KEPERAWATAN ANAK
OLEH:
Marasmus adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan karena rendahnya konsumsi
energi kalori dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga mengakibatkan tidak
adekuatnya intake kalori yang dibutuhkan oleh tubuh. Maramus adalah bentuk malnutrisi
kalori protein yang terutama akibat kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi
selama tahun pertama kehidupan. Zat gizi adalah zat yang diperoleh dari makanan dan
dugunakan oleh tubuh untuk pertumbuhan, pertahanan dan atau perbaikan. Selain itu,
malnutrisi bisa disebabkan apabila asupan kalori yang berlebih dari kebutuhan harian dan
mengakibatkan penyimpanan energi dalam bentuk bertambahannya jaaringan adipose
(DEPKES RI 2011)
Zat gizi dikelompokkan menjadi karbohidrat, lemak, protein, vitamin, mineral dan air.
Marasmus ialah suatu bentuk kekurangan kalori-protein yang berat. Keadaan ini merupakan
akhir dari interaksi kekurangan makanan dan penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan ada
beberapa faktor lain dari diri anak sendiri yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh
terhadap terjadinya marasmus.
1.2 Klasifikasi
1. Berat badan 60-80% standar tanpa edema : gizi kurang (MEP ringan)
2. Berat badan 60-80% standar dengan edema : kwashiorkor (MEP berat)
3. Berat badan <60% standar tanpa edema : marasmus (MEP berat)
4. Berat badan <60% standar dengan edema : marasmus kwashiorkor
1.3 Etiologi
Keadaan marasmus merupakan hasil akhir dari interaksi antara kekurangan makanan dan
penyakit infeksi. Selain faktor lingkungan, ada beberapa faktor lain pada diri anak sendiri
yang dibawa sejak lahir, diduga berpengaruh terhadap terjadinya marasmus. Secara garis
besar penyebab marasmus (Nurarif & Kusuma 2015) ialah sebagai berikut :
1.4 Patofisiologi
Pertumbuhan yang kurang atau terhenti disertai atrofi otot dan manghilangkan lemak di
bawah kulit. Pada mulanya kelainan demikian merupakan prosesn fisiologis. Untuk
kelangsungan hidup jaringan tubuh memerlukan energi, namun tidak didapat sendiri dan
cadangan protein digunakan juga untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut. Penghancuran
jaringan pada defisiensi kalori tidak saja membantu memenuhi kebutuhan energi, tetapi juga
untuk memungkinkan sintesis glukosa dan metabolit esensial lainnya seperti asam amino
untuk komponen homeostatik. Oleh karena itu, pada marasmus berat kadang-kadang masih
ditemukan asam amino yang normal, sehingga hati masih dapat membentuk cukup albumin.
(Ngastiyah, 2005 : 259).
1.5 Pathway
Marasmus sering dijumpai pada usia 0-2 tahun. Keadaan yang terlihat mencolok
adalah hilangnya lemak subkutan, terutama pada wajah. Akibatnya ialah wajah si anak
lonjong, berkeriput dan tampak lebih tua (old man face). Otot-otot lemah dan atropi,
bersamaan dengan hilangnya lemak subkutan maka anggota gerak terlihat seperti kulit dengan
tulang. Tulang rusuk tampak lebih jelas. Dinding perut hipotonus dan kulitnya longgar. Berat
badan turun menjadi kurang dari 60% berat badan menurut usianya. Suhu tubuh bisa rendah
karena lapisan penahan panas hilang (Nurarif & Kusuma, 2015)
Selain itu manifestasi klinik Menurut Ngastiyah (2005 : 259) tanda dan gejala dari marasmus
adalah
1.8 Penatalaksanaan
1. Keadaan ini memerlukan diet yang berisi jumlah cukup protein. Diit tinggi kalori,
protein, mineral dan vitamin
2. Pemberian terapi cairan dan elektrolit
3. Penatalaksanaan segera setiap masalah akut seperti masalah diare berat
4. Pengkajian riwayat status ekonomi, kaji riwayat pola makan, pengkajian,
antopometri, kaji manifestasi klinis, monitor hasil laboratorium, timbang berat
badan, kaji tanda-tanda vital.
Menurut Mansjoer (2000 : 514 – 517) penatalaksanan marasmus adalah :
2. Atasi/cegah hipotermia
Bila suhu rektal < 35,5oC
Pemberian nutrisi harus dimulai segera setelah anak dirawat dan harus
dirancang sedemikian rupa sehingga cukup energi dan protein untuk
memenuhi metabolisme basal.
1.9 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi menurut (Markum : 1999 : 168) defisiensi
Vitamin A, infestasi cacing, dermatis tuberkulosis, bronkopneumonia, noma, anemia,
gagal tumbuh serta keterlambatan perkembangan mental dan psikomotor.
a. Defisiensi Vitamin A
Umumnya terjadi karena masukan yang kurang atau absorbsi yang terganggu.
Malabsorbsi ini dijumpai pada anak yang menderita malnurtrisi, sering terjangkit
infeksi enteritis, salmonelosis, infeksi saluran nafas) atau pada penyakit hati.
Karena Vitamin A larut dalam lemak, masukan lemak yang kurang dapat
menimbulkan gangguan absorbsi.
b. Infestasi Cacing
Gizi kurang mempunyai kecenderungan untuk mudahnya terjadi infeksi
khususnya gastroenteritis. Pada anak dengan gizi buruk/kurang gizi investasi
parasit seperti cacing yang jumlahnya meningkat pada anak dengan gizi kurang.
c. Tuberkulosis
Ketika terinfeksi pertama kali oleh bakteri tuberkolosis, anak akan
membentuk “tuberkolosis primer”. Gambaran yang utama adalah pembesaran
kelenjar limfe pada pangkal paru (kelenjar hilus), yang terletak dekat bronkus
utama dan pembuluh darah. Jika pembesaran menghebat, penekanan pada bronkus
mungkin dapat menyebabkanya tersumbat, sehingga tidak ada udara yang dapat
memasuki bagian paru, yang selanjutnya yang terinfeksi. Pada sebagian besar
kasus, biasanya menyembuh dan meninggalkan sedikit kekebalan terhadap
penyakit ini. Pada anak dengan keadaan umum dan gizi yang jelek, kelenjar dapat
memecahkan ke dalam bronkus, menyebarkan infeksi dan mengakibatkan penyakit
paru yang luas.
d. Bronkopneumonia
Pada anak yang menderita kekurangan kalori-protein dengan kelemahan otot
yang menyeluruh atau menderita poliomeilisis dan kelemahan otot pernapasan.
Anak mungkin tidak dapat batuk dengan baik untuk menghilangkan sumbatan pus.
Kenyataan ini lebih sering menimbulkan pneumonia, yang mungkin mengenai
banyak bagian kecil tersebar di paru (bronkopneumonia).
e. Noma
Penyakit mulut ini merupakan salah satu komplikasi kekurangan kalori-
protein berat yang perlu segera ditangani, kerena sifatnya sangat destruktif dan
akut. Kerusakan dapat terjadi pada jaringan lunak maupun jaringan tulang sekitar
rongga mulut. Gejala yang khas adalah bau busuk yang sangat keras. Luka
bermula dengan bintik hitam berbau diselaput mulut. Pada tahap berikutnya bintik
ini akan mendestruksi jaringan lunak sekitarnya dan lebih mendalam. Sehingga
dari luar akan terlihat lubang kecil dan berbau busuk.
ASUHAN KEPERAWATAN TEORI
PADA KLIEN MARASMUS
I. PENGKAJIAN
Pengkajian fokus pada penderita marasmus antara lain :
1. Riwayat Kesehatan
Biasanya penderita marsmus sering dibarengi dengan diare, peningkatan suhu
tubuh, penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, dan perubahan aktifitas.
2. Riwayat penyakit terdahulu
Biasanya pada penderita marasmus memiliki riwayat prematur, diit yang tidak baik
dan sering sakit-sakitan karena terjadi penurunan ketahanan tubuh.
3. Riwayat keluarga
Ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit yang sama dengan pasien, atau
menderita penyakit seperti asma, TBC, jantung dan Diabetes Melitus.
4. Pola-pola fungsi kesehatan meliputi :
Pola nutrisi : Pada penderita marasmus biasanya mengalami penurunan nafsu
makan dan mual muntah
Pola eliminasi : penderita marasmus biasanya sering disertai dengan diare
Pola aktifitas : penderita marasmus biasanya mengalami gangguan dengan
aktifitasnya karena mengalami kelemahan tubuh yang disebabkan adanya
gangguan metabolisme.
Pola istirahat dan tidur : anak dengan marasmus biasanya sering rewel karena
selalu merasa lapar mesipun sudah diberi susu sehingga sering terbangun pada
malam hari.
5. Pengakjian fisik
a. Keadaan umum yang meliputi:
Kesadaran yang menurun (apati) terdapat pada penderita marasmus yang berat,
berat badan menurut usia < 60% dari berat badan normal usianya, kebersihan
kurang. Pada umumnya tekanan darah penderita marasmus lebih rendah
dibandingkan dengan anak sehat seumur.
b. Kepala : lingkar kepala biasanya lebih kecil dari ukuran normal
c. Rambut Kepala :tampak rambut yang kering, tipis dan mudah
rontok, berserabut, rapuh, pudar, depigmentasi
d. Sistem Neurologis : Lesu, peka rangsang, letargi, apatis
e. Wajah : Penderita marasmus tampak seperti wajah orang tua.
f. Mata : pada penderita marasmus biasanya konjungtiva anemis
g. Hidung : pada penderita marasmus biasanya terpasang sonde untuk memnuhi
intake nutrisi, terdapat sekret
h. Mulut : biasanya terdapat lesi dan mukosa bibir kering
i. Leher : biasanya leher mengalami kaku kuduk
j. Torax : ada tarikan dinding dada, weezing, ronchi, frekuensi pernafasan yang
mengurang
k. Jantung : Tidak jarang terdapat bradikardi
l. Sistem Darah : Pada umumnya ditemukan kadar hemoglobin yang agak rendah
m. Abdomen : ada acites, bising usus meningkat, suara hipertympani, distensi,
lembek, menonjol besar, perototan buruk
n. Ekstermitas
Ekstermitas atas : lingkar lengan atas standar normal, akral hangat
Ekstermitas bawah : edema tungkai
o. Integumen : Lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit mengurang,
kapilary refill lebih dari 3 detik, kulit keriput
6. Pemeriksaan penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama jenis
normositik normokrom karena adanya gangguan sistem eritropoesis akibat
hipoplasia kronis sum-sum tulang di samping karena asupan zat besi yang kurang
dalam makanan, kerusakan hati dan gangguan absorbsi. Selain itu dapat ditemukan
kadar albumin serum yang menurun. Pemeriksaan neurologis juga perlu dilakukan
untuk menemukan adanya kelainan pada paru.
No Intervensi Rasional
.
1 Identifikasi penyebab gangguan Untuk mengkaji keadaan pasien
integritas kulit
2 Anjurkan minum air yang cukup Untuk mencegah dehidrasi tubuh dan tetap
menjaga kesegaran kulit
3 Anjurkan meningkatkan asupan Agar asupan nutrisi dalam tubuh tetap adekuat dan
nutrisi terpenuhi
No Intervensi Rasional
.
1 Identifikasi status nutrisi Untuk mengetahui status nutrisi pasien saat itu
No Intervensi Rasional
.
1 Monitor tanda dan gejala infeksi untuk mengetahui keadaan dan lokasi infeksi
lokal dan sistemik
3 Anjurkan meningkatkan asupan Agar asupan nutrisi dalam tubuh tetap adekuat dan
nutrisi terpenuhi
IV. PELAKSANAAN
Implementasi keperawatan adalah pelaksanaan dari rencana intervensi keperawatan
yang telah direncanakan oleh perawat dan merupakan tahap keempat dari proses
keperawatan yang dimulai setelah perawat menyusun rencana keperawatan.
V. EVALUASI
Evaluasi adalah membandingkan suatu hasil/perbuatan dengan standar untuk tujuan
pengambilan keputusan yang tepat sejauh mana tujuan tercapai.
DAFTAR PUSTAKA
Mansjore, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Anak, Jilid 1. Jakarta : FKUI
Behman, R.E. 1999. Ilmu Kesehatan Anak : Nelson Edisi 15 vol 1. Jakarta : EGC
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia : Definisi dan kriteria hasil
keperawatan, edisi 1. Jakarta: DPP PPNI
file:///C:/Users/SAMSUNG/Downloads/jtptunimus-gdl-laelakurni-5152-2-bab2.pdf diakses
pada tanggal 3 February 2020 pada pukul 12.00
TUGAS KEPERAWATAN ANAK
DOSEN PEMBIMBING :
Indriatie, S.Kp., M.MKes.
DISUSUN OLEH :
1. Salda Aisyah Hediani (P27820118050)
2. Evi Ayu Sejati (P27820118070)
3. Nur Annisa Citra. P (P27820118071)
4. Rika Fatmawati (P27820118089)
TINGKAT II REGULER B
A. Pengertian
Kejang demam pada anak merupakan masalah sehari-hari yang sering terjadi, dan kita
tidak boleh luput untuk mengenali bagaimana penatalaksanaan yang terbaik terhadap
kejang demam pada anak.
Kejang demam sendiri terdiri dari 2 kata yang harus dipenuhi yaitu kejang dan
demam, yang berarti kejang yang terjadi disebabkan oleh demam dengan kenaikan suhu
tubuh mencapai di atas 38ᵒC. Dikatakan kejang demam pada anak apabila terjadi pada
anak usia 6 bulan – 5 tahun, tidak ada gangguan elektrolit, tidak ada gangguan
metabolisme, dan tidak ada kelainan sistem saraf pusat. Kejang demam pada anak murni
diakibatkan dari respon tubuh karena adanya demam yang diakibatkan oleh infeksi selain
infeksi dari sistem saraf pusat. Infeksi bisa terjadi karena ISPA (Infeksi Saluran
Pernafasan Akut), ada masalah pada telinga, pada anak-anak yang menggunakan
pampers cukup sering sehingga terjadi infeksi pada saluran kemih yang menyebabkan
demam dan menimbulkan kejang.
Menurut Wikipedia Ensiclopedia Bebas, Kejang demam merupakan penyakit yang
lazim ditemui pada bayi dan anak usia 6 bulan sampai 5 tahun dan paling sering ditemui
pada usia 9-20 bulan. Kejang demam merupakan penyakit yang diturunkan, jika orang
tua pernah mengalami kejang deman maka anak mereka berpotensi sangat besar untuk
mengalami kejang demam. Kejang demam biasanya dianggap sebagai kondisi yang tidak
membahayakan. Kejang yang terjadi biasanya bersifat lokal pada awalnya dan hanya
akan menjadi kejang umum jika terdapat peningkatan suhu tubuh pasien yang melewati
ambang batas. Kejang akibat demam jarang sekali berlangsung lebih dari beberapa menit,
selain itu umunya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan Elektro Enchepalo Graphi
(EEG) saat kejang terjadi dan pasien memiliki kemungkinan untuk sembuh sempurna.
Kejang demam biasanya timbul pada anak dengan suhu tubuh diatas 38 °C (100.4 °F).
Selain itu infeksi virus atau bakteri dan bahkan imunisasi yang menyebabkan demam
tinggi seperti herpes virus dapat menjadi faktor penyebab dari kejang demam. Hingga
saat ini masih belum ditemukan obat profilaksis antiepilepsi untuk mencegah terjadinya
kejang demam.
B. Epidemiologi
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4
tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang
demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada perempuan. Hal
tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral yang lebih cepat
dibandingkan laki-laki. (ME. Sumijati, 2000;72-73).
Faktor resiko penyebab anak-anak usia 6 bulan – 5 tahun rentan terhadap kejang
demam yaitu karena pada usia tersebut otak belum matang sempurna dan pusat pengatur
suhu tubuhnya juga belum sempurna sehingga akan beresiko kejang, terutama saat suhu
tubuhnya tinggi. Pada saat suhu tubuh tinggi kebutuhan oksigen akan meningkat. Faktor
resiko lain juga bisa disebabkan oleh adanya riwayat kejang pada keluarga.
C. Etiologi
Penyebab kejang demam belum diketahui dengan pasti, namun disebutkan penyebab
utama kejang demam ialah demam yag tinggi. Menurut Arif Mansjoer. 2000) demam
yang terjadi sering disebabkan oleh :
1. Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA)
2. Gangguan metabolik
3. Penyakit infeksi diluar susunan saraf misalnya tonsilitis, otitis media, bronchitis.
4. Keracunan obat
5. Faktor herediter
6. Idiopatik.
Selain penyebab diatas Ada 5 Faktor yang mempengaruhi kejang, faktor – faktor tersebut
adalah
1. Umur
a. Kurang lebih 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah mengalami
kejang demam.
b. Jarang terjadi pada anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
c. Insiden tertinggi didapatkan pada umur 2 tahun dan menurun setelah berumur 4
tahun. Hal ini mungkin disebabkan adanya kenaikan dari ambang kejang sesuai
dengan bertambahnya umur. Serangan pertama biasanya terjadi dalam 2 tahu
pertama dan kemudian menurun dengan bertambahnya umur.
2. Jenis kelamin
Kejang demam lebih sering didapatkan pada anak laki-laki daripada anak perempuan
dengan perbandingan 2:1. Hal tersebut mungkin disebabkan oleh karena pada wanita
didapatkan kematangan otak yang lebih cepat dibanding laki-laki.
3. Suhu badan
Adanya kenaikan suhu badan merupakan suatu syarat untuk terjadinya kejang demam.
Tingginya suhu badan pada saat timbulnya serangan merupakan nilai ambang kejang.
Ambang kejang berbeda-beda untuk setiap anak, berkisar antara 38.30C – 41.40C.
Adanya perbedaan ambang kejang ini dapat menerangkan mengapa pada seseorang
anak baru timbul kejang sesudah suhu meningkat sangat tinggi sedangkan pada anak
lainnya kejang sudah timbul walaupun suhu meningkat tidak terlalu tinggi.
4. Faktor keturunan
Faktor keturunan memegang peranan penting untuk terjadinya kejang demam.
Beberapa penulis mendapatkan 25 – 50% daripada pada anak dengan kejang demam
mempunyai anggota keluarga yang pernah mengalami kejang demam sekurang-
kurangnya sekali.
D. Patofisiologi
Peningkatan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu singkat terjadi difusi ion kalium dan natrium melalui membran tersebut
dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya
sehingga dapat meluas keseluruh sel maupun membran sel sekitarnya dengan bantuan
bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadi kejang. Kejang demam yang terjadi
singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak meninggalkan gejala sisa. Tetapi kejang
yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya
kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat yang disebabkan oleh metabolisme anaerobik,
hipotensi arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin
meningkat yang disebabkan oleh makin meningkatnya aktivitas otot, dan selanjutnya
menyebabkan metabolisme otak meningkat. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran
darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga meningkatkan permeabilitas kapiler dan
timbul edema otak yang mngakibatkan kerusakan sel neuron otak. Kerusakan pada daerah
medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama dapat
menjadi matang di kemudian hari sehingga terjadi serangan epilepsi spontan, karena itu
kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis di otak
hingga terjadi epilepsi.
E. Pathway
F. Klasifikasi
Klasifikasi kejang demam menurut Fukuyama dibedakan menjadi dua yaitu kejang
demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana harus
memenuhi semua kreteria antara lain : keluarga penderita tidak ada riwayat epilepsy,
sebelumnya tidak ada riwayat cedera otak oleh penyebab apapun, serangan kejang demam
yang pertama terjadi antara usia 6 bulan sampai 6 tahun, lamanya kejang berlangsung
tidak lebih dari 20 menit, kejang tidak bersifat fokal, tidak didapatkan gangguan atau
abnormalitas pasca kejang, sebelumnya juga tidak didapatkan abnormalitas neurologis
atau abnormal perkembangan, kejang tidak berulang dalam waktu singkat. Bila kejang
demam tidak memenuhi kriteria tersebut di atas maka digolongkan sebagai kejang deman
jenis kompleks. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15
menit, fokal atau multiple (lebih daripada 1 kali kejang perepisode demam).
Ciri-ciri kejang demam sederhana :
• Usia anak 6 bulan – 6 tahun
• Demam tinggi (> 38,5 derajat C)
• Kejang umum (seluruh tubuh)
• Tak sadar
• Mata mendelik keatas
• Nafas agak terganggu
• Mulut berbusa
• Mungkin ngompol dan muntah
• Berlangsung < 15 menit
• Pasca kejang anak tampak diam, mengantuk, tertidur yang berlansung beberapa detik
atau menit kemudian pulih seperti biasa
• Tidak ditemukan kelainan fungsi saraf sebelum maupun sesudah kejang.
• Kejang tidak berulang dalam 24 jam
• Kejang tidak berulang > 4 kali dalam setahun
G. Manifestasi klinis
Adapun tanda gejala yang dapat ditemukan yaitu :
a. Serangan kejang klonik atau tonik-klonik bilateral
b. Mata terbalik ke atas
c. Gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan atau hanya sentakan atau
kekakuan fokal
d. Umumnya kejang berlangsung kurang dari 6 menit, kurang dari 8% berlangsung
lebih dari 15 menit
e. Kejang dapat diikuti hemiparesis sementara (hemiparesis todd),
f. Suhu 38°c atau lebih
H. Pemeriksaan diagnostik
1. EEG
Untuk membuktikan jenis kejang fokal / gangguan difusi otak akibat lesi organik,
melalui pengukuran EEG ini dilakukan 1 minggu atau kurang setelah kejang.
2. CT SCAN
Untuk mengidentifikasi lesi serebral, mis: infark, hematoma, edema serebral, dan
Abses.
3. Pungsi Lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal (cairan yang ada di otak dan
kanal tulang belakang) untuk meneliti kecurigaan meningitis.
4. Laboratorium
Darah tepi, lengkap ( Hb, Ht, Leukosit, Trombosit ) mengetahui sejak dini apabila ada
komplikasi dan penyakit kejang demam. (Arif Mansyoer,2000)
I. Penatalaksanaan Medis
Dalam penatalaksanaan kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan yaitu :
a. Pengobatan Fase Akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu kejang pasien dimiringkan
untuk mencegah aspirasi ludah atau muntahan. Jalan napas harus bebas agar
oksigenisasi terjamin. Perhatikan keadaan vital seperti kesadaran, tekanan darah, suhu,
pernapasan dan fungsi jantung. Suhu tubuh tinggi diturunkan dengan kompres air dan
pemberian antipiretik.
Obat yang paling cepat menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan
intravena atau intrarektal. Dosis diazepam intravena 0,3-0,5 mg/kgBB/kali dengan
kecepatan 1-2 mg/menit dengan dosis maksimal 20 mg. bila kejang berhenti sebelum
diazepam habis, hentikan penyuntikan, tunggu sebentar, dan bila tidak timbul kejang
lagi jarum dicabut. Bila diazepam intravena tidak tersedia atau pemberiannya sulit
gunakan diazepam intrarektal 5 mg (BB<10>10kg). bila kejang tidak berhenti dapat
diulang selang 5 menit kemudian. Bila tidak berhenti juga, berikan fenitoin dengan
dosis awal 10-20 mg/kgBB secara intravena perlahan-lahan 1 mg/kgBb/menit. Setelah
pemberian fenitoin, harus dilakukan pembilasan dengan Nacl fisiologis karena fenitoin
bersifat basa dan menyebabkan iritasi vena.
Bila kejang berhenti dengan diazepam, lanjutkan dengan fenobarbital diberikan
langsung setelah kejang berhenti. Dosis awal untuk bayi 1 bulan -1 tahun 50 mg dan
umur 1 tahun ke atas 75 mg secara intramuscular. Empat jama kemudian diberikan
fenobarbital dosis rumat. Untuk 2 hari pertama dengan dosis 8-10 mg/kgBB/hari
dibagi dalam 2 dosis, untuk hari-hari berikutnya dengan dosis 4-5 mg/kgBB/hari
dibagi 2 dosis. Selama keadaan belum membaik, obat diberikan secara suntikan dan
setelah membaik per oral. Perhatikan bahwa dosis total tidak melebihi 200mg/hari.
Efek sampingnya adalah hipotensi,penurunan kesadaran dan depresi pernapasan. Bila
kejang berhenti dengan fenitoin,lanjutkna fenitoin dengan dosis 4-8mg/KgBB/hari,
12-24 jam setelah dosis awal.
c. Pengobatan profilaksis
Ada 2 cara profilaksis, yaitu (1) profilaksis intermiten saat demam atau (2)
profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan setiap hari. Untuk profilaksis
intermiten diberian diazepam secara oral dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgBB/hari dibagi
menjadi 3 dosis saat pasien demam. Diazepam dapat diberikan pula secara intrarektal
tiap 8 jam sebanyak 5mg (BB<10kg)>10kg) setiap pasien menunjukkan suhu lebih
dari 38,5 0 C. efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotonia.
Profilaksis terus menerus berguna untuk mencegah berulangnya kejang demam berat
yang dapat menyebabkan kerusakan otak tapi tidak dapat mencegah terjadinya
epilepsy dikemudian hari. Profilaksis terus menerus setiap hari dengan fenobarbital 4-
5mg.kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Obat lain yang dapat digunakan adalah asam
valproat dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari. Antikonvulsan profilaksis selama 1-2
tahun setelah kejang terakhir dan dihentikan bertahap selama 1-2 bulan
Profilaksis terus menerus dapat dipertimbangkan bila ada 2 kriteria (termasuk poin 1
atau 2) yaitu :
- Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan neurologist atau
perkembangan (misalnya serebral palsi atau mikrosefal)
- Kejang demam lebih dari 15 menit, fokal, atau diikuti kelainan neurologist sementara
dan menetap.
- Ada riwayat kejang tanpa demma pada orang tua atau saudara kandung.
