Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM GEOTEKNIK PERTAMBANGAN

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Praktikum Geoteknik


Pertambangan Pada Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

Disusun Oleh :

Nama : Mutiara Nur Alifia

NIM : 11180980000017

Kelompok : 4 (empat)

Nama Asisten Dosen :

1. Adi Suhardi 11170980000040

2. Algifar Fadil Putra Darma 11170980000008

3. Aulia Rahmawati 11170980000015

4. Muhammad Iqbal Asada 11170980000006

5. Rendy Adrista Farrand S.T

6. Rizqi Yudistira Wahyu 11170980000036

Program Studi Teknik Pertambangan

Fakultas Sains dan Teknologi

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2021
BAB VI

Metode Elemen Hingga (Finite Element Method)

5.1 Hari/ Tanggal Praktikum

 Hari : Kamis
 Tanggal : 16 April 2021

5.2 Tujuan Praktikum

Praktikan mampu melakukan pemodelan dan perhitungan dengan


menggunakan paket program yang berdasarkan metode elemen hingga,
melalui proses:

1. Pembuatan model statika


2. Penentuan kondisi batas dan pembebanan
3. Pemodelan material (zonasi dan pengisian parameter material)
4. Penentuan kondisi tegangan awal
5. Perhitungan dan running (material elastis dan plastis)

5.3 Abstrak

Praktikan mampu menganalisis tingkat kestabilan timbunan dengan


metode pembobotan WSRHC dengan mempertimbangkan aspek geologi
teknik dan konstruksi timbunan. Pembobotan WSRHC terbagi menjadi dua
indeks, yaitu Engineering Geology Index (EGI) dan Design and Performance
Index (DPI). Penentuan faktor-faktor dilakukan berdasarkan rincian pada
WSRHC meliputi 22 faktor, kemudian dapat diketahui pengaruhnya terhadap
kestabilan timbunan. Hasil pembobotan problem A yang dilakukan
menghasilkan bobot total sebesar 48.5 termasuk dalam kategori III (Bahaya
Sedang) dengan bobot Engineering Geology Index sebesar 16 dan Design and
Performance Index sebesar 32.5. Hasil pembobotan problem B yang
dilakukan menghasilkan bobot total sebesar 47.6 termasuk dalam kategori III
(Bahaya Sedang) dengan bobot Engineering Geology Index sebesar 14.1 dan
Design and Performance Index sebesar 33.5. Digunakan tabel level of effort
untuk menentukan langkah mitigasi timbunan berdasarkan kategori WHC
yang terdiri dari tiga bagian, yaitu investigasi dan karakterisasi, analisis dan
desain, kontruksi dan operasi

5.4 Dasar Teori

Dalam mengevaluasi kestabilan timbunan, dilakukan pendekatan dengan


metode pembobotan. Dengan menggunakan klasifikasi pembobotan yang
mempertimbangkan aspek geologi teknik dan konstruksi timbunan, maka
akan dapat memperkirakan kestabilan timbunan dengan akurat melalui
banyak factor-faktor yang mempengaruhi kestabilan (Hawley, 2017)

Metode pembobotan Waste Dump and Stockpile Stability Rating and


Hazard Classification System (WSRHC) digunakan untuk menilai tingkat
kestabilan timbunan. Pembobotan WSRHC terbagi menjadi dua indeks, yaitu
Engineering Geology Index (EGI) dan Design and Performance Index (DPI).
Penentuan faktor-faktor dilakukan berdasarkan rincian pada WSRHC
meliputi 22 faktor, kemudian dapat diketahui pengaruhnya terhadap
kestabilan timbunan. Dilakukan pengumpulan data geologi, data
laboratorium, data lapangan, dan data penunjang lainnya sebagai dasar dalam
melakukan pembobotan. Hasil dari pembobotan WSRHC akan menghasilkan
nilai Waste Dump and Stockpile Stability Rating (WSR) yang kemudian
dikonversi menjadi kelas risiko Waste Dump and Stockpile Hazard Class
(WHC) pada penilaian kestabilan timbunan. Sebagai catatan apabila faktor
potensi likuefaksi pondasi atau potensi likuefaksi material masuk pada kelas
sangat tinggi, atau faktor performa masuk pada kelas sangat buruk, maka
timbunan secara otomatis masuk dalam kategori WHC V (risiko sangat
tinggi), berapapun nilainya (Hawley, 2017)
Gambar 5.1 Bagian-bagian dalam klasifikasi WSRHC (Hawley, 2017)

Dalam pembobotan WSRHC, 22 faktor tersebut dikelompokkan menjadi 3


kelompok EGI dan 4 kelompok DPI; diantaranya kondisi regional,kondisi
pondasi, kualitas material timbunan, massa dan geomteri timbunan, analisis
kestabilan leeng timbunan, konstruksi timbunan, dan performa
timbunan(Hawley, 2017)

Kondisi regional dibagi menjadi faktor seismisitas dan curah hujan.


