PERDARAHAN SUBARACHNOID
DISUSUN OLEH :
Yustika Swasiyka Yusuf
C014202078
SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S(K), FINS, FINA
Stambuk : C014202078
Telah menyelesaikan tugas referat pada tanggal 23 September 2021 dan telah mendapatkan
perbaikan. Tugas ini dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.
Supervisor Pembimbing
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala
karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka referat ini dapat diselesaikan
dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad
SAW beserta para keluarga, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau
hingga akhir zaman.
Tugas Ilmiah Referat yang berjudul “Pendarahan Subarachnoid”. Penulis mengucapkan
rasa terimakasih sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung
maupun tidak langsung selama penyusunan tugas ilmiah ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa tugas ilmiah ini belum sempurna, untuk saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan penulisan tugas ilmiah ini. Terakhir
penulis berharap, semoga tugas ilmiah ini dapat memberikan hal yang bermanfaat dan
menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2
DAFTAR ISI...................................................................................................................................3
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................................4
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................5
2.1 Anatomi.............................................................................................................................6
2.2 Definisi..............................................................................................................................8
2.3 Etiologi..............................................................................................................................9
2.5 Patofisiologi....................................................................................................................11
2.6 Klasifikasi.......................................................................................................................13
2.8 Diagnosis.........................................................................................................................18
2.8.1 Anamnesis................................................................................................................19
2.9 Tatalaksana......................................................................................................................22
2.10 Komplikasi......................................................................................................................27
2.11 Prognosis.........................................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................31
3
DAFTAR GAMBAR
12
13
19
21
21
24
28
4
DAFTAR TABEL
14
14
15
15
16
27
5
6
BAB I
PENDAHULUAN
Sakit kepala adalah salah satu alasan paling umum untuk datang ke UGD atau
melakukan konsultasi pada dokter, hal ini dilaporkan dengan pesentase pasien yang mengeluh
sakit kepada sebanyak 2% pasien. Sebagian besar karena sakit kepala yang ringan, namun perlu
dipahami kondisi ini sangat penting untuk mengetahui dan membedakan penyebab sakit kepala
biasa serta yang dapat membahyakan jiwa. Sakit kepala yang disebabkan oleh Hematoma
subarachnoid (SAH) dari kondisi Aneurisma yang pecah adalah salah satu yang paling
berbahaya dan mematikan, dengan persentase kasus rata-rata 27 - 44%. Namun, kondisi ini
sangat jarang dilaporkan, hanya 1% dari semua sakit kepala yang mengarah ke gawat daruratan.
Dari laporan yang ada, menunjukkan bahwa, kematian satu tahun dari kasus SAH yang tidak
diobati mencapai 65%. Namun, dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat, kematian dapat
dikurangi menjadi 18% (Marcolini, 2019).
Dilaporkan oleh Marcolini (2019), menyatakan bahwa dampak sangat besar yang
ditumbulkan dari diagnosa kasus SAH yang tepat, sebagai penyebab sakit kepala, dapat secara
signifikan menurunkan angka kematian kepada pasien. Salah satu faktor resiko yang dapat
ditimbulkan adalah, kasus stroke. Stroke menurut WHO (World Health Organization) adalah
perkembangan tanda klinis yang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal ataupun global yang
terjadi secara mendadak yang berlangsung ≥24 jam atau kurang dari 24 jam jika pasien
meninggal yang diakibatkan oleh gangguan aliran darah ke otak. Stroke telah ditetapkan sebagai
penyebab utama kecacatan dan penyebab kematian nomor dua. Pada tahun 2016, Global Burden
of Disease, Injury and Risk Factors Study menunjukkan bahwa stroke menyebabkan 5,5 juta
kematian dan 116,4 juta kecacatan di dunia. 1DI Indonesia, menyebutkan prevalensi stroke pada
usia ≥15 tahun menurut Riset Kesehatan Dasarpada tahun 2018 sebesar 10,85% dan sedikit lebih
tinggi pada laki-laki serta derah perkotaan (Kementerian Kesehatan RI, 2019)
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
8
Middle cerebral artery pada fissure sylvi (20%)
Basilar tip (10%).