- Bila kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12 bulan atau terjadi
kejang multiple dalam satu episode demam.
Bila hanya mmenuhi satu criteria saja dan ingin memberikan obat jangka panjang
maka berikan profilaksis intermiten yaitu pada waktu anak demam dengan diazepam
oral atau rectal tuap 8 jam disamping antipiretik.
J. Komplikasi
Menurut Arif Mansyoer (2000) kejang demam dapat mengakibatkan :
a. Kerusakan sel otak
b. Penurunan IQ pada kejang demam yang berlangsung lama lebih dari 15 menit dan
bersifat unilateral
c. Kelumpuhan
a. PENGKAJIAN
1. Pengumpulan Data
1.1 Identitas Klien
Kejang demam paling sering terjadi pada anak usia 2 tahun dan
menurun setelah 4 tahun. Hal ini mnugkin disebabkan kenaikan dari
ambang kejang sesuai dengan pertambahan umur. Kejang demam jarang
terjadi pada anak berumur kurang dari 6 bulan atau lebih dari 5 tahun.
Kejang demam lebih sering dialami oleh anak laki-laki daripada anak
perempuan dengan perbandingan 2:1. Kemungkinan ini disebabkan oleh
kematangan susunan saraf pusat pada perempuan lebih cepat dibandingkan
laki-laki.
1.2 Keluhan Utama
Biasanya keluhan dengan kasus Kejang Demam ini, keluarga pasien
mengeluh bahwa anaknya panas tinggi kemudian kejang.
1.3 Riwayat Kesehatan Sekarang
Biasanya anak/bayi tersebut panasnya tinggi, kejang disertai dengan sesak
nafas yang terjadi secara tiba-tiba atau mendadak.
1.4 Riwayat Kesehatan Dahulu
Biasanya anak mempunyai riwayat penyakit epilepsy
1.5 Riwayat Kesehatan Keluarga
Klien dengan epilepsy ini biasanya berasal/diturunkan dari anggota
keluarga/orang tuanya, karena kejang demam yang disebabkan oleh
epilepsi tersebut adalah merupakan penyakit menurun/genetic.
1.6 Pemeriksaan Fisik
a. Pola persepsi dan tata laksana kesehatan
Klien dengan kejang demam, tidak bermasalah dalam pola
persepsi dan tata laksana hidup sehat.
b. Pola nutrisi dan metabolic
Dalam pola ini tidak ada masalah selama klien tidak demam,
klien mau makan.
c. Pola eliminasi
Pada pola ini tidak ada masalah
d. Pola istirahat dan tidur
Klien mengalami gangguan tidur apabila panas tinggi, tetapi
apabila panasnya sudah turun klien dapat tidur secara normal.
e. Pola aktivitas dan latihan
Biasanya klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti
biasanya layaknya seorang anak kecil (selama tidak terjadi serangan)
dan apabila serangan tersevut timbul maka klien dapat jatuh atau
cedera, lidah bisa tergigit.
f. Pola persepsi dan konsep diri
Biasanya pada kasus ini, yang mengalami gangguan persepsi
dan konsep diri adalah orang tuanya karena penyakit ini adalah
penyakit keturunan dan mereka (orang tua) takut apabila anak mereka
berikutnya juga dapat mengalami penyakit tersebut.
g. Pola sensori dan kognitif
Panca indera klien tidak mengalami gangguan. Keluarga klien
biasanya kurang mengetahui tentang cara penanganan anaknya
apabila mengalami kejang demam.
h. Pola reproduksi dan seksual
Alat kelamin anak (klien tidak mengalami gangguan)
i. Pola hubungan dan peran
Biasanya keluarga klien mengalami gangguan dalam pola ini
karena penyakit ini (apabila penyebabnya epilepsy) adalah keturunan
sehingga orang tua merasa bersalah dan kadang-kadang merasa malu.
j. Pola penanggulangan stress
Dalam pola ini tidak ada masalah pada klien, tetapi bermasalah
pada keluarga klien.
k. Pola tata nilai dan keyakinan
Dalam pola ini tidak ada masalah.
1.7 Pemeriksaan
a. Keadaan umum
Biasanya pada klien dengan kejang demam keadaan umumnya
adalah lemah, tubuh panas tinggi dan anak cenderung menangis.
b. Pemeriksaan fisik
- Inspeksi : Klien terlihat lemas, nafas tersengal-sengal,
telapak tangan dan kaki kebiruan, kejang, panas (suhu tubuh
≥37,5℃) keluar keringat dingin, adanya sekret.
- Palpasi : Akral dingin
- Auskultasi: Suara nafas cepat dangkal, nadi 120x/menit, RR :
24x/menit.
c. Pemeriksaan Laboratorium
1) Darah lengkap
- Glukosa darah : mengalami penurunan konsentrasi
- Elektrolit : Intoksikasi air, kalium serum yang rendah di
bawah 5mg/100 ml, konsentreksi ion magnesium atau hidrogen
yang rendah.
- Bahan toksik : Kadar anti konvulsan dalam darah rendah.
2) Urine lengkap : Bahan toxic dalam urine kadang ada
3) Cairan serebro spinal (CSS) : terdapat leukosit meningkat,
adanya penurunan glukosa.
4) EEG (Elektro Enchepalografi)
Pada EEG ini ada 3 gelombang, yaitu gelombang alfa,
gelombang beta. Dan gelombang delta. Gelombang alfa terlihat
sebagian besar orang normal ketika mereka sadar dan dalam keadaan
istirahat mental.
Gelombang beta terlihat pada anak-anak. Gelombang delta
terlihat pada anak muda dan dalam tidur yang dalam pada
pemeriksaan EEG ini pada saat suatu serangan granmal amplitudo
besar, frekuensi tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas dapat
melibatkan sistem aktivitas retikuler dalam batang otak sehingga
bagian korteks distimulasi dan menjadi aktif pada saat yang sama.
Pada serangan apetitinal pola berbeda, yaitu pola paku dan kubah
terhadap seluruh otak. Hal ini dapat juga memperlihatkan pelepasan
muatan yang abnormal yang timbul dari satu titik saja, menunjukkan
suatulesi orak pada titik tersebut (Rosa M. Socharin, Prinsip
Keperawatan Pediatrik, 1993).
2. Analisa Data
2.1 -Data Mayor : - Pasien sesak nafas
- Data Minor : - Nafas tersengal-sengal, cepat dangkal, adanya sekret.
- Pasien terlihat lemas
- Telapak tangan dan kaki serta bibir kebiruan
- Akral dingin
- Nadi 120x/menit, RR 34x/menit
- Kemungkinan penyebab : Penumpukan sekret
- Masalah : Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
2.4 – Data mayor : Keluarga pasien mengatakan tidak tahu tentang tata
cara penanganan anaknya apabila serangan kejang timbul
- Data minor : -
- Kemungkinan penyebab : kurang informasi
- Masalah : Kurangnya pengetahuan tentang cara penanganan
penderita selama kejang.
b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Resiko Aspirasi d.d penurunan tingkat kesadaran (Sdki D.0006)
2. Resiko cidera d.d kegagalan mekanisme tubuh (Sdki D.0136)
3. Hipertermia b.d peningkatan laju metabolisme d.d kejang (Sdki D.0130)
c. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Resiko Aspirasi d.d penurunan tingkat kesadaran
Tujuan : Dengan melakukan asuhan keperawatan selama 1x 24 jam
diharapkan tingkat aspirasi menurun
KH : - Tingkat kesadaran meningkat
- Kemampuan menelan meningkat
- Frekuensi nafas membaik
Rencana tindakan
a. Monitor pola nafas Klien
b. Monitor tingkat kesadaran dan kemampuan menelan
c. Pertahankan kepatenan jalan nafas dengab head - tilt
d. Berikan oksigen, jika perlu
e. EVALUASI
Evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dari rencana tindakan dari maslaah
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara
berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Arif Mansjoer, dkk,. Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2, Edisi III. Media Aesculapius,
Jakarta. 2001
Lynda Juall Carpenti. Diagnosa Keperawatan. Edisi III, Jakarta, EGC.1999
Ditjen Yankes. 2019. Kejang Demam Pada Anak. Diakses pada 01 Februari 2020, dari
www.yankes.kemenkes.go.id/read-kejang-demam-pada-anak-7030.html
Majalah Ar-Risalah. 2020. Kejang Demam Pada Anak. Diakses pada 01 Februari
2020, dari https://www.arrisalah.net/kejang-demam-pada-anak/
Dibimbing Oleh :
Disusun Oleh :
TINGKAT II REGULER B
A. PENGERTIAN
Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2010).
Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak
sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun
tidak berhubungan langsung dengan rectum. ( agung hidayat, 2009 )
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi & Yuliani, R, 2010).
B. ETIOLOGI
1. Secara pasti belum diketahui
2. Merupakan anomali gastrointestinal dan genitourynari
Namun ada sumber yang mengatakan kelainan anus bawaan disebabkan oleh:
a. Karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit karena gangguan
pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik.
b. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan dubur, sehingga bayi lahir tanpa lubang
anus.
c. Gangguan organogenesis dalam kandungan penyebab atresia ani, karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
d. Kelainan bawaan , dimana sfingter internal mungkin tidak memadai. (Betz. Ed 7. 2012)
C. PATOFISIOLOGI
Terjadinya anus imperforata karena kelainan congenital dimana saat proses
perkembangan embrionik tidak lengkap pada proses perkembangan anus dan rectum. Dalam
perkembangan selanjutnya ujung ekor dari belakang berkembang jadi kloaka yang juga akan
berkembang jadi genitor urinary dan struktur anoretal.
Atresia ani ini terjadi karena tidak sempurnanya migrasi dan perkembangan kolon
antara 7-10 minggu selama perkembangan janin. Kegagalan tersebut terjadi karena
abnormalitas pada daerah uterus dan vagina, atau juga pada proses obstruksi. Anus
imperforate ini terjadi karena tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga
menyebabkan feses tidak dapat dikeluarkan.
Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstuksi dan adanya 'fistula. Obstuksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperchloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara
rectum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina)
atau perineum (rektovestibuler). Pada laki- laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula
menuju ke vesika urinaria atau ke prostate (rektovesika) pada letak rendah fistula menuju ke
urethra (rektourethralis). (Mediana,2011)
D. PATHWAY
Faktor kongenital dan faktor lain
Yang tidak diketahui / Idiopatik
ATRESIA ANI
F. MANIFESTASI KLINIS
Tanda dan gejala yang khas pada klien antresia ani seperti :
1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya
4. Distensi bertahap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6. Pada pemeriksaan rectal touché terdapat adanya membran anal.
7. Perut kembung. ( Amin Huda & hardhi Kusuma, 2015 )
G. PENATALAKSANAAN
35
Penatalaksanaan pada klien dengan atresia ani menurut Aziz Alimul Hidayat (2010), Suriadi
dan Rita Yuliani ( 2011 ), Fitri Purwanto ( 2009 ) adalah sebagai berikut :
1. Penatalaksanaan Medis
a. Therapi pembedahan pada bayi baru lahir bervariasi sesuai dengan keparahan defek.
Untuk anomaly tinggi dilakukan colostomi beberapa hari setelah lahir, bedah
definitifnya yaitu anoplasti perineal ( prosedur penarikan perineum abdominal ).
Untuk lesi rendah diatasi dengan menarik kantong rectal melalui sfingter sampai
lubang pada kulit anal, fistula bila ada harus ditutup. Defek membranosa
memerlukan tindakan pembedahan yang minimal yaitu membran tersebut dilubangi
dengan hemostat atau scalpel.
b. Pemberian cairan parenteral seperti KAEN 3B
c. Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk mencegah infeksi pada
pasca operasi.
d. Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.
2. Penatalaksanaan Keperawatan
a. Monitor status hidrasi ( keseimbangan cairan tubuh intake dan output ) dan ukur
TTV tiap 3 jam.
b. Lakukan monitor status gizi seperti timbang berat badan, turgor kulit, bising usus,
jumlah asupan parental dan enteral.
c. Lakukan perawatan colostomy, ganti colostomybag bila ada produksi, jaga kulit tetap
kering.
d. Atur posisi tidur bayi kearah letak colostomy.
e. Berikan penjelasan pada keluarga tentang perawatan colostomy dengan cara
membersihkan dengan kapas air hangat kemudian keringkan dan daerah sekitar
ostoma diberi zing zalf, colostomybag diganti segera setiap ada produksi.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan penunjang sebagai berikut :
1. Pemeriksaan radiologist
Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
2. Sinar X terhadap abdomen
Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui
jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
3. Ultrasound terhadap abdomen
36
Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
4. CT Scan
Digunakan untuk menentukan lesi.
5. Pyelografi intra vena
Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
6. Pemeriksaan fisik rectum
Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
7. Rontgenogram abdomen dan pelvis
Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan
traktus urinarius. (Betz. Ed 7. 2012)
I. KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
1. Obstruksi
2. Perforasi
3. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
4. Komplikasi jangka panjang.
a. Eversi mukosa anal
b. Stenosis
5. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
6. Inkontinensia (akibat stenosis awal )
7. Prolaps mukosa anorektal.
8. Fistula kambuan (karena ketegangan diare pembedahan dan infeksi)
9. Sepsis. (Wong, Whaley.2011)
37
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
ATRESIA ANI
A. PENGKAJIAN
1. Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur, agama,
pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status perkawinan, dan
penanggung biaya.
1. Keluhan Utama
Pasien yang datang ke Rumah Sakit biasanya mengeluh tidak dapat BAB
dikarenakan tidak memiliki lubang anus.
Pasien pernah dirawat di Rumah Sakit selama beberapa hari dengan keluhan
penyakit yang sama.
38
5. Pola Kognitif & Perseptual
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya
ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
6. Pola Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort.
Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan
operasi
7. Pola Hubungan Peran
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit.
Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik
untuk melaksanakan peran
8. Pola Reproduktif dan Sexual
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi
9. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi,
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan
10. Pola Keyakinan dan Nilai
Untuk menerangkan sikap, keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang
dipeluk dan konsekuensinya dalam keseharian. Dengan ini diharapkan perawat
dalam memberikan motivasi dan pendekatan terhadap klien dalam upaya
pelaksanaan ibadah.
3. Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak
merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan
hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan
vagina. (Mediana,2011)
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
39
c. Peningkatan suhu tubuh / Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan,
pengeluaran inter Leukin I.
2. Post Operasi
a. Nyeri Akut berhubungan dengan insisi pembedahan.
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa INTERVENSI RASIONAL
Keperawatan
Pre Operasi
1. Ketidakseimbangan nutrisi 1. Kaji KU pasien 1. Mengetahui keadaan umum
kurang dari kebutuhan tubuh 2. Timbang berat badan pasien pasien
berhubungan dengan 3. Catat frekuensi mual, muntah 2.Mengantisipasi adanya
anoreksia, mual, muntah.
pasien malnutrisi
Tujuan : Setelah dilakukan 4. Catat masukan nutrisi pasien 3. Mengetahui output pasien
tindakan keperawatan selama 5. Beri motivasi pasien untuk 4. Mengetahui input pasien.
3x24 jam diharapkan pasien tidak meningkatkan asupan nutrisi 5. Untuk menambah nutrisi
terjadi kekurangan nutrisi. 6. Kolaborasi dengan ahli gizi pasien
dalam pengaturan menu 6. Mengetahui diit yang
Kriteria Hasil : dibutuhkan
1. Pasien tidak mengalami
penurunan berat badan
2. Turgor pasien baik
3. Pasien tidak mual, muntah
4. Nafsu makan bertambah
2. Deficit volume cairan . 1. Monitor intake – output cairan 1. 1. Mengantisipasi adanya
berhubungan dengan muntah 2. 2. Monitor status hidrasi dehidrasi.
berlebihan. (kelembapan membran mukosa,
2. 2.Perubahan status hidrasi,
nadi adekuat)
2. 3. Lakukan pemasangan infus dan membran mukosa, turgor kulit
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama berikan cairan IV menggambarkan berat ringannya
3x24 jam diharapkan kebutuhan 4. Pantau TTV kekurangan cairan.
40
volume cairanpasien terpenuhi 5. 5. Dorong keluarga untuk membantu2. 3. Mengetahui kehilangan cairan
pasien makan. melalui suhu tubuh yang tinggi.
Kriteria Hasil : 4.Mengetahui keadaan umum
1.Output urin 1-2 ml/kg/jam, pasien.
2.Capillary refill 3-5 detik, 5. Keluarga sebagai pendorong
3.Turgor kulit baik, membrane pemenuhan kebutuhan cairan
mukosa lembab klien.
4.Pengeluaran feses terkontrol
3. Peningkatan suhu tubuh / 1. Pantau tanda-tanda 1. Tanda-tanda vital merupakan
Hipertermi berhubungan vitalterutama suhu aluan untuk mengetahui
dengan proses peradangan, 2. air (1500-2000 cc/hari)Beri keadaan umum pasien
pengeluaran inter Leukin I. pasien banyak minum terutama suhu tubuhnya.
3. Beri pasien kompres air hangat 2. Dengan minum banyak air
Tujuan : Setelah dilakukan atau air dingin diharapkan cairan yang
tindakan keperawatan selama 3 4. Beri selimut pendingin hilang dapat diganti.
jam diharapkan suhu tubuh tidak 5. Pantau suhu lingkungan
panas lagi 3. Dengan kompres akan terjadi
6. Kolaborasi dalam pemberian perpindahan panas secara
obat antipiretik dan antibiotik konduksi dan kompres
Kriteria Hasil :
hangat akan mendilatasi
1. Suhu tubuh dalam rentang
pembuluh darah.
normal (36,5-37,50C)
2. Nadi dan RR dalam rentang 4. Untuk mengurangi demam
umumnya lebih besar dari
normal
39,5-400C dan untuk
3. Tidak ada perubahan warna mengurangi respon
kulit dan tidak pusing hipertermi.
5. Suhu ruangan harus dirubah
agar dapat membantu
mempertahankan suhu
pasien
6. Pemberian oabt antibiotik
unuk mencegah infeksi
pemberian obat antipiretik
untuk penurunan panas.
4. Ketidakefektifan Pola Nafas 1.Kaji frekuensi kedalaman 1. Kecepatan biasanya
berhubungan dengan sesak, pernafasan dan ekspansidada. mencapai kedalaman
distensi abdomen.
Catat upaya pernafasan termasuk pernafasan bervariasi
Tujuan : Setelah dilakukan penggunaan ototbantu pernafasan tergantung derajat gagal
tindakan keperawatan selama 3x24 / pelebaran nasal. nafas. Expansi dada terbatas
jam diharapkan pola nafas kembali 2.Auskultasi bunyi nafas dan catat yang berhubungan dengan
efektif. adanya bunyi nafas seperti atelektasis dan atau nyeri
krekels, wheezing. dada.
Kriteria Hasil : 3.Tinggikan kepala dan 2. ronki
1. Pola nafas efektif, bunyi nafas bantumengubah posisi. dan wheezing menyertai
normal atau bersih. 4.Observasi pola batuk dankarakter obstruksi jalannafas /
2. TTV dalam batas normal sekret. kegagalan pernafasan.
3. batuk berkurang, ekspansi 5.Dorong/bantu pasien dalamnafas 3. duduk
paru mengembang. dan latihan batuk. tinggi memungkinkan
ekspansiparu dan
memudahkan pernafasan.
4. Kongest
i alveolarmengakibatkan
batuk sering/iritasi.
41
5. mening
katkan/banyaknya sputum
dimana gangguanventilasi
dan ditambah ketidak
nyaman upaya bernafas.
4. Kecemasan / 1. 1. Jelaskan dg istilah yg dimengerti 1. 1. Agar orang tua mengerti
ansietasberhubungan dengan tentang anatomi dan fisiologi kondisi klien.
kurang pengetahuan tentang saluran pencernaan normal. 2. 2. Pengetahuan tersebut
penyakit dan prosedur 2. 2. Gunakan alat, media dan gambar. diharapkan dapat membantu
perawatan. 3. Beri informasi pada orang tua menurunkan kecemasan.
tentang operasi kolostomi 3. Membantu mengurangi
Tujuan : Setelah dilakukan kecemasan klien
tindakan keperawatan selama
1x24 jam diharapkan kecemasan
orang tua dapat berkurang.
Kriteria Hasil :
1. Pasien tidak lemas
2. Vital sign dalam batas normal
3. Menunjukkan tehnik untuk
mengontrol cemas
4. Postur tubuh, ekspresi wajah,
bahasa tubuh dan tingkat
aktivitas menunjukkan
berkurang nya kecemasan
Post Operasi
1. Nyeri Akut berhubungan 1. 1. Kaji tingkat nyeri yang dirasakan 1. Mengetahui tingkat nyeri
dengan insisi pembedahan. pasien. pada pasien.
2. 2. Berikan penjelasan pada pasien 2. Pasien mampu menerima apa
Tujuan : Setelah dilakukan
tentang nyeri yang terjadi. yang terjadi pada pasien.
tindakan keperawatan selama
1x24 jam diharapkan nyeri 3. 3. Ajarkan teknik relaksasi, 3.Mengurangi rasa nyeri 4.Agar
berkurang. distraksi. tidak terjadi imobilitas pada
4. 4. Bantu melakukan latihan rentang pasien.
Kriteria Hasil : gerak. 5.Mengurangi rasa nyeri pada
1. Nyeri berkurang 5. 5. Kolaborasi pemberian analgetik luka post operasi.
2. Pasien merasa tenang
3. Status lingkungan yang
nyaman
4. Mampu mengontrol nyeri
5. Status kenyamanan meningkat
6. Tidak ada perubahan tanda
vital
2. Gangguan eliminasi alvi 1. Kaji tingkat nyeri yang 1.Mengetahui pola BAB pasien
berhubungan dengan dirasakan pasien. 2. Mengetahui input dan output
penumpukan feses.
2. Ajarkan teknik relaksasi cairan yang ada dalam tubuh
distraksi. klien
Tujuan : Setelah dilakukan 3. Berikan posisi yang nyaman 3.Mengetahui adanya
tindakan keperawatan selama pada pasien. komplikasi
1x24 jam diharapkan tidak terjadi 4. Kolaborasi pemberian obat 4.Mengurangi rasa sakit
perubahan pola eliminasi BAB. sesuai indikasi.
42
Kriteria Hasil :
1. Pasien dapat BAB dengan
normal
2. Tidak ada perubahan pada
jumlah feses
3. Gangguan pola tidur 1. Pantau keadaan umum pasien 1. Mengetahui kesadaran, dan
berhubungan dengan persepsi dan TTV.
nyeri post pembedahan 2. Kaji Pola Tidur. kondisi tubuh dalam keadaan
3. Kaji fungsi pernapasan: bunyi normal atau tidak.
Tujuan : Setelah dilakukan napas, kecepatan, irama. 2. Untuk mengetahui
tindakan keperawatan 4. Kaji faktor yang menyebabkan
selama 1 x 24 jam diharapkan gangguan tidur (nyeri, takut, kemudahan dalam tidur.
pasien dapat istirahat tidur malam stress, ansietas, 3. Untuk mengetahui tingkat
dengan optimal. imobilitas,gangguan eliminasi
kegelisahan.
sepertisering
Kriteria Hasil : berkemih,gangguan 4. Untuk mengidentifikasi
1. Melaporkan istirahat tidur metabolisme, gangguan penyebab aktual dari
malam yang optimal. transportasi,lingkungan yang
asing, temperature,aktivitas gangguan tidur.
2. Tidak menunjukan perilaku
gelisah. yang tidak adekuat). 5. Untuk memantau seberapa
3. Wajah tidak pucat dan 5. Catat tindakan kemampuan jauh dapat bersikap tenang
konjungtiva mata tidak anemis untuk mengurangikegelisahan.
karena kurang tidur malam. 6. Ciptakan dan rilex.
4. Mempertahankan (atau suasananyaman, Kurangi atau 6. Untuk membantu relaksasi
membentuk) pola tidur yang hilangkan distraksi
saat tidur.
memberikan energi lingkungan dan gangguan tidur.
yang cukup untuk menjalani 7.Batasi pengunjung selama 7. Tidur akan sulit dilakukan
aktivitas sehari-hari. periode istirahat yang optimal tanpa relaksasi,
(mis; setelahmakan).
4. Resiko infeksi berhubungan 1. 1. Kaji KU pasien 1. Untuk mengetahui keadsaan
dengan prosedur pembedahan.2. 2. Observasi tanda-tanda infeksi umum pasien
3. Kolaborasi pemberian antibiotik 2.Mengetahui adanya tanda-
Tujuan : Setelah dilakukan
tanda infeksi
tindakan keperawatan
selama 2 x 24 jam diharapkan 3. Untuk meminimalkan jumlah
tidak ada tanda-tanda infeksi. bakteri
Kriteria Hasil :
1. Pasien bebas dari tanda dan
gejala infeksi
2. Menunjukkan kemampuan
untuk mencegah timbulnya
infeksi
5. Body image berhubungan 1. Kaji tingkat pengetahuan pasien 1. Mengidentifikasi luas
dengan colostomy. ttg kondisi dan pengobatan. masalah dan perlunya
2. Diskusi arti dari perubahan intervensi.
Tujuan : Setelah dilakukan pasien. 2. Beberapa pasien
tindakan keperawatan selama 3. Anjurkan orang terdekat memandang situasi
1x24 jam diharapkan nyeri memperlakukan pasien secara sebagai tantangan.
berkurang. normal dan bukan sebagai orang 3. Menyampaikan harapan
cacat bahwa pasien mampu
Kriteria Hasil :
untuk mengatur situasi
1. Body image positif
2. Mampu mengidentifikasi dan membantu untuk
43
kekuatan personal mempertahankan perasaan
3. Mempertahankan interaksi harga diri dan tujuan
sosial. hidup.
