pasca-morbili, pasca-varisela, pasca-rubela, pasca-
vaksinia, pasca-mononukleosis infeksius, dan jenis-jenis lain yang mengikuti infeksi
traktus respiratorius yang tidak spesifik. (Robin cit. Hassan, 2013).
1.5 MANIFESTASI KLINIK
Adapun gejala-gejala yang mungkin timbul pada masalah ensefalitis adalah :
a. Panas badan meningkat.
b. Sakit kepala.
c. Muntah-muntah lethargi.
d. Kaku kuduk apabila infeksi mengenai meningen.
e. Gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku.
f. Gangguan penglihatan, pendengaran, bicara dan kejang.

1.6 PATHWAY

31
1.7 KOMPLIKASI
Komplikasi pada ensefalitis berupa :
a. Retardasi mental
b. Iritabel
c. Gangguan motoric
d. Epilepsi
e. Emosi tidak stabil
f. Sulit tidur
g. Halusinasi
h. Enuresis
i. Anak menjadi perusak dan melakukan tindakan asosial lain.
1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Biakan:
- Dari darah, viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar untuk
mendapatkan hasil yang positif.
- Dari likuor serebro spinalis atau jaringan otak (hasil nekropsi), akan didapat
gambaran jenis kuman dan sensitivitas terhadap antibiotika.
- Dari feses, untuk jenis enterovirus sering didapat hasil yang positif

32
- Dari swap hidung dan tenggorokan, didapat hasil kultur positif
2. Pemeriksaan serologis : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi hemaglutinasi dan uji
neutralisasi. Pada pemeriksaan serologis dapat diketahui reaksi antibody tubuh. IgM
dapat dijumpai pada awal gejala penyakit timbul.
3. Pemeriksaan darah : jika di tubuh terdapat virus west mile dalam analisis sampel
darah akan menunjukkan peningkatan antibodi terhadap virus atau terjadi
peningkatan angka leukosit.
4. Punksi lumbal Likuor serebo spinalis sering dalam batas normal, kadang-kadang
ditemukan sedikit peningkatan jumlah sel, kadar protein atau glukosa.
5. EEG / Electroencephalography EEG sering menunjukkan aktifitas listrik yang
merendah sesuai dengan kesadaran yang menurun. Adanya kejang, koma, tumor,
infeksi system saraf, bekuan darah, abses, jaringan parut otak, dapat menyebabkan
aktivitas listrik berbeda dari pola normal irama dan kecepatan.(Smeltzer, 2002)
6. CT scan Pemeriksaan CT scan otak seringkali didapat hasil normal, tetapi bisa pula
didapat hasil edema diffuse, dan pada kasus khusus seperti encephalitis herpes
simplex, ada kerusakan selektif pada lobus inferomedial temporal dan lobus frontal.
(Victor, 2001)

33
FORMAT ASUHAN KEPERAWATAN ANAK

1. PENGKAJIAN

I. BIODATA

Echephalitis merupakan penyakit yang dapat menyerang semua kelompok umur


termasuk pada bayi dan anak-anak. Penyakit ini sering terjadi karena keadaan nutrisi
yang buruk akibat ekonomi rendah serta kondisi lungkungan tempat tinggal yang buruk
dan kotor sehingga memungkinkan terjadi.

II. RIWAYAT KESEHATAN ANAK

5. KELUHAN UTAMA
Pada anak dengan Echephalitis biasanya keluarga mengeluhkan bahwa panas
tubuh anak meningkat, kejang, kesadran menuruh
6. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Merupakan riwayat anak saat ini yang meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul atau kekambuhan dari penyakit yang pernah dialami
sebelumnya. Biasanya pada masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari ditandai
dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri
ekstrimitas dan pucat. Kemudian diikuti tanda ensefalitis yang berat ringannya
tergantung dari distribusi dan luas lesi pada neuron. Gejala terebut berupa gelisah,
irritable, screaning attack, perubahan perilaku, gangguan kesadaran dan kejang
kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis,
hemiplegia, ataksia dan paralisi saraf otak.

7. RIWAYAT KESEHATAN YANG LALU


Pada anak Echephalitis sebelumnya menderita batuk, pilek kurang lebih 1-4
hari, pernah menderita penyakit Herpes, penyakit infeksi pada hidung, telinga dan
tenggorokan. Anak pernah menderita penyakit yan disebabkan oleh virus, seperti
virus influenza, varisella,adenovirus, coxsachie, echovirus atau parainfluenza,
infeksi bakteri, parasit satu sel, cacing, fungus, riketsia.

8. RIWAYATKEHAMILAN DAN PERSALINAN (ANAK ≤ 2 TAHUN)

34
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal.
Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh
ibu terutama penyakit infeksi. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam
usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi system kekebalan terhadap
penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit
contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk
mengetahui keadaan anak setelah lahir.
Contoh : BBLR, apgar score, yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya.
9. RIWAYAT IMUNISASI
Pada riwayat imunisasi mengakaji kapan terakhir kali anak memperoleh
imunisasi DTP, karena pada kasusu Echephalitis pada anak dapat terjadi pad poat
imunisasi pertunis
10. RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN (SESUAI DENGAN
USIA ANAK)
Pada setiap anak yang mengalami penyakit yang sifatnya kronuis atau
mengalami hospitalisasi yang lama, kemungkinan terjadinya gangguan pertumbuhan
dan perkembangan sangat besar. Hal ini disebabkan pada keadaan sakit fungsi tubuh
menurun termasuk fungsi social anak. Tahun-tahun pertama pada anak merupakan
“tahun emas” untuk kehidupannya. Gangguan atau keterlambatan yang terjadi saat
ini harus diatasi untuk mencapai tugas –tugas pertumbuhan selanjutnya. Pengkajian
pertumbuhna dan perkembangan anak ini menjadi penting sebagai langkah awal
penanganan dan antisipasi.

III. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA

Mengkaji penyakit yang pernah/masih diderita keluarga Mengkaji adanya


riwayat bahwa apakah ada kaitanya dengan penyakit yang diderita sang anak saat
ini. Apakah ada anggota keluarga yang menderita penyakit menular yang
berhubungan dengan penyakit anak saat ini. Pengkajian ini dilakukan karena
echephalitis dapat disebabkan oleh virus dan bateri, seperti virus herpes, bakteri E-
coli, Streptococcus, Staphylococcus Aureus.

IV. SOSIAL

35
Lingkungan dan keluarga anak sangat mendukung terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak. Perjalanan klinik dari penyakit sehingga mengganggu status
mental, perilaku dan kepribadian. Perawat dituntut mengkaji status klien atau keluarga
agar dapat memprioritaskan maslaah keperawatnnya, pada riwayat sosisal anak juga
mengkaji bagaimana pola interaksi anak, bagaimana kondisi lingkungan anak.

V. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI

1. Pola Nutrisi dan Metabolisme

Terjadi perubahan dalam kebiasaan atau jenis makanan yang diberikan akibat dari
kondisi penyakitnya

2. Pola Eliminasi

Terjadi perubahan dari karakteristik faeses dan urine (warna , konsistensi, bau),
dapat terjadi inkontinensia atau retensi dari urin atau alvi, nyeri tekan abdomen.

3. Pola Tidur dan Istirahat

Anak menjadi mudah terangsang/irritable, terjadi kejang spastik, penurunan


kesadaran (apatis-koma).

4. Pola Aktivitas

Dapat ditemukan gerakan-gerakan yang involunter, hipotonia, keterbatasan dalam


rentang gerak, ataksia, kelumpuhan, masalah dalam hal berjalan atau keterbatsan
akibat dari kondisi penyakitnya.

VI. PEMERIKSAAN FISIK

1. Pemeriksaan Umum

Suhu tubuh : 38-41, Malaise, kejang, penurunan kesadaran.

2. Pemeriksaan Fisik

Kepala Leher :Nyeri Kepala, Kaku Kuduk, Hemiperesis, hemiplegia

Dada : Tarikan Intercoste, Irama nafas tak teratur

36
Ektermitas : Kejang, Ataksia

VII. TEST DIAGNOSTIK

Pada anak Echephalitis biasanya akan dilakukan beberapa pemiriksaan


penunjang untuk menguatkan diagnosa.

1. Biakan

2. Pemeriksaan serologis : Uji fiksasi, komplemen, uji inhibisi, hemaglobinasi, dan uji
neotralisasi

3. EEG

4. Lumbal Pungsi

5. Biopsi Otak

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul :

a. Resiko tinggi infeksi b/d daya tahan terhadap infeksi turun.

b. Resiko tinggi perubahan perfusi jaringan b/d Hepofalemia, anemia.

c. Resiko tinggi terhadap trauma b/d aktivitas kejang umum.

d. Nyeri b/d adanya proses infeksi yang ditandai dengan anak menangis, gelisah.

e. Gangguan mobilitas b/d penurunan kekuatan otot yang ditandai dengan ROM
Terbatas.

f. Gangguan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
muntah.

3. INTERVENSI KEPERAWATAN

Nyeri b/d adanya proses infeksi yang ditandai dengan anak menangis, gelisah.

Tujuan: Melaporkan nyeri hilang/terkontrol ditandai dengan menunjukkan postur


rileks dan mampu istirahat/tidur dengan tepat

37
Intervensi :

a. Berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap sesuai dengan indikasi
Rasional : Menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar atau sensitifitas pada
cahaya dan meningkatkan istirahat/rileksasi

b.Letakkan kantung es pada kepala, pakaian dingin diatas mata

Rasional : Meningkat kan vasokonstriksi, menumpulkan resepsi sensorik yang


selanjutnya akan menurunkan nyeri

c. Tingkat tirah baring, bantulah kebutuhan perawatan diri yang penting

Rasional : Menurunkan gerakan yang dapat meningkatkan nyeri

d. Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman sperti kepala agak tinggi sedikit
pada meningitis

Rasional : Menurunkan iritasi meningeal, resultan ketidaknyamanan lebih lanjut

e. Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif secara tepat dan masase otot daerah leher
dan bahu.

Rasional : Dapat membatu merelaksasikan ketegangan otot yang meningkatkan


reduksi nyeri atau rasa tidak nyaman tersebut.

f. Berikan analgetik seperti asetaminofen, kodein

Rasional : Mungkin diperlukan untuk menghilangkan nyeri yang berat, catatan :


narkotik mungkin merupakan kotra indikasi sehingga menimbulkan
ketidakakuratan dalam pemeriksaaan neurologis

4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan


rencana tindakan yang telah disusun disetiap tindakan keperawatandan dicatat dalam
pencatatan keperawatan terhadap klien berlanjut

5. EVALUASI KEPERAWATAN

38
Tahap terakhir dalam tindakan keperawatan. Format evaluasi yang sering digunakan
adalah SOAP, dalam format ini dapat diketahui perkembangan keadaan klien setelah
dilakukannya tindakan

DAFTAR PUSTAKA

Laboratorium UPF Ilmu Kesehatan Anak, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Fakultas
Kedokteran UNAIR Surabaya, 1998

Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.

Mansjoer, Arif, dkk (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media
Eusculapius.

Doegoes, Marilynn E, dkk (1999). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta : EGC

Tucker, Susan Martinm, dkk (1998). Standar Perawatan Pasien, Volume 3. Jakarta : EGC

https://www.academia.edu/34971346/MAKALAH_ENCEPHALITIS_angra?auto=download

https://www.academia.edu/31803851/LAPORAN_PENDAHULUAN_DENGAN_ENSEFA
LITIS

39
TUGAS KEPERAWATAN ANAK

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA ANAK DENGAN MENINGITIS

DOSEN PEMBIMBING :

Indriatie, S.Kp., M.MKes.

DOSEN PEMBIMBING :

Indriatie, S.Kp., M.MKes.

DISUSUN OLEH :

Arindha Putri Nurhidayah (P27820118061)

Seidatul Aqromiyah (P27820118062)

Dika Wahyuningtyas Sari (P27820118082)

TINGKAT II REGULER B

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA

PRODI DIII KEPERAWATAN SOETOMO

TAHUN AJARAN 2019/2020


40
LAPORAN PENDAHULUAN
ANAK DENGAN MENINGITIS

A. Pengertian
Meningitis adalah inflamasi akut pada meninges. Organisme penyebab
meningitis bakterial memasuki area secara langsung sebagai akibat cedera traumatik
atau secara tidak langsung bila dipindahkan dari tempat lain di dalam tubuh ke dalam
cairan serebrospinal (CSS). Berbagai agens dapat menimbulkan inflamasi pada
meninges termasuk bakteri, virus, jamur, dan zat kimia (Betz, 2009).
Meningitis adalah infeksi yang terjadi pada selaput otak (termasuk durameter,
arachnoid, dan piameter) (Harold, 2005). Meningitis adalah peradangan pada selaput
meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada
sistem saraf pusat (Suriadi, 2006).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa meningitis
adalah suatu peradangan dari selaput-selaput (meningen) yang mengelilingi otak dan
sumsum tulang belakang (spinal cord).

B. Etiologi
Penyebab dari meningitis meliputi :
1. Bakteri piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus, terutama
meningokokus, pneumokokus, dan basil influenza.
2. Virus yang disebabkan oleh agen-agen virus yang sangat bervariasi.
3. Organisme jamur (Muttaqin, 2008)

41
C. Klasifikasi
1. Meningitis diklasifikasikan sesuai dengan faktor penyebabnya :
a. Asepsis
Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau
menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis,
limfoma, leukimia, atau darah di ruang subarakhnoid.
Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi pada
meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada kultur cairan otak.
Peradangan terjadi pada seluruh korteks serebri dan lapisan otak. Mekanisme
atau respons dari jaringan otak terhadap virus bervariasi bergantung pada jenis
sel yang terlibat.
b. Sepsis
Meningitis sepsis menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh organisme
bakteri seperti meningokokus, stafilokokus, atau basilus influenza. Bakteri
paling sering dijumpai pada meningitis bakteri akut, yaitu Neiserria
meningitdis (meningitis meningokokus), Streptococcus pneumoniae (pada
dewasa), dan Haemophilus influenzae (pada anak- anak dan dewasa muda).
Bentuk penularannya melalui kontak langsung, yang mencakup droplet dan
sekret dari hidung dan tenggorok yang membawa kuman (paling sering) atau
infeksi dari orang lain. Akibatnya, banyak yang tidak berkembang menjadi
infeksi tetapi menjadi pembawa (carrier). Insiden tertinggi pada meningitis
disebabkan oleh bakteri gram negatif yang terjadi pada lansia sama seperti pada
seseorang yang menjalani bedah saraf atau seseorang yang mengalami
gangguan respons imun.
c. Tuberkulosa
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus tuberkel. Infeksi meningen
umumnya dihubungkan dengan satu atau dua jalan, yaitu melalui salah satu aliran
darah sebagai konsekuensi dari infeksi-infeksi bagian lain, seperti selulitis, atau
melalui penekanan langsung seperti didapat setelah cedera traumatik tulang wajah.
Dalam jumlah kecil pada beberapa kasus merupakan iatrogenik atau hasil
sekunder prosedur invasif seperti lumbal pungsi) atau alat-alat invasif (seperti alat
pemantau TIK) (Muttaqin, 2008).

