Anda di halaman 1dari 32

ASPEK PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL DAN ISU

PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL DI MASA DEWASA AWAL

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah

Psikologi Perkembangan Orang Dewasa Dosen pengampu : Anandha Putri, M. Pd

Kelas BK 3B
Kelompok 2 Oleh :

1. Arif Rahman C1986201047


2. Hani Nurwahidah C1986201083
3. Lilis Fatiroh C1986201050
4. Rivan Kurniawan C1986201031
5. Tazkia Nuraulia H C1986201087

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TASIKMALAYA

2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam karena berkat izin
dan kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang sederhana ini pada
tepat waktu.

Pembuatan makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah “Psikologi
Perkembangan Orang Dewasa”. Adapun masalah yang dibahas dalam makalah ini
yaitu “Aspek Perkembangan Psikososial dan Isu Perkembangan Psikososial di Masa
Dewasa Awal”.

Dalam penulisan makalah ini penulis menemui berbagai hambatan dikarenakan


kurangnya ilmu pengetahuan penulisan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan
makalah ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak
yang telah membantu penyelesaian makalah sederhana ini.

Penulis sadar akan kemampuan menulis yang masih sederhana. Tapi dalam makalah
ini penulis telah berusaha semaksimal mungkin, tetapi penulis yakin bahwa penulisan
makalah ini masih banyak memiliki kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan mohon maaf.

Akhir kata, harapan penulis semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Meskipun makalah ini memiliki kekurangan dan kelebihan, namun penulis
mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Terima kasih.

Tasikmalaya, 22 Oktober 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................2
C. Tujuan............................................................................................................2
BAB II
KAJIAN MAKALAH .............................................................................................3
A. Diri, Identitas, dan Perkembangan Keagamaan / Spiritual ...........................3
1. Self Esteem (Harga Diri) .....................................................................3
2. Identitas ................................................................................................4
3. Perkembangan Agama dan Spiritual ...................................................7
D. Keluarga ...........................................................................................................7
1. Pemantauan Orang Tua ........................................................................7
2. Otonomi dan Lampiran ........................................................................7
3. Konflik Orang Tua ...............................................................................8
E. Teman ..............................................................................................................8
1. Persahabatan ........................................................................................8
F. Kebudayaan dan Perkembangan Remaja .........................................................9
1. Perbandingan Lintas Budaya ...............................................................9
2. Etnisitas ................................................................................................9
3. Media ...................................................................................................10
G. Masalah Remaja ...............................................................................................11
1. Kenakalan Remaja ...............................................................................11
2. Depresi dan Bunuh ..............................................................................12
3. Keterkaitan Masalah dan Program Pencegahan / Intervensi yang
Berhasil ................................................................................................12

BAB III
PEMBAHASAN.......................................................................................................14
A. Pengertian perkembangan psikososial ..........................................................14
H. Teori ahli mengenai psikososial masa dewasa awal .....................................14

ii
I. Tahapan perkembangan psikososial erikson .................................................17
1. Keintiman vs Isolasi (Intimacy versus Isolation) ................................17
2. Generativitas vs Stagnasi (Generativity vs Stagnacy) .........................17
3. Integritas Ego vs Keputusasaan (Ego Integrity versus Despair) .........19
J. Perubahan psikososial masa dewasa awal .....................................................20
1. Karier ...................................................................................................20
2. Seksualitas ...........................................................................................21
3. Masa Lajang ........................................................................................21
4. Masa Menjadi Orang Tua ....................................................................22
K. Kesehatan psikososial pada masa dewasa awal ............................................22
L. Isu perkembangan psikososial masa dewasa awal ........................................23
BAB IV
PENUTUP.................................................................................................................24
A. Kesimpulan....................................................................................................24
M. Implikasi terhadap Layanan BK.....................................................................24
N. Saran...............................................................................................................25
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Satu hal dalam belajar adalah hendaknya menjadi lebih baik untuk melihat ke
masa depan, belajar untuk mengantisipasi realitas hidup. Ini menjadi sangat
penting bagi masa kanak-kanak yang hidup dalam era globalisasi yang menuntut
keterbukaan dan kelunturan dalam pemikiran, serta kemampuan untuk
memecahkan masalah-masalah non rutin secara kreatif dan kritis. Dibutuhkan
keterampilan-keterampilan tertentu untuk menyiapkan masa depan kanak-kanak
dengan belajar melalui penanaman nilai-nilai agama dan hidup dengan baik.

Orang tua terkadang banyak yang tidak tahu akan perkembangan yang
terjadi pada anaknya, sehingga mereka tidak tahu akan kecepatan dan
keterlambatan yang terjadi pada perkembangan anak mereka. Padahal jika telah
terjadi keterlambatan perkembangan pada anak, anak membutuhkan
penanganan yang cepat agar tidak berdampak bagi berkelanjutan mereka.

Anak-anak mendapat tempat istimewa pada masyarakat karena mereka


menentukan generasi mendatang. Usia 2-6 tahun merupakan usia yang penting
dalam masa perkembangan, dan dalam masa-masa perkembangannya harus
sangat diperhatikan. Orang tua harus memperhatikan beberapa aspek
perkembangan yang terjadi pada anaknya.

Pekembangan fisik, kognitif, dan psikososial anak pada masa 2-6 ini tidak
bisa dikesampingkan pentingnya. Ketiga perkembangan itu sangat penting
dalam perkembangan anak, yang akan menentukan dan membawa perilaku
anak sampai ia dewasa.

1
B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian perkembangan psikososial

2. Bagaimana teori ahli mengenai psikososial masa dewasa awal

3. Bagaimana tahapan perkembangan psikososial erikson

4. Bagaimana perubahan psikososial masa dewasa awal

5. Bagaimana kesehatan psikososial pada masa dewasa awal

6. Apa saja isu perkembangan psikososial masa dewasa awal

C. TUJUAN

1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
bagaimana aspek perkembangan psikososial dan isu perkembangan psikososial
pada masa dewasa awal.
2. Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui pengertian perkembangan psikososial

2. Untuk mengetahui teori ahli mengenai psikososial masa dewasa awal

3. Untuk mengetahui tahapan perkembangan psikososial erikson

4. Untuk mengetahui perubahan psikososial masa dewasa awal

5. Untuk mengetahui kesehatan psikososial pada masa dewasa awal

6. Untuk mengetahui isu perkembangan psikososial masa dewasa awal

2
BAB II
ASPEK PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL DAN ISU
PERKEMBANGAN PSIKOSOSIAL DI MASA DEWASA AWAL

