Anda di halaman 1dari 26

Tugas Keperawatan Bencana

“Manajemen Pengelolaan Infeksi Saat bencana ”

Kolera

Dosen Pengampu :

Dr.Ns.Meri Neherta,M.Biomed

Disusun Oleh:

Syafrida Wulandari (1711312007) Vinny Darma Fajri (1711312019)

Sri Dinda Andrifa (1711312009) Ulfha Putri Rahmi (1711312021)

Ilda Yunanda (1711312011) Siti Rahma (1711312023)

Adzkia Pinta Dano (1711312013) Shintya (1711312025)

Makhda Nurfatmala L (1711312017) Nia Sandra(1711312027)

PROGRAMSTUDI S1 ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2020
KATA PENGANTAR

Assalamu ‘alaikum Wr. Wb

Puji dan syukur kami kirimkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas
rahmat dan karunia-Nya kami dapat membuat dan menyelesaikan makalah kami yang
berjudul “Manajemen Pengelolaan Infeksi Saat bencana ”

Pada makalah ini kami tampilkan hasil diskusi kelompok kami, kami juga
mengambil beberapa kesimpulan dari hasil diskusi yang kami lakukan. Kami juga
mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu kami dalam
menyelesaikan makalah ini.

Dan juga kepada Dr.Ns.Meri Neherta,M.Biomed selaku Dosen mata kuliah


Keperawatan bencana, Fakultas Keperawatan Universitas Andalas yang telah memberikan
tugas mengenai “Manajemen Pengelolaan Infeksi Saat Bencana” Ini sehingga
pengetahuan Tim Penulis dalam penulisan makalah ini makin bertambah dan hal itu sangat
bermanfaat.

Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan bagi para
pembaca dan dapat digunakan sebagai salah satu pedoman dalam proses pembelajaran.
Namun, kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan maupun
pembahasan dalam makalah ini, sehingga belum begitu sempurna.

Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar
kami dapat memperbaiki kekurangan-kekurangan tersebut sehingga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua.

Padang, 3 Oktober 2020

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

BAB I :Pendahuluan

1.1 LatarBelakang...............................................................................................
1.2 RumusanMasalah..........................................................................................
1.3 TujuanPenulisan............................................................................................
BAB II :Pembahasan

2.1 Pengertian .....................................................................................................


2.2Manifestasi klinis...........................................................................................
2.3 Patofisiologi..................................................................................................
2.4 Pencegahan ...................................................................................................
2.5PemeriksaanLaboratorium
dandiagnostik .............................................................................
2.6 Penatalaksanaan medis dan keperawatan.....................................................
2.7 Pengkajian....................................................................................................
2.8 Pemeriksaan fisik Diagnosa NOC NIC........................................................
BAB III :Penutup

3.1 Kesimpulan..............................................................................................
3.2 Saran.........................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................
BAB 1

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Cholera adalah penyakit infeksi saluran usus yang bersifat akut dan disebabkan
oleh bakteri Vibrio cholerae. Bakteri ini masuk kedalam tubuh host secara per oral
umumnya melalui makanan atau minuman yang tercemar. Cholera dapat menular sebagai
penyakit yang bersifat epidemik. Meskipun sudah banyak penelitian berskala besar
dilakukan, namun penyakit ini tetap menjadi suatu tantangan bagi dunia kesehatan. Dalam
situasi adanya wabah / epidemi, feces penderita merupakan sumber infeksi.
Cholera dapat menyebar dengan cepat di tempat - tempat yang tidak mempunyai
penanganan pembuangan kotoran/sewage dan sumber air yang tidak memadai. Pada kasus
berat yang tidak diobati (kolera gravis), kematian bisa terjadi dalam beberapa jam, dan
CFR-nya bisa mencapai 50%. Dengan pengobatan tepat, angka ini kurang dari 1%.
Diagnosa ditegakkan dengan mengisolasi vibrio cholera dari serogrup O1 atau O139 dari
tinja. Jika fasilitas laboratorium tidak tersedia, Cary Blair media transport dapat digunakan
untuk membawa atau menyimpan spesimen apus dubur (Rectal Swab).
Untuk diagnosa klinis presumtif cepat dapat dilakukan dengan mikroskop medan
gelap atau dengan visualisasi mikroskopik dari gerakan vibrio yang tampak seperti
shooting stars atau bintang jatuh, dihambat dengan antisera serotipe spesifik yang bebas
bahan pengawet. Untuk tujuan epidemiologis, diagnosa presumtif dibuat berdasarkan
adanya kenaikan titer antitoksin dan antibodi spesifik yang bermakna.
Di daerah non-endemis, organisme yang di isolasi dari kasus indeks yang dicurigai
sebaiknya dikonfirmasikan dengan pemeriksaan biokimiawi dan pemeriksaan serologis
yang tepat serta dilakukan uji kemampuan organisme untuk memproduksi toksin kolera
atau untuk mengetahui adanya gen toksin. Pada saat terjadi wabah, sekali telah dilakukan
konfirmasi laboratorium dan uji sensitivitas antibiotik, maka terhadap semua kasus yang
lain tidak perlu lagi dilakukan uji laboratorium.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil suatu rumusan masalah, yaitu “
Bagaimana Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Kolera ? ’’

C.    Tujuan
1.    Tujuan Umum
Diharapkan mampu melakukan asuhan keperawatan pada Pasien dengan Kolera.

2.    Tujuan Khusus

Diharapkan mampu :

a.    Melakukan pengumpulan data melalui pengkajian secara menyeluruh terhadap pasien


dengan kolera.
b.    Menentukan diagnosa keperawatan pada pasien dengan kolera.

c.    Menyusun rencana tindakan keperawatan pada pasien dengan kolera.

d.   Menerapkan tindakan asuhan keperawatan pada pasien dengan kolera.

e.    Melakukan evaluasi tindakan asuhan keperawatan pasien dengan kolera.

f.     Mendokumentasikan asuhan keperawatan pasien dengan kolera.


BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian

Kolera adalah suatu infeksi usus kecil karena bakteri Vibrio cholerae. Bakteri
kolera menghasilkan racun yang menyebabkan usus halus melepaskan sejumlah besar
cairan yang banyak mengandung garam dan mineral. Karena bakteri sensitif terhadap
asam lambung, maka penderita kekurangan asam lambung cenderung menderita
penyakit ini. Kolera menyebar melalui air yang diminum, makanan laut atau makanan
lainnya yang tercemar oleh kotoran orang yang terinfeksi. Kolera ditemukan di Asia,
Timur Tengah, Afrika dan Amerika Latin. Di daerah-daerah tersebut, wabah biasanya
terjadi selama musim panas dan banyak menyerang anak-anak. di daerah lain, wabah
terjadi pada musim apapun dan semua usia bisa terkena (Irianto, 2013).

Kolera adalah salah satu penyakit infeksi akut yang menyerang usus halus. Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Vibrio cholera, yang ditandai dengan berak- berak dan muntah.
Tanpa penanganan yang cepat dan tepat, orang yang terserang kolera dalam waktu 24
jam akan sangat banyak kehilangan cairan, dehidrasi, yang dapat beresiko fatal. Namun,
dengan penanganan yang segera pasien dapat diselamatkan (Cahyono, 2009).

Kolera merupakan suatu sindrom epidemiologik klinis yang disebabkan oleh Vibrio
cholerae. Dalam bentuknya yang berat, penyakit ini ditandai oleh diare yang hebat
dengan tinja menyerupai air cucian beras (rice water), yang dengan cepat dapat
menimbulkan dehidrasi. Kolera tetap merupakan masalah utama kesehatan masyarakat
terutama di negara berkembang seperti Afrika, Asia dan Amerika Selatan, walaupun
secara epidemiologi dan bakteriologi penyakit kolera sudah diketahui sejak abad
yang lalu (Lesmana, 2004; Ryan and Ray,2004).

2.2 Manifestasi

Penyakit kolera atau disebut juga Asiatic cholerae adalah penyakit menular di
saluran pencernaan yang disebabkan olek Vibrio cholerae dengan manifestasi klinik
berupa diare (King et al., 2008). Kolera dapat menular sebagai penyakit yang bersifat
endemic. Penyakit Kolera telah menyebar dan menjadi pandemik diseluruh dunia
selama dua abad terakhir. Telah terjadi tujuh kali pandemik kolera sejak tahun 1817
terakhir tahun 1992. Pada mulanya penyakit ini merupakan penyakit endemik dari
Indian Subcontinent dan Afrika kemudian menyebar ke Eropa, Asia dan sampai ke
Indonesia (Matson et al., 2007; Todar, 2012).

Pandemi penyakit kolera pertama kali terjadi pada 1817. Kasus awal kolera
dilaporkan dari Purneah (sekarang Purnia) di Bihar (negara bagian di India timur),
pandemi ini diyakini berasal dari kota Jessore (dekat Kalkuta). Seorang ahli bedah
melaporkan tingginya insiden penyakit gastrointestinal yang parah diantara pasien-
pasiennya yang mana sumber penularannya dari beras, dengan gejala muntah dan diare
yang menyebabkan ribuan orang pingsan dan meninggal, termasuk tentara Inggris
yang transit di Bengal. Kolera kemudian menyebar dengan cepat diseluruh negeri
dan pada bulan Desember 1818 menyebar di Sri Lanka (Ceylon). Sementara itu infeksi
ditransmisikan ke tentara Afghanistan dan nepal yang berperang melawan tentara
inggris disepanjang perbatasan india utara. Selanjutnya penyakit ini menyebar ke
Burma (Myanmar), Thailand, Asia tenggara, cina, jepang, timur tengah dan rusia
selatan (Frerichs, 2010).

Gambar Penyebaran Pandemi Kolera 1817 (Sumber: Cox, 1996).

Pandemi kedua berlangsung dari tahun 1826-1835 dengan wabah di delta Sungai Gangga
dari Bengal kemudian tersebar di wilayah Amerika Serikat dan Eropa, yang dilanjutkan
dengan pandemik ketiga pada tahun 1839-1856, dimana wabah kolera meluas sampai
Afrika Utara dan mencapai Amerika Selatan, dengan Negara yang paling parah terkena
dampak wabah kolera di wilayah Amerika Selatan pada saat itu adalah Brazil. Pada
tahun 1863-1875 terjadi pandemik keempat, yang bermula dari wilayah Bengal
kemudian terbawa perjalanan haji ke Mekkah oleh India muslim dan menyebar
keseluruh Timur Tengah. Pandemi kelima dan keenam berlangsung pada tahun 1881-
1896 dan 1899-1923. Mesir, Jazirah Arab, Persia, India dan Filipina merupakan Negara
yang terkena dampak paling parah epidemic. Sementara daerah lain yang terkena wabah
kolera, adalah

Jerman pada tahun 1892 dan Naples 1910-1911. Pandemi keenam membunuh

800.000 jiwa di India. Pandemi ke tujuh terjadi pada tahun 1961 di Sulawesi Indonesia
meluas ke India, Rusia dan Afrika Utara yang ditandai oleh munculnya strain baru, yang
dijuluki El Tor (Barua, 1972; Dziejman et al., 2002).