42
2. Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak, yaitu :
a. Meningitis Serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak
yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa.
Penyebab lainnya virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
b. Meningitis Purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan
medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae
(pneumokokus), Neisseria meningitis (meningokokus), Streptococcus
haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia
coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa (Satyanegara, 2010).

D. Patofisiologi/ Pathway
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti dengan
septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas. Faktor
predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia
sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan
pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian
tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen;
semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di
dalam meningen dan di bawah korteks yang dapat menyebabkan trombus dan
penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme
akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar
sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran
ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis
intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan
otak (barier otak), edema serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi
meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi
43
dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-
Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh
darah yang disebabkan oleh meningokokus (Corwin, 2009).
E. Pathway

44
F. Tanda dan Gejala (Manifestasi Klinis)
1. Neonatus :
Menolak untuk makan, refleks menghisap kurang, muntah, diare, tonus otot
melemah, menangis lemah.

2. Anak-anak dan remaja :


Demam tinggi, sakit kepala, muntah, perubahan sensori, kejang, mudah
terstimulasi, foto pobia, delirium, halusinasi, maniak, stupor, koma, kaku kuduk,
tanda kernig dan brudinzinski positif, ptechial (menunjukkan infeksi meningococal)
(Nurarif, 2013).

G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan pungsi lumbal
Dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan
syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.

45
a. Pada meningitis serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih,
sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada meningitis purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah
sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun,
kultur (+) beberapa jenis bakteri.
2. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar Hb, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Di samping itu,
pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.

H. Penatalaksanaan
Penatalaksaan medis meningitis yaitu :
1. Antibiotik sesuai jenis agen penyebab
2. Steroid untuk mengatasi inflamasi
3. Antipiretik untuk mengatasi demam
4. Antikonvulsant untuk mencegah kejang
5. Neuroprotector untuk menyelamatkan sel-sel otak yang masih bisa
dipertahankan
6. Pembedahan seperti dilakukan VP Shunt (Ventrikel Peritoneal Shunt)
Ventriculoperitoneal Shunt adalah prosedur pembedahan yang dilakukan
untuk membebaskan tekanan intrakranial yang diakibatkan oleh terlalu banyaknya
cairan serbrospinal. Cairan dialirkan dari ventrikel di otak menuju rongga
peritoneum. Prosedur pembedahan ini dilakukan di dalam kamar operasi dengan
anastesi umum selama sekitar 90 menit. Rambut di belakang telinga dicukur, lalu
dibuat insisi tapal kuda di belakang telinga dan insisi kecil lainnya di dinding
abdomen. Lubang kecil dibuat pada tulang kepala, lalu selang kateter dimasukkan
ke dalam ventrikel otak. Kateter lain dimasukkan ke bawah kulit melalui insisi di
belakang telinga, menuju ke rongga peritoneum. Sebuah katup diletakkan di
bawah kulit di belakang telinga yang menempel pada kedua kateter. Bila terdapat

46
tekanan intrakranial meningkat, maka CSS akan mengalir melalui katup menuju
rongga peritoneum (Jeferson, 2004).

Terapi bedah merupakan pilihan yang lebih baik. Alternatif lain selain
pemasangan shunt antara lain:
a. Choroid pleksotomi atau koagulasi pleksus Choroid
b. Membuka stenosis akuaduktus
c. Eksisi tumor
d. Fenestrasi endoskopi

ASUHAN KEPERAWATAN TEORI

PADA ANAK MENINGITIS

PENGKAJIAN

47
I. BIODATA
 Biodata klien berisi nama, umur, alamat, jenis kelamin, agama, pendidikan, dan suku
bangsa. Anak pada usia di bawah 2 tahun rentang terkena meningitis dikarenakan
sistem kekebalan tubuhnya yang masih lemah (belum terbentuk sempurna).
Meningitis lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dikarenakan
beberapa faktor, antara lain laki-laki lebih sering dalam penggunaan rokok sehingga
lebih meningkatkan risiko terjadinya meningitis, kejadian trauma yang lebih tinggi
pada laki-laki juga dapat meningkatkan risiko terjadinya meningitis. Meningitis
merupakan masalah yang signifikan pada banyak area di dunia, terutama pada
negara-negara berkembang.
 Identitas penanggungjawab atas klien yang dibawah umur biasanya di isi oleh orang
tua atau orang yang tinggal bersama dengannya, dengan format nama, umur,
alamat, dan pekerjaan.
II. RIWAYAT KESEHATAN ANAK
11. KELUHAN UTAMA
Keluhan utama yang sering timbul pada anak dengan meningitis yaitu, panas badan
tinggi lebih dari satu minggu, sakit kepala, kejang, hingga terjadinya penurunan
kesadaran.
12. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit. Klien biasanya
mengalami nyeri dibagian kepala, terasa kaku dibagian leher, sering mengeluh sulit
tidur, hingga ditemukannya benjolan pada leher klien akibat terjadinya pembesaran
kelenjar tiroid.
13. RIWAYAT KESEHATAN YANG LALU
Pengkajian penyakit yang pernah dialami pasien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang, meliputi pasien dengan
infeksi jalan napas bagian atas, otitis media, mastoiditis, tindakan bedah saraf,
riwayat trauma kepala dan adanya pengaruh immunologis pada masa sebelumnya.

14. RIWAYAT KEHAMILAN DAN PERSALINAN (ANAK ≤ 2 TAHUN)

48
 Pada fase kehamilan, ibu hamil akan lebih berisiko tertular listeriosis, infeksi yang
disebabkan oleh bakteri listeria yang dapat menyebabkan penyakit meningitis
pada ibu dan janinnya.
 Faktor maternal seperti pecah ketuban dini dapat menjadi penyebab utama
meningitis pada neonatal.
 Berat badan lahir rendah juga dapat mengakibatkan meningitis pada neonatal
15. RIWAYAT IMUNISASI
Terdapat 2 vaksin yang setidaknya harus diberikan kepada bayi untuk mencegah
meningitis, yaitu :
1. Imunisai Hib
Imunisasi Hib dapat mencegah bayi terkena meningitis akibat bakteri
Haemophilus influenza tipe B (Hib). Imunisasi ini sebaiknya diberikan saat bayi
berusia 2, 3, dan 4 bulan

2. Imunisasi PCV (Pneumococcal Conjugate Vaccine)


Imunisasi PCV dapat mencegah terjadinya radang otak (meningitis). Imunisasi
PCV ini dilakukan 3 kali, mulai bayi berusia 2 bulan dengan jarak pemberian 4-8
minggu. Anak dapat diberikan vaksin meningitis dengan booster pada usia 16
tahun.

16. RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN (SESUAI DENGAN USIA ANAK)


1) Pertumbuhan
a. Tinggi badan
Anak dengan meningitis, tidak mengalami kelainan pada pertumbuhan tinggi
badanya
b. Berat badan
Bayi dengan berat badan lahir rendah dan prematur dapat menjadi faktor
pemicu meningitis.

c. Lingkar kepala
Bagian kepala akan mengalami pembengkakan (makrosefali), akibat fontanel
(titik lunak yang berada di atas kepala) yang menonjol, sehingga ukuran

49
lingkar kepala pada anak dengan meningitis cenderung lebih besar daripada
normalnya.

d. Lingkar dada
Anak dengan meningitis, tidak mengalami kelainan pertumbuhan pada lingkar
dadanya.
e. Lingkar lengan atas
Anak dengan meningitis, tidak mengalami kelainan pertumbuhan pada lingkar
lengan atasnya

2) Perkembangan
a. Usia anak (0-<6 Th)
Anak dengan meningitis akan mengalami gangguan dalam hal motorik halus,
motorik kasar, adanya keterlambatan berbicara dan kemampuan mengolah
bahasa, dan perkembangan sosialnya.
b. Anak Usia sekolah (>6 Th)
Pada anak dengan meningitis akan terjadi gangguan pada perkembangan
mental dan intelegensi karena adanya retardasi mental yang mengakibatkan
perkembangan mental dan kecerdasan anak terganggu. Anak akan mudah
gelisah, dan dapat berkembang menjadi fotofobia, halusinasi, hingga
menimbulkan kelakuan yang agresif.

III. RIWAYAT KESEHATAN KELUARGA


5. Penyakit yang pernah/masih diderita keluarga
Meningitis dapat ditularkan melalui faktor genetika dari riwayat orang tua yang
terkena penyakit serupa (25 % penderita kejang demam merupakan faktor turunan).
6. Pengkajian keluarga
Defisit pengetahuan mengenai kejang demam pada anak dapat memperparah
keadaan anak.

IV. RIWAYAT HOSPITALISASI

50
Biasanya orang tua akan membawa anaknya ke rumah sakit ketika anaknya demam
tinggi (lebih dari 3-5 hari).

V. SOSIAL
Anak dengan meningitis biasanya akan mengalami gangguan pada pola interaksi karena
adanya keterlambatan dalam berbicara dan mengolah kata

VI. SPIRITUAL
Biasanya klien dengan meningitis akan mengalami gangguan dalam menjalankan
ibadahnya karena klien selalu mengalami sakit kepala yang hebat

VII. POLA AKTIVITAS SEHARI-HARI


1. Pola Nutrisi
Anak dengan meningitis akan mengalami kehilangan nafsu makan, adanya mual
muntah, dan gangguan menelan.
2. Pola Eliminasi
Anak dengan meningitis akan mengalami inkontinensi atau retensi pada sistem
urinal maupun alvi. Pada anak dengan meningitis grade III-IV dapat ditemukan
hematuria.
3. Pola Tidur
Anak dengan meningitis akan mengalami kesulitan tidur karena merasakan nyeri di
otot dan persendian, akibatnya anak akan mengalami kurang tidur
4. Pola Aktivitas
Anak dengan meningitis akan mengalami ataksia, kelumpuhan, dan timbulnya
gerakan yang involunter.
5. Kebersihan Diri (Personal Hygiene)
Anak dengan meningitis biasanya akan mengalami ketergantungan dalam
memenuhi kebutuhan perawatan diri akibat dari sakit kepala berkepanjangan yang
dialaminya.

51
VIII. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum dan kesadaran :
Anak dengan meningitis akan merasakan sakit kepala yang hebat, nyeri otot, kaku
kuduk, sakit punggung, dan menunjukan ekspresi rasa takut. Anak juga dapat
mengalami penurunan kesadaran hingga akhirnya koma.

2. Tanda-tanda vital :
Suhu tubuh meningkat (38– 41°C)

Nadi cenderung lambat akibat adanya tekanan intra kranial yang meningkat

3. Kepala :
Muka tampak kemerahan karena demam dan bagian kepala akan mengalami
pembengkakan (makrosefali), akibat fontanel (titik lunak yang berada di atas
kepala) yang menonjol

4. Mata :
Anak dengan meningitis biasanya akan mengalami fotofobia atau sensitif yang
berlebihan terhadap cahaya, konjungtiva anemis dan epitaksis pada grade II, III, dan
IV.
5. Telinga :
Kehilangan pendengaran dapat terjadi karena peradangan bisa merusak koklea,
organ kecil yang bertanggung jawab dalam mengirimkan sinyal suara ke otak
6. Hidung :
Biasanya pada anak dengan meningitis tidak ada kelainan fungsi penciuman.
7. Mulut :
Mukosa mulut kering dan terdapat nyeri telan
8. Leher :
Biasanya pada anak dengan meningitis tidak ada kelainan di lehernya.
9. Dada :
Ronkhi dapat ditemui pada meningitis grade III dan IV
10. Abdomen :

52
Akibat mengalami mual muntah yang terlalu sering, biasanya anak akan mengalami
nyeri tekan. Klien dengan splenomegaly berisiko tinggi terkena meningitis
11. Lengan :
Tonus otot akan melemah (hipotonus), terdapat nyeri otot dan persendian, kontrol
keseimbangan dan koordinasi gerak pada anak dengan meningitis tahap lanjut akan
mengalami perubahan.
12. Punggung :
Anak dengan meningitis tidak mengalami kelainan pada punggungnya.
13. Genetalia :
Anak dengan meningitis tidak mengalami kelainan pada organ genetalia
14. Pinggul :
Anak dengan meningitis tidak mengalami kelainan pada bentuk pinggulnya
15. Bokong :
Anak dengan meningitis tidak mengalami kelainan pada bokongnya

16. Anus :
Anak dengan meningitis tidak mengalami kelainan pada anusnya
17. Tungkai :
Anak dengan meningitis tidak mengalami kelainan pada tungkainya
18. Kaki :
Tonus otot akan melemah (hipotonus), terdapat nyeri otot dan persendian, kontrol
keseimbangan dan koordinasi gerak pada anak dengan meningitis tahap lanjut akan
mengalami perubahan.

IX. TEST DIAGNOSTIK


1. Pemeriksaan pungsi lumbal
Dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan
syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
a. Pada meningitis serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel darah
putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).

53
b. Pada meningitis purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel
darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis
bakteri.
2. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar Hb, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Di samping itu,
pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.

X. TERAPI MEDIS
1. Terapi Antibiotik
Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada pemilihan
antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab serta
perubahan dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan respon gejala klinis
kemungkinan akan menjadi lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit
14 hari setelah hasil kultur CSF akan menjadi negatif.
Penatalaksanaan pengobatan meningitis meliputi: Pemberian antibiotik yang
mampu melewati barier darah otak ke ruang subarachnoid dalam konsentrasi yang
cukup untuk menghentikan perkembangbiakan bakteri.

