Anda di halaman 1dari 42

KEPERAWATAN KRITIS

PEMENUHAN MOBILISASI AKTIF DAN PASIF PADA PASIEN DENGAN


GANGGUAN ADAPTASI TEKANAN INTRAKRANIAL

Disusun Oleh:
1. Jihan Pratiwi P27820821031
2. Joanningrum P27820821032
3. Juni Sutji Asmara P27820821033
4. Maria Putri P P27820821034
5. Marszha Sofva A P27820821035
6. Moh. Dikky S W P27820821036
7. Nadiyah Hasanah P27820821037
8. Nindyta Salsabilla A P27820821038
9. Novanda Virdiany P P27820821039
10. Nur Indah W J P27820821040
11. Nur Hasanah P27820821041
12. Nuris Fitria Hardiyanti P27820821042
13. Nuriyah S.ST P27820821043
14. Qonita P27820821044
15. Rahmita Alfinda P27820821045

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PRODI PROFESI NERS
2021

1
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
Keperawatan Kritis ini Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Keperawatan Kritis Program Studi Profesi Ners. Dalam menyusun makalah ini,
penulis mendapatkan bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Dalam hal ini,
penulis mengucapkan terimakasih. Penulis menyadari dalam penyusunan makalah ini
banyak kekurangan yang penulis lakukan. Oleh karena itu dengan kerendahan hati, penulis
sangat mengharap adanya kritik dan saran untuk perbaikan di masa mendatang.

Surabaya, 13 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar 2
Daftar isi……………………………………………………………………………….3
BAB 1 Pendahuluan …………………………………………………………………..4
1.1 Latar belakang …………………………………………………………………….4
1.2 Rumusan Masalah ………………………………………………………………...4
1.3 Tujuan …………………………………………………………………………….4
1.4 Manfaat……………………………………………………………………………5
BAB 2 Tinjauan Pustaka ……………………………………………………………..6
2.1 Konsep Mobilisasi dan Imobilisasi……………………………………………….7
2.1.1 Definisi Mobilisasi dan Imobilisasi …………………………...…………....8
2.1.2 Faktor yang mempengaruhi mobilisasi dan imobilisasi ……...…………….10
2.1.3 Perubahan Sistem tubuh akibar imobilisasi ………………………………...12
2.1.4 Penatalaksanaan Gangguan mobilitas………………………….……………14
2.2 Konsep Dasar Tekanan Intrakranial………………………………………………15
2.2.1 Definisi Tekanan Intrakranial ………………………………………………17
2.2.2 Konsep Tekanan Intrakranial ……………………………………………….23
2.2.3 Etiologi Tekanan Intrakranial ………………………………………………27
2.2.4 Patofisiologi Tekanan Intrakranial …………………………………………30
2.2.5 Manifestasi Klinis Tekanan Intrakranial ……………………………………32
2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik Tekanan Intrakranial ……………………………..33
2.2.7. Penatalaksanaan Tekanan Intrakranial …………………………………….34
2.3 Penatalaksanaan ROM Aktif pada pasien dengan gangguan adaptasi TIK ………36
BAB 3 Kesimpulan dan Saran ………………………………………………………..38
Daftar Pustaka ………………………………………………………………………..39

3
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Pendahuluan
Otak merupakan jaringan tubuh yang mempunyaii tingkat metabolism tinggi, hanya
dengan berat kurang dari 2% dari berat badan, memerlukan cardiac output dan menyita
oksigen yang beredar ditubuh, serta membutuhkan 25% dari seluruh glukosa dalam tubuh.
Pada keadaan kritis akan terjadi peningkatan kebutuhan bahan – bahan metabolism tersebut.
Dengan demikian apabila suplai bahan – bahan untuk metabolism otak terganggu tentunya
akan menybabkan terjadinya kerusakan jaringan otak yang dapat berakibat kematian dan
kerusakan permanen.
Ruang didalam kepala dibatasi oleh struktur yang kaku, semua kompartemen
intracranial ini tidak dapat dimampatkan, hal ini dikarenakan volume intrakraniall yang
konstan. Oleh karena itu bila terdapat kelainan pada salah satu isi yang mempengaruhi
peningkatan volume didalamnya akan terjadi peningkatan tekanan intra kranial setelah
batas kompensasi terlewati.
Latihan Range of Motion Aktif adalah suatu bentuk latihan yang dapat mencegah
terjadinya kecacatan pada penderita yang digunakan untuk mempertahankan atau
memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan untuk menggerakkan persendian secara
normal dan lengkap untuk meningkatkan masa otot dan tonus otot. ROM Aktif merupakan
latihan yang dilakukan dengan cara klien menggunakan lengan atau tungkai yang
berlawanan dan lebih kuat atau dengan bantuan gaya dari luar, seperti therapis, alat
mekanis, atau bagian tubuh pasien yang kuat sebagai tumpuan untuk menggerakkan setiap
sendi pada ekstremitas yang tidak mampu melakukan gerakan aktif.
Latihan Range of Motion Pasif adalah gerakan perawat atau petugas lain yang
menggerakkan persendian pasien sesuai dengan rentang geraknya. Latihan ROM
merupakan rehabilitsasi awal dalam pemenuhan mobilisasi. ROM Aktif dan Pasif
memberikan efek pada fungsi motoric pada anggota geras ekstremitas.Latihan ROM pasif
dapat diberikan dalam bentuk program latihan dirumah terlebih dahlu memberikan edukasi
pada keluarga penderita.
Dari masalah yang ditemukan, perawat berperan penting dalam memberikan
pemenuhan mobilisasi aktif dan pasif pada pasien dengan gangguan tekanan intakranial
sehingga membutuhkan pelayanan yang komprehensif.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa Konsep mobilisasi dan impobilisasi?
2. Apa factor yang mempengaruhi mobilisasi dan imobilisasi?
3. Apa saja perubahan system tubuh akibat mobilisasiBagaimana penatalaksanaan gangguan
mobilitas?
4. Apa konsep dasar Tekanan Intrakranial?
5. Apa saja factor tekanan intra kraninal?

4
6. Bagaimana penatalaksanaan tekanan intracranial?
7. Bagaimana penatalaksanaan rom aktif pada pasien dengan gangguan adaptasi
tekanan intracranial?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui Konsep mobilisasi dan impobilisasi
2. Untuk mengetahui factor yang mempengaruhi mobilisasi dan imobilisasi
3. Untuk mengetahui saja perubahan system tubuh akibat mobilisasiBagaimana
penatalaksanaan gangguan mobilitas
4. Untuk mengetahui konsep dasar Tekanan Intrakranial
5. Untuk mengetahui saja factor tekanan intra kraninal
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan tekanan intracranial
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan rom aktif pada pasien dengan gangguan adaptasi
tekanan intracranial

1.4 Manfaat
Memberikan informasi dan menambah wawasan kepada pembaca tentang pemenuhan
mobilisasi aktif dan pasif pada pasien dengan gangguan tekanan intracranial.

5
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Mobilisasi dan Imobilisasi


a) Pengertian mobilisasi

Mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara


bebas, mudah dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas
guna mempertahankan kesehatannya (Haswita dan Reni Sulistyawati, 2017).
Jenis mobilisasi yaitu:

1) Mobilitas penuh, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak secara


penuh dan bebas sehingga dapat melakukan intraksi sosial dan
menjalankan peran sehari-hari. Mobilitas penuh ini merupakan fungsi saraf
motorik valunter dan sensorik untuk dapat mengontrol seluruh area tubuh
seseorang.
2) Mobilitas sebagian, merupakan kemampuan seseorang untuk bergerak
dengan batasan jelas dan tidak mampu bergerak secara bebas karena di
pengaruhi oleh gangguan saraf motorik dan sensorik pada area tubuhnya.
Hal ini dapat dijumpai pada kasus cidera atau patah tulang dengan
pemaasangan traksi.
b) Pengertian imobilisasi

Imobilsasi merupakan keadaan dimana seseorang tidak dapat bergerak


secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktivitas),
misalnya mengalami trauma tulang belakang, cidera otak berat disertai fraktur
pada ekstremitas dan sebagainya. Jenis imobilisasi yaitu:
1) Imobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak seacara fisik
dengan tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan.

