Anda di halaman 1dari 35

BAGIAN NEUROLOGI REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN SEPTEMBER 2021


UNIVERSITAS HASANUDDIN

PERDARAHAN SUBARACHNOID

DISUSUN OLEH :
Yustika Swasiyka Yusuf
C014202078

SUPERVISOR PEMBIMBING :
dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S(K), FINS, FINA

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
LEMBAR PENGESAHAN

Yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:

Nama : Yustika swasiyka yusuf

Stambuk : C014202078

Judul Referat : Pendarahan Subarachnoid

Telah menyelesaikan tugas referat pada tanggal 23 September 2021 dan telah mendapatkan
perbaikan. Tugas ini dalam rangka kepaniteraan klinik pada Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Makassar, 23 September 2021

Supervisor Pembimbing

(dr. Ashari Bahar, M.Kes, Sp.S(K), FINS, FINA)

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala
karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya maka referat ini dapat diselesaikan
dengan baik. Salam dan salawat semoga selalu tercurah pada baginda Rasulullah Muhammad
SAW beserta para keluarga, sahabat-sahabatnya dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau
hingga akhir zaman.
Tugas Ilmiah Referat yang berjudul “Pendarahan Subarachnoid”. Penulis mengucapkan
rasa terimakasih sebesar-besarnya atas semua bantuan yang telah diberikan, baik secara langsung
maupun tidak langsung selama penyusunan tugas ilmiah ini hingga selesai.
Penulis menyadari bahwa tugas ilmiah ini belum sempurna, untuk saran dan kritik yang
membangun sangat diharapkan dalam penyempurnaan penulisan tugas ilmiah ini. Terakhir
penulis berharap, semoga tugas ilmiah ini dapat memberikan hal yang bermanfaat dan
menambah wawasan bagi pembaca dan khususnya bagi penulis juga.

Makassar, September 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................................2

DAFTAR ISI...................................................................................................................................3

DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................................4

BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................................5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................................6

2.1 Anatomi.............................................................................................................................6

2.2 Definisi..............................................................................................................................8

2.3 Etiologi..............................................................................................................................9

2.5 Patofisiologi....................................................................................................................11

2.6 Klasifikasi.......................................................................................................................13

2.7 Manifestasi Klinis...........................................................................................................16

2.8 Diagnosis.........................................................................................................................18

2.8.1 Anamnesis................................................................................................................19

2.8.2 Pemeriksaan Fisik....................................................................................................20

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................20

2.9 Tatalaksana......................................................................................................................22

2.10 Komplikasi......................................................................................................................27

2.11 Prognosis.........................................................................................................................28

BAB III KESIMPULAN..............................................................................................................30

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................31

3
DAFTAR GAMBAR

12

13

19

21

21

24

28

4
DAFTAR TABEL

14

14

15

15

16

27

5
6
BAB I
PENDAHULUAN

Sakit kepala adalah salah satu alasan paling umum untuk datang ke UGD atau
melakukan konsultasi pada dokter, hal ini dilaporkan dengan pesentase pasien yang mengeluh
sakit kepada sebanyak 2% pasien. Sebagian besar karena sakit kepala yang ringan, namun perlu
dipahami kondisi ini sangat penting untuk mengetahui dan membedakan penyebab sakit kepala
biasa serta yang dapat membahyakan jiwa. Sakit kepala yang disebabkan oleh Hematoma
subarachnoid (SAH) dari kondisi Aneurisma yang pecah adalah salah satu yang paling
berbahaya dan mematikan, dengan persentase kasus rata-rata 27 - 44%. Namun, kondisi ini
sangat jarang dilaporkan, hanya 1% dari semua sakit kepala yang mengarah ke gawat daruratan.
Dari laporan yang ada, menunjukkan bahwa, kematian satu tahun dari kasus SAH yang tidak
diobati mencapai 65%. Namun, dengan diagnosis dan pengobatan yang tepat, kematian dapat
dikurangi menjadi 18% (Marcolini, 2019).

Dilaporkan oleh Marcolini (2019), menyatakan bahwa dampak sangat besar yang
ditumbulkan dari diagnosa kasus SAH yang tepat, sebagai penyebab sakit kepala, dapat secara
signifikan menurunkan angka kematian kepada pasien. Salah satu faktor resiko yang dapat
ditimbulkan adalah, kasus stroke. Stroke menurut WHO (World Health Organization) adalah
perkembangan tanda klinis yang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal ataupun global yang
terjadi secara mendadak yang berlangsung ≥24 jam atau kurang dari 24 jam jika pasien
meninggal yang diakibatkan oleh gangguan aliran darah ke otak. Stroke telah ditetapkan sebagai
penyebab utama kecacatan dan penyebab kematian nomor dua. Pada tahun 2016, Global Burden
of Disease, Injury and Risk Factors Study menunjukkan bahwa stroke menyebabkan 5,5 juta
kematian dan 116,4 juta kecacatan di dunia. 1DI Indonesia, menyebutkan prevalensi stroke pada
usia ≥15 tahun menurut Riset Kesehatan Dasarpada tahun 2018 sebesar 10,85% dan sedikit lebih
tinggi pada laki-laki serta derah perkotaan (Kementerian Kesehatan RI, 2019)

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Kompleks pia-arachnoid (PAC), umumnya dikenal sebagai leptomeninges otak,


yang berpeeran untuk memberikan stabilitas mekanis pada otak dan sumsum tulang
belakang pada manusia dan semua spesies vertebrata. PAC terletak jauh ke dura mater
dan superfisial ke arah otak, yang terdiri dari pia mater, arachnoid mater dan ruang
subarachnoid (SAS). SAS diisi dengan cairan serebrospinal (CSF) dan berisi trabekula
subarachnoid (SAT) yang membentang di area tengah meningen (Gambar 1) (Gabryel et
al., 2020).