Daerah penelitian yang dekat dengan sumber gempa dan batas lempeng,
menjadikan nilai PGA penting untuk dianalisis. Faktor kegempaan dengan
periode ulang 500 tahun atau probabilitas 10% dalam 50 tahun dipilih sebagai
dasar dalam analisis faktor kegempaan (Badan Geologi, 2019). Faktor
kegempaan memiliki peringkat maksimum 2 poin, atau 2% dari WSR
maksimum yang mungkin. Bobot individu yang relatif rendah ini
mencerminkan dampak terbatas yang diduga akibat kegempaan terhadap
tempat pembuangan limbah dan stabilitas timbunan. Akan tetapi, perlu dicatat
bahwa potensi dampak gempa bumi juga secara tidak langsung dimasukkan
dalam penilaian potensi likuifaksi di bawah kelompok Kondisi Fondasi dan
Kualitas Bahan, dan secara langsung dalam penilaian faktor stabilitas dinamis
secara keseluruhan di bawah kelompok Analisis Stabilitas. Jika semua faktor
ini dipertimbangkan secara kolektif, dan bergantung pada keadaan spesifik
lokasi, kegempaan tinggi dapat berdampak negatif secara signifikan pada
WSR (Hawley,2017)

Tabel 5.1 Pembobotan faktor seismisitas

Nilai pembobotan curah hujan disesuaikan dengan tabel berikut. Dapat


dikatakan bahwa semakin tinggi curah hujan akan berpengaruh terhadap
kestabilan timbunan (Hawley, 2017)

Tabel 5.2 Pembobotan faktor curah hujan

Kondisi pondasi terbagi menjadi 8 faktor. (1) kemiringan pondasi,


berdasarkan pembobotan WSRHC terbagi menjadi 5 kategori keamanan
pondasi. Timbunan yang dibangun pada pondasi berlereng curam berpotensi
mengalami ketidakstabilan dibandingkan pada kawasan landai atau datar
(Hawley, 2017)

Tabel 5.3 Pembobotan faktor kemiringan pondasi

(2) bentuk pondasi. Hasil pemodelan menggunakan software


memperlihatkkan dominasi bentuk pondasi timbunan. Lereng pada pondasi
timbunan juga didominasi oleh kemiringan landai. Bentuk pondasi cekung
akan membuat timbunan menjadi lebih stabil dibandingkan dengan bentukan
pondasi yang lain (Hawley, 2017).

Tabel 5.4 Pembobotan faktor bentuk timbunan

(3) tipe soil. Nilai pembobotan factor tipe soil disesuaikan dengan tabel
berikut. Kategori dibagi menjadi tipe I sampai tipe V berdasar kondisi
material soil

Tabel 5.5 Pembobotan faktor tipe soil

(4) Faktor ketebalan soil akan berpengaruh terhadap kestabilan material


timbunan di atasnya. Semakin tebal material soil maka akan menyebabkan
material timbunan tidak mendapat pondasi yang kuat. Pembobotan faktor
ketebalan soil dibagi menjadi 5 kategori pembobotan(Hawley, 2017).

Tabel 5.6 Pembobotan faktor ketebalan soil

(5) Faktor berikutnya adalah undrained failure potential. Potensi ini dapat
terjadi pada kondisi tekanan pori tinggi akibat penambahan beban oleh air
yang tidak dapat keluar dari pori-pori karena permeabilitas kecil. Material
tidak jenuh air, nilai permeabilitas sedang, dan ukuran butir material yang
halus berpengaruh terhadap potensi undrained failure(Hawley, 2017).

Tabel 5.7 Pembobotan faktor potensi undrained failure potential


(6) Faktor potensi likuefaksi pondasi. Pondasi suatu timbunan dapat berpotensi
mengalami likuefaksi pada keadaan tertentu seperti gradasi yang seragam,
ukuran butir kasar, angka pori tinggi, tekanan air pori berlebih, dan pengaruh
beban siklik akibat gempa bumi (Hawley, 2017).

Tabel 5.8 Pembobotan faktor potensi likuefaksi pondasi

(7) selanjutnya factor batuan dasar. Kompetensi batuan dasar didapat dari
kompleksitas struktur geologi yang tercermin dalam RMR (Rock Mass Rating)
dan tingkat pelapukan batuan dasar (Hawley, 2017). Kompetensi batuan dasar
didapat dari kompleksitas struktur geologi yang tercermin dalam RMR (Rock
Mass Rating) dan tingkat pelapukan batuan dasar (Hawley, 2017).
Pengkategorian bobot batuan dasar dari tipe A sampai tipe E

Tabel 5.9 Pembobotan faktor batuan dasar


(8) Faktor terakhir dari kondisi pondasi adalah Muka Air Tanah (MAT). Cara
pengukuran MAT dilakukan melalui uji sumur. Keadaan muka air tanah dapat
mencapai permukaan apabila dipicu oleh curah hujan yang tinggi ditambah
kondisi lapisan yang jenuh air. Kondisi MAT dikategorikan menjadi tinggi,
sedang, dan rendah.

Tabel 5.10 Pembobotan faktor MAT

Kondisi kualitas material timbunan dibagi menjadi empat factor


diantaranya factor gradasi ukuran butir, kekuatan batuan utuh, potensi
likuefaksi, dan factor kestabilan kimia. (1) factor gradasi ukuran butir. Hasil
pengujian distribusi ukuran butir dibuat menjadi beberapa sampel yang tersebar
pada kawasan timbunan berupa ukuran butir material tertentu, yang
dikategorikan menjadi ukuran butir sangat halus, seragam, dan sangat kasar.

Tabel 5.11 Pembobotan faktor gradasi ukuran butir

(2) Kedua ada kekuatan batuan utuh. Pengujian kuat tekan batuan dilakukan
dengan metode pengujian kualitatif estimasi di lapangan untuk mendapatkan
nilai Uniaxial Compressive Strength (UCS). Hasil pengujian menunjukkan
bentuk lekukan saat dicungkil menggunakan kuku. Pengkategorian kekuatan
bataun utuh menjadi tipe 1 sampai tipe 5

Tabel 5.12 Pembobotan faktor kekuatan batuan utuh


(3) Penentuan faktor potensi likuefaksi dilakukan dengan menggunakan
distribusi ukuran butir, dan atterberg limit. Potensi likuefaksi material
dikategorikan menjadi sangat tinggi, tinggi, sedang, rendah, dan tidak berarti

Tabel 5.13 Pembobotan faktor potensi likuefaksi

(4) Faktor berikutnya yaitu faktor kestabilan kimia. Kondisi kestabilan kimia
kawasan timbunan dapat dilihat dari perubahan warna air akibat proses kimia.
Reaksi kimia dapat menurunkan permeabilitas dan menaikkan derajat
kejenuhan (Hawley, 2017).

