Anda di halaman 1dari 17

Makalah Pemikiran dan Metodologi Penelitian Akuntansi Non Positivis

EPISTEMOLOGI ISLAM

Disusun Oleh

MAGISTER AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb dan Salam Sejahtera.


Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan kuasa-Nya
penulisan makalah yang berjudul “Epistemologi Islam” dapat diselesaikan. Penulisan makalah ini
bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemikiran dan Metedologi Penelitian Non Positivis program
studi magister Akuntansi Universitas Hasanuddin.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa penulisan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan, dan masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritikan yang
membangun sangat penulis harapkan untuk penulisan yang lebih baik lagi di masa mendatang.
Semoga penelitian ini dapat memberikan suatu manfaat bagi para pembacanya. Terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Makassar, 28 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................2

DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3

BAB I............................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN................................................................................................................. 4

BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................... 5

2. 1 Ilmu dalam Pandangan Islam.................................................................................................5


2. 2 Sumber Ilmu Pengetahuan (sains) dalam Islam dan Barat.........................................................6
2. 3 Perbedaan Konsep Keilmuan Barat dan Islam.......................................................................10
2. 4 Metodologi Islam................................................................................................................10
BAB III PENUTUP............................................................................................................. 14

3. 1 Kesimpulan........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN

Epistemologi secara sederhana bisa dimaknai pengetahuan. Menurut Milton, epistemology berasal dari
bahasa yunani yaitu episteme yang bermakna Knowledge, pengetahuan dan logos yang bermakna teori. Istilah
ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat
yaitu ontology dan epistemology.

Jika ontology mengkaji tentang wujud, hakikat dan metafisika. Maka epistemology membandingkan
kajian sistematik terhadap sifat, sumber dan validitas pengetahuan. Menurut mulyadhy kartanegara, ada dua
pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi yaitu pertama apa yang dapat diketahui(teori dan isi
ilmu) dan yang kedua bagaimana mengetahuinya (metodologi).

Dalam konsep Islam, Epistemologi adalah ilmu pengetahuan, ‘ilma al ‘ilm. Mempelajari asal usul,
hakikat, metode sebuah ilmu pengetahuan dengan tujuan mendapatkan keyakinan dengan didasarkan pada
paradigm tauhid. Epistemologi Islam sebagai wilayah diskursus filsafat mencakup dua pendekatan: yakni
genetivus subyectives (menempatkan Islam sebagai subyek) bagi titik tolak berfikir (starting point) dan genetivus
obyektivus (menempatkan filsafat pengetahuan sebagai subyek yang membicarakan Islam sebagai obyek
kajian).

Epistemologi Islam menelaah bagaimana pengetahuan itu pengetahuan itu menurut pandangan Islam,
bagaimana metologinya, serta bagaimana kebenaran dapat diperoleh dalam pandangan Islam atau proposisi
yang telah terbukti keabsahan.
BAB II
PEMBAHASAN

2. 1 Ilmu dalam Pandangan Islam


Ilmu secara etimologi berasal dari kata ‘alima-ya’lamu, ‘ilman yaitu mengetahui dan ‘alima merupakan
salah satu sifat Allah SWT yaitu al-‘alimu. Berikut beberapa definisi ilmu menurut para ahli bahasa dan ahli fiqih
serta mantiq:

1. ‘ilmu adalah bentuk mufrad, dalam bentuk jamaknya adalah ‘uluumun yang berarti bahwa pengetahuan
mengenai sebuah hakikat keyakinanan dan pengetahuan.
2. Menurut Ahli Fiqih Ilmu adalah sebuah sifat yang tersingkap pada apa yang ia tuntut dengan
ketersingkapan yang tuntas.
3. Menurut Ahli Mantiq ilmu adalah pengetahuan yang belum diketahui dari aspek keyakinan, sangkaan
baik itu pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan maupun tidak.

