Referat Terapi Skizofrenia
Referat Terapi Skizofrenia
TERAPI SKIZOFRENIA
Haryati Kennita
09310335
KONSULEN
2013
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik-baiknya. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Laila Sylvia Sari ,
Sp.KJ selaku konsulen yang telah memberi bimbingan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas di stase kesehatan jiwa dengan
judul Terapi Skizofrenia pada kepaniteraan klinik di RSUD EMBUNG FATIMAH.
Dalam penyusunan makalah ini penulis masih merasa banyak kekurangan,
untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun guna perbaikan ke
depan. Penulis berharap makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca sekalian pada umumnya. Semoga makalah ini dapat memberi
masukan bagi rekan-rekan yang ingin mengetahui tentang Terapi Skizofrenia.
Penulis
DAFTAR ISI
A. Psikofarmakologi
Indikasi pemberian obat antipsikosis pada skizofrenia adalah pertama untuk
mengendalikan gejala aktif, kedua untuk mencegah kekambuhan. Strategi
pengobatan tergantung pada fase penyakit apakah akut atau kronis. Fase akut
biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang
perlu segera diatasi. Tujuan pengobatan disini adalah mengurangi gejala psikotik
yang parah. Dengan fenotiazin biasanya waham dan halusinasi hilang dalam waktu
2 – 3 minggu. Meskipun tetap masih ada waham dan halusinasi, penderita tidak
begitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif dan mau ikut serta dalam
kegiatan lingkungannya. Setelah 4 – 8 minggu pasien masuk ketahap stabilisasi
sewaktu gejala-gejala sedikit banyak sudah teratasi, tetapi resiko relaps masih
tinggi, apalagi bila pengobatan terputus atau pasien mengalami stres. Sesudah
gejala-gejala mereda, maka dosis dipertahanakan selama beberapa bulan lagi, jika
serangan itu baru yang pertama kali. Jika serangan skizofrenia itu sudah lebih dari
satu kali, maka sesudah gejala-gejala mereda, obat diberi terus selama satu atau dua
tahun.3
Setelah 6 bulan, pasien masuk fase rumatan (maintenance) yang bertujuan untuk
mencegah kekambuhan. Kepada pasien dengan skizofrenia menahun, antipsikosis
diberi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik-
turun sesuai dengan keadaan pasien. Strategi rumatan adalah menemukan dosis
efektif terendah yang dapat memberikan perlindungan terhadap kekambuhan dan
tidak menggangu fungsi psikososial pasien. Untuk pasien yang baru pertama kali
mengalami skizofrenia, pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu
memberikan efek samping, karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan
akan mengurangi ketaatberobatan (compliance) atau kesetiaberobatan (adherence).
Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan profil efek samping dan respon pasien
pada pengobatan sebelumnya. Pada pasien yang sensitif terhadap efek samping
ekstarpiramidal lebih baik diberi antipsikotik atipik.3
Penggolongan obat antipsikosis
Antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok besar :1
Antipsikotik klasik (tipikal), terutama efektif mengatasi gejala positif, pada
umumnya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok sebagi berikut :
Derivat-fenotiazin :
Rantai aliphatic : klorpromazin (Largactil)
Rantai piperidin : thioridazin (Melleril)
Rantai piperazin : perfenazin (Trilafon), flufenazin (Anatensol), dan
trifluoperazin (Stelazine)
Derivat-butirofenon : Haloperidol (Haldol, Serenace)
Derivat-butilpiperidin : Pimozide (Orap)
Mekanisme kerja obat antipsikosis tipikal adalah memblokade dopamine pada
reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususunya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk
gejala positif. Kebanyakan antipsikotik golongan tipikal mempunyai afinitas
tinggi dalam menghambat reseptor dopamin 2, hal inilah yang diperikirakan
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat.4
Antipsikotik atipikal, bekerja efektif melawan gejala negatif, yang kebal
terhadap obat klasik. Efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan
ekstrapiramidal dan dyskinesia tardiv. Dibagi dalam beberapa kelompok yaitu :
Benzamide : Sulpiride (Dogmatil)
Dibenzodiazepine : Clozapine (Clozaril), Olanzapine (Zypera),
Quetipine (Seroquel)
Benzisoxazole : Risperidone (Risperidal), Aripiprazole (Abilify)
Obat golongan atipikal pada umumnya memiliki afinitas yang lemah terhadap
dopamin 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin 4,
serotonin, histamin, reseptor muskarinik dan reseptor alfa adrenergik.
