Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH INFEKSI OPORTUNISTIK

Makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah

Ilmu Dasar Keperawatan II

Dosen Pengampu : Ns. Yayan M., S.Kep., M.Kep

Disusun oleh :

Kelompok 4

1. Lia Cahyaningsih (CKR0180210)


2. Hari Surachman (CKR0180205)
3. Ni Ketut Windy Mega S (CKR0180247)
4. Noor Kholifah (CKR0180216)
5. Ririn Khoriyah (CKR0180221)

Kelas : A

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

KAMPUS 2 SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUNINGAN

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat serta
hidayah-Nya terutama nikmat kesempatan dan kesehatan sehingga penulis dapat
menyelesaikan Makalah yang berjudul “Infeksi Oportunistik”. Makalah ini
merupakan tugas dari mata kuliah Ilmu Dasar Keperawatan II Kampus 2 Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Kuningan.

Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak lepas dari bantuan beberapa
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima
kasih kepada Bapak Ns. Yayan M., S.Kep., M.Kep selaku dosen mata kuliah Ilmu
Dasar Keperawatan II yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga
terselesaikannya makalah ini dan semua pihak yang tidak yang telah memberikan
dorongan serta bantuan selama penulisan makalah ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih ada


kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan
demi perbaikan makalah ini. Akhirnya penulis berharap makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi pembaca dan semua pihak.

Cirebon, 23 Maret 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI.............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1


1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................2
1.3 Tujuan..................................................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan...............................................................................................3
1.5 Sistematika Penulisan..........................................................................................3

BAB II TNJAUAN TEORISTIK............................................................................6

2.1 Pengertian Infeksi Oportunistik...........................................................................6


...............................................................................................................................
2.2 Dasar Infeksi Oportunistik..................................................................................7
2.3 Jenis-Jenis Infeksi Oportunistik..........................................................................9
2.4 Pencegahan Infeksi Oportunistik.......................................................................30
2.5 Pengobatan Infeksi Oportunistik.......................................................................31

BAB IV PENUTUP.................................................................................................34

3.1 Kesimpulan.......................................................................................................34
3.2 Saran.................................................................................................................34

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................36

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi oportunistik merupakan kondisi-kondisi tertentu yang bisa
disebabkan oleh organisme maupun organisme non patogen (Djauzi S,2008).
Secara klinis digunakan hitung jumlah limfosit Cluster of differentiation 4
(CD4) sebagai penanda munculnya infeksi oportunistik pada penderita AIDS.
Pada penderita HIV/AIDS jumlah CD4 akan menurun dan menyebabkan
terjadinya infeksi oportunistik (Febriani dan Sofro, 2010). Penurunan kadar
CD4 disebabkan oleh kematian CD4 yang dipengaruhi oleh virus HIV, ketika
Jumlah berada dibawah 350sel/ml darah kondisi tersebut dianggap sebagai
AIDS. Infeksi- infeksi oportunistik umumnya terjadi bila jumlah CD4 < 200
sel/ml (Yusri dkk,2012).
Data Departemen Kesehatan RI (2007) menunjukan proporsi infeksi
oportunistik pada penderita HIV di Indonesia adalah Kandidisis Oral
mencapai (80,8%), Tuberkulosis (40,1%), Sarkoma kapasi (21%), Ensefalitis
oksoplasma (17,3%), PCP (13,4%), dan Herpes Simpleks (9,6%) (Yusri
kk,2012).
Menurut data Ditjen PP & PL pada september 2005, kandidiasis merupakan
infeksi oportunistik yang banyak terjadi pada ODHA mencapai 1,29%.
Kandidiasis oral merupakan infeksi oportunistik mukosa yang bersifat akut
atau subakut dalam banyak kasus disebabkan oleh Candida lbicans, candica
tropicalis, candida parapsilosis, candida krusei (Kuswadji, 2007). Pada
penelitian Egusa dkk melaporan pasien HIV/AIDS memiliki resiko 2,5 kali
lebih progresif mengalami kandidiasis oral (Sharma G,2006)
Cluster of differentiation 4 (CD4) adalah jenis sel darah putih atau limfosit
yang memegang peranan dalam sistem kekebalan tubuh. CD4 kadang kala
disebut dengan sel T karena tempat produksi terletak pada bone marrow tetapi

1
pematangan terlatak pada Tymus (T). CD4 merupakan sel T yang mempunyai
fungsi utama mengikat antigen melalui TCR, selain itu mempunyai fungsi
umum pada inflamasi, aktivasi fagositosis makrofag, aktifasi proliferasi sel B
dalam proses antibodi, dan pengenalan penghancuran sel yang terinfeksi
(Bratawidjaja G.K,2010).
Mekanisme penurunan kadar CD4 pada penderita HIV melalui apoptosis
sel, apoptosis terjadi pada limfosit CD4 yang telah teraktivasi sebelumnya
akibat presentasi antigen oleh antigen precenting cells (APC) serta ikatan
dengan protein HIV gp 120 pada reseptor CD4, mekanisme ini dikenal dengan
activation-induced cell death. Peningkatan aktivitas imun oleh HIV
menyebabkan adanya disregulasi sitokin terutama peningkatan interferon
γ(IFN-γ). IFN adalah inhibitor apoptosis yang dikenal sebagai mekanisme
menurunya kadar CD4 pada penderita HIV (Suastika, 2013).
Status imun penderita HIV dapat dinilai melalui pemeriksaan kadar CD4
absolut, dan ini merupakan standart untuk menilai dan menentukan derajat
imunodefisiensi, batasan normal kadar CD4 dalam tubuh adalah 500-1000
sel/ml. Penurunan kadar CD4 berhubungan dengan progresifitas penyakit dan
penigkatan terjadinya infeksi oportunistik (Carrol P dkk,2002)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah yang dimaksud dengan infeksi oportunistik?
2. Bagaimana dasar infeksi oportunistik?
3. Bagaimana pencegahan infeksi oportunistik?
4. Bagaimana pengobatan infeksi oportunistik?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui apa infeksi oportunistik.
2. Untuk memahami dasar infeksi oportunistik.
3. Untuk dapat melakukan pencegahan infeksi oportunistik.
4. Untuk dapat melakukan pengobatan infeksi oportunistik.

2
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Manfaat Teoritis
Makalah ini dapat memperkaya ilmu pengetahuan, khususnya pada
materi infeksi oportunistik. Selain itu juga dapat mengembangkan dan
memberi manfaat dalam bidang keperawatan.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi mahasiswa keperawatan
Dapat meningkatkan kemampuan dalam pemecahan
masalah mahasiswa pada materi infeksi oportunistik.
b. Bagi peneliti selanjutnya
Memberikan informasi awal dalam melakukan penelitian
tentang materi pada pembelajaran ini serta memberikan wawasan
dan temuan-temuan baru yang bernilai baik dalam ilmu
keperawatan.
c. Bagi institusi
Dapat memperbaiki dan memberikan alternatif
pembelajaran untuk dapat meningkatkan prestasi belajar dan
kualitas kelulusan.
d. Bagi perawat
Menambah wawasan untuk kegiatannya dalam
memperhatikan aspek masalah yang terjadi pada klien yang
memiliki masalah infeksi oportunistik.

1.5 Sistematika Penulisan


Dalam penyusunan makalah ini perlu adanya sistematika penulisan yang
terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan sehingga dapat digunakan
sebagai acuan pokok untuk penyusunan makalah antara lain:

HALAMAN SAMPUL

HALAMAN KATA PENGANTAR

3
HALAMAN DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Berisi tentang alasan pemilihan tema dalam pembuatan


makalah.

