TYPHOID
A. PENGERTIAN
Typhoid adalah penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan infeksi
Salmonella Thypi. Organisme ini masuk melalui makanan dan minuman yang
sudah terkontaminasi oleh faeses dan urine dari orang yang terinfeksi kuman
Salmonella(Smeltzer, 2014). Menurut Harrison typhoid adalah penyakit
infeksi saluran akut yang biasanya berada pada saluran cerna dengan gejala
demam lebih dari satu minggu dan terdapat gangguan kesadaran (Harrison,
2011). Demam Typhoid adalah penyakit infeksi akut usus halus, yang
disebabkan oleh salmonella typhi, salmonella paratyphi A, salmonella
paratyphi B, salmonella paratyphi C, paratifoid biasanya lebih ringan, dengan
gambaran klinis sama. (Widodo Djoko, 2011).
B. ETIOLOGI
Penyakit typhoid merupakan penyakit yang ditularkan melalui makanan
dan minuman yang tercemar oleh bakteri Salmonella typhosa, (food and
water borne disease). Seseorang yang sering menderita penyakit tifus
menandakan bahwa dia mengkonsumsi makanan atau minuman yang
terkontaminasi bakteri ini. Salmonella thyposa sebagai suatu spesies,
termasuk dalam kingdom Bakteria, Phylum Proteobakteria, Classis Gamma
proteobakteria, Ordo Enterobakteriales, Familia Enterobakteriakceae, Genus
Salmonella. Salmonella thyposa adalah bakteri gram negative yang bergerak
dengan bulu getar, tidak berspora mempunyai sekurang kurangnya tiga
macam antigen yaitu: antigen 0 (somatik, terdiri dari zat komplek
lipopolisakarida), antigen H (flagella) dan antigen V1 (hyalin, protein
membrane). Dalam serum penderita terdapat zat anti (glutanin) terhadap
ketiga macam antigen tersebut (Zulkhoni, 2011).
Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh
kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau
disebut juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol
tetapi tidak tahan terhadap formaldehid.
2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili
dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan
tahan terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol
yang telah memenuhi kriteria penilaian.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam antigen tersebut
di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan pula pembentukan 3
macam antibodi yang lazim disebut aglutinin (Sudoyo A.W., 2010).
C. MANIFESTASI KLINIS
1. Demam yang meningkat setiap hari hingga mencapai 39-40℃
2. Sakit kepala
3. Lemah dan lelah
4. Gangguan pencernaan, seperti diare atau sembelit
5. Sakit perut
6. Hilang nafsu makan
7. Mual dan muntah
D. PATOFISIOLOGI
Salmonella thypi dapat ditularkan melalui berbagai cara, yang dikenal
dengan 5 F yaitu Food (makanan), Fingers (jari tangan/kuku), Fomitus
(muntah), Fly (lalat), dan melalui Feses. Yang paling menojol yaitu lewat
mulut manusia yang baru terinfeksi selanjutnya menuju lambung, sebagian
kuman akan dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi lolos masuk
ke usus halus bagian distal (usus bisa terjadi iritasi) dan mengeluarkan
endotoksin sehingga menyebabkan darah mengandung bakteri (bakterimia)
primer, selanjutnya melalui aliran darah dan jaringan limpoid plaque menuju
limfa dan hati. Di dalam jaringan limpoid ini kuman berkembang biak, lalu
masuk ke aliran darah sehingga menimbulkan tukak berbentuk lonjong pada
mukosa usus. Tukak dapat menyebabkan perdarahan dan perforasi usus.
Perdarahan menimbulkan panas dan suhu tubuh dengan demikian akan
meningkat.sehingga beresiko kekurangan cairan tubuh.Jika kondisi tubuh
dijaga tetap baik, akan terbentuk zat kekebalan atau antibodi. Dalam keadaan
seperti ini, kuman typhus akan mati dan penderita berangsurangsur sembuh
(Zulkoni 2011).
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan
berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang
baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina
propia. Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel
fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa.
Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke
dalam sirkulasi darah lagi yang mengakibatkan bakteremia yang kedua
kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik,
seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut (Sudoyo A.W.,
2010).
