Anda di halaman 1dari 8

MODEL IDEAL PEMBERANTASAN KORUPSI

DI KOREA SELATAN

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Budaya Anti Korupsi

Disusun Oleh:

Khofifah Indah Nur Aini P27220018063

Na’afi Qur’aini Fadlilah P27220018070

Saharista Munjayanah Pratiwi P27220018076

Shofin Nur’aini P27220018077

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURAKARTA

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN

2020
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Korupsi merupakan salah satu masalah sosial yang terdapat pada sebagian besar
sistem pemerintahan pada sebuah negara. Saat ini praktik korupsi bahkan dianggap
sebagai suatu budaya yang telah turun temurun bahkan sudah menjadi tradisi bagi
segolongan masyarakat (Lestari, 2017).
Banyak negara sepakat bahwa korupsi merupakan betuk kejahatan yang dapat
dikategorikan sebuah tindak pidana “luar biasa”. Disebut luar biasa karena umumnya
dikerjakan secara sistematis, punya aktor intelektual, melibatkan stakeholder di suatu
daerah, termasuk melibatkan penegak hukum, dan punya dampak “merusak” dalam
spektrum yang luas. Karakteristik inilah yang menjadikan pemberantasan korupsi
semakin sulit jika hanya mengandalkan aparat penegak hukum biasa, terlebih jika korupsi
sudah membudaya dan menjangkiti seluruh aspek dan lapisan masyarakat (Pohan, 2018).
Tindak pidana korupsi merupakan sebuah kejahatan yang secara kualitas maupun
kuantitasnya terus meningkat. Peningkatan jumlah tindak pidana korupsi tentu akan
sangat berpengaruh terhadap turunnya kualitas kesejahteraan masyarakat. Padahal negara
memiliki kewajiban untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dampak korupsi
yang demikian besar, dan merupakan masalah serius terhadap kesejahteraan masyarakat
harus menjadi tanggung jawab rakyat bersama seluruh elemen bangsa tanpa kecuali.
Sehingga ini juga menjadi tanggung jawab untuk ikut bersama – sama memerangi
korupsi (Bhakti, 2017).
Menurut berita BBC News Indonesia pada tahun 2018 menjelaskan bahwa 5 dari
7 mantan presiden Korea Selatan melakukan korupsi. Seperti Presiden Chun Doo- Hwan
(1980- 1988), Roh Tae – Woo (1988 – 1993), Roh Moo – Hyun (2003 – 2008), Lee
Myung Bak (2008 – 2013), dan Park Geun – Hye (2013 – 2017. Walaupun mantan
presiden Korea Selatan banyak yang melakukan korupsi, namun Korea Selatan dapat
membuktikan bisa bangkit dari korupsi. Hal ini dibuktikan dengan penelitian
(Prahassacitta, 2017) menjelaskan bahwa Indeks Persepsi Korupsi Korea Selatan pada
tahun 2013 berada pada peringkat 46, pada tahun 2014 berada pada peringkat 43, dan
pada tahun 2015 berada pada peringkat 37. Hal ini membuktikan bahwa Korea Selatan
dapat bangkit dari korupsi dan memberantas korupsi.
Jadi, dari uraian di atas kelompok kami tertarik untuk membahas mengenai
“Model Ideal Pemberantasan Korupsi di Korea Selatan”

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi korupsi?
2. Apa definisi pemberantasan korupsi?
3. Bagaimana upaya pemberantasan korupsi menurut ahli?
4. Apa saja faktor penyebab korupsi di Korea Selatan?
5. Bagaimana model ideal pemberantasan korupsi di Korea Selatan?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui definisi korupsi
2. Mengetahui definisi pemberantasan korupsi
3. Mengetahui upaya pemberantasan korupsi menurut ahli
4. Mengetahui faktor penyebab korupsi di Korea Selatan
5. Mengetahui model ideal pemberantasan korupsi di Korea Selatan
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Korupsi
Korupsi secara etimologis berasal dari kata “korup” yang memiliki arti buruk,
rusak, dan dapat disogok. Dalam bahasa asing istilah korupsi sudah sangat popular seperti
bahasa Latin corrumpere dan corruption, Bahasa Inggris yaitu corruption atau corrupt,
Bahasa Belanda yaitu corruptie atau korruptie, dan Bahasa Arab yang menggunakan
istilah rishwah yang berarti penyuapan (Lestari, 2017).
Menurut Marella Buckley korupsi merupakan penyalahan jabatan publik demi
keuntungan pribadi dengan cara suap atau komisi tidak sah (Bhakti, 2017).

