Anda di halaman 1dari 34

RANGKUMAN PRESENTASI 2

DIFFUSION OF INNOVATIONS MODEL


TEORI DIFUSI INOVASI

1.1 Konsep teori Diffusion of Innovations Model


Ada tiga konsep pokok yang dibahas Rogers dalam Diffusion of Innovations, yaitu
inovasi, difusi, dan adopsi.
Inovasi adalah sebuah ide, praktik atau objek yang dipersepsikan sebagai sesuatu
yang baru oleh individu. Sedangkan difusi merupakan proses mengkomunikasikan
sebuah inovasi melalui saluran komunikasi tertentu dalam waktu tertentu kepada anggota
sistem sosial.
Adopsi akan terjadi ketika individu menggunakan secara penuh sebuah inovasi ke
dalam praktek sebagai pilihan terbaik (Rogers, 1983). Armstrong dan Kotler (2009)
seperti dikutip Tanakinjal.et.al., (2011) mendefinisikan proses adopsi inovasi merupakan
proses mental di mana seorang individu melalui tahap pertama dalam mempelajari
inovasi menuju adopsi final.
Tujuan utama dari difusi inovasi yaitu diadopsinya suatu inovasi yakni gagasan, ilmu p
engetahuan dan teknologi baik oleh individu maupun kelompok sosial tertentu. Oleh kare
nanya Rogers mengemukakan bahwa terdapat 4 karakteristik inovasi yang yang dapat me
mpengaruhi tingkat adobsi dari individu maupun kelompok sosial tertentu.

1.2 Teori dan Model Keperawatan Everett M. Rogers


Teori difusi inovasi dipopulerkan oleh Everett M. Rogers melalui bukunya yang berjud
ul Diffusion of Innovationts.
Model difusi inovasi dikembangkan untuk membantu menyebarkan intervensi perilaku
kesehatan yang telah berhasil diuji ke dalam arus utama untuk penggunaan praktis (Rogers,
2003). Kerangka kerja memungkinkan seseorang untuk memahami proses difusi inovasi dan
berbagai tahapan yang terlibat dalam mengadopsi ide baru, sehingga mempersempit kesenjangan
antara apa yang diketahui dan apa yang digunakan. Difusi didefinisikan sebagai proses yang
melaluinya inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu, dari waktu ke waktu, di antara
anggota sistem sosial (Rogers, 2003).
Teori ini pada dasarnya menjelaskan proses bagaimana suatu inovasi dikomunikasikan
melalui saluran-saluran tertentu sepanjang waktu kepada sekelompok anggota dari syste
m social.
Inovasi yang dipandang oleh penerima sebgai inovasi yang mempunyai manfaat relati
ve, kesesuaian kemampuan untuk dicoba, kemampuan dapat dilihat jauh lebih besar dan t
ingkat kerumitan yang lebih rendah akan lebih cepat diadopsi daripada inovasi-inovasi lai
nnya (Rogers).
Empat Elemen Pokok Teori Difusi Inovasi
1. Inovasi
Gagasan/ide/barang/tindakan yang dianggap baru oleh seseorang
2. Saluran Komunikasi
Merupakan alat untuk menyampaikan pesan-pesan inovasi dari sumber kepada penerima.
Dalam memilih saluran komunikasi, harus memperhatikan dua hal yaitu tujuan komunika
si dan karakteristik penerima
3. Jangka Waktu
Merupakan waktu proses pengambilan keputusan mulai dari seseorang diberi sebuah inov
asi hingga pengukuhan terhadap inovasi baru tersebut.
4. Sistem Sosial
Kumpulan unit yang berbeda secara fungsi namun terikat dalam kerjasama untuk memec
ahkan masalah dalam rangka mencapai tujuan bersaa
Sistem social adalah sasaran dari seorang innovator untuk mendifusikan gagasan/ide baru
yang dibuat oleh innovator tersebut.
Contoh inovasi adalah buku elektronik, bukan buku cetak tradisional. Tidak masalah jika idenya
tidak baru, karena dianggap sebagai kebaruan yang memutuskan bagaimana individu akan
bereaksi.

TAHAPAN PROSES PENGAMBILAN KEPUTUSAN INOVASI


Kemajuan individu melalui lima tahap, yang dikenal sebagai proses keputusan-inovasi, saat
mereka mengevaluasi inovasi untuk diadopsi (Weigel, Rainer, Hazen, Cegielski, & Ford, 2012).
1. Tahap Pengetahuan (Knowledge)
Tahap seseorang menyadari adanya suatu inovasi dan ia ingin mengetahui bagaimana fun
gsi inovasi tersebut. Orang tersebut mulai membuka diri untuk mengetahui inovasi yang
baru
2. Tahap Persuasi (Persuasion)
Dalam tahap ini lebih banyak keaktifan mental dan pemikiran individu itu sendiri tentang
inovasi baru tersebut. Seseorang akan mencoba mengetahui lebih banyak tentang inovasi
dan berusaha menafsirkannya.
Seleksi inforasu invasi berlangsung pada tahap ini, seleski ini akan disesuaikan dengan k
ondisi dan sifat pribadu dari oranh tersebut.
3. Tahap Keputusan (Decisions)
Merupakan tahapan keputusan dari individu apakah ia akan menerima atau menolak inov
asi/ gagasan baru yang didifusikan
Keputusan tsb tidak berbatas dalam tahap ini saja, bisa jadi individu tersebut menerima/m
enolak inovasi pada tahap persuasi, atau bahkan dalam tahap konfirmasi
Terdapat 2 macam penolakan inovasi :
- Penolakan aktif : penolakan terjadi setelah individu mempelajari dan mempertimbang
kan inovasi, namun pada akhirnya ia menolak untuk menerima inovasi
- Penolakan pasif : penolakan terjadi tanpa pertimbangan apapun
4. Tahap Implementasi (Implemetation)
Tahap ini terjadi apabila seseorang menerapkan inovasi. Dala tahap ini berlangsung keakt
ifan mental maupun dalam perbuatan mendukung inovasi tersebut.
Seseorang yang menerima inovasi tidak juga selalu aktif dala perbuatan yang sejalan den
gan inovasi, bisa jadi karena tidak adanya fasilitas pendukung untuk berperan aktif dalam
pengaplikasian inovasi.
5. Tahap Konfirmasi (Confirmation)
Dalam ahap ini seseorang mencari penguatan terhadap keputusan yang telah diambilnya.
Keputusan tersebut bisa ia rubah jika orang tersebut mendapati informasi yang bertentang
an dengan pendapatnya
Tahapan ini adalah tahap yang berkelanjutan setelah terjadi tahapan pengambilan keputus
an. Dalam jangka waktu yang tidak terbatas pula.
Menurut Rogers (2003), karakteristik yang dirasakan dari inovasi mempengaruhi sikap
adopter. Karakteristik yang juga membantu menjelaskan kecepatan relatif adopsi suatu inovasi
meliputi keunggulan relatif, kompatibilitas, kompleksitas, trialability, dan observabilitas.
Keunggulan relatif adalah sejauh mana inovasi dianggap lebih baik daripada ide lama yang
sekarang. Tidak masalah jika inovasi tidak memiliki keunggulan sejati. Yang penting adalah
apakah individu berpikir inovasi akan lebih baik.

