Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN PBL 4

FRACTURE IN ELDERY

(Blok MEC 201 Konsep Patologi 2)

Disusun oleh:

PBL 13

Aprilda Y.T.T.Karupukaro 201906000021


Brigita Putri Saraswati 201906000238
Bryan Angelo 201906000069
Christie Cung 201906000087
Edward Hasim 201906000215
Eggi Hevryka Yoana 201906000144
Frederika 201906000082
Grace Angelica Kodrata 201906000126
Justin Kie 201906000214
Lura Maharani 201906000197
Nabila Mayori Arsanti 201906000236
Septiana Ailen 201906000040

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KATOLIK INDONESIA ATMA JAYA

JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karuniaNya kami dapat melakukan proses diskusi kegiatan Problem Based Learning (PBL)
keempat ini dengan lancar tanpa kekurangan suatu apapun. Ucapan terimakasih juga kami
sampaikan kepada dr. Komang Ardi Wahyuningsih, M. Biomed. selaku dosen pembimbing
yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing PBL ini dengan baik. Tak lupa juga
ucapan terima kasih disampaikan kepada anggota kelompok PBL 13 angkatan 2019 yang telah
berpartisipasi aktif dan kreatif dalam mendukung pelaksanaan kegiatan PBL secara dinamis
dan informatif.
Adapun tema sentral dari siklus PBL pada pertemuan ketiga ini adalah Fraktur pada
lansia. Fokus dari Learning Objectives (LO) yang kami rumuskan bersama dalam diskusi PBL
ini terangkum dalam 9 poin utama: Menjelaskan jenis-jenis, patofisiologis, gejala, faktor risiko,
pemeriksaan fisik dan penunjang, perawatan, healing proses, komplikasi dan riwayat penyakit
lain yang terkait dengan fraktur.
Laporan ini dibuat dalam tiga bagian utama, yakni pembukaan, isi, dan penutup.
Adapun pembukaan memuat kata sambutan, latar belakang, dan skenario masalah. Bagian isi
memuat klarifikasi istilah, identifikasi masalah, brainstorming, penentuan LO, belajar mandiri,
dan penyampaian hasil belajar mandiri. Bagian penutup memuat kesimpulan dan saran.
Semoga laporan diskusi PBL ini dapat meningkatkan semangat belajar dan keaktifan
berdiskusi untuk memecahkan suatu masalah secara kolektif (kelompok) dan memicu rasa
ingin tahu yang semakin besar dalam dunia kedokteran.

Jakarta, 17 Oktober 2020

Tim Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Skenario PBL

BAB II

ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Klarifikasi Istilah

2.2 Identifikasi Masalah

2.3 Brainstorming

2.4 Skema

2.5 Learning Objectives

2.6 Penyampaian Hasil Belajar Mandiri

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Semakin bertambahnya usia aktivitas fisik yang dapat dilakukan seseorang pun menjadi
terbatas yang juga disertai adanya penurunan fisiologis tubuh yang dapat meningkatkan risiko
yang dapat membahayakan para lansia. Keterbatasan aktivitas fisik yang dapat dilakukan serta
penurunan ketanggapan dan kelincahan lansia tersebut dapat menyebabkan beberapa kondisi
berbahaya salah satunya dapat terjadinya fraktur atau istilah umumnya dikenal dengan patah
tulang. Fraktur harus ditangani dengan segera karena bagian tulang yang mengalami fraktur
tersebut dapat melukai jaringan lain di sekitarnya yang dapat menyebabkan adanya inflamasi
akut hingga gangguan pada neurovascular yang dapat berakibat fatal.

1.2 Skenario PBL


A-67-year-old female admitted to emergency room with chief complaint of
tenderness, pain & swelling of her left wrist. According to the patient's child, about
2 hours ago, his mother slipped and fell in the bathroom. The position of falling was
in a sitting condition & patient's left hand on the floor to support her body. The
patient had no complaints before falling. There was no head trauma or open wounds
on her body. She has already started menopause since 20 years ago & was
diagnosed with osteoporosis since 5 years ago. Patient had no history of
hypertension, diabetes or other chronic diseases. Previous history of fracture was
denied. Before falling, patient can do activities at home independently & without
using walking aids. On physical examination the wrist appears deformed, bruised &
all of left fingers looked pale. Other physical examination & laboratory result were
within normal limit.
BAB II
ISI DAN PEMBAHASAN

2.1 Klarifikasi Istilah


1. Osteoporosis : kondisi medis dimana tulang menjadi rapuh akibat dari perubahan
hormon atau kekurangan kalsium dan vitamin D
2. Tenderness : rasa sakit jika pasien disentuh

2.2 Identifikasi Masalah


1. Apa saja faktor yang menyebabkan osteoporosis?
2. Faktor apa saja yang menyebabkan ibu terjatuh? (selain osteoporosis)
3. Apa hubungan menopause dan osteoporosis dengan scenario ini?
4. Apa gangguan yang ditimbulkan jika ibu tersebut mengalami hipertensi?
5. Apa saja jenis-jenis trauma dan luka?
6. Apa yang menyebabkan tangan kiri ibu pucat?
7. Tindakan pertama apa yang harus dilakukan?
8. Apa hubungan osteoporosis dengan fraktur ibu tersebut?
9. Apa yang akan terjadi jika fraktur tidak segera ditangani?
10. Apa saja yang menjadi penanda dari fraktur?
11. Apa saja faktor risiko dari fraktur?
12. Apa saja jenis-jenis dari fraktur? (dikaitkan dengan skenario)
13. Bagaimana cara penanganan fraktur?
14. Kenapa fraktur dapat menyebabkan pembengkakkan?
15. Komplikasi apa yang dapat terjadi jika terjadi fraktur?
16. Bagaimana pemeriksaan fisik dan lab dapat mempengaruhi fraktur?
17. Apa saja pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui fraktur?
18. Apa saja gejala dari pasien trauma dan fraktur?

2.3 Brainstorming
1. Apa definisi dari fraktur?
2. Apa saja jenis-jenis dari fraktur, trauma, dan luka
3. Apa patofisiologis dari fraktur?
4. Apa saja penanda atau gejala dari fraktur
5. Apa saja faktor risiko dari fraktur ?
6. Apa saja pemeriksaan fisik dan penunjang dari fraktur
7. Apa penanganan dari fraktur ?
8. Apa saja komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur ?
9. Apa saja riwayat penyakit lain yang dapat berhubungan dengan fraktur ?

