Anda di halaman 1dari 202

Sejarah Hukum Tanah Indonesia

BAB I
Pendahuluan

Di seluruh Indonesia sifat masyarakatnya bertalian erat dengan hukum tanahnya.


Jiwa rakyat dan tanahnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Ini berarti bahwa tiap
perubahan dalam jiwa rakyat baik sebagai hasil pertumbuhanyang lama maupun
sebagai akibat letusan revolusi, menghendaki juga perubahan dalam hukum tanah.
Demikian pula perubahan dalam hukum tanah jika dilaksanakan dengan
Konsekuen akan menimbulkan perubahan dalam jiwa rakyat dan bentuk
masyarakatnya.4 Pembentukan sudah selayaknya memperhatikan bahwa tanah adalah
pusaka bangsa; tanah adalah sumber kekuatan dan jaminan hidup bagi bangsa sejak
purbakala sampai akhir zaman.5 Hukum tanah mengatur tentang hubungan antara
manusia dengan tanah.6 Dengan demikian Hukum Tanah Indonesia mengatur tentang
hubungan antara manusia, Pemerintah yang mewakili negara sebagai badan hukum
publik maupun swasta termasuk badan keagamaan/badan sosial dan perwakilan negara
asing dengan tanah di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam
pengertian tersebut termasuk di dalamnya memelihara tanah, menambah kesuburannya
serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau
instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu dengan memperhatikan
pihak yang ekonominya lemah.7
Hukum Tanah adalah ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah dapat disusun menjadi satu kesatuan yang merupakan satu
sistem.8 Mempelajari hukum tanah dapat dianalogikan dengan menaruh mainan dari
gambar yang terpotong dan harus disusun lagi tidak gampang untuk menentukan dari
mana kita harus memulainya. Seringkali hubungan antara potongan-potongan gambar
tersebut baru dipahami dan dimengerti setelah gambar memiliki bentuk.9

4
Diantara kedua itu, bentuk masyarakat dan hukum tanah ada hubungan yang oleh Karl Manheim
disebut “Interpendentie”. Jiwa rakyat dan tanahnya tidak dapat dipisah-pisahkan. Dengan demikian dapat
dimengerti bahwa “Interpendentie”antara jiwa rakyat dan tanahnya adalah sebagai suatu kenyataan.
Lihat Singgih Praptodihardjo, Sendi-Sendi Hukum Tanah di Masa Depan, Pustaka Sarjana No.5,
Yayasan Pembangunan Jakarta, 1952, h.12.
5
Tanah air yang telah kita rebut kembali dari tangan penjajah dengan perjuangan dan pengorbanan
yang besar, maka adalah kewajiban kita sekarang, akan menjaga jangan sampai tanah kita itu jatuh
kembali dalam kekuasaan bangsa asing, baik kekuatan politis maupun ekonomis. Tanah yang telah kita
lepaskan dari bangsa asing itu hendaknya jangan sampai hanya dikuasai oleh segolongan rakyat yang
mampu saja, hingga mereka dapat menimbun kekayaan hasil tanah sekehendak sendiri tetapi seharusnya
tanah itu benar-benar diusahakan supaya mendatangkan manfaat bagi rakyat seluruhnya sebagai suatu
keluarga. Di samping itu hendaknya dalam menggunakan tanah itu juga menginsyafi kewajibannya
dalam arti bahwa dalam hasil pemanfaatan dan penggunaan tanah itu tidak semata-mata untuk
kepentingan diri sendiri tetapi untuk memberi hidup bagi masyarakat seluruhnya. Singgih
Praptodihardjo,Ibid., h. 12-13.
6
Sarah Nield, Hongkong Land Law. Longman Group (Far East), Ltd. Hongkong, 1992, h. 1.
7
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960, Pasal 15.
8
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undanti-Undanu Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Cet. Ketujuh, (Edisi Revisi), Jakarta, 1997. h 16.
9
Sarah Nield, Loc.Cit. h. 1.

1
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Demikian juga di Indonesia menurut pengamatan penulis apakah hukum tanah


Indonesia itu dimulai dari yang pertama, yaitu sistem penguasaan pemilikan tanah dulu,
atau apa dari yang kedua, yakni pemberian hak untuk sertifikasi dan ijin lokasi ?
Apabila dimulai dari yang pertama yaitu pengaturan penguasaan pemilikan tanah,
akibatnya menjadi banyak perbuatan hukum hanya dalam bentuk-bentuk akte peralihan
seperti jual beli, jual beli di bavvah tangan dan lain-lain tanpa sepengetahuan
Pemerintah Pusat dan Daerah. Berdampak sumber pemasukan Pemerintah pusat dan
daerah akan menjadi berkurang.
Selanjutnya jika akan dimulai dari yang kedua, yaitu memberikan hak untuk
sertifikasi dan ijin lokasi, maka akibatnya akan banyak perbuatan hukum yang
merugikan kepentingan umum, yang akhirnya terjadi ketimpangan pemilikan dan
penguasaan tanah. Dengan demikian peraturan hukum tanah Indonesia pada saat ini
lebih menekankan kepada kepastian hukum dan belum mengarah kepada keadilan serta
berhasilguna dalam pengaturan pemilikan maupun penguasaan tanah.
Kenyataannya selama ini Pemerintah lebih mengarah kepada pengaturan yang
kedua yaitu pemberian hak untuk sertifikasi dan ijin lokasi. Sehingga dengan demikian
sampai pada tahun 1998, munculah lahan tidur atau tanah terlantar, akibat banyak ijin
lokasi yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah kepada pihak swasta, yang tidak dapat
dikembangkan dan dibangun sesuai dengan peruntukan penggunaan tanah yang telah
diberikan. Demikian juga pemilikan dan penguasaan tanah untuk perorangan karena
peraturannya dicabut, maka sampai saat ini banyak-pemilikan dan penguasaan tanah
yang timpang hanya dimiliki oleh pihak-pihak tertentu, sehingga terdapat monopoli,
khususnya di daerah kawasan bisnis, apartemen dan rumah susun serta Real Estate.
Oleh karenanya asumsi penulis pada saat ini bahwa pada umumnya di Negara
berkembang dan khususnya di Negara tidak berkembang hal ini barangkali yang dianut,
yaitu melalui pendekatan ekonomi dengan menetrapkan restribusi yang besar agar
dapat melaksanakan pembangunan negaranya.

A. Zaman Pemerintahan Belanda.


1. Zaman V.O.C.
Sejak zaman Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) 1602-1799,
pengaturan, pemilikan dan penguasaan tanah menerapkan hukum barat dengan
tidak memperdulikan hak-hak tanah rakyat dan raja-raja di Indonesia. Hukum
adat sebagai hukum yang mempunyai corak dan sistem sendiri, tidak
dipersoalkan VOC, bahkan membiarkan rakyat Indonesia hidup menurut adat
dan kebiasaannya.10
Untuk daerah Jakarta, maka tanah diatur menurut “hukum Kompeni”
secara Barat, atau diserahkan kepada penduduk golongan Eropa dan bangsa
Timur untuk diusahakan (diexploitatie). Kemudian C. Chastelin disebut sebagai

10
S.Roestandi Ardiwilaga, Hukum Agraria Indonesia, NV. Masa Baru, Bandung, 1962, Cetakan
kedua, 114 Lihat juga Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah Daerah Kebutuhan
Hidun, Chandra 1995, h. 8, 9, 10 dan 11, dan S. Purwopranoto, Penuntun tentang Hukum Tanah, Astana
Buku, Seasarang, 1953, Cetakan kedua, h. 7-8.

2
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

“tuan tanah” pertama yang membeli “tanah partikelir” di Serengseng dan


Depok, tahun 1705.11
Pada tanggal 31 -12-1799 tamatlah riwayat Kompeni, yang telah
membawa rakyat kelembah kemelaratan. Badan perdagangan ini pecah dan
daerahnya serta utang-utangnya diserahkan kepada Bataafse Republiek, yang
memegang Pemerintahan di tanah air kita ini sejak 1 Januari 1800. Tahun 1806
Bataafse Republiek berubah menjadi Kerajaan Belanda dan kekuasaan
Pemerintahan daerah jajahan kemudian berada ditangan Raja Belanda.12

2. Zaman Herman Willem Daendels


Pada tahun 1808-1811 Herman Willem Daendels menjadi Gubernur
Jenderal di Jawa untuk mengganti Louise. Daendels pernah menulis :
“eigendom atas tanah tidak dikenal oleh rakyat, yang sejak dahulu sudah biasa
bekerja di bawah perintah bupati-bupati dan kepala-kepala lainnya, dan rakyat
merasa lebih berbahagia, diperlakukan sebagai penanam, asal menerima upah
yang layak, dari pada sebagai orang yang empunya atau yang menyewa tanah
dalam keadaannya yang masih biadab itu”.13 Bahkan Daendels telah menjual
tanah secara besar-besaran (Partikulaire Landrijen).14
Namun demikian, tidak banyak perhatian diberikan pada masalah-masalah
penguasaan tanah, kecuali beberapa wilayah Batavia, Semarang dan Surabaya
dijual kepada orang-orang swasta sebagai suatu cara memecahkan kesulitan-
kesulitan keuangan.15

3. Zaman Thomas Stamford Raffles


Setelah Pemerintahan Hindia Belanda jatuh ketangan Inggris tahun
16
1811, disetujuilah bahwa Inggris harus menguasai milik Hindia Belanda, dan
pasukan Inggris bergerak menguasai pulau Jawa.17 Ketika itu Thomas Stamford
Raffles (1811-1816) yang ditugaskan untuk menj adi penguasa di Indonesia.
Kemudian setelah Gubernur Jenderal Raffles memegang Pemerintahan,
maka dilakukan penyelidikan dan Akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa
awalnya Rajalah yang menjadi pemilik semua tanah. Rakyat mendapat tanah
secara pinjam dengan penggantian berupa bahan mentah. Maka dari itu di
daerah Swapraja kita menjumpai tanah kesunanan di daerah Gubernemen (tanah
G.G.) kecuali jika seseorang dapat membuktikan bahwa ia adalah pemilik tanah

11
S. Roestandi, Ibid., h. 115.
12
S. Roestandi, Ibid., h. 115.
13
S. Roestandi, Ibid., h. 118.
14
S. Purwopranoto, Penuntun tentang. Hukum Tanah. Istana Buku, Abede, Semarang,1953, h.8.
15
Erman Rajagukguk, Hukum Agraria. Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan Hidup, Chandra
Pratama, Jakarta, cet. pertama, Nopember 1995, h. 11
16
S. Roestandi, Op. Cit., h. 119.
17
Erman Rajagukguk, Loc. Cit., h. 11.

3
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

tersebut. Karenanya oleh Raffles lalu diadakan pemungutan pajak bumi. Mula-
mula dinamakan Landrent (sewa tanah).18

4. Zaman H.W. Muntinghe.


H.W. Muntinghe mengemukakan pendapatnya dalam sebuah rapat
(tanggal 14 Juli 1817) tentang Agrarisch-Beleid. Rapat itu membahas beberapa
hal :19 (a) Persewaan tanah (Stelsel Landrente) (b) Administrasi hutan Jati
(tanah dianggap domain negeri dan penuntutan kerja berat dari rakyat); (c)
Kebun Kopi (pantai utara); (d) Permintaan kaum partikelir untuk menyewa
tanah dan membeli tanah (kolonisasi).
Menurut pandangan Muntinghe, tujuan berdirinya kekuasaan Belanda
ialah untuk kemakmuran Negeri Belanda dan memperoleh hasil keuangan yang
cukup untuk membiayai Pemerintahan dan pertahanan untuk melindungi rakyat
jajahan.20 Untuk maksud ini Belanda melihat dua jalan yaitu :21
a. Stelsel Belasting :
Rakyat menjadi dasar bagi adanya Pemerintah; belasting yang layak dipungut
dari rakyat, merupakan sumber penghasilan dan kekayaan.
b. Stelsel Handel:
Raja itu pedagang serta rakyat itu harus mengabdi kepada kepentingan
perdagangan (seperti Stelsel Kompeni).
Muntinghe memilih Stelsel Belasting (Stelsel Benggala) yang pokok
dasarnya ialah kebebasan rakyat untuk menguasai tenaga dan benda. Ia
mengatakan, “Kebebasan membawa berkat, sedang paksaan mengakibatkan
kesengsaraan. Dengan paksaan orang di Jawa akan bekerja lambat, tetapi
dengan kebebasan ia akan mengerjakan pekerjaannya dengan cepat di ladang
dan dalam mengusahakan tanahnya akan memberi hasil (producten) yang
diperlukan bagi pasar Eropa, asal dapat pembayaran yang layak”.22

5. Zaman C.Th. Elout, A.A. Buyskes, G.A.G. Baron van der Capellen
Setelah Conventie London (1814) Pemerintah Belanda mengangkat
Commissarissen-Generaal C.Th. Elout (liberal), A.A. Buyskes, G.A.G. Baron
van der Capellen (1816-1819) yang melanj utkan tindakan-tindakan
Pemerintahan Inggris, termasuk pula Stelsel Landrentenya.23
Juga Elout pernah memikirkan untuk mengeluarkan tanah kepada
pengusaha-pengusaha barat, agar exportproductie maju bagi kepentingan
perdagangan dan pelayaran, akan tetapi maksud ini tidak dapat dilaksanakan.24

18
S. Purwopranoto, Loc. Cit., h. 8. Lihat juga Erman Rajagukguk, Ibid., h. 11-18 dan S.Roestandi,
Op. Cit., h. 119-120.
19
S. Roestandi, Ibid., h. 121.
20
S. Roestandi, Ibid., h. 121.
21
S. Roestandi, Ibid., h. 121.
22
S. Roestandi, Ibid., h. 121.
23
S. Roestandi Adiwilaga, Op. Cit., h. 120.
24
S. Roestandi, Ibid., h. 121.

4
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

6. Zaman Van der Capellen


Wali Negeri baru Van der Capellen (1819-1826), mengepalai orang-orang
yang menolak perluasan tanah ditangan pengusaha Barat tersebut, dan terbukti
bahwa politiknya berlawanan sekali dengan asas-asas liberal yang dianut oleh
rekan-rekan Commissie-Generaal Elout dan Buyskes, sebagaimana tercantum
dalam R.R.1818."25
Dalam masa tahun 1819-1825 perkebunan Barat dengan sengaja dicegah.
Dilakukan pembelian kembali tanah partikelir (antara lain tanah Sukabumi)
dengan alasan hendak memperbaiki kesalahan dari Daendels dan Raffles.
Selanjutnya Perdagangan bebas dipersukar. “Contracten van Landverhuringen”
(di Vorstenlanden) dibatalkan mulai tanggal 1-1-1824 (tetapi keputusan ini oleh
penggantinya Du Bus ditarik kembali pada tahun 1827).26
Pemerintahan Van der Capellen oleh lawan-lawannya dianggap tidak
memuaskan terutama dalam hal keuangan. Elout yang mengganti Falck sebagai
Minister van Kolonien tahun 1824 mencela kebijaksanaan Falck yang sudah
membiarkan segala tindakan-tindakan Van der Capellen sekehendak sendiri
itu.27
Van der Capellen meninjau soal Grootgrondbezit dari sudut tujuan politik-
kolonial. Keputusan yang diambil adalah sambil menghilangkan segala
ketidakadilan bagi rakyat, tetapi dapat memberi keuntungan kepada Negeri
Belanda. Tujuan utama ialah melindungi rakyat dan mendidik rakyat supaya
siap sedia untuk kemerdekaan, sebab akhirnya semua daerah jajahan menuju
kearah itu. Tetapi tujuan terakhir ini masih jauh kelihatan untuk diwujudkan.28

7. Zaman Du Bus de Gisignies.


Kemudian Du Bus de Gisignies (1826-1830) dikirimkan ke Indonesia,
untuk mengadakan perbaikan-perbaikan dan penghematan. Menurut instruksi ia
antara lain harus mempertahankan hal-hal sebagai berikut: supaya landrente-
stelsel dapat berjalan baik, hendaknya diusahakan pembentukan desa-desa baru
dan pembukaan lahan-lahan baru, dimana rakyat menjadi pengusaha sendiri,
tidak sebagai buruh harian di perusahaan Barat. Hak petani atas ladang-
ladangnya harus dijamin menurut recept liberal; hak tanah Indonesia harus
diperkuat secara Barat.29
Pada tahun 1816-1829, terdapat pelbagai paham dikalangan Pemerintah
kolonial tentang asas dan corak kebijaksanaan agraria yang semuanya
didasarkan kepada pandangan, bahwa negara yang mempunyai tanah
(Staatseigendom).30

25
S. Roestandi, Ibid., h. 123.
26
S. Roestandi, Ibid., h. 123.
27
S. Roestandi, Ibid., h. 123.
28
S. Roestandi, Ibid., h. 124.
29
S. Roestandi, Ibid., h. 126.
30
S. Roestandi, Ibid., h. 127.

5
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Kemudian pada era ini pula terdapat 2 (dua) aliran yang diperdebatkan
sampai tahun 1870. Aliran tersebut adalah :31
1) Aliran “Asia” yang disandarkan kepada hak kekuasaan dari Raja Asia yang
chajal. Aliran ini terdapat pada kaum kolot atau “Conservatief ’ yang hendak
memegang pimpinan secara ketimuran dan memisahkan diri dari dunia luar,
dengan Pemerintahan dan rakyat sebagai kesatuap sosial dan fiscaal, di mana
tak ada tempat “untuk tumbuh-tumbuhan parasit” (istilah Van der Capellen
bagi pengusaha-pengusaha Barat).
2) Aliran “Barat” yang lahir dari paham-paham Barat, berhadapan dengan hak
sewa dari petani yang sah dan hendak memperbaikinya. Pengikut-
pengikutnya adalah kaum liberal, yang menganggap paham Barat sudah pasti
keunggulannya dan hendak inemajukan rakyat menurut paham-paham itu.
Dibukanya tanah untuk modal partikelir dan kemauan usaha partikelir adalah
suatu kebajikan (Weldaad) bagi Indonesia (E.H.s’Jacob: landsdomein en
adatrecht).

8. Zaman J. Graaf van den Bosch


Peraturan baru diundangkan 1829 dan tidak lama kemudian J. Graaf van
den Bosch diangkat menjadi Gubernur-Jenderal (1830-1833).32
Sejak tahun 1830 diadakan peraturan baru yang terkenal dengan nama
Culture Stelsel (sistem perusahaan atau perkebunan) oleh Gubernur Jenderal
V.d. Bosch. Sekalipun stelsel ini tak begitu buruk dalam teorinya, tetapi cara
pelaksanaannya jauh dari pada memuaskan. Pajak bumi yang berupa uang
diganti dengan hasil bumi, karena bagi rakyat sukar sekali untuk mendapatkan
uang yang pada waktu itu memang masih sedikit beredar. Agar Pemerintah
mendapat uang banyak, maka dalam penyetoran hasil bumi ini ditetapkan
macamnya hasil bumi yang sangat berharga di pasar Eropa (dunia).33
Prinsip dari stelsel itu dalam pokoknya sebagai berikut :34 (a) Dengan
rakyat akan diadakan perjanjian untuk menyerahkan seperlima bagian dari
sawah guna ditanami bahan-bahan yang dibutuhkan bagi pasar di Eropa; (b)
Tanah yang diserahkan akan dibebaskan dari pajak bumi; (c) Penanaman
tanaman itu tidak boleh membutuhkan lebih banyak tenaga dari pada tanaman
padi; (d) Kemungkinan pusa akan ditanggung (menjadi beban) sendiri oleh
Gubememen; (e) Apabila harga menurut taksiran melebihi harga padi, maka
kelebihan tadi akan dikembalikan kepada rakyat; (f) Rakyat akan
memperkerjakannya dibawah pimpinan kepala daerah (Lulhoofden), sedang
pegawai bangsa Eropalah yang mengawasinya.

31
S. Roestandi, Ibid., h. 128.
32
S. Roestandi, Ibid., h. 128.
33
S. Purwopranoto, Op. Cit., h. 8.
34
S Purwopranoto, Ibid., h. 8-9. Lihat juga Erman Rajagukguk, Op. Cit., h. 18, 19, 20

6
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

9. Zaman J.C. Baud.


Akhirnya J.C. Baud (1833-1836) dengan pengeluaran tanah sewa (K.B.
tanggal 20-3-1831 No.80) mengambil jalan tengah antara lain :35
a) Keberatan-keberatan yang banyak dikemukakan (oleh ambtenaren B.B.)
terhadap permintaan pengusaha-pengusaha partikelir, berhubung dengan
adanya hak-hak rakyat, yang menyatakan bahwa tidak ada tanah yang tidak
termasuk di dalam daerah desa (hak ulayat);
b) Cara semau-maunya mengeluarkan tanah kepada pengusaha-pengusaha
partikelir seperti dialami pada zaman Du Bus, tanpa memperhatikan hak dan
kepentingan rakyat.(menurut K.B. 20-9-1831 No.80, dengan persewaan tanah
itu memberi kemungkinan pula untuk mengeluarkan Woeste Gronden dengan
eigendom, huur dan erfpacht kepada bangsa Belanda, Eropa dan bangsa
Timur, dengan syarat untuk perluasan Culture yang berguna).
Kemudian pada tahun 1839 Pemerintah menghentikan untuk sementara
rengeluaran tanah, supaya tenaga rakyat dapat dikerahkan khusus untuk
pekerjaan- pekerjaan yang bersangkut paut dengan cultuur stelsel.36
Baud (1840-1848) yang mengganti Van den Bosch sebagai Minister van
Kolonien melarang sama sekali pengeluaran tanah untuk menanam kopi, gula,
indigo, tanpa izin dari Opperbestuur (Raja Belanda).37
Dibawah ministerie Van den Bosch dan Baud (1834-1848) Pemerintahan
jajahan : Control langsung dari Negeri Belanda, sehingga Gubernur Jenderal
Baud; D.J. de Eerens, P. Merkens. Jonkheer C. Reijnstdan J.J. Rochussen (
1833-1851) hanya menjalankan (Uitvoerder) dari apa yang dikehendaki oleh
Pemerintah Belanda saja, ir.g tujuannya hanya semata-mata mengambil
keuntungan sebesar-Besarnya dari lierah jajahannya (Batig Saldo).38
Demikianlah stelsel Cultures-Gubernemen adalah stelsel agraria bagi
Jawa segala sesuatu lainnya harus dikorbankan kepadanya sampai tahun 1848.39
Pada tahun 1848 G.L. Baud (keponakan J.C. Baud) menjadi Minister van
Kolonien. Tahun 1849 ia menerangkan didalam Tweede Kamer (parlemen
Belanda), jbung dengan adanya saran untuk menjual lagi tanah-tanah partikelir,
bahwadalam pelaksanaan Cultuurstelsel banyak dilakukan kesalahan-kesalahan,
sehingga perlu diadakan peninjauan kembali, tetapi pada pokoknya stelsel itu
masih perlu. Penjualan tanah, baik “eigendom tertentu dari rakyat” maupun
tanah-tanah desa, adalah tidak sah (Onrechtmatig), bagaimanapun orang
mengatakan tentang “hak eigendom atas tanah jajahan di Hindia Timur”
(Domeinleer). Betul disana terdapat tanah hutan belukar (Woeste Gronden) yang
tidak ditanami oleh rakyat, sedang hak desa (hak ulayat) diragukan adanya, akan

35
S. Roestandi, Op. Cit., h. 128, 129.
36
S. Roestandi, Op. Cit., h. 130.
37
S. Roestandi, Op. Cit., h. 131.
38
S. Roestandi, Op. Cit., h. 131.
39
S. Roestandi, Op. Cit., h. 131.

7
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

tetapi rakyat di Jawa dengan cepat sekali bertambah sehingga segera akan
membutuhkan tanah-tanah itu.40

10. Zaman A.J. Duymaer van Twist


A.J. Duymaer van Twist (liberal) (1851 -1856) diangkat menjadi
Gubernur Jenderal pada masa itu lahir Regerings-Reglement 1854 (S. 1855
No.2).41
Kebijaksanaan politik Pemerintah, tetap didasarkan pada asas :42
a) bahwa kekuasaan Belanda didaerah jajahan itu harus dipertahankan dengan
jalan damai, dan
b) bahwa dengan memperhatikan kemakmuran rakyat anak negeri, tanah j aj
ahan itu harus tetap memberikan keuntungan lahir (Stoffelijke Voordelen)
kepada Negeri Belanda, ialah maksud berdirinya kekuasaan Barat.
Untuk mencapai tujuan tersebut rakyat asli itu selalu diperintah menurut
adat istiadatnya, dengan tidak menyimpang dari peraturan-peraturan yang adil
dan langsung dibawah pimpinan kepala-kepalanya sendiri, tetapi selalu dijaga
adanya perkosaan dan kelalaian (Misbruik en Nalatigheid).43
Dalam persiapan R.R. 1854 ternyataPemerintah Belanda tidak mempunyai
pendirian yang jelas mengenai hak-hak tanah. Keragu-raguannya itu disebabkan
:44
1) tak ada sama sekali tertulis tentang hak tanah rakyat asli ataupenduduk
pribumi,
2) kurang mengerti atau memahami pengetahuan tentang adat.
3) kesalahan-kesalahan dalam penyelidikan kearah itu, yang selalu diselaraskan
dengan pengertian dan pengetahuan barat.
Demikianlah tidak ada kepastian yang tegas mana tanah yang disebut
“tanah yang telah diusahakan rakyat” (Beboirwde Gronden), mana ’’yang tak
diusahakan rakyat” (Onbebouwde Gronden).
Bahwa Pemerintah menganggap berhak atas tanah yang telah diusahakan
rakyat (Bebouwde) tampak dalam peraturan-peraturan mengenai a. landrente, b.
Cultures Gubernemen, c. penjualan tanah yang kecil-kecil, sebagai berikut :45
a) Hal landrente: Tatkala R.R. 1854 direncanakan, niula-mula dalam Le
Ontwerp disebut “pajak tanah” Jadi konstruksi sewa yang dimaksud dalam
R.R. 1836 dilepaskan, tetapi istilah “pajak tanah” itu kemudian dalam le
ontwerp ditinggalkan. Kekuasaan memungutnya dipandang tak dapat
disangkal lagi, tetapi mengenai alasannya orang rupanya berbeda pahamnya.
b) Hal Cultures : keragu-raguan yang tidak menjadi rintangan untuk memungut
landrente, juga tidak menjadi rintangan untuk mempergunakan tanah rakyat

40
S. Roestandi, Op. Cit., h. 132.
41
S. Roestandi, Op. Cit., h. 133.
42
S. Roestandi, Op. Cit., h. 133.
43
S. Roestandi, Op. Cit., h. 133.
44
S. Roestandi, Op. Cit., h. 133.
45
S. Roestandi, Op. Cit., h. 133-134

8
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

untuk Cultures Gubememen, asal memakai keadilan dan menghormati adat-


istiadat rakyat (Pasal 56 R.R.).
c) Hal penjualan tanah : Pemerintah (juga dengan ijin Opperbestuur) tidak
berwenang untuk menjual tanah secara luas (Landerijen). Penjualan tanah
yang kecil untuk perluasan kota dan mendirikan perusahaan adalah
perkecualian dari asas, bahwa Pemerintah berhubung dengan hak rakyat tak
boleh menjual tanah; tanah hanya dapat dijual bila rakyat menanggalkan
haknya, sehingga Pemerintah sekarang dapat menjual tanah itu, sebagai hak
eigendom dari Pemerintah yang sudah bebas dari hak-hak rakyat
(onbezwaard).
Kemudian dalam Pasal 62 R.R. 1854 bunyinya seperti berikut :46
1) Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah.
2) Dalam larangan ini tidak termasuk penjualan tanah kecil-kecil untuk
perluasan kota dan desa dan untuk mendirikan perusahaan-perusahaan.
3) Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah dengan Peraturan Undang-
undang.
Dalam Peraturan ini tidak termasuk tanah-tanah yang telah dibuka oleh
rakyat asli atau sebagai penggunaan umum atau karena sebab-sebab lain “
termasuk dalam desa”.
Menilik isi dari pasal tersebut diatas teranglah sudah, bahwa
Regeringsreglemen 1854 tidak terang-terangan menentang cultuurstelsel yang
lampau tetapi sementara memuat peraturan yang maksudnya untuk melindungi
bangsa Indonesia terhadap perkebunan secara paksa. Selanjutnya mengandung
arti pula akan memajukan peralihan dari perusahaan/perkebunan yang
diselenggarakan oleh Pemerintah ke Vrije Cultuur (tanah partikelir).47
Karena Pasal 62 Regeringsreglement 1854 jauh memuaskan bagi
perkebunan/perusahaan partikelir dan kurang memuat jaminan terhadap hak
tanah bagi bangsa Indonesia, maka kemudian diadakan penyelidikan yang
mendalam dan akhirnya timbullah Undang-undang baru dalam tahun 1870
dengan nama Wet Agraria 1870.48
Dengan berlakunya Wet agraria 1870 maka Pasal 62 Regeringsreglement
1854 ditambah dengan 5 ayat baru, yang membuka kemungkinan-kemungkinan
baru dalam soal mempunyai dan mempergunakan tanah. Adapun tambahan 5
ayat itu sebagai berikut :49
1) Menurut peraturan yang ditetapkan dalam undang-undang, maka tanah dapat
diberikan dengan hak erfpacht selama tidak lebih dari 75 tahun.
2) Gubernur Jenderal menjaga agar dalam pemberian tanah, hak tanah dari
bangsaIndonesia tidak dilanggar.
3) Tanah-tanah yang dibuka oleh bangsa Indonesia untuk keperluan sendiri atau
tanah kepunyaan desa sebagai pangonan umum ataupun dengan sifat-sifat

46
S. Roestandi, Ibid., h. 134,135.
47
S. Purwopranoto, Op. Cit., h. 9, 10.
48
S. Purwopranoto, Ibid., h. 10.
49
S. Purwopranoto, Ibid., h. 10.

9
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

lain tidak boleh dipergunakan oleh Gubernur Jenderal, kecuali untuk


kepentingan jmum bersandar atas Pasal 77 (sekarang Pasal 13 3 I, S) dan
untuk perkembangan Pemerintah, menurut peraturan-peraturan yang
bersangkutan dengan itu, dengan disertai uang kerugian yang seksama.
4) Tanah milik bangsa Indonesia atas permohonan dapat diberikan kepadanya
dengan hak eigendom dengan pembatasan menurut Undang-undang yang
harus ditetapkan, dan dicantumkan dalam surat eigendomnya, yaitu mengenai
kewajiban terhadap Negara dan desapun hak untuk menjual tanah itu kepada
orang bukan Indonesia.
5) Persewaan atau pemberian pemakaian tanah oleh bangsa Indonesia dilakukan
menurut peraturan yang harus ditetapkan dalam Undang-undang.
Berkenan dengan Wet agraria diatas maka kemudian keluar ketetapan
Raja Belanda yang terkenal dengan sebutan “Agrarische Besluit” (stb.1870
No.118). Dengan adanya Agrarische Besluit ini Pemerintah Belanda telah
menyatakan diri sebagai satu-satunya pemilik tanah seluruh kepulauan
Indonesia Hak Milik rakyat atas tanah pusakanya dengan pernyataan itu
bergantung di awang-awang. Adapun pernyataan dalam Agrarische Besluit tadi
tercantum dalam Pasal 1 dengan nama “Domeinverklaring”, yang
menerangkan, bahwa semua tanah yang tidak terbukti ada yang mempunyainya
hak eigendom, adalah tetap kepunyaan (Domein) negeri.50 Dapatkah kita
mengambil kesimpulan bahwa semua tanah di desa, baik milik, gadai, wakaf
dan sebagainya, oleh karena bukan eigendom, adalah kepunyaan negeri.
Demikian juga dengan tanah-tanah erfpacht, opstal dan sebagainya, karena
tanah- tanah itu juga bukan eigendom. Tanah-tanah yang tidak bebas itu disebut
“onvrij Staatsdomein”. Sebaliknya tanah seperti puncak gunung Merbabu dan
hutan- hutan adalah “vrij Staatsdomein”, atau tanah mentah.
Jadi hak negeri atas tanahnya dapat hilang, jika tanah itu telah dibalik
nama dengan hak eigendom atau agraris eigendom.51
Mengenai tanah-tanah partikelir, pada masa Jepang diurus oleh suatu
instansi yang disebut Siryooti Kanrikoosya berdasarkan Undang-undang Bala
Tentara Jepang No. 17 Tahun 1942, tanggal 1 Juni 2602 (1942), juncto Osamu
Seirei No. 2 Tahun 2603 (1943). Pasal 1 Undang-undang No. 17 Tahun 1942
dengan tegas menandaskan bahwa semua tanah partikelir, sejak waktu undang-
undang tersebut berlaku, dinyatakan menjadi milik Pemerintah Jepang. Tetapi
tanah-tanah partikelir yang dipunyai oleh bangsa Indonesia untuk sementara
waktu tetap seperti biasa.52

B. Zaman Pemerintahan Jepang


Sejak berlakunya Agrarisch Wet (1870) Pemerintah Penjajah Belanda
mengeluarkan Ordonami (Staatsblad 1823 No. 164), di mana penyelenggara ar

50
S. Purwopranoto, Ibid., h. 10, 11.
51
S. Purwopranoto, Ibid., h. 11.
52
Munir Fuady, Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua, PT. Citra Aditya Bakti, Cet.
Kedua, Bandung, 1999, h.222.

10
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

kadasteral diserahkan kepada lembaga yang diberi nama Kadasteral Dient Karena
perannya yang strategis, bagi masyarakat Belanda, pejabat lembaga ini diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur Jenderal. Dalam perjalanannya Kadasteral Dient ini
masih terus berlaku hingga lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria 1960.
Sedangkan statusnya adalah Instansi Pemerintah sekaligus petugas fungsional.53
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), secara prinsip pengaturar soal
pertanahan tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan Belanda, Jawatar Kadasteral
Dient misalnya, masih tetap di bawah Departemen Kehakiman dan hanya namanya
yang diganti menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah dan Kantornya diberikan nama
Kantor Pendaftaran Tanah.54
Sedangkan pada masa penjajahan kolonial Belanda, pada saat itu Pemerintah
Jepang mengeluarkan peraturan pelarangan pemindahan hak atas benda tetap/tanah
(Osamu Serey Nomor 2 Tahun 1942). Demikian pula penguasaan tanah-tanah
partikelir Pemerintah Dai Nippon yang juga dinyatakan hapus.55
Penduduk jepang meneluarkan suatu kebijakan yang dituangkan dalam Osamu
Serey nomor 2 tahun 1944, dan Osamu Serey yang terakhir nomor 4 dan 25 tahun
1944.56
Dalam pasal 10 Osamu Serey tersebut dinyatakan bahwa untuk sementara
waktu dilarang keras memindahtangankan harta benda yang tidak bergerak, suat-
surat berharga, uang simpanan dibank, dan sebagainya dengan tidak mendapat izin
terlebih dahulu dari tentara Dai Nippon57. Terhadap tanah pertikelir diurus oleh
kantor siryooty kanrikosya dimana tanah-tanah pertikelir tidak lagi diusahakan atas
dasar hak-hak pertuanan.58
Pada periode sesudah tahun 1942, terjadi situasi yang cenderung pada :
a. Periode kacau di bidang pemerintahan mengakibatkan kebijaksanaan
pemanfaatana tanah dan penguasaan tanah tidak tertib;
b. Tujuan utama, usaha menunjang kepentingan Jepang;
c. Permulaan akupasi liar pada tanah-tanah perkebunan atau penebangan liar;
d. Usaha pengembalian kembali perkebunan milik Belanda;
e. Kerusakan fisik tanah karena politik bumi hangus dan penggunaan tanah
melampaui batas kemampuannya.59
o Petani dibebani pajak bumi sebesar 40% dari hasil produksinya. Hal ini tentu
semakin memperparah kemiskinan.
o Perkebunan-perkebunan besar menjadi terlantar karena ditinggalkan oleh
pemiliknya (Belanda maupun modal asing lainnya). Dengan adanya lahan-
lahan perkebunan yang terlantar dan kemiskinan yang parah di masyarakat,

53
Ibid., h. 14.
54
Ibid., h. 14.
55
Ibid., h. 15.
56
AP.Parlindungan, Benerapa masala dalam UUPA (Undang-undang pokok agraria), Mandar
Maju, bandung 1993, h. 43
57
Op, Cit Hlm. 673.
58
Boedi Harsono, Hukum agraria Indonesia, Jilid I, cetakan ke-12, Djambatan, Jakarta, 2008. h.
41
59
https://alhakim050181.wordpress.com/2008/11/27/sejarah-hukum-agraria-indonesia/

11
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

maka berbondong-bondonglah rakyat menduduki tanah-tanah bekas


perkebunan yang terlantar tersebut. Pemerintah pendudukan Jepang ternyata
memberi toleransi bahkan mendorong tindakan rakyat tersebut. Secara
sosiologis, kenyataan ini telah menciptakan suatu collective perception di
antara rakyat, bahwa seolah-olah mereka telah memperoleh kembali haknya
atas tanah yang dulu dicaplok oleh Belanda (dan modal asing lainnya melalui
UU Agraria kolonial 1870.60

60
http://mthatyprimuz.blogspot.co.id/2011/06/hukum-agraria-sistem-hukum-indonesia.html

12
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

BAB II
Zaman Indonesia Merdeka

1. Masa Pemerintahan Soewirjo 1945- 1947 dan 1950-1951


a. Soewirjo, Walikota Pertama (7-9-1945).
Setelah peristiwa Proklamasi 17 Agustus 1945 yang berlangsung di kota
Jakarta, sebagai pemyataan tekad bangsa Indonesia untuk merdeka, maka
tanggal 7 September 1945 Soewirjo diputuskan sebagai Walikota pertama
sebagai pejabat yang menerima kekuasaan dan tanggung jawab atas
Pemerintahan Kota Jakarta. Nama pemerintahan “Tokubetsu Shi” diganti
menjadi Pemerintahan Nasional Kota Jakarta.61
b. Soewirjo Ditangkap (21-7-1947).
Pengumuman Pemerintah Kota tentang wajib pendaftaran tanah pada saat
itu digalakkan yaitu pada waktu Pemerintah Nasional antara tahun 1945 sampai
dengan 21 Juli 1947 Suwirjo ditangkap. Walaupun dalam keadaan sulit dan
berbahaya, pemerintah kota mengadakan pengumuman di beberapa surat kabar,
yang mengharuskan penduduk agar mendaftarkan tanah yang digarapnya di
Kantor Urusan Tanah (di Jalan Kebon Sirih No. 20). Banyak yang sudah
mendaftarkan tanahnya, tetapi banyak juga yang belum. Hal ini dapat
dimengerti, berhubung dengan kekacauan pada waktu itu, sehingga
pelaksanaannya tidak dapat berjalan dengan sempurna. Malahan hanya dengan
seadanya saja hingga pada tanggal 21 Juli 1947 kantor-kantor pemerintah
diduduki oleh orang-orang Belanda.62
Pada masa ini, sebenarnya Jakarta memiliki kekhususan. Dalam ketentuan
pemerintahan daerah yang berlaku untuk Jakarta, pada tanggal 11 Agustus
1948,63 wilayah pemerintah Kota (Staadsgemeente) Batavia memiliki keunikan,
di mana Batavia beserta wilayah-wilayah disekitarnya yang merupakan distrik-
distrik dan onderdistrik-onderdistrik dari Kabupaten (Regenschap) Batavia,
Kabupaten Jatinegara (Regenschap Cornelis), dan Kabupaten Bogor
(Regenschap Buitenzorg) dikeluarkan dari kekuasaan Pasundan dan

61
Buku “Kotapradja Djakarta Raya”, dikeluarkan oleh Kementerian Penerangan Republik
Indonesia sebapw salah satu dari rangkaian 11 dijilid buku yang memuat uRayan sedjarah perdjuangan
dan pertumbuhan daerah-csr-x Republik Indonesia, h. 76. Dikutip dalam The Liang Gie, Sedjarah
Pemerintahan Kota Djakarta. Op.Cit., h. 106, MHLj
62
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Op.Cit., h. 27. Hal ini disebabkan oleh
Agresi Militer Belanda Pertama yang dilancarkan pada tanggal 21 Juli 1947 untuk merebut wilayah-
wilayah yang berada dalam kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia, Jakarta menjadi sasaran pokok
Belanda. Balaikota diduduki dan Walikota Suwirjo dan pejabat-pejabat lainnya ditahan. Lihat juga
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gita Jaya. Op.Cit, h. 15.
63
Lihat Lembaran Negara 1948/178 tentang wilayah Jakarta tetap tidak berada di bawah
kekuasaan suatu Negara bagian, dalam Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gita Jaya. Ibid., h.
15. Hal ini berarti kedudukan dan status Jakarta pada waktu itu tidak termasuk dalam lingkungan salah
satu negara bagian, melainkan langsung berada di bawah kekuasaan Pemerintah Federal. Lihat The Liang
Gie. Sejarah Pemerintahan Kota Jakarta. Op.Cit., hal. 121.

13
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

direncanakan menjadi daerah Ibukota Negara Federal, Negara Indonesia


Serikat.64
Namun Jakarta memasuki babakan tersulit antara tahun 1947 sampai
dengan tahun 1949 karena agresi Belanda di Indonesia termasuk Jakarta.
Akibatnya Soewirjo tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik dan lancar,
karena Jakarta dikuasai Belanda. Nama Jakarta dikembalikan menjadi Batavia,65
yang berarti Jakarta jatuh. Pemerintah Kotajuga berakhir dan Balaikota
diduduki Belanda. Dikuasainya Balaikota oleh Belanda dan ditangkapnya
Soewirjo, menjadikan Sistem Pemerintahan Nasional Kota Jakarta berakhir.
Jatuhnya Kota Jakarta oleh kekejaman Belanda juga merupakan bentuk
pelanggaran dan pengingkaran Belanda terhadap Perjanjian Linggarjati yang
disepakati pada tahun 1947.66
Selain dari itu Belanda melanggar Perjanjian Gencatan Senjata yang
dikenal dengan “Perjanjian Renville” dengan melancarkan operasi militer
besar-besaran yang kedua terhadap kekuatan-kekuatan Indonesia.67 Belanda
sangat berhasil dalam operasi tersebut dan selanjutnya Belanda menyerbu
masuk keIbukota Republik Indonesia Yogyakarta. Pemindahan Ibukota dari
Jakarta ke Yogyakarta dilakukan pada tanggal 4 Januari 1946.68
Namun pada waktu tahun 1949, pemerintah Belanda melakukan
pengembangan kota yang terbaru yang disebut kebayoran baru dan letaknya 7
kilometer dari Jakarta, yang dikenal dengan “Kota Satelit Kebayoran (sekarang
Kebayoran Baru) yang luasnya kurang lebih 730 hektar. letaknya di sebelah
timur Kebayoran Lama yang sudah ada. Tanggal 18 Maret 1949 diletakkan batu
pertama pembangunan kota Satelit itu.69

64
Lihat Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal 24 Maret 1950 No. 125 tentang
Penentuan wilayah baru bagi Ibukota Jakarta yang diperluas dengan wilayah Kotapradja Jakarta; Pulau
Seribu, wilayah yang berbatasan kota Jakarta, dalam Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gita
Jaya. Op.Cit., 15,16.
65
Ini akibat Peristiwa Agresi Pertama (Belanda menamakan “Aksi Polisional I, dan Indonesia
menyebut Perang Kcmerdekaan I), tanggal 21 Juli 1947. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Parasnya Purna Karya Nugraha Pelita V. Pemacu dan Pemicu Sukses PJP II. Op. Cit. h. 7.
66
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Op.Cit., h. 35. Pada tanggal 25 Maret
Naskah Persetujuan Linggarjati ditandatangani di Istana Rijswik (Gambir) di Djakarta pada jam 17.30.
Isi pokok dari perjanjian Linggarjati adalah memberikan kedaulatan de facto kepada Republik Indonesia
untuk Jawa, Sumatera dan Madura. Persetujuan Linggarjati terdiri dari 17 Pasal ditambah Pasal Penutup,
dan untuk lebih lengkapnya lihat Notosoetardjo. Dokumen Konperensi Media Bundar. (Djakarta :
Endang, 1956), h. 24,25,189-191. Lihat juga Donald W. Wilson, The Long Journey From Turmoil To
Slef Sufficiency, diterjemahkan oleh Sulaeman Krisnandhi, Yayasan Persada Nusantara, 1992, h. 33.
67
Donald W. Wilson, (penterjemah Sulaeman Krisnandhi), Ibid., h. 33. Pada tanggal 17 Januari
Persetujuan Renville ditandatangani di Kapal Renville, dengan hasil-hasil pokok sebagai berikut : (1)
Persetujuan gencatan senjata antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Indonesia, (2) Enam pasal
tambahan untuk perundingan guna nencapai penyelesaian politik. Untuk lebih lengkapnya lihat
Notosoetardjo. Dokumen Konperensi Media Bundar. Djakarta : Endang, 1956), Op.Cith. 34.
68
Donald W. Wilson penterjemah Sulaeman Krisnandhi), Op.Cith. 32.
69
Isi dari Konferensi Meja Bundar adalah (1) Belanda harus mengakui kedaulatan Republik
Indonesia Serikat dan mengembalikan kekuasaannva atas wilayah bekas Nederlands Indie, kecuali
wilayah Irian Barat, (2) Bahwa KLI ( Koninklijke Landmacht = Angkatan Darat Kerajaan Belanda) harus
ditarik dari Indonesia ke Negeri Belanda, (3) Bahwa KNIL (Koninklijke Nederlands Indisch Leger =
Tentara Hindia Belanda) akan dilebur ke dalam Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS),

14
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Setelah Belanda menghentikan aksi militemya yang kedua pada tanggal


14 Juli 1949, dan kemudian tanggal 3 Agustus 1949 diadakan gencatan senjata.
Kemudian Indonesia dan Belanda mengadakan Konferensi Meja Bundar di Den
Haag sejak tanggal 23 Agustus sampai 2 Nopember 1949. 70 Dengan demikian
tamatlah peranan militer Belanda di Indonesia, kecuali di Irian Barat. Sejak
awal September 1949 Belanda telah mulai melakukan repatriasi tentaranya dari
Indonesia. Sedangkan Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia
mengalami penjagaan ketat dari TNI, yang dikendalikan dan berada di bawah
komando para perwira tinggi.71
c. Soewirjo diangkat kembali menjadi Walikota Jakarta (30-3-1950).
Setelah pemulihan kedaulatan dan keadaan Jakarta berangsur-angsur
mulai aman dari aksi-aksi militer Belanda, pada tanggal 30 Maret 1950
Soewirjo diangkat kembali menjadi WalikotaJakarta.72 Kota Jakarta waktu itu
berbentuk Pemerintah Kotapraja Jakarta Raya,73 dan mulai ditata kembali
berbagai permasalahan yang berkaitan dengan penguasaan dan pemilikan tanah.
Urusan terpenting dan sulit dalam wilayah Jakarta Raya adalah urusan tanah.
Luas wilayah seluruh kotapraja 531 Km’, diantaranya yang termasuk tanah hak
milik
Kotapraja hanya 1765,5 hektar. Selebihnya adalah tanah negara, tanah
partikelir, dan tanah hak milik mutlak perseorangan.74Soewirjo menjalankan
tugas pemerintah kota Jakarta dengan menggunakan Staadsgemeente

(4) TNI akan menjadi inti dari APRIS. Lihat R.H A. Saleh (Mayjen TNI (Pum)). Dari Jakarta Ke Jakarta.
Perjuangan Bersenjata 1945-1949. Op.Cit., h. 73.
70
Pada waktu itu di Jakarta diadakan persiapan-persiapan untuk menyerahkan kota Jakarta kepada
TNI dengan pembentukan suatu komite gabungan lokal, yang merupakan suatu badan di bawah
pengawasan UNCI (United Nations Commission for Indonesian), di mana dari Indonesia ditunjuk Letkol
R. Taswin Natadiningrat menjadi anggota dibantu oleh Kapten Ashari Zikir. Staf Divisi Siliwangi yang
ada di Jakarta mulai mempersiapkan personilnya yang akan bertugas di Jakarta. Lihat R.H.A. Saleh
(Mayjen TNI (Purn)). Ibid., h. 73-75.
71
Lihat Kotapradja Djakarta Raja. Djakarta Raya. Op.Cit, h. 10. Kebijakan Pemerintah Pre Federal
membuat rencana pembangunan kota baru di daerah kota yang tidak terlalu jauh dari pusat kota Jakarta,
yaitu dikenal dengan “Kota Satelit Kebayoran”. Tujuan utama pembangunan kota satelit baru ini ialah
untuk meringankan kepadatan penduduk Jakarta. Rencana pembangunan dilakukan karena akibat dari
Perang Dunia II yang mengalami arus urbanisasi luar biasa ke Jakarta. Ditambah lagi banyaknya
bangunan-bangunan yang hancur. Selama pendudukan Jepang dan revolusi menyebabkan timbulnya
kekurangan perumahan dan fasilitas sosial yang dirasakan penduduk. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Gita Jaya. Op.Cit., h. 16. Lihat juga Ramadan K-H. Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977. Op.Cit,
h. 72-73.
72
Pengangkatan Soewirjo dilakukan dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat
tangal 21 Maret 1950 No. 479. Lihat Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Op.Cit.,
hal. 37.
73
Dengan Keputusan Presiden 1950/125, kedudukan Kotapradja Jakarta, sebagai suatu daerah
Swatantra dinamakan Kotapradja Jakarta Raya. Dalam Surat Keputusan Presiden R.I No. 125 tanggal 24
Maret 1950 tentang penentuan wilayah baru bagi Ibukota Jakarta yang diperluas dengan wilayah :
Kotapradja Jakarta; Pulau Seribu wilayah yang berbatasan kota Jakarta (berita Negara 1950 No. 18).
74
Untuk tanah Kotapradja, tanah negara, dan tanah partikelir diurus oleh Bagian Agraria Jawatan
Pekerjaan. Umum yang pengelolaannya diserahkan kepada Bagian Agraria Jawatan Pekerjaan Umum. Di
zaman Perang Dunia II Perusahaan Tanah Kotapradja melakukan Penjualan (pengeluaran) dan pembelian
tanah di daerah Kotapradja Jakarta Raya, sehingga tanah-tanah itu merupakan suinber penghasilan yang
penting bagi keuangan Kotapradja. Lihat Kotapradja Djakarta Raja. Djakarta Raya. Op.Cith. 49.

15
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Ordonnantie 1926,75dan kembali melanjutkan garis kebijakan yang sempat


tertunda mengenai pemecahan masalah-masalah tanah perkotaan, yakni:
1) Pada pertengahan tahun 1950. Soewirjo melihat dan memperhatikan
berdasarkan bukti-bukti dari keputusan-keputusan yang tercantum dalam
notulen rapat-rapat. Badan Pemerintah Harian sejak tanggal 14 September
1950,76di mana persoalan pemakaian tanah secara liar yang melanggar
hukum mendapat perhatian kembali sepenuhnya dari pihak pemerintah
kota.77
Sejak pertengahan tahun 1950 itu diadakan langkah-langkah untuk
mengadakan penertiban pemakaian tanah yang tidak sah. Juga diputuskan
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat kota pada waktu itu, Tabrani
Notosoedirjo ditugaskan agar supaya jawatan urusan tanah bersama-sama
jawatan urusan daerah mengirimkan daftar pemakaian tanah yang lengkap
dan jelas mengenai : (1) nama; (2) luas; (3) tujuan pemakaian; (4) mulai
kapan dan keterangan- keterangan lain yang diperlukan.78
2) Dalam hal pembuatan rencana dasar perkembangan kota oleh Jawatan
Pekerjaan Umum.79 Untuk garis kebijakan, diputuskan bahwa Jawatan
Pekerjaan Umum harus membuat sebuah Rencana Dasar Kota (City Basic
Plan) dimana harus dipikirkan juga masalah pemindahan orang yang
memakai tanah secara tidak sah.
Oleh karenanya Soewirjo menginstruksikan agar supaya Badan
Pengawasan Bangunan bertindak seperlunya menurut ketentuan peraturan
daerah yang berlaku terhadap orang-orang yang mendirikan gubug-gubug
di tepi jalan untuk berjualan. Dalam rapatnya pada tanggal 12 Oktober 1950
B.P.H telah memperhatikan antara lain apa yang dikemukakan oleh
Sekretaris Kotabahwa sudah waktunya Pemerintah Kota mengambil
tindakan-tindakan terhadap berbagai pelanggaran.
Misalnya tentang pemakaian tanah yang tidak sah, mendirikan
bangunan tidak seizin Kotapraja dan berjualan di tepi jalan. Mereka juga

75
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Op.C.it., h. 37. Oleh karena pada masa
ini yang berlaku adalah Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950), maka Stadsgemeente
Ordonnantie tetap berlaku berdasarkan UUDS 1950, Bagian II tentang Ketentuan Peralihan, Pasal 142,
yang menyatakan bahwa :
“Peraturan-peraturan Undang-undang dan ketentuan-ketentuan tata-usaha yang sudah ada pada
Tanggal 17 Agustus 1950, tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan-peraturan dan
ketentuan- ketentuan Republik Indonesia sendiri selama dan sekedar peraturan-peraturan dan
ketentuan-ketentuan itu tidak dicabut, ditambah atau diubah oleh Undang-undang dan ketentuan-
ketentuan tata-usaha atas kuasa Undang-undang Dasar ini”
76
Keputusan-keputusan tersebut antara lain menetapkan penunjukan koordinator semua dinas yang
bersangkutan dengan pembangunan fisik kota. Segala usaha akan dijalankan oleh Kotapradja untuk
menyelesaikan soal pemakaian tanah yang tidak sah dengan cara yang tegas dan bijaksana. Lihat Karya
Jaya, Op.Cit., h. 39.
77
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 39. Sebenarnya orang-orang
gelandangan yang menguasai tanah liar di Jakarta semakin banyak, ketika jaman pendudukan tentara
Jepang di Indonesia. Suparlan, Pursudi, “Gelandangan di Jakarta”, dalam Abdurrachman Surjomihardjo,
Beberapa Segi Sejarah ... vCit, h. 51
78
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Op.Cit., h. 39.
79
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 39.

16
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

diperingatkan bahwa pelanggaran-pelanggaran pada waktu itu telah


meningkat menjadi masalah besar. Oleh Badan Pemerintah Harian pada
bulan Oktober 1950 diperintahkan kepada Jawatan Urusan Tanah supaya
memberitahukan tanah-tanah mana yang dapat dipakai untuk pasar dalam
rangka menempatkan pedagang-pedagang yang memakai tanah tanpa izin
3) Ketetapan-ketetapan tentang cara pemakaian tanah dan okupasi liar. Dalam
rapat Badan Pemerintahan Harian pada akhir tahun 1950 diadakan suatu
ketetapan mengenai masalah pemakaian tanah sebagai berikut :80
a. Tanah-tanah perpetakan yang sudah merupakan perpetakan untuk
bangunan yang telah diokupasi oleh orang yang telah dijanjikan akan
diberi hak atas tanah untuk mendirikan rumah, yang konsep kontraknya
belum dibuat dan rumah belum selesai. sedang dibuat atau akan dibuat.
diberikan hak atas tanah dimaksud dengan syarat bahwa Pembangunan.
rumah harus segera diselesaikan.
b. Tanah-tanah yang belum termasuk perpetakan, yang dipakai dengan
tidak sah, sementara pemakaian dapat dilegalisasi dengan perjanjian
sewa menyewa yang sewaktu-waktu dapat dibatalkan. dengan syarat
bahwa tanah harus diserahkan kembali kepada kotapraja atau kepada
negara jika rencana kota dilaksanakan dan memerlukan persil yang
dipakai tadi bilamana okupasi tidak dapat disesuaikan dengan rencana
kota tersebut.
Menurut penulis meskipun hak sewa itu lemah dikarenakan belurm
ada peraturan yang jelas, tetapi nampaknya orang merasa bahwa hak
sewa itu tidak akan dibatalkan selama syarat-syarat persewaan dipenuhi
dan oleh karenanya orang tidak ragu-ragu mendirikan rumah atau
perusahaan di atas tanah yang disewanya.
c. Mengenai tanah yang dipakai, tanpa rencana perpetakannya, yana
menyalahi rencana kota atau pemandangan dan atau yang dapat
membahayakan, seperti okupasi dipinggir jalan, dipinggir kali dan
sebagainya, harus selekas mungkin diusahakan pemindahan atau
pengusiran pemakai tidak sah. Badan Pemerintah Harian, kemudian
mengeluarkan petunjuk-petunjuk tentang cara meniadakan pemakaian
tanah dan mendirikan bangunan secara gelap. Juga mengambil tindakar
dengan bantuan polisi, perlu pemecahan-pemecahan masalah dengar
jalan lain.
Keinginan mendapat tanah dan mendirikan rumah-rumah yang
dilakukan secara gelap, oleh kotapraja diwajibkan untuk dialihkan
kepada jalan yang teratur agar kotapraja dikemudian hari tidak
menghadapi soal-soal planologis atau “Stedebouwkundig” yang
menghabiskan dana berlipat ganda untuk membereskannya. Dari waktu
sekarang Kotapraja telah mampu member pengaturan kearah okupasi
tanah dan mendirikan bangunan secara teratur. Untuk keperluan tersebut,
80
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 39.

17
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

maka Direktur Jawatan Umum dan Kepala Jawatan Urusan Tanah dapat
memecahkan permasalahan tersebut.
4) Tindakan-tindakan tertib hukum (law enforcement)
Tindakan-tindakan penertiban, sesuai dengan ketentuan-ketentuan
perundang-undangan yang berlaku dilakukan dengan mengkoordinasikan
tindakan di bawah Pimpinan Pemerintah Kota dengan menyusun program
antar jawatan Kotapraja, yakni Jawatan Penerangan, Jawatan Urusan Tanah
dan Jawatan Urusan Daerah yang bekerja sama dengan Kantor Besar
Kepolisian dan Kejaksaan, dimana dipAndang perlu, dengan minta bantuan
Komandan KMKBDR untuk pelaksanaan ketentuan-ketentuan Darurat
Perang (SOB) yang masih berlaku, untuk mengambil tindakan bersama
melalui proses :
a. memberi penerangan dan pemberitahuan terlebih dahulu;
b. bila tidak berhasil dan pemberitahuan diabaikan, mengambil tindakan
kepolisian;
c. mengingat situasi dan kondisi yang demikian, bila okupasi tanah secara
liar dibiarkan dapat membahayakan kepentingan/keselamatan Negara,
dengan penerapan ketentuan-ketentuan Keadaan Darurat Perang (SOB)
yang masih berlaku.81
Kondisi tersebut mengisyaratkan perlu dilakukan upaya untuk
penanggulangan okupasi liar di daerah perkampungan. 82 Tantangan yang
berupa pemakaian tanah dengan menyalahi hukum yang
penanggulangannya telah dirintis oleh Soewirjo. Selanjutnya lahirlah
pengumuman bersama yang ditandatangani oleh Soewirjo, Kepala
Kejaksaan Letkol Rd. Soenario, Komandan Komando Militer Kota Besar
Djakarta Raja (KMKBDR) Mayor Kosasih dan Kepala Kepolisian Jakarta
Raya. Pengumuman tersebut berbunyi sebagai berikut:
“Kepala Kejaksaan pada Pengadilan Negeri, merangkap Kepala
Kejaksaan Tentara pada Pengadilan Negeri Tentara di Jakarta c. a.
bersama ini memberitahukan kepada khalayak ramai; Barang siapa yang
mendirikan bangunan-bangunan dengan tiada pakai ijin yang sah dan
karena itu melanggar undang-undang yang sekarang masih berlaku,
diwajibkan dalam tempo satu bulan dari tanggal pengumuman ini,
membongkar bangunan-bangunan tersebut. Terhadap mereka yang tidak
memenuhi kewajiban tersebut di atas akan diambil tindakan keras.

81
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 41.
82
Daerah tersebut sekarang telah menjadi Jalan Mohammad Husni Thamrin, kompleks Hotel
Indonesia, Hotel Asoka dan Presiden Hotel. Daerah tersebut pada tahun 1950-an masih penuh dengan
okupasi liar. Okupasi liar ini dipandang sangat membahayakan khususnya okupasi liar di bawah antena-
antena radio dari PTT (perusahaan telekomunikasi) di perkampungan pada ujung jalan Madura, yang
dipergunakan bagi siaran-siaran ke luar negeri. Terlebih lagi adanya kekhawatiran maksud subversi yang
dapat membahayakan keselamatan Negara. Lihat Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya
Jaya. Ibid., h. 41.

18
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Tindakan ini dapat juga diadakan, meskipun waktu tersebut belum lewat
jikalau dianggap perlu.”83
Berhubung dengan banyaknya kejadian tentang penyerobotan tanah
milik Kotapraja, misalnya kasus yang terkenal penyerobotan tanah VIJ
Petojo, mendorong Walikota Soewirjo mengeluarkan pengumuman pada
tanggal ZS September 1950 mengenai “Pemakaian Tanah” yang berbunyi:
“Dengan sangat menyesal Kotapradja dewasa ini harus berhadap
dengan kenyataan, bahwa telah banyak sekali tanah kepunyaannya yarrg
digunakan oleh penduduk dengan cara yang tidak sah. Kotapraja cukhj
menginsyafi bahwa kebanyakan dari perbuatan-perbuatan itu semata-maiz
terdorong oleh kebutuhan, akan tetapi meskipun demikian perlu dike tabu;
oleh yang bersangkutan, bahwa perbuatan serupa itu tidak saja melanggar
peraturan hukum, akan tetapi juga sangat merugikan kepentingan
masyarakat umumnya.
Oleh karena itu, dengan jalan ini Kotapraja memperingatkan
penduduk seumumnya, supaya jangan melakukan perbuatan semacam itu
dan mereka yang melanggar akan dituntut berdasarkan Pasal 25 ayat (3) :
dari Peraturan Polisi Umum 1942. Kotapraja sangat mengharapkan
bantuan penduduk seumumnya mengenai masalah ini dan berpengharapan
pula bahwa sesudahnya pengumuman ini tidak lagi akan terjadi pemakaian
tanah seperti diterangkan di atas.”84
Penduduk juga menyampaikan permintaan kepada kotapraja agar
mengambil tindakan terhadap orang-orang yang memakai tanah mereka
tanpa ijin. Namun Kotapradja mengambil sikap secara normatif dengan
menyatakai pemilik atau pemegang hak yang sah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, agar mengajukan gugatannya ke
pengadilan.
5) Perhatian Pemerintah Pusat dari Dewan Perwakilan Rakyat terhadap
masalah okupasi liar.
Masalah okupasi tanah secara liar ternyata mendapat perhatian dari
Pemerintah Pusat, yakni munculnya Surat Menteri Dalam Negeri No.
S.P.P.5/3 23 tanggal 10 Maret 1952 ditujukan kepada Ketua DPR, perihal
pertanyaan dalam rapat Seksi Dalam Negeri DPR pada tanggal 14, 21 dan
28 Nopember 1951 (Pembongkaran rumah-rumah di Surabaya).85

83
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 41.
84
Ibid.. h. 41,43.
85
Menteri Dalam Negeri waktu itu adalah Iskaq Tjokrohadisurjo. Isi Surat Menteri Dalam Negeri
No. S.P.P.5/3/23 tanggal 10 Maret 1952 sebagai berikut “Menyambung surat kami tertanggal 28 Januari
1952 No. S.P.P. 5/2/6 Mengenai ikhwal tersebut diatas bersama ini kami sampaikan dengan hormat
penjelasan-pernjelasan susulan tentang tindakan terhadap “Onwettige occupanten” di Kota Besar
Surabaya sebagai berikut : Sebagian hanya di Kotapraja Jakarta Raya dan kota-kota besar lainnya, maka
kesukaran-kesukaran yang timbul disebabkan oleh orang-orang yang secara tidak sah telah menempati
tanah-tanah milik Kotapraja di dalam kota, dialami juga oleh Kota Besar Surabaya. Di samping memberi
penerangan-penerangan secara sabar dan teratur, maka untuk bertindak tegas. Adapun para pemakai
tanah yang tidak sah itu boleh dibagi dalam 5 golongan, yaitu mereka yang menempati tanah-tanah : 1)
ditepi jalan dan taman-taman (termasuk juga jalan umum), 2) tanah-tanah Kota Besar Surabaya, 3) tanah-

19
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Dari uraian tersebut di atas, jelaslah bahwa perhatian pemerintah


pusatdan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap masalah okupasi tanah secara
liar oleh masyarakat pada waktu itu yang terjadi di Kotapraja Jakarta
diperlakukan sama sebagaimana yang terjadi di Kota Besar Surabaya dan
kota-kota besar lainnya.
6) Kebijaksanaan Penyediaan Tanah Perkotaan
Cukup menarik, pemerintah Kotapraja tidak dapat secara serta merta
mengambil kebijakan penyediaan tanah perkotaan, karena harus berhadapan
dengan “Mosi Dewan Perwakilan Sementara Kotapraja Jakarta Raya”
tanggal 6 Juli 1950 Dewan Perwakilan Sementara Kotapraja Jakarta Raya
mengeluarkan Mosi.86 Mosi87 tersebut diterima dengan suara bulat oleh
Dewan Perwakilan Sementara Kotapraja Jakarta Raya, maka Walikota
Soewirjo mengadakan pengumuman yang intinya berisi pemberian tanah
dengan hak eigendom ditunda hingga ada petunjuk dari Pemerintah Pusat,
dan penyewa yang mengoperkan tanahnya harus mendapat izin terlebih
dahulu dari pemerintah Kotapraja Jakarta.88

tanah kepunyaan bangsa Indonesia (hak yayasan), 4) tanah-tanah eigendom, 5) mereka yang menempati
tanah-tanah partikelir. Lihat Juga Supangkat dan Nurhadi, “Mengenang Soewirjo Walikota Pertama
Jakarta”, dalam Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 43.
86
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 45. Lihat diktum Memutuskan
Mosi Dewan Perwakilan Sementara Kotapradja Jakarta Raya, tanggal 6 Juli 1950. Isi Mosi tersebut
adalah :
1.Mendesak kepada pemerintah Pusat agar supaya segera menetapkan suatu politik agraria yang
progresif sesuai dengan perobahan zaman dan yang mengutamakan kepentingan serta kesejahteraan
rakyat banyak. (lihat ruga Disertasi Moh. Mahfud MD., h. 673)
2.Mendesak kepada Pemerintah Kotapradja Jakarta Raya dan Pemerintah Pusat agar supaya sementara
menunggu politik agraria yang baru itu :
a. Menunda semua penjualan tanah baru kepunyaan Kotapradja dan Negeri.
b. Menunda persewaan tanah-tanah baru kepunyaan Kotapradja dan Negeri.
c. Mengambil kembali tanah-tanah Kotapradja dan Negeri yang sesudah disewakan hingga kini belum
juga dipergunakan untuk maksud semula.
d. Mengadakan peraturan-peraturan yang menentukan bahwa tiap memindahkan persewaan tanah
Kotapradja dan Negeri. Hendaklah dengan persetujuan Pemerintah Kotapradja dan Negeri.
87
Mosi Adalah keputusan rapat, masalah parlemen yang menyatakan pendapat atau keinginan para
anggota rapat, Kamus Besar Indonesia, Op.Cit., h. 666.
88
Isi dari pengumuman tersebut yakni : “Selaras dengan makna Mosi Dewan Perwakilan
Sementara Kotapradja Jakarta Raya, tanggal 6 Juli 1950, yang diambil dengan suara bulat, agar untuk
sementara waktu Kotapradja Jakarta Raya membekukan segala pemberian hak atas tanah, baik yang
berupa hak eigendom, maupun erfacht atau sewa hingga ada petunjuk-petunjuk pemerintah pusat,
berdasarkan politik baru terhadap pemberian hak atas tanah, dengan ini, atas nama Badan Pemerintahan
Harian Kotapradja Jakarta Raya, diberitahukan sebagai berikut :
I. Untuk sementara waktu, sambil menunggu keputusan pemerintah pusat tadi, pemerintah membeli tanah
dengan hak eigendom oleh pemegang erfpacht atau penyewa tanah Kotapradja yang dalam kontrak
erfpacht atau sewa menyewa oleh Pemerintah Kotapradja yang dahulu Stadsgemeente Batavia pada
zaman Hindia Belanda diberi hak untuk membeli tanah erfpacht atau sewa tadi dengan hak eigendom,
penyelesaiannya terpaksa ditunda hingga diterima petunjuk-petunjuk dari pemerintah pusat tentang
pemberian hak atas tanah Kotapradja.
II.Penyewa tanah Kotapradja yang hendak mengoperkan hak sewa tanah yang disewanya dari
Kotapradja, diwajibkan terlebih dahulu meminta izin Badan Pemerintahan Harian Kotapradja, izin mana
harus diminta sebelum penyewa melaksanakan maksud menjual atau mengoperkan bangunan-bangunan
yang ada di atas tanah yang disewakan itu kepada orang lain.’’Lihat Supangkat dan Nurhadi,
“Mengenang Soewiijo Walikota Pertama Jakarta”, dalam Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Karya Jaya. Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah ikarta 1945-1966. Op.Cit., h. 45, 47.

20
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Jika ditilik secara mendalam, maka akan dijumpai bahwa antara Mosi
Dewan Perwakilan Sementara Kotapraja Jakarta Raya tanggal 6 Juli 1950
dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 5 H 50 sangat tidak sejalan
atau tidak saling mendukung. Hal tersebut tentunya menjadi persoalan yang
serius pada waktu itu. Antara Mosi Dewan Perwakilan Rakyat Sementara
Kotapraja Jakarta Raya dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri, masing-
masing memiliki latar belakang yang berbeda.
Pertama, disatu sisi Mosi Dewan Perwakilan Sementara Kotapraja
Jakarta Raya dilatarbelakangi oleh banyaknya tanah-tanah yang semuanya
dikuasai oleh orang Belanda dan mereka yang kondisinya sederajat dengan
orang Belanda. Keadaan ini diperparah lagi karena pada sekitar pertengahan
tahun 1947 hingga pemulihan kedaulatan, banyak penjualan tanah-tanah
kepada pemegang hak erfpacht yang mempergunakan kesempatan dalam
kontrak erfpacht untuk membelinya.89
Kedua, disisi lain Instruksi Menteri Dalam Negeri sebagaimana
tertuang dalam Surat Menteri Dalam Negeri No. H.20/7/10, tanggal 6 Juni
1950, yaitu Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 5 H 50 tentang Pemberian
Hak Barat baru, yang bagi Kotapraja-kotapraja yang ditunjuk, yaitu Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya, Malang, dan Palembang. Adapun yang
menjadi latar belakang dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri
adalah untuk mempercepat proses pembangunan yang harus dilaksanakan.
Latar belakang lainnya adalah Instruksi ini dikeluarkan karena Menteri
Dalam Negeri mempunyai keyakinan bahwa Undang-undang Agraria yang
baru akan segera diterbitkan. Oleh karenanya sambil menunggu Undang-
undang Agraria yang baru, Kotapraja-kotapraja tersebut, diberikan
kewenangan untuk memberikan hak eigendom.
Namun kenyataan sangat berlainan, Undang-undang Agraria yang
baru sebagai pedoman bagi kebijaksanaan tanah perkotaan dari Pemerintah
89
Supangkat dan Nurhadi, “Mengenang Soewirjo Walikota Pertama Jakarta”, dalam Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 47. Pada masa pemerintahan Hindia Belanda
“Stadsgemente Batavia”, menjalankan kebijaksanaan tanah perkotaan bagi perluasan dan pengembangan
kota dengan jalan membeli tanah-tanah partikelir sebanyak mungkin, yang dimasukan dalam suatu
perusahaan tanah. Dengan jalan demikian tercipta bagian-bagian wilayah kota seperti Gondangdia,
Menteng, Petojo, Matraman dan sebagainya yang memenuhi persyaratan sebagai tempat kediaman,
tempat kerja dan usaha, rekreasi dan lalu lintas, sesuai dengan tuntutan persyaratan planologi zaman
modern dalam permulaan abad XX, di kota-kota besar dalam rangka politik desentralisasi yang dilakukan
oleh Pemerintah Belanda terhadap kota-kota besar tersebut.
Kota-kota besar merupakan “growth poles” bagi pengembangan politik ekonomi jajahan yang didominasi
oleh kepentingan golongan Belanda, yang merupakan mayoritas di dalam dewan pemerintahan kota.
Tanah-tanah perpetakan bagi segala macam keperluan disediakan berdasarkan ketentuan dalam peraturan
daerah untuk diperoleh bagi setiap peminat dengan hak eigendom, hak erfpacht untuk jangka waktu 75
tahun dan hak sewa untuk lima belas tahun. Dalam kontrak erfpacht umumnya terdapat ketentuan, bahwa
pemegang erfpacht, jika dikehendaki bisa mendapat tanah erfpachtnya, sebagai tanah dengan hak
eigendom.
Dalam situasi dan kondisi kolonial pada waktu itu tanah-tanah perkotaan yang tersedia, boleh dikatakan
semuanya jatuh di tangan golongan Belanda dan mereka yang kondisi ekonominya sederajat. Pada masa
pemerintahan pra federal Belanda sejak Aksi Militer Pertama sekitar pertengahan tahun 1947 hingga
pemulihan kedaulatan, terjadi penjualan tanah-tanah perpetakan kepada pemegang hak erfpacht yang
mempergunakan kesempatan dalam kontrak erfpacht untuk membeli seperti tersebut di atas.

21
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Pusat yang diharapkan akan memberi pedoman bagi penyediaan tanah


perkotaan pada zaman Walikota Soewirjo tidak kunjung datang, yang
Akhirnya Instruksi Menteri Dalam Negeri juga belum bisa dilaksanakan.
Sementara itu untuk mengisi kekosongan hukum, Dewan Perwakilan Kota
Sementara Jakarta Raya memberi kuasa kepada Badan Pemerintahan
Harian untuk penyediaan tanah perpetakan Kotapraja90dalam rangka
terselenggaranya pembangunan di Jakarta dengan hak sewa yang sewaktu-
waktu dapat dibatalkan dengan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Kota
Sementara Jakarta Raya No. 9/D.K. tanggal 19 April 1951.
Latar belakang dikeluarkan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Kota
Sementara Jakarta Raya No. 9/D.K. tanggal 19April 1951 adalah bahwa
oleh karena belum ada penetapan politik agraria yang baru dari Pemerintah
Pusat. Pada bagian lain rakyat Indonesia sangat memerlukan tanah untuk
mendirikan rumah-rumah rakyat dan perusahaan-perusahaan kecil. Bertolak
dari kenyataan tersebutlah maka sambil menunggu penetapan politik agraria
yang baru dari Pemerintah Pusat dianggap perlu mengadakan aturan
sementara untuk penyediaan tanah.
Dalam kerangka itu, maka pranata “penyewaan tanah”, ini
dikembangkan ke dalam aturan menyewakan tanah dengan perjanjian yang
dapat diakhiri setiap waktu. Badan pemerintahan harian diberikan kuasa
penuh untuk mengatur dan menyelenggarakan pemberian tanah-tanah
tersebut.91
Surat Keputusan Dewan Perwakilan Kota Sementara Jakarta Raya
No. 9/ D.K. tanggal 19 April 1951 adalah sambil menunggu penetapan
politik agraria oleh Pemerintah Pusat yang memberi kuasa kepada Badan
Pemerintahan Harian (BPH) untuk; (i) Agar Dewan tiap-tiap triwulan harus
disampaikan laporan tentang segala perbuatan B.P.H. (ii) jumlah harga
tanah sewa itu dalam setahun 7% dari harga dasar tanah yang ditetapkan.
(iii) tanah persewaan boleh diakhiri pada setiap waktu. Selanjutnya dengan
syarat bahwa pemberian kuasa tersebut di atas itu dapat ditarik kembali
pada setiap waktu.”92
Selain hal tersebut diatas beberapa kebijakan lainnya dalam bidang
pertanahan yang ditempuhnya adalah : a. Tanah-tanah Erfpacht Kecil. Pada
umumnya tanah-tanah efrpacht untuk pertanian kecil yang terdapat dalam
wilayah Kotapraja Jakarta Raya dan yang dikeluarkan berdasarkan Bijblad
No. 13113, tidak lagi dipergunakan untuk maksud semula dan sekarang
digarap oleh penduduk, dengan atau tanpa izin pengepah. Sedangkan
beberapa pengepah pada waktu itu sedang berada di luar negeri. Menurut

90
Lihat Mengingat pada angka 6 Surat Keputusan Dewan Perwakilan Kota Sementara Jakarta
Raya No. 9/D.K. tanggal 19 April 1951, dalam Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya.
Ibid., h. 47.
91
Lihat Mengingat pada angka 1 sampai dengan angka 6, dalam Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 48.
92
Lihat Memutuskan Surat Keputusan Dewan Perwakilan Kota Sementara Jakarta Raya No.
9/D.K. tanggal 19 April 1951, dalam Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h.48.

