Anda di halaman 1dari 17

Makalah Sosiolinguistik

Pendidikan dan Pengajaran Bahasa

oleh
Kelompok 6
Renu Safitri Sadita Anugrah 1710751017
Jihan Fadila 1710751012
Zatia Hanifa 1710752011
Deviana Tria Maharani 1710752005
Britania Sulaini 1710752014

Jurusan Sastra Jepang


Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Andalas
2020
Kata Pengantar

Puji syukur penulis hantarkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan izin-Nya,
makalah ini dapat diselesaikan untuk menambah ilmu berjudul “Pendidikan dan Pengajaran
Bahasa” dalam mata kuliah Sosiolinguistik yang diampu oleh dosen pengampu yakni Ibu
Imelda Lestari, S.S, M. Hum. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih atas semua
pihak yang terlibat dalam penulisan makalah ini.

Penulis mengakui bahwa tulisan ini jauh dari kata sempurna, sehingga penulis meminta
kesediaan pembaca untuk menyampaikan saran dan komentar yang membangun agar nantinya
makalah ini berguna bagi semua teman-teman mahasiswa.

Sijunjung, 3 Mei 2020

Tim Penulis

i
Daftar Isi

Kata Pengantar ............................................................................................................................ i

Daftar Isi ....................................................................................................................................ii

Bab I Pendahuluan ..................................................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................ 1

1.3 Tujuan Penilitian .............................................................................................................. 1

Bab II Pembahasan .................................................................................................................... 2

2.1 Variabel Pembelajaran Bahasa ......................................................................................... 2

2.2 Tujuan Bahasa .................................................................................................................. 4

2.3 Pengajaran Bahasa Kedua ................................................................................................ 6

2.4 Pragmatik dan Pengajaran Bahasa ................................................................................. 10

Bab III Penutup ........................................................................................................................ 13

3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 13

Daftar Pustaka .......................................................................................................................... 14

ii
Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang


Setiap pergantian presiden beserta jajaran kabinetnya, berganti pula sosok mentri yang
mengatur kurikulum pendidikan di sekolah, sehingga setiap beberapa tahun kurikulum tidak
sama. Hal ini menunutut para tenaga didik untuk selalu berkembang demi siswa-siswinya
memperoleh ilmu pengetahuan.

Di samping ilmu-ilmu eksak yang diajar, terdapat ilmu bahasa yang tidak kalah penting
untuk masa depan. Bahasa Indonesia merupakan mata pelajaran wajib di sekolah meskipun
para murid merupakan penutur asli, kemudian diikuti beberapa bahasa asing, dengan harapan
agar peserta didik menguasai lebih dari satu atau lebih bahasa lain. Namun, karena persaingan
dan gengsi dalam menuntut ilmu bahasa asing, membuat para murid meremehkan Bahasa
Indonesia. Bahkan dalam kurikulum terdahulu, terdapat mata pelajaran bahasa daerah yang
kini sudah tidak dijumpai lagi dalam sistem pendidikan formal di Indonesia, sehingga penulis
mengerjakan makalah mengenai pembelajaran bahasa.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa saja variabel pembelajaran bahasa?
2. Apa tujuan bahasa?
3. Apa itu pengajaran bahasa kedua?
4. Bagaimana pragmatik dan pengajaran bahasa itu?

1.3 Tujuan Penilitian


Penilitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana sistem pendidikan dan
pengajaran bahasa yang berbeda dari pengajaran ilmu-ilmu eksak pada umumnya.

1
Bab II

Pembahasan

2.1 Variabel Pembelajaran Bahasa


Dalam proses belajar mengajar bahasa berturut-turut akan kita dapati variabel sebagai
berikut :

1) Murid, yaitu objek yang akan dikenai proses itu dan diharapkan mempunyai sikap dan
kemampuan yang lebih baik setelah proses belajar selesai.
2) Guru, sebagai subjek yang bertugas melakukan proses belajar mengajar itu, baik
senagai fasilitator, informator, maupun sebagai pembimbing.
3) Bahan Pelajaran, yakni sesuatu yang harus disampaikan oleh guru kepada murid dalam
proses belajar mengajar itu.
4) Tujuan Pengajaran, yakni sesuatu yang akan dicapai melalui proses belajar mengajar
itu.

