Anda di halaman 1dari 23

REFERAT

TERAPI SKIZOFRENIA

Haryati Kennita

09310335

KONSULEN

dr. Laila Sylvia Sari, Sp.KJ

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV. MALAHAYATI LAMPUNG

SMF ILMU KESEHATAN JIWA

RSUD EMBUNG FATIMAH

2013
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
sebaik-baiknya. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Laila Sylvia Sari ,
Sp.KJ selaku konsulen yang telah memberi bimbingan, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas di stase kesehatan jiwa dengan
judul Terapi Skizofrenia pada kepaniteraan klinik di RSUD EMBUNG FATIMAH.
Dalam penyusunan makalah ini penulis masih merasa banyak kekurangan,
untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun guna perbaikan ke
depan. Penulis berharap makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi penulis
khususnya dan pembaca sekalian pada umumnya. Semoga makalah ini dapat memberi
masukan bagi rekan-rekan yang ingin mengetahui tentang Terapi Skizofrenia.

Batam, Noveber 2013

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i


DAFTAR ISI ............................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL........................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Psikofarmakologi ........................................................................................... 2
B. Psikoterapi...................................................................................................... 12
C. Terapi Elektrokonvulsi................................................................................... 14
D. Terapi Koma Insulin....................................................................................... 15
E. Perawatan Rumah Sakit.................................................................................. 15
BAB III KESIMPULAN.............................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Sediaan obat antipsikosis dan dosis anjuran................................................... 4


BAB I
PENDAHULUAN

Skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang dalam kebanyakan kasus bersifat