Tabel 5.14 Pembobotan faktor kestabilan kimia

Kondisi massa dan geomteri timbunan dibagi menjadi 3 faktor diantaranya


tebal timbunan, volume dan massa timbunan, dan kemiringan lereng timbunan.
(1) tebal timbunan. Semakin tebal dan tinggi material timbunan, maka tingkat
kestabilan akan semakin menurun (Hawley, 2017).

Tabel 5.15 Pembobotan faktor tebal timbunan


(2) Faktor selanjutnya yaitu volume dan massa timbunan. Perhitungan volume
material timbunan dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
MineScape Jumlah massa timbunan didapat dengan mengkalikan volume
timbunan dengan density material timbunan.

Tabel 5.16 Pembobotan faktor volume dan massa batuan

(3) Faktor kemiringan lereng timbunan didapat dari hasil perhitungan nilai
sudut lereng keseluruhan (overall slope angle) dari puncak timbunan (crest)
hingga kaki timbunan (toe). Semakin tinggi nilai sudut lereng keseluruhan
(overall slope angle) maka akan berpotensi menurunkan kestabilan timbunan
(Hawley, 2017)

Tabel 5.17 Pembobotan faktor kemiringan lereng

Kondisi analisis kestabilan lereng diakibatkan menjadi dua gaya yaitu gaya
statis dan gaya ekonomis. Gaya statis diakibatkan pondasi lereng dan beban
alat sedangkan gaya dinamis diakibatkan gempa alami dan getaran akibat
peledakan. Hasil perhitungan FK diklasifikasikan berdasar Bowles (1989) dan
dilakukan pembobotan berdasar tabel di bawah ini

Tabel 5.18 Pembobotan faktor kestabilan statis


Tabel 5.19 Pembobotan faktor kestabilan dinamis

Kondisi konstruksi timbunan dipengaruhi oleh metode konstruksi dan


loading rate. Tahapan konstruksi yang dilakukan dari toe kemudian ke arah
crest akan lebih stabil dibandingkan tahapan yang dimulai dari crest menuju
toe (Hawley, 2017). Faktor metode konstruksi salah satunya dipengaruhi oleh
tinggi tingkat dan kemiringan lereng pondasi yang dikategorikan menjadi 5
faktor

Tabel 5.20 Pembobotan faktor metode konstruksi

(2) Selanjutnya loading rate. Timbunan yang dibentuk dengan loading rate
cepat akan menyebabkan angka tekanan pori menjadi tinggi, hal tersebut dapat
menurunkan tingkat kestabilan. Semakin lambat proses kontruksi maka akan
memberikan waktu yang cukup untuk material timbunan mengalami
konsolidasi (Hawley, 2017)

Tabel 5.21 Pembobotan faktor loading rate


Kondisi terakhir dipengaruhi oleh performa timbunan. Performa timbunan
dapat diamati dari tahapan konstruksi hingga kondisi aktual sekarang. Salah
satu parameter yang diamati yaitu keterdapatan failure.

Tabel 5.22 Pembobotan faktor performa timbunan

5.5 Langkah Kerja

5.5.1 Alat dan Bahan

 Modul praktikum
 Laptop beserta software Phase 2
 Mouse
 Alat tulis
 Literasi terkait modul 6

5.5.2 Diagram Alir Praktikum :


Mulai

Disiapkan alat-alat yang diperlukan

Dibaca dan dipahami dahulu langkah praktikum pada modul praktikum

Ditentukan data-data perhitungan

Dijalankan perangkat lunak Phase 2

Dibuat desain lereng menggunakan external boundary (Boundaries>add excavation)


sedangkan untuk material (Boundaries>add material)

Diatur project setting (Analysis>project setting)

Diatur Define material properties

Dilakukan meshing dengan cara mesh setup

Dilakukan displacement -> restrains

Dilakukan field stress

Dibuat boundaries -> add piezometric line (jika diperlukan)

Dibuat loading -> seismic loading (jika diperlukan)

Dibuat loading ->line load->add distributed load (jika diperlukan)

Dilakukan analysis -> compute ->interpret

Didapatkan nilai SRF

Selesai

5.6 Temuan dan Hasil Praktikum


5.6.1 Temuan (Data Pengamatan)

Suatu lereng tunggal dengan geometri seperti di bawah dibentuk oleh 3


lapisan (berurutan dari atas ke bawah) yaitu batu lempung, batu lanau, dan
batu pasir.

Geometri lereng :

- Tinggi lereng : 75 meter

- Kemiringan lereng : 45 °

Dengan karakteristik fisik dan mekanik material pembentuk lereng sebagai


berikut:
Tabel 6.1 Tabel Karakteristik Fisik dan Mekanik

No Karakteristik Batu Batu Batu


Lanau Pasir Lempung
1 Modulus Young (kPa) 15898 89898 3521
2 Nisbah Poisson 0,33 0,35 0,4
3 Kuat Tarik (kPa) 27,85 23,45 25,01
4 Kohesi (C, kPa) 19,58 23,45 26,28
5 Sudut geser dalam 20,03 18,98 28,02
6 Bobot isi kering (dry) (kN/m3) 12,22 11,02 10,35
7 Bobot isi basah (saturated) (kN/m3) 18,54 17,45 17,44
8 Ketingian Lapisan (m) 30 20 -

5.6.2 Hasil Praktikum

Tabel 6.2 Hasil Perhitungan Nilai SRF

No No soal Keterangan Nilai SRF


1 2 Lereng kering 0,468
2 3 Lereng jenuh total 0,198
3 4 Lereng jenuh total, pembebanan alat 0,186
4 5 Lereng jenuh total, pembebanan alat, faktor seismik unknown
5 6 Lereng jenuh total, faktor seismik 0,111

5.7 Bahasan Pertanyaan pada Modul


1. Apa kelebihan metode elemen hingga dibanding metode kesetimbangan
batas!

jawab

2. Jelaskan apa itu deformasi lereng!

jawab

5.8 Pembahasan

Kondisi regional terbagi menjadi faktor seismisitas dan curah hujan.


