Anda di halaman 1dari 8

ISSN 2337­6686

ISSN­L 2338­3321

SINDROM NEFROTIK RESISTEN STEROID

Erida Manalu
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia Jakarta
E­mail: eridamanalu@yahoo.com
ABSTRAK: Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) adalah Sindrom Nefrotik yang gagal mencapai remisi setelah pemberian
kortikosteroid dosis penuh dan alternatif. Penetapan remisi dilakukan dengan monitoring kadar protein dalam urin. Adanya
proteinuria persisten dalam tiga kali pemeriksaan selama satu minggu menunjukkan bahwa pasien gagal mencapai remisi. Seorang
anak laki­laki, usia 2 tahun dengan gejala edema anasarka, proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia sesuai untuk
Sindrom Nefrotik. Pasien sudah mendapat terapi prednison dosis penuh dan alternatif. Hasil urinalisis menunjukkan pasien
mengalami proteinuria persisten sehingga didiagnosis sebagai Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. Tujuan dari tulisan ini adalah
menambah pengetahuan tentang Sindrom Nefrotik dan dapat mencegah terjadinya Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) dan
komplikasi selanjutnya. Metode yang digunakan adalah studi kepustakaan dengan pendekatan deskriptif eksploratif dengan studi
kasus dan penelusuran pustaka yang bersifat objektif, analitis, dan sistematis. Dapat disimpulkan bahwa pemeriksaan proteinuria
penting untuk mengetahui terjadinya remisi pada pasien SN juga penting untuk mengetahui keberhasilan terapi SNRS dan
memprediksi progresifitas menjadi gagal ginjal terminal.
Kata kunci: Sindrom Nefrotik, Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS), remisi, proteinuria.
ABSTRACT: Steroid Resistant Nephrotic Syndrome (SNRS) is a Nephrotic Syndrome that fails to achieve remission after full and
alternative doses of corticosteroids. Determination of remission is done by monitoring levels of protein in the urine. The presence of
persistent proteinuria in three examinations for one week showed that the patient failed to achieve remission. A boy, 2 years old with
symptoms of anarchic edema, massive proteinuria, hypoalbuminemia, and hyperlipidemia suitable for Nephrotic Syndrome. Patients
have received full­dose and alternative prednisone therapy. The urinalysis results showed that the patient had persistent proteinuria
and thus was diagnosed as a Steroid­Resistant Nephrotic Syndrome. The purpose of this paper is to increase knowledge about
Nephrotic Syndrome and to prevent the occurrence of Steroid­Resistant Nephrotic Syndrome (SNRS) and subsequent complications.
The method used is library research with an explorative descriptive approach with case studies and literature that are objective,
analytical, and systematic. It can be concluded that proteinuria examination is important to find out the occurrence of remission in
SN patients is also important to determine the success of SNRS therapy and predict progression to terminal renal failure.
Keywords: Nephrotic Syndrome, Steroid Resistant Nephrotic Syndrome (SNRS), remission, proteinuria.

PENDAHULUAN terjadi remisi yaitu keadaan protein dalam urin


Latar belakang dari tulisan ini adalah masih menjadi negatif atau trace. Hilangnya protein dalam
tingginya kejadian Sindrom Nefrotik di Indonesia urin merupakan indikator keberhasilan pengobatan
khususnya pada anak usia 2­6 tahun. Sindrom Sindrom Nefrotik. Apabila remisi tidak tercapai
Nefrotik (SN) merupakan penyakit pada glomerulus disebut sebagai Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
ginjal yang ditandai dengan gejala proteinuria masif, (Brady HR, O’meara YM, Benner BM, 2005;16).
hipoalbuminemia, edema, dan hiperlipidemia. Tujuan penulisan makalah ini adalah menambah
Glomerulus ginjal pasien Sindrom Nefrotik pengetahuan tentang Sindrom Nefrotik dan Sindrom
mengalami kerusakan sehingga protein dapat Nefrotik Resisten Steroid (SNRS) sehingga penderita
melewati membran glomerulus dan keluar di urin. SN dapat memperoleh pengobatan yang baik dan
Keadaan ini disebut dengan proteinuria. Rusaknya mencegah terjadinya Sindrom Nefrotik Resisten
membran glomerulus penderita Sindrom Nefrotik Steroid.
biasanya hebat sehingga banyak protein yang keluar
ke urin. Keadaan ini disebut sebagai proteinuria
masif. (Brady, O’meara, Benner, 2005;16 Alatas, METODOLOGI
Tambunan, Trihono, Pardede, 2005). Metode yang digunakan adalah studi
kepustakaan dengan pendekatan deskriptif eksploratif
Tujuan utama terapi Sindrom Nefrotik adalah
dengan studi kasus dan penelusuran pustaka yang
mencegah kebocoran pada glomerulus. Oleh karena
bersifat objektif, analitis, dan sistematis.
itu diberikan kortikosteroid (prednison) sampai