Inovasi mengacu pada sejauh mana individu, organisasi, atau sistem mengadopsi ide atau
praktik baru. Lima kategori pengadopsi telah dijelaskan:
1. Innovators : pencari informasi yang aktif dan dapat mengatasi tingkat ketidakpastian yang tinggi
tentang ide baru. Mereka terbuka untuk mengambil risiko dan yang pertama mengadopsi ide baru.
2. Early Adopters : biasanya mengadopsi inovasi setelah melihat cara kerjanya untuk inovator.
3. Early Majority : Mayoritas awal mungkin berunding sebelum mengadopsi, jadi mereka
jarang memimpin dalam adopsi sebuah ide.
4. Late Majority : Mayoritas yang terlambat memandang inovasi dengan skeptisisme dan
mungkin mengadopsi hanya karena meningkatnya tekanan dari teman sebaya, atau
karena mereka merasa aman untuk mengadopsi.
5. Laggards : Orang yang lamban cenderung curiga terhadap inovasi dan perubahan.
Mereka ingin memastikan bahwa inovasi tidak akan gagal sebelum mereka mengadopsi
dan seringkali memperlambat proses difusi inovasi.

Teori Difusi Inovasi dalam Implementasi Pelayanan Publik


Teori komunikasi yang relevan digunakan untuk menganalisis penelitian ini adalah teori difusi
inovasi dari Everett M.Rogers. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Febriana dan Setiawan (2016)
menggunakan teori difusi inovasi. Difusi adalah suatu jenis khusus komunikasi yang berkaitan dengan
penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru, sedangkan komunikasi didefinisikan sebagai proses di mana
para pelakunya menciptakan informasi dan saling bertukar informasi tersebut untuk mencapai pengertian
bersama. Sedangkan Inovasi adalah suatu ide, karya atau objek yang dianggap serta dirasakan oleh
anggota suatu sistem sosial yang menentukan tingkat adopsi. Tingkat adopsi meliputi keuntungan relatif,
kesesuaian, kerumitan, kemungkinan di coba, dan kemungkinan diamati. Penneliti melihat adanya proses
difusi inovasi yang dilakukan oleh pihak Puskesmas Tunjung Teja ketika melakukan implementasi
pelayanan publik dalam komunikasi terapeutik tenaga kesehatan kepada pasiennya. Berbagai
implementasi pelayanan publik inilah yang dimaksud sebagai proses difusi inovasi, yaitu mulai dari tahap
pengetahuan; tahap persuasi; tahap keputusan; dan tahap konfirmasi ada dalam implementasi pelayanan
publik ini. Komunikasi terapeutik juga memiliki peranan penting menuju perubahan sosial sesuai dengan
yang dikehendaki. Artinya proses difusi inovasi juga memang terjadi dalam implementasi pelayanan
publik di Puskesmas Tunjung Teja ini, melalui berbagai inovasi yang dilakukan pada komunikasi
terapeutik tenaga kesehatan, misalnya; pembentukan kader di Tunjung Teja; koordinasi dengan warga
desa; kemitraan yang terjalin antara bidan desa dengan dukun beranak, dan lainnya. Rogers dan
Shoemaker menegaskan bahwa difusi merupakan tipe komunikasi khusus, yaitu mengkomunikasikan
inovasi. Ini berarti kajian difusi merupakan bagian kajian komunikasi yang berkaitan dengan gagasan-
gagasan baru, sedangkan pengkajian komunikasi meliputi semua bentuk pesan. Jadi, jika yang
disampaikan dalam proses komunikasi bukan produk inovasi, maka kurang lazim disebut sebagai difusi
(Febriana & Setiawan, 2016). Oleh karena itu, dalam penelitian ini, penulis pun dapat menguraikan alur
model yang sederhana, sebagai hasil pemikiran penulis tentang “Implementasi Pelayanan Publik dalam
Komunikasi Terapeutik Tenaga Kesehatan kepada Pasien di Serang” dengan mengambil fokus lokasi
penelitian di Puskesmas Tunjung Teja, sebagai Puskesmas non rawat inap di tingkat kecamatan, tetapi
telah memberikan upaya pelayanan publik kepada pasiennya. Dalam model ini, penulis mengeskplorasi
hasil penelitian dalam model komunikasi yang berisikan tiga bentuk implementasi pelayanan publik,
yaitu:
1. Aspek sarana dan fasilitas kesehatan sebagai bentuk kualitas layanan publik.
2. Fase tahapan komunikasi terapeutik tenaga kesehatan kepada pasien
3. Unsur komunikasi terapeutik tenaga kesehatan kepada pasien.
“TEORY THE PRECEDE-PRECEED”
A. Konsep Teori dan Model
Perilaku adalah kegiatan yang dilakukan secara rutin. Perilaku terjadi karena adanya
tanggapan lingkungan atau respon lingkungan. Perilaku tidak terjadi begitu saja melainkan
melalui proses yang minimal dilakukan selama 6 bulan.
Menurut Lawrence Green (1980) menganalisis perilaku kesehatan seseorang atau
masyarakat dipengaruhi oleh dua faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan
faktor di luar perilaku (non behavior causes). Dalam aplikasinya, precede-proceed dilakukan
bersama-sama dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Precede-Proceed Model merupakan konsep berpikir yang memahami bahwa
perilaku manusia tidak bisa dilepaskan dari pengaruh lingkungan. Menurut Green & Kreuter
(1999), bila kita ingin mempromosikan kesehatan masyarakat, kita perlu mempertimbangkan
beberapa hal. Beberapa hal tersebut dapat digambarkan sebagai model Precede-Proceed.
Precede merupakan singkatan dari Predisposing, Reinforcing, Enabling Constructs in
Educational/Environmental Diagnosis and Evaluation yaitu hal-hal yang merupakan
predisposisi, penguat, dan pemungkin terjadinya perilaku dalam evaluasi dan diagnosis
pendidikan/lingkungan. Proceed adalah kebijakan, aturan dan kondisi organisasi dalam
pengembangan pendidikan dan lingkungan.
Menurut Green & Kreuter (1999), faktor-faktor mikro yang memunculkan perilaku
adalah: faktor predisposisi yang berupa faktor yang mendahului perilaku. Faktor yang
mendahului perilaku dapat berupa pengetahuan, minat, sikap, dsb. Selain faktor predisposisi,
faktor lain yang mempengaruhi perilaku adalah faktor pendukung (Reinforcing Factors).
Yang merupakan faktor pendukung terbentuknya perilaku adalah perilaku yang sama dari
teman-teman juga berperilaku yang sama atau dukungan dari orangtua. Sedangkan faktor
pemungkin terjadinya perilaku (Enabling Factors) . Faktor yang memungkinkan terjadinya
perilaku adalah adanya fasilitas, akses, dan uang sehingga perilaku yang direncanakan dapat
dieksekusi.
Pada awalnya, Green (1974) membahas perilaku dipengaruhi oleh tiga hal yaitu
faktor predisposisi, pendukung, dan pemungkin (faktor predisposisi, reinforcing, dan
enabling). Dalam perkembangannya Green mengevaluasi tulisannya dan memikirkan bahwa
perilaku manusia tidak hanya dipengaruhi faktor dari dalam diri sendiri dan orang di
sekitarnya, tetapi juga dipengaruhi oleh lingkungan yang lebih luas termasuk kebijakan
pemerintah, aturan, dan kondisi organisasi.

THE PRECEDE‐PROCEED MODEL


(GREEN & KREUTER, 1999).