Faktor kegempaan dengan periode ulang 500 tahun atau probabilitas 10%
dalam 50 tahun dipilih sebagai dasar dalam analisis faktor kegempaan
(Badan Geologi, 2019). Pada problem A didapat bobot faktor kegempaan
maksimum 2 poin karna seismicitynya sebesar 0.03 g termasuk kegempaan
sangat rendah (< 0.1 g), problem B didapat bobot faktor kegempaan
peringkat 1.5 poin karna seismicitynya sebesar 0.15 g termasuk
kegempaan rendah (0.1-0.2 g). Faktor kegempaan memiliki peringkat
maksimum 2 poin, atau 2% dari WSR maksimum yang mungkin. Bobot
individu yang relatif rendah ini mencerminkan dampak terbatas yang
diduga akibat kegempaan terhadap tempat pembuangan limbah dan
stabilitas timbunan. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa potensi dampak
gempa bumi juga secara tidak langsung dimasukkan dalam penilaian
potensi likuifaksi di bawah kelompok Kondisi Fondasi dan Kualitas
Bahan, dan secara langsung dalam penilaian faktor stabilitas dinamis
secara keseluruhan di bawah kelompok Analisis Stabilitas. Jika semua
faktor ini dipertimbangkan secara kolektif, dan bergantung pada keadaan
spesifik lokasi, kegempaan tinggi dapat berdampak negatif secara
signifikan pada WSR. Pada problem A faktor curah hujan didapat
peringkat 4 poin karna rata-rata curah hujan sebesar 500 mm (rainfall)
termasuk curah hujan moderat (350-1000 mm), dan pada problem B faktor
curah hujan didapat peringkat 8 poin karna rata-rata curah hujan
salju/snowfall sebesar 25 mm atau 2.5 cm (snowfall) termasuk curah hujan
salju sangat rendah ( < 10 cm). Lokasi yang mengalami variasi musim
yang kuat (musim hujan / monsun) dengan periode curah hujan yang
tinggi, atau peristiwa hujan di atas salju selama periode segar yang
mengakibatkan pencairan salju yang cepat dan limpasan seketika yang
tinggi, kemungkinan besar lebih rentan terhadap ketidakstabilan terkait
presipitasi yang mereka yang menerima curah hujan tahunan yang sama
didistribusikan secara merata sepanjang tahun. Faktor Presipitasi memiliki
nilai maksimum 8 poin, atau 8% dari WSR maksimum yang
dimungkinkan. Bobot faktor individu yang relatif tinggi ini mencerminkan
potensi dampak signifikan yang diharapkan dari curah hujan terhadap
tempat pembuangan limbah dan stabilitas timbunan. Selain itu, tingkat
curah hujan yang tinggi cenderung menghasilkan permukaan air tanah
alami yang lebih tinggi yang secara tidak langsung dapat mempengaruhi
faktor Potensi Air Tanah dan Pencairan dalam kelompok Kondisi Fondasi,
dan Potensi Pencairan Material dalam kelompok Kualitas Bahan
Grup kondisi pondasi terbagi menjadi delapan factor. Faktor pertama
yaitu kemiringan pondasi. Nilai kemiringan pondasi didapat dari empat
sayatan yang digunakan untuk mewakili kemiringan lereng pondasi
timbunan pada tiap bagian. Hasil perhitungan kemiringan lereng pada
empat sayatan menunjukkan nilai yang beragam, oleh karena itu
digunakan nilai rata-rata untuk dimasukkan ke dalam pembobotan faktor
kemiringan pondasi. Pada problem A didapat peringkat 4 poin karna
kemiringan lerengnya sebesar 10° termasuk dalam lereng landai (5-15
derajat), pada problem B pun sama didapat peringkat 4 poin karna
kemiringan lerengnya 8° termasuk dalam lereng landai (5-15 derajat).
Timbunan yang dibangun pada pondasi berlereng curam berpotensi
mengalami ketidakstabilan dibandingkan pada kawasan landai atau datar.
Faktor selanjutnya bentuk pondasi. Pada problem A bentuk pondasinya
adalah Lereng planar tanpa kurungan lateral sehingga didapat peringkat
poin 1, pada problem B bentuk pondasinya adalah jari-jari cembung besar
lereng sehingga didapat peringkat poin 0.5. Peringkat Bentuk Bagian
ditentukan dengan perbandingan profil vertikal pondasi dengan tiga bentuk
ideal: cembung, planar, dan cekung, dan dengan mengacu pada kecuraman
lereng pondasi secara keseluruhan. Untuk lereng yang memiliki
kemiringan pondasi keseluruhan yang serupa, bentuk cekung di mana
kemiringan pondasi semakin rata dari puncak sampai ujung kaki umumnya
menghasilkan stabilitas jangka panjang yang lebih baik dibandingkan
dengan bentuk cembung (kemiringan pondasi semakin curam dari puncak
sampai ujung kaki). Dan Tempat pembuangan limbah dan timbunan
sampah yang dibangun di lembah atau parit sempit yang menyediakan
kurungan lateral alami cenderung berkinerja lebih baik daripada yang
didirikan di lereng atau lereng seragam dengan bentuk denah cembung
atau 'hidung' dengan sedikit atau tanpa sekat lateral. Faktor selanjutnya
yaitu tipe soil. Jenis timbunan pada problem A adalah Tanah yang sangat
organik dan sangat lemah, sangat sensitif dengan kekuatan geser atau daya
dukung yang sangat kecil sehingga peringkat pointnya 0, pada problem B
adalah Endapan aluvial berbutir sedang hingga kasar, seperti pasir dan
kerikil yang gembur hingga agak padat, endapan colluvial berbutir
campuran, tanah sisa berpasir (misalnya saprolit berpasir berlumpur), dan
tanah berbutir halus kaku. Jika Jenis Lapisan Penutup bervariasi di seluruh
tapak bangunan, nilai peringkat antara harus dipilih, diberi bobot
berdasarkan distribusi yang diharapkan dari jenis lapisan penutup yang
berbeda. Jika perancang menetapkan bahwa lapisan penutup permukaan
yang lemah harus dihilangkan sebelum pembuangan limbah atau
konstruksi timbunan penimbunan, maka peringkat Jenis Lapisan Penutup
harus didasarkan pada sisa lapisan penutup yang mendasari lapisan ini.
Faktor selanjutnya adalah ketebalan soil akan berpengaruh terhadap
kestabilan material timbunan di atasnya. Semakin tebal material soil maka
