Anda di halaman 1dari 37

TUTORIAL KLINIK

“PELVIC ORGAN PROLAPSE”

Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kelulusan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kandungan dan Kebidanan

Pada Prodi Profesi Dokter Universitas Kristen Duta Wacana

Disusun oleh:

Putu Gede Suda Satriya Wibawa

42190323

Dosen Pembimbing Klinik

dr. Triyanto Susetyo, Sp.OG

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KESEHATAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT BETHESDA YOGYAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN DUTAWACANA
2021
BAB I
STATUS PASIEN

I.   IDENTITAS PASIEN
Nama pasien : Ny. JYS
Usia : 83 tahun
Tanggal lahir : 01 – 07 – 1937
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kebumen
Pekerjaan : Wiraswasta
No RM : 00 – 56 – xx – xx
HMRS : 25 Januari 2021

II.   ANAMNESIS
•   Keluhan Utama:
Terdapat benjolan keluar dari vagina
•   Riwayat Penyakit Sekarang :
Ny. 83 th P1Ab0Ah1 sudah sejak 1 bulan SMRS mengalami
benjolan keluar dari vagina. Benjolan tersebut keluar disertai dengan darah
seperti flek-flek warna cokelat muda. Jumlah darah yang keluar hanya
sedikit seperti haid hari terakhir. Perut tidak terlalu nyeri, namun lebih terasa
seperti kencang, pegal, serta tidak nyaman. Pasien juga mengaku sulit BAB
dan BAK sejak munculnya benjolan tersebut. BAK hanya sedikit-sedikit,
terasa tidak tuntas, akan tetapi tidak terasa nyeri. Sudah beberapa hari ini
pasien tidak bisa BAB. Pada awalnya pasien mengaku sering sekali
mengangkat ember besar berisi air untuk mengguyur kotoran hewan yang
setiap hari ada di depan rumah. Ketika benjolan tersebut keluar, sudah
sempat dilakukan pemijatan di rumah pasien, akan tetapi tidak berdampak
apapun dan justru semakin berat. Pasien mengatakan mengalami wasir yang
sudah diketahui sejak lama namun memang belum berobat. Pasien juga
mengalami batuk-batuk pada saat dibawa ke rumah sakit dan mengaku
sebelumnya memiliki riwayat bronkitis serta berobat rutin ke poli paru.
Pasien juga memiliki riwayat hipertensi yang terkontrol dan riwayat stroke

  1  
iskemik sejak 5 tahun yang lalu akan tetapi rutin kontrol ke dokter spesialis
saraf.
•   Riwayat Penyakit Dahulu :
o   Hipertensi : (+)
o   Diabetes melitus : (-)
o   Stroke : (+)
o   Jantung : (-)
o   Bronkitis : (+)
o   Asma : (-)
o   ISK : (-)
o   Alergi : (-)
o   Riwayat transfusi : (-)
•   Riwayat Penyakit Keluarga :
o   Keluhan serupa : (-)
o   Diabetes melitus : (+)
o   Hipertensi : (-)
o   Asma : (-)
o   Alergi : (-)
o   Jantung : (-)
o   Stroke : (-)
•   Gaya Hidup :
Pasien tidak merokok, tidak mengonsumsi alkohol, tidak mengonsumsi
obat-obatan di luar resep dokter. Pasien bekerja sebagai wiraswasta, sehari-
hari aktivitasnya menjaga toko. Pola makan rutin 3 kali sehari, menu sehat
seimbang, konsumsi air putih cukup, konsumsi buah dan sayur cukup,
konsumsi daging dalam batas normal. Pasien jarang mengikuti senam
ataupun olahraga. Beberapa minggu terakhir pasien agak sulit tidur karena
perut yang tidak nyaman dan terdapat banyak hal yang dipikirkan.
•   Riwayat Menstruasi :
o   Usia menarche : 13 tahun
o   Lama haid : 4-5 hari
o   Jumlah darah : +/- 60 ml
o   Siklus haid : teratur

  2  
o   Nyeri haid : (-)
o   Keputihan : (-)
o   Menopause : Usia 50 tahun
•   Riwayat Perkawinan :
Pasien menikah 1 kali, menikah pada usia 35 tahun. Lama pernikahan 40
tahun namun suami telah meninggal.
•   Riwayat Obstetri : G1P1A0Ah1
No Tahun Usia Cara Penolong L/P BB Hidup/ Perdarahan/Nifas
Kehamilan Persalinan Mati
1 1978 Aterm Spontan Dokter L 3500 Hidup -

•   Riwayat Kontrasepsi :
Tidak ada
•   Riwayat Imunisasi :
Imunisasi dasar lengkap, TT
•   Riwayat Alergi :
Tidak terdapat alergi makanan ataupun obat

III.   PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Senin, 25 Januari 2021 di Bangsal G2
Obsgyn RS Bethesda.
A.   Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : CM
GCS : E4 V5 M6
Status Gizi : Cukup
Berat badan : 55 kg
Tinggi badan : 175 cm
IMT : 17,9
Vital sign :
o   Tekanan Darah : 130/60 mmHg
o   Nadi : 84 kali/menit
o   Frekuensi Nafas : 24 kali/menit
o   Suhu : 36,5oC

  3  
o   Skala nyeri :5

B.   Status Lokalis
•   Kepala : Normocephali, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik
(-/-), diplopia (-/-), sianosis (-), bibir kering/pecah-pecah (-)
•   Leher : Limfonodi tidak teraba, peningkatan JVP (-)
•   Thorax : Dinding dada simetris, payudara simetris, retraksi
puting (-)
o   Cor : S1/S2 normal, suara tambahan, bising (-)
o   Pulmo : Perkusi sonor, suara napas vesikuler (+/+),
ronkhi (+/+), wheezing (-/-)
•   Abdomen :
o   Inspeksi : Jejas (-), massa (-), bekas luka operasi (-), striae
gravidarum (-), linea nigra (-)
o   Auskultasi : Bising usus (dbn)
o   Perkusi : Timpani
o   Palpasi : Nyeri tekan (-)
•   Pemeriksaan Ginekologi :
o   Genitalia eksterna :
Tampak massa yang keluar dari vagina, vulva tidak edema dan
tidak hiperemis, labia mayor dan minor tidak hiperemis,
discharge (-)
o   Genitalia interna :
Insp/VT : Uterus turun melebihi introitus vagina, teraba massa
lunak yang menonjol ke dinding anterior vagina dan menekan
introitus vagina dan teraba massa lunak yang menonjol ke
dinding posterior vagina.
•   Ekstremitas :
o   Atas : Akral hangat, turgor baik, CRT <2 detik, edema (-/-),
paralisis (-/-)
o   Bawah : Akral hangat, turgor baik, CRT <2 detik, edema (-/-),
paralisis (-/-)

  4  
IV.   PEMERIKSAAN PENUNJANG
1.   Laboratorium
Darah Lengkap
Hemoglobin 11.0 (L) g/dL 11.7 – 15.5
Leukosit 6.38 ribu/mmk 4.5 – 11.5
Hitung Jenis
-   Eosinophil 0.6 (L) % 2–4
-   Basophil 0.5 % 0–1
-   Segmen neutrofil 74.2 (H) % 50 – 70
-   Limfosit 18.0 % 18 – 42
-   Monosit 6.7 % 2–8
-   Limfosit total 1.2 (L) 103/µL 1.5 – 3.7

NLR 3.92 (H) < 3.13


Hematokrit 32.8 (L) % 35.0 – 49.0
Eritrosit 3.61 (L) juta/mmk 4.20 – 5.40
MCV 90.9 fL 80.0 – 94.0
MCH 30.5 pg 26.0 – 32.0
MCHC 33.5 g/dL 32.0 – 36.0
Trombosit 281 ribu/mmk 150 – 450
Golongan Darah A
Hemostasis
Masa Perdarahan 2.00 menit.detik 1.00 – 6.00
Masa Pembekuan 10.00 menit.detik 5.00 – 12.00
Kimia Darah
Total Protein 7.2 g/dL 6.40 – 8.30
Albumin 4.3 g/dL 3.20 – 4.60
Globulin 2.9 g/dL 2.0 – 3.50
SGOT (AST) 17.4 U/L 5.00 – 34.00
SGPT (ALT) 12.8 U/L 0 – 55.0
Glukosa Darah Sewaktu 168,7 (H) mg/dL 70 – 140
Ureum 27.8 mg/dL 20.0 – 43.0
Kreatinin 0.95 mg/dL 0.55 – 1.02

  5  
Antigen SARS COV-2 Negatif
IgM/IgG SARS COV-2 NR
HBsAg NR

Analisa Gas Darah


pH 7.430 7.350 – 7.450
pCO2 48.2 (H) mmHg 35 – 45
pO2 44.8 (L) mmHg 83.0 – 108.0
% FiO2 89.0 %
HCO3 (-) 32.4 (H) mmol/L 21.0 – 28.0
CO2 total 33.9 (H) mmol/L 23.0 – 27.0
SBC 31.2 (H) mmol/L 22.0 – 26.0
Base Excess (BE) 7.8 (H) mmol/L (-) 2.0 – (+) 3.0
BE-b 7.7 mmol/L
SaO2 78.9 (L) % 95.0 – 98.0
A 575.1 mmHg
A-aDO2 530.3 mmHg
a/A 0.1
PO2/FiO2 51.1
RI 11.7
O2Cap 14.0 ml/dL
O2Ct 11.2 ml/dL

  6  
2.   Radiologi
Rontgen thorax : gambaran paru bronchitis dengan vaskular meningkat, besar
cor normal.

