Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH TELAAH JURNAL

Penurunan Intensitas Rasa Haus Pasien Penyakit Ginjal Kronik Yang


Menjalani Hemodialisa Dengan Menghisap Es Batu

KELOMPOK R (2) :

Asra Dewita S.Kep 2141312009

Nurrezki Gustina Sari N S.Kep 2141312049

Ainul Fitri S.Kep 2141312046

Sri Hartinah S.Kep 2141312052

Kristina Wangguay S.Kep 2141312023

Agnesia Chelsea Adriani S.Kep 2141312078

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ANDALAS

2021
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik (PGK) atau Cronik Kidney Disease (CKD)
merupakan perkembangan dari gagal ginjal dan hasil akhir destruksi
jaringan gradual yang progresif dan lambat berlangsung beberapa tahun
(Nurarif & Kusuma, 2013; Buss & Labus, 2013). PGK tidak dapat
disembuhkan dan fungsi ginjal tidak dapat kembali normal lagi, yang
dapat dilakukan hanya mempertahankan fungsi ginjal yang masih ada.
Pasien yang mengalami PGK akan mengalami penurunan fungsi ginjal
terutama Glomerolus Filtrat Rate (GFR) yang mengakibatkan
penumpukan cairan dalam tubuh dan sisa metabolisme hingga komplikasi
gagal ginjal yang serius. Salah satu cara untuk mengurangi penumpukan
cairan dalam tubuh dan sisa metabolisme adalah dengan hemodialisis atau
sering disebut dengan cuci darah (Muttaqin & Sari, 2011).
Penatalaksanaan untuk pasien PGK antara lain hemodialisis,
dialisis peritoneal, terapi pengganti ginjal berkesinambungan/continous
renalreplacement therapy (CRRT) dan transplantasi ginjal (Sudoyo,
Setiyohadi, Alwi, Simadibrata K, & Setiati, 2007). Penatalaksanaan yang
sering dilakukan untuk pasien PGK adalah hemodialisis dan sebenarnya
penatalaksanaan ini tidak dapat menyembuhkan PGK dan tidak dapat
mengembalikan fungsi normal ginjal (Buss & Labus, 2013).

Salah satu fungsi dari hemodialisis untuk mengobati


ketidakseimbangan cairan dan membantu mengontrol penyakit ginjal
stadium akhir serta mencegah kematian pada pasien gagal ginjal kronik
yang biasanya dilakukan 3 kali seminggu, lama durasi 3 sampai 5 jam,
bergantung pada jenis dialisa dan kondisi kesehatan pasien, diantara dua
waktu dialisis pasien akan mengalami masalah penumpukan cairan
dialisis karena di Indonesia hemodialisis tidak dilakukan setiap hari (Buss
& Labus, 2013; Price & Wilson, 2013; Ardiyanti, Armiyati, & Arif,
2015). Pasien tetap harus menjaga asupan cairan yang masuk kedalam
tubuh disela hari perawatan hemodialisis. Akibat dari pembatasan asupan
cairan yang masuk dalam tubuh pasien akan merasa haus dan rasa
haus adalah keinginan yang disadari terhadap kebutuhan akan cairan,
rasa haus yang biasa muncul apabila osmolalitas plasma mencapai 295
mOsm/kgr (Suyatni, Armiyati, & Mustofa, 2016; Mubarak & Chayatin,
2007 dalam Ardiyanti, Armiyati, & Arif, 2015). Hal ini yang
mengakibatkan pasien tidak patuh pada diet pembatasan asupan cairan
dan pasien akan mengalami kelebihan cairan dalam tubuhnya atau
disebut overhidrasi.

Overhidrasi akan mengakibatkan beban ginjal meningkat dan


menimbulkan komplikasi serta menurunkan kualitas hidup pasien.
Overhidrasi bisa terjadi karena intake cairan yang berlebihan. Intake
cairan yang berlebihan dapat terjadi karena pasien tidak dapat menahan
rasa haus. Maka rasa haus harus dapat dikurangi agar pasien patuh pada
diet pembatasan asupan cairan (Suyatni, Armiyati, & Mustofa, 2016).
Rasa haus dapat dikurangi dengan berbagai cara, yaitu dengan menyikat
gigi, menghisap es batu, berkumur, mengunyah permen karet atau
permen mint dan menggunakan frozen grapes atau buah yang dibekukan
(Solomon, 2006 dalam Suyatni, Armiyati, & Mustofa, 2016).