D. PELAKSANAAN KEPERAWATAN
Tahap pelaksanaan merupakan tahap ke empat dari proses keperawatan dengan
melaksanakann berbagai strategi keperawatan (tindakan keperawatan) yang telah
direncanakan dalam rencana tindakan keperrawatan. Dalam tahap ini, perawat harus
mengetahui berbagai hal di antaranya bahaya-bahaya fisik dan perlindungan pada klien,
tehnik komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari
pasien serta dalam memahami tingkat perkembangan pasien. Dalam pelaksanaan rencana
tindakan terdapat dua jenis tindakan, yaitu tindakan jenis mandiri dan tindakan kolaborasi
(Hidayat, A. Aziz Alimul, 2010: 122).
E. EVALUASI KEPERAWATAN
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan kriteria hasil yang
dibuat pada tahap perencanaan. Kemampuan yang harus dimiliki perawat pada tahap ini
adalah memahami respon terhadap intervensi keperawatan, kemampuan mengembalikan
kesimpulan tentang tujuan yang dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan
keperawatan pada kriteria hasil. Pada tahap evaluasi ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu:
a. Evaluasi formatif menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat memberikan
intervensi dengan respon segera.
b. Evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan analisis status
klien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang direncanakan pada tahap
perencanaan. Di samping itu, evaluasi juga sebagai alat ukur suatu tujuan yang
mempunyai kriteria tertentu yang membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak
tercapai atau tercapai sebagian.
1) Tujuan tercapai
Tujuan dikatakan tercapai bila klien telah menunjukan perubahan dan
kemajuan yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
2) Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak tercapai
secara keseluruhan sehingga masih perlu dicari berbagai masalah atau
penyebabnya, seperti klien dapat makan sendiri tetapi masih merasa
mual. Setelah makan bahkan kadang-kadang muntah.
3) Tujuan tidak tercapai
44
Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukan adanya perubahan
kearah kemajuan sebagaimana kriteria yang diharapkan.
Adapun evaluasi akhir yang ingin dicapai dari tiap-tiap diagnosa adalah:
a. Klien mampu mempertahankan pola eliminasi BAB dengan teratur.
b. Klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan.
c. Kecemasan orang tua dapat berkurang.
d. Rasa nyeri teratasi/ berkurang.
e. Tidak ditemukan tanda-tanda kerusakan kulit lebih lanjut.
f. Tidak terjadi infeksi.
g. Gangguan pola eliminasi teratasi.
45
DAFTAR PUSTAKA
Amin Huda Nurarif & Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Nanda NIC-NOC. Jogjakarta :
Penerbit Mediaction
Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2012. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisike-3.
Jakarta : EGC.
Hidayat,Agung . 2009. http//Askep Atresia Ani Pada Anak « Hidayat2's Blog.com yang
diakses pada tanggal 12 April 2016 pada pukul 15.20
Hidayat, A. Azis Alimul . (2010) . Pengantar Ilmu Anak buku 2. Editor Dr Dripa Sjabana
Suriadi & Rita Yuliani, 2010. Asuhan Keperawatan Pada Anak edisi 2. Jakarta : Penebar
swadaya.
Wong, Donna L. 2011. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik. Monica Ester (Alih Bahasa).
Sri Kurnianianingsih (ed),. edisi ke-4. Jakarta : EGC.
46
TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN ANAK
Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
TINGKAT II REGULER B
47
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan nikmat,
rahmat, dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Keperawatan Anak
yang berjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Teori pada Klien
Neuroblastoma” yang diberikan oleh Ibu Indriatie, SKp., M.Kep. selaku dosen pengajar.
Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Indriatie, SKp., M.Kep.
selaku dosen pengajar mata kuliah Keperawatan Soetomo di Prodi D-III Keperawatan
Soetomo yang telah memberikan banyak bantuan, bimbingan, serta pengarahan hingga
terselesaikannya makalah ini.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini.
Oleh karena itu kami mengharapkan pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang dapat
membangun. Kritik dari pembaca kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya.
Kami berharap semoga berbagai saran dan kritik yang bersifat membangun dapat menjadi
bekal penulis untuk penyempurnaan penulisan makalah selanjutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................i
i
DAFTAR ISI......................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................1
1.3 Tujuan............................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................3
2.1 Laporan Pendahuluan Neuroblastoma...........................................................................3
2.2 Asuhan Keperawatan Teori pada Klien Neuroblastoma...............................................14
BAB III PENUTUP...........................................................................................................23
3.1 Kesimpulan....................................................................................................................23
3.2 Saran..............................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................24
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Mahasiswa dapat memahami yang dimaksud dengan Neuroblastoma
1.3.2 Mahasiswa dapat mengetahui penyebab terjadinya Neuroblastoma
1.3.3 Mahasiswa memahami bagaimana Neuroblastoma dapat terjadi
1.3.4 Mahasiswa dapat mengetahui tanda dan gejala terjadinya Neuroblastoma
1.3.5 Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan yang dilakukan pada Neuroblastoma
1.3.6 Mahasiswa dapat memahami dampak dari Neuroblastoma yang memburuk
1.3.7 Mahasiswa dapat mengetahui cara menangani Neuroblastoma
1.3.8 Mahasiswa dapat mengatahui asuhan keperawatan pada Neuroblastoma
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
perkembangan sel-sel di ginjal. Dapat berhubungan dengan kelainan bawaan tertentu,
seperti :
Kelainan saluran kemih.
Anridia ( tidak memiliki iris ).
Hemyhipertrofi ( pembesaran separuh bagian tubuh).
1. Stadium 1
Tumor terlokalisasi dengan eksisi luas lengkap dengan / tanpa adanya
penyakit residual secara mikroskopik; tidak ada pembesaran KGB ipsilateral dan
kontralateral terhadap tumor secara mikroskopik (mungkin didapatkan
pembesaran KGB yang melekat pada tumor primer dan diambil secara
bersamaan). Semua tumor yang ada dapat dilihat dan bisa dihilangkan selama
operasi.
2. Stadium 2, dibagi menjadi tahap 2A dan 2B
a. Stadium 2A : Tumor ini hanya dalam satu area (unilateral), tidak ada
pembesaran KB yang ipsilateral dan tidak melekat pada tumor, dan semua
tumor yang dapat dilihat bisa sepenuhnya dihapus selama operasi.
b. Stadium 2B : Tumor ini hanya dalam satu area, pembesaran KGB
kontralateral tidak terdapat secara makroskopis, dan semua tumor yang
terlihat mungkin sepenuhnya dihapus selama operasi.
3. Stadium 3
Pada stadium tiga, bila telah terjadi salah satu dari pernyataan dibawah
a. Tumor unilateral yang tidak dapat sepenuhnya dihapus selama operasi dan
telah menyebar dari satu sisi tubuh ke sisi yang lain dan mungkin juga telah
menyebar ke kelenjar getah bening di dekatnya.
b. Tumor hanya ada di satu bidang, di satu sisi tubuh, tetapi telah menyebar ke
kelenjar getah bening di sisi tubuh lain
c. Tumor berada di tengah-tengah tubuh dan telah menyebar ke jaringan atau
kelenjar getah bening di kedua sisi tubuh, dan tumor tidak dapat dihilangkan
dengan pembedahan.
6
4. Stadium 4, pada tahap ini dibagi menjadi tahap 4 dan tahap 4S
a. Stadium 4 : Tumor menginvasi nodus limfe lebih jauh, mengenai tulang
sumsum tulang, hati, kulit, dan organ lain.
b. Stadium 4S :
1) Menyerang anak kurang dari 1 tahun.
2) Kanker telah menyebar ke kulit, hati, dan atau tulang sumsum.
3) Sel-sel kanker dapat ditemukan dalam kelenjar getah bening di dekat
tumor.
8
2. Kanker yang telah menyebar ke paru-paru bisa menyebabkan gangguan
pernafasan
3. Perut yang membesar, perut terasa penuh dan nyeri perut.
4. Kanker yang telah menyebar ke kulit bisa menyebabkan terbentuknya
benjolan- benjolan di kulit.
5. Kanker yang telah menyebar ke korda spinalis bisa menyebabkan kelemahan
pada lengan dan tungkai.
6. Kanker yang telah menyebar ke sumsum tulang menyebabkan:
a. Berkurangnya jumlah sel darah merah sehingga terjadi anemia.
b. Berkurangnya jumlah trombosit sehingga anak mudah mengalami memar.
c. Berkurangnya jumlah sel darah putih sehingga anak rentan terhadap infeksi.
9
abdomen. MRI merupakan teknik yang optimal untuk menunjukkan adanya
perluasan ke intraspinal melalui foramen neural.
4. USG Perut dan Dada (Ultra Sonografi)
Sebuah prosedur yang tinggi energi gelombang suara (ultrasound) yang
memantul jaringan atau organ internal dan membuat gema. Gema membentuk
gambaran jaringan tubuh disebut sonogram. Gambar dapat dicetak untuk
dilihat di kemudian hari.
5. MIBG Scanning
Meta Iodobenzy lguanidine (MIBG) merupakan substansi yang akan
masuk ke dalam sel sistem saraf simpatis yang terutama terlibat dalam
sintesis katekolamin. Oleh karena itu, bila substansi tersebut diberi label
radioaktif maka dapat menunjukkan lokalisasi neuroblastoma primer dan
metastasisnya denagn sensitivitas >90% dan spesifisitas >90%. Untuk
mencegah pengambilan zat iodine radioaktif oleh tiroid, maka sebelum
pemberian isotop akan diberikan iodine lugol yang dapat menghambat proses
pengambilan tersebut secara spesifik.
Pada 5-10% kasus neurobalstoma tidak terjadi pengambilan MIBG
sehingga tidak dapat dideteksi adanya metastasis dengan tidak didapatkannya
hasil positif pada pemerikasaan ini terhadap trumor primer.
2.1.5.2 Pemeriksaan Laboratorium
1. Pemeriksaan Darah Lengkap
Pemeriksaan untuk mengetahui kadar eritrosit, leukosit, trombosit dan
hemoglobin yang terkandung dalam darah. Gejala neuroblastoma umumnya
menunjukkan jumlah dopamine dan norepinefrin lebih tinggi dari biasanya.
2. Tes Urine (Tes Esbach)
Tes yang dilakukan untuk mengukur jumlah zat tertentu pada
kandungan urin. Jika jumlah normal zat asam homovanilic (HMA) dan asam
vanilyl mandelic (VMA) meningkat, ada kemungkinan penderita mengidap
penyakit neuroblastoma. Kadar dopamin dapat pula diperiksa sebagai
pemeriksaan tambahan. Pada 90-95% urin pasien neuroblastoma akan didapat
kan peningkatan sekresi metabolit-metabolit tersebut.
3. Uji Neurologis
Serangkaian tes untuk memeriksa fungsi otak, saraf tulang belakang,
dan fungsi saraf. Selain itu juga untuk memeriksa status mental seseorang,
10
koordinasi, dan kemampuan untuk berjalan dengan normal, seberapa baik
otot, indra, dan refleks bekerja.
4. Pengkajian Neurohistokimia
Yaitu sebuah prosedur pewarnaan atau penambahan enzim ke darah /
sampel sumsum tulang untuk menguji antigen tertentu.
11
1. Operasi
Operasi biasanya digunakan untuk merawat neuroblastoma. Tergantung
pada dimana tumornya dan apakah ia telah menyebar, sebanyak mungkin tumor
akan dikeluarkan. Jika tumor tidak dapat dikeluarkan, sebagai gantinya biopsi
mungkin dilakukan.
2. Kemoterapi
Kemoterapi menggunakan obat untuk membunuh sel-sel kanker di seluruh
tubuh. Perawatan ini menyebabkan pembelahan sel dengan cepat sehingga sel
normal yang terkena berganti dengan cepat, begitu pula sel-sel kanker.
Akibatnya, obat ini dapat memiliki efek samping mual, muntah, kehilangan
nafsu makan, rambut rontok dan jumlah sel darah putih yang rendah.
Kebanyakan efek samping akan membaik setelah obat dihentikan dan berkurang
selama terapi. Pada dosis tinggi, kemoterapi dapat menghancurkan sel-sel
sumsum tulang. Jika seorang anak akan menjalani kemoterapi dosis tinggi,
dokter anak mungkin memberitahu bahwa sel-sel sumsum dibuang dahulu.
Setelah kemoterapi, sumsum akan dikembalikan melalui jalur intravena,
prosedur ini disebut autologous bone marrow reinfusion.
3. Terapi radiasi
Terapi radiasi menggunakan sinar-X atau sumber sinar berenergi tinggi
lainnya untuk membunuh sel kanker. Kemungkinan efek sampingnya antara
lain; mual, kelelahan dan iritasi kulit. Diare dapat terjadi setelah radiasi ke
perut .
4. Pengobatan bertahap
a. Kanker Tahap I atau II
Jika kanker terbatas pada ginjal atau struktur di dekatnya dan jenis
sel tumornya tidak agresif, anak akan menjalani pengangkatan jaringan
ginjal dan beberapa kelenjar getah bening di dekat ginjal yang terkena.
Setelah itu diikuti dengan kemoterapi. Beberapa kanker stadium II juga
diobati dengan radiasi.
b. Kanker Tahap III atau IV
Jika kanker telah menyebar di dalam perut dan tidak dapat
sepenuhnya dihapus tanpa membahayakan struktur seperti pembuluh
darah utama, radiasi akan ditambahkan untuk operasi dan kemoterapi.
Anak mungkin menjalani kemoterapi sebelum operasi untuk mengecilkan
tumor.
12
c. Kanker Tahap V
Jika sel-sel tumor ada di kedua ginjal, bagian kanker dari kedua
ginjal akan diangkat selama operasi dan kelenjar getah bening diambil
untuk dilihat apakah mengandung sel-sel tumor. Kemoterapi diberikan
untuk mengecilkan tumor yang tersisa. Pembedahan diulangi untuk
mengangkat tumor sebanyak mungkin dan jaringan ginjal yang masih
berfungsi dipertahankan. Kemoterapi dan terapi radiasi dapat diberikan
selanjutnya.
2.1.8 Prognosis
13
2.1.9 Pathway
14
2.2 Asuhan Keperawatan Teori pada Klien Neuroblastoma
2.2.1 Pengkajian
4. Data Demografi
Identitas pada klien yang harus diketahui diantaranya: nama, umur,
agama, pendidikan, pekerjaan, suku/bangsa, alamat, jenis kelamin, status
perkawinan, dan penanggung biaya.
Usia rata-rata anak-anak terdiagnosis neuroblastoma adalah 22 bulan dan
90% dari kasus terdiagnosis pada usia 5 tahun.
5. Keluhan Utama
Pasien yang datang ke Rumah Sakit biasanya mengeluh dengan adanya
gejala-gejala awal yang terjadi seperti perut membesar, perut terasa penuh, dan
nyeri perut. Bisa juga pasien datang ke Rumah Sakit karena tumor yang sudah
menyebar di beberapa bagian tubuh seperti jika tumor sudah menyebar pada
tulang. Pasien akan mengalami nyeri tulang. Jika tumor telah menyebar ke
bagian sumsum tulang akan terjadi anemia dan memar. Jika telah menyebar di
bagian kulit akan terjadi benjolan pada kulit. Yang lebih parahnya jika tumor
telah menyebar ke daerah paru-paru akan terjadi gangguan pernapasan.
15
nutrisi yang tidak adekuat. BB meningkat karena adanya edema. Perlukaan
pada kulit dapat terjadi karena uremia.
12. Pola Eliminasi :
Eliminasi alvi tidak ada gangguan, eliminasi urin gangguan pada
glumerulus menyebakan sisa-sisa metabolisme tidak dapat diekskresi dan
terjadi penyerapan kembali air dan natrium pada tubulus yang tidak mengalami
gangguan yang menyebabkan oliguria sampai anuria, proteinuri, hematuria.
13. Pola Aktifitas dan Latihan :
Pada Klien dengan kelemahan malaise, kelemahan otot dan kehilangan
tonus karena adanya hiperkalemia. Dalam perawatan klien perlu istirahat
karena adanya kelainan jantung dan dan tekanan darah mutlak selama
2 minggu dan mobilisasi duduk dimulai bila tekanan darah sudah normal
selama 1 minggu. Adanya edema paru maka pada inspeksi terlihat retraksi
dada, pengggunaan otot bantu napas, teraba, auskultasi terdengar rales dan
krekels, pasien mengeluh sesak, frekuensi napas. Kelebihan beban
sirkulasi dapat menyebabkan pemmbesaran jantung [Dispnea, ortopnea dan
pasien terlihat lemah], anemia dan hipertensi yang juga disebabkan oleh
spasme pembuluh darah. Hipertensi yang menetap dapat menyebabkan gagal
jantung. Hipertensi ensefalopati merupakan gejala serebrum karena hipertensi
dengan gejala penglihatan kabur, pusing, muntah, dan kejang-kejang. GNA
munculnya tiba-tiba orang tua tidak mengetahui penyebab dan penanganan
penyakit ini.
14. Pola Tidur dan Istirahat
Klien tidak dapat tidur terlentang karena sesak dan gatal karena adanya
uremia. keletihan, kelemahan malaise, kelemahan otot dan kehilangan tonus
15. Pola Kognitif & Perseptual
- Peningkatan ureum darah menyebabkan kulit bersisik kasar dan rasa gatal.
- Gangguan penglihatan dapat terjadi apabila terjadi ensefalopati hipertensi.
Hipertemi terjadi pada hari pertama sakit dan ditemukan bila ada infeksi karena
inumnitas yang menurun.
16. Pola Persepsi Diri
Klien cemas dan takut karena urinenya berwarna merah dan edema
dan perawatan yang lama. Anak berharap dapat sembuh kembali seperti semula
17. Pola Hubungan Peran
16
Anak tidak dibesuk oleh teman – temannya karena jauh dan lingkungan
perawatann yang baru serta kondisi kritis menyebabkan anak banyak diam.
2.2.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik berdasarkan Review of Sistem :
1. B1 (Breath) : Sesak napas.
2. B2 (Blood) : Meningkatnya denyut jantung, tekanan darah meningkat,
perdarahan di bawah kulit, pucat.
3. B3 (Brain) : Nyeri
4. B4 (Bladder) : Retensi urin
5. B5 (Bowel) : Pembesaran perut, mual
6. B6 (Bone) : Rasa tidak enak badan (malaise), pembengkakan pada kaki,
pergelangan kaki atau skrotum, lelah. Terjadinya ptachiae.
17
1. Nyeri berhubungan dengan penyebaran tumor ke semua organ ditandai dengan
gelisah, tampak meringis, dan mengeluh/merasakan nyeri
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
nyeri yang dirasakan pada klien berkurang
Kriteria Hasil :
- Klien mengungkapkan nyeri yang dirasakan berkurang.
- Klien tidak merasa kesakitan
Intervensi Rasional
1. Kaji kebutuhan untuk 1. Mengetahui tingkat nyeri yang
penatalaksanaan nyeri. dialami pasien.
2. Evaluasi efektifitas penghilang nyeri 2. Menurunkan derajat nyeri pada
dengan derajat kewaspadaan. pasien.
3. Lakukan teknik pengurangan nyeri 3. Menghindari untuk terjadinya
nonfarmakologis yang tepat. pendarahan pada pasien.
4. Hindari aspirin atau senyawanya 4. aspirin meningkatkan
kecenderungan pendarahan.
Intervensi Rasional
1. Dorong orang tua untuk 1. Meningkatkan nafsu makan pada
merilekskan tekanan pada saat anak
18
makan.
2. Izinkan anak untuk memakan semua 2. Memenuhi kebutuhan nutrisi yang
makanan yang dapat ditoleransi. adekuat.
3. Perkaya makanan dengan suplemen 3. Susu banyak mengandung
nutrisi seperti susu bubuk. komponen nutrisi yang dibutuhkan
oleh anak
4. Izinkan anak untuk terlibat dalam 4. Untuk mendorong anak mau
persiapan dan pemilihan makanan. makan
3. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan metastase ke paru dan abdomen,
adanya tekanan pada diafragma ditandai dengan dispnea, pola napas abnormal,
dan ekskursi dada berubah
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pola napas efektif.
Kriteria Hasil : Mempertahankan pola napas efektif.
Intervensi Rasional
1. Pantau adanya pucat dan cyanosis. 1. Memastikan pasien tidak
kekurangan suplai oksigen.
2. Pantau kedalaman, kecepatan,
2. Memastikan bahwa pasien tidak
irama dan usaha respirasi.
mengalami gangguan pernapasan.
3. Pantau pola pernapasan. 3. Untuk meningkatkan pola
Informasikan kepada pasien dan pernapasan.
keluarga tentang teknik relaksasi 4. Posisi semifowler membantu
meringankan ekspansi dada
4. Berikan posisi semifowler pada
pasien untuk mengoptimalkan
pernapasan
20
6. Ansietas berhubungan dengan kekhawatiran akan hasil tes diagnosa, prosedur
dan pengobatan ditandai dengan tampak gelisah, tampak tegang, sulit tidur, dan
frekuensi nadi meningkat
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
pasien tidak mengalami ketakutan yang berlebih.
Kriteria Hasil : : Pasien menunjukkan penurunan rasa takut yang
berhubungan dengan prosedur dan tes diagnostik.
Intervensi Rasional
1. Jelaskan prosedur dengan cermat 1. Memberikan informasi dan upaya
sesuai dengan tingkat pemahaman menurunkan tingkat kecemasan
anak. dan ketakutan pada anak.
2. Jelaskan tentang apa yang 2. Mempermudah dalam melakukan
dilakukan dan apa yang akan prosedur pengobatan.
dirasakan, dilihat dan didengar
anak.
3. Gunakan metode mengingatkan 3. Untuk meningkatkan rasa kontrol,
kembali setiap langkah sebagai mendorong kerjasama dan
metode distraksi. mendukung keterampilan koping
anak.
4. Jelaskan permintaan-permintaan 4. Diharapkan anak dapat kooperatif
khusus pada anak untuk dalam pelaksanaan tindakan
mendorong kerjasama.
7. Gangguan tumbuh kembang pada anak berhubungan dengan efek metastase sel
kanker pada anak ditandai dengan pertumbuhan fisik terganggu, tidak mampu
melakukan perilaku sesuai usianya, dan respon sosial lambat
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan anak
dapat tumbuh dan berkembang denga normal
Kriteria hasil :
Periode tumbuh dan kembang anak berlangsung secara teratur sesuai
dengan masa-masa pada periodenya
Intervensi Rasional
1. Kaji gerak kasar atau motorik 1. Hal ini berhubungan dengan
kasar kemampuan anak melakukan
21
pergerakan dan sikap tubuh yang
melibatkan otot-otot besar seperti
duduk, berdiri, dan sebagainya
2. Kaji gerak halus atau motorik 2. Berhubungan dengan kemampuan
halus pada anak anak melakukan yang melibatkan
bagian-bagian tubuh tertentu yang
dilakukan oleh otot kecil tetapi
memerlukan koordinasi yang cermat,
seperti menulis, mengamati sesuatu
dan sebagainya
3. Kaji gangguan bicara dan bahasa 3. Hal ini berhubungan dengan
pada anak kemampuan untuk memberikan
respon terhadap suara, berbicara,
berkomunikasi, mengikuti perintah,
dan sebagainya.
4. Kaji sosialisasi dan kemandirian 4. Berhubungan dengan kemampuan
pada anak mandiri anak (makan sendiri,
membereskan mainan sendiri),
bersosialisasi dan berinteraksi
dengan lingkungannya dan
sebagainya
5. Sediakan aktivitas yang 5. Agar kemampuan merespon
memotivasi anak berinteraksi lingkungan sosial semakin baik
dengan anak lainnya
6. Fasilitasi anak melatih 6. Untuk melatih dan meningkatkan
keterampilan pemenuhan perkembangan anak
kebutuhan secara mandiri
7. Anjurkan orang tua berinteraksi 7. Agar kemampuan merespon
22
2.2.7 Evaluasi Keperawatan
Melakukan evaluasi terhadap tindakan keperawatan yang telah dilakukan dengan
berdasarkan pada respon pasien apakah tindakan yang dilakukan sudah mencapai
kriteria hasil dan tujuan atau tidak.
23
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Neuroblastoma merupakan tumor lunak, padat yang berasal dari sel-sel crest
neuralis yang merupakan prekusor dari medula adrenal dan sistem saraf simpatis.
Neuroblastoma dapat timbul di tempat terdapatnya jaringan saraf simpatis.cvfev Tempat
tumor primer yang umum adalah abdomen, kelenjar adrenal atau ganglia paraspinal
toraks, leher dan pelvis.
Neuroblastoma umumnya bersimpati dan seringkali bergeseran dengan jaringan
atau organ yang berdekatan (Cecily & Linda, 2002). Kebanyakan etiologi dari
neuroblastoma adalah tidak diketahui. Adapun manifestasi klinis dari neuroblastoma
yaitu tergantung lokasinya, di retroperitoneal, mediastinal leher, pelvis, dan lain-lain.
Sedangkan penatalaksanaannya tergantung stadium dari neuroblastoma itu sendiri
3.2. Saran
Perawatan dan pengawasan yang berkualitas sangat dibutuhkan pada anak dengan
kasus neuroblastoma. Tenaga medis, tenaga kesehatan, dan keluarga sebaiknya
memberikan pelayanan dan perawatan yang baik kepada anak. Penjelasan materi dalam
makalah ini jauh dari kata sempurna. Saran dan kritik yang membangun dari pembaca
sangat kami harapkan.
24
DAFTAR PUSTAKA
Cecily, dkk. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 3. Jakarta: EGC.
PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : Dewan Pusat PPNI
PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan : Dewan Pusat PPNI.
25
TUGAS MATA KULIAH KEPERAWATAN ANAK
ATRESIA ESOFAGUS
Dibimbing Oleh :
Indriatie, SKp.,M.M.Kes.