A. Diri, Identitas, dan Perkembangan Keagamaan / Spiritual


1. Self Esteem (Harga Diri)
Harga diri adalah keseluruhan cara kita mengevaluasi diri kita
sendiri. Kontroversi mencirikan sejauh mana harga diri berubah
selama masa remaja dan apakah ada perbedaan gender dalam harga
diri remaja (Harter, 2006). Dalam satu penelitian, baik anak laki-laki
dan perempuan memiliki harga diri yang tinggi di masa kanak-kanak,
tetapi harga diri mereka turun drastis selama masa remaja (Robins &
others, 2002).
Sebuah studi longitudinal Selandia Baru menilai harga diri remaja
pada usia 11, 13, dan 15 tahun serta penyesuaian dan kompetensi
individu yang sama ketika mereka berusia 26 tahun (Trzesniewski &
lainnya, 2006). Hasil penelitian mengungkapkan bahwa orang dewasa
yang dicirikan oleh kesehatan mental dan fisik yang lebih buruk,
prospek ekonomi yang lebih buruk, dan tingkat perilaku kriminal yang
lebih tinggi lebih cenderung memiliki harga diri yang rendah di masa
remaja daripada rekan-rekan dewasa mereka yang lebih mampu
menyesuaikan diri dan lebih kompeten.
Beberapa kritikus berpendapat bahwa perubahan perkembangan
dan perbedaan gender dalam harga diri selama masa remaja telah
dibesar-besarkan (Harter, 2006). Meskipun hasil dan interpretasi
berbeda, harga diri anak perempuan cenderung menurun setidaknya
selama awal masa remaja.
Harga diri mencerminkan persepsi yang tidak selalu sesuai dengan
kenyataan (Krueger, Vohs, & Baumeister, 2008). Harga diri seorang
remaja mungkin menunjukkan persepsi tentang apakah dia cerdas dan
menarik, misalnya, tetapi persepsi tersebut mungkin tidak akurat.
Dengan demikian, harga diri yang tinggi dapat merujuk pada persepsi
yang akurat dan dibenarkan tentang nilai seseorang sebagai pribadi
dan keberhasilan dan pencapaian seseorang, tetapi juga bias
menunjukkan rasa superioritas yang sombong, megah, tidak beralasan
atas orang lain. Dengan cara yang sama, harga diri yang rendah
mungkin menunjukkan persepsi yang akurat tentang kekurangan

3
seseorang atau ketidakamanan dan inferioritas yang terdistorsi, bahkan
patologis
2. Identitas
Identitas adalah potret diri yang terdiri dari banyak bagian, di
antaranya:
a. Karier dan jalur kerja yang ingin diikuti orang tersebut (kejuruan
/ identitas karier).
b. Apakah orang itu konservatif, liberal, atau orang tengah
(identitas politik).
c. Keyakinan spiritual orang tersebut (identitas agama)
d. Apakah orang tersebut lajang, menikah, bercerai, dan sebagainya
(identitas hubungan).
e. Sejauh mana orang tersebut termotivasi untuk berprestasi dan
bersifat intelektual (prestasi, identitas intelektual).
f. Apakah orang tersebut heteroseksual, homoseksual, atau
biseksual (identitas seksual).
g. Dari bagian dunia atau negara mana seseorang berasal dan
seberapa intens orang tersebut mengidentifikasi dengan warisan
budayanya (identitas budaya / etnis).
h. Hal-hal yang disukai seseorang, yang dapat mencakup olahraga,
musik, hobi, dan sebagainya (minat).
i. Ciri-ciri kepribadian individu, seperti introvert atau ekstrover,
cemas atau tenang, bersahabat atau bermusuhan, dan sebagainya
(personality).
j. Citra tubuh individu (identitas fisik).
Mensintesis komponen identitas bisa menjadi proses yang
panjang dan berlarut-larut, dengan banyak negasi dan penegasan
dari berbagai peran dan wajah. Pengembangan identitas
dilakukan sedikit demi sedikit. Keputusan tidak dibuat untuk
selamanya, tetapi harus dibuat lagi dan lagi. Perkembangan

4
identitas tidak terjadi dengan rapi, dan tidak terjadi secara
dahsyat (Cote, 2009).
Pandangan Erikson Erik Erikson (1950, 1968) yang
pertama kali memahami bagaimana pertanyaan sentral tentang
identitas untuk memahami perkembangan remaja. tahap
perkembangan kelima Erikson, yang dialami individu selama
masa remaja, adalah identitas versus kebingungan identitas.
Selama ini, kata Erikson, remaja dihadapkan pada keputusan
siapa mereka, tentang apa mereka, dan kemana tujuan hidup
mereka. Pencarian identitas pada masa remaja dibantu oleh
moratorium psikososial, yang merupakan istilah Erikson untuk
kesenjangan antara keamanan masa kanak-kanak dan otonomi
orang dewasa.
Selama periode ini, masyarakat membiarkan remaja relatif
bebas dari tanggung jawab dan bebas untuk mencoba identitas
yang berbeda. Para remaja bereksperimen dengan peran dan
kepribadian yang berbeda. Mereka mungkin ingin mengejar karir
satu bulan (pengacara, misalnya) dan karir lain di bulan
berikutnya (dokter, aktor, guru, pekerja sosial, atau astronot,
misalnya). Mereka mungkin berpakaian rapi suatu hari,
sembarangan di hari berikutnya.
Eksperimen ini adalah upaya yang disengaja di pihak
remaja untuk menemukan di mana mereka cocok Di dalam
dunia. Kebanyakan remaja pada akhirnya membuang peran yang
tidak diinginkan. Remaja yang berhasil mengatasi identitas yang
saling bertentangan muncul dengan perasaan baru yang
menyegarkan dan dapat diterima. Para remaja yang tidak berhasil
menyelesaikan krisis identitas ini menderita apa yang disebut
Erikson sebagai kebingungan identitas. Kebingungan mengambil
salah satu dari dua jalan: Individu menarik diri, mengisolasi diri
dari teman sebaya dan keluarga, atau mereka membenamkan diri
dalam dunia teman dan kehilangan identitas mereka di tengah
keramaian.
Peneliti Eriksonian James Marcia (1980, 1994) beralasan
bahwa teori Erikson tentang pengembangan identitas
mengandung empat alasan status identitas, atau cara

5
menyelesaikan krisis identitas: difusi identitas, penyitaan
identitas, moratorium identitas, dan pencapaian identitas
Empat status identitas tersebut adalah:
a. Difusi identitas, status individu yang belum mengalami
krisis atau membuat komitmen apa pun. Mereka tidak
hanya ragu-ragu tentang pilihan pekerjaan dan ideologis,
mereka juga cenderung menunjukkan sedikit minat dalam
masalah tersebut.
b. Penyitaan identitas adalah status individu yang telah
membuat komitmen tetapi tidak mengalami krisis. Ini
paling sering terjadi ketika orang tua memberikan
komitmen kepada remaja mereka, biasanya dengan cara
yang otoriter, sebelum remaja memiliki kesempatan
untuk mengeksplorasi pendekatan, ideologi, dan
panggilan yang berbeda sendiri.
c. Moratorium identitas adalah status individu yang berada
di tengah-tengah krisis tetapi komitmennya tidak ada atau
hanya didefinisikan secara samar-samar.
d. Pencapaian identitas adalah status individu yang telah
mengalami krisis dan membuat komitmen.
Emerging Adulthood and Beyond Sebuah konsensus sedang
berkembang bahwa perubahan kunci dalam identitas lebih
mungkin terjadi pada masa dewasa yang baru muncul (18 sampai
25 tahun) atau lebih lambat daripada di masa remaja (Cote, 2009;
Juang & Syed, 2010; Kroger, 2007; Luyckx & lainnya , 2008).
Misalnya, Alan Waterman (1985, 1999) telah menemukan bahwa
dari tahun-tahun sebelum sekolah menengah sampai beberapa
tahun terakhir perguruan tinggi, jumlah individu yang
memperoleh identitas meningkat, sedangkan jumlah penyebaran
identitas menurun. Dengan demikian, mahasiswa senior lebih
cenderung menjadi identitas yang diperoleh daripada mahasiswa
baru atau siswa sekolah menengah. Di sisi lain, banyak remaja
muda yang identitasnya tersebar. Perubahan perkembangan ini
terutama berlaku untuk kejuruan pilihan. Dalam hal keyakinan
agama dan ideologi politik, lebih sedikit mahasiswa yang
mencapai status pencapaian identitas; sejumlah besar dicirikan