Jika seseorang mengetahui sesuatu, maka itu berarti bahwa ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu
itu. Dengan demikian, pengetahuan ialah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui
oleh sesorang tentang sesuatu.
Menurut Al-Kurdi dalam karyanya perbandingan epistemology antara Al-Qur’an dan Filsafat (nazariyyat
al-ma’fidah baina Alquran wa al-falsafah) ia menguraikan definisi ilmu dari para pemikir mu’tazillah, filosof
yunani, dan para ulamah ahlu sunah. Al-Kurdi menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan,
karena semua definisi yang diajukan masing-masing pakar berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa
aspek yang menjadi titik perhatiannya saja sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang had.
Penjelasan diatas dapat diindikasikan dengan jelas bahwa dalam islam mencakup dua pengertian;
Pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia. Kedua, sampainya jiwa manusia terdapat objek ilmu
melalui penelitian dan kajian. Sebagaimana firman Allah Q.S Al- Alaq 1-5:

Artinya : “Bacalah dengan (menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah
Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah, Yang Mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya”
Sangat jelas ayat tersebut menginformasikan bahwa ilmu bisa diperoleh dengan aktivitas Iqra’ , juga bisa
diperoleh dengan anugerah Allah SWT langsung kepada manusia. Islam tidak mengenal dikotomi ilmu yang
satunya diakui yang lainnya tidak, yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan wahyu
tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis pengetahuan, baik itu logis-empiris maupun yang sifatnya wahyu, diakui
sebagai ilmu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran islam yang dikenal dengan klasifikasi (pembedaan) atau
diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.
Al- Ghazali mebagi ilmu dari aspek Ghard (tujuan/kegunaan) pada syar-iyyah dan ghair syar’iyyah.
Syar’iyyah berasal dari Nabi SAW, sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang dihasilkan dari akal seperti ilmu
hitung, dihasilkan dari eksperimen seperti pada kedokteran atau yang dihasilkan oleh pendengaran seperti ilmu
bahasa. Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan syar’iyyah merupakan aspek yang berurusan dengan agama
dan ketuhanan dan ghair syar’iyyah yang tidak diperintahkan oeh syara’ dan tidak pula disyarakan olehnya.

Sementara menurut Leaman, ia membagi ilmu menjadi alam syahadah yang merupakan alam yang
sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam (nyata) dan ‘alam al-ghaib yang merupakan alam yang
tersembunyi dan karenanya lebih dari sekedar pengetahuan proporsional. Cara memeperoleh pengetahuan
kedua jenis ini yaitu melalui wahyu. Klasifikasi seperti ini penting diterapkan agar tidak terjadi kekacauan ilmu.
Ketiga agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya
Ahmadiyyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah kesalah, melainkan sebuah pembenaran
bahwa Islam itu warna –warni. Demikian juga ketika sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama,
maka yang lahir kelas adalah pembajakan. Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai planet yang jumlahnya
tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh sebagian filosof muslim di abad pertengahan.