1.2 Rumusan Masalah

Merumuskan masalah yang telah dikemukakan dalam latar


belakang makalah dengan mengemukakan pernyataan masalah
atau pertanyaan masalah. Pertanyaan ini kemudian diturunkan
ke dalam dimensi-dimensi dari topic penelitian yang akan
diteliti.

1.3 Tujuan

Berisi tentang tujuan yang akan dicapai dengan pembuatan


makalah.

1.4 Manfaat Penulisan

Berisi tentang manfaat yang didapatkan dalam


pembuatan makalah ini.

1.5 Sistematika Penulisan

Pada bagian ini dijelaskan urutan bab demi bab dalam


makalah ini.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Berisi tentang data yang diperoleh di lapangan/kenyataan


dan dikaitkan dengan ilmu atau teori yang sudah ada. Jika ada
kesesuaian dibahas lebih lanjut dan dapat pula dimasukkan

4
pendapat pribadi yang berkaitan erat dengan
tema/usulan/saran/gagasan/ide.

Jika memang ditemukan ketidaksesuaian antara teori atau


ilmu yang sudah ada dengan kenyataan di lapangan, hal ini juga
perlu dibahas untuk melihat mengapa hal ini dapat terjadi. Dapat
pula dimasukkan pendapat pribadi berkaitan erat dengan
tema/usulan/saran/gagasan/ide sehingga antara kenyataan dengan
ilmu yang ada, baik yang ada hubungannya maupun tidak, dapat
dijelaskan dengan baik dan rinci.

BAB III PENUTUP

Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran


terhadap hasil makalah.

DAFTAR PUSTAKA

Berisi seluruh sumber yang digunakan dalam pembuatan makalah. Daftar


pustaka dapat berupa buku, surat kabar, majalah, informasi dari situs internet
dan lain-lain. Penulisannya secara lengkap dan mengikuti kaidah penulisan
Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

5
BAB II
TINJAUAN TEORITIS

2.1 Pengertian Infeksi Oportunistik (IO)

Infeksi Oportunistik atau biasa disingkat dengan IO adalah infeksi


yang terjadi lebih sering terjadi atau banyak menyerang pada individu
yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah. Kerusakan pada sistem
kekebalan tubuh ini adalah salah satu dari inveksi HIV, dan menjadi cukup
berat sehingga IO timbul rata-rata 7-10 tahun setelah terinfeksi HIV.

Kerusakan pada sistem kekebalan tubuh kita dapat dihindari


dengan penggunaan terapi antiretroviral (ART) sebelum kita mengalami
IO. Namun, karena kebanyakan orang yang terinfeksi HIV di Indonesia
tidak tahu dirinya terinfeksi, timbulnya IO sering kali adalah tanda
pertama bahwa ada HIV di tubuh kita. Jadi, walaupun ART tersedia gratis
di Indonesia, masalah IO tetap ada. Sehingga penting kita mengerti apa itu
IO dan bagaimana IO dapat diobati dan dicegah.

Dalam tubuh manusia terdapat banyak kuman – bakteri, protozoa,


jamur, dan virus. Saat sistem kekebalan tubuh bekerja dengan baik, sistem

6
tersebut mampu mengendalikan kuman-kuman ini. Tetapi bila sistem
kekebalan tubuh dilemahkan oleh penyakit HIV atau oleh beberapa jenis
obat, kuman ini mungkin tidak terkuasai lagi dan dapat menyebabkan
masalah kesehatan. Infeksi yang mengambil manfaat dari lemahnya
pertahanan kekebalan tubuh disebut “oportunistik”. Kata “infeksi
oportunistik” sering kali disingkat menjadi ”IO”.

2.2 Dasar IO

Anda dapat terinfeksi “IO” dan “dites positif” untuk IO tersebut,


walaupun anda tidak mengalami penyakit tersebut. Misalnya, hampir
setiap orang dengan HIV akan menerima hasil tes positif untuk
sitomegalia (Cytomegalovirus atau CMV). Tetapi penyakit CMV itu
sendiri jarang dapat berkembang kecuali bila jumlah CD4 turun di bawah
50, yang menandakan kerusakan parah terhadap sistem kekebalan.

Untuk menentukan apakah anda terinfeksi IO, darah anda dapat


dites untuk antigen (potongan kuman yang menyebabkan IO) atau untuk
antibody (protein yang dibuat oleh sistem kekebalan untuk memerangi
antigen). Bila antigen ditemukan artinya anda terinfeksi. Ditemukan
antibody berarti anda pernah terpajan infeksi. Anda mungkin pernah
menerima imunisasi atau vaksinasi terhadap infeksi tersebut, atau sistem
kekebalan tubuh anda mungkin telah “memberantas” infeksi dari tubuh,
atau anda mungkin terinfeksi. Jika anda terinfeksi kuman yang
menyebabkan IO, dan jika jumlah CD4 anda cukup rendah sehingga
memungkinkan IO berkembang, dokter anda akan mencari tanda penyakit
aktif. Tanda ini tergantung pada jenis IO.

Orang yang terinfeksi HIV dapat mengalami IO jika sistem


kekebalannya rusak. Misalnya, banyak obat yang dipakai untuk mengobati
kanker dapat menekan sistem kekebalan. Beberapa orang yang menjalani
pengobatan kanker dapat mengalami IO. HIV memperlemah sistem

7
kekebalan, sehingga IO dapat berkembang. Jika anda terinfeksi dan
mengalami IO, anda mungkin AIDS. Di Indonesia, Departemen Kesehatan
bertanggung jawab untuk memtuskan siapa yang AIDS. Depkes
mengembangkan pedoman untuk menentukan IO yang apa mendefinisikan
AIDS. Jika anda HIV dan mengalami satu atau lebih IO “resmi” ini, maka
anda AIDS.

Menurut data Ditjen PP dan PL hingga September 2005,


kandidosis merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada ODHA, yakni
31,29%. Kemudian secara berurutan, yaitu: tuberculosis (61,14 %),
koksidioidomikosis (4,09%), pneumonia (4,04%) , herpes zoster (1,27%),
herpes simpleks (0,65%), toksoplasmosis (0,43%), dan CMV (0,17%).
Namun secara umum, jenis dan penyebab infeksi oportunistik dapat
berbeda di tiap daerah dikarenakan adanya perbedaan pola mikroba
patogen.

Lebih lanjut, dokter yang kerap menduduki jabatan bendahara di


organisasi profesi ini mengatakan, spectrum infeksi oportunistik sangat
terkait dengan jumlah sel CD4. Infeksi CMV, misalnya, biasa akan timbul
pada CD4 lebih kecil dari 100/µ. dan pravelensinya akan semakin
meningkat pada jumlah CD4 lebih kecil dari 50/µ. sedangkan taksoplasma
muncul pada CD4 kurang dari 200/µ dan hampir semuanya akibat
reaktivasi laten.

8
2.3 Jenis-Jenis IO

1. Kandidiasis (Thrush)

Gambar kandidiasis

Kandidiasis adalah infeksi oportunistik yang sangat umum pada


orang dengan HIV. Infeksi ini disebabkan oleh sejenis jamur yang umum,
yang disebut candida. Jamur ini, semacam ragi, ditemukan di tubuh
kebanyakan orang. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat
mengendalikan jamur ini. Jamur ini biasa menyebabkan penyakit pada
mulut, tenggorokan, dan vagina. Infeksi oportunistik ini dapat terjadi
beberapa bulan atau tahun sebelum infeksi oportunistik lain yang lebih
berat. Pada mulut, penyakit ini disebut thrush.