3.   EKG

Normal Sinus Rythm

V.   DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja :
•   Prolaps Uteri Grade IV, Cystocele Grade II, Rectocele Grade II
•   Hemoroid Grade III

  7  
•   Hipertensi
•   Riwayat stroke iskemik
•   Bronchitis
Diagnosis Banding:
•   Kista vagina
•   Polip serviks
•   Massa pada uterus
•   Kista gl. Bartholini

VI.   PLANNING
•   Pemeriksaan : Dilakukan pemeriksaan PA
•   Konsultasi : Konsultasi ke dokter Sp.OG terkait permasalahan
prolaps organ panggul, konsultasi ke dokter Sp.B untuk mempertimbangkan
rencana selanjutnya terkait hemoroid grade III, konsultasi ke dokter Sp.P
karena pasien juga mengeluh batuk-batuk dan pasien memang memiliki
riwayat bronkitis.
•   Pengobatan :
-   Ketoprofen tab. 100 mg 3 x 1
-   Bactesyn tab. 375 mg 2 x 1
-   Amlodipine tab. 5 mg 1 x 1
-   Candesartan tab. 8 mg 1 x 1
-   Lactacyd Feminine Hygiene 3 x 1
-   Bioplacenton gel 15 g 2 x 1
-   Lansoprazole tab. 30 mg 1 x 1
-   Citicolin tab. 500 mg 3 x 1
•   Tindakan/Operasi :
Vaginal histerektomi, kolporafi anterior – posterior
•   Edukasi :
1)   Mengedukasi pasien dan keluarga pasien mengenai penyakit pasien
dan kondisi yang mungkin terjadi pasca operasi.
2)   Pasien diinformasikan untuk melakukan perawatan luka pasca operasi
secara mandiri dan jadwal kontrol selanjutnya.
3)   Mengedukasi pasien untuk tidak mengangkat beban terlalu berat.

  8  
4)   Mengedukasi pasien untuk meminum obat secara teratur dan sesuai
anjuran.
5)   Mengedukasi pasien untuk makan makanan bergizi guna mempercepat
pemulihan.
6)   Pasien diinformasikan untuk berkonsultasi secara rutin ke dokter
spesialis sesuai dengan keluhan dan penyakitnya

VII.   PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam
Ad functionam : ad bonam

VIII.   FOLLOW-UP
GII Obs (27/01/21) 10.00
S : pasien mengatakan siap operasi
O : KU = sedang, CM; TD = 140/60; HR = 84; T = 37oC; RR = 20. Rencana
histerektomi pervaginam jam 14.00, AGD hasil (+), OK siap, sedia darah PRC 1
kolf, pengantar (+)
A : Prolaps uteri
P : Lapor dr. Sp.P à acc operasi; Lapor dr. Sp.An à acc operasi; Lapor dr. Sp.OG
à acc operasi.

GII Obs (27/01/21) 16.00


S : pasien mengatakan nyeri luka pada area post operasi
O : KU = sedang, CM; respirasi spontan dibantu O2 nasal 3 lpm; terpasang infus;
D cath (+), gerakan involunter pada tangan.
A : Post vaginal hysterectomy, Gerakan tangan involunter
P : Kirim PA.
Remopain 3 x 1
Bioplacenton 2 x 1
Pantoprazole 1 A
Lactacyd 3 x 1
Bactesyn 2 x 1

  9  
Konsul dokter spesialis saraf à Farmasal stop; Citicolin inj. 3 x 1; Piracetam
1 x 12 mg; Valisanbe 2 x 2 mg; Amlodipine dan Candesartan lanjut.
Konsul dokter spesialis paru à pemberian obat rutin dari rumah

GII Obs (28/01/21) 06.00


S : Pasien mengatakan nyeri pada luka operasi
O : KU = sedang, CM; TD = 140/70 mmHg; HR = 69; RR = 20; infus (+); D cath
(+); luka bersih tidak ada rembesan darah.
A : Post vaginal hysterectomy
P : Lanjutkan intervensi

  10  
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I.   DEFINISI

Prolaps organ panggul merupakan kondisi yang ditandai dengan penurunan dari salah satu atau
lebih dari : dinding vagina anterior, dinding vagina posterior, uterus (serviks), apeks vagina,
rektum, atau perineum, dengan gejala yang dirasakan berupa vaginal bulging, pelvic pressure,
splinting atau digitasi.

Splinting adalah penguatan manual dari bagian yang prolaps untuk memperbaiki gejala,
sedangkan digitasi untuk membantu evakuasi tinja.

Istilah cystocele, cystourethrocele, prolaps uteri, prosidentia uteri, rectocele, dan enterocele
sebelumnya digunakan untuk mendeskripsikan struktur di balik dinding vagina yang prolaps.
Akan tetapi, istilah ini agak kurang tepat, karena hanya berfokus pada apa yang dianggap
mengalami prolaps daripada apa yang secara obyektif dicatat mengalami prolaps. Meskipun
istilah-istilah ini tertanam kuat dalam literatur, secara klinis akan lebih bermanfaat untuk
mendeskripsikan prolaps dengan istilah apa yang benar-benar dilihat : prolaps dinding vagina
anterior, prolaps apikal, prolaps servikal, prolaps dinding vagina posterior, atau turun
perineum.

Untuk prolaps organ pelvis dipertimbangkan sebagai suatu kondisi penyakit pada individu,
gejala harus meliputi penurunan organ pelvis dimana reduksi secara bedah maupun non bedah
dapat meredakan gejala, mengembalikan fungsi, dan memperbaiki kualitas hidup.

II.   EPIDEMIOLOGI

POP merupakan kasus yang mengenai jutaan wanita di seluruh dunia. Di Amerika Serikat,
kasus ini merupakan indikasi tersering ketiga dari prosedur histerektomi. Seorang wanita
memiliki estimasi risiko kumulatif seumur hidup sebesar 12% untuk menjalani pembedahan
akibat POP. Estimasi prevalensi penyakit terhambat oleh kurangnya definisi yang konsisten.
Jika hanya pemeriksaan Pelvic Organ Prolapse Quantification (POPQ) saja yang digunakan
untuk mendeskripsikan penyokong organ panggul, maka sejumlah 30-65% wanita yang
menjalani pemeriksaan ginekologi rutin dapat dikatakan mengalami prolaps stadium 2.
Sebaliknya, studi yang mendefinisikan prolaps hanya berdasarkan pada gejala pasien saja,
menunjukkan prevalensi yang bervariasi antara 3-6% di Amerika Serikat.

  11  
III.   FAKTOR RISIKO
a.   Risiko Terkait Obstetri
Di antara etiologi POP yang multifaktorial, persalinan pervaginam merupakan faktor
predisposisi tersering. Berbagai studi menunjukkan bahwa kehamilan itu sendiri
merupakan predisposisi POP :
•   Pelvic Organ Support Study (POSST) mengatakan bahwa peningkatan paritas
berhubungan dengan risiko prolaps. Risiko POP meningkat 1,2 kali pada setiap
persalinan pervaginam.
•   Pada studi Reproductive Risks for Incontinence Study at Kaiser (RRISK), Rortveit
dan koleganya (2007) menemukan bahwa risiko prolaps meningkat secara
signifikan pada wanita dengan satu kali (odds ratio [OR] 2.8), dua kali (OR 4.1), 3
kali atau lebih (OR 5.3) persalinan vaginam jika dibandingkan dengan nulipara.
•   Pada studi longitudinal yang dilakukan pada 1011 wanita, persalinan pervaginam
berhubungan dengan peningkatan risiko prolaps ke himen atau lebih signifikan jika
dibandingkan dengan persalinan secara sectio caesarea (OR 5.6). (Handa, 2011)

Faktor risiko obstetri spesifik yang lain masih kontroversial, yaitu meliputi :
makrosomia, kala II persalinan lama, episiotomi, laserasi sfingter ani, analgesi epidural,
penggunaan forseps, dan stimulai dengan oksitosin.

Hingga kini tidak dianjurkan untuk melakukan 2 intervensi obstetrik – melahirkan


elektif dengan forseps untuk memperpendek kala II persalinan dan episiotomi elektif.
Keduanya kurang memiliki bukti manfaat dan berisiko pada ibu maupun janin.