22
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

ketentuan dalam Pasal 1 dari Bijblad tersebut, hak erfpacht atas tanah-tanah
itu dapat dibatalkan.
Pada waktu itu pula bagian Agraria dari Jawatan Pekerjaan umum
Kotapraja sedang mengumpulkan bahan-bahan untuk mengajukan usul-usul
tentang pembatalan hak atas tanah-tanah erfpacht tersebut. Oleh karena itu
dilakukan pemeriksaan ditempat bersama-sama dengan Pamong Pradja.
Akan tetapi berhubung dengan kekurangan tenaga dan rakyat belum diberi
penerangan secukupnya, maka pemeriksaan itu belum dapat dilaksanakan.
b. Tanah Tanpa- kenal (onbekend) dan tanah yang diduduki oleh Bangsa
Indonesia lebih dari 30 tahun. Berdasarkan peraturan-peraturan dalam GB
tanggal 5 Juni 1931 No. 38 dan BGS tanggal 5 Juni 1931 No. 1381/a/B
tanah-tanah itu dapat diberikan dengan hak milik kepada bangsa Indonesia
yang mendudukinya.93
Menyewakan tanah milik mutlak oleh pemiliknya menurut peraturan
dalam S.1918 No. 287 junctis No. 433 dan 1931 No. 168. Bukan saja
dilakukan orang- orang atau perusahaan-perusahaan partikelir, akan tetapi
Kotaparaja Jakarta Raya pun mempunyai tanah-tanah hak milik mutlak,
yang disewakan kepada pihak ketiga menurut peraturan tersebut di atas.
Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa pada masa
Walikota Jakarta Soewirjo sebagai Walikota Jakarta yang Pertama, upaya-
upaya yang dilakukan dalam penanggulangan masalah tanah perkotaan di
wilayah kekuasaannya adalah bahwa tindakan-tindakan pemerintah kota
telah mencerminkan keinginan untuk menegakkan tertib hukum dalam hal
pemakaian tanah. Soewirjo juga menghendaki Pemerintah Pusat
menetapkan kebijakan nasional tentang tanah perkotaan yang memenuhi
aspirasi bangsa Indonesia dalam alam kemerdekaan tanah aimya.

2. Masa Pemerintahan Sjamsuridjal (1951-1953)


(Kebijakan Pengklasifikasian Status Tanah di DKI Jakarta menjadi 4 (empat)
yaitu: Tanah Kotapraja, Tanah Negara, Tanah Individu, dan Tanah Partikelir).
Pada tanggal 27 Juni 1951 Sjamsuridjal menjadi walikota Jakarta yang kedua
setelah Soewirjo. Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kota Jakarta dijalankan
oleh Dewan Perwakilan Kota Sementara, Badan Pemerintahan Harian.dan
Walikota. Walikota di zaman kemerdekaan mempunyai tugas yang lebih berat,
sesuai dengan kedudukan Jakarta sebagai Ibukota Negara. 94Tugas Walikota adalah

93
Kotapradja Djakarta Raja. Djakarta Raya. 1953, h. 51.
94
Setelah pemulihan kedaulatan dari Belanda kepada Indonesia, kota Jakarta dijadikan Ibukota
Republik Indonesia Serikat. Distrik Federal Jakarta walaupun merupakan sebagian daripada wilayah
Negara (Bagian) Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta, namun tetap tidak berada di bawah
suatu Negara Bagian. Dengan Keputusan Presiden 1950/125, Kedudukan Kota Jakarta sebagai suatu
daerah Swatantra dinamakan Kotapradja Jakarta Raya. Penyelenggaraan Pemerintah Kota Jakarta setelah
perubahan dari Negara Republik Indonesia Serikta menjadi Negara Republik Indonesia Kesatuan, masih
tetap menurut ketentuan dalam Undang-undang Pemerintah Kota (Stadsgemeente Ordonantie) dan
Undang-undang Darurat Republik Indonesia Serikat 1950 No. 20. Dalam ketentuan itu ditetapkan kota
Jakarta ditempatkan di bawah pengawasan langsung dari Pemerintah Pusat Republik Indonesia Kesatuan.
Lihat Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Gita Jaya. Op.Cit., h. 16.

23
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

melaksanakan pembangunan di segala bidang dalam rangka mengisi kemerdekaan


sesuai dengan amanat Presiden Soekarno.95
Dalam menghadapi pembangunan kota Jakarta, Walikota Sjamsuridjal
menekankan 3 (tiga) masalah pokok yang sangat urgen yang senantiasa menjadi
problem Pemerintah Kotapraja Jakarta Raya, yaitu masalah pembagian air minum,
pembagian aliran listrik, dan urusan tanah. Dalam menyinggung masalah
Kekurangan aliran listrik, menjadi masalah serius ketika itu, misalnya dengan
pemadaman aliran listrik 3 (tiga) hari sekali. Kekurangan ini disebabkan Jakarta
hanya mendapat jatah dari pusat sebesar 240 kilowat, sedangkan yang diperlukan
adalah 272 kilowat. Untuk mengatasi kekurangannya itu akan dibangun pusat
tenaga listrik di Ancol.96
Sama dengan pendahulunya, Walikota baru juga menghadapi masalah
pertanahan yang cukup pelik. Dalam menghadapi masalah tersebut, Pemerintah
Kotapraja mengambil kebijakan yang sedikit berbeda dengan kebijakan
pendahulunya, yakni dengan menata status tanah di Jakarta, untuk memperjelas
status hukumnya. Dalam kerangka ini maka tanah di DKI Jakarta dibagi ke dalam
4 (empat) macam (status), yaitu (a) tanah kotapraja, (b) tanah negara, (c) tanah
individu, dan (d) tanah partikelir. Dari keempat jenis tanah tersebut, yang
menjadipersoalan khusus Kotaparaja Jakarta adalah tanah partikelir dengan luas
17.537 Ha milik 16 perusahaan yang sangat terlantar pengurusannya. Kampung-
kampung yang berada di atas tanah partikelir keadaannya memburuk dan terdapat
pemukiman kumuh.97 seperti daerah Alaydrus, Kwitang dan gang Arjuna.
Pemerintah Kotapradja Jakarta ternyata tidak bekerja sendiri, melainkan
bekerja sama dengan Pemerintah Pusat. Terdapat beberapa strategi dan kebijakan
yang digunakan oleh baik pemerintah pusat maupun daerah dalam menghadapi
masalah ini. Pertama, pemerintah pusat “membeli kembali tanah partikelir.” Ketika
pemerintah pusat membeli kembali sejumlah 16 bekas tanah partikelir98
sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini.

Tabel No. 1
Luas Tanah Partikelir Yang Telah Dibeli Kembali Oleh Pemerintah Pusat
No Kawedanaan Jumlah Letak Lokasi Luas (Ha)
1 Matraman 5 l. Klender 1.271
2. Pulogadung 1.400

95
Lihat Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Op.Cit., h. 65.
96
Untuk menanggulangi permasalahan kekurangan air minum, Pemerintah Kotapradja telah
Menanggulangi, dengan “IVaterzuivering” di daerah karet yang diperkirakan akan dapat menambah
sebanyak 5.000 liter air per detik. Di samping itu juga dilakukan pemasangan pipa-pipa ledeng dan
penambahan air dari sumbernya di Ciomas Bogor, meskipun hanya 60 liter air perdetiknya. Bagi
penduduk yang bertempat tinggal di daerah kering dibuatkan 230 hydrant, di mana air yang dijual kepada
masyarakat dilakukan dengan perantaraan agen-agen yang telah ditetapkan. Pembangunan pusat tenaga
listrik di Ancol ini dimaksudkan untuk menambah daya listrik dan mengurangi memperkecil pemadaman
listrik menjadi 6 (enam) hari sekali. Lihat Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid.,
h. 65.
97
Karya Jaya. Ibid., h. 65,67.
98
Kotapradja Djakarta Raja. Djakarta Raya. Op.Cit., h. 52.

24
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

3. Tanah Rendah Udik/Hilir 183


4. Cakung 102
5. Cip Vrededal 219
2 Kramatjati 7 I. Pondok Gede 5.800
2. Tanjung Timur 6.563
3. Cawang 250
4. Cikokol 65
5. Pengadegan 72
6. Pabean Cilauw 283
7. LentengAgung 49
3 Tanjung Priok 2 1. Cilincing/Semper 1.019
2. Tugu Timur/Barat 290
4 Pendjaringan 2 1 Amanusgr Utara 42
(Teluk Gong)
2. Muara Angke 29
Jumlah 16 17.537

Tabel tersebut, menunjukkan seluruh luas tanah bekas tanah partikelir dibagi
menjadi 2 (dua) golongan, yakni Tanah Usaha dan Tanah Kongsi. 99 Tanah Usaha
luasnya adalah 16.599 hektar, sedangkan Tanah Kongsi luasnya 938 hektar. Tanah
Kongsi yang dipakai (digarap) oleh penduduk luasnya 805 hektar. Tanah yang
kosong luasnya 133 hektar.100 Kedua, strategi dan atau kebijakan yang digunakan
adalah “memberikan lembaga penyewaan” Kebijakan ini ditujukan pada tanah-
tanah “yang masih kosong”, dan diperkirakan kiranya tidak dibutuhkan oleh
instansi Pemerintah.
Subyek hukum dibatasi khusus pada orang yang (a) tinggal ditempat itu. dan
(b) tidak mempunyai tanah.101 Perincian dari tanah-tanah usaha dalam tahun 1952
belum dapat dikerjakan oleh Kantor Pendaftaran Tanah dan Pajak Bumi Indonesia
di Jatinegara, karena kekurangan pegawai dan banyaknya pekerjaan yang harus
segera diselesaikan di tempat lain (Serang dan Bogor). Adapun persiapannya
dilaksanakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum, selama keadaan mengizinkannya.
Penduduk yang mengolah dikenai pajak bumi yang dasamya sama dengan
“cukainya” dulu.102

99
Mengenai tanah-tanah kongsi sebagian besar telah diukur dan dicatat, sedangkan peta-petanya
sudah dibuat. Kepada orang-orang yang menggarap tanah-tanah bekas kongsi itu tetap dikenakan uang
upah seperti yang telah larnpau yang telah dibeli kembali oleh Pemerintah Pusat. Kotapradja Djakarta
Raja, Djakarta Raya. Ibid., h. 52.
100
Kotapradja Djakarta Raja, Djakarta Raya. Ibid., h. 52.
101
Penyewaan tanah itu dilakukan dengan perjanjian apabila pemerintah sewaktu-waktu
membutuhkaan tanah tersebut, mereka harus mengosongkannya dengan segera. Tanah tersebut
disewakan atas dasar hak sewa dan tidak diberikan dengan hak milik mutlak atau hak milik. Tanah-tanah
itu digunakan untuk persawahan dan perkebunan. Kotapradja Djakarta Raja, Djakarta Raya. Ibid., h. 53.
102
Pemungutan uang upah dan “Cukai” di bekas tanah partikelir dan bekas tanah-tanah kongsi itu
dilakukan oleh lurah dan oleh pegawai-pegawai Bagian Agraria, yang baru bisa dilakukan pada
pertengahan tahun 1952. Uang yang diterima itu setelah di potong 8 % untuk yang memungutnya,
dikirimkan kepada kantor Jawatan Pekerjaan Umum Bagian Urusan Tanah, yang selanjutnya mengurus
penyetorannya ke Kas Negeri. Sampai dengan tahun 1952, jumlah hasil pajak bumi sebesar Rp. 6.595,90.

25
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Dalam perkembangannya, pemerintah melanjutkan kebijakan pembelian


tanah partikelir103 sebagaimana tergambar pada tabel berikut:

Tabel No. 2
Pembelian Tanah Partikelir Oleh Pemerintah
No LOKASI LUAS (Ha)

1 Djepang/Pedjompongan 461
2 Pademangan 213
3 Malaju besar 569
4 Djembatan Besi 66
5 Djelambar Besi 437
6 Antjol 21
7 Slingerland 67
8 Pakembangan 10
9 Struiswijk 13
10 Tjipinang Prumpung 30
JUMLAH 1.887

Persoalan lainnya adalah, pemakaian tanah liar oleh penduduk pendatang,104


di Jakarta, denganberagam motivasi, misalnya kesulitan ekonomi maupun politis di
daerahnya. Untuk mengatasi masalah ini maka kebijakan yang ditempuh oler
pemerintah Kotapradja Jakarta adalah menyediakan perumahan rakyat dan
perbaikan kampung, yakni:105

Tabel No. 3
Pembukaan Tanah di Jakarta Antara Tahun 1951 -1952
TAHUN LOKASI LUAS KETERANGAN
1950 Komplek Pelaju (Kebayoran 8 Ha Perumahan
Baru)
1951 Gang Tengah 4 Ha Perumahan
Tanah Tinggi 25 Ha Perbaikan Kampung
Kebon Jahe 3 Ha Perbaikan Kampung
1952 Grogol 25 Ha Perumahan
Kebon Sereh 25 Ha Perumahan/Penampungan
Karet Pasar Baru 4 Ha Perumahan/Sekolah

Pemungutan uang itu akan terus digiatkan, sehingga pencicilan dari tanah-tanah itu dapat lekas dimulai.
Kotapradja Djakarta Raja, Djakarta Raya. Ibid., h. 53.
103
Kotapradja Djakarta Raja. Djakarta Raya. Ibid., h. 53.
104
Penduduk pendatang yang datang ke Jakarta terdiri dari 7.240 orang dari Cirebon, dari daerah
Pekalongan berjumlah 4.861 orang, dari daerah Bogor berjumlah 40.000 orang. Pemerintah Daerah
Khusus Ibukota Jakarta. Karya Jaya. Op.Cit., h. 73 dan 75.
105
Pembangunan perumahan rakyat tersebut telah memenuhi kebutuhan untuk dihuni oleh 33.000
orang di lokasi Bendungan ilir, Karet, Pasar Bam, Jembatan Duren, dan Tanjung Grogol. Ayunan
cangkul pertama peresmian pembangunan perkampungan dilakukan di Grogol oleh Walikota
Sjamsuridjal. Lihat Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 69 dan 71.

26
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Tembusan Jalan Thamrin 4 Ha Perumahan


RWJ Bendungan Ilir 6 Ha Perumahan
Krekot Bundar 2 Ha Perumah an/toko
Rawa Kerbo (Cempaka Putih) 30 Ha Perumahan
Rawa Sari 6 Ha Pabrik obat
Kebon Kacang 3 Ha Perbaikan Kampung
Jalan Lokomotif 3 Ha Perbaikan Kampung
Kampung Sultan Agung 2 Ha Perbaikan Kampung
Petamburan (Partikelir) 2 Ha Asrama Polisi
Pejompongan 25 Ha Perumahan
Pejompongan 15 Ha Penjernihan air
Sentiong Seribu 2 Ha Perumahan Kampung Baru
Galur 5 Ha Perumahan

Pada masa Pemerintahan Walikota Soewirjo, masalah pemakaian tanah liar


sudah mulai dirintis pemecahannya dan masih meminta perhatian Walikota
Sjamsuridjal.106 Cukup unik, dalam menghadapi penguasaan tanah secara liar dan
pendirian bangunan tanpa izin WaliKota, Sjamsuridjal tidak bertindak sendiri,
melainkan melibatkan institusi lain yang secara konvensional tidak berada dalam
struktur organisasi pemerintahan Kota. Institusi yang dilibatkan dalam masalah ini
adalah (i) Kejaksaan, (ii) Pengadilan dan (iv) institusi Militer, serta (v) Kepolisian.
Pengumuman pemerintah tentang penanganan penguasaan tanah liar dan bangunan
tanpa izin, dikeluarkan oleh “Kejaksaan Pengadilan Negeri Tentara Jakarta No. 4
Tahun 1952 tanggal 17 Mei 1952, yang ditandatangani oleh R. Sunarjo, Walikota
Sjamsuridjal, Komandan Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya (KMKBDR)
Mayor Kosasih, Kepala Kepolisian Jakarta Raya dan sekitarnya R. Ating
Natahadikusumah, yang berbunyi : 107
“Kepala Kejaksaan Pengadilan Negeri merangkap Kepala Jawatan Tentara
Pengadilan Negeri Tentara di Jakarta c.a. : Bersama ini diberitahukan kepada
khalayak ramai, barang siapa yang mendirikan bangunan dengan tidak ada izin
yang sah dan karena itu melanggar undang-undang yang sekarang masih berlaku
diwajibkan dalam tempo satu bulan dari tanggal pengumuman ini membongkar
bangunan-bangunan tersebut. Terhadap mereka yang tidak memenuhi kewajiban
tersebut di atas akan diambil tindakan. ”

106
Sebelum dilakukan tindakan oleh Kejaksaan, terlebih dahulu Walikota Sjamsuridjal
mengadakan pertemuan pada tanggal 20 Nopember 1952 dengan Wakil-wakil Gubernur Jawa Barat,
Gubernur Jawa Tengah, KMKBDR, Kepala Kepolisian Jakarta dan Jawatan-jawatan Kotapradja yang
bersangkutan. Dari hasil pertemuan ini, Residen belum mempunyai kesanggupan untuk memulihkan
kembali para pengungsi itu kekampungnya. Walikota Sjamsuridjal kemudian mengadakan peninjauan ke
lokasi komplek rumah liar di Petojo, Jalan Tangerang, dan Tanah Tinggi. Selanjutnya masalah okupasi
tanah liar ini dibahas di dalam Dewan secara berturut-turut oleh Seksi Planologi pada tanggal 3 Maret, 17
Maret, 24 Maret, 5 April, 5 Mei, 12 Mei tahun 1952 yang membahas pemakaian tanah liar khususnya di
lapangan VIJ Petojo. Dalam rapat tanggal 12 Mei 1952, Sdr. Rojali Sahlan,anggota seksi Planologi
mengusulkan supaya pembahasan Mengenai tanah liar ini dihentikan sebelum ada pendirian Badan
Pemerintah Harian atas keputusan seksi. Lihat Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya.
Ibid., h. 75.
107
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 75.

27
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Sungguhpun sulit dielakkan betapa masalah penguasaan tanah secara liar dan
pendirian bangunan tanpa izin pemerintah Kota merupakan suatu masalah terpelik,
pada zaman itu, namun sulit pula menghindar betapa kebijakan tersebu: juga
berkorelasi dengan perkembangan ekonomi di Jakarta.108 Pada tanggal IS Pebruari
1952 didirikan Dewan Ekonomi Indonesia (Indonesian Chamber of Commerce and
Industry), yang intinya bertujuan membantu pembangunan dar. mendorong
perekonomian Indonesia.109 Hal yang paling bersejarah di Jakarta adalah
berdirinya Bursa Jakarta pada tanggal 4 Juli 1952. Adanya kegiatan industr
makanan, minuman, peralatan rumah tangga, pakaian, pendirian perusahaan sem
perkoperasian, percetakan, pertanian, perkebunan, petemakan dan perikanan.
Untuk menyediakan fasilitas umum dan fasilitas sosial bagi masyarakat
Jakarta Walikota Sjamsuridjal juga melakukan beberapa proyek seperti proyek
Penjemihac Air Minum Pejompongan, Proyek Jalan Thamrin, pembangunan
Mesjid Agung di Kebayoran Baru, proyek pembangunan tempat pendidikan SD,
SMP, SMA, yang dilengkapi perkampungan pelajar dan ruang olah raga yang
dahulu disebut “Komplek Taman Setia Budi”.110
Terbukti kemudian, lembaga perijinan merupakan satu instrumen pengendi
yang terus menerus digunakan secara konsisten, oleh pemerintah-pemerintah
sesudahnya. Namun satu hal yang cukup unik, sekaligus memperlihatkan
inkonsistensi adalah eksistensi keterlibatan institusi non pemerintahan dalam
negeri atau yang secara kelembagaan berada dalam struktur pemerintahan kota di
baw afe otoritas Walikota atau Gubernur, dikesampingkan seluruh kebijakan
pengendaliir pemilikan dan pengadaan tanah sesudahnya.

3. Masa Pemerintahan Sudiro (1953 -1960).


Pada masa Sudiro Pengendalian Pemilikan dan Penguasaan Tanah Bertiri
Tolak Pada Rencana Tata Ruang Jakarta, Menertibkan dan Melegalisir Bangunan
Tanpa Ijin dan Pembangunan Rumah Rakyat dan Pegawai Negeri serta
Pembangunan Tugu Monumen Nasional (Monas) merupakan prioritas yang harus
dilaksanakan.
Pada masa jabatannya sebagai Kepala Daerah Tingkat I Kotapraja Jakarta
Raya, Jakarta dibagi menjadi 3 wilayah kabupaten administratif, yaitu (i)
Kabupaten Jakarta Utara, (ii) Kabupaten Jakarta Tengah, dan (iii) Kabupaten
Jakarta Selatan.111 Untuk merealisasikan berbagai pembangunan di wilayah
Kotapraja Jakarta-Raya tentunya tidak lepas dari apa yang tertuang di dalam

108
Berkembangnya pusat pemiagaan di daerah Kali Besar, Roa Malaka, Pasar Pagi, Pintu Kecil,
dan Kongsi sebagian besar masih ditangan asing. Kantor-kantor pemiagaan bangsa Indonesia yang ada
pada waktu itu adalah Dasaad Concern, Wahab Kongsi, Djohan Djohor, Rahman Tamin, Intraport. Lihat
Pemerintah Daerah FGmhsw Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 75 dan 77.
109
Ketiga tujuan dari Dewan Ekonomi Indonesia adalah 1) turut membantu pembangunan dalam
lapawif ekonomi nasional, 2) Memajukan dan menyelenggarakan kepentingan usaha-usaha Indonesia, 3)
Mendorooi or memperbesar kegiatan dalam lapangan ekonomi diantara Bangsa Indonesia. Pemerintah
Daerah Khusus Ibuonu Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 77.
110
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 79.
111
Sudiro. “Kala Itu”, dalam Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Kenang-
kenangan Lima Keoala Daerah Jakarta 1945-1966. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, h. 93.

28
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

konsep penataan kota Jakarta. Oleh karena itu, dalam periode 1953 sampai dengan
1959 telah dirumuskan rencana pembangunan dalam jangka panjang secara
konsepsionil. Perumusan itu dituangkan dalam bentuk Rencana Pendahuluan
(Outline Plan).
Rencana Pendahuluan (Outline Plan) tersebut dilatar belakangi oleh;112
a. Undang-undang Pembentukan Kota No. 168 Tahun 1948, sehingga oleh
Pemerintah Kotapraja Jakarta-Raya dianggap perlu untuk mengadakan
persiapan-persiapan ke arah penyusunan Rencana Induk, yang dikenal juga
dengan nama “Master Plan” untuk perkembangan kota Jakarta. Rencana Induk
meliputi “rencana penggunaan tanah” Secara garis besar substansinya meliputi
“penetapan tempat-tempat yang akan diperuntukkan bagi perumahan, lokasi
perkantoran, tempat hiburan/wisata (a place for home, work, and recreation).113
b. Oleh karena konsep dan cara pendekatan penyusunan Master Plan merupakan
hal yang baru bagi tenaga tehnik Indonesia pada waktu itu, maka Direktur
Jawatan Pekerjaan Umum diberi kesempatan untuk menjalankan studi-tour
selama 6 bulan ke Amerika Serikat untuk mempelajari dan memperdalam ilmu
pengetahuan Rencana Perkembangan "Kota yang baru.114
Kemudian pada tahun 1956 bantuan teknik diberikan lagi oleh PBB yang
menugaskan K.A. Watts, untuk membantu Jawatan Pekerjaan Umum DKI Jakarta
membentuk Bagian Master Plan secara khusus, yang bekerja langsung di bawah
pimpinan tenaga ahli tersebut. Kemudian Watts melanjutkan pekerjaan survey
yang meliputi masalah penduduk, kesempatan kerja, perumahan dan lalu lintas,
sejarah perkembangan kota Jakarta, masalah “tata guna tanah,” bangunan
istimewa.
Rencana Pendahuluan ini merupakan bahan pertama dalam rangka
perumusan Laporan Rencana Induk. Maksudnya ialah untuk menyerahkan laporan
berupa Rencana Pendahuluan ini kepada instansi Pemerintah yang berwenang
menentukan kebijaksanaan, dan kepada kelompok-kelompok fungsional yang ada
hubungannya dengan penyusunan Master Plan, yang diharapkan dapat
memberikan evaluasi dan rekomendasi. Bilamana Rencana pendahuluan itu telah
memperoleh penelitian secara intensif barulah dipersiapkan rencana induk dalam
bentuk yang terakhir. Untuk meningkatkan pekerjaan persiapan tentang
penyusunan Master Plan dan pelaksanaan program pembangunan selanjutnya,
diusahakan bantuan tambahan tenaga-tenaga ahli lainnya yang ternyata baru dapat

112
Untuk lebih jelasnya lihat dalam “Kata pengantar” Rentjana Pendahuluan Outline Plan,
Pemerintah Daerah Chusus Ibu Kota Djakarta Raja, 1962, Cetakan ke III, h. IV.
113
Untuk mencapai program penataan tersebut, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan
bantuan teknik pada tahun 1954 untuk merintis persiapan-persiapan program penataan kota. Prof.
Clifford Holliday, ditugaskan untuk mewakili PBB, yang memberi gagasan dan memperkenalkan
penyusunan Master Plan, dengan memperhatikan berbagai dampak dan permasalahan yang mungkin
terjadi dimasa yang akan datang. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Op.Cit., h.
115.
114
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 117.

29
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

mulai bekerja pada tahun 1958.115 Bantuan teknis ini sebenarnya bertujuan agar
dalam penyusunan Master Plan, tenaga-tenaga Indonesia dapat dipersiapkan dan
ditingkatkan pengetahuar. dan kemampuannya untuk mengambil peranannya
secara aktif dalam usaha pembangunan pada umumnya, dan khususnya dalam hal
menyelesaikan persiapan. penyusunan Master Plan.116 Akhirnya Rencana
Pendahuluan dapat dijadikan Rencana Induk yang dapat diselesaikan selama satu
tahun mulai tahun 1956 sampa. dengan 1957.117
Dari uraian di atas dapat dikemukakan bahwa pada umumnya di Negara
berkembang, khususnya di Indonesia penyusunan suatu rencana induk merupakar
hal yang sulit dilakukan. Penyusunan Rencana Induk dapat membawa perubahan
dan dampak yang sulit di prediksi. Mengalimya penduduk dari daerah luar Jakarta
ke Jakarta sukar diperkirakan dan tidak dapat dibendung. Pertambahan jumlali
penduduk akan mempengaruhi Rencana Induk itu sendiri, baik dari seg
penanggulangan kebutuhan perumahan, penanggulangan pekerjaan, incon-e
perkapita, masalah sosial dan budaya, serta sifat kampung-kampung akan berubar
menjadi daerah perkotaan.118
Dalam rangka pendekatan regional inilah, maka perumusan dan penyusunan
Rencana Pendahuluan (Outline Plan) telah mempertimbangkan perkembangan
kota-kota Bogor, Tangerang dan Bekasi. Pendekatan regional ini kemudian dikenal
dengan Rencana Pembangunan Regional Jakarta - Bogor - Tangerang - Bekas.
(Jabotabek).119Namun pelaksanaannya terbentur pada masalah keuangan, sehingga
pengembangan kota dilakukan pentahapan : Fase I, Fase II, Fase III dan Fase IV.

115
Tenaga-tenaga tersebut adalah Petit (Tenaga Ahli dari PBB di bidang Pembiayaan
Pembangunan Kota) dan Franklin (tenaga ahli dari Kolombo Plan) yang diberi tugas untuk memberikan
asistensi. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 117.
116
Tenaga-tenaga muda dari Jakarta yang dikirim ke luar negeri untuk melakukan studi adalah Ir.
Obrien, Z. Kapitan, Darundono B.A., Ir. Soewarto, Ir. Anas Madjit dan lain-lainnya (semuanya pegawai
Jawatan Pekerjaan Umum (DPU)). Tenaga-tenaga inilah yang dipersiapkan dan ditingkatkan
pengetahuan dan kemampuannya untuk melakukan pembangunan pada umumnya, dan khususnya dalam
penyusunan Master Plan. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 117.
117
Contoh dari bangunan istimewa adalah bangunan-bangunan pusat pemerintahan, sekolah,
tempat-tempat ibadah, gedung sejarah, dan sebagainya. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta,
Karya Jaya. Ibid., h. 117.
118
Dalam Rencana Pendahuluan antara lain dinyatakan bahwa Jakarta adalah suatu kota yang
cepat berkembang menjadi kota Metropolis, pertumbuhan kota dalam waktu cepat meluap melampaui
batas kota semula. Oleh karena itu persiapan Rencana Induk Jakarta Raya tidak dapat diselesaikan tanpa
mempengaruhi timbal baik antara daerah dalam wilayah kota dan daerah-daerah dalam wilayah-wilayah
sekitamya. Dalam hubungar ini Rencana Induk Jakarta dianggap perlu ada pengkaitannya dengan
pembangunan Nasional, yang konsep-konsepnya disusun oleh Biro Perancang Negara dipimpin oleh Ir.
H. Djuanda. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 119.
119
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 119. Meskipun demikian
akhirnya pengembangan wilayah Jabotabek ini dapat diwujudkan setelah tahun 1976 melalui Instruksi
Presiden Nomor 13 Tahun 1976 tanggal 6 Juli 1976 tentang Pengembangan Wilayah Jakarta-Bogor-
Tangerang-Bekasi (Jabtabek). Pendekatan Regional Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi (Jabotabek) ini
kemudian berkembang menjadi Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek). Pemekaran ini
disebabkan karena adanya penerapan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan
Daerah. Sehingga Depok tidak lagi berada di bawah Propinsi Jawa Barat, tetapi berdiri sendiri menjadi
suatu daerah otonom Kotamadya Depok berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15
Tahun 1999 Tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Depok DM Kotamadya Daerah
Tingkat II Cilegon.

30
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Dalam menyelesaikan pendudukan tanah secara tidak sah (liar), Walikota


Sudiro merangkul berbagai lapisan masyarakat, organisasi masyarakat dan partai
politik dalam rangka pengambilan keputusan mengenai pemakaian tanah liar di
daerah kekuasaannya.120Ternyata masalah pendudukan tanah secara liar ini
mendapat perhatian yang sangat dalam sehingga menghasilkan “Mosi Tanamas”
yang pada waktu itu cukup terkenal yang intinya berisi pendudukan tanah secara
liar. Mosi tersebut direspons oleh Dewan Perwakilan Kota Sementara Jakarta Raya
dengan rnenerbitkan Keputusannya tanggal 23 Pebruari 1956 No. B 5/D.K.121
Terhadap Mosi Tanamas dan keputusan Dewan Pemerintahan Kota
Sementara tersebut, Badan Pemerintahan Harian menindak lanjutinya dengan
beberapa kebijakan, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran I Keputusannya
tanggal 23 Pebruari 1956 No. B 5/D.K, yang menegaskan antara lain bahwa:122
a. Selama pemerintah Kotapraja belum dapat menyediakan tempat lain guna
berjualan, untuk sementara waktu mereka diperbolehkan berjualan di tepi jalan
dengan syarat antara lain bahwa mereka harus turut menjamin kebersihan dan
kesehatan.
b. Dimana oleh B.P.H. telah dapat disediakan tempat seperti yang dimaksud di
atas, maka tempat-tempat tersebut harus dipergunakan untuk berjualan oleh
orang yang bersangkutan.
c. Bangunan tanpa ijin untuk berjualan yang bersifat toko atau kios akan
dibongkar dengan tiada bantuan atau penunjukan tempat lain.
Pelaksanaan pembangunan fisik juga dimuat dalam Rencana Pendahuluan
untuk membentuk instansi pemerintahan (Badan Kota), yang dapat memegang
peranan sebagai “Single Landlord”, sesuai dengan konsep Sir Wiliam Holford (ahli
perancang). Penanganan tanah berpola satu tangan, maksudnya agar dapat
digerakkan akselerasi pembangunan fisik, misalnya lokasi Medan Merdeka dan
Lapangan Banteng dicadangkan untuk kompleks pemerintahan. Peruntukan tanah
antara Pasar Ikan di sebelah barat dan Tanjung Priok di sebelah Timur sepanjang
pantai menurut Rencana Pendahuluan dikembangkan menjadi daerah-daerah
dengan bangunan-bangunan yang indah sebagai tempat rekreasi. Begitu pula
reruntukan tanah sebelah barat Pasar Ikan, sebelah utara Polder Pluit dapat
dijadikan rromenade sepanjang pantai.123

120
Untuk keberhasilan pembangunan kota Jakarta pada waktu itu, harus dilakukan dengan prinsip-
prinsip perencanaan yang mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat, termasuk organisasi-
organisasi pemerintah yang memegang kekuasaan. Bilamana tidak dilakukan, maka segala rencana akan
mengalami kegagalan. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 121.
121
Jika ditelusuri maraknya pendudukan tanah secara liar ini tidak lain akibat kota Jakarta
diduduki oleh pemerintah NICA. Untuk inengacaukan keadaan, maka dengan sengaja, rakyat dihasut
untuk menduduki tanah-tanah kosong, tanpa memperduiikan siapa pemiliknya. Mosi Tanamas dikenal
karena penandatanganan pertama dari usul mosi tersebut adalah Sdr. Tanamas. Lihat Keputusan Dewan
Perwakilan Kota Sementara Jakarta Raya tanggal 23 Pebruari 1956 No. B 5/D.K., dalam Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 139 dan 141.
122
Lihat Lampiran I Keputusannya tanggal 23 Pebruari 1956 No. B 5/D.K., dalam Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h.141,142.
123
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 119 dan 121.

31
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Untuk bidang perumahan sesuai dengan Rencana Pendahuluan, diupayakan


tersedianya cukup rumah yang memadai dan layak. Rencana peruntukan
penggunaan tanah untuk perumahan disesuaikan dengan kepadatan penduduk yang
tiap tahunnya diperkirakan mengalami pertambahan penduduk sekitar 80.000 jiwa
pertahun, sedangkan jumlah penduduk 2,2 juta jiwa. Dalam menyiapkan perkiraan
tersebut, maka kota sendiri dibagi dalam lima lingkaran, yakni Jakarta Kota,
Gambir, Dalam Kota, tengah Kota, dan pinggir kota, yang akan digambarkan pada
tabel di bawah ini :124

Tabel No. 4
Rencana Pembagian Penduduk di Djakarta Raja 1957/1977
Taksiran Padatnya Perkiraan Perkiraan
N Wilayah Penduduk Penduduk Kepadatan Penduduk
Lingkungan
o Dalam Sekarang Sekarang Penduduk Yang
Ha Per Ha Per Ha Diusulkan
1 Pusat 350 90.700 250 300 105.000
Pemerintah
2 Pusat Kota 425 19.300 45 - 25.000
3 Dalam Kota 1.200 356.200 300 400 480.000
4 Tengah Kota 2.275 566.200 250 275 626.000
5 Pingggir 3.800 388.200 100 200 760.000
Kota
6 Wilayah 4.450 267.000 60 200 827.000
yang dapat
berdiri
sendiri
7 Wilayah 1.650 54.100 - - -
Industri
8 Sisa - 452.300 - - 1.000.000
Sumber : Rencana Pendahuluan Outline Plan Djakarta Raja

Pada masa pemerintahan Walikota Sudiro, peruntukan tanah


untukpembangunan perumahan rakyat dan pegawai negeri, yang telah dirintis oleh

124
Lihat Rentjana Pendahuluan Outline Plan Djakarta Raja, Pemerintah Daerah Chusus Ibu Kota
Djakarta Raya. Cetakan III, 1962, h. 12-14. Dalam Rentjana Pendahuluan dikemukakan Mengenai
Catatan berdasarkan pemilihan kepadatan bagi tiap lingkaran wilayah (sebagaimana dikemukakan dalam
Tabel 5), yakni :
1. Pusat Kota : Pembersihan kampung-kampung yang tidak sehat dalam lingkungan jika dimungkinkan
diupayakan pembangunan untuk lokasi perdagangan.
2. Pusat Pemerintahan : Dalam lingkaran ini diupayakan pertambahan pemukiman tidak terlalu banyak.
3. Dalam Kota : Dalam lingkaran ini daerah-daerah tertentu harus dapat dikembangkan atau diharuskan
adanya rumah-rumah vertikal (bertingkat).
4. Tengah Kota : Kenaikan kepadatan lingkaran ini diperbolehkan, dan pada bagian terbesar harus
dibangun kembali beberapa bagian dalam bentuk flat dalam waktu 20 tahun.
5. Pinggir Kota dan Wilayah yang dapat berdiri sendiri : Usul-usul rencana telah dibuat untuk lingkaran
ini di mana kepadatan 200 jiwa tiap Ha dimungkinkan untuk perumahan satu tingkat. Penduduk
kebayoran berdiri kemudian hari telah ditaksir sebesar 80.000.

32
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Sjamsuridjal dengan modal pinjaman dari Pemerintah Pusat, terus


dikembangkan.125
Dimana pada tahun-tahun terakhir dilakukan pembangunan sistem “rumah
tumbuh” (rumah susun), Walikota Sudiro menyadari akan minimnya tanah untuk
pembangunan perumahan. Oleh karena itu, sejak tahun 1950-an ia
memprogramkan pembangunan perumahan “vertikal” atau rumah susun dan tidak
lagi rumah “horizontal” atau kesamping, khususnya di Krekot Bundar sebagai Pilot
Project.126
Untuk memberikan ciri khas kota Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik,
yang menurut penulis merupakan faktor yang sangat menonjol dibandingkan
dengan faktor lainnya, maka diambil kebijakan untuk memboboti Jakarta dengan
bangunan megah. Dalam kerangka inilah maka direncanakan pembangunan Tugu
Monumen Nasional yang kemudian menjadi Monas, yang ide atau gagasan
awalnya dari Sarwoko. Ia hanyalah masyarakat biasa dari kalangan Organisasi
Angkatan 45. Gagasan ini kemudian disampaikan juga kepada Presiden Soekarno,
dan ternyata Soekarno menyetujuinya, dan kemudian bertindak sebagai pelindung
dalam kepanitiaan pembangunan Monumen Nasional. Sedangkan Sarwoko
bertindak sebagai Ketua dalam Panitia Pembangunan Monumen Nasional. Untuk
menentukan di lokasi mana akan dibangun Monumen Nasional tersebut, pada
tanggal 17 Agustus 1955, sewaktu beliau didampingi Wakil Presiden Moh. Hatta
dalam suatu kendaraan, dari istana Merdeka menuju Pegangsaan Timur 56 (untuk
meletakkan karangan bunga di sana), kedua orang pimpinan Negara berkenan
berhenti sebentar ditengah-tengah Lapangan Merdeka, di mana tugu setinggi 45
meter akan segera mulai dibangun.127
Di samping pembangunan Monas, juga direncanakan untuk membangun
Mesjid Istiqlal yang akan ditempatkan di lokasi “Wilhelmina Park”128
diperkirakan pelaksanaannya memerlukan waktu kurang lebih 20 tahun, karena
pemerintah tidak memiliki anggaran yang cukup,129 Instalasi pembersih air

125
Pelaksanaan pembangunan perumahan yang demikian tentunya tidak memerlukan biaya modal
yang besar, bahkan dapat diperkecil, sehingga lebih mudah bagi Pegawai Negeri untuk membeli/
mengangsurnya. Pembangunan ini mulai dilakukan di daerah perkampungan-perkampungan baru
Tomang, dan kemudian dilanjutkan di daerah-daerah Grogol Utara, Grogol Selatan, Setiabudi, jalan
Tangerang/ Balikpapan I. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Op.Cit., h. 123.
126
Karya Jaya. Ibid., h. 115, 123, 124.
127
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 103.
128
Di antara pertengahan Wilhelmina (yang sekarang tempat berdirinya Mesjid Istiqlal) Park
merupakan garis pertahanan Van den Bosch yang punya hubungan dengan Benteng Frederick Hendrik.
Benteng Frederick Hendrik dibangun pada tahun 1834 oleh Gubernur Jenderal Van den Bosch. Pada
zaman Gubernur Jenderal van den Bosch, di bawah tanah Benteng Ferederick Hendrik dahulu terdapat
terowongan tanah menuju Pasar Ikan. Lihat J.J. de Vries, Jaarboek van Batavia. (Batavia : en Omstreken,
1927) terjemahan Tim Metropos dalam buku Jakarta Tempo Doeloe. Metro Pos Jakarta, Cetakan
Pertama, 1988 h. 26.
129
Pada saat perencanaan pembangunan mesjid tersebut, hal ini mendapat perdebatan karena ada
seksi- seksi di DPRD yang tidak menyetujui, karena tempat yang dipilih oleh Walikota Sudiro, yaitu di
lokasi “Wilhelmina Park” di samping lintasan Kereta Api, dikuatirkan akan mengganggu ketenangan
umat islam dalam menjalankan shalat-nya. Tetapi akhirnya, atas desakan yang kuat dari Badan
Pemerintah harian, Akhirnya tempat itu dapat disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Pemerintah
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Op.Cit., h. 123.

33
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

pejompongan,130 Pembangunan jalan raya dari Tanjung Priok ke-Cililitan yang


menghubungkan jalan raya menuju Bogor, yang ketika itu dikenal “Jakarta By
Pass,131Beberapa program pembangunan lainnya, misalnya pariwisata,
kepanduan, museum sejarah, gedung sekolah, medis, ruangterbuka, perumahan
bagi ABRI,132serta pembangunan Polder Pluit (Waduk Pluit), guna penampungan
air banjir sungai Cideng, sungai Krukut, dan cabang-cabangnya, dan pembangunan
pompa air ke laut. Kemudian juga pelebaran sungai terusan.133
Fenomena di atas memperlihatkan kebijakan di bidang pertanahan, ditandai,
bahkan menjadi penanda atau ciri paling dominan adalah “pengadaan tanah untuk
kepentingan pemerintah atau umum”. Sungguhpun dapat dimengerti, karena
signifikan dengan maknanya sebagai Ibukota Negara, namun terbukti kemudian,
terabaikannya kebijakan yang berkaitan langsung dengan pemilikan dan atau
penguasaan secara individual pada periode ini, justru menimbulkan akibat yang
cukup pelik dikemudian hari. Fenomena ini bermakna, lemahnya persepsi tentang
urgensi kebijakan dalam penataan pemilikan tanah secara individual, sebagai suatu
masalah yang sama pentingnya dengan pengadaan tanah untuk kepentingan
pemerintah. Menurut penulis periode-periode awal, mestinya dijadikan sebagai
suatu momentum terbaik untuk mengambil kebijakan penataan pemilikan tanah
secara individual, yang dapat dikembangkan ke dalam strategi penentuan batas
pemilikan minimum dan maksimum. Di samping secara tegas mengklasifikasi
kawasan-kawasan pengembangan secara permanen. Menurut hemat penulis pola
ini akan memudahkan pemerintah kota melakukan pengawasan terhadap
penguasaan tanah secara liar.

4. PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 1953 TENTANG


PENGUASAAN TANAH-TANAH NEGARA
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 L.N. 1953 Nomor 14 Tentang
Penguasaan Tanah-Tanah Negara134, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan
tanah Negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara, kecualai jika
penguasaan atas tanah Negara dengan undang-undang atau peraturan lain pada
waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu
Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra maka penguasaan atas tanah Negara

130
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 113 dan 121.
131
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 113 dan 125.
132
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Ibid., h. 99,101,103, 113, 115.
133
Keputusan Penguasa Perang No. 101 Tahun 1960, tanggal 2 Nopember 1959 tentang
Penguasaaan Penuh Tanah-tanah oleh Negara Untuk Pekerjaan Persiapan dan Penyelenggaraan “Rencana
Polder Pluit” dan Pekerjaan-pekerjaan Pengerukan Kali-kali yang mengalir melalui bagian Barat dari
Kota Jakarta, h.408-409. Kebijakan peruntukan tanah ini dituangkan dengan Keputusan Penguasa Perang
Daerah No. 101 tahun 1960 tanggal 14 Juli 1960 tentang Penguasaan Penuh tanah-tanah oleh Negara
untuk pekerjaan persiapan dan penyelenggaraan “Rencana Polder Pluit” dan Pekerjaan-pekerjaan
pengerukan kali-kali yang mengalir melalui bagian barat dari Kotapradja.
134
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 LN 1953-14, Tentang Penguasaan Tanah-Tanah
Negara, Bab I Pemakaian istilah-istilah, pasal 1 huruf a.

34
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

ada pada Menteri Dalam Negeri135. Di dalam hal penguasaan tersebut Menteri
Dalam Negeri berhak untuk:
a. Menyerahkan penguasaan itu kepada suatu Kementerian, Jawatan atau
Daerah Swatantra untuk keperluan kepentingan tertentu dari Kementerian,
Jawatan atau daerah Swatantra dan;

b. Mengawasi agar supaya tanah Negara diperlukan sesuai dengan


peruntukannya dan bertindak mencabut penguasaan atas tanah Negara
apabila penyerahan penguasaan itu ternyata keliru/tidak tepat lagi, luas
tanah yang diserahkan penguasaannya ternyata sangat melebihi
keperluannya dan tanah itu tidahk dipelihara atau dipergunakan sebagai
mana mestinya.136

Dalam pada itu, hal menguasai tanah Negara meliputi semua tanah dalam
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, baik tanah-tanah yang tidak atau
belum, maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan oleh
U.U.P.A.disebut tanah yang langsung dikuasai oleh Negara. Untuk menyingkat
pemakaian kata-kata, dalam praktek administrasi Negara digunakan sebutan
“Tanah Negara”.
Hal ini sudah barang tentu dalam arti yang berbeda benar dengan sebutan
“Tanah negera” dalam arti “landsdomein” atau “milik Negara” dalam rangka
“domeinverklaring”. Tanah yang sudah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah
primer disebut dengan tanah hak dengan nama sebutan haknya, unsurnya tanah hak
milik, tanah Hak Guna Usaha (HGU) dan lain-lainnya.137
Dengan berkembangnya Hukum Tanah Nasional lingkup tanah-tanah yang
dalam U.U.P.A. disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, yang
semula disingkat dengan sebutan Tanah Negara itu mengalami juga perkembangan,
semula pengertiannya mencakup semua tanah yang dikuasai oleh Negara, diluar
apa yang disebut tanah-tanah hak. Sekarang ini, Hukum Tanah Indonesia dari segi
kewenangan penguasaannya ada kecenderungan untuk lebih memperinci status
tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah Negara itu menjadi:
a) Tanah-tanah wakaf, yaitu tanah-tanah hak milik yag sudah diwakafkan,

b) Tanah-tanah hak pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan hak


pengelolaan yang merupakan pelimpahan pelaksanaan sebagaian
kewenangan Hak Menguasai dari Negara kepada pemegang haknya,

c) Tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masayarakat


Hukum adat tetorial dengan hak Ulayat,

d) Tanah-tanah Kaum, yaitu tanah-tanah bersama masyarakat-masyarakat


hukum adat genealogis,

135
Ibid, Bab II Ketentuan-ketentuan umum, Angka 2.
136
Ibid, Bab II Ketentuan-ketentuan umum, Angka 3.
137
Lihat Boedi Harsono, Op. Cit., h. 241

35
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

e) Tanah-tanah kawasan hutan yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan


berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan. Hak penguasaan ini pada
hakekatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewenanangan Hak
Menguasai dari Negara,

f) Tanah-tanah sisanya yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh Negara yang bukan
tanah hak, bukan tanah wakaf, bukan tanah hak pengelolaan, bukan tanah
hak ulayat, bukan tanah-tanah kaum dan bukan pula tanah-tanah kawasan
hutan. Tanah-tanah ini tanah-tanah yang benar-benar langsung dikuasai
oleh Negara untuk singkatnya dapat disebut tanah Negara.138

PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 1953


TENTANG
PENGUASAAN TANAH-TANAH NEGARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Berkehendak mengatur kembali penguasaan tanah-tanah Negara sebagai termaktub dalam
surat keputusan Gubernur Jenderal tertanggal 25 Januari 1911 Nomor 33 (Staatsblad 1911
Nomor 110).
Mengingat :Pasal 98 Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia.
Mendengar : Dewan Menteri dalam rapatnya yang ke-71 pada tanggal 13 Januari 1953.

MEMUTUSKAN :
Dengan menyampingkan ketentuan-ketentuan tersebut dalam surat keputusan Gubernur
Jenderal tertanggal 25 Januari 1911 Nomor 33 (Staatsblad 1911 Nomor 110), sebagai yang
telah diubah dan ditambah, yang terakhir dengan surat keputusannya tertanggal 22 Agustus
1940 Nomor 30 (Staatsblad 1940 Nomor 430) yang bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah ini.
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGUASAAN TANAH-
TANAH NEGARA.

BAB I
TENTANG PEMAKAIAN ISTILAH-ISTILAH

Pasal 1
Di dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
a. Tanah Negara, ialah tanah yang dikuasai penuh oleh Negara;
b. Jawatan, ialah Organisasi suatu Kementerian yang berdiri sendiri sebagai yang dimaksud
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1952. (Lembaran Negara Nomor 26);
c. Daerah Swatantra, ialah daerah yang diberi hak untuk mengatur rumah tangganya
sendiri, sebagai yang dimaksud dalam Pasal 131 Undang-undang Dasar Sementera
Republik Indonesia.

138
Boedi Harsono, Ibid., h. 241-242

36
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

BAB II
TENTANG KETENTUAN-KETENTUAN UMUM

Pasal 2
Kecuali jika penguasaan atas tanah Negara dengan Undang-undang atau peraturan
lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini, telah diserahkan kepada
sesuatu Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra, maka penguasaan atas tanah
Negara ada pada Menteri Dalam Negeri.

Pasal 3
(1) Di dalam hal pengawasan tersebut dalam Pasal 2 ada pada Menteri Dalam
Negeri, maka ia berhak :

a. Menyerahkan penguasaan itu kepada sesuatu Kementerian, atau Jawatan


atau Daerah Swatantra untuk keperluan-keperluan tersebut dalam Pasal 4;

b. Mengawasi agar supaya tanah Negara tersebut dalam sub a dipergunakan


sesuai dengan peruntukannya dan bertindak menurut ketentuan tersebut
dalam Pasal 8.

(2) Di dalam penguasaan atas tanah Negara pada waktu mulai berlakunya
Peraturan Pemerintah ini telah diserahkan kepada sesuatu Kementerian,
Jawatan atau Daerah Swatantra sebagai tersebut dalam Pasal 2, maka Menteri
Dalam Negeri pun berhak mengadakan pengawasan terhadap penggunaan
tanah itu dan bertindak menurut ketentuan dalam Pasal 8.

Pasal 4
Penguasaan sebagai dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) sub a diserahkan kepada :
(1) Sesuatu Kementerian atau Jawatan untuk melaksanakan kepentingan tertentu
Kementerian atau Jawatan itu;

(2) Sesuatu Daerah Swatantra untuk menyelenggarakan kepentingan daerahnya,


satu dan lain dengan mengindahkan ketentuan-ketentuan yang diadakan oleh
Menteri Dalam Negeri.

Pasal 5
Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra berkewajiban akan menyerahkan
kembali penguasaan atas tanah Negara kepada Menteri Dalam Negeri di dalam hal
atau sebagian dari tanah itu tidak dipergunakan lagi untuk melaksanakan atau
menyelenggarakan kepentingan sebagai dimaksud dalam Pasal 4 atau maksud yang
terkandung dalam penyerahan penguasaan tersebut dalam Pasal 2.
Pasal 6
Menteri Dalam Negeri, atas permintaan pihak yang bersangkutan, membebaskan
penguasaan atas tanah Negara atau sebagian dari itu atau merubah peruntukan
tanah tersebut.
Pasal 7

37
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Menteri Dalam Negeri, dapat melimpahkan kekuasaan yang dimaksud dalam Pasal
3 ayat (1) sub a dan Pasal 6 kepada Gubernur/Kepala Daerah Propinsi.
Pasal 8
Setelah mendengar pihak yang bersangkutan, Menteri Dalam Negeri berhak
mencabut penguasaan atas tanah Negara sebagai dimaksud dalam Pasal 2 dan 3 di
dalam hal:
a. Penyerahan penguasaan itu ternyata keliru atau tidak tepat lagi;
b. Luas tanah yang diserahkan penguasaannya itu ternyata sangat melebihi
keperluannya;
c. Lanah itu tidak dipelihara atau tidak dipergunakan sebagai mestinya.

Pasal 9
(1) Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra, sebelum dapat menggunakan
tanah-tanah Negara yang penguasaannya diserahkan kepadanya itu menurut
peruntukannya, dapat memberi izin kepada pihak lain untuk memakai tanah-
tanah itu dalam waktu yang pendek.
(2) Perizinan untuk memakai tersebut dalam ayat (1) Pasal ini bersifat sementara
dan setiap waktu harus dapat dicabut kembali.

(3) Tentang perizinan tersebut dalam ayat (2) di atas, Menteri Dalam Negeri perlu
diberitahu.

Pasal 10
Ketentuan-ketentuan termaktub dalam Pasal 3 ayat (2), dan Pasal 5, 6, 8 dan 9 dari
Peraturan Pemerintah ini, tidak berlaku bagi tanah Negara yang penguasaannya
diserahkan dengan Undang-undang.
Pasal 11
(1) Tanah yang dibeli atau yang dibebaskan dari hak-hak rakyat oleh sesuatu
Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra untuk
menyelenggarakan/melaksanakan kepentingannya, menjadi tanah Negara pada
saat terjadinya pembelian/pembebasan tersebut, dengan pengertian, bahwa
penguasaan atas tanah itu, oleh Menteri Dalam Negeri akan diserahkan kepada
Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra yang bersangkutan, setelah
diterimanya pemberi-taan tentang pembelian/pembebasan dan peruntukan
tanah tersebut.

(2) Menteri Dalam Negeri memberikan ketentuan-ketentuan umum tentang cara


pembelian/pembebasan hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini.

38
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

BAB III
Tentang ketentuan-ketentuan khusus mengenai Daerah Swatantra
Pasal 12
Kepala Daerah Swatantra dapat diberikan penguasaan atas tanah Negara, dengan
tujuan untuk kemudian diberikan kepada pihak lain dengan sesuatu hak menurut
ketentuanketentuan Menteri Dalam Negeri.
Pasal 13
Tiap-tiap tahun, selambat-lambatnya pada akhir triwulan pertama, Daerah
Swatantra yang bersangkutan menyampaikan laporan lengkap tentang keadaan dan
penggunaan tanah tersebut dalam Pasal 12 kepada Menteri Dalam Negeri.
Pasal 14
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 24 Januari 1953
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA
ttd.
SOEKARNO
PERDANA MENTERI
ttd.
WILOPO

Diundangkan
Pada tanggal 27 Januari 1953
MENTERI KEHAKIMAN MENTERI DALAM NEGERI
ttd. ttd.
LOEKMAN WIRIADINATA MOHAMAD ROEM

39
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

PENJELASAN
PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 8 TAHUN 1953
TENTANG PENGUASAAN TANAH-TANAH NEGARA

PENJELASAN UMUM
1. Menurut “domeinverklaring” yang antara lain dinyatakan di dalam Pasal 1
“Agrarisch Besluit”, semua tanah yang bebas sama sekali daripada hak-hak
seseorang (baik yang berdasar atas hukum adat asli Indonesia, maupun yang
berdasar atas hukum barat) dianggap menjadi “vrij landsdomein”, yaitu tanah-
tanah yang dimiliki dan dikuasai penuh oleh Negara. Tanah-tanah demikian itulah
yang di dalam Peraturan Pemerintah disebut “Tanah Negara’.

2. Mengenai tanah-tanah “vrij landsdomein” itu sesungguhnya belum ada sesuatu


peraturan yang secara khusus dan tegas mengatur hal penguasaannya. Satu-
satunya peraturan yang memuat ketentuan-ketentuan perihal itu ialah Peraturan
Pemerintah tentang penguasaan “benda-benda yang tidak bergerak, gedung-
gedung dan lain-lain bangunan milik Negara”, termuat dalam Staatsblad 1911
Nomor 110 sebagai terakhir diubah dengan Staatsblad 1940 Nomor 430. Di
dalam Bab III Peraturan Pemerintah itu ditetapkan, bahwa benda-benda milik
Negara yang tidak bergerak (jadi termasuk juga tanah-tanah Negara) dianggap
ada di bawah penguasaan Departemen, yang menurut anggaran belanjanya
membiayai pemeliharaannya. Pada hakekatnya ketentuan itu adalah amat sempit,
karena dengan demikian masih belum jelas, bagaimanakah halnya dengan
penguasaan tanah-tanah Negara, yang tidak nyata-nyata dipelihara oleh sesuatu
Departemen.

3. Dalam pada itu tentang penguasaan tanah-tanah “vrij landsdomein” itu ternyata,
bahwa Pemerintah Belanda dahulu berpegang pada pendirian, bahwa :

a. Tanah yang menjadi “vrij landsdomein” karena dibebaskan dari hak-hak milik
Indonesia oleh sesuatu Departemen, dianggap ada di bawah penguasaan
Departemen itu.

b. Tanah-tanah “vrij landsdomein” yang penguasaannya tidak nyata-nyata


diserahkan kepada sesuatu Departemen, dianggap ada di bawah penguasaan
Departemen B.B.

Dengan demikian maka nyatalah, bahwa pada dasarnya tiap bidang tanah Negara
itu sudah dianggap masuk di dalam lingkungan penguasaan sesuatu Departemen,
sekalipun menurut kenyataannya pada tanah yang bersangkutan tidak selalu
terlihat tanda-tanda atau bekas-bekas pelaksanaan sesuatu “beheersdaad”.
Memang di dalam praktek tidak selalu dapat disaksikan wujudnya penguasaan
tanah Negara oleh sesuatu instansi Pemerintah. Peraturan tersebut dalam
Staatsblad 1911 Nomor 110 pun tidak memberi ketentuan tentang kewajiban
masing-masing Departemen terhadap tanah-tanah Negara yang dikuasainya.
Hanyalah sudah menjadi pendapat umum pada waktu itu, bahwa penguasaan itu

40
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

mengandung kewajiban-kewajiban bagi Departemen yang bersang-kutan untuk


mempergunakan tanah Negara itu menurut peruntuk-annya, sedang pada
Departemen Van Binnenlands Bestuur (BB) selain daripada itu terletak pula
kewajiban khusus untuk menjaga jangan sampai hak-hak Negara atas
“domeinnya” dilanggar oleh siapapun.
4. Walaupun sebagaimana diterangkan di atas peraturannya tidak sempurna, namun
selama masa sebelum perang dunia II maksud dan tujuan yang terkandung dalam
penyerahan penguasaan tanah-tanah Negara ke tangan Departemen-departemen
dan Jawatanjawatan dalam prakteknya tidak menimbulkan keragu-raguan.
Demikian tadi karena pada waktu itu memang dijalankan cara bekerja menurut
tata tertib yang sudah sekian puluh tahun menjadi kebiasaan.

5. Akan tetapi di masa pendudukan Jepang keadaan dan suasana berubah sama
sekali. Untuk melancarkan usaha-usaha peperangan berbagai Jawatan dari
Pemerintahan pendudukan Jepang diberi keleluasaan penuh untuk mengatur
kepentingannya masingmasing. Akibatnya ialah, bahwa dalam urusan tanah
Jawatan-jawatan itu berbuat sekehendak sendiri dengan mengabaikan peraturan-
peraturan yang ada. Banyaklah tanah-tanah Negara yang dengan begitu saja
diperguna-kan untuk keperluan yang menyimpang daripada tujuan yang telah
ditentukan semula, atau yang dipindahpindahkan dari tangan Jawatan yang satu
ke tangan Jawatan yang lain, dengan tidak melalui acara penerimaan dan
penyerahan yang resmi. Banyak pula tanah-tanah Negara yang dibiarkan terlantar
oleh Jawatan yang tidak membutuhkan lagi. Selain daripada itu sering juga
terjadi pembelian-pembelian tanah dari penduduk yang tidak saja dilakukan
menurut peraturan-peraturan yang ada, melainkan kemudianpun tidak diketahui
Jawatan manakah yang menguasainya.

6. Tindakan-tindakan dari pelbagai Jawatan yang tidak menunjukan garis-garis


kebijaksanaan yang sama antara satu dengan yang lain itu masih juga diteruskan
sesudah berakhirnya pendudukan Jepang sehingga menimbulkan simpang-siur
dalam urusan penguasaan tanah Negara umumnya, yang tidak dapat diatasi
dengan berpe-doman pada peraturan tersebut dalam Staatsblad 1911 Nomor 110
saja. Satu-satunya jalan untuk dapat mengatur kembali masalah ini sebaik-
baiknya ialah membentuk peraturan baru, yang memberi ketentuan-ketentuan
sebagai dasar guna mengatasi keadaan yang dihadapi sekarang.

7. Penyerahan penguasaan atas tanah-tanah Negara hingga kini ada yang dilakukan
dengan Undang-undang, ada yang dengan Peraturan Pemerintah. Penyerahan
yang diselenggarakan dengan Undang-undang peruntukannya sudah tegas dan
tidak perlu diragu-ragukan, akan tetapi justru penguasaan yang diserahkan dengan
Peraturan Pemerintah itu kini keadaannya kacau dan perlu diatur kembali.

Oleh karena dulu peraturan-peraturan yang dipakai sebagai dasar penyerahan


penguasaan itu diletakan di dalam Peraturan Pemerintah (Staatsblad 1911 Nomor
110), maka peraturan-peraturan baru yang khusu mengatur penguasaan tanah-
tanah Negara berbentuk Peraturan Pemerintah juga.
41
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Di dalam mempertimbangkan Peraturan Pemerintah itu yang menjadi titik berat


ialah melenyapkan keragu-raguan perihal hak-hak penguasaan atas berbagai tanah
Negara, untuk melancarkan dan menjamin pelaksanaan penguasaan tanah-tanah
itu secara yang benar-benar mendatangkan faedah bagi Negara dan masyarakat.
Dalam keadaan sekarang ini dirasa perlu untuk pertama-tama diletakkan
pengawasan atas tanah-tanah Negara itu di dalam satu tangan, agar selanjutnya
tanah-tanah yang tidak tegas status penguasaannya dapat mudah diatur kembali.
Oleh karena Kemen-terian Dalam Negeri yang diserahi segala sesuatu mengenai
urusan tanah, lagi pula hingga sekarang dianggap mempunyai tugas sebagai
penguasa jika pengawasan atas penggunaan tanah-tanah Negara itu diletakan di
tangan Menteri Dalam Negeri.
8. Di dalam Peraturan Pemerintah ini dimuat juga ketentuan-ketentuan khusus, yang
memberi kemungkinan pada Daerah-daerah Swatantra untuk memperoleh
penguasaan atas tanah-tanah Negara guna keperluan perumahan Rakyat.
Pelaksanaan ketentuanketentuan itu diserahkan pula kepada Menteri.

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL


Ketentuan-ketentuan tersebut dalam Staatsblad 1911 Nomor 110 tidak dicabut
seluruhnya, karena sebagaimana sudah diterangkan di atas, ketentuan-ketentuan itu
tidak hanya mengenai penguasaan tanah-tanah Negara saja, melainkan juga benda-
benda tak bergerak lain-lainnya. Maka berhubung dengan itu hanyalah apa yang
bertentangan dengan ketentuanketentuan Peraturan Pemerintah ini saja yang
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 1
Tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 2
Telah dijelaskan di dalam penjelasan umum nomor 7.
Pasal 3
Pengawasan Menteri Dalam Negeri bukan sekali-kali bersifat mencampuri urusan
intern penyelenggaraan teknis tugas sesuatu Kementerian Jawatan atau Daerah
Swatantra. Pada azasnya Kementerian, Jawatan/Daerah Swatantra bebas di dalam
melaksanakan dan menyelenggarakan penguasaan tanah-tanah Negara yang telah
diserahkan kepada mereka itu, demikian juga untuk memberi peruntuk-an pada tanah-
tanah itu hingga sesuai dengan tugas mereka masing-masing.
Pengawasan Menteri Dalam Negeri terutama bermaksud menjamin ketertiban
administrasi dan menjaga jangan sampai ada tanah-tanah Negara yang tidak
dipergunakan sebagaimana mestinya (tinggal terlantar karena tidak atau belum
dibutuhkan oleh Kementerian/Jawatan/Daerah Swatantra yang bersangkutan).

Pasal 4
Tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 5
Oleh karena penguasaan tanah-tanah Negara diletakan di tangan Menteri Dalam
Negeri (Pasal 1), maka sudahlah selayaknya, bahwa tanah-tanah yang tidak diperlukan
lagi atau tidak dipergunakan lagi diserahkan kembali kepadanya. Dengan ketentuan
ini, maka tidak lagi dipergunakan sesuatu Kementerian atau Jawatan masing-masing

42
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

mengadakan penyerahan sendiri-sendiri. Ketentuan di dalam Pasal I a dari peraturan


tersebut dalam Staatsblad 1911 Nomor 110 di dalam hal ini dikesampingkan.
Pasal 6
Dengan adanya ketentuan ini maka Menteri Dalam Negeri wajib membebaskan
sesuatu Kementerian/Jawatan/Daerah Swatantra dari penguasaan atas sesuatu bidang
tanah Negara atau merubah peruntukan tanah itu, sewaktu-waktu hal itu diminta oleh
penguasa yang bersang-kutan, satu dan lain sesuai dengan azas tersebut dalam Pasal 3.
Pasal 7
Ketentuan ini untuk memungkinkan penyelesaian segala sesuatu dengan cepat.
Pasal 8
Telah dijelaskan dalam Pasal 3 dan 6.
Pasal 9
Ketentuan ini untuk mencegah jangan sampai ada tanah Negara yang tidak
dipergunakan, walaupun hanya untuk sementara waktu saja. Tetapi kekuasaan yang
diberikan kepada penguasa untuk memberi izin kepada pihak lain akan memakai
tanah yang ada dalam penguasaannya dan hanya boleh dipergunakan sewaktu
penguasa itu belum dapat menggunakan tanah itu menurut peruntukannya.
Di dalam hal tanah tersebut memang tidak diperlukan lagi, maka berlakulah ketentuan
tersebut dalam Pasal 8.
Pasal 10
Sebagaimana diterangkan di dalam penjelasan Umum Nomor 7 tanah-tanah Negara
yang penguasaannya diserahkan dengan Undang-undang, peruntukan dan
penggunaannya sekarang ini sudah tegas dan tidak perlu diragu-ragukan.
Pasal 11
Tidak memerlukan penjelasan.
Pasal 12 dan 13
Ketentuan ini bermaksud memberi kemungkinan bagi Daerah-daerah Swatantra untuk
berusaha memperbaiki perumahan rakyat. Dalam jaman sebelum perang dunia II
beberapa stadsgemeenten menyelenggarakan “perusahaan tanah”, yang bermaksud
selain menambah pemasukan keuangan daerah, juga mengusahakan perbaikan
perumahan penduduknya. Daerah-daerah tersebut diberi tanah oleh Pemerintah Pusat
dengan harga rendah untuk kemudian dijual atau disewakan kepada penduduk dengan
perjanjian, bahwa di atas tanah itu akan didirikan rumah, sesuai dengan rencana
pembangunan kota yang bersangkutan.
Atau Daerah Swatantra itu sendiri yang membuat perumahannya untuk selanjutnya
dijual atau disewakan. Usaha sebagai tersebut itu, yang pada umumnya kini belum
diselenggarakan lagi, perlu dilanjutkan.
Untuk itu sudah selayaknyalah, bahwa Kementerian Dalam Negeri sebagai instansi
atasan dari Daerah-daerah Swatantra, diserahi pimpinannya.

MENTERI DALAM NEGERI,


ttd.
(MOHAMAD ROEM)

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA NOMOR 362

43
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

5. Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda.


Setelah bangsa Indonesia merdeka dan menjadi Negara yang berdaulat
penuh, sudah waktunya untuk mengeluarkan ketegasan terhadap perusahaan-
perusahaan milik Belanda yang berada di wilayah Republik Indonesia, berupa
nasionalisasi untuk dijadikan milik negara. Hal ini dimaksudkan untuk memberi
manfaat sebesar-besarnya pada masyarakat Indonesia dan juga untuk
memperkokoh keamanan dan pertahanan negara.139
Untuk itu, pada tanggal 27 Desember 1958 dibentuklah undang-undang
mengenai perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dimuat dalam Lembaran
Negara Tahun 1958 Nomor 162 yaitu Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958
Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda yang ada di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang akan di tetapkan dengan Peraturan
Pemerintah dikenakan nasionalisasi dan dinyatakan menjadi milik penuh dan bebas
Negara Republik Indonesia.140 Dan kepada pemilik-pemilik perusahaan tersebut
diberi penggantian yang besarnya ditetapkan oleh sebuah panitia yang anggota-
anggotanya ditunjuk oleh Pemerintah.141
Adapun isi dan sifat perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dapat
dikenakan nasionalisasi adalah :142
(a) Perusahaan-perusahaan yang untuk seluruhnya atau sebagian merupakan milik
perseorangan warga negara Belanda dan bertempat kedudukan dalam wilayah
Republik Indonesia;
(b) Perusahaan milik suatu badan hukum yang seluruhnya atau sebagian modal
perseorangannya atau modal pendiriannya berasal dari perseorangan warga
negara Belanda dan badan-badan hukum itu bertempat/ berkedudukan dalam
wilayah Republik Indonesia;
(c) Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan untuk
seluruhnya atau sebagian merupakan milik perseorangan warga negara
Belanda yang kediamannya di luar wilayah Republik Indonesia;
(d) Perusahaan yang letaknya dalam wilayah Republik Indonesia dan merupakan
milik suatu badan hukum yang bertempat kedudukan dalam wilayah negara
kerajaan Belanda.
Perusahaan yang dikenakan nasionalisasi seperti termaksud dalam point, a,
dan di atas termasuk seluruh kekayaan dan harta cadangan, baik yang berwujud
barang tetap atau barang bergerak maupun yang merupakan hak atau piutang.
Sedangkan untuk butir b termasuk seluruh saham dalam modal perseroan yang
belum dimiliki oleh Republik Indonesia.143

139
Undang-Undang Nomor 58 Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Milik
Belanda, Lembaran Negara 1958 Nomor 162, Bagian Menimbang, huruf b dan c.
140
Ibid., Pasal 1.
141
Ibid., Pasal 2.
142
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 L.N. 1959 Nomor 5 Tentang Pokok-Pokok
Pelaksanaan Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda, Pasal 1.
143
Ibid., Pasal 2 ayat (1) dan (2)

44
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Dari tiap-tiap perusahaan yang dikenakan nasionalisasi akan dibuat daftar


berjalan tentang seluruh harta kekayaan dan harta cadangan termasuk seluruh
saham dalam modal perusahaan yang berbentuk perseroan terbatas, yang
pendaftarannya dilakukan oleh Badan penampung perusahaan.144
Agar pelaksanaan dari Undang-undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda
berjalan sebagaimana mestinya, maka perlu segera untuk dibentuk suatu badan
yang mengatur serta mengawasi kelancaran dari jalannya nasionalisasi
tersebut.Untuk itu Pemerintah membentuk Badan Nasionalisasi Perusahaan
Belanda yangdisingkat dengan sebutan BANAS,145 bertempat dan berkedudukan di
Jakarta.146
Dasar Penunjukan kota Jakarta sebagai tempat kedudukan BANAS adalah
karena pusat Pemerintahan maupun Badan-badan penampung perusahaan-
perusahaan milik Belanda yang diambil alih oleh Pemerintah itu ada di Jakarta.
Dengan demikian maka keputusan-keputusan Pemerintah tentang soal-soal
mengenai nasionalisasi dapat dengan cepat diteruskan kepada BANAS untuk a
diolah lebih lanjut dan kemudian dapat dengan cepat pula diteruskan kepada
badan-badan penampung yang telah ada untuk dilaksanakan.147
Kemudian agar unsur-unsur penguasaan, perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan terhadap nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda ini dapat
dipertanggung jawabkan kepada Dewan Menteri, maka BANAS ini terdiri dari
orang-orang yang bertugas :148
(a) Memimpin dan mempertanggung jawabkan;
(b) Merencanakan;
(c) Melaksanakan dan
(d) Mengawasi.

144
Ibid., Pasal 3.
145
Yang dimaksud dengan Badan/Panitia Penampung Perusahaan Belanda yang dikenakan
nasionalisasi ialah antara lain : (a). Badan Urusan Dagang (BUD), (b). Badan Pusat Penyelenggaraan
Perusahaan-Perusahaan Industri dan Tambang (Bappit), (c).Pusat Perkebunan Negara Baru (PPN Baru),
(d).Badan Pusat Penguasaan Pharmasi (Bapphar), (e).Badan Penguasa Pengangkutan (BPP), (f).Panitia
Penguasa N. V.KPM (PPKPM), (g).Badan Pusat Pengawas Perusahaan-perusahaan Pemborongan
Belanda (BP5B), (h).Penguasa Perusahaan-perusahaan Listrik dan Gas (P3LG), (i).Badan Penguasa
Perusahaan Asuransi Kerugian Belanda (BPPAKB), (j).Badan Penguasa Pertanggungan Asuransi Jiwa
Belanda (BPPDB), (k).Badan Penguasa Kantor Akuntan dan Kantor Administrasi Partikelir Belanda
(BPKAKPB), (l).Badan Pengawas Bank-bank Pusat, (m). Badan Pengawas Perusahaan Kementerian
Perhubungan, (n).Panitia Penguasa Perusahaan-Perusahaan Maritim Belanda (lihat Peraturan Pemerintah
Nomor 3 Tahun 1959 L.N. 1956 Nomor 6, Penjelasan TLN No. 1731 Romawi II, Pasal 2). Peraturan
Pemerintah Nomor 3 Tahun 1959, L.N. 1959, Nomor 6. Tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi
Perusahaan Belanda (BANAS). Pasal 1.
146
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1959 L.N. 1959 Nomor 6 Tentang Pembentukan Badan
Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS) Pasal 1.
147
Ibid., Penjelasan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1731, Angka Romawi II. Pasal Demi
Pasal, Pasal 1.
148
Ibid., Pasal 2 , huruf a, b, c dan d.