E. PATHWAY
Salmonella typosa
kurang informasi
Mengontaminasi tentang DEFISIT
makanan & air kebersihan PENGETAHUAN
makanan
Masuk ke saluran
pencernaan
Sebagian dimusnahkan
Secara Asam lambung
pasif dilambung
terbawa NYERI
oleh lalat Merangsang
Sebagian mencapai usus &
(kaki lalat ) N. vagus
menjapai jaringan lymphoid Meragsang ujung
(berkembang biak) saraf
Dihinggapi Mual /
lalat muntah Kuman masuk ke Kortex
aliran darah serebri
Intake tak
adekuat
Kuman masuk kejaringan organ Medulla
tubuh terutama limpa & hati spinalis
Absorbsi
Kuman mengeluarkan Merangsang
endotoksin nociseptor
PERUBAHAN
NUTRISI KURANG
DARI Terjadi pelepasan
Proses inflamasi pada jaringan
KEBUTUHAN mediator kimia
tempat berkembang biak
(bradikinin)
Metabolisme sel
Merangsang pengeluaran/sintesis
zat pirogen oleh leukosit pada
jaringan yang meradang
Produksi ATP & ADP
G. KOMPLIKASI
Komplikasi demam thypoid dapat dibagi dalam 2 bagian menurut Rampengan
(2013), yaitu:
1. Komplikasi pada usus halus
a. Perdarahan usus
b. Perforasi usus
c. peritonitis
2. Komplikasi diluar usus halus
a. Bronkitis
b. Bronkopneumonia
c. Ensepalopati
d. Kolesistitis
e. Meningitis
f. Miokarditis
H. PENATALAKSANAAN MEDIS DAN KEPERAWATAN
Penatalaksanaan pada demam tifoid adalah sebagai berikut:
1. Perawatan
Pasien dengan demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi,
observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai
minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih 14 hari. Mobilisasi pasien
harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan
pasien. Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus
diubah-ubah pada waktu tertentu untuk menghindari komplikasi
pneumonia hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu
di perhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air
kemih.
2. Diet
Makanan yang dikonsumsi adalah makanan lunak dan tidak banyak serat.
3. Obat
Obat-obat antimikroba yang sering dipergunakan ialah:
a. Kloramfenikol
Menurut Damin Sumardjo (2014), kloramfenikol atau kloramisetin
adalah antibiotik yang mempunyai spektrum luas, berasal dai jamur
Streptomyces venezuelae. Dapat digunakan untuk melawan infeksi
yang disebabkan oleh beberapa bakteri gram posistif dan bakteri
gram negatif. Kloramfenikol dapat diberikan secara oral. Rektal atau
dalam bentuk salep. Efek samping penggunaan antibiotik
kloramfenikol yang terlalu lama dan dengan dosis yang berlebihan
adalah anemia aplastik. Dosis pada anak : 25 – 50 mg/kg BB/hari per
oral atau 75 mg/kg BB/hari secara intravena dalam empat dosis yang
sama.
b. Thiamfenikol
Thiamfenikol (Urfamycin) adalah derivat p-metilsulfonil (SO2CH3)
dengan spektrum kerja dan sifat yang mirip kloramfenikol, tetapi
kegiatannya agak lebih ringan. Dosis pada anak: 20-30 mg/kg
BB/hari.
c. Ko-trimoksazol
Suatu kombinasi dari trimetoprim-sulfametoksasol (10 mg TMP dan
50 mg SMX/kg/24 jam). Trimetoprim memiliki daya kerja
antibakteriil yang merupakan sulfonamida dengan menghambat
enzim dihidrofolat reduktase. Efek samping yang ditimbulkan adalah
kerusakan parah pada sel – sel darah antara lain agranulositosis dan
anemia hemolitis, terutama pada penderita defisiensi glukosa-6-
fosfodehidrogenase. efek samping lainnya adalah reaksi alergi antara
lain urticaria, fotosensitasi dan sindrom Stevens Johnson, sejenis
eritema multiform dengan risiko kematian tinggi terutama pada
anakanak. Kotrimoksazol tidak boleh diberikan pada bayi di bawah
usia 6 bulan. Dosis pada anak yaitu trimetoprim-sulfametoksasol (10
mg TMP dan 50 mg SMX/kg/24 jam, secara oral dalam dua dosis).
Pengobatan dengan dosis tepat harus dilanjutkan minimal 5-7 hari
untuk menghindarkan gagalnya terapi dan cepatnya timbul resistensi.
d. Ampisilin dan Amoksilin Ampisilin: Penbritin, Ultrapen, Binotal.
Ampisilin efektif terhadap E.coli, H.Inflienzae, Salmonella, dan
beberapa suku Proteus. Efek samping, dibandingkan dengan perivat
penisilin lain, ampisilin lebih sering menimbulkan gangguan
lambung usus yang mungkin ada kaitannya dengan penyerapannya
yang kurang baik. Begitu pula reaksi alergi kulit (rash,ruam) dapat
terjadi.