2. 2 Sumber Ilmu Pengetahuan (sains) dalam Islam dan Barat


1. Sumber Ilmu Pengetahuan (sains) dalam Islam
Sumber utama ilmu pengetahuan dalam Islam adalah Al-Qur‟an, karena kebenaran Al-Qur‟an
itu mutlak tidak dapat diragukan lagi. Selain itu, Islam juga menjadikan sistem ijtihad sebagai dasar-
dasar epistemologi dalam filsafat Islam. sehingga dalam perkembangannya menimbulkan berbagai
macam aliran pemikiran dalam dunia Islam.9 Jadi, epistemologi dalam Islam merupakan sebuah usaha
yang dilakukan manusia untuk menelaah masalah-masalah objektivitas, metodologi, sumber, serta
validitas pengetahuan secara mendalam dengan menggunakan subjek kajian Islam sebagai titik tolak
berfikir.
Dalam Islam diajarkan bahwa Allah SWT, merupakan sumber dari segala sesuatu. Ilmu dan
kekuasaannya meliputi bumi dan langit, yang nyata maupun yang gaib, dan tidak ada segala
sesuatupun yang luput dari pengawasannya. Hal Ini bukanlah bentuk suatu doktrin yang memaksa
umat manusia untuk mengakui kebesaran Allah SWT, sehingga menyebabkan umat Islam tidak perlu
bersusah-susah untuk mengembangkan ilmu karena semuanya telah menjadi kepunyaan Allah SWT,
justru Islam mengajarkan dengan mengakji ilmu pengetahuan akan mampu untuk mengenal Allah SWT.
Tentu hal ini berbeda kasusnya dengan kondisi pada eropa saat abad pertengahan, yang terlalu tunduk
dengan doktrin gereja, sehingga ilmu tidak mengalami perkembangan.
Adapun sumber-sumber dalam epistimologi ilmu pengetahuan Islam yang diwakili oleh
epistimologi ilmu Al-Ghazali adalah Al-Qur’an, hadits, indera, akal dan hati. Berikut akan dijelaskan
kedudukan masing-masing sumber tersebut dalam epistimologi ilmu Islam.
a. Al-Qur’an
Al-Qur‟an merupakan wahyu Allah SWT, yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW.
Oleh karena itu, Al-Qur‟an menempati urutan pertama dalam hierarki sumber ilmu dalam
epistimologi Islam. Tanpa mengecilkan kitab-kitab yang lain, Al-qur‟an sendiri ternyata memiliki
keistimewaan daripada kitab-kitab yang terdahulu yang hanya diperuntukkan bagi satu zaman
tertentu. Dengan keistimewaan tersebut AlQur‟an mampu memecahkan problem kemanusiaan
dalam berbagai segi kehidupan yaitu rohani dan jasmani, masalah sosial serta ekonomi, dan lain
sebagainya.
b. Hadist
Hadits adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi SAW baik ucapan, perbuatan maupun
ketetapan yang berhubungan dengan hukum atau ketentuan-ketentuan Allah yang disyariatkan
kepada manusia. Al-Qur‟an dan hadits, adalah pedoman hidup, sumber hukum, ilmu dan ajaran
islam, serta merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Al-Qur‟an
merupakan sumber primer yang banyak memuat pokok-pokok ajaran Islam, sedangkan hadits
merupakan penjelas (bayan) bagi keumuman isi Al-Qur‟an.
c. Panca Indra
Secara fitrahnya, manusia dibekali Allah dengan pancaindera, yaitu mata, hidung, telinga,
lidah dan kulit. Ilmu yang diperoleh melalui indera disebut sebagai ilmu inderawi atau ilmu empiris.
Ilmu indrawi ini dihasilkan dengan cara persentuhan indera-indera manusia dengan rangsangan
yang datang dari luar (alam), jadi dari persentuhan (penginderaan) inilah kemudian dihasilkan
ilmu. Namun sebagai sumber ilmu pengetahuan, indra tidak cukup memadai untuk dijadikan
sebagai patokan sumber ilmu, mengingat indra manusia memiliki keterbatasan. Keterbatasan ini
menyebabkan timbulnya kesalahan persepsi dari manusia mengenai suatu objek.
Al-Ghazali melihat bahwa indera penglihatan manusia memiliki berbagai kelemahan.
Banyak kesalahan yang dilakukan indera sehingga sesuatu yang besar tampak kecil dalam
penglihatannya, yang jauh tampak dekat, yang diam tampak bergerak, dan sesuatu yang
bergerak tampak diam. Begitu juga dalam karangannya yang berjudul Al-Munqidz min AdhDhalal,