2.4 Tentative Solution Menjawab Pertanyaan di Brainstorming


1. Definisi dari fraktur
- Fraktur atau patah tulang merupakan terputusnya diskontinuitas jaringan tulang/tulang
rawan normal

- Lokasi : tulang kaki, tangan, rusuk

2. Jenis-jenis dari fraktur, trauma, dan luka


- Fraktur terbuka : tulang menonjol/menembus kulit
- Fraktur tertutup : tulang tidak menembus keluar (hanya di dalam)
- Fraktur green stick : patah tulang pada 1 sisi namun mengalami pembengkokkan
- Fraktur colles : fraktur pada bagian distal os radius, biasa terjadi pada kondisi
terjatuh dan orang tsb menopang tubuhnya pada salah satu tangan

(Berdasarkan bagaimana tulang patah)

- Spiral
- Simple
- Transverse : fraktur secara horizontal
- Comminuted
- Impacted
- Compound

Trauma

- trauma langsung : langsung berbentur dengan tulang (tebentur benda keras)

- trauma tidak langsung : titik benturan dan fraktur berjauhan


3. Patofisiologis dari fraktur
- Karena beban berlebih menyebabkan tulang bergeser/berpindah, terdapat
fragmen kecil yang tajam membuat luka pada jaringan sekitarnya. Hal ini
menyebabkan jaringan sekitar mati dan menyebabkan peradangan yang hebat
(dapat menjadi tahapan dari penyembuhan tulang).
- Komposisi tulang yang tidak seimbang menyebabkan fraktur
- Orang yang memiliki komposisi normal kalau terjatuh belum tentu terjadi
fraktur

4. Penanda atau gejala dari fraktur


- Tenderness
- Nyeri
- Pembengkakan
- Tulang keluar dari kulit
- Bagian tubuh sulit digerakkan
- Deformitas
- Pendarahan pada luka terbuka
- Hilangnya fungsi dapat menyebabkan mati rasa atau kesemutan

5. Faktor risiko dari fraktur


- usia lanjut (wanita lebih sering terkena)
- kekurangan asupan nutrisi
- kebiasaan hidup buruk (merokok dan olahraga)
- estrogen berpengaruh penyerapan kalsium pada tubuh
- penyakit sendi
- sudah pernah terkena fraktur sebelumnya
- posisi jatuh pasien
- perubahan struktur tulang
- faktor pekerjaan
6. Pemeriksaan fisik dan penunjang dari fraktur
- penunjang : rontgen/x-ray, pemeriksaan darah (peningkatan leukosit),
kepadatan tulang (mencari apakah ada penyakit lain), arteriogram (melihat
kerusakan vascular)
- fisi: inspeksi (pembengkakkan/deformitas), palpasi (menyentuh dan
menggerakkan area fraktur), look (bengkak/memar/perubahan bentuk), feel,
movement

7. Penanganan dari fraktur


- pemakaian bidai : traksi, pemasangan bidai sesuai prinsip (stabilisasi dan
imobilitas), pengcekkan vascular sebelum dan sesudah pembidaian
- imobilisasi : eksterna dan interna (fiksasi interna menggunakan plat, screw)
- perawatan definitive : gips, operasi, obat pereda nyeri
- terapi fisik (untuk menguatkan otot)
- memberikan obat pereda pembengkakan

8. Komplikasi dari fraktur


- komplikasi neurovascular (kurangnya aliran darah menyebabkan pucat pada
kulit dan jika aliran darah berkurang dalam waktu lama maka meyebabkan
kecacatan permanen)
- syok hipovolemik (dapat menyebabkan cairan tubuh mengalami penurunan)
- inflamasi lebih lanjut
- kecacatan permanen
- kerusakan saraf dan pembuluh darah sekitar
- Non-union (tulang patah tidak dapat menyatu kembali)
- Pendarahan berlebihan pada fraktur terbuka
- abnormalitas bentuk

9. Riwayat penyakit lain yang berhubungan dengan fraktur


- Osteoporosis : menyebabkan tulang lemah
- Komplikasi sendi
- Penyakit metabolik : seperti diabetes menyebabkan penyembuhan terhambat
- Trauma tulang

2.5 Skema

2.6 Learning Objectives


1. Menjelaskan Jenis-jenis dari fraktur
2. Menjelaskan Patofisiologis dari fraktur
3. Menjelaskan Penanda atau gejala dari fraktur
4. Menjelaskan faktor risiko dari fraktur
5. Menjelaskan pemeriksaan fisik dan penunjang dari fraktur
6. Menjelaskan penanganan dari fraktur
7. Menjelaskan komplikasi yang dapat ditimbulkan dari fraktur
8. Menjelaskan riwayat penyakit lain yang berhubungan dengan fraktur
9. Menjelaskan healing proses dan remodelling tulang pada lansia
2.7 Penyampaian Hasil Belajar Mandiri
1. Menjelaskan Jenis - Jenis Fraktur
Terdapat banyak jenis dan pola patah tulang yang masing-masing
membutuhkan prosedur yang berbeda untuk menanganinya. Ada beberapa jenis
kategori patah tulang, yakni 1) Displaced Fracture, keadaan patah tulang dimana tulang
patah menjadi dua bagian atau lebih dan tulang bergerak keluar dari posisi sejajarnya;
2) Non-Displaced Fracture, keadaan patah tulang dimana tulang tidak bergerak keluar
dari posisi sejajar; 3) Fraktur tertutup, keadaan patah tulang dimana tulang tidak
menembus ke kulit; 4) Fraktur terbuka, keadaan patah tulang diaman tulang yang patah
menonjol keluar melalui kulit atau luka mengarah ke lokasi fraktur yang jika tidak
segera ditangani dapat menyebabkan infeksi serta perdarahan eksternal.
Selain itu apakah tulang mengalami displacement atau non-displacement maka
akan diberi nama pola patah tulang. Berikut beberapa jenis pola patah tulang, 1) Fraktur
Avulsi yaitu ketika fragmen tulang dipisahkan dari massa utama; 2) Buckle Fracture
atau Impacted Fracture yaitu ujungnya didorong ke satu sama lain dan sering terjadi
pada anak - anak; 4) Fraktur Komunikatif yaitu tulang pecah menjadi beberapa bagian;
5) Fraktur Greenstick yaitu fraktur tidak lengkap dimana tulang ditekuk, tulang yang
patah tidak sepenuhnya lepas dan sering terjadi pada anak - anak. 6) Kompresi atau
Wedge yang biasanya melibatkan tulang belakang (vertebrae). Tulang dihancurkan
menyebabkan tulang yang patah terlihat lebih lebar atau rata 7) Fraktur Linear yaitu
patah tulang dimana patahan sejajar dengan sumbu panjang tulang; 8) Oblique Fracture
adalah patah tulang patahan memiliki pola melengkung atau miring; 9) Fraktur
Patologis merupakan patah tulang yang disebabkan oleh penyakit yang melemahkan
tulang ;10) Fraktur Spiral adalah keadaan patah tulang dimana satu bagian tulang telah
terpelintir pada titik putus ; 11) Fraktur Transversal adalah patah tulang dimana bagian
tulang yang patah berada pada sudut siku-siku terhadap sumbu tulang.