akan menyebabkan material timbunan tidak mendapat pondasi yang kuat.
Pada problem A tebal material soil nya adalah 2.5 m sehingga didapat
peringkat poin 1, pada problem B tebal material soil nya adalah 4.5 m
sehingga didapat peringkat poin 0.5. Faktor berikutnya adalah undrained
failure potential. Material tidak jenuh air, nilai permeabilitas sedang, dan
ukuran butir material yang halus berpengaruh terhadap potensi undrained
failure. Potensi ini dapat terjadi jika tanah pondasi yang lemah dibebani
terlalu cepat. Pemuatan cepat tanah berbutir halus jenuh (atau hampir
jenuh) dengan konduktivitas hidraulik rendah dapat meningkatkan tekanan
pori di dalamnya tanah lebih cepat daripada yang dapat dihamburkan
dengan proses konsolidasi normal. Jenis kegagalan ini dapat terjadi dengan
cepat setelah kekuatan tanah yang tidak terkuras terlampaui, dan
perpindahan bisa sangat besar. Pada problem A undrained failure
potential dengan peringkat poin -5 yang artinya Tanah tipe III atau IV
jenuh, biasanya terkonsolidasi, bercampur atau berbutir halus dengan
konduktivitas hidrolik rendah sampai sedang dan potensi sedang untuk
menghasilkan tekanan pori berlebih ketika dibebani dengan cepat; potensi
yang tidak diketahui untuk kegagalan yang tidak terlatih, pada problem B
dengan peringkat point 0 yang artinya Tanah dengan butiran campuran
tipe III, IV atau V yang sangat terkonsolidasi berlebihan atau batuan dasar
yang kompeten atau tanah tipe III atau IV granular dengan konduktivitas
hidrolik tinggi, kekuatan tinggi dan potensi yang dapat diabaikan untuk
menghasilkan tekanan pori berlebih ketika dibebani dengan cepat. Faktor
potensi likuefaksi pondasi diperhitungkan dengan menggunakan Peta Zona
Kerentanan Likuefaksi, distribusi ukuran butir, dan atterberg limit.
Material tidak jenuh air, nilai permeabilitas sedang, dan ukuran butir
material yang halus berpengaruh terhadap potensi undrained failure.
Material lapisan penutup yang paling rentan terhadap likuifaksi memiliki
beberapa atribut umum. Mereka biasanya terdiri dari bahan bergradasi
sangat seragam dengan partikel bulat. Mereka juga biasanya sangat
longgar, memiliki rasio kekosongan yang tinggi, jenuh, dan memiliki
kandungan tanah liat yang rendah. Endapan dari endapan lumpur dan pasir
halus yang bergradasi seragam, gembur, jenuh (misalnya beberapa jenis
endapan tailing) seringkali sangat rentan terhadap likuifaksi, tetapi
endapan pasir atau kerikil yang lebih kasar, dan bahkan bahan berukuran
seperti batu karang, mungkin juga rentan dalam kondisi tertentu.
Sebaliknya, bahan yang padat, bergradasi baik, tidak jenuh dan
mengandung sejumlah besar partikel lempung dan sudut memiliki
kerentanan yang rendah terhadap likuifaksi. Karena sebagian besar
endapan lapisan penutup tempat pembuangan dan timbunan limbah
ditemukan tidak rentan terhadap likuifaksi, nilai peringkat default untuk
potensi likuifaksi yang dapat diabaikan dalam sistem WSRHC ditetapkan
pada nol. Di sisi lain, di mana potensi likuifaksi sangat tinggi, nilai
peringkat -20 ditetapkan untuk memastikan bahwa kondisi tersebut
ditandai dengan tepat. Pada problem A potensi likuefaksi pondasinya
rendah dengan peringkat poin sebesar -2.5 yang artinya Potensi likuifaksi
rendah tetapi tidak dapat sepenuhnya diabaikan, pada problem B potensi
likefaksi pondasinya moderat dengan peringkat poin sebesar -5 yang
artinya Potensi likuifaksi sedang (atau tidak diketahui). Faktor selanjutnya
yaitu batuan dasar. Kompetensi batuan dasar didapat dari kompleksitas
struktur geologi yang tercermin dalam RMR (Rock Mass Rating) dan
tingkat pelapukan batuan dasar. Kompetensi batuan dasar yang mendasari
pondasi juga dapat mempengaruhi atau mengontrol stabilitas, terutama
dalam kasus pembuangan limbah yang sangat tinggi yang didasarkan pada
pondasi batuan dasar yang lemah. Potensi terjadinya diskontinuitas
struktural yang berorientasi negatif (misalnya sesar, kontak, alas,
sambungan) pada pondasi batuan dasar juga perlu dipertimbangkan. Pada
problem A jenis batuan dasar adalah type B dengan peringkat poin sebesar
1 yang artinya Kompetensi; Batuan sedimen berbutir halus; batuan yang
agak lapuk atau diubah; retak sedang hingga parah; GSI / RMR 20–40; Q
1–4; Struktur; Sambungan kontinu yang berorientasi negatif; potensi
kegagalan pondasi pada anisotropi kain yang berkembang dengan baik.
Pada problem B jenis batuan dasar adalah type A dengan peringkat poin
sebesar 0 yang artinya Kompetensi; Batuan yang sangat lemah dan / atau
sangat liat diubah, dicukur atau sangat retak; lapisan batu bara yang sangat
berkarbonasi; filit; flysch; GSI / RMR <20; Q <1; Struktur; Sesar yang
berorientasi merugikan atau zona geser; potensi kegagalan pondasi yang
dikendalikan secara structural. Faktor terakhir yaitu muka air tanah.
Tingkat air tanah yang tinggi dan tekanan pori pada pondasi dapat
mempengaruhi stabilitas statis struktur dan juga dapat menciptakan
kondisi (misalnya kejenuhan) yang dapat meningkatkan potensi kegagalan
likuifaksi. Pada problem A muka air tanahnya adalah type high dengan
peringkat poin sebesar 0 yang artinya Tabel air tanah di permukaan
dicirikan oleh (1) Tabel air tanah alami berada di atau dekat permukaan,
atau diperkirakan naik ke atau di atas permukaan tanah asli selama atau
setelah pembangunan tempat pembuangan atau timbunan limbah., (2)
Dasar atau kaki tempat pembuangan sampah atau timbunan sampah
terletak di daerah pembuangan atau rembesan, atau melanggar batas waktu
atau lahan basah musiman atau sepanjang tahun, danau atau sungai (3)
