Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Samsarah (simsar) adalah perantara perdagangan (orang yang menjualkan barang atau
mencarikan pembeli), atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan jual
beli.1
Menurut Sayid Sabiq perantara (simsar) adalah orang yang menjadi perantara antara
pihak penjual dan pembeli guna melancarkan transaksi jual beli. 2 Dengan adanya perantara
maka pihak penjual dan pembeli akan lebih mudah dalam bertransaksi, baik transaksi
berbentuk jasa atau berbentuk barang.
Menurut Hamzah Ya'qub samsarah (makelar) adalah pedagang perantara yang berfungsi
menjualkan barang orang lain dengan mengambil upah tanpa menanggung resiko. Dengan
kata lain makelar (simsar) ialah penengah antara penjual dan pembeli untuk memudahkan
jual-beli.3 Jadi samsarah adalah perantara antara biro jasa dengan pihak yang memerlukan
jasa mereka (produsen, pemilik barang), untuk memudahkan terjadinya transaksi jual-beli
dengan upah yang telah disepakati sebelum terjadinya akad kerja sama tersebut.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Agen
Menurut Sudarsono agen adalah (wakil, perantara), suatu pihak yang bertindak

sebagai perantara dalam transaksi jual-beli suatu produk dengan imbalan komisi sebesar

persentase tertentu dari total hasil penjualannya.1

Berdasarkan penjelasan di atas agen adalah orang yang bertindak sebagai

perantara dalam transaksi jual-beli dengan persentase komisi dari total hasil penjualan.

Persentase komisi tersebut telah disepakati oleh pihak agen dan pemilik barang,  apakah

persentase dari total hasil penjualan atau komisi yang berbentuk lain.

Menurut Yan Pramadya Puspa agen adalah wakil tetap, baik yang ditunjuk

ataupun tidak dari suatu perseroan dagang yang diberikan kuasa (penuh) untuk

melakukan transaksi-transaksi atas nama perseroan yang diwakilinya.2

Maksud dari penjelasan di atas adalah wakil tetap yang ditunjuk maupun yang

tidak ditunjuk langsung dari perusahaan, yang memberikan kuasa penuh untuk melakukan

transaksi jual-beli atas nama perusahaan yang diwakilinya tersebut, dengan maksud

transaksi yang mereka lakukan akan berjalan lancar seperti yang diinginkan pihak

perusahaan.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agen adalah orang atau perusahaan
perantara yang mengusahakan penjualan bagi perusahaan lain atas nama pengusaha,
perwakilan, kaki tangan atau mata-mata negara asing, wakil pengusaha yang
merundingkan, memberikan jasa layanan, atau menutup perjanjian asuransi dengan
ketentuan yang ada.3

1
Edilius dan Sudarsono, Kamus Ekonomi Uang dan Bank, Jakarta: PT. Rineka Cipta , 1994, hal. 12
2
Yan Pramdya Puspa, Kamus Hukum, Bahasa Balanda, Indonesia, Inggris, edisi lengkap Semarang,
CV. Aneka, hal. 48-49
3
Ibid, 60

2
Menurut Abdul Rasyid Saliman jasa keagenan adalah usaha jasa perantara untuk
melakukan suatu transaksi bisnis tertentu yang menghubungkan produsen di satu pihak
dan konsumen di lain pihak.4
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa
agen merupakan wakil yang di tunjuk atau tidak dari suatu perseroan dagang untuk
melakukan transaksi jual-beli dengan imbalan komisi sebesar persentase yang telah
ditentukan dari total hasil penjualan yang mereka lakukan.
Dalam kegiatan bisnis, keagenan biasanya diartikan sebagai suatu hubungan
hukum, dimana pihak agen diberi kuasa bertindak untuk dan atas nama pihak prinsipal
untuk melaksanakan transaksi bisnis dengan pihak lain. Jadi kriteria utama untuk dapat
dikatakan adanya suatu keagenan adalah adanya wewenang yang dimiliki oleh agen yang
bertindak untuk dan atas nama prinsipal (pihak asing).5
Dalam praktek perjanjian yang diadakan kedua pihak ternyata terdapat 3

kemungkinan variasi yang terjadi, yaitu :

1. Dinyatakan bahwa masing-masing pihak baik prinsipal maupun agen tidak berhak

untuk mengalihkan sebagian atas seluruh hak dan kewajibannya, tanpa adanya

persetujuan dari pihak lain.