Secara fisik penatalaksanaannya antara lain:
1. Mengawasi kondisi klien dengan: pengukuran suhu secara berkala setiap
4-6 jam. Perhatikan apakah tidur gelisah, sering terkejut, atau mengigau.
Perhatikan pula apakah mata cenderung melirik keatas, atau apakah
mengalami kejang Demam yang disertai kejang yang terlalu lama akan
berbahaya bagi perkembangan otak, karena oksigen tidak mampu
mencapai otak. Terputusnya sulai oksigen ke otak akan berakibat
rusaknya sel otak. Dalam kedaan demikian, cacat seumur hidup dapat
terjadi berupa rusaknya intelektual tertentu.
2. Buka pakaian dan selimut yang berlebihan.
3. Memperhatikan aliran udara di dalam ruangan.
4. Jalan nafas harus terbuka untuk mencegah terputusnya suplai oksigen ke
otak yang akan berakibat rusaknya sel-sel otak.
5. Berikan cairan melalui mulut, minum sebanyak-banyaknya. Minuman
yang diberikan dapat berupa air putih, susu, air buah atau air teh.
Tujuannya agar cairan tubuh yang menguap akibat naiknya suhu tubuh
memperoleh gantinya.
6. Tidur yang cukup agar metabolisme berkurang.
7. Kompres dengan air hangat pada dahi, ketiak, dan lipatan Tujuannya
untuk menurunkan suhu tubuh.
I. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
Faktor Presipitasi dan Predisposisi
Faktor presipitasi dari demam typhoid adalah disebabkan oleh makanan yang
tercemar oleh salmonella typhoid dan salmonella paratyphoid A, B dan C
yang ditularkan melalui makanan, jari tangan, lalat dan feses, serta muntah
diperberat bila klien makan tidak teratur. Faktor predisposisinya adalah
minum air mentah, makan makanan yang tidak bersih dan pedas, tidak
mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, dari wc dan menyiapkan
makanan (Abdi, 2013).
1. Pengumpulan data
a. Identitas klien
Demam typhoid umumnya terjadi pada kelompok umur 5 – 30 tahun.
Lakilaki sama dengan wanita, jarang terjadi pada umur di bawah 2
tahun atau diatas 60 tahun (Mutaqin & sari, 2011).
b. Keluhan utama
Keluhan utama demam tifoid adalah panas atau demam yang tidak
turunturun, nyeri perut, pusing / nyeri kepala, mual, muntah,
anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.
c. Riwayat penyakit sekarang
Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi
ke dalam tubuh.
d. Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat penyakit demam typhoid.
e. Riwayat penyakit keluarga
Adanya keluarga pernah menderita demam typhoid, dan penyakit
turun menurun.
f. Pola-pola fungsi kesehatan
1) Pola nutrisi dan metabolisme Klien akan mengalami penurunan
nafsu makan karena mual dan muntah saat makan sehingga
makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali.
2) Pola eliminasi Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena
tirah baring lama. Sedangkan eliminasi urine tidak mengalami
gangguan, hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien
dengan demam thypoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang
berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus, sehingga
dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.
3) Pola aktivitas dan latihan Aktivitas klien akan terganggu karena
harus tirah baring total, agar tidak terjadi komplikasi maka
segala kebutuhan klien dibantu.
4) Pola tidur dan istirahat Pola tidur dan istirahat terganggu
sehubungan peningkatan suhu tubuh.
5) Pola persepsi dan konsep diri Biasanya terjadi kecemasan pada
orang tua terhadap keadaan penyakit anaknya.
6) Pola sensori dan kognitif Pada penciuman, perabaan, perasaan,
pendengaran dan penglihatan umumnya tidak mengalami
kelainan serta tidak terdapat suatu waham pada klien.
7) Pola hubungan dan peran Hubungan dengan orang lain
terganggu sehubungan klien di rawat di rumah sakit dan klien
harus bed rest total.
8) Pola penanggulangan stress Biasanya orang tua akan nampak
cemas.
g. Pemeriksaan Fisik
1) Keadaan umum dan tingkat kesadaran.
Pada fase awal penyakit biasanya tidak didapatkan adanya
perubahan pada tingkat kesadaran. Pada fase lanjut secara umum
pasien terlihat sakit berat dan sering terjadi penurunan tingkat
kesadaran (apatis delirium).
2) Tanda-tanda vital
Suhu : Pada fase 7-14 hari didapatkan suhu tubuh meningkat 39-
41̊C pada malam hari dan biasanya turun pada pagi hari. Nadi :
pada pemeriksaan nadi ditemukan penurunan frekuensi nadi
(bradikardi relatif). Pernafasan : Meningkat Tekanan darah :
Cenderung menurun
3) B1 (Breathing)
Sistem pernafasan biasanya tidak ditemukan adanya kelainan,
tetapi akan mengalami perubahan jika terjadi respon akut dan
gejala batuk kering. Pada beberapa kasus berat bisa didapat
adanya komplikasitanda dan gejala pneumonia.