6
oleh penyitaan dan difusi. Jadi, waktu pengembangan identitas
mungkin bergantung pada dimensi tertentu yang terlibat.
Identitas etnik Di seluruh dunia, kelompok etnis minoritas
telah berjuang untuk mempertahankan identitas etnis mereka
sambil berbaur dengan budaya dominan (Erikson, 1968).
Identitas etnik adalah aspek abadi dari diri yang mencakup rasa
keanggotaan dalam suatu kelompok etnis, bersama dengan sikap
dan perasaan yang terkait dengan keanggotaan itu.

3. Perkembangan Agama Dan Spiritual


Agama juga berperan dalam kesehatan remaja dan apakah
mereka terlibat dalam perilaku bermasalah (Cotton & lain-lain, 2006).
Misalnya, dalam sampel acak nasional baru-baru ini lebih dari 2.000
anak usia 11 hingga 18 tahun, mereka yang religiusitasnya lebih tinggi
cenderung tidak merokok, minum alkohol, menggunakan ganja, tidak
membolos sekolah, tidak terlibat dalam nakal. aktivitas, dan tidak
menjadi depresi dibandingkan rekan-rekan religiusitas rendah mereka
(Sinha, Cnaan, & Gelles, 2006). Banyak remaja religius juga
mengadopsi pesan agamanya tentang kepedulian dan kepedulian
terhadap orang lain. Misalnya, dalam satu survei, pemuda religius
hampir tiga kali lebih mungkin terlibat dalam layanan masyarakat
daripada pemuda non-religius (Youniss, McLellan, & Yates, 1999).

B. Keluarga
1. Pemantauan Orang Tua
Aspek kunci dari peran manajerial parenting di masa remaja secara
efektif memantau perkembangan remaja (Gauvain & Parke, 2010;
Smetana & lain-lain, 2010). Pemantauan termasuk mengawasi pilihan
pengaturan sosial, kegiatan, dan teman remaja, serta upaya akademis
mereka.
Penelitian terbaru tentang pemantauan orang tua telah bergeser dari
penekanan eksklusif pada peran orang tua dalam memantau keberadaan
dan kegiatan remaja untuk memasukkan peran aktif remaja dalam
mengelola akses orang tua mereka ke informasi (Keijsers & Laird, 2010;

7
Smetana & others, 2010; Stattin & Kerr, 2000). Misalnya, minat baru-
baru ini yang melibatkan pemantauan orang tua berfokus pada
pengungkapan sukarela remaja (Cumsille, Darling, & Martinez, 2010;
Keijsers & Laird, 2010). Remaja lebih bersedia untuk mengungkapkan
informasi kepada orang tua ketika orang tua mengajukan pertanyaan
kepada remaja dan ketika hubungan remaja dengan orang tua ditandai
dengan tingkat kepercayaan, penerimaan, dan kualitas yang tinggi
(Daddis & Randolph, 2010; Keijsers & others, 2010).
2. Otonomi dan Lampiran
Dorongan remaja yang khas untuk teka-teki otonomi dan tanggung
jawab dan membuat marah banyak orang tua. Sebagian besar orang tua
mengantisipasi bahwa anak remaja mereka akan mengalami kesulitan
menyesuaikan diri dengan perubahan yang dibawa oleh masa remaja,
tetapi hanya sedikit orang tua yang membayangkan dan memprediksi
seberapa kuat keinginan remaja untuk menghabiskan waktu dengan teman
sebaya atau seberapa kuat remaja ingin menunjukkan bahwa itu memang
mereka bukan orang tua mereka yang bertanggung jawab atas kesuksesan
dan kegagalan mereka.
Kemampuan remaja untuk mencapai otonomi dan mendapatkan
kendali atas perilaku mereka diperoleh melalui reaksi orang dewasa yang
sesuai dengan keinginan mereka untuk mengontrol (Laursen & Collins,
2009; McElhaney & lainnya, 2009). Pada permulaan masa remaja, rata-
rata individu tidak memiliki pengetahuan untuk membuat keputusan yang
tepat atau matang di semua bidang kehidupan. Saat remaja mendorong
otonomi, orang dewasa yang bijak melepaskan kendali di area di mana
remaja dapat membuat keputusan yang masuk akal, tetapi terus
membimbing remaja
3. Konflik Orang Tua
Meskipun konflik orang tua-remaja meningkat pada masa remaja
awal, konflik ini tidak mencapai proporsi yang kacau yang dibayangkan
G. Stanley Hall pada awal abad ke-20 (Laursen & Collins, 2009).
Sebaliknya, sebagian besar konflik melibatkan peristiwa sehari-hari
dalam kehidupan keluarga, seperti menjaga kebersihan kamar tidur,
berpakaian rapi, pulang pada waktu tertentu, dan tidak berbicara terus-
menerus di telepon. Konflik jarang melibatkan dilema besar seperti
narkoba atau kenakalan. Konflik dengan orang tua sering meningkat
selama masa remaja awal, tetap stabil selama tahun-tahun sekolah

8
menengah, dan kemudian berkurang ketika remaja mencapai usia 17
hingga 20 tahun.
C. Teman
Teman sebaya memainkan peran penting dalam kehidupan remaja
(Brown & Dietz, 2009; Vitaro, Boivin, & Bukowski, 2009). Hubungan teman
sebaya mengalami perubahan penting pada masa remaja, termasuk perubahan
dalam persahabatan dan kelompok teman sebaya serta awal dari hubungan
romantis.
1. Persahabatan
Harry Stack Sullivan (1953) adalah ahli teori yang paling
berpengaruh untuk membahas pentingnya persahabatan remaja. Di
masa remaja, kata Sullivan, teman menjadi semakin penting dalam
memenuhi kebutuhan sosial. Secara khusus, Sullivan berpendapat
bahwa kebutuhan akan keintiman semakin intensif selama awal masa
remaja, sehingga memotivasi remaja untuk mencari teman dekat. Jika
remaja gagal mengembangkan persahabatan yang begitu dekat,
mereka mengalami kesepian dan berkurangnya harga diri. Banyak ide
Sullivan telah bertahan dalam ujian waktu. Misalnya, remaja
melaporkan mengungkapkan informasi pribadi dan intim kepada
teman mereka lebih sering daripada anak-anak yang lebih kecil
(Buhrmester, 1998).
Para remaja juga mengatakan bahwa mereka lebih bergantung
pada teman daripada pada orang tua untuk memuaskan kebutuhan
mereka akan persahabatan, jaminan harga, dan keintiman. Naik
turunnya pengalaman dengan teman membentuk kesejahteraan remaja
(Bukowski, Motzoi, & Meyer, 2009; Laursen & Pursell, 2009).
Karakteristik teman memiliki pengaruh yang penting terhadap
perkembangan remaja (Erath & others, 2010; Vitaro, Boivin, &
Bukowski, 2009). Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan bahwa
nilai rata-rata teman-teman adalah prediktor yang konsisten dari
prestasi sekolah yang positif dan juga dikaitkan dengan tingkat
perilaku negatif yang lebih rendah di berbagai bidang seperti
penyalahgunaan narkoba dan tindakan (Cook, Deng, & Morgano,
2007).
D. Kebudayaan dan Perkembangan Remaja
1. Perbandingan Lintas Budaya