45
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Sementara Dewan Pimpinan BANAS mempunyai tugas menetapkan


keseragaman kebijaksanaan dalam pelaksanaan nasionalisasi perusahaan-
perusahaan milik Belanda yang antara lain :149
a. Menentukan garis kebijaksanaan dan mengawasi badan-badan penampung
dalam lapangan manajemen yang meliputi :
(1) urusan teknis,
(2) urusan komersil,
(3) urusan finansial,
(4) urusan mempertinggi produksi dan produktivitas,
(5) urusan sosial.
b. Menentukan perusahaan-perusahaan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Tingkat I;
c. Menampung dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul sebagai akibat
Undang-Undang Nasionalisasi Perusahaan Belanda yang berhubungan dengan
soal-soal pemindahan/pembebasan hak milik serta yang mengenai peraturan-
peraturan, keputusan-keputusan, dan ketentuan-ketentuan lain dari penguasa
perang;
d. Menentukan soal-soal yang penyelesaiannya dan atau pengurusannya
didelegasikan kepada pimpinan harian.
Hal tersebut di atas dimaksudkan agar tidak terdapat simpang siur dalam
kebijaksanaan melaksanakan fungsi-fungsi perusahaan yang telah tertampung
dalam badan-badan penampungan yang telah ada. Dengan demikian tercapailah
persamaan dalam menjalankan kebijaksanaan terhadap perusahaan-perusahaan
milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi.150
Selanjutnya lepas dari pada kepentingan modal dan pemimpin Belanda,
perusahaan-perusahaan milik Belanda yang diambil oleh Pemerintah merupakan
bagian terbesar dari aparat ekonomi Indonesia dalam arti aparat ekonomis
fungsional, maka pembentukan badan tersebut di atas dimaksudkan untuk
menjamin koordinasi dalam pimpinan, kebijaksanaan dan pengawasan terhadap
perusahaan- perusahaan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi. Dengan
demikian produktifitas perusahaan-perusahaan milik Belanda yang telah dikenakan
nasionalisasi dapat tetap dipertahankan dan dipertingg.151
Sejalan dengan itu sesuai dengan politik luar negeri Pemerintah yang pada
dasarnya tidak menolak Penanaman Modal Asing di Indonesia, juga dipandang
perlu untuk mengadakan ketentuan-ketentuan tentang adanya kebijaksanaan yang
khusus terhadap:152 (a) Perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia yang
sebagian dari modalnya menjadi hak milik orang asing bukan warga negara

149
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1959, L.N.1959 Nomor 6 Tentang Pembentukan Badan
Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS). Pasal 3.
150
Penjelasan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1731 Angka Romawi II, Pasal Demi Pasal,
Pasal 3.
151
Ibid., Angka Romawi I. Umum.
152
Keputusan Menteri Pertama Republik Indonesia No.485/M.P/1959 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Tentang Kebijaksanaan Pemerintah Terhadap Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda Dan
Perusahaan-Perusahaan Asing Di Indonesia, Bagian Menimbang, Angka (3).

46
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Belanda; (b) Perusahaan-perusahaan asing di Indonesia yang modalnya 100%


menjadi hak milik orang asing bukan warga negara Belanda yang mempunyai
pusat kedudukan/domisili dalam wilayah kerajaan Belanda.
Setelah dikenakan nasionalisasi, perusahaan-perusahaan milik Belanda
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun
1959 yang sebagian menjadi hak milik orang asing bukan warga negara Belanda
dianggap vital oleh Pemerintah akan tetap menjadi perusahaan negara 100 %
sedangkan sebagian dari modalnya yang mula-mula adalah hak milik orang asing
bukan warga negara Belanda tersebut akan diberi ganti kerugian.153
Guna menghindarkan terjadinya pemecahan (versnippering) dari kekayaan
perusahaan-perusahaan yang dikuasai atau dinasionalisir dan untuk
mempertahankan agar kekayaan perusahaan-perusahaan tersebut untuk sementara
waktu tetap merupakan satu kesatuan sehingga terdapat “overzicht” yang nyata
mengenai kekayaan-kekayaan seluruh perusahaan-perusahaan yang dikuasai atau
dinasionalisir maka perlu dicegah adanya tindakan-tindakan pemindahan hak milik
perusahaan-perusahaan tersebut berupa barang tidak bergerak.154 Barang-barang
tetap (tidak bergerak) milik perusahaan-perusahaan Belanda yang dikuasai atau
dinasionalisir baik perusahaan tersebut merupakan badan hukum atau bukan,
dilarang dibebani atau dipindahkan hak miliknya.155
Tindakan pembebanan dan atau pemindahan hak milik atas sebagian atau
seluruh barang-barang yang dilakukan setelah tanggal 3 Desember 1957 adalah
batal menurut hukum. Kemudian apabila tindakan tersebut adalah akibat dari
tindakan pembebanan dan atau pemindahan hak milik perusahaan seluruhnya yang
sah menurut ketentuan yang berlaku, persoalannya dapat diajukan kepada Menteri
Pertama melalui Badan Pusat Koordinasi sementara untuk dapat menyelesaikan fee
dan atau ketegasan lebih lanjut dengan mengajukan bukti-bukti yang diperlukan.156
Adapun data-data perusahaan pertanian/perkebunan milik Belanda yang
terkena nasionalisasi adalah sebanyak 205 perusahaan, dan peruntukan
penggunanya pada umumnya adalah untuk pabrik gula, perkebunan karet, kelapa
sawit, Kopi, teh, coca, coklat, kelapa, kapuk, serat-tali, tebu, rosella, kina,
perusahaan bengkel , bus, hotel, percetakan, bengkel motor dan pabrik plastik.157

153
Ibid., Pasal 2, huruf a, b, c dan d
154
Keputusan Menteri Pertama Republik Indonesia Nomor 62 M.P./1961 Tanggal 6 Februari 1961
Tentang Larangan Untuk Membebani Atau Memindahkan Barang-Barang Tetap Milik Perusahaan
Belanda Yang Dikuasai/ Dinasionalisir. Bagian menimbang.
155
Bagian Memutuskan, Menetapkan : Pertama.
156
Bagian Memutuskan, Menetapkan : kedua.
157
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1959, tentang Penentuan Perusahaan
Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang dikenakan Nasionalisasi.

47
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

6. Penguasaan Tanah-Tanah Milik Perseorangan Warganegara Belanda


Lazimnya Dikenal dengan Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda
Disingkat P3MB
Dengan berlakunya undang-undang tentang nasionalisasi perusahaan-
perusahaan milik Belanda (Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958), dan telah pula
ditunjuk perusahaan-perusahaan mana yang dikenakan nasionalisasi itu serta
semangat anti Belanda yang meningkat, mengakibatkan banyaknya orang-orang
Belanda pemilik benda-benda tetap (berupa rumah dan tanah) pergi keluar
Indonesia secara tergesa-gesa. Hal ini menjadikan penguasaan atas benda-benda
yang ditinggalkan itu menjadi tidak teratur. Ada yang dikuasai oleh orang-orang
yang sudah mengadakan perjanjian jual beli dengan pemiliknya berhubung pada
saat itu terdapat larangan soal ijin pemindahan haknya maka jual beli tersebut tidak
dapat dilakukan, kemudian ada yang dikuasai oleh seseorang yang ditunjuk sebagai
kuasa oleh pemiliknya dan ada pula yang ditinggalkan begitu saja tanpa ada
penunjukan seorang kuasa.158
Berhubung dengan itu maka oleh Pemerintah dianggap perlu diadakan
ketentuan-ketentuan yang khusus159 yang bertujuan agar pemindahan hak atas
benda- benda (berupa rumah dan tanah) dapat diselenggarakan dengan tertib dan
teratur dan agar dapat dicegah pula jatuhnya tanah-tanah dan rumah-rumah
peninggalan warga negara Belanda ke dalam tangan golongan tertentu saja.
Pertama-tama yang dipandang perlu dilakukan oleh Pemerintah adalah
menertibkan kembali penguasaan dengan menempatkan semua benda-benda tetap
yang ditinggalkan baik yang sudah ada perjanjian jual beli yang sudah ada
kuasanya maupun yang ditinggalkan begitu saja, di bawah penguasaan Pemerintah
dalam hal ini Menteri Muda Agraria.160
Penguasaan tersebut di atas bukan berarti pengambilalihan ataupun
nasionalisasi sebagai yang dimaksud dalam Undang-Undang Nasionalisasi
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda (Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958)
dan oleh karenanya tidak menghilangkan atau mengganggu gugat hak milik
daripada pemiliknya. Penguasaan itu berarti pengelolaan (beheer) yang bermaksud
memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk secara aktif bercampur tangan
dalam soal pemindahan haknya, khususnya dalam memberi keputusan mengenai

158
Lihat Penjelasan Tambahan Lembaran Negara Nomor 1940 Angka 1 dan 2.
159
Ketentuan-ketentuan khusus tersebut dengan mengingat Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 1954 (L.N. 1954 No.78) dan mendengar Musyawarah Kabinet Kerja pada
tanggal 12 Januan 1960, Presiden Republik Indonesia memutuskan dan menetapkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Tentang Penguasaan Benda-benda Tetap Milik Perseorangan
Warganegara Belanda yaitu Undang-Undang Nomor 3 Prp. Tahun 1960, L.N. 1960. No. 19.
160
Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960. L.N. 1960, No. 19, Pasal 1 menyebutkan : Semua
benda tetap milik perseorangan Warga Negara Belanda yang tidak terkena Undang-Undang Nomor 86
Tahun 1958 Tentang Nasionalisasi Perusahaan-Perusahaan Belanda (L.N. Thn.1958 No. 162) yang
pemiliknya telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia sejak mulai berlakunya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini dikuasai oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri Muda
Agraria.

48
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

siapa yang akan diperkenankan mengelola hak milik atas benda-benda tersebut,161
syarat-syarat bagi pemilik yang baru162 dan mengenai cara pembayaran harganya
kepada pemiliknya yang bersangkutan.163
Kemudian dalam peraturan ini dijelaskan pula bahwa barang siapa dalam
hubungan yang bagaimanapun dengan pemiliknya menguasai benda-benda tetap
dalam waktu 2 (dua) bulan sejak mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang ini wajib menyerahkan penguasaan tersebut dan melaporkan
segala sesuatu mengenai benda yang dikuasainya itu serta hubungannya dengan
pemilik kepada Pemerintah c.q Menteri Muda Agraria, dan bagi yang tidak
memenuhi kewajiban tersebut dianggap tidak mempunyai hubungan yang sah
dengan benda yang bersangkutan.164
Selanjutnya untuk melaksanakan penguasaan dan mengadakan penyelesaian
cari pada benda-benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda yang telah
ditinggalkan oleh pemiliknya di daerah-daerah yang dipandang perlu oleh
Pemerintah Menteri Muda Agraria), dibentuk suatu panitia yang terdiri atas
seorang pejabat lari Jawatan Agraria sebagai ketua merangkap anggota dan seorang
pamong praja j-ang ditunjuk oleh Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I,
satu Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan masing-masing sebagai
anggota.165 Panitia tersebut bekerja atas dasar pedoman-pedoman yang diberikan
oleh Menteri Vuda Agraria166 dan dalam pelaksanaannya lebih lanjut disebut
Panitia-panitia terlaksana Penguasaan Benda-Benda Tetap Milik Perseorangan
Warga Negara 1 anda, disingkat Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda
(P3MB).167 Panitia Pelaksana Penguasaan Milik Belanda bertugas :
(1) Menerima penyerahan penguasaan benda-benda tetap milik perseorangan
warga negara Belanda yang pemiliknya telah meninggalkan wilayah Republik

161
Barang siapa ingin membeli benda-benda tetap yang dikuasai oleh Pemerintah harus
mengajukan permohonan kepada Menteri Muda Agraria dengan perantaraan Panitia setempat yang
bersangkutan menurut cara yang ditentukan oleh Menteri Muda Agraria. (/did, Pasal 4 ayat (1)).
162
Yang diperkenankan membeli benda-benda dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini hanyalah
wai^anegara Indonesia yang dengan pembeliannya yang baru itu tidak akan mempunyai lebih dari 3
(tiga) bidang tanah (Ibid., Pasal 4 ayat (2)). Hal ini berarti bahwa biarpun misalnya sudah ada perjanjian
jual beli tetapi kalau pembelinya itu menurut pendapat Menteri Muda Agraria tidak memenuhi syarat
seperti tersebut di atas, tanah atau ramah yang bersangkutan dapat diberikan kepada orang lain yang
memenuhi syarat (lihat juga Penjelasan Tambahan Lembaran Negara No. 1940 dan Lembaran Negara
No. 19/1960).
163
Di dalam Keputusan Menteri Muda Agraria yang memberi ijin untuk melakukan jual beli dan
melaksanakan pemindahan hak atas benda yang bersangkutan dicantumkan pula Mengenai cara
pembayaran harga benda itu pada pemiliknya dengan mengingat peraturan-peraturan yang berlaku. Oleh
karena ketentuan-ketentuan dalam peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini tidak menggangu
gugat hak miliknya maka harga tanah dan rumah yang bersangkutan menjadi hak mereka sepenuhnya,
tapi karena mereka tidak lagi menjadi penduduk Indonesia soal pembayaran harus dijalankan menurut
peraturan-peraturan yang berlaku. Hal mana untuk tegasnya pula ditentukan pula dalam surat ijin yang
diusulkan oleh Menteri Muda Agraria (lihat Penjelasan Tambahan Lembaran Negara No. 1940 dan
Tambahan Lembaran Negara Nomor 19/1960).
164
Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960. L.N.1960, No.19, Pasal 3 ayat (1) dan (2).
165
Ibid., Pasal 2 ayat (1).
166
Ibid., Pasal 2 ayat (2).
167
keputusan Menteri Agraria No.SK.330/Ka/1960 tanggal 17 Februari 1960, TLN No. 1950
Tentang Panitia Pelaksanaan Penguasaan Benda-benda Tetap Milik Perseorangan Warganegara Belanda,
Bagian Memutuskan, Pertama.

49
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Indonesia dan orang-orang yang dalam hubungan yang bagaimanapun dengan


pemilik itu pada tanggal 9 Februari atau sesudahnya menguasai benda-benda
tersebut.
(2) Atas nama Menteri Muda Agraria melaksanakan penguasaan semua benda-
benda tetap milik perseorangan warga negara Belanda tersebut terkena
Undang- undang Nomor 86 Tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan-
perusahaan Belanda dan yang pemiliknya meninggalkan wilayah Republik
Indonesia.
(3) Mengusulkan kepada Menteri Muda Agraria penyelesaian selanjutnya
mengenai benda-benda tetap yang dikuasai tersebut di atas. Segala sesuatu atas
dasar pedoman-pedoman yang diberikan Menteri Muda Agraria.168
Agar peralihan perumahan dan tanah-tanah milik perseorangan warga negara
Belanda kepada warga negara Indonesia dapat terselenggara dengan baik, adil
danmerata maka perlu diadakan ketentuan lebih lanjut yang merupakan pedoman
bagi P3MB dalam melaksanakan tugasnya yang antara lain adalah sebagai berikut:
(1) Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Prp Tahun 1960, larangan
pemindahan hak atas benda-benda tetap kepunyaan bangsa Belanda yang
diinstruksikan kepada Kepala Jawatan Agraria dan Kepala Jawatan
Pendaftaran Tanah dalam surat Menteri Agraria tanggal 2 Desember 1957
Nomor KA.X.40/ 2/34 dicabut kembali. Pemindahan hak atas tanah dan
benda-benda tersebut diperkenankan dan sepanjang yang mengenai benda-
benda yang terkena Undang-Undang Nomor 3 Prp tahun I960.169
(2) Benda-benda yang dimaksudkan atau terkena oleh Ketentuan Undang-Undang
Nomor 3 Prp Tahun 1960 adalah :170
(a) Benda-benda tetap yaitu tanah dan rumah dengan hak apapun juga baik
hak-hak barat (eigendom, opstal dan lain-lain) maupun hak-hak Indonesia
(milik, eigendom agrarisch dan lain-lain). (b) Yang menjadi milik
perseorangan warga negara Belanda yang sudah meninggalkan wilayah negara
Republik Indonesia.
(3) Benda-benda tetap milik perusahaan Belanda yang telah dinasionalisasi
dengan Undang-Undang Nomor 86 Tahun 1958, perusahaan-perusahaan mana
yang dinasionalisasikan itu telah tunduk dalam beberapa peraturan Pemerintah.
Demikian juga adalah tanah-tanah milik Belanda yang merupakan tanah
partikelir yang hingga kini belum ada surat keputusan penegasannya, karena
tanah-tanah itu mestinya sudah menjadi tanah negara.171
(4) Benda-benda tetap yang pemiliknya masih berada di Indonesia dengan
sendirinya tidak terkena oleh Perpu ini. Tetapi sewaktu-waktu pemiliknya
meninggalkan Indonesia sedang hak miliknya belum dialihkan kepada pihak

168
Ibid., Bagian Memutuskan Kedua.
169
Pedoman Departemen Agraria tanggal 17 Februari 1960 Tentang Pedoman I Untuk
Melaksanakan Penguasaan Benda-Benda tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda. Angka
Romawi II.
170
Ibid., Romawi III. Angka 1huruf a dan b.
171
Ibid., Romawi III. Angka 2.

50
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

lain secara sah menjadi terkena. Adapun sepanjang mengenai benda-benda


tetap yang tunduk kepada hukum eropa, peralihan hak itu haruslah
diselenggarakan menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1954.172
(5) Siapa (subyek) yang wajib menyerahkan penguasaannya. Perkataan menguasai
itu tidak terbatas pada pengertian yang menunjukkan adanya hubungan yuridis
dengan pemiliknya tetapi juga meliputi semua bentuk penguasaan yang “
fetelijk” (de facto) yang tidak melanggar hukum. Untuk itu orang-orang yang
wajib melakukan penyerahan itu antara lain :173
(a) Mereka yang menguasai benda-benda yang bersangkutan atas dasar kuasa
(tertulis atau lisan) dari pemiliknya;
(b) Mereka yang menempatinya dengan ijin pemilik atau kuasanya (misalnya
secara menyewa);
(c) Mereka yang menempati atau menguasainya atas dasar perjanjian jual
beli, hibah atau lain sebagainya yang sah dengan pemiliknya yang
pemindahan haknya belum dilaksanakan;
(d) Mereka yang menempatinya atas dasar ijin yang diberikan oleh instansi
yang berwenang sebelum berlakunya perpu ini.
(6) Pelaksanaan Penyerahan Penguasaan adalah :174
(a) Penyerahan penguasaan harus dilakukan sebelum tanggal 9 April 1960; (b)
Penyerahan penguasaan dilakukan di sekretariat Panitia setempat dengan
memakai daftar isian; (c) Daftar isian tersebut dibuat rangkap dua dan setelah
diberi tanda terima oleh sekretaris, lembar yang kedua diberikan kepada yang
melakukan penyerahan; (d) Kemudian daftar penyerahan yang diterima
dibubuhkan dalam buku register dan masing-masing diberi nomor; (e) Orang-
orang yang sekarang menempati rumah atau tanah yang bersangkutan dan
telah memenuhi kewajibannya untuk menyerahkan penguasaan boleh terus
menempatinya hingga ada keputusan lebih lanjut mengenai tanah/rumah itu
dengan pengertian bahwa hal itu sekali-kali bukan berarti pengesahan jika
kemudian ternyata penempatan itu tidak sah; (f) Uang persewaan tanah/rumah
yang bersangkutan untuk selanjutnya harus dibayar oleh yang bersangkutan
kepada panitia. Untuk itu panitia selekas mungkin mengadakan hubungan
dengan Kantor Cabang BRI ditempat kedudukannya untuk membuka rekening
giro atas namanya.
(7) Pendaftaran adalah sebagai berikut:175
(a) Jangka waktu untuk mendaftarkan terbatas selama 2 (dua) bulan semenjak
berlakunya undang-undang tersebut, batas waktu pendaftaran paling lambat
tanggal 9 April 1960. Walaupun demikian dalam kenyataan masih banyak
pendaftaran yang diajukan terlambat, maka dalam hal ini hendaknya panitia

172
Ibid., Romawi III, Angka 3.
173
Ibid., Romawi IV. Angka 1dan 2 huruf a, b, c dan d.
174
Ibid., Romawi V, Angka 1, 2, 3, 4, 5 dan 6.
175
Pedoman Departemen Agraria tanggal 12 Juli 1960 Tentang Pedoman II Untuk Melaksanakan
Penguasaan Benda-benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda. Romawi II, Huruf a, b, c,
dan d.

51
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

pelaksana menyelidiki apakah keterlambatan itu disengaja dengan maksud


tertentu atau bersifat kelalaian semata. Jika terdapat bukti keterlambatan itu
memang disengaja maka panitia hendaknya mengusulkan kepada Departemen
Agraria supaya hubungan hukum antara pelapor dan benda yang bersangkutan
dinyatakan batal; (b) Pendaftaran hendaknya diperiksa secara cermat agar
didapat kepastian apakah benda-benda yang didaftar itu betul-betul kepunyaan
warga negara Belanda yang telah meninggalkan wilayah Republik Indonesia
yaitu dengan menghubungi jawatan imigrasi, pengadilan dan lain-lain; (c)
Perlu juga untuk diteliti adanya perjanjian yang menjadi dasar hubungan
hukum antara pelapor (penghuni atau kuasa) dengan benda-benda yang
terdaftar. Peijanjian yang ada dengan penghuninya perlu ditinjau kembali dan
kalau oerlu diadakan perjanjian bam secara tertulis untuk mencapai
keseragaman misalnya dalam hal tidak ada surat perjanjian atau dalam hal
onder verhuur; d) Perlu kiranya mendapat perhatian kemungkinan adanya
benda-benda tanah dan atau rumah) milik Belanda yang meninggalkan
Indonesia yang ? belum terdaftar. Dalam hal ini panitia melakukan:
(i) Hendaknya daftar yang sudah masuk dicocokkan dengan daftar di Kantor
Pendaftaran Tanah yang menyebut nama Belanda;
(ii) Benda tetap yang tercatat di Kantor Pendaftaran Tanah atas nama warga
negara Belanda dan belum didaftarkan oleh yang berkepentingan
hendaknya oleh panitia diumumkan disurat kabar setempat dengan
meminta bantuan kepada masyarakat umum supaya mengenai benda-
benda tadi dilaporkan pemilik, kuasa dan penghuninya;
(iii) Panitia melakukan pemeriksaan setempat (steek proef) untuk mendapat
kepastian atas laporan-laporan tersebut.
(8) Keuangan, dalam hal keuangan dijelaskan sebagai berikut :176
(a) Uang persewaan tanah/rumah harus dibayar seluruhnya oleh yang
bersangkutan sendiri kepada BRI (tidak melalui panitia) atas nama rekening
panitia; (b) Untuk biaya pemungutan dan administrasi persewaan tersebut di
atas dapat membayar paling banyak 10% dari jumlah uang sewa yang masuk
dari Bank Rakyat Indonesia terhitung juga di dalam prosentase yang
diperlukan untuk Bank Rakyat Indonesia sebagai biaya administrasi; (c) Ketua
Panitia wajib menyampaikan kepada Departemen Agraria tiap sebulan sekali
tentang masuk keluarnya uang tersebut; (d) Tentang biaya pemeliharaan
rumah-rumah dan tanah-tanah yang dimaksud :
(i) Pemeliharaan ringan dibebankan kepada penyewa atau penghuni;
(ii) Pemeliharaan luar biasa dapat dibiayai dengan uang pemasukan di BRI
sampai paling banyak 10 % tiap tahunnya.
(iii) Mengenai uang sidang panitia sebagai para anggota dan sekaligus
diberikan kepada anggaran belanja pendapatan departemen agraria dan
tidak diambil dari uang pemasukan hasil pelaksanaan Perpu No. 3 Tahun
1960.

176
Ibid., Romawi III, Huruf a, b, c, d dan e.

52
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

(9) Pemindahan Hak, adalah sebagai berikut :177


(a) Apabila telah ada perjanjian jual beli yang terbukti dari adanya suatu akte
(akte notaris atau akte di bawah tangan yang telah ada penyaksian dari notaris)
maka pembeli dapat menyampaikan permohonan ijin pemindahan haknya
kepada panitia kemudian melakukan pemeriksaan dan melanjutkan kepada
Departemen Agraria disertai pertimbangan-pertimbangannya; (b) Apabila
perjanjian tersebut tidak dilakukan dalam suatu akta maka hal itu dapat
dibuktikan dengan adanya surat-surat lain misalnya surat tanda terima uang
pembelian atau uang angsuran harga benda terjual itu; (c) Jual beli yang terjadi
antara 3 Desember 1957 sampai diberlakukannya Perpu No. 3 Tahun 1960 ini
karena pada waktu tersebut terdapat larangan pemindahan haknya maka harus
ditinjau kembali sesuai dengan pedoman ini; (d) Sekalipun belum pernah ada
suatu perjanjian jual beli namun apabila seseorang yang ingin membeli benda
tersebut dapat membuktikan bahwa si pemilik telah pernah menawarkan
bendanya itu untuk dijual, maka atas dasar penawaran tersebut calon pembeli
itu dapat mengajukan permohonannya; (e) Jual beli juga dapat dilakukan
apabila pemilik dengan akte notaris telah ditunjuk seseorang atau suatu badan
hukum sebagai suatu kuasa yang berada di Indonesia untuk itu perlu
diperhatikan:
(i) Kesempatan membeli diutamakan kepada penghuni rumah dan jika
terdapat lebih dari satu orang maka lebih diutamakan mereka yang telah
lama mendiami dan atau banyak turut memperbaiki rumah kecuali jika
yang bersangkutan tidak diperkenankan membelinya dan jika Pemerintah
pusat atau daerah memerlukan atas keperluan khusus yang tertentu;
(ii) Perubahan atau penambahan bangunan oleh penghuni terlebih dahulu
harus mendapat ijin dari panitia;
(iii) Apabila ada sesuatu harga yang meragukan maka panitia hendaknya
mengadakan penaksiran dan perijinan pemindahan hak atas benda tetap
yang bersangkutan.
(10) Prioritas untuk membeli rumah perseorangan warganegara Belanda : 178
(a) Kesempatan membeli rumah diutamakan kepada penghuni rumah dan
jikalau terdapat lebih dari satu orang maka yang diutamakan mereka yang
telah lama mendiami dan atau banyak turut memperbaiki rumah tersebut; (b)
Prioritas selanjutnya diberikan kepada peminat yang samasekali belum
mempunyai rumah sendiri; (c) Tiap-tiap peminat tidak dapat diperkenankan
untuk membeli rumah lebih dari satu rumah.
(11) Prosedur bagi penjualan rumah milik perseorangan warga negara Belanda:179
(a) Penghuni rumah yang mempunyai minat untuk membeli rumah milik
perseorangan warga negara Belanda mengajukan permohonan kepada panitia
dengan persyaratan dapat menunjukkan adanya suatu surat kuasa atau

177
Ibid., Romawi IV, Huruf a, b, c, d dan e.
178
Pedoman Departemen Agraria Tanggal 1 April 1961, Tentang Pedoman III Untuk
Melaksanakan Penguasaan Benda-benda Milik Perseorangan Warga Negara Belanda, Romawi I.
179
Ibid, Romawi II, Angka 1, 2, 3, 4, 5 dan 6.

53
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

pemyataan dari pihak pemiliknya yang menerangkan bahwa tanah tersebut


ikan dijual. Kemudian oleh panitia dalam waktu 7 (tujuh) hari meneruskan
surat tersebut dengan diberikan fatwanya kepada Departemen Agraria; (b)
Kemudian Menteri Agraria menyerahkan surat keputusan pemberian ijin atau
penolakan terhadap pemindahan haknya atas nama pembeli yang salinan
suratnya disampaikan kepada P3MB; (c) Setelah panitia menerima surat
salinan tersebut panitia segera melakukan penaksiran harga :
(i) Penaksiran harga dilakukan oleh sub panitia yang diketuai oleh kepala
kantor pendaftaran tanah;
(ii) Sub panitia terdiri dari 3 orang anggota termasuk ketuanya yang ditunjuk
oleh Menteri Agraria sebagai anggotanya seorang dari Pamong Praja dan
seorang dari Pekerjaan Umum atau Inspeksi Agraria;
(iii) Dalam penaksiran diperhatikan luas tanah, status tanah, dan letak tanah
serta kenyataan bahwa tanah yang dijual dalam keadaan kosong;
(iv) Dalam penaksiran harga sub panitia dapat memungut uang jasa paling
tinggi Y % dari jumlah harga pembelian yang dibebankan kepada pihak
pembeli.
(d) Hasil penaksiran tersebut selanjutnya dibuatkan Berita Acara dalam
tenggang waktu 14 hari sesudah diterimanya salinan surat keputusan Menteri
Agraria tentang pemberian ijin pemindahan hak harus sudah disampaikan
kepada Departemen Agraria dan salinan berita acara tersebut juga disampaikan
kepada calon pembeli rumah yang bersangkutan; (e) Selanjutnya dalam waktu
3 bulan terhitung mulai tanggal surat berita acara tentang penaksiran harga
tanah itu oleh calon pembeli harus disampaikan pernyataan secara tertulis
kepada Departemen Agraria tentang kesediaannya untuk menerima harga
penaksiran tersebut. Dan apabila lampau/lewat dari 3 bulan maka berita acara
gugur dengan sendirinya dan selanjutnya dibuka kesempatan bagi peminat
lainnya untuk mengajukan surat permohonan membeli rumah menurut urutan
Prioritas seperti yang telah ditentukan di atas; (f) Setelah diterimanya surat
pernyataan tentang kesediaan pihak calon pembeli untuk menerima harga
penaksiran itu maka oleh menteri agraria dibuat suatu surat pernyataan jual beli.
(12) Cara Pembayarannya, adalah :180
(a) Harga tanah yang ditetapkan harus dibayar sekaligus dengan menyetornya
di Bank Koperasi Tani dan Nelayan setempat atas nama Panitia Pelaksana
Penguasaan Milik Belanda (P3MB); (b) Bagi pembeli yang pegawai negeri
sipil atau yang dapat disamakan dengan itu permohonannya dapat diberikan
kelonggaran berupa pembayaran secara mencicil dalam tenggang waktu paling
lama 5 tahun dengan pengertian bahwa jumlah cicilan tiap tahunnya tidak
boleh kurang dari 1/5 dari harganya; (c) Kemudian oleh Menteri Agraria
jangka waktu pencicilan diperpanjang maka bilamana sesudah jangka waktu
pencicilan itu lampau harga seluruhnya belum dilunasi pernyataan jual beli
tersebut dapat dibatalkan sedangkan uang yang telah dibayar hanya dapat

180
Ibid., Romawi III Angka 1,2,3 dan 4.

54
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

diperoleh kembali dengan cara memperhitungkan dengan pembayaran-


pembayaran yang akan dilakukan oleh pihak pembeli baru; (d) Sebelum harga
seluruhnya dilunasi, pembalikan nama persil beserta rumah di atasnya atas
nama si pembeli belum dapat dilakukan oleh Kantor Pendaftaran Tanah yang
bersangkutan.
Seiring dengan perkembangan jalannya waktu dan berhubung dengan
diadakannya perubahan struktur organisasi aparat agraria di daerah
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun
1972, maka dipandang perlu untuk mengadakan penyesuaian/perubahan
Susunan keanggotaan Panitia Pelaksana Penguasaan Benda-benda tetap Milik
Perseorangan Warga Negara Belanda, Panitia Prk 5 Daerah dan panitia
penaksir sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Muda Agraria
No.SK.330/Ka/1960, jis No.SK. 12/Ka/62, No.SK.10/Ka/1962 dan Peraturan
Direktur Jenderal Agraria Nomor 3 Tahun 1968 dan Keputusan Menteri
Pertanian dan Agraria No.SK. 10/Ka/l962 diadakan penyesuaian/perubahan
dan diselaraskan dengan Struktur Organisasi yang baru tersebut.181
Penarikan ke tingkat propinsi tersebut disebabkan karena perkiraan
masalah/ permohonan mengenai rumah/tanah yang terkena Undang-Undang
No.3 Prp Tahun 1960 pada waktu ini sudah banyak berkurang. Mengingat
bahwa tugasnya telah dialihkan ke tingkat propinsi maka segala berkas yang
belum mendapatkan penyelesaian keberadaan oleh ex P3MB diserahkan
kepada Kepala Direktorat Agraria Propinsi Cq Ketua P3MB yang
bersangkutan. Dan untuk menyederhanakan keanggotaan panitia, maka
susunan keanggotaan panitia P3MB dan panitia Prk 5 Daerah disamakan,
demikian pula mengenai ketentuan uang honorarium/jasa dan sebagainya.182
Adapun jumlah tanah milik warga negara Belanda sesuai dengan data saat ini
adalah sebanyak 1.823 bidang (persil).183 Kemudian dari jumlah ini sudah ada
yang telah menjadi sertifikat Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

181
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK.143/DJA/1973 Tentang Penyesuaian/ Perubahan
Susunan Keanggotaan Panitia Pelaksanaan Penguasaan Milik Belanda, Panitia Prk 5 Daerah dan Panitia
Penaksir, Bagian Menimbang.
182
Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria Jakarta Nomor :DLB.6/67/6-73
Tanggal 23 Juni 1973 yang ditujukan kepada Semua Gubernur Kepala Daerah dan Semua Kepala
Direktorat Agraria Propinsi di seluruh Republik Indonesia.Kanwil BPN DKI Jakarta, Buku Pendaftaran
Pelaksana Penaksir Milik Belanda, Jakarta, 1998.
183
Kanwil BPN DKI Jakarta, Buku Pendaftaran Pelaksana Penaksir Milik Belanda, Jakarta, 1998.

55
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

7. Tanah Partikelir (U.U. No.1 Tahun 1958) Tentang Penghapusan Tanah-


Tanah Partikelir.

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA184


NOMOR 1 TAHUN 1958
TENTANG

PENGHAPUSAN TANAH TANAH PARTIKELIR


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
1. bahwa adanya lembaga tanah partikelir dengan hak-hak pertuanannya di dalam
wilayah Republik Indonesia, adalah bertentangan dengan azas dasar keadilan
sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara;
2. bahwa untuk kebulatan kedaulatan dan kewibawaan Negara, demi kepentingan
umum lembaga tersebut harus dihapuskan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya;
3. bahwa usaha likwidasi yang dijalankan hingga sekarang, melalui kata sepakat
antara Pemerintah dan pemilik-pemilik tanah partikelir atas dasar kebijaksanaan,
ternyata tidak membawa hasil yang memuaskan;
4. bahwa peraturan-peraturan yang mengenai pencabutan hak, sebagai tercantum
dalam"Onteigeningsordonnantie" (S.1920-574) dan peraturan-peraturan
tentang "Pengembalian tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara" (S. 1911 - 38
jis S. 1912 -480 dan S. 1912- 481) tidak cukup untuk dapat mencapai likwidasi
tanah-tanah itu secara integral dalam waktu yang singkat;
5. bahwa berhubung dengan itu diperlukan suatu Undang-undang khusus;
6. bahwa tanah-tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10 bau perlu diturut sertakan
dalam likwidasi tersebut diatas, karena bertantangan dengan maksud dan jiwa dari
ketentuan dalam pasal 51 ayat 2 Indische Staatsregeling (S.1925-417) jo pasal 8
Agrarisch Besluit (S.1870-18);

Mengingat:
a. pasal-pasal 26 ayat 2, 27 ayat 1, 38 ayat 3, 89 serta 98 Undang-undang Dasar
Sementara Republik Indonesia;
b. Undang-undang No. 29 tahun 1957 Lembaran-Negara tahun 1957 No.101);

Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan: Undang-undang tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir.

Pasal 1.
(1) Yang dimaksud dalam Undang-undang ini dengan:
a. "tanah partikelir", ialah tanah "eigendom" di atas mana pemiliknya sebelum
Undang- undang ini berlaku, mempunyai hak-hak pertuanan;
b. "Hak-hak pertuanan", ialah:
1. hak untuk mengangkat atau mengesahkan pemilihan serta
memperhentikan kepala-kepala kampung atau desa dan kepala-kepala

184
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1958.

56
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

umum, sebagai yang disebut dalam pasal 2 dan 3 dari S. 1880 - 150 dan
pasal 41 sampai dengan 43 dari S. 1912 - 422;
2. hak untuk menuntut kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja
paksa dari penduduk, sebagai yang disebut dalam pasal 30, 31, 32, 34, 35
dan 37 S. 1912-422;
3. hak mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang atau hasil
tanah dari penduduk, sebagai yang disebut dalam pasal 16 sampai dengan
27 dan 29 S. 1912-422;
4. hak untuk mendirikan pasar-pasar, memungut biaya pemakaian jalan
dan penyeberangan, sebagai yang disebut dalam pasal 46 dan 47 S. 1912 -
422;
5. hak-hak yang menurut peraturan-peraturan lain dan/ atau adat setempat,
sederajat dengan yang disebut dalam sub b 1 sampai dengan b 4 ayat ini;
c. "tanah usaha" ialah: 1. bagian-bagian dari tanah partikelir yang dimaksud
dalam pasal 6 ayat 1 dari Peraturan tentang tanah-tanah partikelir, S. 1912
-422 ; 2. bagian-bagian dari tanah partikelir yang menurut adat setempat
termasuk tanah desa atau diatas mana penduduk mempunyai hak yang sifatnya
turun-temurun;
d. "tanah kongsi" ialah: bagian-bagian dari tanah partikelir yang tidak termasuk
"tanah usaha."
(2) Tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10 bouw, yang menjadi milik
seseorang atau suatu badan hukum atau milik bersama dari beberapa orang
atau beberapa badan hukum, diperlakukan sebagai tanah partikelir.

Pasal 2.
(1) Pemilik tanah partikelir (selanjutnya dalam Undang- undang ini disebut: pemilik)
iala h:
a. barangsiapa yang dalam surat eigendom, yang dibuat menurut peraturan-
peraturan yang berlaku, tercatat sebagai pemilik tanah partikelir itu;
b. barang siapa dengan alat-alat pembukti yang sah dapat membuktikan,
bahwa ia berhak atas tanah partikelir itu sebagai pemilik.
(2) Di dalam hal suatu tanah partikelir tidak diketahui siapa pemiliknya atau
pemiliknya tidak diketahui tempat tinggalny atau bertempat tinggal di luar
Indonesia dan tidak mempunyai wakil yang berkuasa penuh di Indonesia,
maka Balai Harta Peninggalan karena jabatannya bertindak sebagai wakil dari
pemilik di dalam semua hal yang bersangkutan dengan pelaksanaan Undang-
undang ini.

Pasal 3.
Sejak mulai berlakunya Undang-undang ini demi kepentingan umum hak-hak pemilik
beserta hak-hak pertuanannya atas semua tanah-tanah partikelir hapus dan tanah-
tanah bekas tanah partikelir itu karena hukum seluruhnya serentak menjadi tanah
Negara.

Pasal 4.
(1) Likwidasi tiap tanah partikelir yang dimaksudkan dalam pasal 3 dilakukan
dengan keputusan Menteri Agraria menurut ketentuan-ketentuan yang diatur

57
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

dalam Peraturan Pemerintah.


(2) Selama Menteri Agraria belum menetapkan keputusan sebagai yang dimaksud
dalam ayat 1 pasal ini, pemilik wajib bertindak selaku pengurus yang baik atas
tanah kongsi yang dikuasainya pada masa sebelum berlakunya Undang-undang ini.
(3) Menteri Agraria segera menetapkan pedoman-pedoman dan ketentuan-ketentuan
lain tentang tanaman, pertanggungan jawab dan honorarium atas tugas
pemilik yang dimaksud dalam ayat 2 pasal ini.

Pasal 5.
(1) Tanah-tanah usaha tersebut pada pasal 1 ayat 1 sub c oleh Menteri Agraria atau
pejabat lain yang ditunjuknya, diberikan kepada penduduk yang mempunyai
hak usaha atas tanah itu dengan hak milik, kecuali jika hal itu menurut
peraturan yang ada sekarang tidak mungkin. Dalam hal yang terakhir oleh
Menteri Agraria diadakan ketentuan- ketentuan khusus.
(2) Pemberian hak milik tersebut pada ayat 1 pasal ini dilakukan dengan cuma-
cuma dan dapat disertai syarat-syarat menurut keputusan Menteri Agraria.
(3) Hak-hak lainnya yang pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku membebani
bekas tanah partikelir tersebut pada pasal 3 tetap berlangsung kecuali jika
kemudian ditentukan lain oleh Menteri Agraria.

Pasal 6.
(1) Orang asing yang mempunyai tanah usaha harus melepaskannya kepada
seorang warga-negara Indonesia atau kepada Negara dalam waktu satu tahun
terhitung mulai berlakunya Undang- undang ini. Atas permintaan yang
bersangkutan Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya dapat
memperpanjang waktu tersebut di atas dengan paling lama satu tahun.
(2) Di dalam hal ketentuan dalam ayat 1 pasal ini tidak dipenuhi maka haknya atas
tanah usaha itu batal dan tanahnya menjadi tanah Negara bebas. Pembatalan itu
dinyatakan oleh Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya.

Pasal 7.
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan dalam pasal 6, maka setiap *1715 serah
pakai tanah usaha buat lebih dari satu tahun, setiap pemindahan hak atau
perbuatan- perbuatan lain yang dapat diduga bertujuan jelas untuk memindahkan
hak atas tanah usaha, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini hanya dapat
dilakukan dengan izin Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya.
(2) Didalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan dalam ayat 1 pasal ini, maka
Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya dapat menyatakan hak atas
tanah usaha itu batal dan tanahnya menjadi tanah Negara bebas.
(3) Di dalam surat keputusan tentang pernyataan batalnya hak atas tanah usaha,
sebagai yang termaksud dalam ayat 2 pasal 6 dan ayat 2 pasal ini, dapat
dicantumkan perintah pengosongan, yang dapat dijalankan dengan segera oleh
jurusita, kalau perlu dengan bantuan polisi, juga sekalipun yang berkepentingan
mengajukan tuntutan berkeberatan di muka Pengadilan.

Pasal 8.
(1) Kepada pemilik tanah partikelir yang dimaksudkan dalam pasal 3 diberikan
ganti- kerugian yang dapat berupa:

58
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

a. sejumlah uang, berdasarkan perhitungan harga hasil kotor setahun, rata-rata


selama lima tahun terakhir sebelum 1942, dikurangi 40% sebagai biaya
usaha, kemudian dikalikan angka 8« (delapan setengah),
b. hak, bantuan dan/atau keleluasaan lain.
(2) Atas bagian-bagian tanah partikelir yang pada mulai berlakunya Undang-undang
ini tidak digunakan atau diusahakan oleh pemiliknya, karena alasan-alasan
yang tidak dapat dibenarkan oleh Menteri Agraria, tidak diberikan ganti-kerugian.
(3) Pembayaran ganti-kerugian tersebut pada ayat 1 sub a pasal ini dapat dilakukan
secara berangsur, paling lama lima tahun dan dalam hal ini kepada pemilik
diberikan bunga menurut Undang-undang.
(4) Ganti kerugian tersebut diatas ditetapkan dengan keputusan Menteri Agraria
menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah.
(5) Keputusan Menteri Agraria mengenai penetapan ganti-kerugian tersebut
mempunyai kekuatan mengikat dan tidak dapat dimintakan bandingan kepada
badan pemerintahan yang lebih tinggi atau badan pengadilan.

Pasal 9.
Terhadap hypotheek atau oogstverband yang pada waktu Undang-undang ini mulai
berlaku membebani seluruh atau sebagian dari suatu tanah partikelir yang dimaksud
dalam pasal 3, berlaku ketentuan-ketentuan dalam pasal 40 Onteigeningsordonnantie
(S. 1920 - 574).

Pasal 10.
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan ayat 2 pasal 4 di atas, maka barang siapa
tanpa idzin Menteri Agraria atau pejabat yang ditunjuknya, menduduki dan/atau
memakai tanah Negara bekas tanah kongsi, ataupun mempunyai bangunan-
bangunan di atas tanah itu,*1716 dihukum dengan hukuman penjara selama-
lamanya satu tahun enam bulan dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,-
(2) Dengan hukuman yang sama dihukum
a. Barangsiapa dengan langsung atau tidak langsung mengajak membujuk
atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan.
b. Barangsiapa memberi bantuan dengan cara apapun juga, untuk
melakukan perbuatan tersebut dalam ayat 1 pasal ini.
(3) Pemilik yang menurut keputusan hakim yang telah mempunyai kekuatan
untuk dijalankan, dinyatakan bersalah atas perbuatan-pidana termaksud dalam
ayat 1 dan 2 pasal ini, disamping hukuman tersebut dalam ayat-ayat di atas,
oleh Menteri Agraria dapat dinyatakan kehilangan haknya atas seluruh atau
sebagian dari ganti kerugian yang dimaksudkan dalam pasal 8.
(4) Perbuatan-pidana termaksud dalam ayat 1 dan 2 pasal ini adalah pelanggaran.

Pasal 11.
Keputusan hakim yang menyatakan seseorang bersalah atas perbuatan-pidana
yang dimaksud dalam ayat 1 pasal 10 di atas, menentukan pula perintah terhadap yang
bersalah untuk mengosongkan tanah yang diduduki dan/atau dipakainya dengan
segala barangnya dan orang yang menerima hak dari padanya, perintah mana sesudah
berlaku tentang 14 hari terhitung dari tanggal keputusan hakim tersebut diucapkan,
atas salinan diktum keputusan dapat dijalankan lebih dahulu oleh jurusita, jika perlu
dengan bantuan polisi, juga sekalipun yang bersalah mengajukan permohonan banding,
kasasi atau grasi.

59
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Pasal 12.
(1) Dalam Peraturan Pemerintah sebagai pelaksanaan Undang- undang ini
dapat dicantumkan ancaman hukuman kurungan selama-lamanya enam bulan
dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 3.000,-
(2) Perbuatan-pidana termaksud dalam ayat 1 pasal ini adalah pelanggaran.

Pasal 13.
(1) Undang-undang ini dapat disebut "Undang -undang Penghapusan Tanah-tanah
Partikelir"
(2) Undang-undang ini mulai berlaku pada hari diundangkan.
Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang- undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 13 Januari 1958,
Pejabat Presiden Republik Indonesia

ttd.
SARTONO.

Diundangkan pada tanggal 24 Januari 1958


Menteri Kehakiman,
ttd.

G. A. MAENGKOM.

Sesuai dengan salinan aslinya, SEKRETARIAT NEGARA


Biro Organisasi dan Administrasi
Pd. Kepala I Bagian Kearsipan,

(M. HARTONO)

Menteri Agraria
ttd.

SUNARJO

60
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

MEMORI PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG No. 1 TAHUN 1958


TENTANG
"PENGHAPUSAN TANAH-TANAH PARTIKELIR".

PENJELASAN UMUM.
1. Alasan untuk menghapuskan tanah-tanah partikelir.
(1) Tanah partikelir adalah tanah eigendom, yang mempunyai sifat dan
corak yang istimewa. Pada awal mulanya (sebelum diadakan pengambilan
tanah-tanah itu kepada Negara) luasnya sampai sejumlah 1.150.000 ha,
terutama terletak di Jawa Barat. Yang membedakan tanah partikelir dari
tanah eigendom lainnya, ialah adanya hak-hak pada pemiliknya, yang
bersifat hak-hak kenegaraan, sebagain misalnya hak untuk
mengangkat/memberhentikan kepala-kepala kampung/desa/umum yang
diberi kekuasaan dan kewajiban kepolisian, hak menuntut kerja paksa
(rodi) atau uang pengganti rodi dari penduduk yang berdiam di tanah-tanah
itu dan untuk mengadakan pemungutan-pemungutan, baik berupa uang
maupun hasil tanah, dari penduduk yang mempunyai "hak usaha". Hak-hak
demikian itu dahulu disebut "landheerlijke rechten" dan di dalam Undang-
undang ini disebut "hak-hak pertuanan". Di dalam ketatanegaraan yang
modern hak-hak pertuanan itu tidak boleh tidak haruslah hanya ada pada
Pemerintah (Negara). Hak-hak pertuanan itu adal yang sudah diatur dengan
peraturan Undang-undang misalnya yang mengenai tanah -tanah partikelir
disebelah Barat Cimanuk dengan Ordonansi tanggal 3 Agustus 1912 (S.
1912 - 422). Di tanah- tanah partikelir lainnya hak-hak itu didasarkan
pada adat setempat. Lembaga tanah partikelir yang memberikan hak-hak
istimewa kepada para pemiliknya ("tuan-tuan tanah") sebagai yang
diuraikan di atas itu, seakan-akan menimbulkan negara-negara kecil di
dalam Negara kita dan benar-benar tidak sesuai lagi dengan sifat dan
azas- azas Negara kita sebagai negara modern. Lagi pula tanah-tanah
partikelir itu ternyata selalu merupakan sumber kesulitan, kegaduhan dan
sumber dari pada keadaan- keadaan yang buruk, disebabkan terutama
karena kurangnya perhatian tuan-tuan tanah terhadap penduduk juga
terhadap usaha-usaha pembangunan, yang tidak langsung membawa
keuntungan baginya. Keadaan penghidupan penduduk yang
menyedihkan itu disebabkan pula, karena di dalam segala hal tuan-tuan
tanah itu selalu berada dalam kedudukan yang kuat. Sikap tuan-tuan
tanah di dalam menggunakan hak-hak dan tanahnya, yang
menyebabkan terhambatnya kemajuan penduduk, terang tidak membawa
faedah bagi masyarakat, hal mana sudah barang tentu bertentangan dengan
azas keadaan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara.
Mengingat akan hal-hal di atas itu maka sudahlah seharusnya,
bahwa untuk kepentingan umum tanah-tanah partikelir, yang kini masih
ada di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sulawesi dihapuskan
di dalam waktu yang sesingkat- singkatnya.
(2) Lain dari pada itu tanah-tanah eigendom yang luasnya lebih dari 10
bau perlu diperlakukan juga sebagai tanah partikelir, hingga dapat
dihapuskan menurut ketentuan-ketentuan dalam rancangan Undang-
undang ini. Dengan demikian maka pemilik-pemilik tanah eigendom

61
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

yang luas yang mengingkari, bahwa tanahnya itu adalah tanah partikelir
dengan alasan tidak adanya hak-hak partuanan, juga terkena oleh Undang-
undang ini. Membuktikan adanya hak-hak partuanan atas sesuatu tanah
eigendom sekarang ini tidak selalu mudah atau mungkin, padahal
menurut catatan yang ada pada Pemerintah tanah itu sejak dulu tercatat
sebagai tanah partikelir. Lagi pula tanah-tanah eigendom yang luasnya lebih
dari 10 bau menyalahi maksud dan jiwa dari pasal 51 ayat 2 Indische
Staatsregeling (dulu pasal 62 Regering Reglement) jo, pasal 8 Agrarisch
Besluit, dalam mana ditentukan, bahwa pemberian eigendom tidak boleh
melebihi 10 bau dan itupun terbatas pada perluasan kota dan desa atau
untuk keperluan tempat bangunan-bangunan kerajinan.

II. Sejarah usaha pengambilan tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara.


(1) Pertimbangan-pertimbangan itulah pula, yang mendorong pemerintah
Belanda untuk secara insidentel mengadakan pembelian kembali dan
mencantumkan di dalam ayat 1 pasal 62 Regering reglement (S. 1855-2)
larangan bagi para Gubernur Jenderal untuk menjual tanah-tanah yang luas
kepada perseorangan. Di samping itu diadakan juga usaha-usaha untuk
sekedar memperkecil kemungkinan itmbulnya keadaan-keadaan yang
menyedihkan sebagai yang diuraikan di atas, dengan mengeluarkan
peraturan tentang tanah-tanah partikelir di sebelah Barat Cimanuk pada
tahun 1836, peraturan mana dengan S. 1912 - 422 diganti dengan peraturan
baru, yang masih berlaku hingga sekarang. Di dalam peraturan itu
diadakan ketentuan-ketentuan tentang hak, kekuasaan dan kewajiban
tuan-tuan tanah di dalam hubungannya dengan Negara dan penduduk.
Demikian juga mengenai tanah-tanah partikelir di Sulawesi ada beberap a
ketentuan dalam Bijblad 3909. Mengenai tanah-tanah lainnya, yaitu yang
terletak di sebelah Timur Cimanuk, tidak ada peraturan umumnya karena
keadaannya berlainan dari pada tanah-tanah partikelir di sebelah Barat
Cimanuk dan keadaan masing- masing pun berbeda satu dengan yang
lain. Demikianlah maka di tanah-tanah partikelir tersebut hingga kini
segala sesuatunya masih diatur menurut adat setempat. Hanya mengenai
hubungan tuan-tuan tanah dan penduduk dengan Pemerintah, dalam S. 1880
- 150 diadakan peraturan sekedarnya.
(2) Biarpun sejak 1810 telah terjadi pembelian kembali, lagi ada sejak 1855
sebagaimana tersebut di atas telah ada penentuan tidak akan menimbulkan
tanah-tanah partikelir baru lagi, akan tetapi barulah sejak 1910, atas desakan
baik dari kalangan-kalangan di luar maupun di dalam Parlemen Belanda,
dilaksanakan usaha pengembalian itu secara teratur. Berturut-turut
dikeluarkanlah Wet tanggal 27 Nopember 1910 (S. 1911 -38), Koninklijk
Besluit tanggal 12 Agustus 1912 No. 54 (S 1912 - 480) dan Konink lijk
Besluit tanggal 12 Agustus 1912 No. 55 (S. 1912 - 481), yang memberikan
ketentuan- ketentuan khusus tentang cara pengembalian tanah-tanah
partikelir menjadi tanah Negara, di dalam hal uaha pembelian secara
damai tidak berhasil. Berangsur-angsur telah banyak tanah-tanah partikelir
yang dapat dibeli kembali; diantara tahun 1912 dan 1931 saja ada seluas
456.709 Hektar. Berhubung dengan adanya penghematan, di antara 1931
dan 1936 tidak diadakan pembelian lagi.
(3) Pada tahun 1935 didirikanlah sebagai usaha darurat: N.V. Javansche

62
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Particuliere Landerijen Maatschappij, yang semua saha-sahamnya ada


ditangan Pemerintah Maatschappij tersebut mendapat tugas untuk
mengusahakan pembelian kembali dan menguasai serta mengurus tanah-
tanah partikelir yang telah dibelinya itu, selama Pemerintah belum dapat
mengopernya sendiri. Diantara tahun 1936 - 1941 sudah dibeli dan
diurus oleh Maatschappij itu: 13 tanah-tanah partikelir seluas 80.713
hektare. Tetapi oleh karena tanah-tanah itu selama belum dibeli oleh
Pemerintah masih tetap berstatus tanah partikelir, maka bagi penduduk
tidaklah terasa adanya perubahan yang berarti. Dalam tahun 1949 tanah-
tanah N.V. itu dibeli oleh Pemerintah dan pada tanggal 13 Desember
1951 N.V. Javasche Particuliere Landerijen Maatschappij, itu
dibubarkan.
(4) Selama pemerintah pendudukan Jepang tidak terjadi pembelian kembali.
Adapun tanah-tanah partikelir itu diurus oleh Kantor yang dinamakan
"Siriyocti Kanrikoosya" (Undang-undang Balatentara Dai Nippon tanggal 1
bulan 6 tahun Syoowa 17 (2602) jo Osamu Serei No. 2 tanggal 30 bulan 1
tahun Syoowa 18 (2603).
(5) Sesudah pendudukan Jepang maka oleh Pemerintah Hindia Belanda usaha
pembelian itu dimulai lagi. Terutama terdorong oleh keadaan politik
dan perkembangan masyarakat pada waktu itu, usaha diselenggarakan
secara besar-besaran. Dalam tahun 1948 dibentuklah sebuah Panitia yang
diberi tugas untuk di dalam waktu yang singkat, mengajukan usul-usul
kepada Pemerintah tentang cara yang sebaik-baiknya untuk menglikuidasi
tanah-tanah partikelir yang masih ada. Berdasar atas usul Panitia itu oleh
Pemerintah dengan keputusannya tanggal 8 April 1949 No. 1 ditetapkan
suatu peraturan likuidasi, atas dasar mana dengan secara damai dapat
dikembalikan kepada Negara 48 tanah partikelir seluas 469.506 ha,
semuanya terletak di sebelah Barat Cimanuk.
(6) Dalam pada itu sebelum diadakan usaha pembelian kembali secara besar-
besaran, mengingat akan suasana politik dan keadaan keamanan pada
waktu itu, telah dikeluarkan Verordening CCO-Amacab Jawa dan Madura
tanggal 8 Nopember 1946 No. XXIX, yang menentukan, bahwa
penggunaan hak-hak pemilik tanah-tanah partikelir untuk sementara
hanya diperbolehkan dengan izin istimewa. Peraturan tersebut memuat
larangan exploitasi tanah-tanah partikelir tanpa izin Residen. Di dalam
prakteknya hal itu berarti pembekuan hak-hak pertuanan, oleh karena izin
itu hanya boleh diberikan untuk mengusahakan kembali bagian-bagian tanah
kongsi yang merupakan perkebunan. (Tanah kongsi adalah bagian-bagian
tanah partikelir yang bukan tanah usaha). Dengan demikian maka hingga
kini tidaklah lagi ada pemilik tanah partikelir yang menerima hasil dari
hak-hak pertuanannya.
(7) Pada waktu pemulihan kedaulatan di Jawa masih ada sisa tanah-tanah
partikelir sebagai berikut:
a. tanah agraris (pertanian) ......... 33, luasnya ñ 21.798 ha.
b. tanah dalam kota ................. 109, luasnya ñ 7.125 ha. Jumlah
...................... 142, luasnya ñ 28.923 ha. Di Sulawesi ada kira-kira 50
tanah partikelir seluas ñ 2.500 ha.
(8) Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan kemudian Pemerintah Negara
63
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Kesatuan Republik Indonesia bukan saja melanjutkan pembelian kembali


tanah-tanah partikelir, akan tetapi sebagai Pemerintah nasional lebih-
lebih merasakan hal itu sebagai kewajiban yang pokok dan utama.
Demikianlah mula-mula disusun rencana pembelian dengan jangka waktu
5 tahun. Akan tetapi berhubung dengan rupa-rupa kesulitan mengenai
keuangan Negara, rencana tersebut tidak dapat dilaksanakan sebagai
yang diharapkan. Hingga akhir tahun 1956 dapat dibeli kembali 25 tanah
partikelir yang luasnya berjumlah 11.759 ha. Pada saat ini di Jawa masih ada
sisa: ñ 117 tanah partikelir yang luasnya ñ 17.164 ha. Diantara tanah-tanah
itu ada sebagian yang dimilik oleh daerah-daerah swatantra, yaitu:
Kotapraja Jakarta Raya ............. 13, luasnya ñ 1.360 ha. Kota besar
Semarang................. 1, luasnya ñ 355 ha. Kota besar Surabaya ................. 7,
luasnya ñ 786 ha.Jumlah ............................. 21, luasnya ñ 2.501 ha.
(9) Kecuali kesulitan mengenai keuangan, usaha penghapusan tanah-tanah
partikelir itu menjumpai kesukaran juga yang disebabkan oleh sikap tuan
tanah, yang hanya mau melepaskan tanahnya dengan harga yang jauh lebih
tinggi dari pada yang selayaknya sesuai dengan nilainya sebagai tanah
partikelir. Berhubung dengan itu maka usaha pembelian secara damai acap
kali menemui jalan buntu. Di dalam hal yang demikian itu *1721 bagi
Pemerintah sesungguhnya masih terbuka kemungkinan akan
mempergunakan ketentuan-ketentuan dalam S. 1911 - 38 jo. S. 1912 - 48 dan
481 dan yang mengenai tanah-tanah partikelir di luar Jawa
ketentuan-ketentuan dalam "ontergeningsordonnantie" (S. 1920 - 574),
sebagaimana misalnya yang terjadi dalam tahun 1953 mengenai beberapa
tanah partikelir di Jakarta, tersebut dalam Undang- undang No. 6/1953.
L.N. 1953 - 27. Akan tetapi acara pembelian yang ditentukan dalam
peraturan-peraturan tersebut tidak saja sulit, melainkan juga memerlukan
waktu yang tidak sedikit karena misalnya tiap-tiap kali diperlukan
suatu "nutsverklaring" dengan Undang-undang dan di samping itu tetap
harus ditempuh jalan perundingan antara Pemerintah dan pemilik. Jika
perundingan tersebut tidak mencapai hasil maka haruslah oleh Pemerintah
diajukan tuntutan kepada pengadilan. Dengan demikian maka tidaklah
mungkin likuidasi itu tercapai di dalam waktu yang singkat, sebagai yang
diharapkan oleh masyarakat. Mengingat, bahwa hapusnya tanah-tanah
partikelir itu sudah menjadi tuntutan nasional dan harus diselesaikan
di dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, maka dipandang perlu
untuk menyusun baru secara penghapusan, secara integral, yang
dapat dilaksanakan dengan cepat, tetapi tetap menjamin hak-hak penduduk
dan pemberian ganti kerugian yang layak, sebagaimana ditentukan dalam
pasal 27 U.U.D.S. Acara penghapusan yang baru itu disusun dalam
Undang-undang ini.

III. Garis-garis besar dari pada acara penghapusan menurut Undang-undang ini.
(1) Berbeda dengan pendirian pemerintah Belanda dulu, maka Pemerintah
Republik Indonesia menganggap penghapusan tanah-tanah partikelir itu
suatu hal Yang azasi (prinsipiil), karena berlangsungnya lembaga tanah
partikelir tersebut nyata -nyata bertentangan dengan azas dasar
keadilan sosial yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan Negara.
Lagi pula untuk kebulatan kedaulatan dan kewibawaan Negara lembaga
tersebut haruslah dihapuskan, karena sebagai yang disebutkan di atas,

64
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

berhubung dengan adanya "hak-hak pertuanan" pada para pemilik seakan-


akan ada negara-negara kecil di dalam Negara, hal mana benar-benar
tidak sesuai lagi dengan sifat Negara kita sebagai negara modern. Pun di
negara-negara lain seperti R.R.C., Jepang, Birma, Mesir dan lain -lainnya,
penghapusan pemilikan tanah-tanah yang luas sebagai tanah-tanah
partikelir di negara kita, telah dilaksanakan, bahkan ada yang memakai
cara yang "radikal". Usaha untuk menghapuskan tanah-tanah partikelir
(menurut peraturan yang berlaku hingga sekarang disebut:
usaha mengembalikan tanah-tanah partikelir menjadi tanah Negara)
hingga sekarang ini dijalankan secara membeli kembali tanah-tanah itu
satu demi satu pembelian mana didasarkan pada kata sepakat antara
Pemerintah dan pemiliknya. Bilamana tidak dapat dicapai persetujuan,
maka Pemerintah dapat menempuh acara yang diatur dalam berbagai
peraturan (yang disebutkan dalam Bab II No. 9). Akan tetapi
sebagaimana juga telah diuraikan di atas peraturan -peraturan itu tidak
cukup untuk dapat melakukan likuidasi tanah-tanah itu secara integral dalam
waktu yang singkat.

(2) Di dalam Undang-undang ini diatur acara likuidasi yang mudah dan cepat,
tetapi tetap memberi jaminan-jaminan yang layak bagi mereka yang
berkepentingan.

(3) Demikianlah maka dalam pasal 3 ditentukan, bahwa sejak mulai berlakunya
Undang - undang ini hak-hak pemilik beserta hak -hak pertuanannya atas
semua tanah-tanah partikelir dinyatakan hapus dan tanah -tanah bekas
tanah partikelir itu seluruhnya serentak menjadi tanah Negara. Teranglah,
bahwa Undang-undang ini menyatakan penghapusan tanah -tanah partikelir
itu secara integral dan dengan demikian, maka sejak saat mulai berlakunya
tidak akan terdapat lagi tanah partikelir di Negara kita.

(4) Berhubung dengan pernyataan hapusnya tanah-tanah partikelir tersebut di


atas, maka perlulah ada ketentuan-ketentuan yang berupa jaminan bagi
para pemiliknya dan orang -orang lainnya yang berkepentingan, terutama
penduduk yang mempunyai hak usaha. Jaminan-jaminan itu diberikan dalam
pasal 5, 8 dan 9.

(5) Di dalam pasal 5 ditentukan, bahwa tanah-tanah usaha akan diberikan


kepada penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah itu dengan hak
milik (hak yasan), kecuali jika hal itu menurut peraturan yang ada
sekarang tidak mungkin. Terhadap tanah-tanah partikelir di sebelah Barat
Cimanuk yang telah kembali menjadi tanah Negara, hingga kini berlaku
ketentuan-ketentuan dalam K.B. tanggal 22 Oktober 1913 No. 45 (S. 1913
-702). Adapun untuk tiap-tiap tanah partikelir di sebelah Timur Cimanuk
yang kembali menjadi tanah Negara harus dibuat peraturan khusus, yang
memberi ketentuan tentang penyelesaian tanah itu selanjutnya. Menurut
S. 1913-702 tersebut maka pada saat kembalinya tanah partikelir itu
menjadi tanah Negara, tanah-tanah usaha:
a. yang ada di tangan orang Bumiputera menjadi tanah milik (pasal 2);
b. yang ada di tangan orang Timur Asing menjadi tanah yang
dimilikinya dengan suatu hak kebendaan, yang disebut: landerijen

65
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

bezitsrecht (pasal 3).

Demikianlah sesuai dengan peraturan yang berlaku sekarang ini (S. 1913 -
702) maka yang akan mendapat hak milik, ialah para pemilik tanah usaha
yang dulu termasuk golongan Bumiputera. Bagi para pemilik lainnya,
sepanjang mereka itu warga -negara Indonesia oleh Menteri Agraria akan
diadakan ketentuan-ketentuan khusus (pasal 5 ayat 1 kalimat 2). Sudah
barang tentu ketentuan-ketentuan khusus itu tidak akan mengurangi hak-
hak mereka yang telah dijamin oleh S. 1913 - 702 tersebut di atas.

Di dalam hal tanah usaha itu menjadi milik orang asing, maka menurut
pasal 6 dari Undang-undang ini, tanah tersebut harus diteruskannya kepada
Negara atau kepada orang warga-negara Indonesia dalam waktu yang
tertentu. Sanksi dari pada ketentuan ini dimuat dalam pasal 6 ayat 2
dan pasal 7 ayat 3. Sesuai dengan peraturan dalam S. 1913 - 702 hak
milik tersebut diberikan dengan cuma-cuma. Mengingat pengalaman yang
didapat dari keadaan bekas tanah-tanah partikelir yang sudah dibagi-
bagikan dengan hak milik, dirasa perlu sekali pemberian hak milik
kepada penduduk itu disertai syarat-syarat, justeru untuk melindungi
kepentingan mereka sendiri (pasal 5 ayat 2).

(6) Sesuai dengan pasal 26 ayat 2 dan pasal 27 ayat 1 U.U.D.S., penghapusan
tanah- tanah partikelir beserta hak-hak pertuanan dan hak-hak
pemiliknya adalah suatu bentuk pencabutan hak yang harus disertai
ganti-kerugian. Berhubung dengan itu maka untuk menghindarkan
keragu-raguan dalam pasal 8 Undang-undang ini ditegaskan: bentuk
ganti-kerugian yang dapat diberikan, dasar perhitungan dan cara
memberikannya. Dalam pada itu tidaklah ada alasan untuk
memberikan ganti-kerugian bagi penghapusan hak tuan tanah untuk
mengangkat, mengesahkan pemilihan serta memberhentikan kepala -
kepala kampung atau desa dan kepala-kepala umum yang mempunyai
kekuasaan kepolisian, karena wewenang-wewenang itu tidaklah semata-
mata merupakan hak, tetapi juga kewajiban. Adapun ganti- kerugian
yang diberikan kepada pemilik dapat berupa uang, dapat juga diberikan hak
atas tanah misalnya sewa, opstal, erfpacht atau hak lainnya terutama
mengenai tanah-tanah yang berupa perusahaan perkebunan besar.
Sudah barang tentu pemberian hak tersebut akan disertai syarat-syarat
yang menjamin penggunaan tanah itu sebaik-baiknya sesuai dengan rencana
pembangunan Negara. Berhubung dengan itu maka kepada pemilik dapat
diberikan juga ganti -kerugian berupa fasilitet -fasilitet yang dapat
membantu usaha mereka dalam rangka rencana pembangunan yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah. Di dalam pasal 8 ayat l a ditentukan
dasar perhitungannya bilamana ganti-kerugian itu diberikan berupa uang
(penjelasan lebih lanjut tentang dasar perhitungan itu akan diberikan
dalam penjelasan pasal demi pasal). Jumlah ganti kerugian itu ditetapkan
oleh Menteri Agraria menurut ketentun - ketentuan yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah. Menurut acara yang berlaku hingga sekarang
maka tanah-tanah partikelir yang dilikuidasi itu baru hapus
(istilahnya: kembali menjadi tanah Negara) setelah selesai soal
pembayaran ganti - kerugiannya. Dalam Undang -undang ini ditentukan,

66
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

bahwa semua tanah partikelir akan serentak hapus sejak Undang-undang


ini mulai berlaku (pasal 3) dan baru kemudian ditetapkan dan
diselesaikan soal ganti kerugiannya. Mengingat besarnya jumlah yang
diperlukan dan keadaan Negara ganti-kerugian itu kiranya tidak akan
mungkin dibayarkan sekaligus di dalam waktu yang singkat. Berhubung
dengan itu maka pasal 8 ayat 3 memberi kemungkinan untuk melakukan
pembayaran secara berangsur, akan tetapi waktunyapun dibatasi yaitu
paling lama lima tahun. Dan selama itu sudahlah selayaknya jika para
pemilik, kecuali menerima angsuran, mendapat juga bunga dari sisa
ganti-kerugian yang belum diterimanya itu. Demikian teranglah kiranya,
bahwa bagi para pemilik dalam Undang-undang ini telah ada jaminan-
jaminan yang layak dan adil, sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam
pasal 26 ayat 2 dan 27 ayat 1 U.U.D.S.

(7) Kecuali mengenai hak dan kepentingan-kepentingan para pemilik dan


penduduk pemilik tanah usaha. Undang-undang ini memuat juga
ketentuan-ketentuan tentang hak-hak mereka yang *1724 turut tersangkut
oleh penghapusan tanah-tanah partikelir itu, misalnya hak-hak desa atas
tanah-tanah partikelir yang pada saat penghapusan itu merupakan tanah
usaha, hak-hak para penyewa tanah kongsi, para pemegang hak
erfdiensbaarheid, vruchtgebruik, gebruik, bewoning erfpacht, opstal dan
lain-lainnya. Pasal 5 ayat 3 menentukan, bahwa hak-hak tersebut tetap
berlangsung, kecuali jika kemudian ditentukan lain oleh Menteri Agraria,
misalnya perjanjian sewa -menyewa diputuskan, hak opstal atau erfpachtnya
dihentikan dan lain sebagainya. Di dalam hal yang demikian sudah barang
tentu kepada yang berkepentingan akan diberikan ganti - kerugian. Mengenai
hypotheek dan oogstverband (yang dengan hapusnya tanah - tanah
partikelir dan hak-hak pemiliknya menjadi hapus juga karena hukum)
pasal 9 menentukan, bahwa sesuai dengan pasal 40
Onteigendingsordonnantie (S. 1920-47A) pemegangnya tidak berhak
atas ganti -kerugian tersendiri. Ia hanya dapat menuntut pembayaran dari
jumlah ganti kerugian yang diterima oleh pemilik, akan tetapi tuntutan itu
dapat diajukannya dengan tidak perlu menunggu saat piutangnya dapat
ditagih.

(8) Agar supaya likuidasi dapat dijalankan dengan lancar dan teratur maka
dipandang perlu untuk mengadakan pengawasan terhadap pemi ndahan hak
dari pada tanah- tanah usaha. Hal itu diatur dalam pasal 7.

(9) Agar supaya likuidasi tanah-tanah partikelir itu dapat dijalankan secara
teratur menurut rencana, maka dipandang perlu untuk mengadakan
larangan terhadap pendudukan dan/atau pemakai an tanah-tanah Negara
bekas tanah kongsi tanpa izin Menteri Agraria atau pejabat yang
ditunjuknya. Hal itu diatur dalam pasal 10 dan 11.

(10)Dalam Undang-undang ini hanya dimuat azas-azas dan acara penghapusan


tanah-tanah partikelir itu pada garis-garis besarnya saja. Untuk memudahkan
penyelenggaraannya pelaksanaan beberapa hal diserahkan kepada
Pemerintah untuk diaturnya dalam Peraturan Pemerintah (pasal 4 ayat 1,
pasal 8 ayat 4 dan pasal 12).

67
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

PENJELASAN PASAL DEMI PASAL

Pasal 1.
Ayat 1a.
Di dalam peraturan-peraturan yang berlaku belum ada perumusan tentang
pengertian "tanah partikelir". Adapun perumusan dalam ayat 1 ini di dalam arti
dan kenyataannya disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang ada dan
dengan sejarah serta jurisprudensi. Tanah-tanah Swapraja tidak termasuk
pengertian "tanah partikelir", karena bukan tanah eigendom. Demikianpun
tanah-tanah eigendom biasa milik daerah-daerah swatantra yang mungkin
dapat dimasukkan di dalam hak-hak pertuanan menurut ayat 2 pasal ini
(huruf d) dimilikinya sebagai badan kenegaraan menurut Undang-undang
khusus. Dalam pada itu ada juga tanah-tanah partikelir yang dimiliki oleh
daerah-daerah swatantra (Penjelasan Umum II No. 8).
Ayat 1b.
sub 1 sampai dengan 4 sudah jelas.
Sub 5:
Untuk tanah-tanah partikelir disebelah Timur Cimanuk hubungan penduduk
dengan tuan tanah didasarkan atas adat setempat. Adapun hak-hak
menurut adat setempat yang sederajat dengan hak pertuanan yang disebut dalam
sub 1 s/d 4 itu ialah, misalnya: hak tuan tanah untuk mengharuskan penduduk
tiga hari sekali memotong sepikul rumput bagi keperluannya, sehari dalam
seminggu menjaga rumah dan gudang-gudangnya. Adapun yang dimaksud
dengan "peraturan-peraturan lain" ialah ketentuan- ketentuan yang dimuat
dalam akte-akte penjualan-penjualan/pen yerahan dari pemerintah dahulu
kepada pemilik dan ketentuan-ketentuan dalam Bijblad 3909.
Ayat 1c dan d.
Tanah partikelir itu bisa berupa seluruhnya tanah usaha atau tanah kongsi
atau sebagian tanah usaha dan sebagian tanah kongsi. Dalam ayat 3 ini diberi
perumusan apa yang termasuk tanah usaha. Adapun tanah "kongsi" adalah
bagian-bagian tanah partikelir yang bukan tanah usaha (ayat 4).
Ayat 1 sub c 1.
Tanah-tanah yang termasuk perumusan sub c 1 ini semuanya adalah
tanah perseorangan. Pasal 6 ayat 1 dari S. 1912 - 422 bunyinya sebagai
berikut: "Alle gronden, door de Indonesische en met deze gelijkgestelde
bevolking voor eigen rekening en risico bebouwd, bewerkt of ter bebouwing
als anderzins onderhouden, worden, behoudens de uitzonderingen in dit
Reglement voorkomende, verstaan haar in erfpacht te zijn uitgegeven, onder
voorwaarde aan den landeigenaar op te brengen de aan hem terzake verschuldide
heffingen".
Ayat 1 sub c 2.
Tanah-tanah yang termasuk perumusan sub c 2 ini ada yang merupakan tanah
desa dan ada yang merupakan tanah perseorangan, tetapi tidak dapat
dimasukkan golongan sub a, karena S.1912-422 itu hanya berlaku untuk
tanah-tanah partikelir disebelah Barat Cimanuk. Adapun dasar yang dipakai
untuk menentukan sesuatu tanah sebagai tanah usaha adalah (sepanjang yang
mengenai tanah perseorangan) sifatnya hak yang turun-temurun. Mengenai
tanah-tanah desa adat setempat yang memberi ketentuannya. Dalam

68
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

hubungan ini perlu dikemukakan kedudukan tanah- tanah yang lazim


disebut "tipar". Tanah-tanah ini dimusim kemarau tidak dapat ditanami.
Menurut pasal 6 ayat 2 S.1912-422 dianggap tidak termasuk golongan tanah
usaha ("Als niet in erfpacht aan de Indonesische en met deze gelijkgestelde
bevolking uitgegeven, worden aangemerkt: a. ................... b. de niet geregeld
bebouwde droge gronden, welke voor de tijd van een oogstjaar ter
beplanting worden uitgeven"). Menurut kenyataannya "tipar" itu senantiasa
dikerjakan bertahun-tahun bahkan turun- temurun oleh satu keluarga. Sifat
pemakaian tanah semacam itu tidak berbeda dengan pemakaian yang tersebut
pada sub a. Maka oleh karena itu selayaknyalah tanah yang semacam itu
dimasukkan juga dalam golongan tanah usaha.
Ayat (2).
Sudah dijelaskan di dalam Penjelasan Umum Bab I No. (2).