Transmisi dan sumber infeksi kolera berasal dari makanan atau kontak langsung dengan
penjamah makanan, air yang terkontaminasi maupun ikan atau produk perikanan yang
pernah kontak dengan air yang terkontaminasi tersebut (lingkungan aquatik). Di
Amerika Serikat transmisi utama Vibrio melalui konsumsi produk laut yang mentah
atau setengah matang (Novotny et al., 2004; Food and Government 2005; Infectious
disease epidemiology section, 2006; suzita et al., 2009).

Di Indonesia telah tercatat angka kejadian luar biasa kolera tahun 1993-

1998 dan sebanyak 9% disebabkan oleh Vibrio cholerae O1. Dari 7 provinsi angka
kejadian kolera yang tertinggi adalah daerah Bandung, Garut dan Timika. Pusat
Komunikasi Publik Departemen Kesehatan RI melalui Direktorat Jenderal Pengendalian
dan Penyehatan Lingkungan (PP&PL) menginformasikan telah terjadi KLB kolera sejak
awal April hingga awal Agustus 2008 di Kabupaten Paniai dan Kabupaten Nabire
Provinsi Papua dan telah menelan korban 105 penderita meninggal. Direktur Jenderal
Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan RI
melaporkan kondisi masyarakat daerah pedalaman Papua yang masih jauh dari hidup
sehat serta kebiasaan berperilaku tidak sehat seperti minum air mentah, tidak
mencuci tangan sebelum makan, jarang mandi dan berganti pakaian, biasa buang air
besar tidak pada tempatnya seperti di kebun atau sungai serta terbiasa mencium dan
menyentuh penderita yang meninggal akibatnya penyakit kolera sangat cepat menular,
menyebar, dan mewabah ke daerah-daerah sekitarnya hingga akhirnya menimbulkan
KLB kolera. Pusat Penanggulangan Krisis Depkes juga menegaskan bahwa KLB kolera
ini disebabkan oleh keterbatasan sumber air, kurangnya perilaku hidup bersih dan sehat
serta adanya budaya duka di pegunungan tengah dengan memeluk dan mencium jenazah,
padahal pada penyakit kolera muntah dan feses adalah sumber penularan. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keterkaitan antara kontak jenazah di masyarakat Papua
dengan penularan kolera dan membuktikan pencemaran sumber air minum oleh V.
cholera. Sedangkan pada tahun 2009 tercatat KLB kolera terjadi di Bogor (Puspandari
et al., 2010).

2.3   Patofisiologi

Adanya bahan makanan yang tidak dapat diabsorbsi oleh lumen usus akan menyebabkan
tekanan osmotik dalam rongga usus meningkat sehingga terjadi penyerapan air dan
elektrolit ke dalam rongga usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus
untuk mengeluarkannya sehingga terjadi diare. Bakteri non-patogen (bakteroides,
laktobasilus, klostridium) di dalam lumen usus halus (sering disebut flora usus) dapat
menyebabkan diare. Normalnya melalui proses fermentasi bakteri non-patogen usus
memetabolisir berbagai macam substrat terutama zat – zat makanan dengan hasil akhir
asam lemak dan gas. Metabolisme anaerob ini akan memberikan tambahan energi bagi
tubuh. Akibat stasis usus, obstruksi dan malnutrisi menyebabkan terjadinya peningkatan
jumlah bakteri non-patogen sehingga pada proses fermentasi zat makanan menghasilkan
metabolit yang tidak diinginkan oleh tubuh. Sebagai contoh : laktosa (dari susu)
merupakan makanan yang baik bagi bakteri non-patogen. Laktosa akan difermentasikan
menghasilkan gas lambung dan menyebabkan distensi. Akibat dari tingginya konsentrasi
laktosa menyebabkan tekanan osmotik dalam lumen usus meningkat. Keadaan
hiperosmolar ini akan menyerap air dari intra selluler yang diikuti dengan peningkatan
peristaltik usus sehingga terjadi diare. (Sudoyo Aru, 2010 : 2845).
2.4 Pencegahan Penyakit Kolera

Di dalam kondisi di mana persediaan air bersih tidak memadai dan sanitasi
umum buruk, transmisi dari semua jenis infeksi enterik, termasuk kolera, sangat mudah
terjadi. Jika timbul epidemi kolera maka prioritas pertama adalah upaya untuk menekan
angka kematian dengan menyediakan fasilitas rehidrasi dan pendidikan kesehatan pada
penderita agar segera mencari pertolongan ke pusat- pusat kesehatan yang ada.
Penyelidikan lapangan untuk menentukan fokus utama infeksi adalah sangat penting
(Lesmana, 2006).

 Vaksin Kolera

Vaksin kolera berisi V. Cholerae 01 yang sudah dilemahkan lewat serotip inaba
dan ogawa untuk melawan panas tubuh yang muncul akibat serangan kolera. Dia
bisa melindungi sampai 50% selama 3-6 bulan. Bagi orang-orang berprofesi pergi
ketampat lain atau sekedar liburan, vaksin ini selalu direkomendasika. Tapi nasihat
paling bijak tetap saja berhati-hati memilih makanan dan minuman yang hendak
disantap. Bagaimanapun imunisasi hanya mencegah, tapi kalau gaya hidup tidak
dijaga, kolera tetap bisa menyerang (Kelly, 2009).
Vaksin kolera ada 2 macam, yakni vaksin yang telah dimatikan dan vaksin hidup
yang dilemahkan. Vaksin kolera-CSL (suspensi Vibrio cholera klasik serotype O1
Inaba dan Ogawa) berasal dari bakteri yang telah dimatikan dengan penambahan
fenol 0,5% sebagai pengawet. Vaksin ini memberikan efek selama beberapa bulan
(3-6 bulan). Namun, vaksin ini tidak efektif untuk Vibrio cholera O139 vaksin hidup
yang dilemahkan diberikan satu kali suntikan dan efektif selama 3 Tahun. Vaksin
kolera hidup dalam bentuk oral sedang dalam pengembangan. Vaksin kolera
diberikan satu kali melalui suntikan ke dalam otot. Dosis orang dewasa 0,5 ml;
anak (5 – 9 kali tahun) 0,3 ml; dan bayi 0,1 ml. Agar perlindungan menjadi lebih
optimal, vaksinasi ulangan dapat diberikan 7-28 hari sesudah suntikan pertama
(Cahyono, 2010).