2) Imobilitas intelektual, Merupakan keadaan ketika seseorang mengalami

6
keterbatasan daya fikir.
3) Imobilitas emosional, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami
pembatasan secara emosional karena ada perubahan secara tiba-tiba dalam
menyesuaikan diri.
4) Imobilitas sosial, ,merupakan keadaan individu yang mengalami hambatan
dalamm melakukan intraksi sosial karena keaadaan penyakitnya, sehingga
dapat mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.

2.2 Faktor yang Mempengaruhi mobilisasi dan imobilisasi

Mobilitas seseorang dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:


a. Gaya hidup

Perubahan gaya hidup dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas


seseorang karena gaya hidup berdampak pada prilaku atau kebiasaan sehari-
hari.
b. Proses penyakit/cidera

Proses penyakit dapat mempengaruhi kemampuan mobilitas karena dapat


mempengaruhi fungsi sistem tubuh. Sebagai contoh, orang yang menderita
fraktur femur akan mengalami keterbatasan pergerakan dalam ekstremitas
bagian bawah.
c. Kebudayaan

Kemampuan melakukan mobilitas dapat juga dipengaruhi kebudayaan.


Sebagai contoh, orang yang memiliki budaya sering berjalan jauh memiliki
kemampuan mobilitas yang kuat. Sebaliknya ada orangyang mengalami
gangguan mobilitas (sakit) karena adat dan budaya tertentu dilarang untuk
beraktivitas.
d. Tingkat energi

Energi adalah sumber untuk melakukan mobilitas.Agar seseorang dapat


melakukan mobilitas dengan baik dibutuhkan energi yang cukup

7
e. Usia dan status perkembangan

Terdapat perbedaan kemampuan mobilitas pada tingkat usia yang berbeda,


hal ini dikarenakan kemampuan atau kematangan fungsi alat gerak sejalan
dengan perkembangan usia.
2.3 Perubahan Sistem Tubuh Akibat Imobilisasi

Dampak dari imobilisasi dalam tubuh dapat mempengaruhi sistem tubuh,


seperti perubahan pada metabolisme tubuh, ketidak seimbangan cairan dan
elektrolit, gangguan dalam kebutuhan nutrisi, gangguan fungsi gastrointestinal,
perubahan sistem pernapasan, perubahan kardiovaskuler, perubahan sistem
muskuloskeletal, perubahan kulit, perubahan eliminasi (buang air besar dan kecil)
dan perubahan prilaku.
a. Perubahan metabolisme

Secara umum mobilitas dapat mengganggu metabolisme secara normal,


mengingat imobilisasi dapat menyebabkan turunnya kecepatan metabolisme
dalam tubuh, hal tersebut dapat kita jumpai pada menurunnya basal
metabolisme rate yang menyebabkan energi untuk perbaikan sel-sel berkurang,
sehingga dapat mempengaruhi ganggguan dalam oksigenasi sel.
Kemudian dalam perubahan metabolisme imobilitas dapat
mengakibatkan proses anabolisme menurun dan katabolisme meningkat,
keadaan ini dapat berisiko meningkatkan gangguan dalam metabolime. Dalam
prose imobilisasi juga dapat menyebabkan menurunnya ekskresi urin dan
meningkatnya nitrogen, hal tersebut ditemukan pada pasien yang mengalami
imobilitas pada hari ke lima dan ke enam. Beberapa dampak perubahan
metabolisme, atropi kelenjar dan katabolisme protein, dalam mengubah zat gizi
dan gangguan gastrointestinal.
b. Ketidak seimbangan cairan dan elektrolit

Sebagai dampak dari imobilitas karena selama proses imobilitas akan


terjadi persediaan protein menurun dan konsentrasi protein serum akan

8
berkurang sehingga dapat mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Disamping itu
berkurangnya perpindahan cairan dari intravaskular ke interstitial dapat
menyebabkan edema sehingga terjadi ketidak seimbangan cairan dan elektrolit.
c. Gangguan perubahan zat gizi

Disebabkan menurunnya pemasukan protein dan kalori sehingga


menyebabkan zat-zat makanan pada tingkat sel akan menurun, dimana sel
tidak lagi

menerima glukosa, asam amino, lemak dan oksigen dalam jumlah yang cukup
untuk melakukan aktifitas metabolisme.
d. Gangguan fungsi gastrointestinal

Imobilisasi dapat menurunkan hasil makanan yang dicerna, disamping


menurunnya jumlah pemasukan yang cukup dapat menyebabkan keluhan,
seperti :

perut kembung, mual, nyeri gastrik yang dapat menyebabkan gangguan proses
eliminasi.
e. Perubahan sistem pernapasan

Karena dengan imobililisasi kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru


menurun, terjadi pelemahan otot, terganggunya metabolisme. Terjadinya
penurunan kadar hemoglobin dapat berdampak pada pengaliran oksigen dari
alveoli di paru ke jaringan menurun sehingga dapat menyebabkan terjadinya.
Ekspansi paru menurun dapat terjadi karena tekanan yang meningkat oleh
permukaan paru.
f. Perubahan kardiovaskular

Terjadinya othostatic hipotensi, meningkatnya kerja jantung dan terjadi


pembentukan thrombus. Terjadimya othostatic hipotensi dapat disebabkan
kemampuan saraf otonom menurun pada posisi tetap dan waktunya lama maka
reflex neuropaskular pada vena bagiah bawah sehingga aliran darah ke sistem
sirkulasi pusat terhambat. Meningkatnya kerja jantung dapat disebabkan

9
karena imobilitas dengan posisi horizontal. Secara normal darah terkumpu
pada ekstremitas bawah bergerak dan meningkatkan aliran vena kembali ke
jantung dn akhirnya jantung akan meningkatkan kerjanya. Terjadinya
thrombus juga disebabkan karena meningkatnya vena statis yang merupakan
penurunan kontraksi moskular sehingga meningkatkan arus balik vena.
g. Perubahan sistem muskuloskeletal

Pertama gangguan moskular yakni menurunnya masa otot sebagai


dampak imobilisasi dapat menyebabkan menurunnya kekuatan seecara
langsung, menurunnya fungsi kapasitas otot yang ditandai dengan menurunnya
stabilitas. Kondisi berkurangnya masa otot dapat menyebabkan atropi pada
otot, sebagai contoh otot betis seseorang yang dirawat lebih dari enam minggu
maka akan memperlihatkan ukuran yang lebih kecil diamping menunjukkan
adanya kelemahan, dan kelesuan. Kedua, gangguan skeletal yakni adanya
imobilisasi juga dapat menyebabkan gangguan dalam skeletal misalnya akan
mudah terjadi kontraktur sendi, osteoporosis.
Kontraktur merupakan kondisi yang abnormal dengan kriteria dengan
adanya fleksi dan fleksasi yang disebabkan atropi dan memendeknya otot.
Terjadinya kontraktur dapat menyebabkan sendi dalam kedudukan yang tidak
berfungsi sedangkan osteoporosis dapat terjadi karena reabsorbsi tulang
semakin besar yang mengakibatkan jumlah kalsium kedalam darah menurun,
sedangkan jumlah kalsium dikeluarkan melalui urin semakin besar.
h. Perubahan sistem kulit

Menurunnya elastisitas kulit, karena menurunnya sirkulasi darah


sebagai akibat imobilisasi, kemudian terjadi iskemia dan nekrosis jaringan
superfisial dengan adanya luka decubitus sebagai akibat kulit yang kuat dan
sirkulasi yang menurun ke jaringan.
i. Perubahan eliminasi

Terjadi pembentukan julah urine yang berkurang hal ini kemungkinan


yang disebabkan karena intake yang kurang dan perubahan kardiak output

10
menurun sehingga aliran darah renal berkurang dan urine berkurang.

j. Perubahan prilaku

Adanya rasa bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi,


perubahan sirkulasi tidur dan menurunnya koping mekanisme. Terjadinya
perubahan prilaku tersebut diatas sebagai dampak imobilisasi karena selama
mobilisasi seorang akan mengalami perubahan peran, konsep diri, kecemasan
dan lain- lainnya.