Maksudnya adalah baik pihak principal maupun agen tidak berhak untuk mengalihkan

sebagian atau seluruh hak dan kewajiban dari masing-masing pihak tanpa persetujuan

dari pihak agen dan principal lainnya.

2. Prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak

ketiga, tetapi agen tidak boleh.

3. Prinsipal boleh mengalihkan apa yang menjadi hak dan kewajibannya kepada pihak

ketiga, akan tetapi agen hanya diperbolehkan untuk mengalihkan hak dan

kewajibannya apabila diperoleh persetujuan dari pihak prinsipal.29

4
Ibid, h. 48
5
Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Islam, cet.2 Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2003,
hlm.53

3
Maksud dari variasi di atas adalah prinsipal tersebut boleh mengalihkan hak dan

kewajibannya pada pihak lain, tetapi apabila agen yang ingin mengalihkannya maka harus

meminta persetujuan dari pihak prinsipal, seandainya tidak ada persetujuan dari pihak

prinsipal maka pihak agen tidak bisa mengalihkannya kepada pihak lain.

Dalam praktek perdagangan dijumpai apa yang dikenal dengan nama agen

perdangangan, yaitu seorang atau suatu perusahaan yang bertindak sebagai penyalur

untuk menjualkan barang-barang keluaran perusahaan lain, umumnya perusahaan luar

negeri dan biasanya mereka mempunyai hubungan tetap.

Hubungan ini dapat berupa :

1. Perusahaan membeli barang-barang itu untuk perhitungannya sendiri dengan

mendapatkan komisi dan kemudian menjualnya kembali.

2. Prusahaan itu merupakan wakil dari perusahaan yang memproduksi barang-barang

itu.

3. Perusahaan itu bertindak sebagai penyalur untuk menemui pembelinya dan

mengusahakan suatu penawaran pembelian.6

B. Calo
1. Pengertian Calo
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa Calo adalah orang
yang menjadi perantara dan memberikan jasanya untuk menguruskan sesuatu
berdasarkan upah. Sedangkan makelar adalah perantara perdagangan antara pembeli
dan penjual, atau orang yang menjualkan barang atau mencarikan pembeli. Bisa juga
diartikan sebagai orang atau badan hukum yang berjual beli sekuritas atau barang
untuk orang lain atas dasar komisi. Dalam bahasa Arab, calo sering disebut dengan
simsarah.7

6
Achmad Ichsan, Hukum Dagang, lembaga Perserikatan, Surat-surat Berharga, Aturan-aturan
Angkutan, cet.5 Jakarta, Pradnya Paramita, 1993, hlm.45
7
Pusat Bahasa, op.cit, hlm.126

4
Dalil Kebolehannya
Calo dibolehkan dalam Islam dengan syarat-syarat tertentu. Adapun dalil-
dalilnya adalah sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah :

‫ين آ َمنُوا أَ ْوفُوا ِب ْال ُعقُو ِد‬


َ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذ‬
“Wahai orang-orang beriman sempurnakanlah akad-akad ( janji-janji) kalian “ (Qs.
al-Maidah : 1)
Pada ayat di atas, Allah memerintahkan orang-orang beriman untuk
menyempurnakan akad –akad, termasuk di dalamnya menyempurnakan perjanjian
seorang pedagang dengan calo.

Kedua : Hadist riwayat Qais bin Abi Gorzah, bahwasanya ia berkata :

‫ فَ َم َّر بِنَا َرسُو ُل‬، َ‫ ال َّس َما ِس َرة‬- ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ - ِ ‫ُكنَّا نُ َس َّمى فِي َع ْه ِد َرسُو ِل هَّللا‬
‫ " يَا َم ْع َش َر‬: ‫ال‬ َ َ‫ فَق‬، ُ‫ فَ َس َّمانَا بِاس ٍْم هُ َو أَحْ َس ُن ِم ْنه‬- ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم‬
َ - ِ ‫هَّللا‬
ُ ِ‫ض ُرهُ اللَّ ْغ ُو َو ْال َحل‬
َّ ‫ف فَ ُشوبُوهُ ِبال‬
‫ص َدقَ ِة‬ ُ ْ‫َّار ! إِ َّن ْالبَ ْي َع يَح‬
ِ ‫التُّج‬