B. Definisi Pemberantasan Korupsi


C. Upaya Pemberantasan Korupsi Menurut Ahli
Menurut kajian dari Robert Klitgard dengan judul Controlling Corruption yang
dipublikasikan pada tahun 1988 oleh The Regent of The University of California,
menjelaskan bahwa untuk membasmi korupsi maka langkah awal yang perlu dilakukan
ialah menilai jenis korupsi, kemudian membuat analisa mengenai kerugian dan akibat
yang ditimbulkan dari praktik korupsi yang terjadi pada sebuah negara (Lestari, 2017).
Pemetaan terhadap jenis korupsi yang sedang terjadi memberikan kemudahan
bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan tepat guna untuk memberantas korupsi.
Adapun kebijakan umum yang duiraikan oleh Klitgard untuk membasmi korupsi ialah
memilih pegawai, mengubah sistem reward and punishment, mengumpulkan informasi
berkaitan dengan hubungan kerja antara atasan dan pegawai, mengatur ulang hubungan
antara atasan dan pegawai melalui sitem rotasi kerja, dan mengubah pandangan dan sikap
pegawai terhadap korupsi (Lestari, 2017).
Kebijakan terhadap pemberantasan maupun pengendalian korupsi harus diikuti
dengan kebijakan untuk melawan korupsi melalui pembentukan sebuah lembaga atau
komisi serta penguatan peran aparatur sipil dalam memberantas korupsi. Keberhasilan
dalam pemberantasan korupsi seringkali melibatkan peran polisi yang juga dibantu
dengan badan anti korupsi (Lestari, 2017).
Kisah sukses negara yang mampu bangkit dari keterpurukan akibat korupsi
dimulai dari komitmen rakyat dan pemimpinnya yang kemudian diturunkan dalam
berbagai kebijakan. Selain dalam bentuk undang – undang, komitmen ini juga
diwujudkan dalam pembentukan gugus kerja khusus, yang bersifat independen dan
bertugas khusus untuk memberantas korupsi (Pohan, 2018).

D. Faktor – Faktor Penyebab Korupsi Di Korea Selatan


Menurut (Dewi, 2014) menjelaskan bahwa faktor penyebab korupsi di Korea Selatan
antara lain:
1. Budaya yang mentolerir korupsi
2. Perubahan ideologi pemerintahan
3. Kesenjangan sosial
4. Lemahnya fungsi lembaga – lembaga negara