Gambar 1. Anatomi kompleks pia arachnoid yang menunjukkan (a) duramater,


(b) arachnoid mater, (c) ruang subarachnoid yang mengandung serat trabekula arachnoid
dan pembuluh darah, (d) pia mater, dan (e) jaringan otak.
Bentuk tersering pada aneurisma intrakranial berupa Saccular (berry) aneurisma
dan bentuk lainnya adalah Fusiform aneurisma. (Baehr,M & Frotscher,M., Duus’s
Topical)
 Lokasi predileksi aneurisma intrakranial:
 Anterior communicating artery (40%—45%)
 Posterior communicating artery (30%)

8
 Middle cerebral artery pada fissure sylvi (20%)
 Basilar tip (10%).

Gambar.2 Situs umum aneurisma intrakranial

2.2 Definisi

Subarachnoid hemorrhage (SAH) merupakan salah satu jenis stroke hemoragik


dan merupakan penyakit cerebrovascular yang bersifat merusak setelah pecahnya
aneurisma intrakranial, mendorong darah masuk kedalam ruang subarakhnoid sehingga
menyebabkan gangguan perfusi dan fungsi otak (Reis et al., 2017).
Sakit kepala seperti yang telah dilaporkan, telah menyumbang 2% dari semua
kunjungan gawat darurat (UGD), engan perdarahan subarachnoid (SAH) menjadi salah
satu diagnosis paling beresiko pada kondisi kematian mulai dari 8 hingga 65%. Sakit
kepala adalah salah satu keluhan utama yang paling umum di UGD (Sima et al., 2021).
Manajeman diagnostik untuk kondisi ini menggunkan metode pemeriksaan yang sangat
bervariasi, dan kemungkinan penyebabnya sangat luas (Tabel 1).

9
Tabel 1. Penyebab munculnya sakit kepala berat (Ogunlaja, 2019)
• Perdarahan subarachnoid (aneurisma, malformasi arteriovenosa, traumatik,
perimesensefalik, dan beberapa penyebab yang tidak diketahui)
• Meningitis/ensefalitis
• Arteritis temporal/migrain dengan komplikasi
• Sakit kepala cluster
• Sindrom vasokonstriksi serebral reversibel
• Glaukoma tertutup sudut sempit akut
• Hipertensi darurat
• Stroke akut: hemoragik atau iskemik
• Keracunan karbon monoksida
• Hipertensi intrakranial idiopatik (pseudotumor serebri)
• Hipotensi intrakranial spontan
• Trombosis vena serebral dan sinus dural
• Lesi massal
• Diseksi arteri servikal-kranial
• Apoplexy hipofisis

Kondisi SAH biasanya muncul dengan serangan mendadak, sakit kepala parah
dan dengan pasien yang secara tekstual menggambarkannya sebagai "sakit kepala yang
lebih buruk dalam hidup mereka." Beberapa studi melaporkan kisaran kesalahan
diagnosis total SAH dari 12 hingga 51%. Satu persen dari semua pasien yang ada di UGD
adalah penyebab sekunder dari kondisi SAH. Namun, sekitar 5,4% pasien yang
didiagnosis dengan SAH awalnya salah didiagnosis di UGD (Ogunlaja, 2019). Keputusan
untuk melakukan pemeriksaan pasien dengan gejala sakit kepala berat, dengan konsultasi
ke bagian neurologis adalah hal yang sangat ditekankan. Saat ini, sulit untuk menentukan
apakah pasien yang sadar dan secara neurologis merepon dengan baik, memerlukan
pemeriksaan awal yang lebih rinci. Seorang dokter umum di bagian UGD, harus
memutuskan kapan melanjutkan pada pemeriksaan neurologis, atau pemeriksaan lain
yang menunjang kesimpulan diagnosa yang lebih kuat (Sima et al., 2021).

10
2.3 Etiologi

Sekitar 80% SAH non-trauma disebabkan oleh ruptur aneurisma intrakranial.


Jenis aneurisma yang paling umum terjadi pada individu dalam dekade kelima
kehidupan, yaitu aneurisma sakular. Aneurisma pada arteri komunikans anterior (36%)
merupakan lokasi aneurisma paling sering dilaporkan, diikuti arteri serebral tengah
(26%), arteri komunikans posterior (18%), dan arteri karotis interna (10%). Penyebab lain
SAH termasuk vascular malformationdan penyakit vaskular seperti vaskulitis (Lawton,
2017).
Perdarahan subarachnoid menyumbang 5 sampai 10% dari semua kasus stroke di
Amerika Serikat, dan pasien yang dilaporkan pada kasus ini dominan berusia lebih muda
daripada mereka yang terkena subtipe stroke lainnya, sehingga mengakibatkan hilangnya
produktif hidup dari semua pasin. Di antara pasien dengan kasus perdarahan
subarachnoid akibat aneurisma yang bertahan hidup, setengahnya menderita efek
neuropsikologis jangka panjang dan penurunan kualitas hidup (Taufique, 2016).
Identifikasi dini serta metode pengobatan aneurisma dapat mencegah terjadinya
ruptur aneurisma dan dapat mengatasi gejala yang dapat ditimbulkan dari kondisi ini.
Intervensi yang tepat dalam kasus perdarahan subarachnoid non-aneurisma (misalnya,
kasus yang melibatkan malformasi arteriovenosa), namun dari laporan yang ada, hingga
saat ini tedapat 10% kasus perdarahan subarachnoid non-aneurisma yang tidak
melibatkan kondisi malformasi vaskular, dan perawatan bedah atau endovaskular tidak
dianggap sebagai intervensi untuk kasus ini (Taufique, 2016).

2.4 Epidemologi
Perdarahan Subarachnoid (SAH) adalah subtipe stroke yang parah dengan kasus
yang dilaporkan pada kisaran 1 dan 27 per 100.000 orang per tahun. Kasus SAH dengan
kejadian tiba-tiba yang dilaporkan, sangat bervariasi menurut wilayah dan ras. Kejadian
SAH yang dilaporkan lebih tinggi pada wanita dan lansia. Kejadian SAH setiap tahun
dilaporkan di China, namun dengan jumlah beragam di antara penelitian yang berbeda.
Kasus yang sama dilaporkan dngan angka yang lebih tingga tinggi di di Baotou,
Mongolia dengan jumlah kasus sebanyak 6,2 per 100.000 orang per tahun (Ogunlaja,
2019).