“Kami pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam disebut dengan


“samasirah“ (calo/makelar), pada suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wassalam menghampiri kami, dan menyebut kami dengan nama yang lebih baik dari
calo, beliau bersabda : “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual beli ini kadang
diselingi dengan kata-kata yang tidak bermanfaat dan sumpah (palsu), maka
perbaikilah dengan (memberikan) sedekah“ (Shahih, HR Ahmad, Abu Daud,
Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah)

Hadist di atas menunjukkan bahwa pekerjaan calo sudah ada sejak masa
Rasulullah shallallahu ‘alahi wassalam, dan beliau tidak melarangnya, bahkan
menyebut mereka sebagai pedagang.
Ketiga: Calo adalah pekerjaan yang dibutuhkan masyarakat, karena ada sebagian
masyarakat yang sibuk, sehingga tidak bisa mencari sendiri barang yang dibutuhkan,
maka dia memerlukan calo untuk mencarikannya. Sebaliknya, sebagian masyarakat
yang lain, ada yang mempunyai barang dagangan, tetapi dia tidak tahu cara

5
menjualnya, maka dia membutuhkan calo untuk memasarkan dan menjualkan
barangnya.

Cara Menentukan Upah Calo


Para ulama membolehkan seorang calo untuk mengambil upah dari pedagang atau
pembeli atau dari keduanya. Walaupun sebagian ulama mengatakan bahwa upah calo
diambil dari pedagang, dan ini berdasarkan kebiasaan di pasar pada waktu itu. Berkata
Imam Nawawi : “Upah calo dibayar oleh pemilik barang yang memintanya untuk
menjualkan barangnya.”

Apakah Upah Calo Boleh Dalam Bentuk Prosentasi ?


Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat berdasarkan perbedaan mereka dalam
memandang status upah calo ini apakah termasuk dalam akad Ju’alah (semacam
sayembara berhadiah), atau akad ijarah (sewa-menyewa) dalam hal ini menyewa
tenaga calo, atau akad wakalah (perwakilan)?
Pendapat Pertama : Mayoritas ulama menyatakan bahwa upah calo harus jelas
nominalnya, seperti Rp. 500.000,- atau Rp. 1.000.000,- dan tidak boleh dalam bentuk
prosentasi, seperti dapat 10 % dari hasil penjualan.
Alasan mereka, bahwa upah calo masuk dalam katagori Ju’alah, dan syarat Ju’alah
harus jelas hadiah atau upahnya. Hal ini berdasarkan hadist Abu Sa’id al-Khudri yang
menyatakan :

ُ‫ير َحتَّى يُبَي ََّن لَهُ أَجْ ُره‬


ِ ‫ار اأْل َ ِج‬
ِ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َع ْن ا ْستِ ْئ َج‬
َ ِ ‫نَهَى َرسُو ُل هَّللا‬
“Bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam melarang seseorang menyewa
seorang pekerja sampai menjelaskan jumlah upahnya“ (HR. Ahmad)

Pendapat Kedua : Madzhab Hanabilah membolehkan seseorang memberikan upah


kepada calo dalam bentuk prosentase. Berkata al-Bahuti di dalam Kasyaf al-Qina’
(11/ 382) :
“ Kalau seseorang memberikan hamba sahayanya atau kendaraannya kepada
orang yang bisa mempekerjakannya dengan imbalan upah dari sebagian hasilnya,
maka dibolehkan. Begitu juga dibolehkan jika dia memberikan baju kepada yang bisa
menjahitnya, atau kain kepada yang bisa menenunnya dengan imbalan upah dari
sebagian keuntungannya.”

6
Mereka berdalil dengan hadist Amru bin ‘Auf bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda :

‫ُوط ِه ْم إاَّل َشرْ طًا َح َّر َم َحاَل اًل أَ ْو أَ َح َّل َح َرا ًما‬ َ ‫ْال ُم ْسلِ ُم‬
ِ ‫ون َعلَى ُشر‬
"Seorang muslim itu terikat kepada syarat yang telah disepakatinya, kecuali
syarat yang mengharamkan sesuatu yang halal atau menghalalkan sesuatu yang
haram” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi, dan berkata Tirmidzi : Hadist ini hasan
shohih)

Hal ini dikuatkan dengan perkataan Ibnu Abbas : “Tidak mengapa seseorang
berkata kepada temannya,: “Jual-lah baju ini, bila kamu bisa menjual dengan harga
lebih dari sekian dan sekian, maka itu untukmu"
Begitu juga dikuatkan dengan perkataan Ibnu Sirrin : “Bila seseorang berkata
kepada temannya : "Jual-lah barang ini dengan harga sekian, jika ada keuntungan,
maka itu untukmu atau untuk kita berdua, maka hal itu dibolehkan.”