Disusun Oleh :
TINGKAT II REGULER B
JURUSAN KEPERAWATAN
26
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang............................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.......................................................................................................1
1.3 Tujuan.........................................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi Atresia Esofagus...........................................................................................3
2.2 Etiologi Atresia Esofagus...........................................................................................3
2.3 Klasifikasi Atresia Esofagus.......................................................................................3
2.4 Patofisiologi Atresia Esofagus....................................................................................4
2.5 Pathway Atresia Esofagus .........................................................................................5
2.6 Manifestasi Klinis Atresia Esofagus ..........................................................................5
2.7 Pemeriksaan Penunjang pada Atresia Esofagus.........................................................6
2.8 Komplikasi Atresia Esofagus ....................................................................................6
2.9 Penatalaksanaan Atresia Esofagus .............................................................................7
2.10 Asuhan Keperawatan Teori pada Atresia Esofagus ..................................................7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan...............................................................................................................12
3.2 Saran.........................................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................13
ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
1.3.1 Mahasiswa dapat mengetahui yang dimaksud dengan Atresia Esofagus
1.3.2 Mahasiswa dapat mengetahui penyebab terjadinya Atresia Esofagus
1.3.3 Mahasiswa dapat mengenal jenis dari Atresia Esofagus
1.3.4 Mahasiswa dapat memahami proses terjadinya Atresia Esofagus
1.3.5 Mahasiswa dapat mengenal tanda dan gejala dari Atresia Esofagus
1.3.6 Mahasiswa dapat mengetahui pemeriksaan apa saja yang dilakukan untuk
mendiagnosis Atresia Esofagus
1.3.7 Mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari Atresia Esofagus
1.3.8 Mahasiswa dapat memahami cara menangani Atresia Esofagus
1.3.9 Mahasiswa dapat menerapkan asuhan keperawatan yang baik dan benar terhadap
klien Atresia Esofagus
4
BAB II
5
PEMBAHASAN
Kongenital/Idiopatik
Atresia Esofagus
Kurang Informasi
tentang kondisi
dan pengobatan
Batuk, Hipersekresi
Saliva
Resiko Aspirasi
Gangguan Nutrisi
Kurang Dari
Kebutuhan Tubuh
Gangguan Bersihan
Jalan Nafas Tidak
Efektif
9
tetapi usaha ini tidak akan secara sempurna menyalurkan seluruh bahan makanan ke
perut bayi.
5) CT-Scan
10
2.10 Asuhan Keperawatan Teori
2.10.1 Data Subyektif:
a. Indentitas pasien dan penanggung jawab
Atresia Esofagus biasanya diderita oleh bayi karena merupakan suatu kelainan
bawaan lahir dan tidak dipengaruhi oleh status keturunan keluarga.
b. Keluhan Utama
Berisi keluhan klien atresia esophagus. Pada klien dengan atresia esophagus
akan mengeluhkan sesak dan kesulitan bernafas, kesulitan dan penurunan
nafsu makan, mengalami batuk pada saat makan atau minum.
c. Riwayat penyakit sekarang
Bayi dengan ibu polihidramion memiliki resiko yang lebih tinggi untuk terjadi
atresia esophagus. Setelah lahir, bayi akan mengalami hipersaliva disertai
keluarnya cairan oral lain. Bayi akan mengalami kesulitan dalam menelan ASI.
d. Riwayat penyakit yang lalu:
Apakah klien pernah menderita penyakit ini sebelumnya. Penyakit atresia
esophagus merupakan suatu kelainan bawaan lahir. Biasanya klien memiliki
riwayat pneumonia pada bulan pertama kelahiran (Polihidramnion maternal).
e. Riwayat kesehatan keluarga
Apakah anggota keluarga ada yang menderita penyakit yang sama dengan
klien. penyakit Atresia esophagus bukan merupakan penyakit keturunan,
sehingga riwayat kesehatan keluarga tidak berpengaruh.
f. Pola aktivitas sehari-hari:
1. Pola nutrisi
Pada klien dengan atresia esophagus biasanya mengalami penurunan nafsu
makan atau tidak mampu menerima nutrisi yang cukup.
2. Pola eliminasi
Mengkaji mengenai kebiasaan BAB dan BAK klien SMRS dan MRS. Pada
klien dengan atresia esophagus mengalami perubahan dalam pola eliminasi
karena intake makanan yang tidak adekuat.
3. Pola tidur
Pada klien dengan aresia esophagus akan mengalami masalah tidur karena
rasa sesak dan ketidaknyamanan yang dirasakan.
4. Pola aktivitas:
11
Pada anak dengan atresia esophagus biasanya akan mudah mengalami sesak
karena kesulitan bernafas, dan merasa lemas karena terdapat gangguan
dalam intake nutrisi.
2.10.2 Data Obyektif:
- Keadaan umum dan kesadaran
Pada anak dengan atresia esophagus biasanya memiliki kesulitan untuk bernafas,
batuk pada saat makan atau minum, menunjukkan kurangnya minat terhadap
makanan atau ketidakmampuan untuk menerima nutrisi yang cukup. Pada anak
dengan atresia esophagus memiliki kesadaran compos mentis.
- Mengukur tanda-tanda vital
Pada pengukuran tanda-tanda vital ditemukan penignkatan pada frekuensi nafas
karena pada pasien dengan atresia esophagus akan mengalami sesak dan kesulitan
untuk bernafas.
Pemeriksaan Fisik
- Kepala : Simetris, tidak ada kelainan pada kepala
- Muka : Simetris dan tampak pucat
- Mata : Alis mata normal, Kelopak mata normal, Konjungtiva anemis
- Telinga : Tes weber simetris, Tidak ada serumen, Tidak ada benda asing
- Hidung : Tidak terdapat secret dari kedua lubang hidung, terdapat pernafasan
cuping hidung.
- Mulut : terjadi hipersalivasi (drooling)
- Leher : Simetris, Kelenjar Limphe tidak membesar
- Dada : Tidak simetris, terdapat suara ronchi pada suara pernafasan dan terjadi
peningkatan frekuensi pernafasan karena klien merasakan sesak dan ditemukan
suara ronchi, terjadi distress pernafasan ringan
- Abdomen : tidak terjadi penonjolan pada sekitar umbilicus.
- Genetalia: Genetalia normal
- Ekstermitas : Pergerakan aktif, tidak terdapat fraktur dan kelainan.
2.10.3 Test Diagnostik
1. Ketidakmampuan untuk memasukkan selang nasogastrik ke dalam lambung
2. Rontgen esofagus menunjukkan adanya kantong udara dan adanya udara di
lambung serta usus
2.10.4 Diagnosa Keperawatan yang sering muncul dan Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan dan Intervensi yang dapat dilakukan antara lain adalah :
12
1) Defisit Nutrisi berhubungan dengan ketidakmampuan menelan makanan ditandai
dengan otot menelan lemah
a. Memantau asupan makanan
R : Untuk menyesuaikan antara intake nutrisi yang diberikan dengan output
nutrisi.
b. Memberikan nutrisi parenteral
R : Agar dapat memberikan nutrisi yang mencukupi untuk mencegah terjadinya
kekurangan energy, protein, dan asam lemak esensial.
c. Mengidentifikasi perlunya menggunakan NGT
R : Apabila mengalami kesulitan menelan pemberian nutrisi melalui NGT
diperlukan makanan cair untuk mempertahankan nutrisi.
d. Memantau berat badan setiap hari
R : Mencegah terjadinya penurunan berat badan secara signifikan.
2) Risiko aspirasi berhubungan dengan gangguan menelan
a. Mengidentifikasi indikasi pemasangan NGT
R : Melakukan pemasangan NGT untuk membantu memenuhi kebutuhan
nutrisi pasien.
b. Mengedukasi tujuan dan prosedur kepada orang tua pasien dan pasien
R : Memberikan informasi dan mengedukasi kepada pasien dan orang tua agar
memahami prosedur yang dilakukan dan tidak terjadi kebingungan mengenai
tindakan yang akan dilakukan.
c. Menginformasikan kemungkinan ketidaknyamanan pada hidung dan
kemungkinan muntah
R : Agar orang tua anak memahami efek samping yang mungkin terjadi terkait
pemasangan NGT.
d. Melakukan tindakan terapeutik pemasangan NGT
R: Agar tercipta hubungan saling percaya antara perawat dengan orang tua
anak dan anak.
3) Kurang pengetahuan yang berhubungan dengan kurang terpapar informasi tentang
kondisi dan pengobatannya.
a. Menyiapkan orangtua untuk menerima informasi prosedur preoperasi yang
diperlukan
R : Agar orang tua anak lebih siap terkait dengan prosedur operasi yang akan
dilakukan dan memberikan informasi terkait dengan prosedur preoperasi yang
akan dilakukan.
13
b. Menjelaskan prosedur pembedahan pada orang tua anak
R : Mencegah terjadinya kesalahan informasi terkait prosedur pembedahan.
c. Menjelaskan alasan status puasa pasien
R : Untuk memberikan informasi yang sesuai dengan keadaan, pengobatan
yang akan dilakukan sehingga mencegah terjadinya rasa bingung bagi orang
tua anak.
d. Mengkaji kecemasan pada orang tua anak
R : Membantu mengenali masalah yang dihadapi dan mencegah atau
mengurangi timbulnya stress.
2.10.5 Implementasi
Pelaksanaan merupakan tindakan yang dilakukan sesuai dengan rencana
keperawatan yang sudah dibuat dan merupakan tindakan atau realisasi dari rencana
yang telah disusun berdasarkan prioritas tindakan yang telah dilakukan berdasarkan
rencana tindakan.
2.10.6 Evaluasi
Evaluasi asuhan keperawatan didokumentasikan dalam bentuk SOAP
(subyektif, obyektif, assessment, planning). (Dinarti, Aryani dkk, 2013). Evaluasi
dapat berupa evaluasi struktur proses dan hasil.
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Atresia esofagus merupakan keadaan dimana tertutupnya (buntu) bagian ujung
esofagus. Pada seperempat sampai sepertiga esofagus bagian bawah yangberhubungan
dengan trakhea setinggi karina (atresia esofagus dengan fistula) dan merupakan kelainan
bawaan pada saat kehamilan. Penyakit ini sampai saat ini belum dapat diketahui secara
pasti penyebab atau etiologinya. Sehingga untuk meminimalkan angka kejadian atresia
esofagus sebaiknya dilakukan pencegahan antara lain dengan melakukan pemeriksaan
rutin selama kehamilan, menjaga pola hidup sehat oleh Ibu, dan lingkungan sekitar untuk
15
menghindari paparan (sinar X, asap rokok, polusi kendaraan dan infeksi virus TORCH
serta penyakit kelainan bawaan).
3.2 Saran
a. Bagi perawat
Perawat seharusnya mengetahui mengenai penatalaksanaan atresia esofagus. Selain
itu, perawat juga dapat melakukan promosi kesehatan sebagai salah satu tindakan
pencegahan. Hal ini yang tidak kalah penting bagi perawat adalah mampu melakukan
asuhan keperawatan pada penderita atresia esofagus. Oleh perawat disarankan untuk
selalu mengikuti informasi terbaru mengenai penatalaksanaan hingga asuhan
keperawatan pada klien dengan atresia esofagus.
b. Bagi masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat ikut berpartisipasi aktif dalam pencegahan penyakit
atresia esofagus dengan mengikuti kegiatan promosi kesehatan. Selain itu, masyarakat
juga dianjurkan melakukan pemeriksaan rutin bagi ibu hamil atau melakukan
konsultasi selama kehamilan pada tenaga ahli kesehatan.
Daftar Pustaka
Hadiyah, Aziz Alimul A. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak Buku 2. Jakarta : Salemba
Medika
Lubis, Armi Fadli, Hasanul Arifin, 2013, Penatalaksanaan Anestesi pada Koreksi Atresia
Esophagus dan Atresia Esofagus, Jurnal Anastesiologi Indonesia, Vol V, N0.3, 217-
224
Rahayu, Dedeh Sri. 2009. Asuhan Keperawatan Anak dan Neonatus. Jakarta : Salemba Medika
16
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta Selatan: Persatuan
Perawat Nasional Indonesia.
Tucker, Susan Martin. et al. 1999. Standar Perawatan Pasien: Proses Keperawatan, Diagnosis,
dan Evaluasi. Volume 4. Edisi V. Jakarta: EGC.
17
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA KLIEN HISPRUNG
Dosen Pembimbing :
Nama Kelompok :
TINGKAT II REGULER B
JURUSAN KEPERAWATAN
18
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Definisi
B. Etiologi
Adapun yang menjadi penyebab Hirschsprung atau Mega Colon itu sendiri adalah
diduga terjadi karena faktor genetik dan lingkungan sering terjadi pada anak dengan
Down syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal
eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus.
C. Klasifikasi
19
Segmen aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid; ini merupakan 70%
dari kasus penyakit Hirschprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki
dibanding anak perempuan.
2. Penyakit Hirschprung segmen panjang
Kelainan dapat melebihi sigmoid, bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau
usus halus. Ditemukan sama banyak pada anak laki maupun prempuan.
D. Manifestasi Klinis
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, Anak dengan
Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut:
a. Konstipasi
b. Tinja seperti pita dan berbau busuk
c. Distenssi abdomen
d. Adanya masa difecal dapat dipalpasi
e. Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemi ( Betz cecily & sowden, 2009 ).
E. Patofisiologi
F. Komplikasi
20
1. Obstruksi usus
2. Konstipasi
3. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit
4. Entrokolitis
5. Struktur anal dan inkontinensial ( pos operasi ) (Betz, Cecily & Sowden, 2009).
G. Pathway
H. Penatalaksanaan
1. Medis
Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di usus
besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus besar
21
sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal.
Ada dua tahapan dalam penatalaksanaan medis yaitu :
a. Temporari ostomy dibuat proksimal terhadap segmen aganglionik untuk
melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan terdilatasinya usus besar
untuk mengembalikan ukuran normalnya.
b. Pembedahan koreksi diselesaikan atau dilakukan lagi biasanya saat berat anak
mencapai sekitar 9 Kg ( 20 pounds ) atau sekitar 3 bulan setelah operasi
pertama Ada beberapa prosedur pembedahan yang dilakukan seperti Swenson,
Duhamel, Boley & Soave. Prosedur Soave adalah salah satu prosedur yang
paling sering dilakukan terdiri dari penarikan usus besar yang normal bagian
akhir dimana mukosa aganglionik telah diubah
2. Perawatan
Perhatikan perawatan tergantung pada umur anak dan tipe pelaksanaanya bila
ketidakmampuan terdiagnosa selama periode neonatal, perhatikan utama antara lain :
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak
secara dini
b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan)
d. Mendampingi orang tua pada perawatan colostomy setelah rencana pulang
Pada perawatan preoperasi harus diperhatikan juga kondisi klinis anak – anak
dengan mal nutrisi tidak dapat bertahan dalam pembedahan sampai status
fisiknya meningkat. Hal ini sering kali melibatkan pengobatan simptomatik
seperti enema. Diperlukan juga adanya diet rendah serat, tinggi kalori dan
tinggi protein serta situasi dapat digunakan nutrisi parenteral total.
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan dengan barium enema, dengan pemeriksaan ini akan bisa ditemukan:
a. Daerah transisi
b. Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
c. Entrokolitis padasegmen yang melebar
d. Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam (Darmawan K, 2004 : 17 )
2. Biopsi isap
Yaitu mengambil mukosa dan sub mukosa dengan alat penghisap dan mencari
sel ganglion pada daerah sub mukosa (Darmawan K, 2004 : 17 )
22
3. Biopsi otot rectum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum
4. Pemeriksaan aktivitas enzim asetil kolin esterase dari hasil biobsi isap pada
penyakit ini khas terdapat peningkatan, aktifitas enzimasetil kolin esterase
(Darmawan K, 2004 : 17 )
5. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus
6. Pemeriksaan colok anus
Pada pemeriksaan ini jari akan merasakan jepitan dan pada waktu tinja yang
menyemprot. Pemeriksaan ini untuk mengetahu bahu dari tinja, kotoran yang
menumpuk dan menyumbat pada usus di bagian bawah dan akan terjadi
pembusukan.
23
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK PADA KLIEN HISPRUNG
A. Pengkajian
1. Identitas
Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan dan merupakan
kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau bersamaan dengan kelainan bawaan
lain. Pada segmen aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan
pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan kelainan yang
melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau usus halus ditemukan sama banyak pada
anak laki-laki dan perempuan
2. Riwayat Keperawatan.
a. Keluhan utama
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang
sering ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam
setelah lahir), perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah
muntah dan diare.
b. Riwayat penyakit sekarang
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total
saat lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium.
Bayi sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa
konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi
usus akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare,
distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.
c. Riwayat penyakit dahulu
Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi terjadinya penyakit
Hirschsprung.
d. Riwayat kesehatan keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini diturunkan kepada anaknya.
e. Riwayat kesehatan lingkungan
Tidak ada hubungan dengan kesehatan lingkungan.
f. Imunisasi
Tidak ada imunisasi untuk bayi atau anak dengan penyakit Hirschsprung.
g. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan
h. Nutrisi
24
3. Pemeriksaan fisik.
a. Sistem kardiovaskuler
Tidak ada kelainan.
b. Sistem pernapasan
Sesak napas, distres pernapasan, irama nafas tidak teratur karena membesarnya
abdomen.
c. Sistem pencernaan
- Inspeksi : Tanda khas didapatkan adanya distensi abnormal. Pemeriksaan
rectum dan feses akan didapatkan adanyaperubahan feses seperti pita dan
berbau busuk.
- Auskultasi : Pada fase awal didapatkan penurunan bising usus, dan
berlanjut dengan hilangnya bising usus.
- Perkusi : Timpani akibat abdominal mengalami kembung.
- Palpasi : Teraba dilatasi kolon abdominal.
d. Sistem genitourinarius
Saat dipalpasi terdapat nyeri tekan pada usus
e. Sistem saraf
Tidak ada kelainan.
f. Sistem muskuloskeletal
Klien biasanya tampak tidak nyaman dan lemas
g. Sistem endokrin
Tidak ada kelainan.
h. Sistem integumen
Akral teraba hangat, ada nyeri tekan post op
i. Sistem pendengaran.
Tidak ada kelainan.
4. Pemeriksaan diagnostik dan hasil.
a. Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus melebar atau terdapat
gambaran obstruksi usus rendah.
b. Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah transisi, gambaran
kontraksi usus yang tidak teratur di bagian menyempit, enterokolitis pada
segmen yang melebar dan terdapat retensi barium setelah 24-48 jam.
c. Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub mukosa.
d. Biopsi otot rektum, yaitu pengambilan lapisan otot rektum.
25
e. Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dimana terdapat
peningkatan aktivitas enzim asetilkolin eseterase.
B. Diagnosa keperawatan
1) Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.
2) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.
3) Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
5) Koping keluarga tidak efektif berhubungan dengan keadaan status kesehatan anak.
C. Intervensi keperawatan
1) Gangguan eliminasi BAB : obstipasi berhubungan dengan spastis usus dan tidak
adanya daya dorong.
Tujuan : klien tidak mengalami ganggguan eliminasi dengan kriteria defekasi
normal, tidak distensi abdomen.
Intervensi :
a. Monitor cairan yang keluar dari kolostomi.
Rasional : Mengetahui warna dan konsistensi feses dan menentukan rencana
selanjutnya
b. Pantau jumlah cairan kolostomi.
Rasional : Jumlah cairan yang keluar dapat dipertimbangkan untuk
penggantian cairan
c. Pantau pengaruh diet terhadap pola defekasi.
Rasional : Untuk mengetahui diet yang mempengaruhi pola defekasi
terganggu.
2) Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang
inadekuat.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi dengan kriteria dapat mentoleransi diet
sesuai kebutuhan secara parenteal atau per oral.
Intervensi :
a. Berikan nutrisi parenteral sesuai kebutuhan.
Rasional : Memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
b. Pantau pemasukan makanan selama perawatan.
26
Rasional : Mengetahui keseimbangan nutrisi sesuai kebutuhan 1300-3400
kalori
c. Pantau atau timbang berat badan.
Rasional : Untuk mengetahui perubahan berat badan
3) Kekurangan cairan tubuh berhubungan muntah dan diare.
Tujuan : Kebutuhan cairan tubuh terpenuhi dengan kriteria tidak mengalami
dehidrasi, turgor kulit normal.
Intervensi :
a. Monitor tanda-tanda dehidrasi.
Rasional : Mengetahui kondisi dan menentukan langkah selanjutnya
b. Monitor cairan yang masuk dan keluar.
Rasional : Untuk mengetahui keseimbangan cairan tubuh
c. Berikan caiaran sesuai kebutuhan dan yang diprograrmkan.
Rasional : Mencegah terjadinya dehidrasi
4) Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan adanya distensi abdomen.
Tujuan : Kebutuhan rasa nyaman terpenuhi dengan kriteria tenang, tidak
menangis, tidak mengalami gangguan pola tidur.
Intervensi :
a. Kaji terhadap tanda nyeri.
Rasional : Mengetahui tingkat nyeri dan menentukan langkah selanjutnya
b. Berikan tindakan kenyamanan : menggendong, suara halus, ketenangan.
Rasional : Upaya dengan distraksi dapat mengurangi rasa nyeri
c. Berikan obat analgesik sesuai program.
Rasional : Mengurangi persepsi terhadap nyeri yamg kerjanya pada sistem
saraf pusat
27
ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
DENGAN ECHEPHALITIS
Disusun Oleh:
KELOMPOK 10
28
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA ANAK ENCHEPHALITIS
1.1. DEFINISI
Enchephalitis merupakan infeksi jaringan otak yang bisa disebabkan oleh berbagai
organisme hidup, salah satunya virus. Terdapat 2 jenis enchephalitis, yaitu primer dan
sekunder. Enchephalitis primer terjadi saat virus langsung menyerang otak dan saraf
tulang belakang. Sedangkan pada enchephalitis sekunder, infeksi virus pertama terjadi di
mana saja dalam tubuh dan kemudian menjalar ke otak.
1.2. ETIOLOGI
29
Beberapa tipe enchephalitis ada yang disebabkan oleh infeksi virus. Virus dapat
masuk ke tubuh anak melalui kulit, saluran pernapasan, dan saluran pencernaan. Setelah
masuk ke dalam tubuh, virus akan menyebar dan berkembang biak di jaringan otak Si
Kecil bahkan di beberapa organ tubuhnya. Ada sejumlah virus penyakit yang bisa
menyebabkan enchephalitis, seperti cacar air, campak, dan gondongan. Virus yang
paling berbahaya adalah Virus Herpes Simplex (VHS), tapi kasusnya sangat jarang
terjadi.
1.3. PATOFIOLOGI
Virus masuk ke dalam tubuh pasien melalui kulit, saluran nafas, dan saluran
pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh virus akan menyebar ke seluruh tubuh
melalui cara :
30
mengenai meningen. Pada anak, tampak gelisah kadang disertai perubahan tingkah laku.
Dapat disertai gangguan penglihatan, pendengaran, bicara, serta kejang. Gejala lain
berupa gelisah, rewel, perubahan perilaku, gangguan kesadaran, kejang. Kadang-kadang
disertai tanda neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis, hemiplagia, ataksia, dan
paralisis saraf otak. Masa inkubasi virus ini berkisar 4-15 hari.
1.4. KLASIFIKASI
1.6 PATHWAY
31
1.7 KOMPLIKASI
Komplikasi pada ensefalitis berupa :
a. Retardasi mental
b. Iritabel
c. Gangguan motoric
d. Epilepsi
e. Emosi tidak stabil
f. Sulit tidur
g. Halusinasi
h. Enuresis
i. Anak menjadi perusak dan melakukan tindakan asosial lain.
1.8 PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Biakan:
- Dari darah, viremia berlangsung hanya sebentar saja sehingga sukar untuk
mendapatkan hasil yang positif.
- Dari likuor serebro spinalis atau jaringan otak (hasil nekropsi), akan didapat
gambaran jenis kuman dan sensitivitas terhadap antibiotika.
- Dari feses, untuk jenis enterovirus sering didapat hasil yang positif
32
- Dari swap hidung dan tenggorokan, didapat hasil kultur positif
2. Pemeriksaan serologis : uji fiksasi komplemen, uji inhibisi hemaglutinasi dan uji
neutralisasi. Pada pemeriksaan serologis dapat diketahui reaksi antibody tubuh. IgM
dapat dijumpai pada awal gejala penyakit timbul.
3. Pemeriksaan darah : jika di tubuh terdapat virus west mile dalam analisis sampel
darah akan menunjukkan peningkatan antibodi terhadap virus atau terjadi
peningkatan angka leukosit.
4. Punksi lumbal Likuor serebo spinalis sering dalam batas normal, kadang-kadang
ditemukan sedikit peningkatan jumlah sel, kadar protein atau glukosa.
5. EEG / Electroencephalography EEG sering menunjukkan aktifitas listrik yang
merendah sesuai dengan kesadaran yang menurun. Adanya kejang, koma, tumor,
infeksi system saraf, bekuan darah, abses, jaringan parut otak, dapat menyebabkan
aktivitas listrik berbeda dari pola normal irama dan kecepatan.(Smeltzer, 2002)
6. CT scan Pemeriksaan CT scan otak seringkali didapat hasil normal, tetapi bisa pula
didapat hasil edema diffuse, dan pada kasus khusus seperti encephalitis herpes
simplex, ada kerusakan selektif pada lobus inferomedial temporal dan lobus frontal.
(Victor, 2001)
33
FORMAT ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
1. PENGKAJIAN
I. BIODATA
5. KELUHAN UTAMA
Pada anak dengan Echephalitis biasanya keluarga mengeluhkan bahwa panas
tubuh anak meningkat, kejang, kesadran menuruh
6. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Merupakan riwayat anak saat ini yang meliputi keluhan, sifat dan hebatnya
keluhan, mulai timbul atau kekambuhan dari penyakit yang pernah dialami
sebelumnya. Biasanya pada masa prodromal berlangsung antara 1-4 hari ditandai
dengan demam, sakit kepala, pusing, muntah, nyeri tenggorokan, malaise, nyeri
ekstrimitas dan pucat. Kemudian diikuti tanda ensefalitis yang berat ringannya
tergantung dari distribusi dan luas lesi pada neuron. Gejala terebut berupa gelisah,
irritable, screaning attack, perubahan perilaku, gangguan kesadaran dan kejang
kadang-kadang disertai tanda neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis,
hemiplegia, ataksia dan paralisi saraf otak.