2. Patofisiologi dari Fraktur

Fraktur dapat sembuh dengan dua mekanisme berbeda tergantung pada posisi
dan stabilitasnya. Dengan penyembuhan primer, perbaikan terjadi secara internal, dan
tidak ada kalus yang terbentuk. Penyembuhan sekunder atau tidak langsung melibatkan
pembentukan kalus bertulang dan kemudian pemodelan ulang eksternal untuk
menjembatani celah tersebut.

Empat fase penyembuhan patah tulang tidak langsung adalah sebagai berikut:

1. Fraktur dan fase inflamasi

2. Jaringan granulasi / pembentukan kalus lunak

3. Pembentukan kalus keras, termasuk pembuatan tulang anyaman

4. Renovasi, termasuk pembuatan tulang pipih

Cedera patah tulang berarti terjadi pula kerusakan pada sumsum tulang,
periosteum, dan jaringan lunak lokal. Tahap terpenting dalam penyembuhan fraktur
adalah fase inflamasi dan pembentukan hematoma selanjutnya. Selama tahap inilah
mekanisme pensinyalan seluler bekerja melalui kemotaksis dan mekanisme inflamasi
untuk menarik sel yang diperlukan untuk memulai respons penyembuhan.

Dalam 7 hari, tubuh membentuk jaringan granulasi di antara fragmen fraktur.


Berbagai zat pemberi sinyal biokimia terlibat dalam pembentukan kalus lunak, yang
berlangsung sekitar 2 minggu.

Selama pembentukan kalus keras, proliferasi dan diferensiasi sel mulai


menghasilkan osteoblas dan kondroblas di jaringan granulasi. Osteoblas dan
kondroblas, masing-masing, mensintesis matriks organik ekstraseluler dari anyaman
tulang dan tulang rawan, dan kemudian tulang yang baru terbentuk termineralisasi.
Tahap ini membutuhkan waktu 4-16 minggu.

Selama tahap keempat, kalus berbentuk jaring dari tulang anyaman digantikan
oleh tulang pipih keras, yang disusun sejajar dengan sumbu tulang. Tahap terakhir ini
melibatkan pemodelan ulang tulang di lokasi penyembuhan fraktur oleh berbagai jenis
seluler seperti osteoklas. Renovasi bisa memakan waktu berbulan-bulan hingga
bertahun-tahun, tergantung pada faktor pasien dan patah tulang.

3. Penanda atau Gejala Fraktur


Beberapa gejala dari fraktur seperti,
a. Deformitas

Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi


fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan tungkai, deformitas rotasional,
atau angulasi. Dibandingkan sisi yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas
yang nyata.

b. Pembengkakan

Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan serosa pada
lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.

c. Memar

Memar terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur.

d. Spasme otot

Spasme otot involunter berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi


gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.

e. Nyeri

Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi fraktur,
intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda pada masing-masing klien. Nyeri
biasanya terus-menerus , meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena
spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur sekitarnya.

f. Ketegangan

Ketegangan di atas lokasi fraktur disebabkan oleh cedera yang terjadi.

g. Kehilangan fungsi

Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau karena
hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat
terjadi dari cedera saraf.

h. Gerakan abnormal dan krepitasi


Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang atau gesekan
antar fragmen fraktur.

i. Perubahan neurovaskular

Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur


vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas atau kesemutan atau tidak
teraba nadi pada daerah distal dari fraktur

j. Syok

Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau


tersembunyi dapat menyebabkan syok.

K. Krepitasi

Krepitasi adalah suara pada persendian yang disebabkan oleh gesekan ujung
dari tulang yang patah.

4. Faktor Risiko dari Fraktur

Usia merupakan salah satu faktor yang tidak lagi dapat dipungkiri dari kasus
fraktur pada skenario ini. Kepadatan tulang dan massa otot cenderung menurun seiring
bertambahnya usia sehingga hal ini dapat meningkatkan risiko lansia mengalami
fraktur. Orang tua juga bisa mengalami masalah dengan penglihatan dan keseimbangan,
yang bisa meningkatkan risiko jatuh yang dapat berakibat terjadinya fraktur.

Selain usia, jenis kelamin juga menjadi salah satu faktor risiko terlebih pada
skenario tersebut tertulis bahwa seorang wanita yang mengalami fraktur. Wanita
mengalami kehilangan kepadatan tulang yang lebih cepat daripada pria, hal ini
dikarenakan penurunan kadar estrogen yang terjadi saat menopause mempercepat
pengeroposan tulang. Wanita jauh lebih mungkin mengalami patah tulang daripada
pria, hal ini dibuktikan pada sebuah penelitian dimana satu dari dua wanita di atas usia
50 tahun akan mengalami patah tulang dalam hidupnya.

Merokok merupakan faktor risiko patah tulang karena berdampak pada kadar
hormon. Wanita yang merokok umumnya mengalami menopause pada usia yang lebih
dini. Menurut National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases,
lebih dari 20 tahun yang lalu merokok dianggap sebagai faktor risiko pengeroposan
tulang lebih. Tapi untuk melihat dampak penuh dari merokok pada kesehatan tulang itu
rumit, karena faktor lain dapat terlibat. Misalnya, Pada perokok sering cenderung juga
mengkonsumsi banyak minum alkohol, kurang olahraga, dan pola makan yang buruk.
Intinya, sebagian besar penelitian menunjukkan, bahwa merokok meningkatkan risiko
patah tulang.

Minum alkohol secara berlebihan dapat memengaruhi struktur dan massa


tulang. Penelitian yang diterbitkan oleh National Institute on Alcohol Abuse and
Alcoholism menunjukkan bahwa banyak minum alkohol kronis selama bertahun-tahun
dapat menurunkan kualitas dari tulang serta dapat meningkatkan risiko keropos tulang
yang akan berdampak pada meningkatnya potensi patah tulang dikarenakan minum
alkohol yang berlebihan dapat mempengaruhi metabolisme vitamin D.