Obat anti-infeksi (meningitis tuberkulosa):

a. Isoniazid 10-20 mg/kgBB/24 jam, oral, 2x sehari maksimal 500 mg selama 1


setengah tahun.
b. Rifampisin 10-15 mg/kgBB/24 jam, oral, 1 x sehari selama 1 tahun.
c. Streptomisin sulfat 20-40 mg/kgBB/24 jam, IM, 1-2 x sehari selama 3 bulan.
Obat anti-infeksi (meningitis bakterial):
a. Sefalosporin generasi ketiga
b. Amfisilin 150-200 mg/kgBB/24 jam IV, 4-6 x sehari
c. Klorafenikol 50 mg/kgBB/24 jam IV 4 x sehari.
Pengobatan simtomatis:

54
a. Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2-0,5 mgkgBB/dosis, atau rectal: 0,4-0,6 mg/kgBB,
atau fenitoin 5 mg/kgBB/24 jam, 3 x sehari atau Fenobarbital 5-7 mg/kgBB/24
jam, 3 x sehari.
b. Antipiretik: parasetamol/asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis.
c. Antiedema serebri: Diuretikosmotik (seperti manitol) dapat digunakan untuk
mengobati edema serebri.
d. Pemenuhan oksigenasi dengan O2.
e. Pemenuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik: pemberian tambahan
volume cairan intravena
2. Kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri,
mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan
penetrasi antibiotika kedalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan abses,
oleh karena itu penggunaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu
kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa atau
edema pada herniasi yang mengancam dan menimbukan defisit neurologik fokal.
Penanganan vokal infeksi dengan tindakan operatif mastoidektomi. Pendekatan
mastoidektomi harus dapat menjamin eradekasi seluruh jaringan patologik
dimastoid. Maka sering diperlukan mastoidektomi radikal. Tujuan operasi ini adalah
untuk memaparkan dan mengeksplorasi seluruh jalan yang mungkin digunakan oleh
invasi bakteti.
Selain itu juga dapat dilakukan tindakan trombektomi, jugular vein
ligation,perisinual dan cerebellar abcess drainage yang diikuti antibiotika broad
spectrum dan obat-obatan yang mengurangi edema otak yang tentunya akan
memeberikan outcome yang baik pada penderita komplikasi intrakranial dari otitis
media. (Majalah Kedokteran Nusantara Vol.3.2006)

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah :

55
1. Nyeri kronik b.d kerusakan sistem saraf d.d anak mengeluh nyeri, tampak
meringis, gelisah, dan tidak mampu menuntaskan aktivitas
2. Hipertermi b.d proses penyakit d.d suhu tubuh diatas nilai normal
3. Gangguan rasa nyaman b.d gejala penyakit d.d gelisah, suhu tubuh meningkat,
anak nampak tidak nyaman
4. Resiko cedera b.d adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat
kesadaran

INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri kronik b.d kerusakan sistem saraf d.d anak mengeluh nyeri, tampak
meringis, gelisah, dan tidak mampu menuntaskan aktivitas
Tujuan :

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan nyeri pada
anak berkurang / rasa sakit terkontrol

Kriteria hasil :
 Keluhan nyeri menurun
 Gelisah menurun
 Kesulitan tidur menurun
 Tampak meringis menurun

INTERVENSI RASIONALISASI

Observasi nyeri yang dirasakan klien Mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan,
dengan menggunakan PQRST sehingga memudahkan pemberian
intervensi selanjutnya

Observasi penyebab nyeri Menghindari pencetus nyeri merupakan


salah satu metode distraksi yang efektif

56
Buat lingkungan yang aman dan tenang Menurukan reaksi terhadap rangsangan
ekternal atau kesensitifan terhadap
cahaya dan menganjurkan pasien untuk
beristirahat

Kompres dingin (es) pada kepala dan Dapat menyebabkan vasokontriksi


kain dingin pada mata pembuluh darah otak

Lakukan latihan gerak aktif atau pasif Dapat membantu relaksasi otot-otot
sesuai kondisi dengan lembut dan hati- yang tegang dan dapat menurunkan rasa
hati sakit / disconfort

Kolaborasi Diperlukan untuk menurunkan rasa nyeri


secara cepat
Berikan obat analgesik

2. Hipertermia b.d proses penyakit d.d suhu tubuh diatas nilai normal
Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan suhu tubuh
anak akan menurun dan kembali normal
Kriteria hasil:
 Suhu tubuh 36,5 - 37,5 ° C
 Menggigil menurun

INTERVENSI RASIONALISASI

Identifikasi penyebab hipertermia Mengetahui penyebab terjadinya


hipertermia, penambahan pakaian /
selimut dapat menghambat penurunan
suhu tubuh

Monitor suhu badan anak setiap 4 jam Pemantauan tanda vital yang teratur
dapat menentukan perkembangan
keperawatan yang selanjutnya.

57
Monitor suhu lingkungan Untuk mempertahankan suhu badan
anak mendekati normal

Anjurkan untuk menggunakan baju tipis Proses hilangnya panas akan terhalangi
dan terbuat dari kain katun oleh pakaian tebal dan tidak dapat
menyerap keringat

Ajarkan pada keluarga memberikan Proses konduksi/perpindahan panas


kompres dingin pada kepala / ketiak dengan suatu bahan perantara
Kolaborasi dengan tim medis : pemberian Untuk mengurangi demam dengan aksi
antipiretik sentralnya di hipotalamus

3. Gangguan rasa nyaman b.d gejala penyakit d.d gelisah, suhu tubuh meningkat,
anak nampak tidak nyaman
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan klien akan
menunjukkan rasa nyaman
Kriteria hasil :
 Suhu tubuh kembali normal 36 – 37,5º C
 Anak tidak rewel
 Anak tidak mudah terbangun saat tidur

INTERVENSI RASIONAL
Kaji faktor–faktor terjadinya Menghindari faktor dari luar yang dapat
hipertermia menyebabkan meningkatnya suhu tubuh
Anjurkan untuk menggunakan baju Menjaga kenyamanan anak saat tidur
tipis dan terbuat dari kain katun ketika
tidur
Atur sirkulasi udara ruangan Menyediakan udara bersih untuk anak
Batasi aktivitas fisik Aktivitas meningkatkan metabolisme dan
meningkatkan panas
Pertahankan suhu tubuh normal Suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat
aktivitas, suhu lingkungan, kelembapan
tinggi akan mempengaruhi panas atau
dinginnya tubuh

58
4. Resiko cedera b.d adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat
kesadaran
Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan anak terbebas
dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
Kriteria hasil :
 Kontrol kejang meningkat
 Keamanan lingkungan meningkat
 Tingkat jatuh menurun

INTERVENSI RASIONAL
Monitor kejang pada tangan, kaki, Gambaran tribalitas sistem saraf pusat
mulut dan otot-otot lainnya memerlukan evaluasi yang sesuai dengan
intervensi yang tepat untuk mencegah
terjadinya komplikasi.
Persiapkan lingkungan yang aman Melindungi pasien bila kejang terjadi
seperti batasan ranjang, papan
pengaman, dan alat suction selalu
berada dekat pasien.
Pertahankan bedrest total selama fase Mengurangi resiko jatuh / terluka jika
akut vertigo, sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi Untuk mencegah atau mengatasi kejang
Berikan terapi sesuai advis dokter dengan cepat
seperti : diazepam dan phenobarbital

IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana


yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan, kegiatan dapat bersifat mandiri dan

59
kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan
kesehatan klien.

EVALUASI KEPERAWATAN

Hal hal yang perlu dievaluasi dalam pemberian asuhan keperawatan berfokus pada kriteria
hasil dari tiap-tiap masalah keperawatan dengan pedoman pembuatan SOAP. Tahap penilaian
atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan klien
dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi dapat berupa masalah teratasi,
masalah teratasi sebagian, dan masalah tidak teratasi.

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC. Corwin,
Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Herdman, T. 2009. Nursing Diagnoses : Definition and Classification 2012–2014.


Jakarta : EGC

60
Jeferson, Thomas. 2004. Ventriculoperitoneal Shunt. Thomas Jeferson University Hospital.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA (North America Nursing Diagnosis Association)
NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction Publishing.

Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf edisi IV. Tangerang : Gramedia Pustaka Utama.

Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Edisi 8. Jakarta : EGC

61
62
TUGAS KEPERAWATAN ANAK
MENINGOKEL

Dosen Pembimbing :

Indriatie, SKp., M.M.Kes

Disusun Oleh :

4. Yordan Abdillah F (P27820118063)


5. Sukma Wardani (P27820118065)
6. Azizah Yasmin Aprilia (P27820118083)
7. Khofifah Nuril Fauziyah (P27820118084)

TINGKAT II REGULER B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN KAMPUS SOETOMO
SURABAYA
TAHUN AKADEMIK 2019/2020

63
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.........................................................................................................................i
1.1 LAPORAN PENDAHULUAN MENINGOKEL.......................................................1
1.2 ASUHAN KEPERAWATAN TEORI ANAK MENINGOKEL ............................6
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................12

i
1.1 Laporan Pendahuluan Pada Klien Meningokel
1.1.1 Definisi
Meningokel adalah salah satu dari tiga jenis kelainan bawaan spi
na bifida. Meningokel adalah meningens yang menonjol melalui vertebra
tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan berisi cairan dibawah kulit. (Wafi
Nur, 2010).
Meningokel merupakan bagian dari gangguan pembentukan tabung saraf
pada janin. Kantung atau kista meningokel muncul melalui celah di tulang
belakang. Tonjolan ini dipenuhi oleh sebagian selaput tulang belakang dan
cairan tulang belakang.

1.1.2 Etiologi
Penyebab spesifik dari meningokel belum diketahui. Banyak factor seperti
keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam terjadinya defek ini. Tuba
neural umumnya lengkap empat minggu setelah konsepsi. Hal- hal berikut ini
telah ditetapkan sebagai faktor penyebab :
1) Kadar vitamin maternal rendah, termasuk asam  folat dan hipertermia
selama kehamilan. Diperkirakan hampir 50% defek tuba neural dapat
dicegah jika wanita bersangkutan meminum vitamin-vitamin prakonsepsi,
termasuk asam folat. (buku saku keperawatan pediatric Cecila L. Betz &
Linda A. Sowden.2002)
2) Kelainan konginetal SSP yang paling sering dan penting ialah defek tabung
neural yang terjadi pada 3-4 per 100.000 lahir hidup. Bermacam-macam
penyebab yang berat menentukan  morbiditas dan mortalitas, tetapi banyak
dari abnormalitas ini mempunyai makna klinis yang kecil dan hanya dapat
dideteksi pada kehidupan lanjut yang ditemukan secara kebetulan. (Patologi
Umum Dan Sistematik Vol 2, J.C.E. Underwood. 1999)
3) Gangguan pembentukan komponen janin saat dalam kandungan.
4) Penonjolan dari korda spinalis dan meningens menyebabkan kerusakan pada
korda spinalis dan akar saraf, sehingga terjadi penurunan atau gangguan
fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh saraf tersebut atau bagian
bawahnya

2
2.1.3 Patofisiologi Meningokel

Penyebab spesifik dari meningokel belum diketahui. Banyak factor


seperti keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam terjadinya defek ini.
Tuba neural umumnya lengkap empat minggu setelah konsepsi. Hal-hal
berikut ini telah ditetapkan sebagai faktor penyebab; kadar vitamin maternal
rendah, termasuk asam folat: mengonsumsi klomifen dan asam valfroat: dan
hipertermia selama kehamilan. (buku saku keperawatan pediatric).
Banyak ahli percaya bahwa defek primer pada NTD (neural tube
defect) merupakan kegagalan penutupan tuba neural selama perkembangan
awal embrio. Akan tetapi, ada bukti bahwa defek ini merupakan akibat dari
pemisahan tuba neural yang sudah menutup karena peningkatan abnormal
tekanan cairan serebrospinal selama trimester pertama. Derajat disfungsi
neurologik secara lansung berhubungan dengan level anatomis defek tersebut
dan saraf-saraf yang terlibat. (buku ajar keperawatan pediatrik, Donna L.
Wong. Hal-1425)

3
2.1.4 Pathway

Peningkatan
produksi CCS

Nyeri Kronis

2.1.6 Manifestasi Klinis

Gejala bervariasi tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis


dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki gejala ringan atau tanpa
gejala, sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan pada daerah yang
dipersarafi oleh korda spinalis maupun akar saraf yang terkena.Gejalanya
dapat berupa

1) Penonjolan seperti kantung di punggung tengah sampai bawah pada bayi


baru lahir.
2) Jika disinari, kantung tersebut tidak tembus cahaya
3) Kelumpuhan / kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki
4) Seberkas rambut pada daerah sakral (panggul bagian belakang).
4
5) Lekukan pada daerah sakrum.

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


1) Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan.
2) USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pada korda
spinalis maupun vertebra
3) CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk
menentukan lokasi dan luasnya kelainan.

2.1.8 Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan awal meningokel adalah mengurangi kerusakan
saraf, meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi), serta membantu keluarga
dalam menghadapi kelainan ini.
1. Pembedahan dilakukan pada periode neonatal untuk mencegah rupture.
2. Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk
memperkuat fungsi otot.
Kelainan saraf lainnya diobati sesuai dengan jenis dan luasnya
gangguan fungsi yang terjadi. Kadang-kadang pembedahan shunting untuk
memperbaiki hidrosefalus. Seksio sesarae terencana, sebelum melahirkan,
dapat mengurangi kerusakan neurologis yang terjadi pada bayi dengan defek
korda spinalis.
2.1.9 Komplikasi
1) Hidrosefalus
2) Meningitis
3) Hidrosiringomielia
4) Intraspinal
5) Tumor
6) Kiposkoliosis
7) Kelemahan permanen atau paralisis pada ekstermitas bawah
8) Serebral palsy disfungsi batang otak
9) Infeksi pada sistem organ lain
10) Sindroma Arnold-Chiari
11) Gangguan pertumbuhan

5
2.1.10 Cara Pencegahan
Risiko terjadinya meningokel bisa dikurangi dengan mengkonsumsi
asam folat. Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus dikoreksi
sebelum wanita tersebut hamil, karena kelainan ini terjadi sangat dini.
Kepada wanita yang berencana untuk hamil dianjurkan untuk
mengkonsumsi asam folat sebanyak 0,4 mg/hari. Kebutuhan asam folat pada
wanita hamil adalah 1 mg/hari.

6
1.2 Asuhan Keperawatan Teori Pada Anak Meningokel
1.2.1 Pengkajian
1) Identitas Klien
Meliputi nama, tempat tanggal lahir, usia, jenis kelamin, agama,
pendidikan, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medik.
Biasanya sering terjadi pada anak dengan jenis kelamin perempuan
daripada laki-laki (3:2).
2) Identitas Orang tua
Meliputi nama, tempat tanggal lahir, usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan/sumber penghasilan, agama, alamat.
3) Identitas Saudara Kandung

STATUS
No NAMA U S I A HUBUNGAN
KESEHATAN

Biasanya pada saudara kandung menderita spina bifida


1.2.2 Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama
Terjadi abnormalitas keadaan medula spinalis pada anak yang dilahirkan
2) Riwayat Penyakit Dahulu
Biasanya pada kadar alfa-fetoprotein dalam serum Ibu dan cairan amnion
ditemukan meningkat pada usia 16-18 minggu.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya anak sebelumnya menderita spina bifida
1.2.3 Riwayat Imunisasi

Jenis Reaksi setelah


NO Waktu pemberian Frekuensi Frekuensi
immunisasi pemberian

1. BCG

2. DPT (I,II,III)

7
Polio
3.
(I,II,III,IV)

4. Campak

5. Hepatitis

1.2.4 Riwayat Tumbuh Kembang


Meliputi pertumbuhan fisik (berat badan, tinggi badan, waktu tumbuh gigi)
perkembangan tiap tahap. Biasanya pada perkembangan akan terganggu yang
disebabkan oleh adanya gangguan mobilisasi.
1.2.5 Riwayat Nutrisi
Pada tahap ini meliputi pemberian ASI, pemberian susu formula (alasan
pemberian, jumlah pemberian, cara pemberian). Pola perubahan nutrisi tiap
tahap usia sampai nutrisi saat ini
Usia Jenis Nutrisi Lama Pemberian