•   Persalinan dengan forseps secara langsung terlibat dalam cedera dasar panggul
melalui hubungannya dengan laserasi sfingter ani. Persalinan pervaginam operatif
dapat secara signifikan meningkatkan peluang untuk terjadi gangguan pada dasar
panggul, khususnya prolaps (OR 7.5) (Handa, 2011).
•   6 RCT membandingkan antara episiotomi elektif vs selektif à tidak menunjukkan
bukti manfaat à terdapat hubungan dengan laserasi sfingter, inkontinensia ani
postpartum, dan nyeri postpartum (Carroli, 2009).
Persalinan seksio sesarea elektif untuk mencegah gangguan dasar panggul seperti POP
dan inkontinensia urin juga kontroversial. Secara teori, jika seluruh wanita menjalani
seksio sesarea, maka lebih sedikit wanita yang mengalami gangguan dasar panggul.

  12  
Sebagian besar wanita tidak memiliki gangguan ini, akan tetapi persalinan seksio
sesarea yang dilakukan berdasarkan permintaan ibu dapat memaparkan banyak wanita
ke intervensi yang berpotensi berbahaya, yang seharusnya tidak akan memunculkan
masalah tersebut.

b.   Usia
Data dari berbagai studi menunjukkan bahwa prevalensi POP meningkat seiring dengan
usia. Studi POSST mengatakan bahwa pada wanita berusia 20 – 59 tahun, insidensi
POP meningkat dua kali lipat setiap dekadenya. Penuaan merupakan proses yang
kompleks. Peningkatan insidensi tersebut terjadi akibat penuaan fisiologis, proses
degeneratif, dan hipoestrogenisme. Terdapat peran penting dari hormon reproduksi
dalam mempertahankan jaringan ikat dan matriks ekstraseluler dalam menopang organ
panggul. Reseptor estrogen dan progesteron teridentifikasi pada nukleus jaringan ikat
dan sel-sel otot polos dari stroma levator ani maupun ligamen uterosakral.

c.   Penyakit Jaringan Ikat


Wanita dengan penyakit jaringan ikat akan lebih mudah mengalami POP. Studi
histologis menunjukkan bahwa pada wanita dengan POP, rasio kolagen I terhadap
kolagen III dan IV menurun. Berkurangnya relatif kolagen padat yang tersusun teratur
ini diyakini berkontribusi terhadap kelemahan dari kekuatan regangan dinding vagina
dan meningkatkan kerentanan terhadap prolaps dinding vagina. Sepertiga wanita
dengan sindrom Marfan dan tiga perempat wanita dengan sindrom Ehlers-Danlos
melaporkan riwayat POP.

d.   Ras
Wanita berkulit hitam dan Asia menunjukkan risiko terendah mengalami POP, wanita
Hispanik dan berkulit putih menunjukkan risiko tertinggi. Perbedaan ras juga
mempengaruhi bentuk tulang panggul. Wanita berkulit hitam umumnya cenderung
memiliki arkus pubis lebih sempit dan panggul berbentuk android atau antropoid,
bentuk ini protektif terhadap POP dibandingkan dengan panggul berbentuk ginekoid
yang tipikal pada wanita berkulit putih. POP juga memiliki komponen genetik (terdapat
gen predisposisi spesifik).

  13  
e.   Peningkatan Tekanan Intraabdomen
Peningkatan tekanan intraabdomen kronik terjadi pada obesitas, konstipasi kronik,
batuk kronik, dan mengangkat beban berat secara berulang. IMT yang tinggi
berkorelasi dengan risiko POP. Seseorang yang overweight (IMT 25 – 30 kg/m2)
meningkatkan risiko POP sebesar 31 – 39%, dan obesitas (IMT >30 kg/m2)
meningkatkan risiko POP sebesar 40 – 75%. Merokok dan PPOK juga terlibat dalam
patogenesis POP. PPOK berhubungan dengan peningkatan risiko dilakukannya
tindakan operasi dasar panggul di kemudian hari setelah histerektomi. Peningkatan
tekanan intraabdomen secara berulang akibat batuk kronik juga berkontribusi terhadap
POP. Senyawa kimia yang diinhalasi dari tembakau dapat menyebabkan perubahan
jaringan yang menyebabkan POP, dibandingkan dengan batuk kronik itu sendiri.

IV.   DESKRIPSI DAN KLASIFIKASI


1.   Pelvic Organ Prolapse Quantification (POP-Q)

Pada tahun 1996, the International Continence Society mendefinisikan sistem Pelvic Organ
Prolaps Quantification (POP-Q). Sistem POP-Q menunjukkan reliabilitas intra dan
interpemeriksa, sehingga memungkinkan klinisi dan peneliti untuk melaporkan temuan secara
terstandarisasi. Sistem ini mengandung rangkaian pengukuran yang spesifik mengenai lokasi
dari penopang organ panggul wanita. Prolaps pada setiap segmen diukur relatif terhadap himen,
penanda anatomis yang dapat teridentifikasi secara konsisten. Terdapat 6 titik yang letaknya
mengacu pada bidang himen : 2 pada dinding anterior vagina (poin Aa dan Ba), 2 pada apeks
vagina (poin C dan D), dan 2 pada dinding vagina posterior (poin Ap dan Bp). Genital hiatus
(Gh), perineal body (Pb), dan total vaginal length (TVL) juga diukur. Seluruh poin POP-Q
kecuali TVL diukur sembari pasien melakukan manuver Valsalva dan akan merefleksikan
protrusi maksimal.

  14  
•   Poin Dinding Vagina Anterior
o   Poin Aa merupakan poin yang terletak di garis tengah dinding vagina anterior
dan terletak 3 cm proksimal dari meatus uretra eksterna. Ini bersesuaian dengan
lokasi proksimal dari urethrovesical crease. Terkait dengan himen, posisi poin
ini bervariasi dari -3 (normal support) hingga +3 cm (prolaps maksimal poin
Aa).
o   Poin Ba merepresentasikan posisi terdistal dari bagian manapun dari dinding
vagina anterior atas, yaitu segmen vagina yang normalnya meluas ke cephalad
dari poin Aa, posisinya pada -3 jika tidak ada prolaps. Pada wanita dengan
eversi vagina total pasca histerektomi, Ba akan memiliki nilai positif sama
dengan posisi hymen cuff.

•   Poin Vagina Apikal


o   2 poin apikal, C dan D yang terletak di vagina proksimal merepresentasikan
lokasi paling kranial dari saluran reproduksi bawah.
o   Poin C merupakan poin yang terletak di tepi paling distal dari serviks atau tepi
terdepan dari vaginal cuff setelah histerektomi total.
o   Poin D merupakan poin yang merepresentasikan lokasi dari forniks posterior
wanita yang masih memiliki serviks uteri, merepresentasikan tingkat perlekatan
ligamen uterosakral pada serviks posterior proksimal, sehingga dapat
membedakan kegagalan penopang ligamen uterosakral-kardinal dari cervical
elongation. Poin ini akan hilang pada mereka yang tidak memiliki serviks.
o   Panjang vagina total (TVL) merupakan kedalaman terbesar vagina dalam
ukuran sentimeter ketika poin C atau D direduksi ke posisi terpenuhnya.

•   Poin Dinding Vagina Posterior


o   Poin Ap merupakan poin pada garis tengah vagina posterior yang terletak 3 cm
proksimal terhadap himen. Relatif terhadap himen, posisi poin ini bervariasi
dari -3 (normal support) hingga +3 cm (prolaps maksimal poin Ap).
o   Poin Bp merepresentasikan posisi terdistal dari bagian manapun dinding vagina
posterior atas, posisinya pada -3 tanpa adanya prolaps. Pada wanita dengan

  15  
eversi vagina total pasca histerektomi, Bp akan memiliki nilai positif sama
dengan posisi hymen cuff.

•   Genital Hiatus dan Badan Perineum


Selain himen, pengukuran yang lain meliputi genital hiatus (Gh) dan badan perineum
(Pb). Genital hiatus diukur dari tengah meatus uretra eksterna ke garis tengah cincin
himen posterior. Badan perineum diukur dari batas posterior hiatus genital ke midanal
opening.

Asesmen dengan POP-Q

Dengan bidang himen didefinisikan sebagai 0, posisi anatomis poin ini dari himen diukur
dalam ukuran sentimeter. Poin di atas/proksimal dari himen dideskripsikan dengan angka
negatif. Posisi di bawah/distal dari himen dideskripsikan dengan angka positif. Ukuran poin ini
dapat diatur dalam petak 3x3. Derajat prolaps dapat dikuantifikasi menggunakan sistem ordinal
5 tingkat. Tingkatan tersebut ditetapkan sesuai dengan bagian prolaps yang paling berat.