Keempat variabel ini mempunyai hubungan fungsional dalam kegiatan belajar mengajar
dan turut menentukan keberhasilan dalam proses belajar mengajar itu sendiri. Selain yang
disebutkan diatas masih ada variabel lain yang menjadi faktor menentukan keberhasilan belajar
yaitu lingkungan keluarga, lingkungan tempat tinggal siswa, dan lingkungan sekolah tempat
siswa belajar. Lingkungan yang baik tentu akan memberikan pengaruh yang baik pula kepada
siswa sehingga bisa menjadikan salah satu faktor untuk mencapai keberhasilan belajar.

Selain itu juga terdapat asas-asas belajar yang dapat dikelompokkan menjadi asas-asas
yang bersifat psikologis anak didik . Asas-asas yang bersifat psikologis anak didik antara lain :

1) Motivasi, diartikan sebagai suatu hal yang mendorong seseorang untuk berbuat sesuatu.
Maka untuk tercapainya keberhasilan dalam proses belajar murid perlu diberikan
bimbingan agar lebih semangat dalam belajar.
2) Pengalaman Sendiri, dalam setiap proses belajar mengajar para murid harus dilibatkan
secara aktif tidak hanya duduk diam lalu mendengarkan ceramah maupun penjelasan
materi oleh guru namun juga terlibat secara aktif.
3) Keingintahuan, pada anak-anak usia sekolah rasa keingintahuan lebih tinggi, namun
tidak semua anak dapat berani bertanya mengenai hal yang diinginkan, jadi perlu peran
guru untuk membangkitkan rasa keingintahuan murid dan membangkitkan rasa
keberanian dalam bertanya.

2
4) Pemecahan Masalah, dalam proses belajar mengajar yang baik keaktifan murid adalah
hal yang penting, dimana murid memiliki keberanian dalam bertanya dan rasa
keingintahuan yang tinggi sehingga kelas akam menjadi lebih hidup. Hal seperti ini
dapat mengembangkan pikiran kritis anak dalam melakukan pemecahan masalah.
5) Berpikir Analisis-Sintetis, untuk mengembangkan pengetahuan anak didik maka perlu
dibimbing secara analisis dan kemudian secara sintetis. Jadi dalam pengajaran bahasa
mereka bukan hanya dilatih menguraikan atau menganalisis kalimat, tetapi juga
menyusun kalimat menjadi paragraf, dan menggabungkan paragraf menjadi sebuah
wacana.
6) Perbedaan Individual, setiap individu anak didik pasti akan mempunyai kepribadian
atau individual yang berbeda. Maka peran guru sangat diharapkan karena setiap anak
didik mempunyai cara nya masing-masing.

Berikut asas-asas yang berkaitan dengan materi dan metodik pada proses belajar
mengajar :

1) Mudah menuju sukar, maksudnya yaitu dalam pemberian materi harus diawali dari
yang mudah lalu baru materi yang sukar atau sulit.
2) Sederhana menuju kompleks, maksudnya yaitu bahan pelajaran harua dari hal yang
sederhana lalu baru ke bahan pelajaran yang lebih kompleks agar pemahaman lebih di
dapat oleh murid.
3) Dekat menuju jauh, maksudnya yaitu pemberian materi pelajaran harus diawali dengan
hal yang berada didekat anak untuk pemahaman yang lebih mudah lalu baru ke
pemberian materi pelajaran yang jauh dari anak.
4) Pola menuju unsur, maksudnya yaitu materi bahasa yang diberikan harus suatu
kebulatan ,sesudah itu baru dibeli penjelasan mengenai unsur-unsur dari kebulatan itu
sendiri.
5) Penggunaan menuju pengetahuan, maksudnya materi pelajaran bahasa yang mula-mula
diberikan yaitu bentuk-bentuk atau satuan-satuan bahasa itu.
6) Masalah bukan kebiasaan, hampir semua anak di Indonesia memiliki bahasa ibu yang
bukan bahasa Indonesia melainkan bahasa daerah masing-masing. Tentu ada perbedaan
anatara bahasa Indonesia dan bahasa daerah perbedaan inilah yang harus diperhatikan
agar anak dapat berbahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan benuk dan
struktur bahasa Indonesia.