Jurnal Ilmiah WIDYA 1 Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 2019


Erida Manalu, Sindrom Nefrotik
1­8 Resisten Steroid

PEMBAHASAN napas 28 kali/menit, suhu aksila 39° C, tekanan darah


110/70 mmHg, berat badan 11 kg, tinggi badan 73 cm
Kasus
namun keadaan gizi sulit dinilai karena ada bengkak.
Pasien seorang anak laki­laki usia 2 tahun datang
Tampak edema palpebra dan wajah, abdomen tampak
ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Cipto
buncit, lemas, dengan shifting dullness positif.
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta dengan keluhan
Tekanan vena jugularis tidak meningkat. Pada
bengkak di seluruh tubuh. Keluhan ini sudah dialami
ekstremitas didapatkan pitting edema. Tidak ada
selama tiga hari. Awalnya bengkak dirasakan hanya
edema skrotum. Hasil pemeriksaan laboratorium
pada kelopak mata terutama saat bangun pagi, lalu ke
didapatkan proteinuria masif (protein urin +3),
seluruh wajah, dan seluruh tubuh. Pasien juga terlihat
hipoalbuminemia (albumin serum 1,12 mg/dl), dan
sesak dan gelisah. Satu hari sebelum masuk rumah
hiperkolesterolemia (kolesterol total 494 mg/dl),
sakit pasien demam tinggi, naik turun, dan batuk
dapat dilihat pada Tabel 1.
pilek. Buang air kecil jarang. Menurut ibunya, pasien
sedang dalam terapi Siklofosfamid (rencana puls ke­ Tabel 1. Hasil Laboratorium
2) dan prednison dosis alternatif (dosis 3x5 mg,
diminum Senin, Rabu, Jumat) karena menderita
Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. Saat dibawa ke
rumah sakit ternyata pasien sudah tiga hari tidak
makan prednison karena obat habis dan belum
kontrol ke rumah sakit.
Pasien didiagnosis Sindrom Nefrotik (SN) sejak
usia 1 tahun oleh suatu rumah sakit. Pasien jarang
kontrol sehingga tidak mendapat obat dengan teratur.
Tiga bulan sebelumnya, pasien dirawat karena perut
bengkak. Lalu pasien diberikan Prednison, albumin,
Kaptopril, dan Lasix. Hasil USG ginjal saat itu
normal. Oleh rumah sakit tersebut, pasien dirujuk ke
bagian Nefrologi anak RSCM dan didiagnosis
sebagai Sindrom Nefrotik. Pasien kemudian
diberikan terapi Prednison dosis penuh selama 1
bulan dilanjutkan dengan prednison dosis alternatif
selama 1 bulan. Berdasarkan hasil urinalisis sebagai
pemantauan terapi, pemeriksaan protein urin pasien
menggunakan metode carik­celup tidak pernah
negatif atau trace (protein dalam urin selalu ≥+2).
Hasil tersebut menyebabkan pasien didiagnosis
sebagai Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS)
dan diberikan Siklofosfamid (CPA) puls pertama dan
prednison dosis alternatif.
Pasien merupakan anak terakhir dari 4
bersaudara, lahir spontan, cukup bulan, berat lahir
3200 gram, ditolong bidan, imunisasi tidak lengkap,
riwayat nutrisi kurang, namun tumbuh kembang
masih sesuai usia. Di keluarga tidak ada yang
menderita sakit seperti pasien.
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik didapatkan Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
keadaan umum tampak sakit berat, kesadaran kompos pemeriksaan laboratorium pasien didiagnosis sebagai
mentis, frekuensi nadi 130 kali/menit, frekuensi Sindrom Nefrotik dan hipertensi grade II. Terapi yang