Al-Ghazali mengungkapkan bahwa pancaindra memberdayakan kita. Atas dasar inilah, Al-Ghazali
menyimpulkan bahwa semua ilmu yang diperoleh melalui metode indrawi tidak menimbulkan
keyakinan. Oleh karena itu, ia bukan merupakan hal yang real. Maka disimpulkan bahwa Al-
Ghazali mengakui bahwa ilmu dapat diperoleh melalui indera, tetapi ilmu yang dihasilkan bukan
ilmu yang meyakinkan. Ilmu seperti ini masih bersifat sederhana, penuh keraguan dan belum
sampai pada ilmu yang hakiki.
d. Akal
Akal menurut Al-Ghazali diciptakan oleh Allah SWT dalam keadaan yang sempuran dan mulia,
sehingga dapat membawa manusia pada derajat yang tinggi. Berkat akal inilah, semua makhluk
tunduk kepada manusia sekalipun fisiknya lebih kuat dari pada manusia. Kedudukan akal seperti
seorang raja, ia memiliki banyak pasukan, yakni: tamyiz (kemampuan membedakan), daya akal
dan pemahaman. Kebahagiaan spiritual adalah akal, karena menyebabkan aspek fisik
memperoleh kekuatan. Jiwa (roh) bagaikan lampu, sedangkan sinarnya adalah akal, yang
menyinari seluruh tubuh. Al-Ghazali bahkan menyebutkan bahwa akal lebih patut disebut sebagai
cahaya dari pada indera. Dari pandangan Al-Ghazali tentang akal, dapat dipahami bahwa pada
dasarnya akal merupakan syarat bagi manusia untuk memproses dan mengembangkan ilmu,
sebagaimana hidup yang menjadi syarat bagi adanya gerak dan perasaan. Akal adalah alat untuk
berfikir guna menghasilkan ilmu sehingga dalam proses berpikirnya dibutuhkan indera. akal dan
indera tidak dapat dipisahkan secara tajam karena keduanya saling berhubungan dalam proses
pengeolahan ilmu. Dengan demikian, aktivitas akal dalam mengolah rangsangan inderawi
merupakan jalan untuk memperoleh ilmu. Namun akal pada perkembangannya juga belum
mampu untuk menjelaskan seluruh fenomena alam, akal hanya mampu menjelaskan hal yang
sifatnya nyata sedangkan hal yang gaib atau metafisika tidak mampu dijangkau oleh akal.
e. Qalbun (Hati)
Qalbu itu sendiri dalam pandangan Al-Ghazali sebagai penunjukan esensi manusia serta sebagai
salah satu alat dalam jiwa manusia yang berfungsi untuk memperoleh ilmu. Ilmu yang diperoleh
dengan alat qalbu lebih mendekati ilmu tentang hakikat-hakikat melalui perolehan ilham.
Kemampuan menangkap hakikat dengan jalan ilham digantikan oleh intuisi (adz-dzawq), yang
pada buku-buku filsafat diperoleh dengan “aql almustafad”. Al-Ghazali memandang bahwa
kedudukan dzawq lebih tinggi dari pada pancaindera dan akal. Hal ini tidak lepas dari epistimologi
ilmu Al Ghazali yang awalnya mempertanyakan kepercayaan terhadap akal yang telah berhasil
membuatnya meragukan ilmu inderawi, kemudian ia tidak menemukan dasar yang membuatnya
percaya pada akal. Ketika akal tidak mampu memahami wilayah kehidupan emosional manusia,
hati kemudian dapat memahaminya. Ketika akal hanya berkutat pada tataran kesadaran, hati bisa
menerobos ke alam ketidaksadaran (atau alam gaib dalam bahasa religius), sehingga mampu
memahami pengalaman-pengalaman noninderawi atau apa yang sering disebut ESP (extra
sensory perception) termasuk pengalaman-pengalaman mistik atau religius.
2. Sumber Ilmu Pengetahuan (sains) Dalam Barat
Terkait masalah epistemologi, Barat menganggap kebenaran itu hanya berpusat pada manusia
sebagai makhluk mandiri yang menentukan kebenaran. Tradisi filsafat Barat sepenuhnya didasarkan
pada apa yang disebut sebagai logosentrisme atau „metafisika kehadiran‟ (metaphysics of presence).
Logosentrisme merupakan sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran
transendental di balik segala hal yang tampak di permukaan atau segala hal yang terjadi di dunia
fenomenal. Kehadiran logos di dalam teksteks filsafat, ditampilkan dengan hadirnya pengarang (author)
sebagai subjek yang memiliki otoritas terhadap makna yang hendak disampaikannya. Sumber utama