3
7) Kenyataan bukan buatan, kenyataan menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai
variasi baik dari segi regional, fungsional maupun sosial. Kenyataan inilah yang tidak
dapat dilepaskan dari bahasa Indonesia itu sendiri.

2.2 Tujuan Bahasa


Banyak orang belajar bahasa dengan berbagai tajuan yang berbeda. Ada yang belajar
hanya untuk mengerti, ada yang belajar untuk memahami isi bacaan (teks), ada yang belajar
untuk dapat bercakap-cakap dengan lancar, ada pula yang belajar hanya untuk gengsi-gengsian,
dan banyak pula yang belajar dengan berbagai tujuan khusus Dalam pendidikan formal di
sekolah dasar, sekolah menengah, dan di perguruan tinggi dapat pula kita lihat berbagai
rumusan tujuan pengajaran bahasa itu.

Secara nasional tuan pendidikan bahasa itu harus dikaitkan dengan tujuan pendidikan
nasional dan tujuan pendidikan institusional, lalu dikaitkan pula dengan status politis (nasional,
daerah, atau asing) bahasa yang dipelajari, dan kemudian dikaitkan pula dengan fungsi- fungsi
bahasa yang diperlukan. Tujuan pendidikan nasional di Indonesia pada dasarrya membentuk
manusia Pancasialis seutuhnya Artinya, nilai-nilai yang terkendung dalam Pancasila. Jika nilai-
nilai Pancasila ini telah tertanam dalam jiwa mereka, tentu mereka akan mempunyai perilaku
yang sesuai dengan asas-asas Pancasila itu dalam segala tindakan mereka, termasuk dalam
berbahasa Indonesia, dan memiliki sikap positif terhadep bahasa itu.

Tujuan pendidikan nasional ini berlaku secara nasional dan diharapkan depat
"diikutsertakan" pemberiannya dalam semua jenjang pendidikan, dan semua mata pelajaran,
termasuk mata pelajaran bahasa.

Tujuan institusional adalah tujuan yang harus dicapai dalam lembaga-lembaga


kependidikan tertentu, seperti sekolah dasar, sekolah menengah, dan perguruan tinggi. Tujuan
institusional ini diharapkan, dapat dicapai setelah siswa menyelesaikan pendidikan di lembaga
tersebut.

Di Indonesia ada tiga macam bahasa dengan status yang berbeda, yaitu (1) bahasa Indonesia,
(2) bahasa daerah, dan (3) bahasa asing. Status bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan
bahasa resmi negara. Jadi bahasa Indonesia adalah bahasa yang harus digunakan dalam situasi
resmi kenegaraan, dan bahasa yang harus digunakan penutur intrabangsa. Sebagai bahasa
nasional, bahasa Indonesia harus menjadi salah satu identitas kenasionalan Indanesia Maka
juga hanus dapat digunakan dalam berpikir sccara nasional. Bahasa daerah, yaitu bahasa ibu
4
atau bahasa pertama bagi sebagian besar rakyat Indonesia, adalah bahasa yang dapat digunakan
dalam interaksi intrasuku, baik dalam situasi resmi maupun tidak yang bersifat kedaerahan.
Bahasa daerah tidak dapat digunakan dalam lingkup nasional Indonesia. Bahasa asing adalah
bahasa yang berasal dari bangsa lain, dan dapat digunakan dalam interaksi antarbangsa, atau
untuk menggali ilmu pengetahuan dan teknologi.

Dalam kaitannya dengan tujuan belajar bahasa yang terutama adalah fungsi penalaran,
fungsi interpersonal, dan fungsi kebudayaan.

1) Fungsi penalaran adalah bahwa bahasa itu dapat digunakan untuk dapat berpikir secara
baik. Artinya, dapat digunakan untuk melaksanakan jalan pikiran secara teratur, logis,
dan tertib.
2) Fungsi interpersonal adalah fungsi untuk berhubungan atau berinteraksi dengan orang
lain, yaitu anggota masyarakat di sekitarnya.
3) Fungsi kebudayaan adalah fungsi bahasa untuk menerima dan mengungkap
kebudayaan, termasuk mengenai bidang keilmuan dan teknologi.