1. Social Asessment: Quality of Life


2. Epidemiological Asessment: Health
3. Behavioral and Environmental asessment: Behavior & Environment
4. Educational and Ecological Asessment: Predisposing, Reinforcing, and Enabling
5. Administrative and policy asessment: Health Educations and Policy, Regulations, and
Organization
6. Implementation
7. Process evaluation
8. Impact evaluation
9. Overcome evaluation

B. Teori dan Model Keperawatan dari ‘’The Preceed-Proceed Model’’


PRECEDE PROCEED model
 Suatu model yang didesain untuk memandu rencana & pengembangan program
pendidikan kesehatan (Green & Kreuter, 2005)
 Framework PRECEDE dikembangkan selama 40 tahun; berdasarkan alasan
bahwa diagnosis edukasi harus mendahului intervensi
 PROCEED kekuatan diluar individu yg dpt mempengaruhi perilaku gaya hidup
Dasar proposisi PRECEDE PROCEED model
 Kesehatan & resiko kesehatan memiliki banyak determinan (:penentu)
 Usaha untuk merubah perilaku, fisik, & lingkungan sosial harus bersifat
multidimensi & partisipatif

(precede: mendahului) (procede: dilanjutkan)


PRECEDE PROCEED
- Predisposing (penyebab), - Policy (kebijakan),
- Reinforcing (memperkuat), - Regulatory (aturan), &
- Enabling (mempermudah) - Organizational Construct
Contructs in Educational/ in Educational &
Ecological Diagnosis & Environmental
Evaluation Development)

1. PRECEDE memiliki 5 fase


 Phase 1: Social diagnosis  tanyakan ke komunitas: keinginan dan kebutuhan
untuk meningkatkan kualitas hidup (pemahaman kondisi komunitas); melakukan
pengumpulan data melalui wawancara, survei, FGD, observasi mengenai
kebutuhan dan keinginan komunitas; memperhatikan kapasitas, kekuatan, sumber
daya dan kesiapan untuk berubah.
 Phase 2: Epidemiological diagnosis  identifikasi isu kesehatan yang sangat
berdampak pada komunitas. Misal: Mortalitas, Morbiditas, Disabilitas, Fertilitas,
Incidence rates, Prevalence rates
 Phase 3: Behavioral and environmental diagnosis  identifikasi faktor perilaku
dan gaya hidup dan/atau lingkungan yang harus diubah agar mempengaruhi isu
kesehatan yang telah diidentifikasi di fase 2, dan menentukan mana yang perlu
diubah. Misal: Genetik, Usia, Gender, penyakit yang diderita, pekerjaan, fasilitas
kesehatan yang tersedia
 Phase 4: Educational and organizational diagnosis  identifikasi faktor
predisposisi, enabling dan reinforcing yang mendukung atau menghambat
perubahan faktor perilaku dan lingkungan yang telah diidentifikasi di fase 3.
- Faktor predisposisi: pengetahuan, sikap, nilai, keyakinan, persepsi
terhadap kemampuan dan kebutuhan
- Faktor enabling: lingkungan dan personal, akses-daya beli-
kemampuan ke yankes, program dan pelayanan, ketrampilan, dana
dan waktu, fasilitas, hukum
- Faktor reinforcing: umpan balik positif atau negatif dari sebaya,
keluarga, nakes, bantuan hukum, media dll.
 Phase 5: Administrative and policy diagnosis  identifikasi isu administratif
internal dan kebijakan internal dan eksternal yang dapat mensukseskan jalannya
intervensi. Kebijakan dan administratif tersebut meliputi pendanaan dan sumber
lain untuk intervensi.
2. PROCEED memiliki 4 fase
 Phase 6: Implementation  intervensi dikerjakan
 Phase 7: Process evaluation  evaluasi perkembangan intervensi – mengacu pada
perencanaan.
 Phase 8: Impact evaluation  evaluasi apakah intervensi tersebut telah memberi
dampak pada faktor perilaku dan lingkungan yang ingin dicapai
 Phase 9: Outcome evaluation  evaluasi apakah dampak intervensi menghasilkan
outcome yang diidentifikasi pada fase 1

C. Penerapan ‘’The Preceed-Proceed Model’’ di Keperawatan Komunitas


Sebelum Puskesmas melakukan promosi kesehatan, terlebih dahulu
mengidentifikasikan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat sumbernya dari
masyarakat menggunakan precede proceed Precede untuk tahap perencanaan dan
implementasi promosi kesehatan, sedangkan Procede untuk tahap evaluasi.

Promosi Kesehatan dalam Teori Precede Proceed


PRECEDE merupakan panduan dalam menganalisis atau mendiagnosis serta evaluasi
perilaku dalam pendidikan promosi kesehatan. Sedangkan, PROCEED merupakan
panduan dalam merencanakan, mengimplementasikan, dan mengevaluasi dalam promosi
kesehatan. (Notoatmodjo, 2010).
1. Fase Pertama (Diagnosis Sosial): Menganalisis kualitas hidup individu atau
masyarakat yang sumbernya langsung dari masyarakat.
2. Fase Kedua (Diagnosis Epidemiologi)
Pada fase kedua ini, menganalisis masalah-masalah apa saja yang mempengaruhi
kualitas hidup dari masyarakat.
3. Fase Ketiga (Diagnosis Perilaku dan Lingkungan)
Pada fase ketiga ini dilakukannya diagnosis analisis perilaku dan lingkungan yang
menyebabkan terjadinya epidemiologi di masyarakat sehingga tidak terwujudnya
derajat kesehatan.
4. Fase Keempat (Diagnosis Pendidikan dan Organisasional)
Pada fase keempat ini faktor pendidikan dari tiap individu di masyarakat
mempengaruhi derajat kesehatannya. Latar belakang pendidikan tiap individu
tidaklah sama, pendidikan seseorang semakin tinggi maka, derajat kesehatan yang ia
peroleh akan semakin tinggi begitu sebaliknya.

5. Fase Kelima (Diagnosis Sumber Daya dan Administrasi)


Pada fase kelima ini menganalisis kebijakan, sumber daya, dan peraturan berlaku
yang menghambat dan memfasilitasi kegiatan dari promosi kesehatan. Berikut
beberapa hal yang menghambatnya kegiatan promosi kesehatan salah satunya datang
dari sumber daya.
6. Fase Keenam (Evaluasi Proses)
Pada fase keenam ini melakukan evaluasi terhadap proses promosi kesehatan.
Evaluasi dilakukan untuk melihat kekurangan yang ada sehingga dapat diatasi untuk
mendapatkan hasil yang lebih maksimal.
7. Fase Ketujuh (Evaluasi Hasil)
Di fase ketujuh ini mencoba untuk mengevaluasi hasil dari kegiatan promosi
kesehatan, evaluasi meliputi sejauh mana perubahan yang sudah terjadi pada faktor
predisposisi, faktor pemungkin dan faktor penguat.