Pada saat ini ada 3 jenis vaksin kolera yang terdaftar dan dapat diperoleh di
berbagai negara. Vaksin tersebut adalah :

a. Vaksin lama dari sel yang dimatikan, diberikan secara parenteral (killed
whole-cell parenteral vaccine)
b. Vaksin dari subunit B dari sel yang dimatikan (BS/WCV), diberikan secara
oral
c. Vaksin hidup dari V. cholerae galur CVD 103-HgR, diberikan secara oral
Oleh karena vaksin lama berupa sel yang dimatikan dan diberikan secara
parenteral hanya memberikan perlindungan parsial dan jangka waktunya
pendek, maka tidak banyak lagi negara-negara yang menggunakannya. Kedua
vaksin yang terakhir lebih disukai karena mudah diberikan (secara oral) dan
lebih kuat merangsang respons kekebalan lokal usus (Lesmana, 2006).

Keuntungan dari vaksin BS/WCV adalah karena sangat aman, tetapi kerugiannya
adalah karena vaksin ini perlu diberikan dari 2-3 dosis untuk mencapai ambang
proteksi yang memadai (Lesmana, 2006).

Vaksin oral CVD 103-HgR juga aman dan memberikan imunogenisitas yang
tinggi dengan hanya satu dosis tunggal. Vaksin ini memberikan proteksi terhadap
penyakit kolera baik yang ringan maupun yang berat yang disebabkan oleh semua
biotipe dan serotipe V. cholerae O1 (Lesmana, 2006).

Efek samping yang dapat ditemui sesudah vaksinasi antara lain: pembengkakan
pada tempat bekas suntikan, sedangakan demam, lemah tubuh, dan reaksi serius
jarang terjadi. Vaksin sebaikanya jangan diberikan kepada orang-orang yang
hipersensitif pada dosis sebelumnya, anak-anak yang mudah sakit, bayi berusia <
6 bulan, dan ibu hamil (Cahyono, 2010)
Tabel 2.4 Penjelasan Penggunaan Vaksin Kolera (Cahyono, 2010)

Nama Vaksinasi Kolera


Sasaran imunisasi Semua usia, bayi usia > 6 bulan.
Macam Vaksin Vaksin kolera yang dimatikan dan

vaksin kolera yang dilemahkan..


Dosis Dosis tunggal
Jadwal Pemberian Satu kali suntik, booster interval 7-28

hari setelah suntikan pertama.


Cara Pemberian Suntik Kedalam Otot

Efektivitas 85%
Kontra Indikasi Orang-orang yang diketahui
hipersensitif pada dosis sebelumnya,
anak-anak yang mudah sakit, bayi
berusia > 6 bula, dan Ibu hamil
Efek Samping Pembengkakan pada tempat bekas
suntikan, sedangkan lemah berak
tubuh dan reaksi serius jarang terjadi

Selain vaksin kolera, dapat juga dilakukan langkah-langkah berikut untuk


mencegah masuknya bakteri Vibrio cholerae ke dalam saluran pencernaan
(Irianto, 2013) :
1. Hanya minum air matang

2. Gunakan air bersih untuk memasak, mencuci piring, sikat gigi, mandi,
mencuci baju.
3. Hati-hati jika mencampur minuman dengan es batu jangan menggunakan
es batu dari air mentah.
4. Jangan makan daging mentah atau makanan laut yang kurang matang
seperti kerang.
5. Kupas buah atau sayuran saan akan memakannya.
6. Selalu cuci tangan sebelum dan sesudah makan.

7. Miliki fasilitas MCK dengan pembuangan limbah yang baik agar tidak
mengkontaminasi air bersih di sumur.
Komplikasi

Kehilangan cairan dan elektrolit dalam jumlah besar bisa membahayakan dan berakibat
fatal. Syok dan dehidrasi parah merupakan komplikasi kolera yang paling berbahaya,
namun selain itu ada beberapa masalah kesehatan lain yang bisa muncul akibat kolera,
yaitu:

1. Hipokalemia atau kekurangan kalium yang bisa menyebabkan gangguan fungsi


jantung dan saraf.
2. Gagal ginjal yang diakibatkan oleh hilangnya kemampuan ginjal untuk menyaring,
sehingga mengeluarkan sejumlah besar cairan dan elektrolit dari dalam tubuh. Syok
sering muncul pada penderita kolera yang mengalami gagal ginjal.
3. Hipoglikemia atau rendahnya kadar gula darah bisa terjadi jika pasien terlalu sakit
untuk makan. Keadaan ini bisa berbahaya karena glukosa merupakan sumber
energi tubuh yang utama. Hilang kesadaran, kejang, dan bahkan kematian bisa
terjadi akibat komplikasi ini, dan anak-anak lebih rentan mengalaminya.

2.5 Pemeriksaan Diagnostik dan Laboratorium

Diagnosis definitif bukanlah prasyarat untuk perawatan pasien dengan kolera.