Biasanya
Ibu pada
saat hamil
mengalami
kekurangan asam folat.
1.2.6 Riwayat Spiritual
Pada tahap ini meliputi support sistem dalam keluarga, kegiatan keagamaan.
1.2.7 Riwayat Hospitalisasi
Pada tahap ini meliputi pengalaman keluarga tentang sakit dan rawat inap
(alasan Ibu membawa anaknya ke RS, kondisi anak menurut dokter, perasaan
orang tua saat ini, Orang tua selalu berkunjung ke RS, yang akan tinggal
dengan anak), pemahaman anak tentang sakit dan rawat inap.
1.2.8 Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Biasanya personal hygiene klien berkurang karena ada gangguan anggota
gerak
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Biasanya klien terjadi gangguan nutrisi karena mengalami gangguan
anggota gerak
3) Pola Eliminasi
8
Biasanya klien tidak mempunyai gangguan pada BAK dan BAB.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Biasanya klien mengalami gangguan tidur
5) Pola Hubungan dan Peran
Biasanya klien kehilangan perannya sebagai anggota keluarga dan
masyarakat sekitar
6) Pola Aktivitas dan Latihan
Biasanya klien mengalami gangguan pada aktivitasnya
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Biasanya klien mengalami gangguan dalam cara menerima gambaran
dirinya
8) Pola Sensori dan Kognitif
Biasanya klien mengalami gangguan daya penglihatan, nyeri, gangguan
kognitif karena klien dan keluarga klien tidak mengerti tentang penyakit
yang diderita oleh klien.
9) Pola Reproduksi Seksual
Biasanya klien mengalami disfungsi seksual dikarenakan ada gangguan
pada anggota gerak
10) Pola Penanggulangan Stress
Biasanya klien mengalami kecemasan dan gelisah
11) Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Biasanya apabila klien tidak mengalami gangguan kesadaran, maka klien
tidak mengalami gangguan pada tata nilai dan kepercayaannya
1.2.9 Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Peningkatan lingkar kepala, Pusing, tidak ada lesi.
2) Wajah
Simetris, wajah nampak lesu, pucat, tidak ada nyeri tekan
3) Mata
Simetris antara kanan dan kiri, bola mata simetris, pergerakan mata normal,
pupil dapat merespon cahaya dengan baik, konjungtiva anemis, mata
terlihat cowong
4) Telinga
Simetris, tidak ada serumen, tidak ada lesi dan tidak menggunakan alat
bantu dengar
9
5) Hidung
Simetris, tidak ada secret, tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan
6) Leher
Simetris, tidak ada benjolan, pembengkakan, tidak ada nyeri
7) Mulut
Simetris, tidak ada lesi, nampak pucat
8) Kulit
Baik normal
9) Kuku
Bersih, tdak ada tanda-tanda clubing finger,
10) Dada
I Simetris, tidak ada benjolan, tidak ada pembengkakan, Takikardi, letargi,
fatigue
A Suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan
P Tidak ada nyeri tekan,
P Perkusi paru sonor
11) Kardiovaskuler
Teraba, S1 S2 tunggal tidak ada suara tambahan.
12) Abdomen
Simetris, tidak ada distensi, tidak ada benjolan, perut nampak kurus
13) Genetalia
Baik normal
14) Ekstermitas
Ekstermitas Atas
Tangan masih bisa diangkat, tidak ada nyeri tekan, simetris
Ekstermitas Bawah
Kaki masih bisa diangkat, tidak ada nyeri tekan, simetris

15) Persyarafan dan tulang belakang


Kesadaran umum E4.V5.M6 Compos mentis, Benjolan pada vertebra

1.2.10 Pemeriksaan Penunjang


1) Rontgen tulang belakang untuk menentukan luas dan lokasi kelainan.
2) USG tulang belakang bisa menunjukkan adanya kelainan pada korda
spinalis maupun vertebra
10
3) CT scan atau MRI tulang belakang kadang dilakukan untuk
menentukan lokasi dan luasnya kelainan.
1.2.11 Terapi yang diberikan
Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk
memperkuat fungsi otot.

1.2.2 Diagnosa Keperawatan


1) Nyeri kronis b.d kerusakan sistem saraf d.d tampak gelisah, meringis
2) Risiko gangguan integritas kulit/jaringan b.d penurunan mobilitas
3) Defisit pengetahuan tentang meningokel b.d kurang terpapar informasi d.d
menanyakan masalah yang dihadapi
i. Intervensi Keperawatan
1. Dx : Nyeri kronis b.d kerusakan sistem saraf d.d tampak gelisah, meringis
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam dapat
menurunkan tingkat nyeri atau kontrol nyeri dengan kriteria hasil :
 Tidak Ada ekspresi menahan nyeri dan uangkapan verbal
 Tidak ada gangguan tidur
 Skala nyeri menurun
Intervensi :
a. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas
nyeri
R: mengetahui sejauh mana nyeri yang dirasakan untuk memudahkan
intervensi selanjutnya
b. Identifikasi pengetahuan tentang nyeri
R: mengetahui sejauh mana penegtahuan yang dimiliki
c. Berikan teknik nonfarmakologis dengan kompres hangat/ dingin
R: membantu klien rileks dan nyaman
d. Identifikasi nyeri nonverbal
R: Dapat mengetahui tingkat nyeri dan ketidaknyamanan
e. Kolaborasikan pemberian analgesik
R: Dapat menurunakan tingkat nyeri

2. Dx : Risiko gangguan integritas kulit/jaringan b.d penurunan mobilitas

11
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam integritas kulit
meningkat dengan kriteria hasil :
 Kerusakan jaringan menurun
 Kerusakan lapisan kulit menurun
 Kemerahan menurun
 Hematoma menurun
 Pigmentasi abnormal menurun

Intervensi :
1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
R : mengetahui penyebab gangguan integritas kulit
2. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang
R : memperlancar peredaran darah, meningkatkan relaksasi dan mencegah iritasi
3. Ubah posisi tiap 2 jam
R : penekanan yang lama pada salah satu bagian tubuh dapat menyebabkan
dekubitus
4. Anjurkan menggunakan pelembab
R : agar tidak terjadi iritasi kulit

3. Dx : Defisit pengetahuan tentang meningokel b.d kurang terpapar informasi d.d


menanyakan masalah yang dihadapi

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 60 menit tingkat


pengetahuan meningkat dengan kriteria hasil :
 Perilaku sesuai anjuran
 Pertanyaan tentang masalah menurun
 Persepsi keliru menurun
 Kemampuan menjelaskan pengetahuan meningkat

Intervensi :
1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
R : mengetahui kesiapan klien dalam menerima informasi yang akan diberikan
2. Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
R : agar mempermudah dalam memberikan informasi kepada klien
3. Berikan kesempatan bertanya

12
R : meningkatkan pemahaman
4. Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan
R : mengetahui faktor yang mempengaruhi kesehatan

16) Implementasi Keperawatan


Implementasi keperawatan merupakan langkah keempat dalam keperawatan
dengan melaksanakan berbagai strategi tindakan keperawatan. Tindakan
keperawatan ada dua jenis yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan
kolaborasi. Tindakan keperawatan dibagi menjadi empat bagian, yaitu
observasi, terapeutik, edukasi, dan kolaborasi.

17) Evaluasi Keperawatan


Evaluasi keperawatan merupakan langkah terakhir dari proses keperawatan.
Format yang sering dipakai adalah SOAP. Dalam format ini dapat diketahui
perkembangan keadaan klien.

13
DAFTAR PUSTAKA

Betz,Cecity. 2002. Keperawatan Pediatri. Jakarta: EGC.

Long, Indra. 2013. Meningokel [Online]. Tersedia:

https://www.scribd.com/doc/142554861/MeningokelI (Diakses pada tanggal 02


Februari 2020 jam 11.00)

Riyadi, dkk. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu

Rocham, Habibur. 2013. Meningokel [Online]. Tersedia:

https://www.scribd.com/doc/138246017/meningokelI (Diakses pada tanggal 03


Februari 2020 jam 13.00)

Tim Pokja SDKI DPP PPNI.2016.Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.Jakarta: Dewan


Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SIKI DPP PPNI.2018.Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.Jakarta: Dewan


Pengurus Pusat PPNI

Tim Pokja SLKI DPP PPNI.2018.Standar Luaran Keperawatan Indonesia.Jakarta: Dewan


Pengurus Pusat PPNI

14
LAPORAN PENDAHULUAN

TEORI ASUHAN KEPERAWATAN ANAK LABIOSCHISIS

Dosen Pembimbing :

Indriatie,S.Kp., M.M.Kes

Disusun Oleh :

8. Asri Arsyita Pascallina (P27820118066)


9. Tiara Yunika Wulandari (P27820118067)
10. Twingki Ariyanita Rahma (P27820118085)
11. Kurnia Rahmawati (P27820118086)

PRODI DIII KEPERAWATAN SOETOMO

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN

SURABAYA

2020
15
LAPORAN PENDAHULUAN

A. Pengertian
Labioschisis adalah adanya gangguan fusi maxillary swelling dengan medial
nasal swelling pada satu sisi akan menimbulkan kelaianan berupa labioschisis
unilateral. Bila kegagalan fusi ini menimbulkan celah di daerah prealveolaris, maka
celah tersebut dikatakan inkomplet, sedang selebihnya dikatakan labioschisis komplet.
Celah bibir adalah kelainan kongenital pada bibir yang disebabkan oleh kegagalan
struktur fasial embrionik yang tidak komplet, kelainan ini dapat
diasosiasikan dengan anomali lain juga. Insidensi kalainan ini adalah 1 di antara 750
kelahiran hidup. Celah bibir, lebih sering terjadi pada anak laki-laki, dapat muncul
berupa indentasi ringan hingga celah terbuka. (Kathleen Morgan Speer. 2007)
Bibir sumbing atau Labioschisis adalah suatu kelainan bawaan yang terjadi
pada bibir bagian yang dapat disertai kelainan pada langit-langit. Bibir sumbing
merupakan suatu gangguan pada pertumbuhan wajah sejak embrio umur minggu ke
IV.
Labioschisis adalah kelainan congenital sumbing yang terjadi akibat
kegagalam fusi atau penyatuan prominen maksilaris dengan prominen nasalis medial
yang diikuti disrupsi kedua bibir, rahang dan palatum anterior

B. Epidemiologi
Insiden bibir sumbing atau Labioschisi sebanyak 2,1 dalam 1000 kelahiran pada etnis
Asia, 1:1000 pada etnis Kaukasia, dan 0,41:1000 pada etnis Afrika- Amerika. Insiden
tertinggi terdapat pada orang Asia dan terendah pada kulit hitam. Labioschisis lebih
sering terjadi pada laki - laki. Celah pada bibir (cleft lip) disebabkan oleh kegagalan
perkembangan dan penyatuan processus frontonasal dan processus maxilaris. Bibir
sumbing bisa terdapat pada satu sisi atau kedua sisi dari garis tengah. Biasanya
sumbing bibir sisi kiri lebih sering ditemukan dari pada sisi kanan. Karena
vaskularisasi sisi kanan lebih baik, sehingga sumbing sisi kanan lebih dahulu
mencapai bagian medial. Pria lebih sering terjadi sumbing dari pada wanita. Karena
wanita memiliki vaskularisasi yg lebih baik, sehingga wanita lebih cepat terjadi
penutupan dari pada pria. Kelainan bibir terdiri atas berbagai macam, diantaranya bibir
sumbing (Labio-schisis), sumbing atau celah pada langit-langit rongga mulut
(Palatoschisis), atau pun gabungan dari keduanya berupa sumbing bibir dan langitan
16
(Labiopalato-schisis), dan sumbing bibir sampai gusi dan langit-langit
(Labiogenatopalatoschisis). Kelainan tersebut juga biasa terjadi pada satu sisi rahang
(unilateral) ataupun pada kedua sisi yaitu kanan dan kiri (bilateral). Pembentukannya
dimulai pada minggu ke 4 kehamilan. Peristiwa ini terjadi di rahim. Pembentukannya
dibagi 2 pusat pertumbuhan, yaitu :
1) Palatum primer yang terletak di depan dari foramen incisivum, untuk membentuk
alveolus dan labium.
2) Palatum sekunder dibelakang dari foramen incisivum, untuk membentuk palatum
durum/molle dan uvula. Palatum sekunder akan membentuk bagian besar palatum
durum dan palatum mole.

C. Etiologi
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing. faktor tersebut
antara lain, yaitu :
1. Faktor Genetik atau keturunan
Dimana material genetik dalam kromosom yang mempengaruhi. Dimana dapat
terjadi karena adanya mutasi gen ataupun kelainan kromosom. Pada setiap sel
yang normal mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom
non-sex (kromosom 1 s/d 22) dan 1 pasang kromosom sex (kromosom X dan Y)
yang menentukan jenis kelamin. Pada penderita bibir sumbing terjadi Trisomi 13
atau Sindroma Patau dimana ada 3 untai kromosom 13 pada setiap sel penderita,
sehingga jumlah total kromosom pada tiap selnya adalah 47. Jika terjadi hal seperti
ini selain menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan gangguan berat pada
perkembangan otak, jantung, dan ginjal. Namun kelainan ini sangat jarang terjadi
dengan frekuensi 1 dari 8000-10000 bayi yang lahir.
2. Kurang Nutrisi, contohnya defisiensi Zn dan B6, vitamin C pada waktu hamil,
kekurangan asam folat.
3. Radiasi.
4. Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama.
5. Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin contohnya seperti infeksi rubella
dan sifilis, toxoplasmosis dan klamidia.
6. Pengaruh obat teratogenik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal, akibat
toksisitas selama kehamilan, misalnya kecanduan alkohol, terapi penitonin.
7. Multifaktoral dan mutasi genetik.
8. Diplasia ektodermal
17
D. Klasifikasi
1. Unilateral Incomplete.

Jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan tidak memanjang
hingga ke hidung atau dengan kata lain unilateral incomplete memberikan
gambaran dimana terjadi pemisahan pada salah satu sisi bibir, namun pada hidung
tidak mengalami kelainan.
2. Unilateral Complete. 

Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan memanjang
hingga ke hidung atau dengan kata lain unilateral complete memberikan gambaran
keadaan dimana telah terjadi pemisahan pada salah satu sisi bibir, cuping hidung
dan gusi. Unilateral complete memiliki dasar dari palatum durum yang merupakan
daerah bawah daripada krtilago hidung.

18
3. Bilateral Complete. 

Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
Dapat terlihat adanya penonjolan pada daerah premaxilla, yang disebabkan tidak
adanya hubungan dengan daerah lateral dari palatum durum.
4. Bilateral incomplete.
Jika celah ini terjadi secara incomplete dimana kedua hidung dan daerah kedua
premaxilla tidak mengalami pemisahan dan hanya menertakan dua sisi bibir.
E. Patofisiologi
Secara umum, labioschisis bisa terjadi karena :
1. Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama
fase embrio pada trimester I.
2. Terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nosal medial dan
maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8 minggu.
3. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh
kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu.
4. Penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara 7-8 minggu masa kehamilan.

Penyebab terjadinya labioschisis belum diketahui dengan pasti. Kebanyakan


ilmuwan berpendapat bahwa labioschisis muncul sebagai akibat dari kombinasi faktor
genetik dan factor-faktor lingkungan. Di Amerika Serikat dan bagian barat Eropa, para
peneliti melaporkan bahwa 40% orang yang mempunyai riwayat keluarga labioschisis
akan mengalami labioschisis. Kemungkinan seorang bayi dilahirkan dengan
labioschisis meningkat bila keturunan garis pertama (ibu, ayah, saudara kandung)
mempunyai riwayat labioschisis. Ibu yang mengkonsumsi alcohol dan narkotika,
kekurangan vitamin (terutama asam folat) selama trimester pertama kehamilan, atau
menderita diabetes akan lebih cenderung melahirkan bayi/ anak dengan labioschisis.

