Anda di halaman 1dari 95

Struktur, kereaktifan dan mekanisme

1.1 ORBITAL ATOM


1.2 HIBRIDISASI
1.3 IKATAN DALAM SENYAWA - SENYAWA KARBON
1.3.1 ikatan tunggal karbon – karbon ; 1.3.2 ikatan rangkap
dua karbon; 1.3.3 ikatan rangkap tiga karbon – karbon; 1.3.4
ikatan karbon – oksigen dan karbon nitrogen; 1.3.5
konjugasi; 1.3.6 benzena dan kearomatikan; 1.3.7 keadaan
prasyarat terjaddi delokalisasi.
1.4 PEMUTUSAN DAN PEMBENTUKAN IKATAN
1.5 FAKTOR PEMBERI PENGARUH KETERSEDIAAN –
ELEKTRON
1.5.1 Pengaruh imbasan dan medan; 1.5.2 gejala mesomeri
(konjugasi) ; 1.5.3 pengaruh pengubah – waktu; 1.5.4
hiperkonjugasi
1.6 PENGARUH RUANG (STERIK)
1.7 JENIS – JENIS PEREAKSI
1.8 JENIS –JENIS REAKSI

BERBAGAI keterangan dan kenyataan bidang kimia organic


dapat dipelajari dengan berbagai pendekatan, diantaranya
pendekatan mekanistik. Pendekatan mekanistik ini mempunyai
keuntungan, yakni tidak terlampau banyak hukum dasar yang
dipergunakan, tidak hanya untuk menjelaskan dan mengaitkan
berbagai kenyataan yang dijumpai, namun juga untuk
memperkirakan dan meramalkan hasil reaksi akibat kondisi
reaksi, baik dalam keadaan normal maupun dengan perlakuan
khusus. Dalam bab ini akan dibahas hukum – hukum dasar
tersebut dan penerapannya dalam kimia organic. Karena akan
dibahas perihal senyawa –senyawa karbon, maka perlu ditinjau
cara atom – atom karbon dapat membentuk ikatan dengan atom –
atom lainnya.
1.1 ORBITAL ATOM
Berdasarkan teori Bohr, atom karbon memiliki enem electron
diluar inti atom, yang dianggap tersusun atas orbit – orbit dengan
jarak semakin jauh dari inti. Orbit – orbit ini berkaitan dengan
makin tingginya tingkat energy. Tingkat energy terendah (1s)
mengandung dua electron, tingkat berikut (2s) juga mengandung
dua electron, sedangkan sisa dua electron atom karbon berada di
tingkat 2p yang maksimum dapat menampung sejumlah enam
electron.
Tinjauan atas orbit atom yang tepat letaknya (secara klasik )
mempunyai kemungkinan untuk dilemahkan oleh asas
ktidakpastian Heisenberg dan tinjauan mekanika gelombang
electron. Dewasa ini electron dipandang sebagai fungsi
gelombang, ψ, dan lebih tepat bahwa teori orbital atom dari Bohr
digambarkan sebagai orbit – orbit atom tiga dimensi dengan
tingkat – tingkat energy yang berbeda. Ukuran, bentuk dan
orientasi orbital atom, yaitu daerah yang mempunyai
kemungkinan terbesar untuk menemukan suatu electron dengan
tingkat energy terkuantisasi tertentu, dinyatakan sebagai fungsi
gelombang ψA, ψB, ψC. dan seterusnya. Orbital – orbital itu mirip
peta – peta kontur electron tri – matra (tiga dimensi) yang nilai
ψ2 – nya menentukan kebolehjadian nisbi untuk menemukan
suatu electron pada titik tertentu di orbital termaksud.
Ukuran nisbi orbital atom, yang meningkat jika tingkat
energinya bertambah, ditentukan oleh bilangan kuantum utama
n, bentuk dan orientasi ruangan (terhadap inti maupun satu sama
lain) dan bilangan kuantum yang lebih ‘rendah’ (subsidier), l, m.
*
Penunjukan tentang electron – electron dalam orbitak dapat
dinyatakan lebih lanjut dengan bilangan kuantum urian (spin)
yang bernilai +1/2 atau -1/2 . teori orbital tersebut mempunyai
batasan yaitu tiap orbital – orbital hanya dapat menampung
maksimum dua electron, yang satu sama lain mempunyai urian
yang berlawanan. Hal ini adalah sebagai akibat dari larangan
pauli yang menyatakan bahwa tak ada dua electron dalam satu
atom memiliki himpunan (set) bilangan kuantum yang tepat
sama.
Hal tersebut dapat ditunjukan dari perhitunan mekanika
gekombang yaitu bahwa orbital 1s (bilangan kuantum n=1, l=0,
m=0 ) mirip simetrik korah, namun mempunyai jarak dari inti
yang lebih besar dan terletak pada suatu daerah diantara kedua
orbital terakhir yang mempunyai kebolehjadian nol untuk
menemukan electron (permukaan simpul korah).
Sampai di situ, terlihat bawa tidak terlalu besar perbedaannya
dengan gambar orbital secara klasik, namun untuk tingkat 2p
(tingkat kulit L selanjutnya) makin terlihat jelas perbedaannya.

Teori baru yang berlaku sampai saat ini mengandaikan


adanya tiga orbital pada tingkat 2p (bilangan kuantum n = 2 , l =
1, dengan m = +1,0dan -1 semuanya berbentuk dan bertingkat
energy sama(orbital yang bertingkat sama digambarkan sebagai
orbital terdegenerasi, tetapi satu sama lain dibedakan atas dasar
orientasi ruangannya. Orbital – orbital itu tersusun tegak lurus
satu sama lain sepanjang sumbu x,y dan z. maka disebut 2px, 2py.
lagipula ketiga orbital 2p ini ternyata tidak benar – benar
simetrik korah, sebagaimana 1s dan 2s, akan tetapi seperti ‘
sepasang cuping / halter tangan’ (dumb-bell) yang memiliki
suatu bidang berkebolehjadian menemukan electron nol (bidang
simpul) yang melalui inti tegak lurus sumbu – sumbu x, y, dan z)
hingga tepat membagi dua tia ‘pasang cupung’ tersebut :
Keenam electron atom karbon tertampung pada orbital –
orbital atom dengan tingkat energy meningkat sampai semua
tertempatkan (asas Aufbauf/build-up/penyusunan berurut).
Dengan demikian, dua electron berurian akan masuk ke orbital
tingkat 1s, dua selanjutnya tertampung di orbital tingkat 2s,
tetapi pada tingkat 2p, dua electron dapat masuk kedalam orbital
yang sama misalnya, pada 2px atau pada orbital yang berbeda
misalnya 2px dan 2p y . kaidah Hund menyatakan bahwa dua
electron akan menghindarkan diri untuk menempati orbital yang
sama bila tersedia orbital lain pada tingkat energy yang sama,
yang disebut terdegenerasi. Selama orbital masih kosong, dia
masih dapat menempung electron. Dengan demikian, konfigurasi
electron pada karbon menjadi 1s22s22px12py1, dengan orbital 2pz
tetap kosong. Keadaan ini disebut kaeadaan dasar (ground state)
atom karbon bebas yang hanya mempunyai dua electron tak
berpasangan ( dalam orbital 2px dan 2pz ) sehingga dapat
membentuk ikatan dengan atom – atom lain. Dengan demikian
secara sekilas atom karbon nampak hanya bervalensi dua.
Hal ini memang kurang benar, sesuai dengan kenyataan
bahwa meskipun ada senyawa – senyawa dengan atom karbon
berikatan tunggal dengan atom lain, misalnya CCl2, yang
keadaanya amat tidak mantap. Pada umumnya senyawa –
senyawa karbon menunjukan bahwa atom karbon bervalensi
empat , misalnya CH4. Hal ini dicapai dengan memisahkan
pasangan electron 2s2 dan mengangkat salah satunya ke orbital
2pz kosong. Dengan demikian, atom karbon berada dalam tingkat
energy yang lebih tinggi (excited), dengan konfigurasi dalam
atom karbon 1s22s12px12py1,2pz1. Dari sini terlihat berpasangan,
sehingga sanggup membentuk empat ikatan (tidak hanya dua)
dengan atom – atom atau gugus – gugus lain. Penambahan
energy yang dihasilkan akibat pembentukan energy tambahan
[≈406 kJ (97 kkal)mol-1 ] setara dengan energy yang dibutuhkan
untuk memisahkan pasangan electron semula pada 2s2 dan untuk
pengikatan 2ps →2p.

1.2 HIBRIDISASI

Suatu atom karbon yang berikatan dengan 4 atom lain tidak


menggunakan satu orbital 2s dan ketiga orbital 2p yang tersedia
karena ini akan mengakibatkan terjadinya tiga ikatan berarah,
saling tegak lurus (dengan 3 orbital 2p) serta satu ikatan tak
berarah yang berbeda ( dengan orbital 2s korahnya ) . tetapi
tetapi pada kenyataannya, misalnya keempat ikatan C – H dalam
metan itu sama dan simetrik (tetrahedral) terletak pada sudut
109o 28 ‘ satu sama lain. Ini dapat dijelaskan dengan dasar
mengatur ulang orbital 2s dan tiga orbital 2p, mengasilkan empat
orbital (sama) baru yang membentuk ikatan lebih kuat (bdk.
Hlm. 7). Orbital – orbital baru ini disebut orbital atom hibrida sp3
dan prosesnya disebut hibridisasi.
Akan tetapi perlu ditegaskan bahwa kendati disini
ditampilkan diagram, hibridisasi adalah suatu yang tidak terjadi
benar – benar pada orbitalnya sendiri tetapi pada fungsi
matematik yang menjelaskannya.

Pengaturan – ulang serupa, tetapi berbeda, dilakukan jika


suatu atom karbon bergabung dengan tiga atom misalnya dalam
etena (etilena); tiga orbital atom sp2 terletak 120o satu sama lain
pada satu bidang (hibridisasi trigonal bidang) yang
dipergunakan. Akhirnya, jika karbon bergabung dengan dua
atom lainnya misalnya dalam etuna (asetilena) : dua orbital atom
sp 1 terletak 180o satu sama lain (hibridisasi diagonal). Dalam
setiap peristiwa, orbital s selalu dilibatkan seakan – akan sebagai
bertingkat energy rendah.

Bahasan di atas merupakan cara – cara yang berlaku


untuk pengaturan ulang satu orbital atom 2s dan tiga 2p – dalam
kasus hibridisasi sp2 akan terdapat satu orbital p tak
terhibridisasiyang tersedia sedangkan dalam hibridisasi sp1 ada
dua. Ragam hibridisasi lain, yang sama berlakunya, juga
mungkin, dengan orbital hibrida dengan yang tidak harus sama
satu dengan yang lain misalnya yang digunakan CH 2Cl2
dibandingkan dengan yang digunakan dalam CCl4 dan CH4.
Hibridisasi berlangsung hingga atom yang bersangkutan dapat
membentuk ikatan sekuat mungkin hingga atom – atom lainpun
terikat (hingga pasangan – pasangan electron membentuk ikatan)
terpisah satu sama lain sejauh mungkin, hingga energy intrinsic
keseluruhan senyawa yang terjadi akan minimum.

1.3 IKATAN DALAM SENYAWA – SENYAWA KARBON

Pembentukan ikatan antara dua atom dipandang sebagai


tumpangsuh orbital – atom masing – masing atom yang turut
serta; makin banyak tumpangsuh yang dicapai (rangkuman
tumpangsuh), makin kuatlah ikatan yang terbentuk. Daya
tumpangsuh nisbi orbital – orbital atom terhitung sebagai berikut
:

S = 1.00

P = 1.72

Sp1 = 1.93

Sp = 1.99

Sp = 2.00

Jelas tampak bagaimana pemakaian orbital hibrida, misalnya


orbital hibrida sp3 dalam hal penggabungan satu karbon dan
empat hidrogen membentuk metana, akan menghasilkan ikatan
yang lebih kuat.

Jika atom – atom itu telah cukup dekat, dapat ditunjukan


bahwa kedua orbital atomnya diganti oleh dua orbital molekul,
yang satu berenrgi lebi rendah sedangkan yang lain lebih tinggi
daripada tingkat energy kedua orbital atom yang asli. Kedua
orbital molekul baru ini tersebar diatas kedua atomnya masing –
masing dapat mengandung dua electron

Orbital molekul dengan energy yang lebbih rendah


disebut orbital ikatan dan ppengisisannya menghasilkan iakatan
mantap antar kedua atom. Pada keadaan diatas, pasangan
electron yang menyusun ikatan tersebut cenderung mengumpul
diantara kedua inti atom bermuatan positif hingga dapat
dipandang tertaut bersama oleh muatan negative di antaranya.
Orbital molekul dengan energy yang lebih tinggi disebut orbital
anti – ikatan ; ini berkaitan dengan sifat saling tolak antarkedua
inti bermuatan positif. Orbital anti ikatan tetap kosong dalam
keadaan dasar dari molekulnya dan di sini tidak perlu diuraikan
lebih lanjut masalah pembentukan ikatan mantap antaratom.

Jika tumpang asuh kedua orbital atom terjadi disepanjang sumbu


utamanya, orbital molekul ikatan yang terbentuk disebut sebagai
orbital σ*, sedang ikatannya disebut ikatan σ. Orbital molekul σ
dan electron-elektron yang menghuninya ternyata terlokakan
simetrik sekitar sumbu antarinti atom-atom yang saling
berikatan. Jadi pada penggabungan dengan hydrogen, misalnya
dalam metana, keempat orbital-orbital atom sp3 hibrida karbon
bertumpangsuh dengan orbital atom 1s dari empat atom
hydrogen dan membentuk empat ikatan sama yang kuat, ikatan σ
yang kuat dengan membentuk sudut 109028 satu sama lain (sudut
tetrahedral beraturan) dalam metana. Misalnya, dalam CCl4
terjadi struktur mirip, tepat beraturan, akan tetapi jika atom-atom
yang tertaut pada karbon tidak semua sama, misalnya CH2Cl2,
tata susunan ruang dapat sedikit agak menyimpang daripada
yang benar-benar simetrik meskipun masih berbentuk
tetrahedral.

1.3.1 Ikatan Tunggal karbon-karbon

Penggabungan dua atom karbon, misalnya dalam etena,


merupakan hasil dari tumpangsuh aksial (menyumbu) dua orbital
atom sp3,dimana satu dari tiap atom karbon, membentuk suatu
ikatan diantaranya. Panjannng ikatan karbon-karbon dalam
senyawa –senyawa jenuh cukup tetap, yakni 0,154 nm (1.54Ǻ).
hal ini terlihat pada ikatan tunggal karbon-karbon antara dua
karbon hibrida sp3. Ikatan tunggal serupa antara atom-atom
hibrida sp2, =CH-CH=, rata-rata mempunyai panjang 0,147 nm
(1.47 Ǻ), sedangkan antara dua karbon hibrida sp1, ……(hal 9),
mempunyai panjang 0.138 nm (1.38 Ǻ). Hal ini bukan
merupakan peristiwa yang istimewa, untuk suatu orbital s di
mana elektron-elektron di dalamnya tertaut lebih dekat dan lebih
erat pada intinya, disbanding orbital p dengan electron-elektron
di dalamnya. Hal yang sama juga teramati pada orbital-orbital
hibrida di mana bagian s nya meningkat dan kedua atomnya
saling terikat satu sama lain terhadap intinya semakin tertarik
mendekat sesuai urutan sebagai berikut :

Sp3-sp3→sp2→sp2→sp1→sp1

Sampai di sini belum diutarakan struktur khas etana. Ikatan σ


yang menghubungkan kedua atom karbonnya simetrik pada
sekitar garis penghubung dua inti dan secara teoretik mempunyai
berbagai variasi kemungkinan struktur tergantung letak hidrogen
pada karbon yang satu dibandingkan pada karbon yang lain. Di
antara beberapa kemungkinan , terdapat dua bentuk yang
istimewa yaitu : bentuk eclipsed dan staggered berikut ini :

Penggambaran trimatra-semu (quasi-3-dimensi) diatas disebut


proyeksi ‘sawhorse’ dan Newman.

Bentuk-bentuk eclipsed dan staggered serta berbagai variasi di


antaranya disebut konformasi molekul etana tadi ; konformasi
didefinisikan sebagai tata susunan yang berbeda dari gugusan
atom yang sama yang dapat di ubah-ubah tanpa pemutusan
ikatan.

Konformasi staggered nampaknya merupakan bentuk yang lebih


mantap di mana atom hydrogen pada satu karbon berkedudukan
sejauh mungkin dari yang lain (0.310 nm;3.10 Ǻ) hingga
terinteraksi ‘bukan- ikatan’diantara mereka minimum, sedangkan
pada konformasi eclipsed terjadi gejala kepenuh sesakan
maksimum [0.230 nm (2.3 Ǻ)], sedikit lebih kecil daripada
jumlah jari-jari Van der Waals. Asas putaran bebas ikatan
tunggal karbon-karbon tidak dilanggar karena sudah terbukti
pula bahwa perbedaan kandungan energi antara konformasi
eclipsed dengan staggedred hanya ≈ 12 kJ (3 kkal) mol -1 pada
suhu 250C, hingga cukup mudah mengubah-ubah satu sama lain
dengan memanfaatkan gerak karena pengaru termal pada suhu
ruang-kerapan (frekuensi) putarannya pada 250 ≈ 1012 det-1.
Kepenuhsesakan seperti di atas memang dapat mengakibatkan
hambatan putaran pada ikatan tunggal karbon-karbon yang telah
dikukuhkan dengan diisolasikannya dua bentuk CHBr2CHBr2
meskipun hanya berlaku pada suhu rendah yang tidak
memungkinkan cukup tersedianya energy antarubahan dari
tumbukan antarmolekul saja.

1.3.2 ikatan rangkap dua karbon-karbon

Dalam etana, tiap atom karbon hanya terikat pada tiga atom lain,
dua hidrogen dan satu karbon. Ikatan kuat yang terbentuk dengan
ketiga atom ini menggunakan tiga orbital turunan hasil
hibridisasi yaitu 2s dan hanya dua orbital atom 2p atom karbon-
perlu diingat bahwa suatu atom lazimnya hanya memacu dan
menggerakkan orbital hibrida sebanyak atom atau gugus yang
membentuk ikatan σ kuat dengannya. Orbital hibrida sp2 yang
terjadi terletak di satu bidang dan membentuk sudut 1200 satu
sama lain (orbital trigonal bidang). Dalam membentuk molekul
etana, dua orbital sp2 tiap atom karbon tamnap bertumpangsuh
dengan orbital 1s kedua atom hidrogen yang membentuk dua
ikatan σ C-H yang kuat, sedangkan orbital sp2 yang ketiga milik
tiap atom karbon bertumpangsuh secara aksial (menyumbu) dan
terbentuklah ikatan σ C-C yang kuat, secara eksperimen
diperoleh bahwa ikatan H-C-H dan H-C-C mempunyai sudut
masing-masing 116.70 dan 121.60. penyimpangan dari 1200 ini
tidak terlalu mengejutkan, karena ketiga sekawan (Trio) atomnya
saja sudah berlainan.

