PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Asuhan keperawatan merupakan suatu bentuk pelayanan kesehatan yang diberikan
kepada orang lain, baik individu keluarga ataupun masyarakat. Dalam menjalankan
asuhan keperawatan, perawat sering mengadakan interaksi dengan pasien, keluarga, tim
kesehatan dan lingkungannya, dimana asuhan-asuhan tersebut diberikan[ CITATION
Rob95 \l 1033 ]. Dalam proses pemberian pelayanan kesehatan, perawat bertanggung
jawab mempertahankan standar asuhan keperawatan yang sudah ditetapkan. Dalam
pemberian asuhan keperawatan, perawat mempunyai peluang untuk berbuat baik
maupun buruk [ CITATION Car17 \l 1033 ].
Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien harus sesuai dengan
etika profesi. Etika profesi keperawatan merupakan kesadaran dan pedoman yang
mengatur nilai-nilai moral di dalam melaksanakan kegiatan profesi keperawatan,
sehingga mutu dan kualitas profesi keperawatan tetap terjaga dengan cara yang terhormat
[ CITATION Muh09 \l 1033 ].
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Etik
Etika adalah ilmu tentang kesusialaan yang mengatur bagaimana sepatutnya
manusia hidup di dalam masyarakat yang melibatkan aturan atau prinsip yang
menentukan tingkah laku yang benar yaitu baik dan buruk atau kewajiban dan tanggung
jawab (Suhaemi, 2003). Menurut plato etika bersifat rasional dan intelektual yang berrati
dapat dijelaskan secara logis. Dasar ajaran plato ialah mencapai budi baik karena tujuan
hidup manusia adalah memperoleh kesenangan hidup berlandaskan etika (Taufik, 2018).
Sedangkan etika keperawatan adalah nilai atau prinsip yang diyakini oleh profesi
keperawatan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya yang berhubungan dengan
pasien atau klien, masyarakat, teman sejawat maupun antar profesi dan juga dalam
pengaturan praktik keperawatan (Pangaribuan, 2016). Perawat ketika melaksanakan tugas
seringkali dilanda dilema etik. Menurut Van Auken (2016) dilemma etik mengarah pada
manusia membuat keputusan yang salah karena kesulitan. Dilema etik muncul ketika
seseorang harus membedakan antara moral dan tindakan amoral. Sebuah dilema dapat
didefenisikan sebagai suatu masalah sulit yang kelihatannya tidak dapat diatasi yang
melibatkan pilihan yang sama-sama tidak memuaskan, yang sering terjadi dalam praktik
keperawatan (Aroskar, Liaschencko, dan Drought, 1997) (Wimar, 2017).
B. Jenis dan Prinsip Etik
Dalam profesi keperawatan, ada 8 prinsip etika keperawatan yang harus diketahui
oleh perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada penerima layanan
keperawatan, baik individu, kelompok, keluarga atau masyarakat, yaitu (Amelia, 2013):
1. Autonomy (Kemandirian)
3. Justice (Keadilan)
Justice berarti bahwa setiap orang berhak atas perlakuan yang sama dalam upaya
pelayanan kesehatan tanpa mempertimbangkan suku, agama, ras, golongan, dan
kedudukan sosial.
4. Fidelity (Kesetiaan)
5. Veracity (Kejujuran)
7. Confidelity (Kerahasiaan)
8. Accountability (Akuntabilitas)
1. “Praktik layanan kesehatan dan tempat lainnya sesuai dengan pasien sasarannya.
2. Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) terdiri atas :
a. Praktik keperawatan mandiri;
b. Praktik keperawatan difasilitas pelayanan kesehatan,
3. Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus didasarkan pada
kode etik, standar pelayanan, standar profesi, dan standar prosedur operasional,
4. Praktik keperawatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) didasarkan pada prinsip
kebutuha pelayanan kesehatan dan/atau keperawatan masyarakat dalam suatu
wilayah.”[ CITATION Mar16 \l 1033 ]
Dengan demikian perawat melaksanakan standar pelayanan keperawatan,
sehingga bila terjadi suatu kesalahan/kelalaian, maka perawat dapat bertanggung jawab.
Oleh karena itu, lahirnya hak dan kewajiban perawat, maka hubungan anggota
masyarakat dilindungi oleh hukum, maka mereka harus mentaati hubungan hukum ini.