4) B2 (Blood)
Penurunan tekanan darah, keringat dingin, dan diaphoresis
sering didapatkan pada minggu pertama. Kulit pucat dan akral
dingin berhubungan dengan penurunan kadar hemoglobin. Pada
minggu ketiga respon toksi sistemik dapat mencapai otot
jantung dan terjadi miokarditis dengan manifestasi penurunan
curah jantung dengan tanda denyut nadi lemah, nyeri dada, dan
kelemahan fisik.
5) B3 (Brain)
Pada pasien dengan dehidrasi berat akan terjadi penurunan
perfusi serebral dengan manifestasi sakit kepala, perasaan lesu,
gangguan mental seperti halusinasi dan delirium. Pada beberapa
pasien bisa di dapatkan kejang umum yang merupakan respon
terlibatnya system saraf pusat oleh infeksi S. Typhi. Didapatkan
icterus pada sklera terjadi pada kondisi berat.
6) B4 (Blader)
Pada kondisi berat akan didapatkan penurunan urin output
respon dari penurunan curah jantung.
7) B5 (Bowel)
a) Inspeksi :
Lidah kotor berselaput putih dan tepi hiperemis disertai
mistomatitis. Tanda ini jelas mulai Nampak pada
minggu kedua berhubungan dengan infeksi sistemik
dan endotoksin kuman.
Sering muntah
Perut kembung
Distensi abdomen
b) Auskultasi
Didapatkan penurunan bising usus kurang dari 5 kali per
menit pada minggu pertama dan terjadi kontipasi, serta
selanjutnya meningkat akibat diare.
c) Perkusi
Didapatkan suara timpani abdomen akibat kembung.
d) Palpasi
Hepatomegaly dan splenomegaly. Pembesaran hati dan
linfa mengindikasikan infeksi yang mulai terjadi pada
minggu kedua.
Nyeri tekan abdomen merupaan tanda terjadinya
perforasi dan peritonitis.
8) B6 (Bone)
Respon sistemik akan menyebabkan maise. Kelemahan fisik
umum dan didapatkan kram otot ekstermitas. Pemeriksaan
integument sering didapatkan kulit menurun, muka tampak
pucat, rambut agak kusam, dan terpenting sering didapatkan
tanda roseola (bitnik merah pada leher, punggung dan paha).
Roseola merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan
diameter 2-4 mm berwarna merah, pucat, serta hilang pada
penekanan, lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan
awal minggu kedua. Roseola ini merupakan emboli kuman
dimana didalamnya mengandung kuman salmonella dan
terutama didapatkan di perut, dada, dan terkadang bokong
maupun bagian fleksor dari lengan atas (Muttaqin dan sari,
2011).
h. Pemeriksaan Penunjang
1) Darah
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah
leukosit normal, bisa menurun atau meningkat.Penelitian oleh
beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis
leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai
sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau
bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif
menjadi dugaan kuat diagnosis typoid.
2) SGOT, SGPT
SGOT dan SGPT sering meningkat, tetapi akan kembali normal
setelah sembuh. Peningkatan SGOT dan SGPT ini tidak
memerlukan penanganan khusus.
3) Uji Widal
Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu ke depan,
apakah ada kenaikan titernya. Jika ada maka dinyatakan (+).Jika
1x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640,langsung dinyatakan
(+) pada pasien dengan gejala khas.
4) Uji Tubex
apabila tubex test mendeteksi adanya antibodi IgM anti-O9
dalam sampel darah Anda, artinya seseorang tersebut
terdiagnosis positif sakit tipes.
J. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hipertermi b.d proses penyakit ditandai dengan adanya suhu tubuh diatas
nilai normal
2. Defisit nutrisi b.d kurangnya asupan makanan ditandai dengan adanya
berat badan menurun minimal 10% dibawah rentang ideal
3. Nyeri akut b.d agen pencedera fisiologis ditandai dengan adanya gelisah,
tampak meringis, bersikap protektif, frekuensi nadi meningkat
4. Intoleransi aktivitas b.d tirah baring ditandai dengan merasa tidak
nyaman setelah beraktivitas, merasa lemah
5. Defisit perawatan diri b.d kelemahan ditandai dengan adanya
ketidakmampuan untuk mandi/mengenakan
pakaian/makan/ketoilet/berhias secara mandiri, minat melakukan
perawatan diri kurang
6. Defisit pengetahuan b.d kurang terpapar informasi ditandai dengan
menujukkan persepsi yang keliru terhadap masalah
K. PERENCANAAN KEPERAWATAN
N SDKI SLKI SIKI
O
1 Hipertermi b.d proses Termoregulasi (L. 14134) Intervensi Utama
penyakit ditandai dengan Setelah dilakukan asuhan keperawatan Manajemen Hipertermia (I.15506) :
adanya suhu tubuh diatas nilai diharapkan termoregulasi membaik, Oberservasi
normal (SDKI D0130: dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi Penyebab hipertermi
Halaman 284) 1. Menggigil menurun. 2. Monitor suhu tubuh.