2.4 Penatalaksanaan Gangguan Mobilitas

Menurut Stanley dan Beare (2007), penatalaksanaan gangguan mobilitas


yaitu pencegahan primer.
a. Pencegahan primer

Pencegahan primer merupakan prose yang berlangsung sepanjang


kehidupan, mobilitas dan aktivitas pada fungsi sistem muskuloskeletal,
kardiovaskuler, dan pulmonal. Salah satu terobosan dalam promosi kesehatan
adalah pengenalan dan penerimaan latihan sebagai komponen integral dari
kehidupan sehari-hari. Latihan sangat bermanfaat baik bagi lansia yang sehat
maupun untuk mereka yang mengalami masalah fisik secra teratur dapat
menunda proses penuaan, dihubungkan dengan perasaan sejahtera,
memperpanjang usia dan peningkatan fungsi kardiovaskuler dan pulmonal.
Aktivitas dan latihan yang dianjurkan dapat meningkat tingkat energi,
mempertahankan mobilitas dan meningkatkan kemampuan kardiovaskuler dan
pulmonal. Walaupun latihan tidak akan mengubah rangkaian proses penuaan
normal,
hal tersebut dapat mencegah efek mobilitas yang merusak dan gaya hidup yang
kurang gerak.
Lansia mengalami peningkatan status kesehatan yang signifikan dengan
aktivitas fisik yang rendah sampai sedang dalam waktu luangnya ketika

11
aktivitas-aktivitas ini dipraktikkan secara teratur dan dengan durasi serta
intensitas yang sesuai. Sebagai suatu hasil dari latihan, sistem kardiopulmonal
memperoleh fungsi secara keseluruhan, sistem musculoskeletal menunjukkan
fleksibilitas yang lebih besar, kebiasan nutrisi meningkat, dan upaya-upaya
mengendalikan berat badan dapat ditingkatkan, program latihan juga dapat
dihubungkan dengan peningkatan mood atau tingkat ketegangan, ansietas, dan
depresi.
1) Latihan rentang gerak ROM (Range of motion)

a) Pengertian ROM

ROM adalah jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan


sendi pada salah satu dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital,
transversal, dan frontal. Potongan sagital adalah garis yang melewati
tubuh dari depan ke belakang, membagi tubuh menjadi bagian kiri dan
kanan. Potongan frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi
tubuh menjadi bagian depan ke belakang. Potongan transversal adalah
garis horizontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan bawah
(Potter & Perry, 2005).
Mobilisasi sendi disetiap potongan dibatasi oleh ligamen, otot,
dan konstruksi sendi. Beberapa gerakan sendi adalah spesifik untuk
setiap potongan. Pada potongan sagital, gerakannya adalah fleksi dan
ekstensi (jari-jari tangan dan siku) dan hiperekstensi (pinggul). Pada
potongan frontal, gerakannya adalah abduksi dan adduksi (lengan dan
tungkai) dan eversi dan inversi (kaki).Pada potongan transversal,
gerakannya adalah pronasi dan supinasi (tangan), rotasi internal dan
eksternal (lutut), dan dorsi fleksi dan plantar fleksi (kaki) (Potter &
Perry, 2005).
Ketika mengkaji rentang gerak, perawat menanyakan
pertanyaan dan mengobservasi dalam mengumpulkan data tentang
kekakuan sendi, pembengkakan, nyeri, keterbatasan gerak, dan gerakan

12
yang tidak sama. Klien yang memiliki keterbatasan mobilisasi sendi
karena penyakit, ketidakmampuan, atau trauma membutuhkan latihan
sendi untuk mengurangi bahaya imobilisasi (Potter & Perry, 2005).
Pengertian ROM lainnya adalah latihan gerakan sendi yang
memungkinkan terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, dimana klien
menggerakan masing-masing persendiannya sesuai gerakan normal
baik secara aktif ataupun pasif. Latihan range of motion (ROM) adalah
latihan yang dilakukan untuk mempertahankan atau memperbaiki
tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakan persendian secara
normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot
(Potter & Perry, 2005).
b) Tujuan ROM

Adapun tujuan dari ROM, yaitu:

1 Meningkatkan atau mempertahankan leksibiltas dan kekuatan


otot
2 Mempertahankan fungsi jantung dan pernapasan.

3 Mencegah kekakuan pada sendi.

4 Merangsang sirkulasi darah.

5 Mencegah kelainan bentuk, kekakuan dan kontraktur.

c) Manfaat ROM

Adapun manfaat dari ROM, yaitu:

1 Menentukan nilai kemampuan sendi tulang dan otot dala


melakukan pergerakan.
2 Mengkaji tulang, sendi, dan otot.

3 Mencegah terjadinya kekakuan sendi.

4 Memperlancar sirkulasi darah.

13
5 Memperbaiki tonus otot.

6 Meningkatkan mobilisasi sendi.

7 Memperbaiki toleransi otot untuk latihan.

d) Prinsif latihan ROM

Adapun prinsip latihan ROM, diantaranya:

1 ROM harus diulang sekitar 8 kali dan dikerjakan minimal kali


sehari.
2 ROM di lakukan berlahan dan hati-hati sehingga tidak
melelahkan pasien.
3 Dalam merencanakan program latihan ROM, perhatikan umur
pasien, diagnosa, tanda-tanda vital dan lamanya tirah baring.
4 Bagian-bagian tubuh yang dapat di lakukan latihan ROM
adalah leher, jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan
pergelangan kaki.
5 ROM dapat di lakukan pada semua persendian atau hanya pada
bagian-bagian yang di curigai mengalami proses penyakit.
6 Melakukan ROM harus sesuai waktunya. Misalnya setelah
mandi atau perawatan rutin telah di lakukan.
e) Jenis-jenis ROM

ROM dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:

1 ROM aktif

ROM aktif yaitu gerakan yang dilakukan oleh seseorang (pasien)


dengan menggunakan energi sendiri. Perawat memberikan
motivasi, dan membimbing klien dalam melaksanakan
pergerakan sendiri secara mandiri sesuai dengan rentang gerak
sendi normal (klien aktif). Kekuatan otot 75 %.
Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot serta sendi

14
dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif. Sendi
yang digerakkan pada ROM aktif adalah sendi di seluruh tubuh
dari kepala sampai ujung jari kaki oleh klien sendri secara aktif.