Jurnal Ilmiah WIDYA 2 Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 2019


Erida Manalu, Sindrom Nefrotik
1­8 Resisten Steroid

diberikan adalah Prednison 1x15 mg dosis alternatif Ada beberapa klasifikasi Sindrom Nefrotik saat
(3x seminggu yaitu Senin, Rabu, Jumat), Furosemid ini. Berdasarkan etiologinya, SN dibagi tiga yaitu
2x10 mg iv, Lisinopril 1x1 mg per oral, Losartan kongenital, idiopatik/primer, dan sekunder. Hampir
1x10 mg per oral, infus albumin 25% 44 ml dalam 4 90% kasus SN pada anak adalah idiopatik.
jam, parasetamol sirup 3x125 mg, dan Cefotaksim Berdasarkan gambaran histopatologi, ada beberapa
3x250 mg iv. Pasien direncanakan untuk diberikan bentuk Sindrom Nefrotik. Bentuk tersering adalah
Sikofosfamid (CPA) puls kedua. Pada perawatan hari lesi minimal (85%), glomerulosklerosis fokal
kedua, pasien sudah tidak demam lagi namun buang segmental (10%), mesangial proliferatif difus (3%),
air kecil masih jarang. Suhu sudah kembali normal dan glomerulonefritis membranoproliferatif (2%).
(36.50 C) dan tekanan darah 90/60 mmHg, namun Keempat bentuk ini merupakan bagian dari SN
edema masih seluruh tubuh (anasarka). Pasien idiopatik. Berdasarkan respon terhadap terapi
kemudian diberikan Siklofosfamid puls kedua dan kortikosteroid dibagi menjadi Sindrom Nefrotik
melanjutkan terapi perawatan hari pertama. Pada Sensitif Steroid (SNSS) dan Sindrom Nefrotik
perawatan hari ketiga, pasien masih edema anasarka Resisten Steroid (SNRS). Klasifikasi SN berdasarkan
sehingga pasien diberikan infus albumin 25% respon terhadap terapi kortikosteroid yang sering
sebanyak 50 ml selama 4 jam dan diakhiri dengan ditemukan di klinik saat ini. Sindrom Nefrotik
pemberian Lasix 10 mg secara intravena. dengan gambaran histopatologi lesi minimal
umumnya (80%) berespon baik terhadap pemberian
Definisi steroid sedangkan gambaran glomerulosklerosis fokal
Sindrom Nefrotik (SN) adalah penyakit segmental, mesangial proliferatif difus, dan
glomerulus berupa kumpulan gejala yang terdiri dari glomerulonefritis membranoproliferatif umumnya
proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema, dan resisten terhadap pemberian steroid (Alatas,
hiperlipidemia. Proteinuria masif adalah keadaan Tambunan, Trihono, Pardede, 2005, Kliegman, 2007,
ditemukannya protein dalam jumlah besar di urin. Rachmadi, 2013).
Dikatakan proteinuria masif pada orang dewasa jika
Sindrom Nefrotik Resisten Steroid (SNRS)
kadar protein dalam urin lebih dari 3 g/24 jam.
didefinisikan sebagai Sindrom Nefrotik yang tidak
Kriteria proteinuria pada anak adalah >1 g/24 jam,
mengalami remisi setelah pemberian kortikosteroid
atau ≥40 mg/m2LPB/jam, atau rasio protein/kreatinin
(prednison). Remisi merupakan suatu keadaan kadar
urin sewaktu lebih dari 2 mg/mg, atau hasil
protein di urin menjadi negatif atau trace. Lamanya
pemeriksaan protein urin dengan carik­celup ≥+2.
pemberian steroid hingga pasien dinyatakan resisten
Hipoalbuminemia adalah kadar albumin dalam serum
steroid cukup beragam. International Study of
kurang dari 2,5 g/dl. Hiperkolesterolemia adalah
Kidney Disease in Children (ISKDC) menetapkan
kadar kolesterol total dalam serum lebih dari 200
resisten steroid jika pasien tidak mengalami remisi
mg/dl (Brady, O’meara, Benner, 2005; Alatas,
setelah pemberian steroid dosis penuh yaitu 60
Tambunan, Trihono, Pardede, 2005, Kliegman, 2007,
mg/m2atau 2 mg/kg/hari, setiap hari selama empat
Rachmadi, 2013).
minggu yang dilanjutkan dengan steroid dosis
Sindrom Nefrotik lebih sering terjadi pada anak alternatif yaitu 40 mg/m2 atau 1,5 mg/kg/hari, tiga
usia 2­6 tahun dibandingkan dewasa. Insiden SN kali seminggu selama empat minggu. Ketentuan ini
pada anak di Amerika dan Inggris adalah 2­4 kasus juga dipakai di bagian anak Rumah Sakit Cipto
per 100.000 anak per tahun sedangkan di Indonesia Mangunkusumo Jakarta dalam menetapkan diagnosis
masih tinggi yaitu 6 kasus per 100.000 anak per SNRS (Alatas, Tambunan, Trihono, Pardede, 2005).
tahun. Kejadian pada anak laki­laki lebih sering Tercapainya remisi merupakan target pengobatan
dibandingkan dengan anak perempuan dengan pasien SN dan menjadi indikator penting dalam
perbandingan 2:1. Pada orang dewasa, jumlah menentukan prognosis Sindrom Nefrotik. Lima puluh
kejadian laki­laki sama dengan wanita (Brady, persen penderita SNRS akan berkembang menjadi
O’meara, Benner, 2005; Alatas, Tambunan, Trihono, gagal ginjal terminal dalam satu sampai empat tahun
Pardede, 2005, Kliegman, 2007, Rachmadi, 2013). kedepan, sehingga harus dicegah (Rachmadi, 2013).