2.2 Definisi
9
Tabel 1. Penyebab munculnya sakit kepala berat (Ogunlaja, 2019)
• Perdarahan subarachnoid (aneurisma, malformasi arteriovenosa, traumatik,
perimesensefalik, dan beberapa penyebab yang tidak diketahui)
• Meningitis/ensefalitis
• Arteritis temporal/migrain dengan komplikasi
• Sakit kepala cluster
• Sindrom vasokonstriksi serebral reversibel
• Glaukoma tertutup sudut sempit akut
• Hipertensi darurat
• Stroke akut: hemoragik atau iskemik
• Keracunan karbon monoksida
• Hipertensi intrakranial idiopatik (pseudotumor serebri)
• Hipotensi intrakranial spontan
• Trombosis vena serebral dan sinus dural
• Lesi massal
• Diseksi arteri servikal-kranial
• Apoplexy hipofisis
Kondisi SAH biasanya muncul dengan serangan mendadak, sakit kepala parah
dan dengan pasien yang secara tekstual menggambarkannya sebagai "sakit kepala yang
lebih buruk dalam hidup mereka." Beberapa studi melaporkan kisaran kesalahan
diagnosis total SAH dari 12 hingga 51%. Satu persen dari semua pasien yang ada di UGD
adalah penyebab sekunder dari kondisi SAH. Namun, sekitar 5,4% pasien yang
didiagnosis dengan SAH awalnya salah didiagnosis di UGD (Ogunlaja, 2019). Keputusan
untuk melakukan pemeriksaan pasien dengan gejala sakit kepala berat, dengan konsultasi
ke bagian neurologis adalah hal yang sangat ditekankan. Saat ini, sulit untuk menentukan
apakah pasien yang sadar dan secara neurologis merepon dengan baik, memerlukan
pemeriksaan awal yang lebih rinci. Seorang dokter umum di bagian UGD, harus
memutuskan kapan melanjutkan pada pemeriksaan neurologis, atau pemeriksaan lain
yang menunjang kesimpulan diagnosa yang lebih kuat (Sima et al., 2021).
10
2.3 Etiologi
2.4 Epidemologi
Perdarahan Subarachnoid (SAH) adalah subtipe stroke yang parah dengan kasus
yang dilaporkan pada kisaran 1 dan 27 per 100.000 orang per tahun. Kasus SAH dengan
kejadian tiba-tiba yang dilaporkan, sangat bervariasi menurut wilayah dan ras. Kejadian
SAH yang dilaporkan lebih tinggi pada wanita dan lansia. Kejadian SAH setiap tahun
dilaporkan di China, namun dengan jumlah beragam di antara penelitian yang berbeda.
Kasus yang sama dilaporkan dngan angka yang lebih tingga tinggi di di Baotou,
Mongolia dengan jumlah kasus sebanyak 6,2 per 100.000 orang per tahun (Ogunlaja,
2019).
11
Ditambahkan oleh Wulandari et al., (2021), menyebutkan bahwa kasus SAH
merupakan jenis stroke yang paling jarang terjadi, namun memiliki angka morbiditas dan
mortalitas yang paling tinggi serta beban perawatan kesehatan yang lebih berat. Angka
kejadian SAH berdasarkan European Registers of Stroke (EROS) dan The Spanish
Society of Neurology mencapai 9 kasus per 100.000 orang dan mengalami peningkatan
kejadian setelah usia 50 tahun dengan persentase lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria. Seperti yang dilaporkan sebelumnya bahwa, di Amerika Serikat, prevalensi SAH
mencapai 5% hingga 10% dari semua jenis stroke. Insiden SAH yang disebabkan oleh
ruptur aneurisma sangat bervariasi di seluruh dunia, dari 2 kasus per 100.000 orang di
Cina hingga 22,5 kasus per 100.000 orang di Finlandia (Lawton, 2017).