8. Fase Kedelapan (Evaluasi Dampak)


Pada tahapan akhir dari evaluasi Procede, dilakukan evaluasi dampak yang dihasilkan
dari kegiatan promosi kesehatan. Fase kedelapan ini ingin melihat sejauh mana
perubahan epidemiologi dan status kesehatan masyarakat.
HEALTH PROMOTION MODEL (HPM)

Health Promotiom Model (HPM) atau Model Promosi Kesehatan merupakan


konsep model berdasarkan upaya pada pemberdayaan kemampuan individu atau
keluarga untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidup.
Health Promotion Model (HPM) adalah suatu cara untuk menggambarkan
interaksi manusia dengan lingkungan fisik dan interpersonalnya dalam berbagai
dimensi. HPM pertama kali dikembangkan oleh Nola J. Pender pada tahun 1987.
Pusat HPM adalah teori pembelajaran sosial Albert Bandura, yang menyebutkan
penting nya proses kognitif dalam perubahan perilaku. Social learning theory,
sekarang dirubah menjadi social cognitive theory yang mencakup self beliefs, self
attribution, selft evaluation, and self efficacy. Self efficacy merupakan gagasan utama
dalam HPM. HPM sama pengertiannya dengan health belief model tetapi HPM tidak
terbatas hanya dalam memaparkan tentang perilaku pencegahan penyakit. HPM
berbeda dari health belief model yang mana HPM tidak memasukkan ketakutan dan
ancaman sebagai sumber motivasi dalam perilaku kesehatan. Tetapi, HPM
mengembangkan cangkupan perilaku untuk meningkatkan kesehatan dan kemampuan
untuk mengaplikasikannya sepanjang hidup.
Health Promotion Model merupakan model bagi perawat untuk mengeksplorasi
proses biopsikososial yang kompleks, yang memotivasi individu untuk berperilaku
tertentu, yang ditujukan untuk meningkatkan derajat kesehatannya (Toney &
Allogood, 2006)

A. PARADIGMA KEPERAWATAN NOLA J. PENDER


Paradigma keperawatan adalah suatu cara pandang yang mendasar atau cara
melihat, memikirkan, memberi makna, menyikapi, dan memilih tindakan terhadap
berbagai fenomena yang ada dalam keperawatan (Kusnanto, 2003). Paradigma
keperawatan ini terdiri dari empat konsep, yaitu manusia, lingkungan, kesehatan dan
keperawatan. Menurut Pender dalam Alligood (2006) konsep dasar paradigm
keperawatan adalah sebagai berikut:

1. Manusia
Manusia adalah organisme yang terdiri dari aspek biopsikososial yang
sebagiannya dibentuk oleh lingkungan tetapi juga memperhatikan karakteristik
lingkungan dan kemungkinan seseorang dapat mengaktualisasi diri. Manusia
dalam HPM merupakan individu yang menjadi focus utama dari model ini.
Menurut Pender, setiap individu memiliki karakter personal yang unik dan
pengalaman yang mempengaruhi perilakunya. Teori HPM mengakui bahwa
individu belajar perilaku kesehatan dalam konteks keluarga dan komunitas,
sebagaimana dijelaskan mengapa model dari pengkajian termasuk komponen dan
intervensi pada level keluarga dan komunitas, seperti level individu.

2. Lingkungan
Lingkungan seperti sosial, budaya, dan konteks fisik merupakan sumber
kehidupan yang selalu berkembang. Lingkungan dapat dimanipulasi oleh individu
yang menggambarkan konteks positif dan interaksi dan memfasilitasi untuk
adanya perubahan perilaku kesehatan. Menurut Pender, HPM lingkungan terdiri
dari fisik, interpersonal, dan keadaan ekonomi dalam kehidupan seseorang.
Kualitas lingkungan tergantung pada keadaan substansi toksin, adanya
pengalaman yang menguatkan, dan akses untuk memenuhi kebutuhan dan
ekonomi untuk kehidupan yang sehat.

3. Kesehatan
Kesehatan individu didefinisikan sebagai aktualisasi dari karakteristik dan potensi
seseorang yang diperoleh melalui perilaku, kemampuan perawatan diri, dan
kepuasaan hubungan dengan individu lainnya, sementara itu penyesuaian
diciptakan untuk memenuhi kebutuhan pemeliharaan integritas structural dan
keharmonisan dengan lingkungan yang sesuai. Kesehatan adalah pengembangan
pengalaman individu.

4. Keperawatan
Keperawatan merupakan kolaborasi dari individu, keluarga dan komunitas untuk
menggambarkan kondisi yang paling menguntungkan untuk mengkspresikan
kesehatan yang optimal dan level yang tinggi.
5. Sakit
Sakit mencirikan seluruh peristiwa dalam rentang kehidupan baik singkat (akut)
maupun lama (kronis) yang dapat menghalangi atau memudahkan seseorang
dalam melakukan aktivitasnya dengan sehat.

B. ASUMSI MAYOR dari MODEL HPM


Pender(1996) menyatakan asumsi dasar HPM adalah manusia, lingkungan, dan
kesehatan yaitu sebagai berikut :
1. Manusia mencoba menciptakan kondisi agar tetap hidup di mana mereka dapat
mengekspresikan keunikannya.
2. Manusia mempunyai kapasitas untuk merefleksikan kesadaran dirinya, termasuk
penilaian terhadap kemampuannya.
3. Manusia menilai perkembangan sebagai suatu nilai yang positif dan mencoba
mencapai keseimbangan antara perubahan dan stabilitas.
4. Setiap individu secara aktif berusaha mengatur perilakunya.
5. Individu merupakan makhluk bio-psiko-sosial yang kompleks, berinteraksi
dengan lingkungannya secara terus menerus, menjelmakan lingkungan yang
diubah secara terus menerus.
6. Profesional kesehatan merupakan bagian dari lingkungan interpersonal yang
berpengaruh terhadap manusia sepanjang hidupnya.
7. Pembentukan kembali konsep diri manusia dengan lingkungan adalah penting
untuk perubahan perilaku.

C. PROPORSI MODEL KESEHATAN


Teori HPM didasarkan pada 14 teoritikal proposisi. Teoritikal ini menjadi dasar untuk
penelitian yang berhubungan dengan perilaku kesehatan, yaitu:

1. Perilaku sebelumnya dan karakteristik yang diperoleh mempengaruhi


kepercayaan, pengaruh (affect) dan perilaku untuk meningkatkan kesehatan.
2. Manusia melakukan perubahan perilaku dimana mereka mengharapkan
keuntungan yang bernilai bagi dirinya.
3. Rintangan yang dirasakan dapat menjadi penghambat kesanggupan melakukan
tindakan, suatu mediator perilaku sebagaimana perilaku nyata.
4. Promosi atau pemanfaatan diri akan menambah kemampuan untuk melakukan
tindakan dan perbuatan dari perilaku.
5. Kompetensi yang dirasakan atau hasil untuk mengeksekusi perilaku tertentu akan
menambah kesamaan komitmen terhadap tindakan dan kinerja perilaku yang
sebenarnya.
6. Pemanfaatan diri yang terbesar akan menghasilkan sedikit rintangan pada perilaku
kesehatan spesifik.
7. Pengaruh positif pada perilaku akibat pemanfaatan diri yang lebih baik dapat
menambah hasil positf.
8. Manusia lebih suka melakukan promosi kesehatan ketika model perilaku itu
menari, perilaku yang diharapkan terjadi dan dapat mendukung perilaku yang ada.
9. Ketika emosi yang positif atau pengaruh yang berhubungan dengan perilaku,
maka kemungkinan menambah komitmen untuk bertindak.
10. Keluarga, kelompok dan pemberi layanan kesehatan adalah sumber interpersonal
yang penting yang mempengaruhi, menambah atau mengurangi keinginan untuk
berperilaku promosi kesehatan.
11. Pengaruh situasional pada lingkungan eksternal dapat menambah atau
mengurangi keinginan untuk berpatisipasi dalam perilaku promosi kesehatan.
12. Komitmen terbesar pada suatu rencana kegiatan yan spesifik lebih memungkinkan
perilaku promosi kesehatan dipertahankan untu jangka waktu yang lama.
13. Komitmen pada rencana kegiatan kemungkinan kurang menunjukkan perilaku
yang diharapkan ketika tindakan-tindakan lain lebih atraktif dan juga lebih suka
pada perilaku yang diharapkan.
14. Seseorang dapat memodifikasi kognisi, mempengaruhi interpersonal dan
lingkungan fisik yang mendorong melakukan tindakan kesehatan.