Ada kemiringan ke atas yang kuat di dasar atau kaki tempat pembuangan
sampah atau timbunan sampah (4) Ada potensi timbulnya tekanan pori
yang tinggi pada pondasi akibat pembuangan limbah atau pemuatan
timbunan stok. Pada problem B muka air tanahnya adalah type low dengan
peringkat poin sebesar 3 yang artinya Tabel air tanah sangat dalam;
potensi yang dapat diabaikan untuk tekanan pori yang merugikan pada
pondasi.
Grup kualitas material terbagi menjadi beberapa factor. Faktor pertama
yaitu faktor gradasi ukuran butir. Material yang bergradasi baik dengan
persentase partikel kasar, bersudut tinggi, dan komponen halus rendah
cenderung memiliki kekuatan geser lebih tinggi daripada material berbutir
halus dan bergradasi buruk. Pada problem A dan B gradasi ukuran
butirnya sama yaitu Moderately plastic fines dengan peringkat poin
sebesar 2 artinya Bahan berbutir halus dengan uji batas cair (LL) tinggi
(lebih tinggi dari 50) dan uji batas plastis (PL) tinggi (lebih tinggi dari 20)
biasanya memiliki kandungan lempung plastik yang tinggi dan kekuatan
yang lebih rendah. Faktor berikutnya yaitu kekuatan tahan batuan utuh.
Kekuatan batuan utuh berpengaruh terhadap kuat geser pada material
timbunan. Kekuatan geser dari timbunan limbah atau material timbunan
juga dipengaruhi oleh kekuatan utuh dan daya tahan masing-masing
partikel, terutama pada timbunan yang tinggi di mana tekanan antar
partikel dapat melebihi kekuatan utuh material dan mengakibatkan
penghancuran. Pada problem A kekuatan dan daya tahan batuan utuhnya
adalah type 4 dengan peringkat poin sebesar 6 yang artinya Batuan kuat
sampai sangat kuat, R4 (UCS 50–100 Mpa); batuan yang sangat tahan
lama dengan kerentanan rendah terhadap degradasi beku-cair, sebagian
besar batuan dasar tipe D. Pada problem B kekuatan dan daya tahan batuan
utuhnya adalah type 6 dengan peringkat poin sebesar 8 yang artinya
Sangat kuat sampai sangat kuat batuan R5–6 (UCS> 100 Mpa); Bahan-
bahan ini tidak akan rentan terhadap degradasi beku-cair, kerusakan
mekanis selama penempatan, atau hancur di bawah pembebanan statis
yang diantisipasi, sebagian besar batuan dasar Tipe E. Selanjutnya faktor
potensi likuefaksi. Bahan yang paling rentan terhadap likuifaksi biasanya
terdiri dari bahan yang sangat longgar, jenuh, dan bergradasi seragam
dengan kandungan lempung rendah dan partikel bulat. Pada problem A
potensi likefaksinya adalah type low dengan peringkat poin sebesar -2.5
yang artinya Potensi likuifaksi rendah tetapi tidak dapat sepenuhnya
diabaikan. Pada problem B potensi likuefaksinya adalah type high dengan
peringkat poin sebesar -10 yang artinya bertingkat seragam; longgar;
minimal plastik halus; terbuka, struktur yang didukung klastik; rasio
kekosongan tinggi; klas bulat; jenuh. Faktor berikutnya yaitu faktor
kestabilan kimia. Reaksi kimia dapat menurunkan permeabilitas dan
menaikkan derajat kejenuhan (Hawley, 2017)Kekuatan utuh dari material
timbunan juga dapat menurun seiring waktu sebagai akibat dari proses
kimiawi, seperti oksidasi mineral sulfida atau pelarutan sulfat. Pada
problem A kestabilan kimianya adalah type netral dengan peringkat poin 5
yang artinya Bahan yang sangat kimiawi stabil dengan kandungan mineral
reaktif yang dapat diabaikan. Endapan yang dapat diabaikan, atau endapan
menghasilkan sementasi dan meningkatkan kekuatan geser dari waktu ke
waktu tanpa mempengaruhi tekanan pori. Pada problem B kestabilan
kimianya adalah type Moderately Reactive dengan peringkat poin 0 yang
artinya Potensi sedang (atau tidak diketahui) untuk kerusakan kimiawi /
oksidasi / pembentukan ISPA.
Grup kualitas material terbagi menjadi beberapa factor. Pada grup
massa dan geometri timbunan, faktor pertama yaitu tinggi lereng. Pada
problem A tinggi lerengnya adalah 15 meter dengan peringkat poin
sebesar 4. Pada problem B tinggi lerengnya adalah 52 meter dengan
peringkat poin sebesar 3. Artinya semakin tinggi lereng maka semakin
rendah peringkat poin-nya. Faktor selanjutnya adalah faktor volume dan
massa. Pada problem A dan B, faktor volume dan massa-nya sama yaitu
type medium dengan peringkat poin sebesar 1. Faktor selanjutnya ada
kemiringan lereng. Faktor kemiringan lereng timbunan didapat dari hasil
perhitungan nilai sudut lereng keseluruhan (overall slope angle) dari
puncak timbunan (crest) hingga kaki timbunan (toe). Semakin tinggi nilai
sudut lereng keseluruhan (overall slope angle) maka akan berpotensi
menurunkan kestabilan timbunan (Hawley, 2017). Pada kasus A dan B
dihasilkan kemiringan lereng < 15 derajat maka tergolong kategori sangat
datar dengan nilai bobot 4. Faktor lain yaitu Kontruksi timbunan. Tahapan
konstruksi yang dilakukan dari toe kemudian ke arah crest akan lebih
stabil dibandingkan tahapan yang dimulai dari crest menuju toe (Hawley,
2017) tetapi bisa lebih mahal jika material harus diangkut menuruni bukit
dari puncak tambang. Urutan konstruksi dan laju pembangunan dapat
memiliki dampak yang sangat signifikan pada tempat timbunan dan
stabilitas dan kinerja timbunan. Pada problem A kontruksi timbunannya
adalah metode 4 dengan peringkat poin sebesar 6 yang artinya Konstruksi
menanjak atau dari bawah ke atas sekuens dengan beberapa lift dibangun
di atas medan sedang (kemiringan pondasi 15–25 °). Ketinggian angkat
dibatasi kurang dari 100 m. Jika topografi di luar pit crest datar, mungkin
terdapat perbedaan biaya yang kecil antara bottom-up dan top-down. Pada
problem B kontruksi timbunannya adalah metode 5 dengan peringkat poin
sebesar 8 yang artinya Urutan menurun atau menaik di medan yang landai