Golongan antipsikosis atipikal diduga efektif untuk gejala positif (seperti
halusinasi, bicara kacau, delusi), maupun gejala negatif (afek datar, menarik
diri dari lingkungan, inisiatif menurun).4
Tabel 1. Sediaan obat antipsikotik dan dosis anjuran 5
B. Psikoterapi
Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seorang
pasien yang dilakukan oleh seorang yang terlatih dalam hubungan profesional secar
sukarela, dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah atau menghambat
gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu dan mengembangkan
pertumbuhan kepribadian secar positif. Psikoterapi dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar yaitu :3
1. Psikoterapi suportif (atau supresif, atau non-spesifik)
Tujuan :
Menguatkan daya tahan mental yang ada
Mengembangkan mekanisme baru dan yang lebiah baik untuk mempertahankan
kontrol diri.
Mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri).
Cara-cara psikoterapi suportif yaitu :
Ventilasi atau katarsis
Persuasi
Sugesti
Bimbingan dan Penyuluhan
Terapi kerja
Hipno-terapi dan narkoterapi
Psikoterapi kelompok
Terapi perilaku
2.Psikoterapi wawasan (genetik-dinamik) dibagi menjadi :
a. Psikoterapi reedukatif, cara-caranya :
Terapi hubungan antarmanusia
Terapi sikap
Terapi wawancara
Konseling terapeutik
Terapi kelompok yang reedukatif
Terapi somatis
b. Psikoterapi rekonstruktif
Cara-cara psikoterapi rekonstruktif :
Psikoanalisis Freud
Psikoanalisis non-Freudian
Psikoterapi yang berpotensi kepada psikoanalisis
1.Terapi perilaku
Rencana pengobatan untuk skizofrenia harus ditujukan pada kemampuan dan
kekurangan pasien. Terapi perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
keterampulan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial kemmpuan
memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku
adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk
hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit.
Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti
berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat dan postur tubuh yang
aneh dapat diturunkan.
Latihan keterampilan perilaku seringkali dinamakan terapi keterampilan sosial,
terapi dapat secara langsung membantu dan berguna bagi pasien dan
merupakan tambahan alami terapi farmakologis. Di samping gejala personal
dari skizofrenia, beberapa gejala skizofrenia yang paling terlihat adalah
menyangkut hubungan pasien dengan orang lain, termasuk kontak mata yang
buruk, keterlambatan respon yang tidak lazim, ekspresi eajah yang aneh, tidak
adanya spontanitas dalam situasi sosial, dan persepsi yang tidak akurat atau
tidak adanya persepsi emosi terhadap orang lain. Latihan keterampiln perilaku
melibatkan penggunaan kaset video orang lain dan pasien, permainan simulasi
dalam terapi, dan pekerjaan rumah tetang keterampilan yang telah dilakukan.2
2.Terapi berorientasi keluarga
Karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi
parsial, keluarga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan
manfaat dari terapi keluarga yang singkat tetapi intensif. Pusat dari terapi harus
pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi dan menghindari
situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah memang
timbul pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan
masalah secara cepat. Didalam sesion keluarga dengan pasien skizofrenia, ahli
terapi harus mengendalikan intensitas emosional dari sesion. Sejumlah
penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam
menurunkan relaps.2
3.Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah
dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi seacar
perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi
kelompok adalah efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa
persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien dengan skizofrenia.2
4.Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam
pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi adalah membantu
dan menambah efek terapi farmakologis. Jenis terapi yang ditelita adalah
psikoterapi suportif dan psikoterpi berorientasi tilikan. Suatu konsep penting
didalam psikoterapi bagi seorang skizofrenia adalah perkembangan suatu
hubungan terapeutik yang dialami pasien sebagai aman. Sekurangnya satu