Bila infeksi menyebar lebih dalam pada tenggorokan, penyakit


yang timbul disebut esophagitis. Gejalanya adalah gumpalan putih kecil
seperti busa atau bintik merah. Penyakit ini dapat menyebabkan sakit
tenggorokan, sulit menelan, mual, dan hilang nafsu makan. Kandidiasis
berbeda dengan sariawan, walaupun orang awam sering enyebutnya
sebagai sariawan. Kandidiasis pada vagina disebut vaginitis. Penyakit ini
sangat uum ditemukan. Gejala vaginitis termasuk gatal, rasa baar dan
keluarnya cairan kental putih.

9
Pengobatan kandidiasis: Sistem kekebalan tubuh yang sehat
dapat menjaga supaya candida tetap seimbang. Bakteri yang biasa ada di
tubuh juga dapat membantu mengendalikan candida. Beberapa anti biotik
membunuh bakteri pengendali ini dan dapat menyebabkan kandidiasis.
Mengobati kandidiasis tidak dapat memberantas raginya. Pengobatan akan
mengendalikan jamur agar tidak berlebihan.

Pengobatan dapat lokal atau sistemik. Pengobatan lokal dapat


diberikan pada tempat infeksi. Pengobatan sistemik mempengaruhi seluruh
tubuh. Banyak dokter lebih senang memakai pengobatan lokal terlebih
dahulu. Ini menimbulkan lebih sedikit efek samping disbanding
pengobatan sistemik. Selain itu resiko candida menjadi lebih resistan
terhadap obat lebih rendah.

Obat-obatan yang dipakai untuk memerangi candida adalah obat


antijamur. Hampir semua namanya diakhiri dengan “-azol”.

Pengobatan lokal termasuk:

a. Olesan

b. Supositoria yang dipakai untuk mengobati vaginitis

c. Cairan lozenge yang dilarutkan dalam mulut

Pengobatan lokal dapat menyebabkan rasa pedas atau gangguan


setempat. Pengobata yang paling murah untuk kandidiasis mulut adalah
gentian violet; obat ini dioleskan di tempat ada lesi (jamur) tiga kali sehari
selama 14 hari. Obat yang sangat murah ini dapat diperoleh dari
puskesmas atau apotek tanpa resep. Pengobatan sistemik diperlukan jika
pengobatan lokal tidak berhasil atau jika infeksi menyebar pada
tenggorokan (esofagitis). Beberapa obat sistemik tersedia dalam bentuk
pil. Efek samping yang paing umum adalah mual, muntah, dan sakit perut.

10
Kurang dari 20% orang mengalami efek samping ini. Kandidiasis dapat
kambuhan. Beberapa dokter mereepkan obat anti-jamur jangka panjang.
Ini dapat menyebabkan resistansi. Ragi dapat bermutasi sehingga obat
tersebut tidak lagi berhasil. Beberapa kasus parah tidak menanggapi obat-
obatan lain. Amfoterisisn B mungkin dipakai. Obat ini yang sangat manjur
dan beracun dan diberi secara intaravena (disuntik). Efek samping utama
obat ini adalah masalah ginjal dan anemia (kurang darah merah). Reaksi
lain termasuk demam, panas dingin, mual, muntah dan sakit kepala.
Reaksi ini biasa membaik setelah beberapa dosis pertama.

Terapi alamiah: Beberapa teori non obat tampaknya membantu.


Terapi tersebut belum diteliti dengan hati-hati untuk membuktikan
hasilnya.

a. Mengurangi penggunaan gula

b. Minum the Pau d’Arco. Ini dibuat dari kulit pohon Amerika Selatan.

c. Mengkonsumsi bawang putih mentah atau suplemen bawang putih.


Bawang putih diketahui mempunyai efek anti-jamur dan anti-bakteri.
Namun, bawang putih dapat mengganggu obat protease inhibitor.

d. Kumur dengan minyak pohon the (tea tree oil) yang dilarutkan dengan
air.

e. Mengkonsumsi kapsul laktobasilus (asidofilus), atau makan yoghurt


dengan bakteri ini.

f. Mengkonsumsi suplemen gamma-linoleic acid (GLA) dan biotin. Dua


suplemen ini membantu memperlambat penyebaran candida. GLA
ditemukan pada beberapa minyak yang dipres dingin. Biotin adalah
jenis vitamin B.

11
2. Virus Sitomegalia (CMV)

Gambar virus sitomegalia

Cytomegalovirus atau CMV adalah infeksi oportunistik. Virus ini


sangat umum. Antara 50% - 85% masyarakat Amerika Serikat adalah
CMV-positif saat merea berusia 40 tahun. Statistic untuk Indonesia
belum diketahui. Sistem kekebalan tubuh yang sehat menahan virus ini
agar tidak mengakibatkan penyakit. Saat pertahanan kekebalan
menjadi lemah, CMV dapat menyerang beberapa bagian tubuh.
Kelemahan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai penyakit termasuk
HIV. Terapi antiretroviral (ART) sudah mengurangi angka penyakit
CMV pada ODHA sampai dengan 75%. Namun, kurang lebih 5%
ODHA masih mengembangkan CMV. Penyakit yang paling lazim
disebabkan oleh CMV adalah retinitis.

Penyakit ini adalah kematian sel pada retina, bagian belakang


mata. Ini secara cepat dapat menimbulkan kebutaan jika tidak segera
diobati. CMV dapat menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksikan

12
beberapa organ sekaligus. Resiko CMV tertinggi ketika jumlah CD4
dibawah 50. CMV jarang terjadi dengan jumlah CD4 diatas 100.
Tanda pertama retinitis CMV adalah penglihatan seperti titik hitam
yang bergerak. Ini disebut ‘floater’ (katung-katung) dan mungkin
menunjukkan adanya radang pada retina. Anda juga mungkin akan
melihat cahaya kilat, penglihatan yang kurang atau terdistorsi, atau
titik buta. Beberapa dokter mengusulkan pemeriksaan mata untuk
mengetahui adanya retinitis CMV. Pemerikasaan ini dilaksanakan oleh
ahli mata. Jika jumlah CD4 dibawah 200 dan mengalami masalah
kesehatan mata apa saja, sebaiknya langsung menghubungi dokter.
Beberapa ODHA yang baru saja mulai memakai ART dapat
mengalami radang dalam mata, yang menyebabkan kehilangan
penglihatan. Masalah ini disebabkan oleh syndrome
pemulihankekebalan. Sebuah peniliti baru beranggapan bahwa orang
dengan CMV aktif lebih mudah menularkan HIV-nya pada orang lain.

Pengobatan CMV: Pengobatan pertama untuk CMV meliputi


infus setiap hari. Karena harus diinfus setiap hari, sebagian orang
memasang ‘keran’ atau buluh obat yang dipasang secara permanen
pada dada ataupun lengan. Dahulu orang dengan penyakit CMV
diperkirakan harus tetap memakai obat anti-CMV seumur hidup.
Pengobatan CMV mengalami kemajuan dramatis selama beberapa
tahun terakhir ini. Saat ini ada 7 pengobatan CMV yang telah disetujui
oleh FDA di AS. ART dapat memperbaiki sistem kekebalan tubuh.
Pasien dapat berhenti memekai obat CMV jika jumlah CD4-nya diatas
100 hingga 150 dan tetp begitu selam 3 bulan.