2 ROM pasif

ROM pasif yaitu energi yang dikeluarkan untuk latihan berasal


dari orang lain (perawat) atau alat mekanik. Perawat melakukan
gerakan persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang
normal (klien pasif) Kekuatan otot 50 %.
Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar,
pasien dengan keterbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan
beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri,
pasien tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas
total (Suratun, dkk, 2008).
Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga kelenturan otot-
otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain secara
pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki
pasien. Sendi yang digerakkan pada rom pasif adalah seluruh
persendian tubuh atau hanya pada ekstremitas yang terganggu
dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri.
Indikasi latihan pasif adalah pasien semikoma dan tidak sadar,
pasien denganketerbatasan mobilisasi tidak mampu melakukan
beberapa atau semua latihan rentanggerak dengan mandiri, pasien
tirah baring total atau pasien dengan paralisisekstermitas total
(suratun, dkk, 2008).Rentang gerak pasif ini berguna untuk
menjaga kelenturan otot-otot dan persendian dengan
menggerakkan otot orang lain secara pasif misalnya
perawatmengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi yang
digerakkan pada ROM pasifadalah seluruh persendian tubuh atau

15
hanya pada ekstremitas yang terganggu danklien tidak mampu
melaksanakannya secara mandiri.

f) Indikasi dan sasaran ROM


1)ROM Aktif
Indikasi:
(a) Pasien dapat melakukan kontraksi otot secara aktif dan
menggerakkan ruas sendinya baik dengan bantuan atau tidak.
(b) Pasien memiliki kelemahan otot dan tidak dapat
menggerakkan persendian sepenuhnya, digunakan AAROM
(Active-Assistive ROM), adalah jenis ROM Aktif yang mana
bantuan diberikan melalui gaya dari luar apakah secara manual
atau mekanik, karena otot penggerak primer memerlukan bantuan
untuk menyelesaikan gerakan)
(c) ROM aktif dapat digunakan untuk program latihan aerobik.
(d) ROM aktif digunakan untuk memelihara mobilisasi ruas
diatas dan dibawah daerah yang tidak dapat bergerak.
Sasaran:
(a) Apabila tidak terdapat inflamasi dan kontraindikasi, sasaran
ROM aktif serupa dengan ROM pasif.
(b) Keuntungan fisiologis dari kontraksi otot aktif dan
pembelajaran gerak dari kontrol gerak volunter.
2) ROM pasif
Indikasi:
(a) Pada daerah dimana terdapat inflamasi jaringan akut yang
apabila dilakukan pergerakan aktif akan menghambat proses
penyembuhan.
(b) Ketika pasien tidak dapat atau tidak diperbolehkan untuk

16
bergerak aktif pada ruas atau seluruh tubuh, misalnya keadaan
koma, kelumpuhan atau bed rest total.
Sasaran:
(a) Mempertahankan mobilitas sendi dan jaringan ikat.
(b) Meminimalisir efek dari pembentukan kontraktur.
(c) Mempertahankan elastisitas mekanis dari otot.
(d) Membantu kelancaran sirkulasi.
(e) Meningkatkan pergerakan sinovial untuk nutrisi tulang rawan
serta difusi persendian.
(f) Menurunkan atau mencegah rasa nyeri.
(g) Membantu penyembuhan pasca cedera dan operasi.
(h) Membantu mempertahankan kesadaran akan gerak dari pasien

2.2 Konsep Dasar TIK (Tekanan Intrakranial)


2.2.1 Definisi
Peningkatan tekanan intracranial atau hipertensi intracranial adalah suatu
keadaan terjadinya peningkatan tekanan intracranial sebesar > 15 mmhg atau
> 250 mmH2O. Peningkatan tekanan intracranial merupakan komplikasi
yang serius biasanya terjadi pada trauma kepala, perdarahan subarahnoid,
hidrosefalues, SOL, infeksi intracranial, hipoksia dan iskemi pada otak yang
dapat menyebabkan herniasi sehingga bias terjadi henti nafas dan henti
jantung (Hudak & Gallo, 2000). Peningkatan tekanan intracranial adalah
suatu peningkatan diatas normal dari tekanan cairan serebrospinal di dalam
ruangan subaraknoid. Normalnya tekanan intracranial adalah 80-180 mm air
atau 0-15 mmHg.
2.2.2 Konsep Tekanan Intrakranial
a. Hipotesis moro-kelli
Diruang intracranial terdapat 3 komponen yaitu: jaringan otak (80%),
cairan serebrospinal (10%). Pada saat kondisi normal Tekanan
Intrakranial (TIK) dipertahankan tekanannya dibawah 15 mmHg.

17
Sebagai dasar untuk memahami tentang fasiologi TIK adalah dengan
hipotesis morokelli. Maksud dari hipotesis ini adalah bahwa suatu
peningkatan volume dari suatu komponen intracranial harus di
kompensasi dengan suatu penurunan satu atau lebih dari komponen yang
lain sehingga volume total tetap dipertahankan. Kompensasi ini dapat
dilakukan namun mempunyai batas, yaitu dengan cara pemindahan
cairan serebrospinal dari ruang intracranial menuju ruang lumbal,
meningkatan absorbsi cairan serebrospinal dan menekan agar tekanan
system pena lebih rendah. ( Corwin, Elizabeth J, 2009).
b. Lengkung Volume Tekanan
Pada otak sanggup mengembang, menunjukkan adanya peningkatan
volume intracranial dapat ditoleransi tanpa harus meningkatkan tekanan
intracranial (TIK). Namun bagaimana pun juga kemampuan
pengembang intracranial ada batasnya. Sekalipun ini dibatasi, suatu
keadaan dekompensasi dilakukan pada saat meningkatnya TIK.
Hubungan antara volume dengan perubahan tekanan intracranial dan
peningkatan kecil. Gambaran dalam kurva ini juga dipengaruhi oleh
penyebab dan kecepatan peningkatan volume dalam ruang intracranial,
misalnya para klien dengan epidural hematoma akut akan menunjukkan
kemunduran neurologi yang lebih cepat bila dibandingkan dengan klien
meningioma dan ukurannya sama. (Corwin, Elizabeth J, 2009)
c. Aliran Darah Serebral dan autoregulasi
Aliran darah serebral sebanding dengan permintaan untuk kebutuhan
metabolisme dari otak. Meskipun hanya 2% dari berat badan, memerluka
15-20% kardiak ouput dalam keadaan istirahat dan 15% kebutuhan
oksigen tubuh. Dahulu diyakini bahwa aliran darah serebral tergantung
pada tekanan arterial pasif. Bagaimana pun otak secara normal
mempunyai suatu kapasitas kompleks untuk mempertahankan secara
konstan aliran darah meskipun jarak perbedaan yang jauh dari tekanan
arteri adalah suatu efek dari sutau auto regulasi. Tekanan arteri rata-rata