Prioritas dalam manajemen diare berair adalah mengganti cairan dan elektrolit yang hilang
dan menyediakan agen antimikroba bila diindikasikan. Menurut definisi kasus standar
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), kasus kolera diduga ketika kondisi berikut dipenuhi:

a. Di daerah di mana penyakit tidak diketahui hadir, seorang pasien berusia 5 tahun atau
lebih mengalami dehidrasi parah atau meninggal karena diare berair akut.

b. Di daerah dengan epidemi kolera yang tercatat, seorang pasien berusia 5 tahun atau
lebih mengembangkan diare berair akut, dengan atau tanpa muntah.

c. Di daerah endemik, konfirmasi biokimia dan karakterisasi isolat biasanya tidak


diperlukan. Namun, tugas-tugas ini mungkin bermanfaat di daerah di mana Vibrio
cholerae merupakan isolat yang tidak biasa. Jika identifikasi organisme diperlukan,
pemeriksaan tinja mikroskopis langsung (termasuk pemeriksaan lapangan gelap)
diindikasikan, bersama dengan pewarnaan Gram, kultur, dan identifikasi serotipe dan
biotipe.

Tes reaksi rantai polimer (PCR) untuk mengidentifikasi V kolera telah dikembangkan. Ini
memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Saat ini, bagaimanapun, tes
tersebut digunakan untuk penyaringan sampel makanan.

1. Feses lengkap

Vibrio cholerae adalah basil lengkung gram negatif yang mudah bergerak melalui flagel
tunggal. Diagnosis laboratorium diperlukan tidak hanya untuk identifikasi tetapi juga
untuk tujuan epidemiologis. Meskipun diamati sebagai organisme gram negatif, motilitas
khas spesies Vibrio tidak dapat diidentifikasi pada pewarnaan Gram, tetapi juga mudah
dilihat pada pemeriksaan tinja langsung di lapangan gelap.

2. Kultur feses

V kolera mudah berkembang. Namun, membutuhkan sistem buffering yang memadai jika
karbohidrat yang dapat difermentasi hadir karena viabilitas sangat terganggu jika pH
kurang dari 6, sering mengakibatkan autosterilasi kultur. Banyak media selektif yang
digunakan untuk membedakan patogen enterik tidak mendukung pertumbuhan kolera V.

3. Media diferensial rutin

Koloni negatif laktosa, seperti semua patogen usus lainnya, tetapi sukrosa positif. Ketika
dikultur pada agar zat besi tiga-gula untuk menyaring spesies Salmonella dan Shigella,
organisme memberikan pola non-patogenik dari kemiringan asam (kuning) dan dasar asam
karena fermentasi sukrosa yang terkandung dalam agar besi tiga-gula. Tidak seperti
Enterobacteriaceae lainnya, V cholerae adalah oksidase-positif, karenanya, di negara-
negara di mana media selektif tidak tersedia dan kolera tidak endemik, V kolera harus
dicurigai jika ada motil, positif oksidase, batang gram negatif yang diisolasi pada media
diferensial rutin dari tinja pasien dengan diare menghasilkan reaksi asam. pada agar zat
besi tiga kali lipat.

4. Media alkaline

Karena Vibrio memiliki kemampuan untuk tumbuh pada pH tinggi atau dalam garam
empedu, yang menghambat banyak Enterobacteriaceae lainnya, air pepton (pH 8,5-9) atau
media selektif yang mengandung garam empedu (misalnya, tiosulfat-sitrat-empedu-
empedu-sukrosa-agar) direkomendasikan untuk memfasilitasi isolasi dan diagnosis
laboratorium. Pada agar tiosulfat-sitrat-empedu-sukrosa-agar, kolera V yang
memfermentasi sukrosa tumbuh sebagai koloni kuning bundar yang besar, halus, bulat
yang menonjol di antara agar-agar biru-hijau.

5. Serotyping dan Biotyping

Antiserum spesifik dapat digunakan dalam tes imobilisasi. Hasil tes imobilisasi positif
(yaitu, penghentian motilitas organisme) dihasilkan hanya jika antiserum spesifik untuk
jenis Vibrio yang ada, antiserum kedua berfungsi sebagai kontrol negatif. Vibrio antisera
mungkin tidak tersedia di negara-negara di mana kolera tidak endemik. Di daerah
endemik, ini adalah metode identifikasi cepat yang sangat baik, bahkan di laboratorium
kecil. Biotipe klasik dan El Tor juga dapat diidentifikasi menggunakan metode yang sama.
Ini berguna untuk studi epidemiologi.

6. Pemeriksaan darah

Gangguan hematologis utama pada pasien dengan kolera berasal dari perubahan volume
intravaskular dan konsentrasi elektrolit. Hematokrit, berat jenis serum, dan protein serum
meningkat pada pasien dehidrasi karena hemokonsentrasi yang dihasilkan. Ketika pasien
pertama kali diamati, mereka umumnya memiliki leukositosis tanpa pergeseran ke kiri.