Namun ada 2 keadaan khusus:

a. Sindrom pemulihan kekebalan dapat menyebabkan radang yag


parah pada mata ODHA walaupun mereka tidak mempunyai

13
penyakit CMV sebelumnya. Dalam hal ini biasanya pasien
diberikan obat anti-CMV bersama dengan ART-nya.

b. Bila jumlah CD4 turun dibawah 50, resiko penyakit CMV


meningkat.

3. MAC (Mycobacterium Avium Complex)

Gambar MAC

Mycobacterium Avium Complex (MAC) adalah penyakit berat yang


disebabkan oleh bakteri umum. MAC juga dikanal dengan MAI
(Mycrobacterium Avium Intracellulare). Infeksi MAC bisa lokal
(terbatas pada satu bagian tubuh) atau tersebar luas pada seluruh tubuh
(DMAC). Infeksi MAC sering terjadi pada paru, usus, sumsung tulang,
hati, dan limfa. Bakteri yang menyebabkan MAC sangat lazim. Kuman
ini ditemukan ditanah, air, debu, dan makanan. hampir setiap orang
meemliki bakteri ini dalam tubuhnya. Sistem kekebalan tubuh yang
sehat dapat mengendalikan MAC, tetapi orang dengan sistem
kekebalan tubuh yang lemah dapat mengembangkan penyakit MAC.
Hingga 50% ODHA mengalami penyakit MAC , terutama jika jumlah
CD4 di bawah 50. MAC hampir tidak pernah menyebabkan penyakit
pada orang dengan jumlah CD4 diatas 100.

14
4. Pneumonia Pneumocystis (PCP)

Pneumonia Pneumocystis (PCP) adalah infeksi oportunistik paling


umum terjadi pada orang HIV-positif. Tanpa pengobatan lebih dari
85% orang dengan HIV pada akhirnya akan mengembangkan penyakit
PCP. PCP menjadi salah satu pembunuh utama ODHA. Namun, saat
ini dapat semua penyakit PCP dapat dicegah dan diobati. PCP
disebabkan oleh jamur yang ada di dalam tubuh hampir setiap orang.
Dahulu jamur tersebut disebut pneumocystis carinii, tai para
ilmuwankini menggunakan nama pneumocystis jiroveci, namun
penyakit ini sering disingkat PCP.

Sistim kekebalan yang sehat dapat mengendalikan jamur ini.


Namun, PCP menyebabkan penyakit pada anak dan pada orang dewasa
dengan sistim kekebalan tubuh yang lemah. Jamur pneumocystis
hampir selalu mempengaruhi paru, menyebabkan bentuk pneumonia

15
(radang paru). Orang dengan jumlah CD4 di bawah 200 mempunyai
resiko paling tinggi mengalami PCP. Orang dengan jumlah CD4 di
bawah 300 yang telah mengalami IO lain juga beresiko. Sebagian
besar orang yang mengalami PCP menjadi jauh lebih lemah,
kehilangan berat badan, dan kemungkinan akan mengalami penyakit
PCP lagi.

Tanda pertama PCP adalah sesak nafas, demam, dan batuk tanpa
dahak. Namun, semua ODHA dengan jumlah CD4 di bawah 300
sebaiknya membahas pencegahan PCP dengan dokter, sebelum
mengalami gejala apapun.

Pencegahan PCP: Cara terbaik untuk mencegah PCP adalah


dengan memakai terapi antiretroviral (ART). Orang dengan jumlah
CD4 dibawah 200 dapat mencegah PCP dengan memekai obat yang
juga dipakai mengbati PCP. ART dapat meningkatkan jumlah CD4.
Jika jumlah ini melebihi 200 dan bertahan begitu selama 3 bulan, anda
dapat berhenti memakai obat pencegahan PCP tanpa resiko. Namun,
karena pengobatan PCP murah dan mempunyai efek samping yang
ringan, beberapa peneliti mengusulkan sebaiknya ditruskan hingga
jumlah CD4 diatas 300. Anda harus berbicara dengan dokter anda
sebelum anda berhenti ememakai obat apapun yang diresepkan.

Pengobatan PCP: Selama bertahun-tahun, antboitik dipakai untuk


mencegah PCP pada pasien kanker dengan sistem kekebalan yang
lemah. Tetapi pada 1985 sebuah penelitian kecil menunjukkan bahwa
antibiotic juga dapat mencegah PCP pada ODHA. Keberhasilan dalam
pencegahan PCP sangat dramatis. Presentase ODHA yang mengalami
PCP sebagai penyakit yang mendefinisikan AIDS dipotong kurang
lebih separuh, seperti juga PCP sebagai penyebab kematian ODHA.

16
PCP masih umum pada orang yang terlambat mencari pengobatan
atau belum mengetahui dirinya terinfeksi. Sebenarnya 30 - % ODHA
akan mengembangkan PCP bile mereka menunggu sampai jumlah
CD4-nya kurang dari 50.

Obat yang dipakai untuk mengobati PCP mencakup katrimoksazol,


dapson, pentamidin, dan atovakuon.

a. Kotrimoksazol (TMP/SMX) adalah obat anti-PCP yang paling


efektif. Ini adalah kombinasi dua antibiotic: trimethoprim
(TMP) dan sulfametoksazol (SMX).

b. Dapson serupa denga kotrimoksazol. Dapson terlihat hapir


seefektif kotrimoksazol melawan PCP.

c. Pentamidin adalah obat hirup yang berbentuk aerosol untuk


mencegah PCP aktif.

d. Atovakuon adalah obat yang dipakai orang pada skasus PCP


ringan atau sedang yang tidak dapat memakai kotrimoksazol
atau pentamidin.

Kontrimoksazol adalah obat yang paling efektif melawan PCP.


Obat ini juga murah dan dipakai dalam bentuk pil, tidak lebih dari
satu pil sehari. Namun, bagian SMX dari kontimoksazol
merupakan abat sulfa dan hampir separuh orang yang memakainya
mengalami reaksi arlegi, biasanya ruam kulit, kadang-kadang
demam. Sering kali, bila penggunaan kotrimoksazol dihentikan
sampai gejala alergi hilang, lalu penggunaan dimulai kembali,
masalah alergi tidak muncul lagi. Reaksi alergi yang berat dapat
diatasi dengan cara desensitisasi. Pasien mulai dengan dosis obat
yang sangat rendah dan kemudian meningkatkan dosisnya hingga
dosis penuh dapat ditahan. Mengurangi dosis dari satu pil sehari

17
tiga pil seminggu mengurangi masalah alergi kotrimoksazol serupa
dengan efek samping dari beberapa obat antiretroviral, sebaiknya
penggunaan kotrimoksazol dimulai seminggu atau lebih sebelum
mulai ART. Dengan cara ini, bila alergi muncul, penyebabnya
dapat lebih mudah diketahui.

Dapson menyebabkan lebih sedikit reaksi alergi disbanding


kotrimoksazol, dan harganya juga agak murah. Biasanya dapson
dipakai dalam bentuk pil tidak lebih dari satu pil sehari. Namun
dapson kadang kala lebih sulit diperoleh di Indonesia.

Pentamidin memerlukan kunjungan bulanan ke klinik dengan


nubulizer, mesin yang membuat kabut obat yang sangat halus.
Kabut ini dihirup secara langsung ke dalam paru. Prosedurini
memakan waktu kurang lebih 30-45 menit. Anda dibebani harga
obat tersebut ditambah biaya klinik. Pasien yang memakai
pentamidin aerosol akan mengalami PCP lebih sering dibanding
orang yang memakai pil antibiotic.