D. KOMPONEN TEORI MODEL HPM


Komponen Model Health Promotion Model (HPM) menurut Pender :
1. Prior Related Behavior
Secara langsung dan tidak langsung berpengaruh pada Likelihood of engaging in
health promoting behaviors.
2. Personal Factors
Kategorinya, biologis, psikologis, dan sosiokultur. Faktor ini memprediksikan
pemberian perilaku dan dibentuk secara alami dalam target perilaku menjadi
pertimbangan.
3. Personal Biological Factors
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah variabel seperti umur, jenis kelamin,
Masa indek tubuh, status pubertas, status menopouse, kekuatan, keseimbangan.
4. Personal Psycological Factors
Yang termasuk kedalam faktor ini adalah harga diri, motivasi diri, kemampuan
diri, definisi kesehatan, pemahaman status kesehatan.
5. Personal Sociocultural Factors
Yang termasuk ke dalam faktor ini adalah ras, etnik, pendidikan, dan status
sosioekonomi.
6. Perceived Benefits of Action
Perceived Benefits of Action di antisipasikan sebagai hasil akhir positif yang akan
terjadi dari perilaku kesehatan.
7. Perceived Barriers to Action
Perceived Barriers to Action di antisipasikan,di imajinasikan atau blok nyata dan
ganti rugi individu sebagai usaha pemberi perilaku.
8. Perceived Self-Efficacy
Perceived Self-Efficacy adalah pendapat dari kemampuan individu untuk
mengorganisasikan dan menjalankan sebuah promosi perilaku kesehatan.
9. Activity-Related Affect
Activity-Related Affect di gambarkan sebagai perasaan subjektif positif atau
negatif yang terjadi sebelum, atau sejak mengikuti perilaku dasar yang
menstimulus diri dari perilaku dirinya sendiri.
10. Interpersonal Influences
Pengaruh ini adalah perilaku yang berfokus pada pengetahuan, keyakinan atau
tata krama dan lainnya. Pengaruh interpersonal termasuk norma, sosial suport,
dan modeling. Sumber utama dari pengaruh interpersonal ini adalah keluarga,
kelompok, dan pemberi pelayanan kesehatan.
11. Situational Influences
Situational Influences adalah persepsi dan pengetahuan individu tentang banyak
pemberi situasi atau bahasannya dapat memfasilitasi atau mengganggu perilaku.
Pengaruh situasi mungkin mempunyai pengaruh secara langsung maupun tidak
langsung dalam perilaku kesehatan.
12. Commitment to a plan of action
Komitmen ini menggambarkan konsep dari tujuan dan identifikasi dari strategi
perencanaan yang berperan penting dalam mengimplementasi perilaku kesehatan.
13. Immediate Competing Demans and Preferences
Competing Demans adalah alternatif perilaku individu yang mempunyai kontrol
lemah, karena ada kemungkinan yang terjadi di lingkungan seperti bekerja atau
kepekaan atau kepekaan keluarga. Competing Preferences adalah alternatif
perilaku yang melibatkan individu relatif kontrol tinggi, seperti memilih ice cream
atau apel untuk makanan ringan.
14. Health-Promoting Behavior
Health-Promoting Behavior adalah sebuah poin akhir atau hasil akhir dari aksi
yang secara langsung terhadap pencapaian hasil akhir kesehatan yang positif
seperti pencapaian yang optimal, pemenuhan kebutuhan individu, dan
produktivitas hidup. Contoh: memilih makanan sehat, manajemen stres,
pertumbuhan spiritual, dan membangun hubungan yang positif.
THEORY OF REASONED ACTION (TRA) DAN
THEORY OF PLANNED BEHAVIOR (TPB)

2.1 Konsep Teori dan Model Theory Reasoned Action (Theory of Reasoned Action) / Teori
Perilaku yang Direncanakan (Theory of Planned Behavior)
Theory of Reasoned Action (TRA) menjelaskan tentang perilaku yang beruba
h berdasarkan hasil dari niat perilaku, dan niat perilaku dipengaruhi oleh
norma sosial dan sikap individu terhadap perilaku (Eagle, Dahl, Hill, Bird,
Spotswood, & Tapp, 2013 hal 123). Sedangkan menurut (Lee & Kotler, 2011 hal
198) theory of reasoned action (TRA) yang dikembangkan oleh Ajzen dan Fishb
ein, mengatakan bahwa prediksi terbaik mengenai perilaku seorang adalah ber
dasarkan minat seseorang tersebut.
Model Theory of Reasoned Action (TRA) praktik atau perilaku menurut theo
ry of reasoned actionakan dipengaruhi oleh niat individu, dan niat dari ind
ividu tersebut terbuat dari sikap dan norma subjektif. Salah satu variable
yang mempengaruhi yaitu sikap dipengaruhi oleh tindakan yang dilakukan di m
asa lalu. Teori ini disusun menggunakan asumsi dasar bahwa manusia berperil
aku dengan cara yang sadar dan mempertimbangkan segala informasi yang terse
dia.
Theory of Planned Behavior (TPB) konsep dari teory ini merupakan perkem
bangkan dan perluasan dari theory reasoned action (TRA) teori (TPB) ini me
ngembangkan dengan menambahkan konstruk yang belum ada pada TRA. Konstruk i
ni disebut dengan control perilaku persiapan (perceived behavioural contro
l). Konstruk ini ditambahkan untuk mengontrol perilaku individual yang diba
tasi oleh kekurangan-kekurangannya dan keterbatasan-keterbatasan dari kekur
angan sumber-sumber dayayang digunakan untuk melakukan perilakunya (Hsu dan
Chui 2002)
Model Theory of Planned Behavior (TPB) menurut (Lee & Kotler, 2011 hal
199) teori ini sebagai konstruk yang melengkapi TRA. Target individu memili
ki kemungkinan yang besar untuk mengadopsi perilaku apabila individu terseb
ut memiliki sikap yang positive terhadap perilaku tersebut, mendapatkan per
setujuan dari individu yang lain yang lebih dekat dan terkait dengan perila
ku tersebut dan percaya perilaku tersebut dapat dilakukan dengan baik.

2.2 Teori dan Model Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) / Teori
Perilaku yang Direncanakan (Theory of Planned Behavior)
A. SEJARAH THEORY OF REASONED ACTION (TRA) DAN THEORY OF PLANED
BEHAVIOR (TPB)
Theory of reasoned action (TRA) berasal dari penelitian Fishbein mengenai sikap
atau pendirian individu yang disebabkan oleh perilaku. (Fishbein 1967a) dan analisa
gangguan untuk memprediksi perilaku individu terhadap sikapnya. Theory of reasoned
action (TRA) sendiri juga sering disebut Behavioral Intention Theory. Model ini
menggunakan pendekatan kognitif dan dasari ide bahwa,”…manusia adalah hewan yang
memiliki alasan dalam memilih aksi yang dilakukan, prosesnya sitematis dan
memanfaatkan informasi yang tersedia bagi mereka....” (Ajzen dan Fishbein, 1980;
Fishbein dan Middlestadt: 1989)
Pada awalnya teori ini dinamai dengan Theory of Reasoned Action (TRA), yang
dikembangkan pada tahun 1967, selanjutnya teori tersebut terus direvisi dan diperluas
oleh Icek Ajzen dan Martin Fishbein. Mulai tahun 1980 teori tersebut digunakan untuk
mempelajari perilaku manusia dan untuk mengembangkan intervensi-intervensi yang
lebih mengena. Pada tahun 1988, ada hal lain ditambahkan pada model reasoned action
yang sudah ada tersebut dan kemudian dinamai dengan Theory of Planned Behavior
(TPB), untuk mengatasi kekurangan yang ditemukan oleh Ajzen dan Fishbein melalui
penelitian-penelitian mereka dengan menggunakan TRA. Kedua model
mempertimbangkan proses yang disengaja dilakukan dan implikasinya terhadap perilaku
individu.

B. Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of Planed Behavior (TPB)


Theory Of Reasoned Action atau dapat disingkat dengan TRA, adalah teori
perilaku kesehatan yang menggunakan pendekatan psikologi sosial untuk melihat
determinan dari perilaku sehat yang dikembangkan oleh Azen dan Fishbein
menjelang tahun 1970-an. Penelitian dalam psikolog sosial menunjukkan bahwa niat
perilaku seseorang terhadap perilaku tertentu merupakan faktor penentu apakah iya atau
tidaknya individu dalam melakukan perilaku tersebut (Ajzen dan Fishbein, 1975). TRA
menjelaskan bahwa keyakinan dapat mempengaruhi sikap dan norma sosial yang mana
akan merubah bentuk keinginan berperilaku baik dipandu ataupun terjadi begitu saja
dalam sebuah perilaku individu. Teori ini menegaskan peran dari “niat” seseorang dalam
menentukan apakah sebuah perilaku akan terjadi. Menurut teori ini, kehendak atau niat
seseorang untuk menampilkan sesuatu perilaku tertentu berkaitan erat dengan tingkah
laku aktual itu sendiri. Ada dua asumsi pokok yang menjadi dasar teori ini yaitu:
a. Bahwa perilaku ada dalam kendali si pelaku.
b. Bahwa manusia adalah makhluk rasional.

Maka teori “Fesbein-Ajzen” menekankan pentingnya peranan dari “intention”


atau niat sebagai alasan atau faktor penentu perilaku. Selanjutnya niat ini ditentukan
oleh :

1. Sikap, penilaian yang menyeluruh terhadap perilaku atau tindakan yang akan
diambil,
2. Norma Subjektif, kepercayaan terhadap pendapat orang lain apakah menyetujui
atau tidak menyetujui tentang tindakan yang akan diambil tersebut, dan
3. Pengendalian Perilaku, bagaimana persepsi terhadap konsekuensi atau akibat dari
perilaku yang akan diambilnya.
Misalnya perilaku ibu untuk mengimunisasikan anaknya di Posyandu, didasari
oleh “niat” atau “intention” ibu sendiri. Niat ibu sendiri ditentukan oleh :

a. Sikap ibu, yakni penilaian ibu tersebut terhadap untung ruginya tindakan yang
akan diambil untuk imunisasi anaknya.
b. Norma subjektif, yakni kepercayaan atau keyakinan ibu terhadap perilaku yang
akan diambil, lepas dari orang lain setuju atau tidak setuju. (Notoatmodjo, 2010).

Dibawah ini kelebihan dan kekurangan Theory of Reasoned Actiona.

a. Kelebihan Theory of Reasoned Action


Teori ini memberikan pegangan untuk menganalisis komponen perilaku
dalam item yang operasional. Fokus sasaran adalah prediksi dan pengertian
perilaku yang dapat diamati secara langsung dan berada dalam kendali seseorang,
artinya perilaku sasaran harus diseleksi dan diidentifikasi secara jelas. Tuntutan
ini memerlukan pertimbangan mengenai perbedaan tindakan (action), sasaran
(target), konteks, dan perbedaan waktu serta komponen model sendiri termasuk
intensi, sikap, norma subjektif, dan keyakinan.
Konsep penting dalam TRA adalah fokus perbedaan (salience). Hal ini
berarti, sebelum mengembangkan intervensi yang efektif, pertama-tama harus
menentukan hasil dan kelompok referensi yang penting bagi perilaku populasi.
Dengan demikian, harus diketahui nilai dan norma kelompok sosial yang
diselidiki (yang penting bukan budaya itu sendiri, tetapi cara budaya
memengaruhi sikap, intensi, dan perilaku).(Maulana,2009).
b. Kekurangan Theory of Reasoned Action
TRA adalah bahwa kehendak dan perilaku hanya berkorelasi sedang,
intensi tidak selalu menuju pada perilaku itu sendiri, terdapat hambatan-hambatan
yang mencampuri atau memengarihi intensi dan perilaku (Van Oost, 1991 dalam
Smet, 1994). TRA hanya dimaksudkan untuk menjelaskan perilaku yang akan
dikerjakan secara sukarela, bukan perilaku perilaku yang diwajibkan atau tanpa
ada niat dari pelakunya.
TRA tidak mempertimbangkan pengalaman sebelumnya dengan perilaku
dan mengabaikan akibat-akibat jelas dari variabel eksternal (variabel demografi,
gender, usia, dan keyakinan kesehatan) terhadap pemenuhan intensi perilaku.
Model ini kurang mengena jika digunakan untuk memprediksi perilaku yang
spontan. Selain itu, TRA hanya untuk sampai perubahan perilaku, sedangkan
untuk mempertahankannya perlu metode lain yang sesuai. (Maulana,2009)

B. Theory of Planned Behavior (TPB)


Theory of Planned Behavior atau TPB merupakan pengembangan lebih lanjut dari
TRA. Ajzen (1988) menambahkan konstruk yang belum ada dalam TRA, yaitu control
perilaku yang dipersepsi (perceived behavioral control). Theory of planned behavior
adalah teori yang menekankan pada rasionalitas dari tingkah laku manusia juga pada
keyakinan bahwa target tingkah laku berada di bawah kontrol kesadaran individu. 
Perilaku tidak hanya bergantung  pada intensi seseorang, melainkan juga pada faktor lain
yang tidak ada dibawah kontrol dari individu, misalnya ketersediaan sumber dan
kesempatan untuk menampilkan tingkah laku tersebut (Ajzen, 2005).
Prinsip dalam teori ini adalah prinsip kesesuaian (principle of compatibility) yang
menjelaskan sikap dan perilaku yang dibagi dengan empat elemen yaitu aksi, target,
konteks dan waktu, dan hubungan antara sikap dan perilaku akan maksimal jika setiap
elemennya berfungsi secara maksimal. Maka, perilaku terdiri dari (a) aksi atau perilaku
yang dilakukan, (b) performa target atau obyek, (c) konteks, dan (d) waktu spesifik,
contohnya seseorang yang fokus pada kebersihan mulut akan (a) menyikat (b) gigi (c)
dikamar mandi (d) setiap pagi setelah sarapan.
Ada beberapa komponen dalam teori ini yaitu:
a. Behavioral belief yang memengaruhi attitude toward behavior. Behavioral belief
adalah hal-hal yang diyakini individu mengenai sebuah perilaku dari segi positif dan
negatif  atau kecenderungan untuk bereaksi secara afektif terhadap suatu perilaku.
Sedangkan attitude toward behavior  yaitu sikap individu terhadap suatu perilaku
diperoleh dari keyakinan terhadap konsekuensi yang ditimbulkan oleh perilaku
tersebut.
b. Normative belief yang memengaruhi subjective norms. Normative belief adalah
norma yang dibentuk orang-orang disekitar individu yang akan berpengaruh dalam
pengambilan keputusan. Sedangkan subjective norms didefinisikan sebagai adanya
persepsi individu terhadap tekanan sosial yang ada untuk menunjukkan atau tidak
suatu perilaku. Subjective norms ini identik dengan belief dari seseorang tentang
reaksi atau pendapat orang lain atau kelompok lain tentang apakah individu perlu,
harus, atau tidak boleh melakukan suatu perilaku, dan memotivasi individu untuk
mengikuti pendapat orang lain tersebut (Michener, Delamater, & Myers, 2004).
c. Control belief yang memengaruhi perceived behavior control. Control belief adalah
pengalaman pribadi, atau orang disekitar akan mempengaruhi pengambilan
keputusan individu. Perceived behavioral control adalah keyakinan bahwa individu
pernah melaksanakan atau tidak pernah melaksanakan perilaku tertentu. Percieved
behavior control juga diartikan persepsi individu mengenai kontrol yang dimiliki
individu tersebut sehubungan dengan tingkah laku tertentu (Ismail dan Zain: 2008)