34
Dalam hal ini yang dikaji meliputi riwayat prenatal, natal dan post natal.
Dalam riwayat prenatal perlu diketahui penyakit apa saja yang pernah diderita oleh
ibu terutama penyakit infeksi. Riwayat natal perlu diketahui apakah bayi lahir dalam
usia kehamilan aterm atau tidak karena mempengaruhi system kekebalan terhadap
penyakit pada anak. Trauma persalinan juga mempengaruhi timbulnya penyakit
contohnya aspirasi ketuban untuk anak. Riwayat post natal diperlukan untuk
mengetahui keadaan anak setelah lahir.
Contoh : BBLR, apgar score, yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
selanjutnya.
9. RIWAYAT IMUNISASI
Pada riwayat imunisasi mengakaji kapan terakhir kali anak memperoleh
imunisasi DTP, karena pada kasusu Echephalitis pada anak dapat terjadi pad poat
imunisasi pertunis
10. RIWAYAT PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN (SESUAI DENGAN
USIA ANAK)
Pada setiap anak yang mengalami penyakit yang sifatnya kronuis atau
mengalami hospitalisasi yang lama, kemungkinan terjadinya gangguan pertumbuhan
dan perkembangan sangat besar. Hal ini disebabkan pada keadaan sakit fungsi tubuh
menurun termasuk fungsi social anak. Tahun-tahun pertama pada anak merupakan
“tahun emas” untuk kehidupannya. Gangguan atau keterlambatan yang terjadi saat
ini harus diatasi untuk mencapai tugas –tugas pertumbuhan selanjutnya. Pengkajian
pertumbuhna dan perkembangan anak ini menjadi penting sebagai langkah awal
penanganan dan antisipasi.
IV. SOSIAL
35
Lingkungan dan keluarga anak sangat mendukung terhadap pertumbuhan dan
perkembangan anak. Perjalanan klinik dari penyakit sehingga mengganggu status
mental, perilaku dan kepribadian. Perawat dituntut mengkaji status klien atau keluarga
agar dapat memprioritaskan maslaah keperawatnnya, pada riwayat sosisal anak juga
mengkaji bagaimana pola interaksi anak, bagaimana kondisi lingkungan anak.
Terjadi perubahan dalam kebiasaan atau jenis makanan yang diberikan akibat dari
kondisi penyakitnya
2. Pola Eliminasi
Terjadi perubahan dari karakteristik faeses dan urine (warna , konsistensi, bau),
dapat terjadi inkontinensia atau retensi dari urin atau alvi, nyeri tekan abdomen.
4. Pola Aktivitas
1. Pemeriksaan Umum
2. Pemeriksaan Fisik
36
Ektermitas : Kejang, Ataksia
1. Biakan
2. Pemeriksaan serologis : Uji fiksasi, komplemen, uji inhibisi, hemaglobinasi, dan uji
neotralisasi
3. EEG
4. Lumbal Pungsi
5. Biopsi Otak
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
d. Nyeri b/d adanya proses infeksi yang ditandai dengan anak menangis, gelisah.
e. Gangguan mobilitas b/d penurunan kekuatan otot yang ditandai dengan ROM
Terbatas.
f. Gangguan asupan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan mual
muntah.
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
Nyeri b/d adanya proses infeksi yang ditandai dengan anak menangis, gelisah.
37
Intervensi :
a. Berikan lingkungan yang tenang, ruangan agak gelap sesuai dengan indikasi
Rasional : Menurunkan reaksi terhadap stimulasi dari luar atau sensitifitas pada
cahaya dan meningkatkan istirahat/rileksasi
d. Dukung untuk menemukan posisi yang nyaman sperti kepala agak tinggi sedikit
pada meningitis
e. Berikan latihan rentang gerak aktif/pasif secara tepat dan masase otot daerah leher
dan bahu.
4. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
5. EVALUASI KEPERAWATAN
38
Tahap terakhir dalam tindakan keperawatan. Format evaluasi yang sering digunakan
adalah SOAP, dalam format ini dapat diketahui perkembangan keadaan klien setelah
dilakukannya tindakan
DAFTAR PUSTAKA
Laboratorium UPF Ilmu Kesehatan Anak, Pedoman Diagnosis dan Terapi, Fakultas
Kedokteran UNAIR Surabaya, 1998
Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Mansjoer, Arif, dkk (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2. Jakarta : Media
Eusculapius.
Doegoes, Marilynn E, dkk (1999). Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3. Jakarta : EGC
Tucker, Susan Martinm, dkk (1998). Standar Perawatan Pasien, Volume 3. Jakarta : EGC
https://www.academia.edu/34971346/MAKALAH_ENCEPHALITIS_angra?auto=download
https://www.academia.edu/31803851/LAPORAN_PENDAHULUAN_DENGAN_ENSEFA
LITIS
39
TUGAS KEPERAWATAN ANAK
DOSEN PEMBIMBING :
DOSEN PEMBIMBING :
DISUSUN OLEH :
TINGKAT II REGULER B
JURUSAN KEPERAWATAN
A. Pengertian
Meningitis adalah inflamasi akut pada meninges. Organisme penyebab
meningitis bakterial memasuki area secara langsung sebagai akibat cedera traumatik
atau secara tidak langsung bila dipindahkan dari tempat lain di dalam tubuh ke dalam
cairan serebrospinal (CSS). Berbagai agens dapat menimbulkan inflamasi pada
meninges termasuk bakteri, virus, jamur, dan zat kimia (Betz, 2009).
Meningitis adalah infeksi yang terjadi pada selaput otak (termasuk durameter,
arachnoid, dan piameter) (Harold, 2005). Meningitis adalah peradangan pada selaput
meningen, cairan serebrospinal dan spinal column yang menyebabkan proses infeksi pada
sistem saraf pusat (Suriadi, 2006).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa meningitis
adalah suatu peradangan dari selaput-selaput (meningen) yang mengelilingi otak dan
sumsum tulang belakang (spinal cord).
B. Etiologi
Penyebab dari meningitis meliputi :
1. Bakteri piogenik yang disebabkan oleh bakteri pembentuk pus, terutama
meningokokus, pneumokokus, dan basil influenza.
2. Virus yang disebabkan oleh agen-agen virus yang sangat bervariasi.
3. Organisme jamur (Muttaqin, 2008)
41
C. Klasifikasi
1. Meningitis diklasifikasikan sesuai dengan faktor penyebabnya :
a. Asepsis
Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitis virus atau
menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak, ensefalitis,
limfoma, leukimia, atau darah di ruang subarakhnoid.
Eksudat yang biasanya terjadi pada meningitis bakteri tidak terjadi pada
meningitis virus dan tidak ditemukan organisme pada kultur cairan otak.
Peradangan terjadi pada seluruh korteks serebri dan lapisan otak. Mekanisme
atau respons dari jaringan otak terhadap virus bervariasi bergantung pada jenis
sel yang terlibat.
b. Sepsis
Meningitis sepsis menunjukkan meningitis yang disebabkan oleh organisme
bakteri seperti meningokokus, stafilokokus, atau basilus influenza. Bakteri
paling sering dijumpai pada meningitis bakteri akut, yaitu Neiserria
meningitdis (meningitis meningokokus), Streptococcus pneumoniae (pada
dewasa), dan Haemophilus influenzae (pada anak- anak dan dewasa muda).
Bentuk penularannya melalui kontak langsung, yang mencakup droplet dan
sekret dari hidung dan tenggorok yang membawa kuman (paling sering) atau
infeksi dari orang lain. Akibatnya, banyak yang tidak berkembang menjadi
infeksi tetapi menjadi pembawa (carrier). Insiden tertinggi pada meningitis
disebabkan oleh bakteri gram negatif yang terjadi pada lansia sama seperti pada
seseorang yang menjalani bedah saraf atau seseorang yang mengalami
gangguan respons imun.
c. Tuberkulosa
Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basilus tuberkel. Infeksi meningen
umumnya dihubungkan dengan satu atau dua jalan, yaitu melalui salah satu aliran
darah sebagai konsekuensi dari infeksi-infeksi bagian lain, seperti selulitis, atau
melalui penekanan langsung seperti didapat setelah cedera traumatik tulang wajah.
Dalam jumlah kecil pada beberapa kasus merupakan iatrogenik atau hasil
sekunder prosedur invasif seperti lumbal pungsi) atau alat-alat invasif (seperti alat
pemantau TIK) (Muttaqin, 2008).
42
2. Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada
cairan otak, yaitu :
a. Meningitis Serosa
Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak
yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa.
Penyebab lainnya virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.
b. Meningitis Purulenta
Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan
medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae
(pneumokokus), Neisseria meningitis (meningokokus), Streptococcus
haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia
coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa (Satyanegara, 2010).
D. Patofisiologi/ Pathway
Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari orofaring dan diikuti dengan
septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas. Faktor
predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media, mastoiditis, anemia
sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf baru, trauma kepala dan
pengaruh imunologis. Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian
tengah dan saluran mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen;
semuanya ini penghubung yang menyokong perkembangan bakteri.
Organisme masuk ke dalam aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di
dalam meningen dan di bawah korteks yang dapat menyebabkan trombus dan
penurunan aliran darah serebral. Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme
akibat eksudat meningen, vaskulitis dan hipoperfusi. Eksudat purulen dapat menyebar
sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang juga menyebar ke dinding membran
ventrikel serebral. Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis
intrakranial, yang terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan
otak (barier otak), edema serebral dan peningkatan TIK.
Pada infeksi akut pasien meninggal akibat toksin bakteri sebelum terjadi
meningitis. Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi
43
dan dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-
Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh
darah yang disebabkan oleh meningokokus (Corwin, 2009).
E. Pathway
44
F. Tanda dan Gejala (Manifestasi Klinis)
1. Neonatus :
Menolak untuk makan, refleks menghisap kurang, muntah, diare, tonus otot
melemah, menangis lemah.
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan pungsi lumbal
Dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal, dengan
syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial.
45
a. Pada meningitis serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih,
sel darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
b. Pada meningitis purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah
sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun,
kultur (+) beberapa jenis bakteri.
2. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar Hb, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Di samping itu,
pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
H. Penatalaksanaan
Penatalaksaan medis meningitis yaitu :
1. Antibiotik sesuai jenis agen penyebab
2. Steroid untuk mengatasi inflamasi
3. Antipiretik untuk mengatasi demam
4. Antikonvulsant untuk mencegah kejang
5. Neuroprotector untuk menyelamatkan sel-sel otak yang masih bisa
dipertahankan
6. Pembedahan seperti dilakukan VP Shunt (Ventrikel Peritoneal Shunt)
Ventriculoperitoneal Shunt adalah prosedur pembedahan yang dilakukan
untuk membebaskan tekanan intrakranial yang diakibatkan oleh terlalu banyaknya
cairan serbrospinal. Cairan dialirkan dari ventrikel di otak menuju rongga
peritoneum. Prosedur pembedahan ini dilakukan di dalam kamar operasi dengan
anastesi umum selama sekitar 90 menit. Rambut di belakang telinga dicukur, lalu
dibuat insisi tapal kuda di belakang telinga dan insisi kecil lainnya di dinding
abdomen. Lubang kecil dibuat pada tulang kepala, lalu selang kateter dimasukkan
ke dalam ventrikel otak. Kateter lain dimasukkan ke bawah kulit melalui insisi di
belakang telinga, menuju ke rongga peritoneum. Sebuah katup diletakkan di
bawah kulit di belakang telinga yang menempel pada kedua kateter. Bila terdapat
46
tekanan intrakranial meningkat, maka CSS akan mengalir melalui katup menuju
rongga peritoneum (Jeferson, 2004).
Terapi bedah merupakan pilihan yang lebih baik. Alternatif lain selain
pemasangan shunt antara lain:
a. Choroid pleksotomi atau koagulasi pleksus Choroid
b. Membuka stenosis akuaduktus
c. Eksisi tumor
d. Fenestrasi endoskopi
PENGKAJIAN
47
I. BIODATA
Biodata klien berisi nama, umur, alamat, jenis kelamin, agama, pendidikan, dan suku
bangsa. Anak pada usia di bawah 2 tahun rentang terkena meningitis dikarenakan
sistem kekebalan tubuhnya yang masih lemah (belum terbentuk sempurna).
Meningitis lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dikarenakan
beberapa faktor, antara lain laki-laki lebih sering dalam penggunaan rokok sehingga
lebih meningkatkan risiko terjadinya meningitis, kejadian trauma yang lebih tinggi
pada laki-laki juga dapat meningkatkan risiko terjadinya meningitis. Meningitis
merupakan masalah yang signifikan pada banyak area di dunia, terutama pada
negara-negara berkembang.
Identitas penanggungjawab atas klien yang dibawah umur biasanya di isi oleh orang
tua atau orang yang tinggal bersama dengannya, dengan format nama, umur,
alamat, dan pekerjaan.
II. RIWAYAT KESEHATAN ANAK
11. KELUHAN UTAMA
Keluhan utama yang sering timbul pada anak dengan meningitis yaitu, panas badan
tinggi lebih dari satu minggu, sakit kepala, kejang, hingga terjadinya penurunan
kesadaran.
12. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Demam umumnya ada dan tetap tinggi selama perjalanan penyakit. Klien biasanya
mengalami nyeri dibagian kepala, terasa kaku dibagian leher, sering mengeluh sulit
tidur, hingga ditemukannya benjolan pada leher klien akibat terjadinya pembesaran
kelenjar tiroid.
13. RIWAYAT KESEHATAN YANG LALU
Pengkajian penyakit yang pernah dialami pasien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang, meliputi pasien dengan
infeksi jalan napas bagian atas, otitis media, mastoiditis, tindakan bedah saraf,
riwayat trauma kepala dan adanya pengaruh immunologis pada masa sebelumnya.
48
Pada fase kehamilan, ibu hamil akan lebih berisiko tertular listeriosis, infeksi yang
disebabkan oleh bakteri listeria yang dapat menyebabkan penyakit meningitis
pada ibu dan janinnya.
Faktor maternal seperti pecah ketuban dini dapat menjadi penyebab utama
meningitis pada neonatal.
Berat badan lahir rendah juga dapat mengakibatkan meningitis pada neonatal
15. RIWAYAT IMUNISASI
Terdapat 2 vaksin yang setidaknya harus diberikan kepada bayi untuk mencegah
meningitis, yaitu :
1. Imunisai Hib
Imunisasi Hib dapat mencegah bayi terkena meningitis akibat bakteri
Haemophilus influenza tipe B (Hib). Imunisasi ini sebaiknya diberikan saat bayi
berusia 2, 3, dan 4 bulan
c. Lingkar kepala
Bagian kepala akan mengalami pembengkakan (makrosefali), akibat fontanel
(titik lunak yang berada di atas kepala) yang menonjol, sehingga ukuran
49
lingkar kepala pada anak dengan meningitis cenderung lebih besar daripada
normalnya.
d. Lingkar dada
Anak dengan meningitis, tidak mengalami kelainan pertumbuhan pada lingkar
dadanya.
e. Lingkar lengan atas
Anak dengan meningitis, tidak mengalami kelainan pertumbuhan pada lingkar
lengan atasnya
2) Perkembangan
a. Usia anak (0-<6 Th)
Anak dengan meningitis akan mengalami gangguan dalam hal motorik halus,
motorik kasar, adanya keterlambatan berbicara dan kemampuan mengolah
bahasa, dan perkembangan sosialnya.
b. Anak Usia sekolah (>6 Th)
Pada anak dengan meningitis akan terjadi gangguan pada perkembangan
mental dan intelegensi karena adanya retardasi mental yang mengakibatkan
perkembangan mental dan kecerdasan anak terganggu. Anak akan mudah
gelisah, dan dapat berkembang menjadi fotofobia, halusinasi, hingga
menimbulkan kelakuan yang agresif.
50
Biasanya orang tua akan membawa anaknya ke rumah sakit ketika anaknya demam
tinggi (lebih dari 3-5 hari).
V. SOSIAL
Anak dengan meningitis biasanya akan mengalami gangguan pada pola interaksi karena
adanya keterlambatan dalam berbicara dan mengolah kata
VI. SPIRITUAL
Biasanya klien dengan meningitis akan mengalami gangguan dalam menjalankan
ibadahnya karena klien selalu mengalami sakit kepala yang hebat
51
VIII. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan umum dan kesadaran :
Anak dengan meningitis akan merasakan sakit kepala yang hebat, nyeri otot, kaku
kuduk, sakit punggung, dan menunjukan ekspresi rasa takut. Anak juga dapat
mengalami penurunan kesadaran hingga akhirnya koma.
2. Tanda-tanda vital :
Suhu tubuh meningkat (38– 41°C)
Nadi cenderung lambat akibat adanya tekanan intra kranial yang meningkat
3. Kepala :
Muka tampak kemerahan karena demam dan bagian kepala akan mengalami
pembengkakan (makrosefali), akibat fontanel (titik lunak yang berada di atas
kepala) yang menonjol
4. Mata :
Anak dengan meningitis biasanya akan mengalami fotofobia atau sensitif yang
berlebihan terhadap cahaya, konjungtiva anemis dan epitaksis pada grade II, III, dan
IV.
5. Telinga :
Kehilangan pendengaran dapat terjadi karena peradangan bisa merusak koklea,
organ kecil yang bertanggung jawab dalam mengirimkan sinyal suara ke otak
6. Hidung :
Biasanya pada anak dengan meningitis tidak ada kelainan fungsi penciuman.
7. Mulut :
Mukosa mulut kering dan terdapat nyeri telan
8. Leher :
Biasanya pada anak dengan meningitis tidak ada kelainan di lehernya.
9. Dada :
Ronkhi dapat ditemui pada meningitis grade III dan IV
10. Abdomen :
52
Akibat mengalami mual muntah yang terlalu sering, biasanya anak akan mengalami
nyeri tekan. Klien dengan splenomegaly berisiko tinggi terkena meningitis
11. Lengan :
Tonus otot akan melemah (hipotonus), terdapat nyeri otot dan persendian, kontrol
keseimbangan dan koordinasi gerak pada anak dengan meningitis tahap lanjut akan
mengalami perubahan.
12. Punggung :
Anak dengan meningitis tidak mengalami kelainan pada punggungnya.
13. Genetalia :
Anak dengan meningitis tidak mengalami kelainan pada organ genetalia
14. Pinggul :
Anak dengan meningitis tidak mengalami kelainan pada bentuk pinggulnya
15. Bokong :
Anak dengan meningitis tidak mengalami kelainan pada bokongnya
16. Anus :
Anak dengan meningitis tidak mengalami kelainan pada anusnya
17. Tungkai :
Anak dengan meningitis tidak mengalami kelainan pada tungkainya
18. Kaki :
Tonus otot akan melemah (hipotonus), terdapat nyeri otot dan persendian, kontrol
keseimbangan dan koordinasi gerak pada anak dengan meningitis tahap lanjut akan
mengalami perubahan.
53
b. Pada meningitis purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah sel
darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa jenis
bakteri.
2. Pemeriksaan darah
Dilakukan pemeriksaan kadar Hb, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar
glukosa, kadar ureum, elektrolit dan kultur.
a. Pada Meningitis Serosa didapatkan peningkatan leukosit saja. Di samping itu,
pada Meningitis Tuberkulosa didapatkan juga peningkatan LED.
b. Pada Meningitis Purulenta didapatkan peningkatan leukosit.
X. TERAPI MEDIS
1. Terapi Antibiotik
Pemilihan antimikrobial pada meningitis otogenik tergantung pada pemilihan
antibiotika yang dapat menembus sawar darah otak, bakteri penyebab serta
perubahan dari sumber dasar infeksi. Bakteriologikal dan respon gejala klinis
kemungkinan akan menjadi lambat, dan pengobatan akan dilanjutkan paling sedikit
14 hari setelah hasil kultur CSF akan menjadi negatif.
Penatalaksanaan pengobatan meningitis meliputi: Pemberian antibiotik yang
mampu melewati barier darah otak ke ruang subarachnoid dalam konsentrasi yang
cukup untuk menghentikan perkembangbiakan bakteri.
54
a. Antikonvulsi, Diazepam IV; 0,2-0,5 mgkgBB/dosis, atau rectal: 0,4-0,6 mg/kgBB,
atau fenitoin 5 mg/kgBB/24 jam, 3 x sehari atau Fenobarbital 5-7 mg/kgBB/24
jam, 3 x sehari.
b. Antipiretik: parasetamol/asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis.
c. Antiedema serebri: Diuretikosmotik (seperti manitol) dapat digunakan untuk
mengobati edema serebri.
d. Pemenuhan oksigenasi dengan O2.
e. Pemenuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik: pemberian tambahan
volume cairan intravena
2. Kortikosteroid
Efek anti inflamasi dari terapi steroid dapat menurunkan edema serebri,
mengurangi tekanan intrakranial, akan tetapi pemberian steroid dapat menurunkan
penetrasi antibiotika kedalam abses dan dapat memperlambat pengkapsulan abses,
oleh karena itu penggunaan secara rutin tidak dianjurkan. Oleh karena itu
kortikosteroid sebaiknya hanya digunakan untuk tujuan mengurangi efek masa atau
edema pada herniasi yang mengancam dan menimbukan defisit neurologik fokal.
Penanganan vokal infeksi dengan tindakan operatif mastoidektomi. Pendekatan
mastoidektomi harus dapat menjamin eradekasi seluruh jaringan patologik
dimastoid. Maka sering diperlukan mastoidektomi radikal. Tujuan operasi ini adalah
untuk memaparkan dan mengeksplorasi seluruh jalan yang mungkin digunakan oleh
invasi bakteti.
Selain itu juga dapat dilakukan tindakan trombektomi, jugular vein
ligation,perisinual dan cerebellar abcess drainage yang diikuti antibiotika broad
spectrum dan obat-obatan yang mengurangi edema otak yang tentunya akan
memeberikan outcome yang baik pada penderita komplikasi intrakranial dari otitis
media. (Majalah Kedokteran Nusantara Vol.3.2006)
DIAGNOSA KEPERAWATAN
55
1. Nyeri kronik b.d kerusakan sistem saraf d.d anak mengeluh nyeri, tampak
meringis, gelisah, dan tidak mampu menuntaskan aktivitas
2. Hipertermi b.d proses penyakit d.d suhu tubuh diatas nilai normal
3. Gangguan rasa nyaman b.d gejala penyakit d.d gelisah, suhu tubuh meningkat,
anak nampak tidak nyaman
4. Resiko cedera b.d adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat
kesadaran
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Nyeri kronik b.d kerusakan sistem saraf d.d anak mengeluh nyeri, tampak
meringis, gelisah, dan tidak mampu menuntaskan aktivitas
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan nyeri pada
anak berkurang / rasa sakit terkontrol
Kriteria hasil :
Keluhan nyeri menurun
Gelisah menurun
Kesulitan tidur menurun
Tampak meringis menurun
INTERVENSI RASIONALISASI
Observasi nyeri yang dirasakan klien Mengetahui tingkat nyeri yang dirasakan,
dengan menggunakan PQRST sehingga memudahkan pemberian
intervensi selanjutnya
56
Buat lingkungan yang aman dan tenang Menurukan reaksi terhadap rangsangan
ekternal atau kesensitifan terhadap
cahaya dan menganjurkan pasien untuk
beristirahat
Lakukan latihan gerak aktif atau pasif Dapat membantu relaksasi otot-otot
sesuai kondisi dengan lembut dan hati- yang tegang dan dapat menurunkan rasa
hati sakit / disconfort
2. Hipertermia b.d proses penyakit d.d suhu tubuh diatas nilai normal
Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan suhu tubuh
anak akan menurun dan kembali normal
Kriteria hasil:
Suhu tubuh 36,5 - 37,5 ° C
Menggigil menurun
INTERVENSI RASIONALISASI
Monitor suhu badan anak setiap 4 jam Pemantauan tanda vital yang teratur
dapat menentukan perkembangan
keperawatan yang selanjutnya.
57
Monitor suhu lingkungan Untuk mempertahankan suhu badan
anak mendekati normal
Anjurkan untuk menggunakan baju tipis Proses hilangnya panas akan terhalangi
dan terbuat dari kain katun oleh pakaian tebal dan tidak dapat
menyerap keringat
3. Gangguan rasa nyaman b.d gejala penyakit d.d gelisah, suhu tubuh meningkat,
anak nampak tidak nyaman
Tujuan :
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan klien akan
menunjukkan rasa nyaman
Kriteria hasil :
Suhu tubuh kembali normal 36 – 37,5º C
Anak tidak rewel
Anak tidak mudah terbangun saat tidur
INTERVENSI RASIONAL
Kaji faktor–faktor terjadinya Menghindari faktor dari luar yang dapat
hipertermia menyebabkan meningkatnya suhu tubuh
Anjurkan untuk menggunakan baju Menjaga kenyamanan anak saat tidur
tipis dan terbuat dari kain katun ketika
tidur
Atur sirkulasi udara ruangan Menyediakan udara bersih untuk anak
Batasi aktivitas fisik Aktivitas meningkatkan metabolisme dan
meningkatkan panas
Pertahankan suhu tubuh normal Suhu tubuh dapat dipengaruhi oleh tingkat
aktivitas, suhu lingkungan, kelembapan
tinggi akan mempengaruhi panas atau
dinginnya tubuh
58
4. Resiko cedera b.d adanya kejang, perubahan status mental dan penurunan tingkat
kesadaran
Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam, diharapkan anak terbebas
dari injuri yang disebabkan oleh kejang dan penurunan kesadaran
Kriteria hasil :
Kontrol kejang meningkat
Keamanan lingkungan meningkat
Tingkat jatuh menurun
INTERVENSI RASIONAL
Monitor kejang pada tangan, kaki, Gambaran tribalitas sistem saraf pusat
mulut dan otot-otot lainnya memerlukan evaluasi yang sesuai dengan
intervensi yang tepat untuk mencegah
terjadinya komplikasi.