9
Tradisi dan Perubahan Remaja di Seluruh Dunia Bergantung kepada
Dalam budaya, masa remaja mungkin melibatkan banyak pengalaman yang
berbeda (Larson, Wilson, & Rickman, 2009; Schlegel, 2009) .
Keluarga Di beberapa negara, remaja tumbuh dalam keluarga yang erat
dengan jaringan kerabat luas yang mempertahankan cara hidup tradisional.
Misalnya, di negara-negara Arab "remaja diajari kode etik dan loyalitas yang
ketat" (Brown & Larson, 2002, hlm. 6).
Singkatnya, kehidupan remaja diwarnai dengan kombinasi perubahan
dan tradisi. Peneliti telah menemukan persamaan dan perbedaan
pengalaman remaja di berbagai negara (Larson, Wilson, & Rickman, 2009;
Schlegel, 2009).
2. Etnisitas
Etnisitas dan Status Sosial Ekonomi Banyak penelitian tentang
etnis minoritas remaja telah gagal untuk memisahkan pengaruh etnis
dan status sosial ekonomi. Etnisitas dan status sosial ekonomi dapat
berinteraksi dengan cara yang membesar-besarkan pengaruh etnis
karena individu etnis minoritas terlalu terwakili di tingkat sosial
ekonomi yang lebih rendah dari masyarakat Amerika (Healey, 2009;
Rowley, Kurtz-Costes, & Cooper, 2010). Akibatnya, peneliti terlalu
sering memberikan penjelasan etnis untuk aspek-aspek perkembangan
remaja yang sebagian besar lebih disebabkan oleh status sosial
ekonomi. Tidak semua keluarga etnis minoritas miskin. Namun,
kemiskinan berkontribusi pada pengalaman hidup yang penuh tekanan
dari banyak remaja etnis minoritas (Kao & Turney, 2010; McLoyd &
lainnya, 2009).
Dengan demikian, banyak remaja etnis minoritas mengalami
kerugian ganda: (1) prasangka, diskriminasi, dan bias karena status
etnis minoritas mereka; dan (2) efek stres dari kemiskinan. Meskipun
beberapa pemuda etnis minoritas memiliki latar belakang pendapatan
menengah, namun keuntungan ekonomi tidak sepenuhnya
memungkinkan mereka untuk lepas dari prasangka, diskriminasi, dan
bias yang terkait dengan menjadi anggota kelompok etnis minoritas
(McLoyd & others, 2009).
Dalam sebuah penelitian, diskriminasi terhadap siswa Afrika-
Amerika kelas 7 hingga 10 dikaitkan dengan tingkat fungsi psikologis
mereka yang lebih rendah, termasuk stres yang dirasakan, gejala
depresi, dan persepsi kesejahteraan yang lebih rendah; sikap yang

10
lebih positif terhadap orang Afrika-Amerika dikaitkan dengan fungsi
psikologis yang lebih positif pada remaja (Penjual & orang lain, 2006).
3. Media
Penggunaan Media Sebuah studi nasional melihat secara
mendalam pada kebiasaan media anak-anak dan remaja (Rideout,
Roberts, & Foehr, 2005). Menyurvei lebih dari 2.200 anak dan remaja
dari usia 8 hingga 18 tahun, penelitian tersebut menegaskan bahwa
kaum muda saat ini dikelilingi oleh media. Rata-rata, mereka
menghabiskan 6½ jam sehari (44½ jam seminggu) dengan media,
sementara hanya menghabiskan 2¼ jam sehari dengan orang tua dan
hanya 50 menit sehari untuk pekerjaan rumah.
Terlepas dari semua teknologi yang baru dikembangkan tersedia,
sebagian besar waktu dihabiskan untuk menonton TV (lebih dari 3 jam
sehari). Namun, nanti dalam pembahasan kita, Anda akan melihat
bahwa remaja dengan cepat meningkatkan jumlah waktu yang mereka
habiskan untuk online. Tren utama dalam penggunaan teknologi
adalah peningkatan dramatis dalam multitasking media (Roberts,
Henriksen, & Foehr, 2009). Perkiraan terbaru menunjukkan bahwa
ketika multitasking media diperhitungkan, anak usia 8 hingga 18 tahun
menggunakan media rata-rata 8 jam per hari (Roberts & Foehr, 2008).
Misalnya, tidak jarang remaja melakukan simulasi.

E. Masalah Remaja
1. Kenakalan Remaja
Meskipun kenakalan kurang eksklusif merupakan fenomena status
sosial ekonomi yang lebih rendah daripada di masa lalu, beberapa
karakteristik budaya kelas bawah mungkin mendorong kenakalan (Thio,
2010). Norma dari banyak kelompok dan geng SES yang lebih rendah
bersifat antisosial, atau kontraproduktif, terhadap tujuan dan norma
masyarakat pada umumnya. Masuk dan keluar dari masalah adalah ciri-
ciri hidup yang menonjol bagi beberapa remaja di lingkungan
berpenghasilan rendah. Menjadi "tangguh" dan "maskulin" adalah ciri-
ciri berstatus tinggi untuk anak laki-laki dengan SES rendah, dan sifat
ini sering diukur dari keberhasilan remaja dalam melakukan dan lolos
dari tindakan nakal.
Remaja di komunitas dengan tingkat kejahatan yang tinggi
mengamati banyak model yang terlibat dalam kegiatan kriminal (Loeber

11
& lainnya, 2007). Komunitas ini dapat dicirikan oleh kemiskinan,
pengangguran, dan perasaan terasing terhadap kelas menengah (Thio,
2010). Sekolah yang berkualitas, pendanaan pendidikan, dan kegiatan
lingkungan yang terorganisir mungkin kurang dalam komunitas ini
(Molnar & lain-lain, 2007). Sebuah studi baru-baru ini mengungkapkan
bahwa keterhubungan sekolah remaja muda menahan efek hubungan
keluarga yang negatif dan kontrol diri yang buruk pada perkembangan
masalah perilaku (Loukas, Roalson, & Herrera, 2010).