19
Menurut Mansjoer dan kawan-kawan, hipotesis yang diajukan antara lain:

1. Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal
kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi asam
folat, vitamin C, dan Zn)
2. Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal
3. Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia.
4. Faktor genetic

Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak
terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu
(prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali.

F. Pathway

20
G. Tanda dan Gejala
Ada beberapa gejala dari bimbir sumbing atau labioschisis yaitu :
a. Terjadi pemisahan langit-langit
b. Terjadi pemisahan bibir’
c. Terjadi pemisahan bibir dan langit-langit
d. Infeksi telinga berulang
e. Berat badan tidak bertambah
f. Pada bayi terjadi regurgitasi nasal ketika menyusui yaitu keluarnya air susu
dari hidung.

H. Manifestasi Klinis

21
Pada kelainan ini akan tampak adanya cacat fisik pada bibir, dimana terlihat
adanya celah pada bibir bagian atas. Antara sisi bibir kanan dan sisi bibir kiri tidak
menyatu dengan sempurna.
Celah bibir celah bibir dapat terjadi dalam berbagai variasi, mulai dari takik kecil
pada batas yang merah terang sampai celah sempurna yang meluar ke dasar hidung.
Celah ini mungkin unilateral (lebih sering pada sisi kiri)atau bilateral, dan biasanya
melibatkan rigi-rigi alveolus. Biasanya disertai dengan gigi yang cacat bentuk, gigi
tambahan atau bahkan tidak tumbuh gigi.Celah kartilago cuping hidung-bibir
seringkali disertai dengan defisiensi sekat hidung dan pemanjangannvomer,
menghasilkan tonjolan keluar bagian anterior celah prosesus maksilaris.
Celah palatum murni terjadi pada linea mediana dan dapat melibatkan hanya uvula
saja, atau dapat meluas ke dalam atau melalui palatum mole dan palatum durum
sampai ke foramen insisivus.Apabila celah palatum ini terjadi bersamaan dengan celah
bibir, cacat ini dapat melibatkan linea mediana palatum mole dan meluas sampai ke
palatum durum pada satu atau kedua sisi, memaparkan satu atau kedua rongga hidung
sebagai celah palatum unilateral atau bilateral.

I. Komplikasi
1. Kesulitan berbicara. Otot – otot untuk berbicara mengalami penurunan fungsi
karena adanya celah. Hal ini dapat mengganggu pola berbicara bahkan dapat
menghambatnya
2. Terjadinya otitis media
3. Aspirasi
4. Distress pernafasan
5. Resiko infeksi saluran nafas
6. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat
7. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh otitis media rekureris sekunder
akibat disfungsi tuba eustachius.
8. Masalah gigi.  Pada celah bibir gigi tumbuh tidak normal atau bahkan tidak
tumbuh, sehingga perlu perawatan dan penanganan khusus.
9. Perubahan harga diri dan citra tubuh yang dipengaruhi derajat kecacatan dan
jaringan paruh.
Keadaan kelainan pada wajah seperti bibir sumbing ada beberapa komplikasi
karenannya, yaitu :
1. Masalah asupan makanan
22
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioschisis. Adanya
labioschisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada
payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis
mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang
ditemukan adalah reflex hisap dan reflek menelan pada bayi dengan labioschisis
tidak sebaik bayi normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat
menyusu. Memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu
proses menyusu bayi. Menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala juga dapat
membantu. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada
palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoschisis
biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot ini
dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labio-
palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan/ asupan makanan
tertentu.
2. Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah tertentu yang
berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada
arean dari celah bibir yang terbentuk.
3. Infeksi telinga
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga
karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol
pembukaan dan penutupan tuba eustachius
4. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada
perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak
dapat menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara
dengan kualitas nada yang lebih tinggi. Meskipun telah dilakukan reparasi
palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/ rongga nasal
pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Penderita celah
palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian karena palatum lunak cenderung
pendek dan kurang dapat bergerak sehingga selama berbicara udara keluar dari
hidung.  Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata "p, b,
d, t, h, k, g, s, sh, dan ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat
membantu.

23
Adanya gangguan-gangguan yang timbul akibat bibir sumbing tersebut, dapat
mengganggu pertumbuhan normal pada bayi dan seringkali berat badan bayi sulit
bertambah.

J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan prabedah rutin (misalnya hitung darah lengkap)
2. Pemeriksaan Diagnosis
a. USG saat kehamilan

b. Foto Rontgen
c. Pemeriksaan fisik
d. MRI untuk evaluasi abnormal

K. Penatalaksanaan
Penanganan untuk bibir sumbing adalah dengan cara operasi. Ada 3 tahap
penanganan bibir sumbung yaitu tahap sebelum operasi, tahap sewaktu operasi dan
tahap setelah setelah operasi.
1. Tahap sebelum operasi
Operasi ini dilakukan setelah bayi berusia 3 bulan, dengan berat badan yang
meningkat, dan bebas dari infeksi oral pada saluran napas dan sistemik. Dalam
beberapa buku dikatakan juga untuk melakukan operasi bibir sumbing dilakukan
hukum Sepuluh (rules of Ten) yaitu, Berat badan bayi minimal 10 pon, Kadar Hb 10 g
%, dan usianya minimal 10 minggu dan kadar leukosit minimal 10.000/ui.

24
Jika bayi belum memenuhi syarat tersebut, sebaiknya pemberian minum harus
dengan dot khusus yaitu lubang tidak terlalu besar yang membuat bayi tersedak atau
terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup.Atau dilakukan
bantuan sendok secara perlahan dalam posisi setengah duduk atau tegak. Celah pada
bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non alergenik untuk
menjaga gusi tidak menonjol kearah depan (prostusio pre maksila) akibat dorongan
lidah pada prolabium. Jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan
menjadi sulit dan kurang sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan
sampai waktu operasi tiba
2. Tahapan operasi
a. Usia optimal adalah usia 3 bulan, mengingat pengucapan Bahasa bibir dimulai
pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka
pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalua dilakukan operasi
pengucapan huf=ruf bibir tetap menjadi kurang sempurna
b. Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18-20 bulan
mengingat anak aktif bicara pada usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah.
operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan speech
teraphy karena jika tidak, setelah operasu suara sengau pada saat bicara tetap
terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada
mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah
c. Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis) kelainannya menjadi
labiognatopalatoschiziz, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat usia 8-9 tahun
bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi
3. Tahap setelah operasi
Penaatalaksanaannya tergantung dari tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan , biasanya
dokter bedah yang menangani akan memberikan instruksi pada orang tua pasien
misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap
menggunakan sendok atau dot khusus untuk memberikan minum bayi
Banyaknya penderita bibir sumbing yang dating ketika usia sudah melebihi batas usia
optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja
sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau
dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak
banyak bermanfaat.
Perawatan untuk labioschisis meliputi :
a. Menyusu ibu
25
Menyusu adalah metode pemberian makan terbaik untuk seorang bayi dengan
bibir sumbing tidak menghambat penghisapan susu ibu. Ibu dapat mencoba sedikir
menekan payudara untuk mengeluarkan susu. Dapat juga menggunakan pompa
payudara untuk mengeluarkan susu dan memberikannya kepada bayi dengan
menggunakan botol setelah dioperasi , karena bayi tidak menyusu sampai 6
minggu.
b. Menggunakan alat khusus
a) Dot domba
Karena udara bocor disekitar sumbing dan makanan dimuntahkan melalui
hidung, bayi tersebut lebih baik diberi makan dengan dot yang diberi pegangan
yang menutupi sumbing, suatu dot domba (dot yang besar, ujung halus dengan
lubang besar) atau hanya dot biasa dengan lubang besar
b) Botol peras
Dengan memeras botol , maka susu dapat didorong jatuh di bagian belakang
mulut hingga dapat dihisap bayi.
c) Ortodonsi
Pemberian plat/ dibuat okulator untuk menutup sementara celah palatum agar
memudahkan pemberian minum dan sekaligus mengurangi deformitas palatum
sebelum dapat dilakukan tindakan bedah definitive.
c. Posisi mendekati duduk dengan aliran yang langsung menuju bagian sisi atau
belakang lidah bayi
d. Tepuk-tepuk punggung bayi berkali-kali karena cenderung menelan banyak udara.
e. Periksalah bagian bawah hidung dengan teratur, kadang-kadang luka terbentuk
pada bagian pemisah lubang hidung
f. Suatu kondisi yang sangat sakit dapat membuat bayi menolak menyusu. Jika hal
ini terjadi arahkan dot ke bagian sisi mulut untuk memberikan kesempatan pada
kulit yang lembut tersebut untuk sembuh
g. Setiap siap menyusu, perlahan – lahan bersihkan daerah sumbing dengan alat
berujung kapas yang dicelupkan dalam hydrogen peroksida setengah kuat atau air.
Perawatan pasca operasi bibir sumbing mencakup pengawasan terhadap saturasi
oksigen dalam 24–48 jam pasca operasi. Pengawasan ini dilakukan karena terdapat
risiko edema dan perdarahan pada saluran napas atas. Analgetik juga perlu diberikan
sampai pasien dapat menerima asupan makanan dengan baik. Pada hari-hari pertama
makanan diberikan dalam bentuk cair melalui spuit atau sendok. Pasien dapat
dipulangkan jika makanan lewat oral dapat diterima dengan baik.
26
DAFTAR PUSTAKA

Behrman, Kliegman, & Arvin. (2012). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Ed. 15 Vol.2. Jakarta:
EGC
Hidayat, Aziz Amilul. (2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Laily, Nurul. (2013). A-Z Mencegah Kelahiran Bayi Cacat. Yogyakarta: Rapha Publishing
PPNI, T. P. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1 ed.). Jakarta: PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1 ed.). Jakarta: PPNI.
Sodikin. (2011). Asuhan Keperawatan Anak : Gangguan Sistem Gastrointestinal dan
Hepatobillier. Jakarta: Salemba Medika
27
Sudarti. (2010). Kelainan dan Penyakit Pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika
TIM POKJA SIKI DPP PPNI . (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1 ed.).
Jakarta: DPP PPNI

TEORI ASUHAN KEPERAWATAN LABIOSCHISIS

A. Pengkajian
1. Identitas
Pada klien labioschisis biasanya terjadi pada usia kurang lebih 72 jam pertama
sejak bayi lahir. Biasanya pada bayi yang mengalami labioschisis juga dapat
diketahui melalui pemeriksaan USG saat usia kehamilan Ibu diatas 18 minggu.
Dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki namun laki-laki 2x lebih berisiko
mengalami labioschisis
28
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Setelah lahir terdapat celah pada bibir
b. Riwayat kesehatan sekarang
Terdapat celah di bibir dan tampak sulit menyusu sehingga asupan nutrisi
kurang dari kebutuhan. Pada bayi biasanya mengalami kesulitan saat
menghisap ASI, untuk anak yang sudah aktif berbicara dapat menyebabkan
kesulitan dalam berbicara, seringkali memiliki suara hidung saat berbicara,
kadang juga memiliki gangguan dalam pendengaran.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya saat mengandung Ibu pernah mengalami trauma pada trimester
pertama dan pemenuhan nutrisi ibu saat hamil biasanya tidak terpenuhi,
kecukupan asam folat, obat-obatan yang pernah dikonsumsi oleh ibu,
mengkonsumsi minuman beralkohol atau merokok saat masa kehamilan juga
dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing
d. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya ada salah satu anggota keluarga yang pernah menderita labioschisis
e. Riwayat Nutrisi : Nutrisi tidak adekuat karena susu yang diminum keluar lewat
hidung atau masuk ke dalam saluran pernapasan
f. Riwayat Imunisasi : Imunisasi apa saja yang sudah didapatkan misalnya BCG,
POLIOI,II, III; DPT I, II, III; dan campak.
g. Riwayat Psikososial : Kaji psikososial yang dirasakan keluarga dalam merawat
anaknyayang mengalami CLP.

3. Pola-pola kesehatan
1. Pola Persepsi
Orangtua bayi tidak mengetahui bahwa bayi sudah mengalami celah bibir
saat didalam kandungan nya.
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada bayi yang mengalami labbbioschisis biasanya nutrisi nya tidak
terpenuhi dengan cukup dikarenakan kemampuan menghisapnya tidak
seperti bayi normal pada umumnya
3. Pola Eliminasi

29
Pada bayi umumnya karakteristik warna feses nya berwarna hitam dan
berlendir
4. Pola aktivitas dan Latihan
Bayi mengalami kesulitan untuk minum.
5. Pola istirahat dan Tidur
Pada bayi yang mengalami labioschisis umumnya tidak terganggu pada
pola tidurnya namun setelah celah pada bibir di operasi bayi akan merasa
nyeri sehingga pola tidur akan terganggu.
6. Pola Kognitif Perseptual
Orangtua bayi biasanya khawatir kelak jika anaknya sudah besar dia akan
merasa malu dan murung dengan keadaannya yang cacat bibir.
7. Pola Konsep Diri
Orangtua bayi takut kelak jika bayinya sudah besar akan mengalami
gangguan citra diri.
8. Pola Peran dan Hubungan
Orangtua bayi cemas dan gelisah dengan keaadaan yang dialami bayinya.
9. Pola Seksualitas dan Reprosuksi
Alat kelamin lengkap, tidak mengalami kelainan apapun.
10. Pola Koping dan Mekanisme Stres
Kebanyakan orang tua bayi labiochisis mengalami stres dan emosi yang
labil.
11. Pola Keyakinan dan Tata Nilai
Orangtua bayi selalu berdoa untuk kesembuhan bayi dan kelancaran
operasi nya

4. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan kesadaran
Menuliskan Antroporti, lingkar perut, dan berat badan cenderung rendah
b. Tanda-Tanda Vital
Pernapasan dan Nadi pada bayi akan mengalami peningatan pernapasan
c. Kepala
1. Bentuk kepala : makrosefali atau mikrosefali
2. Tulang tengkorak :
a. Anencefali : tidak ada tulang tengkorak
30
b. Encefalokel : tidak menutupnya fontanel occipital
3. Fontanel anterior menutup : 18 bulan
4. Fontanel posterior : menutup 2-6 bulan
5. Caput succedeneum : berisi serosa, muncul 24 jam pertama dan
hilangdalam 2 hari
6. Cepal hematoma : berisi darah,muncul 24 - 48 jam dan hilang 2-
3minggu
7. Distribusi rambut dan warna
8. Jika rambut berwarna / kuning dan gampang tercabut merupakan
indikasi adanya gangguan nutrisi
9. Ukuran lingkar kepala 33 - 34 atau < 49 dan diukur dari bagian frontal
kebagian occipital.
d. Wajah
1. Simetris kiri kanan
e. Mata
1. Simetris kanan kiri
2. Alis tumbuh umur 2-3 bulan
3. Kelopak mata :
a) Oedema
b) Ptosis : celah kelopak matamenyempit karena kelopak mata
atasturun.
c) Enof kelopak mata mnyempit karena kelopak mata atas dan bawah
kebelakang tertarik
d) Exoptalmus : pelebaran celah kelopak mata, karena kelopak
mataatas dan bawah tertarik kebelakang.