Pasal 2.
Ayat (1).
Perumusan sub a adalah mengenai tanah-tanah partikelir yang pemiliknya
telah dibukukan menurut ketentuan-ketentuan dari Overschrijvingsordonnantie
S. 1834-27. Dalam pada itu berhubung dengan stelsel yang dianut oleh
Overschrijvingsordonnantie tersebut stelsel negatip) maka ada kemungkinan,
bahwa yang tercatat sebagai pemilik itu bukanlah pemilik yang sebenarnya.
Berhubung dengan itu maka pemilik yang sebenarnya, yang tidak atau belum
tercatat sebagai pemilik, harus diberi kesempatan dan menurut hukum yang
berlaku sekarang ini ia memang berhak untuk membuktikan dengan alat-alat
pembuktian yang sah, bahwa dialah yang berhak atas tanah partikelir itu sebagai
pemilik. Untuk itu maka diadakan ketentuan dalam sub b.

Ayat (2).
Ketentuan ayat 2 ini bermaksud agar supaya jalannya likuidasi tidak terhambat,
akan tetapi kepentingan pemilik juga tetap terjamin. Dengan sendirinya
pemilik yang sesungguhnya sewaktu-waktu tetap berhak untuk mengoper
urusannya dari tangan Balai Harta Peninggalan, yang bertindak karena
jabatannya dan untuk itu tidak diperlukan sesuatu keputusan hakim.

Pasal 3.
lstilah "hapus" dianggap lebih tepat dari pada "batal". Hak-hak para pemilik
oleh Undang- undang ini dihapuskan tidak karena mereka tidak memenuhi
kewajibannya, akan tetapi karena embaga tanah partikelir dengan hak-hak
kenegaraannya itu bertentangan dengan sifat Negara kita sebagai negara
modern. Perkataan "nasionalisasi" juga tidak dipakai karena perkataan
tersebut lazimnya dipakai di dalam hal hak milik atas sesuatu
perusahaan partikelir dialihkan kepada Negara dengan maksud untuk dilanjutkan
sebagai perusahaan Negara. Mengenai tanah-tanah partikelir ini tidaklah ada
maksud demikian, tetapi bahkan sebaliknya; lembaga tanah partikelir
ditiadakan. Tanah-tanah bekas tanah partikelir yang menjadi tanah Negara itu
ada 2 macam, yaitu tanah usaha dan bekas tanah kongsi. Penyelesaian tanah-
tanah usaha diatur dalam pasal 5, 6 dan 7 dalam mana antara lain-lain ditentukan,
bahwa tanah -tanah itu akan diberikan kepada penduduk yang berhak (yaitu
penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah-tanah itu) dengan hak

69
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

milik (hayasan), kecuali jika menurut peraturan yang ada sekarang tidak
mungkin (pasal 5 ayat 1) (lihat penjelasan Umum Bab III No. 5). Adapun tanah-
tanah bekas tanah kongsi sebagai tanah Negara berada dalam kekuasaan Menteri
Agraria berdasar Peraturan Pemerintah No. 8/1953 tentang "Penghapusan
Tanah-tanah Negara" (L.N. 1953-14). Peruntukan dan penggunaan tanah-tanah
itu selanjutnya akan ditentukan oleh Menteri Agraria; misalnya tanah-tanah
yang merupakan perusahaan kebun yang masih dalam keadaan baik dapat
dipertimbangkan untuk diberikan kepada bekas pemiliknya dengan sesuatu hak
yang tidak tetap dan terbatas waktu berlakunya sedang bagian-bagian lainnya,
yang tidak diperlukan oleh Pemerintah dapat diberikan kepada desa atau badan-
badan hukum lainnya, kepada perusahaan-perusahaan guna pembangunan
Negara atau kepada perseorangan dengan syarat-syarat yang *1727 tertentu.
Pasal 4.
Ayat (1).
Sebagai telah diuraikan dalam penjelasan pasal 3 di atas kembalinya tanah-
tanah partikelir menjadi tanah Negara itu ialah sejak mulai berlakunya
Undang-undang ini. AKibat perubahan status ini harus ditampung, pekerjaan
mana ditugaskan kepada Menteri Agraria. Oleh karena tanah-tanah partikelir
yang tersebar di Indonesia itu, keadaannya tidak sama maka adalah perlu
likwidasi bekas tanah partikelir itu dijalankan satu demi satu, masing-
masing dengan satu keputusan Menteri, dengan berpedoman pada ketentuan-
ketentuan dalam Undang-undang ini serta Peraturan Pemerintah yang disebut
dalam ayat ini.
Ayat (2).
Maksud ketentuan dalam ayat ini adalah untuk menjaga agar selama belum
ditetapkan keputusan Menteri Agraria tersebut di atas tanah-tanah kongsi itu
tetap terurus dan terpelihara sebagaimana mestinya. Oleh karena sebelum
berlakunya Undang-undang ini sudah barang tentu pemiliknyalah yang
mengetahui sebaik-baiknya tentang keadaan tanah partikelir itu, maka
sudahlah selayaknya bahwa ialah yang ditunjuk untuk mengurusnya.
Ayat (3).
Penunaian tugas pemilik dan pertanggungan-jawabnya perlu diatur lebih
lanjut. Demikianpun sudah selayaknya, bahwa pemilik, berhubung dengan
kewajiban yang dibebankan padanya itu berhak atas suatu honorarium.
Kesemuanya ini diatur oleh Menteri Agraria.

Pasal 5.
Ayat (1).
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Bab III No. 5 dan Penjelasan pasal 3.

Ayat (2).
Hak milik diberikan dengan cuma-cuma sesuai dengan praktek yang dijalankan
hingga sekarang, berdasar ketentuan-ketentuan antaranya yang diatur dalam S.
1913-702. Syarat-syarat yang disertakan pada pemberian hak milik itu
dimaksudkan untuk menjamin pemakaian tanah itu yang sebaik-baiknya
serta untuk mencegah, agar supaya pemiliknya jangan terlalu mudah
mengalihkan haknya kepada fihak lain.

70
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Ayat (3).
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Bab III No. 7.

Pasal 6.
Ayat (1).
Kiranya sudahlah selayaknya, bahwa di dalam soal pemilikan tanah
diadakan perbedaan antara warga-negara dan orang asing. Di dalam hal
tanah usaha itu diserahkannya kepada Negara, maka tanah tersebut dapat
dipertimbangkan untuk diberikan kembali kepadanya dengan sesuatu hak
pemakaian yang sifatnya tidak (tetap misalnya sewa). Tempo satu tahun
dipandang sudah cukup untuk mencari kemungkinan melepaskan tanah usaha
itu atau meminta sesuatu hak pemakaian pada Negara. Bahkan atas permintaan
yang bersangkutan waktu satu tahun itu dapat diperpanjang (dengan paling
lama satu tahun). Penetapan di dalam hal-hal apa dan untuk berapa lamanya
tempo satu tahun itu dapat diperpanjang dapat diserahkan pada kebijaksanaan
Menteri Agraria.
Ayat (2).
Guna menghindarkan seseorang mengulur-ulur waktu untuk memenuhi apa
yang ditentukan dalam ayat 1, maka perlu ada sanksi berupa pembatalan hak
dengan tiada disertai ganti-kerugian.
Pasal 7.
Ayat (1).
Ketentuan dalam ayat ini yang memungkinkan Menteri Agraria mengadakan
pengawasan terhadap mutasi-mutasi mengenai tanah usaha dan mencatat
mutasi-mutasi tersebut, dimaksudkan Pertama: untuk melindungi kepentingan
para pemegang tanah usaha (yang sebagian besar belum memahami, bahwa
hapusnya tanah-tanah partikelir itu akan membawa keuntungan baginya,
yaitu: tanahnya menjadi tanah milik) dengan mencegah perbuatan orang-orang
yang bertujuan memperoleh keuntungan yang bukan semestinya dengan jalan
membeli tanah-tanah usaha itu atau menyewanya untuk waktu yang lama.
Kedua: untuk menghindarkan kesulitan di dalam pelaksanaan likuidasi,
jika tentang penggantian nama-nama pemegang hak usaha tidak diadakan
pengawasan dan pencatatan. Yang dimaksud dengan "serah pakai", ialah setiap
perbuatan pemegang hak usaha yang bertujuan memberi kemungkinan bagi
orang lain untuk memakai tanah usaha tersebut dan/atau memungut hasilnya,
misalnya sewa-menyewa, perjanjian berbagai hasil dan lain sebagainya. Tidak
termasuk dalam pengertian "pemindahan hak" ialah perwarisan tanpa wasiat
serta, bagi mereka yang tunduk pada hukum sipil Barat, percampuran harta
karena perkawinan. Akan tetapi hibah atau legaat termasuk pemindahan
hak yang memerlukan izin. Demikian juga jual-gadai.
Ayat (2).
Agar supaya ketentuan ayat 1 tersebut dapat terjamin pelaksanaannya,
maka dianggap perlu untuk mengadakan sanksi berupa pembatalan hak
dengan tiada diserta pengganti-kerugian.
Ayat (3).
Ada kalanya tanah usaha yang haknya telah dinyatakan batal itu perlu
dikosongkan. Untuk memudahkan pelaksanaannya maka perintah pengosongan

71
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

itu cukup dicantumkan di dalam keputusan pembatalan hak itu, perintah


mana dapat segera dijalankan oleh jurusita dan kalau perlu dengan bantuan
polisi. Dengan adanya ketentuan ini maka pengosongan itu tidak perlu melalui
pengadilan dan dapat segera dilaksanakan, juga sekalipun yang berkepentingan
mengajukan tuntutan berkeberatan
di muka hakim.

Pasal 8.
Ayat (1) sub. a:
1. Perhitungan ganti-kerugian didasarkan atas penghasilan sebelum 1942
(khususnya rata-rata setahun dari tahun 1937 s/d 1941) karena semenjak
keluarnya Undang- undang Balatentara Pendudukan Jepang pada tahun 1942,
yang kemudian disusul oleh Verordening CCO-Amacab 1946 No. XXIX,
tanah-tanah partikelir tidak lagi diusahakan atas dasar hak-hak pertuanan.
Dalam tahun 1949 oleh Pemerintah Hindia Belanda telah dibeli kembali
tanah-tanah partikelir seluas 469.506 ha dari jumlah 498.429 ha (lebih
kurang 96 1/2%), dengan harga yang ditetapkan atas persetujuan antara
Pemerintah dan para pemiliknya dengan memakai dasar hasil tahun 1937-
1941, sebagaimana ternyata dari pasal 6 surat keputusan Wakil Tinggi
Mahkota tanggal 8 April 1949 No. 1. Maka kiranya sudahlah selayaknya, jika
dasar tersebut dipakai juga untuk menetapkan jumlah ganti-kerugian
mengenai sisanya yang kini tinggal kira-kira 17.000 hektar (lebih -
kurang 3 1/2%) dan yang dihapuskan oleh Undang-undang ini. Pada
tahun 1949 itupun telah disetujui dan ditetapkan sebagai biaya usaha 40%
dari penghasilan kotor. Meskipun sebagian letaknya di dalam kota, akan
tetapi dasar-dasar Penghasilan sebagai tanah partikelir tidak berbeda
dengan tanah-tanah partikelir yang ada di luar kota, karena ditetapkan dan
dibatasi oleh peraturan-peraturan dalam S. 1912-422 untuk disebelah
Barat dan dalam S. 1880-150 untuk sebelah Timur Cimanuk.
2. Di dalam menentukan besarnya ganti-kerugian itu Undang-undang ini
berpangkal pada pendirian, bahwa tanah-tanah partikelir itu bagi pemiliknya
merupakan suatu modal yang tiap-tiap tahun memberi hasil kepadanya,
yang setelah dikurangi dengan biaya yang perlu untuk itu boleh disamakan
dengan bunga dari modal tadi. Demikian maka tergantung pada beberapa
persenkah besarnya bunga itu, dapatlah kemudian dihitung besarnya
modal. Dalam menentukan besarnya modal ini harus diperhitungkan juga
faktor risiko. Bunga setahun. Faktor risiko sebelum perang ditentukan 2
dan mengingat keadaan sekarang layaklah kiranya jika dikalikan 3
menjadi 6. Biaya usaha ditetapkan 40%. Jadi hasil bersihnya adalah 60%
dari jumlah hasil yang diterima setahun oleh pemilik rata-rata selama lima
tahun terakhir sebelum tahun 1942. Jika penghasilan bersih dari sesuatu
tanah partikelir rata-rata tiap tahun telah diketahui dan penghasilan itu
diartikan sebagai bunga modal, yaitu 6%, maka angka perkalian
(faktor kapitalisasi) untuk menghitung modal tersebut, setelah
diperhitungkan pula faktor risiko 6, adalah 100 : 6 + 6) = 81/2. Ini berarti,
bahwa besarnya modal adalah 8 1/2 kali hasil bersih atau dengan perkataan
lain jumlah ganti-kerugian yang akan diberikan adalah 8 1/2 kali hasil
setahun.
3. Adapun yang dimaksudkan dengan hasil itu, ialah khusus hasil dari tanah
sebagai tanah partikelir, misalnya:

72
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

a. dari tanah-tanah usaha: cukai, contingent atau pajak, sewa kebun, sewa
tanah, pungutan dari pemeliharaan ikan;
b. lain-lain penghasilan yang sesuai atau tidak bertentangan dengan
peraturan- peraturan yang berlaku, seperti: hasil tanaman dari perkebunan,
hasil ikan dari empang-empang atau hasil yang didapat karena tanahnya
disewakan atau diberikan dengan hak erfpakht atau opstal dan sebagainya.
Dalam pengertian "penghasilan" yang dimaksudkan oleh Undang-undang ini
tidak termasuk hasil dari perusahaan atau pabrik-pabrik, meskipun yang
dikerjakannya adalah hasil dari tanah itu juga. Pendapatan sewa dari
bangunan-bangunanpun tidak termasuk perhitungan, jika bangunan-
bangunan itu dikembalikan kepada pemilik dan tanah dimana bangunan-
bangunan tersebut berdiri diberikan kepadanya dengan sesuatu hak yang
terbatas waktu berlakunya. Tergantung pada keadaan dan sifatnya bangunan
maka didalam hal yang demikian dapat diberikan kepadanya hak sewa atau
hak opstal.
4. Ganti-kerugian itu dibayar dalam mata uang rupiah, dengan pernilaian satu
gulden Hindia Belanda sama dengan satu rupiah.

Ayat (1) sub b.


Telah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Bab III No. 6.
Ayat (2).
Sudah selayaknyalah kiranya jika atas tanah-tanah yang demikian itu pemiliknya
tidak mendapat ganti-kerugian karena menurut kenyataannya iapun tidak
mendapat penghasilan apa-apa dari tahun itu.

Ayat (3).
Sudah dijelaskan di dalam Penjelasan Umum Bab III No. 6. Bunga menurut
Undang - undang yang dimaksudkan dalam ayat ini ialah 6%, sebagaimana
ditetapkan dalam S. 1848-22 ("wettelijk interes").

Ayat (4).
Tidak memerlukan penjelasan.

Ayat (5).
Karena dasar untuk menetapkan besarnya ganti-kerugian sudah ditentukan
dalam ayat-ayat di atas, maka "hoger beroep" kepada sesuatu instansi
(administrasi atau pengambilan) tidaklah perlu diadakan.

Pasal 9.
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Bab III No. 7.

Pasal 10
Sebagaimana telah dinyatakan di dalam Penjelasan Umum Bab III No. 9 maka
ketentuan- ketentuan dalam pasal ini bermaksud untuk mengusahakan, agar
supaya likuidasi tanah-tanah partikelir dapat dijalankan secara teratur dan bekas
tanah-tanah kongsi yang telah menjadi tanah Negara itu dapat dipergunakan
menurut rencana, serta tiada menjadi obyek penyerobotan. Mengenai sengketa-
sengketa tanah yang ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini antara
tuan-tuan tanah dan rakyat, dapat ditunjuk pada azas hukum pidana yang
terletak dalam pasal 1 K.U.H. Pidana dan pasal 14 ayat 2 U.U.D.S., bahwa

73
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

"tiada seorangpun boleh dituntut untuk dihukum atau dijatuhi hukuman,


kecuali karena suatu aturan yang ada dan berlaku terhadapnya", artinya aturan
hukuman itu harus sudah ada pada waktu perbuatan yang dilarang itu
dilakukan, dengan lain perkataan pasal 10 Undang-undang ini tidak berlaku bagi
sengketa-sengketa yang sedang diselesaikan.

Ayat (1).
Sekedar pemilik bertindak atau bertingkah-laku dalam rangka penunaian wajib
sesuai pasal 5 ayat 2 Undang-undang ini, maka ia tidak perlu izin dari
Menteri Agraria. Mengenai "mempunyai bangunan-bangunan", bukanlah
menjadi soal apakah bangunan-bangunan itu dipakai atau ditempati sendiri atau
tidak.

Ayat (2).
Tidak memerlukan penjelasan.

Ayat (3).
Kepercayaan yang diberikan kepada pemilik sesuai pasal 4 ayat 2 Undang-
undang ini sebaliknya mudah sekali dapat disalah-gunakan untuk menghambat
dan mempersukar pelaksanaan likuidasi. Oleh karena itu maka tidaklah
selayaknya, bahwa pemilik yang bersalah melakukan perbuatan-perbuatan
demikian itu akan mendapat jaminan- jaminan yang sama seperti pemilik-
pemilik tanah-tanah partikelir lainnya yang mentaati ketentuan-ketentuan
Undang-undang ini, khususnya jaminan ganti-kerugian yang diatur dalam
pasal 8.

Ayat (4).
Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 11.
Pasal ini untuk menjamin lancarnya likuidasi. Pengalaman menunjukkan bahwa
lembaga ("rechtsmiddel") banding, kasasi dan grasi banyak disalah-gunakan
hanya untuk menunda pelaksanaan putusan pidana. Boleh dikatakan bahwa
permohonan banding, kasasi atau grasi yang berhasil baik, adalah merupakan
kekecualian yang jarang terjadi.

Pasal 12
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum Bab III No. 10. Ancaman pidana itu
(sesuai dengan ketentuan dalam pasal 98 ayat 2 U.U.D.S.) adalah bermaksud
untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya.

Pasal 13
Ayat (1).
Apa alasannya bahwa Undang-undang ini disebut 'Undang-undang
Penghapusan Tanah-tanah Partikelir" dan tidak dipergunakan istilah
"nasionalisasi" telah diuraikan dalam penjelasan pasal 3. Istilah "penghapusan"
dipandang juga lebih tepat dari pada "likuidasi", karena menunjukkan, bahwa
lembaga tanah partikelir itu ditiadakan dengan serentak secara integraal.

74
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Ayat (2).
Tidak memerlukan penjelasan.

Termasuk Lembaran-Negara No. 2 tahun 1958.


Diketahui:
Menteri Kehakiman,
MAENGKOM.

CATATAN
*)Disetujui D.P.R. dalam rapat pleno terbuka ke-145 pada hari Kamis tanggal 12
Desember
1957, P. 107/1957

8. Pengambilan Tanah Untuk Keperluan Penguasa Perang Tahun 1959.


Produk perundang-undangan yang diterbitkan oleh kepala staf penguasa
perang, bahkan dikatakan juga sebagai kepala staf Angkatan Darat selaku Penguasa
perang Pusat. Ada beberapa produk hukum yang diterbitkan dan akan dibahas di
bawah ini, antara lain :
1. Pengambilan tanah untuk keperluan penguasa perang berdasarkan undang-
undang keadaan bahaya.
Undang-undang Nomor 23 Prp. Tahun 1959, mengatur tentang, pengambilan
tanah untuk keperluan penguasa perang berdasarkan undang-undang keadaan
bahaya.
Untuk kepentingan pertahanan dan keamanan melalui Undang-undang Keadaan
Bahaya Pemerintah dapat melakukan pengambilan tanah.185 Dalam Undang-
undang ini diatur tentang :
i. Penguasa perang berhak mengambil atau memakai barang-barang macam
apapun juga untuk kepentingan Pertahanan dan Keamanan.186
ii. Dalam pengambilan untuk dimiliki, maka Hak Milik segera dipindahkan
kepada Negara, bebas dari segala Tanggungan Hak-hak Atas Barang-
barang tersebut.187
iii. Selain Surat Keputusan tentang Penetapan Pengambilan untuk dimiliki
mengenai barang-barang tidak bergerak dan kapal-kapal yang
mempunyaisurat bukti resmi disampaikan kepada yang berwajib yang harus
memindahkan Hak Milik tersebut menurut Peraturan yang berlaku.188

185
Abstrak, Peraturan/Ketentuan Bidang Pertanahan, Op.Cit., h.475.
186
Undang-undang No.23 Prp. Tahun 1959, tanggal 16 Desember 1959, tentang, Pengambilan
Tanah untuk keperluan Penguasa Perang, berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya, Pasal 37 ayat
(1).
187
Ibid., Pasal 37 ayat (2).
188
Ibid., Pasal 37 ayat (3).

75
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Undang-undang ini mencabut Undang-undang Nomor 74 Tahun 1957


kelanjutan mengenai Hak Milik tersebut ditetapkan oleh Presiden.189
Dengan demikian penulis melihat keberadaan undang-undang ini sangat
kontroversial, di mana substansi yang diatur maupun struktur pertanahan pada
waktu itu telah ada. Hal ini dapat dilihat dalam Keputusan Presiden, masing-
masing Nomor 55 Tahun 1955 tentang, Pembentukan Kementerian Agraria.
Nomor 190 Tahun 1957, tentang Pemindahan Jawatan Pendaftaran Tanah dari
lingkungan Kementerian Kehakiman ke dalam lingkungan Kementerian
Agraria.
Kemudian lahirlah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1958, tentang.
Peralihan tugas dan wewenang Agraria. Jadi secara prinsipil struktur pertanahan
pada waktu diterbitkannya peraturan ini belum efektif berfungsi, baik secara
struktur maupun substansi.
Selanjutnya pula peraturan tersebut sistemnya bersifat sangat otoriter.
Oleh karena kalau dilihat dari teori hukum, maka produk hukum yang dilakukan
Pemerintah pada waktu itu lebih bersifat memaksa seperti yang diuraikan oleh J.
Van Kan.190
2. Pelaksanaan beberapa peraturan soal agraria.
Instruksi Penguasa Perang Pusat, Nomor, Instr/Peperpu/0108/1959 ini
mengatur tentang, Pelaksanaan beberapa peraturan soal agraria.
Di dalam peraturan ini ada 6 (enam) hal yang diatur, yaitu : 1. mengenai
hak Eigendom; 2. mengenai tanah Partikelir; 3. mengenai hak Erfpacht; 4
mengenai hak konsesi; 5. mengenai tanah-tanah perkebunan yang diduduk: cq.
dipakai rakyat tidak dengan ijin pemiliknya atau kuasanya, dan 6. mengenai
tanah perkebunan yang diduduki cq. dipakai rakyat tidak dengan ijin
pengusahanya.
Penulis melihat Instruksi Penguasa Perang Pusat ini sifatnya lebih
menegaskan kewenangan struktur dan substansi beberapa peraturan perundang-
undangan. Jadi kalau dicermati secara hierarki struktur seolah-olah Penguasa
Perang Pusat menjadi atasan langsung dari Menteri Muda Agraria, Menter:
Muda Pertanian, Menteri Muda Perburuhan, Kepala Daerah, Panitia Perkebunan
Pusat.
Hal ini dapat dilihat dari pertimbangan/instruksi ini yang menjelaskan
bahwa untuk menambah kelancaran dan ketertiban dalam penyelenggaraan
kebijaksanaan Pemerintah mengenai masalah yang termasuk bidang agraria
memandang perlu untuk memberikan petunjuk-petunjuk yang merupakan
penjelasan mengenai kebijaksanaan Pemerintah di bidang itu dan perlu sera
mengamankan pelaksanaan terhadap beberapa peraturan yang ada mengena hal
tersebut.191

189
Abstrak, Op.Cit., h.475.
190
Lihat Pembahasan penulis pada bab I Mengenai kerangka teori dan konsepsi, h.32.
191
Instruksi Penguasa Perang Pusat Nomor, Instr/Peperpu/0108/1959, tanggal 30 November 1959,
tentang Pelaksanaan beberapa peraturan soal agraria, bagian menimbang.

76
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Di dalam peraturan ini antara lain dijelaskan lagi: hak Eigendom baru atas
tanah tidak diberikan lagi.192
Semua tanah-tanah partikelir hapus dan karena hukum menjadi tanah
negara, sesuai dengan bunyi Pasal 3 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958,
tentang, Penghapusan Tanah-tanah Partikelir, sedangkan likuidasinya dilakukan
dengan Surat Keputusan Menteri Muda Agraria.193
Panitia atau Kepala Daerah menyampaikan laporan dan pertimbangannya
mengenai tindakan-tindakan yang seharusnya diambil terhadap perusahaan
Perkebunan yang bersangkutan kepada Menteri Muda Pertanian dan mengirim
tembusannya kepada Menteri Muda Agraria, Menteri Muda Perburuhan dan
Panitia Perkebunan Pusat d/a. Biro Ekonomi Pertanian/Perencanaan
Departemen Pertanian di Jakarta sesuai dengan Pasal 11 Peraturan Pemerintah
Nomor 61 Tahun 1957.194
Pembatalan hak-hak konsesi dilaksanakan oleh Menteri Muda Agraria
sesuai dengan ketentuan-ketentuan tersebut dalam Peraturan Pemerintah Nomor
36 Tahun 1956, tentang Peraturan-peraturan dan tindakan-tindakan mengenai
tanah-tanah perkebunan konsesi.195
Terhadap pemakaian tanah bukan perkebunan oleh siapapun juga tidak
dengan ijin pemiliknya atau kuasanya diambil tindakan menurut ketentuan-
ketentuan tersebut dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat tanggal 14 April
1958 Nomor Prt/Peperpu/011/1958, tentang, Laraffgan Pemakaian Tanah Tanpa
Ijin Pemiliknya atau Kuasanya.196
Pemakaian tanah perkebunan seperti tersebut di atas yang terjadi sesudah
tanggal 12 Juni 1954 tidak diikutsertakan dalam penyelesaian, akan tetapi
terhadapnya diadakan penuntutan pelanggaran menurut Pasal 11 dari Peraturan
Penguasa Perang Pusat tanggal 10 Juni 1959 Nomor Prt/Peperpu/041/1959.197
Kemudian yang paling tidak signifikan dalam instruksi ini adalah:198
semua Ketua Penguasa Perang Daerah dan semua instansi sipil yang berwajib
dan berwenang dalam hal:
a. Ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam ketentuan Pertama, supaya
dipergunakan sebagai pedoman ;
b. Supaya mengaktivir pelaksanaan segala sesuatu yang ada hubungannya
dengan hal-hal yang termaktub dalam ketentuan pertama, bersama-sama
dengan penjabat-penjabat yang bersangkutan di daerah;
c. Supaya menyampaikan laporan segala sesuatu yang termaktub dalam ad.a di
atas kepada Penguasa Perang Pusat. Instruksi penguasa Perang Pusat mulai
berlaku mulai hari dikeluarkan.

192
Ibid., butir A., 1).
193
Ibid., butir B., 1).
194
Ibid., butir C., 6).
195
Ibid., butir D., 4).
196
Ibid., butir E.
197
Ibid., butir F, 2).
198
Ibid Diktum, ke-dua.

77
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Dari uraian tersebut di atas dilihat dari tugas dan fungsi struktur maupun
substansi Instruksi Penguasa Perang Pusat ini memang merupakan hukum
yang memaksa dan bersifat militerisme. Hal ini tentu perlu dipahami
mengingat kondisi negara Republik Indonesia pada waktu itu, masih terjadi
aksi-aksi pemberontakan, seperti peristiwa Madiun, Kahar Muzakar, PRRI dan
lain- lainnya.
3. Pengambilan Tanah-tanah untuk mendirikan asrama, perluasan halamar.
perumahan militer, jalan-jalan dan sebagainya.
Surat Edaran Penguasa Perang Tertinggi Nomor 0252/Peperti/1961 ini,
tentang Pengambilan Tanah-tanah untuk mendirikan asrama, perluasan halaman
perumahan militer, jalan-jalan dan sebagainya. Adapun latar belakang;
peraturan ini adalah, untuk mempercepat dan mempermudah prosedur
pengambilan tanah yang diperlukan untuk segera dapat dikuasai dan
dipergunakan, perlu kiranya disini, demi kepentingan penertiban penggunaan
dasar hukum mengenai soal pengambilan tanah untuk dimiliki (Onteigening) itu
dikemukakan hal-hal sebagai berikut.199
Sebagaimana kita semua telah maklum, maka usaha untuk mendapatkan
tanah untuk keperluan-keperluanyang tertera di atas telah diatur dalam Bijblad
Nomor 11372 jo. Bijblad 12746 (Voorschriften omtrent hetverkrijgen van de vrije
beschikking over ten behoeve van den Lande benodigde gronden).200
Berhubung dengan itu, maka dalam keadaan biasa semua usaha untuk
memperoleh tanah untuk keperluan-keperluan itu disalurkan menurut ketentuan-
ketentuan tersebut dalam Bijblad-bijblad termaktub di atas.201
Jika segala usaha untuk mendapatkan tanah untuk keperluan-keperluan itu
menurut ketentuan-ketentuan tersebut dalam Bijblad-bijblad itu gagal. sedang
keperluannya adalah sangat urgen, maka usaha untuk mendapatkan tanah yang
diperlukan itu dapat disalurkan melalui ketentuan-ketentuan pengambilan untuk
dimiliki (Onteigening) tersebut dalam Onteigenings Ordonnantie(Stbl.
1920Nomor574jo. Stbl. 1947Nomor: 96).202
Dalam keadaan yang mendesak dan menghendaki segera dapat dikuasai dan
dipergunakannya tanah-tanah yang diperlukan itu, dapatlah pengambilan tanah-
tanah itu disalurkan melalui ketentuan-ketentuan dan prosedur tersebut dalam Pasal
84 dan selanjutnya dari onteigenings ordonnantie termaktub di atas.203
Dengan demikian penulis melihat struktur dan substansi yang diatur dalam
peraturan ini adalah penekanannya terhadap struktur yang ada dijajaran militer.
Kemudian mengenai substansi atau Peraturan Perundang-undangan yang
diterapkan dalam hal pengambilan tanah adalah tetap berpedoman kepada Bijblad
(Tambahan Lembaran Negara) Nomor 11372 jo. Nomor 12746. Sedangkan untuk

199
Surat Edaran Penguasa Perang Pusat Tertinggi Nomor 0252/Peperti/1961, tanggal 4 Februari
1961.
200
Ibid.
201
Ibid.
202
Ibid.
203
Ibid.

78
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

pencabutan hak yang menerapkan Stbl. 1920 Nomor 574 jo. Stbl. 1947 Nomor 96.
Namun hal yang mendasar dan kontroversi dalam peraturan ini adalah penyebutan
pangkat yang ada pada struktur yaitu, untuk pangkat
Kolonel/Letnan Kolonel, dalam jajaran Tentara Nasional Indonesia yang
diperbolehkan mengambil kebijakan pemilikan tanah, termasuk untuk kepentingan
umum.
Masyarakat dalam menghadapi kejadian seperti pada waktu itu bersifat
apatis, hal ini disebabkan karena sumber daya manusia dalam hal ilmu
pengetahuan dan pendidikan masih rendah. Di lain pihak juga kondisi negara pada
waktu itu belum stabil, baik dalam hal ekonomi, politik, sosial, dan terutama di
dalam keamanan internal.

9. Panitia Agraria Dan Sejarah Penyusunan UUPA.204


a. Bagian I : Berbagai Panitia Agraria
1). Pantia Agraria Yogya Tahun 1948
Sebagaimana telah diuraikan di atas pada tahun 1948 dimulai usaha-
usaha yang konkret untuk menyusun dasar – dasar Hukum Agraria / Hukum
Tanah baru yang akan menggantikan hukum agrarian warisan pemerintah
jajahan. Usaha tersebut dimulai dengan pembentukan Pantia Agraria yang
berkedudukan di Yogyakarta, sebagai Ibukota Republik Indonesia pada
waktu itu, “Panitia Agraria Yogya” dibentuk dengan Penetapan Presiden
Republik Indonesia tanggal 21 mei 1948 no 16, deketuai oleh Sarimin
Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria Kementrian Dalam Negeri) dan
beranggotakan pejabat- pejabat dari berbagai Kementrian dan Jawatan ,
anggota – anggota Badan Pekerja KNIP yang mewakili Organisasi –
organisasi tani dan daerah , ahli – ahli hukum adat dan wakil dari Serikat
Buruh Perkebunan.
Panitia bertugas : member pertimbangan kepada Pemerintah tentang
soal- soal yang mengenai hukum tanah seumumnya ; merancang dasar –
dasar hukum tanah yang memuat politik agrarian Negara Republik
Indonesia ; merancang perubahan , penggantian , pencabutan peraturan –
peraturan lama . baik dari sudut legislative maupun dari sudut praktek dan
menyelidiki soal – soal lain yang berhubungan dengan hukum tanah. Dalam
Majalah Agraria tahun Ke – 1 No. 3 dapat diketahui hasil pekerjaan
“Panitia Agraria Yogya” tersebut, sebagai yang dilaporkan kepada
Pemangku Jabatan Presiden Republik Indonesia dengan suratnya tanggal 3
februari 1950 no 22/PA. Mengenai asas-asas yang akan merupakan dasar
Hukum Agraria/ Hukum Tanah yang baru, Panitia mengusulkan :
(1). dilepasnya asas domein dan pengakuan hak ulayat;
(2). diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan
yang kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebani hak tanggungan.
204
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria Isi Dan Pelaksanaannya (Jilid 1 Hukum Tanah Indonesia), Ed.rev.,Cet.6, Jakarta: Djambatan,
1995, hal.109-116.

79
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Pemerintah hendaknya jangan memeksakan dengan peraturan


perkembangan hak perseorangan itu dari yang paling lemah sampai
yang paling kuat ; perkembangan itu hendaknya diserahkan saja kepada
usaha rakyat sendiri dan paguyuban hukum kecil. Sebaiknya
Pemerintah memberi stimulans yang sebesar-besarnya untuk
mempercepat perkembangan itu;
(3). supaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan – peraturan
negara-negara lain, terutama negara-negara tetangga, sebelum
menentukan apakah orang – orang asing dapat pula mempunyai hak
milik atas tanah ;
(4). Perlunya diadakan penetapan luas minimum tanah untuk
menghindarkan pauperisme (kesakitan) di antara petani kecil dan
memberi tanah yang cukup untuk hidup yang patut, sekalipun
sederhana. Untuk Jawa diusulkan 2 hektar (tidak diterangkan untuk
satu orang atau satu keluarga tani); Black’s Law Dictionari h. 1149,
Pauperies (Paw-par-eez), n. (Latin “ Impoverish ment”, Roman Law
Damage done by a four booted animal, The animal’s owner was liable
for the damage.
(5). Perlunya ada penetapan luas maksimum . Diusulkan untuk Jawa 10
hektar dengan tidak memandang macamnya tanah (tidak diterangkan
untuk satu orang atau satu keluarga). Buat daerah-daerah luar jawa
dipandang perlu untuk mengdakan penyelidikan lebih lanjut
(6). menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah yang diusulkan
oleh Sarimin Reksodihardjo (dimuat juga di dalam Majalah Agraria
yang disebutkan di atas halaman 78). Ada hak milik dan hak atas tanah
kosong dari Negara dan daerah-daerah kecil serta hak-hak atas tanah
orang lain yang disebut hak-hak magersari:
(7). Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang
penting (annex kadaster). Hak-hak yang bersandar atas hukum yang
berlaku untuk bangsa Eropa perlu diubah dahulu dengan hak-hak
Indonesia yang diusulkan Sarimin itu.

2). Panitia Agraria Jakarta Tahun 1952


Atas pertimbangan bahwa “Panitia Agraria Yogya” tidak sesuai lagi
dengan keadaan Negara – terutama sesudah terbentuknya kembali Negara
Kesatuan – maka dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia tanggal
19 Maret 1952 no 36/1951 Panitia tersebut dibubarkan dab dibentuk Panitia
Agraria baru, yang berkedudukan di Jakarta (“Panitia Agraria Jakarta”).
Panitia diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo dan beranggotakan pejabat-
pejabat dari berbagai Kementrian dan jawatan sera wakil –wakil
Organisasi-Organisasi tani. Sebagai wakil ketuanya diangkat Sadjarwo,
Kepala Bagian Politik Umum dan Planning Kementrian Pertanian.
Kemudian dalam tahun 1953 berhubung dengan pengangkatannya menjadi

80
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Gubernur Nusa tenggara, Sarimin dibantu oleh Singgih Praptodihardjo,


wakil kepala Bagian Agraria Kementrian Dalam Negeri.
Tugas Panitia hampir sama dengan “Panitia Agraria Yogya”. Karena
berbagai sebab, terutama karena Ketua dan Wakil Ketuanya seringkali
mendapat tugas-tugas khusus dari pemerintah , maka belum banyak yang
dapat diputuskan dan diajukan kepada Pemerintah oleh Panitia ini . Dalam
Laporan Ketuanya tertanggal 9 juni 1955 (Majalah Agraria tahun ke-1 no 3
halaman 80) dikemukan kesimpulan –kesimpulan Panitia menganai soal
tanah untuk pertanian kecil (rakyat), yaitu :
(1). Mengadakan batas minimum sebagai ide . Luas minimum umum
ditentukan 2 hektar . Mengenai hubungan pembatasan minimum
tersebut dengan hukum adat, terutama hukum waris , perlu diadakan
tinjauan lebih lanjut.
(2). Ditentukan pembatasan maksimum 25 hektar untuk satu Keluarga.
(3). Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk
warga negara “asli” dan “bukan asli” Badan hukum tidak diberi
kesempatan untuk mengerjakan pertanian kecil.
(4). Untuk pertanian kecil dimana diterima bangunan-bangunan hukum :
hak milik, hak usaha, hak sewa dan hak pakai.
(5). Hak ulayat disetujui untuk diatur - oleh atau atas kuasa undang –
undang – sesuai dengan pokok-poko dasar Negara.

3). Panitia Soewahjo Tahun 1955


Dengan Keputusan Presiden tanggal 29 Maret 1955 No. 55/1955
dibentuk Kementrian Agraria dengan tugas antara lain mempersiapkan
pembentukan Perundang – undangan agraria nasional yang sesuai dengan
Ketentuan – Ketentuan dalam pasal 38 ayat 3, pasal 26 dan 37 ayat 1
Undang – Undang Dasar Sementara. Dengan adanya Menteri yang khusus
bertugas dalam urusan agraria dan dengan dibentuknya Kementrian
Agraria, tampaklah maksud Pemerintah untuk dengan sungguh – sungguh
akan menyelenggarakan pembaharuan Hukum Agraria /Hukum Tanah yang
telah lama dinanti-nantikan Pemerintah berpendapat, bahwa untuk itu
terlebih dahulu harus disusun suatu undang –undang yang memuat dasar-
dasar dan ketentuan-ketentuan pokok hukum yang baru, yaitu suatu
Undang-Undang Pokok Agraria.
Karena melihat susunan dan cara berkerjanya, “Panitia Agraria
Jakarta” tidak dapat diharapkan akan dapat menyusun rancangan Undang-
Undang Pokok Agraria tersebut dalam waktu yang singkat, maka dalam
masa jabatan Menteri Agraria Goenawan dengan Keputusan Presiden
Republik Indonesia tanggal 14 januari 1956 no1/1956, Panitia Agraria
Jakarta dibubarkan dan dibentuklah suatu panitia baru : Panitia Negara
Urusan Agraria , berkedudukan di Jakarta . Pantia yang baru itu diketuai
oleh Soewahjo Soemodilongo Sekretaris Jenderal Kementrian Agraria dan

81
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

beranggotakan pejabat-pejabat berbagai Kementrian dan Jawatan , ahli-ahli


hukum adat dan wakil –wakil beberapa organisasi tani.
Tugas utama “Panitia Soewahjo” tersebut ialah : Mempersiapkan
rencana Undang-Undang pokok Agraria yang nasional , sedapat-dapatnya
dalam waktu satu tahun.
Dalam tahun 1957 Panitia telah berhasil menyelesaikan tugasnya
berupa naskah Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria , yang
disampaikan kepada Pemerintah, d.h.i Menteri Agraria , dengan suratnya
tanggal 6 pebruari1958 no 1/PA/1958.Karena tugas utamanya sudah
diselesaikan , maka dengan Keputusan Presiden tanggal 6 mei 1958
no97/1958 ”Panitia Soewahjo” dibubarkan.
Adapun pokok-pokok penting Rancangan Undang-Undang Pokok
Agraria hasil karya Panitia tersebut ialah :
(1). dihapuskannya asas domein dan diakuinya Hak Ulayat, yang harus
ditundukkan pada kepentingan umum (Negara).
(2). asas domein diganti dengan Hak Kekuasaan Negara atas dasar
Ketentuan pasal 38 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara;
(3). dualisme Hukum Agraria dihapuskan . Secara sadar diadakan kesatuan
hukum yang akan membuat lembaga-lembaga dan unsur – unsur yang
baik, baik yang terdapat dalam hukum Adat maupun Hukum Barat
(Jadi tidak dipilih salah satu hukum sebagai dasar Hukum Agraria yang
baru);
(4). hak – hak atas tanah : Hak milik sebagai hak yang terkuat, yang
berfungsi social. Kemudian ada Hak Usaha, Hak bangunan dan Hak
Pakai;
(5). Hak Milik hanya boleh dipunyai oleh orang-orang warganegara
Indonesia. Tidak diadakan perbedaan antara warganegara asli dan tidak
asli. Badan-badan hukum pada asasnya tidak boleh mempunyai Hak
Milik atas tanah;
(6). perlu diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah
yang boleh menjadi milik seseorang tau badan hukum ;
(7). tanah pertanian pada asasnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri
oleh pemiliknya;
(8). perlu didakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.

Catatan :
Suatu panitia terdiri atas Singgih Praptodihardjo, Mr Boedi Harsono

b. Bagian 2 : Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria.


1). Rancangan Soenarjo Tahun 1958
Dengan beberapa perubahan menngenai sistematika dan rumusan
beberapa pasalnya Rancangan “Pantia Soewahjo” tersebut diajukan oleh
Menteri Agraria Soenarjo” disetujui oleh Dewan Menteri dalam sidangnya
ke-94 pada tanggal 1 April 1958 dan kemudian diajukan kepada dewan

82
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Perwakilan Rakyat dengan Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 no


1307/HK. Naskah Rancangan beserta Memori Penjelasannya secara
lengkap dimuat dalam Majalah Agraria yang telah beberapa kali disebut di
atas.
“Rancangan Soenarjo” telah dibicarakan dalam siding pleno DPR
pada tingkat Pemandangan Umum babak pertama . Jawaban Pemerintah
atas Pemandangan Umum babak pertama. Jawaban Pemerintah atas
Pemandangan Umum babak pertama tersebut disampaikan oleh Menteri
Soenarjo dalam sidang pleno DPR tanggal 16 Desember 1958. Untuk
melanjutkan pembahasannya DPR memandang perlu mengumpulkan
bahan-bahan yang lebih lengkap . Untuk itu oleh Panitia Permusyawaratan
DPR dibentuk suatu Panitia ad-hoc yang diketuai oleh Mr A.M.
Tambunan . Universitas Gajah Mada ( Seksi Agraria yang diketuai oleh
Prof.Notonagoro), demikian pula Ketua Mahkamah Agung Wirjono
Prodjodikoro banyak memberikan bahan kepada Pantia ad-hoc tersebut.
Sejak itu pembicaraan RUU UUPA dalam sidang pleno menjadi tertunda,
hingga akhirnya Rancangan Soenarjo tersebut ditarik kembali oleh kabinet.

2). Rancangan Sadjarwo Tahun 1960


Berhubung dengan berlakunya kembali Undang-Undang Dsar 1945
maka “Rancangan Soenarjo” yang masih memakai dasar Undang-Undang
Dasar Sementara ditarik kembali dengan surat Pejabat Presiden tanggal 23
mei 1960 No. 1532/HK/1960.
Setelah disesuaikan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan
Manifesto Politik Republik Indonesia (yaitu Pidato Presiden Sukarno pada
tanggal 17 Agustus 1959), dalam bentuk yang lebih sempurna dan lengkap
diajukanlah Rancangan Undang- Undang Pokok Agraria yang baru oleh
Menteri Agraria Sadjarwo. “ Rancangan Sadjarwo” tersebut disetujui
oleh kabinet inti dalam sidangnya tanggal 22 Juli 1960 dan oleh Kabinet
Pleno dalam sidangnya tanggal 1 Agustus 1960. Dengan Amanat Presiden
tanggal 1 Agustus 1960 No. 2458/HK/60. Rancangan tersebut diajukan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong. Berbeda dengan
Rancangan Soenarjo yang tidak tegas konsepsi yang melandasinya,
rancangan Sadjarwo, secara tegas menggunakan Hukum Adat sebagai
dasarnya

Catatan :
Dalam menysusun Rancangan Sadjarwo tersebut tidak dibentuk panitia khusus
seperti dalam penyusunan Rancangan Soenarjo. Pelaksanaanya ditugaskan
kepada Pejabat-Pejabat di lingkungan Departemen Agraria menurut bidangnya
masing- masing, dengan arahan dan pimpinan langsung Menteri Agraria.

c. Bagian 3 : Pembahasan Dan Persetujuan Oleh DPR-GR.


1). Pembahasan Marathon dan Persetujuan Bulat

83
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Dari Pidato Pengantar Acting Ketua DPR-GR Haji Zainul Arifin


dalam sidang pleno tanggal 12 September 1960. dapat diketahui jalannya
pembicaraan “Rancangan Sadjarwo” tersebut dalam siding-sidang DPR-
GR. Sesuai dengan ketentuan tata tertib DPR-GR maka titik berat
pembicaraan diletakkan pada pembahasannya dalam sidang – sidang
komisi. Yang sifatnya tertutup (rahasia). Dengan demikian maka apa yang
dibicarakan dalam sidang pleno pada hakikatnya sudah merupakan hasil
kata sepakat antara Pemerintah dan DPR-GR. Oleh karena itu pembahasan
Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria dalam sidang Pleno hanya
memerlukan 3 kali sidang. Yaitu tanggal 12,13,14 September 1960 pagi,
sedang pemandangan umumnya hanya dilakukan dalam satu babak saja .
Untuk itu seluruhnya hanya diperlukan 6 jam pembicaraan. Untuk
pembicaraan persiapan diperlukan 6seluruhnya lebih dari 45 jam, di
antaranya lebih dari 20 jam untuk pertemuan – pertemuan informal di luar
acara sidang-sidang resmi.
Bahwa tercapainya persesuaian faham Pemerintah dan DPR-GR
mengenai rumusan Rancangan Undang- Undang Pokok Agraria tidaklah
semudah sebagai yang mungkin dikesankan oleh pembahasannya dalam
sidang pleno , dapat kita simpulkan dari kata-kata Menteri Agraria
Sadjarwo dalam pidato Pengantarnya dalam sidang pleno tanggal 12
September 1960:”Dua minggu presis rancangan undang-undang ini
meliwati jalan prosedur baru dari DPR-GR yang penuh dangan rintangan
dan kesukaran-kesukaran yang kadang-kadang sampai mencapai
klimaksnya, tetapi selalu dijiwai oelh semangat gotong royong dan toleransi
yang sebesar –besarnya yang membuktikan kebesaran jiwa Saudara-saudara
yang terhormat, yang mewakili Golongan – golongan masing – masing
yaitu:1. Golongan Nasionalis , 2. Golongan Islam , 3. Golongan Kristen-
Katolik, 4. Golongan Komunis dan 5. Golongan Karya . Berkat itu semua
maka pemeriksaan pendahuluan telah selesai dengan selamat” .
Demikianlah maka setelah selsai dilakukan pemeriksaan
pendahuluan, pada tanggal 14 september 1960, dengan suara bulat Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong menerima baik Rancangan UUPA
tersebut . Ini berarti bahwa semua Golongan DPR-GR menyetujuinya.
Maka dengan demikian dapatlah apa yang telah disetujui itu dianggap
sebagai hasil perpaduan cita-cita dan fikiran serta kepercayaan yang hidup
dalam masyarakat, termasuk pula para sarjana ahli hukum, ahli adat dan
agama, sebagai yang dinyatakan oleh Menteri Agraria Sadjarwo dalam
pidato Pngantarnya tersebut di atas.
Pembicaraan Rancangan UUPA dalam sidang Pleno DPR-GR
akhirnya ditutup dengan Sambutan Acting Ketuanya , Haji Zainul Arifin.

d. Bagian 4 : Pengesahan dan Pengundangan


1). Pengesahan,pengundangan dan mulai berlakunya

84
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Pada hari sabtu tanggal 24 September 1960 rancangan undang-


undang yang telah disetujui oleh DPR-GR tersebut disahkan oleh Presiden
Sukarno menjadi Undang- Undang no 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria , yang menurut diktumnya yang kelima dapat
disebut , dan selanjutnya memang lebih dikenal sebagai Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA).
UUPA diundangkan dalam lembaran Negara tahun 1960 No. 104,
sedang Penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 2043
(Boedi Harsono, ibid A/1 dan A/2). (Lihat Lampiran 1 dan 2). Menurut
Diktum Kelima UUPA mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yaitu pada
tanggal 24 september 1960.
Demikianlah maka sejak itu setelah lima belas tahun merdeka dan
setelah sesudah berusaha selama kurang lebih dua belas tahun Bangsa
Indonesia untuk pertama kalinya mempunyai dasar perundangan untuk
menyusun lebih lanjut Hukum Agraria/Hukum Tanah Nasionalnya sebagai
perwujudan dari pada Pancasila, berlandaskan Undang-Undang Dasar
Proklamasi Undang–Undang Dasar 1945.

Catatan :
1. Dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 8 tahun 1971 ( tanggal 26
September 1971 (tanggal 26 september 1971) UUPA dan peraturan –
peraturan perundangan agrarian lainnya dinyatakan berlaku di wilayah
propinsi Irian Jaya mulai tanggal 26 september 1971 . Dalam peraturan
tersebut antara lain ditentukan , bahwa apabila dalam peraturan-peraturan
pelaksanaan Ketentuan-Ketentuan Konversi UUPA untuk melakukan sesuatu
halditetapkan jangka waktu tertentu , maka di Irian Jaya jangka – waktu
tersebut adalah 1 tahun terhitung mulai tanggal 26 september 1971.
Pelaksanaan pendaftaran tanah menurut Peraturan Pemerintah no 10 tahun
1961 dilakukan untuk pertama kali di kota-kota: Jayapura, Manokwari, Fak-
fak, Sorong, Merauke dan Biak.
2. Dengan KEPPRES No. 33 tahun 1984 UUPA dinyatakan berlaku penuh di
Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mulai tanggal 1 April 1984.
3. Mengenai berlakunya UUPA di Propinsi Daerah Tingkat 1 Timor Timur,
lihat Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1991. (LN 1991-24;TLN3435)
(Boedi Harsono, ibid A/7 dan A/8, B/19 dan B/20).

10. Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Dan Penjelasannya.

UNDANG-UNDANG No. 5 Tahun 1960205


TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

205
Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960

85
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Menimbang:
a. Bahwa di dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya,
termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan ruang
angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang amat
penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur;
b. Bahwa hukum agraria yang masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun
berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian
dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan rakyat dan Negara di
dalam menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini serta pembangunan semesta;
c. Bahwa hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya
hukum adat di samping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat;
d. Bawha bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian
hukum ;

Berpendapat:
a. Bahwa berhubung dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan- pertimbangan di
atas perlu adanya hukum agraria nasional, yang berdasarkan atas hukum adat tentang
tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat
Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama;
b. Bahwa hukum agraria nasional harus memberi kemungkinan akan tercapainya
fungsi bumi, air dan ruang angkasa, sebagai yang dimaksud di atas dan harus sesuai
dengan kepentingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut
permintaan zaman dalam segala soal agraria;
c. Bahwa hukum agraria nasional itu harus mewujudkan penjelmaan dari pada
Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan
Keadilan Sosial, sebagai azas kerokhanian Negara dan Cita-cita Bangsa seperti
yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar;
d. Bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar dan
Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam Pidato
Presiden tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur
pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah di seluruh
wilayah kedaulatan Bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,
baik secara perseorangan maupun secara gotong-royong;
e. Bahwa berhubung dengan segala sesuatu itu perlu diletakkan sendi-sendi dan
disusun ketentuan-ketentuan pokok baru dalam bentuk undang-undang, yang akan
merupakan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional tersebut di atas;

Memperhatikan:
Usul Dewan Pertimbangan Agung Sementara Republik Indonesia No. 1/Kpts/Sd/II/60,
tentang Perombakan Hak Tanah dan Penggunaan Tanah;

Mengingat:
a. Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959;

86
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

b. Pasal 33 Undang-Undang Dasar;


c. Penetapan Presiden No. 1 tahun 1960 (L.N. 1960 - 10) tentang Penetapan Manifestor
Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 sebagai garis-garis besar dari
pada haluan Negara, dan Amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960;
d. Pasal 5 jo 20 Undang-Undang Dasar; Dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat Gotong Royong

Memutuskan:
Dengan mencabut :
1. “Agrarische Wet” (S. 1870-55) sebagai yang termuat dalam pasal 51 “Wet op
Staatsinrichting van Nederlands Indie” (S.1925-447) dan ketentuan dalam ayat-ayat
lainnya dari pasal itu;
2. a. “Domeinverklaring” tersebut dalam pasal 1 “Agrarisch Besluit” (S.
1870-118);
b. “Algemene Domeinverklaring” tersebut dalam S. 1875-119a;
c. “Domeinverklaring untuk Sumatera” tersebut dalam pasal 1 dari S.1874-94f;
d. “Domeinverklaring untuk keresidenan Menado ” tersebut dalam pasal 1 dari
S.1877-55;
e. “Domeinverklaring untuk residentie Zuider en Oosterafdeling van Borneo”
tersebut dalam pasal 1 dari S. 1888-58;
3. Koninklijk Besluit tanggal 16 April 1872 No. 29 (S. 1872-117) dan
peraturan pelaksanaannya;
4. Buku ke-II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang yang
mengenal bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kecuali
ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang masih berlaku pada mulai
berlakunya Undang-Undang ini;

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG
tentang
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA.
PERTAMA

Bab I
DASAR-DASAR DAN KETENTUAN-KETENTUAN POKOK

Pasal 1
1. Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia,
yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
2. Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan
nasional.
3. Hubungan antara bangsa Indonesia dan bumi, air serta ruang angkasa termaksud
dalam ayat (2) pasal ini adalah hubungan yang bersifat abadi.

87
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

4. Dalam pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di
bawahnya serta yang berada di bawah air.
5. Dalam pengertian air termasuk baik perairan pedalaman maupun laut wilayah
Indonesia.
6. Yang dimaksud dengan ruang angkasa ialah ruang di atas bumi dan air tersebut ayat
(4) dan (5) pasal ini.

Pasal 2
1. Atas dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar dan hal-hal
sebagai yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air dan ruang angkasa, termasuk
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai
oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
2. Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang
untuk:
a. mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c. menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
3. Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat (2)
pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti
kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
4. Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan
kepada Daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar
diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-
ketentuan Peraturan Pemerintahan.

Pasal 3
Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak-ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang
menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih
tinggi.

Pasal 4
1. Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2
ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah,
yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.
2. Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta
ruang yang ada diatasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung

88
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut undang-


undang ini dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi.
3. Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat pasal ini ditentukan
pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.

Pasal 5
Hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat,
sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan
peraturan-peraturan yang tercantum daam Undang-undang ini dan dengan peraturan
perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar
pada hukum agama.

Pasal 6
Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.

Pasal 7
Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak diperkenankan.

Pasal 8
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 diatur
pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air dan ruang angkasa.

Pasal 9
1. Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hubungan yang sepenuhnya dengan
bumi, air dan ruang angkasa, dalam batas-batas ketentuan pasal 1 dan 2.
2. Tiap-tiap warganegara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai
kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk
mendapat manfaat dan hasilnya baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.

Pasal 10
1. Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas Tanah pertanian
pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif,
dengan mencegah cara-cara pemerasan.
2. Pelaksanaan dari pada ketentuan dalam ayat (1) ini akan diatur lebih lanjut dengan
peraturan perundangan.
3. Pengecualian terhadap azas tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur dalam peraturan
perundangan.

Pasal 11
1. Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang
angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan
diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam pasal 2 ayat (3) dan dicegah
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas.
2. Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat di
mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan,

89
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis


lemah.
Pasal 12
1. Segala usaha bersama dalam lapangan agraria didasarkan atas kepentingan bersama
dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk koperasi atau bentuk-bentuk
gotong-royong lainnya.
2. Negara dapat bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha-usaha
dalam lapangan agraria.

Pasal 13
1. Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur
sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai
yang dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) serta menjamin bagi setiap warganegara
Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri
maupun keluarganya.
2. Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-
organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta.
3. Usaha-usaha Pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya
dapat diselenggarakan dengan Undang-undang.
4. Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial termasuk
bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria.

Pasal 14
1. Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 2 ayat 2 dan 3, pasal 9 ayat 2
serta passal 10 ayat 1 dan 2 Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia,
membuat suatu rencana umum mengenai persediaan, peruntukkan dan penggunaan
bumi, air dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya:
a. Untuk keperluan Negara;
b. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai
dengan dasar Ketuhanan Yang Maha Esa;
c. untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan lain-
lain kesejahteraan;
d. untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan
perikanan serta sejalan dengan itu;
e. untuk keperluan memperkembangkan industri, transmigrasi dan pertambangan.
2. Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (1) pasal ini dan mengingat
peraturan-peraturan yang bersangkutan, Pemerintah Daerah mengatur persediaan,
peruntukkan dan penggunaan bumi, air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai
dengan keadaan daerah masing-masing.
3. Peraturan Pemerintah Daerah yang dimaksud dala ayat (2) pasal ini berlaku setelah
mendapat pengesahan, mengenai Daerah Tingkat I dari Presiden, Daerah Tingkat II
dari Gubernur Kepala Daerah yang bersangkutan dan Daerah Tingkat III dari
Bupati/Walikota/Kepala Daerah yang bersangkutan.

90
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Pasal 15
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegahkerusakannya
adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai
hubungan-hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis
lemah.

Bab II
HAK-HAK ATAS TANAH, AIR DAN RUANG ANGKASA
SERTA PENDAFTARAN TANAH
Bagian I
Ketentuan-Ketentuan Umum

Pasal 16
1. Hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) ialah:
a. Hak milik,
b. Hak guna-usaha,
c. Hakguna-bangunan,
d. Hak sewa,
e. Hak membuka tanah,
f. Hak memungut hasil hutan,
g. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagai
yang disebutkan dalam pasal 53.
2. Hak-hak atas air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3)
ialah:
a. Hak guna-air,
b. Hak pemeliharan dan penangkapan ikan,
c. Hak guna-ruang-angkasa.

Pasal 17
1. Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 7 maka untuk mencapai tujuan yang
dimaksud dalam pasal 2 ayat (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah
yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal 16 oleh sat keluarga
atau badan hukum.
2. Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan
peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat.
3. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat
2 pasal ini diambil oleh Pemerintah dengan ganti kerugian, untuk selanjutnya
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam
Peraturan Pemerintah.
4. Tercapainya batas minimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini, yang akan ditetapkan
dengan peraturan perundangan, dilaksanakan secara berangsur-angsur.

91
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Pasal 18
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan
bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian
yang layak dan menurut cara yang diatur dengan Undang-undang.

Bagian II
Pendaftaran Tanah

Pasal 19
1. Untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah diadakan pendaftaran tanah
diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi:
a. Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah;
b. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c. Pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian
yang kuat
3. Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan Negara dan
masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial ekonomis serta kemungkinan
penyelenggaraannya, menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4. Dalam Peraturan Pemerintah diatur biaya-biaya yang bersangkutan dengan
pendaftaran termaksud dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang
tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya biaya tersebut.

Bagian III
Hak Milik

Pasal 20
1. Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai
orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam pasal 6.
2. Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 21
1. Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik.
2. Oleh Pemerintah ditetapkan badan-badan hukum yang dapat mempunyai hak milik
dan syarat-syaratnya.
3. Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh hak milik
karena pewarisan-tanpa-wasiat atau percapuran harta karena perkawinan, demikian
pula warganegara Indonesia yang mempunyai hak milik dan setelah berlakunya
undang-undang ini kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu di
dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut lampau hak milik itu
tidak dilepaskan, maka hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu tidak dilepaskan, maka hak

92
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

tersebut harus karena hukum dan tanahnya jatuh pada Negara, dengan ketentuan
bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
4. Selama seseorang di samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing maka ia tidak dapat mempunyai tanah dengan hak milik dan
baginya berlaku ketentuan dalam ayat (3) pasal ini.

Pasal 22
1. Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan Pemerintah.
2. Selain menurut cara sebagai yang dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hak milik terjadi
karena:
a. penetapan Pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah;
b. ketentuan undang-undang.

Pasal 23
1. Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan
hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam
pasal 19.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat (1) merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya hal milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.

Pasal 24
Penggunaan tanah-milik oleh bukan pemiliknya dibatasi dan diatur dengan peraturan
perundangan.

Pasal 25
Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Pasal 26
1. Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut
adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik
serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-
perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan
hak milik kepada orang asing, kepada seorang warganegara yang di samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing atau kepada
suatu badan hokum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud dalam pasal
21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan
ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta
semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.

Pasal 27
Hak milik hapus bila:
a. Tanahnya jatuh kepada Negara:
1. Karena pencabutan hak berdasarkan pasal 18;
2. Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya;

93
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

3. Karena diterlantarkan;
4. Karena ketentuan pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2) tanahnya musnah.
Bagian IV
Hak guna-usaha

Pasal 28
1. Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan.
2. Hak guna-usaha diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar, dengan
ketentuan bahwa jika luasnya 2 hektar atau lebih harus memakai investasi modal
yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, sesuai dengan perkembangan zaman.
3. Hak guna-usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 29
1. Hak guna-usaha diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
2. Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak
guna usaha-usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
3. Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka
waktu yang dimaksud dalam ayat 1 dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan
waktu paling lama 25 tahun.
Pasal 30
1. Yang dapat mempunyai hak guna-usaha ialah:
a. Warganegara Indonesia;
b. badan-hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
2. Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-usaha dan tidak lagi memenuhi
syarat-syarat sebagai yang tersebut dalam ayat 1 pasal ini dalam jangka waktu satu
tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-usaha,
jika ia tidak memenuhi syarat tersebut. Jika hak guna-usaha yang bersangkutan tidak
dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut maka hak itu hapus karena
hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 31
Hak guna-usaha terjadi karena penetapan Pemerintah.

Pasal 32
1. Hak guna-usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap
peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-
ketentuan yang dimaksud dalam pasal 19.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai peralihan serta hapusnya hak guna-usaha, kecuali dalam hak itu hapus
karena jangka waktunya berakhir.

Pasal 33

94
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Hak guna-usaha dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Pasal 34
Hak guna-usaha hapus karena:
a. Jangka waktunya berakhir;
b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. Dicabut untuk kepentingan umum;
e. Diterlantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g. Ketentuan dalam pasal 30 ayat (2)

Bagian V
Hak guna-bangunan

Pasal 35
1. Hak guna-bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-
bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama
30 tahun.
2. Atas permintaan pemegang hak dengan mengingat keperluan serta keadaan
angunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dalam ayat (1) dapat diperpanjang
dengan waktu paling lama 20 tahun.
3. Hak guna-bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.

Pasal 36
1. Yang dapat mempunyai hak guna-bangunan ialah:
a. Warganegara Indonesia;
b. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia.
2. Orang atau badan hukum yang mempunyai hak guna-bangunan dan tidak lagi
memenuhi syarat-syarat yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini dalam jangka waktu 1
tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi
syarat. Ketentuan ini berlaku juga terhadap pihak yang memperoleh hak guna-
bangunan, jika ia tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jika hak guna-bangunan
yang bersangkutan tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut,
maka hak itu hapus karena hukum, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain
akan diindahkan, menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.

Pasal 37
Hak guna-bangunan terjadi:
a. Mengenai tanah yang dikuasai langsung oleh Negara: karena penetapan Pemerintah;
b. Mengenai tanah milik : karena perjanjian yang berbentuk otentik antara pemilik
tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh hak guna-bangunan
itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut.

Pasal 38

95
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

1. Hak guna-bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap


peralihan dan hapusnya hak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan
yang dimaksud dalam pasal 19.
2. Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat
mengenai hapusnya hak guna-bangunan serta sahnya peralihan hak tersebut, kecuali
dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.

Pasal 39
Hak guna-bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.

Pasal 40
Hak guna-bangunan hapus karena:
a. Jangka waktunya berakhir;
b. Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi;
c. Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
d. Dicabut untuk kepentingan umum;
e. Diterlantarkan;
f. Tanahnya musnah;
g. Ketentuan dalam pasal 36 ayat (2)

Bagian VI
Hak Pakai

Pasal 41
1. Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.
2. Hak pakai dapat diberikan:
a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan yang tertentu;
b. Dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.
3. Pemberian hak pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-
unsur pemerasan.

Pasal 42
Yang dapat mempunyai hak pakai ialah:
a. Warga Negara Indonesia;
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Pasal 43

96
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

1. Sepanjang mengenai tanah yang dikuasai oleh Negara maka hak pakai hanya dapat
dialihkan kepada pihak lain dengan izin pejabat yang berwenang.
2. Hak pakai atas tanah milik hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, jika hal itu
dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan.

Bagian VII
Hak sewa untuk bangunan

Pasal 44
1. Seseorang atau suatu badan-hukum mempunyai hak sewa atas tanah, apabila ia
berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan
membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa.
2. Pembayaran uang sewa dapat dilakukan :
a. Satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu;
b. Sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
3. Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh disertai syarat-
syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan.

Pasal 45
Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah :
a. Warganegara Indonesia;
b. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia;
c. Badan-hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia;
d. Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.

Bagian VIII
Hak membuka-tanah dan memungut hasil hutan

Pasal 46
1. Hak membuka-tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dipunyai oleh
warganegara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan
sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu.

Bagian IX
Hak guna-air, pemeliharaan dan penangkapan ikan

Pasal 47
1. Hak guna-air ialah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau
mengalirkan air itu di atas tanah orang lain.
2. Hak guna-air serta pemeliharaan dan penangkapan ikan diatur dengan Peraturan
Pemerintah.

97
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Bagian X
Hak guna-ruang-angkasa

Pasal 48
1. Hak guna-ruang-angkasa memberi wewenang untuk mempergunakan tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa guna usaha-usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang terkandung
didalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan dengan itu.
2. Hak guna-ruang-angkasa diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian XI
Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan social

Pasal 49
1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk
usaha dalam bidang keagamaan dan sosal diakui dan dilindungi. Badan-badan
tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan
usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagai dimaksud dalam
pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dengan hak
pakai.
3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian XII
Ketentuan-ketentuan lain

Pasal 50
1. Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak milik diatur dengan undang-undang.
2. Ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak
pakai dan hak sewa untuk bangunan diatur dengan peraturan perundangan.

Pasal 51
Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna-usaha dan hak guna-
bangunan tersebut dalam pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan Undang-undang.

Bab III
KETENTUAN PIDANA

Pasal 52
1. Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan dalam pasal 15 dipidana dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp
10.000,-.
2. Peraturan Pemerintah dan peraturan perundangan yang dimaksud dalam pasal 19,
22, 24, 26 ayat 1, 46, 47, 48, 49 ayat 3 dan 50 ayat 2 dapat memberikan ancaman

98
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3


bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp10.000,-.
3. Tindak-pidana dalam ayat 1 dan 2 pasal ini adalah pelanggaran.

Bab IV
KETENTUAN-KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 53
1. Hak-hak yang sifatnya sementara sebagai yang dimaksud dalam pasal 16 ayat (1)
huruf h, ialah hak gadai, hak usaha-bagi-hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah
pertanian diatur untuk membatasi sifat-sifatnya yang bertentangan dengan Undang-
undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya di dalam waktu yang singkat.
2. Ketentuan dalam pasal 52 ayat (2) dan (3) berlaku terhadap peraturan-peraturan
yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 54
Berhubung karena ketentuan-ketentuan dalam pasal 21 dan 26, maka jika seseorang
yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan
Republik Rakyat Tiongkok telah menyatakan menolak kewarganegaraan Republik
Rakyat Tiongkok itu yang disahkan menurut peraturan perundangan yang
bersangkutan, ia dianggap hanya berkewarganegaraan Indonesia saja menurut pasal 21
ayat (1).

Pasal 55
1. Hak-hak asing yang menurut Ketentuan Konversi pasal I, II, III, IV dan V dijadikan
hak guna-usaha dan hak guna-bangunan hanya berlaku untuk sementara selama sisa
waktu hak-hak tersebut, dengan jangka waktu paling lama 20 tahun.
2. Hak guna-usaha dan hak guna-bangunan hanya terbuka kemungkinannya untuk
diberikan kepada badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya
bermodal asing, jika hal itu diperlukan oleh undang-undang yang mengatur
pembangunan nasional semesta berencana.

Pasal 56
Selama Undang-undang mengenai hak milik sebagai tersebut dalam pasal 50 ayat 1
belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan hukum adat setempat
dan peraturan-peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang
sebagaimana atau mirip dengan yang dimaksud dalam pasal 20, sepanjang tidak
bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Pasal 57
Selama Undang-undang mengenai hak-tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum
terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut
dalam S. 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan S. 1937-190.

Pasal 58
Selama peraturan-peraturan pelaksanaan Undang-undang ini belum terbentuk, maka
peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis mengenai bumi dan

99
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hak-hak atas tanah, yang ada
pada mulai berlakunya Undang-undang ini, tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan
dengan jiwa dari ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini serta diberi tafsiran
yang sesuai dengan itu.

KEDUA
KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI

Pasal I
1. Hak eigendom atas tanah yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini sejak
saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak memenuhi
syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
2. Hak eigendom kepunyaan Pemerintah Negara Asing, yang dipergunakan untuk
keperluan rumah kediaman Kepala Perwakilan dan gedung kedutaan, sejak mulai
berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat (1),
yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tersebut di
atas.
3. Hak eigendom kepunyaan orang asing, seorang warganegara yang di samping
kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan badan-
badan hukum, yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai dimaksud dalam pasal
21 ayat (2) sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak-guna-bangunan
tersebut dalam pasal 35 ayat (1) dengan jangka waktu 20 tahun.
4. Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (1) pasal ini dibebani dengan hak-erfpacht,
maka hak opstal dan hak erfpacht itu sejak mulai berlakunya Undang-undang ini
menjadi hak-guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat (1), yang membebani hak-
milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau hak erfpacht trsebut di
atas, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
5. Jika hak eigendom tersebut dalam ayat (3) pasal ini dibebani dengan hak opstal atau
hak erfpact, maka hubungan antara yang mempunyai hak eigendom tersebut dan
pemegang hak opstal atau hak erfpacht selanjutnya diselesaikan menurut pedoman
yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.
6. Hak-hak hypotheek, servituut, vruchtgebruik dan hak-hak lain yang membebani hak
eigendom tetap membebani hak-milik dan hak-guna-bangunan tersebut dalam ayat
(1) dan (3) pasal ini, sedang hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut Undang-
undang ini.

Pasal II
1. Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak
yang dimaksud dalam pasal 20 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di
bawah, yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu: hak agrarisch
eigendom, milik, yasan, andarbeni, hak atas druwe, hak atas druwe desa, pesini,
grant Sultan, landerijenbezitrecht, altijddurende erfpacht, hak-usaha atas bekas tanah
partikelir dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undnag-undang ini menjadi hak

100
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

milik tersebut dalam pasal 20 ayat (1), kecuali jika yang mempunyainya tidak
memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21.
2. Hak-hak tersebut dalam ayat 1 kepunyaan orang asing, warganegara yang di
samping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing dan
badan hukum yang tidak ditunjuk oleh Pemerintah sebagai yang dimaksud dalam
pasal 21 ayat 2 menjadi hak-guna-usaha atau hak-guna-bangunan sesuai dengan
peruntukan tanahnya, sebagai yang akan ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri
Agraria.

Pasal III
1. Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya
Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak-guna-usaha tersebut dalam pasal
28 ayat (1) yang akan berangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi
selama-lamanya 20 tahun.
2. Hak erfpacht untuk pertanian kecil yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang
ini, sejak saat tersebut hapus dan selanjutnya diselesaikan menurut ketentuan-
ketentuan yang diadakan oleh Menteri Agraria.

Pasal IV
1. Pemegang concessie dan sewa untuk perusahaan kebun besar dalam jangka waktu
satu tahun sejak mulai berlakunya Undang-undang ini harus mengajukan permintaan
kepada Menteri Agraria, agar haknya diubah menjadi hak guna usaha.
2. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau permintaan itu tidak diajukan, maka
concessie dan sewa yang bersangkutan berlangsung terus selama sisa waktunya,
tetapi paling lama lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.
3. Jika pemegang concessie atau sewa mengajukan permintaan termaksud dalam ayat
(1) pasal ini tetapi tidak bersedia menerima syarat-syarat yang ditentukan oleh
Menteri Agraria, ataupun permintaannya itu ditolak oleh Menteri Agraria, maka
concessie atau sewa itu berlangsung terus selama sisa waktunya, tetapi paling lama
lima tahun dan sesudah itu berakhir dengan sendirinya.

Pasal V
Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan, yang ada pada mulai berlakunya
Undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak-guna-bangunan tersebut dalam
pasal 35 ayat (1) yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan erfpacht tersebut,
tetapi selama-lamanya 20 tahun.

Pasal VI
Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang
dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) seperti yang disebut dengan nama sebagai di bawah,
yang ada pada mulai berlakunya Undang-undang ini, yaitu : hak vruchtgebruik,
gebruik, grant controleur, bruikleen, ganggam bauntuik, anggaduh, bengkok, lungguh,
pituwas, dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih lanjut
oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya Undang-undang ini menjadi hak pakai
tersebut dalam pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagaimana

101
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini,
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

Pasal VII
1. Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersift tetap yang ada pada mulai
berlakunya Undang-undang ini ini menjadi hak milik tersebut pada pasal 20 ayat (1).
2. Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai
tersebut pada pasal 41 ayat (1), yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai
yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya Undang-undang ini.
3. Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat
tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan.

Pasal VIII
1. Terhadap hak guna-bangunan tersebut pada pasal 1 ayat (3) dan (4), pasal II ayat (2)
dan pasal V berlaku ketentuan dalam pasal 36 ayat (2).
2. Terhadap hak-guna-usaha tersebut pasal II ayat 2, pasal III ayat (1) dan (2) dan pasal
IV ayat (1) berlaku ketentuan dalam pasal 30 ayat (2).

Pasal IX
Hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal di
atas diatur lebih lanjut oleh Menteri Agraria.

KETIGA
Perubahan susunan pemerintahan desa untuk menyelenggarakan perombakan hukum
agraria menurut Undang-undang ini akan diatur tersendiri.