Faktor risiko lainnya adalah Steroid (Kortikosteroid) yang sering diresepkan


untuk mengobati kondisi pandangan kronis, seperti rheumatoid arthritis. Sayangnya,
kebutuhan untuk menggunakannya dengan dosis yang meningkat seringkali dapat
menyebabkan keropos tulang dan patah tulang. Karena efek samping yang tidak
diinginkan secara berlangsung bergantung dengan kemampuan steroid untuk
menghalangi pembentukan tulang dan membatasi penyerapan kalsium di saluran
pencernaan serta meningkatkan hilangnya kalsium dalam urin.
Arthritis rheumatoid juga menambah kompleksitas, rasa sakit dan fungsi sendi
yang buruk sehingga mengurangi tingkat aktivitas yang selanjutnya akan mempercepat
keropos tulang dan patah tulang. Selain itu, ada juga gangguan kronis lain seperti Celiac
Disease, Crohn’s Disease, dan Ulcerative Colitis sering dikaitkan dengan
pengeroposan tulang yang dapat dipercepat dengan pengobatan steroid.
Diabetes juga menjadi salah satu faktor risiko dari fraktur. Karena penderita
Diabetes Tipe 1 seringkali memiliki kepadatan tulang yang rendah. Pada penderita
Diabetes Tipe 2, biasanya dengan onset dikemudian hari, penglihatan yang buruk,
kerusakan saraf, dan ketidakaktifan dapat menyebabkan jatuh walaupun kepadatan
tulangnya lebih tinggi dibanding dengan penderita Diabetes Tipe 1, kualitas tulang
dapat dipengaruhi oleh perubahan metabolisme karena kadar gula darah yang tinggi.
Riwayat adanya fraktur meningkatkan risiko patah tulang sebesar 86%,
dibandingkan dengan orang yang tidak pernah mengalami patah tulang sebelumnya.
Baik pria maupun wanita hampir dua kali (1,86 kali) lebih mungkin mengalami patah
tulang kedua dibandingkan dengan orang yang bebas patah tulang

Sejarah keluarga

Riwayat patah tulang orang tua (terutama riwayat keluarga patah tulang
pinggul) dikaitkan dengan peningkatan risiko patah tulang yang tidak tergantung pada
kepadatan mineral tulang

Etnis

Studi telah menemukan osteoporosis lebih sering terjadi pada populasi


Kaukasia dan Asia, dan kejadian osteoporosis dan patah tulang pinggul dan tulang
belakang lebih rendah pada orang kulit hitam daripada pada orang kulit putih.

-menopause

Penuaan mengurangi kekuatan tulang pada wanita pasca menopause karena


defisiensi estrogen mempercepat resorpsi tulang. Kepadatan mineral tulang (BMD)
menurun lebih dari 2,5 standar di bawah rata-rata orang dewasa muda yang sehat. Ini
mendefinisikan osteoporosis, suatu kondisi yang terkait dengan peningkatan risiko
patah tulang.

-kurang asupan nutrisi terutama kalsium dan vit. D

Jika kalsium tidak cukup dalam darah, maka tubuh akan mengambil kalsium
dari tulang, sehingga dapat melemahkan tulang. Vitamin D membantu tubuh menyerap
kalsium dan fosfor. Memiliki jumlah vitamin D, kalsium, dan fosfor yang tepat penting
untuk membangun dan menjaga tulang yang kuat.

-memiliki gaya hidup yang kurang aktif: aktivitas yang menggunakan tulang
selama masa dewasa muda dapat meningkatkan BMD di usia paruh baya. Selain
meningkatkan BMD, aktivitas tulang selama masa dewasa meningkatkan ukuran
tulang, area kortikal dan kekuatan dan mengurangi risiko patah tulang pinggul di
kemudian hari.
-Wanita yang lebih tua lebih sering menderita osteoporosis daripada pria karena
dua alasan: (1) Tulang wanita kurang masif daripada tulang pria, dan (2) produksi
estrogen pada wanita menurun drastis saat menopause, sedangkan produksi androgen
utama, testosteron, pada pria yang lebih tua berkurang secara bertahap dan hanya
sedikit. Estrogen dan testosteron menstimulasi aktivitas osteoblas dan sintesis matriks
tulang.

5. Pemeriksaan Fisik dan Penunjang dari Fraktur


Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah look, feel, dan move. Pemeriksaan
ekstremitas juga harus melingkupi vaskularisasi dari ekstremitas termasuk warna, suhu,
perfusi, perabaan denyut nadi, capillary return (normalnya < 3 detik) dan pulse
oximetry. Pemeriksaan neurologi yang detail juga harus mendokumentasikan fungsi
sensoris dan motoris
Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI adalah prosedur yang menghasilkan
gambar yang lebih detail. Biasanya digunakan untuk fraktur yang lebih kecil atau
fraktur stres.
Pemindaian tomografi terkomputerisasi (CT/ CAT scan), prosedur pencitraan
tiga dimensi yang menggunakan kombinasi sinar-X dan teknologi komputer untuk
menghasilkan irisan, (gambar penampang), horizontal dan vertikal, tubuh.
Arteriogram dapat menjadi salah satu pemeriksaan penunjang untuk
mengidentifikasi bila ada kerusakan vaskuler yg disebabkan oleh fraktur

Untuk pemeriksaan osteoporosis dilakukan pemeriksaan 1) CT scan tulang belakang:


CT scan tulang belakang dilakukan untuk menilai keselarasan dan patah tulang. Ini
dapat digunakan untuk mengukur kepadatan tulang dan menentukan apakah
kemungkinan patah tulang belakang terjadi ; 2) MRI tulang belakang: Pencitraan
resonansi magnetik tulang belakang dilakukan untuk mengevaluasi patah tulang
belakang untuk bukti penyakit yang mendasari, seperti kanker, dan untuk menilai
apakah patah tulang itu lama atau baru ; 3) Hitung darah lengkap HT mungkin
meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (pendarahan bermakna pada sisi fraktur
atau organ jauh pada trauma multiple) Hb, leukosit, LED, golongan darah dan lain-lain
Untuk mendiagnosis osteoporosis dan menilai risiko patah tulang serta
menentukan kebutuhan Anda akan perawatan, dokter kemungkinan besar akan
memesan pemindaian kepadatan tulang.

Ujian ini digunakan untuk mengukur kepadatan mineral tulang (BMD). Ini
paling sering dilakukan dengan menggunakan absorptiometry sinar-x energi ganda
(DXA atau DEXA) atau densitometri tulang. Jumlah sinar-X yang diserap oleh
jaringan dan tulang diukur dengan mesin DXA dan berhubungan dengan kepadatan
mineral tulang.

Mesin DXA mengubah informasi kepadatan tulang menjadi skor T dan skor Z
Anda. Skor T mengukur jumlah tulang yang Anda miliki dibandingkan dengan
populasi normal orang yang lebih muda dan digunakan untuk memperkirakan risiko
Anda mengalami patah tulang dan kebutuhan akan terapi obat. Skor Z Anda mengukur
jumlah tulang yang Anda miliki dibandingkan dengan kelompok usia Anda. Angka ini
dapat membantu menunjukkan apakah diperlukan tes kesehatan lebih lanjut.