penelitian menemukan bahwa pasien skizofrenia yang mampu membentuk
iktan terapeutik yang baik kemungkinan akan tetap mengikuti psikoterapi, tetap
patuh dengan medikasinya, dan mempunyai hasil akhir yang baik pada
pemeriksaan follow up dua tahun.2
C. Terapi elektro-konvulsi (ECT)
Seperti juga terapi konvulsi yang lain, cara kerja eletrokonvulsi belum diketahui
dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa terapi konvulsi dapat memperpendek
serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita. Akan tetapi
terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang. Bila dibandingkan
dengan terapi koma insulin, maka terapi elektrokonvulsi lebih sering terjadi
serangan ulang. Akan tetapi, terapi elektrokonvulsi lebih mudah diberikan, bahaya
lebih sedikit, lebih murah, dan tidak memerlukan tenaga yang khusus seperti pada
terapi koma insulin. Terapi elektrokovulsif menunjukkan hasil yang baik pada
skizofrenia katatonik, terutama stupor. Terhadap skizofrenia simplex dan
hebefrenik umumnya efeknya mengecewakan, bila gejala hanya ringan lalu diberi
terapi ini kadang-kadang gejala menjadi lebih berat. Pada permulaan (untuk
konvulsi yang pertma kali bagi seorang penderita) biasanya dipakai 100-150 volt
dan 0,2-0,3 detik dengan konvulsator jenis pertama dan 4 J dengan 2-3 detik
dengan konvulsator jenis kedua. Bila tidak terjadi konvulsi, langsung diulangi
dengan voltase yang sama, atau bila sudah terputus beberapa detik lamanya, dengan
voltase yang lebih tinggi. Kita dapat mengulanginya hingga 3 kali, bila tidak terjadi
konvulsi, sebaiknya terapi ditunda sampai esok harinya. Hanya konvulsi umum
yang dapat menimbulkan hasil pengobatan yang diinginkan. Nilai ambang konvulsi
berlainan pada penderita yang berbeda, lebih tinggi pada wanita dan pada usia
lanjut. Nilai ambang konvulsi juga menjadi lebih tinggi sesudah konvulsi pertama.3
D. Terapi koma insulin
Pertama kali dipakai oleh Manfred J.Sakel, insulin biasa disuntik intarmuskular,
mulai dengan 10-15 unit setiap hari, ditambah dengan 5-10 unit sehingga pasien
mendapatkan koma hipoglikemik. Pasien dibiarkan dalam keadaan koma selama 1-
2 jam, lalu dibangunkan dengan suntikan glukosa intravena atau dengan pemberian
air gula melalui pipa lambung. Diusahakan supaya tercapai 40-60x koma. Indikasi
utama adalah skizofrenia. Karena terapi ini mahal (biaya dan tenaga) dan lama serta
banyak kontraindiksai dan komplikasinya, maka sekarang jarang dipakai, diganti
dengan terapi eletrokonvulsif yang lebih sederhana, lebih kurang berbahaya, lebih
cepat dan murah.3
E. Perawatan di Rumah Sakit
Indiaksi utama untuk perawatan di rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau
membunuh, dan perilaku yang sangat kacau yang tidak sesuai, termasuk
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian dan
tempat berlindung. Tujuan utama perawatan di rumah sakit yang harus ditegakkan
adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Perawatan di
rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun
aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada
keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa perawatan singkat di rumah sakit (4-6
minggu) adalah sama efektifnya dengan perawatan jangka panjang di rumah sakit
dan bahwa rumah sakit dengan pendekatan perilaku yang aktif adalah lebih efektif
daripada instistusi yang biasanya dan komunitas terapetik berorientasi tilikan.2
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatn diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan
sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan
fasilitas pascarawat, termasuk keluarganya, keluarga angkat. Pusat perawatan di
siang hari dan kunjungan rumah kadang-kadang dapat membantu pasien tetap di
luar rumah sakit untuk periode waktu yang lama dan dapat memperbaiki kualitas
kehidupan sehari-hari pasien.2
BAB III
KESIMPULAN
2. Kaplan HI, Sadock BJ. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis Jilid I Edisi Ketujuh. Jakarta : Binarupa Aksara. 1997.
3. Maramis W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi Kedua. Airlangga University
Press. Surabaya. 2009
6. Kaplan HI, Sadock BJ. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis Jilid II Edisi Ketujuh. Jakarta : Binarupa Aksara. 1997 : 548-591