7. Panel Metabolik

Natrium serum biasanya 130-135 mmol / L, mencerminkan hilangnya natrium dalam tinja.
Kalium serum biasanya normal pada fase akut penyakit, mencerminkan pertukaran kalium
intraseluler untuk ion hidrogen ekstraseluler dalam upaya untuk memperbaiki asidosis.
Hiperglikemia dapat terjadi, sekunder akibat pelepasan epinefrin, glukagon, dan kortisol
sistemik akibat hipovolemia. Pasien mengalami peningkatan kadar urea nitrogen dan
kreatinin darah yang konsisten dengan azotemia prerenal. Tingkat peningkatan tergantung
pada derajat dan durasi dehidrasi. Penurunan tingkat bikarbonat (<15 mmol / L) dan
peningkatan anion gap terjadi sebagai akibat dari peningkatan kadar serum laktat, protein,
dan fosfat. PH arteri biasanya rendah (sekitar 7,2). Kadar kalsium dan magnesium
biasanya tinggi akibat hemokonsentrasi

2.6 Penatalaksanaan
1. Cairan per oral
Penggantian Cairan dan elektrolit Aspek paling penting dari terapi diare adalah
untuk menjaga hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode
akut. Ini dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua
pasien kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang
memerlukan hidrasi intavena yang membahayakan jiwa. Idealnya, cairan rehidrasi
oral harus terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g
kalium klorida, dan 20 g glukosa per liter air.2,4 Cairan seperti itu tersedia secara
komersial dalam paket-paket yang mudah disiapkan dengan mencampurkan
dengan air. Jika sediaan secara komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti
dapat dibuat dengan menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking
soda, dan 2 – 4 sendok makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk
diberikan untuk mengganti kalium. Pasien harus minum cairan tersebut sebanyak
mungkin sejak mereka merasa haus pertama kalinya.
2. Cairan parental
Diberikan pada pasien dehidrasi berat. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan
normotonik seperti cairan saline normal atau Ringer Laktat harus diberikan dengan
suplementasi kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus
dimonitor dengan baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan
urin, dan penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan
rehidrasi oral sesegera mungkin. Jika ada syok, segera dilakukan resusitasi cairan
( 20 ml/kg larutan salin normal atau larutan ringer laktat, ulangi jika perlu). Setelah
rehidrasi selesai, diet dapat dilanjutkan dengan makanan yang mudah dicerna
seperti pisang, nasi atau bubur, dan biji-bijian kering. Makanan dan cairan rehidrasi
oral dengan nyata mengurangi lamanya diare. Secepatnya kembali ke makanan bisa
merupakan hal yang penting, terutama pada kasus-kasus malnutrisi yang sudah ada
sebelumnya.
3. Antimetika dan antipasmodik biasanya tidak dianjurkan. Tetapi antibiotik
digunakan untuk mengobati penyakit yang disebabkan organisme Shigella, E.coli,
organisme Salmonella, dan G lambia. Antibiotik dapat memperpanjang status
karier pada infeksi Salmonella (Ngastiyah, 2005).
a. Obat antibiotik
Untuk mengurangi jumlah bakteri sekaligus mempercepat penyembuhan diare,
antibiotik yang akan diberikan, seperti tetracycline, doxycycline, ciprofloxacin,
erythromycin, atau azithromycin.
b. Suplemen zinc
Zinc (seng) juga sering diberikan untuk mempercepat penyembuhan diare pada
anak-anak.

2.7 .    Pengkajian

1.      Identitas klien.
Perlu diperhatikan adalah usia. Episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan.
Insiden paling tinggi adalah golongan umur 6-11 bulan. Kebanyakan kuman usus
merangsang kekebalan terhadap infeksi, hal ini membantu menjelaskan penurunan
insidence penyakit pada anak yang lebih besar. Pada umur 2 tahun atau lebih imunitas aktif
mulai terbentuk. Kebanyakan kasus karena infeksi usus asimptomatik dan kuman enteric
menyebar terutama klien tidak menyadari adanya infeksi. Status ekonomi juga
berpengaruh terutama dilihat dari pola makan dan perawatannya .
2.      Keluhan utama
Feses semakin cair,muntah,bila kehilangan banyak air dan elektrolit terjadi gejala
dehidrasi,berat badan menurun. Turgor kulit berkurang,selaput lendir mulut dan bibir
kering,frekwensi BAB lebih dari 4 kali dengan konsistensi encer.
3.      Riwayat kesehatan sekarang
BAB warna kuning kehijauan, bercamour lendir dan darah atau lendir saja. Konsistensi
encer, frekuensi lebih dari 3 kali, waktu pengeluaran : 3-5 hari (diare akut), lebih dari 7
hari ( diare berkepanjangan), lebih dari 14 hari (diare kronis).
4.      Riwayat penyakit dahulu
Pernah mengalami diare sebelumnya, pemakian antibiotik atau kortikosteroid jangka
panjang (perubahan candida albicans dari saprofit menjadi parasit), alergi makanan, ISPA,
ISK, OMA campak.
5.      Riwayat Nutrisi
Pada anak usia toddler makanan yang diberikan seperti pada orang dewasa, porsi yang
diberikan 3 kali setiap hari dengan tambahan buah dan susu. kekurangan gizi pada anak
usia toddler sangat rentan,. Cara pengelolahan makanan yang baik, menjaga kebersihan
dan sanitasi makanan, kebiasan cuci tangan,
6.      Riwayat Kesehatan Keluarga
Ada salah satu keluarga yang mengalami diare.
7.      Riwayat Kesehatan Lingkungan
Penyimpanan makanan pada suhu kamar, kurang menjaga kebersihan, lingkungan tempat
tinggal.
8. Pemeriksaan Fisik