sangat serius, berkelanjutan dan dapat mengakibatkan kendala sosial, emosional dan
kognitif (pengenalan, pengetahuan, daya membedakan). Skizofrenia adalah penyebab
terpenting gangguan psikotis, dimana periode psikotis diselingi periode normal saat
pasien dapat berfungsi baik. Pada pria biasanya timbul antara usia 15-25 tahun, jarang
diatas 30 tahun, sedangkan pada wanita antara 25-35 tahun. Gejalanya berupa gejala-
gejala postif dan gejala-gejala negatif, yang selalu terdapat bersamaan, tetapi dengan
aksen berlainan pada berbagai pasien.1
Lima tahun terakhir telah membawa kemajuan besar dalam mengerti skizofrenia
didalam tiga bidang. Pertama, kemajuan teknik pencitraan otak, khususnya pencitraan
resonansi magnetik (MRI), dan penghalusan teknik neuropatologi telah memusatkan
banyak minat pada sistem limbik sebagai pusat patofisiologi skizofrenia. Kedua, setelah
perkenalan clozapine (Clozaaril), suatu antipsikotik atipikal dengan efek samping
neurologis yang minimal, terdapat sejumlah besar penelitian tentang obat antipsikotik
atipikal lainnya, khususnya Risperidone dan remoxipride. Obat tersebut dan obat
atipikal lainnya yang akan diperkenalkan diseparuh bagian kedua tahun 1990-an akan
lebih efektif dalam menurunkan gejala negatif dalam skizofrenia dan dapat dihubungkan
dengan rendahnya insidensi efek samping neurologis. Ketiga, saat terapi obat
mengalami kemajuan dan saat dasar biologis yang kuat untuk skizofrenia semakin
dikenal luas, terdapat peningkatan minat pada faktor psikososial yang mempengaruhi
skizofrenia, termasuk yang mempengaruhi onset, relaps, dan hasil terapi.2
Penanganan pasien skizofrenia dibagi secara garis besar meliputi terapi somatik
terdiri dari obat antipsikosis, terapi psikososial, dan perawatan di rumah sakit.
Walaupun medikasi antipsikosis adalah inti dari pengobatan skizofrenia, penelitian telah
menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis.
Modalitas psikososial harus diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen obat dan
harus mendukung regimen tersebut. Sebagian besar pasien skizofrenia mendapatkan
manfaat dari pemakaain kombinasi pengobatan antipsikosis dan psikososial.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Psikofarmakologi
Indikasi pemberian obat antipsikosis pada skizofrenia adalah pertama untuk
mengendalikan gejala aktif, kedua untuk mencegah kekambuhan. Strategi
pengobatan tergantung pada fase penyakit apakah akut atau kronis. Fase akut
biasanya ditandai oleh gejala psikotik (yang baru dialami atau yang kambuh) yang
perlu segera diatasi. Tujuan pengobatan disini adalah mengurangi gejala psikotik
yang parah. Dengan fenotiazin biasanya waham dan halusinasi hilang dalam waktu
2 – 3 minggu. Meskipun tetap masih ada waham dan halusinasi, penderita tidak
begitu terpengaruh lagi dan menjadi lebih kooperatif dan mau ikut serta dalam
kegiatan lingkungannya. Setelah 4 – 8 minggu pasien masuk ketahap stabilisasi
sewaktu gejala-gejala sedikit banyak sudah teratasi, tetapi resiko relaps masih
tinggi, apalagi bila pengobatan terputus atau pasien mengalami stres. Sesudah
gejala-gejala mereda, maka dosis dipertahanakan selama beberapa bulan lagi, jika
serangan itu baru yang pertama kali. Jika serangan skizofrenia itu sudah lebih dari
satu kali, maka sesudah gejala-gejala mereda, obat diberi terus selama satu atau dua
tahun.3
Setelah 6 bulan, pasien masuk fase rumatan (maintenance) yang bertujuan untuk
mencegah kekambuhan. Kepada pasien dengan skizofrenia menahun, antipsikosis
diberi dalam jangka waktu yang tidak ditentukan lamanya dengan dosis yang naik-
turun sesuai dengan keadaan pasien. Strategi rumatan adalah menemukan dosis
efektif terendah yang dapat memberikan perlindungan terhadap kekambuhan dan
tidak menggangu fungsi psikososial pasien. Untuk pasien yang baru pertama kali
mengalami skizofrenia, pemberian obat harus diupayakan agar tidak terlalu
memberikan efek samping, karena pengalaman yang buruk dengan pengobatan
akan mengurangi ketaatberobatan (compliance) atau kesetiaberobatan (adherence).
Pemilihan obat lebih banyak berdasarkan profil efek samping dan respon pasien
pada pengobatan sebelumnya. Pada pasien yang sensitif terhadap efek samping
ekstarpiramidal lebih baik diberi antipsikotik atipik.3
Penggolongan obat antipsikosis
Antipsikotik dibagi menjadi 2 kelompok besar :1
 Antipsikotik klasik (tipikal), terutama efektif mengatasi gejala positif, pada
umumnya dibagi lagi dalam sejumlah kelompok sebagi berikut :
 Derivat-fenotiazin :
Rantai aliphatic : klorpromazin (Largactil)
Rantai piperidin : thioridazin (Melleril)
Rantai piperazin : perfenazin (Trilafon), flufenazin (Anatensol), dan
trifluoperazin (Stelazine)
 Derivat-butirofenon : Haloperidol (Haldol, Serenace)
 Derivat-butilpiperidin : Pimozide (Orap)
Mekanisme kerja obat antipsikosis tipikal adalah memblokade dopamine pada
reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususunya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (Dopamine D2 receptor antagonists), sehingga efektif untuk
gejala positif. Kebanyakan antipsikotik golongan tipikal mempunyai afinitas
tinggi dalam menghambat reseptor dopamin 2, hal inilah yang diperikirakan
menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat.4
 Antipsikotik atipikal, bekerja efektif melawan gejala negatif, yang kebal
terhadap obat klasik. Efek sampingnya lebih ringan, khususnya gangguan
ekstrapiramidal dan dyskinesia tardiv. Dibagi dalam beberapa kelompok yaitu :
 Benzamide : Sulpiride (Dogmatil)
 Dibenzodiazepine : Clozapine (Clozaril), Olanzapine (Zypera),
Quetipine (Seroquel)
 Benzisoxazole : Risperidone (Risperidal), Aripiprazole (Abilify)
Obat golongan atipikal pada umumnya memiliki afinitas yang lemah terhadap
dopamin 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin 4,
serotonin, histamin, reseptor muskarinik dan reseptor alfa adrenergik.
Golongan antipsikosis atipikal diduga efektif untuk gejala positif (seperti
halusinasi, bicara kacau, delusi), maupun gejala negatif (afek datar, menarik
diri dari lingkungan, inisiatif menurun).4
Tabel 1. Sediaan obat antipsikotik dan dosis anjuran 5