Akibatnya, pada setiap atom karbon tersisa satu orbital atom 2p


tak teribridisasi yang tegak lurus pada bidang yang atom karbon
dan hidrogen. Kedua orbital atom 2p ini saling sejajar dan dapat
saling tumpangsuh pula hingga terjadi orbital molekul ikatan
yang tersebar pada kedua atom karbon, pada sisi atas dan bagian
bawah bidangnya (jadi terdapat satu simpul pada bidang
molekul) yang mengandung dua atom karbon dan empat
hydrogen (menyatakan ikatan pada atom di balik halaman kertas
sedangkan ikatan / tertaut pada sisi depan kertas) :

Orbital molekul ikatan yang baru ini disebut orbital π, * dan


elektron-elektron penghuninya disebut elektron π baru yang
terbentuk berpengaruh menarik atom-atom karbon untuk saling
mendekat hingga jarak C=C dalam etena menjadi 0.133 nm (1.33
A) , dibandingkan jarak C-C yang 0.154 nm (1.54 Ǻ) dalam
etena. Tumpangsuh lateral (menyisi) orbital-orbital atom p yang
terjadi pada pembentukan suatu ikatan π kurang berhasil guna
(efektif), bila dibandingkan tumpangsuh aksial (menyumbu)
yang terjadi pada pembentukan ikatan σ ; jadi yang terdahulu
lebih lemah daripada yang terakhir. Hal ini tercermin pada
kenyataan bahwa energi ikatan rangkap karbon-karbon,
meskipun lebih besar daripada energy ikatan tunggal, masih tetap
kurang daripada dua kali lipatnya. Jadi, energy ikatan C-C
dalam etana 347 kJ (83 kkal) mol-1 sedangkan C=C dalam etana
hanya 598 kJ (143 kkal) mol-1.

Tumpangsuh menyisi (lateral) kedua orbital atom 2p, yang


menjadi kekuatan ikatan π-nya, akan maksimum jika kedua atom
karbon dan keempat atom hidrogennya tepat menjadi sebidang
(koplanar), karena hanya dalam kedudukan inilah orbital-orbital
atom p-nya tepat sejajar satu sama lain hingga sanggup
bertumpangsuh secara maksimum. Gangguan atas kesebidangan
ini, dengan liukan di sekitar ikatan σ yang menghubungkan
kedua atom karbon, akan mengakibatkan pengurangan
tumpangsuh π, sehingga kekuatan ikatan π berkurang: hal ini
akan terhalang. Pembenaran teoretik juga dapat diperoleh dari
hambatan putaran disekitar ikatan rangkap karbon-karbon yang
telah lama teramati. Agihan (tebaran, distribusi) elektron π pada
dua cuping, yaitu di atas dan di bawah bidang molekul dan
meliputi bidang daerah yang melampaui sumbu ikatan karbon-
karbon , menunjukan adanya daerah muatan Negara yang siap
sedia menerima pereaksi pencari elektron (misalnya pereaksi
oksidator). Jadi tidak mengherankan jika reaksi khas ikatan
rangkap karbon-karbon terutama dengan pereaksi yang semacam
(bdk.hlm. 234). Di sisi gambaran klasik suatu ikatan rangkap
terganti; dua ikatan yang menghubungkan atom-atom karbon
yang tidak sama, menjadi berbeda hakikat, kekuatan, dan
kedudukannya.

1.3.3 Ikatan rangkap tiga karbon-karbon

Dalam etuna, tiap atom karbon tertaut hanya pada dua atom lain,
satu hidrogen dan satu lagi karbon. Ikatan kuat π yang terbentuk
dengan dua atom ini dengan memakai dua orbital hibrida yang
diturunkan dengan menghibridakan orbital atom 2s dengan
hanya satu orbital atom 2p atom karbonnya. Orbital hibrida sp1
diagonal (dwisegi) yang terjadi ko-linear (menyegaris). Dalam
membentuk molekul etuna, orbital-orbital hibrida ini dipakai
untuk menghasilkan ikatan-ikatan π yang kuat antara tiap atom
karbon itu sendiri, membentuk suatu molekul linear dengan dua
orbital atom 2p tak terhibridisasi, yang tegak lurus satu sama lain
sehingga dapat saling bertumpangsuh menghasilkan dua ikatan π
pada bidang yang saling tegak lurus.
Molekul etuna terselimuti secara berhasilguna dengan suatu
silinder muatan negative. Energi ikatan C=C sebesar 812 kJ (194
kkal) mol-1 sehingga kenaikan ke ikatan rangkap tiga lebih kecil
daripada yang terjadi pada ikatan tunggal ke ikatan rangkap dua.
Jarak ikatan C=C ialah tunggal 0.120 nm (1.20 Ǻ) sehingga
tampak bahwa atom-atom karbonnya lebih saling mendekat lagi,
tetapi disini terlihat lagi bahwa penurunan pada peralihan
C=C→C=C lebih kecil daripada peralihan dari C-C→C=C.

1.3.4 Ikatan karbon-oksigen dan karbon-nitrogen

Suatu atom oksigen memiliki konfigurasi elektron


1s22s22p2x2p1y21z dan pada penggabungan dengan atom-atom
lain dapat dipandang sebagai mempergunakan orbital-orbital
hibrida agar ikatannya sekuat mungkin. Jadi saat bergabung
dengan atom-atom karbon dari dua gugus metil, untuk
membentuk metoksimetana (dimetil eter), STRUKTUR HAL.13,
atom oksigennya dapat memakai empat orbital hibrida sp3 pada
tiap atom karbon sedangkan dua lainnya untuk menampung
kedua pasangan elektron bebas (“sunyi”, lone pair) darinya.
Sudut ikatan C-O-H sebesar 110o, panjang ikatan 0,142 nm (1,42
Ǻ) dan energi ikatannya 360 kJ (86 kkal) mol-1.

Atom oksigen juga dapat membentuk ikatan rangkap dua dengan


karbon; misalnya dalam propanon (aseton) Me2C=O : atom
oksigen dapat memakai tiga orbital hibrida sp2: satu untuk
menghasilkan suatu ikatan σ dengan tumpangsuh suatu orbital
sp2 : satu untuk menghasilkan satu ikatan σ dengan tumpangasuh
suatu orbital sp2 atom karbon dan dua pasangan electron bebas.
Dengan demikian tersisa satu orbital p tak terhibridisasi pada
kedua oksigen dan karbon yang tersisa bertumpangasuh secara
menyisi/lateral (bdk. C=C hlm.11) yang membentuk

Sudut ikatan C-O-C sebesar = 120o , panjang ikatan C=O adalah


0.122 nm(1.22 Ǻ) serta energy ikatan ini sedikit lebih daripada
dua kali energy C-O, sedangkan energy ikatan C=C jauh lebih
kecil dibandingkan dengan dua kali lipat C-C. hal ini sebbagian
diakibatkan oleh jarak pemisahan yang cukup jauh antara
pasangan bebas, sehinngga C=O lebih mantap dari pada C-O; hal
yang tidak dapat disaingi dalanm ikatan karbon. Mengutubnya
ikatan karbon – oksigen, tidak sama dengan karbon – karbon,
yang turut juga mmemainkan peranan.

Suatu atom nitrogen, dengan konfigurasi electron


2 2 1 1 1
1s 2s 2px 2py 2pz , dapat pula dipandang memakai orbital hibrida
yang dengan karbon membentuk ikatan – ikatan C-N tunggal.,
C=N rangkap dua, CN rangkap tiga. Pada peristiwa itu, satu
orbital demikian dipergunakan untuk menampung pasangan
electron bebas dari nitrogennya; pada pembentukan ikatan
rangkap dua dan tiga, terjadilah satu dan dua ikatan π dengan
cara tumpangasuh menyisi orbital p tak terhibridisasi pada
nitrogen dan karbon. Panjang dan energy ikatan rata – rata untuk
tiap jenis ikatan ialah : tunggal 0,147 nm(1,47Ǻ) dan 305 kJ ( 73
kkal)mol-1, rangkap dua 0,129 (1.29Ǻ) dan 616 kJ (147 kkal)mol-
1
, dan rangkap tiga 0,116 nm (1.16Ǻ) dan 893 kJ (213 kkal)mol-1.

1.3.5 Konjugasi

Bila molekul – molekul yang memiliki lebih dari satu ikatan


rangkap kita tinjau, misalnya diena dengan dua ikatan C=C,
ternyata senyawa – senyawa yang mempunyai ikatan – ikatan
terkonjugasi (bergantian rangkap dan tunggal, selang – seling; 1)
ternyata agak lebih mantap daripada yang terisolasi (2):

Kemantapan termodinamik yang lebih besar (kandungan energy


lebih rendah) dari molekul – molekul terkonjugasi itu terlihat
pada kalor pembakaran dan hidrogenasi yang lebih rendah (1)
dibandingkan (2), juga dalam pengamatan secara umum bahwa
ikatan rangkap dua terisolasi acapkali dapat diatur untuk dapat
berpindah denan mudah, yaitu menjadi trkonjugasi. Tentu saja
terkonjugasi tidak hanya terbatas pada ikatan rangkap karbon –
karbon.
Baik pada (1a) dnm (2b) di atas, tumpangasuh menyisi orbital p
pada atom – atom karbon yang bersebelahan dapat menghasilkan
dua ikatan π terlokakan sebagaimana tercantum, jadi senyawa –
senyawa dapat diharapkan mirip etena, memang hal ini terjadi
pada (2), akan tetapi pada (1) ternyata berperilaku lain yakni
agak lebih mantap (dibandingkan atas), sifat spektroskopik (lihat
bawah) serta kelangsungan reaksi penambahgugusannya lebih
jauh, pada (1a) bukan pada (2a) dapat terjadi tummpangasuh
menyisi (lateral) diantara keempat orbital atom p pada atom –
atom karbon yang bersebelahan. Tumpangasuh semacam itu
akan menghasilkan empat orbital molekul (gambar 1.2), yaitu
dua ikatan (ψ1 dan ψ2) dan dua anti-ikatan (ψ3 dan ψ4) –
tumpangsuh n orbital atom selalu menghasilkan n orbital
molekul :

Dari Gambar 1.2 terlihat bahwa penampungan empat


elekrton diena terkonjugasi (1a) pada kedua orbital ikatan seperti
yang tercantum dapat menghasilkan energi keseluruhan yang
lebih rendah bagi suatu senyawa daripada – kiasi dengan etena –
menampungnya dalam dua ikatan π, sebagaimana pada etena
atau (1b). Penampungan empat elektron dalam orbital molekul
ikatan ψ1 dan ψ2 menghasilkan tebaran elektron dalam awan
muatan sebagaimana dalam (3) :
Agar peristiwa delokalisasi semacam itu dapat terjadi,
keempat orbital atom p dalam (1a) harus sejajar dan ini akan
menimbulkan hambatan atas putaran sekitar ikatan C2-C3 dalam 3
yang memang teramati dalam praktek selaku konformasi yang
cukup popular. Dapat juga diharapkan bahwa rapatan elektron π
antara C2 dan C3 akan menyebabkan ikatan ini memiliki sedikit
sifat ikatan tunggal C-C. Panjang ikatan yang teramati memang
pendek yaitu 0.147 nm(1.47Ǻ), meskipun tidak lebih pendek
daripada yang diharapkan dalam ikatan tunggal atom-atom
karbon terhibridisasi sp2 (bdk. hlm. 13). Energi pemantapan
suatu diena terkonjugasi yang sederhana, bila dibandingkan
dengan ikatan terisolasinya, secara nisbi cukup kecil – yakni
sekitar 17 kJ (4 kkal) mol -1̅̅ dan hal ini sering tidak dapat
dikaitkan dengan delokalisasi elektron semata-mata: keadaan
hibridasi atom-atom karbon terlibat pula sehingga perbedaan
kuat dari ikatan σ diantaranya harus juga diperhitungkan.
Delokalisasi amat berperanan dalam pemantapan keadaan
tereksitasi (exited) diena dan poliena pada umumnya, yakni
dengan menurunkan tingkat energi keadaan tereksitasinya.
Pengaruh hal ini ialah mengecilnya jarak antara tingkat dasar dan
tereksitasi molekul-molekul terkonjugasi. Jika dibandingkan
dengan molekul yang memiliki ikatan rangkap terisolasi maka
energi ini makin kecil jika derajat konjugasinya bertambah. Hal
ini berarti jumlah energy yang diperlukan untuk melakukan
eksitasi (perangsangan) electron dari keadaan dasar ke tingkat
energi tereksitasi (lebih tinggi) akan berkurang jika terkonjugasi
bertambah. Jadi panjang geombang terjadinya serapan pancaran
yang diperlukan akan meningkat. Diena sederhana akan
menyerap i daerah lembayung-ultra, tetapi jika terkonjugasi
bertambah, serapan akan bergeser ke daerah terang dan senyawa
yang bersangkutan akan menjadi bernyawa. Hal ini terlihat pada
deret αω-difenilpoliena berikut :
C6H5(CH=CHO)n C6H5 Warna
n =1 tak berwarna
n =2–4 kuning
n =5 jingga
n =8 merah

1.3.6 Benzena dan kearomatikan


Salah satu masalah utama kimia organik dasar ialah
untuk mengetahui struktur benzena secara terperinci. Struktur
secara sebidang dalam molekul ini menghendaki hibridasi sp2
dengan orbital atom p yang tegak lurus bidang inti (benzena)
pada setiap atom karbon yang enam jumlahnya (4) :

Tumpangsuh tentu saja dapat berlangsung, yakni 1,2; 3,4;


5,6 atau1,6; 5,4; 3,2; yang menghasilkan struktur kekule (4a dan
4b): tetapi sebagai salah satu alternatif, keenam orbital p yang
bersebelahan dapat bertumpangsuh sebagaimana pada diena
yang terkonjugasi (hlm.17) yang mengakibatkan terbentuknya
enam orbital molekul, tiga ikatan (ψ1→ψ3) dan tiga anti-ikatan
(ψ4→ ψ6) dengan tingkat-tingkat energi tertera di bawah ini :
OM (orbital molekul) dengan energi terendah (ψ1)
merupakan bentuk lingkar/siklik yang dapat mencakup semua
(keenam) atom karbon, jadi adalam keadaan delokalisasi OM itu
memiliki bidang simpul pada cincin sehingga diperoleh dua
cuping gelang (annular lobes), satu diatas dan satu di bawah
bidang cincin; hanya bagian atas saja (dilihat kearah bawah)
yang terpampang pada (5a) : dalam hal ini hanya tertampung dua
electron. Dua ikatan OM lainnya (ψ2→ψ3) dengan energy sama
(degenerasi) juga dapat mencakup enem atom karbon, tetapi
masing – masing mmemmpunyai satu bidang simpul lain yang
tegak lurus bidang cincin, disamping yang terdapat pada bidang
cincin. Jadi tiap OM itu menampung dua elektron lagi – jadi
semuanya menjadi enam:
Pengaruh awan muatan negative ini pada jenis pereaksi yang
menyerang benzena akan dibahas dibawah.
Dukungan atas pandangan diatas diperoleh dari pengamatan
bahwa keseluruhan panjang ikatan karbon – karbon dalam
benzene itu sama, *0.140 nm (1.40Ǻ >, jadi benzene ikatan
diantara panjang rata – rata ikatan tunggal (1.154 nm (1.54Ǻ))
dengan ikatan rangkap dua (0.133 nm (1.33Ǻ)). Keteraturan ini
dapat dinyatakan dengan menghindari penulisan struktur Kekule
tentang benzene, karena memang kurang memadai. Tetapi disini
tetap ada persoalan menngenai kemantapan termodinamik
benzene yang mencolok. Sebagian muncul dari penempatan
ketiga ikatan σ trigonal di sekitar tiap karbon yang tidak pada
sudut optimum 120o (sudut heksagon beraturan), akan tetapi
sebagian muncul dari pemakaian orbital molekul siklik yang
terdelokalisir untuk menammpung keenam sisa electron;
tentunya ini merupakan susunan yang lebih mantap (energy
rendah) daripada menampung electron dalam orbital molekul π
terlokakan. Sebagaimana terlihat pada gambar 1.3 (hal.19).
pemantapan yang lebih besar pada benzene bila bila
dibandingkan dengan diena terkonjugasi (bdk. Hal. 17 ) karena
benzene merupakan suatu sistem lingkar/siklik, yaitu sistem
simetrik tertutup.
Perkiraan kasar atas pemantapan benzene, bila
dibandingkan dengan struktur takk – jenuh siklik sederhana,
dapat diperoleh dengan membandingkan kalor hidrogenasinya
terhadap siklohheksana(7) dan sikloheksana-1, 3-diena (8):

Kalor hidrogenasidiena siklik (8) hampir dua kali lipat dari kalor
hidrogenasi sikloheksana (7) dan kalor hidrogenasi ketiga ikatan
ramngkap dalam struktur Kekule dapat berharap bernilai sekitar
3 x -120 kJ (-28.6 kkal)mol-1 = -360 kJ (-85.8 kkal) mol-1; tetapi
jika benzene ‘nyata’ (-49.8 kkal)mol-1. Jelas benzene ‘nyata’,
secara termodinamik lebih mantap daripada ‘sikloheksasatriena’
hipotetik dengann nilai 151 kJ (36 kkal)mol -1. Hal ini dapat
dibandingkan pada pemantapan diena terkonjugasi yang hanya
sekitar 17 kJ (4kkal) mol-1, terhadap kiasnya (analognya) yang
tidak memiliki antaraksi diantara electron – electron ikatan
rangkapnya.
Berlawanan sama sekali dengan benzene diatas, kalor
hidrogenasi siklooktetraetana (9) menjadi siklooktana (10) ialah
-410 kJ (-98 kkal)mol-1, sedangkan siklooktana (11) ialah -96 kJ
(-23 kkal) mol-1:
Perbedaan antara ΔH untuk (9) dan 4 x H untuk (11) ialah minus
26 kJ (-6 kkal)mol-1 : siklotetraetana, tidak sebagaimana
benzene, tidak menunjukan pemantapan khas jika dibandingkan
dengan poliena siklik hipotetik poliena (sebenarnya dalam
keadaan pemantapan awal) hal itu terlalu mengherankan karena
tumpangasuh orbital p siklik sebaaimana pada benzene, akan
memprasyaratkan (9) sebagai dasar untuk terjadinya sudut ikatan
C-C-C sebesar 135o, sehingga akan terjadi tegangan cincin yang
cukup besar bagi deretan karbon hibrida sp2 (sudut yang disukai
120o). tegangan yang demikian dapat diredakan dengan ‘melipat’
cincin tetapi hal itu jelas merusak kemungkinan tumpangasuh
orbital p secara keseluruhan. Lipatan semacam itu memang
terjadi, dapat dilihat dari pengukuran kristalografis sinar-X yang
menunjukkan bahwa siklooktatriena berstruktur “bak” (9a)
dengan ikatan karbon-karbon rangkap (0.133 nm (1.33 Ǻ)) serta
ikatan tunggal (0.146 nm (1.46 Ǻ)) berselang-seling:

Keadaan yang diperlukan agar poliena siklik memiliki sifat


aromatik akan diulas di bawah ini.
Besarnya pemanfaatan benzene yang stabil dibandingkan dengan
“sikloheksatriena” hipotik disebut energy delokalisasi yang serta
merta menimbulkan pertanyaan sejauh mana pemantapan
diperoleh akibat delokalisasi dari keenam elektron π dalam
benzena. Istilah energy resonansi (talunan), meskipun masih
dipakai juga sebenarnya secara semantik tidak tepat karena
segara dibayangkan terjadinya osilasi/ayunan dari satu struktur
ke struktur lain yang dapat terlihat secara nyata, misalnya
struktuktur kekule, sehingga sama sekali tidak menunjuk ke
keadaan sebenarnya (bdk. Hlm.25).