18
(mean arterial pressure/MAP) 50-150 mmHg tidak merubah aliran darah
menuju serebral pada saat mata autoregulasi. Diluar batas atau regulasi,
aliran darah serebral adalah kondisi akibat asidosis, alkalosis dan
perubahan dalam kecepatan metabolic. Kondisi penyebab alkalosis
(hipokapnia) menyebabkan kontreksi pembuluh darah serebral. Suatu
penurunan kecepatan metabolisme (misalnya hipotermia dan karbiturat)
menurunkan aliran darah serebral dan meningkatkan kecepatan
metabolisme menyebabkan meningkatnya aliran darah serebral. (Corwin,
Elizabeth J, 2009)
d. Tekanan Perfusi Serebral
Sangat sulit mengukur aliran darah serebral di dalam klinik. Tekanan
perfusi serebral adalah suatu tekanan taksiran, dimana merupakan
gradien tekanan darah yang melintasi otak dan dihitung sebagai
perbedaan antara arteri rata-rata/ mean arterial pleasure (MAP) yang
masuk dengan tekanan intrkranial/ intracranial pleasure (ICP) pada
arteri. CCP pada orang dewasa sekitar 80-100 mmHg, dengan range
antara 80-150 mmHg. CCP dapat dipertahankan mendekati 60 mmHg
untuk memberikan kebutuhan darah ke otak secara adekuat. Jika tekanan
perfusi serebral menurun nilainya maka akan terjadi ischemia. Tekanan
perfusi 30 mmhg atau dibawahnya akan menyebabkan hipoksia neuronal
atau kematian sel. (Corwin, Elizabeth J, 2009)
2.2.3 Etiologi
Penyebab peningkatan intracranial :
a. Space occupying yang meningkatkan volume jaringan
1. Konstusio Cerebri
2. Hematoma
3. Infark
4. Abses
5. Tumor intracranial
b. Masalah serebral

19
1. Peningkatan produksi cairan serebrospinal
2. Bendungan system ventricular
3. Menurun absorbs cairan serebrospinal
c. Edema serebral
1. Penggunaan zat kontras yang merubah homestasis otak
2. Hidrasi yang berlebihan dengan menggunakan larutan hipertonik
3. Pengaruh trauma kepala

Factor-faktor yang dapat meningkatkan tekanan intracranial adalah :

1. Hiperkapnia dan hipoksemia


2. Obat-obatan vasodilasi yang meningkatkan aliran darah ke otak
(misalnya nicotinic acid, histamine, hydrochloride)
3. Valsava manufer (mengedan pada saat buang air besar dan turun dari
tempat tidur)
4. Posisi tubuh seperti kepala lebih rendah, tengkurap, fleksi, ekstrim
panggul dan fleksi leher.
5. Kontraksi otot isometric, gerakan kaki mendorong papan kaki atau
mendorong tempat tidur dengan satu tangan
6. Rapid Eye movement (REM) sleep yang terjadi dengan mimpi
7. Keadaan yang merangsang emosional klien (merasa seduh dengan
penyakitnya ketidak berdayaan)
8. Rangsangan berbahaya, misalnya tertekuknya selar kateter, nyeri saat
tindakan medis).

2.2.4 Patofisiologi
Peningkatan tekanan intracranial adalah suatu mekanisme yang di
akibatkan oleh beberapa kondisi neurologi. Ini sering terjadi secara tiba-tiba
dan memerlukan intervensi pembedahan. Isi dari tengkorak kepala, atau isi
kranial adalah jaringan otak, pembuluh darah dan cairan serebrospinal. Bila

20
terjadi peningkatan satu dari isi kranial mengakibatkan peningkatan tekanan
intracranial, sebab ruang intracranial keras, tertutup, tidak bias berkembang.
Peningkatan satu dari beberapa isi kranial biasanya disertai dengan
pertukaran timbal balik dalam satu volume yang satu dengan yang lain.
Jaringan otak tidak bias berkembang tanpa berpengaruh serius pada aliran
dan jumlah cairan serebrospinal dan sirkulasi serebral. Space accupying
lesions (SAL) menggantikan dan merubah jaringan otak sebagai suatu
peningkatan tekanan. Peningkatan tekanan dapat secara lambat
(sehari/seminggu) atau secara cepat, hal ini tergantung pada penyebabnya.
Pada pertama kali satu hemisphere dari otak akan di pengaruhi, tetapi pada
akhirnya kedua hemisphere akan di pengaruhi. Peningkatan tekanan
intracranial dalam ruang kranial pada pertama kali dapat di kompensasi
dengan menekan vena dan pemindahan cairan serebrospinal. Bila tekanan
makin lama makin meningkat, aliran darah ke serebral akan menurun dan
perfusi menjadi tidak ade kuat, maka akan meningkatkan PCO2 dengan
menurunkan PO2 dan PH. Hal ini akan menyebabkan vasodilatasi dan
edema serebri. Edema lebih lanjut akan meningkatkan tekanan intrkranial
yang berat dan akan menyebabkan kompresi jaringan saraf.
Pada saat tekanan melampaui kemampuan otak untuk
berkompensasi, maka untuk meringankan tekanan, otak memindahkan ke
bagian kaudal atau herniasi ke bawah. Sebagai akibat dari herniasi, batang
otak akan terkena pada berbagai tingkat, yang mana penekanannya bisa
mengenai pusat vasomotor, arteri serebral posterior, sarafokulomototik,
traktus kortikospinal dan serabut-serabut saraf ascending reticular activating
sytem. Akibatnya akan mengganggu mekanisme kesadaran . tekanan darah,
denyut nadi, pernafasan dan temperature tubuh.
Volume intracranial = volume aliran darah + volume CSF
(3-10%) (8-12%)
Otak mempunyai kemampuan mengatur Cerebral Blood Flow (CBF) bila
tekanan perfusi serebrak berkisar antara 60-100 mmHg. Factor yang bisa

21
mempengaruhi kemampuan pembuluh darah otak dalam
berkonstriksi/berdilatasi adalah:
1. Iskemi
2. Hipoksia
3. Hiperkapnia
4. Trauma otak

Normalnya otak dapat mengkompensasi adanya perubahan volume minimal


yang disebabkan karna adanya kolaps sisterna, koma ventikel, dan system
pembuluh darah dengan cara menurunkan/ meningkatkan reabsorpsi CSF.
Mekanisme kompensasi terhadap peningkatan TIK menurut Hudak & Gallo
(2008) sebagai berikut:

1. Pemindahan CSF
Ketika kompensasi ini terlampaui, TIK akan meningkat selanjutnya
pasien akan memperlihatkan adanya tanda-tanda peningkatan TIK dan
tentunya akan di lakukan upaya-upaya kompensasi lain untuk
menurunkan tekanan tersebut.
2. Menurunkan volume darah otak
Ketika terjadi penurunan darah otak yang mencapai 40% jaringan otak
akan mengalami asidosis dan apabila penurunan tersebut mencapai 60%
maka akan tampak kelainan pada EEG. Kompensasi ini merubah
mekanisme srebral dan umumnya akan menimbulkan hipoksia dan
beberapa bagian dari jaringan otak akan mengalami nekrosis.
3. Pemindahan jaringan otak ke daerah tentorial dibawah falk cerebri
melalui foramen magnum ke dalam kanal medulla spinalis. Shunting dari
darah vena keluar dari system otak. Kompensasi ini akan berjalan
normal bila peningkatan volume tidak terlalu besar. Apabila peningkatan
volume terlalu besar, maka kompensasi ini tidak adekuat sehingga
memungkinkan terjadinya herniasi otak yang dapat berakibat fatal.

22
Kemampuan otak dalam mengkompensasi perubahan TIK dipengaruhi
oleh:
1. Lokasi lesi
2. Kecepatan ekspansi/pengembangan otak
3. Kemampuan compliance/ kapasitas penyeimbangan volume otak

2.2.5 Manifestasi Klinis


1. Awal
a. Penurunan derajat kesadaran (mis : delirium, gelisah, letargi)
b. Disfungsi pupil
c. Kelemahan motorik (mono atau hemiparesis)
d. Defisit sensorik
e. Paresis nervus kranial
f. Kadang-kadang disertai nyeri kepala
g. Kadang-kadang disertai bangkitan / kejang
2. Lanjut
a. Lebih memburuknya derajat kesadaran (mis :
stupor,soporokomatus, koma)
b. Mungkin disertai muntah
c. Nyeri kepala
d. Hemiplegia, dekortiasi, atau deserebasi
e. Pemburukan tanda vital
f. Pola pernafasan ireguler
g. Gangguan reflek batang otak (mis : gangguan refleks kornea,refleks
muntah).
2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik
1. Scan otak. Meningkatt isotop pada tumor.
2. Angiografi serebral. Deviasi pembuluh darah.
3. X-ray tengkorak. Erosi posterior atau adanya kalsifikasi intracranial.
4. X-ray dada. Deteksi tumor paru primer atau penyakit metastase.