2. Depresi dan Bunuh


Tingkat pernah mengalami gangguan depresi mayor berkisar antara 15
sampai 20 persen pada remaja (Graber & Sontag, 2009). Pada sekitar
usia 15, remaja perempuan memiliki tingkat depresi dua kali lipat dari
remaja laki-laki. Di antara alasan perbedaan gender ini adalah karena
wanita cenderung merenungkan suasana hati mereka yang tertekan dan
memperkuatnya; citra-diri perempuan, terutama citra tubuh mereka,
lebih negatif daripada citra-diri laki-laki; perempuan menghadapi lebih
banyak diskriminasi daripada laki-laki; dan pubertas terjadi lebih awal
pada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki (Nolen-Hoeksema,
2010). Akibatnya anak perempuan mengalami tumpukan perubahan dan
pengalaman hidup di tahun-tahun sekolah menengah yang dapat
meningkatkan depresi (Hammen, 2009).
3. Keterkaitan Masalah Dan Program Pencegahan / Intervensi Yang
Berhasil
Empat masalah yang mempengaruhi sebagian besar remaja adalah
(1) penyalahgunaan narkoba, (2) kenakalan remaja, (3) masalah seksual,
dan (4) masalah yang berhubungan dengan sekolah (Dryfoos, 1990;
Dryfoos & Barkin, 2006). Remaja yang paling berisiko mengalami lebih
dari satu masalah ini. Peneliti semakin menemukan bahwa masalah
perilaku pada masa remaja saling terkait (Hipwell & others, 2010;
McMurran & others, 2010). Misalnya, penyalahgunaan zat berat terkait
dengan aktivitas seksual dini, nilai rendah, putus sekolah, dan kenakalan
(Caminis & lain-lain, 2007).
Inisiasi awal aktivitas seksual dikaitkan dengan penggunaan rokok
dan alkohol, itu penggunaan mariyuana dan obat-obatan terlarang
lainnya, nilai rendah, putus sekolah, dan kenakalan (Aalsma & lain-lain,
2010). Kenakalan berhubungan dengan aktivitas seksual dini, awal

12
kehamilan, penyalahgunaan zat, dan putus sekolah (Chew & others,
2010; D'Amico & others, 2008). Sebanyak 10 persen remaja di Amerika
Serikat diperkirakan terlibat dalam keempat perilaku bermasalah ini
(misalnya, remaja yang putus sekolah tertinggal di kelasnya, adalah
pengguna narkoba berat, secara teratur menggunakan rokok. dan
mariyuana, dan aktif secara seksual tetapi tidak menggunakan
kontrasepsi).
Pada tahun 1990, diperkirakan bahwa 15 persen remaja berisiko
tinggi lainnya terlibat dalam dua atau tiga dari empat perilaku
bermasalah utama (Dryfoos, 1990). Baru-baru ini, angka ini meningkat
menjadi 20 persen dari semua remaja AS (Dryfoos & Tinjauan program
yang telah berhasil dalam mencegah atau mengurangi masalah remaja
menemukan komponen umum berikut (Dryfoos, 1990; Dryfoos &
Barkin, 2006):
a. Perhatian individual yang intensif
Dalam program yang berhasil, remaja berisiko tinggi terikat
pada orang dewasa yang bertanggung jawab, yang memberikan
perhatian remaja dan menangani kebutuhan khusus remaja.
Tema ini muncul di sejumlah program. Dalam program
penyalahgunaan zat yang berhasil, konselor bantuan siswa
tersedia penuh waktu untuk konseling individu dan rujukan
untuk perawatan.
b. Pendekatan kolaboratif multi-lembaga di seluruh komunitas
Filosofi dasar dari program-program komunitas adalah
bahwa sejumlah program dan layanan yang berbeda harus ada.
Dalam satu program penyalahgunaan zat yang berhasil,
kampanye promosi kesehatan di seluruh komunitas telah
dilaksanakan yang menggunakan media lokal dan pendidikan
komunitas, sejalan dengan kurikulum penyalahgunaan zat di
sekolah.
c. Identifikasi dan intervensi dini
Menjangkau anak-anak yang lebih kecil dan keluarganya
sebelum anak-anak mengembangkan masalah, atau pada awal
masalah mereka, adalah strategi yang berhasil. Satu program
prasekolah berfungsi sebagai model yang sangat baik untuk
pencegahan kenakalan, kehamilan, penyalahgunaan zat, dan
putus sekolah. Dioperasikan oleh High / Scope Foundation di

13
Ypsilanti, Michigan, Perry Preschool telah memberikan dampak
positif jangka panjang bagi siswanya. Program pengayaan ini,
diarahkan oleh David Weikart, melayani anak-anak Afrika-
Amerika yang kurang beruntung. Mereka menghadiri program
prasekolah dua tahun berkualitas tinggi dan menerima kunjungan
rumah mingguan dari personel program.
Berdasarkan catatan resmi polisi, pada usia 19 tahun,
individu yang telah menghadiri program Perry Preschool lebih
kecil kemungkinannya untuk ditangkap dan melaporkan lebih
sedikit pelanggaran orang dewasa dari pada kelompok kontrol.
Siswa Perry Preschool juga cenderung tidak putus sekolah, dan
guru menilai perilaku sosial mereka lebih kompeten daripada
kelompok kontrol yang tidak menerima pengalaman prasekolah
yang diperkaya (High / Scope Resource, 2005). Untuk membaca
lebih lanjut tentang anak-anak mana yang paling mungkin
memperoleh manfaat dari intervensi dini, lihat Terhubung
Melalui Penelitian.

14
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkembangan Psikososial

Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang


mencakup aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada
hubungan yang dinamis atau faktor psikis atau sosial, yang saling berinteraksi
dan mempengaruhi satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata psiko
dan sosial. Kata psiko mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran,
perasaan dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal
individu dengan orang-orang disekitarnya (Pusat Krisis Fakultas Psikologi
UI). Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial yang mencakup
faktor-faktor psikis (Chaplin, 2011).

B. Teori Ahli mengenai Psikososial Masa Dewasa Awal


Erik Erikson sangat dikenal dengan tulisan-tulisannya di bidang
psikologi anak. Berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual
Freud yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, erikson
mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek
perkembangan sosial. Dia mengembangkan teori yang disebut theory of
psychosocial Develoment (teori perkembangan psikososial) di mana ia
membagi tahap-tahap perkembangan manusia menjadi delapan tahapan.
Erik Erikson lahir di Franfrurt Jerman, pada tanggal 15 Juni 1902 adalah
ahli analisa jiwa dari Amerika, yang membuat kontribusi-kontribusi utama
dalam pekerjaannya di bidang psikologi pada pengembangan anak dan pada
krisis identitas.
Erikson kecil bukanlah siswa pandai, karena ia adalah seorang yang
tidak menyenangi atmosfer sekolah yang formal. Ia oleh orang tua dan teman-
temannya dikenal sebagai seorang pengembara hingga ia pun tidak sempat