2. Kulit merah menurun. 3. Monitor kadar elektrolit
3. Pucat menurun. 4. Monitor haluaran urine
4. Suhu tubuh membaik. 5. Monitor komplikasi akibat hipertermi
5. Suhu kulit membaik. Terapeutik
6. Tekanan darah membaik 1. Sediakan lingkungan yang dingin.
2. Longgarkan atau lepaskan pakaian.
3. Ganti linen setiap hari
4. Basahi dan kipasi permukaan tubuh.
5. Berikan cairan oral.
Edukasi
Anjurkan tirah baring.
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit
intravena
2 Defisit nutrisi b.d kurangnya Status nutrisi (L. 03030) Manajemen nutrisi (I. 03119)
asupan makanan ditandai Observasi
Setelah dilakukan asuhan keperawatan
dengan adanya berat badan 1. Identifikasi status nutrisi
menurun minimal 10% diharapkan status nutrisi membaik, 2. Identifikasi alergi dan intoleransi
dibawah rentang ideal (SDKI makanan
dengan kriteria hasil:
D0019: Halaman 56) Porsi makanan yang dihabiskan 3. Identifikasi makanan yang disukai
4. Identifikasi kebutuhan kalori dan jenis
nutrient
5. Identifikasi perlunya penggunaan
selang nasogastrik
6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil pemeriksaan
laboratorium
Terapeutik
1. Lakukan oral hygiene sebelum makan,
jika perlu
2. Fasilitasi menentukan pedoman diet
(mis. Piramida makanan)
3. Sajikan makanan secara menarik dan
suhu yang sesuai
4. Berikan makan tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5. Berikan makanan tinggi kalori dan
tinggi protein
6. Berikan suplemen makanan, jika perlu
7. Hentikan pemberian makan melalui
selang nasigastrik jika asupan oral
dapat ditoleransi
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika mampu
2. Ajarkan diet yang diprogramkan
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi
sebelum makan (mis. Pereda nyeri,
antiemetik), jika perlu
2. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
menentukan jumlah kalori dan jenis
nutrient yang dibutuhkan, jika perlu
3 Nyeri akut berhubungan Nyeri ekspektasi menurun atau hilang Observasi
dengan adanya agen [L.08066 ] 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, durasi,
penderita fisiologis Kriteria hasil: frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
ditandai dengan adanya Meringis menurun 2. Identifikasi skala nyeri
pasien tampak meringis, Sikap protektif menurun 3. Identifikasi respon nyeri non verbal
bersikap protektif dan Gelisah menurun 4. Identifikasi faktor yang memperberat
gelisah. dan memperingan nyeri
(SDKI D0077: Halaman 5. Identifikasi pengetahuan dan keyakinan
172). tentang nyeri
6. Identifikasi pengaruh budaya terhadap
respon nyeri
7. Identifikasi pengaruh nyeri pada kualitas
hidup
8. Monitor keberhasilan terapi
komplementer yang sudah diberikan
9. Monitor efek samping penggunaan
analgetik
Terapeutik
1. Berikan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri (mis: TENS,
hipnosis, terapi musik, biofeedback,
terapi pijat, aromaterapi, teknik imajinasi
terbimbing, kompres hangat/dingin,
terapi bermain)
2. Kontrol lingkungan yang memperberat
rasa nyeri (mis: suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan)
3. Fasilitasi istirahat dan tidur
4. Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi meredakan
nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu
nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan nyeri
3. Anjurkan memonitor nyeri secara
mandiri
4. Anjurkan menggunakan analgetik secara
tepat
5. Anjurkan teknik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
Kolaborasi pemberian analgetik, jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, S.C. (2014). Keperawatan medikal bedah (handbook for Brunner &
Suddarth's textbook of medical-surgical nursing) edisi 12. Diterjemahkan oleh
Devi Yulianti & Amelia Kimin. Jakarta: EGC.