ilmu pengetahuan dalam perspektif Barat diwakili oleh tiga aliran utama, yaitu: Rasionalisme,
Empirisme, dan Kritisisme.
a. Aliran Rasionalisme
Aliran Rasionalisme dikaitkan pada filosof abad ke-17 dan 18, seperti Rene Descartes,
Baruch Spinoza, dan Gottfried Leibniz, yang sebenarnya berasal dari pemikiran filsafat Yunani.
Paham ini menyatakan bahwa pada hakikatnya ilmu itu bersumber dari akal budi manusia.
Descartes berpendapat bahwa dalam jiwa manusia terdapat ide bawaan (innate ideas) yang
dinamakan substansi yang sudah tertanam. Ide bawaan tersebut terdiri atas pemikiran, Tuhan,
dan keluasan (ekstensi). Adapun ilmu-ilmu lain yang dicapai manusia pada hakikatnya adalah
derivasi dari ketiga prinsip dasar tersebut. Menurut aliran ini sumber ilmu adalah akal melalui
deduksi ketat seraya mengabaikan pengalaman. Hal ini, menurut mereka, karena ilmu adalah
sesuatu yang sudah „built in’ dalam jiwa manusia dan tugas kita adalah mencapainya melalui
deduksi. Karenanya, ilmu yang dihasilkan oleh aliran ini biasanya dianggap bersifat universal.
Menurut Aliran ini, indera adalah sumber pemahaman terhadap konsepsi-konsepsi dan gagasan-
gagasan sederhana. Hanya saja indera bukan satu-satunya sumber. Di samping indera, ada fitrah
yang mendorong munculnya sekumpulan konsepsi dalam akal.
b. Aliran Empirisme
Aliran kedua adalah empirisme yang menekankan pentingnya pengalaman sebagai sarana
pencapaian pengetahuan. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon, sekalipun dalam pengertian
tertentu pemikiran yang mengutamakan pendekatan empirik. Puncak pemikiran aliran ini terdapat
pada pemikiran David Hume yang dalam karyanya A Treatise of Human Nature. Dalam buku
tersebut David Hume mengupas persoalan-persoalan epistemologis penting. Berbanding terbalik
dengan rasionalisme, Aliran ini berpandangan bahwa seluruh isi pemikiran manusia berasal dari
pengalaman, yang kemudian diistilahkan dengan persepsi. Persepsi, kemudian, dibagi menjadi
dua macam, yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas). Yang pertama adalah
persepsi yang masuk melalui akal budi, secara langsung, sifatnya kuat dan hidup, Yang kemudian
adalah persepsi yang berisi gambaran kabur tentang kesan-kesan. Derivasi ilmiah yang diakui
oleh aliran ini adalah induksi terhadap fakta-fakta empiris. Tapi hal ini tidak berarti mereka
mengklaim univesalitas induksi. Alih-alih, mereka justru menekankan keterbatasan induksi yang
hal ini berarti mereka menolak generalisasi.
c. Aliran Kritisme
Aliran ketiga adalah kritisisme yang merupakan usaha untuk mensintesa dua kutub ekstrim
sebelumnya; rasionalisme dan empirisisme. Tokoh utama aliran ini adalah Immanuel Kant.
Pemikiran yang disampaikan oleh Kant berusaha untuk mengakhiri perdebatan yang terjadi
tentang objektivitas pengetahuan antara rasionalisme Jerman, yang diwakili Leibniz dan Wolff,
dan Empirisisme Inggris. Dalam usahanya, Kant berusaha menunjukkan unsur mana saja dalam
pikiran manusia yang berasal dari pengalaman dan unsur mana yang berasal dari akal. Berbeda
dengan aliran filsafat sebelumnya yang memusatkan perhatian pada objek penelitian, Kant
mengawali filsafatnya dengan memikirkan manusia sebagai subjek yang berpikir. Dengan
demikian fokus perhatian Kant adalah pada penyelidikan rasio manusia dan batas-batasnya.
Dari ketiga Aliran di atas dapat disimpulkan bahwa, sumber-sumber ilmu menurut ilmuwan-
ilmuwan barat hanya terbatas pada akal (rasio) dan panca indera. Mereka hanya menitikberatkan pada
dua komponen ini. Sehingga hasilnya, makna ilmu terbatas pada objek-objek nyata. Sedangkan berita
shahih yang datang dari wahyu mereka nafikan, dan tidak memasukkannya ke dalam defenisi ilmu.
Akibatnya, ilmu pengetahuan dan nilai nilai etika moral, yang diatur oleh rasio manusia, terus menerus
berubah.