15
menyelesaikan program diploma. Tetapi perjalanan Erikson ke beberapa
negara dan perjumpaannya dengan beberapa penggiat ilmu menjadikannya
seorang ilmuwan sekaligus seniman yang diperhitungkan. Pertama ia
berjumpa dengan ahli analisa jiwa dari Austria yaitu Anna Freud. Dengan
dorongannya, ia mulai mempelajari ilmu tersebut di Vienna Psychoanalytic
Institute, kemudian ia mengkhususkan diri dalam psikoanalisa anak.
Erik H. Erikson sangat dikenal dengan tulisan-tulisannya dibidang
psikologi anak. Berangkat dari teori tahap-tahap perkembangan psikoseksual
dari Frued yang lebih menekankan pada dorongan-dorongan seksual, Erikson
mengembangkan teori tersebut dengan menekankan pada aspek-aspek
perkembangan sosial. dia mengembangkan teori yang disebut theory of
psychosocial of development (teori perkembangan psikososial) dimana ia
membagi tahap-tahap perkembangan manusia menjadi delapan tahap.
Erik H. Erkson penganut non-frudian disebut sebagai tokoh yang paling
pokal untuk menolak cara pandang psikolisasi konvensional. Dia lebih
berkonsentrasi pada pengaruh lingkungan sosial pada perkembangan
kepribadian manusia sehingga teori perkembngannya disebut perkembangan
psikososial.
Menurut erikson, ego sebagian bersifat tak sadar mengorganisir dan
mensintetis pengalaman sekarang dengan pengalaman dari masa lalu dan
dengan diri masa yang akan datang dia menemukan tiga aspek ego yang
paling sering berhubungan yakni:
1. body ego: mengacu kepengalaman orang dengan tubuh/fisiknya
sendiri.
2. ego ideal: gambaran mengenai bagaimana seharusnya diri,
sesuatuyang bersifat ideal.
3. ego identity : gambaran mengenai diri dalam berbagai peran sosial.
Banyak teori mengenai perkembangan psikososial, yang paling banyak
dianut adalah teori psikosisal dari Erik Erikson. Teori psikososial dari Erik

16
Erikson meliputi delapan tahap yang saling berurutan sepanjang hidup. Hasil
dari tiap tahap tergantung dari hasil tahapan sebelumnya, dan resolusi yang
sukses dari tiap krisis ego adalah penting bagi individu untuk dapat tumbuh
secara optimal. Ego harus mengembangkan kesanggupan 3 yang berbeda
untuk mengatasi tiap tuntutan penyesuaian dari masyarakat.2,3 Berikut adalah
delapan tahapan perkembangan psikososial menurut Erik Erikson :
1. Tahap 1 : Trust versus Mistrust (0-1 tahun).
2. Tahap 2 : Autonomy vs Shame and Doubt (18 blan-3 tahun).
3. Tahap 3 ; Initiative vs Guilt (3-6 tahun).
4. Tahap 4 : Industry vs Inferiority (6-12 tahun).
5. Tahap 5 : Identity vs Role Cunfusion (12-18 tahun).
6. Tahap 6 ; Intimac vs Isolation (18-35 tahun).
7. Tahap 7 ; Generativity vs Stagnation (35-64 tahun).
8. Tahap 8 : Integrity vs Despair (65 tahun keatas).
Dasar dari teori Erikson adalah sebuah konsep yang mempunyai
tingkatan.37 Ada delapan tingkatan yang menjadi bagian dari teori psikososial
Erikson, yang akan dilalui oleh manusia. Setiap manusia dapat naik ke tingkat
berikutnya walaupun tidak sepenuhnya tuntas mengalami perkembangan pada
tingkat sebelumnya. Setiap tingkatan dalam teori Erikson berhubungan
dengan semua bidang kehidupan yang artinya jika setiap tingkatan itu
tertangani dengan baik oleh manusia, maka individu tersebut akan merasa
pandai. Sebaliknya jika tingkatan-tingkatan tersebut tidak tertangani dengan
baik, akan muncul perasaan tidak selaras pada orang tersebut.
Erikson percaya bahwa dalam setiap tingkat, seseorang akan mengalami
konflik atau krisis yang akan menjadi titik balik dalam setiap
perkembangannya. Menurut pendapatnya, konflik-konflik ini berpusat pada
perkembangan kualitas psikologi atau kegagalan dalam pengembangan
kualitas tersebut. Selama masa ini, potensi pertumbuhan pribadi meningkat
sejalan dengan potensi kegagalannya pula

17
C. Tahapan Perkembangan Psikososial Erikson
Ada tiga tahapan perkembangan psikososial pada usia dewasa antara lain:
1. Keintiman vs isolasi (intimacy versus isolation)
Keintiman vs isolasi (intimacy versus isolation) adalah tantangan
pada usia dewasa muda, hal terpenting pada tahap ini adalah adanya
suatu hubungan (Erikson 1902- 1994 dalam Wade & Tavris, 2008).
Masa dewasa awal (young adulthood) ditandai adanya kecenderungan
intimacy dan isolation. Pada tahap ini individu sudah mulai selektif
membina hubungan yang intim, hanya dengan orang-orang tertentu
yang sepaham. Jadi pada tahap ini timbul dorongan untuk membentuk
hubungan yang intim dengan orang-orang tertentu, dan kurang akrab
atau renggang dengan orang lainnya.
Pemahaman dalam kedekatan dengan orang lain mengandung
arti adanya kerjasama yang terjalin dengan orang lain. Akan tetapi,
peristiwa ini akan memiliki pengaruh yang berbeda apabila seseorang
dalam tahap ini tidak mempunyai kemampuan untuk menjalin relasi
dengan orang lain secara baik sehingga akan tumbuh sifat merasa
terisolasi. Adanya kecenderungan maladaptif yang muncul dalam
periode ini ialah rasa cuek, dimana seseorang sudah merasa terlalu
bebas, sehingga mereka dapat berbuat sesuka hati tanpa memedulikan
dan merasa tergantung pada segala bentuk hubungan misalnya dalam
hubungan dengan sahabat, tetangga, bahkan dengan orang kekasih
kita.
Sementara dari segi lain (malignansi) akan terjadi keterkucilan,
yaitu kecenderungan orang untuk mengisolasi atau menutup diri
sendiri dari cinta, persahabatan, dan masyarakat, selain itu dapat juga
muncul rasa benci dan dendam sebagai bentuk dari kesendirian dan
kesepian yang dirasakan. Orang dewasa muda perlu membentuk

18
hubungan dekat dan cinta dengan orang lain. Cinta yang dimakdsud
tidak hanya mencakup hubungan dengan kekasih namun juga
hubungan dengan orang tua, tetangga, sahabat, dan lain-lain.
Ritualisasi yang terjadi pada tahap ini yaitu adanya afilisiasi dan
elitism. Afilisiasi menunjukkan suatu sikap yang baik dengan
mencerminkan sikap untuk mempertahankan cinta yang dibangun
dengan sahabat, dan kekasih. Sedangkan elitisme menunjukkan sikap
yang kurang terbuka dan selalu menaruh curiga terhadap orang lain.
Keberhasilan memunculkan hubungan kuat, sedangkan
kegagalan menghasilkan kesepian dan kesendirian (Erikson dalam
Sumanto, 2014).
2. Generativitas vs stagnasi (generativity versus stagnation)
Generativitas vs stagnasi (generativity versus stagnation) adalah
tantangan pada masa paruh baya. Generativitas adalah perluasan cinta
ke masa depan (Erikson 1902- 1994 dalam Wade & Tavris, 2008).
Pada tahap ini salah satu tugas untuk dicapai ialah dapat mengabdikan
diri guna keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generativitas)
dengan tidak berbuat apa-apa (stagnansi). Orang dewasa perlu
menciptakan atau memelihara hal-hal yang akan menjadi penerus
hidup mereka, kerap dengan memiliki anak atau menciptakan suatu
perubahan positif yang memberi manfaat bagi orang lain. Melalui
generativitas akan dapat dicerminkan sikap memerdulikan orang lain,
sedangkan stagnasi yaitu pemujaan terhadap diri sendiri atau
digambarkan dengan tidak perduli dengan siapa pun.
Maladaptif yang kuat akan menimbulkan sikap terlalu perduli,
sehingga mereka tidak punya waktu untuk mengurus diri sendiri.
Selain itu malignansi yang ada adalah penolakan, dimana seseorang
tidak dapat berperan secara baik dalam lingkungan kehidupannya

