Anda di halaman 1dari 17

Tugas Makalah Pertanian Berkelanjutan

PENGARUH PENEBANGAN HUTAN UNTUK PERKEBUNAN KARET

TERHADAP KUALITAS DAN KUANTITAS AIR SUNGAI

Disusun Oleh :

Games Dario Surbakti

15031108019

Program Studi Agroteknologi

Fakultas Pertanian

Universitas Sam Ratulangi

Manado

2020
Kata Pengantar

Dengan memanjatkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas cinta kasih

dan bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul "Penebangan

Hutan Untuk Perkebunan Karet Terhadap Kualitas dan Kuantitas Air".

Dalam kesempatan ini penulis juga menyampaikan terima kasih kepada bapak Ir. Tommy Djoice

Sondakh, MS sebagai salah satu dosen yang membimbing mata kuliah Pertanian Berkelanjutan

yang telah memberikan judul dan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan makalah ini.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kedua orangtua yang selalu memberikan

dukungan baik moral maupun materil.

Akhir kata, penulis sadar bahwa sebagai manusia biasa tidak menutup kemungkinan masih

ditemukan kekurangan dan kelemahan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kritik dan masukan

yang sifatnya membangun senantiasa penulis harapkan untuk perbaikan penulisan di masa yang

akan datang. Besar harapan penulis untuk makalah ini dapat dipergunakan oleh pihak-pihak yang

membutuhkan sebagaimana mestinya.

Manado, Oktober 2020

Penulis

Games Dario Surbakti


DAFTAR ISI

Judul i

Kata Pengantar ii

Daftar Isi iii

BAB I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang 1

I.2. Rumusan Masalah 2

I.3. Tujuan 3

BAB II. TEORI

II.1. Keberadaan Hutan Pada Daerah Aliran Sungai 4

II.2. Dampak Penggunaan Lahan Terhadap Sumber Daya Air 6

BAB III. PEMBAHASAN

III.1. Pengaruh Keberadaan Hutan Pada Tata Air 8

III.2. Pengaruh Penebangan Hutan Untuk Perkebunan Karet Terhadap

Kualitas dan Kuantitas Air Sungai 10

BAB IV. PENUTUP

IV.1. Kesimpulan 12

IV.2. Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 14

iii
BAB I. PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Hutan yang berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan tidak dapat dipisahkan sebagai

sumber kehidupan makhluk hidup, termasuk manusia. Manusia merupakan bagian dari komponen

lingkungan hidup yang senantiasa saling mempengaruhi. Pengaruh manusia terhadap lingkungan

sangat besar. Hal ini dapat diketahui dari eksploitasi dan eksplorasi manusia terhadap alam

melalui Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Karena ulah manusia itulah kualitas lingkungan dapat

menurut dan dapat mempengaruhi kelangsungan hidupnya di masa yang akan datang.

Pengelolaan hutan atau lahan untuk perkebunan sering kali mengabaikan faktor keselamatan

lingkungan, padahal hal ini sangat penting.

Begitu banyaknya perusahaan yang telah mengelola hutan untuk dijadikan perkebunan karet

tetapi punya dampak yang tidak baik untuk keselamatan lingkungan. Salah satu dampak yang

ditimbulkan akibat penebangan hutan akan terjadinya banjir, pencemaran air, kebakaran hutan

dan lain sebagainya.

Terkait dengan permasalahan pencemaran lingkungan akibat industri, membawa dampak yang

luar biasa terhadap kehidupan masyarakat, karena bisa menimbulkan kerusakan lingkungan.

Seiring dengan berkembang dan pertumbuhan penduduk yang meningkat, bertambahnya

perusahaan yang beroperasi, serta peningkatan aktivitas lainnya disepanjang aliran sungai, maka

akan menyebabkan perubahan kualitas air sungai.


Untuk mencegah dan mengatasi limbah industri, pemerintah harus berperan aktif baik melalui

perundang-undangan ataupun dengan cara yang lain. Pemerintah harus menggiatkan

pembangunan yang berkesinambungan yaitu sustainable development dengan artian

pembangunan yang berwawasan ke depan dengan maksud agar mampu dimanfaatkan oleh

generasi sekarang maupun yang akan datang. UU nomor 4 tahun 1982 pasal 8 menyebutkan

bahwa “Pemerintah menggariskan kebijaksanaan dan mendorong ditingkatnya upaya pelestarian

kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan”.