2. 3 Perbedaan Konsep Keilmuan Barat dan Islam


Agar lebih jelas mengetahu antara konsep keilmuan Barat dan Islam, Nasim Butt mengklasifikasi
sebagai berikut:

Konsep Keilmuan Barat Konsep Keilmuan Islam


1. Percaya pada rasionalis 1. Percaya pada wahyu
2. Ilmu untuk ilmu 2. Ilmu sarana mencapai ridha Allah
3. Satu-satunya metode mengetahui realitas 3. Banyak metode berlandasan akal dan
4. Neyralitas emosional sebagai prasyarat wahyu
kunci menggapai rasionalitas 4. Komitmen emosional mengangkat spiritual
5. Tidak memihak dan sosial
6. Tidak adanya biar 5. Pemihakan pada kebenaran
7. Penggantungan pendapat 6. Adanya subjektitas
8. Reduksionisme 7. Menguji pendapat
9. Fragmentasi 8. Sintesis
10. Universalisme 9. Holistik
11. Individualisme 10. Unversalisme
12. Netralitas (free-value) 11. Orientasi masyarakat
13. Loyalitas kelompok 12. Orientasi nilai
14. Kebebasan absoulut 13. Loyalitas pada Tuhan dan makhluk
15. Tujuan membenarkan sarana 14. Nilai etika dan moral
15. Tujuan tidak membenarkan sarana

2. 4 Metodologi Islam
Dalam dunia keilmuan ada upaya ilmiah yang disebut metode, yaitu cara kejra untuk memahami objek
yang menjadi sasaran ilmu yang dikaji. Perter R. Senn mengemukakan bahwa metode merupakan suatu
prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi
merupakan suatu pengkajian dalam memperlajari peraturan-peraturan metode tersebut. Secara sederhada
metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui
sesuatu.
Dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural teoritis antara epistimologi, metodologi dan metode
yaitu : dari epistemologi dilanjutkan dengan merinci metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau
teknik. Epistemolgi sendiri merupakan sub sistem fisalat, filsafat mencakup bahasan epsitemologi yang
mencakup bahasan metodologi, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Dengan demikian, harus
disadari bahwa metodologi sangan penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan. Sejarah
membuktikan bahwa semua ilmu tumbuh melalui metodologi baik itu ilmu sosiologi, ekonomi, antropologi dan
sebagainya.
Metodologi dimulai dengan penamaan dan pengkalifikasian semua benda yang diikuti oleh hasil
percobaan dan investigasi mitologis sistematis terkini. Adapun sumber metodologi dalam islam adalah dari Al-
Qur’am dan dari Sains Islam Klasik. Dalam khazanah Islam, dikenal tiga metodologi pemikiran yaitu Bayani,
Irfani dan Burhani.
1. Metodologi Pemikiran Bayani
Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disipiln-disiplin ilmu yang berpangkal dari
bahasa Arab (yaitu nahwu, fiqh dan ushul fiqh, kalam dan balaghah). Dan pendekatan yang digunakan
adalah dengan pendekatan lughawiyah. Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani
dapat diartikan sebagai model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah
yang memiliki otoritas penuh menentukan arah kebenaran. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna
yang terkandung di dalamnya yang dapat diketehui melalui pencermatan hubungan antara makna dan
lafaz. Dan dikatakan pula bahwa peran akal dalam epistemologi bayani adalah sebagai
pengekang/pengatur hawa nafsu, justifikatif dan pengukuh kebenaran (otoritas teks).
Epistemologi bayani pada dasarnya telah digunakan oleh para fuqaha' (pakar fiqih),
mutakallimun (theolog) dan usulliyun (pakar usul al-fiqhi). Di mana mereka menggunakan bayani untuk:
a. Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung
atau dikehendaki dalam lafaz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan
makna zahir dari lafaz yang zahir pula.
b. Istinbat (pengkajian) hukum-hukum dari al-nushush al-diniyah (al-Qur'an dan Hadis).

Karena bayani berkaitan dengan teks, maka persoalan pokoknya adalah sekitar lafadz-makna
dan ushul-furu‟. Misalnya, apakah suatu teks dimaknai sesuai konteksnya atau makna aslinya (tauqif),
bagaimana menganalogikan kata-kata atau istilah yang tidak disinggung dalam teks suci, bagaimana
memakai istilah-istilah khusus dalam asma’ al-syar’iyyah, seperti kata shalat, shiyam, zakat.