Persiapkan lingkungan yang aman Melindungi pasien bila kejang terjadi
seperti batasan ranjang, papan
pengaman, dan alat suction selalu
berada dekat pasien.
Pertahankan bedrest total selama fase Mengurangi resiko jatuh / terluka jika
akut vertigo, sincope, dan ataksia terjadi
Kolaborasi Untuk mencegah atau mengatasi kejang
Berikan terapi sesuai advis dokter dengan cepat
seperti : diazepam dan phenobarbital
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
59
kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan
kesehatan klien.
EVALUASI KEPERAWATAN
Hal hal yang perlu dievaluasi dalam pemberian asuhan keperawatan berfokus pada kriteria
hasil dari tiap-tiap masalah keperawatan dengan pedoman pembuatan SOAP. Tahap penilaian
atau evaluasi adalah perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan klien
dengan tujuan yang telah ditetapkan. Dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan
melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi dapat berupa masalah teratasi,
masalah teratasi sebagian, dan masalah tidak teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily Lynn. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC. Corwin,
Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.
60
Jeferson, Thomas. 2004. Ventriculoperitoneal Shunt. Thomas Jeferson University Hospital.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta : Salemba Medika.
Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan
Berdasarkan Diagnosa Medis dan NANDA (North America Nursing Diagnosis Association)
NIC-NOC. Yogyakarta : Mediaction Publishing.
Satyanegara. 2010. Ilmu Bedah Saraf edisi IV. Tangerang : Gramedia Pustaka Utama.
Smeltzer, Suzanne C. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Edisi 8. Jakarta : EGC
61
62
TUGAS KEPERAWATAN ANAK
MENINGOKEL
Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh :
TINGKAT II REGULER B
63
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................................................................................i
1.1 LAPORAN PENDAHULUAN MENINGOKEL.......................................................1
1.2 ASUHAN KEPERAWATAN TEORI ANAK MENINGOKEL ............................6
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................12
i
1.1 Laporan Pendahuluan Pada Klien Meningokel
1.1.1 Definisi
Meningokel adalah salah satu dari tiga jenis kelainan bawaan spi
na bifida. Meningokel adalah meningens yang menonjol melalui vertebra
tidak utuh dan teraba sebagai suatu benjolan berisi cairan dibawah kulit. (Wafi
Nur, 2010).
Meningokel merupakan bagian dari gangguan pembentukan tabung saraf
pada janin. Kantung atau kista meningokel muncul melalui celah di tulang
belakang. Tonjolan ini dipenuhi oleh sebagian selaput tulang belakang dan
cairan tulang belakang.
1.1.2 Etiologi
Penyebab spesifik dari meningokel belum diketahui. Banyak factor seperti
keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam terjadinya defek ini. Tuba
neural umumnya lengkap empat minggu setelah konsepsi. Hal- hal berikut ini
telah ditetapkan sebagai faktor penyebab :
1) Kadar vitamin maternal rendah, termasuk asam folat dan hipertermia
selama kehamilan. Diperkirakan hampir 50% defek tuba neural dapat
dicegah jika wanita bersangkutan meminum vitamin-vitamin prakonsepsi,
termasuk asam folat. (buku saku keperawatan pediatric Cecila L. Betz &
Linda A. Sowden.2002)
2) Kelainan konginetal SSP yang paling sering dan penting ialah defek tabung
neural yang terjadi pada 3-4 per 100.000 lahir hidup. Bermacam-macam
penyebab yang berat menentukan morbiditas dan mortalitas, tetapi banyak
dari abnormalitas ini mempunyai makna klinis yang kecil dan hanya dapat
dideteksi pada kehidupan lanjut yang ditemukan secara kebetulan. (Patologi
Umum Dan Sistematik Vol 2, J.C.E. Underwood. 1999)
3) Gangguan pembentukan komponen janin saat dalam kandungan.
4) Penonjolan dari korda spinalis dan meningens menyebabkan kerusakan pada
korda spinalis dan akar saraf, sehingga terjadi penurunan atau gangguan
fungsi pada bagian tubuh yang dipersarafi oleh saraf tersebut atau bagian
bawahnya
2
2.1.3 Patofisiologi Meningokel
3
2.1.4 Pathway
Peningkatan
produksi CCS
Nyeri Kronis
2.1.8 Penatalaksanaan
Tujuan dari pengobatan awal meningokel adalah mengurangi kerusakan
saraf, meminimalkan komplikasi (misalnya infeksi), serta membantu keluarga
dalam menghadapi kelainan ini.
1. Pembedahan dilakukan pada periode neonatal untuk mencegah rupture.
2. Terapi fisik dilakukan agar pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk
memperkuat fungsi otot.
Kelainan saraf lainnya diobati sesuai dengan jenis dan luasnya
gangguan fungsi yang terjadi. Kadang-kadang pembedahan shunting untuk
memperbaiki hidrosefalus. Seksio sesarae terencana, sebelum melahirkan,
dapat mengurangi kerusakan neurologis yang terjadi pada bayi dengan defek
korda spinalis.
2.1.9 Komplikasi
1) Hidrosefalus
2) Meningitis
3) Hidrosiringomielia
4) Intraspinal
5) Tumor
6) Kiposkoliosis
7) Kelemahan permanen atau paralisis pada ekstermitas bawah
8) Serebral palsy disfungsi batang otak
9) Infeksi pada sistem organ lain
10) Sindroma Arnold-Chiari
11) Gangguan pertumbuhan
5
2.1.10 Cara Pencegahan
Risiko terjadinya meningokel bisa dikurangi dengan mengkonsumsi
asam folat. Kekurangan asam folat pada seorang wanita harus dikoreksi
sebelum wanita tersebut hamil, karena kelainan ini terjadi sangat dini.
Kepada wanita yang berencana untuk hamil dianjurkan untuk
mengkonsumsi asam folat sebanyak 0,4 mg/hari. Kebutuhan asam folat pada
wanita hamil adalah 1 mg/hari.
6
1.2 Asuhan Keperawatan Teori Pada Anak Meningokel
1.2.1 Pengkajian
1) Identitas Klien
Meliputi nama, tempat tanggal lahir, usia, jenis kelamin, agama,
pendidikan, alamat, tanggal masuk, tanggal pengkajian, diagnosa medik.
Biasanya sering terjadi pada anak dengan jenis kelamin perempuan
daripada laki-laki (3:2).
2) Identitas Orang tua
Meliputi nama, tempat tanggal lahir, usia, jenis kelamin, pendidikan,
pekerjaan/sumber penghasilan, agama, alamat.
3) Identitas Saudara Kandung
STATUS
No NAMA U S I A HUBUNGAN
KESEHATAN
1. BCG
2. DPT (I,II,III)
7
Polio
3.
(I,II,III,IV)
4. Campak
5. Hepatitis
Biasanya
Ibu pada
saat hamil
mengalami
kekurangan asam folat.
1.2.6 Riwayat Spiritual
Pada tahap ini meliputi support sistem dalam keluarga, kegiatan keagamaan.
1.2.7 Riwayat Hospitalisasi
Pada tahap ini meliputi pengalaman keluarga tentang sakit dan rawat inap
(alasan Ibu membawa anaknya ke RS, kondisi anak menurut dokter, perasaan
orang tua saat ini, Orang tua selalu berkunjung ke RS, yang akan tinggal
dengan anak), pemahaman anak tentang sakit dan rawat inap.
1.2.8 Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Biasanya personal hygiene klien berkurang karena ada gangguan anggota
gerak
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Biasanya klien terjadi gangguan nutrisi karena mengalami gangguan
anggota gerak
3) Pola Eliminasi
8
Biasanya klien tidak mempunyai gangguan pada BAK dan BAB.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Biasanya klien mengalami gangguan tidur
5) Pola Hubungan dan Peran
Biasanya klien kehilangan perannya sebagai anggota keluarga dan
masyarakat sekitar
6) Pola Aktivitas dan Latihan
Biasanya klien mengalami gangguan pada aktivitasnya
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Biasanya klien mengalami gangguan dalam cara menerima gambaran
dirinya
8) Pola Sensori dan Kognitif
Biasanya klien mengalami gangguan daya penglihatan, nyeri, gangguan
kognitif karena klien dan keluarga klien tidak mengerti tentang penyakit
yang diderita oleh klien.
9) Pola Reproduksi Seksual
Biasanya klien mengalami disfungsi seksual dikarenakan ada gangguan
pada anggota gerak
10) Pola Penanggulangan Stress
Biasanya klien mengalami kecemasan dan gelisah
11) Pola Tata Nilai dan Kepercayaan
Biasanya apabila klien tidak mengalami gangguan kesadaran, maka klien
tidak mengalami gangguan pada tata nilai dan kepercayaannya
1.2.9 Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
Peningkatan lingkar kepala, Pusing, tidak ada lesi.
2) Wajah
Simetris, wajah nampak lesu, pucat, tidak ada nyeri tekan
3) Mata
Simetris antara kanan dan kiri, bola mata simetris, pergerakan mata normal,
pupil dapat merespon cahaya dengan baik, konjungtiva anemis, mata
terlihat cowong
4) Telinga
Simetris, tidak ada serumen, tidak ada lesi dan tidak menggunakan alat
bantu dengar
9
5) Hidung
Simetris, tidak ada secret, tidak ada lesi, tidak ada nyeri tekan
6) Leher
Simetris, tidak ada benjolan, pembengkakan, tidak ada nyeri
7) Mulut
Simetris, tidak ada lesi, nampak pucat
8) Kulit
Baik normal
9) Kuku
Bersih, tdak ada tanda-tanda clubing finger,
10) Dada
I Simetris, tidak ada benjolan, tidak ada pembengkakan, Takikardi, letargi,
fatigue
A Suara nafas vesikuler, tidak ada suara nafas tambahan
P Tidak ada nyeri tekan,
P Perkusi paru sonor
11) Kardiovaskuler
Teraba, S1 S2 tunggal tidak ada suara tambahan.
12) Abdomen
Simetris, tidak ada distensi, tidak ada benjolan, perut nampak kurus
13) Genetalia
Baik normal
14) Ekstermitas
Ekstermitas Atas
Tangan masih bisa diangkat, tidak ada nyeri tekan, simetris
Ekstermitas Bawah
Kaki masih bisa diangkat, tidak ada nyeri tekan, simetris
11
Tujuan : Setelah di lakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam integritas kulit
meningkat dengan kriteria hasil :
Kerusakan jaringan menurun
Kerusakan lapisan kulit menurun
Kemerahan menurun
Hematoma menurun
Pigmentasi abnormal menurun
Intervensi :
1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
R : mengetahui penyebab gangguan integritas kulit
2. Lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang
R : memperlancar peredaran darah, meningkatkan relaksasi dan mencegah iritasi
3. Ubah posisi tiap 2 jam
R : penekanan yang lama pada salah satu bagian tubuh dapat menyebabkan
dekubitus
4. Anjurkan menggunakan pelembab
R : agar tidak terjadi iritasi kulit
Intervensi :
1. Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
R : mengetahui kesiapan klien dalam menerima informasi yang akan diberikan
2. Sediakan materi dan media pendidikan kesehatan
R : agar mempermudah dalam memberikan informasi kepada klien
3. Berikan kesempatan bertanya
12
R : meningkatkan pemahaman
4. Jelaskan faktor resiko yang dapat mempengaruhi kesehatan
R : mengetahui faktor yang mempengaruhi kesehatan
13
DAFTAR PUSTAKA
Riyadi, dkk. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu
14
LAPORAN PENDAHULUAN
Dosen Pembimbing :
Indriatie,S.Kp., M.M.Kes
Disusun Oleh :
JURUSAN KEPERAWATAN
SURABAYA
2020
15
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Pengertian
Labioschisis adalah adanya gangguan fusi maxillary swelling dengan medial
nasal swelling pada satu sisi akan menimbulkan kelaianan berupa labioschisis
unilateral. Bila kegagalan fusi ini menimbulkan celah di daerah prealveolaris, maka
celah tersebut dikatakan inkomplet, sedang selebihnya dikatakan labioschisis komplet.
Celah bibir adalah kelainan kongenital pada bibir yang disebabkan oleh kegagalan
struktur fasial embrionik yang tidak komplet, kelainan ini dapat
diasosiasikan dengan anomali lain juga. Insidensi kalainan ini adalah 1 di antara 750
kelahiran hidup. Celah bibir, lebih sering terjadi pada anak laki-laki, dapat muncul
berupa indentasi ringan hingga celah terbuka. (Kathleen Morgan Speer. 2007)
Bibir sumbing atau Labioschisis adalah suatu kelainan bawaan yang terjadi
pada bibir bagian yang dapat disertai kelainan pada langit-langit. Bibir sumbing
merupakan suatu gangguan pada pertumbuhan wajah sejak embrio umur minggu ke
IV.
Labioschisis adalah kelainan congenital sumbing yang terjadi akibat
kegagalam fusi atau penyatuan prominen maksilaris dengan prominen nasalis medial
yang diikuti disrupsi kedua bibir, rahang dan palatum anterior
B. Epidemiologi
Insiden bibir sumbing atau Labioschisi sebanyak 2,1 dalam 1000 kelahiran pada etnis
Asia, 1:1000 pada etnis Kaukasia, dan 0,41:1000 pada etnis Afrika- Amerika. Insiden
tertinggi terdapat pada orang Asia dan terendah pada kulit hitam. Labioschisis lebih
sering terjadi pada laki - laki. Celah pada bibir (cleft lip) disebabkan oleh kegagalan
perkembangan dan penyatuan processus frontonasal dan processus maxilaris. Bibir
sumbing bisa terdapat pada satu sisi atau kedua sisi dari garis tengah. Biasanya
sumbing bibir sisi kiri lebih sering ditemukan dari pada sisi kanan. Karena
vaskularisasi sisi kanan lebih baik, sehingga sumbing sisi kanan lebih dahulu
mencapai bagian medial. Pria lebih sering terjadi sumbing dari pada wanita. Karena
wanita memiliki vaskularisasi yg lebih baik, sehingga wanita lebih cepat terjadi
penutupan dari pada pria. Kelainan bibir terdiri atas berbagai macam, diantaranya bibir
sumbing (Labio-schisis), sumbing atau celah pada langit-langit rongga mulut
(Palatoschisis), atau pun gabungan dari keduanya berupa sumbing bibir dan langitan
16
(Labiopalato-schisis), dan sumbing bibir sampai gusi dan langit-langit
(Labiogenatopalatoschisis). Kelainan tersebut juga biasa terjadi pada satu sisi rahang
(unilateral) ataupun pada kedua sisi yaitu kanan dan kiri (bilateral). Pembentukannya
dimulai pada minggu ke 4 kehamilan. Peristiwa ini terjadi di rahim. Pembentukannya
dibagi 2 pusat pertumbuhan, yaitu :
1) Palatum primer yang terletak di depan dari foramen incisivum, untuk membentuk
alveolus dan labium.
2) Palatum sekunder dibelakang dari foramen incisivum, untuk membentuk palatum
durum/molle dan uvula. Palatum sekunder akan membentuk bagian besar palatum
durum dan palatum mole.
C. Etiologi
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing. faktor tersebut
antara lain, yaitu :
1. Faktor Genetik atau keturunan
Dimana material genetik dalam kromosom yang mempengaruhi. Dimana dapat
terjadi karena adanya mutasi gen ataupun kelainan kromosom. Pada setiap sel
yang normal mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom
non-sex (kromosom 1 s/d 22) dan 1 pasang kromosom sex (kromosom X dan Y)
yang menentukan jenis kelamin. Pada penderita bibir sumbing terjadi Trisomi 13
atau Sindroma Patau dimana ada 3 untai kromosom 13 pada setiap sel penderita,
sehingga jumlah total kromosom pada tiap selnya adalah 47. Jika terjadi hal seperti
ini selain menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan gangguan berat pada
perkembangan otak, jantung, dan ginjal. Namun kelainan ini sangat jarang terjadi
dengan frekuensi 1 dari 8000-10000 bayi yang lahir.
2. Kurang Nutrisi, contohnya defisiensi Zn dan B6, vitamin C pada waktu hamil,
kekurangan asam folat.
3. Radiasi.
4. Terjadi trauma pada kehamilan trimester pertama.
5. Infeksi pada ibu yang dapat mempengaruhi janin contohnya seperti infeksi rubella
dan sifilis, toxoplasmosis dan klamidia.
6. Pengaruh obat teratogenik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal, akibat
toksisitas selama kehamilan, misalnya kecanduan alkohol, terapi penitonin.
7. Multifaktoral dan mutasi genetik.
8. Diplasia ektodermal
17
D. Klasifikasi
1. Unilateral Incomplete.
Jika celah sumbing terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan tidak memanjang
hingga ke hidung atau dengan kata lain unilateral incomplete memberikan
gambaran dimana terjadi pemisahan pada salah satu sisi bibir, namun pada hidung
tidak mengalami kelainan.
2. Unilateral Complete.
Jika celah sumbing yang terjadi hanya disalah satu sisi bibir dan memanjang
hingga ke hidung atau dengan kata lain unilateral complete memberikan gambaran
keadaan dimana telah terjadi pemisahan pada salah satu sisi bibir, cuping hidung
dan gusi. Unilateral complete memiliki dasar dari palatum durum yang merupakan
daerah bawah daripada krtilago hidung.
18
3. Bilateral Complete.
Jika celah sumbing terjadi di kedua sisi bibir dan memanjang hingga ke hidung.
Dapat terlihat adanya penonjolan pada daerah premaxilla, yang disebabkan tidak
adanya hubungan dengan daerah lateral dari palatum durum.
4. Bilateral incomplete.
Jika celah ini terjadi secara incomplete dimana kedua hidung dan daerah kedua
premaxilla tidak mengalami pemisahan dan hanya menertakan dua sisi bibir.
E. Patofisiologi
Secara umum, labioschisis bisa terjadi karena :
1. Kegagalan penyatuan atau perkembangan jaringan lunak dan atau tulang selama
fase embrio pada trimester I.
2. Terbelahnya bibir dan atau hidung karena kegagalan proses nosal medial dan
maksilaris untuk menyatu terjadi selama kehamilan 6-8 minggu.
3. Palatoskisis adalah adanya celah pada garis tengah palato yang disebabkan oleh
kegagalan penyatuan susunan palato pada masa kehamilan 7-12 minggu.
4. Penggabungan komplit garis tengah atas bibir antara 7-8 minggu masa kehamilan.
19
Menurut Mansjoer dan kawan-kawan, hipotesis yang diajukan antara lain:
1. Insufisiensi zat untuk tumbuh kembang organ selama masa embrional dalam hal
kuantitas (pada gangguan sirkulasi feto-maternal) dan kualitas (defisiensi asam
folat, vitamin C, dan Zn)
2. Penggunaan obat teratologik, termasuk jamu dan kontrasepsi hormonal
3. Infeksi, terutama pada infeksi toxoplasma dan klamidia.
4. Faktor genetic
Kelainan ini terjadi pada trimester pertama kehamilan, prosesnya karena tidak
terbentuknya mesoderm pada daerah tersebut sehingga bagian yang telah menyatu
(prosesus nasalis dan maksilaris) pecah kembali.
F. Pathway
20
G. Tanda dan Gejala
Ada beberapa gejala dari bimbir sumbing atau labioschisis yaitu :
a. Terjadi pemisahan langit-langit
b. Terjadi pemisahan bibir’
c. Terjadi pemisahan bibir dan langit-langit
d. Infeksi telinga berulang
e. Berat badan tidak bertambah
f. Pada bayi terjadi regurgitasi nasal ketika menyusui yaitu keluarnya air susu
dari hidung.
H. Manifestasi Klinis
21
Pada kelainan ini akan tampak adanya cacat fisik pada bibir, dimana terlihat
adanya celah pada bibir bagian atas. Antara sisi bibir kanan dan sisi bibir kiri tidak
menyatu dengan sempurna.
Celah bibir celah bibir dapat terjadi dalam berbagai variasi, mulai dari takik kecil
pada batas yang merah terang sampai celah sempurna yang meluar ke dasar hidung.
Celah ini mungkin unilateral (lebih sering pada sisi kiri)atau bilateral, dan biasanya
melibatkan rigi-rigi alveolus. Biasanya disertai dengan gigi yang cacat bentuk, gigi
tambahan atau bahkan tidak tumbuh gigi.Celah kartilago cuping hidung-bibir
seringkali disertai dengan defisiensi sekat hidung dan pemanjangannvomer,
menghasilkan tonjolan keluar bagian anterior celah prosesus maksilaris.
Celah palatum murni terjadi pada linea mediana dan dapat melibatkan hanya uvula
saja, atau dapat meluas ke dalam atau melalui palatum mole dan palatum durum
sampai ke foramen insisivus.Apabila celah palatum ini terjadi bersamaan dengan celah
bibir, cacat ini dapat melibatkan linea mediana palatum mole dan meluas sampai ke
palatum durum pada satu atau kedua sisi, memaparkan satu atau kedua rongga hidung
sebagai celah palatum unilateral atau bilateral.
I. Komplikasi
1. Kesulitan berbicara. Otot – otot untuk berbicara mengalami penurunan fungsi
karena adanya celah. Hal ini dapat mengganggu pola berbicara bahkan dapat
menghambatnya
2. Terjadinya otitis media
3. Aspirasi
4. Distress pernafasan
5. Resiko infeksi saluran nafas
6. Pertumbuhan dan perkembangan terhambat
7. Gangguan pendengaran yang disebabkan oleh otitis media rekureris sekunder
akibat disfungsi tuba eustachius.
8. Masalah gigi. Pada celah bibir gigi tumbuh tidak normal atau bahkan tidak
tumbuh, sehingga perlu perawatan dan penanganan khusus.
9. Perubahan harga diri dan citra tubuh yang dipengaruhi derajat kecacatan dan
jaringan paruh.
Keadaan kelainan pada wajah seperti bibir sumbing ada beberapa komplikasi
karenannya, yaitu :
1. Masalah asupan makanan
22
Merupakan masalah pertama yang terjadi pada bayi penderita labioschisis. Adanya
labioschisis memberikan kesulitan pada bayi untuk melakukan hisapan pada
payudara ibu atau dot. Tekanan lembut pada pipi bayi dengan labioschisis
mungkin dapat meningkatkan kemampuan hisapan oral. Keadaan tambahan yang
ditemukan adalah reflex hisap dan reflek menelan pada bayi dengan labioschisis
tidak sebaik bayi normal, dan bayi dapat menghisap lebih banyak udara pada saat
menyusu. Memegang bayi dengan posisi tegak lurus mungkin dapat membantu
proses menyusu bayi. Menepuk-nepuk punggung bayi secara berkala juga dapat
membantu. Bayi yang hanya menderita labioschisis atau dengan celah kecil pada
palatum biasanya dapat menyusui, namun pada bayi dengan labioplatoschisis
biasanya membutuhkan penggunaan dot khusus. Dot khusus (cairan dalam dot ini
dapat keluar dengan tenaga hisapan kecil) ini dibuat untuk bayi dengan labio-
palatoschisis dan bayi dengan masalah pemberian makan/ asupan makanan
tertentu.
2. Masalah Dental
Anak yang lahir dengan labioschisis mungkin mempunyai masalah tertentu yang
berhubungan dengan kehilangan, malformasi, dan malposisi dari gigi geligi pada
arean dari celah bibir yang terbentuk.
3. Infeksi telinga
Anak dengan labio-palatoschisis lebih mudah untuk menderita infeksi telinga
karena terdapatnya abnormalitas perkembangan dari otot-otot yang mengontrol
pembukaan dan penutupan tuba eustachius
4. Gangguan berbicara
Pada bayi dengan labio-palatoschisis biasanya juga memiliki abnormalitas pada
perkembangan otot-otot yang mengurus palatum mole. Saat palatum mole tidak
dapat menutup ruang/ rongga nasal pada saat bicara, maka didapatkan suara
dengan kualitas nada yang lebih tinggi. Meskipun telah dilakukan reparasi
palatum, kemampuan otot-otot tersebut diatas untuk menutup ruang/ rongga nasal
pada saat bicara mungkin tidak dapat kembali sepenuhnya normal. Penderita celah
palatum memiliki kesulitan bicara, sebagian karena palatum lunak cenderung
pendek dan kurang dapat bergerak sehingga selama berbicara udara keluar dari
hidung. Anak mungkin mempunyai kesulitan untuk menproduksi suara/ kata "p, b,
d, t, h, k, g, s, sh, dan ch", dan terapi bicara (speech therapy) biasanya sangat
membantu.
23
Adanya gangguan-gangguan yang timbul akibat bibir sumbing tersebut, dapat
mengganggu pertumbuhan normal pada bayi dan seringkali berat badan bayi sulit
bertambah.
J. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan prabedah rutin (misalnya hitung darah lengkap)
2. Pemeriksaan Diagnosis
a. USG saat kehamilan
b. Foto Rontgen
c. Pemeriksaan fisik
d. MRI untuk evaluasi abnormal
K. Penatalaksanaan
Penanganan untuk bibir sumbing adalah dengan cara operasi. Ada 3 tahap
penanganan bibir sumbung yaitu tahap sebelum operasi, tahap sewaktu operasi dan
tahap setelah setelah operasi.