11
Ditambahkan oleh Wulandari et al., (2021), menyebutkan bahwa kasus SAH
merupakan jenis stroke yang paling jarang terjadi, namun memiliki angka morbiditas dan
mortalitas yang paling tinggi serta beban perawatan kesehatan yang lebih berat. Angka
kejadian SAH berdasarkan European Registers of Stroke (EROS) dan The Spanish
Society of Neurology mencapai 9 kasus per 100.000 orang dan mengalami peningkatan
kejadian setelah usia 50 tahun dengan persentase lebih tinggi pada wanita dibandingkan
pria. Seperti yang dilaporkan sebelumnya bahwa, di Amerika Serikat, prevalensi SAH
mencapai 5% hingga 10% dari semua jenis stroke. Insiden SAH yang disebabkan oleh
ruptur aneurisma sangat bervariasi di seluruh dunia, dari 2 kasus per 100.000 orang di
Cina hingga 22,5 kasus per 100.000 orang di Finlandia (Lawton, 2017).
Sementara itu, dalam laporan lain disebuatkan bahwa sebanyak 85% kasus SAH
non-traumatik dan disebabkan oleh ruptur aneurisma. Etiologi yang didapatkan pada
kasus ini meliputi perdarahan perimesensefalik, malformasi arteriovenosa, fistula
arteriovenosa dural, diseksi arteri, aneurisma mikotik, serta penyalahgunaan kokain.
Prevalensi aneurisma pada populasi umum dilaporkan sekitar 2-5%, dan lebih beresiko
pada pasien yang memiliki riwayat keluarga aneurisma, dan/atau riwayat pribadi Ehlers-
Danlos atau penyakit ginjal polikistik. Pada dasarnya tidak semua kasus aneurisma
berbahaya. Terdapat beberapa faktor yang terkait dengan risiko rupture pada aneurisma
diantaranya meliputi hipertensi, keebiasaan merokok, penggunaan alcohol yang
berlebihan, obat-obatan simpatomimetik, ras kulit hitam, etnis Hispanik, dengan ukuran
aneurisma yang dilaporkan sebesar > 10 milimeter (mm). Kasus SAH dengan aneurisma
lebih sering terjadi pada wanita dan pasien usia 40-60 tahun (Marcolini, 2019).

2.5 Patofisiologi

Kejadian aneurisma biasanya ditemukan pada bifurkasi arteri serebral di kedua


daerah anterior atau posterior. Patofisiologi aneurisma telah dipahami bahwa kondisi ini
melibatkan kelemahan kongenital pada dinding pembuluh darah, atau perubahan
degeneratif yang mengakibatkan kerusakan elastisitas dinding pembuluh darah pada titik
turbulensi tinggi seperti bifurkasi. Menurut Wulandari (2021), menyatakan bahwa,
mekanisme patofisiologi SAH melibatkan Early Brain Injury (EBI) dan Delayed

12
Cerebral Ischemia (DCI) termasuk vasospasme serebral. Pembentukan aneurisma terjadi
dengan lesi vaskuler awal setelah interaksi faktor biologis, fisik, dan eksternal tertentu.
Gaya tangensial (shear stress) pada dinding pembuluh darah akibat aliran darah
menyebabkan aneurisma atau dilatasi dan degenerasi dinding pembuluh darah.
Endotelium merupakan struktur yang pertama kali mengalami kerusakan. Struktur ini
berperan dalam sensitivitas perubahan tekanan dinding vaskuler dan menyesuaikan
diameter lumen sesuai dengan tingkat shear stress untuk mempertahankan fisiologi dan
menentukan keseluruhan proses remodeling. Inflamasi memainkan peran penting pada
pembentukan dan pecahnya aneurisma. Aktivasi proinflamasi terjadi selama remodeling
vaskular pada daerah dengan shear stress yang tinggi. Aktivasi proinflamasi termasuk
aktivasi endotel menginduksi sintesis nitrit oksida (NO) dan down-regulasi endothelial
constitutional equivalent (eNOS), induksi matrix metalloproteinases (MMP) seperti
MMP-2, MMP-9, dan sitokin proinflamasi lain seperti interleukin (IL)-10, IL-1β, IL-6,
tumo necrosis factor (TNF)-α serta kaskade komplemen dan koagulasi. Sistem
komplemen berkaitan dengan aneurisma intracranial dan degenerasi dinding pembuluh
darah (Ogunlaja, 2019).
Segera setelah aneurisma pecah, akan terjadi transient global cerebral
ischemiadan patologi lainnya yang disebut EBI. EBI didefinisikan sebagai perkembangan
kerusakan otak pada 72 jam pertama setelah perdarahan. Stress oksidatif memainkan
peran penting pada pekembangan EBI setelah SAH dengan memproduksi radikal
Reactive Oxygen Species (ROS) termasuk superoxide anion (O2−), hydroxyl radical
(OH−), hydrogen peroxide (H2O2), NO, and peroxynitrate (ONOO−). Hipoksia atau
kekurangan oksigen akan menganggu fungsi mitokondria. Sementara itu, vasospasme
serebral dianggap berkonstribusi pada DCI. Vasospasme serebral merupakan penurunan
difus dan reversible caliber pembuluh darah karena konstriksi otot polos arteri setelah
SAH (Gambar 3) (Ogunlaja, 2019).
Dinamika vaskular selama vasospasme termasuk konstriksi pembuluh darah kecil
yang menyebabkan disfungsi endotel, neuroinflamasi intramural, kontraksi otot polos
pembuluh darah pial di pembuluh darah otak. Endothelin-1 (ET-1) yang bekerja pada
reseptor endotelium sel otot polos vakular menyebabkan masuknya Ca 2+ intraseluler
(peningkatan kadar Ca2+ intraseluler setelah SAH melalui voltage-dependent Ca2+

13
channelsand neurotransmitter-receptor-operated Ca2+ channels dan vasokonstriksi
dengan aktivasi kaskade multipletermasuk protein kinase C.

Gambar 3. Mekanisme patofisiologi Subarachnoid Hemorrhage/SAH.

Pelepasan oksihemoglobin setelah hemolisis akan menginduksi pelepasan ET-1,


merusak permeabilitas endotel, menghambat eNOS dan apoptosis neuronal dengan stimulasi
pembentukan ROS, peroksidasi lipid dan jalur Mitogen Activated Protein Kinase (MAPK)
yang menghambat influks kanal K+ (Gambar 5). Depolarisasi otot polos vaskular yang
berkelanjutan merupakan faktor penting selama vasospasme. Namun, pemicu terpenting
terjadinya vasospasme dan DCI adalah jumlah, kepadatan, klot dan produk degradasi
eritrosit di ruang subarakhnoid. Terdapat hubungan yang kuat antara vasospasme serebral
dengan jumlah darah subarakhnoid pada computed tomography (CT)-scan (Ogunlaja, 2019).