Tindakan untuk mengurangi rasa haus dan meminimalkan


peningkatan berat badan yaitu dengan terapi ice cube’s untuk membantu
menyegarkan tenggorokan, hasil penelitian menyimpulkan pasien
hemodialisa yang mengalami haus setelah diberikan intervensi mengulum
es batu mengalami penurunan tingkat haus 56% dari pada diberikan
terapi mengunyah permen karet sebesar 20% (Arfany et al., 2014). Serta
diperkuat oleh penelitian yang menyimpulkan bahwa menghisap slimber
ice dapat menurunkan intensitas rasa haus menjadi haus ringan bahkan
tidak merasa haus sehingga resiko kelebihan cairan dapat diminimalkan
(Dasuki & Basok, 2019). Hasil penelitian lain mengatakan bahwa terjadi
perbedaan bermakna skor haus sebelum dan setelah diberikan intervensi
mengulum es batu, berkumur air matang, dan berkumur obat kumur, lama
waktu dapat menahan rasa haus pada kelompok mengulum es rerata 93
menit, kelompok kumur air matang rerata 55 menit, dan pada kelompok
berkumur dengan obat kumur rerata 67,5 menit (Armiyati dkk., 2019).
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

2.1 Ginjal
2.1.1 Anatomi Dan Struktur Ginjal

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di


rongga retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang
dengan sisi cekung menghadap ke medial. Sepasang ginjal ini, terletak
di belakang perut atau abdomen dan berada di bawah hati dan limfa
(Syaifuddin, 2006).
Besar dan berat ginjal sangat bervariasi, tergantung jenis kelamin
dan umur. Ginjal laki–laki relatif lebih besar ukurannya daripada
perempuan. Beratnya bervariasi antara 120 – 170 gram atau kurang
lebih 0,4 % dari berat badan (Syaifuddin, 2006).
Darah manusia melewati ginjal sebanyak 350 kali setiap hari
dengan laju 1,2 liter per menit, menghasilkan 125 cc filtrate glomeruler
per menitnya. Laju glomeruler inilah yang sering dipakai untuk
melakukan test terhadap fungsi ginjal (Guyton A.C & Hall J.E, 2006).

Gambar 1 : Anatomi Ginjal (Dikutip : Syaifuddin, 2006).

2.1.2 Fungsi Dan Mekanisme Kerja Ginjal


Ginjal mempunyai fungsi bermacam-macam termasuk menyaring
(filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah, serta
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, (reabsorbsi)
yang kemudian dibuang melalui urine (sekresi). Fungsi ginjal yang lain
diantaranya membuat serta mengatur hormon eritropoetin (yang
berfungsi dalam pembentukan sel darah merah di sumsum tulang),
enzim renin (pengatur tekanan darah), dan kalsitriol (pengatur
keseimbangan kadar kalsium ), serta mengatur kadar mineral, air, dan
zat kimia yang beredar di dalam darah (AlamS,Hadibroto I, 2008).
Mekanisme kerja ginjal sesuai dengan fungsinya adalah sebagai berikut :
Pertama, darah dan zat-zat lainnya di nefron masuk ke bagian
Glomerulus dan Kapsula Bowman. Proses filtrasi ini menghasilkan urin
primer yang mengandung glukosa, garam-garam, natrium, kalium,
asam amino dan protein (Syaifuddin, 2006).
Kedua, darah masuk kedalam Tubulus Kontortus Proksimal, yang
selanjutnya pada Tubulus Kontortus Proksimal ini darah akan
mengalami reabsorpsi atau penyerapan kembali zat-zat yang
dibutuhkan oleh tubuh. Proses reabsorpsi ini menghasilkan urin
sekunder yang mengandung air, garam-garam, urea, dan pigmen
(Syaifuddin, 2006).
Ketiga, darah akan masuk ke dalam Tubulus Kontortus Distal
untuk ditambahkan zat-zat yang sudah tidak diperlukan oleh tubuh.
Proses ini disebut Augmentasi. Proses ketiga ini menghasilkan urin
normal yang mengandung 95% air, urea, amoniak, asam urat, garam
mineral (NaCl), zat warna empedu, dan zat- zat yang berlebih
(vitamin,obat,dll) (Syaifuddin, 2006).
Urin normal akan ditampung sementara di Pelvis Ginjal. Setelah
itu urin akan melewati Ureter dan akan disimpan kembali di kantung
kemih. setelah kantung kemih penuh, dinding kantung kemih akan
tertekan dan menyebabkan rasa ingin buang air kecil, dan urin pun
dibuang melalui Uretra (Syaifuddin, 2006).
Gambar 2 : Anatomi Ginjal dan Proses Pembentukan Urin (Syaifuddin, 2006).
2.1.3. Penyakit Ginjal
Suatu keadaan dimana kemampuan fungsi ginjal mengalami
penurunan, sehingga tidak dapat melakukan penyaringan, pembuangan
elektrolit tubuh, menjaga keseimbangan cairan, dan memproduksi urin
(Price S.A, 2005)
Tanda dan gejala penyakit ginjal antara lain :
a. Kelelahan dan nyeri pinggang.
b. Kram otot, sering terjadi pada otot betis.
c. Mual dan muntah, biasanya karena ureum dan kreatinin darah tinggi.
d. Mudah memar.
e. Gatal, karena anemia dan asidosis.
f. Sesak nafas, terjadi karena hiperkalemi dan overhidrasi.
g. Gejala lainnya adalah perubahan frekuensi kencing, haus, nafsu
makan turun, susah tidur, kurang konsentrasi, gelisah, mengantuk,
diare, sembelit, sakit kepala, cegukan (hiccup), mulut bau ammonia
disebabkan oleh ureum yang berlebihan pada air liur, gangguan
memori, mati rasa dan kesemutan pada tangan dan kaki, anemia,
kejang, penurunan libido, impotensi dan bengkak seputar mata pada
waktu bangun tidur (Price. S.A., 2005, Erwinsyah., 2009).
Penyakit gagal ginjal dibedakan menjadi dua yaitu gagal ginjal akut dan
gagal ginjal kronik.
2.1.4. Gagal ginjal akut