Sementara itu, dalam laporan lain disebuatkan bahwa sebanyak 85% kasus SAH
non-traumatik dan disebabkan oleh ruptur aneurisma. Etiologi yang didapatkan pada
kasus ini meliputi perdarahan perimesensefalik, malformasi arteriovenosa, fistula
arteriovenosa dural, diseksi arteri, aneurisma mikotik, serta penyalahgunaan kokain.
Prevalensi aneurisma pada populasi umum dilaporkan sekitar 2-5%, dan lebih beresiko
pada pasien yang memiliki riwayat keluarga aneurisma, dan/atau riwayat pribadi Ehlers-
Danlos atau penyakit ginjal polikistik. Pada dasarnya tidak semua kasus aneurisma
berbahaya. Terdapat beberapa faktor yang terkait dengan risiko rupture pada aneurisma
diantaranya meliputi hipertensi, keebiasaan merokok, penggunaan alcohol yang
berlebihan, obat-obatan simpatomimetik, ras kulit hitam, etnis Hispanik, dengan ukuran
aneurisma yang dilaporkan sebesar > 10 milimeter (mm). Kasus SAH dengan aneurisma
lebih sering terjadi pada wanita dan pasien usia 40-60 tahun (Marcolini, 2019).
2.5 Patofisiologi
12
Cerebral Ischemia (DCI) termasuk vasospasme serebral. Pembentukan aneurisma terjadi
dengan lesi vaskuler awal setelah interaksi faktor biologis, fisik, dan eksternal tertentu.
Gaya tangensial (shear stress) pada dinding pembuluh darah akibat aliran darah
menyebabkan aneurisma atau dilatasi dan degenerasi dinding pembuluh darah.
Endotelium merupakan struktur yang pertama kali mengalami kerusakan. Struktur ini
berperan dalam sensitivitas perubahan tekanan dinding vaskuler dan menyesuaikan
diameter lumen sesuai dengan tingkat shear stress untuk mempertahankan fisiologi dan
menentukan keseluruhan proses remodeling. Inflamasi memainkan peran penting pada
pembentukan dan pecahnya aneurisma. Aktivasi proinflamasi terjadi selama remodeling
vaskular pada daerah dengan shear stress yang tinggi. Aktivasi proinflamasi termasuk
aktivasi endotel menginduksi sintesis nitrit oksida (NO) dan down-regulasi endothelial
constitutional equivalent (eNOS), induksi matrix metalloproteinases (MMP) seperti
MMP-2, MMP-9, dan sitokin proinflamasi lain seperti interleukin (IL)-10, IL-1β, IL-6,
tumo necrosis factor (TNF)-α serta kaskade komplemen dan koagulasi. Sistem
komplemen berkaitan dengan aneurisma intracranial dan degenerasi dinding pembuluh
darah (Ogunlaja, 2019).
Segera setelah aneurisma pecah, akan terjadi transient global cerebral
ischemiadan patologi lainnya yang disebut EBI. EBI didefinisikan sebagai perkembangan
kerusakan otak pada 72 jam pertama setelah perdarahan. Stress oksidatif memainkan
peran penting pada pekembangan EBI setelah SAH dengan memproduksi radikal
Reactive Oxygen Species (ROS) termasuk superoxide anion (O2−), hydroxyl radical
(OH−), hydrogen peroxide (H2O2), NO, and peroxynitrate (ONOO−). Hipoksia atau
kekurangan oksigen akan menganggu fungsi mitokondria. Sementara itu, vasospasme
serebral dianggap berkonstribusi pada DCI. Vasospasme serebral merupakan penurunan
difus dan reversible caliber pembuluh darah karena konstriksi otot polos arteri setelah
SAH (Gambar 3) (Ogunlaja, 2019).