atau datar; ketinggian angkat <50 m; kemiringan pondasi keseluruhan <15
°
Grup performa timbunan. Performa timbunan dapat diamati dari
tahapan konstruksi hingga kondisi aktual sekarang. Salah satu parameter
yang diamati yaitu keterdapatan failure. Peringkat fakto kinerja
dimaksudkan untuk menangkap kinerja stabilitas aktual yang
terdokumentasi dari tempat pembuangan dan timbunan limbah yang ada.
Pada problem A dan B faktor kinerja yaitu type baik dengan peringkat
poin 7.5 artinya Stabil; deformasi kecil dan / atau pemukiman; penutupan
langka; kegagalan kecil yang jarang terjadi; dampak yang dapat diabaikan
pada operasi
Grup Analisis stabilitas terbagi menjadi 2 faktor. Faktor stabilitas statis
keseluruhan pada problem A dan B, FK statis dari masing-masing problem
menunjukan angka faktor Keamanan (FoS) problem A sebesar 4.2023
>1.5 dan problem B sebesar 5.169 >1.5 didapatkan peringkat poin sebesar
7. Faktor stabilitas dinamis keseluruhan pada problem A dan B, FK
dinamis dari masing-masing problem menunjukan angka faktor Keamanan
(FoS) problem A sebesar 4.152 >1.15 dan problem B sebesar 2.423 >1.15
didapatkan peringkat poin sebesar 3
Bobot Total WSRHC. Pembobotan Faktor Waste Dump and Stockpile
Stability Rating and Hazard Classification (WSRHC) problem A
dilakukan berdasarkan data-data yang telah dianalisis meliputi grup
Engineering Geology Index dan Design and Performance Index (DPI).
Hasil pembobotan yang dilakukan menghasilkan bobot total sebesar 48.5
termasuk dalam kategori III (Bahaya Sedang) dengan bobot Engineering
Geology Index sebesar 16 dan Design and Performance Index sebesar
32.5. Pembobotan Faktor Waste Dump and Stockpile Stability Rating and
Hazard Classification (WSRHC) problem B dilakukan berdasarkan data-
data yang telah dianalisis meliputi grup Engineering Geology Index dan
Design and Performance Index (DPI). Hasil pembobotan yang dilakukan
menghasilkan bobot total sebesar 47.6 termasuk dalam kategori III
(Bahaya Sedang) dengan bobot Engineering Geology Index sebesar 14.1
dan Design and Performance Index sebesar 33.5
Upaya investigasi dan desain yang lebih akurat perlu diterapkan pada
kawasan timbunan ini agar dapat meminimalisir risiko failure yang dapat
kembali terjadi sewaktu-waktu. Digunakan tabel level of effort untuk
menentukan langkah mitigasi timbunan berdasarkan kategori WHC yang
terdiri dari tiga bagian, yaitu investigasi dan karakterisasi, analisis dan
desain, kontruksi dan operasi. (1) Investigasi dan karakterisasi problem A
dan B; Studi desktop yang komprehensif untuk menetapkan peringkat
stabilitas awal dan klasifikasi bahaya; pengintaian situs terperinci untuk
mengonfirmasi asumsi dari studi desktop; pemetaan rinci dan investigasi
bawah permukaan mungkin termasuk uji lubang / penggalian parit dan
pengeboran dan pengambilan sampel terbatas; instrumentasi dan pengujian
in situ dan pengujian laboratorium untuk memverifikasi pondasi dan sifat
material pengisi; memulai pemantauan lingkungan dasar yang
komprehensif; pengeboran kutukan. (2) Analisis dan desain problem A
dan B; Analisis stabilitas yang komprehensif, termasuk pertimbangan
potensi runout; penilaian risiko kualitatif; desain cukup dibatasi oleh
stabilitas dan potensi dampak; optimasi desain dan studi mitigasi dampak;
desain dilakukan oleh spesialis geoteknik berpengalaman dengan ulasan
rekan sejawat (3) Konstruksi dan pengoperasian problem A dan B;
Persiapan lokasi sedang, mungkin termasuk pengalihan dan drainase yang
kurang; instrumentasi pondasi terbatas untuk memverifikasi kinerja;
langkah-langkah mitigasi runout / rollout, jika diperlukan; urutan
konstruksi yang cukup terbatas; kontrol kualitas dan penempatan pengisian
sesuai kebutuhan; pembatasan biaya pemuatan / uang muka; instrumentasi
standar dan pemantauan visual dengan TARP yang terdefinisi dengan
baik; inspeksi berkala (minimum tahunan) oleh spesialis geoteknik
berpengalaman
5.8 Kesimpulan dan Saran
5.8.1 Kesimpulan
Bobot Total WSRHC. Pembobotan Faktor Waste Dump and
Stockpile Stability Rating and Hazard Classification (WSRHC) problem A
dilakukan berdasarkan data-data yang telah dianalisis meliputi grup
Engineering Geology Index dan Design and Performance Index (DPI).
Hasil pembobotan yang dilakukan menghasilkan bobot total sebesar 48.5
termasuk dalam kategori III (Bahaya Sedang) dengan bobot Engineering
Geology Index sebesar 16 dan Design and Performance Index sebesar
32.5. Pembobotan Faktor Waste Dump and Stockpile Stability Rating and
Hazard Classification (WSRHC) problem B dilakukan berdasarkan data-
data yang telah dianalisis meliputi grup Engineering Geology Index dan
Design and Performance Index (DPI). Hasil pembobotan yang dilakukan
menghasilkan bobot total sebesar 47.6 termasuk dalam kategori III
(Bahaya Sedang) dengan bobot Engineering Geology Index sebesar 14.1
dan Design and Performance Index sebesar 33.5
Digunakan tabel level of effort untuk menentukan langkah mitigasi
timbunan berdasarkan kategori WHC yang terdiri dari tiga bagian, yaitu
investigasi dan karakterisasi, analisis dan desain, kontruksi dan operasi.
5.8.2 Saran
Bisa dilakukan rencana drainase yang lebih baik untk menurunkan
MAT sehingga elevasi MAT pada lereng tetap terjaga dan upaya
investigasi dan desain yang lebih akurat perlu diterapkan pada kawasan
timbunan ini agar dapat meminimalisir risiko failure yang dapat kembali
terjadi sewaktu-waktu. Penentuan bobot pada metode WSRHC ini perlu
dilakukan secara teliti dan mendetail
5.10 Daftar Pustaka