Ketiga komponen ini dipengaruhi oleh beberapa variabel seperti faktor ersonal berupa
sikap umum, kepribadian, nilai hidup, emosi, kecerdasan; faktor sosial berupa usia, jenis
kelamin, etnis, pendidikan, penghasilan, dan agama, faktor infirmasi seperti pengalaman,
pengetahuan, dan ekspos media.
Ketiga komponen ini pula akan memengaruhi intensi atau kehendak individu dalam
berperilaku nantinya. Fishbein dan Ajzen (1975) mendefinisikan intensi sebagai
komponen dalam diri individu ayang mengacu pada keinginan untuk melakukan tingkah
laku tertentu. Bandura (1986) menyatakan intensi merupakan suatu ebulatan tekad untuk
melakukan aktivitas tertentu atau menghasilkan suatu kedaan tertentu di masa depan.
Komponen yang memengaruhi perceived behavior control dan behavior secara
langsung disebut actual behavior control.
C. Perbedaan antara Theory of Reasoned Action (TRA) dan Theory of Planed Behavior
(TPB)
Perbedaan utama antara TRA dan TPB adalah tambahan penentu intensi
berperilaku yang ke tiga, yaitu perceived behavioral control (PBC). PBC ditentukan oleh
dua faktor yaitu control beliefs (kepercayaan mengenai kemampuan dalam
mengendalikan) dan perceived power (persepsi mengenai kekuasaan yang dimiliki untuk
melakukan suatu perilaku). PBC mengindikasikan bahwa motivasi seseorang dipengaruhi
oleh bagaimana ia mempersepsi tingkat kesulitan atau kemudahan untuk menampilkan
suatu perilaku tertentu. Jika seseorang memiliki control beliefs yang kuat mengenai
faktor-faktor yang ada yang akan memfasilitasi suatu perilaku, maka seseorang tersebut
memiliki persepsi yang tinggi untuk mampu mengendalikan suatu perilaku. Sebaliknya,
seseorang tersebut akan memiliki persepsi yang rendah dalam mengendalikan suatu
perilaku jika ia memiliki control beliefs yang kuat mengenai faktor-faktor yang
menghambat perilaku. Persepsi ini dapat mencerminkan pengalaman masa lalu, antisipasi
terhadap situasi yang akan datang, dan sikap terhadap norma-norma yang berpengaruh di
sekitar individu. Theory of Planned Behavior didasarkan pada asumsi bahwa manusia
adalah makhluk yang rasional dan menggunakan informasi-informasi yang mungkin
baginya, secara sistematis. Orang memikirkan implikasi dari tindakan mereka sebelum
mereka memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku-perilaku tertentu.
2.3 Penerapan Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) / Teori Perilaku
yang Direncanakan (Theory of Planned Behavior)

Penerapan Teori Tindakan Beralasan (Theory Reasoned Action) yang telah berhasil
digunakan untuk memprediksi dan menjelaskan berbagai perilaku kesehatan dan niat antara lain :

a. Merokok
b. Penggunaan kontrasepsi
c. Penggunaan mamografi
d. Ibu menyusui
e. Penggunaan narkoba
f. HIV atau Penyakit Menular Seksual

Penerapan Teori Perilaku yang Direncanakan (Theory of Planned Behaviour)

1. Konsumsi sayuran organic

a. Attitude Toward Behavior (Sikap)

Masyarakat United States bereaksi terhadap sayuran organik. Sayuran organik


dianggap solusi akan kekhawatiran penggunaan nitrogen sintetis yang telah meningkat
enam kali lipat dan produksi pestisida telah meningkat sekitar dua puluh kali (Andow dan
Davis: 1989).

b. Subjective Norms (Norma Subjektif)

Banyak orang bersedia membayar premi besar untuk makanan yang diproduksi
secara organik seperti buah organik yang dihasilkan dan vegetasi khusus. Saat ini
diperkirakan perintah harga premium semakin mengingkat. (Chadwick dkk: 1990).
Banyaknya orang yang melakukan hal tersebut turut memengaruhi keputusan individu
dalam masyarakat tersebut untuk turut membayar tinggi demi konsumsi sayuran organic.

c. Perceived Behavioral Control (Kendali Perilaku)

Pengalaman individu dalam konsumsi sayuran organik terjadi sejak akhir perand
dunia II di United States. Hal ini membuat wapsada individu dan memutuskan
mengkonsumsi yang aman.
2. Imunisasi

a. Attitude Toward Behavior (Sikap)

Seorang ibu yang akan mengimunisasikan anaknya karena imunisasi akan


menambah antibody pada tubuh sang anak

b. Subjective Norms (Norma Subjektif)

Seorang ibu yang akan mengimunisasikan anaknya karena terpengaruh dari


lingkungan terdekatnya, yaitu ibu-ibu lain yang mengimunisasikan anaknya karena
imunisasi tersebut sangat penting untuk kekebalan tubuh anaknya

c. Perceived Behavioral Control ( Kendali Perilaku)

Seorang ibu yang selalu mengimunisasikan analknya entah imunisasi wajib atau
tidak karena sudah terbukti bahwa imunisasi dapat memperkuat antibody anak dan
berkemungkinan tidak akan terserang penyakit yang telah diimunisasikan tersebut.
MAKALAH THEORY TRANSTHEORITICAL MODEL

A. Sejarah The Transtheoretical Model

Transtheoretical model (TTM) atau yang biasa kita sebut dengan “the stages of change
model” merupakan model perubahan perilaku yang berfokus pada kemampuan individu dalam
mengambil keputusan daripada pengaruh sosial dan biologis seperti pada pendekatan lain. TTM
berusaha memasukkan dan mengintegrasikan konsep dasar dari berbagai teori menjadi sebuah
teori yang komprehensif untuk dapat diaplikasikan pada berbagai macam perilaku, populasi dan
berbagai macam latar belakang.
Teori ini dikembangkan oleh Prochaska and DiClemente pada akhir 1970, melalui
penelitiannya tentang alasan mengapa beberapa orang mau berhenti merokok dengan
sendirinya. Dari penelitian itu dapat diketahui bahwa alasan orang untuk berhenti merokok
adalah karena terdapat kesiapan untuk berhenti merokok pada dirinya. Dari penelitian awalnya
tentang merokok tersebut, kemudian berkembang dalam penyelidikan dan aplikasi dengan
berbagai perilaku kesehatan dan kesehatan mental, antara lain penggunaan dan penyalahgunaan
alkohol, eating disorder dan obesitas, pencegahan AIDS, dan lain sebagainya.
B. Definisi dan Konsep

Dalam teori ini terdapat 4 konsep dasar yakni stages of change, process of changes, decisional
balance, dan self efficacy.
1. Stages of change