Menurut Imam as-Syafi‟i, tiga asas epistemologi bayani adalah alQur‟an, as-Sunnah dan al-
Qiyas. Kemudian, beliau juga menyandarkan pada satu asas lagi, yaitu al-Ijma‟. Berdasarkan suatu
penelitian, ulama telah menetapkan bahwa dalildalil sebagai dasar acuan hukum syari‟ah tentang
perbuatan manusia dikembalikan kepada empat sumber, yaitu al-Qur‟an, as-Sunnah, al-Ijma‟ dan al-
Qiyas. Kemudian, yang dijadikan dalil pokok dan sumber dari hukum syari‟ah adalah al-Qur‟an dan as-
Sunnah, dimana as-Sunnah berfungsi sebagai interpretasi bagi keglobalan al-Qur‟an, dan sebagai
penjelas serta pelengkap al-Qur‟an.

2. Metodologi Pemikiran Irfani


Pengetahuan Irfan tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada kasyf, tersingkapnya
rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Karena itu, pengetahuan Irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa
teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan
pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemudian dikemukakan kepada orang
lain secara logis. Dengan demikian pengetahuan Irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan,
persiapan, penerimaan, pengungkapan, dengan lisan atau tulisan.
a. Tahap pertama (Persiapan)
Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang
kehidupan Spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju
puncak (1) Taubat, (2) Wara‟, menjauhkan diri dari sesuatu yang subhat, (3) Zuhud, tidak tamak dan
tidak mengutamakan kehidupan dunia. (4) Faqir, mengosongkan seluruh pikiran dan harapan masa
depan, dan tidak menghendaki apapun kecuali Allah SWT, (5) Sabar, menerima segala bencana
dengan laku sopan dan rela. (6) Tawakal, percaya atas segala apa yang ditentukan-Nya. (7) Ridla,
hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan sukacita.
b. Tahap Kedua (penerimaan)
Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan
pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif. Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan
realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu mampu melihat
realitas dirinya sendiri (musyahadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan
disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama,
sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula
sebaiknya (ittihad)14 yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut „ilmu huduri‟ atau pengetahuan
swaobjek (self-object-knowledge).
c. Tahap Ketiga (pengungkapan)
pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan.
Namun, karena pengetahuan irfani bukan masuk tataan konsepsi dan representasi tetapi terkait
dengan kesatuan diri dalam Tuhan, sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua
pengalaman ini bisa diungkapkan.

Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-
agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh
kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan
ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Dalam filsafat, irfani lebih
dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa
melalui proses penalaran tertentu. Ciri khas intuisi antara lain; zauqi (rasa) yaitu melalui pengalaman
langsung, ilmu huduri yaitu kehadiran objek dalam diri subjek, dan eksistensial yaitu tanpa melalui
kategorisasi akan tetapi mengenalnya secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil
dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.

Dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, dijelaskan bahwa ada dua cara
mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena" (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang
kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm
Ladunny seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Haidir:
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang
Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”

Pengetahuan intuisi ada yang berdasar pengalaman indrawi seperti aroma atau warna sesuatu, ada
yang langsung diraih melalui nalar dan bersifat aksioma seperti A adalah A, ada juga ide cemerlang secara
tiba-tiba seperti halnya Newton ( 1642-1727 M) menemukan gaya gravitasi setelah melihat sebuah apel
yang terjatuh tidak jauh dari tempat ia duduk dan ada juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan
Nabi Ibrahim as.