Tabel 2.1 Penjelasan Titik Sistem POP-Q

Titik Penjelasan Jarak

Aa Dinding anterior 3 cm dari himen -3 cm sampai +3 cm


Ba Bagian yang terikat dari dinding anterior -3 cm sampai +TVL

  16  
C Serviks atau puncak vagina ±TVL
D Forniks posterior ±TVL atau tidak ada
Ap Dinding posterior 3 cm dari himen -3 cm sampai +3 cm
Bp Bagian yang terikat dari dinding -3 cm sampai +TVL

posterior

Tabel 2.2 Stadium Prolaps Organ Panggul

Stadium 0 Tidak terlihat adanya prolaps. Titik Aa, Ap, Ba, Bp semuanya -3

cm dan titik C antara panjang vagina secara keseluruhan (TVL)

Stadium I Bagian yang paling distal dari prolaps > 1cm di atas himen (Titik
Aa, Ap, Ba, Bp, C, dan D semuanya <-1 cm)
Stadium II Bagian yang paling distal dari prolaps ≤ 1cm di bagian

proksimal atau distal terhadap himen (Titik Aa, Ap, Ba, Bp, C,
dan D berada diantara -1cm dan +1cm)

Stadium III Bagian yang paling distal dari prolaps > 1cm di bagian bawah
himen, namun tidak lebih dari 2 cm dibandingkan dengan
panjang vagina secara keseluruhan (Titik Aa, Ap, Ba, Bp, C, dan
D >/= +2 cm dan </= TVL -3cm)
Stadium IV Eversi vagina komplit sampai dengan hampir komplit. Bagian
yang paling distal dari prolaps mengalami protrusi sampai
TVL -2cm ((Titik Aa, Ap, Ba, Bp, C, dan D berada >/= to TVL-
2cm)

2.   Sistem Baden-Walker halfway

Tool deskriptif ini juga digunakan untuk mengklasifikasikan prolaps selama pemeriksaan fisik
dan banyak digunakan. Meskipun tidak seinformatif POP-Q, akan tetapi termasuk adekuat
untuk penggunaan klinis jika setiap kompartemen (anterior, apikal, posterior) dievaluasi.

  17  
RECTOCELE

Rectocele adalah salah satu jenis dari polaps organ panggul dimana jaringan rectum
mengalami herniasi melalui adanya kerusakan pada septum rectovaginal yang
menyebabkan rectum masuk ke lumen vagina.

Rectocele terjadi akibat hilangnya integritas dari jaringan rectovaginal yang kemudian
menyebabkan rectum mengalami herniasi ke dalam lumen vagina. Hilangnya integrase
ini disebabkan oleh banyak cara seperti melahirkan, usia, meningkatnya regangan pada
jaringan akibat obesitas. Gejala yang sering muncul adalah terabanya masa herniasi saat
dilakukan pemeriksaan dan adanya keluhan BAB.

  18  
Klasifikasi Rectocele

Berdasarkan klasifikasi dari Baden-Walker rectocele diklasifikasikan menjadi 4 yang


berdasarkan jarak bagian distal dari prolapse dengan hymen saat pasien melakukan
maneuver valsava.

•   Grade 0 - normal position

•   Grade 1 - Descent halfway to the hymen

•   Grade 2 - Descent to the hymen

•   Grade 3 - Descent halfway past the hymen

•   Grade 4 - Descent is as far as possible

CYSTOCELE

Cystocele adalah kondisi kronis yang ditandai dengan herniasi dari kandung kemih ke
bagian anterior dinding vagina. Cystoceles merupakan hasil dari melemahnya pelvic-
floor support system. Resiko utama dari penyakit ini adalah obesitas meningkatnya usia
dan melahirkan. Selain itu juga peningkatan tekanan intraabdominal, abnormalitas
collagen, riwayat keluarga terdapat cystocele, dan riwayat pembedahan di regio pelvic.

Penyebab dari cystocele dapat dibagi berdasarkan lokasi nya. Defek bagian apical yang
dimana lokasi kerusakan berada di bagian segmen atas dari vagina yang disebabkan oleh
kerusakan pada fascia endopelvic. Defek pada bagian medial disebabkan oleh terpisahnya
fascia pubocervical dari jaringan penghubung disekitar serviks dan juga menyebabkan
kerusakan pada ligament uterosacral. Defek lateral disebabkan karena terpisahnya
dinding vagina dari arcus tendinous.

KLASIFIKASI CYSTOCELE
Klasifikasi dari cystoceles berdasarkan Baden-Walker Halfway Scoring System yaitu :

•   0 – Normal position for each respective site

•   1 – Descent halfway to the hymen

•   2 – Descent to the hymen

•   3 – Descent halfway past the hymen

  19  
PROLAPS UTERUS

Prolapsus uteri adalah turunnya uterus dari tempat biasa, oleh karena kelemahan otot atau
fascia yang dalam keadaan normal menyokongnya atau turunnya uterus melalui dasar
panggul atau hiatus genitalis akan jadi longgar dan organ pelvis akan turun ke dalamnya
Prolaps uteri terjadi karena kelemahan otot ligamen endopelvik, terutama ligamentum
transversal dapat dilihat pada nulipara dimana terjadi elongatio colli disertai prolapsus
uteri. Faktor penyebab lain yang sering adalah melahirkan dan menopause. Persalinan
lama yang sulit, laserasi dinding vagina bawah pada kala dua, penatalaksanaan
pengeluaran plasenta, reparasi otot-otot panggul yang tidak baik juga menjadi salah satu
penyebab. Pada menopause, hormon estrogen telah berkurang (Hipoestrogen) sehingga
otot dasar panggul menjadi atrofi dan melemah.
Klasifikasi Prolaps Uterus
Berdasarkan lokasi anatomi dan tingkat prolapsusnya atas letaknya dari introitus vagina
berdasarkan Baden Walker

•   Stage I : Bila uterus yang turun masih diatas introitus vagina (didalam vagina)
•   Stage II : Bila uterus yang turun telah mencapai introitus vagina
•   Stage III : Bila uterus yang turun telah keluar dari introitus vagina
•   Stage IV : Bila uterus dan dinding vagina telah keluar introitus vagina disebut
juga procidensia

V.   PATOFISIOLOGI

Suatu kompleks yang terdiri dari otot dasar panggul, jaringan ikat dasar panggul, dan dinding
vagina saling berinteraksi serta bekerja dalam suatu kesatuan untuk memberikan penyangga
dan mempertahankan fungsi fisiologis normal dari vagina, uretra, vesika urinaria, dan rektum.
Berbagai faktor terlibat dalam kegagalan penyangga ini, yaitu : predisposisi genetik, hilangnya
dukungan otot skelet dasar panggul, kelemahan dinding vagina, hilangnya perlekatan jaringan
ikat antara dinding vagina dan otot dasar panggul serta viseral panggul. Persalinan pervaginam
dan penuaan merupakan 2 faktor risiko utama dari POP.

Anatomi fungsional penopang dasar panggul terdiri dari :

1)   Tulang panggul
2)   Jaringan ikat retinakulum subperitoneal dan lig. Latum uteri, termasuk komponen otot
dan lig. Rotundum

  20  
3)   Kompleks lig. Cardinale et Uterosacrale
4)   Perlekatan paravaginal dari sulcus vagina ke arcus tendineus
5)   Diafragma urogenital, termasuk lig. Pubourethrovaginal
6)   Diafragma panggul
7)   Fascia Denonvilliers
8)   Corpus perineum

Tulang panggul

•   Memberikan perlekatan yang terfiksasi ke jaringan lunak panggul.


•   Pelvis terbagi menjadi pelvis major (false) dan pelvis minor (true) oleh linea
iliopectinea. Di dalam pelvis minor terdapat lig. Sacrotuberosa et sacrospinosa yang
menstabilkan panggul.
•   Terdiri dari 2 tulang panggul (ilium, ischium, pubis) di anterior yang berfusi pada
simfisis pubis dan sakrum di posterior.

M. Levator Ani
Sepasang otot skelet membentuk diafragma pelvis, yang terdiri dari 3 regio : m. Iliococcygeus,
m. Pubococcygeus, m. Puborectalis. Terdapat jaringan ikat yang membungkus fascia superior
et inferior m. Levator ani.
•   Otot iliococcygeus membentuk suatu papan pipih horizontal yang berawal dari salah
satu dinding samping panggul ke sisi yang berlawanan.
•   Otot pubococcygeus atau disebut juga dengan otot pubovisceralis berasal dari os. Pubis
salah satu sisi, melekat pada dinding vagina, uretra, anus, korpus perineum, dan
insersionya pada coccyx. Otot ini membantu menggantungkan dinding vagina ke
panggul.
•   Otot puborectalis berasal dari bagian terendah simfisis pubis, berfusi di belakang
rektum, membentuk ayunan otot huruf U yang mengitari perbatasan antara rektum dan
anus.

Pada kondisi sehat, aktivitas kontraksi istirahat baseline dari otot ini mengelevasikan dasar
panggul dan mengompresi vagina, uretra, serta rektum ke arah os. Pubis à menyempitkan
genital hiatus dan mencegah prolaps dari organ panggul. Ketika otot levator ani memiliki tonus
normal dan vagina memiliki kedalaman yang memadai, vagina bagian atas terletak hampir
horizontal pada wanita yang berdiri.