Jurnal Ilmiah WIDYA 3 Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 2019


Erida Manalu, Sindrom Nefrotik
1­8 Resisten Steroid

Patofisiologi Hipoalbuminemia pada SN disebabkan oleh


Proteinuria dianggap sebagai kelainan primer hilangnya albumin melalui urin. Hati akan
pada Sindrom Nefrotik. Mekanisme terjadinya mengkompensasi hilangnya protein dengan
proteinuria diduga akibat proses imunologi. Secara meningkatkan sintesis albumin dan protein lain. Pada
histologi, glomerulus terdiri dari tiga lapisan dari SN, kecepatan hilangnya albumin melalui urin tidak
dalam ke luar yaitu endotel, membran basal sebanding dengan kecepatan sintesisnya sehingga
glomerulus, dan lapisan epitel yang disebut podosit. hipoalbuminemia tetap terjadi. Selain itu, kompensasi
Lapisan podosit dan lapisan membran basal sintesis protein pada SN bersifat non diskriminatif.
glomerulus dihubungkan dengan tonjolan­tonjolan Artinya hati akan menyintesis semua protein. Protein
prosesus (foot processus) yang merupakan bagian dengan berat molekul besar akan meningkat kadarnya
dari lapisan podosit. Kerusakan pada salah satu dalam plasma, sedangkan protein dengan berat
lapisan ini dapat manimbulkan proteinuria, namun molekul kecil tetap akan hilang lewat urin (Floege,
kerusakan pada podositlah yang paling sering Feehally).
menyebabkan proteinuria masif. Rusaknya lapisan Ada dua teori yang dapat menerangkan
podosit pada SN disebabkan oleh deposit kompleks terjadinya edema pada Sindrom Nefrotik yaitu teori
imun di podosit sehingga disebut podositopati. underfill dan overfill. Pada teori underfill, penyebab
Podositopati akibat proses imunologi ini dimediasi utama edema adalah hipoalbuminemia.
oleh mediator imun seperti sel T, zat vasoaktif, Hipoalbuminemia menyebabkan tekanan onkotik
aktifitas komplemen (C5b­9), Interleukin (IL)­13, plasma menurun sehingga permeabilitas pembuluh
dan cardiotropin­like cytokine­1 (CLC­1). Seluruh darah meningkat. Cairan dari ruang intravaskular
mediator imun ini menyebabkan peningkatan akan bergeser ke jaringan interstisial sehingga terjadi
permeabilitas glomerulus dan kerusakan podosit oleh edema di jaringan dan hipovolemia intravaskular.
aktifitas Complement Membrane Attact (C5b­9). Hipovolemia intravaskular selanjutnya menyebabkan
Selain itu, sitokin yang dihasilkan pada proses imun perfusi ke ginjal menurun. Ginjal akan
ini menimbulkan katabolisme proteoglikan heparan mengkompensasi keadaan ini dengan mengaktifkan
sulfat pada dinding kapiler glomerulus. Akibatnya, sistem renin­angiotensin­aldosteron (RAA). Sistem
dinding kapiler glomerulus yang tadinya bermuatan RAA bekerja untuk meretensi natrium dan air dengan
negatif menjadi bermuatan positif sehingga protein cara meningkatkan reabsorbsi natrium dan air.
yang bermuatan negatif dapat melewati dinding Retensi natrium dan air menyebabkan dilusi
glomerulus dan keluar di urin (proteinuria terjadi (pengenceran) protein plasma yang justru akan
secara charge selectivity) (Brady, O’meara, Benner, memperburuk keadaan hypoalbuminemia,
2005, Rachmadi, 2013, Floege, Feehally). menurunkan tekanan onkotik plasma dan
Teori terbaru penyebab kerusakan podosit pada memperberat edema (Brady, O’meara, Benner, 2005,
Sindrom Nefrotik Resisten Steroid diduga akibat Floege J, Feehally).
mutasi genetik spesifik pada gen yang menyandi Pada teori overfill, penyebab utama edema
protein pembentuk lapisan diafragma glomerulus. adalah defek pada ginjal yang menyebabkan retensi
Gen spesifik pada podosit yang telah ditemukan natrium dan air. Retensi tersebut akan meningkatkan
adalah NPHS1, ACTN4, NPHS2, CD2AP, WT1, tekanan hidrostatik kapiler dan transudasi cairan
TRPC6, LAMB2, dan NPHS3 akan menyandi protein intravaskuler ke rongga interstisial sehingga terjadi
pembentuk lapisan diafragma glomerulus berturut­ edema (Brady, O’meara, Benner, 2005, Floege J,
turut yaitu nefrin, á­aktinin­4, podosin, CD2­ Feehally).
associated protein, Wilms' tumor, transient receptor
potential 6, laminin â2 chain, dan phospholipase Sindrom Nefrotik atau Sindrom Nefrotik
PLCE1. Apabila terjadi mutasi pada gen tersebut Resisten Steroid dapat menimbulkan komplikasi
akan menyebabkan pendataran foot processus pada berupa gangguan keseimbangan nitrogen. Hal ini
podosit, perubahan arsitektur celah diafragma disebabkan oleh meningkatnya katabolisme protein
glomerulus, dan akhirnya terjadi kebocoran untuk mengkompensasi hilangnya protein melalui
glomerulus (Rachmadi, 2013, Floege, Feehally). urin, sehingga massa otot akan berkurang (Floege J,
Feehally).