KEEMPAT
A. Hak-hak dan wewenang-wewenang atas bumi dan air dari Swapraja atau bekas-
swapraja yang masih ada pada waktu mulai berlakunya Undang-undang ini hapus
dan beralih kepada Negara.
B. Hal-hal yang bersangkutan dengan ketentuan dalam huruf A di atas diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

KELIMA
Undang-undang ini dapat disebut Undang-Undang Pokok Agraria dan mulai berlaku
pada tanggal diundangkan.Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Diundangkan, Disahkan di Jakarta,


Pada tanggal 24 September 1960, pada tanggal 24 September 1960,
SEKRETARIS NEGARA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TTD TTD

(TAMZIL) (SUKARNO)

102
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

LEMBARAN NEGARA 1960-104


PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG No. 5 TAHUN 1960
TENTANG
PERATURAN DASAR POKOK-POKOK AGRARIA

A. PENJELASAN UMUM
I. Tujuan Undang-Undang Pokok Agraria.
Di dalam Negara Republik Indonesia, yang susunan kehidupan rakyatnya,
termasuk perekonomiannya, terutama masih bercorak agraris, bumi, air dan
ruang angkasa, sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang
amat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur sebagai
yang kita cita-citakan. Dalam pada itu hukum agraria yang berlaku sekarang ini,
yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting untuk membangun
masyarakat yang adil dan makmur tersebut, ternyata bahkan sebaliknya, dalam
banyak hal justru merupakan penghambat dari pada tercapainya cita-cita di atas.
Hal itu disebabkan terutama :
a. Karena hukum agraria yang berlaku sekarang ini sebagian tersusun
berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari pemerintah jajahan, dan sebagian
lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga bertentangan dengan kepentingan
rakyat dan Negara di dalam melaksanakan pembangunan semesta dalam
rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang ini;
b. Karena sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan itu hukum
agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya
peraturan-peraturan dari hukum-adat di samping peraturan-peraturan dari dan
yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain menimbulkan pelbagai
masalah antar-golongan yang serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita
persatuan Bangsa;
c. Karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin
kepastian hukum.
Berhubung dengan itu maka perlu adanya hukum agraria baru yang
nasional, yang akan mengganti hukum yang berlaku sekarang ini, yang tidak
lagi bersifat dualisme, yang sederhana dan yang menjamin kepastian hukum
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum agraria yang baru itu harus meberi kemungkinan akan tercapainya
fungsi bumi, air dan ruang angkasa sebagai yang dimaksudkan di atas dan harus
sesuai pula dengan kepentingan rakyat dan Negara serta memenuhi
keperluannya menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria. Lain dari
itu hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas
kerohanian Negara dan cita-cita Bangsa yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa,
Perikemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya
103
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

harus merupakan pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-


Undang Dasar dan Garis-garis besar dari pada haluan Negara yang tercantum di
dalam Manifesto Politik Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1959 dan
ditegaskan di dalam Pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1960.
Berhubung dengan segala sesuatu itu maka hukum yang baru tersebut
sendi-sendi dan ketentuan-ketentuan pokonya perlu disusun di dalam bentuk
Undang-undang, yang akan merupakan dasar bagi penyusunan peraturan
lainnya. Sungguh pun Undang-undang itu formil tiada bedanya dengan Undang-
undang lainnya - yaitu suatu peraturan yang dibuat oleh Pemerintah dengan
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tetapi mengingat akan sifatnya sebagai
peraturan dasar bagi hukum agraria yang baru, maka yang dimuat didalamnya
hanyalah azas-azas serta soal-soal pokok dalam garis besarnya saja dan oleh
karenanya disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Adapun pelaksanaannya
akan diatur di dalam berbagai Undang-undang, peraturan-peraturan Pemerintah
dan peraturan perundangan lainnya.
Demikianlah maka pada pokoknya tujuan Undang-Undang Pokok Agraria
ialah :
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang akan
merupakan alat untuk membawakan kemakmuran, kebahagiaan dan
keadilan bagi Negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam rangka
masyarakat yang adil dan makmur;
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan;
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hokum mengenai hak-
hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.

II. Dasar-dasar dari hukum agraria nasional


(1) Pertama-tama dasar kenasionalan itu diletakkan dalam pasal 1 ayat (1),
yang menyatakan, bahwa: “Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan
tanah-air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa
Indonesia” dan pasal 1 ayat (2) yang berbunyi bahwa: “Seluruh bumi, air
dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa,
adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan
kekayaan nasional”. Ini berarti bahwa bumi, air dan ruang angkasa dalam
wilayah Republik Indonesia yang kemerdekaannya diperjuangkan oleh
bangsa sebagai keseluruhan, menjadi hak pula dari bangsa Indonesia, jadi
tidak semata-mata menjadi hak dari para pemiliknya saja. Demikian pula
tanah-tanah di daerah-daerah dan pulau-pulau tidaklah semata-mata
menjadi hak rakyat asli dari daerah atau pulau yang bersangkutan saja.
Dengan pengertian demikian maka hubungan bangsa Indonesia dengan
bumi, air dan ruang angkasa Indonesia merupakan semacam hubungan hak
ulayat yang diangkat pada tingkatan yang paling atas, yaitu pada tingkatan
yang mengenai seluruh wilayah Negara. Adapun hubungan antara bangsa

104
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

dan bumi, air serta ruang angkasa Indonesia itu adalah hubungan yang
bersifat abadi (pasal 1 ayat 3). Ini berarti bahwa selama rakyat Indonesia
yang bersatu sebagai bangsa Indonesia masih ada dan selama bumi, air serta
ruang angkasa Indonesia itu masih ada pula, dalam keadaan yang
bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan
atau meniadakan hubungan tersebut. Dengan demikian maka biarpun
sekarang ini daerah Irian Barat, yang merupakan bagian dari bumi, air dan
ruang angkasa Indonesia berada di bawah kekuasaan penjajah, atas dasar
ketentuan pasal ini bagian tersebut menurut hukum tetap merupakan bumi,
air dan ruang angkasa bangsa Indonesia juga. Adapun hubungan antara
bangsa dan bumi, air serta ruang angkasa tersebut di atas tidak berarti,
bahwa hak milik perseorangan atas (sebagian dari) bumi tidak
dimungkinkan lagi. Di atas telah dikemukakan, bahwa hubungan itu adalah
semacam hubungan hak ulayat, jadi bukan berarti hubungan milik. Dalam
rangka hak ulayat dikenal adanya hak milik perseorangan.Kiranya dapat
ditegaskan bahwa dalam hukum agraria yang baru dikenal pula hak milik
yang dapat dipunyai seseorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan
orang-orang lain atas bagian dari bumi Indonesia (pasal 4 jo pasal 20).
Dalam pada itu hanya permukaan bumi saja, yaitu yang disebut tanah, yang
dapat dihaki oleh seseorang.
Selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang
dapat dipunyai orang atas tanah, diadakan pula hak guna-usaha, hak guna-
bangunan, hak-pakai, hak sewa dan hak-hak lainnya yang akanditetapkan
dengan Undang-undang lain (pasal 4 jo 16). Bagaimana kedudukan hak-hak
tersebut dalam hubungannya dengan hak bangsa (dan Negara) itu akan
diuraikan dalam nomor 2 di bawah.
(2) “Azas domein” yang dipergunakan sebagai dasar dari pada perundang-
undangan agraria yang berasal dari Pemerintah jajahan tidak dikenal dalam
hukum agraria yang baru. Azas domein adalah bertentangan dengan
kesadaran hukum rakyat Indonesia dan azas dari pada Negara yang
merdeka dan modern. Berhubung dengan ini azas tersebut, yang dipertegas
dalam berbagai ”pernyataan domein”, yaitu misalnya dalam pasal 1
Agrarisch Besluit (S. 1870-118), S. 1875-119a, S. 1874-94f, S. 1877-55 dan
S. 1888-58 ditinggalkan dan pernyataan-pernyataan domein itu dicabut
kembali. Undang-Undang Pokok Agraria berpangkal pada pendirian, bahwa
untuk mencapai apa yang ditentukan dalam pasal 33 ayat 3 Undang-Undang
Dasar tidak perlu dan tidaklah pula pada tempatnya, bahwa bangsa
Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah. Adalah lebih
tepat jika Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa)
bertindak selaku Badan Penguasa. Dari sudut inilah harus dilihat arti
ketentuan dalam pasal 2 ayat (1) yang menyatakan, bahwa “Bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
pada tingkatan yang tertinggi dikuasai oleh Negara”. Sesuai dengan pangkal
pendirian tersebut di atas perkataan “dikuasai” dalam pasal ini bukanlah
105
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

berarti “dimiliki”, akan tetapi adalah pengertian, yang memberi wewenang


kepada Negara, sebagai organisasi kekuasaan dari Bangsa Indonesia itu,
untuk pada tingkatan yang tertinggi:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaannya;
b. Menentukan dan mengatur hak-hak yang dapat dipunyai atas (bagian
dari) bumi, air dan ruang angkasa itu;
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan
ruang angkasa.

Segala sesuatunya dengan tujuan untuk mencapai sebesar-besar


kemakmuran rakyat dalam rangka masyarakat yang adil dan makmur (pasal
2 ayat 2 dan 3). Adapun kekuasaan Negara yang dimaksudkan itu
mengenai semua bumi, air dan ruang angkasa, jadi baik yang sudah dihaki
oleh seseorang maupun yang tidak.Kekuasaan Negara mengenai tanah yang
sudah dipunyai orang dengan sesuatu hak dibatasi oleh isi dari hak itu,
artinya sampai seberapa Negara memberi kekuasaan kepada yang
mempunyainya untuk menggunakan haknya, sampai di situlah batas
kekuasaan Negara tersebut.Adapun isi hak-hak itu serta pembatasan-
pembatasannya dinyatakan dalam pasal 4 dan pasal-pasal berikutnya serta
pasal-pasal dalam Bab II.Kekuasaan Negara atas tanah yang tidak dipunyai
dengan sesuatu hak oleh seseorang atau pihak lainnya adalah lebih luas dan
penuh. Dengan berpedoman pada tujuan yang disebutkan di atas Negara
dapat memberikan tanah yang demikian itu kepada seseorang atau badan-
hukum dengan sesuatu hak menurut peruntukan dan keperluannya,
misalnya hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan atau hak pakai
atau memberikannya dalam pengelolaan kepada sesuatu Badan Penguassa
(Departemen, Jawatan atau Daerah Swatantra) untuk dipergunakan bagi
pelaksanaan tugasnya masing-masing (passal 2 ayat 4). Dalam pada itu
kekuasaan Negara atas tanah-tanah inipun sedikit atau banyak dibatasi pula
oleh hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, sepanjang
menurut kenyataannya hak ulayat itu masih ada, hal mana akan diuraikan
lebih lanjut dalam nomor 3 di bawah ini.
(3). Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan
Negara sebagai yang disebut dalam pasal 1 dan 2 maka di dalam pasal 3
diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang
sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini. Passal 3 itu menentukan,
bahwa: “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya
masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan
nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak

106
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

boleh bertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain


yang lebih tinggi”.
Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat
itu dalam hukum-agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun
menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan
pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut
diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di
dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada zaman
penjajahan dulu sering kali diabaikan.Berhubung dengan disebutnya hak
ulayat di dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya
berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan
diperhatikan, sepanjang hak tersebut menurut kenyataannya memang masih
ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam
pemberian sesuatu hak atas tanah (umpamanya hak guna-usaha) masyarakat
hukum yang bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan
akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku
pemegang hak ulayat itu. Tetapi sebaliknya tidaklah dapat dibenarkan, jika
berdasarkan hak ulayat itu masyarakat hukum tersebut menghalang-halangi
pemberian hak guna-usaha itu, sedangkan pemberian hak tersebut di daerah
itu sungguh perlu untuk kepentingan yang lebih luas. Demikian pula
tidaklah dapat dibenarkan jika sesuatu masyarakat hukum berdasarkan hak
ulayatnya, misalnya menolak begitu saja dibukanya hutan secara besar-
besaran dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar dalam
rangka pelaksanaan rencana menambah hasil bahan makanan dan
pemindahan penduduk. Pengalaman menunjukkan pula, bahwa
pembangunan daerah-daerah itu sendiri sering kali tehambat karena
mendapat kesukaran mengenai hak ulayat. Inilah yang merupakan pangkal
pikiran kedua dari pada ketentuan pasal 3 tersebut di atas. Kepentingan
sesuatu masyarakat hukum harus tunduk pada kepentingan nasional dan
Negara yang lebih luas dan hak ulayatnya pun pelaksanaannya harus sesuai
dengan kepentingan yang lebih luas itu. Tidaklah dapat dibenarkan, jika di
dalam alam bernegara dewasa ini sesuatu masyarakat hukum masih
mempertahankan isi dan pelaksanaan hak ulayatnya secara mutlak, seakan-
akan ia terlepas dari pada hubungannya dengan masyarakat-masyarakat
hukum dan daerah-daerah lainnya di dalam lingkungan Negara sebagai
kesatuan. Sikap yang demikian terang bertentangan dengan azas pokok
yang tercantum dalam pasal 2 dan dalam prakteknya pun akan membawa
akibat terhambatnya usaha-usaha besar untuk mencapai kemakmuran
Rakyat seluruhnya. Tetapi sebagaimana telah jelas dari uraian di atas, ini
tidak berarti, bahwa kepentingan masyarakat hukum yang bersangkutan
tidak akan diperhatikan sama sekali.
(4). Dasar yang keempat diletakkan dalam passal 6, yaitu bahwa : “Semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Ini berarti, bahwa hak atas tanah
apapun yang ada pada seseorang, tidaklah dapat dibenarkan, bahwa
107
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

tanahnya itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan) semata-mata


untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu menimbulkan kerugian
bagi masyarakat. Penggunaan tanah harus disesuaikan dengan keadaannya
dan sifat dari pada haknya, hingga bermanfaat baik bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi
masyarakat dan Negara. Tetapi dalam pada itu ketentuan tersebut tidak
berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh
kepentingan umum (masyarakat). Undang-Undang Pokok Agraria
memperhatikan pula kepentingan-kepentingan perseorangan.
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok :
kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya (pasal 2
ayat 3). Berhubung dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang
sewajarnya bahwa tanah itu harus dipelihara baik-baik, agar bertambah
kesuburannya serta dicegah kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini
tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau pemegang haknya yang
bersangkutan, melainkan menjadi beban pula dari setiap orang, badan-
hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan hukum dengan tanah
itu (pasal 15). Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan
kepentingan pihak yang ekonomis lemah.
(5). Sesuai dengan azas kebangsaan tersebut dalam pasal 1 maka menurut pasal
9 jo pasal 21 ayat 1 hanya warganegara Indonesia saja yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik kepada orang asing dilarang
(pasal 26 ayat 2). Orang-orang asing dapat mempunyai tanah dengan hak
pakai yang luasnya terbatas. Demikian juga pada dasarnya badan-badan
hukum tidak dapat mempunyai hak milik (pasal 21 ayat 2). Adapun
pertimbangan untuk (pada dasarnya) melarang badan-badan hukum
mempunyai hak milik atas tanah, ialah karena badan-badan hukum tidak
perlu mempunyai hak milik tetapi cukup hak-hak lainnya, asal saja ada
jaminan-jaminan yang cukup bagi keperluan-keperluannya yang khusus
(hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai menurut pasal 28, 35 dan
41). Dengan demikian maka dapat dicegah usaha-usaha yang bermaksud
menghindari ketentuan-ketentuan mngenai batas maksimum luas tanah
yang dipunyai dengan hak milik (pasal 17). Meskipun pada dasarnya
badan-badan hukum tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi
mengingat akan keperluan masyarakat yang sangat erat hubungannya
dengan faham keagamaan, sosial dan hubungan perekonomian, maka
diadakanlah suatu “escape clause” yang memungkinkan badan-badan
hukum tertentu mempunyai hak milik. Dengan adanya “escape clause” ini
maka cukuplah nanti bila ada keperluan akan hak milik bagi sesuatu atau
sesuatu macam badan hukum diberikan dispensasi oleh Pemerintah, dengan
jalan menunjuk badan hukum tersebut sebagai badan hukum yang dapat
mempunyai hak milik atas tanah (pasal 21 ayat 2). Badan-badan hukum
yang bergerak dalam lapangan sosial dan keagamaan ditunjuk dalam pasal
108
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

49 sebagai badan-badan yang dapat mempunyai hak milik atas tanah, tetapi
sepanjang tanahnya diperlukan untuk usahanya dalam bidang sosial dan
keagamaan itu. Dalam hal-hal yang tidak langsung berhubungan dengan
bidang itu mereka dianggap sebagai badan hukum biasa.
(6) Kemudian dalam hubungannya pula dengan azas kebangsaan tersebut di
atas ditentukan dalam pasal 9 ayat 2 bahwa : “Tiap-tiap warga negara
Indonesia baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama
untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat
dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya.” Dalam pada itu
perlu diadakan perlindungan bagi golongan warganegara yang lemah
terhadap sesama warga-negara yang kuat kedudukan ekonominya. Maka di
dalam pasal 26 ayat 1 ditentukan bahwa : “Jual beli, penukaran,
penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang
dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.” Ketentuan inilah yang akan merupakan alat
untuk melindungi golongan-golongan yang lemah yang dimaksudkan itu.
Dalam hubungan itu dapat ditunjuk pula pada ketentuan-ketentuan yang
dimuat dalam pasal 11 ayat 1, yang bermaksud mencegah terjadinya
penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas
dalam bidang-bidang usaha agraria, hal mana bertentangan dengan azas
keadilan sosial yang berperikemanusiaan. Segala usaha bersama dalam
lapangan agraria harus didasarkan atas kepentingan bersama dalam rangka
kepentingan nasional (pasal 12 ayat 1) dan Pemerintah berkewajiban untuk
mencegah adanya organisasi dan usaha-usaha perseorangan dalam lapangan
agraria yang bersifat monopoli swasta (pasal 13 ayat 2). Bukan saja usaha
Swasta, tetapi juga usaha-usaha Pemerintah yang bersifat monopoli harus
dicegah jangan sampai merugikan rakyat banyak.Oleh karena itu usaha-
usaha Peerintah yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan
dengan Undang-undang (pasal 13 ayat 3).
(7). Dalam pasal 10 ayat 1 dan 2 dirumuskan suatu azas yang pada dewasa ini
sedang menjadi dasar dari pada perubahan-perubahan dalam struktur
pertanahan hampir di seluruh dunia, yaitu di negara-negara yang
telah/sedang menyelenggarakan apa yang disebut “landreform” atau
“agrarian reform” yaitu, bahwa “Tanah pertanian harus dikerjakan atau
diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendirinya”.
Agar supaya semboyan ini dapat diwujudkan perlu diadakan ketentuan-
ketentuan lainnya. Misalnya perlu ada ketentuan tentang batas minimum
luas tanah yang harus dimiliki oleh orang tani, supaya ia mendapat
penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan
keluarganya (pasal 13 jo pasal 17). Pula perlu ada ketentuan mengenai batas
maksimum luas tanah yang boleh dipunyai dengan hak milik (pasal 17),
agar dicegah tertumpuknya tanah ditangan golongan-golongan yang tertentu
saja.Dalam hubungan ini pasal 7 memuat suatu azas yang penting, yaitu
bahwa pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak
109
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

diperkenankan, karena hal yang demikian itu adalah merugikan kepentingan


umum. Akhirnya ketentuan itu perlu dibarengi pula dengan pemberian
kredit, bibit dan bantuan-bantuan lainnya dengan syarat-syarat yang ringan,
sehingga pemiliknya tidak akan terpaksa bekerja dalam lapangan lain,
dengan menyerahkan penguasaan tanahnya kepada orang lain. Dalam pada
itu mengingat akan susunan masyarakat pertanian kita sebagai sekarang ini
kiranya sementara waktu yang akan datang masih perlu dibuka
kemungkinan adanya penggunaan tanah pertanian oleh orang-orang yang
bukan pemiliknya, misalnya secara sewa, bagi-hasil, gadai dan lain
sebagainya. Tetapi segala sesuatu harus diselenggarakan menurut
ketentuan-ketentuan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya, yaitu
untuk mencegah hubungan-hubungan hukum yang bersifat penindasan si
lemah oleh si kuat (pasal 24, 41 dan 53). Begitulah misalnya pemakaian
tanah atas dasar sewa, perjanjian bagi-hasil, gadai dan sebagainya itu tidak
boleh diserahkan pada persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan sendiri
atas dasar “freefight”, akan tetapi penguasa akan memberi ketentuan-
ketentuan tentang cara dan syarat-syaratnya, agar dapat memenuhi
pertimbangan keadilan dan dicegah cara-cara pemerasan (“exploitation de
l’homme par l’homme). Sebagai misal dapat dikemukakan ketentuan-
ketentuan di dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1960 tentang “Perjanjian
Bagi Hasil” (L.N. 1960-2).
Ketentuan pasal 10 ayat 1 tersebut adalah suatu azas, yang pelaksanaannya
masih memerlukan pengaturan lebih lanjut (ayat 2).Dalam keadaan susunan
masyarakat kita sebagai sekarang ini maka peraturan pelaksanaan itu nanti
kiranya masih perlu membuka kemungkinan diadakannya
dispensasi.Misalnya seorang pegawai negeri yang untuk persediaan hari
tuanya mempunyai tanah satu dua hektar dan berhubung dengan
pekerjaannya tidak mungkin dapat mengusahakannya sendiri kiranya harus
dimungkinkan untuk terus memiliki tanah tersebut. Selama itu tanahnya
boleh diserahkan kepada orang lain untuk diusahakan dengan perjanjian
sewa, bagi-hasil dan lain sebagainya. Tetapi setelah ia tidak bekerja lagi,
misalnya setelah pensiun, tanah itu harus diusahakannya sendiri secara aktif
(ayat 3).
(8). Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara
tersebut di atas dalam bidang agraria, perlu adanya suatu rencana
(“planning”) mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air
dan ruang angkasa untuk pelbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara:
Rencana Umum (“National planning”) yang meliputi seluruh wilayah
Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus
(“regional planning”) dari tiap-tiap daerah (pasal 14). Dengan adanya
palnning itu maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan
teratur hingga dapat membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara
dan rakyat.

110
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

III. Dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan hukum.


Dasar-dasar untuk mencapai tujuan tersebut nampak jelas di dalam
ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Bab II.
(1) Sebagaimana telah diterangkan di atas hukum agraria sekarang ini
mempunyai sifat “dualisme” dan mengadakan perbedaan antara hak-hak
tanah menurut hukum-adat dan hak-hak tanah menurut hukum barat, yang
berpokok pada ketentuan-ketentuan dalam Buku II Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata Indonesia. Undang-Undang Pokok Agraria bermaksud
menghilangkan dualisme itu dan secara sadar hendak mengadakan kesatuan
hukum, sesuai dengan keinginan rakyat sebagai bangsa yang satu dan sesuai
pula dengan kepentingan perekonomian. Dengan sendirinya hukum
agraria baru itu harus sesuai dengan kesadaran hukum dari pada rakyat
banyak. Oleh karena rakyat Indonesia sebagian besar tuduk pada hukum
adat, maka hukum agraria yang baru tersebut akan di dasarkan pula pada
ketentuan-ketentuan hukum adat itu, sebagai hukum yang asli, yang
disempurnakan dan disesuaikan dengan kepentingan masyaakat dalam
Negara yang modern dan dalam hubungannya dengan dunia internasional,
serta disesuaikan dengan sosialisme Indonesia. Sebagaimana dimaklumi
maka hukum adat dalam pertumbuhannya tidak terlepas pula dari pengaruh
politik dan masyarakat kolonial yang kapitalis dan masyarakat swapraja
yang feodal.
(2) Di dalam menyelenggarakan kesatuan hukum itu Undang-Undang Pokok
Agraria tidak menutup mata terhadap masih adanya perbedaan dalam
keadaan masyarakat dan keperluan hukum dari golongan-golongan rakyat.
Berhubung dengan itu ditentukan dalam pasal 11 ayat 2, bahwa :
“Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan
rakyat di mana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
diperhatikan”. Yang dimaksud dengan perbedaan yang didasarkan atas
golongan rakyat misalnya perbedaan dalam keperluan hukum rakyat kota
dan rakyat pedesaan, pula rakyat ekonominya kuat dan rakyat yang lemah
ekonominya. Maka ditentukan dalam ayat 2 tersebut selanjutnya, bahwa
dijamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis
lemah.
(3) Dengan hapusnya perbedaan antara hukum-adat dan hukum-barat dalam
bidang hukum agraria, maka maksud untuk mencapai kesederhanaan
hukum pada hakekatnya akan terselenggara pula. Sebagai yang telah
diterangkan di atas, selain hak milik sebagai hak turun-temurun, terkuat dan
terpenuh yang dapat dipunya orang atas tanah, hukum agraria yang baru
pada pokoknya mengenai hak-hak atas tanah menurut hukum adat sebagai
yang disebut dalam pasal 16 ayat 1 huruf d sampai dengan g. Adapun untuk
memenuhi keperluan yang telah terasa dalam masyarakat kita sekarang
diadakan 2 hak baru, yaitu hak guna-usaha (guna perusahaan pertanian,

111
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

perikanan dan peternakan) dan hak guna-bangunan (guna


mendirikan/mempunyai bangunan di atas tanah orang lain) (pasal 16 ayat 1
huruf b dan e).
Adapun hak-hak yang pada mulai berlakunya Undang-undang ini semuanya
akan dikonversi menjadi salah satu hak yang baru menurut Undang-Undang
Pokok Agraria.

IV. Usaha yang menuju kearah kepastian hak atas tanah ternyata dari
ketentuan dari pasal-pasal yang mengatur pendaftaran tanah.
Pasal 23, 32 dan 38 ditujukan kepada para pemegang hak yangbersangkutan,
dengan maksud agar mereka memperoleh kepastian tentang haknya itu.
Sedangkan pasal 19 ditujukan kepada Pemerintah sebagai suatu instruksi, agar
diseluruh wilayah Indonesia diadakan pendaftaran tanah yang bersifat “rechts-
kadaster”, artinya yang bertujuan menjamin kepastian hukum.
Adapun pendaftaran itu akan diselenggarakan dengan mengingat pada
kepentingan serta keadaan Negara dan masyarakat, keperluan lalu-lintas sosial
ekonomi dan kemungkinan-kemungkinannya dalam bidang personil dan
peralatannya. Oleh karena itu maka akan didahulukan penyelenggaraannya di
kota-kota untuk lambat laun meningkat pada kadaster yang meliputi seluruh
wilayah Negara.
Sesuai dengan tujuannya yaitu akan memberikan kepastian hukum, maka
pendaftaran itu diwajibkan bagi para pemegang hak yang bersangkutan. Jika
tidak diwajibkan maka diadakannya pendaftaran tanah, yang terang akan
memerlukan banyak tenaga, alat dan biaya itu, tidak akan ada artinya sama
sekali.

B. PENJELASAN PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1). Dalam Undang-Undang
Pokok Agraria diadakan perbedaan antara pengertian “bumi” dan “tanah”, sebagai
yang dirumuskan dalam pasal 1 ayat 3 dan passal 4 ayat 1. Yang dimaksud dengan
“tanah” ialah permukaan bumi. Perluasan pengertian “bumi” dan “air” dengan ruang
angkasa adalah bersangkutan dengan kemajuan tehnik dewasa ini dan kemungkinan-
kemungkinannya dalam waktu-waktu yang akan datang.

Pasal 2
Sudah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 2).Ketentuan dalam ayat 4
adalah bersangkutan dengan azas otonomi dan medebewind dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah.Soal agraria menurut sifatnya dan pada azasnya merupakan tugas
Pemerintah Pusat (pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar).Dengan demikian maka
pelimpahan wewenang untuk melaksanakan hak penguasaan dari Negara atas tanah
itu adalah merupakan medebewind. Segala sesuatunya akan diselenggarakan
menurut keperluannya dan sudah barang tentu tidak boleh bertentangan dengan

112
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

kepentingan nasional. Wewenang dalam bidang agraria dapat merupakan sumber


keuangan bagi daerah itu. Yang dimaksud dengan “ hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu” ialah apa yang di dalam perpustakaan adat disebut
“beschikkingsrecht”. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (II angka 3).

Pasal 4
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 1).

Pasal 5
Penegasan bahwa hukum adat dijadikan dasar dari hukum agraria yang
baru.Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1).

Pasal 6
Tidak hanya hak milik tetapi semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.Hal ini
telah diuraikan dalam Penjelasan Umum (II angka 4).

Pasal 7
Azas yang menegaskan dilarangnya “groot-grondbezit” sebagai yang telah diuraikan
dalam Penjelasan Umum (II angka 7).Soal pembatasan itu diatur lebih lanjut dalam
pasal 17.Terhadap azas ini tidak ada pengecualiannya.

Pasal 8
Karena menurut ketentuan dalam pasal 4 ayat 2 hak-hak atas tanah itu hanya
memberi hak atas permukaan bumi saja, waka wewenang-wewenang yang
bersumber dari padanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang
terkandung di dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Oleh karena itu maka
pengambilan kekayaan yang dimaksudkan itu memerlukan pengaturan
tersendiri.Ketentuan ini merupakan pangkal bagi perundang-undangan
pertambangan dan lain-lainnya.

Pasal 9
Ayat 1 telah dijelaskan dalam Penjelassan Umum (II angka 5).Ketentuan dalam ayat
2 adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 1 ayat 1 dan 2.

Pasal 10
Sudah dijelaskan di dalam Penjelasan Umum (II angka 7).Kata-kata “pada asasnya”
menunjuk pada kemungkinan diadakannya pengecualian-pengecualian sebagai yang
disebutkan sebagai misal di dalam Penjelasan Umum itu.Tetapi pengecualian-
pengecualian itu perlu diatur di dalam peraturan perundangan (Bandingkan
penjelasan pasal 7). Penggunaan tanah milik oleh bukan pemiliknya masih
dimungkinkan oleh pasal 24, tetapi dibatasi dan akan diatur.

Pasal 11

113
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Pasal ini memuat prinsip perlindungan kepada golongan yang ekonomis lemah
terhadap yang kuat.Golongan yang ekonomis.lemah itu bisa warganegara asli
maupun keturunan asing. Demikian pula sebaliknya. Lihat Penjelasan Umum (III
angka 2).

Pasal 12
Ketentuan dalam ayat 1 bersangkutan dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal 11
ayat 1.Bentuk usaha bersama yang sesuai dengan ketentuan ini adalah bentuk
koperasi dan bentuk-bentuk gotong-royong lainnya.Ketentuan dalam ayat 2 memberi
kemungkinan diadakannya suatu “usaha bersama” antara Negara dan Swasta dalam
bidang agraria.Yang dimaksud dengan “pihak lain” itu ialah Pemerintah Daerah,
pengusaha swasta yang bermodal nasional atau swasta dengan “domestic-capital”
yang progressip.

Pasal 13
Ayat 1, 2 dan 3. Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka6).Ketentuan
dalam ayat 4 adalah pelaksanaan daripada azas keadilan sosial yang
berperikemanusiaan dalam bidang agraria.

Pasal 14
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,
air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam Penjelasan Umum (II
angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara di kemudian hari di mana
industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka di samping
perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan
pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud
menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan
pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya.Pengesahan peraturan
Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.

Pasal 15
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 4).Tanah wajib dipelihara
dengan baik, yaitu dipelihara menurut cara-cara yang lazim dikerjakan di daerah
yang bersangkutan, sesuai dengan petunjuk-petunjuk dari Jawatan-jawatan yang
bersangkutan.

Pasal 16
Pasal ini adalah pelaksanaan daripada ketentuan dalam pasal 4. Sesuai dengan azas
yang diletakkan dalam pasal 5, bahwa hukum pertanahan yang Nasional didasarkan
atas hukum adat maka penentuan hak-hak atas tanah dan air dalam pasal ini
didasarkan pula atas sistematik dari hukum adat. Dalam pada itu hak guna-usaha dan
hak-guna-bangunan diadakan untuk memenuhi keperluan masyarakat modern
dewasa ini.Perlu kiranya ditegaskan bahwa hak guna-usaha bukan hak erfpacht dari

114
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.Hak guna-bangunan bukan hak


opstal.Lembaga erfpacht dan opstal ditiadakan dengan dicabutnya ketentuan-
ketentuan dalam Buku ke II Kitab Undang-Undang HukumPerdata. Dalam pada itu
hak-hak adat yang sifatnya bertentangan dengan ketentuan-ketentuan Undang-
undang ini (pasal 7 dan 10) tetapi berhubung dengan keadaan masyarakat sekarang
ini belum dapat dihapuskan, diberi sifat sementara dan akan diatur (ayat 1 huruf h jo
pasal 53).

Pasal 17
Ketentuan pasal ini merupakan pelaksanaan daripada yang ditentukan dalam pasal 7.
Penetapan batas luas maksimum akan dilakukan di dalam waktu yang singkat
dengan peraturan perundangan. Tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas
maksimum itu tidak akan disita, tetapi akan diambil oleh Pemerintah dengan ganti-
kerugian. Tanah-tanah tersebut selanjutnya akan dibagi-bagikan kepada rakyat
yang membutuhkannya. Ganti kerugian kepada bekas pemilik tersebut di atas pada
azasnya harus dibayar oleh mereka yang memperoleh bagian tanah itu. Tetapi oleh
karena mereka itu umumnya tidak mampu untuk membayar harga tanahnya di dalam
waktu yang singkat, maka oleh Pemerintah akan disediakan kredit dan usaha-usaha
lain supaya para bekas pemilik tidak terlalu lama menunggu uang ganti-kerugian
yang dimaksudkan itu. Ditetapkannya batas minimum tidaklah berarti bahwa orang-
orang yang mempunyai tanah kurang dari itu akan dipaksa untuk melepaskan
tanahnya. Penetapan batas minimum itu pertama-tama dimaksudkan untuk
mencegah pemecah belahan (“versplintering”) tanah lebih lanjut. Di samping itu
akan diadakan usaha-usaha misalnya : transmigrasi, pembukaan tanah besar-besaran
di luar Jawa dan industrialisasi, supaya batas minimum tersebut dapat dicapai secara
berangsur-angsur.Yang dimaksud dengan “keluarga” ialah suami, isteri serta anak-
anaknya yang belum kawin dan menjadi tanggungannya dan yang jumlahnya
berkisar sekitar 7 orang.Baik laki-laki maupun wanita dapat menjadi kepala
keluarga.

Pasal 18
Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas
tanah.Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya
harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak.

Pasal 19
Pendaftaran tanah ini akan diselenggarakan dengan cara yang sederhana dan mudah
dimengerti serta dijalankan oleh rakyat yang bersangkutan (Lihat Penjelasan Umum
IV).

Pasal 20
Dalam pasal ini disebutkan sifat-sifat daripada hak milik yang membedakannya
dengan hak-hak lainnya.Hak milik adalah hak yang “terkuat dan terpenuh” yang
dapat dipunyai orang atas tanah. Pemberian sifat ini tidak berarti, bahwa hak itu

115
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

merupakan hak yang “mutlak, tak terbatas dan tidak dapat diganggu gugat” sebagai
hak eigendom menurut pengertiannya yang asli dulu. Sifat yang demikian akan
terang bertentangan dengan sifat hukum adat dan fungsi sosial dari tiap-tiap hak.
Kata-kata “terkuat dan terpenuh” itu bermaksud untuk membedakannya dengan hak
guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai dan lain-lainnya, yaitu untuk
menunjukkan, bahwa diantara hak-hak atas tanah yang dapat dipunyai orang hak
miliklah yang “ter” (artinya : paling) kuat dan terpenuh.

Pasal 21
Ayat 1 dan 2 sudah diuraikan dalam Penjelasan mum (II angka 5). Dalam ayat 3
hanya disebut 2 cara memperoleh hak milik karena lain-lain cara dilarang oleh pasal
26 ayat 2. Adapun cara-cara yang disebut dalam ayat ini adalah cara-cara
memperoleh hak tanpa melakukan sesuatu tindakan positif yang sengaja ditujukan
pada terjadinya peralihan, hak itu. Sudah selayaknya kiranya bahwa selama orang-
orang warganegara membiarkan diri di samping kewarganegaraan Indonesianya
mempunyai kewarganegaraan Negara lain, dalam hal pemilikan tanah ia dibedakan
dari warganegara Indonesia lainnya.

Pasal 22
Sebagai misal dari cara terjadinya hak milik menurut hukum adat ialah pembukaan
tanah. Cara-cara itu akan diatur supaya tidak terjadi hal-hal yang merugikan
kepentingan umum dan Negara.

Pasal 23
Sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (angka IV).

Pasal 24
Sebagai pengecualian dari azas yang dimuat dalam pasal 10. Bentuk-bentuk
hubungan antara pemilik dan penggarap/pemakai itu ialah misalnya : sewa, bagi
hasil atau hak guna bangunan.
Pasal 25
Tanah milik yang dibebani hak tanggungan ini tetap ditangani pemiliknya.Pemilik
tanah yang memerlukan uang dapat pula (untuk sementara) menggadaikan tanahnya
menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 53.Di dalam hal ini maka tanahnya beralih
pada pemegang gadai.

Pasal 26
Ketentuan dalam ayat 1 sudah dijelaskan dalam Penjelasan Umum (II angka 6)
dengan tujuan untuk melindungi pihak yang ekonomis lemah.Dalam Undang-
Undang Pokok ini perbedaannya tidak lagi diadakan antara warganegara asli dan
tidak asli, tetapi antara ekonomis kuat dan lemah.Pihak yang kuat itu bisa
warganegara yang asli maupun tidak asli. Sedang apa yang disebut dalam ayat 2
adalah akibat daripada ketentuan dalam pasal 21 mengenai siapa yang tidak dapat
memiliki tanah.

116
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Pasal 27
Tanah diterlantarkan kalau dengan sengaja tidak dipergunakansesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya.

Pasal 28
Hak ini adalah hak yang khusus untuk mengusahakan tanah yang bukan miliknya
sendiri guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.Bedanya dengan hak
pakai ialah bahwa hak guna usaha ini hanya dapat diberikan untuk keperluan di atas
itu dan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 hektar. Berlainan dengan hak pakai
maka hak guna usaha dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain dan dapat
dibebani dengan hak tanggungan. Hak guna usaha pun tidak dapat diberikan kepada
orang-orang asing, sedang kepada badan-badan hukum yang bemodal asing hanya
mungkin dengan pembatasan yang disebutkan dalam pasal 55.Untuk mendorong
supaya pemakaian dan pengusahaan tanahnya dilakukan dengan efisien, maka
ditentukan bahwa mengenai tanah yang luasnya 25 hektar atau lebih harus ada
investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik.Ini tidak berarti bahwa
tanah-tanah yang luasnya kurang dari 25 hektar itu pengusahaannya boleh dilakukan
secara yang tidak baik, karena di dalam hal yang demikian hak guna usahanya dapat
dicabut (pasal 34).

Pasal 29
Menurut sifat dan tujuannya hak guna usaha adalah hak yang waktu berlakunya
terbatas. Jangka waktu 25 atau 35 tahun dengan kemungkinan memperpanjang
dengan 25 tahun dipandang sudah cukup lama untuk keperluan pengusahaan
tanaman-tanaman yang berumur panjang. Penetapan jangka waktu 35 tahun
misalnya mengingat pada tanaman kelapa sawit.

Pasal 30
Hak guna-usaha tidak dapat dipunyai oleh orang asing.Badan-badan hukum yang
dapat mempunyai hak itu hanyalah badan-badan hukum yang bermodal nasional
yang progresip, baik asli maupun tidak asli.Bagi badan-badan hukum yang bermodal
asing hak guna usaha hanya dibuka kemungkinannya untuk diberikan jika hal itu
diperlukan oleh Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta
berencana (pasal 55).

Pasal 31 s/d 34
Tidak memerlukan penjelasan.Mengenai ketentuan dalam pasal 32 sudah dijelaskan
dalam Penjelasan Umum (angka IV).

Pasal 35

117
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Berlainan dengan hak guna usaha maka hak guna bangunan tidak mengenai tanah
pertanian.Oleh karena itu selain atas tanah yang dikuasai oleh Negara dapat pula
diberikan atas tanah milik seseorang.

Pasal 36
Penjelasannya sama dengan pasal 30.

Pasal 37 s/d 40
Tidak memerlukan penjelasan. Mengenai apa yang ditentukan dalam pasal 38 sudah
dijelaskan di dalam Penjelasan Umum (angka IV).

Pasal 41 dan 42
Hak pakai adalah suatu “kumpulan pengertian” daripada hak-hak yang dikenal
dalam hukum pertanahan dengan berbagai nama, yang semuanya dengan sedikit
perbedaan berhubung dengan keadaan daerah sedaerah, pada pokoknya memberi
wewenang kepada yang mempunyainya sebagai yang disebutkan dalam pasal ini.
Dalam rangka usaha penyederhanaan sebagai yang dikemukakan dalam Penjelasan
Umum, maka hak-hak tersebut dalam hukum agraria yang baru disebut dengan satu
nama saja.
Untuk gedung-gedung kedutan Negara-negara Asing dapat diberikan pula hak pakai,
oleh karena hak ini dapat berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk itu.Orang-
orang dan badan-badan hukum asing dapat diberi hak pakai, karena hak ini hanya
memberi wewenang yang terbatas.

Pasal 43
Tidak memerlukan penjelasan.

Pasal 44 dan 45
Oleh karena hak sewa merupakan hak pakai yang mempunyai sifat-sifat khusus
maka disebut tersendiri.Hak sewa hanya disediakan untuk bangunan-bangunan
berhubung dengan ketentuan pasal 10 ayat 1. Hak sewa tanah pertanian hanya
mempunyai sifat sementara (pasal 16 jo 53). Negara tidak dapat menyewakan tanah,
karena Negara bukan pemilik tanah.

Pasal 46
Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak-hak dalam hukum
adat yang menyangkut tanah.Hak-hak ini perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah
demi kepentingan umum yang lebih luas dari pada kepentngan orang atau
masyarakat hukum yang bersangkutan.

Pasal 47
Hak guna air dan hak pemeliharaan dan penangkapan ikan adalah mengenai air yang
tidak berada di atas tanah miliknya sendiri.Jika mengenai air yang berada di atas
tanah miliknya maka hal-hal itu sudah termasuk dalam isi daripada hak milik atas

118
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

tanah. Hak guna air ialah hak akan memperoleh air dari sungai, saluran atau mata air
yang berada di luar tanah miliknya, misalnya untuk keperluan mengairi tanahnya,
rumah tangga dan lain sebagainya. Untuk itu maka seringkali air yang diperlukan itu
perlu dialirkan (didatangkan) melalui tanah orang lain dan air yang tidak diperlukan
seringkali perlu dialirkan pula (dibuang) melalui tanah orang yang lain lagi. Orang-
orang tersebut tidak boleh menghalang-halangi pemilik tanah itu untuk
mendatangkan dan membuang air tadi melalui tanahnya masing-masing.

Pasal 48
Hak guna ruang angkasa diadakan mengingat kemajuan tehnik dewasa ini dan
kemungkinan-kemungkinannya di kemudian hari.

Pasal 49
Untuk menghilangkan keragu-raguan dan kesangsian maka pasal ini memberi
ketegasan, bahwa soal-soal yang bersangkutan dengan peribadatan dan keperluan-
keperluan suci lainnya, dala hukum agraria yang baru akan mendapat perhatian
sebagaimana mestinya. Hubungan pula dengan ketentuan dalam pasal 5 dan pasal 14
ayat 1 huruf b.

Pasal 50 dan 51
Sebagai konsekwensi, bahwa dalam Undang-undang ini hanya dimuat pokok-
pokonya saja dari hukum agraria yang baru.

Pasal 52
Untuk menjamin pelaksanaan yang sebaik-baiknya daripada peraturan-peraturan
serta tindakan-tindakan yang merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Pokok
Agraria maka diperlukan adanya saksi pidana sebagai yang ditentukan dalam pasal
ini.

Pasal 53
Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 16.

Pasal 54
Pasal ini diadakan berhubung dengan ketentuan dalam pasal 21 dan 26. Seseorang
yang telah menyatakan menolak kewarganegaraan RRC tetapi pada tanggal mulai
berlakunya Undang-undang ini belum mendapat pengesahan akan terkena oleh
Ketentuan Konversi pasal I ayat 3, pasal II ayat 2 dan pasal VIII. Tetapi setelah
pengesahan penolakan itu diperolehnya maka baginya terbuka kemungkinan untuk
memperoleh hak atas tanah sebagai seorang yang berkewarganegaraan Indonesia
tunggal.Hal ini berlaku juga bagi orang-orang yang disebutkan di dalam pasal 12
Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1959, yaitu sebelumnya diperoleh penegasan
dari instansi yang berwenang.

Pasal 55

119
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Sudah dijelaskan dalam penjelasan pasal 30.


Ayat 1: Mengenai modal asing yang sekarang sudah ada, sedang ayat 2 menunjuk
pada modal asing baru. Sebagaimana telah ditegaskan dalam penjelasan pasal 30
pemberian hak baru menurut ayat 2 ini hanya dimungkinkan kalau hal itu diperlukan
oleh Undang-undang pembangunan nasional semesta berencana.
Kedua: Hak-hak yang ada sekarang ini menurut Ketentuan Konversi. Ini semuanya
menjadi hak-hak baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Hak guna usaha
dan hak guna bangunan yang disebut dalam pasal I, II, III, IV dan V berlangsung
dengan syarat-syarat umum yang ditetapkan dalam Peraturan yang dimaksud dalam
pasal 50 ayat 2 dan syarat-syarat khusus yang bersangkutan dengan keadaan
tanahnya dan sebagai yang disebutkan dalam akte haknya yang dikonversi itu,
sepanjang tidak bertentangan dengan peraturannya yang baru.
Ketiga: Perubahan susunan pemerintahan desa perlu diadakan untuk menjamin
pelaksanaan yang sebaik-baiknya daripada perombakan hukum agraria menurut
Undang-undang ini. Pemerintah desa akan merupakan pelaksana yang mempunyai
peranan yang sangat penting.
Keempat : Ketentuan ini bermaksud menghapuskan hak-hak yang masih bersifat
feodal dan tidak sesuai dengan ketentuan Undang undang ini.
TAMBAHAN LEMBARAN-NEGARA No. 2043

11. Ketentuan-Ketentuan Konversi Untuk Tanah-Tanah Hak Barat dan Tanah-


Tanah Hak Indonesia.
a. Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1960, Tentang Pelaksanaan Ketentuan
Undang-Undang Pokok Agraria (Pertama kali ada proses pensertipikatan tanah
di Indonesia untuk hak-hak Barat) .

PERATURAN MENTERI AGRARIA NOMOR 2 TAHUN 1960206


TENTANG
PELAKSANAAN KETENTUAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

MENTERI AGRARIA,
Menimbang :
a. bahwa untuk menghindarkan keragu-raguan perlu ada penegasan mengenai tetap
berlakunya beberapa peraturan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan Undang-
Undang Pokok Agraria dalam masa peralihan;
b. bahwa perlu pula diadakan peraturan lebih lanjut untuk melaksanakan
Ketentuan-Ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria itu;

Mengingat :
Pasal-pasal dalam Ketentuan-ketentuan Peralihan dan pasal IX Ketentuan-
ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang No.5/1960,
L.N. 1960 – 104).

206
Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1960, Tentang Pelaksanaan Ketentuan Undang-Undang
Pokok Agraria.

120
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

MEMUTUSKAN

Menetapkan :
PERATURAN TENTANG PELAKSANAAN BEBERAPA KETENTUAN
UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA

BAB I
PERATURAN PENDAFTARAN TANAH

Pasal 1
1. Selama Peraturan Pendaftaran Tanah sebagai yang dimaksud dalam pasal 19
Undang- Undang Pokok Agraria belum terbentuk dan berlaku maka berdasarkan
ketentuan pasal 58 Undang-Undang Pokok Agraria pendaftaran hak-hak yang
berasal dari konversi hak- hak yang hingga tanggal 24 September 1960:
a. didaftar menurut Overschijvingsordonnantie (S. 1834 – 27) tetap didaftar
menurut Peraturan tersebut;
b. didaftar menurut Peraturan Menteri Agraria No. 9/1959 dan Ordonnantie
tersebut dalam S. 1873 – 38 selanjutnya didaftar menurut Peraturan
Menteri Agraria No.9/1959;
c. didaftar menurut Peraturan-peraturan yang khusus di daerah Istimewa
Yogyakarta dan keresidenan Surakarta, tetap di daftar menurut Peraturan-
peraturan tersebut;
semuanya dengan dipungut bea dan biaya-biaya yang lazim berdasarkan
peraturan- peraturan yang bersangkutan.

2. Di dalam tata usaha pendaftaran yang diselenggarakan menurut


Ovrschijvingsordonnantie hak-hak yang berasal dari konversi itu disebut
dengan namanya menurut Undang-Undang Pokok Agraria, dengan dibubuhi
keterangan di belakangnya di antara tanda kurung: nama haknya yang dulu, disertai
perkataan ”bekas”.

BAB II
PELAKSANAAN KETENTUAN-KETENTUAN KONVERSI

Bagian 1
Hak-hak yang didaftar menurut Overschrijvings-ordonnantie

A. HAK EIGENDOM

Pasal 2
(1) Orang-orang warganegara Indonesia yang pada tanggal 24 September
1960 berkewarganegaraan tunggal dan mempunyai tanah dengan hak
eigendom di dalam waktu 6 bulan sejak tanggal tersebut wajib datang pada
Kepala Kantor Pendaftaran Tanah (selanjutnya dalam Peraturan ini
disingkat: KKPT) yang bersangkutan untuk memberikan ketegasan mengenai

121
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

kewarganegaraan itu.
(2) Bagi orang-orang warganegara Indonesia keturunan asing penegasan
mengenai kewarganegaraan itu harus dibuktikan dengan tanda
kewarganegaraan menurut Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1959, pasal
IV Peraturan Penutup dari Undang- Undang No. 62 tahun 1958 atau bukti
lainnya yang sah. Bagi orang-orang warganegara Indonesia lainnya cara
pembuktian kewarganegaraannya diserahkan kepada kebijaksanaan
KKPT yang bersangkutan.

Pasal 3
Hak-hak eigendom yang pemiliknya terbukti berkewarganegaraan Indonesia
tunggal dicata oleh KKPT, baik pada asli meupun pada grosse aktanya sebagai
dikonversi menjadi hak milik.

Pasal 4
Hak-hak eigendom yang setelah jangka waktu 6 bulan tersebut pada pasal 2
lampau pemiliknya tidak datang pada KKPT atau yang pemiliknya tidak dapat
membuktikan, bahwa ia berkewarganegaraan Indonesia tunggal, oleh KKPT
dicatat pada asli aktanya sebagai dikonversi menjadi hak guna-bangunan, dengan
jangka waktu 20 tahun.

Pasal 5
(1) Mengenai hak-hak eigendom yang pemiliknya datang pada KKPT di dalam
waktu yang ditentukan, tetapi yang dipersilahkan untuk meminta bukti
kewarganegaraan pada Pengadilan Negeri, maka pencatatan konversi hak
eigendom manjadi hak milik atau hak guna-bangunan itu ditangguhkan
sampai ada keputusan dari pengadilan tersebut.
(2) (Tambahan Peraturan Menteri Agraria No. 5 tahun 1960): Pencatatan konversi
hak-hak eigendom yang aktanya pada tanggal 24 September 1960 belum
diganti menurut Ordonnantie Noodvoorzieningen (S 1948 No. 54) menjadi
hak milik atau hak guna- bangunan ditangguhkan sampai ada ketentuan
lebih lanjut dari Menteri Agraria. Hak eigendom itu akan dikonversi menjadi
hak milik jika dipunyai oelh fihak yang memenuhi syarat untuk menjadi
pemilik dan dipernuhi pula kewajiban yang disebut dalam pasal 2.

Pasal 6
(1) Di dalam waktu 6 bulan sejak tanggal 24 September 1960 maka
badan-badan keagamaan dan badan-badan sosial yang mempunyai hak
eigendom atas tanah yang dipergunakan untuk keperluan yang langsung
berhubungan dengan usaha-usaha dalam bidang keagamaan dan sosial
wajib mengajukan permintaan kepada Menteri Agraria melalui Kepala
Pengawas Agraria yang bersangkutan (di daerah-daerah dimana tidak
ada pejabat ini melalui Kepala Inspeksi Agraria), untuk mendapat
penegasan bahwa hak eigendomnya itu dapat dikonversi menjadi hak milik
atas dasar ketentuan dalam pasal 49 Undang-Undang Pokok Agraria.

122
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

(2) Atas dasar ketentuan dalam peraturan dasar atau peraturan pembentukannya
maka hak-hak eigendom kepunyaan badan-badan hukum yang tersebut
di bawah ini termasuk golongan yang dikonversi menjadi hak milik:
a. Indonesische Maatschappij op Aandelen (S. 1939 – 569).
b. Indonesische Verenigingen (S. 1939 – 570).
c. Bank Industri Negara (Undang-Undang Darurat No. 5 tahun 1952; L.N.
1952 – 21).
d. Bank Negara Indonesia (Undang-Undang Darurat No. 2 tahun 1955; L.N.
1955 – 5).
e. Bank Tani dan Nelayan (Undang-Undang No. 7 tahun 1958; L.N. 1958 –
137).
f. Badan Perusahaan Produksi Bahan Makanan dan Pemukaan Tanah
(Undang- Undang No. 16 tahun 1959; L.N. 1959 – 60).
g. Bank Umum Negara (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No.1 tahun 1959; L.N. 1959 – 85).
h. Bank Dagang Negara (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No. 13 tahun 1960; L.N. 1960 – 39).
i. Bank Rakyat Indonesia (Undang-Undang No. 14 tahun 1960; L.N. 1951
– 80 jo 1960 – 41).
j. Bank Pembangunan Indonesia (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang No. 21 tahun 1960; L.N. 1960 – 65).
k. (Tambahan Peraturan Menteri Agraria No. 5 tahun 1960): Bank Indonesia
(Undang- Undang No. 11 tahun 1953) (L.N. 1953 No. 40).
(3) Pencatatan konversi hak-hak eigendom tersebut dalam ayat (1) dan (2)
pasal ini menjadi hak milik itu dilaksanakan oelh KKPT yang
bersangkutan baik pasa asli maupun pada frosse aktanya, dengan ketentuan,
bahwa mengenai hak-hak eigendom kepunyaan badan-badan hukum tersebut
pada ayat (1) pencatatan itu baru dilakukan setelah diterima surat keputusan
penegasan dari Menteri Agraria.

Pasal 7
Hak-hak eigendom kepunyaan Negara (Perwakilan) Asing dicatat oleh
KKPT yang bersangkutan baik pasa asli maupun pada grosse aktanya sebagai
dikonversi menjadi hak pakai, seperti yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2)
Ketentuan-ketentuan Konversi Undang- Undang Pokok Agraria, setelah diterimanya
surat keputusan penegasan dari Menteri Agraria.

Pasal 8
Setelah ada ketegasan mengenai badan-badan yang hak eigendomnya dikonversi
menjadi hak milik dan hak pakai sebagai yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (1)
dan pasal 7, maka hak-hak eigendom kepunyaan badan-badan lainnya dicatat
oleh KKPT pada asli aktanya sebagai dikonversi menjadi hak guna-bangunan,
dengan jangka waktu 20 tahun.

Pasal 9

123
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

(1) Hak-hak eigendom kepunyaan orang asing, warganegara Indonesia yang pada
tanggal 24 September 1960 mempunyai pula kewarganegaraan asing dan
badan-badan hukum yang tidak termasuk golongan yang disebut dalam
pasal 6, yang pada tanggal 24 September 1960 sudah dimintakan izin
untuk dipindahkan kepada seorang warganegara Indonesia yang pada tanggal
itu berkewarganegaraan tunggal, dibuatka akta pemindahan haknya tanpa
izin Menteri Agraria sebagai yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 24
tahun 1954, jika pada tanggal tersebut belum diperoleh izin itu, asal semua
fatwa yang diperlukan sudah lengkap ada pada Kepala Inspeksi Agraria
yang bersangkutan dan menyatakan tidak keberatan terhadap pemindahan hak
itu.
(2) Hak eigendom tersebut di atas yang karena ketentuan pasal 1 ayat (3)
Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria menjadi
hak guna-bangunan, dengan berpindahnya kepada warganegara Indonesia
yang berkewarganegaraan tunggal itu menjadi hak milik.
(3) Di dalam akta pemindahan hak tersebut pada ayat (1) pasal ini diuraikan
oleh KKPT tentang konversi hak eigendom itu menjadi hak guna bangunan
dan perubahan hak tersebut, menjadi hak milik atas dasar ketentuan-ketentuan
dalam ayat (2) pasal ini.
(4) Ketentuan-ketentuan dalam ayat 1, 2, dan 3 pasal ini berlaku jika
permintaan untuk melakukan balik nama tersebut diajukan kepada KKPT
yang bersangkutan di dalam waktu yang ditetapkan dalam pasal 2. Jika
sesudah jangka waktu tersebut lampau belum diajukan permintaan baliknama
maka hak eigendom yang bersangkutan dicatat sebagai dikonversi menjadi hak
guna bangunan.
(5) Ketentuan dalam ayat 1 pasal ini berlaku juga jika hak eigendom itu
kepunyaan fihak yang munurut Undang-Undang Pokok Agraria dapat
mempunyai hak milik, sendang yang memperolehnya seorang warga
negara Indonesia yang pada tanggal 24 September 1960
berkewarganegaraan tunggal.
(6) Hak eigendom yang dimaksud dalam ayat 5 pasal ini juga dibaliknama
kepada yang memperolehnya sebagai hak milik, jika fihak yang
namanya dalam akta yang bersangkutan tercatat sebagai pemilik tidak
memenuhi kewajiban sebagai yang ditentukan dalam pasal 2, asal
permintaan untuk melakukan baliknama itu diajukan kepada KKPT di
dalam waktu yang ditetapkan dalam pasal 2. Dalam hal ini maka berlaku
pula ketentuan dalam ayat 3 pasal ini.
(7) Ketentuan-ketentuan dalam pasal ini berlaku juga terhadap hak-hak
eigendom yang aktanya belum diganti menurut Ordonnantie
Noodvoorzieningen (S. 1948 – 54), degnan pengertian, bahwa baliknamanya
akan diselenggarakan setelah ada ketentuan lebih lanjut dari Menteri Agaria,
sebagai yang dimaksud dalam pasal 5 ayat 2.

Pasal 10

124
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

(1) Hak-hak eigendom atas tanah kepunyaan bersama dari orang/badan


hukum yang memenuhi syarat untuk mempunyai hak milik dan
orang/badan hukum yang tidak memenuhi syarat, dikonversi menjadi hak
guna-bangunan, kecuali dalam hal yang dimaksud dalam ayat (2) di bawah.
(2) Jika sebelum tanggal 24 September 1960 fihak yang tidak memenuhi syarat
termasuk dalam ayat (1) di atas secara sah telah melepaskan hak-bersamanya
itu kepada fihak yang lain, maka biarpun hal itu belum didaftarkan
sebagaimana mestinya, hak eigendom tersebut dikonversi menjadi hak milik.
(3) Ketentuan dalam ayat (2) pasal ini berlaku juga jika hak eigendom tersebut
merupakan warisan yang belum terbagi dan belum diadakan baliknama
sebagaimana mestinya, juga jika fihak pewaris yang namnya masih tercatat
sebagai pemiliknya adalah seorang yang tidak memenuhi syarat untuk
mempunyai hak milik.
(4) Di dalam hal yang tersebut pada ayat (2) dan (3) pasal ini maka KKPT berbuat
sebagai yang ditentukan dalam pasal 9 ayat (3).
(5) Untuk dapat dikonversi menjadi hak milik sebagai yang dimaksud dalam
ayat (2) san ayat (3) pasal ini maka yang bersangkutan di dalam waktu 6
bulan terhitung sejak tanggal 24 September 1960 harus meminta kepada
KKPT agar dilakukan pencatatan dan/atau baliknama sebagaimana mestinya.
(6) Jika sesudah jangka waktu 6 bulan tersebut lampau belum diajukan
permintaan sebagai yang dimaksud dalam ayat (5) di atas maka berlakulah
ketentuan dalam ayat (1) pasal ini.

Pasal 11
Mengenai hak-hak eigendom yang dibebani dengan hak opstal atau erfpacht dan
menurut ketentuan dalam Peraturan ini menjadi hak guna-bangunan,
pencatatan konversinya ditangguhkan hingga ada penyelesaian mengenai siapa
yang selanjutnya akan dicatat sebagai yang mempunyai hak guna-bangunan itu.

B. HAK OPSTAL DAN ERFPACHT

Pasal 12
(1) Hak-hak opstal dan erfpacht atas tanah-tanah eigendom sebagai yang
dimaksud dalam Pasal I ayat (4) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-
Undang Pokok Agraria dicatat oleh KKPT sebagai dikonversi menjadi hak
guna-bangunan, setelah ada ketegasan bahwa hak eigendom yang
bersangkutan dikonversi menjadi hak milik.
(2) Pencatatan konversi menjadi hak guna-bangunan itu dilakukan pada asli
aktanya.

Pasal 13
(1) Konversi hak-hak opstal dan erfpacht untuk perumahan menjadi hak guna-
bangunan sebagai yang dimaksud dalam pasal V Ketentuan-ketentuan
Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dilakukan oleh KKPT yang

125
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

bersangkutan dengan mencatatnya pada asli aktanya.


(2) Hak-hak erfpacht tersebut pada ayat 1 pasal ini yang sudah habis
waktunya tidak dikonversi. Hapusnya hak-hak tersebut dicatat oleh KKPT pasa
asli aktanya.

Pasal 14
(1) KKPT menyampaikan kepada para Kepala Pengawas Agraria yang
bersangkutan (untuk Jakarta Raya: Kepala Inspeksi Agraria) keterangan-
keterangan mengenai ”altijddurende erfpachten” yang ada di wilayah
kerjanya masing-masing. Yang dimaksud dengan ”altijddurende
erfpachten” ialah hak-hak erfpacht yang diberikan sebagai pengganti hak
usaha menurut ketentuan-ketentuan dalam S. 1913 – 702 dan yang pada
tanggal 24 September masih berlaku.
(2) Kepala Pengawas Agraria mengadakan pemeriksaan:
a. mengenai yang mempunyainya, yaitu untuk memperoleh ketegasan
apakah hak erfpacht yang bersangkutan dapat dikonversi menjadi hak milik.
b. mengenai peruntukan tanahnya, yaitu untuk memperoleh ketegasan
apakah, jika hak erfpacht itu tidak dapat dikonversi menjadi hak milik
akan dikonversi menjadi hak guna-bangunan atau hak guna-usaha.
(3) Untuk memperoleh ketegasan mengenai status yang mempunyai hak erfpacht
itu maka Kepala Pengawas Agraria dapat meminta pembuktian seperti yang
ditentukan dalam pasal 2 ayat (2).
(4) Jika tanahnya merupakan tanah perumahan maka di dalam hal yang dimaksud
dalam ayat (2) huruf b pasal ini hak erfpacht tersebut dikonversi menjadi hak
guna-bangunan. Jika tanahnya merupakan tanah pertanian hak itu dikonversi
menjadi hak guna usaha. Hak guna-bangunan dan hak guna-usaha tersebut
jangka waktunya 20 tahun.
(5) Atas dasar hasil pemeriksaannya tersebut di atas Kepala Pengawas Agraria, atas
nama Menteri Negara Agraria membuat surat keputusan untuk menegaskan
apakah sesuatu hak erfpacht yang dimaksud dalam pasal ini dikonversi
menjadi hak milik, hak guna- bangunan atau hak guna-usaha.
(6) KKPT mencatat konversi hak erfpacht tersebut menjadi hak milik, hak guna-
bangunan atau hak guna-usaha pada asli aktanya – jika menjadi hak milik juga
pada grossenya – setelah menerima turunan surat keputusan Kepala Pengawas
Agraria termasuk dalam ayat (5) pasal ini.

Pasal 15
(1) Konversi hak-hak erfpacht untuk perusahaan kebun-besar menjadi hak
guna-usaha sebagai yang dimaksud dalam pasal III ayat (1) Ketentuan-
ketentuan Konversi Undang- Undang Pokok Agraria dilakukan oleh KKPT
yang bersangkutan dengan mencatatnya pada asli aktanya.
(2) Hak-hak erfpacht termasuk dalam ayat (1) pasal ini yang sudah habis
waktunya dikonversi menjadi hak pakai, yang berlaku sementara sampai
ada keputusan yang pasti.

126
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Pasal 16
(1) Hapusnya hak-hak erfpacht yntuk pertanian kecil, atas dasar ketentuan dalam
pasal III ayat (2) Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok
Agraria dicatat oleh KKPT yang bersangkutan pada asli aktanya.
(2) KKPT memberikan keterangan kepada Kepala Inspeksi Agraria mengenai
hak-hak erfpacht yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini.
(3) Kepala Inspeksi Agraria mengusulkan kepada Menteri Agraria
peruntukkan dan penyelesaian tanah-tanah bekas erfpacht tersebut, dengan
mengingat pedoman yang akan diberikan tersendiri.

C. HAK GEBRUIK DAN VRUCHTGEBRUIK

Pasal 17
Konversi hak-hak gebruik dan vruchtgebruik yang dimaksud dalam pasal I ayat (6)
dan pasal VI Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria
menjadi hak pakai dilakukan oleh KKPT yang bersangkutan dengan mencatatnya
pada asli aktanya.

D. PENCATATAN KONVERSI

Pasal 18
Pencatatan konversi oleh KKPT dimaksud dalam pasal-pasal di atas
dilaksanakan dengan membubuhi keterangan dengan kata-kata sebagai beriktut:
”Berdasarkan pasal ............ ayat ............ Ketentuan-ketentuan Konversi
Undang- Undang Pokok Agraria dikonversikan menjadi hak ..............................
(isi: milik, guna- bangunan, guna-usaha atau pakai)............ dengan jangka waktu
...................................”.....................................tanggal..................................................
Kepala Kantor Pendaftaran Tanah (tanda tangan dan Cap jabatan).

Bagian II
Hak-hak yang tidak didaftar menurut Overschrijvingsordonnantie
A. HAK AGRARISCH EIGENDOM
Pasal 19
(1) Konversi hak-hak agrarisch eigendom menjadi hak milik, hak guna-bangunan
ata hak guna-usaha sebagai yang dimaksud dalam pasal II Ketentuan-
ketentuan Konbersi Undang-Undang Pokok Agraria di laksanakan oleh
pejabat yang bertugas menyelenggarakan pendaftaran tanah menurut
Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1959, setelah diterimanya salinan
surat keputusan penegasan dari Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
(2) Ketentuan-ketentuan dalam pasal 14 ayat (2), (3), (4), dan (5) berlaku mutatis
mutandis mengenai konversi hak-hak agrarisch eigendom tersebut di atas.
(3) Konversi yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini dilaksanakan dengan

127
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

membuat buku-tanah untuk hak milik, hak guna-bangunan dan hak guna-usaha
yang berasal dari konversi hak agrarisch eigendom itu, menurut ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria No. 9 tahun 1959.

B. HAK GOGOLAN, PEKULEN ATAU SANGGAN


Pasal 20
(1) Konversi hak-hak gogolan, sanggan atau pekulen yang bersifat tetap menjadi
hak milik sebagai yang dimaksud dalam pasal VII ayat (1) Ketentuan-
ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria dilaksanakan dengan
surat-keputusan penegasan Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan.
(2) Hak gogolan, sanggan atau pekulen bersifat tetap kalau para gogol terus
menerus mempunyai tanah-gogolan yang sama dan jika meninggal dunia
gogolannya jatuh pada warisnya yang tertentu.
(3) Kepala Inspeksi Agraria menetapkan surat-keputusan tersebut pada ayat (1)
pasal ini dengan memperhatikan pertimbangan Bupati/Kepala Daerah
yang bersangkutan mengenai sifat tetap atau tidak tetap dari hak gogolan itu
menurut kenyataannya.
(4) Jika ada perbedaan pendapat antara Kepala Inspeksi Agraria dan
Bupati/Kepala Daerah tentang soal apakah sesuatu hak gogolan bersifat
tetap atau tidak tetap, demikian juga jika desa yang bersangkutan berlainan
pendapat dengan kedua pejabat tersebut, maka soalnya dikemukakan lebih
dahulu kepada Menteri Agraria untuk mendapat keputusan.

C. HAK CONCESSIE DAN SEWA


Pasal 21
Untuk menyelenggarakan konversi hak concessie dan sewa untuk perusahaan
kebun-besar sebagai yang disebut dalam pasal IV Ketentuan-ketentuan Konversi
Undang-Undang Pokok Agraria akan diadakan peraturan lebih lanjut.
D. HAK-HAK LAINNYA
Pasal 22
(1) Konversi hak-hak tersebut dalam pasal II dan VI Ketentuan-ketentuan
Konversi Undang-Undang Pokok Agraria menjadi hak milik, hak guna-
bangunan, hak guna- usaha atau hak pakai, sepanjang tidak diatur secara
khusus dalam pasal-pasal di atas dilaksanakan oleh pejabat yang bertugas
menyelenggarakan pendaftaran tanah menurut Peraturan Menteri Agraria
No. 9 tahun 1959 dan peraturan-peraturan tersebut pada pasal 1 ayat (1) huruf
c, setelah diterimanya salinan surat-keputusan penegasan dari Kepala Agraria
Daerah yang bersangkutan.
(2) Ketentuan-ketentuan dalam pasal 14 ayat (2), (3), (4), dan (5) berlaku
mutatis muntandis mengenai konversi hak-hak tersebut di atas.
(3) Mengenai hak-hak yang sudah didaftar menurut Peraturan Menteri Agraria No.
9 tahun 1959 atau peraturan-peraturan tersebut pada pasal 1 ayat (1) huruf c,
maka konversi yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dilaksanakan dengan
mencatannya pada buku-tanah serta sertipikatnya menurut cara yang
128
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

ditentukan dalam pasal 18, sedang mengenai hak-hak yang belum


didaftar dilaksanakan pada waktu dibuat buku- tanahnya.

Bagian III
Permintaan banding

Pasal 23
Keberatan-keberatan terhadap keputusan KKPT, Kepala Inspeksi Agraria, Kepala
Pengawasan Agraria dan Kepala Agraria Daerah di dalam melaksanakan
ketentuan- ketentuan konversi menurut pasal-pasal di atas dapat diajukan kepada
Menteri Agraria untuk mendapat keputusan.

Bagian IV
Biaya untuk melaksanakan konversi

Pasal 24
Untuk melaksanakan konversi sebagai yang dimaksud dalam pasal I, II, III, IV, V, VI,
dan VII Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria tidak dipungut
biaya.

Bagian V
Penegasan ketentuan pasal VIII

Pasal 25
(1) Hak guna-bangunan dan hak guna-usaha yang berasal dari konversi
menurut Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria yang
dipunyai oleh orang asing, di dalam waktu 1 tahun terhitung sejak tanggal 24
September 1960 harus dipindahkannya kepada warganegara Indonesia atau
badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan
di Indonesia ataupun jika yang mempunyainya itu berkedudukan di
Indonesia, dapat pula dilepaskan untuk diganti dengan hak pakai atau hak sewa.
(2) Kewajiban untuk memindahkan haknya tersebut di atas berlaku juga jika
yang mempunyai hak guna-bangunan, atau guna-usaha itu badan hukum
yang tidak didirikan menurut hukum Indonesia dan/atau tidak berkedudukan di
Indonesia.

BAB III
HAK TANGGUNGAN

Pasal 26
Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51
Undang- Undang Pokok Agraria belum terbentuk, maka hak hypotheek hanya dapat
dibebankan pada hak milik, hak guna-bangunan dan hak guna-usaha yang
berasal dari konversi hak eigendom, hak opstal dan hak erfpacht, sedang

129
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

credietverband pada hak milik, hak guna- bangunan dan hak guna-usaha yang berasal
dari konversi hak-hak lainnya.

BAB IV
PENGAWASAN

Pasal 27
Sebelum ada peraturan penggantinya maka berdasar atas ketentuan dalam
pasal 58 Ketentuan-ketentuan Peralihan Undang-Undang Pokok Agraria peraturan
yang tercantum dalam Undang-Undang No. 24 tahun 1954 (L.N. 1954 – 78) dan
Undang-Undang No. 28 tahun 1956 (L.N. 1956 – 73) beserta peraturan-peraturan
pelaksanaannya masih tetap berlaku terhadap hak milik, hak guna-bangunan dan
hak guna-usaha yang berasal dari konversi hak eigendom, hak opstal dan hak
erfpacht.

BAB V
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 28
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan dan mempunyai kekuatan surat
hingga tangal 24 September 1960. Agar setiap orang dapat mengetahuinya maka
Peraturan ini akan dimuat di dalam Tambahan Lembaran-Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 10 Oktober 1960

MENTERI AGRARIA,

ttd

(Mr. Sadjarwo)

Dalam Peraturan Konversi Hak-Hak Barat ini Setelah di Inventarisasi maka


terdapat 11 Peraturan Pelaksanaannya yaitu :
1) Peraturan Menteri Agraria No.5 Tahun 1960, Tentang Penambahan
Ketentuan Peraturan Meteri Agraria No.2 Tahun 1960.
2) Peraturan Menteri Agraria No.4 Tahun 1961 Tentang Pelaksanaan Konversi
Hak-Hak Konsesi dan Sewa Untuk Perusahaan Kebun Besar.
3) Peraturan Menteri Agraria No.13 Tahun 1961, Tentang Pelaksanaan
Konversi Hak Eigendom Dan Hak-Hak Lainnya Yang Aktanya Belum
Diganti.

130
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

4) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2 Tahun 1970, Tentang Penyelesaian


Konversi Hak-Hak Barat Menjadi Hak Guna Bangunan Dan Hak Guna
Usaha.
5) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.SK.53/DDA/1970, Tentang
Perpanjangan Jangka Waktu Penyelesaian Konversi Hak-Hak Barat
Menjadi Hak-Hak Guna Bangunan Tersebut Dalam FLAX; No.2/1970.
6) Peraturan Menteri Agraria No.7 Tahun 1965, Tentang Pedoman
Pelaksanaan Konversi Hak Eigendom Tersebut Dalam Ayat 3 jo Ayat 5
Pasal 1, Ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria Yang
Dibebani Dengan Hak Opstal atau Erfpacht Untuk Perumahan.
7) Peraturan Menteri Agraria No.9 Tahun 1965, Tentang Pelaksanaan
Konversi Hak Penguasaan Atas Tanah Negara Dan Ketentuan-ketentuan
Tentang kebijaksanaan Selanjutnya.
8) Keputusan Presiden R.I. No.32 Tahun 1979, Tentang Pokok-pokok
kebijaksanaan Dalam Rangka Pemberian Hak Baru Atas Tanah Asal
Konversi Hak- Hak Barat.
9) Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 Tahun 1979, Tentang Ketentuan-
ketentuan Mengenai Permohonan Dan Pemberian Hak Baru Atas Tanah
Asal Konversi Hak-Hak Barat.
10) Surat Menteri Dalam Negeri No.B.T.U.4/306/4-79, Tgl. 25 - 4 – 1979,
Tentang Hak-Hak Atas Tanah Asal Konversi Hak-Hak Barat Yang Akan
Berakhir 24 September 1980.
11) Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No.593/3094/AGR, Tgl. 18 April
1979, Tentang Hak-Hak Atas Tanah Konversi Hak-Hak Barat Yang Akan
Berakhir 24 September 1980.
b. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962, Tentang
Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia Atas Tanah.

PERATURAN MENTERI PERTANIAN DAN AGRARIA NOMOR 2


TAHUN 1962 (Pertama kali di Indonesia ada proses Sertipikat tanah
untuk tanah milik adat dan hak-hak pribumi)

TENTANG
PENEGASAN KONVERSI DAN PENDAFTARAN BEKAS HAK-HAK
INDONESIA ATAS TANAH

MENTERI PERTANIAN DAN AGRARIA,


Menimbang :
a. bahwa penegasan konversi bekas hak-hak Indonesia atas tanah perlu diatur
lebih lanjut;
b. bahwa di daerah-daerah di mana Peraturan Pemerintah Nomor 10
Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah sudah mulai diselenggarakan, hak-
hak atas tanah yang konversinya sudah ditegaskan itu dapat
sekaligus dibukukan dalam daftar buku tanah;
c. bahwa demi penyederhanaan acara pendaftaran maka penegasan
tersebut perlu disederhanakan pula dengan mencabut Pasal 19 dan 22

131
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 (TLN No 2086) dan


Instruksi-instruksi pelaksanaannya;

Mengingat :
1. Pasal IX ketentuan-ketentuan Konversi Undang-Undang Pokok Agraria
(Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960; LN Tahun 1960 No 104);
2. Pasal 15 dan Pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah (LN Tahun 1961 No 28);
3. Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1960 (TLN No 2086)

Mendengar :
Panitia Perundang-undangan;

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :
PERATURAN MENTERI PERTANIAN DAN AGRARIA TENTANG
PENEGASAN KONVERSI DAN PENDAFTARAN BEKAS HAK-HAK
INDONESIA ATAS TANAH.