23
5. CT scan atau MRI. Identfikasi vaskuler tumor, perubahan
ukuranventrikel serebral.6.Ekoensefalogram. Peningkatan pada struktur
midline.

2.2.7 Penatalaksanaan

Perawatan awal untuk mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial


ialah dengan meninggikan kepala tempat tidur hingga 30° dan pemberian terapi
osmotik seperti manitol dan cairan saline hipertonik secara parenteral. Dua puluh
persen manitol diberikan dengan dosis 1,0 sampai 1,5 g/kgBB. Hiperventilasi
setelah intubasi dan sedasi, hingga pCO2 28 hingga 32 mmHg akan diperlukan jika
tekanan intrakranial meningkat. American Stroke Association merekomendasikan
pemantauan tekanan intrakranial dengan kateter parenkim atau ventrikel untuk
semua pasien dengan glassgow coma scale (GCS) < 8 atau mereka dengan bukti
herniasi transtentorial atau hidrosefalus yang bertujuan untuk menjaga tekanan
perfusi serebral antara 50 hingga 70 mmHg. Terapi hipotermia dan pentobarbital
dapat diberikan untuk mengendalikan tekanan intrakranial dalam batas normal,
tetapi kemungkinan menyebabkan penurunan metabolisme yang signifikan

1. Terapi hemostatis Terapi hemostatik diberikan untuk mengurangi perkembangan


hematoma. Hal ini sangat penting untuk membalikkan koagulopati pada pasien yang
memakai antikoagulan. Vitamin K, konsentrat kompleks protrombin (PCC), faktor
aktif rekombinan VII (rFVIIa), plasma beku segar (FFP) digunakan sebagai terapi.

2. Terapi anti epilepsi Menurut pedoman American Stroke Assotiation sekitar tiga
hingga 17% pasien akan mengalami kejang dalam dua minggu pertama, dan 30%
pasien akan menunjukkan aktivitas kejang listrik pada pemantauan EEG. Pasien
dengan kejang klinis atau kejang elektrografi harus diobati dengan obat antiepilepsi.
Hematoma lobar dan pembesaran hematoma menyebabkan kejang, yang
berhubungan dengan perburukan neurologis. Kejang subklinis dan status epilepsi
non-kejang juga dapat terjadi. Pemantauan EEG berkelanjutan diindikasikan pada

24
pasien dengan tingkat kesadaran yang menurun. Jika tidak, obat antikonvulsan
profilaksis tidak dianjurkan.

3. Pembedahan Berbagai jenis perawatan bedah untuk stroke hemoragik adalah


kraniotomi, kraniektomi dekompresi, aspirasi stereotaktik, aspirasi endoskopi, dan
aspirasi kateter.

4. Perlindungan otak Cedera sekunder akibat stroke hemoragik terdiri dari peradangan,
stres oksidatif, toksisitas eritrosit dan trombin. Jadi, pioglitazone, misoprostol, dan
celecoxib dicoba untuk mengurangi kerusakan inflamasi. Edaravone, flavanoid, dan
nicotinamide mononucleotide dapat mengurangi stres oksidatif. Kemanjuran
keamanan dan pelindung saraf dari komponen citicoline dan dengan menghambat
saluran kalsium nimodipine meningkatkan hasil pada SAH dengan efek pelindung
saraf.

5. Perawatan secara holistik Perawatan medis yang baik, asuhan keperawatan, dan
rehabilitasi sangat penting. Masalah umum yang terjadi pada pasien stroke
hemoragik ialah disfagia, aspirasi, aritmia jantung, kardiomiopati akibat stres, gagal
jantung, cedera ginjal akut, perdarahan gastrointestinal, infeksi saluran kemih, dan
lain-lain. Gastrostomi endoskopi perkutan (PEG) mungkin diperlukan untuk
mencegah aspirasi. Skrining untuk iskemia miokard dengan elektrokardiogram dan
pengujian enzim jantung direkomendasikan pada stroke hemoragik. Rehabilitasi
multidisiplin disarankan untuk mengurangi kecacatan

6. Pemberian Head up 30 derajat Posisi head up atau head of bed atau disebut juga
posisi semi fowler adalah posisi elevasi bed dimana bagian kepala dinaikkan
mencapai 15-45° pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial yang
dimaksudkan untuk mempermudah drainase darah dan mencegah fleksi leher, rotasi
kepala, batuk dan bersin. Posisi head up dalam rentang mendekati posisi 0°
menyebabkan tekanan intrakranial meningkat sedangkan pada posisi 60° tekanan
perfusi serebral meningkat, keseimbangan nilai tekanan intrakranial dan tekanan

25
perfusi serebral stabil pada posisis head up posisi 15-30° (Mahfoud et al. 2010).
Indikasi pemberian posisi head up 30 derajat menurunkan tekanan intracranial pada
kasus trauma kepala, lesi otak, atau gangguan neurologis, dan memfasilitasi venous
drainage dan aliran balik otak yang akan meningkatkan perfusi serebral Elevasi
kepala diatas 40 derajat dapat berkontribusi terhadap postural hipotensi dan
penurunan perfusi serebral. Kepala pasien harus dalam posisi netral tanpa rotasi ke
kiri atau kanan tanpa adanya fleksi atau ekstensi dari leher. Elevasi kepala
merupakan kontra indikasi pada pasien hipotensi akan mempengaruhi CPP.
(Mahfoud et al. 2010).

2.3 PENATALAKSANAAN ROM AKTIF PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN


ADAPTASI TIK

A. Definisi

ROM aktif merupakan latihan ROM dilakukan sendiri oleh pasien tanpa ada
bantuan perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Indikasi latihan ROM aktif
adalah pasien yang dirawat melakukan ROM sendiri atau kooperatif
(Muttaqin,2014)

Cara melakukan ROM aktif:

1. Menjelaskan apa yang akan dilakukan dan tujan kegiatan tersebut.


2. Anjurkan pasien selama latihan bernafas normal sebelum melakukan tindakan rom
aktif

B. Hal yang perlu di perhatikan

Lingkungan dan klien perlu diperhatikan sebelum melakukan mobilisasi.


Latihan yang di lakukan harus sesuai dengan kemampuan klien dan harus
memperhatikan kesungguhan serta tingkat konsentrasi klien dalam melakukan
latihan (Lukman, 2009).

C. Gerakan ROM Aktif

26
Adapun gerakan ROM aktif yang dilakukan adalah sebagai berikut
(Nursalam, 2012): fleksi, ekstensi, hiperektensi, rotasi, sirkumsisi, supinasi, pronasi,
abduksi, adduksi, dan oposisi. Untuk pasien dengan gangguan adaptasi TIK,
gerakan yang dianjurkan berfokus pada tangan dan kaki, sedangkan untuk kepala
diposisikan head up 30 derajat.