Dinamika vaskular selama vasospasme termasuk konstriksi pembuluh darah kecil
yang menyebabkan disfungsi endotel, neuroinflamasi intramural, kontraksi otot polos
pembuluh darah pial di pembuluh darah otak. Endothelin-1 (ET-1) yang bekerja pada
reseptor endotelium sel otot polos vakular menyebabkan masuknya Ca 2+ intraseluler
(peningkatan kadar Ca2+ intraseluler setelah SAH melalui voltage-dependent Ca2+
13
channelsand neurotransmitter-receptor-operated Ca2+ channels dan vasokonstriksi
dengan aktivasi kaskade multipletermasuk protein kinase C.
14
Gambar 4. Mekanisme patofisiologi SAH menginduksi vasospasme.
2.6 Klasifikasi
Faktor risiko ruptur aneurisma dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang dapat
dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (Tabel 2 dna 3). Faktor
risiko yang dapat dimodifikasi antara lain: hipertensi, kebiasaan merokok, konsumsi
alkohol berlebih, diabetes mellitus berkaitan dengan SAH tipe perimesensefalik, dan
penggunaan obat simpatomimetik. Faktor risiko SAH yang tidak dapat dimodifikasi
antaralain: usia (terbanyak pada usia 40-60 tahun), jenis kelamin (wanita>pria), riwayat
aneurisma sebelumnya, riwayat keluarga pada kerabat tingkat pertama (meningkatkan
risiko 3-4 kali lipat), penyakit genetik (autosomal dominant polycystic kidney diasease,
type IV Ehlers-Danlos syndrome) (Wulandari et al., 2021).
15
Tabel 3. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
• bertambahnya usia
• jenis kelamin wanita
• etnis Afrika-Amerika, Hispanik, Jepang, dan Finlandia
• riwayat atau riwayat keluarga perdarahan subarachnoid sebelumnya
• riwayat aneurisma pada dua atau lebih kerabat tingkat pertama
• penyakit ginjal polikistik autosomal
• sindrom Ehlers-Danlos tipe IV
• aneurisma serebral dengan diameter lebih dari 7 mm.
16
IV 7-12 Mungkin ada atau mungkin tidak
V 3-7 Mungkin ada atau mungkin tidak
17
Tabel 6. Fischer Scale (Vivancos, 2017)
I Tidak ada darah pada sisterna
II Diffuse depositionataulapisan vertikal darah tipis dengan ketebalan
<1 mm
III Clotsterlokalisasiatau lapisan vertikal setebal >1 mm
IV Perdarahan difus ± perdarahan intraventrikular atau perluasan
parenkim
Gejala awal yang umum dan merupakan ciri khas gejala SAHaneurisma,yaitu
“sakit kepala terburuk dalam hidup saya”. kepala parah yang biasanya muncul sebelum
nyeri dan mencapai intensitas maksimum dalam hitungan detik atau (sakit kepala
bawah).5,78Sekitar 10-40% pasien, didahului oleh nyeri kepala 2-8 minggu perdarahan
subaraknoid yang nyata.7Perdarahan biasanya terjadi selama masa stres fisik atau
psikologis, namun lebih sering terjadi selama aktivitas sehari-hari (Lawton, 2017).
Gejala lain yang mungkin muncul, yaitu penurunan kesadaran, mual dan/atau
muntah, fotofobia, defisit neurologis fokal atau kejang, perdarahan
retina.5,78Pemeriksaan saraf fisik pada >50% kejadian SAH memberikan hasil yang
normal atau terdapat kekakuan leher. Tanda ini mungkin tidak ditemukan pada kondisi
awal, kasus ringan atau pasien dalam keadaan koma (Lawton, 2017).