6. Penanganan dari Fraktur


Tujuan utama dalam penanganan awal fraktur adalah untuk mempertahankan
kehidupan pasien dan yang kedua adalah mempertahankan baik anatomi maupun fungsi
ekstremitas seperti semula. Adapun beberapa hal yang harus diperhatikan dalam
penanganan fraktur yang tepat adalah yang pertama survey primer yang meliputi
Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure. Kedua meminimalisir rasa nyeri,
ketiga mencegah cedera iskemia-reperfusi, keempat menghilangkan dan mencegah
sumber- sumber potensial kontaminasi.
Ketika semua hal diatas telah tercapai maka fraktur dapat direduksi dan reposisi
sehingga dapat mengoptimalisasi kondisi tulang untuk proses persambungan tulang dan
meminimalisasi komplikasi lebih lanjut.

Perawatan pertolongan pertama yang baik dan tepat sangat diperlukan dalam
menangani kondisi patah tulang selalu. Pertolongan pertama untuk patah tulang yang
paling penting adalah melakukan immobilisasi (membatasi pergerakan) pada area yang
cedera. Pertolongan pertama ini bisa menggunakan bidai dan belat serta mengontrol
perdarahan eksternal. Namun apabila terjadi fraktur yang serius seperti fraktur di kepala
atau tubuh seperti tengkorak, tulang rusuk, dan panggul harus ditangani oleh
paramedis.

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan ketika melakukan pertolongan


pertama patah tulang adalah sebagai berikut.

1. Menjaga posisi korban dalam keadaan diam (tidak bergerak) - jangan


memindahkan korban kecuali jika ada bahaya langsung. Memindahkan tulang
yang patah dapat meningkatkan nyeri dan pendarahan serta dapat merusak
jaringan di sekitar cedera. Hal ini dapat menyebabkan komplikasi dalam
perbaikan dan penyembuhan luka di kemudian hari
2. Merawat luka yang berdarah terlebih dahulu. Menghentikan pendarahan dengan
menekan kuat di situs dengan balutan bersih.Apabila tulang menonjol, berikan
tekanan di sekitar tepi luka
3. Jika perdarahan terkontrol, tutupi luka dengan balutan bersih
4. Jangan pernah mencoba untuk meluruskan tulang yang patah
5. Untuk patah tulang tungkai, berikan penyangga dan kenyamanan seperti bantal
di bawah tungkai bawah atau lengan bawah. Namun, jangan menyebabkan rasa
sakit lebih lanjut atau pergerakan tulang yang patah yang tidak perlu
6. Kemudian baru pasang bidai pada bagian yang patah tulang. Benda-benda
seperti papan kayu dan majalah lipat dapat digunakan untuk beberapa patah
tulang.
7. Gunakan gendongan untuk menopang patah tulang lengan atau tulang selangka
8. Angkat area yang retak jika memungkinkan dan gunakan kompres dingin untuk
mengurangi pembengkakan dan nyeri
9. Hentikan orang tersebut untuk makan atau minum apa pun sampai ia
memeriksakan diri ke dokter, jika ia perlu dioperasi

Prinsip ABCDE :

- Airway untuk menilai jalan napas (pemeriksaan adanya obstruksi jalan


napas dan usaha untuk membebaskan jalan napas)
- Breathing untuk mengamankan airway dan menjamin ventilasi baik
(ventilasi baik = fungsi paru, dinding dada, dan diafragma baik)
- Circulation = memperhatikan volume darah, pendarahan, dan cardiac
output
- Disability = menilai kesadaran, reaksi, dan ukuran pupil
- Exposure = pasien membuka seluruh pakaian

Treatment

- managemen rasa sakit > patah tulang tangan dalam anak, biasanya
dikasih ibuprofen atau kombinasi acetaminophen dan kodein
- immobilisasi: karena emg penyembuhan tulang itu proses natural yang
pasti terjadi, immobilisasi tujuannya lebih untuk memastikan fungsinya
paling optimal/paling mirip normal. Biasanya ada proses "reduction"
(geser tulang ke posisi awal). biasanya pakai anastesi karena nyeri hebat,
nanti akhirnya akan diimobilisasi dengan cast (fibreglass).
- ketika edema/pembengkakan turun, bisa diganti dengan brace yang bisa
dilepas (orthosis).
- Biasanya imobiliasi juga dilakukan dengan operasi (pen), tapi bisa pakai
ilizarov method (fiksasi pakai alat luar) batang/ pelat logam yg
dimasukan scr bedah untuk menopang tulang.
- buddy wrapping untuk tulang kecil (jari)
- operasi: hanya dilakukan kalau treatment konservatif
gagal/kemungkinan besar akan gagal/hasilnya kurang fungsinya (cth:
fraktur pinggul - biasanya osteoporosis, diminta op karena kemungkinan
mengakibatkan infeksi dada, nyeri tekanan, kondisi tidak pulih, deep
vein thrombosis, embolik pulmonari yang lebih berat dibanding op),
biasanya kalau fraktur pas di sendi disarankan op biar bisa dipastikan
tetap mulus persendiannya
- risk: infeksi
- bone grafting via op
- reinforcement pakai besi (ada kemungkinan stress shielding, atropi
karena metal sectionnya (untuk dikurangi efek jeleknya, pakai
titanium/alloy titanium), kalau installasinya pakai metal lain (titanium +
cobalt-chromium/stainless steel screws) bisa terjadi korosi, ion besi
yang bersirkulasi bisa merusak tulang secara lokal & sistem tubuh juga
bisa terpengaruhi
- supplemen vit D + additional kalsium bisa mengurangi kemungkinan
faktur tulang pada orang usia lanjut

Perawatan Non-Medis

- Mengonsumsi sumber vitamin D dan kalsium tinggi.


- Mengonsumsi makanan-makanan dengan kandungan gizi seimbang.
- Melakukan olahraga ringan secara rutin namun tidak secara berlebihan,
dan sebisa mungkin dibantu oleh terapis yang ahli.
- Menghindari melakukan aktivitas yang terlalu berat sampai tulang
dipastikan pulih total.
- Menjaga agar gips yang sudah dipasang atau area bekas operasi tidak
basah dan terbuka.

7. Komplikasi dari Fraktur

Komplikasi tergantung pada jenis cedera , usia pasien, adanya masalah


kesehatan lain (komordibitas) dan penggunaan obat yang mempengaruhi perdarahan,
seperti warfarin, kortikosteroid, dan NSAID. Komplikasi yang terjadi setelah fraktur
antara lain :

a. Cedera saraf

Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera dapat
menyebabkan cedera saraf. Perlu diperhatikan terdapat pucat dan tungkai pasien
yang sakit teraba dingin, ada perubahan pada kemampuan klien untuk
menggerakkan jari-jari tangan atau tungkai. parestesia, atau adanya keluhan
nyeri yang meningkat.

b. Sindroma kompartemen

Kompartemen otot pada tungkai atas dan tungkai bawah dilapisi oleh
jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika otot
mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respon terhadap fraktur
dapat menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen yang dapat mengurangi
perfusi darah kapiler. Jika suplai darah lokal tidak dapat memenuhi kebutuhan
metabolic jaringan, maka terjadi iskemia. Sindroma kompartemen merupakan
suatu kondisi gangguan sirkulasi yang berhubungan dengan peningkatan
tekanan yang terjadi secara progresif pada ruang terbatas. Hal ini disebabkan
oleh apapun yang menurunkan ukuran kompartemen.gips yang ketat atau
faktor-faktor internal seperti perdarahan atau edema. Iskemia yang
berkelanjutan akan menyebabkan pelepasan histamin oleh otot-otot yang
terkena, menyebabkan edema lebih besar dan penurunan perfusi lebih lanjut.