Pasal 1
Atas permohonan yang berkepentingan, maka konversi hak-hak yang disebut
dalam Pasal II dan VI Ketentuan-ketentuan Konversi Undang-undang Pokok
Agraria menjadi hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha atau hak pakai
dapat ditegaskan menurut ketentuan-ketentuan Peraturan ini dan di daftarkan
menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah (LN Tahun 1961 No. 28), sepanjang Peraturan
Pemerintah tersebut sudah mulai diselenggarakan di daerah yang
bersangkutan.

Pasal 2
Permohonan untuk penegasan tersebut dalam Pasal 1 mengenai hak-hak
yang telah diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah yang dibuat menurut
Peraturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1959, Ordonnantie tersebut dalam
S. 1873-38, Peraturan-peraturan yang khusus di Daerah Istimewa Yogyakarta
dan karesidenan Surakarta, Sumatera Timur, Riau dan Kalimantan Barat,
diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan
dengan disertai :
a. tanda bukti haknya (kalau ada disertakan pula surat ukurnya);
b. tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak, yang
menyatakan kewarganegaraannya pada tanggal 24 September 1960; Bagi
orang-orang warga negara Indonesia keturunan asing penegasan
mengenai kewarganegaraannya itu harus dibuktikan dengan tanda
kewarganegaraan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun

132
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

1959, Pasal IV Peraturan Penutup dari Undang-Undang Nomor 62 Tahun


1958 atau bukti lainnya yang sah. Bagi orang-orang warga negara Indonesia
lainnya cara pembuktian kewarganegaraan diserahkan kepada kebijaksanaan
Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang Bersangkutan.
c. keterangan dari pemohon apakah tanahnya tanah perumahan atau tanah
pertanian, yaitu jika hal itu tidak ternyata dari tanda bukti hak tersebut di
atas.

Pasal 3
Permohonan untuk penegasan tersebut dalam Pasal 1 mengenai hak-hak
yang tidak diuraikan di dalam sesuatu surat hak tanah sebagai yang
dimaksudkan dalam Pasal 2, diajukan kepada Kepala Kantor Pendaftaran
Tanah yang bersangkutan dengan disertai :
a. Tanda bukti haknya, yaitu bukti surat pajak hasil bumi/verponding
Indonesia atau bukti surat pemberian hak oleh instansi yang berwenang
(kalau ada disertakan pula surat ukurnya)
b. Surat keterangan Kepala Desa, yang dikuatkan oleh Asisten Wedana, yang :
1. membenarkan surat atau surat-surat tanda bukti hak tersebut;
2. menerangkan apakah tanahnya perumahan atau tanah pertanian;
3. menerangkan siapa yang mempunyai hak itu, kalau ada disertai turunan
surat (surat jual-beli tanahnya).
c. Tanda bukti kewarganegaraan yang sah dari yang mempunyai hak,
sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 2 sub b,

Pasal 4
(1) Di dalam hal perbuatan hukum yang disebutkan dalam Pasal 19 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, yaitu pemindahan hak atas tanah
pemberian hak baru atas tanah, penggadaian tanah atau peminjaman
uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, maka permohonan
penegasan konversi dan pendaftaran tersebut Pasal 1 diajukan dengan
perantaraan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bersangkutan, yang
disampaikan kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah bersama dengan
akta yang dibuat olehnya, yang membuktikan perbuatan hukum tersebut
di atas. Di dalam akta tersebut hak-hak itu disebut dengan nama bekas
hak yang dimintakan penegasan konversinya.
(2) Di dalam terjadi lelang sebagai yang disebutkan di dalam Pasal 21
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, maka permohonan tersebut
diajukan dengan perantaraan Kepala Kantor Lelang yang bersangkutan.

Pasal 5
(1) Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan memberikan
penegasan konversi tersebut dengan sekaligus mendaftar hak yang
bersangkutan dalam buku tanah menurut Peraturan Pemerintah Nomor
10 Tahun 1961, dengan mengingat ketentuan-ketentuan sebagai disebut

133
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

dalam Pasal 6.
(2) Mengenai hak-hak yang disebutkan dalam Pasal 3, maka penegasan dan
pendaftaran itu dilakukan setelah permohonan yang bersangkutan
diumumkan menurut ketentuan- ketentuan di dalam Pasal 18 Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961, yaitu di Kantor Kepala Asisten
Wedana serta kalau perlu di tempat lain, selama 2 bulan berturut-turut.

Pasal 6
(1) Hak-hak yang disebutkan dalam Pasal II Ketentuan-ketentuan
Konversi Undang-undang Pokok Agraria ditegaskan dan didaftarkan
menjadi :
a. hak milik, jika yang mempunyai pada tanggal 24 September 1960
memenuhi syarat untuk mempunyai hak milik;
b. hak guna bangunan dengan jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya
Undang-undang Pokok Agraria, jika yang mempunyainya pada tanggal
24 September 1960 tidak memenuhi syarat untuk mempunyai hak milik
dan tanahnya merupakan tanah perumahan.
c. hak guna usaha dengan jangka waktu 20 tahun sejak berlakunya
Undang-undang Pokok Agraria, jika yang mempunyainya pada
tanggal 24 September 1960 tidak memenuhi syarat untuk mempunyai
hak milik dan tanahnya merupakan tanah pertanian.
(2) Hak-hak yang disebut dalam Pasal VI Ketentuan-ketentuan Konversi
Undang-undang Pokok Agraria ditegaskan dan didaftar menjadi hak pakai.
(3) Atas permintaan yang berhak diberikan kepadanya sertifikat atau
sertifikat sementara, dengan dipungut biaya menurut ketentuan dalam
Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 9 Tahun 1959 (TLN Nomor
2383).

Pasal 7
(1) Mengenai hak-hak yang tidak ada atau tidak ada lagi tanda buktinya,
sebagai yang dimaksudkan dalam Pasal 2 dan 3, maka atas
permohonan yang berkepentingan diberikan pengakuan hak, atas dasar
hasil pemeriksanaan Panitia Pemeriksaan Tanah A tersebut dalam
Keputusan Menteri Negara Agraria No. Sk.113/Ka/1961 (TLN Nomor
2334). Pengakuan hak tersebut diberikan sesudah hasil pemeriksaan
Panitia itu diumumkan selama 2 bulan berturut-turut di Kantor Kepala
Desa, Asisten Wedana dan Kepala Agraria daerah yang bersangkutan
dan tidak ada yang menyatakan keberatan, baik mengenai haknya, siapa
yang empunya maupun letak, luas dan batas-batas tanahnya.
(2) Pengakuan hak yang dimaksudkan di dalam ayat (1) Pasal ini diberikan
oleh Kepala Inspeksi Agraria yang bersangkutan. Jika menurut
Keputusan Menteri Negara Agraria No. Sk.112/Ka/1961 jo SK 4/Ka/62
(TLN Nomor 2333 dan 2433) yang berwenang memberikan hak yang
diakui itu instansi yang lebih rendah, maka instansi itulah

134
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

memberikan pengakuan tersebut.


(3) Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 6, maka di
dalam surat keputusan pengakuan hak tersebut ditegaskan konversi
haknya menjadi hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha atau
hak pakai, yang atas permohonan yang berkepentingan, akan didaftar oleh
Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan. Di daerah mana
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sudah mulai
diselenggarakan, maka pengakuan hak itu baru mulai berlaku, jika
haknya telah didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Tanah. Atas
permintaan yang berhak diberikan kepadanya sertifikat atau sertifikat
sementara, dengan dipungut biaya menurut ketentuan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961.

Pasal 8
Jika di daerah-daerah dimana Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
sudah mulai diselenggarakan terjadi perbuatan hukum sebagai dimaksudkan
dalam Pasal 4 dan tidak dimintakan penegasan konversi menurut ketentuan-
ketentuan Peraturan ini, maka hak yang bersangkutan dianggap sebagai hak
pakai dengan jangka waktu paling lama 5 tahun sejak berlakunya Undang-
undang Pokok Agraria dan sesudah jangka waktu tersebut lampau
tanahnya menjadi tanah negara.

Pasal 9
Dengan berlakunya Peraturan ini, maka Pasal 19 dan Pasal 22 Peraturan
Menteri Negara Agraria Nomor 2 tahun 1960 (TLN No. 2086) dicabut kembali.

Pasal 10
Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 1 September 1962. Agar supaya
setiap orang dapat mengetahuinya, maka Peraturan ini dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta,
pada tanggal 1 Agustus 1962

MENTERI PERTANIAN DAN


AGRARIA

ttd.
(Mr. SADJARWO)

Dalam Peraturan Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak


Indonesia ini Terdapat 2 Peraturan yaitu :
1). Surat Keputusan Menteri Agraira No.SK.272/Ka/61, Yaitu Konversi
“Wewenang Turun Temurun”
2). Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri SK 26/DDA/70, Tentang
Penegasan Konversi dan Pendaftaran Bekas Hak-Hak Indonesia.

135
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

11. Tentang Pendaftaran Tanah yang di Atur Dalam Peraturan Pemerintah No.
10 Tahun 1961, Tentang Peraturan Pendaftaran Tanah. Kemudian Peraturan
Pemerintah No.10 tahun 1961 ini telah dicabut, diganti dengan yaitu :
a. Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, Tentang Pendaftaran tanah.
b. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala B.P.N. No.3 Tahun 1997, Tentang
Ketentuan pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, Tentang
Pendaftaran Tanah.
c. Peraturan Kepala B.P.N. No.8 Tahun 2012, Tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala B.P.N. No.3 tahun 1997, Tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, Tentang Pendaftaran
Tanah.

12. Kewenangan dan Pemberian Hak Atas Tanah Negara, Peraturannya Adalah :
a. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.6 Tahun 1972, Tentang Pelimpahan
Wewenang Pemberian Hak Atas Tanah.
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.5 Tahun 1973, Tentang Ketentuan-
Ketentuan Mengenai Tatacara Pemberian Hak Atas Tanah.
c. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.7 Tahun 1973, Tentang Pembagian Uang
Pemasukan Pemberian Hak Atas Tanah.
d. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.1 Tahun 1975, Tentang Pelaksanaan
Mengenai Penetapan Pemasukan, Uang Wajib Tahunan dan Biaya Administrasi
yang Bersangkutan Dengan Pemberian Hak-Hak Atas Tanah Negara.
e. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.3 Tahun 1977, Tentang Tatacara
Permohonan dan Penyelesaian Perpanjangan Jangka Waktu Pembayaran Uang
Pemasukan Kepada Negara Dalam Rangka Pemberian Hak Atas Tanah dan
Pendaftaran Haknya.

13. Peraturan Terbaru Dalam Permohonan Sertipikat Hak Atas Tanah Tahun
1999 (Yang Berlaku Saat Ini) Yaitu :
a. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.9 Tahun 1999, Tentang
Tatacara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan.
b. Peraturan Kepala BPN No.2 Tahun 2013, Tentang Pelimpahan Kewenangan
Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah.

14. Tentang Pembebasan/Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah.


a. Suarat Edaran Menteri Keuangan No.15841/G.T, Tentang Pembelian Tanah.
b. Surat Edaran Menteri Agraria No.Ka.34/1/14, Tentang Pembelian Tanah Untuk
Keperluan Dinas.
c. Surat Keputusan Menteri Agraria No.SK.767/Ka, Tentang Pembentukan Panitia
Pembelian Tanah Untuk Keperluan Instansi Pemerintah.
d. Surat Keputusan Menteri Agraria No.SK.979/Ka, Tentang Pembelian Tanah di
Cilegon, Serang, Propinsi Jawa Barat.

136
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

e. Surat Edaran Menteri Pertama RI No.32391/1961, Tentang Panitia Tetap


Penaksir Setempat.
f. Surat Keputusan Menteri Agraria No.SK.XI/1/Ka/1962, Tentang Panitia
Penaksir Ganti Kerugian Untuk Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Raya.
g. Surat Keputusan Menteri Negara Agraria No.SK.VI/3/Ka, Tentang Pemberian
Perkenan menguasai Tanah Komplek Senen (Jakarta Raya)
h. Surat Keputusan Menteri Agraria No.SK.63/Depag/65, Tentang Pemberian
Perkenan Menguasai Tanah-tanah dan Bangunan di Daerah Ciputat sekitar Situ
Gintung, Tangerang.
i. Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria No.Ba/5/281/5/1969, Tentang Acara
Membebaskan/Melepaskan Hak Atas Tanah yang akan di Minta Dengan Hak
Lain.
j. Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria No.Ba.5/282/5, Tentang Mengenai
Panitia Pembelian Tanah.
k. Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri No.SK.5/DDA/1972, Tentang Hal
Menguasai Tanah dan Bangunan Untuk Proyek Jalan Raya Jakarta, Bogor dan
Ciawi (Jalan Tol Jagorawi).
l. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1974, Tentang Ketentuan-
Ketentuan Mengenai Tatacara Pembebasan Tanah.
m. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975, Tentang Ketentuan-
ketentuan Mengenai Tatacara Pembebasan Tanah.
n. Surat Edaran Direktur Jenderal Agraria No.Ba.12.108/12/75, Perihal
Pelaksanaan Pembebasan Tanah.
o. Surat Edaran Direktur Jendaral Agraria No.Btu.2/568/2.76, Perihal
Penyampaian Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975, Tentang
Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tatacara Pembebasan Tanah.
p. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.2 Tahun 1976, Tentang Penggunaan Acara
Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Pemerintah Bagi Pembebasan Tanah
Oleh Pihak Swasta.
q. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1975, Tentang Ketentuan-
Ketentuan Mengenai Tatacara Pembebasan Tanah, Untuk di Daerah Tingkat I
Jawa Barat.
r. Keputusan Menteri Dalam Negeri No.139 Tahun 1977, Tentang Pembentukan
Panitia Pengadaan Tanah Pusat Untuk Keperluan Perum Pembangunan
Perumahan Nasional (Perumnas).
s. Keputusan Presiden RI No.55 Tahun 1993, Tentang Pengadaan Tanah bagi
Pelaksanaan Pembagunan Untuk Kepentingan Umum.
t. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala B.P.N. No.1 Tahun 1994, Tentang
Ketentuan Pelaksanaan Keputusan Presiden RI No.55 Tahun 1993.
u. Peraturan Presiden Republik Indonesia No.36 Tahun 2005, Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembagunan Untuk Kepentingan Umum.
v. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2006, Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, Tentang Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembagunan Untuk Kepentingan Umum.
137
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

w. Peraturan Kepala B.P.N. No.3 Tahun 2007, Tentang Ketentuan Pelaksanaan


Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005, Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembagunan Untuk Kepentingan Umum, Sebagaimana Telah di
Ubah Dengan Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006, Tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden No.36 Tahun 2005, Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksaan Pembagunan Untuk Kepentingan Umum.
x. 1. Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
2. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan
Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
3. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 Tahun 2012 Tentang
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 Tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembanguanan Untuk Kepentingan
Umum.
5. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang /Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Perubahan Kedua atas Peraturan
Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah.

15. Pengaturan, Pembagian, Pemilikan, Penguasaan Dan Penataan Tanah


(Landreform). Peraturannya Terdiri Dari :
a. Undang-Undang No.56 Prp Tahun 1960 (LN 1960-174), Tentang Penetapan
Luas Tanah Pertanian.
b. Penjelasan Undang-Undang No.56 Prp.1960 (TLN 2117), Tentang Penjelasan
Undang-Undang No.56 Prp.1960.
c. Surat Keputusan Menteri Agraria No.SK.978/Ka/1960, Tentang Penegasan Luas
Maksimum Tanah Pertanian.
d. Instruksi Bersama Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Menteri
Agraria No.Sekra 9/1/2., Tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.56 Prp,
Tahun 1960.
e. Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria No.Sk.10/Ka/963, Tentang
Penegasan Berlakunya Pasal 7 U.U. No. 56 Prp Tahun 1960, Bagi Gadai
Tanaman Keras.
f. Peraturan Menteri Pertanian Dan Agraria No.20 Tahun 1960, Tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Gadai.
g. Peraturan Pemerintah No.224 Tahun 1961 (LN 1961-280), Tentang Pelaksanaan
Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian.
h. Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah No.224 Tahun 1961 (TLN 2322),
Tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah Dan Pemberian Ganti Kerugian.
i. Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1964 (TLN 1964-112), Tentang Perubahan
Dan Tambahan Peraturan Pemerintah No.224 Tahun 1961.

138
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

j. Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1964 (TLN 2702), Tentang
Perubahan Dan Tambahan Peraturan Pemerintah No.224 Tahun 1961.
k. Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1977 (LN 1977-5), Tentang Pemilikan Tanah
Pertanian Secara Guntai (Absentee) Bagi Para Pensiunan Pegawai Negeri.
l. Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1977 (TLN 3094), Tentang
Pemilikan Tanah Pertanian Secara Guntai.
m. Undang-Undang No.7 Tahun 1970 (LN 1970-41), Tentang Penghapusan
Pengadilan Landreform.
n. Penjelasan Atas Undang-Undang No.7 Tahun 1970 (TLN 2939), Tentang
Penghapusan Pengadilan Landreform.
o. Undang-Undang No.2 Tahun 1960 (LN 1960-2), Tentang Perjanjian Bagi Hasil
Tanah Pertanian.
p. Penjelasan Mengenai Undang-Undang No.2 Tahun 1960 (TLN 1924), Tentang
Perjanjian Bagi Hasil.
q. Surat Keputusan Menteri Muda Agraria No.SK 322, Tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No.2 Tahun 1960.
r. Surat Menteri Pertanian Dan Agraria Tanggal 23 Maret 1964 No.2/1/64,
Tentang Surat Pengantar Sekaligus Penjelasan Peraturan Menteri Pertanian Dan
Agraria No.4 Tahun 1964.
s. Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria No.4 Tahun 1964, Tentang Penetapan
Perimbangan Khusus Dalam Pelaksanaan Perjanjian Bagi Hasil.
t. Peraturan Menteri Agraria No.4 Tahun 1964, Tentang Pedoman
Penyelenggaraan Perjanjian Bagi Hasil.
u. Instruksi Presiden No.13 Tahun 1960, Tentang Pedoman Pelaksanaan U.U.
No.2/1960.
v. Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Pertanian No.211/1980
– No.714/Kpts/Um/o/1980, Tentang Petunjuk Pelaksanaan Instruktur Presiden
No.13/1960.
w. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.15 Tahun 1974, Tentang Pedoman Tindak
Lanjut Pelaksanaan Landreform.
x. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.3 Tahun 1991, Tentang
Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek Landreform Secara Swadaya.
y. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No.4 Tahun 1991, Tentang
Konsolidasi Tanah.

16. Pengaturan Penatagunaan Tanah Diatur Dalam :


a. Undang-Undang No.38 Tahun 1960, Tentang Penggunaan Dan Penetapan Luas
Tanah Untuk Tanaman-Tanaman Tertentu.
b. Uandang-Undang No.24 Tahun 1992, Tentang Penataan Ruang
c. Undang-Uandang No.22 Tahun 1999, Tentang Pemerintahan Daerah
d. Peraturan Pemerintah No.69 Tahun 1996, Tentang Pelaksanaan Hak Dan
Kewajiban, Serta Bentuk Dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat Dalam
Penataan Ruang.

139
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

e. Peraturan Pemerintah No.36 Tahun 1998, Tentang Penertiban dan


Pendayagunaan Tanah Terlantar.
f. Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000, Tentang Kewenagnan Pemerintah
Dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom
g. Peraaturan Pemerintah No.20 Tahun 2001, Tentang Pembinaan dan Pengawasan
Atas Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
h. Peraturan Pemerintah RI No. 16 Tahun 2004, Tentang Penatagunaan Tanah.

BAB III
Struktur Menteri Agraria/Dirjen Agraria/Kepala B.P.N./Menteri
Negara Agraria/Kepala B.P.N. dan Menteri Agraria Dan Tata
Ruang/Kepala B.P.N.

Memperhatikan perkembangan sejarah bangsa Indonesia dan tanah air Indonesia


sejak kedatangan Belanda Tahun 1602 yang semula sebagai pengusaba (V.O.C) dan
kemudian berubah menjadi penguasa, yang membawa pola pikir, budaya dan hukum
dari negaranya dalam melaksanakan politik sebagai penjajah, maka kepentingan negara
dan pengusaha pendatang asing sangat diperhatikan daripada kepentingan masyarakat
dan bangsa yang dijajah, yaitu masyarakat dan bangsa Indonesia.207

A. Awal Terbentuknya Struktur B.P.N.


Pada masa kemerdekaan, tekad Pemerintah untuk membenahi dan
menyempurnakan pengelolaan pertanahan makin bulat. Menyadari bahwa landasan
hukum pertanahan (yang waktu itu ada) merupakan produk hukum warisan
Pemerintah jajahan Belanda, Pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri mulai

207
Akibat situasi tersebut di atas, maka di bidang pertanahan timbul hak barat dan hak adat,
dimana tanah yang terkena hak barat ditata dengan administrasi yang baik sebaliknya hak adat tidak
tertata dengan baik Kedatangan Raffles memperkenalkan registrasi tanah untuk perpajakan bagi hak-hak
adat di pulau Jawa, yang kemudian diteruskan oleh Daendels dalam Pemerintahan Belanda di seluruh
pulau Jawa, Bali dan Minahasa Akhirnya lahir program Tanam Paksa tahun 1830. Kemudian masalah
tanali/wilayah dipergunakan oleh Belanda sebagai sarana Politik Divide lit Impcra bagi kerajaan-kerajaan
dipulau Jawa. Walaupun telah banyak peran pahlawan bangsa melawan penjajah Belanda, tetapi inereka
tidak mampu mengusir Belanda, bahkan lahinrya Undang-undang Agraria Kolonial 1870 inempersulit
bangsa Indonesia dalam bidang pertanahan, karena Agrarisch Wet tahun 1870 dengan Domain
Verklaringnya yang individualists, dualisme (bahkan pluralisms) hukum tidak memberi jaminan
kepastian hukum bagi rakyat Indonesia. Baru pada tahun 1960 lahirlah UUPA yakni UU No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UUPA sebagai UU Nasional telah merombak secara
radikal UU agraria/tanah kolonial yang inempunyai sifat, semangat dan jiwa kerakyatan (populis) yang
didasarkan pada hukum adat sebagai hukum asli rakyat dan bangsa Indonesia dengan visi antara lain : 1.
Kesatuan dan persatuan yang didasarkan pada hak bersama seluruh rakyat sebagai bangsa Indonesia
(Pasal 1 UUPA) dan 2. Dengan tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat 3 UUPA).
Dengan demikian telah diletakkan landasan dan dasar dalam pengurusan/pengelolaan agraria/pertanahan
untuk memberikan keadilan, pemerataan dan jaminan kepastian hukum termasuk penyediaan tanah untuk
pembangunan nasional menuju masyarakat adil dan makmur dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. (Lihat Kajian Penyelenggaraan Urusan Pertanahan Sehubungan dengan Otonomi Daerah
Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Badan Pertanahan Nasional, Sekolah Tinggi
Pertanahan Nasional, 1999, h. 1-2).

140
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

serius mempersiapkan landasan hukum pertanahan yang sesuai dengan UUD


1945.208
Mulanya pada tahun 1948, berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun
1948, Pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Tiga tahun kemudian,
Pemerintah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951, yang intinya
membentuk Panitia Agraria Jakarta, sekaligus membubarkan Panitia Agraria
Yogyakarta. Pembentukan kedua panitia agraria itu dimaksudkan sebagai upaya
untuk mempersiapkan lahirnya unifikasi hukum pertanahan yang sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia.209
Selanjutnya lewat Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955,
Pemerintahmembentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri dan terpisah dari
Dartemen Dalam Negeri. Menurut Keppres tersebut, tujuan dan tugas kementerian
Agraria, antara lain sebagai berikut:
a. Mempersiapkan pembentukan perundang-undangan Agraria Nasional yang sesuai
dengan ketentuan Pasal 16,27 ayat (1) dan Pasal 3 8 Undang- Undang Sementara
Tahun 1960.
b. Melaksanakan dan mengawasi perundangan agraria pada umumnya serta
memberikan petunjuk tentang pelaksanaan pada khususnya. Menjalankan segala
usaha untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak tanah bagi rakyat. 210
Pada tahun 1956, berdasarkan Keputusan Presiden R.I. Nomor 1 Tahun
1956dibentuklah Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta yang sekaligus
membubarkan Panitia Agraria Jakarta. Tugas Panitia Negara Urusan Agraria ini
antara lain, untuk mempersiapkan proses pembentukan Undang-Undang Agraria
Nasional.211
Pada 1 Juni 1957, Panitia Negara Urusan Agraria selesai menyusun naskah
draf rancangan UUPA. Pada saat yang sama berdasarkan Keputusan Presiden
Nomor 190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula masuk dalam
lingkungan Kementerian Kehakiman dialihkan dalam tugas Kementerian Agraria.
Dengan begitu, tugas Kementerian Agraria bertambah lagi:
a. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah R.I.
b. Pembukuan hak-hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak-hak tersebut.212
Tahun 1958, berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 97
Tahun 1958, Panitia Negara Urusan Agraria dibubarkan. Selanjutnya tanggal 24
April 1958 Rancangan UUPA diajukan kepada DPR. Berdasarkan Undang- undang
No. 7 Tahun 1958 (Lembaran Negara No. 17/1958) ditetapkan pengalihan tugas dan
wewenang yang menyangkut agraria dari Menteri Dalam Negeri kepada Menteri
Agraria serta pejabat agraria di daerah. Melalui undang-undang tersebut lambat laun,
terbentuk aparat agraria di tingkat Propinsi, Keresidenar.. Kabupaten/Kotamadya.213

208
Ibid., h. 15.
209
Ibid., h. 15.
210
Ibid., h. 15.
211
Ibid., h. 16.
212
Ibid., h. 16.
213
Ibid., h. 15.

141
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

1. Tahun 1960-1965.
Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada tanggal 24
September 1960. Ketika itu, rancangan UUPA disetujui dan disahkan menjadi
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara Nomor 104 Tahun
1960 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043, tentang Penjelasan UU
Nomor 5 Tahun 1960). Dengan diberlakukannyaUU No. 5 Tahun 1960 maka
untuk pertama kalinya, pengaturan soal tanah menggunakan produk hukum
nasional yang bersumber dari hukum adat. Bersamaan dengan itu Agrarisch Wet
dinyatakan tidak berlaku lagi dan sekaligus menandai berakhirnya dualisir hukum
Agraria di Indonesia.214
Pada tahun 1964, melalui Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964.
ditetapkan tugas, susunan dan pimpinan Departemen Agraria sebagai berikut:
Susunan Kantor Pusat Departemen Agraria ;
Dewan Perancang Departemen Agraria
(a) Biro Menteri;
(b) Direktorat Hukum;
(c) Direktorat Pengurusan Hak-Hak;
(d) Direktorat Landreform;
(e) Direktorat Landuse;
(f) Direktorat Pengukuran Dasar Area Survei;
(g) Biro Perbekalan;
(h) Biro Tata Usaha yang terdiri dari
(1) Bagian keuangan;
(2) Bagian kepegawaian;
(3) Bagian umum dan rumah tangga;
(4) Bagian kepaniteraan;
(5) Bagian perbendaharaan.
Satuan-satuan organisasi di luar kantor pusat departemen :
(a) Direktorat Pendaftaran Tanah;
(b) Lembaga Penafsiran Potret Udara:
(c) Perusahaan (Negara) Pengukuran Pemetaan;
(d) Baaan-badan Pelaksana di daerah.215
Kantor Inspeksi Agraria, Kantor Pengawasan Agraria dan Kantor
AgrariaDaerah yang semuanya berada di bawah Kantor Pusat. Kantor-kantor
Pengukuran Dasar berada di bawah Direktorat Land Use, Kantor-kantor
Pengukuran Dasar berada di bawah Direktorat Pengukuran Dasar dan Arei
Survei, Kantor Inspeksi Pendaftaran Tanah, Kantor-kantor Pengawasan yang
merupakan bagian dari Direktorat Pendaftaran Tanah.216
Adapun tugas Departemen agraria, antara lain :
(a) Menyelenggarakan landreform dalam arti luas;
(b) Menyelenggarakan likuidasi hak-hak dan sisa-sisa feodal atas tanah;
214
Ibid., h. 16.
215
Ibid., h. 17.
216
Ibid., h. 17-18.

142
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

(c) Menyelenggarakan penyelesaian pembangunan Hukum Agraria Nasional;


(d) Menyelenggarakan administrasi dalam arti luas.217
Pada tahun 1964, Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964
disempurnakan kembali dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1965
(Tentang Tugas Departemen Agraria serta Penambahan Direktorat Transmigrasi
dan Kehutanan ke dalam Organisasi di Tingkat Pusat). Dalam peraturan itu
dijelaskan bahwa Urusan Agraria dipegang oleh Departemen Agraria dengan
ruang lingkup tugas sebagai berikut:
Mengadakan Landreform dalam arti luas, yang meliputi :218
(a) Penjebolan dan pembangunan kembali sistem pemilikan dan penguasaan
tanah (landreform dalam arti sempit);
(b) Penjebolan serta penetapan kembali cara-cara penggunaan tanah (land use);
(c) Penjebolan Hukum Agraria Kolonial serta pembangunan kembali Hukum
Agraria yang progresif revolusioner.

2. Tahun 1965-1988.
Setelah selama 11 tahun Direktorat Agraria statusnya ditingkatkan menjadi
Kementerian / Departemen Agraria, pada tahun 1965, lembaga ini diciutkan
kembali menjadi setingkat Direktorat Jenderal. Hanya saja cakupannya ditambah
dengan direktorat di bidang transmigrasi sehingga namanya menjadi Direktorat
Agraria dan Transmigrasi yang masih bernaung di bawah Departemen Dalam
Negeri. Alasannya Pemerintahan Orde Baru ingin menyederhanakan organisasi
dalam rangka efisiensi.219
Pada tahun itu juga terjadi perubahan organisasi secara mendasar.
Direktorat Jenderal Agraria tepat menjadi salah satu bagian dari Departemen
Dalam Negeri dan berstatus Direktorat Jenderal. Sedangkan urusan transmigrasi
ditarik kembali ke dalam lingkungan Departemen Veteran, Transmigrasi dan
Koperasi.220
Tahun 1972, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 145 Tahun 1969
dicabut dan selanjutnya diganti dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
88 Tahun 1972, tentang Penyatuan Instansi Agraria di Daerah. Berdasarkan
Keputusan itu, instansi agraria di daerah disatukan dalam satu vadah pimpinan.
Untuk ditingkat Propinsi dibentuk Kantor Direktorat Agraria Propinsi, sedangkan
di tingkat Kabupaten/Kotamadya dibentuk Kantor Sub Direktorat Agraria
Kabupaten/Kotamadya.221
Kantor Direktorat Agraria Propinsi secara operasional bertanggung jawab
kepada Gubernur Kepala Daerah dalam kedudukannya sebagai wakil
Pemerintahan pusat. Sedangkan secara teknis administratiftetap bertanggung
jawab kepada Menteri Dalam Negeri. Demikian pula di tingkat Kabupaten/

217
Ibid., h.18.
218
Ibid., h.18-19.
219
Ibid., h.20.
220
Ibid., h.20.
221
Ibid., h.20.

143
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Kotamadya Kepala Sub Direktorat Agraria secara teknis operasional bertangung


jawab kepada Bupati/Walikota dalam kedudukannya selaku wakil Pemerintah
Pusat. Sedangkan secara teknis administratif tetap bertanggung jawab kepada
Menteri Dalam Negeri, melalui Gubernur Kepala Daerah.222
Selanjutnya berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 187 dan
188 Tahun 1972, susunan organisasi Direktorat Jenderal Agraria kembali
disempurnakan. Adapun tugas pokoknya adalah merencanakan dan
menyelenggarakan segala usaha dan kegiatan di bidang keagrariaan. Dampak
perubahan susunan organisasi itu ternyata membawa pengaruh positif. Koordinasi
tugas bidang keagrariaan, misalnya di tiga kantor tersebut menjadi lebih baik dan
terpadu misalnya adanya kesatuan dan pelaksanaan tindakan dalam tugas.223
Pada tahun 1974 dan 1975, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 dan
45 tahun 1974 jo Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 94 tahun 1975
struktur organisasi Direktorat Jenderal Agraria mengalami perubahan lagi. Prinsip
perubahannya adalah menghapus Direktorat Penelitian dan Pengembangan,
sehingga susunannya menjadi :224
(a) Direktorat Tata Guna Tanah;
(b) Direktorat Landreform;
(c) Direktorat Pengurusan Hak-Hak Tanah;
(d) Direktorat Pendaftaran Tanah;
(e) Sekretariat Direktorat Jenderal Agraria.
Berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 72 Tahun 1982,
susunan Kantor Agraria di tingkat Propinsi dan Kabupaten/Kotamadya tetap tidak
mengalami perubahan. Di tingkat daerah, berdasarkan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 133 Tahun 1978, terdapat sedikit perubahan dibanding struktur
organisasi berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88 Tahun 1972.
Berdasarkan Keputusan Menteri yang baru itu ditingkat propinsi kemudian
disebut Direktorat Agraria Propinsi sedangkan di Tingkat Kabupaten Kotamadya
disebut Kantor Agraria Kabupaten/Kotamadya.225
Secara prinsip, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 133 Tahun 1978
isinya tidak jauh berbeda dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 88
Tahun 1972. Keputusan tersebut masih tetap dan berdasarkan asas dekonsentrasi
seperti dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974.226

3. Tahun 1988-2003.
1) Badan Pertanahan Nasional (1988-1993).
Sejalan dengan meningkatnya pembangunan nasional, kebutuhan akan
tanah juga semakin meningkat. Peningkatan kebutuhan tanah itu sebagian
diakibatkan oleh meningkatnya kegiatan pembangunan. Kebutuhan

222
Ibid., h.19-20.
223
Ibid., h.20.
224
Ibid., h.21.
225
Ibid., h.21-22.
226
Ibid., h.22.

144
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

pembangunan prasarana ekonomi dan sektor Industri bagi Pemerintah dan


dunia swasta, misalnya juga memerlukan penyediaan tanah yang memadai.
Akibatnya, persoalan yangdihadapi Direktorat Jenderal Agraria, Departemen
Dalam Negeri, makin bertambah berat dan rumit.227
Guna mengatasi permasalahan pertanahan secara terencana dan terpadu
khususnya beban yang dihadapi Direktorat Jenderal Agraria berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, Status Direktorat Jenderal
Agraria, Departemen Dalam Negeri, ditingkatkan menjadi Lembaga
Pemerintah Non Departemen dengan nama Badan Pertanahan Nasional.228
Kemudian dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3, Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, BPN
menjalankan fungsi sebagai berikut :229
(a) Merumuskan kebijakan perencanaan penguasaan penggunaan tanah;
(b) Merumuskan kebijakan dan perencanaan pengaturan pemilikan tanah
dengan prinsip-prinsip bahwa tanah mempunyai fungsi sosial
sebagaimana diatur dalam UUPA;
(c) Melaksanakan pengukuran dan pemetaan serta pendaftaran tanah dalam
upaya memberikan kepastian hak di bidang pertanahan;
(d) Melaksanakan pengurusan hak-hak tanah dalam rangka memelihara tertib
administrasi di bidang pertanahan;
(e) Melaksanakan penelitian dan rengembangan di bidang pertanahan serta
pendidikan dan latihan tenaga-tenaga yang diperlukan di bidang
administrasi pertanahan;
(f) Lain-lain yang ditetapkan oleh Presiden.
Tugas dan fungsi BPN sebagaimana yang tertuang dalam Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1988 ( Pasal 2 dan 3, khususnya huruf f) itu dapat
diketahui bahwa cakupan tugas yang diemban BPN menjadi sangat luas. Hal
ini disebabkan, Badan Pertanahan Nasional (BPN) harus mengelola dan
mengembangkan administrasi pertanahan seperti yang diamanatkan UUPA
juga berdasarkan peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan
pertanahan serta berdasarkan kebijaksanaan dan ketetapan Presiden.230
Guna membentuk organisasi dan tata kerja, Kepala Badan Pertanahan
Nasional mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 11/Ka.BPN/1988, tentang
Organisasi dan Tata Kerja BPN. Menurut surat keputusan itu, dalam
menjalankan tugasnya (Pasal 1, ayat (2)) Kepala BPN dibantu oleh :

227
Ibid., h.22.
228
Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 BPN dalam menjalankan tugasnya tidak lagi
bertanggung Menteri jawab Dalam Negeri melainkan langsung kepada Presiden. Dalam membantu tugas
Presiden, BPN dipimpin oleh seorang Kepala Badan yang bertugas mengelola dan mengembangkan
administrasi pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun peraturan perundang-undangan lain yang
meliputi pengaturan penggunaan, penguasaan pemilikan tanah, pengurusan hak-hak tanah, pengukuran
dan pendaftaran tanah dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan berdasarkan
kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden (Keputusan Presiden nomor 26 Tahun 1988, Pasal 2 )
(Ibidh. 22-23).
229
Ibid., h. 25.
230
Ibid., h. 26.

145
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

(a) Deputi Umum;


(b) Deputi Bidang Pengaturan, Penguasaan dan penatagunaan Tanah;
(c) Deputi Bidang Hak-Hak Atas Tanah;
(d) Deputi Bidang Pengukuran dan Pendaftaran Tanah;
(e) Deputi Bidang Pengawasan;
(f) Pusat Penelitian dan Pengembangan;
(g) Pusat Pendidikan dan Latihan;
(h) Staf Ahli;
(i) Kantor Wilayah.231
Pada tahun 1989, Kepala BPN melalui Keputusan Kepala BPN Nomor 1
Tahun 1989, tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional di Propinsi dan Kantor Pertanahan di Kabupaten
Kotamadya menyusun organisasi aparat BPN di daerah.232
Kedudukan Kepala Kantor Wilayah bertanggung jawab langsung kepada
Kepala BPN. Sedangkan di tingkat Kabupaten/Kotamadya dibentuk kantor
pertanahan yang merupakan instansi vertikal yang berada dan bertanggung
jawab kepada Kepala Kantor Wilayah.233
Kantor Wilayah BPN di tingkat Propinsi dan Kantor Pertanahan di
tingkat Kabupaten/Kotamadya merupakan instansi vertikal dan bertanggung
jawab kepada Kepala BPN ini merupakan perwujudan dari asas dekonsentrasi
sebagaimana tersurat pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, Tentang
Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah.234

2) Menteri Negcra Agraria Badan Pertanahan Nasional (1993-1999)


Setelah berjalan lima tahun (1988-1993), segala usaha yang
dilaksanakan mulai dirasakan hasilnya meskipun masih belum optimal. Hal
ini, antara lain, disebabkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai
lembaga non departemen dalam melaksanakan tugas tanggung jawabnya
kepada Presiden masih harus dilakukan melalui Menteri Sekretaris Negara.
Hal ini sangat berpengaruh terhadap produktivitas dan kualitas pelayanan
kepada masyarakat.235

231
Ibid., h. 26.
232
Ibid., h. 26.
233
Ibid., h. 27.
234
Ibid., h. 27.
235
Sebagai lembaga Pemerintah non departemen yang bertanggung jawab menangani bidang
pertanahan secara nasional, dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, BPN memerlukan produk hukum
yang berupa peraturan. (regeling) maupun ketetapan (beschikking) yang berlaku baik secara ekstern
maupun intern dalam rangka menjabarkan UUPA. Sementara itu, kedudukan lembaga BPN yang di
bawah kendali Sekretaris Negara hanya memungkinkan melahirkan produk peraturan yang bersifat
internal (umumnya hanya sampai di tingkat keputusan Itu sebabnya, kemudian dirasa perlu status BPN
lebih ditingkatkan lagi agar dapat melahirkan produk hukum yang sifatnya lebih luas. Terbentuknya
Kabinet Pembangunan VI dan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993,
terbentuklah Menteri Negara Agraria yangtugasnya khusus menangani soal agraria. Berdasarkan
Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1993, Menteri Negara Agraria mempunyai tugas pokok menangani
hal-hal yang berhubungan dengan keagrariaan yang fungsinya tercantum dalam Pasal 6, butir 6.
Kemudian pada tahun 1994, Menteri Negara Agraria/ Kepala BPN menerbitkan Surat Keputusan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1994, tentang Susunan Organisasi dan Tata

146
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Dalam melaksanakan tugas dan fungsi tersebut di atas, Menteri Negara


Agraria menangani urusan di bidang keagrariaan serta merumuskan kebijakan
yang bersifat koordinatif. Sedangkan tugasnya sebagai Kepala BPN lebih
bersifat operasional. Lahirnya Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993,
tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI jo Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1994, tentang
Organisasi dan Tata Kerja Staf Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional yang sekaligus juga Menteri Negara. Dan kedudukan
Kantor Menteri Negara dipimpin oleh seorang Menteri yang posisinya sejajar
dengan departemen teknis lainnya.

3) Badan Pertanahan Nasional Tahun 1999 sampai dengan 31-5-2003.


Pada tahun 1999 sampai dengan 31-5-2003 adalah masa krisis struktur
BPN yang sangat strategis dan komplek. Hal ini terjadi pertama, akibat
reformasi dan dilanjutkan lagi dengan lahirnya Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Maka terjadi pula perubahan
organisasi Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
menjadi Badan Pertanahan Nasional, yang dirangkap oleh Surjadi Soedirdja
selaku Menteri Dalam Negeri.236Kedua, adanya tarik menarik kekuasaan
antara Pemerintah pusat dengan daerah, dalam hal kewenangan di bidang
pertanahan. Ketiga, Pemerintah dalam hal ini Presiden berasumsi dan
berpendapat bahwa kebijakan peraturan perundang-undangan mengenai
pertanahan secara menyeluruh perlu disempurnakan.
Pada tahun 1955 sampai dengan 1958 hal ini pernah terjadi kevakuman
Badan Pertanahan Nasional, akibat aparat pelaksana dan struktur pertanahan di
daerah belum ada. Tahun 1955 Presiden telah membentuk Kementerian
Agraria berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955 tentang

Kerja Staf Kantor Menteri Negara Agraria Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 96/M Tahun 1993
Menteri Negara Agraria merangkap tugas sebagai Kepala Badan Pertanahan Nasional. Menteri Negara
Agraria dengan tugas pokok tersebut di atas. dalam menjalankan tugasnya memiliki fungsi sebagai
berikut: Mengkoordinasi perumusan kebijakan Pemerintah di bidang keagrariaan Merencanakan
pelaksanaan kebijakan dalam rangka penyusunan program keagrariaan, Mengkoordinasikan kegiatan
seluruh instansi Pemerintah yang berhubungan dengan keagrariaan dalam rangka pelaksanaan program
Pemerintah ecara menyeluruh, Meningkatkan partisipasi masyarakat di bidang keagrariaan,
Mengkoordinasi kegiatan operasional Badan Pertanahan Nasional, Mengkoordinasikan kegiatan Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional sejauh menyangkut bidang pemetaan tanah, Menyampaikan
laporan, bahan keterangan, serta saran dan pertimbangan dibidangtugas dan tanggung jawabnya kepada
Presiden. Sedangkan Menteri Negara Agraria yang merangkap sebagai Kepala Badan Pertanahan
Nasional, berdasarkan keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 bertugas : memimpin Badan
Pertanahan sesuai dengan tugas dan fungsi dan membina aparatur Badan Pertanahanan Nasional agar
berdaya guna dan berhasil guna, menentukan kebijakan tekhnis pertanahan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, membina dan melaksanakan kerja sama di bidang pertanahan dengan
departemen dan lembaga Pemerintah lainnya baik di tingkat pusat maupun daerah. (Ibid., h. 27-29).
236
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1999, Tanggal 7-12-1999, tentang,
Perubahan atas Keputusan Presiden tentang, perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988,
tentang, Badan Pertanahan Nasional. Dalam Pasal II menjelaskan, dengan berlakunya Keputusan
Presiden ini, Menteri Dalam Negeri selaku Kepala Badan Pertanahan segera mengambil langkah-langkah
penyesuaian tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional dalam kaitannya dengan pelaksanaan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.

147
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

pembentukan Kementerian Agraria. Kementerian Agraria ini tidak berfungsi


dan berjalan akibat aparat dan strukturnya belum ada di daerah-daerah untuk
melaksanakan pelayanan masyarakat dalam hal Agaria/pertanahan.
Oleh karena struktur dan aparat pelaksana belum dibentuk di daerah
maka pelayanan masyarakat dalam hal Agraria/pertanahan ditangani oleh
pejabatpamongpraja.
Kemudian pada tahun 1958 tugas-tugas di bidang Agraria/pertanahan ini
baru diserahkan oleh pejabat-pejabat pamongpraja kepada Menteri Agraria
beserta jajarannya, aparat pelaksanaannya di daerah-daerah. Hal ini diserahkan
oleh pejabat pamongpraja setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 7
Tahun 1958.
Kemudian keberadaan BPN ini ditindaklanjuti lagi berdasarkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 95 Tahun 2000 Tanggal 19-7-
2000 tentang
Badan Pertanahan Nasional jo. Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 15 Tahun 2000 Tanggal 2-11-2000 tentang, Pelaksanaan Tugas-tugas
Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun
2000 tentang, Badan Pertanahan Nasional.
Namun pada tanggal 17-11-2000 juga oleh Menteri Dalam Negeri dan
Otonomi Daerah, dan Sekretaris Utama BPN telah menerbitkan lagi keputusir
yaitu, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 50
Tahun 2000 Tanggal 17-11-2000, dan surat Sekretaris Utama Tanggal 23-11-
2000 Keputusan Menteri Dalam Negeri ini menjelaskan adanya Dinas
Pertanahan.237 Padahal dari 23 (dua puluh tiga) pasal dari
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah ini tidak ada
menyebutkan Dinas Pertanahan. Dinas Pertanahan terdapat hanya di dalam
lampiran, oleh karenanya penulis melihat adanya keanehan dari produk
perundang-undangan ini, dan mengakibatkan munculnya penafsiran yang
berlainan dari masing-masing daerah di wilayah Negara Republik Indonesia
ini.
Akibat penafsiran yang berlainan tersebut dan keadaan yang tidak
menentu maka beberapa Pemerintah daerah di Indonesia telah membentuk
Dinas Pertanahan. Dinas Pertanahan yang pertama terbentuk adalah di
Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Dalam kasus Dinas Pertanahan di Kabupaten
Pati ini terjadi juga pergolakan politik, bahkan sempat terjadi ancam
mengancam nyawa antara karyawan/karyawati Kantor Pertanahan, instansi
vertikal melawan Kepala Dinas Pertanahan, instansi horizontal Kabupaten
Pati. Namun untungnya hal ini tidak terjadi.
Demikian juga di wilayah Propinsi DKI Jakarta telah dibentuk Dinas
Pertanahan dan Pemetaan.238 Masalah ini semua terjadi akibat kebijakan dar

237
Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 50 Tahun 2000, Tanggal 17
Nopember 2000, tentang, Pedoman Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah, lampiran III.
17.
238
Peraturan Daerah Propinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 2001, Tanggal 21 Agustus 2001.

148
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

politik Pemerintah yang tidak menentu akibat adanya tarik menarik kekuasaan
masalah pertanahan dari Pemerintah Pusat dengan daerah. Munculnya tarik
menarik kekuasaan ini diakibatkan adanya beberapa kebijakan Pemerintah
Pusat yang tidak signiflkan dan menimbulkan kontroversi.
Selanjutnya terjadi lagi anomali dan kevakuman BPN, yang menjelaskar
antara lain, susunan unit organisasi eselon I dan tugasnya di lingkungan BPN
akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden tersendiri selambat-
lambatnya 6 (enam) bulan sejak ditetapkannya Keputusan Presiden ini.239
Oleh karena itu terdapat kevakuman Badan Pertanahan Nasional terhitung
tanggal 15-12-2000 sampai dengan Mei 2001.
Kemudian terbit lagi Keputusan Presiden yang menyatakan antara lain,
sebelum ditetapkan peraturan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Propinsi sebagai Daerah Otonom, pelaksanaan otonomi daerah di bidang
pertanahan, berlaku Peraturan, Keputusan, Instruksi dan Surat Edaran Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional yang telah ada.240
Seterusnya Keputusan Presiden ini ditindak lanjuti lagi dengan Surat Menteri
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Badan Pertanahan Nasional
Propinsi, yang mengatakan antara lain oleh karena personil, peralatan,
pembiayaan dan dokumen (PSD) tidak diserahkan, maka status Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan Kabupaten dan Kota,
tetap melaksanakan tugas sesuai dengan ketentuan yang mengenai Struktur
Organisasi, Tugas dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional.241 Kemudian
terbitlah Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk melaksanakan
Administrasi Pertanahan di Tingkat Pusat.242
Oleh karenanya penulis melihat kebijakan Pemerintah mengenai Badan
Pertanahan Nasional pada saat itu tidak terdapat sinkronisasi mengenai materi
perundang-undangan, sehingga makin mempertajam perdebatan kekuasaan
dan memperburuk keadaan struktur Badan Pertanahan Nasional.
Kemudian pada tanggal 17-5-2001 maka oleh Pemerintah dikeluarkan
lagi Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2001 tanggal
17-5-2001, yang isinya antara lain menyatakan, sebagian tugas Pemerintahan
yang dilaksanakan oleh BPN di daerah tetap dilaksanakan oleh Pemerintah
sampai dengan ditetapkannya seluruh peraturan perundang-undangan di
bidang pertanahan, selambat-lambatnya 2 (dua) tahun.243

239
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 178 Tahun 2000, Tanggal 15-12-2000 tentang,
Susunan Organisasi dan Tugas Lembaga Pemerintah non Departemen, Pasal 44.
240
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2001, Tanggal 17-1-2001 tentang,
Pelaksanaan Otonomi Daerah di bidang Pertanahan, Pasal 1.
241
Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Badan Pertanahan Nasional, Tanggal
23-1- 2001 Nomor 110-201-KBPN perihal, Penyampaian Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001.
242
Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nomor 6 Tahun 2001, Tanggal 15-6-2001,
tentang, Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional.
243
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2001, Tanggal 17-5-2001, tentang,
perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000 tentang, kedudukan, tugas, fungsi,

149
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Kemudian juga pada tanggal 13-9-2001, Pemerintah mengeluarkan lagi


Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001, yang isinya
antara lain menyatakan, sebagian tugas Pemerintahan yang dilaksanakan BPN
di daerah tetap dilaksanakan oleh Pemerintah sampai dengan ditetapkannya
seluruh peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, selambat-
lambatnya 31 Mei 2003.244 Akibat terjadinya perdebatan dan tarik menarik
kekuasaan antara Pemerintah pusat dan daerah, maka Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara menyatakan antara lain, Organisasi instansi
vertikal dan unit pelaksana teknis di daerah yang tidak diserahkan kepada
daerah, hendaknya tetap sebagaimana yang berlaku selama ini baik tugas,
fungsi, besaran maupun eselonnya sampai ditetapkan kebijakan lebih lanjut
terhadap unit organisasi tersebut.245

4) Badan Pertanahan Nasional Setelah Tanggal 31 Mei 2003.


Kurang lebih 4 (empat) tahun perdebatan dan pertarungan struktur
Badan Pertanahan Nasional, dalam kurun waktu 1 (satu) tahun 8 (delapan)
bulan lamanya politik hukum Badan Pertanahan Nasional telah berakhir
dengan perubahan 3 (tiga) pemimpin Negara mulai era B.J. Habibie,
Abdurahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri.
Kemudian terbitlah kebijakan mengenai struktur Badan Pertanahan
Nasional. Dimana Badan Pertanahan Nasional masih tetap dipertahankan
keeksisannya sebagai institusi yang bertanggungjawab dalam bidang
pertanahan langsung kepada Presiden,246 meskipun pada tanggal 29 Mei 2003,
ada pemberitaan Badan Pertanahan Nasional akan ditutup.247Berita ini dimuat
berhubung pelaksanaan mengenai Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2003
itu belum diterbitkan Keputusan pelaksanaannya dari Presiden. Namun setelah
tanggal 31 Mei 2003, Presiden telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor
34 Tahun 2003 yang isinya antara lain dengan berlakunya Keputusan Presiden
ini maka ketentuan Pasal 114 ayat (6) Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun
2001 tentang kedudukan tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan
tata kerja lembaga Pemerintah non departemen sebagaimana telah beberapa

kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga Pemerintah non Departemen sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2001, Pasal 109 ayat (6).
Kemudian terbitlah Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun 2001 Tanggal 15-6-
2001 tentang, organisasi dan tata kerja Badan Pertanahan Nasional.
244
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001, Tanggal 13-9-2001, tentang,
kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi, dan tata kerja lembaga Pemerintah Non
Departemen, Pasal 114 ayat (6).
245
Surat Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Republik Indonesia, Tanggal 5-10-2001
Nomor 257/M.PAN10/2001, perihal, Penataan Kelembagaan Pemerintah, butir 3.
246
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2003 Tanggal 26-5-2003, tentang,
Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang, Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 2002.
247
Harian Pos Kota, Tanggal 29 Mei 2003, menyatakan, Sekretaris Negara Bambang Kesowo,
mengakui Pemerintah akan segera menutup Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam waktu dekat.

150
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

kali diubah, terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2003,


dinyatakan tidak berlaku.248
Adapun materi lainnya yang mendasar dan akan dilaksanakan Badan
Pertanahan Nasional dalam Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 ini
adalah:
(1) Badan Pertanahan Nasional akan menyelesaikan paling lambat tanggal 1
Agustus 2004249 mengenai:
(a) menyusun Rancangan Undang-undang Penyempurnaan Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria dan Rancangan Undang-undang tentang Hak Atas Tanah
serta peraturan perundang-undangan lainnya di bidang pertanahan.250
(b) pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan yang
meliputi :251
(1)) penyusunan basis data tanah-tanah aset negara/Pemerintah/
Pemerintah daerah di seluruh Indonesia ;
(2)) penyiapan aplikasi data tekstual dan spasial dalam pelayanan
pendaftaran tanah dan penyusunan basis data penguasaan
danpemilikan tanah, yang dihubungkan dengan e-government, e-
commerce dan e-payment;
(3)) pemetaan kadasteral dalam rangka inventarisasi dan registrasi
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah
dengan menggunakan teknologi citra satelit dan teknologi
informasi untuk menunjang kebijakan pelaksanaan landreform
dan pemberian hak atas tanah ;
(4)) pembangunan dan pengembangan pengelolaan penggunaan dan
pemanfaatan tanah melalui sistem informasi geografi, dengan
mengutamakan penetapan zona sawah beririgasi, dalam rangka
memelihara ketahanan pangan nasional.
(2) Badan Pertanahan Nasional menyusun kewenangan yang akan
dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan propinsi, mengenai
norma-norma dan/atau standarisasi mekanisme ketatalaksanaan, kualitas
produk dan kualifikasi sumber daya manusia selambat-lambatnya 3 (tiga)
bulan yaitu tanggal 31-8-2003 setelah ditetapkannya Keputusan Presiden
ini.252
Adapun kewenangan yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah
Kabupaten/Kota dan propinsi tersebut meliputi :253
(a) pemberian ijin lokasi;
(b) penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;

248
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003 tentang, Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan, Pasal 5.
249
Ibid., Pasal 4.
250
Ibid., Pasal 1 butir a.
251
Ibid., Pasal 1 butir b.
252
Ibid., Pasal 3 ayat (2).
253
Ibid., Pasal 2 ayat (2).

151
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

(c) penyelesaian sengketa tanah garapan;


(d) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk
pembangunan;
(e) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian
tanah kelebihan maksimum dan tanah absente;
(f) penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
(g) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
(h) pemberian ijin membuka tanah;
(i) perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.
Hal inipun telah ditindaklanjuti oleh Kepala Badan Pertanahan
Nasional dengan menyurati, para Kepala Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional Propinsi dan para Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.254

5) Dualisme Struktur Pertanahan Pada Era Reformasi Tahun 1999-2003.


Dualisme struktur Pertanahan pada era Reformasi.
Sejak diterbitkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Otonomi Daerah, paling tidak ada 2 (dua) hal yang mendasar dan kontroversi,
mengenai struktur pertanahan. Pertama, Pemerintah Daerah telah membentuk
Peraturan Daerah mengenai adanya Dinas Pertanahan. Kedua, Pemerintah
Pusat masih mengakui adanya Kantor Pertanahan pada tingkat
PemerintahanKabupaten/Kota dan Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Propinsi pada tingkat Pemerintahan Propinsi tingkat I.
Dulu sebelum tahun 1960 terdapat dualisme hukum pertanahan di
Indonesia. Dualisme hukum tersebut terjadi akibat adanya dua sistem hukum
yang mengatur masalah pertanahan, di mana pengaturan tanah yang bersumber
kepada Hukum Barat dan satu lagi bersumber kepada hukum adat.
Demikian juga mengenai dualisme struktur yang ada pada era reformasi.
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dan Propinsi, membentuk Dinas
Pertanahan akibat dari Pasal 11 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 jo.
Keputusan Presiden Nomor 154 Tahun 1999 tentang, Perubahan atas
Keputusan Presiden tentang, Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan
Nasional. Dalam pada itu juga Pemerintah Pusat masih mengakui keberadaan
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi pada tingkat Propinsi.
dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 15 tahun 2000, tentang, Pelaksanaan tugas-tugas BPN
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000, tentang, Badan
Pertanahan Nasional.
Kemudian untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta diatur dalam Peraturan
Daerah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2001 tentang, bentuk
susunan organisasi dan tata kerja perangkat daerah dan sekretariat DPRD
Propinsi DKI Jakarta. Oleh karena itu dualisme hukum terjadi pada waktu dulu

254
Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-1316 Tanggal 31-5-2003, perihal,
Penyampaian dan penjelasan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003, tentang,
Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan Tanggal 31 Mei 2003.

152
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

karena perbedaan sistem hukum sedangkan pada saat ini (era Reformasi)
terjad: karena terdapat perbedaan substansi dari sistem hukum tersebut. Kalau
dulu murni kepada bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sekarang seolah-olah mau bergeser menjadi Negara Republik Indonesia
Serikat (RIS).
Lawrence M. Friedman, menjelaskan sistem hukum (Legal system).
merupakan Pabrik. Kemudian juga mengatakan sistem hukum itu terdiri dar: 3
(tiga) unsur yaitu:255
(1) Struktur, yaitu aparat Pemerintah yang terdiri dari eksekutif, yudikatif.
dan legislatif. Kemudian juga struktur tersebut disebut juga merupakar.
“mesin”.
(2) Substansi (substance), yaitu produk perundang-undangan yang
dikeluarkan oleh aparat Pemerintah, yang meliputi, mulai Tap MPR.
Undang-undang, Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presider
(Keppres), Instruksi Presiden (Inpres), Keputusan Menteri, Instruks
Menteri, dan sampai Surat Edaran Menteri. Hal ini disebut juga dengar.
istilah “produk mesin”.
(3) Budaya hukum (Legal culture), yaitu bagaimana persepsi masyaraka:
terhadap hukum. Hal ini disebut juga dengan istilah “yang menghidupkar
dan mematikan mesin”.
Dengan demikian apabila penulis mengkaitkan teori sistem hukum dari
Lawrence M. Friedman ini kaitannya dengan “dualisme struktur pertanahan”,
maka pada saat ini sedang terjadi 2 (dua) mesin untuk memproduksi dan
melaksanakan kebijakan Pemerintah untuk memberikan pelayanan dalam
bidang pertanahan.
Adapun hak dan kewenangan dari 2 (dua) struktur pelaksana masalah
pertanahan tersebut yaitu :
Pertama, Hak dan kewenangan Badan Pertanahan Nasional merumuskan
9 (sembilan) kebijakan untuk mengatur dan menyusun norma-norma dan/atau
standarisasi mekanisme ketatalaksanaan, kualitas produk dan kualifikasi
sumber daya manusia.256
Kedua, Hak dan kewenangan Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota,
melaksanakan 9 (sembilan) kewenangan yang akan dilimpahkan dan
dilaksanakan yaitu :257
(1) pemberian ijin lokasi;
(2) penyelenggaraan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
(3) penyelesaian sengketa tanah garapan;
(4) penyelesaian masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk
pembangunan;

255
Lawrence M. Friedman, American Law in Introduction (New York, London : W.W. Norton,
seco-: edition, 1998) 19-22.
256
Keputusan Presiden, Nomor 34 Tahun 2003, Pasal 3 ayat (2).
257
Ibid., Pasal 2 ayat (2).

153
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

(5) penetapan subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah
kelebihan maksimum dan tanah absentee;
(6) penetapan dan penyelesaian masalah tanah ulayat;
(7) pemanfaatan dan penyelesaian masalah tanah kosong;
(8) pemberian ijin membuka tanah;
(9) perencanaan penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota;
Mengenai bumi atau tanah, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara.258 Kemudian hak menguasai dari Negara tersebut memberi
wewenang untuk :259
(a) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
(b) menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan
bumi, air dan ruang angkasa;
(c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-
orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Dari hak menguasai dari Negara tersebut maka dapat ditarik kesimpulan
terdapat 2 (dua) wewenang, untuk mengatur dan melaksanakannya, yaitu
Pemerintah pusat dan daerah propinsi, serta Kabupaten/Kota.
Dengan demikian dapat dipahami dan dimengerti maksud dan tujuan
kata-kata dilaksanakan yang terdapat dalam Keputusan Presiden Nomor 34
Tahun 2003 tentang, Kebijakan Nasional di bidang Pertanahan didasarkan
pada UUPA.
Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat
dikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakat
hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingar.
nasional, menurut ketentuan-ketentuan Peraturan Pemerintah.260
Dengan demikian kata-kata dilaksanakan dalam Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 2003 tersebut baru menyangkut dikuasakan, jadi
belumdilimpahkan sesuai asas dekonsentrasi atau tugas pembantuan. Karena
kalau dia sudah menjadi dekonsentrasi atau tugas pembantuan tentunya
menjadi dibiayai atas beban APBN.261

258
Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 2 ayat (1).
259
Ibid., Pasal 2 ayat (2).
260
Ibid., Pasal 2 ayat (4).
261
Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang, Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah, Pasal 2, menjelaskan : 1. Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi dibiayai atas beban APBD.2. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang dilaksanakan
oleh perangkat Daerah propinsi dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.3.
Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah dan Desa dalam
rangka Tugas Pembantuan dibiayai atas beban APBN 4 Penyerahan atau pelimpahan kewenangan
Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat
Kepada Bupati/Walikota diikuti dengan pembiayaannya.

154
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Pertanyaannya sekarang, pertama, apakah memang lebih efektif apabila


ada 2 (dua) struktur untuk melaksanakan kebijakan Pemerintah dalam rangka
pelayanan masyarakat (public service ) ?
Untuk menjawab pertanyaan ini tentu dibutuhkan orang atau pihak
ketiga yang netral untuk meneliti hal ini agar masalahnya lebih jernih dar
argumentasinya dapat dipertanggung jawabkan dalam hal menuju Good
Governance, yaitu menuju Pemerintahan yang baik dan bersih.
Misalnya saja mengenai struktur atau aparat, maka Pemda akar.
menyiapkan sarana dan prasarana kantor, mulai dari gedung, peralatan, meja.
mesin komputer, AC dan lain-lainnya. Belum lagi akan membentuk pejabat
dar biaya penggajiannya dari mulai staf, Eselon V, IV, III dan II.
Kondisi ini apabila dianalisis dari beberapa pendekatan seperti ekonomi.
politik, hukum, sosial dan lain-lainnya, akan menambah biaya dan beban.
Pemerintah untuk melaksanakannya. Padahal, kondisi ini pada tahun 1955
sudah pernah terjadi.
Pertanyaan kedua, apakah dengan adanya dualisme struktur pertanahar.
dapat menjawab tantangan global ?
Menurut hemat penulis hal ini tentunya tidak dapat dibenarkan karena
adanya 2 (dua) struktur atau mesin apalagi berbeda jenis dan merk tentunya
menjadi faktor penghambat untuk menghadapi era global dalam hal kaitan
tanah sebagai salah satu sarana dalam hal mendatangkan investasi asing ke
Indonesia.
Dari uraian tersebut kiranya cukup jelas, pengertian maksud dan tujuar
Dualisme Struktur Pertanahan pada era reformasi. Oleh karena itu tentunya
penulis harapkan perlu penelitian dari filsafat ilmu, dan melakukan study
banding antar daerah, maupun propinsi, serta antar negara. Sekaligus peluang
Pemerintah Indonesia pula untuk dapat mengembangkan bisnis dalam negeri
maupun luar negeri, mengenai struktur dari suatu instansi yang menangan
masalah pertanahan.

B. Struktur Terbaru Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala B.P.N.


1. Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2015, Diundangkan Tanggal 23 Januari 2015,
Tentang Kementerian Agraria Dan Tata Ruang.262

Menetapkan:
PERATURAN PRESIDEN TENTANG KEMENTERIAN AGRARIA DAN
TATA RUANG
BAB I
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI

Pasal 1
(1) Kementerian Agraria dan Tata Ruang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden.

262
Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2015, Tentang Kementerian Agraria Dan Tata Ruang.

155
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

(2) Kementerian Agraria dan Tata Ruang dipimpin oleh Menteri.

Pasal 2
Kementerian Agraria dan Tata Ruang mempunyai tugas menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang agraria/pertanahan dan tata ruang untuk
membantu Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.

Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kementerian
Agraria dan Tata Ruang menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata ruang,
infrastruktur keagrariaan/pertanahan,hubungan hukum keagrariaan/pertanahan,
penataan agraria/pertanahan, pengadaan tanah, pengendalian pemanfaatan
ruang dan penguasaan tanah, serta penanganan masalah agraria/pertanahan,
pemanfaatan ruang, dan tanah;
b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Agraria dan Tata Ruang;
d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agraria dan
Tata Ruang;
e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang di daerah; dan
f. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur
organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

BAB II
ORGANISASI

Bagian Kesatu
Susunan Organisasi

Pasal 4
Kementerian Agraria dan Tata Ruang terdiri atas:
a. Sekretariat Jenderal;
b. Direktorat Jenderal Tata Ruang;
c. Direktorat Jenderal Infrastruktur Keagrariaan;
d. Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan;
e. Direktorat Jenderal Penataan Agraria;
f. Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah;
g. Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah;
h. Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang dan
Tanah;
i. Inspektorat Jenderal;
j. Staf Ahli Bidang Landreform dan Hak Masyarakat atas Tanah;
k. Staf Ahli Bidang Masyarakat Adat dan Kemasyarakatan; dan
l. Staf Ahli Bidang Ekonomi Pertanahan.

156
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

2. Peraturan Presiden RI No. 20 Tahun 2015, Di Undangkan Tanggal 23 Januari


2015, Tentang Badan Pertanahan Nasional.263

Menetapkan :
PERATURAN PRESIDEN TENTANG BADAN PERTANAHAN
NASIONAL.

BAB I
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI

Pasal 1
(1) Badan Pertanahan Nasional yang selanjutnya disebut BPN adalah
Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
(2) BPN dipimpin oleh seorang Kepala.

Pasal 2
BPN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan dibidang pertanahan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, BPN
menyelenggarakan fungsi:
a. penyusunan dan penetapan kebijakan di bidang pertanahan;
b. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan
pemetaan;
c. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah,
pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat;
d. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan dan
pengendalian kebijakan pertanahan;
e. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengadaan tanah;
f. perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengendalian dan
penanganan sengketa dan perkara pertanahan;
g. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan BPN;
h. pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN;
i. pelaksanaan pengelolaan data informasi lahan pertanian pangan
berkelanjutan dan informasi di bidang pertanahan;
j. pelaksanaan penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan; dan
k. pelaksanaan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan.

Pasal 4
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
dan Pasal 3, BPN dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang agraria dan tata ruang.

263
Peraturan Presiden RI No. 20 Tahun 2015, Tentang Badan Pertanahan Nasional.

157
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

BAB II
ORGANISASI

Bagian Kesatu
Susunan Organisasi

Pasal 5
BPN terdiri atas:
a. Kepala yang dijabat oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang;
b. Susunan unit organisasi Eselon I menggunakan susunan organisasi Eselon
I pada Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang tugas dan fungsinya
bersesuaian.

Bagian Kedua
Unsur Pendukung

Pasal 6
Unsur pendukung BPN menggunakan unsur pendukung yang ada di
lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang yang tugas dan fungsinya
bersesuaian.

BAB III
KANTOR WILAYAH DAN KANTOR PERTANAHAN

Pasal 7
(1) Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi BPN di daerah, dibentuk Kantor
Wilayah BPN di provinsi dan Kantor Pertanahan di kabupaten/kota.
(2) Kantor Pertanahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk lebih
dari 1 (satu) Kantor Pertanahan di tiap kabupaten/kota.
(3) Tugas, fungsi, susunan organisasi, dan tata kerja Kantor Wilayah BPN dan
Kantor Pertanahan ditetapkan oleh Kepala setelah mendapat persetujuan
dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang aparatur
negara.

BAB IV
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

Pasal 8
Di lingkungan BPN dapat ditetapkan jabatan fungsional sesuai dengan
kebutuhan yang pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

BAB V
TATA KERJA

Pasal 9
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, BPN harus menyusun peta bisnis proses
yang menggambarkan tata hubungan kerja yang efektif dan efisien antar unit
organisasi di lingkungan BPN.

158
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Pasal 10
Kepala menyampaikan laporan kepada Presiden mengenai hasil pelaksanaan
urusan pemerintahan di bidang pertanahan secara berkala paling sedikit setiap
3 (tiga) bulan sekali atau sewaktu-waktu sesuai kebutuhan.

Pasal 11
BPN harus menyusun analisis jabatan, peta jabatan, uraian tugas, dan
analisis beban kerja terhadap seluruh jabatan di lingkungan BPN.

Pasal 12
Setiap unsur di lingkungan BPN dalam melaksanakan tugasnya harus
menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam
lingkungan BPN maupun dalam hubungan antar instansi pemerintah baik pusat
maupun daerah.

Pasal 13
Setiap pimpinan unit organsiasi harus menerapkan sistem pengendalian
intern pemerintah di lingkungan masing-masing sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Pasal 14
Setiap pimpinan unit organisasi bertanggung jawab memimpin dan
mengkoordinasikan bawahan masing-masing dan memberikan pengarahan serta
petunjuk pelaksanaan tugas bawahan.

Pasal 15
Setiap pimpinan unit organisasi wajib mengawasi pelaksanaan tugas bawahan
masing-masing dan apabila terjadi penyimpangan wajib mengambil langkah-
langkah yang diperlukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

Pasal 16
Setiap pimpinan unit organisasi wajib mengikuti dan mematuhi petunjuk serta
bertanggung jawab kepada atasan masing-masing dan menyampaikan laporan
kinerja secara berkala tepat pada waktunya.

Pasal 17
Dalam melaksanakan tugas, setiap pimpinan unit organisasi harus melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap unit organisasi di bawahnya

3. Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala B.P.N. No.8 Tahun
2015, Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Agraria Dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional.264

Menetapkan :
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG ORGANISASI DAN
TATA KERJA KEMENTERIAN AGRARIA DAN TATA

264
Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala B.P.N. No.8 Tahun 2015, Tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

159
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

RUANG/BADAN PERTANAHAN NASIONAL.

BAB I
KEDUDUKAN, TUGAS, DAN FUNGSI

Pasal 1
(1) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional berada di
bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
(2) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional dipimpin
oleh Menteri yang sekaligus menjabat sebagai Kepala Badan Pertanahan
Nasional.

Pasal 2
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
mempunyai tugas menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
agraria/pertanahan dan tata ruang untuk membantu Presiden dalam
menyelenggarakan pemerintahan negara.

Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidang tata ruang,
infrastruktur keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum
keagrariaan/pertanahan, penataan agraria/pertanahan, pengadaan tanah,
pengendalian pemanfaatan ruang dan penguasaan tanah, serta penanganan
masalah agraria/pertanahan, pemanfaatan ruang, dan tanah;
b. koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan Kementerian
Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional;
d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agraria
dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional;
e. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional di daerah;
dan
f. pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsur
organisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional.

BAB II
SUSUNAN ORGANISASI

Pasal 4
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional terdiri
atas:
a. Sekretariat Jenderal, yang selanjutnya disebut Setjen;
b. Direktorat Jenderal Tata Ruang, yang selanjutnya disebut Ditjen I;
c. Direktorat Jenderal Infrakstruktur Keagrariaan, yang selanjutnya disebut
160
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Ditjen II;
d. Direktorat Jenderal Hubungan Hukum Keagrariaan, yang selanjutnya disebut
Ditjen III;
e. Direktorat Jenderal Penataan Agraria, yang selanjutnya disebut Ditjen IV;
f. Direktorat Jenderal Pengadaan Tanah, yang selanjutnya disebut Ditjen V;
g. Direktorat Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan
Tanah, yang selanjutnya disebut Ditjen VI;
h. Direktorat Jenderal Penanganan Masalah Agraria, Pemanfaatan Ruang
dan Tanah, yang selanjutnya disebut Ditjen VII;
i. Inspektorat Jenderal, yang selanjutnya disebut Itjen;
j. Staf Ahli Bidang Landreform dan Hak Masyarakat atas Tanah;
k. Staf Ahli Bidang Masyarakat Adat dan Kemasyarakatan;
l. Staf Ahli Bidang Ekonomi Pertanahan;
m. Pusat Pendidikan dan Pelatihan, yang selanjutnya disebut Pusdiklat;
n. Pusat Penelitian dan Pengembangan, yang selanjutnya disebut Puslitbang;
dan
o. Pusat Data dan Informasi Pertanahan, Tata Ruang, dan Lahan Pertanian
Pangan Berkelanjutan, yang selanjutnya disebut Pusdatin.

4. Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nsional


Republik Indonesia No. 38 Tahun 2016, Tentang Organisasi Dan Tata Kerja
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan Kantor Pertanahan.265

Menetapkan :
PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/KEPALA
BADAN PERTANAHAN NASIONAL TENTANG ORGANISASI DAN
TATA KERJA KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN
NASIONAL DAN KANTOR PERTANAHAN.

BAB I
KANTOR WILAYAH BADAN PERTANAHAN NASIONAL
Bagian Kesatu
Kedudukan, Tugas dan Fungsi
Pasal 1
(1) Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, yang selanjutnya disebut
Kantor Wilayah adalah instansi vertikal Kementerian Agraria dan Tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional di provinsi yang berada di bawah dan
bertanggung jawab kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nasional.
(2) Kantor Wilayah dipimpin oleh seorang Kepala.

Pasal 2
Kantor Wilayah mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas dan fungsi
Badan Pertanahan Nasional dalam wilayah provinsi yang bersangkutan.

265
Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nsional Republik
Indonesia No. 38 Tahun 2016, Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Dan Kantor Pertanahan.

161
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Pasal 3
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Kantor
Wilayah menyelenggarakan fungsi:
a. pengoordinasian, pembinaan, dan pelaksanaan penyusunan rencana, program,
dan anggaran Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan di wilayahnya;
b. pengoordinasian, pembinaan, dan pelaksanaan survei, pengukuran dan
pemetaan, penetapan hak tanah, pendaftaran tanah dan pemberdayaan
masyarakat, penataan pertanahan, pengadaan tanah, pengendalian pertanahan
dan penanganan sengketa dan perkara;
c. pengoordinasian penyelesaian tindak lanjut temuan hasil pengawasan;
d. pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pelaksanaan kegiatan pertanahan di
Kantor Wilayah dan Kantor Pertanahan; dan
e. pemberian dukungan administrasi kepada seluruh unit organisasi Kantor
Wilayah dan pengoordinasian tugas dan pembinaan administrasi pada
Kantor Pertanahan.

Bagian Kedua
Susunan Organisasi
Pasal 4
Kantor Wilayah terdiri atas:
a. Bagian Tata Usaha;
b. Bidang Infrastruktur Pertanahan;
c. Bidang Hubungan Hukum Pertanahan;
d. Bidang Penataan Pertanahan;
e. Bidang Pengadaan Tanah; dan
f. Bidang Penanganan Masalah dan Pengendalian Pertanahan.