Gejala klinis yang paling umum pada pasien SAH meliputi: (Arasalingam, 2019)
Sakit kepala parah yang tiba-tiba (digambarkan sebagai sakit kepala terburuk
yang pernah dialami)
Kehilangan kesadaran
Mual
Muntah
Fotofobia
Sakit leher
Beberapa pasien mungkin mengalami sakit kepala tanpa gejala terkait lainnya dan
dikenal sebagai sakit kepala sentinel. Jika diagnosis tidak mengarah kepada SAH, ada
risiko tinggi terjadinya perdarahan ulang yang kemungkinan dapat mengancam jiwa
dalam beberapa jam hingga hari tanpa penanganan. Gejala lainnya yang harus dicurigai
18
mengarah kepada SAH, ialah kasus ensefalopati akut dan hematoma subdural yang
terjadi bersamaan.
Pemeriksaan fisik harus mencakup beberapa pemeriksaan di antaranya: (Arasalingam,
2019)
Tingkat kesadaran (skala koma Glasgow)
Evaluasi untuk meningisme
Adanya defisit neurologis fokal
Pemeriksaan fundus dapat mengungkapkan perdarahan intraocular sindrom
terson, perdarahan intraokular terkait dengan SAH dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas dan dapat terjadi kepada 40% pasien dengan SAH.
2.8 Diagnosis
19
Penegakan diagnosis pada kasus perdarahan subaraknoid dapat dilakukan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, neurologis dan penunjang. Ottawa subarachnoid
hemorrhage decision rule dapat membantu mendiagnosis SAH (sensitivitas 100%),
namun masih dalam perdebatan karena memiliki spesifisitas rendah (15%) (Marcolini et
al., 2019). Ottawa subarachnoid hemorrhage decision rule meliputi: kriteria inklusi dan
eksklusi, usia ≥ 40 tahun, nyeri atau kaku leher (neck stiffness), penurunan kesadaran,
onset dengan aktivitas, nyeri kepala yang memuncak secara tiba-tiba (thunderclap
headache) serta fleksi leher terbatas. Kriteri inklusi mencakup alert, usia >15 tahun
dengan keluhan baru, berat, nyeri kepala nontrauma yang mencapai intensitas maksimal
dalam 1 jam. Kriteria eksklusi mencakup: defisit neurologis baru, riwayat aneurisma
sebelumnya, hematoma subaraknoid atau tumor otak atau riwayat nyeri kepala berulang
(≥3 episode dalam ≥6 bulan) (Marcolini et al., 2019).
Pemeriksaan CT-scan tanpa kontras merupakan tahap diagnosis pertama SAH
(Lawton, 2017). Sensitivitas CT-scan hampir mendekati 100% pada 3 hari pertama
setelah onset gejala, namun menurun hingga 50% pada hari ke-5 hingga ke-7 setelah
onset gejala (Gambar 4). Apabila CT-scan menunjukkan hasil negative namun
kecurigaan klinis SAH tinggi, maka dapat dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal.
Pemeriksaan pungsi lumbal dianjurkan antara 6-12 jam setelah onset gejala (sensitivitas
mendekati 99%) karena cairan serebrospinal (CSF) kembali normal setelah 3 minggu.
Penemuan sel darah merah (2,000x106 pada tabung CSF terakhir) dan/atau
xanthochromia pada CSF akan menegakkan diagnosis SAH. Magnetic Resonance
Imaging (MRI) merupakan studi pilihan untuk mengidentifikasi sumber perdarahan
sedangkan angiografi digunakan pada kecurigaan aneurisma. MRI dan CT-Angiography
(CTA) sangat sensitif untuk mendeteksi anuerisma pada circle of willisyang berdiameter
>5 mm. CTA pada saat ini dapat digunakan untuk mendeteksi aneurisma berukuran 2
mm. Pemeriksaan ulang dalam 2 minggu direkomendasikan apabila hasil angiografi
pertama negatif. Doppler ultrasonography berperan untuk diagnosis dan monitor
vasospasme sekunder. Transcranial Doppler ultrasound (TCD) merupakan metode non-
invasif yang cukup baik untuk mendiagnosis, follow-upvasospasme dan mendeteksi
vasospasme pada arteri besar Circle of Willis terutama arteri serebral tengah (Lawton,
2017).