Dalam upaya efektifitas kerja industri perkebunan karet yang sesuai dengan peraturan, maka

perlu dilakukan pengawasan yang melekat sehingga penyimpangan dapat terpecahkan

semaksimal mungkin.Demikian juga dengan operasinya, industri perkebunan harus berdasarkan

kepada peraturan yang berlaku.

I.2. Rumusan Masalah

"Apa pengaruh penebangan hutan untuk perkebunan karet terhadap kualitas dan kuantitas air

sungai?"

I.3. Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh yang ditimbulkan dari penebangan hutan untuk perkebunan karet

terhadap kualitas dan kuantitas air sungai.

BAB II. TEORI


II.1. Keberadaan Hutan Pada Daerah Aliran Sungai

Ada beberapa alasan perlunya keberadaan hutan dalam suatu daerah termasuk dalam

Daerah Aliran Sungai (DAS). Soejono et al. (1967) mengatakan bahwa luas hutan minimal yang

ideal untuk daerah Pulau Jawa agar memenuhi fungsi perlindungannya adalah 30% dari luas

daerah. Keberadaan hutan di Pulau Jawa hanya 20%, kemakmuran yang tinggi tidak akan tercapai

jika keadaan hutan kurang dari minimal (Soepardi, 1950).

Hewlett dan Nutter (1969) menyatakan bahwa daerah hulu yang tertutup hutan dengan baik

maka 80-85% total aliran adalah berasal dari aliran dasar yang ditopang oleh aliran perlahan-lahan

dari zone of aeration, selebihnya adalah aliran langsung. Pernyataan ini menjelaskan bahwa

keberadaan hutan yang baik di daerah hulu akan mengatur atau mengendalikan aliran total,

sebagian besar (80-85%) yang berasal dari aliran dasar (base flow), sisanya (15-20%) berasal dari

aliran langsung (direct run off). Aliran langsung adalah jumlah aliran air dari air hujan di atas

permukaan (overland flow) ditambah aliran air di bawah permukaan tanah karena badai

(subsurtace storm flow) ditamah aliran dari air hujan yang terjadi di sungai (channel precipitation).

Sedangkan aliran dasar (base flow) adalah aliran yang berasal dari air tanah (groundwater out

flow).

Indreswari (1996) menyatakan, variabel DAS seperti luas DAS, panjang sungai, geologi,

kerapatan sungai dimasukkan sebagai karakteristik DAS. Kehadiran danau (reservoir) dan land use

adalah control factors sedangkan debit (Q) rata-rata per person, Q maksimum rata-rata per Q rata-

rata, Q minimum rata-rata per Q rata-rata dan respon DAS (basin response) adalah indikator
penampilan sungai (rivers performance indicators). Dari pernyataan ini land use, seperti kehadiran

hutan dalam DAS merupakan faktor pengendali aliran untuk DAS bersangkutan. Selanjutnya

Indreswari (1996) menyatakan kelestarian (sustainability) sungai dapat ditingkatkan jika

penggunaan lahan untuk hutan melebihi 50% dan atau lebih banyak dibangun dam/waduk.

Pernyataan-pernyataan di atas, mengingatkan bahwa keberadaan hutan dalam DAS dapat

berfungsi sebagai pelindung, pengatur, dan pengendali aliran. Dengan keberadaan hutan yang

lebih dari 50% luas DAS akan memperkecil koefisien aliran (run off coefficient), karena koefisien

aliran bergantung pada land use dan karakteristik DAS (Indreswari, 1996).

Luas hutan di beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS) khususnya di Pulau Jawa, umumnya

dalam luasan minimal termasuk hutan pada DAS penting, seperti DAS Citarum hanya 20% dari luas

DAS, DAS Solo 19,5%, dan DAS Brantas luas hutannya hanya 20% dari luas DAS (Takeuchi et al.,

1995). DAS Cimanuk hutannya 22% dari luas DAS dan DAS Serayu hanya 17% (Pawitan et al.,

2000).