No Nama Generik Nama Dagang Sediaan Dosis Anjuran


.
1. Chlorpromazine Chlorpromazine Tab 25-100 mg 150 – 600 mg/hari
Promactil Tab 100 mg
Meprosetil Tab 100 mg
Cepezet Tab 100mg
Ampul 50 50 - 100 mg (im)
mg/2cc setiap 4 – 6 jam
2. Haloperidol Haloperidol Tab 0,5 - 1,5 mg 5 – 15 mg/hari
Dores Cap 5 mg
Tab 1,5 mg
Serenace Tab 0,5 – 1,5 mg
Ampul 5mg/cc 5-10 mg (im)
setiap 4-6 jam
Haldol Tab 2 – 5 mg
Govotil Tab 2 – 5 mg
3. Perphenazine Perphenazine Tab 4 mg 12 – 24 mg/hari
Trilafon Tab 2, 4, 8 mg
4. Flupenazine Anatensol Tab 2,5 – 5 mg 10 – 15 mg/hari
Flufenazine Modecate Vial 25 mg/cc 25 mg (im) setiap
deconate 2-4 minggu
5. Trifluoperazine Stelazine Tab 1-5 mg 10-15 mg/hari
6. Thioridazine Melleril Tab 50-100 mg 150-300 mg/hari
7. Sulpiride Dogmatil Forte Amp. 100 3-6 Amp/hari (im)
mg/2cc 300-600 mg/hari
Tab 200 mg
8. Pimozide Orap forte Tab 4 mg 2 – 4 mg/hari
9. Risperidone Risperidone Tab 1, 2, 3 mg 2 - 6 mg/hari
Risperdal Tab 1, 2, 3 mg
Neripros Tab 1, 2, 3 mg
Zopredal Tab 1, 2, 3 mg
10. Clozapine Clozaril Tab 25 – 1000 25 – 100 mg/ hri
Sizoril mg
Tab 25 – 100 mg
11. Quetiapine Seroquel Tab 25, 100, 200 50 – 400 mg/hari
mg
12. Olanzapine Zyprexa Tab 5 – 10 mg 10 – 20 mg/hari
13. Aripiprazole Abilify Tab 10- 15 mg 10 – 15 mg/hari