Ketiga fungsi bahasa di atas tidaklah berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling berkaitan
di antara yang satu dengan yang lain: hasil bemalar, tentunya akan disampaikan kepada crang
lain; lalu akibat adanya komunikasi dengan or- ang lain, mungkin kita harus bernalar lagi.
Dalam menyerap ilmu dan budaya penalaran juga harus digunakan; nanti, hasil penyerapan itu
akan dikomunikasikan kembali kepada orang lain.

Dari pembicaraan di atas, maka dengan pertama-tama harus mengingat tujuan


pendidikan nasional, dan dengan memperhatikan jenjang pendidikan, status bahasa, dan fungsi
bahasa, rumusan-rumusan mengenai tujuan pendidikan bahasa barangkali dapat
dipertimbangkan sebagai berikut.

1) Pendidikan/pengajaran bahasa Indonesia (BI) selain untuk membentuk sikap pribadi


manusia Pancasilais (dengan segala bentuk konsepnya) pada sekolah dasar (SD) adalah
agar para siswa dapat bernalar, berkomunikasi, dan menyerap/menyampaikan
kebudayaan dalam bahasa Indonesia; pada tingkat sekolah menengah (SM) adalah agar
siswa dapat bernalar, berinteraksi, dan menyerap ilmu dalam bahasa Indonesia;
sedangkan dalam pendidikan tinggi (PT) agar para siswa dapat bermalar dan menyerap
serta menyampaikan kebudayaan dalam bahasa Indonesia
2) Pendidikan/pengajaran bahasa daerah (BD), di daerah yang memerlukan, pada SD dan
SM adalah agar siswa dapat melakukan interaksi dengan menggunakan bahasa tersebut.

5
3) Pendidikan/pengajaran bahasa asing (BA), khususnya bahasa Inggris, secara nasional
pada tingkar SM adalah agar siswa dapat berinteraksi dengan menggunakan bahasa itu;
dari pada lingkat PT agar siswa dapat bernalar, berinteraksi, dan menerima atau
menyerap kebudayaan dalam bahasa itu, dan atau juga, menyampaikannya.

Sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi kenegaraan, maka bahasa Indonesia harus
diberikan pada semua jenjang pendidikan (SD, SM, dan PT) dengan (1) tujuan penalaran pada
semua jenjang, (2) tujuan interper- sonal pada jenjang SD, SM, dan (3) tujuan
kebudayaan/pendidikan pada semua jenjang. Tujuan penalaran diberikan pada semua jenjang
karena proses bernalar bukan merupakan kegiatan yang terhenti.

2.3 Pengajaran Bahasa Kedua


Bahasa kedua ini bisa bahasa nasional, bahasa resmi kenegaraan, bahasa resmi
kedaerahan, atau juga bahasa asing. Di Indonesia pada umumnya bahasa Indonesia adalah
bahasa kedua (yang secara politis juga berstatus sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi
kenegaraan).

Pengajaran bahasa kedua akan menimbulkan masalah-masalah sosiolinguistik. Masalah


ini mungkin tidak terlalu berat, kalau kebetulan bahasa kedua yang dipelajari itu masih
tergolong bahasa serumpun (secara genetis) tetapi akan menjadi masalah yang berat jika bahasa
kedua itu tidak serumpun dengan bahasa pertama. Akan lebih berat lagi jika bahasa kedua itu
memiliki struktur fonetis, morfologis, dan sintaksis yang sangat berbeda dengan bahasa
pertama. Oleh karena itu masalah yang muncul dalam pengajaran bahasa kedua itu akan
meliputi semua tataran bahasa.

Pengajaran bahasa kedua di Indonesia secara formal dimulai ketika anak memasuki
pendidikan dasar (kira-kira berusia 6 tahun) untuk bahasa nasional, dan ketika anak memasuki
pendidikan menengah (kira-kira berusia 13 tahun) untuk bahasa asing (dalam hal ini bahasa
Inggris). Menurut Pei (1971) dalam Chaer (2010: 216), anak-anak pada usia 5 tahun telah dapat
menguasai pola bahasa pertamanya, betapa pun pola bahasa itu sangat ruwet bagi orang asing.
Dengan demikian ketika anak Indonesia (yang bahasa pertamanya bahasa daerah) mulai
mempelajari bahasa Indonesia mereka sudah terbiasa dengan pola-pola bahasa pertamanya.
Kebiasaan dengan pola bahasa pertama ini akan menjadi kendala jika mereka belajar bahasa
Indonesia. Pola-pola dan unsur-unsuur bahasa pertamanya, yang biasa digunakan diluar rumah,
akan terbawa masuk saat mereka berbahasa Indonesia, sebagai suatu peristiwa sosiolinguistik