20
Gambar 5. Gambaran CT-scan Kepala Menunjukkan Perdarahan Subarachnoid (De
Oliveira, 2016).
2.8.1 Anamnesis
21
Computed tomography CT serebral adalah metode standar yang cepat dan paling
sensitif untuk mendeteksi pendarahan subarachnoid (Gambar 7). Sensitivitas CT
untuk SAH berkisar antara 90 sampai 95%, hal ini menunjukkan bahwa walaupun
CT memiliki sensitivitas tinggi, tetapi tidak boleh diterapkan sebagai modalitas
diagnostik tunggal untuk diagnosis SAH. Pendekatan diagnosa lain yang dapat
dilakukan adalah penggunaan CT diikuti oleh CT angiography (CTA) (Gambar
6). Sensitivitas dan spesifisitas pendekatan CTA untuk mendeteksi aneurisma > 3
mm, dilaporkan untuk saat ini mendekati 100% dan dilakukan pemeriksaan pungsi
lumbal untuk menyingkirkan diagnosis pada klinis SAH tetapi tidak ditemukan
perdarahan pada CT-scan kepala. Akan tetapi Gold standar pada SAH yaitu
Digital Subtraction Angiography (DSA) memiliki risiko terjadinya ruptur
aneurisma selama prosedur dan pascaprosedur (Syuichi, 2016).
22
Gambar 7. Gambara CT pada pasien SAH. Terlihat SAH isoatenuasi di fisura Sylvian
(sedikit hyperattenuating di sebelah kiri) dan hidrosefalus ringan - terlihat sebagai
pembesaran ventrikel ketiga (a) dibandingkan dengan CT sebelumnya (b). Panah
menunjukkan fisura Sylvian, dan panah menunjukkan ventrikel ketiga yang melebar.
23
2.10 Tatalaksana
24
vasospasm meliputi: 1) Penghentian nimodipine, anti-hipertensi, dan diuretika, 2)
Pemberian 5% albumin 250 ml IV; 3) Pemasangan swangans bila memungkinkan dan
usahakan wedge pressure 12-14 mmHg; 4) Menjaga cardiac indexsekitar
4L/min/sg.meter; 5) Pemberian dobutamine 2-15 ug/kg/min. Pengobatan pada
vasospasme serebral dimulai dengan mempertahankan volume darah sirkulasi yang
normal dan menghindari hipovolemia.Pasien SAH dengan tanda-tanda vasospasme perlu
dipertimbangkan terapi hiperdinamik triple H (Hypervolemic-Hypertensive-
Hemodilution) dengan tujuan mempertahankan tekanan perfusi serebral (Tabel 8).
Tatalaksana kejang pada SAH direkomendasikan apabila hasil pemeriksaan neurologis
buruk atau jumlah perdarahan signifikan yang menunjukkan risiko kejang
klinis/subklinis. Belum terdapat studi yang merekomendasikan agen antiepilepsi tertentu
dalam penanganan kejang pada SAH. Agen yang paling umum digunakan yaitu
phenytoin (10-20 mg/kg IV maksimal 50 mg/menit), fosphenytoin (10-20 phenytoin
sodium equivalent(PE)/kg IV, infus perlahan selama 30 menit maksimal 150 mg
PE/menit) dan levetiracetam (15-20 mg/kg selama 30 menit). Tatalaksana tambahan yang
dapat diberikan pada kasus SAH, yaitu laksansia (pencahar untuk melunakan feses
secara regular), analgetik, dan pada kondisi psikiatri sepertirasa gelisah dengan
pemberian haloperidolatau midazolam (Marcolini et al., 2019).
25
Gambar 8. Perbaikan Aneurisma Yang Menyebabkan Perdarahan Subarachnoid
(Michael, et al., 2017)
26
dengan pemberian kristaloid.
Tatalaksana hipertensi dengan atau tanpa hipervolemia dapat dipertimbangkan
sebagai tatalaksana alternatif untuk vasospasme.