Sebelum melakukan latihan ROM Aktif perawat harus memposisikan head


up 30 derajat. Prosedur kerja pengaturan posisi head up 30 derajat adalah sebagai
berikut (Muttaqin,2014):

a. Meletakkan posisi pasien dalam keadaan terlentang


b. Mengatur posisi kepala lebih tinggi dan tubuh dalam keadaan datar
c. Kaki dalam keadaan lurus dan tidak fleksi
d. Mengatur ketinggian tempat tidur bagian atas setinggi 30 derajat.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengaturan posisi head up 30 derajat


adalah fleksi, ekstensi dan rotasi kepala akan menghambat venous return sehingga
akan meningkatkan tekanan perfusi serebral yang akan berpengaruh pada
peningkatan TIK
Gerakan ROM Aktif untuk pasien dengan gangguan TIK adalah :
1. Latihan Aktif Anggota Gerak Atas dan Bawah
Latihan I
a. Angkat tangan yang kontraktur menggunakan tangan yang sehat ke atas.
b. Letakkan kedua tangan diatas kepala.
c. Kembalikan tangan ke posisi semula.

Latihan II
a. Angkat tangan yang kontraktur melewati dada ke arah tangan yang sehat.
b. Kembalikan keposisi semula.

Latihan III
a. Angkat tangan yang lemah menggunakan tangan yang sehat ke atas.
b. Kembalikan ke posisi semula.

27
Latihan IV
a. Tekuk siku yang kontraktur menggunakan tangan yang sehat.
b. Luruskan siku kemudian angkat ke atas.
c. Letakkan kembali tangan yang kontraktur ditempat tidur.

Latihan V
a. Pegang pergelangan tangan yang kontraktur menggunakan tangan yang sehat angkat
ke atas dada.
b. Putar pergelangan tangan ke arah dalam dan ke arah keluar.

28
Latihan VI
a. Tekuk jari-jari yang kontraktur dengan tangan yang sehat kemudian luruskan.
b. Putar ibu jari yang lemah menggunakan tangan yang sehat.

29
Latihan VII
a. Letakkan kaki yang sehat dibawah yang kontraktur.
b. Turunkan kaki yang sehat sehingga punggung kaki yang sehat dibawah
pergelangan kaki
c. Angkat kedua kaki ke atas dengan bantuan kaki yang sehat, kemudian turunkan
pelan-pelan.

Latihan VIII
a. Angkat kaki yang kontraktur menggunakan kaki yang sehat ke atas sekitar 3cm.
b. Ayunkan kedua kaki sejauh mungkin kearah satu sisi kemudian ke sisi yang
satunya lagi.
c. Kembalikan ke posisi semula dan ulang sekali lagi.

Latihan IX
a. Anjurkan pasien untuk menekuk lututnya, bantu pegang pada lutut yang
kontraktur dengan tangan yang lain.
b. Dengan tangan yang lainnya penokong memegang pinggang pasien.
c. Anjurkan pasien untuk memegang bokongnya.
d. Kembalikan ke posisi semula dan ulangi sekali lagi

30
31
2.4 Mobilisasi Pasif pada Pasien dengan Gangguan Adaptasi TIK
Intervensi mandiri perawat pada pasien dengan gangguan adaptasi TIK adalah
dengan penerapan latihan ROM pasif yang biasanya dilakukan pada pasien semikoma
dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi, tidak mampu melakukan
beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien tirah baring total
atau pasien dengan paralisis ekstermitas total (Murtaqib, 2013).
Latihan ROM pasif merupakan gerakan dimana energi yang dikeluarkan untuk
latihan berasal dari orang lain atau alat mekanik. Perawat melakukan gerakan
persendian klien sesuai dengan rentang gerak yang normal, kekuatan otot yang
digunakan pada gerakan ini adalah 50%. ROM pasif ini berguna untuk menjaga
kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot individu lain secara
pasif, misalnya perawat membantu mengangkat dan menggerakkan kaki pasien. Sendi
yang digerakkan pada ROM pasif adalah seluruh persendian tubuh atau hanya pada
ekstremitas yang terganggu dan klien tidak mampu melaksanakannya secara mandiri
(Maimurahman et al, 2012).
Adapun penatalaksanaan mobilisasi/ROM pasif pada pasien dengan gangguan
adaptasi TIK adalah sebagai berikut (Syahrim, Azhar, & Risnah, 2019):
1) Hal yang harus diperhatikan dalam merencanakan program latihan ROM
diantaranya umur pasien, diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah baring.
2) Dilaksanakan secara rutin dua kali sehari pagi dan sore hari selama enam hari
dengan waktu pemberian 15-20 menit. Hal ini bertujuan meningkatkan atau
mempertahankan fleksibilitas dan kekutan otot, mempertahankan fungsi jantung
dan pernapasan, mencegah kekakuan pada sendi, merangsang sirkulasi darah,
dan pencegah kelainan bentuk, kekakuan dan kontraktur.
3) Melakukan ROM harus sesuai dengan waktunya, misal setelah mandi atau
perawatan rutin telah dilakukan.
4) Dalam melakukan gerakan ROM harus diulang sekitar 8 kali.
5) Dilakukan secara perlahan dan hati-hati agar tidak menyebabkan kelelahan.
6) Gerakan-gerakan:

32
Kepala: Bantu klien tundukkan kepala ke bawah menuju dada lalu kembalikkan
ke posisi semula , naikkan kepala ke atas dan kembali ke bawah.

Tangan :
Bahu : Naikkan lengan klien ke atas dan kembalikan ke bawah.

Abduksi adduksi : Gerakan lengan menjauhi dan mendekati tubuh klien.

Siku : bengkokkan siku klien hingga jari-jari tangan menyentuh dagu


kemudian kembalikan posisi semula.

33
Pergelangan tangan: dibengkokkan ke
bawah dan keatas.

Memutar pergelangan tangan klien.

Gerakan jari jari tangan : Tangan mengenggam mengepal dan kembalikan ke


posisi semula.

34
Gerakan jari jari tangan : Memutar jari jari tangan klien.

Kaki :
Gerakkan atau tekuk lutut kearah paha Kembalikan lutut atau kaki ke posisi
semula.

Memutar telapak kaki klien ke samping dalam


dan luar. Menekuk jari jari kaki ke bawah dan

35
kembalikan ke posisi semula. Regangkan jari-jari kaki yang satu dengan yang
lainnya, rapatkan kembali bersama-sama.

36
Latihan range of motion (ROM) merupakan latihan yang dilakukan untuk
mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesempurnaan kemampuan menggerakkan
persendian secara normal dan lengkap untuk meningkatkan massa otot dan tonus otot.
Latihan ROM adalah salah satu bentuk intervensi fundamental perawat yang merupakan
bagian dari proses rehabilitas pada pasien dengan masalah masalah gangguan adaptasi
TIK. (Rahayu, 2015).
Pada jurnal Herman Adi (2014) "Pemberian mobilisasi dini berpengaruh secara
signifikan terhadap penurunan tekanan intra kranial pada klien dengan post trepanasi di
RSD dr. Soebandi Jember". Pada jurnal Agusrianto (2020) juga tertulis “sesudah
diberikan latihan ROM pasif pada pasien stroke mengalami peningkatan kekuatan otot
pada kedua ekstremitas". Dokter sering memprogramkan ROM untuk dilakukan pada 12
bagian tubuh diantaranya leher, jari-jari, lengan, siku, bahu, tumit, kaki, dan pergelangan
kaki, dapat juga dilakukan pada semua persendian, dalam melakukan ROM harus sesuai
dengan waktunya, misal setelah mandi atau perawatan rutin telah dilakukan (Rahayu,
2015). Berikut penatalaksanaan ROM pasif pada pasien dengan peningkatan TIK.
1) ROM pada bagian jari-jari (Fleksi dan Ekstensi)
a. Pegang jari-jari tangan pasien dengan satu tangan sementara tangan lain
memegang pergelangan.
b. Bengkokkan (tekuk/fleksikan) jari-jari ke bawah.
c. Luruskan jari-jari (ekstensikan) kemudian dorong ke belakang
(hiperekstensikan).
d. Gerakkan ke samping kiri kanan (Abduksi-adduksikan).
e. Kembalikan ke posisi awal.