  21  
Pada periode peningkatan tekanan intraabdomen, vagina bagian atas terkompresi (tertekan)
terhadap bidang levator. Otot levator ani kehilangan tonusnya, vagina akan turun dari posisi
horizontal ke semivertikal à membuka atau melebarkan genital hiatus dan merupakan
predisposisi viseral pelvis untuk prolaps. Tanpa dukungan otot levator ani yang adekuat,
perlekatan fascia visera dari isi panggul berada dalam tekanan dan akan mengalami regangan
dan akhirnya kegagalan.

Secara teori, otot levator ani dapat menahan cedera otot langsung atau cedera denervasi selama
persalinan, dan cedera ini terlibat dalam patogenesis POP. Selama kala II persalinan, cedera
saraf dari regangan/kompresi atau keduanya secara parsial mendenervasi otot levator ani. Otot
yang denervasi kehilangan tonusnya, genital hiatus terbuka, dan terjadilah prolaps visera
panggul.

Penuaan menyebabkan seluruh otot skelet mengalami penurunan volume dan fungsi, termasuk
m. Levator ani yang mengalami perubahan morfologi dan biokimia. Hilangnya tonus levator
seiring bertambahnya usia berkontribusi terhadap kegagalan penyangga organ panggul lansia,
ditambah dengan defek pada penyangga jaringan ikat yang telah ada sebelumnya. Seiring otot
skelet kehilangan tonus, maka ligamen dan jaringan ikat organ panggul harus menahan lebih
besar gaya yang diberikan oleh tekanan abdomen. Karena jaringan ikat tersebut menahan beban
dalam periode yang lama, maka akan meregang dan akhirnya gagal, berakibat pada prolaps.

Jaringan Ikat

Sistem jaringan ikat dan ligamen yang kontinu mengitari organ panggul dan melekatkannya
pada m. Levator ani serta tulang panggul.

Jaringan ikat panggul terdiri dari kolagen, elastin, otot polos, dan serabut mikro yang
menempel dalam matriks ekstraseluler polisakarida. Jaringan ikat yang melekatkan viseral
panggul memberikan penyangga organ panggul yang besar. Co : arcus tendineus fascia pelvis
merupakan kondensasi fascia parietalis yang membungkus aspek medial otot obturator internus
dan levator ani, memberikan perlekatan ke lateral dan apikal untuk vagina anterior dan
posterior. Arcus tendineus fascia pelvis siap untuk menahan penurunan dari dinding vagina
anterior, apeks vagina, dan uretra proksimal. Faktor pencetus utama prolaps dinding vagina
anterior dan apikal adalah hilangnya penyangga jaringan ikat pada apeks vagina yang
menyebabkan robek/teregangnya arcus tendineus ini.

  22  
Ligamen uterosakral memberikan penyangga di apikal dengan menggantung/menstabilkan
uterus, serviks, dan vagina proksimal. Ligamen ini mengandung + 20% otot polos. Pada prolaps
terjadi penurunan luas permukaan fraksional dan distribusi otot polos pada ligamen ini.

Selain itu, penyakit dari jaringan ikat dapat menjadi predisposisi seseorang mengalami prolaps,
contoh pada penderita sindrom Ehlers-Danlos atau sindrom marfan yang lebih mudah
mengalami POP dan inkontinensia urin.

Fascia dasar panggul dan jaringan ikat juga dapat kehilangan kekuatan akibat penuaan dan
hilangnya sinyal neuroendokrin pada jaringan panggul. Defisiensi estrogen dapat
mempengaruhi komposisi, kualitas, dan kuantitas dari kolagen. Estrogen mempengaruhi
kandungan kolagen dengan cara meningkatkan sintesis dan mengurangi degradasi. Suplemen
estrogen eksogen dapat meningkatkan kandungan kolagen kulit pada wanita pasca menopause
yang defisiensi estrogen. Pemberian estrogen vagina sebelum pembedahan POP ditemukan
dapat memperbaiki indeks maturasi vagina dan meningkatkan ketebalan epitel vagina.

Dinding Vagina

Dinding vagina tersusun dari mukosa (epitel dan lamina propria), lamina muskularis
fibroelastik, dan tunica adventitia yang tersusun dari jaringan areola longgar, serabut elastis
yang banyak, dan bundel neurovaskular. Lamina muskularis + tunica adventitia membentuk
lapisan fibromuskular (sebelumnya disebut dengan “fascia endopelvic”). Lapisan
fibromuskular menyatu di lateral, melekat pada arcus tendineus fascia pelvis dan fascia
superior m. Levator ani. Pada 1/3 inferior vagina, dinding vagina secara langsung melekat ke
membran perineum dan korpus perineum. Sistem penggantung ini bersama dengan ligamen
uterosakral mencegah vagina dan uterus dari penurunan ketika genital hiatus terbuka.

  23  
Abnormalitas pada anatomi, fisiologi, dan biologi seluler otot polos dinding vagina
berkontribusi terhadap terjadinya POP. Secara khusus pada jaringan fibromuskular apeks
vagina dari kedua dinding anterior dan posterior vagina, prolaps vagina berhubungan dengan
hilangnya otot polos, aktivasi miofibroblas, fenotip otot polos abnormal, dan peningkatan
aktivitas protease. Selain itu, sintesis atau degradasi serabut kolagen dan elastis dinding vagina
berkontribusi terhadap prolaps.

TEORI DEFEK DARI POP

Teori ini mengatakan bahwa robekan pada lokasi yang berbeda dari “fascia endopelvic” yang
mengelilingi dinding vagina memungkinkan terjadinya herniasi dari organ panggul.

Melemahnya dinding vagina TANPA hilangnya perlekatan fascia disebut dengan distension
cystocele atau rectocele. Prolaps tipe distension à dinding vagina tampak halus dan tanpa
rugae, karena isi abdomen menekan vagina dari dalam.

Defek dinding vagina anterior dan posterior akibat hilangnya perlekatan jaringan ikat dinding
vagina lateral ke samping dinding panggul disebut dengan displacement (paravaginal)
cystocele atau rectocele. Tipe prolaps ini ditemukan rugae vagina.

Kedua tipe defek disebabkan oleh regangan/robekan jaringan penyangga selama kala II
persalinan. Defek primer yang menyebabkan prolaps adalah hilangnya support pada apeks
vagina à bagian apikal dinding vagina anterior dan posterior turun.

Tingkat Penyangga Vagina

Vagina merupakan tabung fibromuskular, pipih, dan silindris dengan 3 tingkat penyangga.

Penyangga level I
•   Menggantung vagina bagian atas/proksimal, mempertahankan panjang vagina dan
aksis horizontal, memungkinkan vagina ditopang oleh bidang levator dan posisi serviks
tepat lebih tinggi dari tingkat ischial spines.
•   Terdiri dari lig. Cardinale dan lig. Uterosacrale (menempel ke serviks dan vagina
superior).
•   Lig. Cardinale menyebar ke lateral dan melekat ke fascia parietalis dari m. Obturator
internus dan m. Piriformis, margo anterior dari foramen ischiadicus major, dan spina
ischiadica.

  24  
•   Lig. Uterosacrale merupakan serabut posterior yang menempel ke regio prasakralis
setingkat S2-S4.
•   Adanya defek pada kompleks penyangga ini dapat menyebabkan prolaps apikal,
seringkali berhubungan dengan herniasi usus halus ke dinding vagina (enterocele).

Penyangga level II
•   Melekatkan midvagina ke arcus tendineus fascia pelvis.
•   Terdiri dari perlekatan paravaginal yang berlanjut dengan kompleks kardinal-
uterosakral pada ischial spine (perlekatan jaringan ikat dari vagina lateral ke anterior
à arcus tendineus fascia pelvis, dan ke posterior à arcus tendineus rectovaginalis).
•   Lepasnya ikatan jaringan ikat ini dari arcus tendineus fascia pelvis à prolaps dinding
vagina anterior paravaginal/lateral.

Penyangga level III


•   Fusi vagina distal ke struktur di dekatnya.
•   Terdiri dari korpus perineum, otot perineum superfisial dan profunda, serta jaringan
ikat fibromuskular.
•   Menopang 1/3 distal vagina dan introitus.
•   Kerusakan/defek menyebabkan prolaps vagina anterior dan posterior, gaping introitus,
dan turun perineum.

Defek yang terjadi pada tiap tingkat menyebabkan prolaps dinding vagina yang dapat diamati
: apikal, anterior, posterior.