Persyarat yang perlu agar terjadi pemantapan aromatic dan sifat


poliena siklik ialah : (a) molekulnya harus datar (agar terbentuk
orbital p tumpangsuh siklik); dan (b) semua orbital ikatan harus
terisi penuh. Prasyarat terakhir ini dipenuhi dalam sistem siklik
dengan 4n + 2 elektron * (kaidah Huckel) serta penyusunan yang
lazim terjadi dalam senyawa aromatik bila n =1, yakni dengan
enam elektron π. Sepuluh elektron π (n = 2) terdapat dalam
naftalena (12, energi pemantapan , 255 kJ (61 kkal) mol-1 serta
empat belas elektron π (n = 3) dalam antrasena (13) dan
fanantrena (14) – energi pemantapan 352 dan 380 kJ (84 dan 91
kkal) mol-1.

Meskipun senyawa-senyawa ini tidak monosiklik (ekalingkar)


seperti benzene-dan kaidah Huckel tak dapat diterapkan
padanya-pemasukan ikatan trans-anular yag membuatnya bi dan
transklik tampaknya mengakibatkan pasturbasi kecil sejauh
delokalisasi elektron π pada gugus siklik dengan sepuluh atau
empat belas atom karbon.

Dalam struktur aromatik juga dikenal jenis siklik


termantapkannya suatu ion, misalnya kation sikloheptatrienil
(tropilium) (15, bdk. Hlm. 364), yang keduanya memiliki 6e π (n
= 1) dan mengherankan pula bahwa kation siklopropenil (17,
hlm 141) mempunyai 2e π (n = 0) :

Ditinjau secara lebih jauh, struktur cincin tidak harus karbosiklik


murni dan piridina (18, bdk. Hlm. 218), sebagai contoh dengan
sebuah atom N pada cincin dan 6e π (n = 1) mempunyai
kemantapan seperti benzena :

Kriteria eksperimental yang baik untuk aromatik, selain yang


telah disebut terdahulu, muncul dari keadaan isyarat dari atom-
atom hidrogen yang terikat pada cincin-karbon spektrum talunan
(resonansi) magnet inti (TMI n.m.r) senyawa yang bersangkutan.
* posisi isyarat TMI (n.m.r) dari atom hidrogen bergantung pada
keadaan/lingkungan setempat, yaitu pada tempat atom karbon
(atom lainnya) terikat. Jadi isyarat proton silooktatetraena
terlibat pada δ 5,6 yang merupakan ciri khas proton pada poliena
siklik, bukan aromatik, sedangkan isyarat proton benzena terlihat
pada δ 2.8 yang merupakan cirri khas senyawa aromatic pada
umumnya.

1.3.7 keadaan prasyarat terjadinya delokalisasi

kesukaran untuk memperoleh ungkapan yang memuaskan


mengenai ikatan karbon-karbon dalam benzena adalah dalam
cara penulisan ikatan antaratom yang biasa kita lakukan sebagai
“garis” tunggal, rangkap dua, empat dan enam elektron. Cara ini
sama sekali tak memadai; karena ada ikatan yang menyangkut
sejumlah elektron yang lain, bahkan ada yang pecahan. Hal ini
Nampak jelas pada anion etanoat (asetat) (19), yang ternyata
bertentangan dengan rumus terdahulu, dengan kristalografi sinar-
X terbukti bahwa kedua atom oksigennya tak terbedakan, jarak
dua atom karbon-oksigen sama panjang sehingga melibatkan
jumlah electron sama banyak.

Kesukaran kesukaran ini mendorong orang menyatakan molekul


yang tak dapat ditulis sebagai satu struktur klasik tunggal dengan
gabungan dua atau lebih stuktur klasiknya; cara ini disebut
struktur kanorik yang dihubungkan oleh anak panah dua
(ujungnya). Cara menghubungkan salah satu struktur dengan
struktur lain dinyatakan oleh anak panah lengkung, ekornya
menunjukan asal mula gerak pasangan elektron sedangkan
matanya (kepalanya) terarah ke tujuan geraknya *.

akan tetapi dapat ditekankan bahwa anion etanoat tidak


mempunyai dua kemungkinan untuk berstruktur rangkap sebagai
sakla satu alternative dansaling bertukar cepat, sebab perlu
dipahami bahwa yang ada struktur tunggal nyata (19ab) –
tekadang hibrida – sementara struktur klasik (kanonik) yakni
(19a) dan (19b) kurang tepat, hanya merupakan suatu
pendekatan.

Sementara kita tinjau delokalisasi dan pengungkapannya


melalui dua atau lebih struktur klasik di atas, dengan adanya
batasan. Secara umum dinyatakan bahwa makin banyak struktur
kanonik yang dapat dituliskan bagi suatu senyawa, makin
besarlah delokalisasi electron dan makin mantaplah senyawa
tersebut. Struktur – struktur itu tidak boleh saling berbeda
kandungan energinya sama lain, sebab jika bedanya besar,
struktur yang energinya tinggi akan terlalu sedikit menyumbang
kepada hibrida sehingga tidak ada artinya sumbangan itu. efek
pemantapan akan kelihatan menonjol apabila struktur – struktur
berenergi sama sebagaimana (19a) dan (19b) di atas. Struktur
yang mengalami pemisahan muatan (bdk, hlm. 32) dapat ditulis
meskipun sifat lainnya sama, struktur seperti ini lazimnya
berkandungan energy lebih tinggi daripada struktur yang tanpa
pemisahan muatan; dalam hal ini sumbanganny terhadap ibrida
lebih sedikit. Struktur yang ditulis harus mempunyai energy
sama dan atom – atom penyusunnya harus menempati
lokasi/kedudukan yang pada pokoknya sam satu terhadap yang
lain dalam tiap struktur kanonik. Agar peristiwa delokalisasi
menjadi lebih berarti bagi setiap atom yang terikat pada pusat –
pusat ketakjenuhan, maka atom tersebut harus terletak pada satu
bidang yang sama atau stidaknya hampir sebidang. Contoh
peristiwa delokalisasi dan akibat pemantapannya yang
merupakan factor – factor sterik akan dijelaskan kemudian.

1.4 PEMUTUSAN DAN PEMBENTUKAN IKATAN

suatu ikatan ovalen antara dua atom dapat diputuskan denga cara
berikut :

dalam kasusu pertama, tiap atom teroissah dengan satu electron


yang membentuk kelompok yang amat reaktif sebagai akibat dari
kereaktifan electron yang tak berpasangannya; peristiwa ini
disebut fisi homolitik (berbelah seragam) ikatan yang
bersangkutan. Sebagai salah satu kemungkinan, dapat pula satu
atom membawa kedua elektronnya, sedangkan yang lain tidak
membawa, peristiwa ini menghasilkan ion negative dan positif.
Apabila R dan X tidak sama, fisinya akan dapat terjadi diatas,
tergantung apakah R dan X membawa pasangan electron tersebut
atau tidak. Kedua proses ini dinamai fisi heterolitikI, yang
menghasilkan pasangan ion. Pembentukan ikatan kovalen dapat
terjadi deengan kebalikan proses tersebut dan tentu juga dengan
serangan radikal yang terbentuk pada awalnya (atau ion) pada
jenis lainnya

Radikal atau pasangan ion yang demikian terbentuk secara


senentara sebagai zat – antara yang reaktif dalam berbagai reaksi
organic sebagaimana akan diulas berikut ini. reaksi yang
melibatkan radikal cenderung berlangsung dalam fasa gas dan
dalam larutan berpelarut tak berkutub (non polar) serta dikatalis
oleh cahaya atau penambahan radikal lain. Reaksi yang
menyangkut zat-antara ionic terjadi lebih mudah dalam larutan
berpelarut mengutub (polar), karena mudahnya pemisahan
muatan di dalamnya serta acapkali karena zat-antara ionic seperti
ini dapat dianggap sebagai pembawa muatan pada suatu karbon
meskipun ion sering dimantapkan oleh delokalisasi muatan,
kurang lebih ke atom – atom lain atau atom- atom unsure
lainnya;
Jika muatan positif terkandung pada kelompok satuan karbon
maka kelompok itu disebut ion karbonuium. Meskipun ion
seperti itu kemungkinan hanya terbentuk sementara dan
konsentrasinya amat kecil, tetapi ion itu cukup penting untuk
mengendalikan reaksi yang sedang berlangsung.

Ketiga jenis ini (radikal, karbokation dan karbanion) tidak


menutup kemungkinan untuk terbentuknya zat-antara sementara,
dengan karbon sebagai pusat aktif; yang lain masih ada lagi,
misalnya jenis tuna-elektron karbena, (electron karbena yang
mencukupi) R2C, nitrena, RN dan uga aruna.

1.5 FAKTOR PEMBERI PENGARUH KETERSEDIAAN –


ELEKTRON

Sesuai yang telah dikemukakan terdahulu, factor yang


mempengaruhi ketersediaan nisbi electron (rapat electron)
terutama ikatan, atau atom – atom tertentu dalam suatu senyawa
dapat diharapka dapat mempengaruhi kereaktifannya terhadap
pereaksi tertentu: pada lokasi dimana terjadi ketersediaan –
electron yang cukup besar akan sukar diserang, tetapi ada juga
yang dapat, misalnya OH. Lokasi dengan ketersediaan –
elektri=on rendah mudah diserang, oleh suatu pereaksi
bermuatan positif. Factor yang mempengaruhi hal ini telah dikaji
dan dikenal.

1.5.1 Pengaruh imbasan dan medan.

Pada ikata tunggal kovalen antaratom yang berlainan, pasangan


electron yang membentuk σ tak pernah terbagi tepat sama antar
kedua atomnya. Pasangan itu cenderung tertarik ke atom yang
lebih elektronegatif. Jadi dalam alkil khlorida (20), rapat electron
cenderung lebih besar didekat khlor daripada karbon, karena
yang terdahulu itu lebih bersifat elektronegatif. Pengaruh
kesesuaian parsial atom khlor terhadap electron ikatan karbon –
khlor menyebabkan Cl menjadi tuna – electron (electron yang
tak mencukupi); ini pada gilirannya akan menyesuaikan diri
dalam pembagian electron pada ikatan σ yang menghubengkan
pada C2 dan seterusnya sepanjang rantai. Pengaruh C1 atas C2
lebih kecil daripada pengaruh Cl atas C1 dan seterusnya semakin
jauh maka semakin kecil, akhirnya hilang; bahaka sebenarnya
setelah melammpaui C2 pengaruh tersebut sudah tak terasa lagi.
Pengaruh ini pada distribusi electron dalam ikatan σ disebut
pengaruh imbasan.

Selain setiap pengaruh imbasan yangterjadi lewat ikatan


dalam suatu senyawa, pengaruh analog pokok dapat terjadi baik
lewat ruang sekekliling molekul atau, dalam larutan, lewat
molekul pelarut yang mengelilinginya. Karena mekanisme
pengaruh imbasan dan pengaruh mmedan hampir mirip (dan
sejajar) maka sulit untuk membedakannya. Akibatnya pengaruh
imbasan biasanya termasuk pengaruh medan.

Kebanyakan atom dan gugus yang terikat pada karbon


mengeuarkan pengaruh imbasan (efek induksi) searah dengan
khlor yakni menarik electron karena lebih elekronegatif daripada
karbon, kecuali gugus alkil yang biasanya justru menyumbang
electron. Meskipun secara kuantitatif pengaru ini agak kecil,
tetapi berperan penting dalam peningkatan sifat kebasaan katika
salah satu atom hydrogen pada ammonia diganti gugus alkil, dan
mudahnya penggantian gugus inti aromatic dalam metil benzene
daripada dalam benzene sendiri. Secara keseluruhan, yang
disebut pengaruh iimbasan adalah terjadinya pengutuban yang
tetap (permanen) pada keadaan dasar suatu molekul sampai
terbentuk dalam sifat – sifat fisik misalnya terjadi momen
dwikutub.

1.5.2 Gejala mesomeri (konjugasi)

Pokok gejala ini adalah terjadinya tebar ulang electron yang


dapat berlangsung dalam sisitem tak jenuh (terutama konjugasi)
lewat orbital – orbital π-nya. Jika gugus C=O terkonjugasi
dengan C=C,pengutuban diatas dapat dilanjutkan lewat electron
π-nya,misalnya (22) :

Delokalisasi tetap berlangsung,(bdk.1,3 dilena,hlm. 17) sehingga


terjadi atom tuna-electron pada C3 seperti halnya paada C1 untuk
senyawa karbonil sederhana.Penerusan lewat sistem terkonjugasi
ini mempunyai perbedaan bila dibandingkan dengan pengaruh
imbasan pada sisten jenuh,yaitu pada yang pertama pengaruhnya
tidak terlalu berkurang.

Pemantapan yang dapat terjadi karena delokalisasi muatan positif


atau negative pada suatu ion melalui orbital-orbital π,dapat
merupakan penyebab tetap kemungkinan terbentuknya ion pada
tempat yang pertama (bdk.hlm.71) misalnya,pemantapan anion
fenoksida (23),akibat delokalisasi muatan melaui orbital π yang
didelokalisasikan dari intinya sehingga mengakibatkan sifat
asam seperti yang dimiliki fenol (bdk.hlm.73):

Delokalisasi serupa dapat berlangsung dalam fenol itu sendiri


yang terdisosiasi (24),yang melibatkan pasangan electron tak
terbagi (sunyi) pada atom oksigen,tetapi

Peristiwa ini melibatkan masalah pemisahan muatan,sehingga


dengan demikian kurang berhasilguna jika dibandingkan dengan
pemantapan ion seperti yang terjadi pada fenoksida.

Gejala memokseri,seperti halnya imbasan,merupakan


pengutuban lestati pada keadaan dasar molekul,sehingga
mempengaruhi sifat fisik senyawa yang bersanngkutan.Pada
pengaruh imbasan dan memoseri terdapat perbedaan yang
pokok,yakni:pengaruh imbasan dapat terjadi baik pada senyawa
jenuh maupun tak jenuh,sedangkan gejala mesomeri hanya
terjadi pada senyawa tak jenuh,khususnya dalam senyawa
terkonjugasi.pengaruh imbasan melibatkan electron pada ikatan
o,sedangkan gejala memoseri melibatkan ikatan dan orbital
π.Pengaruh imbasaan hanya terdapat pada jarak pendek dalam
rantai jenuh sebelum menghilang,sedangkan mesomeri
berlangsung dari ujung ke ujung segala macam molekul besar
yang terkonjungsi (orbital yang didelokalisasikan) sehingga
ujung molekul ini dapat menjadi ’’penyalur”.

1.5.3 Pengaruh pengubah-waktu

beberapa kalangan membedakan antara gejala/pengaruh diatas


(keduanya pengutuban lestari pada keadaan dasar molekul)
dengan perubahan electron yang berlangsung pada saat didekati
suatu pereaksi, terutama pada keadaan alihan (transisi) yang
dapat terbentuk karena serangan awalnya. Factor – factor
pengubah – waktu, analog dengan gejala/pengaruh lestari seperti
diuraika dimuka, disebut gejala/pengaruh induktometri dan
elektrometri. Hal – hal ini dapat dipandang bukan sebagai
pengutuban (polarisasi) tetapi keterkutuban (polarisabilitas),
karena tebaran electron akan berbalik kekeadaan dasar pada
molekul yang diserang baik jika pereaksi hilang tanpa terjadi
reaksi maupun jika begitu tercapai keadaan alihan terus terurai
menjadi bahan awalnya.

Karena pengaruh pengubah waktu semacam itu hanya sementara,


maka tak pernah tercermin dalam sifat fisik senyawa yang
bersangkutan. Telah dibuktikan bahwa suatu senyawa yang
mustahil untukmembedakan antara pengaruh pengubah-waktu
dan pengaruh lestari secara eksperimental; tetapi tidaklah
dicamkan bahwa pengaruh yang dapat meningkatkan reaksi dan
kereaktifan suatu pereaksi ketika pereaksi tersebut mendekati
molekul, benar-benar ada.

1.5.4 Hiperkonjugasi

Besar nisbih pengaruh imbasan gugus alkil mengikuti urutan


sebagai berikut :bila gugus alkil terikat pada sistem tak jenuh,
misalnya pada ikatan rangkap atau inti benzene, urutan itu dapat
terganggu dan dalam beberapa sistem terkonjugasi justru dapat
terbalik. Dengan demikian, jelas bahwa gugus alkil sanggup
melepaskan electron dengan mekanisme yang berlainan dengan
pengaruh imbasan; apalagi gugus metilyang amat berhasil-guna
dalam hal ini. dari peristiwa ini dapat diterangkan bahwa dengan
membesarnya pengaruh/gejala konjugatif atau mesomeri,
terdelokalisasi berlangsung demikian : Gejala ini disebut
hiperkonjugasi dan telah dimanfaatkan untuk menjelaskan
sejumlah gejala yang semula tampak tidak ada kaitannya. Hal ini
bukan berarti bahwa proton benar-benar menjadi bebas dalam
(25) atau (26) karena apabila ia berpindah dari kedudukan
semula, salah satu keadaan yang diprasyaratkan agar terjadi
delokalisasi akan ditentang (hlm. 26) Membaliknya urutan
(imbasan) sumbangan electron, seperti
CH3>MeCH2>Me2CH>Me3C, cukup beralasan karena
hiperkonjugasi terjadi sifat ketergantungan pada hydrogen yang
terikat pada atom karbon yang bertempat kedudukan α terhadap
sistem tak- jenuhnya. Hal ini terlihat memuncak dalam CH3 (25)
dan tak terjadi pada Me3C (29), sehingga kemampuan
menyumbang electron dari gugus-gugus CH3 meningkat.
Hiperkonjugasi juga mengakibatkan lebig besarnya kemantapan
termodinamik alkena yang ikatan rangkapnya tidak diujung,
misalnya (30), jika dibandingkan dengan senyawa-senyawa
isomer yang memiliki ikatan rangkap diujung misalnya(31).
Pada (30) terdapat Sembilan atom hydrogen-α yang “dapat
dihiperkonjugasikan” sedangkan pada (31) hanya ada lima : Hal
itulah yang menyebabkan pembentukan alkena bukan ujung pada
reaksi pemasukan ikatan rangkap (hlm. 338), meskipun tidak
pada ujung tetapi menjadi isomer bukan ujung. Juga perihal
mudahnya isomerisasi senyawa tak mantap menjadi mantap.