6
yang disebut Interferensi. Sebagai contoh, berikut adalah masalah yang dihasapi oleh anak-
anak yang berbahasa pertama bahasa Sunda dalam belajar bahasa Indonesia :

Ada perbedaan yang cukup besar antara pola bahasa Sunda dan pola-pola bahasa
Indonesia. Perbedaan ini menjadi penghambatdalam proses belajar bahasa Indonesia, baik
dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, maupun leksikon.

Dalam bidang fonologi, suku kata terbuka bahasa Indonesia akan diucapkan dengan
penambahan bunyi glotal /?/ atau bunyi geseran faringal /h/. Contoh:

Ini budi dilafalkan [ini? budi?]

Ini ibu budi dilafalkan [ini? ibu? budi?]

Itu sepeda dilafalkan [itu sapedah]

Hatinya riang dilafalkan [hatinyah riang]

konsonan /k/ pada suku akhir kata bahasa Indonesia sering tidak diucapkan secara jelas jika
kebetulan padanannya dalam bahasa Sunda ditulis dengan huruf <k>. Sebaliknya, konsonan
<k> akan diucapkan dengan jelas bila kata tersebut dikenalnya, Jadi:

bapak dilafalkan [bapa]

adik dilafalkan [adi]

nenek[nEnE?] dilafalkan [nEnEk]

tidak [tida?] dilafalkan [tidak]

Dalam bidang morfologi, menurut Rusyana (1975) dalam Chaer (2010: 217), anak-anak
Sunda sering membuat kesalahan karena pengaruh sistem morfologi bahasa Sunda.

1) Kayu itu dibelahan.


2) Setelah bersih pakaiannya lalu dijemurkan.
3) Saya masuk lagi terus menuliskan pekerjaan rumah.
4) Adik saya leloncatan.
5) Anak itu ketiduran

Kata dibelahan pada kalimat (1) merupakan pengaruh bentuk kata Sunda dibeulahan dalam
arti ‘dibelah-belah’ atau ‘dibelah beberapa kali’. Maka kalimat (1) seharusnya berbunyi sebagai
(Ia) atau (Ib)

7
(1a) Kayu itu dibelah-belah

(1b) Kayu-kayu itu dibelah

Kata dijemurkan pada kalimat (2) terjadi karena dalam bahasa Sunda ada bentuk dipoekeun
dalam arti ‘dijemur’. Maka kalimat (2) itu harusnya berbunyi sebagai (2a).

(2a) Setelah bersih pakaiannya itu dijemur.

Kata menuliskan pada kalimat (3) seperti contoh kalimat sebelumnya, terjadi karena dalam
bahasa Sunda ada bentuk nuliskeun dalam arti ‘menulis sesuatu’. Jadi, kalimat (3) seharusnya
berbunyi sebagai (3a).

(3a) saya masuk lagi, lalu menulis pekerjaan rumah.

Kata loloncatan pada kalimat (4) juga terjadi karena dalam bahasa Sunda ada bentuk
luluncatan dalam arti ‘berloncat-loncat’. Oleh karena itu, kalimat (4) seharusnya berbunyi
sebagai (4a).

(4a) Adik saya berloncat-loncatan.

Lalu, kata ketiduran yang terdapat pada kalimat (5) terjadi karena dalam bahasa Sunda
terdapat bentuk kasarean dalam arti ‘tertidur’. Maka kalimat (5) seharusnya berbunyi sebagai
kalimat (5a).

(5a) Anak itu tertidur.

Dalam bidang sintaksis, banyak anak Sunda membuat kalimat bahasa Indonesia dengan
pola kalimat bahasa Sunda. Perhatikan contoh-contoh berikut untuk lebih jelasnya, dengan
membandingkan kalimat bahasa Indonesia (a) yang dibuat anak-anak Sunda itu, kalimat (b)
adalah kalimat bahasa Sundanya, dan kalimat (c) adalah kalimat bahasa Indonesia yang
seharusnya.