2) ROM pada pergelangan kaki (Fleksi dan Ekstensi)


a. Letakkan satu tangan pada telapak kaki pasien dan satu tangan yang lain di atas
b. Pergelangan kaki, jaga kaki lurus dan rileks.
c. Tekuk pergelangan kaki, arahkan jari-jari kaki ke arah dada atau ke bagian atas
tubuh pasien.
d. Kembalikan ke posisi awal.

37
e. Tekuk pergelangan kaki menjauhi dada pasien. Jari dan telapak kaki diarahkan
ke bawah.

3) ROM pada pergelangan kaki (Infersi dan Efersi)


a. Pegang separuh bagian atas kaki pasien dengan tangan kita (pelaksana) dan
pegang pergelangan kaki pasien dengan tangan satunya.
b. Putar kaki dengan arah ke dalam sehingga telapak kaki menghadap ke kaki
lainnya.
c. Kembalikan ke posisi semula.
d. Putar kaki keluar sehingga bagian telapak kaki menjauhi kaki yang lain.
e. Kembalikan ke posisi awal.

4) ROM pada bagian paha (Rotasi)


a. Letakkan satu tangan perawat pada pergelangan kaki pasien dan satu tangan
yang lain di atas lutut pasien.
b. Putar kaki ke arah pasien.
c. Putar kaki ke arah pelaksana.
d. Kembalikan ke posisi semula.

5) ROM pada paha (Abduksi dan Adduksi)


a. Letakkan satu tangan perawat di bawah lutut pasien dan satu tangan pada tumit.
b. Angkat kaki pasien kurang lebih 8 cm dari tempat tidur dan pertahankan posisi
tetap lurus. Gerakan kaki menjauhi badan pasien atau ke samping ke arah
perawat.
c. Gerakkan kaki mendekati dan menjauhi badan pasien.
d. Kembalikan ke posisi semula.
e. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.

38
6) ROM pada bagian lutut (Fleksi dan Ekstensi)
a. Letakkan satu tangan di bawah lutut pasien dan pegang tumit pasien dengan
tangan yang lain.
b. Angkat kaki, tekuk pada lutut dan pangkal paha.
c. Lanjutkan menekuk lutut ke arah dada pasien sejauh mungkin dan semampu
pasien.
d. Turunkan dan luruskan lutut dengan tetap mengangkat kaki ke atas.
e. Kembalikan ke posisi semula.
f. Cuci tangan setelah prosedur dilakukan.

39
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Mobilisasi merupakan kemampuan individu untuk bergerak secara bebas, mudah
dan teratur dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan aktivitas guna mempertahankan.
ROM aktif merupakan latihan ROM dilakukan sendiri oleh pasien tanpa ada bantuan
perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Indikasi latihan ROM aktif adalah pasien yang
dirawat melakukan ROM sendiri atau kooperatif. Intervensi mandiri perawat pada pasien
dengan gangguan adaptasi TIK adalah dengan penerapan latihan ROM pasif yang biasanya
dilakukan pada pasien semikoma dan tidak sadar, pasien dengan keterbatasan mobilisasi,
tidak mampu melakukan beberapa atau semua latihan rentang gerak dengan mandiri, pasien
tirah baring total atau pasien dengan paralisis ekstermitas total kesehatannya.

3.2 Saran
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca yang memberikan
informasi pemenuhan mobilisasi aktif dan pasif pada pasien dengan gangguan adaptasi
tekanan intracranial, berharap agar pembaca dari yang belum tahu menjadi tahu, dan dari
yang sudah tahu menjadi semakin mengerti. Demi kesempurnaan makalah ini penulis
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang membangun untuk kami. Semoga
makalah ini dapat dipergunakan sebagaimana mestinya baik dibidang akademik,
praktik,dibidang kesehatan maupun umum dan masyarakat luas

40
DAFTAR PUSTAKA

Adi, Herman C,dkk .2014. Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Perubahan Tekanan Intra
Kranial Pada Klien Post Trepanasi Di Instalasi Rawat Intensif Rsd Dr. Soebandi
Jember. Jurnal UnmuhJember
Agusrianto, Nirva Ratesigi. 2020. Penerapan Latihan Range of Motion (ROM) Pasif
terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Ekstremitas pada Pasien dengan Kasus
Stroke. Jurnal Ilmiah Kesehatan Vo. 2 No 2
Budiono & Sumirah Budi Pertami. (2016). Konsep dasar keperawatan. Jakarta: bumi
medika.
Bo Norrving. 2014. Stroke and Cerebrovascular Disease. 1st Edition. United States :
Oxford University Press. pp.9-18, 35-50, 124-139, 236-242
Corwin, Elizabeth J.2009.Patofisiologi : Buku Saku Ed.3.Jakarta : EGC
Haswita, & Sulistyowati, Reni. (2017). Kebutuhan Dasar Manusia Untuk Mahasuswa
Keperawatan Dan Kebidanan, Jakarta: CV. Trand Info Media.
Lewis, Heitkemper, Dirksen (2000). Medical Surgical Nursing Assessment and
management of clinical problems. St Louis, Mosby Comp
Lukman, Ningsih. (2009). Asuhan Keperawtan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika
Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.
Monahan D F, Neighbors M (1998). Medical Surgical Nursing, foundations for clinical
practice.(5thed). Philadelphia ,W.B Saunders company
Muttaqin, A. 2014. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal Aplikasi Pada Praktik Klinik
Keperawatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Muttaqin Arif. 2012. Pengantar asuhan keperawatan klien dengan gangguan sistem
persyarafan. Jakarta: Salemba Medika
Murtaqib M. 2013. Perbedaan Latihan Range Of Motion (ROM) pasif dan aktif selama 1-2
minggu terhadap peningkatan rentang gerak sendi pada gerak sendi pada penderita
stroke di Kecamatan Tanggul Kabupaten Jember. Jurnal Keperawatan Sudirman
(The Journal of Nursing). 8(1): 58-68.
Mumenthaler,Mark.2005.Neurology.Jakarta : Bina Rupa Aksara
Phipps, Wilma. et al, 1991, Medical Surgical Nursing : Concepts and Clinical Practice, 4th
edition, Mosby Year Book, Toronto

41
Potter & Perry. 2009. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, Dan Praktik,
Buku 1 Edisi 7. Jakarta: EGC
Rahayu KIN. 2015. Pemberian Latihan Range of Motion (ROM) terhadap kemampuan
motorik pada pasien post stroke di rsud gambiran : the influence of range of motion
exercise to motor capabily of post-stroke patien at the Gambiran Hospital. Jurnal
Keperawatan. 6(2): 102-107.
Suratun dkk. (2008).Klien gangguan sistem muskuloskeletal: seri
asuhan keperawatan. Jakarta: EGC.
Stanley & Beare. (2007). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.
Syahrim, Risnah, Risnah, dkk. 2019. Efektifitas Latihan ROM Terhadap Peningkatan
Kekuatan Otot Pada Pasien Stroke: Study Systematic Review. MPPKI (Media
Publikasi Promosi Kesehatan Indonesia): The Indonesian Journal of Health
Promotion, 2(3), 186–191.
Wolfe TJ, Torbey MT. Management of intracranial pressure. Curr Neuro Neurosci
Reports 2009;9:477-85.

42

Anda mungkin juga menyukai