Gagal ginjal akut (GGA) adalah suatu sindrom klinik akibat


adanya gangguan fungsi ginjal yang terjadi secara akut, ditandai dengan
berkurangnya volume urin dalam 24 jam. Penderita gagal ginjal akut
dilakukan perbaikan aliran darah ke ginjal, dengan menghentikan
penggunaan obat-obatan yang merusak ginjal dan memperberat kerja
ginjal atau mengangkat sumbatan pada saluran kencing. Stadium ini,
fungsi ginjal masih dapat dikembalikan seperti semula (Erwinsyah,
2009).
Penyebab gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Gagal Ginjal Akut pre renal (gangguan diluar renal) disebabkan
karena syok hypovolemik, misalnya: dehidrasi berat, diare,
perdarahan, gagal jantung, sepsis.
2. Gagal Ginjal Akut renal (kerusakan dalam ginjal) disebabkan oleh
kelainan vascular, misalnya myelonephritis, glomerulonephritis,
intoksikasi, penyakit lupus, vaskulitis, hipertensi maligna,
glomerulonefritis akut dan Nefritis interstitial akut.
3. Gagal Ginjal Akut post renal disebabkan oleh obstruksi intra renal
dan ekstra renal, misalnya obstruksi saluran kemih, tumor, batu
saluran kemih (Sudoyo, dkk., 2006).

2.1.5. Gagal ginjal kronik


Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan
suatu proses patofisiologi dengan etiologi yang beragam,
mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada
umumnya berakhir dengan kelainan klinis yang ditandai dengan
penurunan fungsi ginjal yang irreversible, pada suatu derajat yang
memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialysis atau
transplantasi ginjal (Suwitra.K, 2014).

Menurut National Kidney Foundation kriteria penyakit ginjal kronik


adalah
1. Kerusakan ginjal ≥ 3 bulan, berupa kelainan struktural atau
fungsional dari ginjal, dengan atau tanpa berkurangnya Laju Filtrasi
Glomerulus (LFG), dengan manifestasi berupa kelainan patologi
atau kelainan laboratorik pada darah, urin, atau kelainan pada
pemeriksaan radiologi.
2. LFG < 60 ml/menit per 1,73 m2 luas permukaan tubuh selama > 3
bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal.
Tabel 1
Klasifikasi Gagal Ginjal Kronik Berdasarkan Kategori LFG
Kategori Nilai LFG
LFG (ml/menit/1,73 Interpretasi Terapi

m2)
G1 ≥ 90 Kerusakan ginjal dengan LFG Diagnosis, terapi
normal komorbiditas,
penghambatan progresifitas
G2 60-89 Kerusakan ginjal dengan Pemeriksaan progresifitas
penurunan LFG ringan
G3a 40-59 Penurunan LFG ringan hingga Evaluasi dan terapi
sedang penyakit penyerta
G3b 30-44 Penurunan LFG sedang hingga
berat
G4 15-29 Penurunan LFG berat Persiapan terapi dialisis
G5 <15 Gagal ginjal terminal Dialisis

Sumber : Eknoyan et al., 2013

Tahapan Penyakit Ginjal Kronik menurut The National Kidney Foundation


Kidney Disease Improving Global Outcomes (NKF-KDIGO) tahun 2012 adalah :
a.Tahap 1 : Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau GFR >90ml/min/1.73m2.
b.Tahap 2 : Kerusakan ginjal ringan dengan GFR 60-89ml/min/1.73m2
c.Tahap 3 : Kerusakan ginjal sedang dengan GFR 30-59ml/min/1.73m2.
d.Tahap 4 : Kerusakan ginjal berat dengan GFR 15-29ml/min/1.73m2.
e.Tahap 5 : Gagal ginjal, GFR <15ml/min/1.73m2. Tahap ini sering disebut End
Stage Renal Disease (ESRD, Gagal ginjal terminal) dan perlu tindakan
hemodialisis.
2.1.6 Etiologi