5. Toksoplasmosis

18
Toksoplasmosis (tokso) adalah infeksi yang disebabkan oleh
parasite Toxoplasma gondii. Parasite hidup dalam organisme hidup
lain (induknya) dan mengambil semua nutrisi dari induknya. Parasite
tokso sangat umum ditemukan pada tinja kucing, sayuran mentah dan
tanah. Kuman ini juga umumnya juga ditemukan dalam daging
mentah, terutama daging babi, kambing, dan rusa. Parasite tersebut
dapat masuk ke tubuh waktu anda menghirup debu. Hingga 50%
penduduk terinfeksi tokso. Sistim kekebalan tubuh yang sehat dapat
mencegah agar tokso tidak mengakibatkan penyakit ini. Tokso
tampaknya tidk menular dari manusia ke manusia.

Penyakit yang paling umum diakibatkan tokso adalah infeksi pada


otak (ensefalitis). Tokso juga dapat menginfeksikan bagian tubuh lain.
Tokso dapat menyebabkan koma dan kematian. Risiko tokso paling
tinggi waktu jumlah CD4 di bawah 100. Gejala pertama tokso
termasuk demam, kekacauan, kepala nyeri, disorientasi, perbahan pada
kepribadian, gemetaran, dan kejang-kejang. Tokso biasanya

19
didiagnosis dengan tes antibody terhadap T. gondii. Perempuan hamil
dengan infeksi tokso juga dapat menularkannya pada bayinya.

Tes antibody tokso menunjukkan apakah anda terinfeksi tokso.


Hasil positif bukan berarti anda menderita penyakit ensefalitis tokso.
Namun, hasil tes negative berarti anda tidak terinveksi tokso.
Pengamatan otak (brain scan) dengan computerized tomography (CT
scan) atau magnetic resonancy imaging (MRI scan) juga dipakai untuk
mendiagnosis tokso. CT scan untuk tokso dapat mirip dengan
pengamatan untuk infeksi oportunistik yang lain. MRI scan lebih peka
dan mempermudah diagnosis tokso.

Pengobatan toksoplasmosis: Tokso diobati dengan kombinasi


pirimetamin dan sulfadiazine. Kedua obat ini dapat melalui sawar
darah otak. Parasite tokso membutuhkan vitamin B untuk hidup.
Pirimetamin menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso.
Sulfadiazine menghambat pemakaiannya. Dosis normal obat ini adalah
50-75 mg pirimetamin dan 2-5 gram sulfadiazine per hari. Kedua obat
ini mengganggu ketersediaan vitamin B dan dapat mengakibatkan
anemia. Orang dengan tokso biasanya memakai kalsium folinat
(semacam vitamin B) untuk mencegah anemia.

Kombinasi obat ini sangat efektif terhadap tokso. Lebih dari 80%
orang menunjukkan perbaikan dalam 2-3 minggu. Tokso biasanya
kambuh setelah peristiwa pertama. Orang yang pulih dari tokso
seharusnya terus memakai obat antitokso dengan dosis pemeliharaan
yang lebih rendah. Jelas orang yang mengalami tokso sebaiknya mulai
terapi antiretroviral (ART) secepatnya. Dan bila CD4 naik diatas 200
lebih dari 6 minggu, terapi tokso sudah diselesaikan dan bila tidak ada
gejala tokso lagi, terapi pemeliharaan tokso dapat dihentikan.

6. Tuberkulosis (TB)

20
Tuberculosis adalah infeksi yang disebabkan oleh bakteri. TB
biasanya mempengaruhi paru-paru, tetapi kadang-kadang dapat juga
mempengaruhi organ tubuh lain, terutama pada ODHA dengan jumlah
CD4 dibawah 200. TB adalah penyakit yang sangat parah di seluruh
dunia. Hampir sepertiga penduduk dunia terinfeksi TB, tetapi sistem
kekebalan tubuh yang sehat biasanya dapat mencegah penyakit aktif.

Nama tuberculosis berasal dari tuberkel. Tuberkel adalah tonjolan


kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun
tembok mengelilingi bakteri TB dalam paru. Ada 2 jenis TB aktif. TB
primer baru terjadi setelah anda terinfeksi TB untuk pertama kali.
Keaktifan kembali TB terjadi pada orang yang sebelumnya terinfeksi
TB. Jika sistem keekbalan tubuhnya melemah, TB dapat lolos dari
tuberkel dan mengakibatkan penyakit aktif. Kebanyakan kasus TB
pada orang dengan HIV diakibatkan keaktifan kembali infeksi TB
sebelumnya.

TB aktif dapat menyebabkan gejala berikut: batuk lebih dari tiga


minggu, hilang berat badan, kelelahan terus menerus, keringat basah
kuyup pada malam hari, dan demam terutama pada sore hari. Gejala
ini mirip dengan gejala yang disebabkan PCP, tetapi TB dapat terjadi
pada jumlah CD4 yang tinggi. TB ditularkan melalui udara, waktu
seseorang dengan TB aktif batuk dan bersin. Anda dapat

21
mengembangkan TB secara mudah jika anda pada tahap infeksi HIV
lanjut. Anda dapat terinfeksi TB pada jumlah CD4 berapapun.

TB dan HIV: pasangan yang buruk. Banyak bakteri dan virus


hidup di tubuh manusia. Sistem kekebalan tubuh yang sehat dapat
mengendalikan kuman ini agar tidak menyebabkan penyakit. Jika HIV
melemahkan sistem kekebalan, kuman ini dapat menyebabkan infeksi
oportunistik (IO). Angka TB pada ODHA sering kali 40 kali lebih
tinggi dibanding angka untuk orang yang tidak terinfeksi HIV. Angka
TB di seluruh dunia meningkat karena HIV. TB dapat merangsang
HIV agar lebih cepat menggandakan diri, dan memperburuk infeksi
HIV. Karena itu, penting bagi orang dengan HIV untuk mencegah dan
mengobati TB.

Bagaimana cara mendiagnosis TB? Ada tes kulit sederhana untuk


TB. Sebuah protein yang ditemukan pada bakteri TB disuntik pada
kulit lengan. Jika kulit anda bereaksi dengan bengkak, itu berarti anda
kemungkinan terinfeksi bakteri TB.

Jika HIV atau penyakit lain sudah merusak sistem kekebalan tubuh
anda, anda mungkin tidak menunjukkan reaksi pada tes kulit,
walaupun anda terinfeksi TB. Kondidi ini disebut ‘anergi’. Oleh
karena masalah ini, dan karena kebanyakan orang di Indonesia sudah
terinfeksi TB. Jadi tes kulit sekarang jarang dipakai di Indonesia. Jika
anda anergi, perkembangbiakan bakteri dari dahak adalah cara terbaik
untuk diagnosis TB aktif.

Bila anda mempunyai gejala yang mungkin disebabkan oleh TB.


Dokter akan minta anda menyediakan tiga contoh dahak untuk
diperiksa, termasuk satu yang anda diminta keluarkan dari paru pada
pagi hari. Dokter juga mungkin akan melakukan x-ray paru, dan
mencoba membiakkan bakteri TB dari contoh dahak anda. Tes ini

22
memerlukan waktu 4 minggu. Sulit untuk mendiagnosis TB aktif,
terutama pada ODHA, karena gejalanya mirip denga pneumonia,
masalah paru lain, atau infeksi lain.

Pengobatan TB: Jika anda terinfeksi TB, tetapi tidak mengalami


penyakit aktif, kemungkinan diobati dengan isoniazid (INH) untuk
sedikitnya enam bulan, atau dengan INH plus satu atau dua obat lain
untuk 3 bulan. Sebuah penelitian yang diterbitkan pada 2001
menunjukkan bahwa terapi kombinasi lebih efektif dibandingkan
dengan INH sendiri. INH dapat menyebabkan masalah hati, terutama
pada perempuan.