162
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

BAB IV
Sumber Hukum Tanah Indonesia

Sumber Hukum Tanah Indonesia, yang lebih identik dikenal pada saat ini yaitu
status tanah dan riwayat tanah. Status tanah atau riwayat tanah adalah merupakan
kronologis masalah kepemilikan dan penguasaan tanah baik pada masa lampau, masa
kini maupun masa yang akan datang. Status tanah atau riwayat tanah pada saat ini
dikenal dengan Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT) untuk tanah-tanah bekas
hak-hak barat dan hak-hak lainnya. Sedangkan riwayat tanah dari PBB atau surat
keterangan riwayat tanah dari kelurahan setempat adalah riwayat yang menjelaskan
pencatatan, dan peralihan tanah girik milik adat dan sejenisnya pada masa lampau dan
saat ini.
Sumber Hukum Tanah Indonesia dapat dikelompokkan dalam:
A. Hukum Tanah Adat, dibagi 2 yaitu :
a. Hukum Tanah Adat Masa Lampau
b. Hukum Tanah Adat Masa Kini
B. Kebiasaan
C. Tanah - tanah Swapraja
D. Tanah Negara
E. Tanah Garapan.
F. Hukum Tanah Belanda.
G. Hukum Tanah Jepang.
H. Surat Ijin Perumahan (SIP) atau Verhuren Besluit (V.B.)
I. Tanah Bondo Deso
J. Tanah Bengkok
K. Tanah Wedi Kengser
L. Tanah Kelenggahan
M. Tanah Pekulen
N. Tanah Res Extra Commercium
O. Tanah Absentee
P. Tanah Oncoran, dan Tanah bukan Oncoran

Selanjutnya sumber Hukum Tanah yang berlaku di Indonesia dapat diuraikan sebagai
berikut:

A. Hukum Tanah Adat


Semula hukum adat di Indonesia hanya ditemukan berdasarkan simbol-
simbol. Kemudian Van Vollenhoven mengatakan, penemuan seperti candi
Borobudur tahun 1814, Danau Toba pada tahun 1853 hal itu tidak dapat dikatakan
sebagai penemuan.266

266
C.Van Vollenhoeven. Penemuan Hukum Adat. Percetakan Anem Kosong Anem. Cetakan Kedua,
1987.h.2.

163
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Dari kejadian selama ini, tampak pertama-tama manfaat besar bagi hukum
adat, di mana diungkapkan bahwa orang tidak dapat memahami atau menerapkan
hukum adat, selama pembagiannya, penilaiannya dan pemeliharaannya ditinjau
melalui kacamata barat mengikuti cara Justianus dan Napoleon; menurut
pandangan Kappayne dari tahun 1866 juga jelas dari perdebatan bahwa untuk
memahami hukum adat Indonesia, orang harus menempatkan diri dalam
lingkungan Indonesia, harus melihat hukum rakyat sebagai suatu kesatuan dan
tidak boleh memisahkan Jawa dari daerah-daerah luar Jawa.267
Banyak negara-negara Afrika menguasai satu atau lebih sistem kesukuan
atau yang disebut dengan hukum adat. Biasanya hukum-hukum tersebut itu ada
dengan sistem hukum nasional didasarkan pada hukum adat. Dalam batasan
yuridiksi yang terbatas, hukum adat bahkan dipaksakan oleh pengadilan-
pengadilan nasional.268
Sementara itu hukum adat mencerminkan kultur tradisional dan aspirasi
mayoritas rakyatnya. Hukum ini berakar dalam perekonomian subsistensi serta
kebijakan patemalistik, kebijakan yang diarahkan pada pertalian kekeluargaan.
Penilaian yang serupa dibuat dari hukum yang diterima di banyak negara-negara
terbelakang. Hampirdi manapun, hukum ini telah gagal dalam melangkah dengan
cita-cita modernisasi.269
Sistem tradisional dari kepemilikan tanah mungkin tidak cocok dengan
penggunaan tanah yang efisien, karena karaktemya yang sudah kuno dari hukum
komeersial yang memungkinkan menghalangi investasi asing. Bahkan secara lebih
mendasar hukum yang diterima tidak dipersiapkan untuk menyeimbangkan
terhadap hak-hak pribadi dengan hak masyarakat dalam kasus intervensi ekonomi
yang terencana.270
Di Indonesia, hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa
ialah hukum adat di mana sendi-sendi dari hukum tersebut berasal dari masyarakat
hukum adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan negara yang beidasarkan atas persatuan bangsa dan sosialisme Indonesia.271
Namun perlu digarisbawahi bahwa dalam pelaksanaannya hukum adat tersebut
diakui sepanjang menurut kenyatannya masih ada.272
Dengan demikian menurut penulis, Hukum Tanah Adat adalah hak pemilikan
hi penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada masa
lampau dan rasa kini serta ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan
secara otentik atau tertulis, kemudian pula ada yang didasarkan atas pengakuan dan
tidak tertulis.
Adapun Tanah Adat terdiri dari 2 (dua) jenis yaitu :
a. Hukum Tanah Adat Masa Lampau.

267
C. Van Vollenhoven, Penemuan Hukum Adat. Op. Cith. 175.
268
Michael Hager, The Rule of Lawyers in Developing Countries, dari buku Peranan Hukum
dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid I, h. 180.
269
L. Michael Hager, Ibid., h. 182.
270
L. Michael Hager, Ibid., h. 182.
271
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 5.
272
Ibid., Pasal 3.

164
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Hukum Tanah Adat masa lampau ialah hak memiliki dan menguasai
sebidang tanah pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang. Serta pada zaman
Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti kepemilikan secara otentik maupun
tertulis. Jadi hanya pengakuan. Adapun ciri-ciri Hukum Tanah Adat masa
lampau adalah sebagai berikut,
Ciri-ciri Tanah Hukum Adat masa lampau adalah tanah-tanah yang
dimiliki dan dikuasai oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang
memiliki dan menguasai serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun
berpindah-pindah sesuai dengan daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian
secara turun-temurun masih berada di lokasi daerah tersebut, dan atau
mempunyai tanda-tanda fisik berupa sawah, ladang, hutan, dan simbol-simbol
berupa makam, patung, rumah-rumah adat dan bahasa daerah sesuai dengan
daerah yang ada di Negara Republik Indonesia.
b. Hukum Tanah Adat Masa Kini
Hukum Tanah Adat Masa Kini ialah hak memiliki dan menguasai
sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945 sampai sekarang,
dengan bukti otentik berupa girik, petuk pajak, pipil,273 hak agrarische
eigendom,274 milik yasan,275 hak atas druwe276 atau hak atas druwe desa,277

273
Di wilayah Propinsi DKI Jakarta, girik terdiri dari 2 (dua) jenis yakni girik milik adat yaitu
tanah-tanah yang dikuasai oleh pribumi yang telah didaftarkan sebelum dan sesudah tahun 1945. Tanah
tersebut pada umumnya di atas tanah hak barat dan memang dari semula sudah dikuasai oleh pribumi.
Kemudian apabila dimohon haknya sesuai dengan Ketentuan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria
dapat diterbitkan sertifikat hak milik. Untuk mengetahui status tanahnya dapat dilihat dari riwayat tanah
dulu yang mengeluarkan riwayat tanah adalah Instansi Pajak Bumi dan Bangunan dan pada saat ini
adalah Kantor Kelurahan atau Kepala desa setempat. Adapun riwayat tanah ini terjadi perubahan yang
mengeluarkannya adalah berdasarkan Surat Gubernur KDKI Jakarta tanggal 21 Oktober 1981 No. 1505
tahun 1981 tentang Instruksi Larangan Penerbitan Girik Bam, dan surat Direktur Jendral Pajak tanggal 27
Maret 1993 No.SE-15/PJ.G/1993 tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/ketitir/keterangan obyek
pajak (KP.PBB II). Sedangkan girik di atas tanah partikelir adalah tanah-tanah yang dikuasai oleh
pribumi dan pribumi yang berada di atas tanah partikelir dan telah didaftarkan pada kantor pajak Bumi
dan Bangunan dulunya, baik di atas tanah usaha, tanah Tionghoa, tanah hak erfpacht dan lain-lainnya
yang telah menjadi tanah negara seinenjak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958.
Kemudian apabila dimohon haknya maka dapat diberikan hak pakai sesuai dengan Permendagri Nomor 5
Tahun 1973 jo Permendagri Nomor 6 Tahun 1972. Menurut Boedi Harsono, girik, petuk pajak dan pipil
yang fungsinya sebagai surat pengenaan dan tanda pembayaran pajak, dikalangan rakyat dianggap dan
diperlakukan sebagai tanda-tanda bukti pemilikan tanah yang bersangkutan. (Lihat Boedi Harsono, Op.
Cit., h.83).
274
Hak agrarish eigendom adalah suatu hak ciptaan Pemerintah Belanda yang bertujuan akan
memberikan kepada orang-orang Indonesia suatu hak atas tanah yang kuat. (Boedi Harsono, Ibid., h.
132).
275
Milik yasan adalah tanah-tanah usaha bekas tanah partikelir yang diberikan kepada penduduk
yang mempunyainya dengan hak milik (hak yasan = hak milik adat). Lihat ketentuan Pasal 5 UU No.l
Tahun 1958 Tentang Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir. (Boedi Harsono, Ibid., h.99).
276
Hak atas druwe adalah istilah hak milik yang dikenal di lingkungan masyarakat hukum adat di
Bali. (Lihat buku B.Ter Haar.Bzn. di Indonesiakan oleh K.Ng.Soebakti Poesponoto, Asas-Asas dan
Susunan Hukum Adat, PT. Pradnya Parainita, Cet.Keduabelas, Jakarta, 1999. h.68).
277
Hak atas druwe desa adalah bila masyarakat membeli tanah untuk dipakai buat kepentingan-
kepentingannya sendiri, maka di sini dapat disebut “hak miliknya” dusun atau wilayah. Dirnana
sebagaimana kadang-kadang terdapat perkataan-perkataan dalam bahasa pribumi mengandung arti baik;
tanah “beschikkingsrccht” desa, maupun; tanah “Inlands bezitusrecht” desa. Dikenal dalam masyarakat
Bali dengan istilah hak atas druwe desa. (B.Ter Haar.Bzn, Ibid., h. 68).

165
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

pesini,278Grant Sultan,279 Landerijenbezitrecht,280 altijddurende erfpacht,281 hak


usaha atas tanah bekas partikelir,282 fatwa ahli war is,283 akte peralihan hak,284
dan surat segel di bawah tangan285 dan bahkan ada yang telah memperoleh
sertifikat286 serta surat pajak hasil bumi (Verponding Indonesia),287 dan hak-hak

278
Pesini ialah harta kerabat tak terbagi-bagi yang terkenal di Minahasa ialah barang kalakeran.
Mengenai keadaan tetap tak terbagi-baginya barang yang diperoleh atas usaha perseorangan, yaitu barang
pasini, misalnya : tanaman-tanaman di atas tanah kalakeran, maka bila pemiliknya itu mati lantas diwaris
sebagaLharta bersama daripada golongan anak-cucunya orang yang meninggal dunia itu jadi golongan
anak cucunya mempakan sebagian kecil dari kerabat seluruhnya yang memiliki harta kalakeran. (B.Ter
Haar.Bzn, Ibid., h.206).
279
Grant Sultan adalah semacain hak milik adat, diberikan oleh Pemerintah Swapraja, khusus bagi
kawula Swapraja, dan didaftar di Kantor Pejabat Swapraja. (Boedi Harsono, Op. Cit., h.54).
280
Tanah-tanah landerijenbezitrecht oleh Gouw Giok Siong disebut tanah-tanah Tionghoa (Hukum
Agraria Antargolongan halaman 8), karena subyeknya terbatas pada golongan Timur Asing, terutama
golongan Cina. (Boedi Harsono, Ibid., h. 53).
281
Altijddurende erfpacht adalah pemilikan tanah persil yang berada di bawah sewa turun temurun
untuk selama-lamanya. (S. 1915 No. 207, Pasal 1 ayat (1), Dalam Terjemahan Beberapa Staatsblad dan
Bijblad tentang Pengaturan Tanah Partikelir, Jakarta, 5 Juli 1988, h.4). Golongan Timur Asing di sekitar
Jakarta banyak yang mempunyai tanah di atas apa yang disebut “tanah partikelir” dengan “hak usaha”,
seperti orang-orang pribumi. Jika tanah partikelir yang bersangkutan kembali kepada negara, maka hak
usaha yang pemegang haknya menjadi hak milik adat. Yang subyeknya Timur Asing, semula menjadi
apa yang disebut “altijddurende erfpacht”. Pada hakikatnya hak ini tidak beda dengan hak milik adat.
(Boedi Harsono, Ibid., h. 53).
282
Tanah usaha adalah bagian-bagian tanah partikelir yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (1) dari
Peraturan tentang Tanah-tanah Partikelir (S. 1912-422). Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1958 Tentang Penghapusan Tanah-tanah Partikelir. Pasal 6 ayat 1 S. 1912 Nomor 422 mengatakan :
“Semua tanah yang oleh penduduk pribumi dan penduduk yang disamakan dengan mereka diolah,
digarap atau dipelihara atas biaya dan resiko sendiri untuk dijadikan tempat tinggal atau semacam itu,
kecuali kekecualian yang terdapat dalam reglemen ini, dianggap diberikan sebagai Tanah Usaha, dengan
syarat membayar kepada Tuan Tanah, pungutan-pungutan yang dalam hubungan itu harus dibayamya
(RPL.8v)” Oleh karenanya pengertian tanah usaha adalah bagian- bagian dari tanah partikelir, yang oleh
penduduk pribumi dan penduduk yang disamakan dengan mereka diolah, diagrap atau dipelihara atas
biaya dan resiko sendiri untuk dijadikan tempat tinggal atau semacam itu, kecuali kekecualian yang
terdapat dalam reglemen ini, dianggap sebagai tanah usaha dengan syarat membayar kepada tuan tanah
itu pungutan-pungutan yang dalam hubungan itu harus dibayamya. Menumt Boedi Harsono, Tanah
Usaha adalah sebagai bagian tanah partikelir yang dipunyai penduduk dengan apa yang disebut “hak
usaha” yang sifatnya sama dengan hak milik adat. Dalam S. 1912 no. 422 hak usaha itu disebut “hak
erfpacht” tetapi tidak ada sangkut pautnya dengan hak erfpacht yang diatur dalam KUH Perdata. Juga
termasuk tanah usaha adalah bagian-bagian tanah partikelir yang menurut adat setempat termasuk tanah
desa atau di atas mana penduduk yang mempunyai hak yang sifatnya turun-temurun. (Boedi Harsono,
Ibid., h. 97).
283
Fatwa ahli waris adalah jawab (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti terhadap suatu
masalah dalam hal ini masalah pewarisan). Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi kedua, Dep. P&K,
Balai Pustaka, 1991, h. 275.
284
Akte peralihan hak adalah pembahan data yuridis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bempa
: peralihan hak karena jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, peralihan hak karena warisan, peralihan hak karena penggabungan atau
peleburan perseroan atau koperasi dan peralihan hak tanggungan. (Lihat Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Pasal 94 ayat (1) dan (2) humf a, b, c,
dan e).
285
Surat segel di bawah tangan yaitu perbuatan hukum Mengenai peralihan sebidang tanah atas
kesepakatan pra pihak dan pemberian sepihak yang tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang. Perbuatan
hukum semacam ini pada umumnya dilakukan masyarakat dan badan hukum sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah.
286
Sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 UUPA ayat (2)
huruf c untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak

166
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

lainnya sesuai dengan daerah berlakunya hukum adat tersebut, serta masih
diakui secara internal maupun eksternal.
Selain hak-hak tersebut di atas masih terdapat hak-hak tanah adat sesuai
dengan perkara yang telah diputuskan oleh Pengadilan sebagai berikut : 1. Hak
Sawah menurut Hukum Adat Aceh,288 Hak Atas Tanah di Batak yaitu Hak Atas
Huta,
Tanah Kesain dan Tanah Merimba,289Hak Atas Tanah di Minangkabau,290
Hak Atas Tanah di Bengkulu,291 HakAtas Tanah di Sulawesi Utara,292 Hak

tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. (Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1971 Tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 1 angka 20).
287
Surat Pajak Hasil Bumi (Verponding Indonesia) adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai
oleh pribumi yang berada di atas hak-hak barat dulunya. Kemudian didaftar di Kantor Pajak Pendaftaran
Daerah dulunya sekitar tahun 1960 sampai dengan tahun 1964. Khusus di wilayah Propinsi DKI Jakarta,
surat pajak hasil bumi (Verponding Indonesia) ini oleh Kantor Pajak Pendaftaran Daerah telah
diserahkan kepada Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi DKI Jakarta dan riwayat
tanahnya dapat diperoleh dari Kanwil BPN Propinsi Jakarta. Dan kalau dimohon haknya bisa menjadi
hak milik.
288
Hak sawah menurut Hukum Adat Aceh ialah apabila scseorang telah mempunyai sawah
sekurang-kurangnya selama 25 tahun tanpa ada gangguan (gugatan) dari siapapun, maka karena
pengamh lamanya waktu orang itu dapat dianggap sudah mempunyai hak milik atas sawah itu. (Lihat H.
Hilman Hadikusuma, Hukum Adat Dalam Yurisprudensi Hukum Tanah, Jual-beli, Perhutangan. dan
lainnya. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, h. 8)
289
Hak atas tanah di Batak yaitu Hak Atas Huta, tidak dapat digugat oleh perorangan penduduk,
oleh karena yang berhak atas hak ulayat kampung adalah penduduk kampung bersama-sama sebagai
suatu persekutuan hukum. Pengadilan Negeri tidak berhak memutuskan hak atas huta , oleh karena hak
tersebut adalah wewenang persekutuan hukum huta itu. Yang dimaksud dengan “kesain” di lingkungan
masyarakat adat Karo adalah suatu “kampung” yaitu suatu tempat kediaman yang terdiri dari beberapa
bangunan rumah adat dengan tanah pekarangan, berdasarkan ikatan kekerabatan “sangkep si telu”
(kalirr.bubu, anak beru dan senina), jadi Tanah Kesain adalah tanah yang dikuasai kampung bukan tanah
perorangan. Sedangkan “Tanah Merimba” di Daerah Tapanuli Selatan, apabila sebidang sawah yang
diperoleh secara merimba (membuka hutan), selama 5 tahun berturut-turut dibiarkan saja kepada yang
berhak, maka hak atas tanah itu dapat dianggap telah dilepaskan (rechtsverwerking) dan tanah itu oleh
Kepala Persekutuan Kampung dapat diberikan kepada orang lain. Kalau yang berhak itu adalah orang
yang belum dewasa yang mempunyai ibu, maka ibunya itulah tidak boleh membiarkan tanahnya tidak
dikerjakan (H. Hilman Hadikusuma, Ibid., h. 13, 21, 22, 29).
290
Hak atas tanah di Minangkabau menurut Putusan Raad Van Justitie Padang, tanggal 10-6-1938
(putusan tidak dipublikasikan, Iskandar Kemal 1971:30) mengemukakan : Yurisprudensi melihat jangka
waktu 100 tahun lebih sebagai permulaan pada waktu ilmu hukum adat ditulis orang, Mengenai hak
milik orang atas tanah hak pertuanan kemudian diperkecil sampai 30 tahun, dan lalu dijadikan 5 sampai
10 tahun untuk kemudian diambil sebagai patokan ± 2 tahun. Putusan Rad Van Justituie tersebut
merupakan betapa pengaruh daluwarsa terhadap milik tanah dalam lingkungan hak ulayat, yang pada
mulanya mempunyai jangka waktu panjang kemudian berangsur-angsur menjadi pendek sampai hanya
sekitar 2 tahun, di lingkungan masyarakat yang berorganisasi klen. (H. Hilman Hadikusuma, Ibid., h.
48,49).
291
Hak atas tanah di Bengkulu berdasarkan Putusan Rapat Marga di daerah Lebong tanggal 20-4-
1936 No.39 (H.A. Siddik 1980:151) dengan Duduk Perkara ada sebuah tempat lama, yang sudah
terbengkalai di dusun Pagar Agung Marga Suku VIII, hendak dibuka kembali oleh Kepala Dusun Proatin
Jemaan. Kehendak untuk membuka kembali tebat tersebut mendapat tantangan dari rakyat, karena jika
dibuat kembali suatu tebat, maka mereka akan kekurangan air untuk sawah mereka. Putusan Peradilan
Marga yaitu Proatin Jemaan boleh menebat, jika rakyat tidak perlu pakai air untuk sawah. Jika rakyat
memerlukan air itu untuk sawah mereka, ia tidak boleh menebat. Dari Keputusan ini nyata bahwa tebat
yang terbengkalai kembali menjadi kepunyaan masyarakat hukum adat, dan hanya dapat dimiliki
seseorang, jika tidak ada keberatan dari masyarakat adat yang bersangkutan. (H. Hilman Hadikusuma,
Ibid., h. 51).
292
Hak atas tanah di Sulawesi Utara berdasarkan Putusan Landraad Manado tanggal 25-3-1935
(S.M. Amin 1954:178, T. 144-253), menyatakan bahwa : “Hukum yang berlaku atas sebidang tanah,

167
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Atas Tanah di Jawa yaitu Tanah Yasan, Tanah Pekulen, Tanah Gogolan, Hak
Gaduh Atas Tanah dan Petuk Sebagai Bukti.293
Adapun ciri-ciri Tanah Hukum Adat Masa Kini adalah tanah-tanah yang
dimiliki seseorang atau sekelompok masyarakat adat dan masyarakat di daerah
pedesaan maupun di kawasan perkotaan, sesuai dengan daerah, suku dan budaya
hukumnya kemudian secara turun-temurun atau telah berpindah tangan kepada
orang lain, dan mempunyai bukti-bukti kepemilikan serta secara fisik dimiliki
atau dikuasai sendiri dan atau dikuasai orang/badan hukum.
Secara ringkas ciri-ciri Tanah Hukum Adat Masa Kini ialah :
a. Ada masyarakat, Badan Hukum Pemerintah/Swasta.
b. Masyarakat di daerah pedesaan atau perkotaan.
c. Turun-temurun atau telah berpindah tangan atau dialihkan.
d. Mempunyai bukti pemilikan berupa girik, verponding Indonesia, petuk,
ketitir, sertifikat, fatwa waris, penetapan pengadilan, hibah, akta peralihan,
surat di bawah tangan, dan lain-lain.
e. Menguasai secara phisik, berupa Masjid, Kuil, Gereja, Pura, Candi, danau,
patung, makam, sawah, ladang, hutan, rumah adat, gedung, sungai, gunung
dan lain-lain.
Dengan demikian dari 2 (dua) jenis definisi Hukum Adat Masa lampau
dan Hukum Adat Masa Kini, menggambarkan adanya perubahan mendasar
sebagian besar dalam hukum yang hidup di masyarakat kaitannya dengan
kepemilikan tanah dari yang tidak tertulis menjadi tertulis. Maksud penulis di
sini sebagian besar adalah karena dimungkinkan bukti kepemilikan atas
sebidang tanah tersebut masih dikenal atau dianut tanpa bukti tertulis. Misalnya
di daerah Tapanuli Utara (Suku Batak) masih ditemukan bukti pemilikan tanah
tersebut hanya disebutkan dalam perkawinan seorang anak perempuan diberikan
oleh orang tuanya, misalnya sebidang tanah sawah atau tanah darat kepada si
wanita yang dinikahkan tanpa ada tertulis yang disebut “Ulos Nasora Buruk”.
Demikian juga apabila seorang wanita yang telah menikah dan
mempunyai anak yang datang berkunjung ke rumah orang tuanya untuk beradat,
maka anak cucu dari wanita ini dapat juga diberikan semacam harta benda
berupa sawah atau tanah darat, yang disebut juga “Ulos Nasora Buruk”. Jadi
inilah salah satu penyebab wanita di daerah Tapanuli Utara (Suku Batak) tidak
lagi memperoleh harta warisan setelah orang tuanya meninggal. 294 Namun
demikian apabila masih ada wanita dari si pewaris belum menikah maka si

bukanlah Hukum yang berlaku atas si pemilik, akan tetapi Hukum yang berlaku atas tanah itu sendiri”.
Hal itu berarti Mengenai perselisihan tanah dilihat kepada hukum tanah tersebut, bukan pada hukum
orang yang memiliki tanah itu. (H. Hilman Hadikusuma, Ibid., h. 59).
293
Mengenai Hak Atas tanah di Jawa, untuk Tanah Yasan yaitu Putusan Landraad Trenggalek
tanggal 30- 10-1924, T.125-324 (Kusumadi Pudjosewoyo 1976,31-33), Tanah Pekulen yaitu Putusan
Mahkamah Agung tgl.18010-1958 Reg.No.301 K/Sip/1958 (Subekti Tamara, 1965;191), Tanah Gogolan
yaitu Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-10-1956 Reg.No.32 K/Sip/1956 (Subekti-Tamara 1965;215),
Hak Gaduh Atas Tanah yaitu Putusan Mahkamah Agung tgl. 19-11-1958 Reg.No.340 K/Sip/1958
(Subekti Tamara, 1965; 187), Petuk sebagai Bukti, yaitu Putusan Mahkamah Agung tgl. 10-2-1960
Reg.No.34 K/Sip/1960 (Subekti 1965 ; 180). (H. Hilman Hadikusuma, Ibid., h. 65, 70, 81, 85, 107).
294
Hasil Wawancara dengan Ibu Penulis, S. br. Siahaan, hari Rabu, Tanggal 19 Juni 2002.

168
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

wanita tersebut juga akan memperoleh bagian dari kakak lelaki tertua dalam
keluarganya, setelah ia menikah. Pengertian “Ulos Nasora Buruk” ini adalah
pemberian harta benda berupa tanah.
Sedangkan yang tertulis adalah diakibatkan adanya kebijakan Pemerintah
dari mulai donesia merdeka, dipertegas lagi setelah dibentuk Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar UUPA dan kebijakan peraturan
perundang-undangan lainnya sampai saat ini.

B. Kebiasaan
Tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam hukum adat,
karena merupakan satu-satunya benda kekayaan meskipun mengalami keadaan
bagaimanapun akan tetap dalam keadaan semula, malah terkadang tidak
menguntungkan bila dipandang dari segi ekonomis. Kecuali itu, adalah suatu
kenyataan, bahwa tanah merupakan tempat tinggal keluarga dan masyarakat,
memberikan penghidupan, merupakan tempat di mana para warga yang meninggal
dunia dikuburkan dan sesuai dengan kepercayaan merupakan pula tempat tinggal
para dewa pelindung dan tempat roh para leluhur bersemayam.295 Di dalam hukum
adat, antara masyarakat hukum merupakan kesatuan dengan tanah yang
didudukinya, terdapat hubungan yang erat sekali; hubungan yang bersumber
kepada pandangan yang bersifat religio-magis,296
Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini, menyebabkan masyarakat
hukum memperoleh hak untuk menguasai tanah tersebut, memanfaatkannya,
memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang hidup di atas tanah juga berburu
terhadap binatang-binatang yang ada di situ. Hak masyarakat hukum atas tanah ini
disebut hak pertuanan atau hak ulayat.297
Perkataan “adat” adalah suatu istilah yang dikutip dari bahasa Arab, tetapi
dapat dikatakan telah diterima dalam semua bahasa di Indonesia. Mulanya istilah
itu berarti : “kebiasaan”. Nama ini sekarang dimaksudkan : semua kesusilaan dan
kebiasaan orang Indonesia di semua lapangan hidup, jadi juga semua peraturan
tentang tingkah laku macam apapun juga, menurut mana orang Indonesia bisa

295
Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat. PT. Pradnya Paramita, Cetakan Ketujuh,
Jakarta, 2000, h. 103
296
Bushar Muhammad, Ibid., h. 103
297
Hak pertuanan atau hak ulayat ini oleh Van Vollenhoven disebut dengan beschikkingsrecht
yang dalam bahasa Indonesia merupakan suatu pengertian yang baru, satu dan lain karena dalam bahasa
Indonesia (juga dalam bahasa-bahasa daerah) semua istilah yang dipergunakan mengandung pengertian
lingkungan kekuasaan, sedangkan beschikkingsrecht itu menggambarkan tentang hubungan antara
masyarakat hukum dan tanah itu sendiri. Beschikkingsrecht ataupun hak ulayat, hak pertuanan berlaku ke
luar dan ke dalam. Berlaku ke luar. karena bukan warga masyarakat hukum pada prinsipnya tidak boleh
turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah kekuasaan persekutuan yang bersangkutan,
hanya dengan seijin persekutuan serta telah membayar pancang, uang pemasukan (Aceh), mesi (Jawa)
dan kemudian memberikan ganti rugi, orang luar bukan warga persekutuan (masyarakat hukum) dapat
memperoleh kesempatan untuk turut serta menggunakan tanah wilayah persekutuan atau masyarakat
hukum. Berlaku ke dalam. karena persekutuan sebagai sesuatu yang berarti semua warga persekutuan
bersama-sama sebagai satu keseluruhan melakukan hak ulayat dimaksud dengan memetik hasil dari
tanah beserta segala yang hidup di atasnya. Hak persekutuan ini pada hakekatnya membatasi kebebasan
berusaha atau kebebasan bergerak para warga persekutuan sebagai perseorangan. Pembatasan ini
dilakukan demi kepentingan persekutuan. (Bushar Muhammad, Ibid., h. 103-104).

169
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

bertingkah.298Termasuk pula di dalamnya kebiasaan dan tingkah laku orang


Indonesia terhadap tanah yaitu hak membuka tanah,299 transaksi-transaksi tanah300
dan transaksi-transaksi yang berhubungan dengan tanah.301

298
R. Van Dijk diterjemahkan oleh A. Soehardi, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur
Bandung, Cetakan Kedelapan, Bandung, 1982, h. 9.
299
Seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah dan mengerjakan tanah itu terus-
menerus dan menanam pohon di atas tanah itu, sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah. Hak milik
ini dapat diperoleh meskipun yang mengerjakan tanah itu praktis tidak boleh lebih dari satu atau dua
tahun panenan. Apabila hak mengerjakan tanah itu tidak dapat lebih lama daripada satu kali panen saja,
maka warga persekutuan yang bersangkutan sesungguhnya hanya memperoleh hak mempergunakan
tanah itu saja (Ter Haar menamakan ini genots recht). Hak milik dari seorang warga persekutuan yang
membuka dan mengerjakan tanah itu pengertiannya adalah bahwa warga berhak sepenuhnya atas tanah
yang dalam bahasa Belanda disebut Indlandsbezitsrecht artinya adalah bahwa pemiliknya berkuasa
penuh atas tanah yang bersangkutan seperti halnya ia menguasai rumah, temak, sepeda atau benda lain
miliknya. Sawah-sawah hak milik seseorang di Jawa Barat biasanya disebut sawah yasan atau sawah
milik, sedangkan di daerah Jawa Tengah sawah demikian itu disebut sawah yasan atau sawah pusaka.
Dapat dijelaskan pula bahwa, di samping hak milik atas tanah demikian, dikenal juga adanya hak milik
terkekang atau terbatas (Ingeklemd inlands beziturecht) yaitu apabila pemilikan kekuasaan atas tanah
tersebut dibatasi oleh hak pertuanan desa. Tergantung dari kuat atau tidaknya pengaruh hak pertuanan
desa atas tanah yang dikuasainya itu, apakah dan sampai dimanakah ada batasan terhadap hak milik atas
tanah dimaksud. Tanah sawah yang dikuasai seseorang berdasarkan hak milik terbatas atau terkekang
demikian ini di Jawa Tengah disebut sawah pekulen atau sawah narawita sedangkan di Jawa Barat
disebut kasikepan (Cirebon, Kuningan), Kanomeran (Ciamis), Kacacahan (Majalengka), sesuai dengan
Keputusan Mahkamah Agung tanggal 18-10-1958 Reg.No.301 K/Sip/1958. (Lihat Bushar Muhammad,
Op. Cit., h.107-109).
300
Dikenal dua macam transaksi tanah yaitu pertama yang merupakan perbuatan hukum sepihak
dan kedua yang merupakan perbuatan hukum dua pihak. Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum
sepihak sebagai contoh pendirian suatu desa dan pembukaan tanah oleh seorang warga persekutuan.
Transaksi tanah yang bersifat perbuatan hukum dua pihak adalah pengoperan ataupun penyerahan
dengan disertai pembayaran kontan dari pihak lain pada saat itu juga. Dalam hukum tanah perbuatan
hukum ini disebut transaksi jual (Jawa disebut adol atau sade).Transaksi ini menurut isinya dapat
dibedakan dalam tiga macam yaitu : 1. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan
bahwa yang menyerahkan tanah dapat memiliki kembali tanah tersebut dengan pembayaran sejumlah
uang, 2. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan tanpa syarat (untuk selamanya seterusnya) disebut
adol plas, pasti bogor, run temurun (Jawa), menjual jada (Kalimantan), menjual lepas (Riau & Jambi) dan
3. Penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai dengan perjanjian bahwa apabila kemudian ada
perbuatan hukum lain, sesudah satu-dua tahun atau beberapa kali panen, tanah itu kembali lagi kepada
rrrraJik tanah semula disebut : jual tahunan, adol oyodan (Jawa). Transaksi ini supaya merupakan
perbuatan yang sah artinya berhak perlindungan hukum wajib dilakukan dengan bantuan kepala
persekutuan, maka perbuatan tersebut menjadi terang atau tidak gelap. Untuk bantuannya ini Kepala
Persekutan menerima uang saksi atau pago-pago (Batak). (Bushar Muhammad, Ibid., h.l 12, 113).
301
Dalam transaksi ini obyeknya bukan tanah, tetapi hanya mempunyai hubungan dengan tanah.
Dalam adat transaksi yang dikenal ada hubungannya dengan tanah adalah sebagai berikut: a.
Memperduai (Minangkabau), Maro (Jawa), Toyo (Minahasa), Tdesang (Sulawesi Selatan), Nengah
(Priangan), Mertelu (Jawa) atau jejuran (Priangan) b. Sewa yaitu yang mengijinkan orang lain untuk
mengerjakan tanahnya dengan membayar uang sewa, seperti mangasidi (Tapanuli Selatan), sewa bumi
(Sumatera Selatan), cukai (Kalimantan), ngupetenin (Bali). c. tanggungan atau jonggolan di Jawa,
makantah di Bali, tanah di Tapanuli, transaksi ini teijadi bila seseorang yang berhutang kepada orang lain
berjanji kepada orang yang memberi pinjaman tadi bahwa selama belum melunasi hutangnya tidak akan
mengadakan transaksi tentang tanahnya. d. Numpang atau Mergersari di Jawa atau Lindung di Priangan,
yaitu apabila seseorang pemilik tanah yang bertempat tinggal ditanah itu memberi ijin kepada orang lain
untuk membuat rumah yang kemudian ditempati olehnya di atas tanah itu juga, dan e. Memperduai atau
sewa bersama-sama dengan gadai, transaksi demikian merupakan transaksi gabungan antara transaksi
tanah dengan transaksi yang berhubungan dengan tanah, dapat terjadi apabila A (yang menerima tanah
yang digadaikan) memberi ijin kepada B (pemilik tanah yang inenggadaikan) untuk mengeijakan tanah
itu dengan perjanjian memperduai (Bushar Muhammad, Ibid., h.l 17, 120).

170
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

C. Tanah-tanah Swapraja
Yang dimaksud dengan daerah-daerah Swapraja yaitu dahulu disebut daerah
Raja-raja atau Zelfbesturende Landschappen.302 Menurut hukum ketatanegaraan
dahulu daerah-daerah Swapraja dibagi atas :303
a. Swapraja dengan “kontrak panjang” (Lange Contracten);
b. Swapraja dengan “pernyataan pendek” (Korte Verklaring).
Peraturan-peraturan agraria Swapraja pada umumnya boleh dikatakan pada
pokoknya selaras dengan peraturan-peraturan yang ada di daerah-daerah lainnya di
Indonesia,304 meskipun ada kalanya masing-masing daerah Swapraja terdapat
beberapa peraturan yang tidak sama dengan peraturan-peraturan yang ada di daerah
luar Swapraja, misalnya peraturan tentang “landbouwconcessie” (ijin pertanian) di
Sumatera Timur dan “landhuur” (persewaan tanah) di Surakarta dan Yogyakarta. 305
Seperti di daerah-daerah yang dahulu dinamakan tanah Gubernemen, maka
daerah-daerah Swapraja baik di tanah Jawa dan Madura, maupun di luar daerah-
daerah itu diadakan peraturan yang melarang pemakaian tanpa hak tanah Swapraja
oleh bukan bangsa Indonesia, yaitu yang biasanya dinamakan “penyerobotan
tanah” (Onwettige Occupatie).306 Hak tanah di daerah-daerah Swapraja masih

302
Bahwa berdasar atas Pasal 21 ayat 2 I.S., Peraturan-peraturan hukum agraria pada umumnya
tidak berlaku daerah-daerah Swapraja. Peraturan-peraturan hukum tanah tidak dapat dijalankan di
daerah-daerah Swapraja kecuali apabila dalam peraturan itu sendiri atau dengan peraturan lain
dinyatakan dengan tegas bahwa peraturan itu berlaku juga untuk Swapraja. Istilah Swapraja dipakai
dalam Pasal 132 UUDS RI Yogyakarta dahulu yang dipakai ialah Daerah Istimewa menurut Pasal 1 ayat
(2) UU No. 22/1948jo Pasal 18 UUD Republik Indonesia, (Lihat Dirman, Perundang-Undangan Agraria
di Seluruh Indonesia, J.B. Wohers, Jakarta, 1958, Cetakan kedua, h.183)
303
Terhadap Swapraja dengan kontrak panjang kekuasaan Pemerintah dalam lapangan agraria
ditetapkan dalam surat perjanjian kontrak yang dibuat antara Pemerintah dengan Kepala Daerah
Swapraja masing-masing. Pada umumnya dalam perjanjian tersebut diterangkan, bahwa untuk
pemberian, penjualan atau persewaan tanah oleh Pemerintah Swapraja atau kawula-kawula Swapraja
harus ada ijin atau persetujuan dengan Pemerintah Indonesia (residen). Begitupula Mengenai perjanjian-
perjanjian lainnya. Ijin atau persetujuan itu diberikan, apabila telah dapat dicukupi syarat-syarat dan
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Terhadap SwapRaya dengan pernyataan pendek hal tersebut
diatur dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4) serta Pasal 16 dari Peraturan Swapraja (Zelfbestuursregelen 1938,
S.1938 No. 529). Adapun isinya sesuai dengan yang tersebut di atas. Kedudukan daerah-daerah Swapraja
dengan kontrak akan tetapi dengan undang-undang dan di daerah-daerah Swapraja sekarang i teokrasi
(Pasal 132 UUDS). (Dirman, Ibid., h. 183, 184).
304
Dirman, Ibid., h. 184.
305
Hak-hak yang diperoleh menurut peraturan-peraturan ini mempunyai sifat yang istimewa, yang
tidak terdapat di Kitab Hukum Perdata Barat (B.W), schingga tidak tegas kedudukarmya (sifatnya).
Dengan majunya masyarakat Indonesia dan sesuai dengan perkembangan perekonomian Indonesia, maka
dibutuhkan peraturan yang terang dan tegas, apakah hak yang diperoleh dengan jalan
“landbouwconcessie” dan “landhuur” itu termasuk hak-hak pribadi (persoonlijk recht) atau termasuk hak
benda (zakelijk rechi). Hal ini adalah penting sebab perusahaan-perusahaan yang memegang hak tersebut
sama-sama memeriukan uang dan jika hak-hak tersebut termasuk hak-hak benda maka dengan mudah
akan mendapat hypotheek. Kebimbangan ini mudah dapat dimengerti, sebab bagi masyarakat di
Swapraja, hukum adat masih berlaku sepenuhnya dan hak-hak benda seperti erfpacht dan lain-lainnya
dalam hukum adat tidak ada. (Dirman, Ibid., h. 184, 185).
306
Peraturan ini termuat dalam S. 1912 No. 676 dan penjelasannya dalam Bb. 9961. Berlakunya
diseluruh wapraja di Indonesia ditetapkan pada tanggal 1 Januari 1922. Menurut Pasal I yang dilarang
yaitu : memakai tanpa hak tanah untuk keperluan apapun juga oleh bukan bangsa Indonesia. Tanah
tersebut harus tanah Swapraja yang bebas (zelfbestuursdomein), jadi bukan tanah yang menjadi milik
salah seorang kawula Swapraja. Ancaman hukumannya paling lama tiga bulan hukuman kurungan atau
denda paling tinggi seratus rupiah. Perbuatan yang dapat dihukum menurut Pasal 1 dipandang sebagai
suatu pelanggaran. Antara peraturan ini dengan peraturan yang Mengenai tanah negara (S. 1912 No. 177)

171
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

mempunyai sifat-sifat keistimewaan berhubung dengan struktur Pemerintahan dan


masyarakat yang sedikit atau banyak adalah lanjutan sistem feodal.307 Kekuasaan
raja-raja yang dulu telah dianggap dan menganggap dirinya seakan-akan tanah
seluruhnya di dalam kerajaan itu adalah tanah miliknya, sementara kekuasaan raja-
raja atas tanah tidak teriepas dari soal kedudukan raja dalam Pemerintahan daerah,
dalam hal ini daerah Swapraja.308
Otonomi daerah mengenai tanah terbatas dalam lingkungan hukum yang
bertalian dengan adat, selama tidak bertentangan dengan dasar-dasar hukum tanah
yang ditentukan oleh pusat. Hak medebewind daerah terutama terdapat dalam
pelaksanaan peraturan-peraturan pusat mengenai hak-hak atas tanah yang
berhubungan dengan bangsa asing.309
Jelaslah bahwa hak-hak tanah dalam daerah Swapraja tidak akan berbeda
daripada pada hak-hak yang berlaku di daerah otonom biasa. Kekuasaan daerah-
daerah Swapraja dalam urusan tanah tidak akan berbeda dari kekuasaan daerah
otonom biasa yang setingkat dengan daerah Swapraja itu.310

D. Tanah Negara
Menurut jalannya sejarah penindasan di Indonesia, Domeinverklaring311
menunjukkan suatu puncak kesempurnaan dari sistem penjajahan yang modern

ada perbedaannya. Menurut peraturan ini (S. 1921 No. 676) pemmtutan terhadap mereka yang
melanggamya diwajibkan sedang menurut S. No. 177 penuntutan tidak diwajibkan artinya sukarela. Hal
ini ternyata dari kata-kata yang dipakai dalam pasal tersebut. Dalam S. 1921 No. 676 dipakai perkataan
dihukum (wordt gestrafl) sedang S. 1912 No. 177 mempergunakan perkataan dapat dihukum (ban
worden gestraft). Penjelasan dari peraturan ini (Bb.996i) menerangkan, bahwa maksudnya hanya
mencegah perbuatan dari bukan bangsa Indonesia yang dipandang dari sudut kepentingan umum tidak
diinginkan. (Dirman, Ibid., h. 210, 211).
307
Menurut anggapan resmi baik dari Pemerintah Swapraja sendiri maupun dari Pemerintah
jajahan dahulu maka semua tanah dalam daerah Swapraja itu adalah kepunyaan raja; mula-mula raja
selaku “person” kemudian selaku “personificatie” kekuasaan tertinggi dalam kerajaan itu. Rakyat sendiri
pada lahirnya mengakui hak dan kekuasaan raja tadi, meskipun perihal tanah-tanah yang sudah dimiliki
oleh rakyat, orang-orang itu pada hakekatnya bersikap dan berlaku yang tiada bedanya dengan pemilik
tanah biasa, seakan-akan “hak milik” raja yang pada lahirnya diakui tersebut, tidak ada. Dalam pada itu,
hak raja atas tanah'yang diakui oleh Pemerintah jajahan, telah menimbulkan pertalian-pertalian hukum
yang sulit bagi Pemerintah sekarang. (lihat Singgih Praptodihardjo, Sendi- Sendi Hukum Tanah di
Indonesia. Yayasan Pembangunan Jakarta, Jakarta, 1952, Cetakan Kedua, h. 130).
308
Tentang hal ini, Undang-Undang Dasar Sementara Pasal 132 memberi ketentuan yang tegas.
Pertama : harus ada undang-undang yang mengatur kedudukan daerah Swapraja, tetapi yang sudah pasti
ialah bahwa Pemerintahan Swapraja itu harus berdasarkan permusyawaratan dan perwakiian yang
menjadi dasar pula dari sistem Pemerintahan negara (ayat (1) Pasal 132 UUDS). Dengan begitu maka
kekuasaan raja-raja seperti dulu tidak akan kembali; de facto memang sudah tidak, de jure pun tidak
mungkin. Kedua : pada asasnya daerah Swapraja harus mendapat hak otonomi dan medebewind, kecuali
jika rakyat di daerah itu sendiri menghendaki perubahan atau penghapusan status Swapraja, ataupun
penghapusan/perubahan itu ditetapkan oleh undang-undang khusus, untuk kepentingan umum (ayat (2)
Pasal 132 UUDS). (Singgih Praptodihardjo, Ibid., h. 131, 132).
309
Smggih Praptodihardjo, Ibid., h. 132.
310
Singgih Praptodihardjo, Ibid., h. 132.
311
Pada tahun 1870, telah ditetapkan peraturan yang dinamakan Keputusan Agraria
(AgrarischBesluit). Peraturan ini hanya berlaku di daerah-daerah Gubernemen di Jawa dan Madura saja.
Sedangkan untuk daerah- daerah di luar Jawa dan Madura Mengenai hal-hal yang telah ditetapkan dalam
peraturan tersebut di atas akan diatur dengan ordonansi sesuai dengan wet agraria dan dasar-dasar dari
keputusan agraria ini. Dari Keputusan Agraria ini yang terpenting adalah Pasal 1 yang memuat
“Pernyataan Umum Tanah Negara” (Algemene Domeinverklaring) yang berbunyi : Bahwa semua tanah

172
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

untuk menggali keuntungan sebanyak-banyaknya terhadap rakyat Indonesia


dengan menciptakan suatu penghisapan berbentuk sistem imperialisme dengan
feodal.312 Pada zamnn penjajahan Belanda, semua tanah dianggap tanah negara
artinya negara yang menjadi “eigenaar” dari tanah itu, kecuali jikalau orang lain
dapat membuktikan bahwa dia yang menjadi “eigenaar” dari tanah itu. Tegasnya
seseorang harus dapat membuktikan bahwa ia mempunyai hak eigendom atas tanah
tersebut.313
Selanjutnya mengingat hak rakyat Indonesia atas tanahnya berdasarkan atas
hukum adat, di mana hukum adat tidak sama dengan Burgerlijk Wetboek
(BW),314maka dengan demikian sekaligus semua tanah dari rakyat Indonesia
menjadi tanah negara.
Asas hukum tanah pada tiap-tiap negara ada dasar hukumnya (recht beginsel)
yang menerangkan bahwa semua tanah dalam negara yang tidak ada pemiliknya
(eigemaar) adalah kepunyaan negara. Demikian juga halnya di Indonesia, tanah-
tanah pekarangan dan benda tetap lainnya (onroerendezaken) yang tidak ada yang
menguasai dan memilikinya, begitu juga barang-barang dari orang yang meninggal
dunia tidak ada ahli warisnya atau yang kuasanya, adalah kepunyaan (milik
negara).315
Pendirian Pemerintah sebagai tersebut dalam Keputusan Agraria (Agrarische
Besluit) itu mendapat kritikan dan sorotan yang tajam dari beberapa pakar yang
hidup pada masa itu diantaranya C. Van Vollenhoven, seorang pakar hukum adat
ing terkenal. Dalam bukunya: “De Indonesier en zijn grond” (Bangsa Indonesia
dan Tanahnya), Van Vollenhoven berpendapat bahwa pernyataanPemerintah itu
tidak adil terhadap bangsa Indonesia. Kemudian Ph. Kleintjes juga membantah
pendirian tersebut, sebab jika Pemerintah mempunyai hak eigendom atas tanah-
tanah bangsa Indonesia maka mengherankanlah bahwa Pemerintah harus
menjalankan “onteigening" (pencabutan hak eigendom) atas tanah-tanah bangsa
Indonesia, jika akan menjadi eigenaar dari tanah-tanah itu.316
Meskipun sudah ada pernyataan umum tanah negara, tentang hal ini masih
ada keraguan, sehingga menjelang pemberian hak erfpacht atas tanah-tanah negara
luar Jawa dan Madura diadakan Pemerintah Hindia Belanda “Pernyataan

yang tidak dapat dibuktikan bahwa tanah itu menjadi eigendom orang lain, adalah tanah negara (domein
van den staat). (lihat Dirman, Op. Cit., h. 25).
312
Lihat Djadi Wirosubroto, Op. Cit., h. 19.
313
Lihat Dirman, Op. Cit., h. 25.
314
Dijelaskan dalam BW Pasal 570, sebagai berikut : Hak milik adalah hak untuk menikmati
kegunaan suatu kebendaan dengan leluasa dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan
kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bersalahan dengan undang-undang atau peraturan umum yang
ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain,
kesemuanya itu dengan tidak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan
umum berdasarkan atas undang-undang dengan pembayaran ganti rugi (KUH Pdt. Pasal 570).
315
Memang hak milik bangsa Indonesia atas pekarangan dan sawah-sawahnya (tanah usaha dan
tanah yasan, dsb) ternyata lebih kuat dari pada hak bezit atau gebruik yang tercantum dalam BW. Dari
sebab itu sekarang pada umumnya hak milik itu dipandang sebagai oosters eigendomsrecht meskipun
istilah ini di dalam peraturan Pemerintah tidak terdapat. (Dirman, Op. Cit., h.2o).
316
Dirman, Ibid., h.27.

173
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Khusus”,317bagi tanah negara di Sumatera (S. 1874. No.94f), Manado (S. 1877 No.
55), Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur (S. 188 No.58) dengan demikian
Kekuasaan atas tanah yang termasuk tanah negara, selanjutnya hak penduduk
untuk membuka tanah ada pada Gubememen.
Pernyataan khusus ini jika dibandingkan dengan pernyataan umum (Pasal
Keputusan Agraria) ternyatabahwa pernyataan khusus ini lebih sempit (terbatas)
daripada pernyataan umum. Menurut pernyataan khusus maka yang tidak dapat
dikuasai oleh Gubememen hanya tanah-tanah yang berasal dari hak membuka
tanah (onteigeninsrech) sedangkan menurut pernyataan umum termasuk juga
tanahpenduduk, tanah-tanah desa seperti lapangan-lapangan penggembalaan
umum, dan tanah-tanah yang karena suatu sebab termasuk tanah desa.318
Berhubung dengan hak tersebut di atas, maka tanah-tanah negara dapat
dibagi atas dua bagian yaitu :319
a. Tanah Negara yang bebas, (Vrij Staatsdomein) artinya tanah negara yang tidak
terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.
b. Tanah Negara yang tidak bebas, (Onvrij Staatsdomein) artinya tanah negara
yang terikat dengan hak-hak bangsa Indonesia.
Selanjutnya terdapat beberapa penjelasan mengenai arti dari tanah negara
yang antara lain menyebutkan : tanah negara adalah semua tanah yang tidak
dinyatakan dengan hak milik eigendom, jadi tanah hak milik perseorangan, desa,
ulayat, tanah erfpacht, konsesi, hak usaha dan sebagainya adalah tanah negara.
Dengan demikian juga dapat dikatakan tanah milik negara dapat dibedakan
menjadi tanah milik negara bebas dan yang tidak bebas. Tanah negara bebas yaitu
tanah yang belum dimiliki orang atau badan hukum serta tidak diusahakan oleh
orang atau badan hukum.320
Di samping itu, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 L.N. 1953
Nomor 14 Tentang Penguasaan Tanah-Tanah Negara, dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan tanah negara adalah tanah yang dikuasai penuh oleh negara,321
kecuali jika penguasaan atas tanah negara dengan undang-undang atau peraturan
lain pada waktu berlakunya Peraturan Pemerintah ini telah diserahkan kepada suatu
Kementerian, Jawatan atau Daerah Swatantra maka penguasaan atas tanah negara
ada pada Menteri Dalam Negeri.322 Di dalam hal penguasaan tersebut Menteri
Dalam Negeri berhak untuk:

317
Dalam Pasal 1 dari masing-masing Peraturan tersebut ditetapkan bahwa : semua tanah-tanah
kosong (Woste Gorden) di daerah Gubememen di Sumatera, Keresidenan Menado, Keresidenan
Kalimantan Selatan dan Timur termasuk tanah negara (Staatsdomein) sekedar tanah-tanah itu tidak ada
hak-hak penduduk asli (rakyat) yang diperoleh dari hak membuka tanah onteigeninsrecht. Dirman, Ibid.,
h.27.
318
Dirman, Ibid., h.27-28.
319
Dirman, Ibid., h.28.
320
Djadi Wirosubroto, Op. Cit., h.23.
321
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 LN 1953-14, Tentang Penguasaan Tanah-Tanah
Negara, Bab I Pemakaian Istilah-Istilah, Pasal 1 huruf a.
322
Ibid., Bab II Ketentuan-ketentuan Umum, Angka 2.

174
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

a. Menyerahkan penguasaan itu kepada suatu Kementerian, Jawatan atau Daerah


Swatantra untuk keperluan kepentingan tertentu dari Kementerian, Jawatan atau
daerah Swatantra itu dan;
b. Mengawasi agar supaya tanah negara dipergunakan sesuai dengan
peruntukannya dan bertindak mencabut penguasaan atas tanah negara apabila
penyerahan penguasaan itu ternyata keliru/tidak tepat lagi, luas tanah yang
diserahkan penguasaannya ternyata sangat melebihi keperluannya dan tanah itu
tidak dipelihara atau dipergunakan sebagaimana mestinya.323
Dalam pada itu, Hak menguasai tanah dari Negara meliputi semua tanah
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia ini, baik tanah-tanah yang
tidak atau belum, maupun yang sudah dihaki dengan hak-hak perorangan oleh
UUPA disebut tanah yang langsung dikuasai oleh negara. Untuk menyingkat
pemakaian kata-kata, dalam praktek administrasi negara digunakan sebutan “Tanah
Negara”.
Hal ini sudah barang tentu dalam arti yang berbeda benar dengan sebutan
“tanah negara” dalam arti “landsdomein” atau “milik negara” dalam rangka
“domeinverklaring Tanah yang sudah dipunyai dengan hak-hak atas tanah primer
disebut dengan tanah hak dengan nama sebutan haknya, unsurnya tanah hak milik,
tanah Hak Guna Usaha (HGU) dan lain-lainya.324
Dengan berkembangnya Hukum Tanah Nasional lingkup tanah-tanah yang
dalam UUPA disebut tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara, yang
semula disingkat dengan sebutan tanah negara itu mengalami juga perkembangan,
semula pengertiannya mencakup semua tanah yang dikuasai oleh negara, diluar apa
yang disebut tanah-tanah hak. Sekarang ini, Hukum Tanah Indonesia dari segi
kewenangan penguasaannya ada kecenderungan untuk lebih memperinci status
tanah yang semula tercakup dalam pengertian tanah negara itu menjadi:
(a) Tanah-tanah wakaf, yaitu tanah-tanah hak milik yang sudah diwakafkan,
(b) Tanah-tanah Hak Pengelolaan, yaitu tanah-tanah yang dikuasai dengan Hak
pengelolaan yang merupakan pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan
Hak menguasai dari Negara kepada pemegang haknya,
(c) Tanah-tanah Hak Ulayat, yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh masyarakat
hukum adat teritorial dengan hak ulayat,
(d) Tanah-tanah Kaum, yaitu tanah-tanah bersama masyarakat-masyarakat hukum
adat genealogis,
(e) Tanah-tanah kawasan hutan yang dikuasai oleh Departemen Kehutanan
berdasarkan Undang-Undang Pokok Kehutanan. Hak penguasaan ini pada
hakekatnya juga merupakan pelimpahan sebagian kewenangan Hak Menguasai
dari Negara,
(f) Tanah-tanah sisanya yaitu tanah-tanah yang dikuasai oleh negara yang bukan
tanah hak, bukan tanah wakaf, bukan tanah hak pengelolaan, bukan tanah hak
ulayat, bukan tanah-tanah kaum dan bukan pula tanah-tanah kawasan hutan.

323
Ibid., Bab II Ketentuan-ketentuan Umum, Angka 3.
324
Lihat Boedi Harsono, Op. Cit., h. 241.

175
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Tanah-tanah ini tanah-tanah yang benar-benar langsung dikuasai oleh negara


untuk singkatnya dapat disebut tanah negara.325
Tanah-tanah negara dalam arti sempit harus dibedakan dengan tanah-tanah
yang dikuasai oleh departemen-departemen dan lembaga Pemerintah non
departemen lainnya dengan Hak Pakai, yang merupakan asset atau sebagian
kekayaan negara, yang penguasaannya ada pada Menteri Keuangan. Sedangkan
penguasaan tanah-tanah negara dalam arti publik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 UUPA ada pada Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional.326 Kemudian dapat dijelaskan bahwa yang dimaksud tanah negara adalah
tanah yang langsung dikuasai oleh negara sebagaimana dimaksud dalam UUPA,327
jadi tanah negara adalah tanah milik negara.328
Dengan demikian menurut pengamatan penulis tanah negara itu dapat i- red
akan menjadi:
a. Tanah negara, yaitu tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam
pengertianhak menguasai dari negara untuk mengatur bumi, air dan ruang
angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya pada suatu tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang
mempunyai kewenangan untuk:
1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa;
2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa;
3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang- orang
dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.329
b. Tanah negara, tanah-tanah yang dimiliki oleh Pemerintah yaitu tanah-tanah
yang diperoleh Pemerintah pusat maupun daerah berdasarkan nasionalisasi,
pemberian, penyerahan sukarela maupun melalui pembebasan tanah, dan
berdasarkan akta-akta peralihan hak.330
c. Tanah negara, adalah tanah-tanah yang tidak dimiliki atau dikuasai oleh
masyarakat, badan hukum swasta dan badan keagamaan atau badan sosial serta
tanah-tanah yang dimiliki oleh perwakilan negara asing.

325
Boedi Harsono, Ibid., h. 241-242.
326
Boedi Harsono, Ibid., h. 242.
327
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999
tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Pasal 1
angka 2.
328
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua,
Cetakan Pertama, Balai Pustaka, Jakarta, 1991, h.l001.
329
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
Pasal 2 ayat (2).
330
Akte-akte peralihan dimaksud adalah akte jual beli, akte tukar menukar, akte hibah, akte
pemasukan ke dalam perusahaan, akte pembagian hak bersama, akte pemberian hak tanggungan, akte
pemberian hak guna bangunan atas tanah hak milik dan akte pemberian hak pakai atas tanah hak milik.
Lihat Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
Pasal 95 dan Pasal 96.

176
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

E. Tanah Garapan
Garapan atau memakai tanah ialah menduduki, mengerjakan dan atau
menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan di atasnya,
dengan tidak mempersoalkan apakah bangunan itu digunakan sendiri atau tidak.331
Dapat juga dikatakan istilah garapan ialah hubungan hukum antara penggarap
dengan sebidang tanah negara berdasarkan : surat keputusan (bukan pemberian hak
atas tanah), surat ijin atau surat lain maupun yang tidak berdasarkan sesuatu
suratpun termasuk dalam pengertian garapan ini: occupatie Vergunning, ijin pakai,
ijin garapan atau nama lainnya yang sejenis.332Selaindefinisi di atas, yang
dimaksudkan dengan garapan adalah tanah yang diduduki, dipelihara dan atau
dibebaskan dari penggarapnya semula, sebelum berlakunya Undang-Undang
Nomor 51 PrpTahun 1960 tanggal 14 Desember I960.333
Undang-Undang Pokok Agraria (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960)
tidak mengatur adanya tanah garapan ini, karena tanah garapan bukanlah status hak
atas tanah. Dalam Peraturan perundang-undangan terdapat istilah hukum untuk
tanah garapan ini yaitu: pemakaian tanah tanpa ijin pemilik atau kuasanya dan
pendudukan tanah tidak sah (onwettige occupatie),334 sedangkan jenis tanah
garapan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu:
(1) Tanah garapan di atas tanah yang langsung dikuasai oleh negara (vrij
landsdomein),
(2) Tanah garapan di atas tanah Instansi atau badan hukum milik Pemerintah dan
(3) Tanah garapan di atas tanah perorangan atau badan hukum swasta.335
Peraturan perundang-undangan yang mengatur soal tanah garapan ini dapat
dibedakan menjadi tiga kurun waktu sebagai berikut yaitu pertama periode
sebelum tahun 1945, antara lain : a. Staatsblad tahun 1912 Nomor 177 tentang

331
B.F.Sihombing, Implementasi Undang Undang Nomor 51 Prp. Tahun 1960 Tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya di Wilavah DKI Jakarta. Program Pasca
Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Tarumanagara, Jakarta, 1996/1997. h. 22.
332
Akte-akte peralihan dimaksud adalah akte jual beli, akte tukar menukar, akte hibah, akte
pemasukan ke dalam perusahaan, akte pembagian hak bersama, akte pemberian hak tanggungan, akte
pemberian hak guna bangunan atas tanah hak milik dan akte pemberian hak pakai atas tanah hak milik.
Lihat Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
Pasal 95 dan Pasal 96.
333
B.F. Sihombing, Op. Cit.h. 22.
334
B.F. Sihombing, Ibid., 5.
335
Tanah garapan di atas tanah yang langsung dikuasai negara (vrij landsdomein) dibedakan
menjadi : a. tanah negara, berasal dari bekas eigendom milik negara atau Pemerintah, b.tanah negara,
berasal dari bekas eigendom partikelir yang terkena ketentuan Undang-Undang No. 1 tahun 1958, c tanah
negara, berasal dari bekas hak barat yang terkena ketentuan UUPA jo Keppres No. 32 tahun 1979.
Kemudian tanah garapan di atas tanah instansi atau badan hukum milik Pemerintah, yaitu untuk tanah
instansi Pemerintah subyeknya adalah departemen, lembaga non departemen dan Pemerintah daerah
sedangkan obyeknya adalah jalur hijau, taman, bantaran kali, jalur pengaman, tanah yang masih kosong
dan hutan. Untuk tanah badan hukum/badan usaha milik negara subyeknya adalah bank negara
BUMN/BUMD, persero, perum, perjan dan obyeknya adalah bantaran rel KA, areal/jalur pengaman dan
tanah kosong. Selanjutnya untuk tanah garapan di atas tanah perorangan atau badan hukum swasta dapat
diklasifikasikan sebagai berikut : a. garapan yang akhirnya secara massal dan kemudian berwujud
perkampungan penduduk, b. garapan atas tanah perorangan atau badan hukum swasta dengan cara
melawan hukum, walaupun sudah ada tegoran dari pemiliknya. B.F. Sihombing, Ibid., h. 6, 7.

177
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Onwettige Occupatie van Landsdomein,336 b. Staatsblad tahun 1924 Nomor 240


tentang Ketentuan Sewa Tanah Kepada Onwettige Occupatie,337 c. Staatsblad
tahun 1925 Nomor 649 Tentang Ketentuan Baru mengenai Pembukaan Tanah oleh
Orang Indonesia di Jawa dan Madura,338 kedua periode tahun 1945-1959, antara
lain UUD 1945,339 dan Keputusan Penguasa Perang Pusat tanggal 14April
1958Perpu Nomor 011 Tahun 1958 jo. Nomor 014 Tahun 1959 tentang Larangan
PemakaianTanah tanpa Ijin Yang Berhak atau Kuasanya,340 ketiga periode tahun
1960— sekarang, antara lain Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 jo
Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa
Ijin Yang Berhak atau Kuasanya,341 dan di daerah DKI Jakarta Keputusan

336
Isi peraturan ini antara lain adalah : 1) Penggunaan tanah oleh bukan orang Indonesia yang
ternyata tidak dapa dibuktikan sebagai milik orang lain, adalah dilarang, 2) Pelanggaran terhadap pasal
ini adalah dikenakan pidana kurungan paling tinggi 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp. 100,-, 3)
Barang siapa setelah berlakunya peraturan ini menggunakan tanah itu dalam jangka waktu 1 (satu) tahun
harus mengakhiri atau disahkan. (Staatsblad No. 1912 No. 177 Pasal 1, Pasal 2 dan aturan peralihan).
B.F. Sihombing, Ibid., h. 8.
337
Isi peraturan ini antara lain adalah bahwa Kepada Bupati/Walikota diberi wewenang untuk
menertibkan penggunaan tanah tidak secara sah oleh orang bukan Indonesia dengan memberikan
persewaan 20 tahun, dikecualikan tanah negara yang sudah diberikan hak kepada pihak lain dan tanah
negara yang diberikan pengelolaan kepada Departemen Hankam, PJKA, Pelabuhan dan lain-lain.
(Staatsblad No. 1924 No. 240). B.F. Sihombing, Ibid., Op. Cit., h. 9.
338
Isi peraturan ini antara Iain adalah bahwa pembukaan tanah oleh orang Indonesia di Jawa dan
Madura in iari Residen, dan apabila tanpa ijin maka dikenakan hukuman kurungan 1 (satu) bulan atau
denda Rp. 50.- apabila : membuka tanah tanpa ijin Residen atau Gubernur dan menggunakan tanah yang
dibuka tetapi ijinnya telah dicabut. (Staatsblad No. 1925 No.649). B.F. Sihombing, Ibid., h. 10.
339
Mengenai hal ini diatur dalam Aturan Peralihan Pasal II yaitu segala Badan Negara dan
Peraturan yang ada masih berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. (UUD 1945
Aturan Peralihan Pasal II).
340
Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa obyek dari tanah negara adalah : tanah negara bebas,
tanah swapraja bebas, tanah dalam penguasaan departemen, tanah daerah swatantra (tanah Pemerintah
Daerah), tanah eigendom, opstal dan lain-lain, tanah hak Indonesia, tanah desa dan badan lain yang
setingkat. Kemudian barang siapa pada waktu mulai berlakunya peraturan ini memakai tanah tanpa ijin
pemilik atau kuasanya yang sah wajib melaporkan kepada Penguasa Perang Daerah. Selanjutnya
Penguasa Perang Daerah dapat mengeluarkan surat perintah untuk mengosongkan tanah yang dipakainya
dengan segala barang dan orang yang menerima hak daripadanya. Selain itu dijelaskan pula Mengenai
ancaman dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
3.000,- yaitu : a. Barang siapa sesudah mulai berlakunya Peraturan Perpu ini memakai tanah tanpa ijin
pemilik atau kuasanya yang sah, sedang sebelumnya ia tidak memakai tanah itu, b. barang siapa
inengganggu pemilik atau kuasanya yang sah di dalam menggunakan haknya atas suatu bidang tanah,
c.barang siapa menyuruh, mengajak, membujuk atau menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk
melakukan perbuatan yang dimaksud dalam Pasal 2 atau sub b dari pasal ini, d.barang siapa memberi
bantuan dengan cara apapun juga untuk melakukan perbuatan pada Pasal 2 sub b pasal ini, e. barang
siapa menyampaikan pelaporan yang tidak benar, f. barang siapa melanggar atau tidak memenuhi
ketentuan Mengenai penyelesaian yang diadakan oleh Menteri Agraria, khususnya bidang perkebunan.
Dijelaskan pula dalam penjelasan peraturan ini disebutkan antara lain bahwa oleh karena okupasi liar itu
tidak sama disemua tempat, titik berat kebijaksanaan dalam pelaksanaannya diserahkan kepada Peperda
hingga dapatlah diperhatikan segi-segi dan corak-corak yang khusus, sesuai dengan keadaan setempat.
(Keputusan Penguasa Perang Pusat tanggal 14 April 1958 Peperpu No. 011 Tahun 1958 jo No. 014
Tahun 1959 Tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya). B.F.
Sihombing, Ibid., h. 11.
341
Pokok-pokok isi dari peraturan ini adalah pertama pengertian (arti) “memakai tanah” ialah
menduduki, mengerjakan dan atau/menguasai sebidang tanah atau mempunyai tanaman atau bangunan di
atasnya, dengan tidak dipersoalkan apakah bangunan itu digunakan sendiri atau tidak, kedua dilarang
memakai tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya yang sah, ketiga Penguasa Daerah (Gubernur,
Bupati/Walikota) dapat mengambil tindakan untuk menyelesaikan pemakaian tanpa ijin yang berhak atau

178
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 886 Tahun 1983 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Penertiban Penguasaan/Pemakaian Tanah Tanpa Hak di
Wilayah Propinsi DKI Jakarta.342

F. Hukum Tanah Belanda


Seperti diketahui pada zaman kolonial di Indonesia terdapat dualisme atau
lebih baik pluralisme di bidang hukum Agraria. Ada tanah-tanah yang termasuk
dalam suasana Hukum Eropa di samping tanah-tanah yang termasuk dalam
suasanaHukum Adat. Di samping itu masih ada lagi tanah-tanah Tionghoa,
misalnya Landerijenbezitsrech.343
Adapun tanah-tanah dengan hak-hak barat yang lazim disebut tanah-tanah
barat atau tanah-tanah Eropa, adalah tanah hak eigendom,344 tanah hak erfpacht,345
tanah hak opstal,346 tanah hak sewa,347 hak pakai348 dan hak pinjam.349

kuasanya yang sah dengan memperhatikan rencana peruntukan dan penggunaan tanah yang
bersangkutan, keempat dijelaskan bahwa Penguasa Daerah dapat mengeluarkan perintah pengosongan
kepada yang bersangkutan dan segala barang dan orang yang menerima hak daripadanya dan
melaksanakan pengosongan atas biaya pemakai sendiri, apabila yang bersangkutan tidak memenuhi batas
waktu yang diberikan kelima menjelaskan Mengenai pidana dengan kurungan selama-lamanya 3 (tiga)
bulan dan atau/ denda sebanyak-banyaknya Rp. 5.000,- barang siapa : memakai tanah tanpa ijin yang
berhak atau kuasanya, mengganggu yang berhak atau kuasanya, menyuruh, membujuk atau
menganjurkan dengan lisan atau tulisan untuk melakukan perbuatan pemakaian tanah tanpa ijin yang
berhak dan memberikan bantuan dengan cara apapun juga untuk melaksanakan perbuatan tersebut.
Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa obyek dari tanah negara adalah : tanah negara bebas, tanah
swapraja bebas (Lihat Undang Undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 jo Undang Undang Nomor 1 Tahun
1961).
342
Dalam peraturan ini telah ditetapkan mekanisme dan langkah koordinasi penyelesaian
penertiban pemakaian tanah tanpa hak. Juga diatur tentang apa yang menjadi tugas Lurah, Camat,
Walikoiamadya dan Biro Ketertiban. Kemudian juga diatur tentang peranan Kanwil Departemen
Penerangan, Biro Humas dan Biro Hukum Propinsi DKI Jakarta untuk : a. Menyebarluaskan peraturan
tentang pertanahan dan penjelasan tentang penguasaan/ pemakaian tanpa hak merupakan tindak pidana
dan b. Mengingatkan kepada pemegang hak berkewajiban menjaga, memelihara dan mengamankan
tanahnya. (B.F. Sihombing, Ibid., h. 15, 16).
343
Menurut Pasal 570 KUH Perdata, hak eigendom itu adalah hak yang memberi wewenang
penuh, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lainnya yang
ditetapkan oleh badan-badan penguasa yang berwenang dan tidak mengganggu hak-hak orang lain.
Sesuai dengan jiwa liberalisme dan individualisme yang meliputi seluruh isi KUH Perdata, maka
pembatasan-pembatasan yang diadakan dengan undang-undang dan peraturan lainnya terhadap hak
eigendom itu semula tidak seberapa banyaknya. Sedang pembatasan oleh hak-hak orang lain juga
ditafsirkan sangat sempit dan legistis. Dengan demikian maka hak eigendom yang merupakan pusat dari
hukum agraria barat itu benar-benar merupakan hak yang memberikan wewenang sepenuhnya kepada
yang empunya benda (eigenaar) untuk berbuat bebas dengan benda yang bersangkutan. Kepentingan
pribadilah yang menjadi pedoman, bukan kepentingan masyarakat. Tetapi kemudian terjadilah perubahan
di dalam alam fikiran masyarakat barat. Masyarakat yang berkonsepsi liberalisme dan individualisme itu
mengalami pengaruh dari konsepsi sosialisme, yang untuk mencapai masyarakat adil dan makmur
menuntut supaya negara memperhatikan dan mengatur kehidupan masyarakat, sehingga perlu untuk
membatasi kebebasan individu. Konsepsi itu berpengaruh juga pada isi hak eigendom yang pada
kenyataannya berakibat membatasi luasnya kebebasan dan wewenang-wewenang yang ada pada
seseorang eigenaar. Hak eigendom tidak lagi mutlak, seorang eigenaar tidak lagi mempunyai kebebasan
penuh untuk berbuat dengan apa yang dimilikinya. Kepentingan masyarakat mendapat perhatian dalam
melaksanakan hak-hak individu, yang dikenal dengan “vermaatschappelijkt”, mengandung pula unsur-
unsur kemasyarakatan atau mengalami sosialiseringspreces (Lihat Rachiyat, Politik Pertanahan Sebelum
dan Sesudah Berlakunya UUPA (UU No.5 Tahun 1960, Cetakan Ketiga Alumni, Bandung, 1992, h. 7-9).
344
Eddy Ruchiyat, Ibid., h. 25-26.

179
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Dengan demikian hak milik atau hak eigendom yang menjadi dasar utama
dari Hukum Tanah Belanda, benar-benar merupakan hak atas suatu benda yang
memberi kebebasan yang seluas-luasnya kepada pemiliknya.350
Kesemuanya itu terdaftar pada kantor pendaftaran tanah menurut
Overrschrijvingsordonnantie atau Ordonansi Balik Nama (S. 1834-27) selanjutnya
tanah-tanah barat ini tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum agraria barat
misalnya cara memperolehnya, peralihannya, lenyapnya (hapusnya),
pembebanannya dengan hak-hak lain dan wewenang serta kewajiban-kewajiban
yang empunya hak.351
Hak-hak ini dapat diletakkan atas tanah-tanah di mana tidak ada hak-hak
orang lain atau jika karena perubahan status tanah Indonesia ke tanah Eropa.
Tanah-tanahlainnya yang takluk pada hukum adat adalah tanah-tanah Indonesia.
Jika dilakukan perbandingan antara kedua macam tanah ini maka dapat
diumpamakan, seolah-olah tanah-tanah Indonesia ini merupakan lautan sekitar
pulau-pulau kecil (einlandjes) tanah-tanah dengan hak Eropa.352
Oleh karena tanah-tanah di negeri ini dapat dibedakan menurut garis-garis
penggolongan rakyat yang dikenal dalam Pasal 163 I.S., maka pernah dikatakan
pula bahwa tanah itu ibarat mempunyai suatu Landraad atau golongan rakyat
tersendiri. Maka tidak mengherankan bahwa di samping golongan tanah dari pihak-
pihak, maka tanah dapat dipandang pula sebagai suatu faktor yang dapat
mewujudkan terjadinya suatu persoalan antar golongan (titik pertautan primer).353
Pasal 163 I.S., yang mengatur penggolongan penduduk pada zaman kolonial
ke dalam golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera dan P^rai 131 I.S., yang
menetapkan lingkungan hukum yang berlaku bagi ketiga golongan penduduk di
atas ternyata telah menimbulkan masalah antargolongan bahkan sampai
sekarangpun pada zaman kemerdekaan masih dapat menemukan masalah
antargolongan, terutama di bidang pertanahan dalam rangka penanaman modal
asing.354

345
Eddy Ruchiyat, Ibid., h. 27-30. Hak ini bersifat turun temurun, banyak diminta untuk keperluan
pertanian. (Lihat juga A.P. Parlindungan, Berbagai Aspek Pelaksanaan UUPA, h.4 dalam buku Erman
Rajagukguk, Hukum dan Masyarakat, Op. Cit., h.16).
346
Erman Rajagukguk, Op. Cit., h. J6.
347
Erman Rajagukguk, Ibid., h. 17.
348
Erman Rajagukguk, Ibid., h. 17.
349
Erman Rajagukguk, Ibid., h. 17.
350
Berhubung dengan dianutnya asas konkordansi di dalam penyusunan perundang-undangan
Hindia Belanda dulu, maka KUH Perdata Indonesia juga konkordansi dengan Burgerlijk Wetboek
Belanda, Dan BurgerlijkWetboek Belanda itu disusun berdasarkan Code Civil Perancis, yang merupakan
pengkodifikasian hukum perdata Perancis sesudah Revolusi Perancis Tahun 1789. Revolusi Perancis itu
suatu revolusi yang borjuis, yang berjiwa berjiwa liberal individualistis. Oleh karenanya ketentuan-
ketentuan pokok dan asas-asas hukum agraria barat itu bersumber pada KUH Perdata Barat, maka hukum
agraria barat berjiwa liberal individualistis. (Lihat Eddy Ruchiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan
Sesudah Berlakunya UUPA (Undang Undang Nomor 5 Tahun I960). Op. Cit., h.7).
351
Eddy Ruchiyat, Ibid., h. 5.
352
Eddy Ruchiyat, Ibid., h. 3.
353
Eddy Ruchiyat, Ibid., h.3.
354
Eddy Ruchiyat, Ibid., h.3-4.