1.6 PENGARUH RUANG (STERIK)

Telah dibahas berbagai factor yang mempengaruhi


ketersediaan nisbih electron dalam ikatan atau pada atom tertentu
dalam suatu molekul sehingga mempengaruhi kereaktifan suatu
senyawa. Tetapi cara bekerja factor-faktor ini dapat diubah
bahkan dapat dihilangkan oleh pengaruh sterik (ruang). Dengan
demikian, delokalisasi melalui orbital-orbital hanya dapat terjadi
jika orbital-orbital ρ atau π pada atom-atom yang terlibat dalam
delokalisasinya saling sejajar, jika ini terhalang, maka tak terjadi
tumpangasuh dan delokalisasi pun dirintangi. Contoh menarik
tentang hal ini ialah pembandingan antara peranan N,N-
dimetilanilin (32) dan turunan 2,6-diakil, misalnya (33). Gugus
NMe dalam (32) karena menyumbang electron (akibat pasangan
electron tak terbagi pada nitrogen berantaraksi dengan orbital π
yang didelokalisasikan pada inti), maka dapat mengaktifkan inti
terhadap serangan kation diazonium PhN2 yakni terhadap
pasangan (kopel)-azo yang menghasilkan penggantigugusan
pada posisi ρ (bdk. Hlm. 202):

Dalam hal ini turunan 2,6-dimetil (33) tidak merupakan


pasangan, meskipun gugus-gugus metil yang telah dimasukkan
cukup banyak, tetapi kepenuhsesakan ini tak mengganggu
langsung serangan pada posisi ρ. Kegagalan bergabung pada
posisi tersebut akibat dari dua gugus metil berkedudukan ᴏ
terhadap NMe2 yang menganggu secara sterik/ruang dengan dua
gugus metil yang terikat pada nitrogen akan mustahil untuk
terletak sebidang dengan inti benzenanya. Dengan demikian,
berarti bahwa kemungkinan untuk menjadi saling sejajar antara
orbital-orbital ρ dari nitrogen dengan cincin-karbon di mana dia
terikat menjadi terhalang, sehingga tumpangasuh tidak terjadi.
Antaraksi elektronik dengan inti pun terhambat dan tak
berlangsung alih muatan sebagaimana terjadi pada (32) (bdk.
Hlm. 93):
Pengaruh ruang yang paling umum, yang disebut penghalang
ruang, adalah terpengaruhnya kereaktifan suatu senyawa pada
kedudukan tertentu, karena pada keadaan peralihannya penuh-
sesak dengan gugus – gugus sehingga pereaksinya sulit untuk
mencapai pusat reaksi. Jadi bukan karena meningkatnya atau
menurunnya ketersediaan – electron. Hal ini telah dikaji dengan
meninjau kajian kemantapan kompleks yang terbentuk oleh
trimetilboron dengan ssejumlah besar amina. Jadi kompleks (34)
terbentuk karena trimetillamina mengurai secara amat cepat,
sssedangkan kompleks (35) karena kinuklidin dapat dipandang
mempunyai tiga gugus etil pada tiga nitrogen yang “terkekang”
dari kecendrungan ke bentuk konformasinya yang menggannggu
serangan ruang atas nitrogen, dengan demikian sangat mantap:

Perbedaan ini bukan akibat beda ketersediaan-elektron pada


atom nitrogen dari dua peristiwa tersebut, tetapi seperti yang
ditunjukan oleh kenyataan bahwa kedua aminanya mempunyai
kekuatan basa yang tidak terlalu besar bedanya (bdk.hal 94) :
pengambilan proton bukan karena pengaruh ruang, lain halnya
dengan pengambilan BMe3. Esterifikasi dan hidrolisis ester
adalah reaksi – reaksi lain yang peka terhadap hambatan ruang
(bdk. hlm.319 ).

1.7 JENIS – JENIS PEREAKSI

Pada uraian di atas telah diacu gugus penyumbang dan penarik


electron dan pengaruhnya terhadap pertahanan kedudukannya
pada molekul, baik pada molekul yang kaya atau tun – electron.
Hal iitu akan mempengaruhi jenis pereaksi yang paling sesuai
dan mudah bereaksi dengan senyawa tersebut. Jenis yang kaya
electron misalnya anion fenoksida (36) akan cenderung mudah
diserang kation

Bermuatan positif seperti C6H5N2 (sustu kation diazonium;) atau


oleh jenis lain meskkipun bukan kation asli, namun memiliki
suatu atom atau pusat yang tuna-elektron; misalnya atom
belerang pada belerang trioksida dalam sulfonasi. Pereaksi
smacam itu, karena cenderung menyerang substrat pada salah
satu posisis (posisi-posisi) yang mmempunyai kerapatan electron
tinggi, disebut pereaksi elektrofil (filia = suka, senang).

Sebaliknya, pada pusat tuna-elektron misalnya atom


karbon dalam khlorometana akan cenderung muudah disrang ole
anion (bermuatan negative) misalnya OH dan CN, dan
sebagainya atau ooeh jenis lain yang meskipun bukan anion
sejati, tetapi memiliki atom pusat yang kaya electron; misalnya
atom nitrogen dalam ammonia atau amina. Pereaksi yang
demikian, karena cenderung menyerang substrat pada salah satu
posisi (atau posisi – posisi) yang mmemunyai kerapatan electron
rendah, yaitu inti atom yang kekurangan komplemen normal
electron – electron orbitalnya, disebut pereaksi nuukleofil.

Agar suatu pola reaksi menonjol, yang diperlukan hanyalah


sedikit sifat tak siimmetriknya tebaran electron; memang, adanya
muatan pennh pada pereaksi amat membantu tapi bukan hal
pokok. Sesungguhnya, tebaran muatan tak simetriknya sudah
dapat terjadi oleh imbasan yang saling enngutub pereaksi dan
substrat saat mendekati sau sama lain, seperti jika brom
ditambahkan pada etena.

Dikotomi elektrifil atau nukleofil demikian dapat


dipandang sebagai hal khusus pada gagasan asam/basa. Batasan
klasik tentang asam dan basa ialah bahwa yang terdahulu
merupakan penyumbang proton, sedangkan yang kemudian ialah
penerima proton. Batasan ini dibuat menjadi lebi umum ole lewis
yang memandang asam sebagai senyawa yang siap menerima
pasangan electron dan basa ialah zat yang dapat memberikannya.
Ini mencakup sejumlah senyawa yang bermula tidak dipikirkan
sebagai asam maupun basa. Misalnya boron triflourida, yyang
bertindak sebagai asam dengan menerima pasangan electron
pada nitrogen dalam trimetilamina dan membentuk kompleks
hingga disebut asam lewis. Elektrofil dan nukleofil dalam reaksi
organic dapat dilihat sebagai penerima dan pembberi pasangan
electron pada atom – atomnya – biasanya karbon. Tentu saja,
elektrofil dan nukleofil juga berkaitan dengan oksidator dan
reduktor, sebab yang terdahulu ialah penerima electron
sedangkan yang terakhir adalah penyumbang atau pemberi
electron.

Terdapat juga reaksi – reaksi yang melibatkan radikal


sebagai satuan kelompok yang reaktif. Kelompok yang demikian
dapat amat kurang peka terhadap perubahan rapat electron pada
substrat, disbanding dengan reaksii yang melibatkan zat-antara
menutub, akan tetapi sanat terpengaruuh oleh penambahan
sejumlah zat renik yang membebbaskan atau mengambil radikal.
Hal itu, diulas terperinci dibawah ini.

1.8 JENIS – JENIS PEREAKSI

Dikenal 4 jenis umum reaksi yang dapat dialami seenyawa


organic:

a)Pemindahangugusan (penggantigugusan) – subsitusi


b) Penambahgugusan - adisi;
c)Penyingkirgugusan - eliminasi;dan
d)Penyusonan-ulang.

Pada (a) biasanya terjadi pada pemindahan dari karbon,dan atom


yang terpindah dapat hydrogen atau atom/gugus lain.Pada
penggantigugusan elektrofit,yang acapkali dipindahkan ialah
hydrogen;sebagai contoh bagus adalah penggantigugusan
aromatic klasik (hlm.1774):

Pada penggantigugusan nukleofit,yang dipindahkan seringkali


atom lain,bukan hydrogen. Tetaapi dalam hal ini
pemindahgugusan nekleofit hydrogen juga dikenal (min 221).
Pemindahgugusan terimbas-radikal juga dapat diamati,misalnya
halogenasi alkana (bdk.hlm.416).

Reaksi penambahgugusanpun dapat bersifat


elektrofit,nukleofit,atau radikal,tergantung jenis spesias yang
mengawali proses.Penambahgugusan ke ikatan rangkap karbon-
karbon sederhana dapat mengakibatkan imbasan elektrofit
maupun radikal;misalnya penambahgugusan HBr,yang dapat
dimulai oleh serangan H (hlm.241)
Atau Br (hlm.421) pada ikatan rangkap.Sebaliknya,reaksi
penambahgugusan yang ditunjukan oleh ikatan rangkap karbon-
oksigen,pada aldehida dan keton sederhana,biasanya brsifat
nukleofit (hlm.268).Sebagai contoh ialah pembentukan
sianohidrin terkatalisis-basa dalam HCN cair.

Reaksi penyingkir gugusan tentu saja kebalikan reaksi


penambahgugusan; peristiwa yang paling umum adalah lepasnya
hydrogen dan atom/gugus lain dari atom karbon
tetangga,menghasilkan alkena (hlm. 324).

Penyusunan ulang dapat juga terjadi pada zat-antara terutama


yang berupa kation,anion,atau radikal meskipun yang melibatkan
karbokation atau jenis-jenis lain tuna electron yang paling lazim
ditemui.Hal ini melibatkan penyusunan ulang kerangka utama
karbon suatu senyawa seperti pada waktu pengubahan 2,3-
dimetilbutan-2,3-diol(pinakol,42) menjadi 2,2-dimetilbutan-3-
on(pinakolon,43,bdk.hlm.149):

Tahap penysunan ulang yang sesungguhnya adalah pada


pengubahan seperti ini, yang acapkali diikuti dengan
pemindahgugusan,penambahgugusan,atau penyinkirgugusan
lebih lanjut sebelum diperoleh produk-akhir yang mantap.
2 Energetika, Kinetika, dan Telaah Mekanisme

2.1 ENERGETIKA REKSI


2.2 KINETIKA REAKSI
2.2.1 Laju reaksi dan energy bebas pengaktifan;
2.2.2 Kinetika dan tahap penentu-laju;2.2.3 Kendali Kinetika
terhadap kendali termodinamika.

2.3 TELAAH MEKANISME REAKSI:

2.3.1 Hakeket hasil reaksi;2.3.2 Data kinetika;

2.3.3 Penggunaan isotop;2.3.4 Kajian zat-antara

2.3.5 Prasyarat streokimia

Telah diuraikan tentang sejumlah factor elektronik serta sterik yang


dapat mempengaruhi kereaktifan suatu senyawa dalam keadaan
tertentu, demikian pula jenis pereaksi yang dapat dianggap dapat
menyerang pusat - pusat khas dalam senyawa - senyawa tertentu
dengan mudah. Akan tetapi belum terlampau banyak ditinjau dan
disimak bagaimana factor – factor elektronik serta sterik pada berbagai
struktur, ditinjau secara energetic dan kinetic dalam kaitannya dengan
laju reaksi pada saat reaksi berlangsung. Persoalan ini cukup penting,
setidaknya dalam menerrangkan jalannya reaksi ssecara terperinci.

2.1 ENERGETIKA REAKSI

Dalam meninjau pengubahan bahan – awal menjadi hasil/produk


reaksi organic, satu hal yang patutu disimak adalah sejauh mana reaksi
berjalan dan menghhasilkan bahan lain. Sistem reaksi kimia cenderung
menuju ke keadaan paling mantap (mantap), jadi makin mantap hasil
reaksinya dbandingkan dengan bahan dasar semula, makin
menguntungkan pula letak kesetimbangannya; maksudnya, makin
besar Δkemantapan pada diagram reaksi , makin besarlah pengubahan
baahan awal menjadi hasil.
Akan tetapi, dengan segera tampak pula bahwa pwrubahan
energy sederhana yang menyertai perubahan bahan-awal menjadi hasil
reaksi, yang biasanya dinyatakan dalam kalor reaksi ΔH, bukan
merupakan ukuran kemantapan yang cermat, karean sering terjadi
bahwa tidak ada hhubbngan timbale balik (korelasi) antara ΔH dengan
konstanta kesetimbangan yang kecil (pengubahan bahan – awal
menjadi hasil reaksi sedikit ), sedangkan reaksi –reaksi dengan
konstanta kesetimbangan besar biasanya bersifat endoterm (entalpi
hasil/produk lebih tinggi daripada bahan awal): jelas ada beberrapa
factor lain yang abil bagian dalam pemantapan nisbi entail kimia
disapping entapi.

Peristiwa ini sesuai dengan Hukum Kedua Termmodinamika


yang melibatkan unsure kkebolehjadian serta kecendrungan sisitem
teratur, menjadi tak teratur: suatu ukuran derajat ketakteraturan sistem
diberikan oleh entropinya (S). dalamm berusaha mencapai keadaan
palig mantap, sistem mengarah ke energi minimum (tepatnya entalpi,
H) serta entropi maksimum (ketakteraturan atau keacakan). Suatu
ukuran kemantapan nisbi arus mencakup titik temu/kompromi antara H
dan S: ini diberikan oleh energi bebas Gibbs G yang dinnyatakan
sebagai :

G= H – TS

Dengan t ialah suhu mutlak. Perubahan energy bebas selam suatu


reaksi berlangsung pada suhu tertentu dibriikan oleh:

ΔG = ΔH – TΔS

Dan ternyata didapatkan bahwa perubahan energy bebas dari bahan –


awal ke produk, ΔG (ΔG ini menunjukan perubahan dalam keadaan
standar yaitu: pada satuan keaktifan ttertentu, pada satuan mmolar,
kepekatan) berkaitan denga konstanta kesstimbangan K bagi
perubahannya dengan hubungan sebagai berikut,

- ΔG = 2.303 RT log K

Jadi semakin besar penurunan energy bebas (minus ΔG) dari bahan
awal menjadi produk, makin besar pula nilai K dan kesetimbangan
lebih kearah produk. Posisi energy minimum berkaitan dengan hasil
kesetimbangan yang dicapai oleh bahan – awal/produk. Dalam suatu
reaksi yang tidak melibatkan energy bebas (ΔG = 0) K=1, berkaitan
denga perubahan (konversi) bahan awal menjadi produk sebesar 50%.
Meningkatnya nilai positif ΔG berarti secara cepat menurunkan nilai
pecahan K (hubungan berbentuk logaritmik), hal ini berkaitan dengan
mengecilnya perubahan kea rah produk sedangkan meningkatnya nilai
negative ΔG bearti terjadi peningkatan cepat nilai K. Maka bila suatu
harga ΔG -42 kJ (-10 kkal) mol -1 berkaitan dengan konstanta
kesetimbangan ≈ 107 berarti secara praktis peristiwa ini merupakan
perubahan sempurna kearah produk. Dengan adanya pengetahuan
tentang energy bebas dari bahan-bahan awal serta produknya, yang
merupakan besaran yang telah ditentukan bagi banyak senyawa
organic maka dimungkinkan untuk memperkirakan besarnya
perubahan dalam reaksi bahan awal menjadi produk.

Factor ΔH bagi perubahan termaksud dapat dipersamakan


dengan perbedaan energy dalm ikatan-ikatan bahan awal dalam
produk, sehingga nilai pendekatan ΔH suatu reaksi sering dapat
diperkirakan dengan melihat daftar-daftar energy ikatan baku. Hal ini
tidak terlalu mengherankan sebab memang dari data ΔH-lah energy
ikatan rat-rat pertama-tama dihitung.

Factor entropi tidak dapat ditinjau selintas begitu saja, karena


secara berhasil guna (efektif) factor ini berkaitan dengan sejumlah cara
yang mungkin dalam membagi-bagikan bongkah kumpulam (agregat)
energy keseluruhan yang dipunyai pada tatanan molekul tertentu,
demikian pula sejumlah kemungkinan cara dalam mengatur dan
menenpatkan energy dalam kuantitas tertentu pada tiap molekul untuk
tujuan-tujuan translasi, rotasi (putar), serta vibrasi (getar) dan translasi
yang membutuhkan enrgi terbanyak. Jadi bagi suatu reaksi yang
ditandai dengan peningkatan jumlah jenis molekul jika berubah dalam
bahan awal menjadi produk,

A B+C

Akan terjadi peningkatan entropi karena diperolehnya kebebasan


translasi.Suku- TΔS dapat cukup besar nilainya dan mengguguli suku
+ ΔH dari suatu reaksi endoterm,sehingga menghasilkan nilai ΔG
negative,dan kesetimbangan jauh kearah produk.Akan tetapi dalam
reaksi eksotern (ΔH negative),terlihat bahwa ΔG akan lebih negative
dan konstanta kesetimbangan K lebih besar pula.Sebaliknya jika
jumlah jenis yang berperan serta dalam suatu reaksi menurun,berubah
dari bahan awal menjadi produk,maka akan terjadi pula penurunan
entropis (ΔS negative),sehingga:
A B+C ΔG = ΔH – ( - ) TΔS

Kecuali bila reaksinnya cukup eksoterm (ΔH negative dan cukup


besar)maka untuk menngimbanginya,ΔG akan positifsehingga
kesetimbangan lebih cendeerung kearah-bahan awal.

Reaksi-reaksi pelingkaran atau pencicinan atau siklisasi dapat pula


disertai dengan penurunan entropi.

Meskipun disini tidak diperlukan perubahan entropi translasi,tetapi


terdapat kendala atas ikatan tunggal karbon-karbon unntuk berputar
(rotasi); dimana pada bahan-awal dalam keadaan leluasa,sedangkan
pada produk menjadi terhambat.Suku entropi untuk putaran (rotasi)ini
memang lebih kecil jika dibandingkan dengan enntropi tranlasi yang
terlibat dalam reaksi- reaksi dengan jumlah jenis pemeran serta
menurun ketika terbentuknya produk.

Hal ini tercermin dalam pilihan/kecendrunganikatan hydrogen intra


molekul,misalnya pada 1,2-diol:

Jangan dianggap remeh bahwa suku entropi mencakup suhu


(TΔS)sedangkan entalpi (ΔH)tidak.Sumbangan nisbi masing-masing
kepada energy bebasdapat berlainan sama sekali bagi reaksi yang sama
namun suhu berbeda.
2.2 KINETIKA REAKSI

Meskipun nilai negative ΔG merupakan syarat untuk terjadinya suatu


reaksi pada keadaan tertentu,tetapi masih dibutuhkan informasi lain
karena nilai –ΔG tidak mennerangkan apa-apa perihal sebaran cepat
laju bahan-awal. Diubah menjadi hasil/produk.misalnya dalam
oksidasi selulosa,G negative dan cukup besar nilainya sehingga
kesetimbangan terletak jauh kearah CO 2 dan H2O ;tetapi kertas Koran
(yang sebagian besar terdiri atas selulosa) dapat dibaca di udara
(bahkan juga dikemah atau ruangan yang beroksigen sekalipun)
berlama-lama tanpa perlu khawatir bahwa sekonyong-konyong
berubah menjadi gas.Pada keadaan itu,laju perubahan sangat lambat
meskipun dapat dipercepat dengan suhu yang tinggi.Jadi nilai negative
ΔG yang besar bukan merupakan jaminan;perubahan dari bahan awal
menjadi produk bukan soal –ΔG yang besar saja,ibaratnya bukan soal
menuruni lereng-bukit(gtambar 2.2) saja tapi karene adanya hambatan
yang harus diataasi dulu dalam proses reaksi itu,(Gambar 2.3):
2.2.1 Laju Reaksi dan Energi Bebas Pengaktifan

Kedudukan x dalam penampang energy (profile energy) diatas


berkaitan dengan konfigurasi paling takk mantap yang dilalui bahan –
awal dalam pengubahannya menjadi produk yang lazimnya dinamai
kompleks teraktivitasi (KT, aktived complex) atau keadaan peralihan
( KP, transition state);

Perlu dicamkan bahwa ini merupakan keadaan yang sangat tidak


mantap yang dilalui dalam proses dinamis, bukan merupakan jenis
molekul yang berdiri sendiri (diskrit); tetapi suatu zat-antara yang
dapat diamati atau diisolasi begitu saja. Sebagai contoh ialah (1) pada
hidrolisis basa broomometana, dimana ikatan HO – C terbentuk
serentak dengan pemutusan ikatan C – Br dan
Ketiga atom hydrogen yang terikat pada karbon melewati suatu
konfigurasi yang sebidang.