(1) a. Surat itu telah dibaca oleh saya.


b. Eta surat geus dibaca ku kuring.
c. Surat itu telah saya baca

(2) a. Ia itu anak pedagang


b. Manehna teh anak padagang
c. ia anak pedagang

8
(3) a. Saya mencari Maman ke sana kemari.
b. Abdi neangan maman ka ditu ka dieu.
c. Saya mencari maman kemana-mana.

(4) a. Aku menunggu Nani, tetapi tak datang juga.


b. Kuring ngadagoan Nani, tapi teu datang bae.
c. Saya menant kedatangan Nani, tetapi dia tak kunjung datang.

(5) a. Baju saya ada yang curi.


b. Baju kuning aya nu maling.
c. Baju saya dicuri orang.

Kesulitan yang dialami anak-anak Sunda dalam belajar bahasaa Indonesia, juga dialami
oleh anak-anak di daerah lain. Namun kesilitannya mungkin berbeda, karena perbedaan antara
bahasa Sunda dan bahasa Indonesia tidak sama dengan bahasa daerah lainnya. Menurut Broto
(1980) dalam Chaer (2010: 218), kesukasan ini dapat diatasi dengan menggunakan pendekatan
linguistik kontrasitif. Artinya, diadakn perbandingan pola antara bahasa yang diajarkan (bahasa
Indonesia) dengan bahasa pertama si anak didik.

Para penganjur pendekatan linguistik kontrastif berpendirian bahwa penguaasaan suatu


bahasa tidak lain dari pembentukan kebiasaan-kebiasaan (Darjowidjojo 1974, 1978) dalam
Chaer (2010: 219). Oleh sebab itu, agar bisa menguasai bahasa kedua, jalan yang paling tepat
adalah dengan latihan terus-menerus, sehingga pada suatu saat akan terbentuk kebiasaan-
kebiasaan seperti saat mempelajari bahasa pertama.

Bahasa inggris sebagai bahasa asing sebagai bahasa asing pertama secara formal baru
diajarkan di sekolah menengah. Jadi, setelah seorang anak Indonesia setidaknya telah
menguasai dua bahasa, yaitu bahasa ibunya dan bahasa Indonesia. Kesulitan mungkin akan,
sebab pada diri si anak telah tertanam dua pola bahasa (bahasa ibu dan bahasa Indonesia);
kemudian, sekarang harus mempelajari bahasa ketiga, yang mungkin memiliki perbedaan pola
pada semua tatarannya. Namun, bisa juga kesulitan itu tidak terlalu besar jika si anak salam
kesehariannya lebih banyak menggunakan bahasa ibu daripada bahasa Indonesia. Kesulitan
yang terjadi tetap bersumber pada adanya perbedaan pola bahasa ibu dengan bahasa asing yang

9
dipelajari. Kode bahasa Inggris pada semua tataran memang banyak berbeda polanya dengan
bahasa Indonesia. Kesulitan masih akan bertambah lagi dalam pengajaran bahasa Inggris
mengingat latar belakang budaya masyarakat pemilik bahasa Inggris itu juga terdapat banyak
ketidak samaan dengan latar belakang budaya masyarakat Indonesia.