Dari data yang dikumpulkan oleh Indonesian Renal Registry (IRR) pada tahun
2007- 2008 didapatkan urutan etiologi terbanyak sebagai berikut glomerulonelritis
(25%), diabetes melitus (23%), hipertensi (20%) dan ginjal polikistik (10%)
(Sudoyo
& Aru, 2006)
1. Glomerulonelritis
Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, glomerulonefritis dibedakan primer dan
sekunder. Glomerulonefritis primer apabila'penyakit dasarnya berasal dari ginjal
sendiri sedangkan glomerulonelritis sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat
penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES),
mieloma multiple atau amiloidosis.
2. Diabetes Mellitus
Menurut American Diabetes Association (2003) dalam Soegondo (2005) diabetes
melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik
hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau
kedua-duanya.
3. Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik
> 90 mmHg, atau bila pasien memakai obat antihipertensi.
4. Ginjal polikistik
Kista adalah suatu rongga yang berdinding epitel dan berisi cairan atau material
yang semisolid. Polikistik berarti banyak kista. Pada keadaan ini dapat ditemukan
kista-kista yang tersebar di kedua ginjal, baik di korteks maupun di medula.
Selain oleh karena kelainan genetik, kista dapat disebabkan oleh berbagai keadaan
atau penyakit. Jadi ginjal polikistik merupakan kelainan genetik yang paling
sering didapatkan. Nama lain yang lebih dahulu dipakai adalah penyakit ginjal
polikistik dewasa (adult polycystic kidney disease), oleh karena sebagian besar
baru bermanilestasi pada usia di atas 30 tahun.
2.1.7. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala klinis pada gagal ginjal kronis dikarenakan gangguan yang
bersifat sistematik. Ginjal sebagai organ koordinasi dalam peran sirkulasi
memilikii fungsi yang banyak (organ multifunction), sehingga kerusakan kronis
secara fisioogis ginjal akan mengakibatkan gangguan keseimbangan sirkulasi dan
vasomotor. Berikut ini adalah tada dan gejala yang ditunjukkan oleh gagal ginjal
kronis (Judith & Robinson, 2006;2013):
a. Ginjal dan gastrointestinal
Sebagai akibat dari hiponartemi maka timbul hipotensi, mulut kering, penurunan
tugor kulit, kelemahan, fatique, dan mual. Kemudian tejadi penurunan kesadaran
(somnolen) dan nyeri kepala yang hebat. Dampak dari peningkatan kalium adalah
peningkatan iritabilitas otot dan akhirnya otot mengalami kelemahan. Kelebihan
cairan yang tidak terkompensasi akan mengakibatkan asidosis metabolik. Tanda
paling khas adalah terjadinya penurunan urine output dengan sedimentasi yang
tinggi.

b. Kardiovaskuler
Biasanya terjadi hipertensi , aritmia, kardiomyopati, uremic percarditis, effusi
perikardial (kemungkinan bisa terjadi tamponade jantung, gagal jantung, edema
periorbital dan edema perifer.
c. Respiratory System
Biasanya terjadi edema pulmonal, nyeri pleura, friction rub dan efusi pleura,
crackles, sputum yang kental, uremic pleuritis dan uremic lung, dan sesak napas.
d. Gastrointestinal
Biasanya menunjukkan adanya inflamasi dan ulserasi pada mukosa
gastrointestinal karena stomatitis, ulserasi dan pendarahan gusi, dan kemungkinan
juga disertai parotitis, esofagitis, gastritis, ulseratif duodenal, lesi pada usus
halus/usus besar, colitis, dan pankreatitis. Kejadian sekunder biasanya mengikuti
seperti anoreksia, nausea dan vomiting.
e. Integumen
Kulit pucat, kekuning-kuningan, kecoklatan, kering dan ada scalp. Selain itu,
biasanya juga menunjukkan adanya purpura, ekimosis, petechiae, dan timbunan
urea pada kulit.
f. Neurologis
Biasanya ditunjukkan dengan adanya neuropathy perifer, nyeri gatal pada lengan
dan kaki. Selain itu, juga adanya kram pada otot dan refleks kedutan, daya
memori menurun, apatis, rasa kantuk meningkat, iritabilitas, pusing, koma dan
kejang. Dari hasil EEG menunjukkan adanya perubahan metabolik
encephalophaty.
g. Endokrin