Intervensi neurovaskular dapatdilakukan pada vasospasme resisten atau pasien yang
mengalami efek samping sistemik karena peningkatan volemia dan tekanan darah.
Hidrocephalus
Drainase ventrikel dengan ventriculostomybermanfaat pada pasien dengan gejala
akut hidrosefalus.
Pemasangan External Ventricular Drainase (EVD).
Pemberian profilaksis agen antiepilepsi tidak diindikasikan secara umum pada
semua pasien SAH.
27
2.10 Komplikasi
Komplikasi SAH dibagi menjadi tiga, yaitu fase akut, fase sub-akut, dan fase
lanjut. Komplikasi fase akut SAH yang paling serius adalah perdarahan yang umumnya
terjadi pada 3 hari pertama setelah perdarahan awal (perkiraan risiko 9-17% pada jam-
jam awal) yang buruk dengan prognosis buruk dan skala Fisher yang lebih tinggi.
Hidrosefalus merupakan komplikasi awal yang muncul beberapa jam setelah kejadian.
Hidrosefalus akut (tipe noncommunicating/obstruksi) yang berkontribusi terhadap EBI
disebabkan oleh efek massa atau bekuan darah di ventrikel dan aqueduct menghalangi
aliran CSF normal. Inflamasi juga diyakini sebagai mekanisme biomolekular penting
yang menginduksi hidrosefalus akut melalui gangguan BBB (Wulandari et al., 2021).
Vasospasme merupakan komplikasi paling umum pada perdarahan subaraknoid
fase sub-akut. Risiko vasospasme terjadi lebih lambat daripada perdarahan ulang dan
luasnya perdarahan awal. Oksihemoglobin (hasil proses lisis bekuan di ruang
subaraknoid) darah merupakan kontribusi terhadap terjadinya vasospasme. Namun
mekanisme vasospasmenya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga melalui
kemampuannya untuk menekan aktivitas kanal K+, meningkatkan masuknya Ca2+,
meningkatkan aktivitas protein kinase C, dan juga Rho kinase (Lawton, 2017).
Hidrosefalus kronik merupakan komplikasi lanjut pada perdarahan subaraknoid
yang disebabkan oleh partisi dalam ruang araknoid mencegah reabsorpsi CSF yang
normal dan menyebabkan dilatasi sistem ventrikel. Komplikasi lain yang dapat terjadi
pada SAH, yaitu hiponatremia (Na<135 mEq/dl) yang diakibatkan oleh mekanisme
garam otak wasting (CSW) dan sindrom sekresi hormon antideuretik (SIADH) yang
tidak sesuai. Komplikasi demam pada SAH biasanya merupakan demam noninfeksius
terutama karena adanya perdarahan intraventrikular (Wulandari et al., 2021).
28
Gambar 9. Patofisilogi Delayed neurologic complications.
2.11 Prognosis
World Federation of Neurological Surgeons Scale dan Hess and Hunt Scale
membantu membedakan risiko tinggi dari pasien berisiko rendah pada suatu populasi,
tetapi tidak dapat diterapkan untuk pasien individu. Faktor-faktor seperti nilai dan
preferensi pasien, komorbiditas, jaringan sosial dan ketahanan yang mempengaruhi hasil.
Semua upaya harus dilakukan untuk menyelamatkan pasien bahkan dengan SAH derajat
tinggi, kecuali mereka datang dengan pupil yang melebar secara bilateral dan CT atau
DSA kepala tidak konsisten lagi, dengan perfusi otak dan kondisi pasien yang lebih para.
Perawatan neurokritis protokol yang memadai harus diberikan selama 2 minggu pertama
sebelum arahan lanjutan dan keinginan kerabat dipertimbangkan (Arasalingam, 2019).