VI.   EVALUASI PASIEN

Gejala

POP melibatkan sistem anatomis dan fungsional yang multipel, sering berhubungan dengan
gejala genitourinarius, gastrointestinal, dan muskuloskeletal. Prolaps jarang menyebabkan
mortalitas dan morbiditas yang berat, akan tetapi dapat menurunkan kualitas hidup. Tidak
sedikit wanita dengan prolaps ringan hingga berat tidak muncul gejala yang mengganggu.
Evaluasi awal harus meliputi asesmen gejala terkait prolaps dan efeknya pada aktivitas sehari-
hari.

Terdapat berbagai tool yang dapat dipakai untuk menilai gejala, kuesioner yang paling sering
digunakan yaitu the Pelvic Floor Distress Inventory (PFDI) dan the Pelvic Floor Impact

  25  
Questionnaire (PFIQ). PFDI menilai gejala berkemih, kolorektal, dan prolaps sedangkan PFQI
menilai penurunan kualitas hidup akibat prolaps.

Gejala yang paling sering dilaporkan yaitu “bulge”, yaitu adanya tonjolan/protrusi yang
dirasakan atau dilihat secara langsung keluar dari vagina, digambarkan sebagai pelvic pressure,
merasa duduk di atas bola, rasa berat pada vagina. Gejala akan memburuk seiring prolaps
progresif. Wanita dengan prolaps melebihi himen akan lebih merasakan keluhan ini dan
gejalanya akan lebih bervariasi dibandingkan prolaps di atas himen.

Gejala penyerta seperti nyeri punggung, konstipasi, perut terasa tidak nyaman, dapat muncul
bersama dengan prolaps namun etiologinya bukan karena prolaps itu sendiri. Gejala berkemih
yang sering menyertai, yaitu : inkontinensia urin stress, inkontinensia urin urgency, urgency,
retensi urin, ISK berulang, gangguan pengosongan. Gejala ini belum tentu membaik dengan
perbaikan prolaps dan belum tentu berhubungan dengan prolaps secara langsung. Misalnya,
gejala berkemih iritatif (frequency, urgency) mungkin saja tidak membaik pasca perbaikan
prolaps. Sebaliknya, gejala retensi urin membaik dengan tatalaksana prolaps jika disebabkan
oleh uretra yang terobstruksi.

Karena alasan ini, uji urodinamik bernilai untuk dilakukan pada wanita dengan gejala berkemih
yang akan menjalani tatalaksana prolaps. Uji ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara
gejala berkemih dan POP, serta membantu mengarahkan terapi.

Konstipasi sering terjadi pada pasien dengan POP, meskipun umumnya bukan disebabkan oleh
POP. Maka dari itu, perbaikan secara bedah belum tentu menyembuhkan konstipasi dan justru
bisa memperberat. Konstipasi harus dilihat sebagai masalah yang berbeda dari prolaps dan
dievaluasi secara terpisah.

Dekompresi digital dari dinding vagina posterior, korpus perineum, atau rektum distal untuk
mengevakuasi rektum merupakan gejala defekasi paling sering yang berhubungan dengan
prolaps dinding vagina posterior. Tatalaksana bedah untuk masalah ini memiliki keberhasilan
yang bervariasi, resolusi gejala antara 36-70%.

Inkontinensia ani dari flatus, tinja cair atau padat juga bisa berhubungan dengan POP. Kadang
prolaps dapat menyebabkan terjebaknya tinja pada rektum distal dengan diikuti bocornya
cairan tinja di sekitar feses. Jika ada gejala ini, diperlukan evaluasi anorektal. Sebagian besar
kasus inkontinensia ani tidak diharapkan untuk membaik dengan pembedahan prolaps.

  26  
POP juga dapat menyebabkan disfungsi seksual pada wanita. Nyeri punggung yang sering
dialami penderita POP dapat disebabkan oleh perubahan mekanika tubuh.

Pemeriksaan Fisik
•   Pemeriksaan panggul awal dilakukan dengan posisi litotomi.
•   Inspeksi vulva dan perineum à melihat tanda-tanda atrofi vulva atau vagina dan
abnormalitas lainnya.
•   Pemeriksaan neurologis refleks sakral dapat dilakukan dengan lidi kapas à refleks
yang intak artinya sacral pathway normal.
•   Pemeriksaan prolaps dilakukan dengan meminta pasien melakukan manuver Valsalva
sebelum meletakkan spekulum dalam vagina untuk melihat seberapa jauh protrusi.
Tidak bisa manuver Valsalva à batuk.
•   Inspekulo à struktur akan diangkat/dipindahkan secara artifisial.
•   Pemeriksaan bimanual dilakukan untuk mengidentifikasi patologi lainnya dan
mengukur tonus otot dasar panggul. Ketika mengevaluasi, jari ketiga diletakkan 1-3 cm
di dalam himen, arah jam 4 lalu jam 8. Tonus dan kekuatan istirahat otot dinilai
menggunakan skala grading Oxford 0-5, 5 menunjukkan kekuatan dan tonus normal.
Kesimetrisan otot juga dinilai, otot yang asimetris dengan terpalpasinya defek/jaringan
parut kemungkinan berhubungan dengan persalinan dengan forceps, episiotomi atau
laserasi sebelumnya.

Asesmen di atas dapat menjawab 3 pertanyaan :


1.   Apakah protrusinya melebihi himen?
2.   Bagian apa yang dipresentasikan dari prolaps (anterior, posterior, apikal)?
3.   Apakah genital hiatus melebar signifikan ketika terjadi peningkatan tekanan
intraabdomen?

Prolaps merupakan kondisi dinamik yang merespon terhadap efek gravitasi dan tekanan
intraabdomen, seringkali memburuk di siang hari atau selama aktivitas fisik. Maka prolaps
sering tidak terlalu jelas pada saat pemeriksaan di pagi hari. Jika prolaps sulit diamati, pasien
dapat diperiksa pada posisi berdiri dan selama manuver Valsalva.

Jika pemeriksaan POP-Q dilakukan, Gh dan Pb diukur dengan manuver Valsalva. TVL
kemudian diukur dengan meletakkan forceps ring yang ditandai, atau penggaris pada apeks
vagina dan menandai jarak ke himen.

  27  
VII.   PENDEKATAN TATALAKSANA
1.   Observasi

Wanita dengan POP dapat mengalami sedikit gejala dan tidak merasa terganggu
dengan penyakit yang dialaminya. Situasi ini khusus untuk pasien dengan prolap ringan atau
yang tidak meluas melewati hymen. Untuk kasus ini, observasi merupakan pilihan terapi yang
tepat. Pasien dengan POP yang diterapi observasi harus diperiksa secara periodik untuk
mengetahui perkembangan dari prolaps dan gejala-gejala baru yang muncul atau penyakit
yang harus mendapatkan terapi segera.

2.   Manajemen Non-Operatif

Terapi Tambahan
Terapi tambahan dikerjakan untuk menangani gejala-gejala saat BAK, BAB, dan fungsi
seksual pada setiap pasien yang mengalami POP. Salah satu contoh masalah klinis yang sering
ditangani, pasien sering mengalami masalah BAB, seperti mengedan berlebih dan merasa
evakuasi feses yang tidak lengkap. Pada pemeriksaan fisik ditemukan prolaps vagina posterior
(rectocele) stadium II atau III. Pasien diberikan terapi untuk mengatur kebiasaan BAB dan
mencegah mengedan terlalu lama. Pasien juga diberikan cairan dan serat yaitu, minum 6-
8 gelas dan minimal 20 gram serat perhari. Pasien seharusnya dibuatkan jadwal untuk BAB
sesudah makan secara teratur. Padasaat diperlukan dapat diberi cairan osmotik seperti
polyethylene glycol atau cathartic laxative seperti (bisacodryl). Jika gejala pasien membaik,
direkomendasikan untuk tidak memberi terapi lain. Keluhan BAB pasien yang tidak membaik
walupun dengan terapi yang adekuat, diperlukan konsultasi dengan ahli Gastroenterologi

3.   Latihan Otot Dasar Panggul


Latihan otot dasar panggul dikerjakan untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot- otot
panggul sehingga memperbaiki penyokongan terhadap organ panggul. Bukti secara langsung
bahwa latihan otot dasar panggul dapat mencegah atau mengobati prolaps belum terbukti,
namun latihan ini efektif untuk IU dan IA. Penguatan otot panggul sering mengurangi gejala
akibat penekanan panggul yang sering menyertai prolaps. Prolaps berat nampaknya tidak
mungkin membaik dengan latihan otot dasar panggul, namun pasien tetap merasakan adanya
perbaikan gejala