Farmakokinetik obat Antipsikosis


Sebagian besar antipsikosis tidak diabsorpsi secar lengkap setelah pemberian
oral, walaupun preparat cair diabsorpsi dengan lebih efisien dibandingkan
bentuk lain. Risperidone diabsorpsi cepat setelah pemberian oral, mencapai
kadar puncak kira-kira 1 jam setelah pemberian, dan memiliki waktu paruh
plasma kira-kira 24 jam. Kadar stabil remoxipride dicapai setelah kira-kira 2
hari pemberian obat, berbeda dengan antipsikosis lain, dimana gangguan hati
dapat memiliki efek klinis yang bermakna, gangguan hati memiliki sedikit
pengaruh pada eliminasi remoxipride. Karena pola metabolisme tersebut, dosis
remoxipride harus diturunkan untuk pasien lanjut usia. Waktu paruh
butyrophenone (haloperidol) dan diphenil-butylpiperidine lebih lama
dibandingkan fenotiazin, dan kecenderungan efek klinis parkinsonisme yang
disebabkan oleh butyrophenone (haloperidol) dan diphenil-butylpiperidine
berlangsung lebih lama dibandingkan yang disebabkan oleh antipsikotik lain.
Sebagian besar obat antipsikotik memiliki ikatan dengan protein plasma,
volume distribusi, dan kelarutan dalam lemak yang tinggi. Obat antipsikotik
dimetabolisme di hati dan mencapai kadar plasma dalam 5 sampai 10 hari.6
Farmakodinamik Antipsikosis
Mekanisme kerja obat antipsikosis adalah dihipotesiskan melalui antagonisme
reseptor D2, sehingga mencegah dopamin endogen mengaktivasi reseptor.
Walaupun hipotesis dopamin berlaku untuk semua obat antipsikosis, tetapi
tidak berlaku untuk clozapine yang tampaknya memiliki mekanisme kerja yang
berbeda, kemungkinan melibatkan reseptor D4 atau reseptor 5-HT2 atau
keduanya. Walaupun antagonisme reseptor D2 diperkirakan merupakan inti
dari efek terapeutik risperidone maupun remoxipride, telah dihipotesiskan
bahwa aktivitas antagonis tambahan dari obat tersebut pada reseptor 5-HT2
untuk rispridone, dan reseptor sigma untuk remoxipride menjelaskan
sekurangnya separuh sifat efek sampingnya yang baik. Sebagian besar efek
merugikan neurologis dan endokrinologi dari antipsikotik juga dapat dijelaskan
oleh penghambatan obat pada reseptor dopamin. Tetapi berbagai antipsikotik
juga mengahmbat reseptor noradrenergik, kolinergik, dan histaminergik, jadi
menyebabkan bervariasinya sifat efek merugikan yang ditemukan pada obat-
obat tersebut.6
Profil Efek Samping
Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa :
 Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan, berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
 Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik : mulut
kering, kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, mata kabur,
tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).
 Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson :
tremor, bradikinesia, rigiditas).
 Gangguan endokrin (amenorrhea, gynecomastia), metabolik (jaundice),
hematoligik (agranulositosis), biasanya pada pemakaian jangka panjang.
Efek samping ini ada yang dapat ditolerir oleh pasien, ada yang lambat dan
ada yang sampai membutuhkan obat simtomatis untuk meringankan
penderitaan pasien.
Efek samping dapat juga irreversible : tardive dyskinesia (gerakan
berulang involunter pada : lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak,
dimana diwaktu tidur gejala tersebut menghilang.
Biasanya terjadi pada jangka panjang dan pada pasien usia lanjut. Bila
terjadi gejala tersebut, obat antipsikosis perlahan-lahan dihentikan. Obat
pengganti antipsikosis yang paling baik adalah Clozapine 500-100 mg/h.
Pada penggunaan obat antipsikosis jangka panjang, secara periodik harus
dilakukan pemeriksaan laboratorium seperti darah rutin, urin lengkap,
fungsi hati, fungsi ginjal, untuk mendeteksi dini perubahan akibat efek
samping obat. Obat antipsikosis hampir tidak pernah menimbulkan
kematian sebagai akibat overdosis atau untuk bunuh diri.5
Pemilihan Obat
Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis
ekivalen. Misalnya: Chlorpomazine dan Thioridazine yang efek sedative kuat
terutama digunakan terhadap sindrom psikosis dengan gejala dominan : gaduh,
gelisah, hiperaktif, sulit tidur, kekacauan pikiran, perasaan, perilaku, dan lain-
lain. Sedangkan Trifuloperazine, Fluphenazine, dan Haloperidol yang efek
samping sedative lemah digunakan terhadap sindrom psikosis dengan gejala
dominan: Apatis, menarik diri, perasaan tumpul, kehilangan minat dan inisiatif,
hipoaktif, waham, halusinasi, dan lain-lain . Untuk pasien yang timbul
“Tardive Dyskinesia” obat anti psikosis yang tanpa efek samping
ekstrapiramidal adalah Clozapine.5
Apabila obat anti psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis
yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan
obat anti psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis
ekivalennya dimana profil efek samping belum tentu sama. Apabila gejala
negative (afek tumpul, penarika diri, hipobulia, isi pikiran miskin) lebih
menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tak
terkendali) pada pasien skizofrenia, pilihan obat anti psikosis atipikal perlu
dipertimbangkan, khususnya pada penderita skizofrenia yang tidak dapat
mentolerir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai risiko medic dengan
adanya gejala ekstrapiramidal (Neuroleptic Induced Medical Complication).5
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan :
 Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
 Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.
 Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).
 Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan setiap 2-3
hari sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran Sindrom
Psikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan “dosis
optimal” dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi) diturunkan
setiap 2 minggu “dosis maintenance” dipertahankan 6 bulan sampai 2
tahun (diselingi “drug holiday” 1-2 hari/minggu) tapering off (dosis
diturunkan tiap 2-4 minggu) stop.
Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi episode”, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama 5 tahun.
Pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 – 5
kali. Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai beberapa
hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga tidak
langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya satu
bulan kemudian baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali. Hal tersebut
disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit
masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.5
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan selama 3
bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama sekali. Untuk
“Psikosis Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap setelah hilangnya
gejala dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan. Obat anti psikosis tidak
menimbulkan gejala lepas obat yang hebat walaupun diberikan dalam jangka
waktu lama, sehingga potensi ketergantungan obat kecil sekali. Pada
penghentian yang mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic Rebound” :
gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan lain-lain.
Keadaan ini akan mereda dengan pemberian “anticholinergic agent” (injeksi
Sulfas Atropin 0,25 mg (im), tablet Trihexyphenidyl 3x 2 mg/jam). Oleh
karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis + antiparkinson, bila
sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis dihentikan lebih dahulu,
kemudian baru menyusul obat antiparkinson.5
Penatalaksanaan Efek Samping 5
 Penggunaan Chlorpromazine injeksi (im) : sering menimbulkan
Hipotensi Ortostatik pada waktu perubahan posisi tubuh (efek alfa
adrenergic blockade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi Nor-
adrenaline (Nor-epinephrine) sebagai “alfa adrenergic stimulator”.
Dalam keadaan ini tidak diberikan Adrenaline oleh karena bersifat
“alfa dan beta adrenergic stimulator” sehingga efek beta-adrenergic
tetap ada dan dapat terjadi syok. Hipotensi ortostatik seringkali dapat
dicegah dengan tidak langsung bangun setelah mendapat suntikan dan
dibiarkan tiduran selama sekitar 5-10 menit.