Kehendak untuk mentaati hubungan hukum ini disebut tanggung jawab hukum (legal
liability). Tanggungjawab hukum dimaksudkan sebagai terhadap ketentuan-ketentuan
hukum. Seorang perawat dalam memberikan jasa pelayanan kemungkinan melakukan
kesalahan/kelalaian. Hal ini akan menimbulkan tuntutan terhadap perawat oleh pasien
maupun keluarganya agar perawat bertanggung jawab.[ CITATION Bai181 \l 1033 ]
Apabila perawat melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka perawat berhak
memperoleh haknya sebagaimana dalam Pasal 36 Undang-Undang Nomor 38 Tahun
2014 tentang Keperawatan yang menyatakan bahwa “Perawat berhak memperoleh
perlindungan hukum sepanjang melaksanakan kewajibannya sesuai dengan standar
pelayanan keperawatan, mendapatkan informasi yang benar, lengkap dan jujur dari
pasien atau keluarganya mengenai kondisi atau penyakit pasien, agar perawat tidak
melakukan kesalahan/kelalaian dalam menentukan diagnosa penyakit pasien dan tidak
salah menentukan obat yang akan diberikan padanaya, menolak keinginan pasien yang
tidak sesuai dengan standar pelayanan keperawatan serta perawat berhak mendapatkan
imbalan jasa dari pelayanan yang diberikan oleh pasien dan memperoleh fasilitas kerja
sesuai dengan standar”. Sedangkan, Jika perawat melakukan suatu kesalahan atau
kelalaian yang menyebabkan pasien mengalami kerugian dalam menjalankan praktik
mandiri perawat, maka perawat harus bertanggung jawab untuk menerima sanksi
administrasi sebagaimana dalam Pasal 58 Ayat (1) Setiap orang yang melanggar
ketentuan Pasal 18 Ayat (1), Pasal 21, Pasal 24 Ayat (1), dan Pasal 27 Ayat (1) dikenai
sanksi administrasi; Ayat (2) Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
dapat berupa : a) teguran lisan; b) peringatan tertulis; c) denda administratif dan; d)
pencabutan izin praktik; Ayat (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah .[ CITATION Bai181 \l 1033 ].
(a) Meminta imbalan berupa uang atau barang kepada pasien atau keluarganya untuk
kepentingan pribadi atau kelompok;
(c) Bagi perawat yang sudah menikah dilarang menjalin cinta dengan pasien dan
keluarganya, suami atau teman sejawat;
(d) Menyalahgunakan uang perawatan atau pengobatan pasien untuk kepentingan pribadi
atau kelompok;
(e) Merokok dan berjudi di lingkungan rumah sakit saat memakai seragam perawat;
(f) Menceritakan aib teman seprofesi atau menjelekkan profesi perawat dihadapan profesi
lain; dan
(c) Membiarkan pasien dalam keadaan sakit parah atau sakratul maut tanpa memberikan
pertolongan;
(d) Berjudi atau meminum minuman beralkohol sampai mabuk diruangan perawatan;
(f) Memukul atau berbuat kekerasan pada pasien dengan sengaja sampai terjadi cacat
fisik;
(g) Menyalahgunakan obat pasien untuk kepentingan pribadi atau kelompok; dan
(h) Menjelekkan dan/atau membuat cerita hoax mengenai profesi keperawatan pada
profesi lain dalam forum, media cetak, maupun media online yang mengakibatkan
adanya tuntutan hukum. [ CITATION Bai181 \l 1033 ]
(a) Harus mengembalikan barang atau uang yang diminta kepada pasien atau keluarganya;
(c) Membuat surat pernyataan diatas kertas segel bermaterai tidak akan mengulanginya
lagi.
(b) Membuat surat pernyataan diatas kertas segel bermaterai tidak akan mengulanginya
lagi;
(d) diberhentikan dari kedinasan dengan tidak hormat. [ CITATION Bai181 \l 1033 ].
1. Perdata
Hukum antara perawat dan pasien dimulai secara keperdataan, untuk melihat atau
mendudukkan hubungan perawat dengan landasan hukum, dapat dimulai dengan pasal 1367
KUH Perdata dinyatakan :”Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan atas perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan
perbuatan-perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan orang-orang
yang berada dibawah pengawasannya”. Ketika kerugian yang diderita pasien akibat tindakan
tersebut berakibat fatal, maka disinilah muncul permasalahan hukum, khususnya di bagian
hukum perdata dalam rumusan Pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum
yang berbunyi “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada
orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan tersebut”. [ CITATION Mar16 \l 1033 ]. Sementara tanggung jawab dalam
kategori wanprestasi apabila terpenuhi unsur-unsur wanprestasi dalam Pasal 1234 KUH
Perdata.[ CITATION Bai181 \l 1033 ]
Tanggung jawab perawat bila dilihat dari ketentuan dalam KUH Perdata, maka dapat
dikatagorikan ke dalam empat prinsip sebagai berikut:
a. Tidak mengerjakan kewajibannya sama sekali; dalam konteks ini apabila seorang
perawat tidak mengerjakan semua tugas sesuai dengan fungsinya, baik fungsi
independen, interdependen maupun dependen.
b. Mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; dalam hal ini apabila kewjiban sesuai fungsi
tersebut dilakukan terlambat yang mengakibatkan kerugian pada pasien.
c. Mengerjakan kewajiban tetapi tidak sesuai dengan yang seharusnya; suatu tugas yang
dikerjakan asal-asalan.
d. Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam hal ini apabila seorang
perawat melakukan tindakan medis yang tidak mendapat delegasi dari dokter, seperti
menyuntik pasien tanpa perintah, melakukan infus padahal dirinya belum terlatih.
Apabila perawat terbukti memenuhi unsur wanprestasi, maka tanggung jawab itu akan
dipikul langsung oleh perawat yang bersangkutan.[ CITATION Bai181 \l 1033 ]
2. Pidana
Aspek tanggung jawab secara hukum pidana seorang perawat baru dapat dimintai
pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. Suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum ; dalam hal ini apabila perawat
melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang tertuang dalam Pasl 15
Kepmenkes.
b. Mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang memahami
konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara kemampuan, telah
mendapat pelatihan dan pendidikan untuk itu. Artinya seorang perawat yang
menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan pasien.
c. Adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa).
Kesalahan disini bergantung pada niat (sengaja) atau hanya karena lalai. Apabila
tindakan tersebut dilakukan karena niat dan ada unsur kesengajaan, maka perawat
yang bersangkutan dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana.
d. Tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada alasan
pemaaf seperti tidak adanya aturan yang mengijinkannya melakukan suat tindakan,
ataupun tidak ada alasan pembenar seperti resiko yang melekat dalam tindakan yang
dilakukan.
Dilema etik adalah realitas sehari-hari dalam praktek keperawatan. Dilema etik selalu
ada bersama dengan manusia termasuk perawat, tetapi sifat alami mereka dalam seting
keperawatan kesehatan dapat berubah secara radikal sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Aroskar, 1980).
Phipps dkk, (1987, dikutip dari Townsend (2003)) berpendapat bahwa terdapat
beberapa tahapan penting terjadinya dilema etik, yaitu:
1. Beberapa bukti menunjukkan bahwa tindakan X benar secara moral dan beberapa
bukti menunjukkan bahwa tindakan X salah secara moral
2. Bukti-bukti dari kedua pernyataan di atas tidak dapat dibuktikan
3. Individu berpandangan bahwa seseorang harus memperlihatkan dan tidak
memperlihatkan suatu tindakan moral.
4. Beberapa pilihan harus diambil
5. Suatu dilema etik terjadi
Analisa Kasus
Dari kasus diatas akan muncul suatu dilema etik bagi perawat. Dimana perawat
harus memutuskan suatu tindakan yang menguntungkan bagi klien dan tidak
merugikannya. Namun seperti kita ketahui bahwa dalam kasus tersebut klien dan
keluarga sering meminta untuk diberikan obat analgesik bahkan keluarganya meminta
untuk dilakukan penambahan dosis obat analgesik. Namun setelah perawat melakukan
diskusi ternyata pemberian obat analgesik dapat mempercepat kematian bagi klien
tersebut. Tentu hal ini menjadi suatu keputusan yang sulit bagi perawat, karena apabila
perawat tetap melakukan tindakan sesuai dengan permintaan klien dan keluarga maka
perawat akan melanggar prinsip etik :
1. Beneficience
Apabila perawat memberikan suntikan analgesik yang dapat mempercepat kematian
tentu bukanlah tindakan yang membawa kebaikan bagi pasien melainkan keburukan.
Perawat yang tahu dan paham akibat dari tindakan tersebut dan risikonya bagi klien,
secara etik, tidaklah dibenarkan untuk membiarkan pasien untuk diberikan suntikan
analgesic karena jelas ancaman nyawa klien menjadi taruhan apabila tindakan tersebut
dilakukan.
2. Non-maleficience (Tidak merugikan)
Apabila perawat memberikan obat anlgesik yang jelas berisiko bagi keselamatan
hidup klien tentu hal ini merupakan tindakan yang merugikan klien. Mungkin
penambahan dosis dirasa dapat menghilangkan nyeri hebat yang tengah dialami klien
namun di lain sisi disertai juga risiko tinggi yang dapat mengancam keselamatan nyawa
klien.