a.       Pengukuran panjang badan, berat badan menurun, lingkar lengan mengecil, lingkar
kepala, lingkar abdomen membesar.
b.      Keadaan umum : klien lemah, gelisah, rewel, lesu, kesadaran menurun.
c.       Kepala : ubun-ubun tak teraba cekung karena sudah menutup pada anak umur 1 tahun
lebih.
d.      Mata : cekung, kering, sangat cekung.
e.       Sistem pencernaan : mukosa mulut kering, distensi abdomen, peristaltic meningkat > 35
x/mnt, nafsu makan menurun, mual muntah, minum normal atau tidak haus, minum lahap
dan kelihatan haus, minum sedikit atau kelihatan bisa minum.
f.       Sistem Pernafasan : dispnea, pernafasan cepat > 40 x/mnt karena asidosis metabolic
(kontraksi otot pernafasan).
g.      Sistem kardiovaskuler : nadi cepat > 120 x/mnt dan lemah, tensi menurun pada diare
sedang .
h.      Sistem integumen : warna kulit pucat, turgor menurun > 2 dt, suhu meningkat > 375 0 c,
akral hangat, akral dingin (waspada syok), capillary refill time memajang > 2 dt,
kemerahan pada daerah perianal.
i.        Sistem perkemihan : urin produksi oliguria sampai anuria (200-400 ml/ 24 jam ),
frekuensi berkurang dari sebelum sakit.
j.        Dampak hospitalisasi : semua anak sakit yang MRS bisa mengalami stress yang berupa
perpisahan, kehilangan waktu bermain, terhadap tindakan invasive respon yang ditunjukan
adalah protes, putus asa, dan kemudian menerima.
9.      Pengkajian Pola Gordon (Pola Fungsi Kesehatan).
a.       Persepsi Kesehatan : pasien tidak mengetahui penyebab penyakitnya, higienitaspasien
sehari-sehari kurang baik.
b.      Nutrisi metabolic : diawali dengan mual,muntah,anopreksia,menyebabkan penurunan
berat badan pasien.
c.       Pola eliminasi : akan mengalami perubahan yaitu BAB lebih dari 4 kali sehari,BAK
sedikit atau jarang.
d.      Aktivitas : akan terganggu karena kondisi tubuh yang lemah dan adanya nyeri akibat
distensi abdomen yakni dibantu oleh orang lain.
e.       Tidur/istirahat : akan terganggu karena adanya distensi abdomen yang akan
menimbulkan rasa tidak nyaman.
f.       Kognitif/perceptual : pasien masih dapat menerima informasi namun kurang
berkonsentrasi karena nyeri abdomen.
g.      Persepsi diri/konsep diri : pasien mengalami gangguan konsep diri karena kebutuhan
fisiologis nya terganggu sehingga aktualisasi diri tidak tercapai pada fase sakit.
h.      Seksual/reproduksi : mengalami penurunan libido akibat terfokus pada penyakit.
i.        Peran hubungan : pasien memiliki hubungan yang baik dengan keluarga dan peran
pasien pada kehidupan sehari-hari mengalami gangguan.
j.        Manajemen koping/stress : pasien mengalami kecemasan yang berangsur-angsur dapat
menjadi pencetus stress. Pasien memiliki koping yang adekuat.
k.      Keyakinan/nilai : pasien memiliki kepercayaan, pasien jarang sembahyang karena gejala
penyakit.

2.8 Pemeriksaan Fisik Kolera

Tanda-tanda klinis kolera sejajar dengan tingkat kontraksi volume. Jumlah kehilangan
cairan dan tanda-tanda klinis kolera yang sesuai adalah sebagai berikut:

1. Kehilangan 3-5% dari berat badan normal Rasa haus yang berlebihan

2. 5-8% kehilangan berat badan normal Hipotensi postural, takikardia, kelemahan,


kelelahan, selaput mukosa kering atau mulut kering

3. 10% kehilangan berat badan normal Oliguria, mata seperti kaca atau cekung,
fontanella cekung pada bayi, nadi lemah atau tidak ada, kulit keriput, letargi, dan
koma.

Penilaian untuk Dehidrasi

Organisasi Kesehatan Dunia telah mengklasifikasikan dehidrasi pada pasien


dengan diare ke dalam 3 kategori berikut, untuk memfasilitasi perawatan.

1. Parah

2. Beberapa (sebelumnya disebu moderat, dalam kriteria WHO)

3. Tidak ada (sebelumnya disebut ringan, dalam kriteria WHO)

Anak-anak tanpa dehidrasi yang signifikan secara klinis (kehilangan berat badan
<5%) mungkin. mengalami peningkatan rasa haus tanpa tanda- tanda dehidrasi lainnya.
Pada anak-anak dengan beberapa dehidrasi (yaitu, sedang), curah jantung dan resistensi
pembuluh darah adalah normal dan perubahan volume interstisial dan intraseluler adalah
manifestasi utama penyakit. Turgor kulit berkurang, seperti yang ditunjukkan oleh tenda
kulit yang berkepanjangan sebagai respons terhadap cubitan kulit (tanda paling andal dari
dehidrasi isotonik) dan denyut nadi normal. Pemeriksaan turgor kulit dilakukan membujur
daripada horizontal dan mempertahankan cubitan selama beberapa detik sebelum
melepaskan kulit. Pinch kulit mungkin kurang bermanfaat pada pasien dengan marasmus
(wasting parah), kwashiorkor (malnutrisi berat dengan edema), atau obesitas. Pada orang
dewasa dan anak-anak yang lebih dari 5 tahun, tanda-tanda dehidrasi parah lainnya
termasuk takikardia, denyut nadi perifer yang hampir tidak teraba, dan hipotensi. Takipnea
dan hiperkapnia juga merupakan bagian dari gambaran klinis dan disebabkan oleh asidosis
metabolik yang selalu ada pada pasien dengan kolera yang mengalami dehidrasi.