Keberadaan hutan yang demikian membawa konsekuensi pada fungsi hutan yang

diharapkan sebagai pengendali aliran alami menjadi tidak efektif, sehingga pada musim penghujan

sering terjadi banjir sebagai pengeringan melalui aliran dan pada musim kemarau kekurangan air.

Luas hutan di beberapa DAS di Pulau Jawa seperti disebutkan di atas bila dibandingkan

dengan luas hutan dalam beberapa DAS di beberapa negara tetangga relatif kecil, seperti luas

hutan DAS Pioneca River di Australia adalah 60%, DAS Prek Thnot (Cambodia) 67,7%, DAS Bei Jiang

(China) 76%, DAS Jiyonhk (China) 27%, DAS Jin Jiang (China) 70,2%, DAS Jushinogawa (Jepang)
87,7%, DAS Arakawa (Jepang) 48,2%, DAS Mogamigawa (Jepang) 76,4%, DAS Pyungehang-Gang

(Korea Selatan) 81,7%, DAS Geumbo-Gang (Korea Selatan) 76,2%, DAS Miko Chun (Korea Selatan)

62,8%, DAS Rajang Batang (Malaysia) 97,2%, DAS Buller River 71,7%, DAS Ilog Magat (Philippina)

23,1%, DAS Ilog Panmpanga (Philippina) 40%, DAS Mai Namping (Thailand) 68,7%, DAS Mae Nam

Mae Klong (Thailand) 73,3%, DAS Song Thu Bon (Vietnam) 52,7%, DAS Song Ba (Vietnam) 50,8%,

dan DAS Song Sae Pok (Vietnam) luas hutannya 74,5% (Takeuchi et al., 1995). Terlihat bahwa luas

hutan dalam DAS di Pulau Jawa umumnya lebih kecil dibandingkan luas hutan dalam DAS di

Australia, Kamboja, China, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, New Zealand, Philippina, Thailand,

Vietnam, kecuali DAS Song Ky Cung.

II.2. Dampak Penggunaan Lahan Terhadap Sumber Daya Air

Dalam hubungannnya dengan membangun hubungan antara pengguna air di daerah hulu dan

hilir, maka sangat penting untuk mendapatkan gambaran yang jelas mengenai dampak yang

mungkin muncul dari penggunaan lahan, baik terhadap ketersediaan air dalam jumlah volume

maupun kualitas air dalam skala tertentu. Kedua hal tersebut berkaitan erat dengan siklus

hidrologi. Pada bagian selanjutnya, dampak penggunaan lahan dikelompokkan berdasarkan

kategori tertentu untuk mengetahui faktor utama dibalik dampak tersebut.

Hal ini difokuskan kepada penggunaan lahan di bidang perkebunan sebagaimana yang telah

dicantumkan oleh FAO. Serta mengutamakan pada dampak fisik dari sumber daya air. Dampak

dari penggunaan lahan terhadap sumber daya air tergantung pada keadaan alamiah dan faktor

sosial ekonomi di daerah tersebut. Selanjutnya, dampak penggunaan lahan perkebunan sangat
sulit dihilangkan dari pengaruh alam dan manusia sebagai contoh: dampak terhdap aliran

permukaan (run-off) dan sistem pembuangan sampah kota yang berdampak pada penurunan

permukaan air dan air tanah.

BAB III. PEMBAHASAN

III.1. Pengaruh Keberadaan Hutan Pada Tata Air

Tata air merupakan fenomena yang menggambarkan proses perolehan, kehilangan, dan

penyimpanan air tanah dalam kondisi alami. Hutan merupakan bentuk penggunaan lahan dengan

dominasi pohon-pohon hutan yang meliputi atau menutupi permukaan lahan dan merupakan
implementasi dari tata ruang. Sebagai implementasi dari tata ruang dan sebagai penutup lahan,

maka hutan akan mempengaruhi proses penerimaan air yang tercurah dari atmosfer pada lahan di

bawahnya.