Calo Yang Dilarang


Adapun calo yang dilarang dalam Islam adalah sebagai berikut :8
Pertama : Jika dia berbuat sewenang-wenang kepada konsumen dengan cara
menindas, mengancam, dan mengintimidasi. Sebagaimana yang sering dilakukan oleh
sebagian calo tanah yang akan dibebaskan dan ticket bis pada musim lebaran.
Kedua : Berbuat curang dan tidak jujur, umpamanya dengan tidak memberikan
informasi yang sesungguhnya baik kepada penjual maupun pembeli yang
menggunakan jasanya.
Ketiga : Calo yang memonopoli suatu barang yang sangat dibutuhkan masyarakat
banyak, dan menaikkan harga lebih tinggi dari harga aslinya, seperti yang dilakukan
oleh calo-calo ticket kereta api pada musim liburan dan lebaran.
Keempat : Pegawai negeri maupun swasta yang sudah mendapatkan gaji tetap dari
kantornya, kemudian mendapatkan tugas melakukan kerjasama dengan pihak lain
untuk suatu proyek dan mendapatkan uang fee karenanya. Maka uang fee tersebut
haram dan termasuk uang grativikasi yang dilarang dalam Islam dan dalam hukum
positif di Indonesia.

8
Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan : teori dan contoh kasus, ed.2, cet.2 Jakarta:
Kencana , 2006, hlm.68

7
Kelima : Para pengusaha kota yang mendatangi pedagang dan petani di desa-desa dan
membeli barang mereka dengan harga murah dengan memanfaatkan ketidaktahuan
mereka terhadap harga-harga di kota, dan kadang disertai dengan tekanan dan
pemberian informasi yang menyesatkan. Wallahu A’lam

C. Makelar
Dalam kamus Bahasa Indonesia, makelar didefinisikan sebagai perantara pada
jual beli.9 Makelar dalam bahasa Arab disebut dengan simsar. Dan kerja makelar
disebut simsarah,ialah perantara perdagangan yaitu orang yang menjualkan atau yang
mencarikan pembeli. Atau perantara antara penjual dan pembeli untuk memudahkan
jual beli.10 Makelar dalam kitab-kitab fiqih terdahulu disebut dengan istilah
“samsarah” atau “simsarah”. Sayyid Sabiq mendefinisikan simsar adalah orang yang
menjadi perantara antara pihak penjual dan pembeli guna lancarnya transaksi jual
beli.11
Pada zaman modern ini,pengertian perantara sudah lebih meluas lagi,sudah
bergeser kepada jasa pengacara,jasa konsultan,tidak hanya sekedar mempertemukan
orang yang menjual dengan orang yang membeli saja, dan tidak hanya menemukan
barang yang dicari dan menjualkan barang saja.

Hukum Makelar Dalam Islam


Imam Bukhari berkata: “Ibnu Sirin,Artha,Ibrahim,dan Hasan memandang bahwa
“Dari Ibnu Abbas r.a.,dalam perkara pengertian simsar,ia berkata,”Tidak
mengapa,kalau seseorang berkata, “Jualah kain ini dengan harga sekian,berapapun
lebihnya (dari penjualan itu) adalah untuk engkau.”
Adapun kelebihan yang dinyatakan dalam hadits ini adalah:pertama, harga yang
lebih tinggi daripada harga yang ditentukan si penjual barang. Kedua,kelebihan
barang setelah dijual menurut harga yang telah ditentukan oleh si pemilik barang
kepada si pembeli.
Orang yang menjadi simsar dinamakan komisioner,makelar dan agen.
Keberadaannya bergantung pada persyaratan atau ketentuan menurut hukum dengan
sekarang ini.
9
Indrawan WS, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Masa Kini, (Jombang: Lintas Media,1999), hal.200
10
Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Rajawali Press,2003), hal.131
11
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12,(Bandung: Alma’arif,1993),hal. 69