 Obat anti-psikosis yang kuat (Haloperidol) sering menimbulkan gejala


Ekstrapiramidal/Sindrom Parkinson. Tindakan mengatasinya dengan
tablet Trihexyphenidyl (Artane) 3-4x 2 mg/hari, Sulfas Atropin 0,50-
0,75 mg (im). Apabila Sindrom Parkinson sudah terkendali diusahakan
penurunan dosis secara bertahap, untuk menentukan apakah masih
dibutuhkan penggunaan obat antiparkinson. Secara umum dianjurkan
penggunaan obat antiparkinson tidak lebih lama dari 3 bulan (risiko
timbul “atropine toxic syndrome”). Tidak dianjurkan pemberian
“antiparkinson profilaksis”, oleh karena dapat mempengaruhi
penyerapan/absorpsi obat anti-psikosis sehingga kadarnya dalam
plasma rendah, dan daapt menghalangi manifestasi gejala
psikopatologis yang dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat anti-
psikosis agar tercapai dosis efektif.
 “Rapid Neuroleptizattion” : Haloperidol 5 – 10 mg (im) dapat diulangi
setiap 2 jam, dosis maksimum adalah 100 mg dalam 24 jam. Biasanya
dalam 6 jam sudah dapat mengatasi gejala-gejala akut dari Sindrom
Psikosis (agitasi, hiperaktivitas psikomotorm impulsif, menyerang,
gaduh-gelisah, perilaku destruktif dll). 4
Kontraindikasi :5
 Penyakit hati (hepato-toksik)

 Penyakit darah (hemato-toksik)

 Epilepsi (menurunkan ambang kejang)

 Kelainan jantung (menghambat irama jantung)

 Febris yang tinggi (thermoregulator di SSP)

 Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat)

 Penyakit SSP (parkinson, tumor otak dll)

 Gangguan kesadaran disebabkan “CNS-depressant” (kesadaran makin


memburuk)
Pemakaian khusus 5
 Thioridazine dosis kecil sering digunakan untuk pasien anak dengan
hiperaktif, emosional labil dan perilaku destruktif. Juga sering digunakan
pada pasien usia lanjut dengan gangguan emosional (anxietas, depresi,
agitasi) dengan dosis 20-200 mg/hari.
Hal ini disebabkan Thioridazine lebih cenderung ke blokade reseptor
dopamin di sistem limbik daripada di sitem ekstrapiramidal pada SSP.
 Haloperidol dosis kecil untuk “Giles de la Tourette Syndrome” sangat
efektif. Gangguan ini biasanya timbul mulai antara umur 2 sampai 15 tahun.
Terdapat gerakan-gerakan involunter, berulang, cepat dan tanpa tujuan,
yang banyak melibatkan kelompok otot (tics). Disertai tics vokal yang
multipel (misalnya suara “klik”, dengusan, batuk, menggeram, menyalak,
atau kata-kata/kata kotor/koprolalia). Pasien mampu menahan tics secara
volunter selama beberapa menit sampai beberapa jam.
Sindrom neuroleptik maligna (SNM)
Merupakan kondisi yang mengancam kehidupan akibat reaksi idiosinkrasi
terhadap obat antipsikosis
Diagnosa SNM :
 Suhu tubuh lebih dari 38o C
 Terdapat sindrom ekstrapiramidal berat
 Terdapat gejala disfungsi otonomik
 Perubahan status mental
 Perubahan tingkat kesadaran
 Gejala tersebut timbul dan berkembang dengan cepat
Pengobatan :
 Hentikan segera obat anti-psikosis
 Perawatan suportif
 Obat dopamine agonist
Pada pasien usia lanjut atau dengan Sindrom Psikosis Organik, obat anti-psikosis
diberikan dalam dosis kecil dan minimal efek samping otonomik (hipotensi
ortostatik) dan sedasi nya yaitu Haloperidol, Trifluoperazine, Fluphenazine atau
anti-psikosis atipikal.
Penggunaan pada wanita hamil, berisiko tinggi anak yang dilahirkan menderita
gangguan saraf ekstrapiramidal.5
Kehamilan dan Laktasi
Beberapa data menyatakan bahwa pemakain antipsikotik selama kehamilan
dapat menyebabkan penurunan reseptor dopamin pada neonatus, peningkatan
kolesterol, dan kemungkinan gangguan perilaku. Namun demikian, pemakain
antipsikotik pada trimester kedua dan ketiga kemungkinan relatif aman.
Walaupun data pada hewan menyatakan bahwa risperidone dan remoxipride
adalah relatif aman untuk wanita hamil, tidak ada data klinis yang mendukung
data ilmiah dasar tersebut. Haloperidol dan phenotiazine disekeresikan dalam air
susu. Apakah loxapine, dan pimozide disekresikan dalam air susu dalah tidak
diketahui, walaupun kemungkinannya demikian. Wanita yang menggunakan
antipsikotik tidak boleh menyusui bayinya, karena data yang tersedia tidak
membuktikan bahwa praktek tersebut adalah aman.6
Jika percobaan yang adekuat dengan sekurang-kurangnya satu antagonis reseptor
dopamin semuanya tidak behasil, terapi kombinasi dengan salah satu dari obat
tersebut dan medikasi tambahan mungkin diindikasikan. Medikasi tambahan
dengan data yang paling mendukung adalah lithium, dua antikonvulsan
(carbamazepin dan valproate), dan benzodiazepine.
 Lithium
Mungkin efektif dalam menurunkan gejala psikotik lebih lanjut pada 50%
pasien dengan skizofrenia. Lithium merupakan obat yang patut untuk dicoba
pada pasien yang tidak mampu menggunakan medikasi antipsikotik.
 Antikonvulsan
Carbaamazepin dan valproate dapat digunakan sendiri-sendiri atau dalam
kombinasi dengan lithium atau suatu antipsikotik. Walaupun kedua
antikonvulsan tersebut tidak terbukti efektif dalam menurunkan gejala psikotik
padaa skizofrenia jika digunakan sendiri-sendiri, data manyatakan bahwa
antikonvulsan mungkin efektif dalam menurunkan episode kekerasan pada
beberapa pasien skizofrenia.
 Benzodiazepine
Data mendukung pemakaian bersama-sama alprazolam (xanax) dan
antipsikotik bagi pasien yang tidak berespon terhadap pemberian antipsikotik
saja. Terdapat juga laporan pasien skizofrenia yang berespon terhadap dosis
tinggi diazepam (Valuim) saja. Tetapi keparahan psikosis dapat dieksaserbasi
setelah putus dari benzodiazepin.2