Air hujan yang tercurah dari atmosfer sebelum sampai ke permukaan lahan yang berhutan

akan diterima terlebih dahulu oleh lapisan tajuk hutan. Air hujan tersebut akan mengalami

pencegatan (interception) tajuk, yang lolos dari cegatan tajuk disebut air lolos (through fall) dan

mencapai lantai hutan, dan air hujan yang mengalir melalui batang-batang pohon hutan disebut

aliran batang (stem flow) dan akhirnya sampai di lantai hutan. Air hujan yang mencapai lantai

hutan (aliran batang dan air lolos) akan mengalami cegatan oleh lapisan serasah hutan. Air yang

lolos dari cegatan searah akan meresap ke lapisan tanah atas yang biasanya disebut air infiltrasi.

Apabila kapasitas cegatan searah telah jenuh dan infiltrasi mulai lambat, maka air akan menjadi

aliran permukaan.

Air hujan yang tercegat oleh tajuk akan menguap ke udara, sehingga air hujan yang tercegat

tajuk termasuk air hilang. Air hujan yang meresap dalam lapisan tanah (air infiltrasi) adalah

termasuk perolehan air, sedangkan air hujan yang menjadi aliran termasuk air hilang. Jumlah air

lolos dan air batang disebut hujan neto sedangkan air infiltrasi disebut hujan efektif (Gambar 1).

Proses seperti di atas tidak akan terjadi pada daerah perkotaan yang hampir keseluruhan lahan

perkotaan tertutup oleh bangunan padat seperti gedung, aspal, dan beton. Air hujan yang jatuh

pada lahan yang demikian hampir seluruhnya menjadi aliran dan masuk ke saluran, selokan

pembuangan, dan akhirnya masuk ke sungai, sehingga secara cepat menambah tingginya atau

besarnya aliran sungai. Air hujan yang jatuh pada atap-atap bangunan akan terkonsentrasikan ke
talang atau paralon dan langsung masuk ke saluran atau selokan drainase dan masuk ke sungai,

sehingga perolehan air sangat kecil bahkan tidak ada, karena air hujan yang jatuh pada daerah

perkotaan akan cepat hilang sebagai aliran. Peranan atauI pengaruh hutan pada tata air dapat

ditelusuri pada Gambar 1.

Gambar (Figure) 1. Proses penerimaan, kehilangan, dan penyimpanan air oleh adanya hutan (Process of

water acceptance, losses and storage by forest)

Tanda minus (-) pada gambar merupakan komponen kehilangan air dari sumber air yang

berasal dari air hujan, termasuk air hilang adalah transpirasi, intersepsi, evaporasi, dan aliran

permukaan, perkolasi, apabila mengisi sumber air tanah termasuk penyimpanan, tetapi apabila

perkolasi merupakan kebocoran termasuk air hilang.

III.2. Pengaruh Penebangan Hutan Untuk Perkebunan Karet Terhadap Kualitas dan

Kuantitas Air Sungai


Kegiatan penebangan hutan untuk perkebunan karet merupakan bagian dari pengelolaan

hutan dan pemanfaatan hutan merupakan bagian dari sistem pengelolaan hutan. Kedua kegiatan

tersebut dapat mempengaruhi hidrologi terutama pada kualitas dan kuantitas air sungai. Kegiatan

penebangan hutan untuk perkebunan karet berarti penambahan luas penutupan lahan oleh tajuk

pohon karet yang ditanam. Pengaruh adanya kegiatan penebangan hutan untuk perkebunan karet

pada kualitas dan kuantitas air sungai tergantung pada luas atau tidak luasnya tanaman, jenis dan

kerapatan pohon yang ditanam serta umur tanaman. Perkebunan karet yang luas akan lebih nyata

pengaruhnya terhadap kualitas dan kuantitas air sungai daripada perkebunan karet yang sempit