Bisa terjadi infertilitas dan penurunan libido, amenorrhea dan gangguan siklus
menstruasi pada wanita, impoten, penurunan sekresi sperma, peningkatan sekresi
aldosteron, dan kerusakan metabolisme karbohidrat.
h. Hematopoitiec
Terjadi anemia, penurunan waktu hidup sel darah merah, trombositopenia
(dampak dari dialysis), dan kerusakan platelet. Biasanya masalah yang serius pada
sistem hematologi ditunjukkan dengan adanya perdarahan (purpura, ekimosis, dan
petechiae).
i. Muskuloskeletal
Nyeri pada sendi dan tulang, demineralisasi tulang, fraktur pathologis, dan
kalsifikasi (otak, mata, gusi, sendi, miokard).
2.1.8 Patofisiologi

Menurut Bayhakki (2013), patogenesis gagal ginjal kronik melibatkan penurunan


dan kerusakan nefron yang diikuti kehilangan fungsi ginjal yang progresif. Total
laju filtrasi glomerulus (LFG) menurun dan klirens menurun, BUN dan kreatinin
meningkat. Nefron yang masih tersisa mengalami hipertrofi akibat usaha
menyaring jumlah cairan yang lebih banyak. Akibatnya, ginjal kehilangan
kemampuan memekatkan urine. Tahapan untuk melanjutkan ekskresi, sejumlah
besar urine dikeluarkan, yang menyebabkan klien mengalami kekurangan cairan.
Tubulus secara bertahap kehilangan kemampuan menyerap elektrolit. Biasanya,
urine yang dibuang mengandung banyak sodium sehingga terjadi poliuri
(Veronika, 2017).

Pada gagal ginjal kronik, fungsi ginjal menurun secara drastis yang berasal dari
nefron. Insifisiensi dari ginjal tersebut sekitar 20% sampai 50% dalam hal
GF (Glomerular Filtration Rate). Pada penurunan fungsi rata-rata 50% , biasanya
muncul tanda dan gejala azotemia sedang, poliuri, nokturia, hipertensi dan
sesekali terjadi anemia. Selain itu, selama terjadi kegagalan fungsi ginjal maka
keseimbangan cairan dan elektrolit pun terganggu. Pada hakikatnya tanda dan
gejala gagal ginjal kronis hampir sama dengan gagal ginjal akut, namun awitan
waktunya saja yang membedakan. Perjalanan dari gagal ginjal kronis membawa
dampak yang sistemik terhadap seluruh sistem tubuh dan sering mengakibatkan
komplikasi.
2.1.9 Komplikasi
Komplikasi yang dapat dtimbulkan dar penyakit gagal ginjal kronik adalah
(Baughman, 2000):
1. Penyakit tulang
Penurunan kadar kalsium (hipokalsemia) secara langsung akan mengakibatkan
dekasifilkasi matriks tulang, sehinggal tulang akan menjadi rapuh (osteoporosis)
dan jika berlangsung lama makan menyebabkan phatologis.
2. Penyakit Kardiovaskuler
Ginjal sebagai kontrol sirkulasi sistemik akan berdampak secara sistemik berupa
hipertensi, kelainan lipid, inteloransi glukosa, dan kelainan himodinamik (sering
terjadi hipertrofi ventrikel kiri).
3. Anemia

Selain berfungsi sebagai sirkulasi, ginjal juga berfungsi dalam rangkaian


hormonal (endokrin). Sekresi eritropoetin yang mengalami defisiensi di ginjal
akan mengakibatkan penurunan hemoglobin.
4. Disfungsi seksual
Dengan gangguan sirkulasi pada ginjal, maka libido sering mengalami penurunan
dan terjadi impotensi pada pria. Pada wanita, dapat terjadi hiperprolaktinemia.
2.2. Hemodialisis

Hemodialisis merupakan salah satu terapi pengganti bagi individu dengan


penyakit gagal ginjal kronik. Proses dialisis ini ditemukan oleh seorang ahli kimia
Skotlandia Profesor Thomas Graham pada tahun 1854 (Sumpeno A, 2007).
Hemodialisis berasal dari bahasa Yunani, hemo artinya darah, dan dialysis

artinya pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah


dari zat-zat sampah, melalui proses penyaringan dengan membran
semipermeable
diluar tubuh. Hemodialis menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialysis, yang
di kenal secara awam dengan istilah cuci darah (Sumpeno A, 2007).
2.2.1. Definisi dan Tujuan

Hemodialisis adalah suatu cara untuk mengeluarkan produk sisa metabolisme


berupa larutan dan air yang ada pada darah melalui membran semipermeable atau
yang disebut dengan dialyzer. Pada hemodialisis, aliran darah yang penuh dengan
toksin dan nitrogen dialirkan dari tubuh pasien ke dialyzer tempat darah tersebut
dibersihkan dan kemudian dikembalikan lagi ke tubuh pasien (Brunner &
Suddart, 2002).
Tujuan utama terapi hemodialisis adalah mengembalikan keseimbangan cairan
intraseluler dan ekstraseluler yang terganggu akibat dari fungsi ginjal yang rusak
ke keadaan normal (Erwinsyah, 2009).

