EPISTEMOLOGI ISLAM
Disusun Oleh
MAGISTER AKUNTANSI
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................... 3
BAB I............................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN................................................................................................................. 4
BAB II PEMBAHASAN......................................................................................................... 5
3. 1 Kesimpulan........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
Epistemologi secara sederhana bisa dimaknai pengetahuan. Menurut Milton, epistemology berasal dari
bahasa yunani yaitu episteme yang bermakna Knowledge, pengetahuan dan logos yang bermakna teori. Istilah
ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat
yaitu ontology dan epistemology.
Jika ontology mengkaji tentang wujud, hakikat dan metafisika. Maka epistemology membandingkan
kajian sistematik terhadap sifat, sumber dan validitas pengetahuan. Menurut mulyadhy kartanegara, ada dua
pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi yaitu pertama apa yang dapat diketahui(teori dan isi
ilmu) dan yang kedua bagaimana mengetahuinya (metodologi).
Dalam konsep Islam, Epistemologi adalah ilmu pengetahuan, ‘ilma al ‘ilm. Mempelajari asal usul,
hakikat, metode sebuah ilmu pengetahuan dengan tujuan mendapatkan keyakinan dengan didasarkan pada
paradigm tauhid. Epistemologi Islam sebagai wilayah diskursus filsafat mencakup dua pendekatan: yakni
genetivus subyectives (menempatkan Islam sebagai subyek) bagi titik tolak berfikir (starting point) dan genetivus
obyektivus (menempatkan filsafat pengetahuan sebagai subyek yang membicarakan Islam sebagai obyek
kajian).
Epistemologi Islam menelaah bagaimana pengetahuan itu pengetahuan itu menurut pandangan Islam,
bagaimana metologinya, serta bagaimana kebenaran dapat diperoleh dalam pandangan Islam atau proposisi
yang telah terbukti keabsahan.
BAB II
PEMBAHASAN
1. ‘ilmu adalah bentuk mufrad, dalam bentuk jamaknya adalah ‘uluumun yang berarti bahwa pengetahuan
mengenai sebuah hakikat keyakinanan dan pengetahuan.
2. Menurut Ahli Fiqih Ilmu adalah sebuah sifat yang tersingkap pada apa yang ia tuntut dengan
ketersingkapan yang tuntas.
3. Menurut Ahli Mantiq ilmu adalah pengetahuan yang belum diketahui dari aspek keyakinan, sangkaan
baik itu pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan maupun tidak.
Jika seseorang mengetahui sesuatu, maka itu berarti bahwa ia memiliki pengetahuan tentang sesuatu
itu. Dengan demikian, pengetahuan ialah suatu kata yang digunakan untuk menunjuk kepada apa yang diketahui
oleh sesorang tentang sesuatu.
Menurut Al-Kurdi dalam karyanya perbandingan epistemology antara Al-Qur’an dan Filsafat (nazariyyat
al-ma’fidah baina Alquran wa al-falsafah) ia menguraikan definisi ilmu dari para pemikir mu’tazillah, filosof
yunani, dan para ulamah ahlu sunah. Al-Kurdi menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan,
karena semua definisi yang diajukan masing-masing pakar berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa
aspek yang menjadi titik perhatiannya saja sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang had.
Penjelasan diatas dapat diindikasikan dengan jelas bahwa dalam islam mencakup dua pengertian;
Pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia. Kedua, sampainya jiwa manusia terdapat objek ilmu
melalui penelitian dan kajian. Sebagaimana firman Allah Q.S Al- Alaq 1-5:
Artinya : “Bacalah dengan (menyebut nama Tuhanmu Yang Menciptakan, Dia telah
Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
Pemurah, Yang Mengajar (manusia) dengan perantara kalam. Dia mengajar kepada
manusia apa yang tidak diketahuinya”
Sangat jelas ayat tersebut menginformasikan bahwa ilmu bisa diperoleh dengan aktivitas Iqra’ , juga bisa
diperoleh dengan anugerah Allah SWT langsung kepada manusia. Islam tidak mengenal dikotomi ilmu yang
satunya diakui yang lainnya tidak, yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan wahyu
tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis pengetahuan, baik itu logis-empiris maupun yang sifatnya wahyu, diakui
sebagai ilmu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran islam yang dikenal dengan klasifikasi (pembedaan) atau
diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.
Al- Ghazali mebagi ilmu dari aspek Ghard (tujuan/kegunaan) pada syar-iyyah dan ghair syar’iyyah.
Syar’iyyah berasal dari Nabi SAW, sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang dihasilkan dari akal seperti ilmu
hitung, dihasilkan dari eksperimen seperti pada kedokteran atau yang dihasilkan oleh pendengaran seperti ilmu
bahasa. Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan syar’iyyah merupakan aspek yang berurusan dengan agama
dan ketuhanan dan ghair syar’iyyah yang tidak diperintahkan oeh syara’ dan tidak pula disyarakan olehnya.