2.2.2 Kinetika dan tahap penentu-laju


Secara eksperimen, pengukuran laju reaksi meliputi penentuan-
laju lenyapnya bahan semula dan/atau munculnya produk pada
suhu (tetap) tertentu dan pencarian hubungannya dengan
pendekatan salah satu atau semua pereaksinya. Reaksi dapat
diikuti dengan aneka care misalnya, langsung dengan
pengambilan bagian campuran reaksi (aliquot) yang kemudian
dilakukan penentuan titrimetri, atau secara tidak langsung
dengan mengamati perubahan kolorimetrik, konduktimetrik,
spektroskopik, dan sebagainya. Metode ape pun yang digunakan,
langkah terkritis dan peka biasanya pada seat pencocokan
(matching) data kinetik kasar terhadap -fungsi-fungsi variabel
yang mungkin pada kepekatan (konsentrasi) tertentu, baik secara
grafis maupun hitungan, sehingga diperoleh kecocokan yang
memadai. Dengan demikian bagi reaksi,
CH3Br + -0H CH3OH + Br-
tidak mengherankan kalau diperoleh ungkapan laju, Laju
= k[CH3Br][-0H]
dengan k ialah tetapan laju reaksi. Reaksi ini secara keseluruhan
dikatakan berderajat kedua; derajat satu terhadap, CH3Br dan
derajat 'satu terhadap "OH.- .
Kesamaan antara stoikiometri dengan hukum-:Iaju yang
.secara kebetulan seperti itu dalam keadaan sesungguhnya. tidak
lazim terjadi. Stoikiometri bukan merupakan petunjuk hokum
laju karena hokum laju hanya dapat diperoleh,dalam eksperimen.
Jadi dalam hal brominasi terkatalisis basah atas propanon,

OH
CH3COCH3 + Br2 CH3COCH2Br + HBr
diperoleh persamaan laju,
Laju -= k[CH3COCH3][0H]
jadi brom bukannya lenyap meskipun [60H] (bdk. h1m. 391)
berperan dalam reaksi keseluruhan karena ia ada/ masuk dalam
produk-akhir, tetapi ia tidak dapat terlibat dalam tahap reaksi
yang lajunya diukur. Make secara keseluruhan reaksi ini
mencakup dua tahap.
melibatkan brom (yang lajunya diukur) serta satu lainnya seperti
diuraikan di atas. Sesungguhnya hanya sedikit saja reaksi
organik yang merupakan proses suatu tahap sebagaimana tersaji
pada Gambar. Ini nvata sekali dalam contoh ekstrem misalnya
pembentukan heksamina. Yang peluang terjadinya tumbukan
serentak pada enam molekul CH2 dan empat molekul NH3 yang
mana dalam sepuluh badan terdapat nilai no, tidak ada. tetapi
dalam hal stoikiometri yang kurang ekstrim, reaksi – reaksi
biasanya merupakan proses majemuk (komposit), terdiri atas
sejumlah tahap berurutan yang pada tahap paling lambat
penentu-lajunya yang diukur. Itu tidak lain karena terjadinya
bottleneck lintas produksi pengubahan bahan awal menjadi
hasil/produksinya :
Dalam. Gambar 2.4 bahan-awal diubah lewat keadaan
peralihan' xt menjadi zat-antara yang kemudian mengurai
(dekomposisi) menjadi produk lewat keadaan peralihan kedua x2.
Seperti diutarakan di atas, pembentukan atantara lewat x, lebih
memerlukan energi (AG, > AG2)di antara kedua tahapan tadi
sehingga akan lebih lambat, dalam hal ini tahap yang lajuny2~
diukur dengan -eksperimen kinetika. Tahap itu diikuti oleh
pengubahan zat-antara menjadi produk secara cepat (energi yang
sedikit menuntut energi), tetapi hal ini bukan merupakan
penentu-laju. Brominasi' propanon tadi, dalam keadaan tertentu,
dapat mengikuti pola yang sesuai dengan Gambar 2.4. Di sini,.
pemindahan proton yang lambat dan penentu- laju oleti Br2 akan
menghasilkan bromopropanon,.serta ion bromida, sebagai
produk:

Penting ditekankan bahwa meskipun penjelasan ini merupakan


deduksi yang nalar dari persamaan laju yang disusun
berdasarkan eksperimen, namun yang terakhir itu bukan untuk
membuktikan yang terdahulu. Persamaan laju yang ditentukan--
secara eksperimen memberi informasi perihal jenis-jenis yang
terlibat sampai ke tahap penentulaju suatu reaksi: persamaan laju
memang menerangkan susun-kandungan (komposisi) tetapi
bukan sekadar penurunan perkiraan struktur keadaan peralihan
bagi tahap penentu-lajunya sendiri. Persamaan laju tidak
memberikan informasi langsung zat-antara, tidak pula
menerangkan jenis yang terlibat dalam proses yang cepat, dan
bukan penentulaju di luar tahap penentu-laju termaksud.
Dalam membahas pengaruh pengubahan keadaan, misalnya
pelarut atau struktur bahan-awal yang dapat diharapkan menjadi
penentu-laju reaksi, harus diketahui pula pengaruh perubahannya
terhadap kemantapan (tingkat energi bebas) hal mana keadaan
peralihannya: merupakan faktor-faktor yang memantapkan KP
akan mempercepat pembentukannya atau sebaliknya.
. Model semacam itu bukan tidak beralasan: zat-antara yang
terbentuk sementara (transien) pada Gambar 2.4 yang dalam
keadaan tingkat energi bebas tertentu sangat menyerupai KP
yang mendahuluinya dan dapat diharapkan bahwa strukturnya
pun mirip. Tentu saja zat-antara seperti itu biasanya akan lebih
baik,dijadikan model KP daripada diharapkan dari bahan-
awalnya. Maka kompleks u (zat-antara Wheland) dalam
penggantigugusan elektrofil aromatik dipergunakan sebagai
model bagi KP yang merupakan prekursor langsungnya. (hlm.
199)
Suatu katalis mempunyai pengaruh dalam meningkatkan laju
berlangsung suatu reaksi; hal ini dilakukan dengan
memungkinkan adanya jejak alternative yang lebih kecil
tuntunan energetiknya, dan sering melalui pembentukan zat
antara baru yang lebih mantap (energi lebih kecil).

Dengan demikian, laju hidrasi alkena langsung dengan air,

kerap kali sangat lambat, tetapi dapat dipercepat dengan


pemberian suatu katalis asam yang menyebabkan protonasi
alkena menjadi suatu zat-antara karbokationik. Kemudian diikuti
oleh mudah dan cepatnya serangan atas karbokation bermuatan
positif oleh molekul air yang bertindak sebagai nukleofil,
akhirnya dengan membebaskan sebuah proton yang dapat
berperan lagi sebagai katalis (hlm. 246):

2.2.3 Kendali kinetika terhadap kendali termodinamika

Apabila suatu bahan awal dapat diubah menjadi dua atau lebih
produk alternatif misalnya pada serangan elektrofil suatu jenis
aromatik yang telah mengikat suatu gugusganti (hlm. 197), maka
jumlah/banyaknya masing-masing produk alternatif yang
terbentuk sering ditentukan oleh- laju pembentukan nisbinya.
Makin cepat suatu produk terbentuk, makin banyak pula ia di
dalam campuran-produk-akhir ini disebut kendali kinetika. Hal
ini tidak terlalu teramati karma jika salah satu atau lebih reaksi
alternatifnya terbalikkan atau jika produk-produknya mudah
diantarubahkan langsung pada keadaan reaksi, maka di situ
susun-kandungan (komposisi) campuran produknya tidak hanya
ditentukan oleh laju nisbi pembentukan produk-produk
berbedanya, akan tetapi juga oleh kemantapan termodinamik
nisbi dalam sistem reaksi yang bersangkutan: yang dihadapi di
sisi ialah kendali termodinamika atau kendali kesetimbangan.
Sebagai contoh dalam nitrasi metilbenzeni, ternyata dipengaruhi
oleh kendali kinetika, sedangkan alkinasi Friedel-Crafts atas
jenis yang sama justru, dipengaruhi oleh kendali termodinamika
(hlm. 215). Bentuk kendali yang sedang berperan dapat pula
dipengaruhi oleh keadaan reaksi, sebagai contoh sulfonasi
naftalena dengan H2SO4 pada 80o pada dasarnya dipengaruhi
oleh kendali kinetika, tetapi pada suhu 160o dipengaruhi oleh
termodinamika.

2.3 TELAAH MEKANISME REAKSI


Seandainya mungkin juga akan jarang dapat diperoleh informasi
struktur, energetika, dan stereokimia secara lengkap dan
menyeluruh perihal jejak yang dilalui suatu reaksi kimia: tak ada
mekanisme reaksi yang dapat membuktikannya secara benar
mutlak. Akan tetapi, sesungguhnya dari data yang cukup
memadai biasanya dapat dihimpun dan dipergunakan untuk
menunjukkan bahwa satu atau lebih mekanisme yang mungkin
secara teoretik ternyata tidak cocok dengan basil eksperimen
dan/atau untuk memperlihatkan bahwa beberapa alternatif yang
lain ternyata lebih baik.

2.3.1 Hakikat hasil reaksi


Barangkali informasi paling mendasar mengenai suatu reaksi
yang dapat diperoleh ialah penentuan struktur produk-produk
yang terbentuk selama berlangsungnya reaksi serta
menghubungkan hal itu dengan struktur bahan-awal semula.
Sebagaimana sering dijumpai dalam reaksi-reaksi organik di
mana lebih dari satu produk terjadi biasanya akan dapat
bermanfaat jika diketahui pula kesebandingan nisbi jumlah-
jumlah aneka produk itu antara lain dengan menentukan jenis
kendali kinetika atau kendali termodinamika, (bdk.,hlm. 55).
Pada waktu yang lampau hal ini harus dilakukan dengan tekun
tetapi masih kurang cermat pula dengan cara isolasi manual
produk-produknya, tetapi dewasa ini dapat dilaksanakan jauh
lebih mudah, bersahaja I dan tepat yaitu * dengan cara-cara
khromatografi yang canggih atau secara tidak langsung memakai
cara-cara-spektroskopi.
Pentingnya penentuan struktur yang sesungguhnya pada suatu
produk reaksi dapat ditandaskan dengan melihat betapa akan
membingungkan jika hal itu diandaikan secara keliru atau
dianggap benar. Sebagai contoh, radikal trifenilmetil kuning,
yang dihasilkan dari aksi perak terhadap trifenilmetil klorida
pada tahun 1900, yang mudah membentuk suatu dimer tak
berwarna (BM = 486)—ada alasan—dianggap berstruktur
heksafeniletana (4) dengan tiga puluh atom hidrogen aromatik.
Baru.hamvirberselang 70 tahun (pada 1968), spektrum n.m.r dari
dimernya (hanya dua puluh lima (H) "aromatik", empat (H)
"dienik" dan satu MY J 6nuh) menunjukkan bahwa
sesungguhnya trifenilmetil kuning tidak berstruktur
heksafeniletana (4)

Di situlah orang barn dapat memahami sepenuhnya perihal


segala perilaku (3) secara terperinci serta dimer yang
sebelumnya dianggap sebagai penyimpangan atau kekecualian.
Informasi perihal produk-produk reaksi dapat sangat
membantu, terutama jika salah satu dari mereka tak dapat
diamati sama sekali. Sebagai contoh reaksi khloro 4-
metilbenzena (p-khlorotoluena, 6) dengan ion amida, NH2, dalam
amonia cair. (hlm. 229) ternyata tidak hanya menghasilkan 4-
metilfenilamina (p-toluidina, 7) seperti yang diharapkan, tetapi
juga menghasilkan 3-metilfenilamina (m-toluidina, 8) yang tak
diharapkan tetapi justru merupakan produk utama:

Yang tersebut terakhir ini tidak dapat diperoleh dari (6) dengan
penggantigugusan sederhana; kalau harus diperoleh maka harus
melalui jejak yang berlainan daripada yang ditempuh (7) atau
kalau keduanya lewat cara lain, tetapi terbentuk zat-antara 'sama;
dengan demikian, jelas bahwa (7) juga tak dapat dibentuk
dengan cara penggantigugusan sederhana pula.

2.3.2 Data kinetika


Sebagian besar data jejak-reaksi berasal dari bagian kinetik tetapi
tafsiran data kinetik dalam ungkapan mekanistik (bdk. hlm. 51)
pertama. Jenis reaksi yang berhasilguna hal mana konsentrasinya
menentukan hasil laju reaksi, dapat berbeda dari jenis yang
dimasukkan ke campuran reaksi awal - dan yang konsentrasi
berubahnya dicari. Misalnya dalam nitrasi aromatik, jenis
penyerang yang berhasil guna biasanya NO2 (hlm. 176) yang
konsentrasi berubahnya hendak diukur. Hubungan antara
keduanya dapat bersifat sangat rumit, sehingga rumit pula
hubungan antara laju reaksi dan: [HNO3] Meskipun reaksinya
sederhana, hal itu tidak sesederhana penurunan dari besaran-
besarannya yang mudah diukur.
Begitu pula halnya dengan hidrolisis dalam larutan berair alkil
halida, RHal, ternyata mengikuti persamaan laju,
'Laju = kl[RHal]
tidak selalu aman untuk menyimpulkan bahwa tahap penentu-
lajunya tidak menyangkut peranserta air karena tidak munculnya
simbol air (H20) dalam persamaan laju; karena bila air dipakai
sebagai pelarut, maka ia berlebih, sehingga konsentrasinya
praktis tidak berubah baik ia terlibat atau tidak dalam tahap
penentu lajunya. Hal ini mungkin bisa terselesaikan jika
hidrolisis dilangsungkan dalam pelarut lain, misalnya HCO2H,
dengan memakai air dalam konsentrasi kecil yang. berfungsi
sebagai nukleofil potensialnya. Dengan demikian, hidrolisis
mengikuti persamaan laju;

Laju = k2[RHal][H2O]

tetapi dapat terjadi pula bahwa mekanisme hidrolisis sebenarnya


berubah bukan karena pengubahan pelarut; maka tidak
merupakan sesuatu yang mutlak untuk mengetahui apa yang
berlangsung pada larutan berair semula.
Kebanyakan reaksi organik dilakukan dalam larutan dan
perubahan kecil pada pelarut yang dipakai sudah dapat
berpengaruh besar atas laju dan mekanisme reaksinya. Hal ini
benar terutama bila zat-antara bersifat mengutub, misalnya
karbokation atau karbanion sebagai pembawa pasangan ion yang
terlibat di dalamnya, karena jenis-jenis yang seperti ini biasanya
membawa "selimut/bungkus" molekul-molekul pelarut. Ini amat
mempengaruhi kemantapannya (serta kemudahan terbentuknya)
dan amat dipengaruhi oleh komposisi dan sifat pelarutnya,
terlebih-lebih sifat pengutuban dan kemampuan solvasi-ionnya.
Sebaliknya, reaksi-reaksi yang melibatkan radikal (hlm. 396)
kurang dipengaruhi oleh sifat pelarutnya (kecuali pada dirinya
sendiri mampu bereaksi dengan radikal) tetapi sangat
dipengaruhi oleh penambahan sumber radikal (misalnya
peroksida), penyerap radikal (misalnya kinon) atau oleh. cahaya
yang dapat mengawali . reaksi dengan produksi radikal melalui
pengaktifan fotokimia seperti:
Br2 – Br--Br
Reaksi yang dengan telaah kinetik, ternyata berlangsung jauh
lebih cepat atau lambat daripada perkiraan dalam reaksi
semacam pada keadaan yang sama, memiliki senyawa-senyawa
yang strukturnya berkaitan. Hal ini menandakan bahwa
bekerjanya jejak yang ditempuh berlainan dengan jejak yang
umum berlaku bagi deret/kelompoknya. Sebagai contoh laju
hidrolisis -(amatan) . khlorometana dengan bass - kuat pada
keadaan yang sama temyata bervariasi sebagai berikut:
CH3Cl >> CH2Cl2 <<CHCl3>> CCl4

Hal ini menunjukkan bahwa trikhlorometana mengalami


hidrolisis secara berbeda dibandingkan senyawa lain (bdk. hlm.
353).

2.3.3 Penggunaan isotop


Untuk mengetahui apakah ikatan tertentu sudah atau belum pu gs
dalam tahap pemula masuk pada tahap penentu-laju suatu reaksi
tidak dapat ditunjukkan oleh data kinetic sederhana, maka perlu
penelitian yang lebih jauh pada ikatan C—H; persoalan yang
timbul mempunyai kemungkinan untuk diselesaikan dengan
membandingkan laju-laju reaksi senyawa yang bersangkutan
pada kondisi yang sama, serta analognya jika ikatannya
digantikan ikatan C—D. Kedua ikatan tersebut akan bersifat
kimia sama karena yang terlibat adalah isotop dari unsur yang
sama, akan tetapi kerapan (frekuensi) vibrasinya, juga energi
disosiasinya, agak berbeda: makin besar mas sa-nya, makin kuat
ikatannya. Perbedaan kuat ikatan ini tentu tercermin pada laju
yang berlainan pada waktu pemutusan kedua ikatan kondisi yang
sama:. ikatan C—H yang lebih lemah akan diputuskan dengan
mudah daripada ikatan C—D yang lebih kuat. 'Perhitungan
mekanika kuantum memberikan beda laju maksimum kH/kD = 7
pada suhu 25°.

Oleh karenanya pada oksidasi ternyata terlihat bahwa Ph 2CHOH.


teroksidasi 6.7 kali lebih .cepat daripada Ph 2CDOH. Reaksi
demikian memperlihatkan efek isotop kinetik primer dan jelas
-bahwa pemutusan ikatan C—H terjadi dalam tahap penentu-laju
reaksi. Sebaliknya, benzena (C6H6) serta heksadenterobenzena
(C6D6) mengalami nitrasi dengan laju yang sama dan pemutusan
ikatan C—D yang harus terjadi pada suatu tahap dalam proses
keseluruhan,, dengan-- demikian, mustahil kalau terlibat dalam
tahap penentu-laju (bdk. hlm. 179).