B. Psikoterapi
Psikoterapi adalah suatu cara pengobatan terhadap masalah emosional seorang
pasien yang dilakukan oleh seorang yang terlatih dalam hubungan profesional secar
sukarela, dengan maksud hendak menghilangkan, mengubah atau menghambat
gejala-gejala yang ada, mengoreksi perilaku yang terganggu dan mengembangkan
pertumbuhan kepribadian secar positif. Psikoterapi dapat dibagi menjadi dua
kelompok besar yaitu :3
1. Psikoterapi suportif (atau supresif, atau non-spesifik)
Tujuan :
Menguatkan daya tahan mental yang ada
Mengembangkan mekanisme baru dan yang lebiah baik untuk mempertahankan
kontrol diri.
Mengembalikan keseimbangan adaptif (dapat menyesuaikan diri).
Cara-cara psikoterapi suportif yaitu :
 Ventilasi atau katarsis
 Persuasi
 Sugesti
 Bimbingan dan Penyuluhan
 Terapi kerja
 Hipno-terapi dan narkoterapi
 Psikoterapi kelompok
 Terapi perilaku
2.Psikoterapi wawasan (genetik-dinamik) dibagi menjadi :
a. Psikoterapi reedukatif, cara-caranya :
 Terapi hubungan antarmanusia
 Terapi sikap
 Terapi wawancara
 Konseling terapeutik
 Terapi kelompok yang reedukatif
 Terapi somatis
b. Psikoterapi rekonstruktif
Cara-cara psikoterapi rekonstruktif :
 Psikoanalisis Freud
 Psikoanalisis non-Freudian
 Psikoterapi yang berpotensi kepada psikoanalisis
1.Terapi perilaku
Rencana pengobatan untuk skizofrenia harus ditujukan pada kemampuan dan
kekurangan pasien. Terapi perilaku menggunakan hadiah ekonomi dan latihan
keterampulan sosial untuk meningkatkan kemampuan sosial kemmpuan
memenuhi diri sendiri, latihan praktis, dan komunikasi interpersonal. Perilaku
adaptif adalah didorong dengan pujian atau hadiah yang dapat ditebus untuk
hal-hal yang diharapkan, seperti hak istimewa dan pas jalan di rumah sakit.
Dengan demikian, frekuensi perilaku maladaptif atau menyimpang seperti
berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat dan postur tubuh yang
aneh dapat diturunkan.
Latihan keterampilan perilaku seringkali dinamakan terapi keterampilan sosial,
terapi dapat secara langsung membantu dan berguna bagi pasien dan
merupakan tambahan alami terapi farmakologis. Di samping gejala personal
dari skizofrenia, beberapa gejala skizofrenia yang paling terlihat adalah
menyangkut hubungan pasien dengan orang lain, termasuk kontak mata yang
buruk, keterlambatan respon yang tidak lazim, ekspresi eajah yang aneh, tidak
adanya spontanitas dalam situasi sosial, dan persepsi yang tidak akurat atau
tidak adanya persepsi emosi terhadap orang lain. Latihan keterampiln perilaku
melibatkan penggunaan kaset video orang lain dan pasien, permainan simulasi
dalam terapi, dan pekerjaan rumah tetang keterampilan yang telah dilakukan.2
2.Terapi berorientasi keluarga
Karena pasien skizofrenia seringkali dipulangkan dalam keadaan remisi
parsial, keluarga dimana pasien skizofrenia kembali seringkali mendapatkan
manfaat dari terapi keluarga yang singkat tetapi intensif. Pusat dari terapi harus
pada situasi segera dan harus termasuk mengidentifikasi dan menghindari
situasi yang kemungkinan menimbulkan kesulitan. Jika masalah memang
timbul pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus pada pemecahan
masalah secara cepat. Didalam sesion keluarga dengan pasien skizofrenia, ahli
terapi harus mengendalikan intensitas emosional dari sesion. Sejumlah
penelitian telah menemukan bahwa terapi keluarga adalah efektif dalam
menurunkan relaps.2
3.Terapi kelompok
Terapi kelompok bagi skizofrenia biasanya memusatkan pada rencana, masalah
dan hubungan dalam kehidupan nyata. Kelompok mungkin terorientasi seacar
perilaku, terorientasi secara psikodinamika atau tilikan, atau suportif. Terapi
kelompok adalah efektif dalam menurunkan isolasi sosial, meningkatkan rasa
persatuan, dan meningkatkan tes realitas bagi pasien dengan skizofrenia.2
4.Psikoterapi individual
Penelitian yang paling baik tentang efek psikoterapi individual dalam
pengobatan skizofrenia telah memberikan data bahwa terapi adalah membantu
dan menambah efek terapi farmakologis. Jenis terapi yang ditelita adalah
psikoterapi suportif dan psikoterpi berorientasi tilikan. Suatu konsep penting