Adi, G., Ersyari, J., Chen, R., Sophian, R., & Zakaria, Z. (2021).
Penilaian Kestabilan Timbunan Berdasarkan Wsrhc Pada Timbunan
Muara Tiga Besar Utara, Pt. Bukit Asam, Tbk., Sumatra Selatan.
Prosiding Temu Profesi Tahunan PERHAPI, 0, 95-106.

Hawley, M., & Cunning, J. (2017): Guidelines for mine waste


dump and stockpile design. CSIRO Publishing.

Laporan Tahunan Badan Geologi 2019

Zoelfikar Zabier, Moehamad dan Dewi Ayu, K. 2020. Modul


Praktikum Geoteknik Pertambangan. Jakarta. UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
5.11 Lampiran

Gambar Kondisi Lereng Soal Nomor 2


Gambar Geometri Lereng Soal 2
Gambar Kondisi dan Arah Longsoran
Gambar Penyelesaian Kasus A Gaya dinamis metode Bishop simplified
Gambar Penyelesaian Kasus A Gaya dinamis metode Janbu simplified
Gambar Penyelesaian Kasus A Gaya dinamis metode GLE
Gambar Penyelesaian Kasus B Gaya statis metode Bishop simplified
Gambar Penyelesaian Kasus B Gaya statis metode Janbu simplified
Gambar Penyelesaian Kasus B Gaya statis metode GLE
Gambar Penyelesaian Kasus B Gaya dinamis metode Bishop simplified
Gambar Penyelesaian Kasus B Gaya dinamis metode Janbu simplified
Gambar Penyelesaian Kasus B Gaya dinamis metode GLE

Anda mungkin juga menyukai