Efek
isotop kinetik primer dapat diamati dengan pasangan isotop lain
pula di samping hidrogen/denterium, tetapi karena beda massa
nisbinya lebih kecil maka nilai maksimumnya akan lebih kecil
pula. Perlu ditekankan bahwa efek isotop kinetik primer
teramati secara eksperimental dengan nilai-nilai di antara nilai
hitungan maksimum dan satu (satu artinya tiada efek isotop): hal
ini pun berfaedah karena dapat memberikan data tentang
pemutusan ikatan tertentu pada keadaan
peralihan.
Isotop dapat pula dipergunakan untuk memecahkan masalah
mekanistik yang bukan kinetik. Hidrolisis berair pada ester yang
menghasilkan asam dan alkohol, secara teoretik, dapat
berlangsung dengan pembelahan (a) fisi alkil/oksigen, atau (b)
fisi asil/oksigen:

Apabila reaksi dilakukan dalam air yang diperkaya isotop


oksigen berat 180, (a) akan terbentuk- alkohol yang diperkaya 180
dan asam, yang tidak diperkaya, sedangkan (b) menjadi - asam.
diperkaya 180 tetapi alkoholnya normal.- Kebanyakan esterr-
sederhana ternyata menghasilkan asam yang diperkaya 180 yang
memperlihatkan bahwa hidrolisis pada keadaan demikian
berlangsung melalui (b) fisi asil/ oksigen (film. 315). Perlu
ditekankan bahwa basil ini hanya akan sempurna bila asam
maupun alkoholnya begitu terbentuk tidak dapat
mempertukarkan oksigennya dengan air yang diperkaya 180; dan
memang itulah yang terjadi.

Air berat D20 acapkali dipakai untuk hal yang serupa. Dalam
reaksi Cannizzaro benzaldehida (film. 284). muncul pertanyaan
apakah atom hidrogen kedua yang terikat pada karbon dalam
molekul fenilmetanol (benzilalkohol, 9) yang terbentuk, berasal
dari pelarut (H20) atau dari molekul kedua benzaldehida.
Melakukan reaksi dalam D2O ternyata tidak menghasilkan
terbentuknya PhCHDOH. Dengan demikian, atom hidrogen
kedua tidak berasal dari air melainkan diperoleh dengan alihan
langsung dari molekul kedua benzaldehida.
Sejumlah besar tandaan-isotop lain, misalnya 3H(atau T), 13C, 14
C, 15N, 32P, 35S, 37Cl, 131I, dan sebagainya, juga telah digunakan
untuk menggali data mekanistik yang cukup penting; apalagi
isotop karbon yang sangat penting karena ungur ini terdapat
dalam senyawa organik. Kesukaran utama dalam hal kajian
tandaan-isotop ialah: (a) memastikan bahwa tandaan bergabung
hanya di posisi yang diinginkan pada .senyawa yang diuji dan (b)
mendapatkan kepastian ke mana tandaan bereaksi pada produk
setelah reaksi berlangsung.
Pemilihan cara-cara sintesis modern semakin diperketat, (a)
ditiadakan dan (b) tetap merupakan masalah utama; terutama bila
digunakan isotop karbon, karena atom karbon selalu terdapat
dalam semua senyawa organic. Isotop 24C acapkali digunakan
dalam penelaahan lintasanbiosintetik yaitu jalur yang digunakan.
oleh organism hidup untuk menyusun molekul yang sangat rumit
yang mungkin didapat darinya.
Jadi beralasan untuk mempercayai bahwa senyawa pentasiklik
sterigmatosistin, diperoleh dari biakan beberapa jamur, yang
dibentuk dari molekul asam etanoat secara bertahap.
Tidak lama kemudian, ini dapat ditentukan dengan percobaan-
percobaan degradasi terseleksi yang sangat sulit dan kadang-
kadang tidak meyakinkan; tetapi kehadiran spektroskopi Talunan
Magnet Inti (TIM, nmr) karbon sekarang telah dapat
menentukannya. Tidak satu pun baik isotop 12C maupun 14C
menghasilkan isyarat TIM/nmr, tetapi isotop 13C yang terdapat
pada karbon biasa hingga taraf 1.11% dapat menghasilkannya.
Sehingga dengan instrumentasi yang cocok dimungkinkan untuk
-inencatat spektra TIM/nmr 13C dari semua karbon yang
dikandung oleh suatu senyawa (karena kandungan 13C-nya
1.11%): masin-g-masing atom atau gugus karbon menunjukkan
letak .atom karbon pada molekul yang dihasilkan dengan isyarat
yang berbeda.
Jadi spektrum 13C sterigmatosistin normal dapat dibedakan
dengan spektra molekul hasil eksperimen pemberian makanan
yang terpisah dengan menambahkan 13C pada (a) 13 CH3CO2H
dan (b) CH313CO2H. Sekarang, masing-masing karbon
memperlihatkan penambahan isyarat 13C, karena itu dapat
diidentifikasi:

Dengan mengetahui yang mana dari kedua atom karbon molekul


CH CO
3 2H bergabung pada posisi mana dari sterigmatosistin,
menjadi mudah untuk membuat pengertian yang berhubungan
dengan lintasan sintetik yang dilakukan oleh biakan jamur.
Sekaligus juga diperlihatkan bahwa karbon metil gugus *CH30
tidak berasal dari CH3CO2H.

2.3.4 Kajian zat-antara


Salah satu' bukti kongkret yang dapat diperoleh tentang
mekanisme suatu reaksi ialah dengan isolasi (pengambilan) satu
atau lebih zat-antara dari campuran reaksi. Misalnya dalam
reaksi Hofmann (hlm. 161) yang dapat mengubah amida menjadi
amina dimungkinkan untuk mengisolasi N-bromoamida
(
RCONHBr). anionnvn (RCONBr3) serta suatu isosianat
(RNCO);,. sehingga akan dapat tersingkap mekanisme
menyeluruh tentang reaksinya. Tentu saja perlu dipastikan
bahwa jenis yang diisolasi benar-benar zat-antara—bukan
sekadar produk alternatif—yaitu dengan memperlihatkan bahwa
zat-zat tersebut dapat diubah (dalam kondisi reaksi normal)..
menjadi produk reaksi biasa, dengan laju yang setidaknya secepat
reaksi keseluruhan pada kondisi reaksi yang sama. Suatu hal
yang juga cukup penting dipastikan adalah bahwa jenis yang
terisolasi adalah zat yang ada pada lintasan reaksi langsung,
bukan sekadar ada dalam kesetimbangan dengan zat-antara
sebenarnya.
Sering terjadi bahwa zat-antara itu tak dapat diisolasi sama
sekali, tetapi hal ini tidak harus berarti bahwa di situ tak
terbentuk zat-antara. Bisa jadi, zat itu terlalu tidak mantap atau
hanya sangat sementara saja terjadi sehingga sulit diisolasi.
Adanya zat ini dapat dikaitkan dengan pengukuran fisik terutama
spektroskopik atas sistemnya. Pada pembentukan oksim dari
sejumlah senyawa karbonil oleh reaksi dengan hidroksilamina
(hlm. 289), pita serapan

infra-merah khas C-0 pada bahan-awal cepat lenyap, bahkan


sudah tidak ada sebelum pica. khas C--N dalam produk mulai
tampak. Dengan demikian, jelas telah terbentuk zat-antara dan
dari bukti lanjut tampak bahwa itu tidak lain ialah karbinolamina
(10), yang cepat terbentuk,

kemudian mengurai secara perlahan membentuk produk: oksim


dan air.
Bila keterlibatan suatu jenis zat-antara tak mantap , dalam reaksi
diragukan, maka dapat diperkukuh dengan memasukkan suatu
jenis zat reaktif. ke dalam campuran, reaksi dengan harapan zat-
antara, yang diharapkan itu akan cepat bereaksi. Dapat pula zat-
antara tak mantap, dibelokkan, dari lintasan reaksi utama untuk
memerangkap dan mengisolasi jenis mantap yang tergabung
dengan kuat di dalamnya. Maka di dalam hidrolisis
trikhlorometana, dengan basa, kuat (bdk. hIm.'59),
dikhlorokarbena (CC12) yang diperkirakan sebagai zat-antara tak,
mantap (hlm. 353) "diperangkap" dengan memasukkan jenis cis
but-2-ena (11) lalu. mengisolasi turunan siklopropana mantap
yang terjadi (12) yang pembentukannya sukar dilakukan dengan
cara lain:

Kajian yang berhasil atas zat-antara tidak sekadar meng-


hasilkan sate atau lebih tanda yang diperlukan untuk mentukan
lintasan terperinci yang dialami suatu reaksi tetapi zat-antaranya
sendiri juga merupakan penguat keadaan alihan yang dijadikan
model (bdk. h1m. 53).

2.3.5 Prasyarat stereokimia


Data kejadian stereokimia yang diikuti oleh reaksi kimia tertentu
dapat memberikan pemahaman mekanisme serta kriteria dan
prasyarat yang harus dipenuhi oleh skema mekanistik yang
hendak dipakai. Oleh karena itu, dalam brominasi keton aktif
optik (13) terkatalisis basa seperti, yang menghasilkan produk
rasemat tak aktif optik; menun- jukkan bahwa reaksi pasti terjadi
lewat zat-antara menyebidang (planar) yang dapat mengalami
serangan dari kedua sisi sama baik dan menghasilkan dua jenis
produk saling bayangan-cermin dalam jumlah yang sama
banyak. Kemudian ternyata bahwa siklopentena (14) yang
ditambahkan pada brom dengan kondisi mengutub hanya dapat
menghasilkan trans dibromida (15) saja, berarti mekanisme
reaksinya tak mungkin yang hanya sekadar penambahgugusan
satu-tahap langsung/sederhana molekul brom ke dalam ikatan
rangkapnya, karena jika begitu pasti cis dibromida
Penambahgugusan setidaknya harus merupakan proses duatahap
(bdk. hlm. 235). Reaksi seperti ini, yang terutama memberikan
(bahkan seluruhnya) saw stereoisomer dari dua kemungkinan
yang ada, disebut stereoselektif.

Banyak reaksi penyingkirgugusan lebih mudah terjadi pada


anggota sepasang isomerida geometrik di mana atom atau gugus
yang hendak disingkirkan trans satu sama lain daripada pada
isomer di mana atom atau gugus yang disingkirkan berada dalam
bentuk cis (hlm. 296). Sebagaimana terlihat pada mudahnya
penyingkirgugusan aldoksim asetat yang anti dan syn untuk
menghasilkan sianida yang
sama:

Dengan demikian, menjadi jelas batasan yang harus dipatuhi


oleh mekanisme reaksi yang bersangkutan dan memberikan
dasar kokoh atas "kimia lasso",, maksudnya: gugus-gugus yang
letaknya satu sama lain paling dekat adalah gugus-gugus yang
paling mudah tersingkirkan:

Derajat keberhasilan suatu mekanisme yang boleh dikatakan


menentukan jalannya suatu reaksi tertentu tidak hanya ditentukan
oleh kemampuannya dalam menjelaskan fakta tertentu. Uji asam
berfungsi untuk mengetahui sejauh mana kiraan perubahan
kiraan laju akan berhasil, bahkan untuk mengetahui perihal
bentuk produknya apabila kondisi dilakukannya reaksi atau
struktur bahan awalnya, diubah. Beberapa mekanisme yang
hendak dibahas akan lebih baik daripada mekanisme lainnya,
akan tetapi keberhasilan menyeluruh tentang tinjauan mekanistik
terhadap reaksi organik tampak pada penerapan beberapa asas
petunjuk sederhana yang dapat menjelaskan dan menyalin sekian
banyak data tentang kesetimbangan, laju reaksi, dan kereaktifan
nisbi berbagai senyawa organik. Akan disajikan pula beberapa
contoh sederhananya.

3 Kekuatan Asam dan Basa


3.1 ASAM
3.1.1 pKa
3.1.2 sumber keasaman dalam senyawa organic
3.1.3 pengaruh pelarut
3.1.4 asam alifatik sederhana
3.1.5 asam alifatik tergantigugus
3.1.6 fenol
3.1.7 asam karboksilat aromatic
3.1.8 asam dwikarboksilat
3.1.9 pKa dan Suhu
3.2 BASA
3.2.1 pKb
3.2.2 pKBH dan pKa
3.2.3 basa alifatik
3.2.4 basa aromatic
3.2.5 basa lingkar serbaneka (heterosiklik)
3.3 KATALIS ASAM BASA
3.3.1 katalis asam khusus dan umum
3.3.2 katalis basa khusu dan umum

Teori – teori (elektronik) kimia organic modern dalam banyak


bidang telah berhasil dalam menjelaskan serta menimbalkaitkan
(korelasi) antara perilaku dengan struktur senyawa, termasuk
dalam menerangkan kekuatan nisbi asam dan basa organic.
Menurut definisi Arhhenius, asam ialah senyawa yang
menghasilkan ion hydrogen dalam larutan sedangkan basa
menghasilkan ion hodroksida. Perumusan semacam itu memang
memadai jika hanya dilihat dari reaksi – reaksi dalam air, akan
tetapi pengertian serta ketimbalkaitan asam basa tela lazim
digunakan dalam praktek sehingga konsep asam dan basa pun
makin diperluas dan lebih berlaku umum. Bronsted mengusulkan
bahwa asam ialah senyawa – senyawa pemberi proton (donor
proton) sedangkan basa ialah penerima proton (akseptor proton).
Pemberian yang lebih umum lagi disampaikan oleh Lewis, yang
mendefinisikan asam sebagai molekul atau ion yang sanggup
mmelakukan koordinasi dengan pasangan electron bebas,
sedangkan basa ialah molekull atau ion yang memiliki pasangan
electron tersebut untuk dikoordinasikan.

3.1 ASAM
3.1.1 pKa

kekuatan suatu asam HA dalam air, yakni kemampuan untuk


terurai (terdisosiasi), nilai konsentrasi [H2O] telah dimasukkan
dalam Ka, karena air yang ada sedemikian berlebih sehingga
tidak berubah secara berarti. Peru ditekankan bahwa tetapan
keasaman dalam air, hanyalah merupakan pendekatan karena
diperunakan harga kepekatan (konsentrasi). Sebetulnya
sebetulnya akan lebih tepat bila digunakan aktivitas. Tetapan
kesetimbangan dipengaruhi oleh susun kandungan (komposisi)
pelarut dan oleh banyak factor lain. Kan tetapi harga Ka ini dapat
ditunjuk sebagai kekuatan asam. Untuk menghindari 10 pangkat
negative, digunakan pKa (pKa = -log 10Ka); makin kecil harga
pKa suatu asam makin kuat asam tersebut.

3.1.2 Sumber keasaman dalam senyawa organic

Faktor – factor yang mempengaruhi keasaman senyawa –


senyawa organic HA adalah
(a) Kekuatan ikatan H – A
(b) Keelektronegatifan A
(c) Factor – factor yang memantapkan A- dibandingkan
terhadap A
(d) Sifat – sifat pelarut

(a) Bukan satu – satunya factor pembatas. Sementara pengaruh


(b) tercermin pada kenyataan bahwa pKa metanol, CH 3OH = 16,
sedangkan metana = 43. Hal ini karena oksigen lebih
elektroonegatif daripada karbon. Sebaliknya, pKa asam metanoat
(asam format) = 3.77. ini karena gugus kkarbonil yang menarik
electron meningkatkan afinitas atom oksigen yang protonnya
mulai diserang. Tetapi yang lebih penting ialah (c): pemantapan
ion metanoat dibandingkan molekul asam metanoat yang tak
terurai :
Dalam peristiwa delokalisasi anion metanoat yang
mengakibatkan terjadinya pemantapan, seolah – olah terbentuk
dua struktur kanonik dengan energy yang sama. Meskipun
delokalisasi dapat berlangsung juga dalam molekul asam
metanoat, tetapi ini melibatkan pemisahan muatan dan akibatnya
kurang berhasil guna sebagai pemantap (bdk hlm.26). pengaruh
pemantatapan diferensial akan menghambat pengabung-ulangan
proton dengan ion metanoat. Kesetimbangan akan bergeser
kekanan; menurut tinjauan kimia organik, asam metanoat adalah
asam yang cukup kuat.
Dalam alkohol-alkohol, tidak ada faktor serupa yang
memantapkan anion alkoksida RO- dibandingkan dengan
alkoholnya sendiri. Alkohol jauh kura sifat keasamannya bila
dibandingkan dengan asam karboksilat. Tetapi dalam fenol, ada
lagi kemungkinan pemantapan anion (2) dengan delokalisasi
muatan negatif lewat antaraksi dengan orbital π cincin
aromatik:
Delokalisasi juga terjadimolekul dalam fenk tenol tak
trurai (tak terdelokalisasi) (bdk. Hlm.31). karena melibatkan
pemisahan muatan, maka delokalisasi ini kurang menghasil-guna
dibandingkan dengan anion (2). Akibatnya, fenol memang lebih
asam daripada alkohol, (harga pKa fenol = 9,95) tetapi lebih
lemah daripada asam karboksilat. Hal ini disebakan oleh suatu
kenyataan bahwa delokalisasi muatan negatif anion karboksilat
melibatkan struktur dengan kandungan energi yang sama (lihat
di atas) dan pusat muatan negatif melibatkan dua atom oksigen
dengan keelektronegatifan yang tinggi. Sedangkan dalam anion
fenoksida (2) strukturnya melibatkan muatan negatif pada atom-
atom karbon inti dengan kandungan energi lebih tinggi daripada
yang terkandung pada oksigen. Lagi pula pusat muatan disini
hanya melibatkan satu atom oksigen dengan keeletronegatifan
yang tinggi. Pemantapan nisbi anion─bila dibandingkian dengan
molekul tak terdisosiasi─ini nampaknya kurang berhasilguna
dalam fenol darioksilat pada dalam suatu asam karboksilat .
Akibatnya, keasaman fenol lebih rendah.
3.1.3 Pengaruh Pelarut
Di atas telah dibahas tentang pengaruh corak struktur
pada suatu senyawa asam, tetapi g pada kenyataan lain yang
berperan sebagai penentu sering kali adalah pelarut, apalagi jika
pelarutnya air.
Sebagai pelarut senyawa organik, air mempunyai sifat-
sifat yang kurang sempurna, yaitu beberapa senyawa organik tak
cukup terlarut dalam air bila dalam bentuk tak terionisasi. Akan
tetapi, selain keterbatasanya, air adalah satu-satunya pelarut yang
mengionkna dengan baik karena : (a) mempunyai tetapan
dielektrik yang tinggi (€=80) dan (b) kemampuannya melarutkan
ion. Sifat yang pertama berpengaruh karostakena makin tiggi
tetapan dielektrik (”ke-mengkutuban”) makin rendah energi
elektrostatik setiap pasangan ion yang ada di dalamnya.
Akibatnya pasangan ion mudah terbentuk, sehingga makin
mantap dalam bentuk larutan dan oleh sebab itu sukar bergabung
satu sama lain.
Ion-ion akan mengutubkan molekul-molekul pelarut
dengan kuat sehingga terbentuklah ”selimut” solvasi yang terdiri
atas molekul-molekul pelarut disekelilingnya. Makin kuat gejala
ini, makin stabil ionnya, dan kemudian memantapkan diri
dengan cara menyebar muatan atau mendelokalisasi muatannya.
Berhasilgunanya air sebagai medium pelarut ion, ditimbulkan
dari kemudahan air untuk terkutubkan dan juga kecilnya ukuran.
Karena itulah H2O dapat mensolvasi dan memantapkan kation
maupun anion. Gejala ini terlihat dengan jelas dalam anion-
anionya karena terjadi solvasi jenis hidrogen-terikat dengan kuat.
Jenis solvasi H-terikat yang serupa tidak dapat terjadi pada
kebanyakan kation, tetapi dalam asam, kation H+, dapat
tersolvasi secara ikatan hidrogen dengan molekul pelarut air
sebagai berikut :

Alkohol, bila idak terlalu ”penuh-sesak”, misalanya


metanol (CH3OH) mempunyai kemampuan seperti air. Sebagai
contoh, HCl akan sangat kaut sebagai asam dalam metanol. Akan
tetapi ahrus diingat bahwa syarat utama sebagai pelarut adalah
kemampuannya untuk berfungsi sebagai basa. Makin lemag
basa, makin kecil kemungkinan terjadinya disosiasi asam.
Dengan demikian, akan kita temukan, misalnya dalam metil
benzena (toluena), HCl hampir tidak terdisosiasi seluruhnya.
3.1.4 Asam Alifatik Sederhana
Penyusunan-ulang atom hidrogen bukan hidroksil dari
asam metanoat oleh suatu gugus alkil dapat diduga menghasilkan
suatu asam yang lebih lemah, karena pengaruh imbas (induksi)
gugus alkil pemberi elektron akan mengurangi afinitas elektron
atom oksigen pembawa proton yang baru, sehingga kekuatan
asam berkurang. Didalam anion tergantigugus alkil, peristiwa
bertambahnya ketersediaan elektron pada oksigen akan
meningkatkan pengabung-ulangnya dengan proton, bila
dibandingkan dengan sistem asam metanoat/anion metanoat.