14
Gambar 4. Mekanisme patofisiologi SAH menginduksi vasospasme.

2.6 Klasifikasi

Faktor risiko ruptur aneurisma dibagi menjadi dua, yaitu faktor yang dapat
dimodifikasi dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (Tabel 2 dna 3). Faktor
risiko yang dapat dimodifikasi antara lain: hipertensi, kebiasaan merokok, konsumsi
alkohol berlebih, diabetes mellitus berkaitan dengan SAH tipe perimesensefalik, dan
penggunaan obat simpatomimetik. Faktor risiko SAH yang tidak dapat dimodifikasi
antaralain: usia (terbanyak pada usia 40-60 tahun), jenis kelamin (wanita>pria), riwayat
aneurisma sebelumnya, riwayat keluarga pada kerabat tingkat pertama (meningkatkan
risiko 3-4 kali lipat), penyakit genetik (autosomal dominant polycystic kidney diasease,
type IV Ehlers-Danlos syndrome) (Wulandari et al., 2021).

Tabel 2. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi


• Hipertensi
• Merokok
• Penggunaan alkohol berat
• Obat-obatan simpatomimetik seperti kokain

15
Tabel 3. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi
• bertambahnya usia
• jenis kelamin wanita
• etnis Afrika-Amerika, Hispanik, Jepang, dan Finlandia
• riwayat atau riwayat keluarga perdarahan subarachnoid sebelumnya
• riwayat aneurisma pada dua atau lebih kerabat tingkat pertama
• penyakit ginjal polikistik autosomal
• sindrom Ehlers-Danlos tipe IV
• aneurisma serebral dengan diameter lebih dari 7 mm.

Terdapat beberapa skala yang dapat digunakan untuk mngukur tingkatan


keparahan pada pasien SAH, di antaranya adalah, Hunt and Hess Scale (Tabel. 4) serta
World Federation of Neurosurgeons Scale (Tabel. 5) merupakan skala yang
memungkinkan menilai tingkat keparahan keadaan klinis pasien. Skala Fischer yang
didasarkan pada kuantitas dan distribusi perdarahan digunakan untuk memprediksi risiko
terjadinya vasospasme (Tabel 6). Skala Fischer yang telah dimodifikasi dapat
memberikan nilai kualitatif adanya perdarahan intraventrikel bilateral, cisternal cloth
yang menunjukkan risiko vasospasme yang lebih tinggi (Marcolini et al., 2019).

Tabel 4. Hunt and Hess Scale (Vivancos, 2017)


Derajat Keteranga Survival
I Asimptomatik, nyeri kepala ringan, nuchal rigidity minimal 70%
II Nyeri kepala sedang-berat, nuchal rigidity, tidak ada defisit 60%
neurologis, kemungkinan defisit saraf kranial
III Drowsiness/confusion, defisit motorik ringan 50%
IV Stupor, hemiparesis sedang-berat, kekakuan deserebrasi 20%
awal atau gangguan neurovegetatif
V Koma, kekakuan deserebrasi 10%

Tabel 5. World Federation of Neurosurgeons Scale (Vivancos, 2017)


Derajat GCS Defisit Motorik
I 15 Tidak ada
II 13-14 Tidak ada
III 13-14 Iya

16
IV 7-12 Mungkin ada atau mungkin tidak
V 3-7 Mungkin ada atau mungkin tidak

17
Tabel 6. Fischer Scale (Vivancos, 2017)
I Tidak ada darah pada sisterna
II Diffuse depositionataulapisan vertikal darah tipis dengan ketebalan
<1 mm
III Clotsterlokalisasiatau lapisan vertikal setebal >1 mm
IV Perdarahan difus ± perdarahan intraventrikular atau perluasan
parenkim

2.7 Manifestasi Klinis

Gejala awal yang umum dan merupakan ciri khas gejala SAHaneurisma,yaitu
“sakit kepala terburuk dalam hidup saya”. kepala parah yang biasanya muncul sebelum
nyeri dan mencapai intensitas maksimum dalam hitungan detik atau (sakit kepala
bawah).5,78Sekitar 10-40% pasien, didahului oleh nyeri kepala 2-8 minggu perdarahan
subaraknoid yang nyata.7Perdarahan biasanya terjadi selama masa stres fisik atau
psikologis, namun lebih sering terjadi selama aktivitas sehari-hari (Lawton, 2017).
Gejala lain yang mungkin muncul, yaitu penurunan kesadaran, mual dan/atau
muntah, fotofobia, defisit neurologis fokal atau kejang, perdarahan
retina.5,78Pemeriksaan saraf fisik pada >50% kejadian SAH memberikan hasil yang
normal atau terdapat kekakuan leher. Tanda ini mungkin tidak ditemukan pada kondisi
awal, kasus ringan atau pasien dalam keadaan koma (Lawton, 2017).
Gejala klinis yang paling umum pada pasien SAH meliputi: (Arasalingam, 2019)
 Sakit kepala parah yang tiba-tiba (digambarkan sebagai sakit kepala terburuk
yang pernah dialami)
 Kehilangan kesadaran
 Mual
 Muntah
 Fotofobia
 Sakit leher
Beberapa pasien mungkin mengalami sakit kepala tanpa gejala terkait lainnya dan
dikenal sebagai sakit kepala sentinel. Jika diagnosis tidak mengarah kepada SAH, ada
risiko tinggi terjadinya perdarahan ulang yang kemungkinan dapat mengancam jiwa
dalam beberapa jam hingga hari tanpa penanganan. Gejala lainnya yang harus dicurigai

18
mengarah kepada SAH, ialah kasus ensefalopati akut dan hematoma subdural yang
terjadi bersamaan.
Pemeriksaan fisik harus mencakup beberapa pemeriksaan di antaranya: (Arasalingam,
2019)
 Tingkat kesadaran (skala koma Glasgow)
 Evaluasi untuk meningisme
 Adanya defisit neurologis fokal
 Pemeriksaan fundus dapat mengungkapkan perdarahan intraocular sindrom
terson, perdarahan intraokular terkait dengan SAH dikaitkan dengan
peningkatan mortalitas dan dapat terjadi kepada 40% pasien dengan SAH.