Sedangkan menurut Wulandari et al., (2021), prognosis SAH sangat bervariasi
secara signifikan, dari sembuh sempurna hingga kecacatan berat atau kematian yang
tergantung pada tingkat keparahan perdarahan awal dan potensi komplikasi yang terjadi
dalam 2 minggu pertama setelah perdarahan. Pasien dengan tingkat kesadaran normal
memiliki risiko kematian yang rendah sedangkan penurunan tingkat kesadaran memiliki
risiko kematian dan kecacatan yang lebih tinggi. Angka kematian SAH yang tidak
29
ditatalaksana mencapai 65% sedangkan berkurang hingga 18% pada SAH yang
didiagnosis dan ditatalaksana dengan tepat.
30
BAB III
KESIMPULAN
31
DAFTAR PUSTAKA
Baehr,M & Frotscher,M., Duus’s Topical Diagnosis in Neurology. 5th edition. 2012.
Burzyńska M., Agnieszka U., Magdalena K., Marek C., Barbara D., Andrzej K. 2020. The
relationship between the time of cerebral desaturation episodes and outcome in
aneurysmal subarachnoid haemorrhage: a preliminary study. J Clin Monit Comput.
2020; 34(4): 705–714.
De Oliveira Manoel, A. L., Goffi, A., Marotta, T. R., Schweizer, T. A., Abrahamson, S.,
Macdonald, R. L. The critical care management of poor-grade subarachnoid
haemorrhage. CritCare. 2016;20 (21):1-14
Gabryel C. N., Sophia K. T., Nathan R. S., Gordon K. M., Alkiviadis T., Bertrand T., Gabriel P.,
Martin M., David A. V., and Bryn A. M., Ex-vivo quantification of ovine pia arachnoid
complex biomechanical properties under uniaxial tension. Fluids Barriers CNS. 2020;
17: 68.
Kementerian Kesehatan RI. 2019. Hasil Utama Riskesdas 2018. [Cited 16 Oktober 2020],
Available from:
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-
2018_1274.pdf (diakses pada 24/9/2021)
Marcolini E., MDcorresponding and Jason Hine, MD. 2019. Approach to the Diagnosis and
Management of Subarachnoid Hemorrhage. West J Emerg Med. 2019 Mar; 20(2): 203–
32
211. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6404699/ (diakses pada
24/9/2021)
Michael T. Lawton, M.D., G. Edward Vates, M.D., 2017. Subarachnoid Hemorrhage. The new
england journal of medicine. 377: 3
Ogunlaja OI, Cowan R. Subarachnoid hemorrhage and headache. Curr Pain Headache Rep.
2019;23(6):44.
Reis, C., Ho, W. M., Akyol, O., Chen, S., Applegate, R., Zhang, J.Pathophysiology of
Subarachnoid Hemorrhage, Early Brain Injury, and Delayed Cerebral Ischemia. Primer
on Cerebrovascular Diseases2ndedition: Elsevier. 2017; 125–130.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780128030585000254?via
%3Dihub (diakses pada 25/9/2021)
Sima P., Amay P,. Okorie N. O., 2021. Subarachnoid hemorrhage in the emergency department.
Int J Emerg Med 14, 31 (2021)
https://intjem.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12245-021-00353-w (diakses pada
25/9/2021)
Syuichi T. and Eiji Matsumoto. Diagnosis of a subarachnoid hemorrhage with only mild
symptoms using computed tomography in Japan. BMC Neurol. 2016; 16: 196.
Taufique Z, May T, Meyers E, et al. Predictors of poor quality of life 1 year after subarachnoid
hemorrhage. Neurosurgery 2016;78:256-264
Vivancos, J.,Gilo F., Frutos R., Maestre J., Pastor G A., Quintana F.Clinical Management
Guidelines for Subarachnoid Hemorrhage, Diagnosis and Treatment.
Neuroglia2017;29(6):353-370
Wulandari D. A., Ester S, Ilsa H. 2021. Perdarahan Subarakhnoid (PSA). Jurnal Kedokteran
2021,10(1):338-346
33
34