Anda di halaman 1dari 4

NAMA : Raden Arjuna Surbakti

KELAS : Pendidikan Biologi B 2021 Pascasarjana

NIM : 8216174013

PENEBANGAN MANGROVE UNTUK PEMBUATAN TAMBAK UDANG

Hutan mangrove tersebar luas di dunia, terutama di sekeliling khatulistiwa


wilayah tropika dan sedikit di subtropika. Hutan mangrove di dunia mencapai luas
sekitar 16.530.000 ha yang tersebar di Asia 7.441.000 ha, Afrika 3.258.000 ha dan
Amerika 5.831.000 ha, sedangkan di Indonesia dilaporkan seluas 3.735.250 ha.
Dengan demikian, luas hutan mangrove Indonesia hampir 50% dari luas mangrove
Asia dan hampir 25% dari luas hutan mangrove dunia (Onrizal, 2010).

Di Sumatera Utara khususnya wilayah Medan terdapat berbagai pantai yang


membudidayakan mangrove sebagai salah satu sumber daya alam yang
dimanfaatkan untuk menahan abrasi pantai. Misalnya saja di pantai mangrove
kampung nipah serdang bedagai, disana merupakan salah satu tempat pelestarian
mangrove sekaligus objek wisata alam. Biasanya banyak sekali peneliti ataupun
mahasiswa yang melakukan penelitian atau sekedar observasi tentang budidaya
mangrove di wilayah tersebut..

Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya


diyakini akibat pembukaan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan
udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa
tahun yang lalu, yang sebagaian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para
petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk
pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya
kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak
dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka
akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga
sedang , yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen, dan akhirnya
tempat tersebut menjadi terbengkalai. (Purnobasuki: 2011)
Di Indonesia pembuatan tambak udang pada awalnya di mulai di pantai utara
Jawa, dimana mendorong perusakan hutan mangrove secara besar besaran antara
pertengahan tahun 1970-1990-an. Kini kebanyakan tambak tersebut tidak lagi
produktif, sehingga dicari lahan baru seperti di Irian, Sulawesi, Kalimantan, dan
Maluku. Beberapa tambak besar di Indonesia merupakan milik pengusaha Thailand.
Mereka memindahkan lokasi usahanya ke Indonesia karena areal pertambakan di
negerinya tidak lagi produktif akibat kerusakan ekosistem mangrove (Martinez-Alier,
2001).

Pembuatan tambak di sekitar muara sungai dan dataran pantai utara Jawa
menyebabkan perubahan vegetasi muara secara nyata. Ekosistem mangrove hanya
tersisa pada tempat-tempat tertentu yang sangat terisolasi atau ditanam di tepi
tambak yang berbatasan dengan pantai atau sungai untuk mencegah abrasi
(Anonim, 1995). Pengamatan penulis pada tahun 2002 di sepanjang pantai utara
Jawa menunjukkan adanya tambak-tambak ikan yang dikelola secara intensif hingga
jauh ke arah daratan. Hampir semua pantai yang mengalami sedimentasi
membentuk dataran lumpur dan memiliki ekosistem mangrove diubah menjadi areal
tambak. Secara intensif hal ini berlangsung antara lain di pantai Indramayu, Brebes,
Pekalongan, Demak, Pati, Rembang, Lamongan, Gresik dan Situbondo, meskipun
beberapa areal tambak tampaknya tidak lagi produktif akibat perubahan kondisi
hidrologi, edafit (tanah sulfat asam), penyakit dan pencemaran lingkungan.

Hal ini dapat dijumpai di Brebes, Situbondo dan Probolinggo dimana ratusan
hektar tambak beserta sarana produksinya dibiarkan rusak tidak terurus.
Pengamatan yang sama di pantai selatan Jawa menunjukkan pula adanya upaya
mengubah lahan basah mangrove menjadi tambak udang. Dalam jumlah terbatas
hal ini dijumpai di muara Sungai Lokulo, Cakrayasan, Bogowonto, dan Ijo, sedang
dalam skala besar dilakukan di Segara Anakan, namun upaya terakhir ini gagal
karena adanya akumulasi pirit yang beracun (tanah sulfat asam), di samping
penjarangan oleh masyarakat karena tidak adanya kepastian hukum atas tanah
timbul yang digunakan. (Setyawan: 2003)

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Slamet Jemaedi dari


Politeknik Negeri Pontianak. Ia melakukan penelitian di wilayah pesisir Kota
Singkawang Kalimantan Barat. Dari hasil penelitiannya ia menemukan bahwa telah
terjadi alih fungsi hutan mangrove menjadi tambak udang di pesisir Kota
Singkawang. Penyebab utamanya adalah tingginya kebutuhan ekonomi di wilayah
tersebut dan rendahnya kesadaran penduduk akan pentingnya budidaya mangrove
bagi masa depan. Adanya tambak udang ini dikarenakan wilayah tersebut memiliki
kondisi fisik kimiawi yang sangat baik sehingga sangat memungkinkan untuk
budidaya tambak udang.(Jumaedi: 2016)
JARING-JARING MAKANAN

Jaring-jaring makanan merupakan sekumpulan rantai makanan yang saling


terhubung dalam suatu ekosistem. Pada gambar di atas adalah salah satu jaring-
jaring makanan yang terdapat pada ekosistem sawah. Berdasarkan gambar tersebut
dapat diketahui bahwa rumput dan pohon adalah organisme yang bersifat autotrof
sehingga ia mampu menjadi sumber makanan bagi makhluk lain atau dalam hal ini
disebut dengan produsen. Selanjutnya produsesn akan dimakan oleh konsumen
tingkat 1 yaitu tikus belalang dan ulat, Rumput- rumputan akan dimakan oleh tikus,
belalang, dan ulat sedangkan daun yang ada di pohon akan dimakan oleh belalang
dan ulat. Biasanya konsumen tingkat 1 ini disebut juga konsumen primer yang
artinya makhluk hidup yang berfungsi untuk memakan produsen.
Selanjutnya, konsumen tingkat 2 merupakan makhluk hidup yang memakan
konsumen tingkat 1. Konsumen tingkat 2 disebut juga konseumen sekundder. Pada
jarring makanan di atas dapat kita ketahui bahwa yang bertindak sebagai konsumen
tingkat 2 adalah ular, elang, katak, dan ayam. Ular akan memakan tikus, katak akan
memakan belalang dan ulat, serta ayam yang akan memakan belalang dan ulat.
Selanjutnya, yaitu konsumen tingkat 3 (konsumen tersier) yang bertugas
untuk memakan organisme tingkat 2, dalam gambar di atas yang berperan sebagai
konsumen tingkat 3 adalah elang dan ular. Ayam dan katak dapat dimakan oleh ular
dan elang. Maka dari itu ular dan elang disebut juga konsumen tingkat 3 atau
konsumen tersier.
Pada jaring-jaring makanan selanjutnya akan ditemukan detritivore dan
decomposer sebagai organisme setelah konsumen yang akan mengurakan bahan-
bahan organic. detritivore merupakan jenis organisme yang membantu dalam
penghancuran secara mekanik sampah organic sebelum mengalami proses
penguraian secara kimia. Contoh organisme nya adalah rayap, teripang, dan luwing.
Sedangkan Decomposer adalah menguraikan sampah organic secara kimia menjadi
zat-zat organic. Contohnya adalah jamur dan bakteri.

Anda mungkin juga menyukai