Peningkatan asam laktat menyebabkan lebih banyak metabolisme


anaerob dan peningkatan aliran darah yang menyebabkan peningkatan tekanan
jaringan. Hal ini akan menyebabkan suatu siklus peningkatan tekanan
kompartemen. Sindroma kompartemen dapat terjadi dimana saja, tetapi paling
sering terjadi di tungkai bawah atau lengan. Dapat juga ditemukan sensasi
kesemutan atau rasa terbakar (parestesia) pada otot.

Sindrom kompartemen adalah suatu kondisi dimana terjebaknya otot,


tulang, saraf dan pembuluh darah dalam jaringan parut akibat suatu
pembengkakan dari edema atau hematoma yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah. Kondisi sindrom kompartemen akibat komplikasi fraktur
hanya terjadi pada fraktur yang dekat dengan persendian dan jarang terjadi pada
bagian tengah tulang. Tanda khas untuk sindrom kompartemen adalah 5 P (pain/
nyeri local, pallor/ pucat, parestesi/tidak ada sensasi, pulselessness/ tidak ada
denyut nadi , perubahan nadi , perfusi yang kurang baik pada bagian distal, CRT
> 3 detik pada bagian distal kaki, paralysis/kelumpuhan tungkai)

Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma ortopedi infeksi dimulai pada kulit (superfisial) dan masuk ke
dalam. Hal ini biasanya terjadi karena kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin (ORIF dan
OREF) atau plat.
c. Kontraktur Volkman

Kontraktur Volkman adalah suatu deformitas tungkai akibat sindroma


kompartemen yang tak tertangani. Oleh karena itu, tekanan yang terus-menerus
menyebabkan iskemia otot kemudian perlahan diganti oleh jaringan fibrosa
yang menjepit tendon dan saraf. Sindroma kompartemen setelah fraktur tibia
dapat menyebabkan kaki nyeri atau kebas, disfungsional, dan mengalami
deformasi.

d. Sindrom emboli lemak

Emboli lemak serupa dengan emboli paru yang muncul pada pasien
fraktur. Sindroma emboli lemak terjadi setelah fraktur dari tulang panjang
seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula, dan panggul.

Adapun komplikasi jangka panjang dari fraktur antara lain:

a. Kaku sendi atau artritis

Setelah cedera atau imobilisasi jangka panjang , kekakuan sendi dapat


terjadi dan dapat menyebabkan kontraktur sendi, pergerakan ligamen, atau
atrofi otot. Latihan gerak sendi aktif harus dilakukan semampunya klien.
Latihan gerak sendi pasif untuk menurunkan resiko kekakuan sendi.

b. Nekrosis avaskular

Nekrosis avaskular dari kepala femur terjadi utamaya pada fraktur di


proksimal dari leher femur. Hal ini terjadi karena gangguan sirkulasi lokal.
Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya nekrosis vaskular dilakukan
pembedahan secepatnya untuk perbaikan tulang setelah terjadinya fraktur.

c. Malunion

Malunion terjadi saat fragmen fraktur sembuh dalam kondisi yang tidak
tepat sebagai akibat dari tarikan otot yang tidak seimbang serta gravitasi.
Hal ini dapat terjadi apabila pasien menaruh beban pada tungkai yang sakit
dan menyalahi instruksi dokter atau apabila alat bantu jalan digunakan
sebelum penyembuhan yang baik pada lokasi fraktur.
d. Penyatuan terhambat

Penyatuan menghambat terjadi ketika penyembuhan melambat tapi


tidak benar-benar berhenti, mungkin karena adanya distraksi pada fragmen
fraktur atau adanya penyebab sistemik seperti infeksi.

e. Non-union

Non-union adalah penyembuhan fraktur terjadi 4 hingga 6 bulan setelah


cedera awal dan setelah penyembuhan spontan sepertinya tidak terjadi.
Biasanya diakibatkan oleh suplai darah yang tidak cukup dan tekanan yang
tidak terkontrol pada lokasi fraktur.

Tipe I (hypertrophic non union) tidak akan terjadi proses penyembuhan


fraktur dan diantara fragmen fraktur tumbuh jaringan fibrus yang masih
mempunyai potensi untuk union dengan melakukan koreksi fiksasi dan bone
grafting.

Tipe II (atrophic non union) disebut juga sendi palsu (pseudoartrosis)


terdapat jaringan sinovial sebagai kapsul sendi beserta rongga sinovial yang
berisi cairan, proses union tidak akan dicapai walaupun dilakukan
imobilisasi lama.

Beberapa faktor yang menimbulkan non union seperti disrupsi


periosteum yang luas, hilangnya vaskularisasi fragmen-fragmen fraktur,
waktu imobilisasi yang tidak memadai, implant atau gips yang tidak
memadai, distraksi interposisi, infeksi dan penyakit tulang (fraktur
patologis)

f. Penyatuan fibrosa

Jaringan fibrosa terletak diantara fragmen-fragmen fraktur. Kehilangan


tulang karena cedera maupun pembedahan meningkatkan resiko pasien
terhadap jenis penyatuan fraktur.
g. Sindroma nyeri regional kompleks

Sindroma nyeri regional kompleks merupakan suatu sindroma disfungsi


dan penggunaan yang salah yang disertai nyeri dan pembengkakan tungkai
yang sakit.

8. Riwayat Penyakit Lain yang Berhubungan dengan Fraktur

Penyakit yang berhubungan dengan fraktur seperti Rheumatoid arthritis. Tubuh


menyerang sel dan jaringan sehat di sekitar sendi, yang mengakibatkan pengeroposan
tulang dan sendi yang parah. Steroid, seperti Prednison, dapat membuat hidup lebih
mudah, tetapi mereka juga dapat memicu pengeroposan tulang. Dan juga rasa sakit dan
fungsi sendi yang buruk dapat mengurangi aktivitas, yang selanjutnya mempercepat
pengeroposan tulang dan risiko patah tulang.