1. Tahap sebelum operasi
Operasi ini dilakukan setelah bayi berusia 3 bulan, dengan berat badan yang
meningkat, dan bebas dari infeksi oral pada saluran napas dan sistemik. Dalam
beberapa buku dikatakan juga untuk melakukan operasi bibir sumbing dilakukan
hukum Sepuluh (rules of Ten) yaitu, Berat badan bayi minimal 10 pon, Kadar Hb 10 g
%, dan usianya minimal 10 minggu dan kadar leukosit minimal 10.000/ui.
24
Jika bayi belum memenuhi syarat tersebut, sebaiknya pemberian minum harus
dengan dot khusus yaitu lubang tidak terlalu besar yang membuat bayi tersedak atau
terlalu kecil sehingga membuat asupan gizi menjadi tidak cukup.Atau dilakukan
bantuan sendok secara perlahan dalam posisi setengah duduk atau tegak. Celah pada
bibir harus direkatkan dengan menggunakan plester khusus non alergenik untuk
menjaga gusi tidak menonjol kearah depan (prostusio pre maksila) akibat dorongan
lidah pada prolabium. Jika hal ini terjadi tindakan koreksi pada saat operasi akan
menjadi sulit dan kurang sempurna. Plester non alergenik tadi harus tetap direkatkan
sampai waktu operasi tiba
2. Tahapan operasi
a. Usia optimal adalah usia 3 bulan, mengingat pengucapan Bahasa bibir dimulai
pada usia 5-6 bulan sehingga jika koreksi pada bibir lebih dari usia tersebut maka
pengucapan huruf bibir sudah terlanjur salah sehingga kalua dilakukan operasi
pengucapan huf=ruf bibir tetap menjadi kurang sempurna
b. Operasi untuk langit-langit (palatoplasty) optimal pada usia 18-20 bulan
mengingat anak aktif bicara pada usia 2 tahun dan sebelum anak masuk sekolah.
operasi yang dilakukan sesudah usia 2 tahun harus diikuti dengan tindakan speech
teraphy karena jika tidak, setelah operasu suara sengau pada saat bicara tetap
terjadi karena anak sudah terbiasa melafalkan suara yang salah, sudah ada
mekanisme kompensasi memposisikan lidah pada posisi yang salah
c. Bila gusi juga terbelah (gnatoschizis) kelainannya menjadi
labiognatopalatoschiziz, koreksi untuk gusi dilakukan pada saat usia 8-9 tahun
bekerja sama dengan dokter gigi ahli ortodonsi
3. Tahap setelah operasi
Penaatalaksanaannya tergantung dari tiap-tiap jenis operasi yang dilakukan , biasanya
dokter bedah yang menangani akan memberikan instruksi pada orang tua pasien
misalnya setelah operasi bibir sumbing luka bekas operasi dibiarkan terbuka dan tetap
menggunakan sendok atau dot khusus untuk memberikan minum bayi
Banyaknya penderita bibir sumbing yang dating ketika usia sudah melebihi batas usia
optimal untuk operasi membuat operasi hanya untuk keperluan kosmetika saja
sedangkan secara fisiologis tidak tercapai, fungsi bicara tetap terganggu seperti sengau
dan lafalisasi beberapa huruf tetap tidak sempurna, tindakan speech teraphy pun tidak
banyak bermanfaat.
Perawatan untuk labioschisis meliputi :
a. Menyusu ibu
25
Menyusu adalah metode pemberian makan terbaik untuk seorang bayi dengan
bibir sumbing tidak menghambat penghisapan susu ibu. Ibu dapat mencoba sedikir
menekan payudara untuk mengeluarkan susu. Dapat juga menggunakan pompa
payudara untuk mengeluarkan susu dan memberikannya kepada bayi dengan
menggunakan botol setelah dioperasi , karena bayi tidak menyusu sampai 6
minggu.
b. Menggunakan alat khusus
a) Dot domba
Karena udara bocor disekitar sumbing dan makanan dimuntahkan melalui
hidung, bayi tersebut lebih baik diberi makan dengan dot yang diberi pegangan
yang menutupi sumbing, suatu dot domba (dot yang besar, ujung halus dengan
lubang besar) atau hanya dot biasa dengan lubang besar
b) Botol peras
Dengan memeras botol , maka susu dapat didorong jatuh di bagian belakang
mulut hingga dapat dihisap bayi.
c) Ortodonsi
Pemberian plat/ dibuat okulator untuk menutup sementara celah palatum agar
memudahkan pemberian minum dan sekaligus mengurangi deformitas palatum
sebelum dapat dilakukan tindakan bedah definitive.
c. Posisi mendekati duduk dengan aliran yang langsung menuju bagian sisi atau
belakang lidah bayi
d. Tepuk-tepuk punggung bayi berkali-kali karena cenderung menelan banyak udara.
e. Periksalah bagian bawah hidung dengan teratur, kadang-kadang luka terbentuk
pada bagian pemisah lubang hidung
f. Suatu kondisi yang sangat sakit dapat membuat bayi menolak menyusu. Jika hal
ini terjadi arahkan dot ke bagian sisi mulut untuk memberikan kesempatan pada
kulit yang lembut tersebut untuk sembuh
g. Setiap siap menyusu, perlahan – lahan bersihkan daerah sumbing dengan alat
berujung kapas yang dicelupkan dalam hydrogen peroksida setengah kuat atau air.
Perawatan pasca operasi bibir sumbing mencakup pengawasan terhadap saturasi
oksigen dalam 24–48 jam pasca operasi. Pengawasan ini dilakukan karena terdapat
risiko edema dan perdarahan pada saluran napas atas. Analgetik juga perlu diberikan
sampai pasien dapat menerima asupan makanan dengan baik. Pada hari-hari pertama
makanan diberikan dalam bentuk cair melalui spuit atau sendok. Pasien dapat
dipulangkan jika makanan lewat oral dapat diterima dengan baik.
26
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kliegman, & Arvin. (2012). Ilmu Kesehatan Anak Nelson Ed. 15 Vol.2. Jakarta:
EGC
Hidayat, Aziz Amilul. (2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba Medika
Laily, Nurul. (2013). A-Z Mencegah Kelahiran Bayi Cacat. Yogyakarta: Rapha Publishing
PPNI, T. P. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (1 ed.). Jakarta: PPNI.
PPNI, T. P. (2019). Standar Luaran Keperawatan Indonesia (1 ed.). Jakarta: PPNI.
Sodikin. (2011). Asuhan Keperawatan Anak : Gangguan Sistem Gastrointestinal dan
Hepatobillier. Jakarta: Salemba Medika
27
Sudarti. (2010). Kelainan dan Penyakit Pada Bayi dan Anak. Yogyakarta: Nuha Medika
TIM POKJA SIKI DPP PPNI . (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (1 ed.).
Jakarta: DPP PPNI
A. Pengkajian
1. Identitas
Pada klien labioschisis biasanya terjadi pada usia kurang lebih 72 jam pertama
sejak bayi lahir. Biasanya pada bayi yang mengalami labioschisis juga dapat
diketahui melalui pemeriksaan USG saat usia kehamilan Ibu diatas 18 minggu.
Dapat terjadi pada perempuan maupun laki-laki namun laki-laki 2x lebih berisiko
mengalami labioschisis
28
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Setelah lahir terdapat celah pada bibir
b. Riwayat kesehatan sekarang
Terdapat celah di bibir dan tampak sulit menyusu sehingga asupan nutrisi
kurang dari kebutuhan. Pada bayi biasanya mengalami kesulitan saat
menghisap ASI, untuk anak yang sudah aktif berbicara dapat menyebabkan
kesulitan dalam berbicara, seringkali memiliki suara hidung saat berbicara,
kadang juga memiliki gangguan dalam pendengaran.
c. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya saat mengandung Ibu pernah mengalami trauma pada trimester
pertama dan pemenuhan nutrisi ibu saat hamil biasanya tidak terpenuhi,
kecukupan asam folat, obat-obatan yang pernah dikonsumsi oleh ibu,
mengkonsumsi minuman beralkohol atau merokok saat masa kehamilan juga
dapat mempengaruhi terjadinya bibir sumbing
d. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya ada salah satu anggota keluarga yang pernah menderita labioschisis
e. Riwayat Nutrisi : Nutrisi tidak adekuat karena susu yang diminum keluar lewat
hidung atau masuk ke dalam saluran pernapasan
f. Riwayat Imunisasi : Imunisasi apa saja yang sudah didapatkan misalnya BCG,
POLIOI,II, III; DPT I, II, III; dan campak.
g. Riwayat Psikososial : Kaji psikososial yang dirasakan keluarga dalam merawat
anaknyayang mengalami CLP.
3. Pola-pola kesehatan
1. Pola Persepsi
Orangtua bayi tidak mengetahui bahwa bayi sudah mengalami celah bibir
saat didalam kandungan nya.
2. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada bayi yang mengalami labbbioschisis biasanya nutrisi nya tidak
terpenuhi dengan cukup dikarenakan kemampuan menghisapnya tidak
seperti bayi normal pada umumnya
3. Pola Eliminasi
29
Pada bayi umumnya karakteristik warna feses nya berwarna hitam dan
berlendir
4. Pola aktivitas dan Latihan
Bayi mengalami kesulitan untuk minum.
5. Pola istirahat dan Tidur
Pada bayi yang mengalami labioschisis umumnya tidak terganggu pada
pola tidurnya namun setelah celah pada bibir di operasi bayi akan merasa
nyeri sehingga pola tidur akan terganggu.
6. Pola Kognitif Perseptual
Orangtua bayi biasanya khawatir kelak jika anaknya sudah besar dia akan
merasa malu dan murung dengan keadaannya yang cacat bibir.
7. Pola Konsep Diri
Orangtua bayi takut kelak jika bayinya sudah besar akan mengalami
gangguan citra diri.
8. Pola Peran dan Hubungan
Orangtua bayi cemas dan gelisah dengan keaadaan yang dialami bayinya.
9. Pola Seksualitas dan Reprosuksi
Alat kelamin lengkap, tidak mengalami kelainan apapun.
10. Pola Koping dan Mekanisme Stres
Kebanyakan orang tua bayi labiochisis mengalami stres dan emosi yang
labil.
11. Pola Keyakinan dan Tata Nilai
Orangtua bayi selalu berdoa untuk kesembuhan bayi dan kelancaran
operasi nya
4. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum dan kesadaran
Menuliskan Antroporti, lingkar perut, dan berat badan cenderung rendah
b. Tanda-Tanda Vital
Pernapasan dan Nadi pada bayi akan mengalami peningatan pernapasan
c. Kepala
1. Bentuk kepala : makrosefali atau mikrosefali
2. Tulang tengkorak :
a. Anencefali : tidak ada tulang tengkorak
30
b. Encefalokel : tidak menutupnya fontanel occipital
3. Fontanel anterior menutup : 18 bulan
4. Fontanel posterior : menutup 2-6 bulan
5. Caput succedeneum : berisi serosa, muncul 24 jam pertama dan
hilangdalam 2 hari
6. Cepal hematoma : berisi darah,muncul 24 - 48 jam dan hilang 2-
3minggu
7. Distribusi rambut dan warna
8. Jika rambut berwarna / kuning dan gampang tercabut merupakan
indikasi adanya gangguan nutrisi
9. Ukuran lingkar kepala 33 - 34 atau < 49 dan diukur dari bagian frontal
kebagian occipital.
d. Wajah
1. Simetris kiri kanan
e. Mata
1. Simetris kanan kiri
2. Alis tumbuh umur 2-3 bulan
3. Kelopak mata :
a) Oedema
b) Ptosis : celah kelopak matamenyempit karena kelopak mata
atasturun.
c) Enof kelopak mata mnyempit karena kelopak mata atas dan bawah
kebelakang tertarik
d) Exoptalmus : pelebaran celah kelopak mata, karena kelopak
mataatas dan bawah tertarik kebelakang.
f. Hidung
1. Kecacatan pada saat lahir untuk mengidentifikasi karakteristik
sumbing, kesukaran dalam menghisap ataumakan.
2. Labia skisis : tampak sebagian atau keduanya,adanya celah pada bibir.
3. Palato skisis: tampak ada celah pada kedua tekak(uvula), palate lunak dan
keras, adanya rongga pada hidung,distorsia hidung
4. Teraba celah atau terbukanya langit-langit saat diperiksa dengan jari.
g. Mulut
31
1. Terdapat celah pada bibir, palatum, atau keduanya.
2. Periksa gigi dan gusi apakah ada pergerakan atau pembengkakan
3. Gags reflex potisif
4. Perhatikan ovula apakah simetris kiri dan kanan
5. Rooting reflex potisif
6. Sucking reflex lemah
h. Telinga
1. Simetris kiri dan kanan
2. Daun telinga dilipat, dan lama baru kembali keposisi semula menunjukkan
tulang rawan masih lunak.
3. Canalis auditorious ditarik kebawah kemudian kebelakang,untuk melihat
apakah ada serumen atau cairan.
4. Pemeriksaan tes nervus VIII (Acustikus)
5. Menggesekkan rambut, atau tes bisik.
6. Mendengarkan garpu tala (Tes Rinne, Weber)
7. Starter refleks :tepuk tangan dekat telinga, mata akan berkedip.
i. Leher
1. Lipatan leher 2-3 kali lipat lebih pendek dari orang dewasa.
2. Periksa arteri karotis
3. Vena Jugularis
a) Posisi pasien semifowler 45 dan dimiringkan,tekan daerah nodus
krokoideus maka akan tampak adanya vena.
b) Taruh mistar pada awal dan akhir pembesaran vena tersebut kemudian
tarik garis imajiner untuk menentukan panjangnya.
4. Raba tiroid : daerah tiroid ditekan,dan plasien disuruh untuk menelan,
apakah ada pembesaran atau tidak.
5. Tonick neck refleks : kedua tangan ditarik, kepala akan mengimbangi.
6. Neck rigting refleks refleks : posisi terlentang.kemudian tangan ditarik
kebelakang, pertama badan ikut berbalik diikuti dengan kepala.
j. Dada
1. Bentuk dada apakah simetris kiri dan kanan
2. Bentuk dada barrel anterior - posterior dan tranversal hampir sama 1:l dan
dewasa 1: 2
k. Abdomen
1. Tali pusat : Dua arteri satu vena.
32
2. Observasi adanya pembengkakan atau perdarahan.
3. Observasi vena apakah terbayang atau tidak.
4. Observasi distensi abdomen.
l. Ekstremitas atas
1. Jumlah jari – jari polidaktil (> dari 5), sindaktil ( jari – jari bersatu)
2. Pada anak kuku dikebawakan, dan tidak patah , kalau patah diduga
kelainan nutrisi.
3. Ujung jaruki halus
4. Kuku klubbing finger < 1 80 bila lebih 180 diduga kelainan system
pernafasan
5. Grasping refleks : meletakkan jari pada tangan bayi, maka refleks akan
menggengam
6. Palmar refleks : tekan pada telapak tangan ,akan menggengam
m. Punggung
1. Susuri tulang belakang, apakah ada spina bivida okulta : ada lekukan pada
lumbo sacral, tanpa herniasi dan distribusi lanugo lebih banyak.
2. Spina bivida sistika : dengan hermiasi, meningokel (berisi meningen dan
CSF) dan mielomeningokel ( meningen + CSF + saraf spinal).
3. Rib hum and Flank: dalam posisi bungkuk jika tulang belakang
rata/simetris( scoliosis postueral) sedangkan jika asimetris atau bahu tinggi
sebelah danvertebra bengkok ( scoliosis structural) skoliometer >40
n. Ekstremitas bawah
1. Lipatan kaki apakah 1/3, 2/3, bagian seluruh telapak kaki.
2. Talipes : kaki bengkok kedalam.
3. Clubfoot : otot-otot kaki tidak sama panjang, kaki jatuh kedepan.
4. Refleks babinsky
5. Refleks Chaddok
6. Staping Refleks
5. Pemeriksaan penunjang
USG
Pada labioschisis dapat ditemukan saat berada di dalam perut Ibu pada saat
kehamilan diatas 18 minggu dan dapat diketahui dengan pemeriksaan USG
B. Diagnosa
33
1. Defisit nutrisi pada bayi b.d. ketidakmampuan menelan makanan d.d berat badan
menurun, nafsu makan menurun
2. Risiko aspirasi pada bayi b.d terganggunya kemampuan untuk menelan
3. Defisit pengetahuan pada Ibu menyusui bayi dengan terdapat celah bibir b.d.
kurang terpapar informasi d.d. menunjukkan persepsi yang keliru terhadap
masalah
4. Risiko infeksi b.d. efek prosedur invasif
5. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik d.d gelisah, sulit tidur
C. Intervensi
1. Defisit nutrisi b.d. ketidakmampuan menelan makanan d.d berat badan turun,
nafsu makan menurun
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan keadekuatan
asupan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme membaik dengan kriteria
hasil :
a. Reflek menelan meningkat
b. Serum albumin meningkat
c. Tebal lipatan kulit trisep membaik
Intervensi :
a. Monitor intake dan output cairan, nilai hemoglobin, albumin, kenaikan berat
badan
Rasional :
Dengan memonitor intake dan output cairan pada anak dapat mengetahui dan
membantu dalam tindakan selanjutnya
b. Identifikasi permasalahan yang ibu alami selama proses menyusui
Rasional :
Mengetahui permasalahan yang dialami Ibu dan anak dalam kesulitan
menyusu
c. Ajarkan teknik menyusui yang tepat sesuai kebutuhan ibu
Rasional :
Membantu ibu dalam memberikan asi dan posisi puting yang stabil
membentuk kerja lidah dalam penghisapan susu
d. Kolaborasi dengan ahli gizi
Rasional :
34
Mendapatkan nutrisi yang seimbang
2. Risiko aspirasi pada bayi b.d terganggunya kemampuan untuk menelan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam diharapkan tingkat
aspirasi menurun dengan kriteria hasil :
a. Kemampuan menelan meningkat
b. Gelisah menurun
Intervensi :
3. Defisit pengetahuan pada Ibu menyusui bayi dengan terdapat celah bibir b.d.
terpapar informasi d.d. menunjukkan persepsi yang keliru terhadap masalah
Intervensi :
35
Dengan menjelaskan masalah yang dihadapi Ibu dan keluarga dapat
mengubah persepsi Ibu dan keluarga tentang masalah yang dihadapinya
c. Gunakan teknik komunikasi yang tepat dan jelas
Rasional :
Dengan komunikasi yang tepat dan jelas diharapkan Ibu dan keluarga dapat
menerima informasi dengan baik
3. Risiko infeksi b.d. efek prosedur invasif
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tingkat
infeksi menurun dengan kriteria hasil :
a. Nafsu makan meningkat
b. Demam menurun
c. Kemerahan menurun
Intervensi :
36
Intervensi :
E. Evaluasi
Evaluasi merupakan tindakan untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa, perencanaan, dan pelaksanaan yang sudah
berhasil dicapai
1. Defisit nutrisi b.d. ketidakmampuan menelan makanan d.d serum albumin turun
Perawatan dapat dikatakan berhasil apabila bayi atau anak dapat mempertahankan
nutrisi adekuat yang ditandai oleh dapat beradaptasi terhadap diet dan metode
pemberian makan yang baru, serta terus mengalami peningkatan berat badan.
37
Perawatan dapat dikatakan berhasil apabila bayi atau anak tetap bebas dari
komplikasi pernapasan yang ditandai oleh memepertahankan pernapasan lancar,
serta frekuens
Orang tua mengajukan pertanyaan yang tepat tentang kondisi bayi, dapat
melibatkan perawatan bayi ke dalam gaya hidup normal mereka, serta
mengekspresikan perasaan mereka tentang penampilan bayi
5. Nyeri akut b.d. agen pencedera fisik d.d gelisah, sulit tidur
Perawatan dapat dikatakan berhasil apabila bayi atau anak dapat mempertahankan
tingkat kenyamanan yang ditandai oleh tangisan dan iritabilitas yang berkurang
serta Orang tua dapat mengekspresikan pemahaman tentang instruksi perawatan
pra bedah dan pasca bedah di rumah dan mendemonstrasikan prosedur perawatan
di rumah
38
KWASHIORKOR
Dosen Pembimbing :
Disusun Oleh:
1. Pungki Wahyuni Djadiati (P27820118047)
2. Lailul Fitriyani (P27820118049)
3. Diya Laily Fitriana (P27820118090)
4. Ayu Novita Febriyanti (P27820118091)
Tingkat 2 Reguler B
LAPORAN PENDAHULUAN
39
A. PENGERTIAN
Kata “kwarshiorkor” berasal dari bahasa Ghana-Afrika yang berati “anak yang
keku kasih sayang ibu”.
1. Kwashiorkor adalah suatu syndrome klinik yang timbul sebagai akibat adanya
kekurangan protein yang parah dan pemasukan kalori yang kurang dari yang
dibu (Behrman, Richard E. 1994 : 299).
2. Kwashiorkor adalah salah satu bentuk malnutrisi protein berat yang disebabkan
o intake protein yang inadekuat dengan intake karbohidrat yang normal atau
tinggi. (http://idmgarut.wordpress.com/2009/02/03/malnutrisi-energi-protein-
mep-kwash).
3. Kwashiorkor adalah satu bentuk malnutrisi yang disebabkan oleh defisiensi
prot berat bisa dengan konsumsi energi dan kalori tubuh yang tidak
mencukupi ke (http://id.wikipedia.org/wiki/Kwashiorkor).
4. Kwashiorkor atau busung lapar adalah salah satu bentuk sindroma dari
ganggu dikenali sebagai Malnutrisi Energi Protein (MEP) Dengan beberapa
karakteristi edema dan kegagalan pertumbuhan, depigmentasi, hyperkeratosis.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Kwashiorkor)
Jadi kwashiorkor adalah suatu syndrome klinik yang timbul sebagai akibat adanya
kekurangan protein dengan intake karbohidrat yang normal atau tinggi dikenali
sebagai Malnutrisi Energi Protein (MEP) dengan beberapa karakteristik berupa
edema dan kegagalan pertumbuhan, depigmentasi, hyperkeratosis.
B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein yang
berlansung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut antara lain :
1. Pola Makan
Protein (asam amino) sangat dibutuhkan anak untuk tumbuh dan berkembang.
Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nurisi anak akan berperan
penting terhadap terjadinya Kwashiorkor, terutama pada masa peralihan ASI ke
makanan pengganti ASI.
2. Faktor Sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan
sosial politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk menggunakan
makana n terte sudah berlansung turun temurun dapat menjadi hal yang
menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga / penghasilan yang rendah yang tidak dapat memenuhi
kebu berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak terpenuhi, saat dimana
ibunya pu dapat mencukupi kebutuhan proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi.
Inf derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan sebaliknya MEP,
walaupun derajat ringan akan menurunkan imunitas tubuh terhadap infeksi.
Seperti gejala malnutrisi protein disebabkan oleh gangguan penyerapan protein,
misalnya yang dijumpai pada keadaan diare kronis, kehilangan protein secara
40
tidak normal padaproteinuria (nefrosis), infeksi saluran pencernaan, serta
kegagalan mensintesi protein akibat penyakit hati yang kronis
C. MANIFESTASI KLINIS
Pada awalnya, bukti klinik awal malutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis,
atau iritabilitas. Hal ini dapat mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamina,
kehilangan jaringan muskuler, bertambahnya kerentanan terhadap infeksi, dan udem.
Salah satu manifestasi yang paling serius dan konstan adalah imunodefisiensi sekunder.
Misalnya, campak dapat memburuk dan mematikan pada anak malnutrisi. Pada anak dapat
terjadi anoreksia, kekenduran jaringan subkutan, dan kehilangan tonus otot. Hati
membesar dapat terjadi awal atau lambat serta sering terjadi infiltrasi lemak. Udem
biasanya terjadi di awal, penurunan berat badan yang dapa dilihat pada muka dan tungkai.
Aliran plasma ginjal, angka filtrasi glomerulus, dan fungsi tubuler ginjal menurun.
Manifestasi klinis yang lain adalah dermatitis. Penggelapan kulit tampak pada daerah
yang teriritasitetapi tidak ada pada daerah yang terpapar sinar matahari. Penyebaran
rambut jarang dan tipis serta kehilangan sifat elastisitasnya. Pada anakyang berambut
hitam, dispigmentasi menyebabkan warna merah atau abu-abu seperti coretan pada rambut
(hipokromtrichia). Rambur menjadi kasar pada fase kronik. Anak juga mengalami
anoreksi, muntah, dan diare terus menerus. Otot menadi lemah, tipis dan atrofi, tetapi
kadang-kadang mungkin ada kelebihan lemak subkutan. Perubahan mental tertama
iritabilitas dan apati sering terjadi.
Perubahan-perubahan pada kwashiorkor sebagai berikut.
1. Wujud umum: secara umum, penderita kwashiorkor tampak pucat, kurus, atrofi pada
ekstremitas, adanya edema pedis dan pretibial serta asites. Muka penderita
seperti moon face akibat terjadinya edema.
2. Retardasi pertumbuhan: gejala yang paling penting adalah pertumbuhan yang
terganggu. Selain berat badan, tinggi badan juga kurang dibandingkan dengan anak
sehat.
3. Perubahan mental: biasanya penderita cengeng, hilang nafsu makan, dan rewel. Pada
stadium lanjut bisa menjadi apatis. Kesadarannya juga bisa menurun dan anak menjadi
pasif.
4. Edema: sebagian besar anak dengan Kwashiorkor ditemukan edema, baik ringan
maupun berat. Edemanya bersifat pitting. Edema terjadi bisa disebabkan
hipoalbuminemia, gangguan dinding kapiler, dan hormonal akibat dari gangguan
eliminasi ADH.
5. Kelainan rambut: perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya
(texture) maupun warnanya. Rambut kepala mudah tercabut tanpa rasa sakit. Pada
penderita kwashiorkor lanjut, rambut akan tampak kusam, halus, kering, jarang dan
berubah warna menjadi putih.