Diharapkan kesetimbangan bergeser ke kiri bila


dibandingkan dengan asam metanoat/anion metanoat. Teryata
didapat bahwa pKa asam etanoat = 4,76 sedangkan asam
metanoat = 3,77. Meskipun demikian, derajat perubahan
struktural didalam molekul sekecil asam metanoat bila H diganti
CH3, menimbulkan keraguan apakah pendapat yang sederhana
itu benar. Barangkali kebolehjadian solvasi nisbi dalam dua hal
ini dipegaruhi oleh bentuk-bentuk yang berbeda dari kedua
molekul kecil itu (sebagaimana pula oleh tebaran muatan nisbi di
dalamnya).
Perlu diingat bahwa harga tetapan keasaman, Ka, suatu
asam mempunyai hubungan dengan perubahan energi bebas

baku untuk ionisasi, ΔG dengan persamaan :
─∆G─ = 2,303 RT log Ka
Dan bahwa G─ sudah mencakup besaran entalpi dan entropi :
∆G─ = ∆H─ ─T∆S─
Ditemukan bahwa untuk ionisasi asam etanoat dalam air
pada suhu 25oC (Ka = 17,6 × 10 -5), ∆G─ = 27,2 kJ (6,5 kkal),
∆H─ = ─0,5 Kj (0,13 kkal), dan ∆S ─ = ─92 J (22 kal) der-1
[yakni T∆S─ = ─27,6 kJ (6,6 kkal)]. Untuk asam metanoat (Ka =
1,79×10-5), ∆G─ = 21 kJ (5,1 kkal), ∆H─ = ─0,3 Kj (0,07 kkal),
dan ∆S─ = ─74 J (18 kal) der-1 [yakni T∆S─ = ─21,3 kJ (5,17
kkal)]. Harga ∆H─ teryata sangat kecil. Ini karena energi yang
digunakan untuk disosiasi ikatan O─H dalam asam karboksilat
diimbangi oleh energi yang terbentuk dalam solvasi ion-ion
terhasil.
Beda ∆G─, jadi juga berbedanya Ka bagi kedua asam,
diakibatkan karena perbedaannya entropi (∆S─). Ada dua jenis
pada tiap ruas kesetimbangan dan perbedaan entropi translasi
akan menjadi kecil. Tetapi kedua jenis tersebut merupakan
molekul netral pada ruas kessetimbangan yang satu dan ion-ion
pada ruas yang lain. Jadi hal utama yang ikut menentukan ∆S─
adalah lapisan solvasi molekul air yang mengelilingi RCO2─ dan
H3O+. Hal itu menyebabkan bertambahnya keteraturan atas
molekul pelarut air. Keteraturan itu tidak sebesar seperti yang
diperkirakan; sebagaimana keteraturan dalam air sendiri.
Perbedaan kekuatan antara asam metanoat dan asam etanoat
benar-benar berhubungan dengan solvasi diferensial anionya
seperti diterangkan di atas.
Penggantigugusan alkil lebih lanjut dalam asam etanoat
mempunyai pengaruh yang lebih kecil daripada penganti-
gugusan alkil yang pertama. Pengaruh itu rupanya merupakan
gejala sekunder. Pengaruh kekuatan asam, tidak selalu teratur.
Pengaruh ruang dan pengaruh lainnya ikut berperan. Nilai pKa
teramati sebagai berikut :
Me2CHO2H
Me3CO2H
4-86 5-
05

CH3CO2H MeCH2CO2H
4.76 4-88
Me(CH2)2CO2H
Me(CH2)3CO2H
4.82
4-86
Jika atom karbon berikatan rangkap secara bersebelahan
dengan gugus karboksil, maka kekuatan asam akan bertambah.
Asam propenoat (asam akrilat), CH2═CHCO2H, mempunyai pKa
= 4,25. sebagai perbandingan pada senyawa sejenis yang serupa,
tetapi ikatan jenuhnya yaitu asam propanoat, mempunyai pKa
=4,88. Ini disebabkan suatu kenyataan bahwa atom karbon - α
tak-jenuh mempunyai orbital sp2 terhibridisasi, yang artinya
bahwa elektron-elektron akan lebih tertarik pada inti karbon
daripada dalam atom jenuh terhibridisasi sp3 karena adanya
sumbangan orbital s yang agak lebih besar dalam sp2; maka asam
propenoat meskipun lebih lemah daripada asam metanoat, tetapi
lebih masih kuat daripada asam propanoat. Pengaruh ini lebih
nampak lagi pada atom karbon terhibridisasi sp1 dan atom
karbon rangkap tiga. Maka pKa asam propanoat (asam propiolat)
HC≡CCO2H, adalah 1,84. Keadaan yang serupa terjadi pada
atom-atom hidrogen etena dan etuna. Etena sedikit lebih asam
daripada etana dan etuna amat bersifat asam hingga H dapat
diganti oleh beberapa logam. (bdk.hlm.361).
3.1.5 Asam Alifatik Tergantigugus
Pengaruh gugusganti yang menarik elektron terhadap
asam alifatik sederhana dapat diterangkan secara jelas. Itu
halogen yang mempunyai pengaruh imbas berlawanan arah pada
gugus alkil, dapat diduga tinggi kekuatana asam tergantigugus.
Pengaruh halogen-halogen yang berbeda diharapkan dapat
teratur. Fluor yang paling elektronegatif (paling menarik
elektron) menaikan kekuatan asam seratus kali, misalnya dalam
asam fluoretanoat bila dibandingkan dengan asam etanoat.
Pengaruh itu jauh lebih besar daripada─yang dihasilkan dengan
memsukkan gugus alkil. Pemasukan halogen-halogen lebih
lanjut akan sangat menaikkan kekuatan asam. Sebagai contoh :
asam trikloroetanoat merupakan asam yang sangat kuat.
Patut diingat, bahwa harga Ka (dan juga pKa)
mempunyai hubungan dengan ∆G─ untuk ionisasi, juga bahwa
∆G─ sudah terdiri dari ∆H─ maupun ∆S─. Dalam urutan asam-
asam etanoat tergantigugus halogen, terlihat bahwa perubahan
dalam ∆G─ bervariasi sesuai ∆S─.-nya. Penyebab atas hal ini
adalah atom halogen gugusganti yang berpengaruh terhadap
delokalisasi muatan negatif pada seluruh anion.

Sehubungan dengan itu, anion menyebabkan batasan


yang lebih longar terhadap molekul air yang mengelilinginya,
dibandingkan dengan anion etanoat tak tergantigugus yang
muatannya terpusatkan dan yang praktis hanya terikat pada
CO2─. Dengan demikian, terjadilah penurunan entropi yang lebih
kecil pada ionisasi etanoat tergantigugus halogen daripada pada
asam etanoat itu sendiri. Terlihat pada CF3CO2H (pKa 0,23)
yang ∆G─ ionisasinya = 1,3 Kj (0,3 kkal) dibandingkan dengan
27,2 Kj (6,5 kkal) untuk CH 3CO2H, sedangkan harga ∆H─ untuk
kedua asam ini sedikit berbeda satu terhadap yang lainnya.
Pemasukan halogen lebih lanjut pada kedudukan lebih
jauh daripada posisi- α terhadap karboksil, hanya berpengaruh
kecil. Pengaruh imbasan dengan cepat dapat hilang disepanjang
rantai jenuh, akibatnya muatan negatif menjadi kurang menyebar
sehingga lebih terpusatkan pada anion karboksilat. Maka
asamnya makin menyerupai asam alifatik sederhana. Gugus lain
penarik elektron adalah R3N+, CN, NO2, SO2R, CO, CO2R, yang
dapat mempetinggi kekuatan asam-asam alifatik sederhana,
sebagaimana gugud hidroksi dan metoksi. Elektron-elektron
bebas atom-atom oksigen pada gugus hidroksi dan metoksi, tidak
dapat memberikan pengaruh mesomeri dalam arah berlawanan
dengan pengaruh imbasannya, karena adanya atom-atom karbon
jenuh yang cuckup menggangu.
3.1.6 Fenol
Pengaruh-pegaruh serupa dapat diamati pada fenol
tergantigugus yakni adanya gugus penarik elektron pada inti
yang akan menaikkan keasamanya. Untuk suatu gugusganti
nitro, pengaruh imbasan diduga akan turun berdasarkan jaraknya
o─ → m─ → p─ nitofenol. Tetapi akan ada pengaruh mesomeri
yang menarik elektron pada gugus o─ atau p─ pula, meski tidak
pada posisi m─. Hal ini akan menyebabkan ionisasi karena
peristiwa pemampatan (meskipun delokalisasi berpengaruh juga)
anion berhail. Maka dapat diduga bahwa o─ dan p─ nitrofenol
akan lebih asam daripada m. Dan ini memang benar. Masuknya
gugus NO2 lebih lanjut, akan menaikkan keasaman dengan jelas,
dengan demikian 2,4,6-trinitrofenol (asam pikrat) memang
sangat asam :

∆H─ untuk o─, m─ dan p-nitrofenol memang berbeda-


beda, tetapi perbedaannya sangat kecil. Harya ∆G ─ juga terlihat
berbeda, sebagai akibat naiknya perbedaan T∆S─ yaitu karena
bermacamnya pola solvasi ketiga anion, yang mana sehubungan
dengan perbedaan tebaran muatan negatifnya.
Pemasukan gugus alkil pemberi elektron pada inti
benzena terlihat kecil pengaruhnya

pKa
C6H5OH 9-95
o-MeC6H4OH 10-28
m-Me C6H4OH 10-08
p- Me C6H4OH 10-19

Fenol terganti gugus yang terjadi merupakan asm sedikit lemah,


hanya sebagai pengaruh tepian (marginal) saja dan sifatnya tidak
teratur. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh gugus ganti yang
akan menghilangkan sifat kemantapan dari fenoksida, yaitu
dengan mengganggu antaraksi muatan negatifnya dengan
orbital-orbital inti aromatic yang terdelokalisasi, ternyata kecil
saja sebagaimana yag diperkirakan.

3.1.7 Asam Karboksilat Aromatik


Asam benzoat dengan nilai pKa 4.20 ternyata lebih asam
daripada senyawa analognya yang jenuh, misalnya asam
karboksilat sikloheksana (pKa = 4..87). Diperkirakan bahwa pada
suatu gugus fenil, sebagaimana dalam ikatan rangkap, disini
kurang memberi elektron dibandingkan dengana tom karbon
jenuh kepada gugus karboksilatnya. Hal ini merupakan akibat
atom karbon terhibridisasi SP2 tempat terikatnya gugus karboksil
(bdk. Hlm. 77). Masuknya gugus alakil ke dalam inti benzene
mempunyai pengeruh yang sangat kecil terhadap kekuatan asam
benzoate (bdk. Masuknya gugus serupa pada fenlo, hlm.80),
tetapi gugus penarik

pKa
C6H5CO2H 4.20
m-Me C6H5CO2H 4.24
P- Me C6H5CO2H 4.34
Elektron akan mempertinggi kekuatannya. Pengaruh seperti itu,
misalnya pada fenol, terlihat hebat pada posisi o- dan p- :
Pengaruh yang nyata pada o-NO2 mungkin karena jarak yang
sangat dekat, dengan gaya imbasya yang sangat kuat. Meskipun
demikian, antraksi lebih langsung atara gugus NO2 dan CO2H
yang bersebelahan tak dapat diabaikan.
Terdapatnya gugus seperti OH, OMe, atau halogen mempunyai
pengaruh imbasan karena menarik elektron, tetapi pada
kedudukan o- dan p- dapat memberi pengaruh mesomeri dan
bersifat sebagai pemberi elektron, dengan demikian
menyebabkan asam-asam terganti gugus-gugus p- menjadi lebih
lemah m-, bahkan terkadang dapat lebih lemah daripada yang tak
tergantigugus. Contoh : asam hidroksibenzoat:

Perlu diperhatikan bahwa pengaruh imabangan ini akan lebih


nyata pada Cl ~ Br →OH yakni urutan makin mudahnya atom
yang teriakat ke inti dan akan terpisah dari pasangan
elektronnya.
Penting dicamkan bahwa seperti kejadian diatas, mungkin
pengaruh tebaran muatan yang berbeda dalam anion-anionnya
pada pola solvasinyalah- yakni pada T∆S O itu yang berkaitan
dengan derajat keteraturan imbasan setempat dalam molekul
pelarut-yang menyebabkan perbedaan pKa.
Sifat asam terganti gugus-o seperti diatas terkadang laindaripada
yang lain. Kekuatannya kadang-kadang lebih besar dripada
seperti apa yang kita duga semula, karena antaraksi langsung
antara gugus-gugus yang bersebelahan. Maka ikatan hidrogen
antara molekul (bdk. Halm.470 memantapakan anion (4) dari
asam o-hidroksibenzot (salisilat) (3) dengan mendelokalisasi
muatannya. Suatu hal yang tidak terjadi baik pada isomer m- dan
p- maupun pada asam o-metoksibenzoat:

Mungkin katan hidrogen intramolekul dapat berada daam asam


yag tak terdisosiasi seperti halnya dalam anion, tetapi perlu
diingat bahwa dalam anion lebih berhasil guna (efektif0 daripada
dalam molekul. Akibatnya terjadi pemantapan nisbi karena
muatan negative pad oksigen dalam anion akan menyebabkan
ikatan hidrogen akan lebih kuat. PeNgaruh ini lebih jelas lagi
jika ikatan hidrogen dapat terjadi dengan gugus hidroksi pada
kedua posisi-orto; jadi asam 2.6-dihidroksi-benzoat mempunyai
pKa =1.30

3.2.8 Asam Dikarboksilat


Karena gugus karbosil sendiri mempunyai pengaruh imbasan
yang menarik elektron, maka dengan adanya gugus karboksilat
yang kedua dalam asam diharapkan akan mempertinggi
keasaman.

Disosiasi kedua pada asam trans-butendioat (pK a2 = 4. 38) lebih


mudah terjadi daripada asam cis-butendioat (pKa2 = 6. 23) karena
seakin sulit perpindahan proton adri sistem lingkar bermuatan
negative dalam anion (70 yang diturunkan dari asam cis-
butendioat. Asam-asam etanadioat (asam oksalat), propane-1,3-
dioat (asam malonat) dan butan-1,4-dioat (asam suksinat)
merupaka asam-asam yang lebih lemah dalam disosiasi kedua
kalinya, ila dibandingkan asam-asam metanoat, etanoat, dan
propanoat. Hal ini karena proton yang kedua mesti dipindahkan
dari jenis yang yang bermuatan negative yang mengandung
gugus anti pemberi elektron yakni CO2o, yang mungkin
diperkirakan akan menghilangkan kematapan anion dari asam
tak terdisosiasinya; bila dibandingkan dengan sistem yang tak
tergantigugus adalah sebagai berikut:
3.1. 9 pKa dan Suhu
Diatas telah dibahas (hlm 73) bahwa nilai K a dan nilai pKa suatu
asam bukan merupakan besaran/sifat intrinsic dari jenis itu
sendiri, karena dalam pelarut yang satu atau yang lainnya, harga
Ka bermacam-macam. Nilai ini bergantung pada sistem secara
keseluruhan di mana asammerupakan salah satu penyusunnya.
Nilai-nilai ini biasanya digunakan untuk larutan dalam air,
kecuali bila disebutkan lain, karena semua data yang ada untuk
pelarut air. Hamper semua data digunakan pada suhu 25 0C, hal
ini karena data-data itu diperoleh pada suhu tersebut. Harga K a
bergantung pada suhu, maka untuk menyatakan tetapan
kesetimbangan perlu disertai suhunya. Telah duraikan diatas
dengan cukup jelas perihal urutan keasaman nisi berbagai
kelompok asam, juga ketimbal kaitanya (korelasi) dengan
struktur. Perlu dicamkan bahwa bukan hanya harga K a saja yang
bergantung pada suhu. Harga Ka juga bervariasi secara nisbi
terhadap yang lain: asam etanoat adalah asam lebih lemah
daripada EtCHCO2H pada suhu dibawah 30 0C. berbalik
keasaman nisbi dengan pengubahan suhu seperti itu ternyata
sering dijumpai; sekligus dianjurkan agar tak perlu repot-repot
seperti membelahi rambut tipis, mencari jarum di tumpukan
jerami, hanya untuk memusingkan kaitan keasaman nisbi
dengan strukturnnya pada 25 0C.*)

3.2 BASA
3.2.1 pKb, pKBHo, dan pKa
Kekuatan basa B: dalam air dapat ditentukan berdasarkan
persamaan berikutt:

B: + HOH BH+ + -OH


Tetapan kesetimbangan dalam air KB:
[ BH + ] [ − OH ]
K b≈
[ B :]
[H2O] dimasukkan ke dalam persamaan Kb karena air yang ada
sedemikian berlebih sehingga kepekatannya dapat dianggap
tetap. Disini kepekatan dapat digunakan meskipun sebenarnya
yang lebih tepat adalah keaktifan, asalkan larutannya cukup
encer.
Sekarang, telah biasa istilah Ka dan pKa dipakai juga untuk
menerangkan kekuatan basa. Dengan cara demikian, terdapat
suatu skala tunggal yang sinambungunutk asam dan basa. Untuk
memungkinkan hal ini, digunkan kesetimbangan :

BH+ + H2O: B: + H3o+

Yang dapat ditulis ;