didalam psikoterapi bagi seorang skizofrenia adalah perkembangan suatu
hubungan terapeutik yang dialami pasien sebagai aman. Sekurangnya satu
penelitian menemukan bahwa pasien skizofrenia yang mampu membentuk
iktan terapeutik yang baik kemungkinan akan tetap mengikuti psikoterapi, tetap
patuh dengan medikasinya, dan mempunyai hasil akhir yang baik pada
pemeriksaan follow up dua tahun.2
C. Terapi elektro-konvulsi (ECT)
Seperti juga terapi konvulsi yang lain, cara kerja eletrokonvulsi belum diketahui
dengan jelas. Dapat dikatakan bahwa terapi konvulsi dapat memperpendek
serangan skizofrenia dan mempermudah kontak dengan penderita. Akan tetapi
terapi ini tidak dapat mencegah serangan yang akan datang. Bila dibandingkan
dengan terapi koma insulin, maka terapi elektrokonvulsi lebih sering terjadi
serangan ulang. Akan tetapi, terapi elektrokonvulsi lebih mudah diberikan, bahaya
lebih sedikit, lebih murah, dan tidak memerlukan tenaga yang khusus seperti pada
terapi koma insulin. Terapi elektrokovulsif menunjukkan hasil yang baik pada
skizofrenia katatonik, terutama stupor. Terhadap skizofrenia simplex dan
hebefrenik umumnya efeknya mengecewakan, bila gejala hanya ringan lalu diberi
terapi ini kadang-kadang gejala menjadi lebih berat. Pada permulaan (untuk
konvulsi yang pertma kali bagi seorang penderita) biasanya dipakai 100-150 volt
dan 0,2-0,3 detik dengan konvulsator jenis pertama dan 4 J dengan 2-3 detik
dengan konvulsator jenis kedua. Bila tidak terjadi konvulsi, langsung diulangi
dengan voltase yang sama, atau bila sudah terputus beberapa detik lamanya, dengan
voltase yang lebih tinggi. Kita dapat mengulanginya hingga 3 kali, bila tidak terjadi
konvulsi, sebaiknya terapi ditunda sampai esok harinya. Hanya konvulsi umum
yang dapat menimbulkan hasil pengobatan yang diinginkan. Nilai ambang konvulsi
berlainan pada penderita yang berbeda, lebih tinggi pada wanita dan pada usia
lanjut. Nilai ambang konvulsi juga menjadi lebih tinggi sesudah konvulsi pertama.3
D. Terapi koma insulin
Pertama kali dipakai oleh Manfred J.Sakel, insulin biasa disuntik intarmuskular,
mulai dengan 10-15 unit setiap hari, ditambah dengan 5-10 unit sehingga pasien
mendapatkan koma hipoglikemik. Pasien dibiarkan dalam keadaan koma selama 1-
2 jam, lalu dibangunkan dengan suntikan glukosa intravena atau dengan pemberian
air gula melalui pipa lambung. Diusahakan supaya tercapai 40-60x koma. Indikasi
utama adalah skizofrenia. Karena terapi ini mahal (biaya dan tenaga) dan lama serta
banyak kontraindiksai dan komplikasinya, maka sekarang jarang dipakai, diganti
dengan terapi eletrokonvulsif yang lebih sederhana, lebih kurang berbahaya, lebih
cepat dan murah.3
E. Perawatan di Rumah Sakit
Indiaksi utama untuk perawatan di rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,
menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau
membunuh, dan perilaku yang sangat kacau yang tidak sesuai, termasuk
ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian dan
tempat berlindung. Tujuan utama perawatan di rumah sakit yang harus ditegakkan
adalah ikatan efektif antara pasien dan sistem pendukung masyarakat. Perawatan di
rumah sakit menurunkan stres pada pasien dan membantu mereka menyusun
aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah sakit tergantung pada
keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan.
Penelitian telah menunjukkan bahwa perawatan singkat di rumah sakit (4-6
minggu) adalah sama efektifnya dengan perawatan jangka panjang di rumah sakit
dan bahwa rumah sakit dengan pendekatan perilaku yang aktif adalah lebih efektif
daripada instistusi yang biasanya dan komunitas terapetik berorientasi tilikan.2
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatn diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan
sosial. Perawatan di rumah sakit harus diarahkan untuk mengikat pasien dengan
fasilitas pascarawat, termasuk keluarganya, keluarga angkat. Pusat perawatan di
siang hari dan kunjungan rumah kadang-kadang dapat membantu pasien tetap di
luar rumah sakit untuk periode waktu yang lama dan dapat memperbaiki kualitas
kehidupan sehari-hari pasien.2
BAB III
KESIMPULAN