Kelainan kronis lain juga dapat menjadi faktor yaitu celiac disease, crohn’s
disease, dan penyakit-penyakit lainnya yang menggunakan steroid sebagai obat
terapinya. Penyakit yang dapat melemahkan tulang, seperti osteoporosis, osteogenesis
imperfekta (kelainan genetik yang menyebabkan tulang rapuh), infeksi tulang, dan
kanker ulang. Osteopenia dan osteoporosis adalah kondisi di mana tulang biasanya
mengalami termineralisasi tetapi jumlahnya menurun. Osteoporosis didefinisikan
sebagai pengeroposan tulang yang cukup untuk meningkatkan risiko patah tulang dan
dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan akibat patah tulang.
Berbagai faktor termasuk massa tulang puncak, usia, aktivitas, genetika, nutrisi, dan
pengaruh hormonal berkontribusi pada patogenesisnya.

Diabetes dengan kadar glukosa tidak terkendali memiliki resiko besar untuk
mengalami komplikasi baik akut ataupun kronik. Pada diabetes terjadi suatu kondisi
inflamasi yang ditandai oleh peningkatan kadar sitokin, pembentukan osteoklas,
penurunan pembentukan dan fungsi osteoblas sehingga menginduksi proses
osteoklastogenesis. Kondisi ini nantinya akan berkaitan dengan penurunan densitas
mineral tulang, peningkatan risiko fraktur dan terhambatnya proses penyembuhan
fraktur.
Kondisi hiperglikemia menyebabkan peningkatan spesies oksigen reaktif
(ROS). Pembentukan spesies oksigen reaktif (ROS) menginduksi ekspresi RANKL dan
meningkatkan pembentukan osteoklas yang lebih besar. Produksi ROS yang diinduksi
hiperglikemia juga meningkatkan ekspresi RAGE, yang dapat menyebabkan
pembentukan osteoklas.

Salah satu marker pembentukan tulang adalah peningkatan aktivitas osteoblas.


Osteoblast berasal dari stem mesenkimal. Sel ini banyak ditemukan pada periosteum,
jaringan terluar dari tulang dan endosteum. Osteoblas berperan dalam mineralisasi
tulang dan remodeling tulang. Osteoblas yang telah dewasa/matang secara metabolik
aktif dan merupakan bone forming cells. Osteoblas mensekresikan osteoid yang
merupakan unmineralized organic matriks yang kemudian mengalami proses
mineralisasi yang menyebabkan tulang menjadi keras dan kaku.

9. Healing Process dan Remodeling Tulang Pada Lansia


Proses healing fraktur pada tulang terdiri dari lima stadium sebagai berikut,

1. Stadium Pembentukan Hematom (1 -2 hari)

Gambar 1.1 Stadium Pembentukan Hematom

Pada fase ini, pembuluh darah robek dan akan membentuk hematom.Hematom
yang terbentuk dari darah yang mengalir dari pembuluh darah yang robek akan
dibungkus jaringan lunak sekitar (periosteum & otot). Bekuan ini menyediakan fibrin
mesh yang menutup lokasi fraktur dan menyediakan kerangka untuk masuknya sel
inflamasi, pertumbuhan fibroblast, dan proliferasi kapiler yang menjadi ciri jaringan
granulasi. Pelepasan PDGF, TGF-β, FGF, dan faktor pertumbuhan lainnya oleh
trombosit terdegranulasi dan sel inflamasi mengaktifkan sel osteoprogenitor di
periosteum, rongga meduler, dan jaringan lunak di sekitarnya untuk merangsang
aktivitas osteoklastik dan osteoblas. Hematon akan mendorong periosteum
disekitarnya dan terjadi robekan. Osteosit di sekitar fraktur akan kehilangan darah dan
mati sepanjang 1 atau 2 mm sehingga akan terbentuk daerah cincin avaskuler tulang
yang mati pada sisi fraktur

2. Stadium Proliferasi dan Inflamasi Sel (2 hari)

Gambar 1.2 Stadium Proliferasi dan Inflamasi

Pada fase ini, terjadi reaksi jaringan fibrous karena adanya sel-sel osteogenik
yang berproliferasi dari lapisan dalam periosteum sekitar lokasi fraktur. Sel-sel ini
menjadi precursor osteoblast dan membentuk kalus eksternal pada bagian endosom dan
kalus internal pada bagian dalam kanal medular. Sel-sel ini aktif tumbuh ke arah
fragmen tulang dan jaringan sumsum tulang.

3. Stadium Pembentukan Kallus (6 - 10 hari)


Gambar 1.3 Stadium Pembentukan Kallus

Pada fase ini, osteoblas membentuk tulang lunak (kallus). Kalus memberikan
rigiditas pada fraktur. Salah satu faktor yang paling dominan dari sekian banyak faktor
pertumbuhan adalah Transforming Growth Factor-Beta 1 (TGF-B1) yang menunjukkan
keterlibatannya dalam pengaturan diferensiasi dari osteoblas dan produksi matriks
ekstraseluler. Faktor lain yaitu: Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) yang
berperan penting pada proses angiogenesis selama penyembuhan fraktur. Pusat dari
kalus lunak adalah kartilogenous yang kemudian bersama osteoblast akan
berdiferensiasi membentuk suatu jaringan rantai osteosit, hal ini menandakan adanya
sel tulang serta kemampuan mengantisipasi tekanan mekanis. Jika terlihat massa kalus
atau woven bone pada pemeriksaan radiologi, maka merupakan indikasi awal terjadinya
penyembuhan fraktur. Selanjutnya berlanjut pertumbuhan tulang rawan dan
penggabungan jaringan fibrosa dan tulang serat imatur.

4. Stadium Konsolidasi (3 - 10 hari)

Gambar 1.4 Stadium Konsolidasi

Pada fase ini, kalus mengeras dan terjadi proses konsolidasi. Fraktur teraba telah
menyatu dan secara bertahap menjadi tulang matur. Keadaan tulang ini menjadi lebih
kuat sehingga osteoklas dapat menembus jaringan debris pada daerah fraktur dan diikuti
osteoblast yang akan mengisi celah di antara fragmen dengan tulang yang baru. Proses
ini berjalan perlahan-lahan selama beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat untuk
menerima beban yang normal.

5. Stadium Remodeling
Gambar 1.5 Stadium Remodelling

Pada fase ini, lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada lokasi eks
fraktur. Sedangkan, tulang yang berlebihan dibuang oleh osteoklas. Kalus eksterna juga
perlahan-lahan akan menghilang dan kalus intermediet akan berubah menjadi tulang
yang kompak dan berisi sistem haversian. Dalam waktu berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun terjadi proses pembentukan dan penyerapan tulang yang terus menerus
lamella yang tebal akan terbentuk pada sisi dengan tekanan yang tinggi. Rongga
medulla akan terbentuk kembali dan diameter tulang kembali pada ukuran semula.
Akhirnya tulang akan kembali mendekati bentuk semulanya, terutama pada anak-anak.
Pada keadaan ini tulang telah sembuh secara klinis dan radiologi.