(sedikit), umur tanaman yang lebih tua akan lebih nyata pengaruhnya daripada tanaman umur

muda terhadap kualitas dan kuantitas air sungai. Adanya tanaman hutan yang luas dan kerapatan

normal akan mempertinggi kemampuan hutan dalam mencegat (interception) air hujan oleh

penambahan tajuk hutan, sehingga jumlah air hujan yang akan diterima oleh permukaan lahan

berkurang, karena kenaikan pencegatan oleh tajuk. Kondisi ini akan memperkecil air hujan yang

akan menjadi aliran dan kualitas dan kuantitas air sungai akan menurun.
BAB IV. PENUTUP

IV.1. Kesimpulan

1. Kegiatan perkebunan karet sebagai salah satu dari sekian kegiatan pengelolaan

hutan dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas air sungai. Pengaruh perkebunan

karet terhadap kualitas dan kuantitas air sungai tergantung pada jenis pohon, umur

pohon, dan luas penanaman. Makin luas penanaman, makin nyata pengaruh pada

penurunan kualitas dan kuantitas air sungai setelah tanaman mencapai umur
tertentu, tetapi makin sempit atau sedikit luas penanaman, pengaruh pada

penurunan hasil air tidak nyata.

2. Kegiatan penebangan hutan sebagai salah satu dari sekian kegiatan pemanfaatan

hutan, dapat mempengaruhi peningkatan kualitas dan kuantitas air sungai

sedangkan peningkatan kualitas dan kuantitas air sungai tergantung pada luas

penebangan. Penebangan yang luas akan mempengaruhi kenaikan kualitas dan

kuantitas air sungai yang besar sedangkan penebangan yang sempit, pengaruh

terhadap kualitas dan kuantitas air sungai tidak nyata.

IV.2. Saran

1. Kegiatan penanaman sebaiknya memperhatikan jenis pohon yang akan ditanam

dengan curah hujan daerah (lokasi penanaman). Perkebunan karet dengan angka

evapotranspirasi rendah sebaiknya ditanam pada daerah dengan curah hujan yang

rendah.

2. Perlu diingat bahwa keberadaan hutan dalam pengendalian aliran (penurunan direct

run off) tidak tak terbatas, tetapi di luar hutan ada faktor-faktor lain yaitu besarnya

curah hujan, kemiringan lereng, geologi (tanah), dan tata ruang atau tata guna lahan
atau penggunaan lahan.

DAFTAR PUSTAKA

Bosch, J.M. and J.D. Hewlett. 1981. A Review of Catchment Experiments to Determine The

Effect of Vegetation Changes on Water Yield and Evapotranspiration. Journal of

Hydrology 55:3-23. Elservier Scientific Publishing Company.

Hewlett, J.D. and W.L. Nutter. 1969. An Outline of Forest Hydrology School of Forest

Resources University of Georgia. University of GeorgiaPress. pp.1-132.

Indreswari, G. 1996. Decision Support System for River Management Presented at IHP’s
International Symposium on Rivers and People.Yogyakarta, Nov 18-22,1996.

Pawitan, H., A.W. Jayawardena, K. Takeuchi, S. Lee. 2000. Cata-logue of Rivers for South

East Asia and The Pacific. Volume III:1-268. The UNESCO-IHP Regional Steer-ing

Committee for South East Asia and The Pacific II.

Pudjiharta, A. dan I.B. Pramono. 1988. Aliran Permukaan dan Erosi di bawah Tegakan

Hutan Alam dan Tegakan Kopi di Tabanan, Bali. Buletin Penelitian Hutan 494:1-8.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor.

Pudjiharta, A. dan I.B. Pramono. 1989. Pengaruh Hutan Alam Terhadap Unsur Iklim Mikro

di Yanlapa, Jawa Barat. Buletin Penelitian Hutan 519:1-10. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Hutan. Bogor.

Soepardi, Rd. 1950. Hutan Reboisasi Industri. Balai Pustaka. Jakarta. p 35.

Soejono, S.M. Kamal, Soepardi. 1967. Seminar I Tataguna Sumber Alam Tahun 1967.

Direktorat Land Use. Direktorat Jenderal Agraria, Departemen Dalam Negeri. p 357.

Takeuchi, K., A.W. Jayawardena, Y. Takahasi. 1995. Catalogue of Rivers for Southeast Asia

and The Pacific. Volume 1:1-29.

Anda mungkin juga menyukai