Selain itu, terdapat juga pelanggaran kode etik keperawatan dalam hal “Perawat
senantiasa mengutamakan perlindungan dan keselamatan klien dalam melaksanakan
tugas keperawatan…”, dimana seharusnya perawat bertindak untuk melakukan hal yang
baik dan menguntungkan bagi klien tanpa menimbulkan bahaya dan merugikan diri klien.
Namun apabila perawat tidak memberikan obat analgesik kepada klien maka
perawat akan melanggar pula prinsip otonomi, dimana seharusnya perawat memberi
kebebasan bagi klien untuk menentukan keputusannya sendiri. Faktor keselamatan klien
perlu diperhatikan oleh perawat sebelum pemberian analgesic atau penambahan dosis
analgesic seperti pada kasus di atas. Sampaikan kepada klien mengenai dampak yang
mungkin terjadi apabila dilakukan atau tidak dilakukan tindakan tersebut kepada klien.
Terjadinya kematian pada klien yang jelas melanggar etik juga dapat membawa kasus
tersebut ke ranah legal. Untuk melindungi perawat dan tenaga kesehatan dalam tindakan
berbahaya bagi klien adalah dengan penandatanganan informed consent. Meskipun klien
dalam kasus tersebut sudah menandatanganinya, perawat harus tetap memberitahukan
mengenai dampak yang mungkin diterimanya dengan harapan klien benar-benar yakin
atas keputusan untuk dilakukan tindakan membahayakan tersebut. Dalam meyakinkan,
hindari kata-kata yang terdengar seperti sebuah pemaksaan. Bentuk patrenalisme juga
tidak diperbolehkan dalam praktik keperawatan karena merupakan bentuk pelanggaran
prinsip otonomi.
Kasus ini perlu adanya suatu tindakan alternatif untuk mengatasi dilema etik ini,
perawat dapat berdiskusi terlebih dahulu dengan dokter mengenai pemberian dosis
tambahan obat analgesik bagi klien dan membuat informed consent mengenai tindakan
yang akan dilakukan bagi klien, perawat menjelaskan secara detail kepada klien dan
keluarga mengenai risiko dari pemberian obat analgesik bagi klien serta mengupayakan
alternatif atau jalan keluar terbaik dengan pertimbangan prinsip beneficence dan non-
maleficence bagi pasien tanpa melupakan hak pasien dalam memutuskan yang terbaik
bagi dirinya sendiri.
Maka kasus ini dapat diselesaikan dengan cara Perawat Penanggung Jawab Pasien
(PPJP) melaksanakan tugas umumnya dalam pengelolaan pelayanan pasien dengan
melakukan kolaborasi dan diskusi dengan tim kesehatan lain sesuai kebutuhan pasien.
Hasil kegiatan diskusi tersebut diadvokasikan kepada pasien dan keluarganya dengan
memaparkan opsi tindakan beserta kekurangan dan kelebihan. Dalam mengadvokasikan
tindakan yang akan dipilih pasien dan keluarganya sebisa mungkin perawat bersifat netral
agar tidak mencedarai hak otonomi pasien. Setelah itu, pasien dan keluarga diintruksikan
untuk menandatangi informed consent sesuai opsi tindakan medis yang telah dipilih oleh
pasien dan keluarga.
BAB IV
KESIMPULAN
Dilemma etik mengarah pada manusia membuat keputusan yang salah karena kesulitan.
Dilema etik muncul ketika seseorang harus membedakan antara moral dan tindakan amoral. Pada
kasus dijelaskan bahwa perawat bimbang antara memberikan analgesic pada pasien atau tidak
karena jika diberi terus menerus dapat menyebabkan kematian. Sedangkan keluarga mendesak
ingin diberikan analgesic. Jika perawat menuruti keinginan keluarga maka perawat akan
melanggar prinsip etik beneficience dan non-malificience.
DAFTAR PUSTAKA
Maryam. (2016). TanggungJawab Hukum Perawat Terhadap Kerugian Pasien Dikaitkan Dengan
Undang-Undang nomor 8 Tahun 1999 Tentang perlindungan Konsumen. Jurnal
Katalogis, Vol 4(10) ,Hal 191-192.
Rosdahl, C. B., & Kowalski, M. T. (2017). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Jakarta: EGC.
Setiani, B. (2018). Pertanggungjawabn Hukum Perawat dalam Hal Pemenuhan Kewajiban dan
Kode Etik dalam Praktik Keperawatan. Jurnal Ilmiah Ilmu Keperawatan Indonesia, Vol
8(4) , Hal 501-506.
Taufik, M. (2018). ETIKA PLATO DAN ARISTOTELES:Dalam Perspektif Etika Islam. UIN
Sunan-Kalijaga, 27-45.