Jika anda mengalami TB aktif, anda diobati dengan antibiotic.


Karena bakteri TB dapat menjadi kebal (resisten) terhadap obat
tunggal, anda akan diberi kombinasi antibiotic. Juga, TB sulit
disembuhkan, dan obat tersebut harus dipakai sedikitnya 6 bulan. Jika
anda tidak memakai semua obat, TB dalam tubuh anda mungkin jadi
resistan dan obat tersebut akan menjadi tidak efektif lagi. Ada
beberapa jenis TB yang resistan terhadap antibiotic. Ini disebut TB
yang resitan terhadap obat atau MDR-TB di Indonesia belum jelas;
surveillans akan segera dilaukan oleh Depkes. Kendati masalah ini,
lebih dari 90% kaus TB dapat disembuhkan dengan antibiotic.

Masalah obat: beberapa antibiotic yang dipakai untuk


mengobati TB dapat merusak hati atau ginjal. Begitu juga beberapa
obat antiretroviral yang dipakai untuk memerangi HIV. Bisa jadi sulit
untuk memakai obat untuk TB dan HIVsekaligus. INH dapat
menyebabkan neuropati perifer, seperti juga beberapa ARV. Jadi dapat
terjadi masalah bila obat ini dipakai bersamaan. Juga, banyak banyak
obat anti-HIV berinteraksi dengan obat yang dipakai untuk mengobati
TB. Rifampisin atau rifabutin umunya dipakai untuk mengoabti TB.

23
Obat ini dapat mengurangi kadar ARV dalam darah anda di bawah
tingkat yang diperlukan untuk mengendalikan HIV.

ARV dapat meningkatkan kadar obat TB ini pada tingkat


yang mengakibatkan efek samping yang berat. Rifampisin tidak boleh
dipakai jika anda memakaiprotoase inhibitor (PI). Rifabutin dapat
dipakai dalam beberapa kasus, tetapi mungkin dosisnya harus diubah.
Ada pedoman kasus untuk dokter jika anda memakai obat untuk
mengurangi TB dan HIV sekaligus. Juga, jika jumlah CD4 anda di
bawah 100, anda sebaiknya memakai rifabutin sedikitnya 3 kali
seminggu. Ini mengurangi risiko TB-nya menjadi resistan terhadap
rifabutin. Untuk alasan ini, Tb biasanya disembuhkan sebelum RT
dimulai. Namun ini mustahil bila jumlah CD4 sangat rendah.

7. Malaria

24
Malaria adalah penyakit yang menyebar melalui gigitan
nyamuk yang sudah terinfeksi parasit. Infeksi malaria bisa terjadi
hanya dengan satu gigitan nyamuk. Jika tidak ditangani dengan benar,
penyakit ini bisa menyebabkan kematian.

Malaria jarang sekali menular secara langusng dari satu orang


ke orang lainnya. Penyakit ini bisa menular jika terjadi kontak
langsung dengan darah penderita. Janin di dalam kandungan juga bisa
terinfeksi malaria karena tertular dari darah sang ibu.

Indonesia bersama negara-negara lain di seluruh dunia


bergabung dalam sebuah komitmen global yakni Millenium
Development Goals (MDGs) untuk memberantas sejumlah penyakit,
salah satunya malaria. Angka kejadian malaria pada suatu wilayah
ditentukan dengan Annual Parasite Incidence (API) per tahun. API
sendiri merupakan jumlah kasus positif malaria per 1.000 penduduk
setiap tahunnya.

Program MDGs ini terus menunjukkan keberhasilan, yang


ditunjukkan dengan API malaria di Indonesia yang terus mengalami
penurunan sejak 2011 hingga 2015. Pada tahun 2011, terdapat 1.75

25
kasus malaria per 1.000 penduduk, sedangkan pada tahun 2015, angka
menurun menjadi 0.85 kasus malaria per 1.000 penduduk.

Meskipun telah mengalami penurunan yang cukup signifikan,


Indonesia masih belum bebas dari malaria, terutama di Indonesia
bagian Timur. Wilayah seperti Papua, NTT, Maluku, dan Bengkulu
merupakan penyumbang terbanyak angka kejadian malaria di
Indonesia.

Gejala malaria biasanya akan muncul antara satu sampai dua


minggu setelah tubuh terinfeksi. Gejala juga bisa muncul setahun
setelah gigitan nyamuk, namun kasus ini jarang terjadi. Gejala-gejala
malaria umumnya terdiri dari demam, berkeringat, menggigil atau
kedinginan, muntah-muntah, sakit kepala, diare, dan nyeri otot.

Jika Anda sudah terlanjur mengalami gejala-gejala malaria,


segera temui dokter agar bisa dilakukan diagnosis dan penanganan
secepatnya. Malaria dapat didiagnosis dengan mudah melalui tes darah
yang sederhana.

Malaria disebabkan oleh parasit Plasmodium. Sebetulnya ada


banyak jenis parasit Plasmodium, tapi hanya lima jenis yang
menyebabkan malaria pada manusia. Parasit Plasmodium hanya
disebarkan oleh nyamuk Anopheles betina. Dua jenis parasit yang
umum di Indonesia adalah Plasmodium falciparum dan Plasmodium
vivax. Gigitan nyamuk malaria lebih sering terjadi pada malam hari.
Setelah terjadinya gigitan, parasit akan masuk ke dalam aliran darah.

Penyebaran penyakit malaria juga bisa terjadi melalui transfusi


darah atau melalui pemakaian jarum suntik secara bergantian. Meski
kasus ini jarang sekali terjadi, Anda tetap harus berhati-hati.

Penderita malaria bisa sembuh total jika diobati dan dirawat


dengan benar. Berbagai jenis obat-obatan antimalaria dipakai untuk

26
mengobati sekaligus mencegah penularan malaria. Obat-obatan yang
diberikan tergantung pada beberapa hal, yaitu tingkat keparahan
gejala-gejalanya, jenis parasit yang menjadi penyebabnya, lokasi
penularan malaria, serta kondisi pasien. Jika pasien sedang hamil,
pengobatannya akan dibedakan dengan penderita yang sedang tidak
hamil.

Penyakit malaria akan memiliki dampak lebih buruk jika terjadi


pada wanita hamil, bayi, anak kecil, dan orang tua. Malaria berpotensi
membuat ketahanan tubuh menurun secara drastis dalam waktu yang
singkat. Karena itu, penanganannya perlu dilakukan dengan cepat. Jika
malaria tidak segera ditangani sejak awal, penyakit ini bisa
menimbulkan beberapa komplikasi seperti dehidrasi, anemia parah,
gagalnya organ tubuh, dan beberapa kondisi lainnya.

Pada dasarnya, malaria bisa dihindari. Untuk mencegah


penularan malaria, pemerintah Indonesia telah menjalankan berbagai
program, misalnya tes darah massal dan memberikan obat antimalaria
secara gratis di daerah endemik malaria seperti di wilayah perdesaan di
Papua dan Nusa Tenggara.

Menghindari diri dari gigitan nyamuk adalah cara yang paling


penting untuk mencegah penularan malaria. Anda bisa memakai
kelambu untuk menutupi ranjang saat tidur, menyingkirkan genangan
air di sekitar rumah, memakai losion anti serangga, dan menggunakan
pakaian atau selimut yang menutupi kulit tubuh.