3. Metodologi Pemikiran Burhani


Berbeda dengan bayani dan irfani yang masih berkaitan dengan teks suci, burhani menyandarkan
diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat dalil-dalil logika. Perbandingan ketiga epistemology in
adalah bahwa bayani menghasilkan pengetahuan lewat analogi furu‟ kepada yang asal, Irfani
menghasilkan pengetahaun lewat proses penyatuan ruhani pada Tuhan, Burhani menghasilkan
pengetahuan melalui prinsip-prinsip logika atas pengetahuan sebelumnya yang telah diyakini
kebenarannya.19 Dengan demikian sumber pengetahuan Burhani adalah rasio, bukan teks atau intuisi.
Rasio inilah yang memberikan penilaian dan keputusan terhadap informasi yang masuk lewat indera.
Burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi,
dan konseptualisasi (alhiss, al tajribah wa muhakamah 'aqliyah). Fungsi dan peran akal dalam
epistemologi berhani adalah sebagai alat analitik – kritis.
Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan
adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai
pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah
baik dan buruk (tansin dan tawbih). Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh
aliran berpaham rasionalis seperti Mu‟tazilah dan ulama-ulama moderat.
Epistemologi burhani disebut juga dengan pendekatan ilmiah dalam memahami agama atau
fenomena keagamaan. Epistemologi burhani dapat menggunakan pendekatan sejarah, sosiologi,
antropologi, psikologi, filsafat dan bahasa (hermeneutika).
Jika melihat pernyataan al-Qur'an, maka akan dijumpai sekian banyak ayat yang memerintahkan
manusia untuk menggunakan nalarnya dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak
ayat yang berbicara tentang hal ini dengan berbagai redaksi seperti ta'qilun, tatafakkarun, tadabbarun dan
lain-lain. lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia
digunakan dalam wilayah kerjanya.

BAB III
PENUTUP

3. 1 Kesimpulan

Dari beberapa uraian diatas dapatlah kita tarik sebuah kesimpulan bahwasanya:
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme diartikan sebagai pengetahuan (knowledge) dan
logos berarti ilmu atau teori (theory), jadi dari dua kata tersebut epistemologi dapat diartikan sebagai teori
pengetahuan. Adapun objek yang dibahas dalam epistimologi ini adalah sumber-sumber ilmu dan bagaimana
cara manusia memperoleh ilmu.
Sumber ilmu pengetahuan yang utama dalam Islam ialah al-qur‟an dan hadits (ijtihad). Sedangkan
sumber ilmu pengetahuan menurut barat ialah berpusat pada akal. Dengan tiga alitan utama yakni:
Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme.
Metodologi dimulai dengan penamaan dan pengkalifikasian semua benda yang diikuti oleh hasil
percobaan dan investigasi mitologis sistematis terkini. Adapun sumber metodologi dalam islam adalah dari Al-
Qur’am dan dari Sains Islam Klasik. Dalam khazanah Islam, dikenal tiga metodologi pemikiran yaitu Bayani,
Irfani dan Burhani
DAFTAR PUSTAKA

Susanto. (2011). Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemolis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi
Aksara.

Ariwidodo, Eko. (2013). “Logosentrisme Jacquis Derrida dalam Filsafat Bahasa”, Karsa, Vol. 21 No. 2.
http://dx.doi.org/10.19105/karsa.v21i2.38

Budi, Syah. (2016). Epistemologi Perspektif Islam dan Barat. Tasamuh. Vol. 6 No. 2.
http://ejournal.stain.sorong.ac.id/indeks.php/tasamuh

Harahap, Abdi Syahriak. (2020). Epistemologi : Teori, Konsep dan Sumber-Sumber Ilmu dalam Tradisi Islam.
Vol. 7 No. 2. https://ojs.diniyah.ac.id/index.php/DakwatulIslam/article/view/204

Hasan, Mochamad. (2018). Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani). Al-Murabbi. Vol. 3 No. 2.
https://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/pai/article/view/1094

Haris, Abd, dan Tohar Bayoangin. 2016. Epistemologi Islam. Perdana Publishing

Kartanegara, Mulyadhi. (2003). Pengantar Epistimologi Islam. Bandung: Mizan

M. Solihin. (2007). Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia.

__________. (2001). Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali. Bandung: Pustaka Setia.

Qomar, Mujamil. (2005). Epistemologi pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta:
Erlangga.

S. Suriasumantri, Jujun. (2005). Filsafat llmu. Jakarta: Surya Multi Grafika.

Supriyadi, Dedi. (2013). Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia

Yusuf Lubis, Akhyar. (2014). Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada

Jensen, M., C., dan W. Meckling. 1976. “Theory of the Firm: Managerial Behavior Agency Cost and Ownership
Structure”. Journal of Finance Economic 3:305-260

Brigham Eugene, F dan J. Houston. 2004. Fundamentals of Financial Management Dasar-Dasar Manajemen
Keuangan. Edisi 10. Buku 2. Jakarta: Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai