Anda di halaman 1dari 7

Menjadi Aktifis Qur’any di Dunia Kampus*

Oleh : Ahmad Fakhruddin Fajrul Islam, M.Th.I

Al-Quran sebagaimana yang kita ketahui telah dijamin penjagaannya oleh Allah. Berbagai cara
Allah menjaga Al-Quran, sebagaimana ditegaskan dalam tafsir surah Al-Hijr ayat 9.

Berikut bunyi QS. Al-Hijr [15]: 9,

َ ُ‫إِنَّا نَحْ ُن نَ َّز ْلنَا ال ِّذ ْك َر َوإِنَّا لَهُ لَ َحافِظ‬


‫ون‬
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Quran dan pasti Kami (pula) yang
memeliharanya.” (QS. Al-Hirj [15]:9)

Menurut As-Sa’di dalam Taisīr al-Karīm al-Raḥmān , Allah menjaga Al-Quran pada masa
penurunannya dan setelah masa penurunannya. Pada masa penurunannya Allah menjaga Al-
Quran dari pencurian setan sedangkan pada masa sesudah penurunannya, Allah menjaga Al-
Quran dari perubahan, penambahan, maupun pengurangan lafad dan penggantian maknanya.
Cara Allah menjaga Al-Quran salah satunya dengan menyimpannya di dalam dada utusan-Nya,
yaitu Nabi Muhammad, dan kemudian di dalam dada umat Nabi Muhammad.

Makna ‘menjaga Al-Quran’

Penjagaan Al-Quran ini merupakan salah satu tanda kekuasaan Allah dan anugerah dari Allah
untuk hamba-hamba-Nya yang dititipi Al-Quran. Sementara menurut al-Māwardī dalam al-
Nukat wa al-‘Uyūn , ada tiga makna terkait makna kata “menjaga”: 1) Allah menjaga Al-Quran
hingga hari kiamat, 2) Allah menjaga Al-Quran dari setan yang ingin membuat kebatilan di
dalamnya atau menghilangkan kebenaran Al-Quran, dan 3) Allah menjaga Al-Quran di dalam
orang-orang yang Allah kehendaki menjadi orang baik dan menghilangkan Al-Quran dari hati
orang-orang yang Allah kehendaki menjadi orang yang buruk.
Ibn al-Jauzī dalam Zād al-Masīr , sebelum masuk pada penafsiran tentang makna ‘menjaga’,
terlebih dahulu ia menyinggung tentang penggunaan kata ‘nahnu’. Dikaitkan dengan konteks
penjagaan Al-Quran, kata naḥnu yang bermakna “Kami” pada ayat tersebut mengandung
pengertian bahwa Allah melibatkan makhluk-Nya dalam misi penjagaan Al-Quran ini.

Ibn al-Jauzī melanjutkan bahwa mayoritas mufasir merujukkan kata al-żikr kepada Al-Quran.


Sedangkan kata ganti hu ada dua pendapat. Pendapat pertama merujuk kepada al-żikr  (Al-
Quran) dan ini merupakan pendapat jumhur ulama. Pendapat kedua merujuk kepada Nabi
Muhammad sehingga maknanya menjadi “dan Kami (pula) yang menjaga Nabi Muhammad dari
para setan dan musuh-musuhnya”. Maksudnya adalah orang-orang yang menuduh gila pada
Nabi Muhammad

Cara Allah menjaga Al-Quran

Fakhr al-Dīn al-Rāzī dalam Mafātiḥ al-Ghaib  merinci cara Allah menjaga Al-Quran:

Pertama, Allah menjadikan Al-Quran sebagai mukjizat sehingga tidak ada satu makhluk pun
yang mampu menambah dan mengurangi Al-Quran. Hal ini karena ketika ada makhluk yang
mengurangi Al-Quran, maka akan mengubah susunan Al-Quran itu dan orang-orang yang
berakal akan segera menyadari bahwa perubahan itu bukan bagian dari Al-Quran.

Kedua, Allah menjaga Al-Quran dari siapapun yang ingin  memalingkan makna Al-Quran. 

Ketiga,  Allah melemahkan semua makhluk untuk merusak Al-Quran dengan melestarikan orang-
orang yang terus menghafal, mengkaji, dan mempopulerkan Al-Quran. 

Keempat, ketika ada yang mengubah satu huruf atau satu titik dari Al-Quran, maka orang-orang
akan berkata kepadanya “ini adalah kebohongan bagi kalam Allah”. Bahkan orang tua yang
disegani sekalipun ketika melakukan laḥn (kesalahan) pada sebuah huruf maka anak anak akan
berkata padanya “Anda salah wahai orang tua, yang benar adalah demikian dan demikian”.

Menghafal Al-Qur’an Sebagai Upaya Menjaga Otentisitas Al-Qur’an

Aktifitas menghafal Al-Qur’an merupakan suatu hal yang sudah dilakukan sejak diturunkannya
Al-Qur’an. Yakni ketika Rasulullah SAW menerima wahyu lalu beliau menyampaikan kepada
para sahabat untuk menuliskannya pada media-media yang masih terbatas saat itu. Tidak hanya
menulis namun Nabi SAW memberikan arahan kepada para sahabat untuk menghafalnya. Hal
tersebut dilakukan untuk menjaga otentisitas wahyu dengan saling mengecek antara yang ditulis
dengan yang dihafalkan.

Proses literasi tersebut berjalan hingga akhir hayat Nabi Muhammad SAW di Madinah. Para
sahabat jika mengalami keraguan atas teks Al-Qur’an masih bisa bertanya kepada Rasulullah
SAW ketika beliau masih hidup. Akan tetapi permasalahan muncul pasca wafatnya Rasulullah
SAW dimana tidak ada lagi Transmitter utama wahyu suci untuk dijadikan tempat bertanya.
Maka, di saat itu dimulai lah era penjagaan Al-Qur’an oleh manusia biasa dimana para sahabat
menjadi kunci akan seperti apa nasib Al-Qur’an.

Penjagaan Al-Qur’an era sahabat pun dimulai dengan inisiatif untuk mengkodifikasi serta
menuliskan Al-Qur’an dalam satu Mushaf. Hal ini disebabkan banyaknya para sahabat yang
hafal Al-Qur’an telah syahid di medan laga peperangan demi tegaknya ‘Izzul Islam wal
Muslimin. Pada akhirnya selesailah penulisan dalam satu mushaf yang menjadi blue print
tersebarnya Al-Qur’an ke seluruh dunia dengan periwayatan yang Mutawatir. Baik secara lafadh
maupun tulisan dengan berbagai ragam qiraat yang melingkupimya.
Tradisi Tahfizh Al-Qur’an

Di Indonesia, kegiatan menghafal Al-Qur’an secara umum merupakan kegiatan yang menjadi
tradisi kepesantrenan. Banyak pesantren mulai dari yang salaf hingga modern menjadi sarana
penghafalan Al-Qur’an. Ada yang menjadikan Tahfizh Al-Qur’an sebagai program utama, pula
yang menjadikannya sebagai program pilihan bagi para santri. Semua itu bermuara pada
aktualisasi upaya tanggungjawab manusia untuk menjadi penjaga otentisitas Kalamullah.

Kegiatan menghafal di pesantren mengharuskan adanya keberlanjutan serta kontinuitas dalam


niat yang kuat. Hidup bersama Al-Qur’an pun dilakukan selama 24 jam dengan berbagai variasi
kegiatan yang melingkupinya. Jika mampu istiqomah dalam menjaga ritme menghafal maka 30
juz bil ghoib akan diselesaikan sesuai dengan target yang lebih cepat. Sebaliknya jika terjadi
fluktuasi dalam menghafal Al-Qur’an niscaya akan lebih lama dari target formal penyelesaian
hafalan.

Menghafal Al-Qur’an sama artinya dengan menjaga Al-Qur’an. Artinya setelah menghafalkan
ayat-ayat maka diwajibkan untuk menjaganya. Ketika hafalan selesai secara sempurna 30 juz
maka setelah itu muncullah sebuah tanngungjawab dan kewajiban yang lebih berat yakni
menjadi Hamilul Qur’an. Sebuah tanggungjawab sebagai pemandu Al-Qur’an yang mempunyai
tugas untuk selalu menjaga hafalan dari potensi lupa alih-alih hilang. Meskipun seorang
penghafal Al-Qur’an tidak menganggapnya sebagai kewajiban, setidaknya ia akan merasa
sayang jika waktu yang telah dikorbankannya untuk menghafal akan sia-sia tatkala hafalannya
hilang begitu saja.

Menghafal di Kampus, why not? Impossible is nothing.

Dunia akademis kampus tentu berbeda jauh dengan dunia pesantren. Jika di pesantren jamak
ditemui tentang homogenitas dalam karakter dan kegiatan, namun di dunia kampus akan
ditemukan heterogenitas karakter termasuk juga variasi kegiatannya. Hal tersebut disebabkan
ruang lingkup kedua dunia tersebut yang berbeda tetapi mempunyai kesamaan yakni sebagai
sarana mencari dan mengembangkan ilmu.

Ketika hidup di pesantren, seorang yang menghafal Al-Qur’an akan mudah menemukan aktifitas
yang sama dengan temannya dalam menghafal. Kegiatan – demi kegiatan dilakukan dalam
pantauan para pengurus dan guru terutama para Pembina Al-Qur’an. Selalu ada teguran dalam
rangka pendidikan jika seorang santri melakukan kesalahan. Juga memastikan kualitas santri
dalam melakukan aktifitas menghafal Al-Qur’an sudah sesuai dengan metode yang telah
diajarkan. Secara umum pesantren menjadi tempat yang ideal dalam mendukung kegiatan
mengahfal Al-Qur’an.

Beranjak menuju dunia kampus yakni suatu lembaga perguruan tinggi yang sangat kental nuansa
akademisnya. Bisa dilihat dari aktifitas, program, budaya, pergaulan serta nuansa kehidupan
yang berbeda dengan pesantren. Seorang mahasiswa diberikan tanggungjawab Tri Dharma
Perguruan Tinggi untuk menjadi insan pembelajar, pengamat serta pengabdi kepada masyarakat.
Sungguh sangat berat sekali jika dinilai dari kacamata akademis. Timbul pertanyaan serius
“Mana mungkin bisa seorang mahasiswa sekaligus mampu menghafal apalagi menjaga hafalan
Al-Qur’an di kampus??”

Untuk menjawab pertanyaan bernada pesimis tersebut tentu tidak bisa hanya dengan kata “bisa”.
Perlu penyelarasan antara fikiran dan hati serta kemauan dalam diri kita masing-masing. Perlu
penempatan sikap diri yang tepat serta paradigma yang harus diubah. Bahwa menghafal Al-
Qur’an bukanlah menjadi beban melainkan sebuah tanggungjawab untuk memilih peran sebagai
penjaga Al-Qur’an dalam rangka menjaga otentisitas Al-Qur’an.

Tidak mudah untuk kuliah sekaligus menghafal Al-Qur’an karena kompleksitas aktifitas yang
akan dilakukan seorang mahasiswa. Selain tugas belajar secara akademis, seorang mahasiswa
juga mempunyai peran sebagai agent of change yakni sebagai generasi perubahan sosial yang
merupakan sebuah keniscayaan karena zaman akan selalu berubah. Tetapi tidak ada yang tidak
mungkin dalam kehidupan, apalagi hal ini menyangkut komitmen pribadi. Kuncinya ada pada
diri masing-masing salah satunya adalah menganggap bahwa menghafal Al-Qur’an merupakan
bagian dari ibadah yang pasti dilakukan sebagai tanggungjawab umat islam.

Kuliah Yes, Ngaji Yes, Aktifis Yes.

Menjadi pribadi musltitasking memang bukan hal mudah, namun jika dilakukan dengan penuh
komitmen pasti kan menemukan titik temunya. Antara kuliah, ngaji dan berorganisasi tentu
sangat diperlukan pembagian waktu dan komitmen yang kuat serta memahami konsekwensinya.
Tranmisi kegiatan dari satu menuju ke yang lainnya diperlukan langkah taktis dan tentu tidak
hanya ucapan di bibir saja. Mahasiswa harus mampu menemukan titik temu antara ketiganya.
Bahwa menjadi manusia akademis tentu harus pula dibekali IMTAQ dalam orientasinya di
masyarakat kelak.

Esensi kuliah adalah pada pengetahuan, mengaji pada penguatan keimanan serta berorganisasi
pada implementasi. Ketiganya jika mampu dilakukan secara seimbang, niscaya akan
menghasilkan output yang akan kuat secara lahir dan batin. Mampu menjadi akademisi yang
qur’ani, Hafidhul Qur’an yang akademisi serta Aktifis yang Qur’ani. Sungguh merupakan cita-
cita yang indah jika mampu terwujud secara sistematis dalam kehidupan kampus. Maka marilah
kita mengucapkan kalimat sakti yakni KULIAH YES, NGAJI YES, AKTIFIS YES.

*Disampaikan pada Wisuda Tahfizh 2021 Hai’ah Tahfizh Al-Qur’an UIN Maliki Malang pada hari

Sabtu, 06 November 2021

Anda mungkin juga menyukai