f. Hidung
1. Kecacatan pada saat lahir untuk mengidentifikasi karakteristik
sumbing, kesukaran dalam menghisap ataumakan.
2. Labia skisis : tampak sebagian atau keduanya,adanya celah pada bibir.
3. Palato skisis: tampak ada celah pada kedua tekak(uvula), palate lunak dan
keras, adanya rongga pada hidung,distorsia hidung
4. Teraba celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari.
g. Mulut
31
1. Terdapat celah pada bibir, palatum, atau keduanya.
2. Periksa gigi dan gusi apakah ada pergerakan atau pembengkakan
3. Gags reflex potisif
4. Perhatikan ovula apakah simetris kiri dan kanan
5. Rooting reflex potisif
6. Sucking reflex lemah
h. Telinga
1. Simetris kiri dan kanan
2. Daun telinga dilipat, dan lama baru kembali keposisi semula menunjukkan
tulang rawan masih lunak.
3. Canalis auditorious ditarik kebawah kemudian kebelakang,untuk melihat
apakah ada serumen atau cairan.
4. Pemeriksaan tes nervus VIII (Acustikus)
5. Menggesekkan rambut, atau tes bisik.
6. Mendengarkan garpu tala (Tes Rinne, Weber)
7. Starter refleks :tepuk tangan dekat telinga, mata akan berkedip.
i. Leher
1. Lipatan leher 2-3 kali lipat lebih pendek dari orang dewasa.
2. Periksa arteri karotis
3. Vena Jugularis
a) Posisi pasien semifowler 45 dan dimiringkan,tekan daerah nodus
krokoideus maka akan tampak adanya vena.
b) Taruh mistar pada awal dan akhir pembesaran vena tersebut kemudian
tarik garis imajiner untuk menentukan panjangnya.
4. Raba tiroid : daerah tiroid ditekan,dan plasien disuruh untuk menelan,
apakah ada pembesaran atau tidak.
5. Tonick neck refleks : kedua tangan ditarik, kepala akan mengimbangi.
6. Neck rigting refleks refleks : posisi terlentang.kemudian tangan ditarik
kebelakang, pertama badan ikut berbalik diikuti dengan kepala.
j. Dada
1. Bentuk dada apakah simetris kiri dan kanan
2. Bentuk dada barrel anterior - posterior dan tranversal hampir sama 1:l dan
dewasa 1: 2
k. Abdomen
1. Tali pusat : Dua arteri satu vena.
32
2. Observasi adanya pembengkakan atau perdarahan.
3. Observasi vena apakah terbayang atau tidak.
4. Observasi distensi abdomen.
l. Ekstremitas atas
1. Jumlah jari – jari polidaktil (> dari 5), sindaktil ( jari – jari bersatu)
2. Pada anak kuku dikebawakan, dan tidak patah , kalau patah diduga
kelainan nutrisi.
3. Ujung jaruki halus
4. Kuku klubbing finger < 1 80 bila lebih 180 diduga kelainan system
pernafasan
5. Grasping refleks : meletakkan jari pada tangan bayi, maka refleks akan
menggengam
6. Palmar refleks : tekan pada telapak tangan ,akan menggengam
m. Punggung
1. Susuri tulang belakang, apakah ada spina bivida okulta : ada lekukan pada
lumbo sacral, tanpa herniasi dan distribusi lanugo lebih banyak.
2. Spina bivida sistika : dengan hermiasi, meningokel (berisi meningen dan
CSF) dan mielomeningokel ( meningen + CSF + saraf spinal).
3. Rib hum and Flank: dalam posisi bungkuk jika tulang belakang
rata/simetris( scoliosis postueral) sedangkan jika asimetris atau bahu tinggi
sebelah danvertebra bengkok ( scoliosis structural) skoliometer >40
n. Ekstremitas bawah
1. Lipatan kaki apakah 1/3, 2/3, bagian seluruh telapak kaki.
2. Talipes : kaki bengkok kedalam.
3. Clubfoot : otot-otot kaki tidak sama panjang, kaki jatuh kedepan.
4. Refleks babinsky
5. Refleks Chaddok
6. Staping Refleks

5. Pemeriksaan penunjang
USG
Pada labioschisis dapat ditemukan saat berada di dalam perut Ibu pada saat
kehamilan diatas 18 minggu dan dapat diketahui dengan pemeriksaan USG

B. Diagnosa
33
1. Defisit nutrisi pada bayi b.d. ketidakmampuan menelan makanan d.d berat badan
menurun, nafsu makan menurun
2. Risiko aspirasi pada bayi b.d terganggunya kemampuan untuk menelan
3. Defisit pengetahuan pada Ibu menyusui bayi dengan terdapat celah bibir b.d.
kurang terpapar informasi d.d. menunjukkan persepsi yang keliru terhadap
masalah
4. Risiko infeksi b.d. efek prosedur invasif
5. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik d.d gelisah, sulit tidur

C. Intervensi
1. Defisit nutrisi b.d. ketidakmampuan menelan makanan d.d berat badan turun,
nafsu makan menurun
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan keadekuatan
asupan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme membaik dengan kriteria
hasil :
a. Reflek menelan meningkat
b. Serum albumin meningkat
c. Tebal lipatan kulit trisep membaik

Intervensi :

a. Monitor intake dan output cairan, nilai hemoglobin, albumin, kenaikan berat
badan
Rasional :
Dengan memonitor intake dan output cairan pada anak dapat mengetahui dan
membantu dalam tindakan selanjutnya
b. Identifikasi permasalahan yang ibu alami selama proses menyusui
Rasional :
Mengetahui permasalahan yang dialami Ibu dan anak dalam kesulitan
menyusu
c. Ajarkan teknik menyusui yang tepat sesuai kebutuhan ibu
Rasional :
Membantu ibu dalam memberikan asi dan posisi puting yang stabil
membentuk kerja lidah dalam penghisapan susu
d. Kolaborasi dengan ahli gizi
Rasional :
34
Mendapatkan nutrisi yang seimbang
2. Risiko aspirasi pada bayi b.d terganggunya kemampuan untuk menelan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan tingkat
aspirasi menurun dengan kriteria hasil :
a. Kemampuan menelan meningkat
b. Gelisah menurun

Intervensi :

a. Monitor tingkat kesadaran, batuk, muntah, dan kemampuan menelan


Rasional :
Agar mengetahui bagaimana kemampuan bayi saat menelan ASI ibu nya
b. Pertahankan kepatenan jalan napas
Rasional :
Mencegah terjadinya masuknya ASI melalui hidung karena terdapat celah
bibir pada bayi tersebut
c. Ajarkan strategi mencegah aspirasi
Rasional :
Agar Ibu dapat menyusui bayi dengan benar supaya tidak terjadi aspirasi

3. Defisit pengetahuan pada Ibu menyusui bayi dengan terdapat celah bibir b.d.
terpapar informasi d.d. menunjukkan persepsi yang keliru terhadap masalah

Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan tingkat


pengetahuan meningkat dengan kriteria hasil :
a. Perilaku sesuai anjuranmeningkat
b. Persepsi yang keliru terhadap masalah menurun
c. Perilaku membaik

Intervensi :

a. Berikan kesempatan Ibu atau keluarga untuk bertanya


Rasional :
Dengan memberikan kesempatan bertanya, dapat memudahkan menggali
tentang tingkat pengetahuan Ibu dan keluarga
b. Jelaskan masalah yang sedang dihadapi Ibu serta bayi nya
Rasional :

35
Dengan menjelaskan masalah yang dihadapi Ibu dan keluarga dapat
mengubah persepsi Ibu dan keluarga tentang masalah yang dihadapinya
c. Gunakan teknik komunikasi yang tepat dan jelas
Rasional :
Dengan komunikasi yang tepat dan jelas diharapkan Ibu dan keluarga dapat
menerima informasi dengan baik
3. Risiko infeksi b.d. efek prosedur invasif
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tingkat
infeksi menurun dengan kriteria hasil :
a. Nafsu makan meningkat
b. Demam menurun
c. Kemerahan menurun

Intervensi :

a. Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik


Rasional :
Untuk mengetahui apakah terdapat infeksi pasca operasi atau tidak
b. Monitor proses penyembuhan area insisi
Rasional :
Agar luka jahitan pasca operasi dapat dipantau penyembuhannya secara
berkala
c. Ganti balutan luka sesuai jadwal
Rasional :
Agar luka tetap terjaga kebersihannya dan terhindar dari infeksi
d. Ajarkan Ibu cara memeriksa kondisi luka operasi bayi
Rasional :
Agar Ibu dapat memeriksa keadaan bayi secara teratur dengan sendirinya untuk
mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti terbuka nya jahitan pasca
operasi atau sebagainya
4. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik d.d gelisah, sulit tidur
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan tingkat nyeri
menurun dengan kriteria hasil :
a. Gelisah menurun
b. Kesulitan tidur menurun

36
Intervensi :

a. Identifikasi skala nyeri


Rasional :
Untuk mengetahui keadaan nyeri yang dirasakan oleh bayi
b. Tempatkan pada posisi terapeutik
Rasional :
Menempatkan bayi sesuai posisi yang baik saat akan menyusu ASI pada ibu
nya agar ASI tidak masuk ke hidung bayi
c. Hindari posisi yang menimbulkan ketegangan pada luka pasca operasi
Rasional :
Agar tidak terjadi terbukanya jahitan pasca operasi
d. Ajarkan ibu cara menggunakan postur yang baik dan mekanika tubuh yang
baik selama melakukan perubahan posisi saat menyusui
Rasional :
Agar bayi tidak merasa nyeri saat menghisap ASI ibu dan dapat menyusu
dengan baik
D. Implementasi
Implementasi/pelaksanaan sesuai dengan rencana setelah dilakukan asuhan
keperawatan untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan. Kegiatan dalam
pelaksanaan meliputi pengumpulan data yang berkelanjutan, mengobservasi respon
klien sebelum dan sesudah tindakan serta menilai data yang baru

E. Evaluasi
Evaluasi merupakan tindakan untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa, perencanaan, dan pelaksanaan yang sudah
berhasil dicapai
1. Defisit nutrisi b.d. ketidakmampuan menelan makanan d.d serum albumin turun

Perawatan dapat dikatakan berhasil apabila bayi atau anak dapat mempertahankan
nutrisi adekuat yang ditandai oleh dapat beradaptasi terhadap diet dan metode
pemberian makan yang baru, serta terus mengalami peningkatan berat badan.

2. Risiko aspirasi b.d terganggunya kemampuan untuk menelan

37
Perawatan dapat dikatakan berhasil apabila bayi atau anak tetap bebas dari
komplikasi pernapasan yang ditandai oleh memepertahankan pernapasan lancar,
serta frekuens

3. Defisit pengetahuan b.d. kurang terpapar informasi

Orang tua mengajukan pertanyaan yang tepat tentang kondisi bayi, dapat
melibatkan perawatan bayi ke dalam gaya hidup normal mereka, serta
mengekspresikan perasaan mereka tentang penampilan bayi

4. Risiko infeksi b.d. efek prosedur invasif

Perawatan dapat dikatakan berhasil apabila bayi tidak menunjukkan tanda-tanda


infeksi yang ditandai oleh suhu tubuh kurang dari 37,80 C dan tidak ada tanda-
tanda draynase telinga, batuk, ronchi kasar di lapangan paru, atau iritabilitas

5. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik d.d gelisah, sulit tidur

Perawatan dapat dikatakan berhasil apabila bayi atau anak dapat mempertahankan
tingkat kenyamanan yang ditandai oleh tangisan dan iritabilitas yang berkurang
serta Orang tua dapat mengekspresikan pemahaman tentang instruksi perawatan
pra bedah dan pasca bedah di rumah dan mendemonstrasikan prosedur perawatan
di rumah

TUGAS KEPERAWATAN ANAK

38
KWASHIORKOR

Dosen Pembimbing :

Indriatie, S.Kp., M.M.Kes

Disusun Oleh:
1. Pungki Wahyuni Djadiati (P27820118047)
2. Lailul Fitriyani (P27820118049)
3. Diya Laily Fitriana (P27820118090)
4. Ayu Novita Febriyanti (P27820118091)
Tingkat 2 Reguler B

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURABAYA


JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI DIII KEPERAWATAN SOETOMO
SURABAYA
2020

LAPORAN PENDAHULUAN

39
A. PENGERTIAN
Kata “kwarshiorkor” berasal dari bahasa Ghana-Afrika yang berati “anak yang
keku kasih sayang ibu”.
1. Kwashiorkor adalah suatu syndrome klinik yang timbul sebagai akibat adanya
kekurangan protein yang parah dan pemasukan kalori yang kurang dari yang
dibu (Behrman, Richard E. 1994 : 299).
2. Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein berat yang disebabkan
o intake protein yang inadekuat dengan intake karbohidrat yang normal atau
tinggi. (http://idmgarut.wordpress.com/2009/02/03/malnutrisi-energi-protein-
mep-kwash).
3. Kwashiorkor adalah satu bentuk malnutrisi yang disebabkan oleh defisiensi
prot berat bisa dengan konsumsi energi dan kalori tubuh yang tidak
mencukupi ke (http://id.wikipedia.org/wiki/Kwashiorkor).
4. Kwashiorkor atau busung lapar adalah salah satu bentuk sindroma dari
ganggu dikenali sebagai Malnutrisi Energi Protein (MEP) Dengan beberapa
karakteristi edema dan kegagalan pertumbuhan, depigmentasi, hyperkeratosis.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kwashiorkor)
Jadi kwashiorkor adalah suatu syndrome klinik yang timbul sebagai akibat adanya
kekurangan protein dengan intake karbohidrat yang normal atau tinggi dikenali
sebagai Malnutrisi Energi Protein (MEP) dengan beberapa karakteristik berupa
edema dan kegagalan pertumbuhan, depigmentasi, hyperkeratosis.
B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang
berlansung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut antara lain :
1. Pola Makan
Protein (asam amino) sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang.
Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nurisi anak akan berperan
penting terhadap terjadinya Kwashiorkor, terutama pada masa peralihan ASI ke
makanan pengganti ASI.
2. Faktor Sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan
sosial politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan
makana n terte sudah berlansung turun temurun dapat menjadi hal yang
menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga / penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi
kebu berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana
ibunya pu dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi.
Inf derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP,
walaupun derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
Seperti gejala malnutrisi protein disebabkan oleh gangguan penyerapan protein,
misalnya yang dijumpai pada keadaan diare kronis, kehilangan protein secara