Faktor yang Mempengaruhi Bone Healing

1. Hormon, termasuk estrogen (pada kedua jenis kelamin), androgen, vitamin D, dan
hormon paratiroid (PTH)
2. Faktor pertumbuhan yang diproduksi secara lokal, seperti IGF-I, yang mengubah
faktor pertumbuhan β ( TGF-β), peptida terkait PTH (PTHrP), interleukin (ILs),
prostaglandin, dan anggota superfamili tumor necrosis factor (TNF). Faktor-faktor
ini terutama memodulasi kecepatan di mana tempat-tempat pemodelan ulang baru
diaktifkan, sebuah proses yang mula-mula menghasilkan resorpsi tulang oleh
osteoklas, diikuti oleh periode perbaikan di mana jaringan tulang baru disintesis
oleh osteoblas.
3. Sitokin yang bertanggung jawab untuk komunikasi antara osteoblas, sel sumsum
lainnya, dan osteoklas adalah ligan RANK (RANKL) (penggerak reseptor dari
faktor nuklir-kappa-B [NFκB]; RANKL). RANKL, salah satu anggota keluarga
TNF, disekresikan oleh osteosit, osteoblas, dan sel-sel tertentu dari sistem
kekebalan. Reseptor osteoklas untuk protein ini disebut sebagai RANK. Aktivasi
RANK oleh RANKL adalah jalur umum terakhir dalam pengembangan dan
aktivasi osteoklas. Umpan humoral untuk RANKL, juga disekresikan oleh
osteoblas, disebut sebagai osteoprotegerin.
4. Nutrisi (terutama asupan kalsium)
5. Tingkat aktivitas fisik.
6. Aktivasi Wnt melalui beban mekanis, atau oleh faktor hormonal atau sitokin,
merangsang pembentukan tulang dengan meningkatkan pembentukan dan aktivitas
osteoblas dan menurunkan sekresi RANKL, yang menghambat produksi dan
aktivitas osteoklas.
7. Sclerostin, juga suatu protein osteosit, adalah penghambat utama aktivasi Wnt dan
pembentukan tulang. Jalur RANKL dan Wnt keduanya telah menjadi target utama
untuk pengobatan farmakologis osteoporosis.

Proses Bone Healing Pada Lansia

Pada anak-anak remodeling dapat terjadi sempurna sedangkan pada dewasa


masih ada tanda penebalan tulang. Hormon merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi proses remodeling tulang. Estrogen merupakan regulator pertumbuhan
dan homeostasis tulang yang penting. Estrogen memiliki efek langsung pada tulang.
Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa efek yang akan meningkatkan
formasi tulang dan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas

Penurunan tulang menjadi bermakna karena menurunnya hormon estrogen


beberapa tahun sebelum masa menopause dan berlanjut sampai 5 tahun kemudian.
Selanjutnya, disusul dengan penurunan massa tulang yang berlangsung lambat sampai
sepanjang kehidupan wanita. Kehilangan massa tulang merupakan fenomena universal
yang dimulai sekitar usia 40 tahun. Kehilangan massa tulang akan meningkat pada
wanita postmenopause, yaitu rata- rata kehilangan massa tulang 2% tiap tahun. Pada
tahun-tahun awal setelah menopause, kehilangan massa tulang berlangsung sangat
cepat dan risiko jangka Panjang untuk kejadian patah tulang meningkat oleh karena itu,
osteoporosis biasanya terjadi pada wanita lanjut usia terutama postmenopause.

Pada orang dewasa yang lebih tua, patah tulang sering terjadi sebagai latar
belakang kelainan tulang lainnya (misalnya, osteoporosis dan osteomalacia). Dalam
keadaan seperti itu, imobilisasi bedah seringkali diperlukan untuk perbaikan yang
memadai. Faktor lain juga dapat mengganggu penyembuhan. Imobilisasi yang tidak
memadai, yang memungkinkan pergerakan kalus dan mengganggu pematangan
normal, dapat mengakibatkan penyatuan tertunda atau nonunion. Jika nonunion
berlanjut, kalus yang cacat mengalami degenerasi kistik dan permukaan luminal dapat
dilapisi oleh sel mirip sinovial, menciptakan sendi palsu atau pseudoarthrosis. Infeksi
pada lokasi fraktur, terutama yang sering terjadi pada fraktur terbuka, merupakan
hambatan serius lainnya untuk penyembuhan, seperti malnutrisi dan displasia skeletal.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan kasus, pasien ini menderita penyakit penyakit osteoporosis yang penyebab
utamanya umur dan kondisinya yang sudah menopause (peran hormon). Dilihat dari rekam
medisnya, tidak ada penyakit lainnya seperti diabetes atau hipertensi yang pada umumnya
dapat memperburuk pasien yang mengidap penyakit osteoporosis. Pasien mengalami
deformitas di bagian pergelangan tangan yang membutuhkan waktu untuk tulang remodelling
ada beberapa cara, mulai dari yang primer dan juga sekunder. Selain itu, penyebab jari-jarinya
pucat karena kurangnya aliran darah di daerah tersebut disebabkan oleh fraktur.

3.2 Saran
Sebaiknya pasien disarankan untuk mengonsumsi makanan yang sehat terutama
vitamin D yang bagus untuk tulang, selain itu juga mengurangi kegiatan aktivitas fisik yang
membutuhkan tenaga atau beban yang besar dan jika makin memburuk segera melakukan
pengobatan mulai dari terapi atau bahkan operasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Canalis E, Giustina A, Bilezikian JP. Mechanisms of anabolic therapies for


osteoporosis. N Engl J Med. 2007;357:9.
2. Solomon L, Warwick D, Nayagam S. Apley’s System of orthopaedics and fractures.
9th ed. London: Hodder Arnold; 2010.
3. Kumar V, Abbas AK, Aster JC. Robbins and Cotran: Pathologic Basic of Disease. 9th
ed. Philadelphia: 2015.
4. American Bone Health. 2020. Fracture Risk Factors - American Bone Health. [online]
Available at: <https://americanbonehealth.org/fracture/fracture-risk-factors/>
5. Iofbonehealth.org. 2020. Fixed Risk Factors | International Osteoporosis Foundation.
[online] Available at: <https://www.iofbonehealth.org/fixed-risk-factors>
6. Sihombing, HC. 2009. "Karakteristik Kasus Menopause Osteopososis di Makmal
Terpadu Imunoendokrinologi FK UI Tahun 2006-2008". Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat. Universitas Indonesia : Depok
7. Black, J dan Hawks, J. 2014. Keperawatan Medikal Bedah: Manajemen Klinis untuk
Hasil yang Diharapkan. Dialihbahasakan oleh Nampira R. Jakarta: Salemba Emban
Patria.

Anda mungkin juga menyukai