8. Harpes Simplex

27
Herpes simplex adalah penyakit yang diakibatkan oleh virus yang
menyerang bagian kulit, mulut, dan alat kelamin. Virus herpes simplex
dikategorikan dalam 2 tipe: tipe 1 (HSV-1 atau herpes oral) dan tipe 2
(HSV-2 atau herpes genital).
HSV-1 menyebabkan luka (kadang-kadang disebut demam lepuh
atau luka dingin) di sekitar mulut dan bibir. HSV-1 dapat
menyebabkan herpes genital, namun sebagian besar kasus herpes
genital disebabkan oleh HSV-2. Sementara itu, HSV-2 menyebabkan
orang yang terinfeksi mungkin memiliki luka di sekitar alat kelamin
atau dubur.
HSV-1 yang ditularkan melalui sekresi mulut atau luka pada kulit,
dapat menyebar melalui ciuman atau barang yang digunakan bersama-
sama, seperti sikat gigi atau peralatan makan. Seringnya melakukan
kegiatan seksual dengan cara oral, herpes genitalis juga dapat
disebabkan oleh virus HSV-1 dan herpes oral oleh HSV-2.
Secara umum, seseorang hanya bisa mendapatkan infeksi HSV-2
selama kontak seksual dengan seseorang yang memiliki infeksi genital
HSV-2. HSV-1 dan HSV-2 dapat menyebar bahkan jika tidak ada luka.
Wanita hamil dengan herpes genital harus berdiskusi dengan dokter
karena herpes genital dapat ditularkan ke bayi saat melahirkan.
Perlu diketahui, kambuhnya herpes dapat disebabkan oleh
beberapa kondisi berikut:

28
a. Penyakit umum (dari penyakit ringan sampai kondisi yang
serius).
b. Kelelahan.
c. Stres fisik atau emosional.
d. Imunosupresi akibat AIDS atau obat seperti kemoterapi atau
steroid.
e. Trauma pada daerah yang terkena, termasuk aktivitas seksual.
f. Haid.

Kedua jenis virus ini sangat mudah menular dan penularannya


terjadi melalui kontak langsung dari orang yang terinfeksi. Herpes
terkadang tidak menimbulkan gejala tertentu, tapi orang yang
terinfeksi tetap bisa menularkan virus. Karena gejalanya yang cukup
ringan, sekitar 80 persen orang yang terinfeksi tidak menyadari bahwa
mereka telah menderita herpes.

Gejalanya dapat terlihat dari timbulnya beberapa lepuh berisi


air yang berkelompok di atas ruam yang kemerahan, seringkali disertai
dengan nyeri, gatal dan rasa terbakar. Saat lepuh pecah, akan
meninggalkan luka kemerahan yang kemudian akan kering menjadi
krusta/ koreng dan akhirnya sembuh.

Virus herpes simplex bisa menjadi laten atau tidak aktif di


dalam tubuh selama beberapa waktu. Namun virus ini bisa kembali
aktif dan memicu timbulnya gejala herpes genital. Dengan kata lain,
setelah gejala dari infeksi pertama menghilang, bukan berarti virus
juga menghilang dari tubuh Anda. Akan tetapi, virus itu kemungkinan
masih bersembunyi di sel saraf dan dapat menjadi aktif kembali saat
kekebalan tubuh rendah.

Bagi yang baru pertama kali terinfeksi herpes, mungkin tidak


akan menyadari adanya gejala-gejala tertentu. Akibatnya, Anda tidak

29
tahu bahwa tubuh telah terinfeksi virus herpes. Berikut adalah gejala
herpes genitalis, di antaranya:

a. Merasakan sakit saat membuang air kecil.


b. Sakit punggung bawah.
c. Mengalami gejala-gejala flu seperti demam, kehilangan
nafsu makan, dan kelelahan.
d. Luka terbuka atau melepuh pada leher rahim.
e. Adanya cairan yang keluar dari vagina.
f. Sensasi rasa sakit, gatal, atau geli di sekitar daerah genital
atau daerah anal.
g. Diagnosis Herpes Simplex

Sering kali, penampilan herpes ini memiliki tampilan yang


khas dan tidak membutuhkan pengujian untuk mendiagnosis penyakit.
Namun jika Anda kurang yakin, herpes simplex dapat didiagnosis
dengan tes DNA dan kultur virus.

Dokter mungkin akan mengambil sampel cairan dari luka


melepuh yang muncul. Guna mengetahui apakah Anda menderita
herpes genitalis, sampel ini akan dibawa dan diteliti di laboratorium.
Selain tes dengan menggunakan sampel cairan luka herpes, keberadaan
antibodi terhadap virus herpes juga bisa diperiksa melalui tes darah.

Jika Anda mengalami kondisi kesehatan tertentu selain herpes


ini, Anda mungkin perlu menemui dokter spesialis untuk menerima
perawatan khusus. Infeksi yang terjadi bisa berdampak pada bagian
tubuh yang lain.

Meskipun tidak ada obat untuk herpes ini, perawatan dapat


meringankan gejalanya. Sementara itu, beberapa obat tertentu dapat
mengurangi rasa sakit yang ditimbulkan seperti, Famvir, Zovirax,

30
Acyclovir, dan Valtrex. Gunakan salah satu obat yang untuk
mengobati gejala herpes.

Jika gejala infeksi tidak terlalu parah, konsumsi obat antivirus


mungkin tidak diperlukan. Sebagai gantinya, dokter akan
menyarankan pasien untuk meredakan gejala yang muncul dengan
perawatan mandiri di rumah. Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa
dilakukan:

a. Mandi dengan air hangat dan gunakan krim mati rasa untuk
meringankan rasa sakit yang ditimbulkan.
b. Guna meringankan rasa sakit, tutup luka dengan es batu yang
dibalut dengan kain. Jangan menempelkan es secara langsung pada
permukaan yang terluka.
c. Bersihkan luka atau tukak agar tidak menjadi infeksi sekaligus
mempercepat penyembuhan. Pembersihan ini bisa dengan
menggunakan air biasa atau air garam.

2.4 Pencegahan IO
Untuk mencegah Infeksi Oportunistik (IO) agar tidak muncul, cara
terbaiknya adalah dengan konsisten menjalani perawatan medis maupun
minum obat HIV sesuai dengan anjuran dari dokter. Terkadang, penyedia
layanan kesehatan juga akan meresepkan obat khusus untuk mencegah IO
tertentu. Dengan tetap mengkonsumsi obat HIV, Anda akan menjaga
jumlah virus HIV di tubuh Anda serendah mungkin dan menjaga
kekebalan tubuh Anda tetap sehat. Sangat penting untuk melakukan
pemeriksaan rutin dan minum semua obat yang dianjurkan, dan
megkonsumsi obat HIV merupakan komitmen seumur hidup.