Gambar 3 : Mesin Hemodialisis (Erwinsyah, 2009).


2.2.1 Prinsip kerja proses Hemodialisis
Hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal
buatan (dialyzer) yang terdiri dari dua compartment yang terpisah. Darah pasien
dipompa dan dialirkan ke compartment satu yang di batasi oleh selaput membran
semipermiable terhadap compartment dua yang dialiri cairan dialysis bebas
pirogen, dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak mengandung
sisa metabolisme nitrogen.
Proses hemodialisis yang terjadi pada membran semipermiable terbagi menjadi
empat proses yaitu difusi, osmosis, ultrafiltrasi, dan konveksi (Erwinsyah,
2009). Melalui proses difusi, molekul dalam darah dapat berpindah ke
dialysate. Proses perpindahan ini terjadi karena adanya perbedaan konsentrasi
larutan, di mana konsentrasi molekul dalam darah lebih besar daripada
konsentrasi dalam dialysate. Osmosis adalah perpindahan air dari tekanan tinggi
(darah) ke tekanan yang rendah (dialysate).
Ultrafiltrasi merupakan proses perpindahan cairan dari compartment darah ke
compartment dialysate melalui membran semipermiable karena adanya perbedaan
tekanan hidrostatik. Saat perpindahan cairan pada proses ultrafiltrasi,

larutan atau molekul yang terlarut dalam cairan tersebut ikut berpindah ke dalam
cairan dialysate. Proses ini disebut konveksi. Proses inilah toksin dan cairan yang
berlebih dari tubuh pasien dapat dikeluarkan, hal ini ditentukan oleh tinggi
rendahnya kecepatan aliran darah (Sudoyo A.W, dkk., 2006).
Darah yang sudah melalui proses hemodialisis akan dikembalikan ke tubuh pasien
melalui akses vena. Akhir terapi dialysis, sisa akhir metabolisme telah
dikeluarkan, keseimbangan elektrolit sudah dipulihkan, gejala pada berbagai
sistem tubuh bisa diminimalkan (Depner T, dkk., 2004).
Proses hemodialisis lengkap dapat terlihat dalam gambar berikut :

Gambar 4 : Sirkuit hemodialisis (Dikutip : Erwinsyah, 2009).


BAB III

TELAAH JURNAL

1. Judul Jurnal

Setiap jurnal harus memiliki judul yang jelas. Dengan membaca judul
akan memudahkan pembaca mengetahui inti jurnal tanpa harus membaca
keseluruhan dari jurnal tersebut. Judul tidak boleh memiliki makna ganda.
Pada judul jurnal sudah terdapat variabel independen dan dependen, yaitu :
Independen : Menghisap es batu
Dependen : Penurunan intensitas rasa haus pasien penyakit ginjal kronik
yang menjalani hemodialisa
Kelebihan Jurnal
1. Judul jurnal sudah baik dan terdiri dari 15 kata, dimana syarat judul
jurnal adalah tidak boleh lebih dari 20 kata, singkat dan jelas. Judul
jurnal menjelaskan tentang Penurunan intensitas rasa haus pasien
penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisa dengan menghisap
es batu, dari judul jurnal kita sudah mengetahui bahwa jurnal ini
menjelaskan tentang penurunan rasa haus pada pasien penyakit kronik
yang menjalani hemodialisa dengan intervensi menghisap es batu.
2. Pada jurnal ini nama penulis sudah ditulis dengan benar, tanpa
menggunakan gelar yaitu : Riana Dewi, Akhmad Mustofa.
3. Pada judul jurnal juga di paparkan penerbit jurnal sehingga kita
mengetahui jurnal ini diterbitkan dari mananya yaitu “Ners Muda”.