19
akibat dari semua itu kehadirannya di tengah-tengah area
kehidupannya kurang mendapat sambutan yang baik.
Harapan yang ingin dicapai pada masa ini yaitu terjadinya
keseimbangan antara generativitas dan stagnasi guna mendapatkan
nilai positif. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generasional dan
otoritisme.
Generasional ialah suatu interaksi/hubungan yang terjalin secara
baik dan menyenangkan antara orang-orang yang berada pada usia
dewasa dan para penerusnya. Sedangkan otoritisme yaitu apabila
orang dewasa merasa memiliki kemampuan yang lebih berdasarkan
pengalaman yang mereka alami serta memberikan segala peraturan
yang ada untuk dilaksanakan secara memaksa, sehingga hubungan di
antara orang dewasa dan penerusnya tidak akan berlangsung dengan
baik dan menyenangkan (Erikson dalam Sumanto, 2014).
Keberhasilan mendorong perasaan kebergunaan dan pencapaian,
sedangkan kegagalan menghasilkan keterlibatan yang rendah di dunia
(Upton, 2012).
3. Integritas ego vs keputusasaan (ego integrity versus despair)
Integritas ego vs keputusasaan (ego integrity versus despair)
adalah tantangan akhir dari masa lanjut usia (Erikson 1902-1994
dalam Wade & Tavris, 2008). Hal terpenting pada masa ini ialah
adanya refleksi atas kehidupan. Saat beranjak tua, orang berusaha
mencapai tujuan akhir yaitu kebijaksanaan, ketenangan spiritual, dan
penerimaan dalam hidup.
Orang dewasa akhir perlu melihat ke belakang dalam kehidupan
mereka dan merasakan suatu rasa pemenuhan. Keberhasilan tahap ini
mendorong perasaan arif, sedangkan kegagalan menghasilkan
penyesalan, kepahitan, dan keputusasaan (Upton, 2012).

20
D. Perubahan Psikososial Masa Dewasa Awal
Kesehatan emosi pada masa dewasa awal berhubungan dengan
kemampuan individu untuk menempatkan dan memisahkan antara tugas
pribadi dan tugas sosial. Dewasa awal biasanya terperangkap antara keinginan
untuk memperpanjang rasa tidak tanggung jawabnya sewaktu remaja, tetapi
juga ingin dianggap sebagai orang dewasa. Di antara usia 23-28 tahun,
individu mulai memperbaiki persepsi diri dan kemampuannya untuk akrab
dengan orang lain.
Di usia 29-34 tahun, individu mengarahkan banyak energi pada
pencapaian dan penguasaan dunia sekitar. Sedangkan usia 35-43 tahun
merupakan waktu ujian terkuat dalam mencapai tujuan dan hubungan hidup.
Individu membuat perubahan dalam diri sosial, dan tempat kerjanya. Biasanya
stres akibat ujian yang berulang bisa menyebabkan krisis paruh baya atau
midlife crisis, dimana terjadi perubahan pada pasangan pernikahan, gaya
hidup, dan pekerjaan.
Perubahan psikososial yang terjadi pada usia dewasa awal dapat dilihat
dari beberapa aspek antara lain:
1. Karier
Keberhasilan dalam pekerjaan merupakan hal penting bagi
kehidupan pria dan wanita. Keberhasilan kerja tidak hanya berupa
keamanan segi ekonomi, tapi juga hubungan pertemanan, kehidupan
sosial , dan penghargaan terhadap rekan kerja.
Jumlah keluarga dengan dua karir (two-career families) saat ini
mengalami peningkatan. Jenis keluarga seperti ini memiliki
keuntungan sekaligus tanggung jawab. Selain adanya peningkatan
keuangan keluarga, individu yang bekerja di luar rumah juga dapat
mengembangkan hubungan pertemanan, kegiatan, dan keinginan.
Namun, kondisi tersebut juga dapat menimbulkan stress yang
disebabkan oleh perpindahan ke kota yang baru, peningkatan biaya,

21
mental, atau emosional, kebutuhan perawatan anak atau kebutuhan
rumah tangga. Untuk menghindari stres ini pasangan harus berbagi
tanggung jawab. Bagi beberapa keluarga, penyelesaiaannya adalah
membatasi biaya rekreasi dan menggantinya dengan membayar
seorang pembantu untuk melakukan pekerjaan rumah.
2. Seksualitas
Perkembangan karakteristik seksual sekunder terjadi selama usia
remaja. Perkembangan fisik biasanya disertai dengan kemampuan
untuk melakukan aktivitas seksual. Pada individu dewasa awal,
kemampuan fisik biasanya juga dilengkapi dengan kematangan
emosional, sehingga lebih dapat membangun keakraban dan
kematangan hubungan seksual. Individu dewasa awal yang gagal
mencapai tugas perkembangan integrasi personal biasanya hanya dapat
membangun hubungan yang tidak mendalam dan sementara (Fortinash
dan Holoday Worrer, 2004 dalam Potter & Perry, 2009).
3. Masa Lajang
Tekanan sosial untuk menikah tidak sebesar zaman dulu. Banyak
individu dewasa awal yang tidak menikah sampai akhir usia 20-an,
awal usia 30-an, bahkan ada yang tidak sama sekali. Bagi individu
yang memutuskan untuk hidup melajang, maka yang menjadi bagian
penting dalam hidupnya adalah orang tua dan saudara kandungnya.
Beberapa individu menjadikan teman dekat dan kerabatnya sebagai
keluarga. Salah satu penyebab meningkatnya populasi individu yang
hidup melajang adalah karena semakin luasnya kesempatan berkarier
bagi wanita. Sebagian besar individu lajang memilih untuk hidup
bersama di luar pernikahan, menjadi orang tua biologis, atau
melakukan adopsi.

22
4. Masa Menjadi Orang Tua
Ketersediaan alat kontrasepsi saat ini memudahkan pasangan
untuk memutuskan kapan akan memulai membentuk sebuah keluarga.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keputusan ini adalah alasan
untuk memiliki anak. Tekanan sosial dapat mendorong pasangan
untuk membatasi jumlah anak yang mereka miliki. Pertimbangan
ekonomi seringkali mempengaruhi proses pengambilan keputusan
karena memiliki dan membesarkan anak-anak membutuhkan biaya
mahal. Status kesehatan umum dan lansia juga mempengaruhi
keputusan untuk menjadi orang tua, karena pasangan menunda
pernikahan dan kehamilan.