6. Kelainan kulit: kulit biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih
mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit. Pada
sebagian besar penderita ditemukan perubahan kulit yang khas untuk penyakit
kwashiorkor, yaitu crazy pavement dermatosis yang merupakan bercak-bercak putih
atau merah muda dengan tepi hitam ditemukan pada bagian tubuh yang sering
mendapat tekanan, terutama bila tekanan terus-menerus dan disertai kelembapan oleh
keringat atau ekskreta, seperti pada fosa politea, lutut, buku kaki, paha, lipat paha,
pantat, dan sebagainya. Perubahan kulit demikian dimulai dengan bercak-bercak kecil
merah yang dalam waktu singkat bertambah dan menjadi hitam. Pada suatu saat,
41
bercak-bercak ini akan mengelupas dan memperlihatkan bagian-bagian yang tidak
mengandung pigmen dibatasi oleh tepi yang masih hitam oleh hiperpigmentasi.
7. Kelainan gigi dan tulang: pada tulang penderita kwashiorkor didapatkan dekalsifikasi,
osteoporosis, dan hambatan pertumbuhan. Sering juga ditemukan caries pada gigi
penderita.
8. Kelainan hati: pada biopsi hati ditemukan perlemakan, bisa juga ditemukan semua sela
hati mengandung vakuol lemak besar. Sering juga ditemukan tanda fibrosis, nekrosis,
dan infiltrasi sel mononukleus. Perlemakan hati terjadi akibat defisiensi faktor
lipotropik.
9. Kelainan darah dan sumsum tulang : anemia ringan selalu ditemukan pada penderita
kwashiorkor. Bila disertai penyakit lain, terutama infestasi parasit (ankilostomiasis dan
amoebiasis) maka dapat dijumpai anemia berat. Anemia juga terjadi disebabkan
kurangnya nutrien yang penting untuk pembentukan darah seperti ferum dan vitamin
B kompleks (B12, folat, B6). Kelainan dari pembentukan darah dari hipoplasia atau
aplasia sumsum tulang disebabkan defisiensi protein dan infeksi menahun. Defisiensi
protein juga menyebabkan gangguan pembentukan sistem kekebalan tubuh, akibatnya
terjadi defek umunitas seluler dan gangguan sistem komplimen.
10. Kelainan pankreas dan kelenjar lain: di pankreas dan kebanyakan kelenjar lain seperti
parotis, lakrimal, saliva, dan usus halus terjadi perlemakan.
11. Kelainan jantung: bisa terjadi miodegenerasi jantung dan gangguan fungsi jantung
disebabkan hipokalemi dan hipmagnesemia.
12. Kelainan gastrointestinal: terjadi anoreksia sampai semua pemberian makanan ditolak
dan makanan hanya dapat diberikan dengan sonde lambung. Diare terdapat pada
sebagian besar penderita. Hal ini terjadi karena tiga masalah utama, yaitu berupa
infeksi atau infestasi usus, intoleransi laktosa, dan malabsorbsi lemak. Intoleransi
laktosa disebabkan defisiensi laktase. Malabsorbsi lemak terjadi akibat defisiensi
garam empedu, konjugasi hati, defisiensi lipase pankreas, dan atrofi villi mukosa usus
halus.
D. PATOFISIOLOGI
Pada defesiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang
sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalam
dietnya. Kelainanan yang mencolok adalah gangguan metabolik dan perubahan sel yang
meyebabkan edema dan lemak dalam hati. Kekurangan protein dalam diet akan
terjadi karena kekurangan berbagai asam amino esensial dalam serum yang diperlukan
untuk sentesis dan metabolisme yang akan disalurkan ke jaringan otot. Semakin asam
amino berkurang dalam serum ini akan menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh
hepar yang kemudian berakibat edema. Lemak dalam hati terjadi karena gangguan
pembentukan beta-lipoprotein sehingga transport lemak dari hati terganggu dan berakibat
terjadinya penimbunan lemak dalam hati.
E. KLASIFIKASI
Klasifikasi MEP ditetapkan dengan perbandingan berat badan terhadap umur anak sebagai
berikut.
1. Berat badan 60-80% standar tanpa edema : gizi kurang (MEP ringan).
2. Berat badan 60-80% standar dengan edema : kwashiorkor (MEP berat).
3. Berat badan <60% standar tanpa edema : marasmus (MEP berat).
4. Berat badan <60% standar dengan edema : marasmik kwashiorkor (MEP berat)
42
F. EPIDEMIOLOGI
Kasus ini sering dijumpai di daerah miskin, persediaan makanan yang terbatas
dan tingkat pendidikan yang rendah. Penyakit ini menjadi masalah di negara -
negara miskin dan berkembang di Afrika, Amerika Tengah, Amerika Selatan dan
Asia Selatan.
Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang
sangat berlebihan persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah kalori dalam
dietnya. Kelainan yang mencolok gangguan metabolik dan perubahan sel
yang disebabkan edema dan perlemakan hati. kekurangan protein dalam
diet akan terjadi kekurangan berbagai asam amino dalam seru jumlahnya
yang sudah kurang tersebut akan disalurkan ke jaringan otot, makin
kurangan asam amino dalam serum ini akan menyebabkan kurangnya produksi
albumin oleh hepar yang akan berakibat timbulnya edema. Perlemakan hati
terjadi karena gangguan pembentukan beta l sehingga transport lemak dari hati
terganggu dengan akibat terjadinya penimbunan lemak.
G. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS
Kwashiorkor yang tidak cepat diatasi akan mengakibatkan marasmus bahkan
marasmus-kwashiorkor. Anak akan mudah terserang infeksi,seperti diare, ISPA (infeksi
saluran pernapasan atas), TBC, polio, dan lain-lain. Lebih dari 40% anak-anak yang
menderita Kwashiorkor meninggal karena gangguan elektrolit, infeksi, hipotermia, dan
kegagalan jantung. Keterbelakangan mental yang bersifat ringan bisa menetap sampai
anak mencapai usia sekolah dan mungkin lebih. Anak dengan Kwashiorkor dapat terjadi
penurunan IQ secara permanen. Diperlukan waktu sekitar 2-3 bulan agar berat badan anak
kembali ke berat badan ideal. Komplikasi jangka pendek yang akan terjadi bagi penderita
kwashiorkor adalah diare, hipoglikemia, anemia, hipokalemia, shock, hipotermi,
dehidrasi, gangguan fungsi vital, gangguan keseimbangan elektrolit asam-basa, infeksi
berat, serta hambatan penyembuhan penyakit penyerta. Sedangkan komplikasi jangka
panjang adalah tubuh pendekdan berkurangnya potensi tumbuh kembang.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada anak dengan Kwashiorkor antara lain
sebagai berikut.
1. Pemeriksaan laboratorium: 1) penurunan kadar albumin serum merupakan perubahan
yang paling khas. Pada stadium awal kekurangan makan sering terdapat ketonuria
tetapi sering menghilang pada stadium akhir; 2) glukosa dalam darah rendah; 3)
ekskresi hidroksiprolin urin yang berhubungan dengan kreatinin dapat turun; 4) asam
amino esensial plasma turun terhadap angka asam amino non esensial dan dapat
menambah aminoasiduria; 5) defisiensi kalium dan magnesium; 6) kadar kolesterol
serum rendah; 7) angka amilase, esterase, kolinesterase, transaminase, lipase, dan
alkalin fosfatase serum turun; 8) penurunan aktivitas enzim pankreas dan sanhin
oksidase; 9) pertumbuhan tulang biasanya lambat; serta 10) sekresi hormon
pertumbuhan mungkin bertambah.
2. Pemeriksaan air kemih menunjukkan peningkatan ekskresi hidroksiprolin dan adanya
amino asidulia.
3. Pada biopsi hati ditemukan perlemakan ringan sampai berat, fibrosis, nekrosis, dan
infiltrasi sel mononuklear. Pada perlemakan berat hampir semua sel hati mengandung
vakuol lemak yang besar.
43
4. Pemeriksaan autopsi penderita kwashiorkor menunjukkan kelainan pada hampir
semua organ tubuh, seperti degenerasi otot jantung, osteoporosis tulang, atrofi vilus
usus, atrofi sistem limfoid, dan atrofi kelenjar timus.
I. PENATALAKSANAAN
Dalam mengatasi kwashiorkor adalah dengan memberikan makanan bergizi secara
bertahap. Bila bayi menderita kwashiorkor, maka bayi tersebut diberi susu yang
diencerkan. Secara bertahap keenceran susu dikurangi, sehingga suatu saat mencapai
konsistensi yang normal seperti susu biasa kembali. Jika anak sudah agak besar, bisa
mulai dengan makanan encer, kemudian makanan lunak (bubur) dan bila keadaan
membaik, maka baru diberikan makanan padat biasa. Dalam melaksanakan hal ini selalu
diberikan pengobatan sesuai dengan penyakit yang diderita. Bila keadaan kesehatan dan
gizi sudah mencapai normal, perlu diteruskan dengan imunisasi. Makanan yang
dihidangkan diet tinggi kalori, protein, cairan, vitamin, dan mineral. Bila diperlukan
dilakukan pemberian cairan dan elektrolit.
J. PENCEGAHAN
Pencegahan yang dapat dilakukan untuk mencegah anak terkena Kwashiorkor adalah
mencukupi kebutuhan protein yang lengkap dengan mengkonsumsi sumber protein yang
dikombinasikan antara sumber protein hewani dan sumber protein nabati sehingga saling
melengkapi jumlah protein yang harus dikonsumsi bayi setiap hari. Hal ini bergantung
pada umur, berat badan, jenis kelamin, mutu protein yang dikonsumsi, serta keadaan
tertentu, misalnya sedang sakit atau baru sembuh dari sakit, yang mengharuskan anak
untuk mengkonsumsi protein dalam jumlah yang lebih besar. Umumnya tingkat
kebutuhan protein anak dalam keadaan sehat normal membutuhkan sekitar 40-60 gram
protein tiap hari. Ada pula ahli yang menyebutkan konsumsi protein 1 gr/kgBB perhari.
Anak diterapkan diet yang seimbang dengan cukup karbohidrat, cukup lemak, dan protein
untuk mencegah terjadinya kwashiorkor. Untuk mendapatkan sumber protein yang
bernilai tinggi bisa didapatkan dari protein hewan seperti susu, keju, daging, telur dan ikan
dan protein nabati seperti kacang hijau dan kacang kedelei.
K. PATHWAY
1. PENGKAJIAN
44
1.1. Identitas Klien
1.2. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Pada umumnya anak masuk rumah sakit dengan keluhan gangguan pertumbuhan
(berat badan semakin lama semakin turun), bengkak pada tungkai, sering diare
dan keluhan lain yang menunjukkan terjadinya gangguan kekurangan gizi.
2) Riwayat penyakit sekarang
Klien dengan kwashiorkor biasanya mengalami gangguan pertumbuhan (BB <
80% dari BB normal seusianya), bengkak, serta mengalami keterbelakangan
mental yaitu apatis dan rewel. Pada anak kwarshiorkor juga mengalami
penurunan nafsu makan ringan sampai berat.
3) Riwayat Peri natal
a. Tahap Prenatal
Hal yang dikaji adalah terkait asupan nutrisi pada ibu selama kehamilan.
Kekurangan nutrisi pada ibu selama kehamilan jugan memungkinkan anak
juga akan mengalami malnutrisi. Setelah itu, infeksi yang mungkin dapat
timbul pada ibu dan menyalur ke anak dan menjadi infeksi kronis bagi anak.
b. Tahap Intranatal:
Hal yang dikaji adalah proses selama persalinan. Bayi mungkin dapat lahir
dengan berat badan rendah, dan karena pengetahuan ibu yang kurang
sehingga kwarshiorkor dapat timbul saat bayi.
c. Tahap Post natal
Hal yang dikaji adalah asupan nutrisi seperti pemberian ASI eksklusif dan
pemberian nutrisi setelah asi eksklusif. Beberapa ibu terkadang tidak
memberikan asi eksklsif pada bayinya setelah melahirkan. Hal ini beresiko
anak mengalami malnutrisi.
4) Riwayat penyakit keluarga.
Kaji apakah ada riwayat penyakit keluarga yang bisa menyebabkan terjadinya
kwarshiorkor. Namun, sebagian besar tidak ada pengaruh genetik yang dapat
menyebabkan kwarshiorkor. Penyebab kwarshiorkor dikaitkan dengan asupan
nutrisi yang tidak adekuat.
5) Pengkajian Psikososial
Ibu dengan anak yang menderita kwarshiorkor dapat mengalami cemas
dikarenakan penurunan berat badan anak, penurunan nafsu makan serta anak
yang sering rewel.
6) Pengkajian lingkungan rumah dan komunitas
Lingkungan yang buruk, dapat memicu timbulnya infeksi. Anak dapat terkena
kwarshiorkor dikarenakan infeksi yang kronik misalnya diare yang membuatnya
mengalami gangguan penyerapan protein.
7) Riwayat nutrisi :
Anak dengan kwarshiorkor akan mengalami malnutrisi terutama defisiensi
protein. Ana juga kekurangan asupan karbohidrat, lemak, vitamin, dan mineral
45
penting yang diperlukan tubuh. Vitamin yang kurang diantaranya pembentuk
darah seperti Ferum, vitamin B kompleks (B12, folat, B6) dan vitamin A yang
penting untuk pertumbuhan mata.
8) Riwayat pertumbuhan perkembangan
a) Anak yang menderita kwarshiorkor mengalami keterlambatan pertumubuhan
akibat defisiensi protein dan gangguan penglihatan
b) Kecerdasan anak dengan kwarshiorkor juga akan menurun akibat
keterbelakangan pertumbuhan dan perkembangan
c) Anak CP yang mengalami gangguan anoreksia dapat memperberat gangguan
nutrisi sehingga intake nutrisi semakin berkurang
1.3. Pola – Pola Fungsi Kesehatan
1) Persepsi Kesehatan dan Pola Manajemen
Orang tua pasien mengetahui bahwa anaknya mengalami gangguan malnutrisi
atau kwarshiorkor namun tidak mengetahui perawatan pada anak dan
bagaiamana mengasuh anak yang menderita kwarshiorkor.
2) Pola nutrisi dan metabolism
Anak dengan kwarshiorkor akan mengalami defisiensi nutrisi seperti protein,
karbohidrat, lemak, dan mineral yang penting untuk tubuh.metabolisme akan
terganggu akibat zat – zat yang tidak tersedia, contohnya adalah pembesaran hati
karena kekurangan asam amino.
3) Pola eliminasi
Pasien dapat memiliki gangguan gastointestinal seperti diare dan anoreksia.
Diare dapat disebabkan oleh 3 hal yaitu infeksi dapa saluran cerna, intoleransi
laktosa, dan malabsorbsi lemak
4) Pola aktivitas dan latihan
Anak akan mengalami gangguan aktivitas akibatstatus mental yang apatis dan
rewel. Aktifitas jugan akan terganggu akibat udem yang ada pada ekstremitas,
serta penurunan fungsi otot.
5) Pola istirahat dan tidur
Anak akan mengalami gangguan tidur akibat edema.
6) Pola persepsi dan kognitif
Anak akan mengalami gangguan kgonitif akibat asupan nutrisi yang kurang,
keterbelakangan pertumbuhan dan perkembangan serta gangguan penglihatan
akibat defisiensi vitamin A.
7) Pola konsep diri
Anak akan merasa malu untuk berkomunikasi dengan dunia luar akibat gangguan
penglihatan dan ketidaknormalan tubunhnya.
8) Pola peran dan hubungan
Hubungan sosial anak dengan dunia luar akan terhambat akibat keterbelakangan
mental dan gangguan pertumbuhan yang dirasakan.
9) Pola seksualitas dan reproduksi
46
Pasien tidak mengalami kelainan apapun.
10) Pola keyakinan dan nilai
Keluarga pasien selalu berdoa untuk kesembuhan pasien
3) Otot
Atrofi otot selalu ada hingga penderita tampak lemah terus-menerus, tidak
mampu berjalan dengan baik.
4) Kontrol Sistem Saraf
Kurang perhatian, iritabilitas, bingung.
5) Sistem gastrointestinal
Terjadi anoreksia, diare tampak pada sebagian besar penderita.
47
6) Sistem kardiovaskular
Bisa terjadi miodegenerasi jantung dan gangguan fungsi jantung disebabkan
hipokalemi dan hipomagnesemia.
7) Rambut
Sangat khas untuk penderita kwashiorkor ialah rambut kepala yang mudah
tercabut tanpa rasa sakit, warna menjadi kemerahan. Pada penderita kwashiorkor
lanjut, rambut akan tampak kusam, halus, kering, jarang dan berubah warna
menjadi putih.
8) Kulit
Kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang lebih
mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit.
Perubahan kulit lain pun dapat ditemui, seperti kulit yang keringdengan garis
kulit yang mendalam. Kadang-kadang pada kasus yang sangat lanjut ditemui
petehia tanpa trombositopenia dengan prognosis yang buruk bagi si penderita.
9) Gigi
Sering juga ditemukan caries pada gigi penderita.
10) Tulang
Pada tulang penderita kwashiorkor didapatkan dekalsifikasi, osteoporosis, dan
hambatan pertumbuhan.
11) Edema
Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik ringan maupun berat.
Edemanya bersifat pitting. Edema terjadi bisa disebabkan hipoalbuminemia,
gangguan dinding kapiler, dan hormonal akibat dari gangguan eliminasi ADH.
12) Hati
Hati yang membesar merupakan gejala yang sering ditemukan. Kadang-kadang
batas hati terdapat setinggi pusar. Hati yang membesar dengan mudah dapat
diraba.
13) Kelainan Darah dan Sumsum Tulang
Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor. Bila disertai
penyakit lain, terutama infestasi parasit (ankilostomiasis, amoebiasis) maka
dapat dijumpai anemia berat. Anemia juga terjadi disebabkan kurangnya nutrien
yang penting untuk pembentukan darah seperti Ferum, vitamin B kompleks
(B12, folat, B6). Kelainan dari pembentukan darah dari hipoplasia atau aplasia
sumsum tulang disebabkan defisiensi protein dan infeksi menahun. Defisiensi
protein juga menyebabkan gangguan pembentukan sistem kekebalan tubuh.
Akibatnya terjadi defek umunitas seluler, dan gangguan sistem komplimen.
14) Pankreas dan Kelenjar Lain
Di pankreas dan kebanyakan kelenjar lain seperti parotis, lakrimal, saliva dan
usus halus terjadi perlemakan.
1.4. Pemeriksaan Penunjang
48
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama jenis normositik
normokrom karena adanya gangguan sistem eritropoesis akibat hipoplasia kronis
sumsum tulang di samping karena asupan zat besi yang kurang dalam makanan,
kerusakan hati dan gangguan absorbsi. Pemeriksaan radiologis juga perlu dilakukan
untuk menemukan adanya kelainan pada paru. Selain itu juga ditemukan :
a. Penurunan kadar albumin (Kadar Albumin normal : 3.5-5.0 g/dl)
b. Penurunan kadar kreatinin
c. Kurangnya kadar kalsium, kalium dan magnesium
d. Penurunan kolesterol (Kadar Kolesterol normal : < 200 mg/dl)
e. Kadar globulin dalam serum kadang-kadang menurun akan tetapi tidak sebanyak
menurunnya albumin serum, hingga pada kwashiorkor terdapat rasio
albumin/globulin yang biasanya 2 menjadi lebih rendah, bahkan pada
kwashiorkor yang berat ditemukan rasio yang terbalik (Kadar globulin normal:
2.0- 3.5 g/dl)
f. Kadar asam amino essensial dalam plasma relatif lebih rendah dari pada asam
amino non essiensial.
g. Kadar amylase, esterase, kolinasterase, transaminase, lipase dan alkali fostase
menurun
h. Anemia
2. ANALISIS DATA
Data objektif dan subjektif diambil dari pengkajian: wawancara,observasi, dan data
sekunder.
3. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
Diagnosa kepeerawatan yang mungkin dapat ditemukan pada anak dengan khashiorkor
adalah:
a. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d asupan yang
tidak adekuat,anoreksia,dan diare.
b. Kekurangan volume cairan b/d penurunan asupan peroral dan
peningkatan kehilangan akibat diare
c. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan protein yang
tidak adekuat
d. Defisiensi pengetahuan b/d tentang kondisi,prognisi,dan kebutuhan
nutrisi anak
4. INTERVENSI KEPERAWATAN
a. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d asupan yang tidak
adekuat,anoreksia,dan diare.
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien akan
menunjukkan peningkatan status gizi.
Kriteria hasil:
49
Keluarga dapat menjelaskan penyebab gangguan nutrisi yang dialami klien, kebutuhan
nutrisi pemulihan, susunan menu dan pengolahan makanan sehat seimbang.
Intervensi:
- Jelaskan kepada keluarga tentang penyebab malnutrisi, kebutuhan nutrisi
pemulihan,susunan menu dan pengolahan makanan sehat seimbang. Tunjukkan contoh
jenis sumber makanan ekonomis sesuai status social ekonomi klien
- Tunjukkan cara pemberian makanan per sonde, beri kesempatan keluarga untuk
melakukannya sendiri.
- Laksanakan pemberian roborans sesuai program terapi.
- Timbang berat badan, ukur lingkar lengan atas.
Rasional:
- Meningkatkan pemahaman keluarga tentang penyebab dan kebutuhan nutrisi untuk
pemulihan klien sehingga dapat meneruskan upaya terapi dietik yang telah diberikan
selama hospitalisasi.
- Meningkatkan pp0oiug]ikjartisipasi keluarga dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi
klien, mempertegas peran keluarga dalam upaya pemulihan status nutrisi klien.
- Reborans meningkatkan nafsu makan, proses absorbsi dan memenuhi defisit yang
menyertai keadaan malnutrsi.
- Menilai perkembangan masalah klien.
b. Kekurangan volume cairan b/d penurunan asupan peroral dan peningkatan kehilangan
akibat diare.
Kriteria hasil:
- Asupan cairan adekuat sesuai kebutuhan ditambah defisit yang terjadi.
- Tidak ada tanda/gejala dehidrasi (tanda-tanda vital dalam batas normal, frekuensi
defekasi dengan konsistensi padat/semi padat).
Intervensi:
- Lakukan/observasi pemberian cairan per infus/oral sesuai program rehidrasi.
- Jelaskan kepada keluarga tentang upaya rehidrasi dan partisipasi yang diharapkan dari
keluarga dalam pemeliharaan patensi pemberian infus
- Kaji perkembangan keadaan dehidrasi klien.
Rasional:
- Upaya rehidrasi perlu dilakukan untuk mengatasi masalah kekurangan volume cairan.
- Meningkatkan pemahaman keluarga tentang upaya rehidrasi dan peran keluarga dalam
pelaksanaan terapi dehidrasi.
- Menilai perkembangan masalah klien. Penting untuk menetapkan program rehidrasi
selajutnya.
c. Keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan b/d asupan protein yang tidak adekuat.
50
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien akan mencapai
pertumbuhan dan perkembangan sesuai standar usia.
Kriteria hasil:
- Pertumbahan fisik (ukuran antropometrik) sesuai standar usia perkembangan motoric,
Bahasa/kognitif dan personal/social sesuai srtandar usia.
Intervensi:
- Ajarkan kepada orang tua tentang standar pertumbuhan fisik dan tugas-tugas
perkembangan sesuai program terapi diet pemulihan.
- Lakukan pemberian makanan/minuman sesuai program terapi diet pemulihan
- Lakukan pengukuran antrpo metric secara berkala
- Lakukan stimulasi tingkat perkembangan sesuai dengan usia klien
- Lakukan rujukan ke lembaga pendukung stimulasi pertumbuhan dan perkembangan
(puskesmas/posyandu)
Rasional:
- Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang keterlambatan pertumbuhan dan
perkembangan anak.
- Diet khusus untuk pemulihan malnutrisi diprogramkan secara bertahap sesuai dengan
kebutuhan anak dan kemampuan toleransi sistem pencernaan.
- Menilai perkembangan masalah klien.
- Stimulasi diperlukan untuk mengejar keterlambatan perkembangan anak dlaam aspek
motoric, Bahasa dan personal/social.
- Mempertahankan kesinambungan program stimulasi pertumbuhan dan perkembangan
anak dengan memberdayakan sistem pendukung yang ada.
Kriteria hasil:
- Keluarga mengerti dan memahami isi penyuluhan.
- Keluarga dapat mengulangi isi penyuluhan.
- Keluarga mampu menerapkan isi penyuluhan di rumah sakit dan nanti sampai
dirumah.
Intervensi:
- Tentukan tingkat pengetahuan dan kesiapan untuk belajar.
- Jelaskan tentang: nama penyakit anak, penyebab penyakit,akibat yang
ditimbulkan,pengobatan yang dilakukan.
- Jelaskan tentang: pengertian nutrisi dan pentingnya pola makan yang betul untuk anak
sesuai dengan umur nya, bahan makanan yang banyak mengandung vitamin terutama
banyak mengandung protein.
- Beri kesempatan keluarga untuk mengulangi isi penyuluhan.
- Anjurkan keluarga unruk membawa anak control di poli gizi.
51
Rasional:
- Mengetahui sejauh mana pengetahuan dan kebenaran informasi
yang di dapat dan kesiapan untuk belajar.
- Keluarga mengerti dan memahami penyakit anak dan
menambah pengetahuan keluarga.
- Keluarga mengerti dan memahami serta menambah
pengetahuan tentang nutrisi.
- Mengetahui sejauh mana isi penyuluhan dipahami oleh
keluarga.
5. Implementasi Keperawatan
Melaksanakan tindakan ke[erawatan sesuai dengan rencana tindakan keperawatan yang
sudah dibuat sebelumnya dan mencatat respon klien atas tindakan yang sudah dilakukan.
6. EvaluasiKeperawatan
Melaksanakan evaluasi atas tindakan keperawatan yang sudah diberikan apakah sudah
mencapai kriterian hasil dan tujuan yang dibuat sebelumnya.
DAFTAR PUSTAKA
52