1. Abstrak

Abstrak sebuah jurnal berfungsi untuk menjelaskan secara singkat


tentang keseluruhan isi jurnal. Penulisan sebuah abstrak terdiri dari sekitar
250 kata yang berisi tentang latar belakang, tujuan, metode, bahan, hasil, dan
kesimpulan isi jurnal. Terdapat kata kunci juga yang menonjolkan dari judul
jurnal tersebut, sehingga memudahkan dalam penelusuran literatur secara
cepat dan tepat.
Kelebihan Jurnal

1. Jurnal ini memiliki abstrak dengan sangat rinci dan menjelaskan secara
singkat isi jurnal
2. Abstrak pada jurnal ini sudah baik dan berurutan yang terdiri dari latar
belakang sampai hasil kesimpulan penelitian serta kata kunci
Kelemahan Jurnal
Jurnal ini memiliki kata yang kurang dari abstrak yang seharusnya, yaitu
154 kata. Penulisan abstrak yang kurang dapat di jelaskan lebih rinci kembali,
seperti pada metode dimana dapat ditambahkan isinya, seperti bagaimana
sistem perlakuan menghisap batu es dan berapa lama waktu yang dibutuhkan
untuk mendapatkan hasil yang efektif.
2. Pendahuluan

Pendahuluan jurnal terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan


penelitian, penelitian sejenis yang mendukung penelitian dan manfaat
penelitian. Pendahuluan terdiri dari 4-5 paragraf, dimana dalam setiap
paragraf terdiri dari 4-5 kalimat.
Kelebihan Jurnal

1. Pada jurnal ini, sudah terdapat penelitian lain yang sejenis yang
mendukung penelitian jurnal.
2. Pada jurnal ini fenomena yang dibahas adalah tindakan untuk
mengurangi rasa haus dan meminimalkan peningkatan berat badan yaitu
dengan terapi ice cube’s untuk membantu menyegarkan tenggorokan
pada pasien yang menjalani hemodialisa (Dewi & Mustofa, 2021)
3. Pada jurnal ini, sudah terdapat penelitian lain yang sejenis yang
mendukung penelitian jurnal.
Kelemahan Jurnal
Pendahuluan pada jurnal ini tidak menjelaskan terkait manfaat penelitian.
3. Pernyataan Masalah
Dalam jurnal ini terdapat pernyataan masalah yang jelas yaitu
efektivitas pemberian menghisap es batu untuk menurunkan intensitas rasa
haus pada penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dengan
diagnose keperawatan hypervolemia.
4. Tujuan Penelitian
Dalam jurnal ini sudah dipaparkan dengan jelas tujuan penelitiannya
yaitu menganalisis intervensi menghisap es batu terhadap penurunan intensitas
rasa haus pada pasien gagal ginjal kronik.
5. Tinjauan Pustaka
Jurnal ini sudah mencantumkan tinjauan kepustakaan sebagai acuan konsep.