2.8 Diagnosis

Menurut Marcolini et al., (2019), menyatkan bahwa, diagnosis SAH harus


dipertimbangkan pada setiap pasien dengan kondisi yang parah dan kasus yang tiba-tiba
atau sakit kepala yang meningkat dengan cepat. Memutuskan pasien mana yang
memerlukan pemeriksaan SAH seringkali merupakan bagian yang paling menantang dari
hampir semua dokter UGD, sebagian karena frekuensi rendah dan ketajaman penyakit
yang tinggi. Beberapa teori klasik mendefinisikan sakit kepala akibat SAH sebagai "sakit
kepala petir," yang didefinisikan sebagai sakit kepala parah dengan kejadian yang tiba-
tiba sehingga digambarkan sebagai kondisi terburuk dalam hidup pasien. Sakit kepala
biasanya terjadi secara tiba-tiba, yang umumnya ditandai sebagai kondisi sakit dalam
waktu yang lama, atau dalam beberapa menit, meskipun parameter penelitian lain ada
yang melaporkan ada yang mencapai intensitas maksimum dalam satu jam.
Gejala yang meningkatkan dapat diarahkan pada diagnosa perdarahan
subarachnoid dengan onset aktivitas berupa, sinkop, muntah, nyeri leher, dan kejang.
Defisit neurologis fokal misalnya, meningismus, dan/atau perdarahan retina kadang
didapatkan, tetapi hingga 50% dari Pasien SAH memiliki pemeriksaan neurologis yang
normal. Penelitian terbaru telah mencoba untuk menjelaskan elemen mana dari riwayat
dan pemeriksaan fisik yang berkorelasi dengan dan membedakan diagnosis pada kasus
SAH (Marcolini et al., 2019).

19
Penegakan diagnosis pada kasus perdarahan subaraknoid dapat dilakukan dengan
anamnesis, pemeriksaan fisik, neurologis dan penunjang. Ottawa subarachnoid
hemorrhage decision rule dapat membantu mendiagnosis SAH (sensitivitas 100%),
namun masih dalam perdebatan karena memiliki spesifisitas rendah (15%) (Marcolini et
al., 2019). Ottawa subarachnoid hemorrhage decision rule meliputi: kriteria inklusi dan
eksklusi, usia ≥ 40 tahun, nyeri atau kaku leher (neck stiffness), penurunan kesadaran,
onset dengan aktivitas, nyeri kepala yang memuncak secara tiba-tiba (thunderclap
headache) serta fleksi leher terbatas. Kriteri inklusi mencakup alert, usia >15 tahun
dengan keluhan baru, berat, nyeri kepala nontrauma yang mencapai intensitas maksimal
dalam 1 jam. Kriteria eksklusi mencakup: defisit neurologis baru, riwayat aneurisma
sebelumnya, hematoma subaraknoid atau tumor otak atau riwayat nyeri kepala berulang
(≥3 episode dalam ≥6 bulan) (Marcolini et al., 2019).
Pemeriksaan CT-scan tanpa kontras merupakan tahap diagnosis pertama SAH
(Lawton, 2017). Sensitivitas CT-scan hampir mendekati 100% pada 3 hari pertama
setelah onset gejala, namun menurun hingga 50% pada hari ke-5 hingga ke-7 setelah
onset gejala (Gambar 4). Apabila CT-scan menunjukkan hasil negative namun
kecurigaan klinis SAH tinggi, maka dapat dilakukan pemeriksaan pungsi lumbal.
Pemeriksaan pungsi lumbal dianjurkan antara 6-12 jam setelah onset gejala (sensitivitas
mendekati 99%) karena cairan serebrospinal (CSF) kembali normal setelah 3 minggu.
Penemuan sel darah merah (2,000x106 pada tabung CSF terakhir) dan/atau
xanthochromia pada CSF akan menegakkan diagnosis SAH. Magnetic Resonance
Imaging (MRI) merupakan studi pilihan untuk mengidentifikasi sumber perdarahan
sedangkan angiografi digunakan pada kecurigaan aneurisma. MRI dan CT-Angiography
(CTA) sangat sensitif untuk mendeteksi anuerisma pada circle of willisyang berdiameter
>5 mm. CTA pada saat ini dapat digunakan untuk mendeteksi aneurisma berukuran 2
mm. Pemeriksaan ulang dalam 2 minggu direkomendasikan apabila hasil angiografi
pertama negatif. Doppler ultrasonography berperan untuk diagnosis dan monitor
vasospasme sekunder. Transcranial Doppler ultrasound (TCD) merupakan metode non-
invasif yang cukup baik untuk mendiagnosis, follow-upvasospasme dan mendeteksi
vasospasme pada arteri besar Circle of Willis terutama arteri serebral tengah (Lawton,
2017).

20
Gambar 5. Gambaran CT-scan Kepala Menunjukkan Perdarahan Subarachnoid (De
Oliveira, 2016).

2.8.1 Anamnesis

Dari data yang dilaporkan oleh, Syuichi (2016), menunjukkan bahwa


menggambarkan pasien dengan tanda-tanda klinis dan CT yang tidak kentara
untuk diagnosa SAH. Kondisi ini dilaporkan dengan adanya seorang pria Jepang
berusia 39 tahun mengunjungi rumah sakit, dengan riwayat sakit kepala ringan
selama 3 hari, bahu kaku, dan perasaan pusing. Pemeriksaan fisiknya normal
selain kekakuan ringan pada area. Meskipun CT tidak mengungkapkan kelainan
yang jelas, penulis yang melaporkan hal ini, melihat tanda-tanda halus SAH pada
gambar CT, yang telah diamati pada pasien SAH dengan gejala ringan.

2.8.2 Pemeriksaan Fisik

Beberapa studi diagnostik berbeda dalam penilaian riwayat dan temuan


pemeriksaan fisik. Teknik analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi
xanthochromia, dan standar kriteria untuk SAH. Riwayat nyeri leher dan leher
kaku atau terdapat kaku kuduk pada pemeriksaan fisik adalah temuan dari
pemeriksaan yang paling kuat dan terkait dengan SAH (Syuichi, 2016).