E. Model Ideal Pemberantasan Korupsi Di Korea Selatan


Menurut (Lestari, 2017) menjelaskan bahwa model ideal pemberantasan korupsi
di Korea Selatan sangat bergantung kepada undang – undang pemberantasan korupsi dan
melalui undang – undang tersebut dibentuklah lembaga – lembaga anti korupsi untuk
mengimplementasikan amanat dari undang – undang pemberantasan korupsi.
Menurut KPK pada tahun 2018, lembaga anti korupsi di Korea Selatan adalah
Anti – Corruption and Civil Rights Commission (ACRC). Lembaga ACRC ini
mempunyai lembaga khusus yaitu Anti – Corruption Training Institue (ACTI). ACTI
adalah lembaga pelatihan untuk masyarakat dan penyelenggara negara agar memiliki
integritas yang lebih baik dan menanamkan karakter antikorupsi. Hal ini adalah salah satu
cara Korea Selatan untuk mencegah korupsi dengan memberikan mereka pengetahuan
dan pelatihan. ACTI memberikan pelatihan yang menyenangkan kepada masyarakat dan
penyelenggara negara lewat sebuah konser musik, sebuah pertunjukkan, diskusi menarik
bersama tokoh masyarakat yang isnpiratif. Kegiatan itu disebut dengan Integrity Concert,
yaitu pelatihan integritas melalui medium seni.
Pelatihan Integrity Concert sangat popular dan disenangi di Korea Selatan.
Pelatihan itu menjadi menarik karena berbeda dengan jenis – jenis pelatihan yang ada
sebelumnya yang terkesan membosankan dan akan membuat masyarakat mengantuk.
Selain tentang pelatihan integritas yang menjadi salah satu andalan ACRC, di Korea
Selatan juga da pengaturan tentang gratifikasi.
Di Korea Selatan, gratifikasi tidak hanya berlaku dan diatur untuk para
penyelengara negara, pengajar juga bisa terkena pasal gratifikasi. Hal menarik dan sedikit
berbeda dari Indonesia, Korea Selatan tidak menerapkan aturan gratifikasi pada upacara
kematian. Karena upacara kematian di Korea Selatan sangat mahal dan sangat sakral bagi
masyarakat Korea Selatan.
Dalam mengatur sektor swasta, ACRC membuat sebuah pedoman yang bernama
Anti-corruption Guidelines for Companies yang harus diterapkan di seluruh perusahaan
yang ada di Korea Selatan. Pedoman tersebut mengatur banyak hal yang dapat mencegah
terjadinya korupsi di sektor swasta. Peraturan tersebut juga terintegrasi dengan aturan-
aturan lain seperti kewajiban mengikuti pelatihan integritas dan mengikuti aturan
gratifikasi.
Buku panduan tersebut mengatur banyak hal secara rinci. Seperti dorongan
kepada setiap perusahaan untuk menggunakan kartu kredit untuk mencegah terjadinya
penyalahgunaan dana perusahaan dan mencegah terjadinya suap dengan cara
memberikan “hiburan” bagi penyelenggara Negara. Menurutnya dengan kartu kredit,
semua transaksi dapat dipantau dengan baik.
Selanjutnya diskusi dilanjutkan dengan pemaparan mengenai Asset Recovery
yang dilakukan di Korea Selatan terhadap barang-barang hasil tindak pidana. Penyidik
Senior dari Kejaksaan Agung Korea Selatan menjelaskan pengendalian aset di Korea
Selatan dilakukan secara terdata secara online dalam sebuah sistem sehingga barang
tersebut bisa dikelola dan dikendalikan dengan baik.
Menurut (Prahassacitta, 2017) menjelaskan bahwa pengaturan gratifikasi terbaru
diatur dalam Kim Young – ran Act, 2016 yang mengatur mengenai jumlah maksimal
penerimaan gratifikasi yaitu satu juta Korea Won untuk satu kali kesempatan dan
maksimal tiga juta Kora Won untuk satu tahun. Dalam undang – undang ini juga
diperjelas pengertian keuntungan sebagai salah satu bentuk gratifikasi yang meliputi
saham, properti, keanggotaan, kupon diskon, tiket, makanan, minuman, hiburan, golf,
akomodasi, transportasi, membebaskan kewajiban hutang, menyediakan lapangan kerja,
dan setiap berwujud atau tidak berwujud yang memiliki manfaat ekonomi. Undang –
undang ini lahir sebagai reaksi atas ketidakberhasilan undang – undang yang ada dalam
menindak praktek pemberian suap dan gratifikasi yang telah menjadi kebiasaan dalam
berbisnis dan berpolitik. Oleh karena itu undang – undang ini tidak hanya ditujukan
kepada pegawai negeri namun juga meliputi institusi pelayanan publik seperti perbankan,
tenaga pengajar, jurnalis, reporter, dan karyawan media masa.
Menurut (Prahassacitta, 2017) menjelaskan bahwa ACRC di Korea Selatan
sebagai lembaga anti korupsi yang terintegrasi dengan ombudsman namun tidak
bertindak sebagai institusi penegak hukum. Kewenangan dari ACRC ini adalah
pencegahan tindak pidana korupsi, sedangkan fungsi dari ACRC adalah untuk melakukan
pencegahan tindak pidana korupsi dan untuk penegakkan hukum atas tindak pidana
korupsi termasuk penyuapan.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Di setiap negara cara pemberantasan korupsi pasti berbeda – beda. Di Korea
Selatan mempunyai pengalaman bahwa banyak pejabat negara, presiden, bahkan anggota
keluarga pejabat yang melakukan korupsi. Namun Korea Selatan dapat membuktikan
bahwa mereka dapat memberantas korupsi dan meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi
Korea Selatan. Model ideal pemberantasan korupsi di Korea Selatan sangat bergantung
kepada undang – undang pemberantasan korupsi dan melalui undang – undang tersebut
dibentuklah lembaga – lembaga anti korupsi untuk mengimplementasikan amanat dari
undang – undang pemberantasan korupsi. Melalui lembaga ACRC dan undang – undang
yang telah dibuat maka dapat memberantas korupsi di Korea Selatan.
B. Saran
Perlu adanya komitmen, keseriusan, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas aparat
penegak hukum untuk memberantas korupsi. Perlu juga adanya partisipasi dari
masyarakat untuk membantu aparat penegak hukum untuk memberantas korupsi.
DAFTAR PUSTAKA

Bhakti, S. A. E. & D. (2017). Upaya Pencegahan Tindak Pidana Korupsi Melalui Peran Serta
Masyarakat. Jurnal Hukum Khaira Ummah, 12.

Dewi, P. P. S. & N. R. Y. (2014). Korupsidan Kebijakan Antikorupsi Korea Selatan di Era Lee
Myung Bak.

Lestari, S. Y. (2017). Korupsi: Suatu Kajian Analisis di Negara Maju dan Berkembang.
Community, 3.

Pohan, S. (2018). Perbandingan Lembaga Anti Korupsi di Indonesia dan Beberapa Negara
Dunia. Jurnal Justitia, 1.

Prahassacitta, V. (2017). Tinjauan Atas Kebijakan Hukum Pidana Terhadap enyuapan di Sektor
Privat Dalam Hukum Nasional Indonesia: Suatu Perbandingan dengan Singapura, Malaysia,
dan Korea Selatan. Jurnal Hukum & Pembangunan, 47.

https://www.kpk.go.id/id/berita/berita-kpk/392-beda-korsel-dan-indonesia-berantas-korupsi

https://www.bbc.com/indonesia/dunia-43516065

Anda mungkin juga menyukai