2.4 Pragmatik dan Pengajaran Bahasa


Kurikulum 1984 memasukkan pragmatik sebagai salah satu pokok bahasan (yang lain:
membaca, struktur, menulis; dan apresiasi bahasa dan sastra) yang harus diberikan dalam
pengajaran bahasa. Konsep pragmatik yang masih tidak jelas itu mendatangkan kesukaran bagi
guru-guru untuk mengajarkannya. Ketidakjelasan konsep tentang pragmatik ini diperuwet
dengan munculnya serangkaian perbedaan pendapat di antara para pakar. Ada yang
berpendapat bahwa pragmatik bukanlah satu pokok bahasan yang harus diajarkan, melainkan
sebuah pendekatan untuk mengajarkan berbagai pokok bahasan yang lain (lihat Kaswanti
Purwo 1990). Untunglah, berbagai penataran, diskusi, dan seminar, baik yang dilakukan'oleh
pemerintah, maupun lembaga lain telah banyak dilakukan, sehingga konsep pragmatik itu
mulai bisa dikuak. Konsep umum yang bisa ditangkap dari sekian banyak pertemuan, bahwa
pragmatik adalah keterampilan menggunakan bahasa menurut partisipan, topik pembicaraan,
tujuan pembicaraan, situasi dan tempat berlangsungnya pembicaraan itu. Kalau pengertian itu
yang ditangkap, maka pragmatik itu bisa dikatakan identik dengan masalah pokok dalam
sosiolinguistik, yaitu, "Siapa berbicara, dengan bahasa apa, dengan siapa, kapan, dan dengan
tujuan apa". Kurikulum 1984 pada bagian Garis-Garis Besar Pokok-Pokok Pengajaran (GBPP)
juga menunjukkan topik-topik apa yang harus diajarkan kepada murid-murid berkenaan
dengan pokok bahasan pragmatik ini. Topik-topik itu, antara lain, bagaimana menyatakan
kesanggupan atau ketidaksanggupan, bagaimana menyatakan permintaan maaf, bagaimana
menyatakan persetujuan dan ketidaksetujuan, bagaimana cara memperkenalkan diri,
bagaimana cara memuji, dan sebagainya. Dalam kurikulum 1994, yang kini berlaku sebagai
pengganti kurikulum 1984, topik atau nama pragmatik tidak muncul lagi, sejalan juga dengan
hapusnya nama pokok bahasan membaca, struktur, menulis, kosakata, dan apresiasi bahasa dan
sastra. Kurikulum 1994 dengan orientasi yang berbeda memusatkan unit-unit pelajaran pada
tema yang secara relatif dibagi atas komponen kebahasaan, pemahaman, penggunaan, dan
sastra. Namun, "isi" keterampilan berbahasa yang dalam kurikulum 1984 disebut pragmatik
tampaknya dimasukkan pembicaraannya di dalam komponen penggunaan. Jadi, yang hilang
hanya namanya, sedangkan eksistensinya tetap ada. Secara sosiolinguistik "materi" yang ada