2.8.3 Pemeriksaan Penunjang

21
Computed tomography CT serebral adalah metode standar yang cepat dan paling
sensitif untuk mendeteksi pendarahan subarachnoid (Gambar 7). Sensitivitas CT
untuk SAH berkisar antara 90 sampai 95%, hal ini menunjukkan bahwa walaupun
CT memiliki sensitivitas tinggi, tetapi tidak boleh diterapkan sebagai modalitas
diagnostik tunggal untuk diagnosis SAH. Pendekatan diagnosa lain yang dapat
dilakukan adalah penggunaan CT diikuti oleh CT angiography (CTA) (Gambar
6). Sensitivitas dan spesifisitas pendekatan CTA untuk mendeteksi aneurisma > 3
mm, dilaporkan untuk saat ini mendekati 100% dan dilakukan pemeriksaan pungsi
lumbal untuk menyingkirkan diagnosis pada klinis SAH tetapi tidak ditemukan
perdarahan pada CT-scan kepala. Akan tetapi Gold standar pada SAH yaitu
Digital Subtraction Angiography (DSA) memiliki risiko terjadinya ruptur
aneurisma selama prosedur dan pascaprosedur (Syuichi, 2016).

Gambar 6. CT angiografi (CTA) menunjukkan aneurisma yang ukurannya sekitar 3,0 mm


antara A1 dan A2 dari arteri serebral anterior kiri. Aneurisma ditunjukkan oleh panah.

22
Gambar 7. Gambara CT pada pasien SAH. Terlihat SAH isoatenuasi di fisura Sylvian
(sedikit hyperattenuating di sebelah kiri) dan hidrosefalus ringan - terlihat sebagai
pembesaran ventrikel ketiga (a) dibandingkan dengan CT sebelumnya (b). Panah
menunjukkan fisura Sylvian, dan panah menunjukkan ventrikel ketiga yang melebar.

2.9 Algoritma Diagnosa Perdarahan Subaraknoid ( Susanne, 2018)

23
2.10 Tatalaksana

Tatalaksana pada kasus SAH dikelompokkan menjadi tatalaksana umum dan


tatalaksana terkait komplikasi. Tatalaksana umum pada SAH meliputi stabilisasi jalan
napas (intubasi endotrakeal untuk mencegah aspirasi) dan pernapasan (O2 2-3 L/menit),
stabilisasi hemodinamik (infus kristaloid), pengendalian tekanan intrakranial (head up
30°, manitol, furosemidejika diperlukan), mengatasi keluhan nyeri, gastroprotektor jika
diperlukan, manajemen nutrisi serta istirahat total. Tatalaksana khusus SAH dikaitkan
dengan komplikasi yang timbul, seperti pencegahan rebleeding, vasospasme, dan kejang
serta tatalaksana tambahan lainnya (Tabel 5) (Wulandari et al., 2021).
Kontrol dan monitor tekanan darah merupakan salah satu tatalaksana dalam
mencegah risiko perdarahan ulang. Tekanan darah sistolik dipertahankan sekitar 140-160
mmHg. Anti-hipertensi yang dapat digunakan: nicardipine (5 mg/jam IV maksimal 15
mg/jam), labe talol (40-80 mg IV setiap 10 menit mulai 20 mg IV, maksimal 300 mg/dosis
total, alt 2 mg/menit IV), dan clevidipine (4-6 mg/jam IV, mulai 1-2 mg/jam IV, maksimal
32 mg/jam). Terapi antifibrinolitik (epsilon-aminocaproic acid: dosis inisial 1 gr IV
kemudian dilanjutkan 1 gr setiap 6 jam hingga anuerisma tertutup atau disarankan 72
jam) dianjurkan pada pasien risiko rendah vasospasme dan dikontraindikasikan pada
pasien dengan koagulopati, stroke iskemik, emboli paru, atau trombosis vena dalam
karena dikaitkan dengan peningkatan angka kejadian iskemik serebral (Lawton, 2017).
Operasi clipping atau endovascular coiling sangat direkomendasikan untuk
mengurangi perdarahan ulang setelah rupture aneurisma (Gambar 8). American Stroke
Associationserta European Stroke Organization Guidelines for the Management of
Intracranial Aneuriysms and Subarachnoid Haemorrhage merekomendasikan agar
dilakukan sedini mungkin, yaitu dalam 72 jam setelah timbulnya gejala pertama untuk
mencegah terjadinya rebleeding. Operasi clipping dilakukan dengan craniotomy
sedangkan tatalaksana endovaskular menggunakan kateter dengan panduan fluoroskopi
(De Oliveira, 2016).
Pencegahan vasospasme dilakukan dengan pemberian nimodipine dimulai dengan
dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam setiap 21 hari.
Nimodipine merupakan golongan calcium channel blocker yang berperan dalam
mengurangi risiko DCI dan memperbaiki keadaan neurologis. Tatalaksana pada delayed

24
vasospasm meliputi: 1) Penghentian nimodipine, anti-hipertensi, dan diuretika, 2)
Pemberian 5% albumin 250 ml IV; 3) Pemasangan swangans bila memungkinkan dan
usahakan wedge pressure 12-14 mmHg; 4) Menjaga cardiac indexsekitar
4L/min/sg.meter; 5) Pemberian dobutamine 2-15 ug/kg/min. Pengobatan pada
vasospasme serebral dimulai dengan mempertahankan volume darah sirkulasi yang
normal dan menghindari hipovolemia.Pasien SAH dengan tanda-tanda vasospasme perlu
dipertimbangkan terapi hiperdinamik triple H (Hypervolemic-Hypertensive-
Hemodilution) dengan tujuan mempertahankan tekanan perfusi serebral (Tabel 8).
Tatalaksana kejang pada SAH direkomendasikan apabila hasil pemeriksaan neurologis
buruk atau jumlah perdarahan signifikan yang menunjukkan risiko kejang
klinis/subklinis. Belum terdapat studi yang merekomendasikan agen antiepilepsi tertentu
dalam penanganan kejang pada SAH. Agen yang paling umum digunakan yaitu
phenytoin (10-20 mg/kg IV maksimal 50 mg/menit), fosphenytoin (10-20 phenytoin
sodium equivalent(PE)/kg IV, infus perlahan selama 30 menit maksimal 150 mg
PE/menit) dan levetiracetam (15-20 mg/kg selama 30 menit). Tatalaksana tambahan yang
dapat diberikan pada kasus SAH, yaitu laksansia (pencahar untuk melunakan feses
secara regular), analgetik, dan pada kondisi psikiatri sepertirasa gelisah dengan
pemberian haloperidolatau midazolam (Marcolini et al., 2019).

25
Gambar 8. Perbaikan Aneurisma Yang Menyebabkan Perdarahan Subarachnoid
(Michael, et al., 2017)

Anatomi ruang subarachnoid dan lingkaran Willis ditunjukkan pada Panel A.