  28  
4.   Penggunaan Pesarium
Indikasi terapi menggunakan pesarium meliputi kehamilan dan kontraindikasi medis khusus
untuk melakukan operasi pada pasien tua dan lemah. Pesarium juga dapat digunakan pada
semua keadaan dimana pasien memilih untuk tidak operasi. Pesarium dapat disesuaikan pada
setiap pasien yang mengalami POP tanpa memperhatikan stadium atau tempat predominan
terjadinya prolaps. Pesarium digunakan oleh hampir 75% Urogynecologist sebagai terapi lini
pertama untuk prolaps. Pesarium tersedia dalam berbagai bentuk dan ukuran, dan dapat
dikategorikan sebagai suportif (pesarium cincin) atau memenuhi celah (pesarium donut)
Pesarium yang sering digunakan untuk prolaps meliputi pesarium cincin (dengan atau tanpa
penyokong) dan Gellhorn, donut dan pesarium kubusPada kebanyakan pasien (antara 50-
73%), ukuran pesarium yang tepat dapat disesuaikan saat kedatangan pertama atau kedua.
Persentasi pasien lebih rendah (41-67%) tetap mempertahankan pesarium yang digunakan.
Beberapa dokter jarang menggunakan pesarium untuk prolaps yang berat. Penelitian terbaru
tidak menemukan hubungan antara stadium prolaps dan hasil pengujian pesarium. Tipe dari
pesarium yang digunakan kemungkinan berhubungan dengan keparahan dari prolaps. Pada
satu penelitian, pesarium cincin dimasukkan pertama kali kemudian diikuti pesarium
Gellhorn jika cincin tidak diam pada tempatnya. Pesarium cincin lebih berhasil digunakan
pada prolaps stadium II (100%) dan stadium III (71%). Pada prolaps stadium IV lebih sering
diperlukan pesarium Gellhorn (64%).Pada sebuah penelitian tentang penggunaan pesarium
selama 2 bulan, 92% pasien dengan POP merasa puas dengan terapi menggunakan pesarium.
Hampir semua gejala prolaps membaik dan 50% masalah saluran urinarius berkurang.
Stadium prolaps atau aktivitas seksual bukan kontraindikasi pemakaian pesarium. Dokter
seharusnya mendiskusikan pilihan terapi menggunakan pesarium dengan semua pasien POP.
Penggunaan pesarium seharusnya dipertimbangkan sebelum intervensi operasi pada pasien
dengan prolaps yang mengalami gejala

  29  
5.   TATALAKSANA PEMBEDAHAN

Dalam mempersiapkan tindakan bedah untuk prolaps, pasien harus memiliki pemahaman
mengenai hasil yang diharapkan dan ahli bedah harus memiliki pemahaman mengenai
ekspektasi pasien. Umumnya pasien mengharapkan pemulihan gejala, sedangkan ahli bedah
melihat pemulihan anatomi sebagai keberhasilan tindakan. Pada trial CARE, tidak adanya
gejala penonjolan vagina memiliki hubungan paling kuat terhadap penilaian pasien mengenai
perbaikan keseluruhan dan keberhasilan pembedahan, sedangkan keberhasilan anatomis saja
tidak. Maka dari itu direkomendasikan bahwa keberhasilan tindakan bedah didefinisikan
sebagai tidak adanya gejala tonjolan selain kriteria anatomis. 2 kategori pembedahan prolaps
yaitu obliteratif dan rekonstruktif.

a. Prosedur Obliteratif

Pendekatan obliteratif meliputi kolpokleisis Lefort dan kolpokleisis komplet

Tindakan ini dapat dilakukan untuk wanita dengan prolaps pasca histerektomi atau mereka
yang masih memiliki uterus. Prosedurnya yaitu menghilangkan epitel vagina, menjahit dinding
anterior dan posterior vagina bersamaan, melenyapkan kubah vagina, dan secara efektif
menutup vagina. Prosedur ini hanya tepat untuk wanita lansia atau pasien yang kompromais
secara medis yang tidak memiliki keinginan untuk aktivitas koitus berikutnya.

Secara teknik prosedur obliteratif ini lebih mudah, membutuhkan waktu operatif yang lebih
pendek, dan memberikan tingkat keberhasilan yang superior dibandingkan prosedur
rekonstruktif. Tingkat keberhasilannya bervariasi dari 91-100%. Setelah kolpokleisis, <10%
pasien merasakan menyesal, paling sering karena tidak bisa koitus lagi. Maka dari itu,
persetujuannya harus melibtakan diskusi yang jujur dengan pasien dan pasangannya terkait
hubungan seksual setelahnya. Inkontinensia urin stres laten dapat dibuka kedoknya oleh
kolpokleisis karena menyebabkan traksi ke bawah pada uretra.

Pada pasien yang masih memiliki uterus, histerektomi vaginal dapat dilakukan sebelum
kolpokleisis. Akan tetapi, histerektomi yang bersamaan akan meningkatkan waktu operasi dan
kehilangan darah. Pada pasien yang kompromais, ini dapat menangkal beberapa manfaat utama
dari kolpokleisis. Jika retensi uterus pada waktu kolpokleisis direncanakan, maka harus
mengeksklusikan neoplasia praoperatif, yaitu dengan melakukan uji Papsmear. Untuk
neoplasia endometrium, dapat dilakukan pengambilan sampel endometrium dan/atau
interogasi sonografi dari ketebalan garis endometrium.

  30  
b. Prosedur Rekonstruktif

Prosedur bedah ini bertujuan untuk mengembalikan anatomi panggul normal melalui rute
vaginal, abdominal, laparoskopik atau robotik, dan lebih umum dilakukan daripada prosedur
obliteratif. Di AS, pendekatan vaginal lebih dipilih.

Pendekatannya diindividualisasi dan tergantung pada faktor karakteristik pasien dan ekspertisi
ahli bedah. Pendekatan abdominal lebih bermanfaat untuk wanita dengan rekurensi prolaps
setelah dilakukan pendekatan vaginal, mereka dengan vagina yang memendek, atau mereka
yang berisiko tinggi rekurensi, misalnya prolaps derajat berat.

Sebaliknya, pendekatan vaginal memberikan waktu operatif yang lebih pendek dan waktu
untuk kembali ke aktivitas sehari-hari lebih cepat. Pendekatan laparoskopik dan robotik dapat
memberikan insisi yang lebih kecil, waktu rawat inap lebih pendek, dan pemulihan jangka
pendek lebih cepat daripada pendekatan abdominal.

Prosedur dari pendekatan laparoskopik dan robotik berupa sacrocolpopexy, paravaginal


repair, dan suspensi kubah vagina ke ligamen uterosakral.

c. Rencana Pembedahan

Perbaikan prolaps rekonstruktif sering melibatkan beberapa kompartemen vagina, namun


keputusan mengenai kompartemen mana yang diperbaiki tidak selalu mudah. Dahulu
pendekatan langsung pada daerah yang mengalami defek lebih banyak dipilih, yang dengan
strategi ini seluruh defek potensial/laten akan langsung terevaluasi dan diperbaiki. Akan tetapi,
berbagai ahli beropini bahwa area prolaps yang asimtomatik tidak selalu perlu diperbaiki dan
koreksi justru dapat menyebabkan munculnya gejala de novo pada beberapa kasus. Contoh,
perbaikan pada prolaps dinding posterior asimtomatik menyebabkan dispareunia.

Kompartemen Anterior

•   Kolporafi anterior merupakan tindakan operasi yang tersering dilakukan, akan tetapi
keberhasilan anatomis jangka panjangnya suboptimal. Weber dan asosiasi menemukan
rendahnya tingkat keberhasilan anatomis. Meskipun demikian, tindakan ini
menyebabkan perbaikan gejala yang signifikan. Definisi keberhasilan yang dicapai
melalui tindakan ini yaitu : tidak ada prolaps mencapai himen, tidak ada gejala prolaps,
tidak ada pengobatan berulang dan 88% subyek mencapai luaran klinis ini. Defek
sentral atau garis tengah dapat ditatalaksana dengan kolporafi anterior (1088).

  31  
•   Mesh atau biomaterial dapat digunakan bersama dengan kolporafi anterior atau bisa
digunakan sendiri, untuk menguatkan dinding vagina dan nantinya dijahit di lateral.
Akan tetapi, penggunaan mesh atau mesh kit untuk tatalaksana prolaps vagina anterior
masih kontroversial. Meskipun studi yang terbaru menunjukkan keberhasilan perbaikan
anatomis ketika mesh digunakan untuk perbaikan dinding anterior, ada juga risiko yang
signifikan seperti erosi mesh, nyeri, dan dispareunia.
•   Pada beberapa kasus, prolaps dinding vagina anterior terjadi akibat defek fibromuskular
pada segmen apikal anterior atau terlepasnya segmen apikal anterior dari apeks vagina.
Pada situasi ini, prosedur suspensi apikal seperti sacrocolpopexy abdominal atau
uterosacral ligament vaginal vault suspension akan menggantung ulang dinding vagina
anterior ke apeks dan mengurangi prolaps dinding anterior.
•   Alternatifnya jika mencurigai defek lateral, paravaginal repair dapat dilakukan melalui
rute vaginal, abdominal, atau laparoskopik (1090). Prosedurnya dilakukan dengan
menempelkan ulang lapisan fibromuskular dinding vagina ke arcus tendineus fascia
pelvis.