Selain mengkonsumsi obat HIV, berikut ini terdapat beberapa


langkah untuk mencegah munculnya IO, seperti:

31
a. Gunakan kondom secara konsisten dan benar untuk mencegah terpapar
infeksi menular seksual. (Baca juga: HIV Bukanlah Pembunuh
Hubungan Asmara)
b. Jangan berbagi peralatan narkoba suntik. Darah dengan hepatitis C di
dalamnya dapat tetap berada di alat suntik dan jarum setelah digunakan
dan infeksi dapat ditularkan ke pengguna berikutnya. (Baca juga:
Mengenal Hepatitis C – Bagian 1)
c. Dapatkan vaksinasi – biasanya dokter akan menginformasikan vaksin
apa saja yang kita butuhkan, jika tidak kita harus bertanya.
d. Pahami kuman apa yang Anda hadapi (seperti tuberkolosis atau kuman
yang ditemukan di tinja, air liur atau pada kulit hewan) dan batasi
paparan Anda terhadapnya. (Baca juga: Hari Tubercolosis Sedunia
2014 : Mengetahui kembali Apa itu TB dan HIV?)
e. Jangan megkonsumsi makanan tertentu, termasuk telur yang belum
matang, susu dan keju yang tidak di pasteurisasi (mentah), jus buah
yang tidak di pasteurisasi atau kecambah mentah. (Baca juga: Gizi
Seimbang Panduan Asupan Gizi untuk Hidup Sehat)
f. Jangan minum air yang tidak diolah seperti air yang di ambil langsung
dari danau atau sungai. Air ledeng di mancanegara juga kadang tidak
aman.
g. Mintalah dokter Anda untuk meninjau kembali hal-hal yang Anda
lakukan di tempat kerja, rumah dan berlibur untuk memastikan Anda
tidak terkena IO.

2.5 Pengobatan IO
Infeksi oportunistik kerap melibatkan banyak pathogen dan
menyerang secara bersamaan. Berbagai gejala klinis pun terdiagnosa,
menambah runyam pengobatan pasien HIV/AIDS. Dengan demikian,
diperlukan strategi dalam diagnosis dan pengobatan, termasuk dengan
antimikroba yang seringkali harus diberi secara kombinasi. “pemilihan

32
obat antimikroba idealnya disesuaikan dengan diagnosis dan pathogen
penyebab infeksi, namun dalam praktek klinik seringkali terapi diberi
secara empiric oleh karenanya kesulitan dan keterbatasan secara
diagnose,” jelas Ketua Tim Standar Profesi Penyakit Dalam dan Standar
Peralatan Penyakit Dalam ini.
Lebih lanjut, Herdiman menjelaskan, pengobatan infeksi oportunistik pada
ODHA tidak dapat dipisahkan dengan pemberian RV. Kedua komponen
terapi ini mesti diberikan secara beriringan dan sinergis, sebab keduanya
akan saling mendukung efektifitas masing-masing. Terapi ARV
ditunjukan untuk pemulihan daya tahan tubuh melalui meningkatkannya
jumlah CD4. Dengan begitu, peningkatan imunitas pasien akan membantu
keberhasilanterapi antimikroba , yang pada akhirnya menurunkan resiko
terjadinya infeksi oportunistik. Namun ada kalanya, pengobatan infeksi
oportunistikharus didahulukan, dan kemudian dilanjutkan pemberian
ARV.
Efek sinergis terapi oportunistik dan ARV, oleh beebrapa ahli telah
dibuktikan efektifitasnya. Kovack, pada 1997, telah menunjukkan
terjadinya penurunan insiden infeksi oportunistik sebesar 55% pada
populasi ODHA yang menrima ARV. Sementara Astro, peneliti lain, pada
tahun 2003 melakukan penelitian untuk menilai efektivitas ARV terhadap
perbaikan kualitas hidup penderita AIDS. Hasilnya, disimpulkan bahwa
untuk mengoptimalkan kualitas hidup ODHA perlu segera dilakukan
penanggulangan infeksi oportunistik yang dilanjutkan dengan ARV. “
keberhasilan ini dikaitkan s=dengan peningkatan imunitas tubuh. Tapi,
ARV sendiri tidak memberikan efek perlindungan yang sama bagi setiap
komplikasi oportunistik, oleh karennya perlu upaya lain dengan
penggunaan profilaksis, serta pendekatan diagnosis dan terapeutik yang
lebih baik,” tegas Herdiman.
Dengan begitu pengobatan infeksi bukan berarti perkara mudah.
Tak sedikit para praktisi medis mengalami kegagalan, termasuk akibat
keterbatasan nonn medis seperti terlambatnya diagnose dini, kesulitan

33
mendapatkan obat, dan biaya yang tinggi. Namun demikian, Herdiman
menegaskan, HIV/AIDS bukanlah tanggung jawab dokter semata, dan
bukan sekedar masalah kesehatan. Penyakit “kutukan”, pada sebagian
masyarakat ini merupakan tanggung jawab semua elemen; apapun profesi,
status sosial, agama, orientasi politik. AIDS adalah masalah kita semua
yang tidak bisa ditunda pemecahannya.

34
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari pembahasan tersebut diatas, maka kesimpulan dari makalah ini


adalah:
Infeksi oportunistik adalah infeksi yang ambil kesempatan
‘opportunity’ yang disebabkan oleh kerusakan pada sistem kekebalan
tubuh untuk menimbulkan penyakit. Kerusakan pada sistem kekebalan
tubuh ini adalah salah satu akibat dari infeksi HIV. Dan menjadi cukup
berat sehingga IO rata-rata 7-10 tahun setelah seseorang terinfeksi HIV.
Kerusakan pada sitem kekebalan tubuh dapat dihindari dengan
penggunaan terapi antiretroviral (ARV) sebelum kita mengalami IO.
Namun, karena kebanyakan orang yang terinfeksi HIV tidak tahu dirinya
terinfeksi, timbulnya IO seringkali adalah tanda pertama bahwa ada HIV
di tubuh seseoarang. Jadi, walaupun ART tersedia gratis di Indonesia
masalah IO tetap ada. Sehingga pnting kita mengerti IO dan bagaimana IO
dapat diobati dan dicegah.
Pencegahan beberapa IO, yang disebut ‘profilaksis’, dapat dilakukan
dengan cara yang cukup sederhana, yaitu dengan memakai dua pil obat
kotrimoksazol setiap hari. Pencegahan ini hanya dibutuhkan setelah sistem
kekebala tubuh seseorang cukup rusak.

3.2 Saran
Dalam penyusunan makalah berjudul “Infeksi oportunistik”, penulis
menyarankan kepada:
1. Mahasiswa keperawatan
Diharapkan dapat meningkatkan kemampuan dalam
pemecahan masalah mahasiswa pada materi infeksi oportunistik.
2. Peneliti selanjutnya

35
Diharapkan dapat memberikan informasi awal dalam
melakukan penelitian tentang materi pada pembelajaran ini serta
memberikan wawasan dan temuan-temuan baru yang bernilai baik
dalam ilmu keperawatan.
3. Institusi
Diharapkan dapat memperbaiki dan memberikan alternative
pembelajaran untuk dapat meningkatkan prestasi belajar dan kualitas
kelulusan.
4. Perawat
Diharapkan sebesar-besarnya dengan adanya penyusunan makalah
ini kepada perawat dalam kegiatannya memperhatikan aspek masalah
yang terjadi pada klien yang memiliki masalah infeksi oportunistik.

36
DAFTAR PUSTAKA

WHO. HIV/AIDS. Available from : http://www.who.int/topics/hiv_aids/en/.


Nasronudin. HIV/AIDS. In: Penyakit infeksi di Indonesia solusi kini dan
mendatang. Editor: Hadi U, Vitanata, Erwin AT, Suharto, Bramantono,
Soewandojo E. Surabaya: Airlangga University Press; p.15 – 7.
KemenKes RI. Pedoman Nasional Terapi Antiretroviral 2011. Departemen
Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan penyehatan Lingkungan. Jakarta: 2011; p. 14,46.
Astari L, Sawitri, Safitri YE, Hinda D. Viral Load pada Infeksi HIV. Berkala Ilmu
Kesehatan Kulit dan kelamin. 2009; 21 (1) : 31-8.

37

Anda mungkin juga menyukai