Manifestasi metabolik dan sistemik

Setelah dehidrasi, hipoglikemia adalah komplikasi mematikan kolera yang paling


umum pada anak- anak. Hipoglikemia adalah akibat dari berkurangnya asupan makanan
selama penyakit akut, kelelahan simpanan glikogen, dan glukoneogenesis yang rusak
sekunder akibat kurangnya penyimpanan substrat glukoneogenik dalam lemak dan otot.
Kolera menyebabkan hilangnya bikarbonat dalam feses, akumulasi laktat karena
berkurangnya perfusi jaringan perifer, dan hiperfosfatemia. Asidemia terjadi ketika
kompensasi pernapasan tidak mampu mempertahankan pH darah normal. Hipokalemia
terjadi akibat kehilangan kalium dalam tinja, dengan rata-rata konsentrasi kalium sekitar
3,0 mmol / L. Namun, karena asidosis yang ada, anak- anak sering kali memiliki
konsentrasi kalium serum normal ketika pertama kali diamati, meskipun terjadi penipisan
kalium total tubuh yang parah. Hipokalemia berkembang hanya setelah asidosis diperbaiki
dan ion hidrogen intraselular ditukar dengan kalium ekstraseluler. Hipokalemia paling
parah pada anak-anak dengan malnutrisi yang sudah ada sebelumnya yang telah
mengurangi simpanan kalium dalam tubuh dan dapat bermanifestasi sebagai ileus paralitik.
Terapi rehidrasi dengan cairan yang mengandung bikarbonat juga dapat menghasilkan
hipokalsemia dengan mengurangi proporsi kalsium serum yang terionisasi. Tanda-tanda
Chvostek dan Trousseau sering hadir dan kontraksi tetanik spontan dapat terjadi.

Pasien anak

Pada pasien anak-anak, tanda-tanda utamanya mirip dengan yang ada pada orang
dewasa. Namun, anak-anak dengan kolera parah dapat hadir dengan tanda-tanda yang
jarang terlihat pada orang dewasa. Seorang anak dengan kolera biasanya letargi dan koma
tidak biasa. Selain itu, pasien anak-anak mungkin memiliki kejang yang tampaknya terkait,
sebagian, dengan hipoglikemia karena pasien menunjukkan beberapa respons terhadap
dekstrosa intravena. Perbedaan signifikan lainnya dari presentasi orang dewasa adalah
bahwa anak-anak sering demam.

Kolera sicca
Kolera sicca adalah İstilah lama yang menggambarkan bentuk kolera langka dan
parah yang terjadi pada epidemi kolera. Bentuk kolera ini bermanifestasi di ileus dan
distensi abdomen dari curahan cairan dan elektrolit ke dalam loop usus yang melebar.
Kematian tinggi, dengan kematian akibat toksemia sebelum timbulnya diare dan muntah.
Kematian dalam kondisi ini tinggi. Karena presentasi yang tidak biasa, kegagalan untuk
mengenali kondisi sebagai bentuk kolera adalah hal biasa.

Tabel 1. Penilaian Pasien Dengan Diare untuk Dehidrasi (berdasarkan klasifikasi WHO)

Sensorium Mata Haus Tugor Kulit

Mengantuk yang Cekung Malas minum atau Kuembali sangat


abnormal atau tidak sekali lambat <2 detik
letargi

Gelisah, mudah Cekung Kehausan, ingin Kembali perlahan


tersinggung minum banyak <2 detik

Baik, waspada Normal Normal Kembali dengan


cepat

Diagnosa Keperawatan:

1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan melalui seringnya


buang air besar dan encer.
NOC:
a. Fluid balance
b. Hydration
c. Nutritional Status : Food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
1) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT
normal
2) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3) Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa
lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
2. Resiko ketidakseimbangan elektrolit diare dan ditandai dengan berhubngan dengan
kekurangan volume cairan

NOC

a. Fluid balance
b. Hydration
c. Nutritional Status : Food and Fluid Intake

Kriteria Hasil:

1) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal, HT
normal
2) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3) Tidak ada tanda tanda dehidrasi,
4) Elastisitas turgor kulit baik, membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang
berlebihan
3. Ketidak seimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
menurunnya intake absorbsi makanan.

NOC :
 Nutritional Status : food and Fluid Intake
Kriteria Hasil :
1) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
2) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
3) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
4)  Tidak ada tanda tanda malnutrisi
5) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti

DAFTAR PUSTAKA
Nurarif,A.H. dan Kusuma.H (2015) APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC Jilid 1. Yogyakarta : MediAction

Sajeev H. 2018. Cholera. New York: Medscape

Sudoyo, d. (2010). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: InternaPublishing

Cahyono, J.B. Suharjo dkk. 2010. Vaksinasi: Cara Ampuh Cegah PenyakitInfeksi.
Yogyakarta: Kanisius

Irianto, Koes. 2013. Epidemiologi Penyakit Menular & Tidak Menular PanduanKlinis.
Bandung. Penerbit Alfabeta Bandung

Matson et al., 2007; Todar, 2012.

Barua, 1972; Dziejman et al., 2002.

Sajeev H. 2018. Cholera. New York: Medscape

Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.


Potter & Perry. 2009. Fundamental of Nursing, Fundamental Keperawatan. Jakarta:
Salemba medika.

Nanda. (2015).Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi 2015-2017 Edisi10


editor THeather Herdman, Shigemi Kamitsuru.Jakarta: EGC.

Cahyono, J.B. Suharjo dkk. 2010. Vaksinasi: Cara Ampuh Cegah Penyakit Infeksi.
Yogyakarta: Kanisius
Irianto, Koes. 2013. Epidemiologi Penyakit Menular & Tidak Menular Panduan Klinis.
Bandung. Penerbit Alfabeta Bandung

Wilkinson,M.J.,& Ahern,R.N. 2015. Buku Saku Diagnosis Keperawatan : Diagnosis


Nanda, Intervensi NIC, Kriteria hasil NOC.Ed 9. Jakarta : EGC

Aru.W Sudoyo. (2014). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1. Jakarta : Interna Publishing

Anda mungkin juga menyukai