Stages of change merupakan aspek yang temporal dalam TTM. Teori ini beranggapan bahwa
perubahan merupakan proses yang akan terus terjadi sepanjang waktu. Ada 6 tahapan perubahan,
yakni:

a. Pre Contemplation

Tahap precontemplation terjadi ketika seseorang tidak memiliki niat untuk mengganti
perilakunya. Individu yang berada di tahap ini bisa saja sudah mendapat informasi atau belum
mendapat informasi tentang konsekuensi perilakunya. Atau dia sudah pernah mencoba untuk
merubahnya dan menjadi tidak peduli tentang hal tersebut.

b. Contemplation

Tahap ini adalah tahap dimana individu telah memiliki kesadaran akan problem yang
dihadapinya dan mulai berpikir untuk itu. Namun pada tahap ini, individu belum membentuk
komitmen untuk segera mengubah perilaku lamanya. Individu masih menimbang- nimbang pro
dan kontra dalam mengubah perilakunya agar menjadi lebih sehat.

c. Preparation

Di tahap ini, individu mulai berniat untuk merubah perilakunya. Rencana dibuat untuk
mengurangi perilaku yang menjadi masalah dimana individu dapat memilih beberapa solusi yang
potensial. Individu dapat lanjut pada tahap selanjutnya ketika individu telah menetapkan
rencananya dan yakin bahwa dia dapat mengikutinya.

d. Action

Merupakan tahap di mana individu membuat modifikasi spesifik dalam perilakunya untuk
menghadapi masalahnya dalam kata lain untuk mencapai target behavior. Tindakan memerlukan
komitmen waktu dan energy untuk dapat benar-benar mengubah perilakunya. Termasuk dalam
menghentikan perilaku lama dan memodifikasi gaya hidup serta lingkungan yang bisa
membuatnya kembali ke perilaku lamanya.

e. Maintenance
Tahap di mana individu telah membuat perubahan yang terlihat/besar dalm gaya hidup mereka
dan juga berusaha untuk mencegah perilaku lamanya kembali, tetapi mereka tidak
mengaplikasikan proses sebanyak ketika tahapan action. Di tahapan ini, individu akan kurang
tergoda untuk kembali ke perilaku lamanya dan kepercayaan diri merka akan bertambah untuk
meneruskan perubahan mereka.

f. Termination

Individu yang telah berada pada tahap ini memiliki kepercayaan diri 100% dan terhindar dari
godaan. Sekalipun mereka depresi, cemas, bosan, kesepian, marah, atau stress, individual pada
tahapan ini yakin bahwa mereka tidak akan kembali ke gaya hidup tidak sehat sebagai salah satu
cara coping. Seolah-olah, perilaku baru mereka telah menjadi suatu kebiasaan.

2. Processes of Changes

Processes of Changes merupakan aktivitas yang dilakukan individu untuk maju di tiap tahapnya.
Hal ini penting sebagai panduan dalam program intervensi seperti variabel yang perlu disiapkan
individu dalam proses berpindah dari satu tahap ke tahap yang lain. Ada 10 proses di dalamnya,
yakni:

a. Conciousness raising merupakan peningkatan kesadaran tentang penyebab, konsekuensi, cara


penanganan suatu perilaku.

b. Dramatic relief merupakan proses dimana individu diharapkan untuk mengekspresikan


perasaannya terhadap perilaku yang menjadi masalah.

c. Self re-evaluation merupakan pandangan individu bagaimana dirinya dengan perilaku yang
menjadi masalahnya dan bagaimana jika tidak.

d. Enviromental re-evaluation merupakan pandangan individu melihat lingkungan sekitarnya jika


ia melakukan hal yang menjadi masalah dan bagaimana jika tidak

e. Self liberation merupakan keyakinan individu bahwa dia mampu berkomitmen dan bertindak
merubah kebiasaan buruknya

f. Social liberation merupakan kebutuhan peningkatan sosial atau alternatif khususnya untuk
orang-orang yang tertindas (minoritas).
g. Counterconditioning merupakan kebutuhan individu untuk mempelajari perilaku sehat yang
bertujuan untuk mengganti perilaku tidak sehat

h. Stimulus control menghapus petunjuk untuk perilaku/kebiasaan yang tidak sehat dan
menambah petunjuk untuk perilaku sehat

i. Contingency management merupakan reward atau punishment yang diri kita berikan saat
melakukan perilaku sehat maupun tidak sehat

j. Helping relationship merupakan dukungan yang diterima individu dari orang lain ketika ia
melakukan perilaku sehat

3. Decisional balance

Individu menimbang pro dan kontra dari perilakunya

4. Self efficacy

Keyakinan individu untuk dapat mengatasi masalahnya dan tidak kembali pada hal tersebut

C. Aplikasi Transtheoretical Model

Pada kehidupan sehari-hari TTM dapat digunakan untuk menjelaskan tahapan perubahan
perilaku individu yang awalnya perokok menjadi seseorang yang tidak merokok.

1. Pada stage pre-contemplation, individu belum menyadari bahwa merokok memiliki


dampak merugikan bagi dirinya maupun orang di sekitarnya. Atau ia sudah
menyadarinya namun tetap tidak menghiraukan hal tersebut. Seperti sebetulnya ia sudah
melihat iklan-iklan rokok yang dibawahnya terdapat peringatan bahaya merokok namun
ia tidak memperdulikannya.
2. Pada stage contemplation, individu akhirnya menyadari tindakannya. Ia juga mulai
memikirkan kelebihan maupun kekurangan dari kebiasaan merokoknya itu. Ia
memikirkan dampak buruk rokok yang akan terjadi pada dirinya, dan orang-orang
disekitarnya. Ia memikirkan bahwa ia akan terkena penyakit jika ia merokok.
3. Pada stage preparation individu mulai mempersiapkan apa saja yang dibutuhkan untuk
merubah kebiasaannya merokok seperti menyusun rencana untuk merubah kebiasaan
merokok menjadi kegiatan lain yang bermanfaat dan berniat untuk tidak membeli rokok
lagi
4. Pada stage Action, seseorang mulai menjalankan rencananya untuk berhenti merokok
dengan tidak membeli rokok dan mengganti kebiasaan merokoknya dengan minum jus
atau makan permen karet.
5. Pada stage Maintenance, seseorang harus menjaga kontinuitas dari perilaku tidak
merokok. Jika dalam kurun waktu tertentu perilaku ini dijaga, maka kebiasaan tidak
merokok akan menjadi sesuatu yang menetap. Hal ini pun juga berkaitan dengan self-
efficacy yang dimiliki individu bersangkutan.
6. Dan pada stage Termination, perilaku ini sudah menetap dan tidak akan hilang. Perilaku
ditandai sudah masuk ke stage ini jika tidak lagi dibutuhkan pemotivasian dan
serangkaian reinforcement. Perilaku menjadi suatu kebutuhan yang memang harus
dipenuhi oleh orang tersebut
.
D. Kelebihan dan Kekurangan Transtheoretical Model
1. Kelebihan dari teori ini adalah teori ini mudah untuk diterapkan untuk memberikan
kesadaran pada perilaku individu yang tidak memerlukan perubahan drastis dalam
perilakunya dalam tempo cepat akan tetapi perubahan secara bertahap dan memerlukan
waktu dan suasana kondusif.
2. Kelemahan dari teori ini adalah jika tidak ada intervensi yang direncanakan, individu
akan terjebak pada tahap awal. Selain itu proses tertentu dan prinsip- prinsip tertentu
perlu diterapkan di tiap tahap agar terjadi kemajuan di tiap tahapnya.

Anda mungkin juga menyukai