Psikofarmakologi skizofrenia terdiri dari antipsikotik tipikal dan antipsikosis


atipikal. Obat-obat yang termasuk antipsikotik tipikal adalah klorpromazin, thioridazin,
perfenazin, flufenazin, trifluoperazin, haloperidol, pimozide. Kebanyakan antipsikotik
golongan tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor dopamin 2, hal
inilah yang diperikirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat. Yang
termasuk kedalam golongan antipsikosis atipikal adalah clozapine, risperidon,
olanzapine, quetiapine, ziprasidone, dan aripiprazole. Golongan antipsikosis atipikal
diduga efektif untuk gejala positif (seperti halusinasi, bicara kacau, delusi), maupun
gejala negatif (afek datar, menarik diri dari lingkungan, inisiatif menurun).
Perbedaan antara antipsikosis tipikal dan antagonis atipikal adalah antipsikosis
atipikal menyebabkan gejala ekstrapiramidal jauh lebih kecil dibandingkan antipsikosis
tipikal. Antipsikosis atipikal dapat mengurangi gejala negatif dari skizofrenia dan tidak
memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian antipsikosis tipikal.
Penatalaksanaan skizofrenia lainnya meliputi psikoterapi, terapi elektro-
konvulsi. Psikoterapi terdiri dari terapi perilaku, terapi kelompok, terapi keluarga, serta
psikoterapi individual. Indikasi utama perawatan rumah sakit adalah untuk tujuan
diagnostik, menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau
membunuh, perilaku yang sangat kacau termasuk ketidakmampuan memenuhi
kebutuhan dasar. Perawatan di rumah sakit dapat menurunkan stres pada pasien dan
membantu mereka menyusun aktivitas harian mereka.
DAFTAR PUSTAKA

1. Tjay, Tan Hoan. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek


Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. 2007.

2. Kaplan HI, Sadock BJ. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis Jilid I Edisi Ketujuh. Jakarta : Binarupa Aksara. 1997.

3. Maramis W.F. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa Edisi Kedua. Airlangga University
Press. Surabaya. 2009

4. Gan Gunawan, Sulistia. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Bagian


Farmakologi Fakultas Kedokteran UI. 2007

5. Maslim Rusdi. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik (psychotropic


Medication) Edisi Ketiga. Jakarta : Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma
Jaya.2001 : 14-15.

6. Kaplan HI, Sadock BJ. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis Jilid II Edisi Ketujuh. Jakarta : Binarupa Aksara. 1997 : 548-591

Anda mungkin juga menyukai