6. Kerangka Konsep dan Hipotesis


Dalam penelitian ini, tidak tercantum kerangka konsep dan hipotesis.
7. Metodologi
Studi kasus ini adalah studi kasus dengan pendekatan asuhan
keperawatan dengan mengaplikasikan evidence-based practice nursing pada
dua pasien kelolaan, yaitu pasien penyakit ginjal kronik di unit Hemodialisa
RS PKU Muhammadiyah Temanggung. Kriteria inklusi penerapan adalah
pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis secara rutin 2 (dua)
kali perminggu dan bersedia menandatan informed consent sebagai responden.
Kedua pasien sebelumnya diberi penjelasan cara meghisap es batu serta
diberikan pre test, kemudian diberikan perlakuan menghisap es batu yang
telah disediakan dengan volume 30 ml selama 10-15 menit, tiap pasien selama
proses dialysis berlangsung dalam 1 (satu) sesi. Setelah selesai perlakuan
pasien dilakukan pengukuran kembali intensitas rasa haus dengan VAS.
8. Sampel dan Instrumen
Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 2 pasien kelolaan, yaitu
pasien penyakit ginjal kronik. Penelitian dilakukan di unit Hemodialisa RS
PKU Muhammadiyah Temenggung. Sampel dalam penelitian ini adalah
pasien penyakit ginjal kronik yang menjalankan hemodialisa rutin 2 kali
perminggu. Instrumen dalam penelitian ini menggunakan instrument Visual
Analogue Scala (VAS) untuk mengukur intensitas rasa haus.
9. Data Analisa
Data Indonesia Renal Registry (IRR) menunjukkan, jumlah pasien
aktif yang menjalani hemodialysis sebanyak 77.892 orang, sementara pasien
baru adalah 0.843 orang. Provinsi Jawa Tengah menempati urutan keenam
dari 23 provinsi, yaitu dengan jumlah tindakan hemodialysis rutin perbulan
sejumlah 65.755 tindakan (PERNEFRI, 2017). Data dari rekam medis RS
PKU Muhammadiyah Temanggung tahun 2019 jumlah pasien penyakit ginjal
kronik 90 orang, dan pasien aktif yang menjalani hemodialisa 62 orang setiap
bulannya. Instrumen penerapan menggunakan Visual Analogue Scale (VAS)
untuk mengukur intensitas rasa haus.
Instrumen VAS menggunakan rank dari 0-10. Nilai 0 menunjukkan
tidak haus dan 10 menunjukkan sangat haus sekali, skor VAS . Kedua pasien
sebelumnya diberi penjelasan cara meghisap es batu serta diberikan pre test,
kemudian diberikan perlakuan menghisap es batu yang telah disediakan
dengan volume 30 ml selama 10-15 menit, tiap pasien selama proses dialysis
berlangsung dalam 1 (satu) sesi. Setelah selesai perlakuan pasien dilakukan
pengukuran kembali intensitas rasa haus dengan VAS. Diklasifikasikan
menjadi haus ringan (1-3),haus sedang (4-6), dan haus berat (7-10).
10. Hasil
Studi kasus ini di lakukan pada pasien dengan diagnose penyakit ginjal
kronis (PGK) di RS PKU Muhammadiyah Temanggung Ruang Hemodialisa.
Pasien satu, usia 37 tahun, laki-laki, dengan keluhan perut sebah, terasa tidak
nyaman, mual, merasa haus skala 6, berat badan naik 5 kg, sebelumnya berat
badan 52 kg saat ini 57 kg. Pasien tidak mempunyai riwayat hipertensi, atau
DM. Pemeriksaan fisik kesadaran komposmentis, TD : 186/100 mmHg, HR :
59 x/mnt, RR : 24 x/mnt, S : 36.2 C, SPO2 : 96 %. Ada edema minimal di
kedua kaki, terpasang Arteriovenous (AV) shunt di tangan kiri kondisi baik,
diit pasien rendah protein, jumlah makan 3 x sehari, minum tidak terkendali
karena sering merasa haus, bisa 1 liter tiap harinya, dan kadang juga minum
kopi, buang air kecil terakhir hari kamis atau 4 hari yang lalu, dengan jumlah
sedikit, warna kuning pekat, balance cairan (BC) + 630 ml. Pasien terdiagnosa
PGK sudah 3 tahun, dan menjalani hemodialisa sebanyak 295 kali
Pasien dua usia 67 tahun, laki-laki, dengan keluhan kulit terasa gatal-
gatal dan kering, merasa haus skala 5, berat badan naik 3 kg, sebelumnya 58
kg saat ini 61 kg. Pemeriksaan fisik kesadaran komposmentis, TD : 152/81
mmHg, HR : 78 x/mnt, RR : 20 x/mnt, S : 36.4 C, SPO2 : 97 %. Tidak ada
edema, terpasang Arteriovenous (AV) shunt di tangan kiri kondisi baik. Diit
pasien rendah protein, jumlah makan 3 x perhari, minum sekitar 3 gelas
perhari, buang air kecil terakhir 2 hari yang lalu dengan jumlah yang sedikit,
warna kuning pekat, balance cairan (BC) +215 ml, kulit tampak kering. Pasien
terdiagnosa PGK sudah 2 tahun dan menjalani hemodialisa sebanyak 198 kali.
Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien 1 dan pasien 2 adalah
hipervolemia. Hipervolemia berhubungan dengan gangguan mekanisme
regulasi ginjal dijadikan sebagai prioritas masalah yang perlu penanganan
khusus yaitu dengan hemodialisis. Hipervolemia akan menurunkan kualitas
hidup pasien karena timbulnya berbagai komplikasi seperti permasalahan
kardiovaskuler, terjadinya penambahan berat badan, edema pulmo,
peningkatan tekanan darah dan sesak nafas, sehingga perlu dilakukan
intervensi pembatasan cairan dengan menghisap es batu untuk menurunkan
intensitas rasahaus pasien. Jumlah cairan yang dikonsumsipasien penyakit
ginjal kronik harus dijagadan dipatuhi. Parameter yang efektif agar bisa
terkontrol adalah dengan berat badan pasien itu sendiri.
Hasil pengkajian didapatkan data tentang asupan cairan ≥ 600 ml/hari.
Adapun IDWG pada pasiensatu yaitu 8,7 % dan pasien ke dua 4,9
%.Penerapan menghisap es batu dengan volume 30 ml tiap pasien selama
proses dialysis berlangsung dalam 1 (satu) sesi. Hasil penerapan menunjukkan
terjadi penurunan intensitas haus dari sedang ke ringan, untuk pasien 1 dari
intensitas 6 (sedang) menjadi 3 (ringan), pasien 2 dari intensitas 5 (sedang)
menjadi 2 (ringan). Jumlah cairan yang dikonsumsi perhari menjadi
berkurang, pasien 1 yang sebelumnya minum 1 liter perhari menjadi minum
800 ml atau empat gelas sehari, sedang pasien 2 sebelumnya minum 600 ml
perhari menjadi minum sekitar 400 ml atau dua gelas sehari.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
B. Saran

Anda mungkin juga menyukai