8
Apapun namanya,misalnya simsar,komisioner,makelar dan agen,mereka
bertugas sebagai perantara dalam menjualkan barang-barang dagangan, baik atas
nama sendiri maupun atas nama perusahaan pemilik barang.12 Berdagang secara
simsar ini dibolehkan dalam agama selama dalam pelaksanaanya tidak terjadi
penipuan. Dengan demikian antara pemilik barang dan makelar dapat mengatur suatu
syarat tertentu mengenai jumlah keuntungan yang diperoleh pihak makelar.
Untuk menghindari jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diingini maka
barang-barang yang akan ditawarkan dan diperlukan harus jelas. Demikian juga
dengan imbalan jasanya harus ditetapkan bersama lebih dahulu, apalagi nilainya
dalam jumlah yang besar. Biasanya kalau nilainya besar, ditandatangani lebih dahulu
perjanjiannya didepan notaris.13
Makelar (pengacara,konsultan) hendaknya berlaku jujur, dan ikhlas
menangani tugas yang dipercayakan kepadaya. Dengan demikian tidak akan terjadi
kemungkinan ada penipuan dan memakan harta orang lain (imbalan) dengan jalan
haram sebagaimana firman Allah

‫اض ِمْن ُك ْم‬ ِ ‫ياأ َُّيها الَّ ِذين ءامنُوا اَل تَأْ ُكلُوا أَموالَ ُكم بينَ ُكم بِالْب‬
ٍ ‫اط ِل إِاَّل أَ ْن تَ ُكو َن جِت َ َار ًة َع ْن َتَر‬َ ْ َْ ْ َ ْ ََ َ َ َ
ِ ِ ِ
ً ‫َواَل َت ْقُتلُوا أَْن ُف َس ُك ْم إ َّن اللَّهَ َكا َن ب ُك ْم َرح‬
‫يما‬

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu
membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”.

BAB III
PENUTUP

12
Ibnu Mas’ud,Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi’i edisi 2, (Bandung: Pustaka Setia,2000), hal.50
13
Ali Hasan, Op, Cit,. Hal.132-133

9
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Sebagai makhluk sosial
manusia saling membutuhkan satu sama lain dalam mengisi kehidupannya. Maka dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya manusia membutuhkan seorang makelar (perantara)
antara penjual dengan pembeli guna untuk memudahkan jual beli. Dalam hal ini makelar
berhak menerima imbalan setelah berhasil memenuhi akadnya,sedangkan pihak yang
menggunakan jasa makelar harus memenuhi dengan segera memberikan imbalannya.
Islam membenarkan (boleh) bentuk kerja makelar selama dalam melakukan transaksinya
tidak menyalahi ketentuan nash al Qur’an dan Sunnah serta ada unsur tolong menolong
dan saling mendapat manfaat.
Diantara anggota masyarakat ada yang menempuh jalan pintas, ingin cepat kaya,
ingin hidup mewah, dan motivasi-motivasi lainnya, sehingga tidak melihat lagi dari sudut
pandang agama yang dianutnya. Ringkasnya semua barang yang dilarang
memperjualbelikannya, jangan melibatkan diri kedalamnya,walaupun imbalanya besar.
Sebab hasil yang diperoleh dari usaha yang demikian, juga haran dimanfaatkan.

DAFTAR ISI

10
Edilius dan Sudarsono, Kamus Ekonomi Uang dan Bank, Jakarta: PT. Rineka Cipta ,
1994

Yan Pramdya Puspa, Kamus Hukum, Bahasa Balanda, Indonesia, Inggris, edisi
lengkap Semarang, CV. Aneka,

Richard Burton Simatupang, Aspek Hukum dalam Islam, cet.2 Jakarta, PT. Rineka
Cipta, 2003

Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan : teori dan contoh kasus, ed.2,
cet.2 Jakarta: Kencana , 2006

Ali Hasan, Masail Fiqhiyah, Jakarta: Rajawali Press,2003

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah 12,Bandung: Alma’arif,1993

Ibnu Mas’ud,Zainal Abidin S, Fiqih Madzhab Syafi’i edisi 2, (Bandung: Pustaka


Setia,2000), hal.50

11

Anda mungkin juga menyukai