Apeks Vagina

•   Apeks vagina dapat diresuspensi dengan berbagai prosedur yang meliputi


sacrocolpopexy abdominal, sacrospinous ligament fixation, atau uterosacral ligament
vaginal vault suspension.
•   Sacrocolpopexy dapat dilakukan sebagai prosedur abdominal, laparoskopik, atau
robotik. Sacrocolpopexy abdominal menggantung kubah vagina ke sakrum
menggunakan mesh sintetis. Keuntungannya berupa durabilitas prosedur ini sepanjang
waktu dan konversi anatomi vagina normal, memungkinkan mobilitas aspeks vagina
yang paling besar, mencegah pemendekan vagina, koreksi abadi dari prolaps apikal,
serta tingkat keberhasilan tangka panjang sekitar 90%. Prosedur ini dapat digunakan
sebagai pembedahan primer atau sekunder untuk wanita dengan rekurensi setelah
kegagalan dari perbaikan prolaps yang lain.
•   Ketika histerektomi dilakukan bersama dengan sakrocolpopexy, perlu dipertimbangkan
untuk melakukan histerektomi supraservikal daripada histerektomi abdominal total.
Dengan serviks tetap ditinggalkan di situ, maka risiko erosi mesh pasca operasi pada
apeks vagina akan berkurang. Pada kasus ini, mesh juga tidak akan terpapar oleh bakteri
vagina yang terjadi ketika vagina dibuka dengan histerektomi total. Selain itu, jaringan
ikat yang kuat dari serviks memberikan titik berlabuh tambahan untuk mesh permanen.

  32  
•   Opsi yang lain, sacrospinous ligament fixation (SSLF) merupakan salah satu prosedur
yang paling populer untuk suspensi apikal. Apeks vagina digantung ke lig.
Sacrospinosus unilateral atau bilateral menggunakan pendekatan vaginal
ekstraperitoneal. Prolaps apikal rekurens pasca prosedur ini jarang dilaporkan, namun
prolaps dinding vagina anterior kerap terjadi pada 6-28% pasien akibat tekanan
abdomen yang dialihkan ke anterior. Komplikasi prosedur ini yaitu nyeri gluteal akibat
keterlibatan saraf pada 3% kasus dan cedera vaskular pada 1% kasus. Meskipun jarang
terjadi, perdarahan yang signifikan dan mengancam nyawa dapat mengikuti cedera ke
pembuluh darah yang terletak di dekat ligamen.
•   Uterosacral ligament vaginal vault suspension merupakan metode pembedahan apikal
yang prosedurnya melekatkan apeks vagina ke sisa ligamen uterosakral setingkat spina
ischiadica atau lebih tinggi. Prosedur ini dilakukan secara vaginal maupun abdominal
dan dapat memposisikan apeks vagina lebih anatomis daripada SSLF yang
mendefleksikan vagina ke posterior. Studi yang mendukung tindakan ini terbatas pada
studi kasus retrospektif, yang mengatakan bahwa tingkat rekurensi prolaps vagina
anterior bervariasi antara 1-7% dan tingkat rekurensi keseluruhannya sebesar 4-18%.

Histerektomi bersamaan dengan perbaikan prolaps

Di AS, histerektomi sering dilakukan bersamaan dengan pembedahan prolaps. Sebaliknya di


berbagai negara Eropa, jarang dilakukan selama rekonstruksi dasar panggul. Jika prolapsnya
apikal atau ada prolaps uterus, histerektomi akan memungkinkan apeks vagina untuk
diresuspensi dengan prosedur suspensi apikal yang disebutkan sebelumnya. Jika histerektomi
tidak dilakukan pada prolaps apikal, prosedur ini harus dimodifikasi atau dilakukan prosedur
suspensi uterus spesifik (tidak disebutkan di teks ini). Jika prolapas apikal/servikal tidak ada,
histerketomi tidak perlu diikutkan dalam repair prolaps.

Kompartemen posterior

•   Prolaps dinding vagina posterior dapat disebabkan oleh enterocele atau rectocele.
Diskontinuitas lapisan fibromuskular dinding vagina anterior dan posterior
memungkinkan herniasi ini. Perbaikan enterocele bertujuan untuk melekatkan kembali
lapisan fibromuskular. Pada rectocele, kolporafi posterior dapat dilakukan dan
bertujuan untuk membangun kembali lapisan fibromuskular antara rektum dan vagina,
dengan cara melakukan lipatan garis tengah fibromuskular. Tingkat kesembuhan
anatomisnya antara 76 – 96% dan perbaikan dari gejala sebesar >75%. Untuk

  33  
menyempitkan genital hiatus dan mencegah rekurensi, beberapa ahli bedah melipat m.
Levator ani bersamaan dengan perbaikan posterior. Akan tetapi ini dapat berkontribusi
pada tingkat dispareunia 12-27%. Jadi mending dihindarkan pada wanita yang aktif
sksual.
•   Posterior repair site-specific merupakan pendekatan berbasis pada asumsi bahwa
robekan yang spesifik pada lapisan fibromuskular dapat diperbaiki secara terpisah-
pisah. Defek itu sendiri dapat terjadi di garis tengah, lateral, distal, atau superior.
Tingkat kesembuhan anatomis dari pendekatan ini antara 56 – 100%, setara dengan
kolporafi posterior. Akan tetapi, luaran klinis jangka panjangnya tidak diketahui.
Efikasi dan keamanan augmentasi graft pada dinding vagina posterior belum pasti,
sehingga penggunaan mesh untuk perbaikan dinding vagina posterior harus
dihindarkan.
•   Perbaikan dinding posterior juga dapat menggunakan metode sacrocolpoperineopexy,
yang merupakan modifikasi dari sacrocolpopexy, yaitu ketika pendekatan abdominal
dipilih atau ketika tatalaksana turun perineum dapat dilakukan.

Perineum

•   Badan perineum memberikan penyangga distal dari dinding vagina posterior dan
dinding rektum anterior serta melekatkan struktur ini ke dasar panggul. Terdisrupsinya
badan perineum memungkinkan penurunan vagina distal dan rektum, serta
berkontribusi terhadap pelebaran hiatus levator. Untuk membentuk ulang anatomi yang
normal, perineorrhaphy sering dilakukan bersama dengan kolporafi posterior (1096).
Selama pembedahan, perineum dibentuk ulang melalui plikasi garis tengah dari otot
perineum dan jaringan ikat. Plication (lipatan) yang terlalu agresif dapat memersempit
introitus, menciptakan ridge dinding vagina postterior dan menyebabkan dispareunia.
Akan tetapi pada wanita yang non aktif seksual, perineoraphy tinggi dengan tindakan
menyempitkan introtirus dipercaya menurunkan risiko rkurensi prolaps dinding
posterior.

  34  
DAFTAR PUSTAKA

Ambler DR, Bieber EJ, & Diamond MP 2012, “Sexual Function in Elderly Women: A Review
of Current Literature”, Reviews in Obstetrics & Gynecology, Vol 5, No. 1, Hal 16-27

Asmalinda, D, Nursiswati, & Ayu, PP 2012, „Gambaran Fungsi Seksual pada Wanita Penderita
Diabetes Mellitus Tipe 2‟, Jurnal Kesehatan, Universitas Padjajaran Bandung

Baiq, CH 2015, „Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Prolapsus


Uteri di RSUP Dr. Kariadi Semarang‟, Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro

Detollenaere RJ, Boon J, Stekelenburg J, Alhafidh AH, Hakvoort RA, Vierhout ME, et al.
2011, „Treatment of Uterine Prolapse Stage 2 or Higher: A Randomized Multicenter Trial
Comparing Sacrospinnosus Fixation with Vaginal Hysterectomy (SAVE U trial)‟, BMC
Womens Health Journal

Doster M, Putu 2012, „Sakrokolpopeksi dengan Laparoskopi untuk Penanganan Prolaps Organ
Panggul‟, Tesis, FK Universitas Udayana Bali

Giarenis, I & Robinson, D 2014 „Prevention and management of pelvic organ prolapse‟,
F1000Prime Reports, 6:77

Kate, MD, Yuko, MD, Ellen, Craig, Clifford, Qualls, et al 2015,‟Sexual Function and Pessary
Management Among Women Using a Pessary For Pelvic Floor Disorders‟, J Sex Med, 12
: 2339-2349

Larasati, Alpenia 2012, „Kepuasan Perkawinan pada Istri Ditinjau dari Keterlibatan Suami
dalam Menghadapi Tuntutan Ekonomi dan Pembagian Peran dalam Rumah Tangga‟,
Skripsi, Universitas Airlangga

Megadhana, I Wayan 2013, „Upaya Pencegahan Prolaps Organ Panggul‟, FK Universitas


Udayana Bali

Pranabakti, RA 2015, „Perbandingan Kualitas Hidup Pasien Prolaps Uteri yang dilakukan
Operasi dengan yang dilakukan Konservatif di RSUD Dr. Moewardi Surakarta‟,
Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

  35  
  36  

Anda mungkin juga menyukai