E. Kesehatan Psikososial Pada Masa Dewasa Awal


Masalah kesehatan psikososial pada individu dewasa awal biasanya
berhubungan dengan pekerjaan dan stressor dari keluarga. Stres dapat berguna
karena dapat memotivasi klien untuk berubah. Namun, jika stres
berkepanjangan dan klien tidak mampu beradaptasi dengan stresor, maka akan
menimbulkan masalah kesehatan.
Stres pekerjaan dapat terjadi tiap hari atau dari waktu ke waktu. Sebagian
besar individu dewasa awal dapat mengatasi krisis tersebut. Stres pekerjaan
dapat terjadi saat datangnya seorang bos baru, batas waktu (deadline) sudah
dekat, mendapatkan tanggung jawab menjadi lebih besar. Stres individu juga
dapat terjadi saat individu merasa tidak puas dengan pekerjaan atau tanggung
jawab yang diberikan. Karena individu menerima pekerjaan yang berbeda,
maka tipe stresor pekerjaan yang dihadapi tiap klien juga berbeda.
Stres keluarga karena perubahan hubungan dan struktur dalam keluarga
individu muda yang beragam, maka frekuensi terjadinya stres juga meningkat.
Stresor situasional terjadi pada peristiwa seperti kelahiran, kematian, sakit,

23
pernikahan, dan kehilangan pekerjaan. Stres biasanya terkait dengan beberapa
variabel, termasuk pilihan karier suami/ istri dan penyebab disfungsi dalam
keluarga individu dewasa awal.
Setiap keluarga memiliki peran atau tugas tertentu bagi anggotanya. Peran
tersebut membuat keluarga dapat berfungsi dan menjadi bagian yang efektif
dalam masyarakat. Saat peran tersebut berubah akibat penyakit, maka krisis
situasional dapat terjadi (Potter & Perry, 2009).

F. Isu Perkembangan Psikososial Pada Masa Dewasa Awal


Dengan bertambahnya usia, semakin bertambah pula masalah-masalah
yang menghampiri. Dewasa awal adalah masa transisi, dari remaja yang huru-
hara, ke masa yang menuntut tanggung jawab. Tidak bisa di pungkiri bahwa
banyak orang dewasa awal mengalami masalah masalah dalam
perkembangannya. Masalah-masalah itu antara lain:
1. Penentuan identitas diri ideal vs kekaburan identitas
Dewasa awal merupakan kelanjutan dari masa remaja. Penemuan
identitas diri adalah hal yang harus pada masa ini. Jika masa ini
bermasalah, kemungkinan individu akan mengalami kekaburan
identitas.
2. Kemandirian vs Tidak Mandiri
3. Sukses Meniti Jenjang Pendidikan dan Karir vs Gagal Menempuh
Jenjang Pendidikan dan Karir
4. Menikah vs tidak menikah (lambat menikah)
5. Hubungan Sosial yang Sehat vs Menarik diri Dalam Menjalani Masa
Dewasa Awal

24
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang mencakup
aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada hubungan
yang dinamis atau faktor psikis atau sosial, yang saling berinteraksi dan
mempengaruhi satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan
sosial.
Erik H. Erkson penganut non-frudian disebut sebagai tokoh yang paling pokal
untuk menolak cara pandang psikolisasi konvensional. Dia lebih berkonsentrasi
pada pengaruh lingkungan sosial pada perkembangan kepribadian manusia
sehingga teori perkembngannya disebut perkembangan psikososial. Menurut
erikson, ego sebagian bersifat tak sadar mengorganisir dan mensintetis
pengalaman sekarang dengan pengalaman dari masa lalu dan dengan diri masa
yang akan dating.
Masalah kesehatan psikososial pada individu dewasa awal biasanya
berhubungan dengan pekerjaan dan stressor dari keluarga. Stres dapat berguna
karena dapat memotivasi klien untuk berubah. Namun, jika stres berkepanjangan
dan klien tidak mampu beradaptasi dengan stresor, maka akan menimbulkan
masalah kesehatan.

B. Implikasi terhadap Layanan BK

a) Perkembangan Psikososial
Konseling yang dapat di gunakan adalah konseling ego yang di
kembangkan sendiri oleh erikson. Konseling ego di populerkan oleh Erikson.
Konseling ego memiliki ciri khas yang lebih menekankan pada fungsi ego.
Kegiatan konseling yang di lakukan pada umumnya bertujuan untuk

25
memperkuat ego strength, yang berarti melatih kekuatan ego klien. Seringkali
orang yang bermasalah adalah orang yang memiliki ego yang lemah. Misalnya,
orang yang rendah diri, dan tidak bisa mengambil keputusan secara tepat di
karenakan ia tidak mampu memfungsikan egonya secara penuh, baik untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya, mauppun meraih keinginannya.
Perbedaan ego menurut Freud dengan ego menurut Erikson adalah :
menurut Freud ego tumbuh dari id, sedangkan menurut Erikson ego tumbuh
sendiri yang menjadi kepribadian seseorang dan adapun tujuan konseling
menurut Erikson adalah memfungssikan ego klien secara penuh. Tujuan
lainnya adalah melakukan perubahan – perubahan pada diri klien sehingga
terbentuk coping behavior yang di kehendaki dan dapat terbina agar ego klien
itu menjadi lebih kuat, ego yang baik adalah ego yang kuat, yaitu yang dapat
menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan di mana dia berada.
b) Isu Perkembangan Psikososial di Masa Dewasa Awal
1. Dapat menghadapi individu yang berada di tahap dewasa awal dengan
benar dalam membantu membentuk tingkah laku yang benar.
2. Dapat terhindar dari pemahaman yang salah tentang anak, khususnya
tentang isu perkembangan psikososial pada dewasa awal.
3. Memberikan Bimbingan kepada individu terkait penyelesaian masalah
perkembangan psikososial pada masa dewasa awal.

C. Saran

Kita sebagai manusia menyadari bahwa manusia itu memiliki kekurangan dan
kesalahan yang menunjukan kepada ketidaksempurnaan, maka oleh karena itu kita
sangat mengharapkan kritik dan saran konstruktif demi kebaikan kedepannya.

26
27
DAFTAR PUSTAKA

Anggamardi, Aspek Perkembangan Psikososial, di kutip dalam


http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=11985 , di akses pada tanggal 14
November 2020
Djamarah, Syaiful Bahri. 2004. Pola Komunikasi Orang Tua dan Anak dalam
Keluarga. Jakarta: PT Rineka Cipta
Erikson, Erik. 2010. Childhood and Society. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Jahja, Yudrik. 2011. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Prenada Media Group.
Priyambodo, Bagus, Aji. 2019. Problematika Sosial Mahasiswa di Universitas Negeri
Malang Di Tinjau dari Perpektif Perkembangan Psikososial. Di kutip dalam
fppsi.um.ac.id, di akses pada tanggal 24 November 2020

Anda mungkin juga menyukai