Sementara menurut Leaman, ia membagi ilmu menjadi alam syahadah yang merupakan alam yang
sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam (nyata) dan ‘alam al-ghaib yang merupakan alam yang
tersembunyi dan karenanya lebih dari sekedar pengetahuan proporsional. Cara memeperoleh pengetahuan
kedua jenis ini yaitu melalui wahyu. Klasifikasi seperti ini penting diterapkan agar tidak terjadi kekacauan ilmu.
Ketiga agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya
Ahmadiyyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah kesalah, melainkan sebuah pembenaran
bahwa Islam itu warna –warni. Demikian juga ketika sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama,
maka yang lahir kelas adalah pembajakan. Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai planet yang jumlahnya
tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh sebagian filosof muslim di abad pertengahan.
2. 4 Metodologi Islam
Dalam dunia keilmuan ada upaya ilmiah yang disebut metode, yaitu cara kejra untuk memahami objek
yang menjadi sasaran ilmu yang dikaji. Perter R. Senn mengemukakan bahwa metode merupakan suatu
prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Sedangkan metodologi
merupakan suatu pengkajian dalam memperlajari peraturan-peraturan metode tersebut. Secara sederhada
metodologi adalah ilmu tentang metode atau ilmu yang mempelajari prosedur atau cara-cara mengetahui
sesuatu.
Dapat dijelaskan urutan-urutan secara struktural teoritis antara epistimologi, metodologi dan metode
yaitu : dari epistemologi dilanjutkan dengan merinci metodologi, yang biasanya terfokus pada metode atau
teknik. Epistemolgi sendiri merupakan sub sistem fisalat, filsafat mencakup bahasan epsitemologi yang
mencakup bahasan metodologi, dan dari metodologi itulah akhirnya diperoleh metode. Dengan demikian, harus
disadari bahwa metodologi sangan penting dalam sejarah pertumbuhan ilmu pengetahuan. Sejarah
membuktikan bahwa semua ilmu tumbuh melalui metodologi baik itu ilmu sosiologi, ekonomi, antropologi dan
sebagainya.
Metodologi dimulai dengan penamaan dan pengkalifikasian semua benda yang diikuti oleh hasil
percobaan dan investigasi mitologis sistematis terkini. Adapun sumber metodologi dalam islam adalah dari Al-
Qur’am dan dari Sains Islam Klasik. Dalam khazanah Islam, dikenal tiga metodologi pemikiran yaitu Bayani,
Irfani dan Burhani.
1. Metodologi Pemikiran Bayani
Bayani adalah suatu epistimologi yang mencakup disipiln-disiplin ilmu yang berpangkal dari
bahasa Arab (yaitu nahwu, fiqh dan ushul fiqh, kalam dan balaghah). Dan pendekatan yang digunakan
adalah dengan pendekatan lughawiyah. Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani
dapat diartikan sebagai model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah
yang memiliki otoritas penuh menentukan arah kebenaran. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna
yang terkandung di dalamnya yang dapat diketehui melalui pencermatan hubungan antara makna dan
lafaz. Dan dikatakan pula bahwa peran akal dalam epistemologi bayani adalah sebagai
pengekang/pengatur hawa nafsu, justifikatif dan pengukuh kebenaran (otoritas teks).
Epistemologi bayani pada dasarnya telah digunakan oleh para fuqaha' (pakar fiqih),
mutakallimun (theolog) dan usulliyun (pakar usul al-fiqhi). Di mana mereka menggunakan bayani untuk:
a. Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung
atau dikehendaki dalam lafaz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan
makna zahir dari lafaz yang zahir pula.
b. Istinbat (pengkajian) hukum-hukum dari al-nushush al-diniyah (al-Qur'an dan Hadis).
Karena bayani berkaitan dengan teks, maka persoalan pokoknya adalah sekitar lafadz-makna
dan ushul-furu‟. Misalnya, apakah suatu teks dimaknai sesuai konteksnya atau makna aslinya (tauqif),
bagaimana menganalogikan kata-kata atau istilah yang tidak disinggung dalam teks suci, bagaimana
memakai istilah-istilah khusus dalam asma’ al-syar’iyyah, seperti kata shalat, shiyam, zakat.