40
tidak normal padaproteinuria (nefrosis), infeksi saluran pencernaan, serta
kegagalan mensintesi protein akibat penyakit hati yang kronis
C. MANIFESTASI KLINIS
Pada awalnya, bukti klinik awal malutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis,
atau iritabilitas. Hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamina,
kehilangan jaringan muskuler, bertambahnya kerentanan terhadap infeksi, dan udem.
Salah satu manifestasi yang paling serius dan konstan adalah imunodefisiensi sekunder.
Misalnya, campak dapat memburuk dan mematikan pada anak malnutrisi. Pada anak dapat
terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan, dan kehilangan tonus otot. Hati
membesar dapat terjadi awal atau lambat serta sering terjadi infiltrasi lemak. Udem
biasanya terjadi di awal, penurunan berat badan yang dapa dilihat pada muka dan tungkai.
Aliran plasma ginjal, angka filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun.
Manifestasi klinis yang lain adalah dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah
yang teriritasitetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari. Penyebaran
rambut jarang dan tipis serta kehilangan sifat elastisitasnya. Pada anakyang berambut
hitam, dispigmentasi menyebabkan warna merah atau abu-abu seperti coretan pada rambut
(hipokromtrichia). Rambur menjadi kasar pada fase kronik. Anak juga mengalami
anoreksi, muntah, dan diare terus menerus. Otot menadi lemah, tipis dan atrofi, tetapi
kadang-kadang mungkin ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental tertama
iritabilitas dan apati sering terjadi.
Perubahan-perubahan pada kwashiorkor sebagai berikut.
1. Wujud umum: secara umum, penderita kwashiorkor tampak pucat, kurus, atrofi pada
ekstremitas, adanya edema pedis dan pretibial serta asites. Muka penderita
seperti moon face akibat terjadinya edema.
2. Retardasi pertumbuhan: gejala yang paling penting adalah pertumbuhan yang
terganggu. Selain berat badan, tinggi badan juga kurang dibandingkan dengan anak
sehat.
3. Perubahan mental: biasanya penderita cengeng, hilang nafsu makan, dan rewel. Pada
stadium lanjut bisa menjadi apatis. Kesadarannya juga bisa menurun dan anak menjadi
pasif.
4. Edema: sebagian besar anak dengan Kwashiorkor ditemukan edema, baik ringan
maupun berat. Edemanya bersifat pitting. Edema terjadi bisa disebabkan
hipoalbuminemia, gangguan dinding kapiler, dan hormonal akibat dari gangguan
eliminasi ADH.
5. Kelainan rambut: perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya
(texture) maupun warnanya. Rambut kepala mudah tercabut tanpa rasa sakit. Pada
penderita kwashiorkor lanjut, rambut akan tampak kusam, halus, kering, jarang dan
berubah warna menjadi putih.
6. Kelainan kulit: kulit biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih
mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit. Pada
sebagian besar penderita ditemukan perubahan kulit yang khas untuk penyakit
kwashiorkor, yaitu crazy pavement dermatosis yang merupakan bercak-bercak putih
atau merah muda dengan tepi hitam ditemukan pada bagian tubuh yang sering
mendapat tekanan, terutama bila tekanan terus-menerus dan disertai kelembapan oleh
keringat atau ekskreta, seperti pada fosa politea, lutut, buku kaki, paha, lipat paha,
pantat, dan sebagainya. Perubahan kulit demikian dimulai dengan bercak-bercak kecil
merah yang dalam waktu singkat bertambah dan menjadi hitam. Pada suatu saat,
41
bercak-bercak ini akan mengelupas dan memperlihatkan bagian-bagian yang tidak
mengandung pigmen dibatasi oleh tepi yang masih hitam oleh hiperpigmentasi.
7. Kelainan gigi dan tulang: pada tulang penderita kwashiorkor didapatkan dekalsifikasi,
osteoporosis, dan hambatan pertumbuhan. Sering juga ditemukan caries pada gigi
penderita.
8. Kelainan hati: pada biopsi hati ditemukan perlemakan, bisa juga ditemukan semua sela
hati mengandung vakuol lemak besar. Sering juga ditemukan tanda fibrosis, nekrosis,
dan infiltrasi sel mononukleus. Perlemakan hati terjadi akibat defisiensi faktor
lipotropik.
9. Kelainan darah dan sumsum tulang : anemia ringan selalu ditemukan pada penderita
kwashiorkor. Bila disertai penyakit lain, terutama infestasi parasit (ankilostomiasis dan
amoebiasis) maka dapat dijumpai anemia berat. Anemia juga terjadi disebabkan
kurangnya nutrien yang penting untuk pembentukan darah seperti ferum dan vitamin
B kompleks (B12, folat, B6). Kelainan dari pembentukan darah dari hipoplasia atau
aplasia sumsum tulang disebabkan defisiensi protein dan infeksi menahun. Defisiensi
protein juga menyebabkan gangguan pembentukan sistem kekebalan tubuh, akibatnya
terjadi defek umunitas seluler dan gangguan sistem komplimen.
10. Kelainan pankreas dan kelenjar lain: di pankreas dan kebanyakan kelenjar lain seperti
parotis, lakrimal, saliva, dan usus halus terjadi perlemakan.
11. Kelainan jantung: bisa terjadi miodegenerasi jantung dan gangguan fungsi jantung
disebabkan hipokalemi dan hipmagnesemia.
12. Kelainan gastrointestinal: terjadi anoreksia sampai semua pemberian makanan ditolak
dan makanan hanya dapat diberikan dengan sonde lambung. Diare terdapat pada
sebagian besar penderita. Hal ini terjadi karena tiga masalah utama, yaitu berupa
infeksi atau infestasi usus, intoleransi laktosa, dan malabsorbsi lemak. Intoleransi
laktosa disebabkan defisiensi laktase. Malabsorbsi lemak terjadi akibat defisiensi
garam empedu, konjugasi hati, defisiensi lipase pankreas, dan atrofi villi mukosa usus
halus.
D. PATOFISIOLOGI
Pada defesiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang
sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalam
dietnya. Kelainanan yang mencolok adalah gangguan metabolik dan perubahan sel yang
meyebabkan edema dan lemak dalam hati. Kekurangan protein dalam diet akan
terjadi karena kekurangan berbagai asam amino esensial dalam serum yang diperlukan
untuk sentesis dan metabolisme yang akan disalurkan ke jaringan otot. Semakin asam
amino berkurang dalam serum ini akan menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh
hepar yang kemudian berakibat edema. Lemak dalam hati terjadi karena gangguan
pembentukan beta-lipoprotein sehingga transport lemak dari hati terganggu dan berakibat
terjadinya penimbunan lemak dalam hati.
E. KLASIFIKASI
Klasifikasi MEP ditetapkan dengan perbandingan berat badan terhadap umur anak sebagai
berikut.
1. Berat badan 60-80% standar tanpa edema : gizi kurang (MEP ringan).
2. Berat badan 60-80% standar dengan edema : kwashiorkor (MEP berat).
3. Berat badan <60% standar tanpa edema : marasmus (MEP berat).
4. Berat badan <60% standar dengan edema : marasmik kwashiorkor (MEP berat)
42
F. EPIDEMIOLOGI
Kasus ini sering dijumpai di daerah miskin, persediaan makanan yang terbatas
dan tingkat pendidikan yang rendah. Penyakit ini menjadi masalah di negara -
negara miskin dan berkembang di Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan dan
Asia Selatan.
Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang
sangat berlebihan persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalam
dietnya. Kelainan yang mencolok gangguan metabolik dan perubahan sel
yang disebabkan edema dan perlemakan hati. kekurangan protein dalam
diet akan terjadi kekurangan berbagai asam amino dalam seru jumlahnya
yang sudah kurang tersebut akan disalurkan ke jaringan otot, makin
kurangan asam amino dalam serum ini akan menyebabkan kurangnya produksi
albumin oleh hepar yang akan berakibat timbulnya edema. Perlemakan hati
terjadi karena gangguan pembentukan beta l sehingga transport lemak dari hati
terganggu dengan akibat terjadinya penimbunan lemak.
G. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Kwashiorkor yang tidak cepat diatasi akan mengakibatkan marasmus bahkan
marasmus-kwashiorkor. Anak akan mudah terserang infeksi,seperti diare, ISPA (infeksi
saluran pernapasan atas), TBC, polio, dan lain-lain. Lebih dari 40% anak-anak yang
menderita Kwashiorkor meninggal karena gangguan elektrolit, infeksi, hipotermia, dan
kegagalan jantung. Keterbelakangan mental yang bersifat ringan bisa menetap sampai
anak mencapai usia sekolah dan mungkin lebih. Anak dengan Kwashiorkor dapat terjadi
penurunan IQ secara permanen. Diperlukan waktu sekitar 2-3 bulan agar berat badan anak
kembali ke berat badan ideal. Komplikasi jangka pendek yang akan terjadi bagi penderita
kwashiorkor adalah diare, hipoglikemia, anemia, hipokalemia, shock, hipotermi,
dehidrasi, gangguan fungsi vital, gangguan keseimbangan elektrolit asam-basa, infeksi
berat, serta hambatan penyembuhan penyakit penyerta. Sedangkan komplikasi jangka
panjang adalah tubuh pendekdan berkurangnya potensi tumbuh kembang.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada anak dengan Kwashiorkor antara lain
sebagai berikut.
1. Pemeriksaan laboratorium: 1) penurunan kadar albumin serum merupakan perubahan
yang paling khas. Pada stadium awal kekurangan makan sering terdapat ketonuria
tetapi sering menghilang pada stadium akhir; 2) glukosa dalam darah rendah; 3)
ekskresi hidroksiprolin urin yang berhubungan dengan kreatinin dapat turun; 4) asam
amino esensial plasma turun terhadap angka asam amino non esensial dan dapat
menambah aminoasiduria; 5) defisiensi kalium dan magnesium; 6) kadar kolesterol
serum rendah; 7) angka amilase, esterase, kolinesterase, transaminase, lipase, dan
alkalin fosfatase serum turun; 8) penurunan aktivitas enzim pankreas dan sanhin
oksidase; 9) pertumbuhan tulang biasanya lambat; serta 10) sekresi hormon
pertumbuhan mungkin bertambah.
2. Pemeriksaan air kemih menunjukkan peningkatan ekskresi hidroksiprolin dan adanya
amino asidulia.
3. Pada biopsi hati ditemukan perlemakan ringan sampai berat, fibrosis, nekrosis, dan
infiltrasi sel mononuklear. Pada perlemakan berat hampir semua sel hati mengandung
vakuol lemak yang besar.
43
4. Pemeriksaan autopsi penderita kwashiorkor menunjukkan kelainan pada hampir
semua organ tubuh, seperti degenerasi otot jantung, osteoporosis tulang, atrofi vilus
usus, atrofi sistem limfoid, dan atrofi kelenjar timus.
I. PENATALAKSANAAN
Dalam mengatasi kwashiorkor adalah dengan memberikan makanan bergizi secara
bertahap. Bila bayi menderita kwashiorkor, maka bayi tersebut diberi susu yang
diencerkan. Secara bertahap keenceran susu dikurangi, sehingga suatu saat mencapai
konsistensi yang normal seperti susu biasa kembali. Jika anak sudah agak besar, bisa
mulai dengan makanan encer, kemudian makanan lunak (bubur) dan bila keadaan
membaik, maka baru diberikan makanan padat biasa. Dalam melaksanakan hal ini selalu
diberikan pengobatan sesuai dengan penyakit yang diderita. Bila keadaan kesehatan dan
gizi sudah mencapai normal, perlu diteruskan dengan imunisasi. Makanan yang
dihidangkan diet tinggi kalori, protein, cairan, vitamin, dan mineral. Bila diperlukan
dilakukan pemberian cairan dan elektrolit.
J. PENCEGAHAN
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah anak terkena Kwashiorkor adalah
mencukupi kebutuhan protein yang lengkap dengan mengkonsumsi sumber protein yang
dikombinasikan antara sumber protein hewani dan sumber protein nabati sehingga saling
melengkapi jumlah protein yang harus dikonsumsi bayi setiap hari. Hal ini bergantung
pada umur, berat badan, jenis kelamin, mutu protein yang dikonsumsi, serta keadaan
tertentu, misalnya sedang sakit atau baru sembuh dari sakit, yang mengharuskan anak
untuk mengkonsumsi protein dalam jumlah yang lebih besar. Umumnya tingkat
kebutuhan protein anak dalam keadaan sehat normal membutuhkan sekitar 40-60 gram
protein tiap hari. Ada pula ahli yang menyebutkan konsumsi protein 1 gr/kgBB perhari.
Anak diterapkan diet yang seimbang dengan cukup karbohidrat, cukup lemak, dan protein
untuk mencegah terjadinya kwashiorkor. Untuk mendapatkan sumber protein yang
bernilai tinggi bisa didapatkan dari protein hewan seperti susu, keju, daging, telur dan ikan
dan protein nabati seperti kacang hijau dan kacang kedelei.
K. PATHWAY