+
[ B :][ H3O ]
K a= +
[ BH ]
Ka (dan pKa) merupakan ukuran kekuatan asam dari asam
konjugat (BH+) basa B : ukuran ni menunjukkan kesiapan BH -
untuk menarik proton, sebaliknya merupakan uuran melemahnya
kesiapan basa B; yang lebih lemah berfungsi sebagai basa. Jadi
harga pKa yang semakin kecil untuk BH +, pihak yang lemah B:
berfungsi sebagai basa. Bila digunakan tanda pK, kebasaan B:
dinyatakan dengan istilah pKBH+, tetapi lebih lazim-tetapi tidak
tepat-bila menuliskannya secara sederhana sebagai pK a, sebagai
contoh pada NH4+ dengan harga keasaman pKa sebesar 9. 25

NH4+ + H2O: NH3 + H3O+


Disini diperoleh bahwa ∆G- = 52.7 kJ (12.6 kkal), ∆H- = 51.9 kJ
(12.4 kkal) dan ∆S—2.9 j (0.7 kal)der-1 [yakni T∆So=-0.8kJ
(0.2kkal)] pada 25 0C. maka kesetimbangan di atas sangat
ditentukan oleh ∆H-. pengaruh ∆S- tetap ada, tetapi
kecil/diabaikan. Hasilnya disini jelas amat berbeda bahkan
bertentangan dengan yag selama ini dibahas (halaman 760.
Alasan kecilnya pengaruh ∆S- ialah adanya suatu jenis muatan
(ion positif) pada masing-masing ruas kesetimbangan dan ion-
ion inimempunyai pegaruh yang sepadan terhadap molekul
pelarut air yang mengelilinginya, sehingga entropi solvasi
cenderung saling meniadakan.
3.2.2 BASA ALIFATIK
Meningkatnya kekuatanbasa nitrogen berkaitan dengan
kesiapannya mengambil proton, maka etersedian pasangan
elektron bebas dapat diharapkan meningkatkan kekuatan basa,
secar berurutan berikut: NH3 → RNH2 → R2NH → R3N, akibat
meningkatnya pengaruh imbasan karena bertambahnya
gugusganti lkil, sehingga atom nitrogen menjadi lebih negatf.
Terlihat bahwa masuknya gugus alkil dalam ammonia dapat
meningkatkan kekuatan basa sangat nyta seperti diharapkan.
Masuknya gugus alkil kedua menaikkan kekuatan basa, tetapi
pengaruhya kurang kelihatan bila dibandingkan degan pengaruh
yang pertama. Tetapai masuknya gugus alkil yang ketiga untuk
menghasilkan amina tersier ternyata menurunkan kekuatan basa
dua kelompok/uraian amina di atas. Ini ditunjukkan dari
kenyataan bahwa kekuatan basa suatu amina dalam air tidak
hanya ditentukan oleh ketersediaan elektron pada suatu atom
nitrogen, tetapi juga oleh sejauhmana kation yang terbentuk
karena pengambilan proton dapat mengalami solvasi sehingga
termantapkan. Semakin banyak atom hydrogen terikat pada atom
nitrogen sebagai kation, maka besar ula kemungkinan kekuatan
solvasi lewat ikatan hydrogen antar kation-kation nitrogen
tersebut dengan air; Meskipun pKa-nya dalam air berturut-turut
10.61,11.28,dan 9.87. garam-garam tetraalkilamonium 10.61,
11.28, dan 9.87. garam-garam tetraalkilamonium, missal R4N-I+
jika direaksikan dengan perak oksida lembap, AgOH,
menghasilkan larutan basa yang setara dengan alkali mineral.
Hal ini dapat dipahami karena basa yangdidapat, R 4N+-OH,
ikatannya terionisasi dengan sempurna karena tidak ada
kemungkinan seperti amina tersier dan sebgaianya, yang berubah
menjadi bentuk tak terionisasi.
+
R3 NH + −
OH → R3N: + H2O

Pemasukan gugus yang menarik elektron ke puat basa, missal Cl,


NO2 akan menurunka kebasaan karena pengaruh imbasan
penarik elektron(bdk.anilina tergantigugus di bawah, hlm 91)

Didapatkan ternyata bukan basa, karena adanya ketiga gugus


CF3 yang menarik electron dengan kuat.

Perubahan itu juga terlihat jelas pada C=O, karena tidak


hanya atom nitrogen dengan pasangan elektronnya yang terikat
pada gugus-gugus penarik electron lewat atom karbon
terhibridisasi sp2 (bdk.hlm.77),tetapi pengaruh mesomeri akibat
penarikan electron juga terjadi:

Maka amida-amida hanya merupakan basah lemah dalam air


(pKa untuk etanamida) (asetamida = 0,5) dan jika ada dua gugus
C=O menjadi imida, akan sangat jauh dari basa, bahkan
terkadang asam, dan cukup untuk bereaksi membentuk garam-
garam alkali. Contoh benzene -1,2-dikarboksimida (ftalomida,
8).

Pengaruh delokalisasi dalam meningkatkan kekuatan


basa suatu amina terlihat dalam guanidine, HN=C (NH2)2
(9),yang dengan kekecualian tetraalkilamonium hidroksida di
atas, dan merupakan salah satu basa organic kuat, dengan pKa
13.6. kedua molekul netral dan kationnya,H2N+ = C(NH2)2
(10), yang dihasilkan dari protonasi,termantapkan oleh pengaruh
delokalisasi tetapi dalam kation,muatan positif terbesar simetris
karena sumbangannya pada ketiga struktur hibrida yang tepat
setara dengan energy sama. Akibat tidak terjadinya delokalisasi
yang cukup memadai dalam molekul netral. (disertai dua struktur
penyumbang yang melibatkan pemisahan muatan), akan
menghasilkan kation yang sangat termantapkan, sehingga
membuat protonasi “secara energetic menguntungkan” dan
guanidine menjadi basa yang sangat kuat.

Keadaan yang mirip terjadi (=NH)NH2 (11):


Sementara pemantapan akibat delokalisasi dalam kation (12)
tidak diharapkan dapat berhasilguna seperti pada kation
guanidine (10),
Jika anilina terprotonkan, mustahil akan terjadi antaraksi yang
dapat menghasilkan pemantapan di dalam kation anilinium (14)
itu karena pasangan elektron dalam N tak ada lagi:

Molekul anilina akan


lebih termantapkan
daripada kation anilinum, sehingga “secara energetik tidak
menguntungkan “ bila anilina mengandung proton. Dengan
demikian, analina menjadi kurang kebasaannya (pKa = 4,62,
dibandingkan dengan sikloheksilamina, pKa = 10,68). Pengaruh
pelemahan basa biasanya makin mencolok bila gugus-gugus
fenil dimasukkan pada atom nitrogen; misalnya difenilamina
Ph2NH merupakan basa yang sangat lemah ( pKa = 0.8) dan
trifenilamina Ph3N biasanya tidak disebut basa sama sekali.

Tidak seperti halnya pemasukan pada amina alifatik, kenaikan


yang sedikit ini berjalan terus sehingga diperkirakan bahwa
pemantapan kation lewat solvasi ikatan hidrogen yang
bertanggung jawab terhadap sifat ketidakteraturan amina alifatik
berpengaruh sedikit terhadap pengaruh keseluruhan. Faktor yang
sangat menentukan kekuatan basa dalam anilina terganti gugus
alkil (tulisannya tidak jelas copyan sebagiannya terlipat).
Penarikan elektron terlihat lebih nyata lagi bila gugus nitro pada
posisi o- dan p- karena antaraksi pasangan electron bebas
nitrogen amino dengan system orbital π terdelokalisasi dalam inti
benzena akan diperkuat. Molekul netral yang relative
dimantapkan bila dibandingkan dengan kationnya,
mengakibatkan melemahnya sifat kebasaan. Sebagai contoh
nitroanilina ditemukan mempunyai nilai pKa sebagai berikut

Pengaruh pelemahan basa akan bertambah, bila gugus ganti


terletak pada posisi o-, sebagian karena dekatnya jarak pengaruh
imbasan, juga karena terjadinya antaraksi langsung baik secara
sterik maupun ikatan hidrogen dengan gugus NH2 (bdk. kejadian
asam benzoat terganti gugus –o; hal. 83). O- nitranilina
merupakan basa sangat lemah sehingga garam-garamnya mudah
terhidrolisis dalam larutan berair, sedangkan 2,4-dinitroanilina
tidak larut dalam asam berair sementara 2,4,6-trinitroanilina
menyerupai suatu amida: sehingga disebut pikramida dan mudah
terhidrolisis menjadi asam pikrat (2,4,6- trinitrofenol).

Dengan gugus ganti seperti OH dan OMe yang mempunyai


pasangan elektron bebas, dapat terjadi gejala mesomeri,
pemberian elektron yaitu sebagai penguat basa pada posisi o- dan
p-, tetapi tidak pada m-, dengan demikian anilina terganti gugus
pada p- adalah basa yang lebih kuat daripada gugus sama tetapi
pada m-. Sering pengaruh gugus ganti o- tidak seperti yang
diramalkan, hal ini merupakan akibat antaraksi denagn gugus
NH2, baik akibat pengaruh sterik/ruang maupun karena
pengutuban. Anilina terganti gugus ternyata mempuntai harga
pKa sebagai berikut:

Hal menarik yang terjadi pada 2,4,6-trinitro-N, N-dimetilanilina


(15) dan 2,4,6-trinitroanilina (16); yang disebut lebih dulu
merupakan basa kira-kira 40.000 kali lebih kuat daripada yang
disebut terakhir (sebaliknya, kebasaan N,N-dimetilanilina sedikit
berbeda dengan anilina), karena gugus NMe2 sangat berpengaruh
secara sterik (ruang) dengan gugus NO 2 yang sangat besar dalam
kedua posisi o-nya. Perputaran menyumbu antara ikatan atom
cincin-karbon dengan nitrogen menyebabkan atom-atom O pada
NO2 dan gugus Me pada MNe2 saling dapat berubah satu sama
lain, tetapi orbital p pada atom-atom N tidak sejajar lagi dengan
orbital p pada atom-atom cincin karbon. Akibatnya, geseran
mesomeri pasangan electron bebas pada MNe 2 ke atom-atom
oksigen dari gugus-gugus NO2 lewat orbital-orbital p atom-atom
karbon cincin (bdk hlm.92) akan terhambat, sedangkan
pelemahan kekuatan basa karena pengaruh mesomeri gugus
penarik elektron , tidak berlangsung. (bdk hlm.36). Pengaruh
yang memperlemah basa ketiga gugus nitro dalam (15) tidak lain
ialah pengaruh imbasannya.

Dalam 2,4,6-trinitroanilia (16), gugus NH2 cukup kecil sehingga


tidak ada batasan yang berarti pada senyawa tersebut. Ikatan
hidrogen antara atom-atom oksigen gugus o-NO2 dan atom-atom
hidrogen gugus NH2 dapat membantu menahan gugus-gugus ini
dalam kedudukan menyebidang yang di perlukan. Orbital-orbital
p memperoleh arah yang sejajar dengan kekuatan basa (16)
sangat melemah karena pengaruh mesomeri penarikan elektron
yang kuat oleh ketiga gugus NO2:
3.2.4 Basa Lingkaran Serbaneka (heterosiklik)

Piridina oN merupakan suatu senyawa aromatik (bdk.hlm 25 ) di


mana atom N merupakan sp2 terhibridisasi dan salah satu
elektronnya teresebar pada sistem 6 π e (4n + 2, n=1). Dengan
demikian satu pasangan elektron bebas yang tersedia pada
nitrogen (tertampung dalam suatu orbital terhibridisasi-sp2), dan
piridina bersifat basa (pKa = 5.21). Bila dibandingkan dengan
amina tersier alifatik, piridina ini jelas terlihat merupakan basa
yang jauh lebih lemah, (contoh Et3N, pKa = 10.75) dan
lemahnya ini ,merupakan ciri khas basa-basa yang atom
nitrogennya berikatan rangkap. Hal ini disebabkan karena
dengan semakin terikat rangkapnya atom nitrogen, maka
pasangan-pasangan elektron bebasnya tertampung dalam suatu
orbital yang lebih berciri s. Pasangan elektron akan tertarik lebih
dekat kearah inti nitrogenya dan terikat lebih kuat, sehingga
menjadi sukar berikatan dengan proton, akibatnya menurunkan
kebasaan senyawa-senyawanya (bdk. hal. 77). Urutan –N: ≡
N:, misalnya dalam R3N: C5H5N: RC ≡N:, pasangan-
pasangan elektron bebasnya berada di orbital-orbital sp3, sp2, dan
sp1 secara berturut-turut. Penurunan kebasaan dicerminkan oleh
kedua harga pKa diatas. Dan dalam kenyataannya kebasaan alkil
sianida memang terlalu kecil untuk dapat diukur (MeCN, pKa =
-4,3).

Akan tetapi kinuklinida (17), juga memiliki pasangan

Elektron bebas dalam orbital sp3 dan pKa-nya (10.58) sedikit


berbeda dengan trietilamina (10.88).

Pirol (18) memperlihatkan sifat aromatik (meskipun tak terlalu


menonjol seperti benzena atau piridina) dan tidak berperilaku
mirip diena terkonjugasi seperti yang diharapkan:

Agar kearomatikan seperti ini dapat terjadi, 6 elektron π (4n + 2,


n= 1) dari atom-atom cincin harus mengisi ketiga orbital molekul
ikatan (bdk. Hal. 24). Hal ini menuntut sumbangan dua electron
oleh atom nitrogen dan meskipun awan electron yang terjadi
akan berubah bentuk (“cacat”).

Jika hal ini dipaksakan pada pirol, protonasi berlangsung tidak


hanya pada atom nitrogen tetapi juga pada atom karbon-α (19).
Hal ini terjadi karena masuknya pasangan electron bebas dari
atom nitrogen ke dalam sistem aromatik 6 π e menyebabkan
atom nitrogen terkutub positif. Proton-proton cenderung
ditolaknya, sehingga proton-proton tersebut diambil oleh atom
karbon-α yang berdekatan. Sifat kebasaanya agak menyerupai
seperti yang telah diulas diatas, dalam hal aniline (hal 91), yaitu
kation (19) berkurang kemantapannya bila dibandingkan dengan
molekul netralnya (18a). Gejala ini lebih terlihat mencolok pada
pirol, sebab agar berfungsi sebagai basa maka ia harus
melepaskan semua sifat aromatik dari kemantapannya: hal ini
dinyatakan dalam nilai pKa = -0,27 dibandingkan dengan anilina
pKa = 4.62, jadi pirol sungguh merupakan basa lemah. Pirol
dapat berfungsi sebagai asam, meskipun lemah, hal ini karena
atom H pada gugus NH dapat diusir oleh basa kuat, misalnyan
NH2 dan anion yang dihasilkan (20) kemudian mempertahankan
sifat aromatik pirol, yidak seperti kation (19):

Pertimbangan seperti ini tentu saja tak berlaku bagi pirol


tereduksi secara sempurna menjadi pirolidina (21).

Yang ternyata mempunyai pKa=11.27 yang amat mirip


denagan dietilamina (pKa=11.4).

3.3 KATALISIS ASAM/BASA

Katalisis dalam larutan homogen (serba sama )telah dibahas


(hlm.54). peristiwa ini dapat berlansung dengan menciptakan
pilihan lintasan – reaksi yang membutuhkan energi lebih
rendah . peristiwa semacam ini sering lewat zat – antara baru
yang lebih mantap (energinya lebuh rendah):sejauh ini, yang
paling umum dan paling penting adalah katalis dalam kimia
organikyang berupa asam dan basa.

3.3.1 katalisis asam khusus dan umum

Kasus yang paling sederhana adalah bila laju suatu reaksi


ternyata [ H+],misalnya [H3O+] dalam media berair, maka laju
reaksi meningkat jika pH turun. Contoh yang umum
(bdk.hlm.276) adalah hidrolisis asetal sederhana misalnya
MeCH(OEt)2, yang mempunyai laju reaksi :

Laju =k[H3O+] [ MeCH(OEt)2]

Ini dikenal sebagai katalisis asam khusus,yang mana secara khas


H3O+ merupakan satu-satunya jenis asam yang mengkatalis
reaksi : laju reaksi ternyata tidak dipengaruhi oleh penambahan
pemberi proton (asam) seperti NH4+ dengan syarat bahwa
pengaruh H3O+ ,yakni pH ,tidak berubah secara tidak langsung
karena penambahan tersebut. Mekanisme hidrolisis asetal
tersebut adalah sebagai berikut:

dan katalisis asam khusus ternyata mempunyai ciri khas,yaitu


protonasi substratnya sebelum tahap reaksi lambat dan tahap
penentu laju, berlangsung cepat dan dapat balik (reversibel)

Telah dikenal reaksi yang dikatalisis tidak hanya oleh H3O+


saja,tetapi juga oleh asam-asam lain dalam sistem yang
sama,misalnya hidrolisis orto-ester seperti MeC(OE)3 dengan
adanya asam HA,yang dapat menunjukkan:

Laju= kH3O+ [H3O][MeC(OEt)3]+k HA [HA] [MeC(OEt)3]

Ini dikenal sebagai katalisis asam umum. Umum,karena katalisis


dilakukan oleh pemberi proton pada umumnya dan bukan H3O+
saja. Katalisis asam umum sering menjadi penting fungsinya
pada pH yang tinggi,misalnya pada pH 7 ketika [H3O+] =10
-7
,sedangkan [HA] dapat dari 1-2,molar.

Katalisis asam umum juga bisa berlangsung pada pH yang lebih


rendah,tetapi kemudian tertutup oleh

sumbangan proton dari H3O+ yang lebih besar/unggul.


Hidrolisis orto-ester berjalan (disini hanya ditunjukan dengan
HA,tetapi sebenarnya H3O+ berperan serupa),sebagai berikut:

Dan katalisis asam umum mempunyai ciri khas yaitu disertai


reaksi-reaksi dengan protonasi substrat lambat,yakni penentu-
laju,dan diikuti perubahan yang cepat dari zat-antara ke produk-
akhir.

3.3.2 Katalisis basa khusus dan umum

Pembedaan serupa dapat dilakukan pula pada katalisis oleh basa


seperti halnya oleh asam. Jadi dalam katalisis basa khusus, laju
reaksinya ternyata juga pH,akan tetapi di sini laju reaksi
menigkat jika pH membesar,yakni[-OH]. Maka kebalikan reaksi
kondensasi aldol (bdk.hl.295) diperoleh:

Laju =k[-OH][Me2C(OH)CH2COMe]

Dan reaksi mekanisme yang berlangsung adalah:

Dibandingkan dengan asam di atas, katalisis basa khusus


mempunyai sifat reaksi yang khas yaitu pelepasan proton dari
substrat sebelum tahapan yang lambat sebagai penentu laju
berlangsung cepat dan dapat balik.

Pada katalisis basa umum,basa-basa lain di luar -OH dapat


terllibat. Maka dalam brominasi aseton terkatalisis basa
(bdk.hlm.391) dengan zat penyangga (buffer) asetat,ternyata
diperoleh bahwa:

Laju =k-OH [-OH][MeCOMe]+kMeco2-[MeCO2-][MeCOMe

Dan reaksi yang terjadi:


Sekali lagi dibandingkan dengan asam di atas, katalisis basa
umum mempunyai ciri yaitu,reaksi yang lambat

pada waktu pelepasan proton dari substratnya,yang merupakan


penentu-laju,serta diikuti oleh perubahan yang cepat dari zat
antaranya menjadi produk akhir

Anda mungkin juga menyukai