Menurut Imam as-Syafi‟i, tiga asas epistemologi bayani adalah alQur‟an, as-Sunnah dan al-
Qiyas. Kemudian, beliau juga menyandarkan pada satu asas lagi, yaitu al-Ijma‟. Berdasarkan suatu
penelitian, ulama telah menetapkan bahwa dalildalil sebagai dasar acuan hukum syari‟ah tentang
perbuatan manusia dikembalikan kepada empat sumber, yaitu al-Qur‟an, as-Sunnah, al-Ijma‟ dan al-
Qiyas. Kemudian, yang dijadikan dalil pokok dan sumber dari hukum syari‟ah adalah al-Qur‟an dan as-
Sunnah, dimana as-Sunnah berfungsi sebagai interpretasi bagi keglobalan al-Qur‟an, dan sebagai
penjelas serta pelengkap al-Qur‟an.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-
agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh
kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan
ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Dalam filsafat, irfani lebih
dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa
melalui proses penalaran tertentu. Ciri khas intuisi antara lain; zauqi (rasa) yaitu melalui pengalaman
langsung, ilmu huduri yaitu kehadiran objek dalam diri subjek, dan eksistensial yaitu tanpa melalui
kategorisasi akan tetapi mengenalnya secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil
dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.
Dalam surah pertama yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, dijelaskan bahwa ada dua cara
mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena" (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang
kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat. Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm
Ladunny seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Haidir:
“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang
Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami
ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”
Pengetahuan intuisi ada yang berdasar pengalaman indrawi seperti aroma atau warna sesuatu, ada
yang langsung diraih melalui nalar dan bersifat aksioma seperti A adalah A, ada juga ide cemerlang secara
tiba-tiba seperti halnya Newton ( 1642-1727 M) menemukan gaya gravitasi setelah melihat sebuah apel
yang terjatuh tidak jauh dari tempat ia duduk dan ada juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan
Nabi Ibrahim as.
BAB III
PENUTUP
3. 1 Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas dapatlah kita tarik sebuah kesimpulan bahwasanya:
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme diartikan sebagai pengetahuan (knowledge) dan
logos berarti ilmu atau teori (theory), jadi dari dua kata tersebut epistemologi dapat diartikan sebagai teori
pengetahuan. Adapun objek yang dibahas dalam epistimologi ini adalah sumber-sumber ilmu dan bagaimana
cara manusia memperoleh ilmu.
Sumber ilmu pengetahuan yang utama dalam Islam ialah al-qur‟an dan hadits (ijtihad). Sedangkan
sumber ilmu pengetahuan menurut barat ialah berpusat pada akal. Dengan tiga alitan utama yakni:
Rasionalisme, Empirisme, dan Kritisisme.
Metodologi dimulai dengan penamaan dan pengkalifikasian semua benda yang diikuti oleh hasil
percobaan dan investigasi mitologis sistematis terkini. Adapun sumber metodologi dalam islam adalah dari Al-
Qur’am dan dari Sains Islam Klasik. Dalam khazanah Islam, dikenal tiga metodologi pemikiran yaitu Bayani,
Irfani dan Burhani
DAFTAR PUSTAKA
Susanto. (2011). Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemolis, dan Aksiologis. Jakarta: Bumi
Aksara.
Ariwidodo, Eko. (2013). “Logosentrisme Jacquis Derrida dalam Filsafat Bahasa”, Karsa, Vol. 21 No. 2.
http://dx.doi.org/10.19105/karsa.v21i2.38
Budi, Syah. (2016). Epistemologi Perspektif Islam dan Barat. Tasamuh. Vol. 6 No. 2.
http://ejournal.stain.sorong.ac.id/indeks.php/tasamuh
Harahap, Abdi Syahriak. (2020). Epistemologi : Teori, Konsep dan Sumber-Sumber Ilmu dalam Tradisi Islam.
Vol. 7 No. 2. https://ojs.diniyah.ac.id/index.php/DakwatulIslam/article/view/204
Hasan, Mochamad. (2018). Epistemologi Islam (Bayani, Burhani, Irfani). Al-Murabbi. Vol. 3 No. 2.
https://jurnal.yudharta.ac.id/v2/index.php/pai/article/view/1094
Haris, Abd, dan Tohar Bayoangin. 2016. Epistemologi Islam. Perdana Publishing
M. Solihin. (2007). Perkembangan Pemikiran Filsafat Dari Klasik Hingga Modern. Bandung: Pustaka Setia.
__________. (2001). Epistemologi Ilmu Dalam Sudut Pandang Al-Ghazali. Bandung: Pustaka Setia.
Qomar, Mujamil. (2005). Epistemologi pendidikan Islam: dari Metode Rasional hingga Metode Kritik. Jakarta:
Erlangga.
Supriyadi, Dedi. (2013). Pengantar Filsafat Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia
Yusuf Lubis, Akhyar. (2014). Filsafat Ilmu Klasik Hingga Kontemporer. Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada
Jensen, M., C., dan W. Meckling. 1976. “Theory of the Firm: Managerial Behavior Agency Cost and Ownership
Structure”. Journal of Finance Economic 3:305-260
Brigham Eugene, F dan J. Houston. 2004. Fundamentals of Financial Management Dasar-Dasar Manajemen
Keuangan. Edisi 10. Buku 2. Jakarta: Salemba Empat