Jurnal Ilmiah WIDYA 4 Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 2019


Erida Manalu, Sindrom Nefrotik
1­8 Resisten Steroid

Pada SN sintesis protein meningkat termasuk Infeksi seperti selulitis dan peritonitis merupakan
protein untuk aktivitas koagulasi seperti fibrinogen, komplikasi yang juga sering terjadi pada pasien SN.
faktor V, VII, faktor Von Willebrand, protein C, dan Hal ini disebabkan oleh hilangnya immunoglobulin
Alpa­1 makroglobulin. Akibatnya aktivitas koagulasi dan komplemen melalui glomerulus. Selain itu terjadi
akan meningkat dan memicu tromboemboli. Protein akumulasi cairan ekstravaskular yang menyebabkan
berukuran kecil seperti protrombin, faktor IX, X, XI, peregangan dan kerapuhan kulit yang kemudian
XII, dan AT III akan keluar bersama urin. Ancaman menjadi port d’entrée kuman. Bila ditemukan tanda
terjadinya tromboemboli harus dipikirkan bila kadar infeksi, pasien dapat langsung diberikan antibiotik
albumin serum kurang dari 2 g/dl. Tromboemboli profilaksis yaitu panisilin parenteral dikombinasikan
diperberat oleh keadaan hipovolemia, infeksi, dengan sefalosporin generasi ketiga seperti
penggunaan diuretik, dan imobilasasi pasien Cefotaxim dan Ceftriaxon (Floege, Feehally).
(Rachmadi, 2013, Floege, Feehally). Pada Sindrom Nefrotik, vitamin D yang terikat
Hiperlipidemia adalah keadaan yang menyertai pada protein juga ikut hilang bersama urin. Hal ini
Sindrom Nefrotik dengan proteinuria masif. Kadar menyebabkan kadar 25(OH) vitamin D serum
kolesterol umumnya meningkat sedangkan menjadi rendah sedangkan kadar vitamin D bebas
trigliserida bisa normal atau tinggi. Ada beberapa tetap normal. Tiroid binding globulin ikut terbuang
mekanisme yang menyebabkan gangguan lipid pada melalui urin, kadar tiroksin serum rendah tetapi
SN yaitu (1) meningkatnya sintesis low density tiroksin bebas dan Tiroid Stimulatin Hormone normal
lipoprotein (LDL), verylow density lipoprotein sehingga tidak sampai menyebabkan gangguan.
(VLDL), dan lipoprotein a (Lp a); (2) keadaan Beberapa zat seperti tembaga, zink, besi, dan
hypoalbuminemia; (3) gangguan konversi VLDL dan transferin juga ikut terbuang bersama urin (Floege,
intermediate density lipoprotein (IDL); (4) defek Feehally).
pada aktivitas enzim lipoprotein lipase yang
menyebabkan VLDL meningkat; (5) menurunnya Diagnosis dan Tata Laksana
enzim lecithin cholesterol acyltransferase (LCAT) Diagnosis Sindrom Nefrotik ditegakkan apabila
yang berperan sebagai katalisator pembentukan HDL; terdapat gejala edema, proteinuria masif,
dan (6) hilangnya high density lipoprotein (HDL) hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan kadang diserta
bersama urin sehingga kadar HDL serum rendah lipiduria. Diagnosis Sindrom Nefrotik Resisten
(Brady, O’meara, Benner, 2005, Floege, Feehally). Steroid ditegakkan bila pasien tidak mengalami
remisi pasca terapi steroid dosis penuh dan dosis
Lipiduria merupakan manifestasi yang timbul
alternatif. Remisi dapat ditetapkan dengan
akibat akumulasi lemak pada sel epitel ginjal dan
pemeriksaan urinalisis atau pemeriksaan protein
silinder sehingga tampak sebagai oval fat bodies dan
kuantitatif di urin dengan kriteria: (1) pemeriksaan
silinder lipid pada pemeriksaan sedimen urin. Untuk
protein urin metode carik celup hasil negatif atau
membuktikan adanya oval fat bodies di urin dapat
trace selama tiga kali pemeriksaan dalam satu
dilakukan dengan pewarnaan Sudan III seperti pada
minggu, atau (2) rasio protein/kreatinin urin ≤0.2
Gambar 1 (Floege, Feehally).
mg/mg, atau (3) kadar protein urin kuantitatif kurang
dari 4 mg/m2LPB/jam (Alatas, Tambunan, Trihono,
Pardede, 2005, Projosudjadi, 2006;558­6 Singh,
Tejani Tejani. 1999;26­32).
Biopsi ginjal penting untuk mengetahui
gambaran histopatologi glomerulus. Biopsi ginjal
biasanya disarankan sebelum memulai terapi.
Gambaran patologi anatomi dapat memprediksi
respon pasien terhadap steroid. Jika pasien diprediksi
mengalami resisten steroid, biopsi ginjal harus
dilakukan. Kebanyakan SNRS (80­85%) akan
Gambar 1. Oval fat bodies memberikan gambaran histopatologi glomerulo­

Jurnal Ilmiah WIDYA 5 Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 2019


Erida Manalu, Sindrom Nefrotik
1­8 Resisten Steroid

sklerosis fokal segmental, sedangkan lesi minimal proteinuria kuantitatif. Pemeriksaan proteinuria
jarang sekali menjadi resisten terhadap steroid kuantitatif dengan urin 24 jam adalah baku emas
(Alatas, Tambunan, Trihono, Pardede). untuk menentukan kadar protein (albumin) di urin.
Terapi spesifik terhadap SNRS dilakukan dengan Kesulitan metode ini adalah dalam mengumpulkan
pemberian golongan sitostatik. Tujuannya untuk urin 24 jam terutama pada pasien anak. Alternatif
mengurangi permeabilitas membran glomerular dan pemeriksaan protein kuantitatif yang dianjurkan
meningkatkan kemampuan selektifitas membran adalah menghitung ratio protein atau albumin per
terhadap albumin sehingga dapat mencegah kreatinin urin dengan menggunakan urin sewaktu.
terjadinya proteinuria. Sitostatik pilihan terhadap Selain mudah, metode ini tidak dipengaruhi oleh
SNRS adalah Siklofosfamid (CPA) yang diberikan intake cairan atau diuresis pasien. Hasil penelitian
secara oral atau puls. Siklofosfamid oral diberikan mendapatkan terdapat korelasi kuat antara hasil rasio
dengan dosis tunggal 2­3 mg/kgBB/hari selama 3­6 protein/kreatinin menggunakan urin sewaktu dengan
bulan ditambah dengan terapi prednison 40 hasil protein kuantitatif menggunakan urin 24 jam
mg/m2LPB/hari dosis alternatif mengikuti lamanya (Floege, Feehally).
siklofosfamid. Selanjutnya dilakukan tapering off
Diskusi
prednison selama 2 bulan yaitu dosis 1 mg/kgBB/hari
Dasar diagnosis Sindrom Nefrotik (SN) pada
selama 1 bulan dilanjutkan dengan dosis 0.5
pasien ini adalah adanya gejala edema anasarka,
mg/kgBB/hari selama 1 bulan. Siklofosfamid puls
proteinuria masif, hipoalbuminemia, dan
diberikan dengan dosis 500­750 mg/m2 LPB melalui
hiperlipidemia yang sudah dialami sejak usia satu
infus sekali sebulan selama 6 bulan, ditambah dengan
tahun. Edema anasarka ditandai dengan anamnesis
prednison 40 mg/m2LPB/hari sebagai dosis
bengkak pada seluruh tubuh dan pemeriksaan jasmani
alternating dan tappering off setelah 6 bulan.
ditemukan edema palpebra dan wajah, adanya
Tappering off prednison dilakukan selama dua bulan
shifting dulness, dan pitting edema. Proteinuria masif
yaitu dosis 1 mg/kgBB/hari selama 1 bulan,
ditunjukkan dengan hasil urinalisis berupa proteinuria
dilanjutkan dengan dosis 0.5 mg/kgBB/hari selama 1
≥+2. Proteinuria masif menyebabkan pasien
bulan. Siklofosfamid puls dilaporkan memberi hasil
mengalami hipoalbuminemia (kadar albumin serum
yang lebih baik dibandingkan dengan oral. Pemberian
1,12 mg/dl). Hiperlipidemia ditandai dengan kadar
Siklofosfamid bersama dengan prednison dilaporkan
kolesterol yang meningkat yaitu 494 mg/dl.
memberikan remisi sebesar 60%. Terapi sitostatik
lain adalah Siklosporin (CyA) yang dapat Tekanan darah pasien adalah 110/70 mmHg.
memberikan remisi total sebesar 20%. Metil Untuk usia 2 tahun masuk dalam Hipertensi Grade 2.
prednisolon puls dan obat imunosupresif lain seperti Pasien Sindrom Nefrotik dapat ditemukan hipertensi.
vinkristin, takrolimus, dan mikrofenolat mofetil juga Oleh karena itu pasien diberikan terapi hipertensi
dapat diberikan. Terapi non spesifik pada SNRS yaitu Lisinopril dan Losartan oral.
bertujuan untuk mengontrol hipertensi dan edema Pasien SN mengalami kerusakan pada membran
serta mengatasi komplikasi (Alatas, Tambunan, glomerulus sehingga albumin keluar bersama urin
Trihono, Pardede, 2005, Rachmadi, 2013, ditandai dengan hasil urinalisis yaitu protein +3.
Projosudjadi, 2006;558­6, Singh, Tejani, Tejani, Selain albumin, eritrosit juga ikut keluar di urin
1999;26­32). sehingga terjadi hematuria (urinalisis ditemukan
darah +3 dan sedimen eritrosit yang banyak).
Evaluasi Laboratorium pada Sindrom Nefrotik
Evaluasi laboratorium pada pasien SN dilakukan Hipoalbuminemia pada pasien selanjutnya
dengan menilai protein dalam urin. Ada tiga metode memicu hati untuk mengkompensasi hilangnya
untuk menilai proteiunuria yaitu metode albumin dengan cara meningkatkan sintesis albumin
semikuantitatif dengan carik­celup dan metode dan protein jenis lain. Walaupun sintesis protein
kuantitatif dengan urin 24 jam atau urin sewaktu. meningkat namun kecepatan hilangnya protein atau
Pemeriksaan protein urin dengan metode carik­celup albumin melalui urin tidak sebanding dengan
sangat sensitif terhadap albumin. Hasil carik­celup kecepatan sintesisnya sehingga hipoalbuminemia
≥+2 harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan tetap terjadi (kadar albumin serum 1,12 mg/dl).

Jurnal Ilmiah WIDYA 6 Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 2019


Erida Manalu, Sindrom Nefrotik
1­8 Resisten Steroid

Dampak lain dari kerusakan membran berkaitan dengan dilusi akibat hipoalbuminemia.
glomerulus adalah hilangnya berbagai zat dalam Penyebab lain adalah akibat penggunaan diuretik
darah ke dalam urin. Transferin merupakan protein seperti furosemid yang dikonsumsi pasien ini. Pasien
pengangkut besi yang penting untuk sintesis didiagnosis Sindrom Nefrotik sejak usia 1 tahun.
hemoglobin turut hilang melalui urin. Hal ini dapat Pasien sudah mendapat terapi prednison dengan
memicu terjadinya anemia selain hematuria yang pemberian secara tidak teratur. Berdasarkan
terjadi pada pasien ini sehingga kadar hemoglobin anamnesis, pasien sudah mendapat terapi prednison
8,44 g/dl. Pada keadaan anemia, perlu evaluasi dosis penuh dan alternatif. Namun dalam beberapa
laboratorium untuk menentukan jenis dan terapi kali pemeriksaan urinalisis didapatkan protein urin
anemia. Jenis anemia dapat ditentukan dengan ≥+2. Hal ini menjadi dasar pasien dinyatakan
pemeriksaan gambaran darah tepi. mengalami Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
Immunoglobulin dan komplemen merupakan (SNRS).
protein yang juga sering hilang melalui urin sehingga Pengobatan SN Resisten Steroid pada pasien ini
menimbulkan komplikasi berupa infeksi. Pada pasien berupa Siklofosfamid (CPA) puls dan prednison dosis
ditemukan tanda infeksi berupa demam tinggi (suhu alternatif dosis 1x15 mg yang diberikan 3x seminggu
390 C) dan batuk pilek dengan hasil laboratorium yaitu Senin, Rabu, Jumat. Evaluasi proteinuria setelah
neutrofilia dan trombositosis reaktif. Anjuran pemberian Siklofosfamid (CPA) puls pertama
pemeriksaan laboratorium selanjutnya adalah menunjukkan masih terjadi kebocoran melalui
memeriksa kadar C­Reaktive Protein (CRP) serta membran glomerulus yang ditandai dengan protein
kultur darah dan resistensi. Pasien Sindrom Nefrotik urin +3 dan hematuria. Oleh karena itu pasien
dengan kecurigaan infeksi, dapat langsung diberikan direncanakan untuk diberikan Siklofosfamid (CPA)
antibiotik profilaksis tanpa menunggu hasil kutur. puls kedua. Pasien juga diberikan infus albumin dan
Pasien ini diberikan antibiotik golongan sefalosporin lasix untuk membantu mengatasi keadaan
generasi ketiga yaitu Cefotaksim 3x250 mg secara hipoalbuminemia dan edema anasarka.
intravena. Evaluasi proteinuria pada pasien ini sudah tepat
Pada urinalisis ditemukan silinderuria (silinder dilakukan dengan metode carik celup. Namun
granula kasar 0­2/LPK) yang merupakan tanda sebaiknya hasil proteinuria ≥+2 dikonfirmasi dengan
kerusakan tubulus ginjal. Selain silinder granula pemeriksaan protein secara kuantitatif. Pasien SNRS
kasar, pada urin pasien Sindrom Nefrotik dapat dapat berakhir dengan gagal ginjal terminal apabila
ditemukan lipiduria yaitu oval fat bodies atau silinder terdapat proteinuria persisten dan hipertensi tidak
lemak. Untuk dapat membuktikan adanya oval fat terkontrol. Perlu pemantauan tekanan darah, hasil
bodies di urin dianjurkan untuk melakukan proteinuria, dan laju filtrasi glomerulus (LFG) yang
pewarnaan Sudan III. ketat. Pasien ini perlu melakukan biopsi ginjal untuk
Kadar ureum pada pasien ini meningkat namun mencari diagnosis pasti Sindrom Nefrotik Resisten
kreatinin serum rendah. Kadar kreatinin yang rendah Steroid. Hasil biopsi SNRS dapat membantu klinisi
kemungkinan akibat meningkatnya katabolisme dan orangtua dalam memantau pengobatan SNRS
protein yang berasal dari otot sebagai kompensasi selanjutnya dan mencegah komplikasi.
dari proteinuria masif. Keadaan ini dikenal dengan
balans nitrogen negatif. Peningkatan kadar ureum PENUTUP
pada pasien ini kemungkinan akibat meningkatnya
pembentukan ureum di hati atau akibat intake Kesimpulan
makanan. Walaupun kadar kreatinin serum pasien ini Pasien anak laki­laki, 2 tahun dengan diagnosis
tidak tinggi, namun volume urin sedikit sehingga Sindrom Nefrotik Resisten Steroid. Diagnosis
tetap diperlukan pemeriksaan Laju Filtrasi Ginjal resisten steroid ditetapkan atas dasar tidak
(LFG) untuk melihat progresifitas penyakit ini tercapainya remisi setelah terapi kortikosteroid
menjadi gagal ginjal terminal. (prednison) dosis penuh dan alternatif. Penetapan
remisi pada pasien berdasarkan adanya proteinuria
Pada pemeriksaan elektrolit serum terlihat kadar persisten pada beberapa kali pemeriksaan urinalisis.
natrium serum rendah. Hal ini kemungkinan

Jurnal Ilmiah WIDYA 7 Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 2019


Erida Manalu, Sindrom Nefrotik
1­8 Resisten Steroid

Pemeriksaan protein urin dengan metode carik­celup Gordillo R, Spitzer A. In: The Nephrotic Syndrome. Pediatric in
riview. American Acadey of Pediatrics. 2009
sudah tepat, namun tetap perlu dikonfirmasi dengan Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) Glome­
pemeriksaan protein urin kuantitatif. Masalah yang rulonephritis Work Group. KDIGO. Clinical Practice
terjadi pada pasien ini adalah adanya proteinuria yang Guideline for Glomerulonephritis. Kidney Inter Suppl 2012
Kliegman. Nephrotic Syndrome. In: Behrman K eds. Nelson
persisten dan hipertensi sehingga perlu terapi yang Textbook of Pediatrics, 18th ed. Philadelphia: WB. Sounders
baik dan kontrol teratur untuk mencegah komplikasi. company; 2007
Mundt LA, Shanahan K. Chemical analysis of urine. Graff’s
textbook of urinalysis & body fluids. 2nd ed. Philadelphia:
Saran­Saran Lipincott Williams & Wilkins; 2011
Tujuan pengobatan pasien SN adalah mencapai Projosudjadi W. Sindrom nefrotik. Dalam: Sudoyo AW,
remisi dan mencegah komplikasi. Oleh karena itu Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, setati S. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Edisi ke­4. Jakarta: Pusat penerbitan
perlu kerjasama klinisi dan keluarga pasien. Sangat departemen ilmu penyakit dalam FKUI; 2006
penting edukasi yang baik dan benar untuk pasien SN Rachmadi R. Diagnosis dan Tata Laksana Sindrom Nefrotik
dan keluarganya sehingga kesadaran pasien untuk Resisten Steroid (Simposium Tata Laksana Terkini penyakit
ginjal pada anak). Bandung: Departemen Ilmu Kesehatan
berobat tetap tinggi. Terapi terbaik untuk SNRS saat Anak Fakultas Kedokteran Uviversitas Padjajaran, Juni
ini adalah sitostatik Siklofosfamis puls. Perlu peran 2013. Didapat dari http://www.ugm.ac.id/index.php.
serta pemerintah dalam menjamin ketersediaan obat page=rilis&artikel=1141.
Schwartz GJ, Haycock GB, Edelmann CM Jr, Spitzer A. A simple
ini sehingga pasien bisa mendapatkan terapi dengan estimate of glomerular filtration rate in children derived
mudah dan terjangkau. from body length and plasma creatinine. Pediatrics
1976;58:259­63. PMID: 951142.
Singh A, Tejani C, Tejani A. One­center experience with cyclos­
DAFTAR PUSTAKA porine in refractory nephrotic syndrome in children. Pediatr
Alatas H, Tambunan T, Trihono P, Pardede SO. Dalam: Nephrol 1999;13:26­32. PMID: 10100285.
Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Strasinger SK, Di Lorenzo MS. Chemical examination of urine.
Anak; Jakarta; Indonesia; 2005. Urinalysis & body fluids. 5th ed. Philadelphia: F. A. Davis
Brady HR, O’meara YM, Benner BM. Glomerular disease. In: Company; 2008
Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Brauwald, Hauser SL,
Jameson JL. Harrison’s principles of internal medicine. 16th
ed. New York: McGraw Hill Company; 2005
Floege J, Feehally J. Introduction to glomerular disease: clinical
presentation. In : comprehensive clinical nephrology. 2007

Jurnal Ilmiah WIDYA 8 Volume 5 Nomor 3 Januari­Juli 2019

Anda mungkin juga menyukai