180
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Tidak dapat dipungkiri, bahwa dengan berlakunya UUPA, hukum agraria


mengalami suatu perubahan besar, suatu revolusi yang merubah pemikiran dan
landasan politik agraria Pemerintah kolonial yang dibuat demi kepentingan Modal
Besar Asing di satu pihak, dengan mengorbankan kepentingan rakyat Indonesia di
pihak lain. Asas Domeinverklaring yang dibuat di dalam berbagai peraturan telah
memperkosa hak-hak rakyat.355
Sejak dilaksanakannya Cultuurstelsel (peraturan tanam paksa) pada tahun
1830, sangatlah terbatas kemungkinan bagi para pengusaha besar swasta untuk
berusaha di bidang perkebunan besar. Hal itu sejalan dengan politik monopoli
negara dalam pengusahaan tanaman-tanaman untuk ekspor, bagi pengusaha besar
swasta yang belum memiliki sendiri tanah yang luas dengan hak eigendom, sebagai
apa yang dikenal dengan sebutan “tanah partikelir”, tidak ada kemungkinan untuk
memperoleh tanah yang diperlukannya dengan hak yang kuat dan dengan jangka
waktu penguasaan yang cukup lama.
Sebelum terbentuknya Agrarische Wet pada tahun 1870, satu-satunya cara
yang terbuka adalah menyewa tanah dari Pemerintah, 356karena menyewa tanah
kepunyaan rakyat tidak dimungkinkan.357
Sementara itu para pengusaha besar Belanda, karena keberhasilan usahanya
mengalami kelebihan modal, sehingga memerlukan bidang usaha baru untuk
menginvestasikannya. Mengingat bahwa masih banyak tersedia tanah hutan di
Hindia Belanda yang belum dibuka dan diusahakan, maka sejak pertengahan abad
ke 19 mereka menuntut diberikannya kesempatan untuk berusaha di bidang
perkebunan besar. Hal ini sejalan dengan semangat liberalisme yang sedang
berkembang yang menuntut penggantian sistem monopoli negara dan kerja paksa
dalam bentuk cultuurstelsel, dengan sistem persaingan bebas dan sistem kerja
bebas, berdasarkan konsepsi kapitalisme liberal.
Pada tahun 1870 lahirlah suatu undang-undang yang rancangannya diajukan
oleh Menteri Daerah Jajahan de Waal dalam rangka melaksanakan politik

355
Eddy Ruchiyat, Ibid., h.1.
356
Sebelum Tahun 1839 sejalan dengan dilaksanakannya cultuurstelsel, tidak lagi diadakan
persewaan baru. Dengan adanya RR 1854/Pasal 62 ayat (3) secara tegas dibuka kembali kesempatan
untuk menyewa tanah dari Pemerintah, yang peraturannya dimuat dalam Algcmeene Maatregel van
Bestuur (AMVB) yang diundangkan dalam S. 1856-64. Persewaan boleh diadakan dengan jangka waktu
paling lama 20 tahun kecuali untuk tanaman kelapa yang jangka waktunya boleh sampai 40 tahun (Lihat
Boedi Harsono, Op. Cit., h.34-35). Kemudian Persewaan atas dasar ketentuan tersebut di atas ternyata
tidak mampu membawa perkeinbangan yang berarti pada perusahaan kebun besar di Hindia Belanda. Hal
itu disebabkan karena jangka w'aktu sewa maksimal 20 tahun dan tidak mencukupi untuk penguasaan
tanaman-tanaman keras yang berumur panjang. Lagipula penguasaan tanah dengan hak sewa tidak
memungkinkan pengusaha memperoleh kredit yang diperlukannya dengan pemberian jaminan hipotek.
Hak sewa bukan obyek Hipotek (lihat juga Pasal 1164 KUHPdt).
357
Menurut ketentuan Bijblad Nomor 148 penjualan maupun persewaan tanah rakyat kepada non-
pribumi dilarang. Satu-satunya cara untuk bisa memperoleh hasil tanaman yang diinginkan dengan
menggunakan tanah rakyat, adalah dengan mengadakan perjanjian bahwa petani yang empunya tanah
akan menanam tanaman-tanaman yang ditentukan yang hasilnya akan dijual kepada pengusaha (dikenal
dengan sebutan “leveringscontract"). Karena segala sesuatunya tergantung pada kesediaan petani yang
bersangkutan untuk mengadakan perjanjian yang dimaksudkan dan kesungguhannya dalam memenuhi
apa yang diperjanjikan, bagi pengusaha tidak terdapat cukup jaminan akan memperoleh hasil tanaman
yang diinginkan. (lihat Maasen &Hens, Ibid., h.63/63 dalam Boedi Harsono, Op. Cit., h. 35).

181
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

pertanahan kolonial yaitu dengan menambahkan 5 (lima) ayat baru pada Pasal 62
RR 1854. Undang-undang ini kemudian dikenal dengan sebutan Agrarische Wet.358
Undang-undang yang menjadi sendi politik kolonial Belanda ini lahir sebagai
perdebatan perdebatan dalam parlemen Belanda yang pada hakekatnya timbul
karena tangan antara golongan konservatif dan golongan liberal.359
Adapun isi pasal 62 RR Agrarische Wet tersebut adalah sebagai berikut:
Ayat (1) Gubernur Jenderal tidak boleh menjual tanah. Dalam larangan di
atas tidak termasuk tanah-tanah yang tidak luas, yang a diperuntukkan bagi
perluasan kota dan desa serta pembangunan kegiatan-kegiatan usaha kerajinan.
Ayat (2) Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi. Tidak termasuk yang boleh
disewakan adalah tanah-tanah kepunyaan orang-orang pribumi asal pembukaan
hutan, demikian juga tanah-tanah yang sebagai tempat penggembalaan umum atau
atas dasar lainnya merupakan kepunyaan desa.
Ayat (3) Menurut ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi, diberikan
tanah dengan hak erfpacht selama waktu tidak lebih dari tujuh puluh lima tahun.
Ayat (4) Gubernur Jenderal menjaga jangan sampai terjadi pemberian tanah
yang melanggar hak-hak rakyat pribumi.
Ayat (5) Gubernur Jenderal tidak boleh mengambil tanah-tanah kepunyaan
rakyat asal pembukaan hutan yang digunakan untuk keperluan sendiri, demikian
juga tanah-tanah yang sebagai tempat penggembalaan umum atas dasar lain
merupakan kepunyaan desa, kecuali untuk kepentingan umum berdasarkan Pasal
113 atau untuk keperluan penanaman tanaman-tanaman yang diselenggarakan atas
perintah penguasa menurut peraturan-peraturan yang bersangkutan dengan
pemberian ganti kerugian yang layak.
Ayat (6) Tanah yang dipunyai oleh orang-orang pribumi dengan hak pakai
pribadi yang turun-temurun (yang dimaksudkan adalah hak milik adat) atas
permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya dengan hak eigendom,
dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan
ordonansi dan dicantumkan dalam surat eigendomnya yaitu yang mengenai

358
Agrarisch Wet ini adalah seperti apa yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) dengan agraria yang berdasarkan tujuan dan sendi-sendi dari Pemerintah jajahan” adalah
Hukum Tanah Administrasi Pemerintah Hindia Belanda dalam rangka melaksanakan politik pertanahan
kolonial. (Boedi Harsono, Ibid., h. 32)
359
Seak tahun 1848 (tahun pergolakan di Eropa yang mengakibatkan perubahan pokok dalam
Undang-Undang dasar Belanda) parlemen merasa lebih kuat menghadapi raja dan makin timbul
keinginannya untuk mencampuri urusan jajahan, yang sampai saat itu hanya digenggam oleh raja dan
menteri belaka. Maka dalam urusan jajasan inilah makin tampak pertentangan politik antara anggota
parlemen yang konservatif dan golongan liberal. Yang pertama memuji Culturstelsel dan cara
Pemerintahan di Indonesia dan yang kedua mencelanya. Kalau yang liberal menghendaki perdagangan
dan industri yang bebas, yang konservatif ingin melanjutkan semua hasil keuntungan jajahan untuk
kekayaan negara (Belanda); yang satu menuntut campur tangannya parlemen dalam segala urasan
jajahan, yang lain menganggap ikut campumya perwakilan dalam hal itu tidak layak bahkan berbahaya.
Kita sekarang melihat pertentangan itu tidak begitu penting; kedua-duanya ingin melanjutkan kekuasaan
Belanda atas Indonesia; hanya tentang caranya ada perbedaan. Dalam pada itu pengaruh atas jalannya
sejarah penjajahan bagi negeri kita adalah besar sekali. Terutama politik tentang hak tanah telah menjadi
pangkal pertentangan faham yang memuncak. (Lihat Singgih Praptodihardjo, Op. Cit.,h..38).

182
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

kewajibannya terhadap negara dan desa yang bersangkutan demikian juga


mengenai kewenangannya untuk menjualnya kepada non-pribumi.
Ayat (7) Persewaan atau serah pakai tanah oleh orang-orang pribumi kepada
non-pribumi dilakukan menurut ketentuan yang diatur dengan ordonansi.360
Dengan demikian jelas kiranya bahwa tujuan dari Agrarische Wet ini adalah
menciptakan politik pertanahan yang baru bagi Hindia Belanda, dari sistem
monopoli negara menjadi sistem berusaha bebas bagi swasta di bidang perkebunan
besar. Hal ini dapat dilihat dari diberikannya kemungkinan dan jaminan hukum
kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di Hindia Belanda yaitu
dengan memberikan kemungkinan memperoleh dari Pemerintah tanah yang masih
berupa hutan untuk dibuka dan dijadikan perkebunan besar, dengan hak erfpacht
yang berjangka waktu sampai 75 tahun.
Selain itu, Agrarische Wet juga membuka kemungkinan menggunakan tanah
kepunyaan rakyat atas dasar sewa. Kemungkinan ini disediakan bagi perusahaan-
perusahaan kebun besar dan tanah datar, terutama perusahaan gula dan
tembakau.361
Bahwa tidak semua ketentuan Hukum Administrasi Pemerintah Hindia
Belanda merugikan rakyat pribumi, dan diadakan semata-mata hanya kepentingan
para pengusaha besar.362

360
Ketentuan Pasal 62 RR yang kemudian menjadi Pasal 51 Indische Staatsregeling (IS) tahun
1925, dan Tambahan AW pada tahun 1870, yang diterjemahkan dan diuraikan oleh Boedi Harsono (lihat
Boedi Harsono, Op. Cit., h.33-34).
361
Rumusan tersebut menunjukan adanya komitmen dan kesungguhan akan memberikan hak
erfpacht yang diperlukan bagi pengembangan usaha swasta di bidang perkebunan besar. Menurut Pasal
720 dan 721 KUHPdt hak erfpacht merupakan hak kebendaan yang memberikan kewenangan yang
paling luas kepada pemegang haknya untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan tanah kepunyaan
pihak lain. Pemegang Hak Erfpacht boleh menggunakan semua kewenangan yang terkandung dalam
eigendom atas tanah (lihat Pasal 720 dan 721 KUHPdt). Selain itu hak erfpacht dapat dibebani
hypotheek, hingga terbuka kemungkinan bagi pengusaha untuk memperoleh kredit yang diperlukan
dengan menunjuk tanahnya sebagai agunan. Lihat Pasal 724 dan 1164 KUHPdt). Jangka waktu
penguasaan dan penggunaan tanahnya selama 75 tahun telah memungkinkan pengusaha
menyelenggarakan penanaman tanaman-tanaman keras yang berumur panjang dan memperoleh laba
yang lebih besar daripada hak sewa, yang berjangka waktu pemberiannya hanya sampai 20 tahun. Hal-
hal Mengenai pemberian hak erfpacht tersebut menurut Agrarisch Wet diatur dengan Ordonansi. Maka
dalam pelaksanaannya dapat dijumpai berbagai peraturan Mengenai hak erfpacht yaitu : a.Untuk Jawa
dan Madura, kecuali daerah-daerah Swapraja adalah : 1. AgrarischBesluit (S.1870-118) Pasal 9 s/d 17, l.
Ordoncmsi yang dimuat S.1872-237a, yang beberapa kali mengalami perubahan terakhir dalam tahun
1913 disusun kembali dan diundangkan dalam S.1913-699; b.Untuk luar Jawa dan Madura kecuali
daerah-daerah Swapraja semula ada berbagai Ordonansi yang mengatur Mengenai pemberian hak-hak
erfpacht yang berlaku di daerah-daerah teitentu yaitu : 1. S. 1874 untuk Sumatera, 2.S.1877- 55 untuk
Keresidenan Manado, 3.S. 1888-58 untuk daerah Zuider-en Oesterafdeling Borneo; c. Untuk daerah-
daerah swapraja luar Jawa diatur dalam S.1910-61 dengan sebutan Erfpachtordonnantie Zeljbeslurende
Landschapperi Buitngewesten berlakunya di masing-masing swapraja menurut penunjukan Gubernur
Jenderal. Sebelum adanya ordonansi di daerah-daerah Swapraja di luar Jawa tidak diberikan Hak
Erfpacht, melainkan Hak Konsesi untuk perusahaan perkebunan besar. Persewaan tanah rakyat kepada
perusahaan kebun besar diatur pula dengan ordonansi, yang setelah mengalami perubahan-perubahan
menjadi: a. Grondhuurordonantie (S. 1918-88) yang berlaku di Jawa dan Madura, kecuali Surakarta dan
Yogyakarta, b. Vorstenlands Gronhuur Rcglement (S. 1918- 20) yang berlaku di Daerah Swapraja
Surakarta dan Yogyakaita. (Lihat Boedi Harsono, Ibid., h.37-38).
362
Dalam Buku Boedi Harsono, disebutkan Van Vollenhoven pernah mengadakan bahwa;
“DeAgrarische regelingenkunnen het daglicht zien” (Vollenhoven, C.van,1912 De Inonesier en zijn
grond, Boekhandel en Drukkeij v/h E.I. Brill, Leide (lihat Boedi Harsono, Ibid., h.40-41). Tetapi biarpun

183
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Ketentuan Agrarische Wet pelaksanaannya diatur lebih lanjut dalam berbagai


peraturan dan keputusan. Diantaranya adalah suatu Koninklijk Besluit yang dikenal
dengan Agrarische Besluit. Dalam Agrarische Besluit tersebut dimuat suatu
pernyataan asas yang sangat penting bagi perkembangan dan pelaksanaan Hukum
Tanah Administratif Hindia Belanda yaitu Asas Domein Verklaring. Asas tersebut
d inilai sebagai kurang menghargai, bahkan “memperkosa” hak-hak rakyat atas
tanah yang bersumber pada hukum adat.363
Sehubungan dengan itu dalam perundang-undangan agraria dikenal
Pernyataan Domein yang Umum (Algemene Domein Verklaring) dan Pernyataan
Domein yang Khusus (Speciale Domein Verklaring).364
Dalam praktek pelaksanaan perundang-undangan pertanahan, Domein
Verklaring :
(1) Sebagai landasan hukum bagi Pemerintah yang mewakili Negara sebagai
pemilik tanah, untuk memberikan tanah dengan hak-hak barat yang diatur
dalam KUHPdt, seperti hak erfpacht, hak opstal, dan lain-lainnya. Dalam
rangka Domein Verklaring, pemberian tanah dengan hak eigendom dilakukan
dengan cara pemindahan hak milik negara kepada pemilik tanah.
(2) Di bidang pembuktian kepemilikan.365 Pada masa itu ada anggapan, bahwa
hanya eigenaar atau pemilik tanahlah yang memberikan hak erfpacht, hak
opstal dan lain-lainnya. Maka dalam rangka melaksanakan perintah Agrarische
Wet untuk memberikan hak erfpacht kepada pengusaha dipandang perlu untuk
menyatakan bahwa tanah-tanah yang bersangkutan adalah eigendom atau
milik negara.366

demikian tujuan utamanya memang bukan untuk mensejahterakan rakyat pribumi. Dibandingkan dengan
tujuan dan rumusan pokok Politik Pertanahan Nasional yang dituangkan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD
1945, jelas tampak ada perbedaan yang hakiki. Oleh karena itu bila dilihat dari tujuannya Hukum Tanah
Administratif Pemerintah Hindia Belanda tidak dapat dipertahankan dan harus diganti dengan Hukum
Tanah Administratif Nasional, yang memberikan dukungan kepada Pemerintah Nasional dalam
melaksanakan Politik Pertanahan Nasional dalam melaksanakan Politik Pertanahan Nasional yang
digariskan dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 tersebut.
363
Dinyatakan dalam Pasal 1 AgrarischBesluit tersebut, yaitu : “Dengan tidak mengurangi
berlakunya ketentuan Pasal 2 dan 3 AgrarischWet, tetap dipertahankan asas bahwa semua tanah yang
pihak lain tidak dapat membuktikan sebagai hak eigendomnya, adalah domein (milik) negara”.
AgrarischBesluit hanya berlaku untuk jawa dan Madura, maka apa yang dinyatakan dan dikenal sebagai
Domein Verklaring (Pernyataan Domein) semula juga berlaku untuk Jawa dan Madura saja. Tetapi
kemudian Pernyataan Domein tersebut diberlakukan juga untuk daerah Pemerintahan langsung di luar
Jawa dan Madura, dengan suatu ordonansi yang diundangkan dalam S. 1875-119a. Selain Pernyataan
Domein dan AgrarischBesluit tersebut, dijumpai juga Pernyataan-Pernyataan serupa untuk daerah-daerah
tertentu, yaitu yang dicantumkan dalam Pasal 1 berbagai peraturan tentang pemberian hak erpacht. aitu
yang diundangkan dalam S.1875-94f, S.1877-55 dan S.1888-55. Lihat Boedi Harsono, Ibid., h.41.
364
Boedi Harsono, Ibid., h.41.
365
Terdapat perbedaan rumusan antara yang pertama dan kedua, Rumusan Pernyataan Domein
Khusus adalah sebagai berikut : “Semua tanah kosong dalam daerah Pemerintahan langsung di
…………. adalah Domein Negara, kecuali yang diusahakan oleh para penduduk asli dengan hak-hak
yang bersumber pada hak membuka hutan. Mengenai tanah-tanah negara tersebut kewenangan untuk
memutuskan pemberiannya kepada pihak lain hanya pada Pemerintah tanpa mengurangi hak yang sudah
dipunyai oleh penduduk untuk membukanya.” Maksud pernyataan tersebut adalah menegaskan, agar
tidak ada keraguan bahwa satu-satunya penguasa yang berwenang memberikan tanah-tanah yang
dimaksudkan itu kepada pihak lain adalah Pemerintah. Lihat Boedi Harsono, Ibid. 41-42.
366
Boedi Harsono, Ibid., h. 42.

184
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Dengan demikian dalam pemberian hak-hak tersebut negara bukan bertindak


selaku penguasa, melainkan sebagai pemilik perdata. Juga dalam hal yang diminta
hak eigendom, Negara tidak memberikan hak eigendom kepada pemohon tetapi
hak eigendom negara dipindahkan kepada pihak yang memintanya dengan
pembayaran harganya kepada negara.367
Sedemikan rupa perumusan Domein Verklaring tersebut dibuat, sehingga jika
orang atau badan hukum berperkara dengan Negara mengenai soal pemilikan
tanah, maka dialah yang berkewajiban membuktikan bahwa tanah sengketa adalah
miliknya. Beban pembuktian sungguhpun tersebut tetapi berada pada orang atau
badan hukum yang berperkara mestinya negara yang mengajukan gugatan. Maka
jelas rumusan tersebut menguntungkan negaia dalam hal berperkara pertanahan.
Pada hal asas umum pembuktian adalah sebaliknya. Siapa yang mendalilkan
sesuatu, dialah yang wajib mengajukan bukti kebenaran dalil yang diajukan. Dalam
hal pengosongan tanah misalnya, pihak yang menguasai tanahnya berkewajiban
mengajukan bukti (“omkering van bewijslast”) bahwa d ia berhak menguasai dan
menggunakan tanah yang bersangkutan.
Demikianlah, maka menurut tafsiran resmi Pemerintah ini, semua tanah yang
tidak dapat dibuktikan oleh yang menguasainya, bahwa tanah yang bersangkutan
dipunyai dengan hak eigendom atau hak agrarisch eigendom adalah tanah domein
negara.368
Dalam tafsiran Pemerintah Hindia Belanda, tanah-tanah yang dipunyai rakyat
dengan hak milik adat, demikian juga tanah-tanah ulayat masyarakat hukum adat
adalah tanah domein negara.369

367
Sebenarnya dalam pemberian hak-hak tersebut negara tidak perlu bertindak sebagai pemilik,
melainkan sebagai badan penguasa. Pada abad 20 terjadi perubahan anggapan bahwa tanpa perlu
bertindak sebagai pemilik, negara selaku penguasa dapat memberikan tanah yang dikuasainya dengan
hak-hak tersebut, asal ada peraturan (undang-undang) yang memberikan kepadanya wewenang untuk itu.
Kebenaran pendirian ini dapat dibuktikan dalam suatu Koninklijk Besluit yang diundangkan dalam S.
1915-474. Dinyatakan dalam konsiderans peraturan tersebut bahwa perlu diberikan penegasan, agar tidak
ada keraguan bahwa tanah-tanah di daerah-daerah Swapraja dapat diberikan kepada orang atau badan
hukum yang tunduk kepada hukum barat oleh Pemerintah Swapraja yang bersangkutan dengan hak-hak
barat dan bahwa di daerah-daerah tersebut juga bisa ada tanah-tanah yang dihaki dengan hak-hak barat.
Padahal tanah-tanah yang bersangkutan bukan tanah-tanah hak barat, sedangkan yang memberikan juga
bukan badan hukum barat. Demikian pemberian hak-hak tersebut Pemerintah Swapraja bertindak selaku
penguasa (Engelbrecht, 1960, h.2141) dan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) juga berpendirian
demikian (Penjelasan Umum bagian II butir 2). Lihat Boedi Harsono, Ibid., h. 42-43.
368
Dalam bukunya yang berjudul De Indonesiener en zijn grond, Van Vollenhoven
mengemukakan kecaman keras terhadap praktek pelaksanaan peraturan pertanahan yang sangat
merugikan rakyat. Ia pun mengecam Domein Verklaring. Menurutnya masih ada 3 (tiga) tafsiran lain
Mengenai tanah-tanah yang tercakup dalam Domein Verklaring. Pertama, tanah domein negara adalah
yang bukan tanah hak eigendom yang diatur dalam KUHPdt. Kedua, tanah domein negara adalah yang
bukan tanah hak eigendom, hak Agrarischeigendom, dan bukan pula tanah milik rakyat yang telah bebas
dari kungkungan hak ulayat. Ketiga, tanah domein negara adalah yang bukan tanah hak eigendom, hak
Agrarischeigendom, dan bukan pula tanah milik rakyat, baik yang sudah maupun belum bebas dari
kungkungan hak ulayat. Lihat Boedi Harsono, Ibid., h. 44-45.
369
Hak Milik Adat sebagai hak yang paling kuat dalam Hukum Tanah Adat tidak disamakan
dalam KUHPdt yang disebut Hak Eigendom. Oleh karenanya tidak diakui sebagai hak milik atas tanah.
Semula hanya dianggap sebagai hak memakai tanah domein negara dan dalam peraturan perundang-
undangan disebut erfelijk individueel gebruiksrecht (hak memakai individual yang turun temurun).
Kemudian pemilik dianggap mempunyai kedudukan menguasai ("bezitter") tanah domein negara dan

185
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Dalam administrasi pertanahan tanah-tanah hak milik adat tersebut dikenal


sebagai onvrij lands domein (tanah negara tidak bebas), dalam arti negara tidak
bebas untuk memberikan tanah yang bersangkutan kepada pihak lain karena
dibebani hak rakyat.
Tetapi dalam peta pendaftaran kadaster tanah-tanah tersebut dilukiskan
dengan sebutan “lands domein” tanpa menyebut adanya hak rakyat yang diakui dan
dilindungi oleh Hukum. Maka dengan melihat peta pendaftaran kadaster saja,
orang sering keliru menafsirkan status hukum tanah yang bersangkutan, seakan-
akan tidak ada hak rakyat yang membebaninya. Asas Domein adalah bertentangan
dengan kesadaran hukum rakyat Indonesia dan asas daripada negara yang merdeka
dan modern.370
Asas Domein sebagai dasar negara hukum untuk memungkinkan negara
memberikan hak atas tanah kepada pihak lain selaku pemilik tanah, memang bukan
konsepsi negara modern, melainkan konsepsi feodal zaman abad pertengahan
(middle ages), seperti yang melandasi hukum tanah di Inggris dan bekas-bekas
negara jajahannya. Dalam Konsepsi ini semua tanah adalah milik raja dan siapapun
hanya menguasai dan menggunakan tanah milik “Lordnyd” sebagai “Tenure” Ini
yang disebut doktrin “Tenure". Biarpun ketentuan-ketentuannya sudah diganti
namun konsep dasarnya masih tetap sama, juga di negara-negara yang tidak
berbentuk kerajaan. Kedudukan raja/crown sebagai pemilik tanah diganti oleh
negara/state.371
Sebagai akibat politik Pemerintah jajahan dahulu, maka sebagaimana halnya
dengan Hukum Perdata, Hukum Tanahpun berstruktur ganda atau dualistik, dengan
berlakunya bersamaan perangkat peraturan-peraturan Hukum Tanah Adat, yang

dalam peraturan perundang-undangan disebut inlands bezitrecht. Tetapi bagaimanapun adanya hubungan
hukum dengan tanah yang bersangkutan diakui. Lihat Boedi Harsono, Ibid., h. 44-45.
370
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 Penjelasan Umum Bagian II butir 2.
371
Karena tidak mungkin tanah dimiliki oleh rakyat, sedangkan kenyataannya dalam praktek juga
dilakukan perbuatan-perbuatan hukum Mengenai tanah, maka oleh para yuridis Inggris, di samping
“doktrin Mengenai tenure” diciptakan dan dikembangkan kemudian “ajaran atau doktrin Mengenai
estates” tanah tidak dapat dimiliki, tetapi ada hal lain yang dapat dijadikan obyek pemilikan yaitu
penguasaan atas tanah. Inilah yang disebut estates, yang dapat dipindah-tangankan, dijadikan jaminan
kredit dengan dibebani “mortgage” dan dijadikan obyek perbuatan-perbuatan hukum yang lain. Estate
itulah yang tampak dan dirasakan keberadaannya dalam praktek sehari-hari. Bukan ternure, biarpun
ajarannya masih tetap berlaku. Maka karena dalam teori masih ada dan berlaku, sedang dalam praktek
sehari-hari tidak lagi terasa keberadaannya, oleh Michael Harwood dikatakan ajaran tenure masih ada
tetapi “it is like a ghost”. Ada 2 (dua) golongan estates yang dibedakan menurut kepastian jangka waktu
lamanya penguasaan tanah yang bersangkutan. Jika lama penguasaan tanahnya pasti sekian tahun, kita
berhadapan dengan apa yang disebut leasehold estates atau “estates of years”. Jika jangka waktu
penguasaan tanahnya tidak ditetapkan berlangsung beberapa tahun, kita berhadapan dengan apa yang
dikenal dengan sebutan freehold estates. Ada yang disebut estatein fee simple yang tidak terbatas jangka
waktu penguasaan tanahnya (kenyataan seperti hak milik). Dalam hal apa yang disebut life estate, jangka
waktu penguasaannya terbatas selama pemegang estates-nya masih hidup, tetapi akan berlangsung
beberapa tahun tentu tidak diketahui. Life estate diberikan oleh pemegang estate in fee simple. Jika
pemegangnya meninggal dunia tanah yang bersangkutan kembali kepada pemegang estate in fee simple.
Dalam golongan leasehold terdapat berbagai macam lease, yang diberikan oleh negara atas tanah negara
atau oleh pemegang estate in fee simple. Bisa sampai 99 tahun tetapi umumnya 21 tahun. Pemegang
lease bisa memberikan penguasaan tanahnya kepada pihak lain dengan “sub lease ” untuk jangka waktu
yang kurang dari jangka waktu lease induknya. (Mengenai lease : Merry, Malcom, 1985, Hongkong
Tenancy Law Buuterworths, Singapore) dalam Boedi Harsono, Op. Cith. 46-47.

186
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

sumber pada Hukum Adat yang tidak tertulis dan Hukum Tanah Barat, yang
pokok-pokok ketentuannya terdapat dalam Buku II KUHPdt, yang merupakan
hukum tertulis.372
Dualisme dalam Hukum Tanah bukan disebabkan karena para pemegang hak
atas tanah berbeda Hukum Perdatanya, melainkan karena perbedaan hukum yang
berlaku terhadap tanahnya. Tanah dalam Hukum Indonesia mempunyai status dan
kedudukan hukum sendiri, terlepas dari status hukum subyek yang mempunyainya.
Di samping itu dualisme Hukum Tanah juga menimbulkan pelbagai masalah
hukum antargolongan yang serba sulit, sehubungan dengan adanya juga dualisme
dalam Hukum Perdata.373
Sejalan dengan KUHPdt maka Hukum Tanah Barat landasan konsepsinya
individualistik dengan kebebasan berusaha dan bersaing yang sekedar dibatasi
menurut keperluan, sesuai pertimbangan politik ekonomi, sosial dan kenegaraan
pihak yang berkuasa di negara yang bersangkutan. Hal tersebut bertentangan
dengan konsepsi yang mendasari Hukum Tanah Nasional yang tersurat dalam sila-
sila Pancasila. Oleh karena itu kelangsungan berlakunya Hukum Tanah Barat
tersebut tidak dapat dibenarkan, meskipun bentuknya yang tertulis dapat digunakan
sebagai sarana yang efektif dalam usaha menjamin kepastian hukum di bidang
pertanahan.

G. Hukum Tanah Jepang


Dengan penyerahan tak bersyarat kekuasaan Belanda atas tanah air Indonesia
kepada Jepang tanggal 8 Maret 1942 di Kalijati-Bandung, yang dilakukan oleh
Letnan Jenderal Ter Poorten kepada Letnan Jenderal Imamura itu merupakan
permulaan pembubaran kekuasaan Belanda di Indonesia. Untuk kota Jakarta dapat
direbut oleh Jepang tanggal 5 Maret 1942. Kemudian pada tanggal 7 Maret 1942
oleh pembesar balatentara Jepang di Jakarta dikeluarkan Undang-Undang Nomor 1
Tentang Menjalankan Pemerintahan Balatentara Jepang.374
Kemudian Balatentara Jepang memperlakukan Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1942 Tentang Perkebunan, kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk
Badan Pengawas bernama Saib’ai Kaigyo Kanrikordan (SKK). Badan ini selain

372
Ada peraturan-peraturan Hukum Tanah Barat yang tidak bersumber pada KUHPdt. Sebagai
contoh dapat disebut lembaga yang dikenal dengan sebutan Bataviasche Grondhuur, yang hukumnya
iperupakan hukum kebiasaan dari sebelum berlakunya KUHPdt pada tahun 1848. Lembaga ini kemudian
beberapa bagiannya memperoleh pengaturan dalam apa yang dikenal sebagai Woonerven Ordonantie (S.
1918-287), dalam Star Nauta Carsten, C-Verwer, J.1993, Prae Advies Derde Juristen Conggres, Jakarta.
Juga disertasi Verwer, J 1934). De Bataviasche Gronthuur. Een Europeesch Gewoonterechteliike
Opstalfiguur.NV.Drukkerii J.de Boer. Tegal, dikutip oleh Boedi Harsono, Ibid., h. 50.
373
Ada tanah-tanah dengan hak barat seperti hak eigendom, hak erfpacht, hak opstal, yang disebut
tanah- tanah hak barat atau tanah-tanah eropa. Ada tanah-tanah dengan hak-hak Indonesia seperti tanah-
tanah dengan hak adat, yang disebut tanah-tanah hak adat. Ada tanah-tanah dengan hak ciptaan
Pemerintahan Hindia Belanda seperti hak Agrarischeigendom, landerijen bezitrecht. Juga dengan hak-
hak ciptaan Pemerintahan Swapraja, seperti Grand Sultan. Tanah-tanah dengan hak-hak adat dan hak-hak
ciptaan Pemerintahan Hindia Belanda dan Swapraja tersebut, bisa disebut tanah-tanah hak Indonesia,
yang cakupan pengertiannya lebih luas uari tanah- tanah hak adat. Lihat Boedi Harsono, Ibid., h. 54.
374
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Jakarta, Sejarah Revolusi Fisik
Daerah DKI Jakarta, Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Pusat Direktorat Sejarah dan
Nilai Tradisional Direktorat Jenderal Kebudayaan, Jakarta, 1997, h. 17.

187
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

pengawas juga bertindak sebagai pemegang monopoli pembelian dan menentukan


kewajiban hasil perkebunan.375
Lintah darat merajalela di mana-mana, yang terdiri dari tuan tanah yang
banyak menguasai hasil perkebunan. Dengan adanya lintah darat ini maka
penduduk Jakarta mendapatkan tekanan ekonomi dari dua pihak. Satu pihak dari
Pemerintah pendudukan Jepang dan yang satu lagi dari tuan tanah.376
Jepang pada tahun 1895 telah menjadi negara modern, sentralisasi birokrasi
Pemerintahan, memiliki sistem pendidikan nasional, menganut sistem hukum
modern, Walaupun hukum perdata, Pidana dan Dagang di import dari Eropa. Hal
ini dapat dipahami dan dimengerti, di bawah Tokugawa, memasuki unifikasi antara
lain dengan berkembangnya peranan Hakim dalam menciptakan hukum yang
secara nasional mendorong integrasi sosial. Hal itu adalah permulaan dari lahirnya
kesatuan Jepang. Meiji, mengirimkan sumberdaya manusia : 1. ke Inggris untuk
belajar Angkatan Laut dan Perdagangan Maritim, 2. ke Jerman untuk Angkatan
Darat dan Kedokteran, Ke Perancis belajar Hukum dan 4. ke Amerika untuk
masalah Bisnis. Pada waktu perang Dunia ke I, Jepang menjadi Negara Industri
kelas I (satu) dan militerisme membawa Jepang kepada kekalahannya pada Perang
Dunia II.377
Di samping hal tersebut di atas, Jepang mempunyai lebih dari 270 hukum
yang berkaitan dengan tanah dan telah mengadopsi hampir semua ukuran yang
berhubungan dengan yang diterapkan di negara-negara lain. Sayangnya, semua
legislasi ini hanya mempunyai pengaruh kecil dalam menyelesaikan permasalahan
pertanahan, salah satu alasan bahwa sebelum diberlakukannya Basic Land Act
tidak ada prinsip-prinsip yang menyatukan dan mengatur regulasi-regulasi yang
ada. Akhirnya pada tahun 1989 barulah diumumkan Basic Land Act yang berisi
prinsip : (1) Bahwa prioritas seharusnya diberikan terhadap kesejahteraan publik
(2) Bahwa penggunaan yang tepat dan terencana seharusnya dipromosikan;
(3)Bahwa transaksi yang bersifat spekulatif harus dibatasi; dan (4) Bahwa
kewajiban pajak seharusnya sepadan dengan keuntungan.378
Pemerintah balatentara Jepang menduduki dan menguasai bumi nusantara
untuk selama kurang lebih 3,5 tahun. Pihak Penjajah Jepang belum sempat untuk
mengubah undang-undang pertanahan sisa peninggalan Belanda di nusantara
karena segala sesuatunya.379

375
Ibid., h. 38.
376
Ibid., h. 39.
377
Wallace Mendelson., Mendelson., Law and The Development of Nations, The University of
Texas at Austin, Miami Beach, 1969. h. 195-196.
378
Daniel Ilyas, Kenaikan Harga Tanah di Indonesia dan Jepang : Sebuah Studi Perbandingan ,
dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia, Universitas Indonesia, Volume 1 No. 1., Juli 2000.
h. 87.
379
G. Kartasapoetra. dkk., Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah, Rineka cipta, Cetakan Pertama, 1985, h. 99.

188
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Walaupun demikian perlu dicatat dalam sejarah hukum pertanahan di


Indonesia, Pemerintahan balatentara Jepang andilnya sangat besar dalam merusak
keadaan tanah bumi nusantara, antara lain :380
(a) Mereka memaksakan agar tanah-tanah pertanian meningkatkan produksinya,
tanpa memikirkan kewajiban-kewajiban pemeliharaannya, yang hasilnya
dipergunakan untuk kepentingan perang mereka;
(b) Penebangan hutan secara serampangan, sehingga menimbulkan kerusakan
pada struktur tanah;
(c) Pendinamitan sungai-sungai yang banyak ikan di dalamnya;
(d) Penggalian gunung-gunung yang secara rahasia dijadikan terowongan-
terowongan bagi penyimpanan senjata dan mesiu serta makanan tahan lama
dalam rangka persiapan melakukan peperangan jangka lama;
(e) Mengangkut sejumlah petani untuk dijadikan romusha bagi kepentingan
perang Jepang.
Rakyat Indonesia pada waktu itu benar-benar kehidupannya ada di bawah
garis kemiskinan, banyak yang mati/menderita kelaparan, keadilan dapat dikatakan
samasekali tidak ada.381
Pada masa penjajahan Jepang (1942-1945), secara prinsip pengaturan soal
pertanahan tidak jauh berbeda dengan masa penjajahan kolonial Belanda. Jawatan
Kadaster Dients, misalnya, masih tetap di bawah Departemen Kehakiman hanya
namanya diganti menjadi Jawatan Pendaftaran Tanah dan kantornya diberikan
nama Kantor Pendaftaran Tanah.382
Bedanya dengan pada masa penja jahan Kolonial Belanda, pada saat
Pemerintah penjajah Jepang dikeluarkan peraturan pelarangan pemindahan hak
atas benda tetap/ tanah (Osamu Serei No. 2 Tahun 1942, atauNo.2 tanggal 30 bulan
1 tahun Syoowa 18 (2063)). Demikian pula, penguasaan tanah-tanah partikelir oleh
Pemerintah Dai Nippon juga dinyatakan hapus.383

H. Surat Ijin Perumahan (SIP) atau Verhuren Besluit (V.B.).


Perumahan adalah bangunan atau bagiannya termasuk halaman dan jalan
keluar masuk yang dianggap perlu yang dipergunakan oleh seseorang, perusahaan
atau badan-badan lain untuk tempat tinggal dan atau keperluan lain.384
Jika dibandingkan, rumusan di atas dengan pengertian perumahan yang
biasanya dipakai orang dalam pergaulan sehari-hari, maka terlihat bahwa
pengertian perumahan dalam rumusan tersebut sedikit lebih luas. Dapat dikatakan
demikian karena menurut tafsiran di atas yang termasuk istilah perumahan bukan
hanya terbatas pada bangunan-bangunan yang dipakai untuk tempat tinggal atau

380
Ibid., h. 99-100.
381
Ibid., h. 100.
382
Buku Informasi Pelayanan Pertanahan 2000 Propinsi DKI Jakarta, Kantor Wilayah Badan
Pertanahan Nasional DKI Jakarta, Desember 2000, h. 18-19.
383
Ibid., h. 19.
384
Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 Tentang Hubungan Sewa Menyewa
Perumahan,Pasal 1.

189
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

untuk keperluan lainnya melainkan juga mencakup pula pekarangan termasuk


halaman rumah yang merupakan jalan keluar masuk ke dan dari satu bangunan.385
Ada 2 macam status perumahan yaitu :
1. Perumahan yang hak penggunaan dan penempatannya dikuasai dan diatur oleh
Pemerintah Daerah Cq Dinas Perumahan. Golongan ini adalah perumahan yang
penggunaan dan penempatannya tersebut dimulai sejak sebelum tanggal 3
Agustus 1962 dan dalam penggunaan dan penempatannya tersebut telah
menggunakan S.l.P yang dahulu terkenal dengan V.B.
2. Perumahan yang hak penggunaan dan penempatannya tidak dikuasai dan diatur
oleh Pemerintah daerah Cq Dinas Perumahan. Golongan ini adalah: a.
perumahan Pemerintah atau umum yang digunakan oleh Pemerintah, b.
perumahan yang dikuasai/dimiliki oleh Negara atau Pemerintah daerah, dan c.
perumahan baru yang didirikan sesudah tanggal 3 Agustus 1962.386
Sehubungan dengan penghapusan Keadaan Bahaya dan mulai berlakunya
tertib Sipil di Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya, maka semua peraturan
Penguasa Perang Daerah V Jakarta Raya dinyatakan tidak berlaku lagi mulai
tanggal 1 Mei 1963, dan tugas/wewenang Urusan Perumahan beralih dari
Pemerintah Militer ke Pemerintah Sipil dan bersamaan itu adanya perubahan
peraturan tentang Urusan Perumahan, yaitu menghapuskan sistem SIP atau V.B.
secara berangsur-angsur untuk ditujukan kepembangunan perumahan baru. Guna
menanggulangi kesulitan-kesulitan yang timbul akibat perubahan-perubahan
dimaksud, diperlukan adanya suatu peraturan atau undang-undang yang baru
tentang urusan perumahan, oleh karenanya Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Raya pada waktu itu mengeluarkan Keputusan Peraturan
Pelaksanaan Peraturan perundang-undangan Tentang Perumahan Untuk Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Raya.387
Dengan dikeluarkannya keputusan tersebut maka SIP dan Surat Keputusan
Penguasaan Sementara Perumahan yang telah dikeluarkan sebelum tanggal 1 Mei
1963 oleh instansi yang berwenang tetap berlaku388 dan persengketaan perumahan
yang belum diselesaikan atau akan timbul kemudian akibat dikeluarkannya surat
ijin/keputusan dimaksud diselesaikan oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Raya dengan memperhatikan dasar peraturannya dan
kebijaksanaan yang diperlukan dalam keadaan pada waktu pengeluaran surat yang
bersangkutan.389
Kemudian sejak berlakunya peraturan pelaksanaan ini Kepala Kantor Urusan
Perumahan (KUP) Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya mengeluarkan SIP hanya
untuk seorang atau badan hukum yang langsung menjadi beban atau tanggung

385
Anwar Junus, S.H., Penuntun Praktis Perkara Perumahan di Jakarta. Penerbit dan Balai Buku
Ichtiar, Jakarta, 1979, h. 43.
386
Ibid., h. 44.
387
Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya Nomor : 178/1-Sekr
Tanggal 27 April 1963 Tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Perundangan Tentang Perumahan
Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya. Bagian Menimbang.
388
Ibid., Pasal 1 ayat (1).
389
Ibid., Pasal 1 ayat (2).

190
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

jawab Pemerintah mengenai kebutuhan perumahannya.390 Sedangkan pemakaian


perumahan yang tidak dikuasai oleh Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Raya tidak memerlukan SIP dan cukup dengan ijin atau persetujuan orang
yang berhak atas pemilikan perumahan yang bersangkutan.391
Adapun perumahan yang tidak dikuasai oleh Gubernur Kepala Daerah
Khusus Ibukota Jakarta Raya ialah :
1. Perumahan yang untuk pemakaiannya tidak pernah dikeluarkan SIP oleh
instansiyang berwenang atau surat/pemyataan yang dapat disamakan dengan
SIP tersebut.
2. Perumahan yang ditetapkan lebih lanjut dengan Surat Keputusan
GubernurKepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya menurut petunjuk
Menteri Sosial.392
Rumah-rumah baru dan perumahan yang tidak pernah dinyatakan ada SIP
dariUrusan Perumahan Jakarta tidak memerlukan SIP lagi untuk penempatan/
pemakaiannya lebih lanjut. Dan perumahan lainnya yang tidak termasuk seperti
tersebut di atas masih tetap dikuasai oleh Kepala Daerah, terkecuali yang masuk
urusan jawatan gedung-gedung negeri, dan untuk penempatan atau pemakaiannya
masih tetap menggunakan SIP yang kini dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan
Perumahan DKI Jakarta Raya sesuai peraturan yang berlaku.393
Mengingat ketertiban dan keperluan penggunaan perumahan yang masih
dikuasai oleh Kepala Daerah, maka SIP dikeluarkan oleh Kantor Urusan
Perumahan DKI Jakarta terbagi dalam 4 (empat) jenis yaitu :
1. SIP untuk rumah tinggal instansi Pemerintah;
2 SIP untuk rumah tinggal perseorangan swasta;
3. SIP untuk tempat usaha/kantor instansi Pemerintah;
4. SIP untuk tempat usaha/kantor swasta.394

I. Tanah Bondo Deso


Tanah Bondo Deso adalah tanah hak milik yang dipunyai oleh desa atau
sekelompok masyarakat, penggunaannya dapat bersama-sama atau bergiliran.
Sedang hasilnya untuk kepentingan bersama, misal untuk biaya pembangunan
Balai Desa, Masjid, Pasar Desa dan sebagainya.395

J. Tanah Bengkok.
Tanah Bengkok adalah suatu insentif yang kuat untuk calon Kepala Desa,
yang menghabiskan dana antara Rp. 10.000.000,- dan Rp. 25.000.000,- dalam
kegiatan kampanye, termasuk mengadakan hiburan untuk orang-orang desa, dalam

390
Ibid., Pasal 2.
391
Ibid., Pasal 3 ayat (2).
392
Ibid., Pasal 3 ayat (1) butir a dan b.
393
Pengumuman Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya No.917/CC/k/BKD/63
tanggal 7 Agustus 1963 Tentang Ijin Perumahan.
394
Pengumuman Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya No. 942/AA/K/BKD/63
Tentang Perubahan Surat ijin Perumahan.
395
Mudjiono, Politik dan Hukum Agraria, Penerbit Liberty Yogyakarta, cetakan pertama pertama,
Yogyakarta, 1997 h.83.

191
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

usahanya agar terpilih. Di harapkan bahwa pengeluaran ini akan dapat diganti dari
hasil yang akan diperoleh dari tanah bengkok.396
Demikian juga tanah bengkok adalah gaji pegawai yang berupa tanah.
Pegawai yang dimaksud adalah perangkat desa, misalnya : Kepala Desa, Sekretaris
Desa (carik) dan Kepala-Kepala Bagian.397 Mengenai besar kecilnya tanah
bengkok ditentukan oleh :398 a. Kepadatan penduduknya, b. Luas wiiayah, c.
Kesuburan tanah, d. Jenis jabatan yang dipangkunya.
Hak yang ada di sini adalah hak menikmati artinya perangkat desa tersebut
hanya berhak menikmati hasil dari tanah bengkok tersebut selama menjadi
perangkat desa apabila sudah selesai tugasnya maka tanah kembali kepada negara
dan akan dinikmati oleh penggantinya. Jadi tidak boleh perangkat desa menjual
tanah bengkoknya.399

K. Tanah Wedi Kengser.


Tanah Wedi Kengser adalah tanah yang terletak di sepanjang aliran sungai.
Tanah ini baik bentuk, sifat dan fungsinya selalu berubah-ubah, sesuai dengan
situasi dan kondisi alamnya.
Contoh : Suatu ketika tanah Wedi Kengser berupa tanah kering juga dapat
ditanami palawija, tetapi setelah musim penghujan tanah tersebut dapat hanyut dan
berubah menjadi sungai. Dengan demikian tanah Wedi Kengser hilang dan
berpindah ke tempat lain. Tanah ini ada di bawah penguasaan negara.400

L. Tanah Kelenggahan.
Tanah Kelenggahan adalah gaji yang berupa tanah yang diberikan oleh raja raja
kepada pembantu-pembantunya yang biasa disebut dengan abdi dalam, misalnya:
Patih, tumenggung, adipati dan sebagainya.401

M. Tanah Pekulen.
Tanah Pekulen adalah gaji pegawai yang berupa tanah yang diberikan oleh
Pemerintah kepada masyarakat yang bukan pejabat desa. Hal ini terjadi pada
zaman kolonial, sebagai penghargaan dari Pemerintah kepada warga masyarakat
yang berjasa.402

N. Tanah Res Extra Commercium.


Tanah Res Extra Commercium adalah tanah yang berada di luar lalu 1 intas
perdagangan, yang oleh negara dapat dipergunakan untuk kesejahteraan seluruh
warga masyarakat. Tanah ini juga dapat disebut sebagai tanah cadangan negara.
jadi dipergunakan apabila perlu.

396
Erman Rajagukguk, Op.Cit., h.110
397
Mudjiono, Op.Cit.,h.84
398
Ibid
399
Ibid
400
Mudjiono, Ibid., h. 82-83
401
Mudjiono, Ibid., h. 84.
402
Mudjiono, Ibid., h. 84.

192
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Biasanya tanah tersebut digunakan untuk :


1. Kepentingan suci/peribadatan, misalnya : untuk masjid, gereja, kuil dan
sebagainya.
2. Kepentingan negara, yang meliputi kepentingan nasional dan kepentingan
pertanian.
3. Kepentingan umum, yang meliputi kepentingan masyarakat dan
pembangunan.403

O. Tanah Absentee.
Tanah Absentee adalah tanah yang letaknya berjauhan dengan pemiliknya Hal ini
dilarang oleh Pemerintah, kecuali pegawai negeri dan ABRI. Alasan Pemerintah
melarang pemilikan tanah ini adalah kepentingan sosial dan perlindungan tanah.
Karena ada kekuatiran dari Pemerintah kalau tanah absentee dibiarkan akan
menjadi tanah terlantar atau kurang produktif sebab pemiliknya jauh. Untuk itu
Pemerintah akan segera mengambil langkah penyelamatan. Sedang pegawai negeri
dan ABRI masih dimungkinkan, karena golongan ini adalah merupakan abdi
negara yang dalam tugasnya dapat berpindah-pindah tempat. Bagi pemilik tanah
absentee dapat menyelamatkan haknya antara lain dengan jalan :
a. Tanah tersebut dijual kepada masyarakat sekitar lokasi.
b. Ditukarkan kepada penduduk setempat.
c. Salah satu anggota keluarganya pindah tempat tinggal.
d. Diberikan secara sukarela kepada penduduk setempat (biasanya berupa wakaf
atau hibah).404

P. Tanah Oncoran dan Tanah Bukan Oncoran


Tanah Oncoran adalah tanah pertanian yang mendapat pengairan yang tertentu.405
Sedangkan tanah bukan Oncoran adalah tanah pertanian yang tidak mendapat
pengairan tertentu.406

Q. Tanah SK. Kepala Inspeksi Agraria (KINAG)


Adalah tanah-tanah yang berasal dari tanah partikelir yang telah diberikan ganti
kerugian kepada pemilik nya. Pada umumnya tanah-tanah ini diberikan kepada
masyarakat yang kurang mampu dan tidak punya tanah. Tanah SK. KINAG ini
lahir Tahun 1964 kemudian arsip agak sulit ditemukan karena pada tahun 1965
peristiwa G.30. S.P.K.I. Tanah SK. KINAG ini tidak bisa dialihkan atau dioperkan
tanpa ijin dari Kepala Inspeksi Agraria waktu itu.

403
Mudjiono, Ibid., h. 84.
404
Mudjiono, Ibid., h. 83.
405
Peraturan Menteri Negara Agraria No. 4 Tahun 1959, tentang, uang sewa tanah untuk tanaman
tembakau dan rosella/corchorus musim 1959/1960, Pasal 1 butir b.
406
Ibid., Pasal 1 butir c.

193
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

BAB V
Kesimpulan

Politik Hukum Agraria kolonial adalah prinsip dagang, yakni untuk mendapatkan
hasil bumi/bahan mentah dengan harga yang serendah mungkin, kemudian dijual
dengan harga yang setinggi-tingginya. Tujuannya tidak lain mencari keuntungan
sebesar-besarnya bagi diri pribadi penguasa kolonial yang merangkap sebagai
pengusaha. Keuntungan ini juga dinikmati oleh pengusaha Belanda dan pengusaha
Eropa. Sebaliknya bagi rakyat Indonesia menimbulkan penderitaan yang sangat
mendalam.
Sistem kolonial ditandai dengan 4 ciri pokok, yaitu dominasi, eksploitasi,
diskriminasi dan dependensi. Prinsip dominan terjadi dalam kekuasaan golongan
penjajah yang minoritas terhadap penduduk pribumi yang mayoritas. Dominasi ini
ditopang oleh keunggulan militer kaum penjajah dalam menguasai dan memerintah
penduduk peribumi. Eksploitasi atau pemerasan sumber kekayaan tanah jajahan untuk
kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil
peoduksinyaaunutk diserahkan kepada penjajah, yang kemudian oleh pihak penjajah itu
dikirim ke negara induknya untuk kemakmuran mereka sendiri. Diskriminasi atau
perbedaan ras dan etnis. Golongan penjajah dianggap sebagai golongan yang superior,
sedangkan penduduk pribumi yang dijajah dipandang sebagai bangsa yang rendah atau
hina. Dependensi atau ketergantungan masyarakat jajahan terhadao penjajah.
Masyarakat terjajah menjadi makin tergantung kepada penjajah dalam hal modal,
teknologim pengetahuan, dan keterampilan karena mereka semakin lemah dan miskin.
Dengan adanya perkembangan politik hukum agraria di Indonesia telah memberi
pecerahan kepada masyarakat akan pentingnya kepemilikan tanah yang sah yang diakui
oleh SK Camat, Pejabat Pembuat Akta Tanah, Notaris dan Badan Pertahanan Nasional.
Dimana masyarakat dikedepankan akan pentingnya kesejahteraan rakyat luas yang
secara tegas diatur dalam ketetuan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yaitu ; “bumi, air, ruang
angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” sebagai titik awal dasar
politik hukum agraria di Indonesia. Kita sebagai warga negara sangat merindukan
upaya-upaya untuk menghadirkan Pancasila, Konstitusi dan paham konstitusionalisme
yang sanggup memberi arah dan inspirasi bagi usaha-usaha mewujudkan keadilan
agraria yaitu; kondisi dimana tidak terdapat konsentrasi yang berarti dalam penguasaan,
pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah, kekayaan alam dan wilayah hidup
warga pedesaan dan pedalaman, dan terjaminya hak-hak petani dan pekerja pertanian
lainnya atas akses dan kontrol terhadap tanah, kekayaan alam dan wilayah hidupnya.
Dalam pasal dan sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum Undang-
undang No.5 /1960 – UUPA dikenal dengan istilah Hak Bangsa Indonesia, dimana
berdasarkan Hak ini, maka konsep Hukum Tanah Indonesia dinyatakan bahwa pada
dasarnya seluruh tanah yang ada di Indonesia merupakan karunia dari Tuhan Yang
Maha Esa kepada seluruh bangsa Indonesia.

194
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Karena keseluruhan tanah yang ada di Indonesia konsepnya merupakan karunia


dari Tuhan Yang Maha Esa, maka untuk menghindari kekacauan dalam peruntukan
dan pemilikannya, diperlukan suatu pengaturan terhadap peruntukan dan pemilikan
tanah tersebut. Untuk itu lebih lanjut dalam pasal 2 juncto pasal 8 UUPA dikenal
dengan Hak Menguasai Negara.
Hak Menguasai Negara adalah hak yang dimiliki oleh Negara untuk melakukan
pengaturan tanah yang merupakan Karunia dari Tuhan Yang Maha Esa baik dalam
peruntukan maupun kepemilikan terhadap tanah di Indonesia.
Dalam Hak Bangsa Indonesia, terdapat hak yang diberi kewenangan khusus, yaitu
Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Hak Ulayat pada dasarnya hampir sama dengan
Hak Bangsa Indonesia, karena Hak Ulayat adalah milik semua anggota masyarakat
hukum adat setempat. Kepala adat berhak dalam melakukan pengaturan penggunaan
maupun pengelolaan tanah atas Hak Ulayat. Hak Ulayat ini sebagaimana telah
dipertegas dalam ketentuan pasal 3 juncto pasal 5 UUPA.
Kepada Hak Menguasai Negara, maka konsekuensinya mengakibatkan seluruh
tanah yang belum ada kepemilikannya (kecuali tanah ulayat sebagaimana dijelaskan
sebelumnya) adalah dikuasai oleh Negara. Sehingga jika ada seorang warga Negara
Indonesia hendak memiliki atau mempergunakan sebuah lahan tanah, maka warga
tersebut hanya dapat dinyatakan sebagai pemilik jika sudah mengajukan permohonan
hak atas tanah. Atau, jika orang ini sudah menempati lahan tanah tersebut selama lebih
dari 30 tahun, maka dapat mengajukan permohonan pengakuan hak.

195
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Daftar Kepustakaan

A. Buku-buku
Ardiwilaga R. Roestandi, Hukum Agraria Indonesia. NV. Masa Baru, Bandung,
1962, Cetakan kedua.
B. Ter Haar. Bzn. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Penerjemah K.Ng.Soebakti
Poesponoto, PT. Pradnya Paramita, Cet.Keduabelas, Jakarta, 1999.
Buku Informasi Pelayanan Pertanahan 2000 Propinsi DKI Jakarta, Kantor Wilayah
Badan Pertanahan Nasional DKI Jakarta, Desember2000.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi
Kedua, Cetakan Pertama, Balai Pustaka, Jakarta, 1991.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Jakarta, Sejarah
Revolusi Fisik Daerah DKI Jakarta. Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-
Nilai Budaya Pusat Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Direktorat
Jenderal Kebudayaan, Jakarta, 1997.
Dirman, Perundang-Undangan Agraria di Seluruh Indonesia. Cetakan kedua, J.B.
Wo Iters, Jakarta, 1958.
Friedman,W. Teori dan Filsafat Hukum : Idealisme Filosofis dan & Problema
Keadilan (susunan II), Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Friedman, Lawrence M. American Law. (New York - London : W. W. Norton &
Company, Tahun 1984).
Fuady, Munir. Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek Buku Kedua. PT. Citra
Aditya Bakti, Cet.kedua, Bandung, 1999.
Gilissen, John. Gorle, Frits. dan Tengker, Freddy. Sejarah Hukum : Suatu Pengantar,
Refika Aditama, Bandung, 2005.
Hadikusuma, H. Hilman. Hukum Adat Dalam Yurisprudensi. Hukum Tanah. Jual-
beli, Perhutangan. dan lainnya. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994.
Hager, L. Michael. The Role of Lawyers in Developing Countries, dari buku
Peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi, Jilid I.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia. Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaanya. Djambatan, Cet. Ketujuh (edisi revisi),
Jakarta, 1997.
Hens, C.C.J. Maassen en A.P.G. Agrarische Regeiingen voor het
Gouvernementsgebied van Java en Madoera. Deel I, Drukkerij Ruygrok & Co.
Batavia, 1973.
J.J. de Vries. Jaarboek van Batavia en Omstrekekn, Batavia, 1927, diterjemahkan
oleh Metro Pos. Jakarta Tempo Doeloe. (Jakarta : Metropos, 1988), Cetakan
Pertama.
Junus, Anwar. Penuntun Praktis Perkara Perumahan di Jakarta. Penerbit dan Balai
Buku Ichtiar, Jakarta, 1979.
Kartasapoetra, G. Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah. Rineka Cipta, Cetakan Pertama, 1985.

196
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Mahfud, MD. Moh. Politik Hukum di Indonesia. (Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia,
September 1998), Cetakan Pertama.
Mendelson, Wallace. Law and The Development of Nations, The University of
Texas at Austin, Miami Beach, November 7, 1969.
Mudjiono. Politik dan Hukum Agraria. Penerbit Liberty Yogyakarta, cetakan
pertama, Yogyakarta, 1997.
Muhammad, Bushar. Pokok-Pokok Hukum Adat. PT. Pradnya Paramita, Cetakan
Ketujuh, Jakarta, 2000.
Nield, Sarah. Hongkong Land Law. Longman Group (Far East), ltd.
Hongkong,1992.
Notosoetardjo. Dokumen Konperensi Media Bundar. Djakarta: Endang, 1956.
Parlindungan, A.P. Beberapa masalah dalam UUPA (Undang-undang Pokok
Agraria). Mandar Maju, Bandung, 1993.
Pemerintah Daerah Chusus Ibu Kota Djakarta Raja, Rentjana Pendahuluan Outline
Plan. 1962, Cetakan ke III.
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Karya Jaya. Kenang-kenangan Lima
Kepala Daerah Jakarta 1945-1966. PT. Pangeran Djajakarta Offset, 1977.
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Gita Jaya. Catatan H. Ali Sadikin :
Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta 1966-1977. Cetakan
Pertama, 1977.
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Parasnya Purnakarya Nugraha PelitaV.
Pemacu dan Pemicu Sukses PJPII. Kenang-kenangan Penerimaan Parasnya
Purnakarya Nugraha Pelita V DKI Jakarta. 10 Agustus 1996.
Pemerintah Daerah Khusus ibukota Jakarta, Parasnya Purnakarya Nugraha Pelita V
Pemacu dan Pemicu Sukses PJP II : Kenang Penerimaan Parasnya Purnakarya
Nugraha Pelita V DKI Jakarta. Pemerintah DKI Jakarta, cetakan pertama,
1997.
Praptodihardjo, Singgih. Sendi-Sendi Hukum Tanah di Masa Depan. Pustaka
Sarjana No.5, Yayasan Pembangunan Jakarta, 1951.
Praptodihardjo, Singgih. Sendi-Sendi Hukum Tanah di Indonesia, Yayasan
Pembangunan Jakarta, Cetakan Kedua, Jakarta, 1952.
Purwopranoto, S. Penuntun tentang. Hukum Tanah. Istana Buku, Abede,
Semarang,1953.
Rasjidi, Lili dan Sidharta, B. Arief. Filasafat Hukum : Mazhab dan Refleksinya,
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1994.
Rajagukguk, Erman. Hukum dan Masyarakat. PT. Bina Aksara, Jakarta, cet.
pertama, Nopember 1983.
Rajagukguk, Erman. Hukum Agraria. Pola Penguasaan Tanah dan Kebutuhan
Hidup. Chandra Pratama, Jakarta, cet. pertama, Nopember 1995.
Ramadhan, K.H. Bang Aii Demi Jakarta 1966-1977, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1992), Cetakan Ketiga.
R.H.A. Saleh (Mayjen TNI (Pum)). Dari Jakarta Ke Jakarta. Periuangan Bersenjata
1945-1949. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta, 1992.

197
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Ruchiyat, Eddy. Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA (UU
No.5 Tahun I960. Cetakan Ketiga, Alumni, Bandung, 1992.
Suparlan, Pursudi, “Gelandangan di Jakarta”, dalam Surjomihardjo, Beberapa Segi
Sejarah Masyarakat Budaya Jakarta, Dinas Museum dan Sejarah Pemerintah
DKI Jakarta, 1989, Cetakan Ketiga.
Surjomihardjo, Abdurrachman. Perkembangan Kota Jakarta. Dinas Museum dan
Sejarah Pemerintah DKI Jakarta, 1977, Cetakan Kedua.
The Liang Gie. Sedjarah Pemerintahan Kota Djakarta. Kotapradja Djakarta
Raja,1958.
Vollenhoeven, C. Van. Penemuan Hukum Adat. Percetakan Anem Kosong Anem.
Cetakan Kedua, 1987.
Van Dijk, R. Pengantar Hukum Adat Indonesia. Penerjemah A. Soehardi Sumur
Bandung, Cetakan Kedelapan, Bandung, 1982.
Wilson, Donald W. The Long Journey From Turmoil To Slef Sufficiency
diterjemahkan oleh Sulaeman Krisnandhi, Yayasan Persada Nusantara, 1992

B. Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang Undang Dasar 1945.
Republik Indonesia, Undang-undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang Penghapusar.
Tanah-tanah Partikelir (Lembaran Negara Tahun 1958 No. 2, Tambahan
lembaran Negara Tahun 1957 No. 1517).
Republik Indonesia Undang-undang Nomor 58 Tahun 1958 Tentang Nasionalisas
Perusahaan-Perusahaan Milik Belanda, Lembaran Negara 1958 Nomor 162.
Republik Indonesia Undang-undang Nomor 23 Prp. Tahun 1959, tanggal 16
Desember 1959, tentang, Pengambilan Tanah untuk Keperluan Penguasa
Perang, berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya.
Republik Indonesia Undang-undang Nomor 3 Prp Tahun 1960, Tentang Penguasaan
Benda-benda Tetap Milik Perseorangan Warga Negara Belanda.
Republik Indonesia Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya (lembaran Negara
Tahun 1951 No. 158, Tambahan Lembaran Negara No. 2106).
Republik Indonesia Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, tentang, Pemerintah
Daerah.
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 25 tahun 1999 tentang, Perimbangan
keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Pasal 2, menjelaskan : 1.
Penyelenggaraan tugas Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
dibiayai atas beban APBD.2. Penyelenggaraan tugas Pemerintah Pusat yang
dilaksanakan oleh perangkat Daerah propinsi dalam rangka pelaksanaan
Dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN.3. Penyelenggaraan tugas
Pemerintah Pusat yang dilaksanakan oleh perangkat Daerah dan Desa dalam
rangka Tugas Pembantuan dibiayai atas beban APBN 4 Penyerahan atau

198
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan


kewenangan atau penugasan Pemerintah Pusat Kepada Bupati/Walikota diikuti
dengan pembiayaannya.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1953 LN 1953-14,
Tentang Penguasaan Tanah-tanah Negara.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1959 L.N. 1959 Nomor 5
Tentang Pokok-pokok Pelaksanaan Undang-undang Nasionalisasi Perusahaan
Belanda.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 1959, L.N. 1959, Nomor
6 Tentang Pembentukan Badan Nasionalisasi Perusahaan Belanda (BANAS).
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1959, tentang
Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan Milik Belanda yang dikenakan
Nasionalisasi.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1961 No. 28 Tambahan
Lembaran Negara No. 2171).
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 1963 Tentang
Hubungan Sewa Menyewa Perumahan.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1971, Tanggal 8-7-
1971,Tentang Pendaftaran Tanah.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden 1950/125, kedudukan Kotapradja Jakarta,
sebagai suatu daerah Swatantra dinamakan Kotapradja Jakarta Raya. Dalam
Surat Keputusan Presiden R.I No. 125 tanggal 24 Maret 1950 tentang
penentuan wilayah baru bagi Ibukota Jakarta yang diperluas dengan wilayah :
Kotapradja Jakarta; Pulau Seribu wilayah yang berbatasan kota Jakarta (berita
Negara 1950 No. 18).
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 125 Tahun
1950 tanggal 24 Maret 1950 jentang Penentuan Wilayah Baru Bagi Ibukota
Jakarta yang Diperluas Dengan Wilayah Kotapraja Jakarta; Pulau Seribu,
wilayah yang Berbatasan Kota Jakarta.
Republik Indonesia, Keputusan Penguasa Perang No. 101 Tahun 1960, tanggal 2
Nopember 1959 tentang Penguasaaan Penuh Tanah-tanah Oleh Negara Untuk
Pekerjaan Persiapan dan Penyelenggaraan “Rencana Polder Pluit” dan
Pekerjaan-pekerjaan Pengerukan Kali-kali yang Mengalir Melalui Bagian
Barat Dari Kota Jakarta.
Republik Indonesia, Instruksi Penguasa Perang Pusat Nomor
Instr/Peperpu/0108/1959,tanggal 30 November 1959, tentang, Pelaksanaan
Beberapa Peraturan Soal Agraria.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, tanggal 19 -7-1988,
Tentang Badan Pertanahan Nasional.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 154 Tahun 1999, tentang,
Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988, tentang, Badan
Pertanahan Nasional.

199
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001, Tanggal 13-9-
2001,tentang, Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan
Organisasi,dan tata kerja lembaga Pemerintah Non Departemen.Daerah
Khusus Ibukota Jakarta, Peraturan Daerah (Lembaran Daerah No. 3 Tahun
1962) tanggal 9 Mei1961, tentang Pemeliharaan Babi Dalam Wilayah
Kotapraja Jakarta Raya.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 178 Tahun 2000, Tanggal 15-12-
2000 tentang, Susunan Organisasi dan Tugas Lembaga Pemerintah non
Departemen, Pasal 44.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001, Tanggal 17-1-2001
tentang, Pelaksanaan Otonomi Daerah di bidang Pertanahan, Pasal 1.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 62 Tahun 2001, Tanggal 17-5-
2001, tentang, perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 166 Tahun 2000
tentang, kedudukan, tugas, fungsi, kewenangan, susunan organisasi dan tata
kerja lembaga Pemerintah non Departemen sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2001, Pasal 109
ayat (6). Kemudian terbitlah Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 6 Tahun 2001 Tanggal 15-6-2001 tentang, organisasi dan tata kerja
Badan Pertanahan Nasional.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang, Kebijakan
Nasional di Bidang Pertanahan, Pasal 5.
Republik Indonesia, Keputusan Presiden Nomor 30 Tahun 2003 Tanggal 26-5-2003,
tentang, Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang,
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 46 Tahun 2002.
Republik Indonesia, Peraturan Presiden No. 17 Tahun 2015, Tentang Kementerian
Agraria Dan Tata Ruang.
Republik Indonesia, Peraturan Presiden RI No. 20 Tahun 2015, Tentang Badan
Pertanahan Nasional.
Republik Indonesia, Surat Edaran Penguasa Perang Pusat Tertinggi Nomor 0252/
Peperti/1961, tanggal 4 Februari 1961, tentang Pengambilan Tanah-tanah
untuk mendirikan asrama, perluasan halaman perumahan militer, jalan-jalan
dan sebagainya.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Pertama Republik Indonesia No.485/M.P/
1959 Tentang Ketentuan-ketentuan Tentang Kebijaksanaan Pemerintah
Terhadap Perusahaan-perusahaan Milik Belanda Dan Perusahaan-perusahaan
Asing Di Indonesia.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Pertama Republik Indonesia Nomor 62
M.P/1961 Tanggal 6 Februari 1961 Tentang Larangan Untuk Membebani Atau
Memindahkan Barang-barang Tetap Milik Perusahaan Belanda Yang
Dikuasai/ Dinasionalisir.

200
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

Republik Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria No. 4 Tahun 1959, tentang,
uang sewa tanah untuk tanaman tembakau dan rosella/corchorus musim
1959/1960.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan
Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Agraria No.SK.330/Ka/1960 tanggal 17
Februari 1960, TLN No. 1950 Tentang Panitia Pelaksana Penguasaan Benda-
benda Tetap Milik Perseorangan Warganegara Belanda.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor SK. 143/DJA/l 973,
tentang Penyesuaian/Perubahan Susunan Keanggotaan Panitia Pelaksanaan
Penguasaan Milik Belanda, Panitia Prk 5 Daerah dan Panitia Penaksir.
Republik Indonesia, Surat Departemen Dalam Negeri Direktorat Jenderal Agraria
Jakarta Nomor: DLB.6/67/6-73 Tanggal 23 Juni 1973 yang ditujukan kepada
Semua Gubernur Kepala Daerah dan Semua Kepala Direktorat Agraria
Propinsi di seluruh Republik Indonesia.
Republik Indonesia, Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor
50 Tahun 2000, Tanggal 17 Nopember 2000, tentang, Pedoman Susunan
Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah, lampiran III. 17.
Republik Indonesia, Surat Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Badan
Pertanahan Nasional, Tanggal 23-1- 2001 Nomor 110-201-KBPN perihal,
Penyampaian Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 2001.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agraria No.2 Tahun 1960, Tentang
Pelaksanaan Ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria.
Republik Indonesia, Pedoman Departemen Agraria tanggal 17 Februari 1960
Tentang Pedoman I Untuk Melaksanakan Penguasaan Benda-Benda tetap
Milik Perseorangan Warga Negara Belanda.
Republik Indonesia, Pedoman Departemen Agraria tanggal 12 Juli 1960 Tentang
Pedoman II Untuk Melaksanakan Penguasaan Benda-benda Tetap Milik
Perseorangan Warga Negara Belanda.
Republik Indonesia, Pedoman Departemen Agraria Tanggal 1 April 1961, Tentang
Pedoman III Untuk Melaksanakan Penguasaan Benda-benda Milik
Perseorangan Warga Negara Belanda.
Republik Indonesia, Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional, Nomor 6 Tahun
2001, Tanggal 15-6-2001, tentang, Organisasi dan Tata Kerja Badan
Pertanahan Nasional.
Republik Indonesia, Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 110-1316
Tanggal 31-5-2003, perihal, Penyampaian dan penjelasan Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2003, tentang, Kebijakan Nasional di
Bidang Pertanahan Tanggal 31 Mei 2003.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Negara Agraria dan Tata Ruang/Kepala

201
Sejarah Hukum Tanah Indonesia

B.P.N. No.8 Tahun 2015, Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Kementerian
Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan
Pertanahan Nsional Republik Indonesia No. 38 Tahun 2016, Tentang
Organisasi Dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Dan
Kantor Pertanahan.
Republik Indonesia, Surat Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara,
Tanggal 5-10-2001 Nomor 257/M.PAN10/2001, perihal, Penataan
Kelembagaan Pemerintah, butir 3.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang
Bentuk Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perangkat Daerah dan Sekretariat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi DKI Jakarta.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengumuman Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta RayaNo.917/CC/k/BKD/63 tanggal 7 Agustus 1963 Tentang
Ijin Perumahan.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Pengumuman Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Raya No.942/AA/K/BKD/63 Tentang Pembaharuan Surat Ijin
Perumahan.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Raya Nomor : 178/1-Sekr Tanggal 27 April 1963 Tentang
Peraturan Pelaksanaan Peraturan Perundangan Tentang Perumahan Untuk
Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Kanwil BPN DKI Jakarta, Buku Pendaftaran
Pelaksana Penaksir Milik Belanda, Jakarta, 1998.

C. Makalah/Naskah Ilmiah/Koran/Majalah/Tabloid
Harian Pos Kota, Tanggal 29 Mei 2003, menyatakan, Sekretaris Negara Bambang
Kesowo, mengakui Pemerintah akan segera menutup Badan Pertanahan
Nasional (BPN) dalam waktu dekat.
Ilyas, Daniel. “Kenaikan Harga Tanah di Indonesia dan Jepang : Sebuah Studi
Perbandingan”. Dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia,
Universitas Indonesia, Volume 1 No. 1., Juli 2000.
Kotapradja Djakarta Raja. Djakarta Raja, N.V. vh. G.C.T. van Dorp & Co.
Djakarta,1953.
Sihombing, B.F. “Implementasi UU No.51 Prp. Tahun 1960 Tentang Larangan
Pemakaian Tanah Tanpa Ijin yang Berhak atau Kuasanya di Wilayah DKI
Jakarta”. Makalah pada Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum
Universitas Tarumanagara, Jakarta, 1996/1997.
Wirosoebroto, Djadi. “Risalah Pembentukan UUPA”. Penyampaian Pendapat dalam
Rapat 187, Sidang IV Dewan Perwakilan Rakyat, Senin, 1 Desember 1958.
Wawancara dengan Ibu Penulis, S. br. Siahaan, hari Rabu, Tanggal 19 Juni 2002.
https://alhakim050181.wordpress.com/2008/11/27/sejarah-hukum-agraria-
indonesia/, diakses tanggal 8 Juli 2017.
http://mthatyprimuz.blogspot.co.id/2011/06/hukum-agraria-sistem-hukum-
indonesia.html, diakses tanggal 8 Juli 2017.

202

Anda mungkin juga menyukai