Tekanan pulsatil yang tinggi pada titik percabangan arteri proksimal (panah, Panel B).
Perbaikan bedah terbuka dari aneurisma semacam itu (Panel C) melibatkan pemaparan
aneurisma dan arteri normal yang berdekatan sehingga ahli bedah dapat memasang klip
titanium pada leher aneurisma, yang secara efektif mengeluarkannya dari sirkulasi arteri.
Perbaikan endovaskular dari aneurisma semacam itu (Panel D) melibatkan navigasi
kateter intraarterial melalui sirkulasi di bawah bimbingan fluoroskopi sampai ujung
kateter berada di lumen aneurisma.

Tabel 7. Rekomendasi tatalaksana aneurisma subarachnoid haemorrhage (Vivancos,


2017)
Rebleeding
 Menghilangkan aneurisma dari sirkulasi direkomendasikan pada fase awal setelah
pecahnya anuerisma. Menghilangkan aneurisma dapat dilakukan dengan teknik
endovaskular atau clipping.
 Bed rest, analgetik, dan agen antihipertensi berguna sebagai koadjuvan perawatan.
Posisi kepala ditinggikan 30° untuk memfasilitasi drainase vena.
 Agen antifibrinolitik, bila digunakan pada tahap awal untuk waktu singkat, mungkin
dapat dipertimbangkan sebagai cara untuk mencegah perdarahan ulang pada pasien
dengan untreatedanuerisma untuk beberapa waktu dan tidak berisiko tinggi
vasospasme.
Mencegah Vasospasme
 Pemberian nimodipine dini secara oral atau intravena untuk meningkatkan
gambaran klinis dan prognosis. Nimodipinememiliki efek melindungi
neurovaskular. Dosis perfusi intravena 0,2 mg/mL pada 10 mL/jam atau terapi oral
dengan 2 tablet dari 30 mg/4 jam
Tatalaksana Vasospasme
 Rekomendasi: tatalaksana awal anurisma dan mempertahankan normovolemia

26
dengan pemberian kristaloid.
 Tatalaksana hipertensi dengan atau tanpa hipervolemia dapat dipertimbangkan
sebagai tatalaksana alternatif untuk vasospasme.
 Intervensi neurovaskular dapatdilakukan pada vasospasme resisten atau pasien yang
mengalami efek samping sistemik karena peningkatan volemia dan tekanan darah.
Hidrocephalus
 Drainase ventrikel dengan ventriculostomybermanfaat pada pasien dengan gejala
akut hidrosefalus.
 Pemasangan External Ventricular Drainase (EVD).
 Pemberian profilaksis agen antiepilepsi tidak diindikasikan secara umum pada
semua pasien SAH.

Menurut Burzyńska (2020), pengobatan SAH distandarisasi dan termasuk


euvolemia, analgesia, sedasi dan dukungan katekolamin bila diindikasikan. Pasien diberi
ventilasi mekanis (pernapasan tekanan jalan napas positif bilevel dengan mode
pernapasan terkontrol, BiPAP) atau menerima terapi oksigen pasif. Selama tindak lanjut
di ICU, normovolemia dan mean arterial pressure (MAP) dipertahankan di atas 80 mm
Hg dan tekanan sistolik 160 hingga 180 mm Hg. Nilai central venous pressure (CVP)
dipertahankan antara 5 dan 8 mm Hg. Status volume pasien ditentukan berdasarkan nilai
CVP, denyut jantung/heart rate (HR), tekanan darah arteri/arterial blood pressure
(ABP), keseimbangan cairan, dan haluaran urin. Pada kelompok pasien dengan
vasospasme serebral/cerebral vasospasm (CV) dan mereka dengan iskemia serebral
tertunda (DCI), hipertensi yang diinduksi digunakan untuk meningkatkan sirkulasi
serebral. Pada kelompok pasien ini, norepinefrin digunakan sebagai pengobatan pilihan
pertama karena kombinasi stimulasi reseptor adrenergik, dan menghasilkan respon
hemodinamik yang dapat diandalkan (Burzyńska, 2020).

27
2.10 Komplikasi

Komplikasi SAH dibagi menjadi tiga, yaitu fase akut, fase sub-akut, dan fase
lanjut. Komplikasi fase akut SAH yang paling serius adalah perdarahan yang umumnya
terjadi pada 3 hari pertama setelah perdarahan awal (perkiraan risiko 9-17% pada jam-
jam awal) yang buruk dengan prognosis buruk dan skala Fisher yang lebih tinggi.
Hidrosefalus merupakan komplikasi awal yang muncul beberapa jam setelah kejadian.
Hidrosefalus akut (tipe noncommunicating/obstruksi) yang berkontribusi terhadap EBI
disebabkan oleh efek massa atau bekuan darah di ventrikel dan aqueduct menghalangi
aliran CSF normal. Inflamasi juga diyakini sebagai mekanisme biomolekular penting
yang menginduksi hidrosefalus akut melalui gangguan BBB (Wulandari et al., 2021).
Vasospasme merupakan komplikasi paling umum pada perdarahan subaraknoid
fase sub-akut. Risiko vasospasme terjadi lebih lambat daripada perdarahan ulang dan
luasnya perdarahan awal. Oksihemoglobin (hasil proses lisis bekuan di ruang
subaraknoid) darah merupakan kontribusi terhadap terjadinya vasospasme. Namun
mekanisme vasospasmenya belum diketahui secara pasti, tetapi diduga melalui
kemampuannya untuk menekan aktivitas kanal K+, meningkatkan masuknya Ca2+,
meningkatkan aktivitas protein kinase C, dan juga Rho kinase (Lawton, 2017).
Hidrosefalus kronik merupakan komplikasi lanjut pada perdarahan subaraknoid
yang disebabkan oleh partisi dalam ruang araknoid mencegah reabsorpsi CSF yang
normal dan menyebabkan dilatasi sistem ventrikel. Komplikasi lain yang dapat terjadi
pada SAH, yaitu hiponatremia (Na<135 mEq/dl) yang diakibatkan oleh mekanisme
garam otak wasting (CSW) dan sindrom sekresi hormon antideuretik (SIADH) yang
tidak sesuai. Komplikasi demam pada SAH biasanya merupakan demam noninfeksius
terutama karena adanya perdarahan intraventrikular (Wulandari et al., 2021).