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK DENGAN KWASHIORKOR

1. PENGKAJIAN
44
1.1. Identitas Klien
1.2. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Pada umumnya anak masuk rumah sakit dengan keluhan gangguan pertumbuhan
(berat badan semakin lama semakin turun), bengkak pada tungkai, sering diare
dan keluhan lain yang menunjukkan terjadinya gangguan kekurangan gizi.
2) Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan kwashiorkor biasanya mengalami gangguan pertumbuhan (BB <
80% dari BB normal seusianya), bengkak, serta mengalami keterbelakangan
mental yaitu apatis dan rewel.  Pada anak kwarshiorkor juga mengalami
penurunan nafsu makan ringan sampai berat.
3) Riwayat Peri natal
a. Tahap Prenatal
Hal yang dikaji adalah terkait asupan nutrisi pada ibu selama kehamilan.
Kekurangan nutrisi pada ibu selama kehamilan jugan memungkinkan anak
juga akan mengalami malnutrisi. Setelah itu, infeksi yang mungkin dapat
timbul pada ibu dan menyalur ke anak dan menjadi infeksi kronis bagi anak.
b. Tahap Intranatal:
Hal yang dikaji adalah proses selama persalinan. Bayi mungkin dapat lahir
dengan berat badan rendah, dan karena pengetahuan ibu yang kurang
sehingga kwarshiorkor dapat timbul saat bayi.
c. Tahap Post natal
Hal yang dikaji adalah asupan nutrisi seperti pemberian ASI eksklusif dan
pemberian nutrisi setelah asi eksklusif. Beberapa ibu terkadang tidak
memberikan asi eksklsif pada bayinya setelah melahirkan. Hal ini beresiko
anak mengalami malnutrisi.
4) Riwayat penyakit keluarga.
Kaji apakah ada riwayat penyakit keluarga yang bisa menyebabkan terjadinya
kwarshiorkor. Namun, sebagian besar tidak ada pengaruh genetik yang dapat
menyebabkan kwarshiorkor. Penyebab kwarshiorkor dikaitkan dengan asupan
nutrisi yang tidak adekuat.
5) Pengkajian Psikososial
Ibu dengan anak yang menderita kwarshiorkor dapat mengalami cemas
dikarenakan penurunan berat badan anak, penurunan nafsu makan serta anak
yang sering rewel.
6) Pengkajian lingkungan rumah dan komunitas
Lingkungan yang buruk, dapat memicu timbulnya infeksi. Anak dapat terkena
kwarshiorkor dikarenakan infeksi yang kronik misalnya diare yang membuatnya
mengalami gangguan penyerapan protein.
7) Riwayat nutrisi :
Anak dengan kwarshiorkor akan mengalami malnutrisi terutama defisiensi
protein. Ana juga kekurangan asupan karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral
45
penting yang diperlukan tubuh. Vitamin yang kurang diantaranya pembentuk
darah seperti Ferum, vitamin B kompleks (B12, folat, B6) dan vitamin A yang
penting untuk pertumbuhan mata.
8) Riwayat pertumbuhan perkembangan
a) Anak yang menderita kwarshiorkor mengalami keterlambatan pertumubuhan
akibat defisiensi protein dan gangguan penglihatan
b) Kecerdasan anak dengan kwarshiorkor juga akan menurun akibat
keterbelakangan pertumbuhan dan perkembangan
c) Anak CP yang mengalami gangguan anoreksia dapat memperberat gangguan
nutrisi sehingga intake nutrisi semakin berkurang
1.3. Pola – Pola Fungsi Kesehatan
1) Persepsi Kesehatan dan Pola Manajemen
Orang tua pasien mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan malnutrisi
atau kwarshiorkor namun tidak mengetahui perawatan pada anak dan
bagaiamana mengasuh anak yang menderita kwarshiorkor.
2) Pola nutrisi dan metabolism
Anak dengan kwarshiorkor akan mengalami defisiensi nutrisi seperti protein,
karbohidrat, lemak, dan mineral yang penting untuk tubuh.metabolisme akan
terganggu akibat zat – zat yang tidak tersedia, contohnya adalah pembesaran hati
karena kekurangan asam amino.
3) Pola eliminasi
Pasien dapat memiliki gangguan gastointestinal seperti diare dan anoreksia.
Diare dapat disebabkan oleh 3 hal yaitu infeksi dapa saluran cerna, intoleransi
laktosa, dan malabsorbsi lemak
4) Pola aktivitas dan latihan
Anak akan mengalami gangguan aktivitas akibatstatus mental yang apatis dan
rewel. Aktifitas jugan akan terganggu akibat udem yang ada pada ekstremitas,
serta penurunan fungsi otot.
5) Pola istirahat dan tidur
Anak akan mengalami gangguan tidur akibat edema.
6) Pola persepsi dan kognitif
Anak akan mengalami gangguan kgonitif akibat asupan nutrisi yang kurang,
keterbelakangan pertumbuhan dan perkembangan serta gangguan penglihatan
akibat defisiensi vitamin A.
7) Pola konsep diri
Anak akan merasa malu untuk berkomunikasi dengan dunia luar akibat gangguan
penglihatan dan ketidaknormalan tubunhnya.
8) Pola peran dan hubungan
Hubungan sosial anak dengan dunia luar akan terhambat akibat keterbelakangan
mental dan gangguan pertumbuhan yang dirasakan.
9) Pola seksualitas dan reproduksi
46
Pasien tidak mengalami kelainan apapun.
10) Pola keyakinan dan nilai
Keluarga pasien selalu berdoa untuk kesembuhan pasien

1.4. Pemeriksaan Head To Toe


1) Kepala
Rambut kepala yang mudah tercabut tanpa rasa sakit, rambut tampak kusam,
halus, kering, jarang, dan berubah warna menjadi putih.
2) Wajah
Pada penderita kwashiorkor menunjukkan tanda moon face dari akibat kejadian
edema.
3) Mata
Konjungtiva anemis, pandangan mata sayu.
4) Abdomen
Abdomen mengalami asites, biasanya terjadi diare atau BAB lebih dari 3 kali
sehari.
5) Kulit
Menjadi lebih sensitif, kulit mudah meradang atau terdapat ruam. Sering
ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit. Terjadi perubahan kulit yaitu
crazy pavement dermatosis yang merupakan bercak-bercak putih atau merah
muda dengan tepi hitam ditemukan pada bagian tubuh yang sering mendapat
tekanan.
6) Ekstremitas
Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik ringan maupun berat.
Edemanya bersifat pitting. Biasanya edema terdapat pada punggung kaki.

1.5. Pemeriksaan Fisik


1) Penampilan Umum
Secara umumnya penderita kwashiorkor tampak pucat, kurus, atrofi pada
ekstremitas, adanya edema pedis dan pretibial serta asites. Muka penderita ada
tanda moon face dari akibat terjadinya edema. Biasanya penderita cengeng,
hilang nafsu makan dan rewel. Pada stadium lanjut bisa menjadi apatis.
Kesadarannya juga bisa menurun, dan anak menjadi pasif.
2) Pengukuran Antopometri
Berat badan menurut usia < 80 % dari berat badan normal usianya. LLA
(Lingkar Lengan Atas)  <14cm

3) Otot
Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah terus-menerus, tidak
mampu berjalan dengan baik.
4) Kontrol Sistem Saraf
Kurang perhatian, iritabilitas, bingung.
5) Sistem gastrointestinal
Terjadi anoreksia, diare tampak pada sebagian besar penderita.
47
6) Sistem kardiovaskular
Bisa terjadi miodegenerasi jantung dan gangguan fungsi jantung disebabkan
hipokalemi dan hipomagnesemia.
7) Rambut
Sangat khas untuk penderita kwashiorkor ialah rambut kepala yang mudah
tercabut tanpa rasa sakit, warna menjadi kemerahan. Pada penderita kwashiorkor
lanjut, rambut akan tampak kusam, halus, kering, jarang dan berubah warna
menjadi putih.
8) Kulit
Kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih
mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit.
Perubahan kulit lain pun dapat ditemui, seperti kulit yang keringdengan garis
kulit yang mendalam. Kadang-kadang pada kasus yang sangat lanjut ditemui
petehia tanpa trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi si penderita.
9) Gigi
Sering juga ditemukan caries pada gigi penderita.
10) Tulang
Pada tulang penderita kwashiorkor didapatkan dekalsifikasi, osteoporosis, dan
hambatan pertumbuhan.
11) Edema
Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik ringan maupun berat.
Edemanya bersifat pitting. Edema terjadi bisa disebabkan hipoalbuminemia,
gangguan dinding kapiler, dan hormonal akibat dari gangguan eliminasi ADH.
12) Hati
Hati yang membesar merupakan gejala yang sering ditemukan. Kadang-kadang
batas hati terdapat setinggi pusar. Hati yang membesar dengan mudah dapat
diraba.
13) Kelainan Darah dan Sumsum Tulang
Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor. Bila disertai
penyakit lain, terutama infestasi parasit (ankilostomiasis, amoebiasis) maka
dapat dijumpai anemia berat. Anemia juga terjadi disebabkan kurangnya nutrien
yang penting untuk pembentukan darah seperti Ferum, vitamin B kompleks
(B12, folat, B6). Kelainan dari pembentukan darah dari hipoplasia atau aplasia
sumsum tulang disebabkan defisiensi protein dan infeksi menahun. Defisiensi
protein juga menyebabkan gangguan pembentukan sistem kekebalan tubuh.
Akibatnya terjadi defek umunitas seluler, dan gangguan sistem komplimen.
14) Pankreas dan Kelenjar Lain
Di pankreas dan kebanyakan kelenjar lain seperti parotis, lakrimal, saliva dan
usus halus terjadi perlemakan.
1.4. Pemeriksaan Penunjang

48
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan  terutama jenis normositik
normokrom karena adanya gangguan sistem eritropoesis akibat hipoplasia kronis
sumsum tulang di samping karena asupan zat besi yang kurang dalam makanan,
kerusakan hati dan gangguan absorbsi. Pemeriksaan radiologis juga perlu dilakukan
untuk menemukan adanya kelainan pada paru. Selain itu juga ditemukan :
a. Penurunan kadar albumin (Kadar Albumin normal : 3.5-5.0 g/dl)
b. Penurunan kadar kreatinin
c. Kurangnya kadar kalsium,  kalium dan magnesium
d. Penurunan kolesterol  (Kadar Kolesterol normal : < 200 mg/dl)
e. Kadar globulin dalam serum kadang-kadang menurun akan tetapi tidak sebanyak
menurunnya albumin serum, hingga pada kwashiorkor terdapat rasio
albumin/globulin yang biasanya 2 menjadi lebih rendah, bahkan pada
kwashiorkor yang berat ditemukan rasio yang terbalik (Kadar globulin normal:
2.0- 3.5 g/dl)
f. Kadar asam amino essensial dalam plasma relatif lebih rendah dari pada asam
amino non essiensial.
g. Kadar amylase, esterase, kolinasterase, transaminase, lipase dan alkali fostase
menurun
h. Anemia
2. ANALISIS DATA
Data objektif dan subjektif diambil dari pengkajian: wawancara,observasi, dan data
sekunder.

3. DIAGNOSIS KEPERAWATAN

Diagnosa kepeerawatan yang mungkin dapat ditemukan pada anak dengan khashiorkor
adalah:
a. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d asupan yang
tidak adekuat,anoreksia,dan diare.
b. Kekurangan volume cairan b/d penurunan asupan peroral dan
peningkatan kehilangan akibat diare
c. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan protein yang
tidak adekuat
d. Defisiensi pengetahuan b/d tentang kondisi,prognisi,dan kebutuhan
nutrisi anak
4. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d asupan yang tidak
adekuat,anoreksia,dan diare.

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien akan
menunjukkan peningkatan status gizi.

Kriteria hasil:

49
Keluarga dapat menjelaskan penyebab gangguan nutrisi yang dialami klien, kebutuhan
nutrisi pemulihan, susunan menu dan pengolahan makanan sehat seimbang.

Intervensi:
- Jelaskan kepada keluarga tentang penyebab malnutrisi, kebutuhan nutrisi
pemulihan,susunan menu dan pengolahan makanan sehat seimbang. Tunjukkan contoh
jenis sumber makanan ekonomis sesuai status social ekonomi klien
- Tunjukkan cara pemberian makanan per sonde, beri kesempatan keluarga untuk
melakukannya sendiri.
- Laksanakan pemberian roborans sesuai program terapi.
- Timbang berat badan, ukur lingkar lengan atas.

Rasional:
- Meningkatkan pemahaman keluarga tentang penyebab dan kebutuhan nutrisi untuk
pemulihan klien sehingga dapat meneruskan upaya terapi dietik yang telah diberikan
selama hospitalisasi.
- Meningkatkan pp0oiug]ikjartisipasi keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi
klien, mempertegas peran keluarga dalam upaya pemulihan status nutrisi klien.
- Reborans meningkatkan nafsu makan, proses absorbsi dan memenuhi defisit yang
menyertai keadaan malnutrsi.
- Menilai perkembangan masalah klien.

b. Kekurangan volume cairan b/d penurunan asupan peroral dan peningkatan kehilangan
akibat diare.

Tujuan: klien akan menunjukkan keadaan hidrasi yang adekuat

Kriteria hasil:
- Asupan cairan adekuat sesuai kebutuhan ditambah defisit yang terjadi.
- Tidak ada tanda/gejala dehidrasi (tanda-tanda vital dalam batas normal, frekuensi
defekasi dengan konsistensi padat/semi padat).

Intervensi:
- Lakukan/observasi pemberian cairan per infus/oral sesuai program rehidrasi.
- Jelaskan kepada keluarga tentang upaya rehidrasi dan partisipasi yang diharapkan dari
keluarga dalam pemeliharaan patensi pemberian infus
- Kaji perkembangan keadaan dehidrasi klien.

Rasional:
- Upaya rehidrasi perlu dilakukan untuk mengatasi masalah kekurangan volume cairan.
- Meningkatkan pemahaman keluarga tentang upaya rehidrasi dan peran keluarga dalam
pelaksanaan terapi dehidrasi.
- Menilai perkembangan masalah klien. Penting untuk menetapkan program rehidrasi
selajutnya.

c. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan protein yang tidak adekuat.

50
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien akan mencapai
pertumbuhan dan perkembangan sesuai standar usia.

Kriteria hasil:
- Pertumbahan fisik (ukuran antropometrik) sesuai standar usia perkembangan motoric,
Bahasa/kognitif dan personal/social sesuai srtandar usia.

Intervensi:
- Ajarkan kepada orang tua tentang standar pertumbuhan fisik dan tugas-tugas
perkembangan sesuai program terapi diet pemulihan.
- Lakukan pemberian makanan/minuman sesuai program terapi diet pemulihan
- Lakukan pengukuran antrpo metric secara berkala
- Lakukan stimulasi tingkat perkembangan sesuai dengan usia klien
- Lakukan rujukan ke lembaga pendukung stimulasi pertumbuhan dan perkembangan
(puskesmas/posyandu)
Rasional:
- Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang keterlambatan pertumbuhan dan
perkembangan anak.
- Diet khusus untuk pemulihan malnutrisi diprogramkan secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan anak dan kemampuan toleransi sistem pencernaan.
- Menilai perkembangan masalah klien.
- Stimulasi diperlukan untuk mengejar keterlambatan perkembangan anak dlaam aspek
motoric, Bahasa dan personal/social.
- Mempertahankan kesinambungan program stimulasi pertumbuhan dan perkembangan
anak dengan memberdayakan sistem pendukung yang ada.

d. Defisiensi pengetahuan b/d tentang kondisi,prognisi,dan kebutuhan nutrisi anak

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan penyuluhan diharapkan pengetahuan keluarga akan


bertambah.

Kriteria hasil:
- Keluarga mengerti dan memahami isi penyuluhan.
- Keluarga dapat mengulangi isi penyuluhan.
- Keluarga mampu menerapkan isi penyuluhan di rumah sakit dan nanti sampai
dirumah.

Intervensi:
- Tentukan tingkat pengetahuan dan kesiapan untuk belajar.
- Jelaskan tentang: nama penyakit anak, penyebab penyakit,akibat yang
ditimbulkan,pengobatan yang dilakukan.
- Jelaskan tentang: pengertian nutrisi dan pentingnya pola makan yang betul untuk anak
sesuai dengan umur nya, bahan makanan yang banyak mengandung vitamin terutama
banyak mengandung protein.
- Beri kesempatan keluarga untuk mengulangi isi penyuluhan.
- Anjurkan keluarga unruk membawa anak control di poli gizi.
51
Rasional:
- Mengetahui sejauh mana pengetahuan dan kebenaran informasi
yang di dapat dan kesiapan untuk belajar.
- Keluarga mengerti dan memahami penyakit anak dan
menambah pengetahuan keluarga.
- Keluarga mengerti dan memahami serta menambah
pengetahuan tentang nutrisi.
- Mengetahui sejauh mana isi penyuluhan dipahami oleh
keluarga.
5. Implementasi Keperawatan
Melaksanakan tindakan ke[erawatan sesuai dengan rencana tindakan keperawatan yang
sudah dibuat sebelumnya dan mencatat respon klien atas tindakan yang sudah dilakukan.

6. EvaluasiKeperawatan
Melaksanakan evaluasi atas tindakan keperawatan yang sudah diberikan apakah sudah
mencapai kriterian hasil dan tujuan yang dibuat sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2018. Standar Luaran Keperawatan

Indonesia. Jakarta Selatan: Tim Pokja SLKI DPP PPNI.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2016. Standar Diagnosis Keperawatan

Indonesia. Jakarta Selatan: Tim Pokja SDKI DPP PPNI.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI). 2018. Standar Intervensi Keperawatan

Indonesia. Jakarta Selatan: Tim Pokja SIKI DPP PPNI.

52

Anda mungkin juga menyukai