10
di dalam konsep pragmatik cemang sudah seharusnya diajarkan kepada murid-murid agar
mereka dapat menggunakan bahasa sesuai dengan yang menjadi interlekutornya (lawan
bicaranya), topik pembicaraan, situasi, dan tempat pembicaraan, tujuan nembicaraan dan
sarana yang digunakan. Namun, kalau kita berbicara tentang penggunaan bahasa dalam situasi,
topik, atau bidang-bidang tertentu, berarti kita berbicara mengenai pelbagai variasi bahasa, baik
yang disebut dialek regional, dialek sosial, dialek temporal, maupun yang disebut ragam formal
dan ragam tidak formal (ragam santai, kolokial, dan sebagainya). Apakah semua dialek dan
ragam ini harus diajarkan ? Seharusnya "ya", sebab yang harus diajarkan, menurut asas belajar
bahasa, adalah kenyataan bahasa yang digunakan dalam semua kegiatan berinteraksi. Tetapi,
berdasarkan (1) kebijaksanaan bahasa nasional, (2) proses penguasaan ragam tak baku, dan (3)
keterbatasan tenaga dan waktu, maka ragam-ragam yang tidak baku tidak perlu secara eksplisit
diajarkan. Kebijaksanaan bahasa, yang ditetapkan sebagai politik bahasa nasional (dalam
Seminar Politik Bahasa Nasional 1975) hanya menyebutkan perlunya pembinaan dan
pengembangan ragam baku, yang dieksplisitkan sebagai ragam yang harus digunakan sebagai
bahasa resmi kenegaraan; sedangkan ragam nonbaku tidak disebutkan untuk dibina dan
dikembangkan. Alasan kedua untuk hanya mengajarkan ragam baku adalah bahwa dalam
kenyataan ragam-ragam nonbaku biasanya dapat dipelajari secara langsung dalam percakapan
sehari-hari, karena sesungguhnya, penggunaan ragam nonbaku sangat luas di
dalam .masyarakat. Alasan ketiga untuk tidak mengajarkan ragam nonbaku adalah keterbatasan
waktu dan tenaga. Waktu untuk mengajarkan bahasa sangat terbatas; begitu pun tenaga dan
kemampuan guru sangat terbatas. Jadi, waktu dan tenaga yang terbatas itu sebaiknya
dimanfaatkan saja baik-baik untuk mengajarkan ragam baku itu. Meskipun ragam nonbaku ini
tidak perlu diajarkan secara eksplisit, tetapi perlu diberitahukan atau dijelaskan kepada murid
agar mereka dapat mengetahui mana ragam baku dan mana pula yang tidak baku. Dengan
mengetahui perbedaan di antara keduanya, tentu mereka akan dapat menggunakan bahasa
ragam baku dengan lebih baik. Pembedaan ragam baku dan nonbaku adalah berdasarkan
penggunaan ragam bahasa itu untuk situasi resmi dan situasi tidak resmi. Penggunaan bahasa
dalam rapat-rapat dinas atau surat-surat dinas adalah contoh situasi resmi; tetapi penggunaan
bahasa di warung kopi dengan topik pembicaraan yang tidak menentu adalah contoh
penggunaan bahasa dalam situasi tidak resmi. Penggunaan ragam baku juga masih terikat
dengan status sosial lawan bicara, dengan tempat pembicara, dan dengan konteks pembicaraan.
Status sosial lawan bicara dapat menentukan kata sapaan yang harus digunakan Lawan bicara
yang lebih tua dapat disapa dengan kata-kata kakak, bapak ibu, saudara, atau tuan, Tempat
pembicaraan dapat menentukan kualitas suara yang digunakan. Berbicara di ruang baca sebuah
11
perpustakaan, di dalam mesjid, di tepi jalan yang bising memerlukan kualitas suara yang
berbeda Yang dimaksud dengan konteks pembicaraan bisa berkenaan dengan pokok atau topik
pembicaraan, dengan tempat dan waktu pembicaraan, atau juga dengan kelompok pendengar
tertentu. Konteks ini dapat memberi makna atau informasi yang berbeda meskipun wujud
ujaran yang dipergunakan adalah sama. Umpamanya ujaran berupa kalimat tanya, "Tiga kali
empat berapa?" Jika diucapkan di ruang kelas tiga sekolah dasar ketika berlangsung mata
pelajaran matematika, maka jawaban yang benar adalah "Dua belas". Jawaban selain dari itu
adalah salah. Sebaliknya kalau kalimat pertanyaan tadi diucapkan kepada pemilik toko potret
di ruang kerjanya, dia mungkin akan menjawab, "Dua ratus", atau juga "Tiga ratus". Mengapa
jawaban di ruang kelas tidak sama dengan jawaban di toko potret? Karena konteksnya berbeda;
penutur dan lawan tutur yang memahami dan menyadari konteks itu akan mengerti mengapa
jawaban itu tidak sama. Contoh lain, ujaran yang berbunyi, "Sudah hampir pukul dua belas"
diucapkan dalam konteks (1) di asrama putri, pada malam hari, oleh seorang ibu asrama,
kepada seorang tamu laki-laki yang masih berada di situ; (2) di ruang kantor, siang hari,
diucapkan oleh seorang pegawai kepada teman-temannya; dan (3) di pesantren, siang hari,
diucapkan oleh seorang guru (ustad), ditujukan kepada para santri. Dalam konteks (1) tentu
bermakna bahwa si tamu laki-laki itu diminta supaya segera pulang; dalam konteks (2) tentu
bermakna bahwa sebentar lagi waktu beristirahat akan tiba; dan dalam konteks (3) tentu
bermakna bahwa sebentar lagi waktu shalat Zuhur akan tiba, dan para santri diminta untuk
bersiap-siap. Pemahaman makna ujaran menurut konteksnya yang juga termasuk masalah
pragmatik, sudah seharusnya diajarkan sebagai bagian dari pelajaran bahasa.

12
Bab III

Penutup

3.1 Kesimpulan
Terdapat empat hal yang dibahas dalam makalah ini, yaitu variabel pembelajaran
bahasa mengenai beberapa variabel dan asas yang saling berkaitan, tujuan bahasa, pengajaran
bahasa kedua mengenai pembelajaran bahasa asing di samping Bahasa Indonesia, dan
pragmatik dan pengajaran bahasa.

13
Daftar Pustaka

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka
Cipta.

14

Anda mungkin juga menyukai