28
Gambar 9. Patofisilogi Delayed neurologic complications.

2.11 Prognosis

World Federation of Neurological Surgeons Scale dan Hess and Hunt Scale
membantu membedakan risiko tinggi dari pasien berisiko rendah pada suatu populasi,
tetapi tidak dapat diterapkan untuk pasien individu. Faktor-faktor seperti nilai dan
preferensi pasien, komorbiditas, jaringan sosial dan ketahanan yang mempengaruhi hasil.
Semua upaya harus dilakukan untuk menyelamatkan pasien bahkan dengan SAH derajat
tinggi, kecuali mereka datang dengan pupil yang melebar secara bilateral dan CT atau
DSA kepala tidak konsisten lagi, dengan perfusi otak dan kondisi pasien yang lebih para.
Perawatan neurokritis protokol yang memadai harus diberikan selama 2 minggu pertama
sebelum arahan lanjutan dan keinginan kerabat dipertimbangkan (Arasalingam, 2019).
Sedangkan menurut Wulandari et al., (2021), prognosis SAH sangat bervariasi
secara signifikan, dari sembuh sempurna hingga kecacatan berat atau kematian yang
tergantung pada tingkat keparahan perdarahan awal dan potensi komplikasi yang terjadi
dalam 2 minggu pertama setelah perdarahan. Pasien dengan tingkat kesadaran normal
memiliki risiko kematian yang rendah sedangkan penurunan tingkat kesadaran memiliki
risiko kematian dan kecacatan yang lebih tinggi. Angka kematian SAH yang tidak

29
ditatalaksana mencapai 65% sedangkan berkurang hingga 18% pada SAH yang
didiagnosis dan ditatalaksana dengan tepat.

30
BAB III
KESIMPULAN

Meskipun kemajuan dalam diagnosis dan pengobatan perdarahan subarachnoid, angka


kematian tetap tinggi. SAH merupakan stroke hemoragik yang disebabkan oleh perdarahan pada
ruang subaraknoid yang paling sering disebabkan oleh ruptur aneurisma. Prevalensi kejadian
stroke tipe ini sangat jarang namun memiliki morbiditas dan mortilitas yang sangat tinggi. Oleh
karena itu, diagnosis awal yang segera dan tatalaksana yang tepat berperan dalam menentukan
prognosis jenis stroke ini.

31
DAFTAR PUSTAKA

Arasalingam A., Suganthan N. 2019. Non-Traumatic Subarachnoid Haemorrhage. Batticaloa


Medical Association Vol.10 (1)
https://www.researchgate.net/publication/334823668_Non-
Traumatic_Subarachnoid_Hemorrhage_Clinical_Update_Batticoloa_Medical_Journal_
Vol_101_2019 (diakses pada 25/9/2021)

Baehr,M & Frotscher,M., Duus’s Topical Diagnosis in Neurology. 5th edition. 2012.

Burzyńska M., Agnieszka U., Magdalena K., Marek C., Barbara D., Andrzej K. 2020. The
relationship between the time of cerebral desaturation episodes and outcome in
aneurysmal subarachnoid haemorrhage: a preliminary study. J Clin Monit Comput.
2020; 34(4): 705–714.

De Oliveira Manoel, A. L., Goffi, A., Marotta, T. R., Schweizer, T. A., Abrahamson, S.,
Macdonald, R. L. The critical care management of poor-grade subarachnoid
haemorrhage. CritCare. 2016;20 (21):1-14

Gabryel C. N., Sophia K. T., Nathan R. S., Gordon K. M., Alkiviadis T., Bertrand T., Gabriel P.,
Martin M., David A. V., and Bryn A. M., Ex-vivo quantification of ovine pia arachnoid
complex biomechanical properties under uniaxial tension. Fluids Barriers CNS. 2020;
17: 68.

Kementerian Kesehatan RI. 2019. Hasil Utama Riskesdas 2018. [Cited 16 Oktober 2020],
Available from:
https://kesmas.kemkes.go.id/assets/upload/dir_519d41d8cd98f00/files/Hasil-riskesdas-
2018_1274.pdf (diakses pada 24/9/2021)

Lawton, M. T., & Vates, G. E. Subarachnoid Hemorrhage. N ENGLJ MED 2017;377(3):257–


266.

Marcolini E., MDcorresponding and Jason Hine, MD. 2019. Approach to the Diagnosis and
Management of Subarachnoid Hemorrhage. West J Emerg Med. 2019 Mar; 20(2): 203–

32
211. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6404699/ (diakses pada
24/9/2021)

Michael T. Lawton, M.D., G. Edward Vates, M.D., 2017. Subarachnoid Hemorrhage. The new
england journal of medicine. 377: 3

Ogunlaja OI, Cowan R. Subarachnoid hemorrhage and headache. Curr Pain Headache Rep.
2019;23(6):44.

Reis, C., Ho, W. M., Akyol, O., Chen, S., Applegate, R., Zhang, J.Pathophysiology of
Subarachnoid Hemorrhage, Early Brain Injury, and Delayed Cerebral Ischemia. Primer
on Cerebrovascular Diseases2ndedition: Elsevier. 2017; 125–130.
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780128030585000254?via
%3Dihub (diakses pada 25/9/2021)

Sima P., Amay P,. Okorie N. O., 2021. Subarachnoid hemorrhage in the emergency department.
Int J Emerg Med 14, 31 (2021)
https://intjem.biomedcentral.com/articles/10.1186/s12245-021-00353-w (diakses pada
25/9/2021)

Susanne Muehlschlegel, MD, MPH,FNCS,FCCM. Subarachnoid Hemorrahage. 2018: 24 (6


NEUROCRITICAL CARE) : 1623-1657.

Syuichi T. and Eiji Matsumoto. Diagnosis of a subarachnoid hemorrhage with only mild
symptoms using computed tomography in Japan. BMC Neurol. 2016; 16: 196.

Taufique Z, May T, Meyers E, et al. Predictors of poor quality of life 1 year after subarachnoid
hemorrhage. Neurosurgery 2016;78:256-264

Vivancos, J.,Gilo F., Frutos R., Maestre J., Pastor G A., Quintana F.Clinical Management
Guidelines for Subarachnoid Hemorrhage, Diagnosis and Treatment.
Neuroglia2017;29(6):353-370

Wulandari D. A., Ester S, Ilsa H. 2021. Perdarahan Subarakhnoid (PSA). Jurnal Kedokteran
2021,10(1):338-346

33
34

Anda mungkin juga menyukai