Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM

KEDUDUKAN IJTIHAD DALAM STUDI ISLAM


Dosen Pengampu : Rosanita Dewi Harahap. M.Pd

Disusun oleh : Kelompok 6


Nena Maria Ulfah (12140321214)
Mutiara Chani (12140321777)

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
2021
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum wr.wb

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat, inayah,
taufik, dan ilhamnya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan
sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca. Makalah ini disusun
dalam rangka untuk menyelesaikan tugas dari dosen kami Ibuk Rosanita Dewi Harahap.
M.Pd selaku pengampu materi Metodologi Studi Islam

Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.

Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang kami
miliki sangat kurang. Oleh karena itu kami harapkan kepada pembaca untuk memberikan
masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 10 Oktober 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

COVER ..................................................................................................................................... 1

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2

DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ................................................................................................................. 4

B. Rumusan Masalah ............................................................................................................ 4

C. Tujuan............................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN .......................................................................................................... 6

A. Pengertian dan Landasan Ijtihad ...................................................................................... 6

B. Metode Ijtihad .................................................................................................................. 8

C. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad ......................................................................................... 9

D. Hukum Melakukan Ijtihad ............................................................................................. 10

BAB III PENUTUP ................................................................................................................ 12

A. Kesimpulan..................................................................................................................... 12

B. Saran ............................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 13

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seperti telah diteladankan Umar ibn Khattab dan lain-lainnya, Islam sudah
semenjak lama menjadi benda hampa dan hiasan kuno yang hanya layak menjadi
tontonan, bukan tuntunan. Untung saja para ulama aktif memeras akal budi dan
berijtihad untuk mengatasi problem-problem zamannya.

Nabi Muhammad SAW sendiri sesungguhnya adalah seorang mujtahid


ulung. Di tangan Nabi, Alquran menjadi lompatan dan pegangan memecahkan
sejumlah kebuntuan sosial, politik, bahkan ekonomi. Nabi menjadikan Alquran
terlibat dalam proses perubahan sosial, sehingga ia bukan sebagai kitab suci yang
melangit tanpa bersentuhan dengan bumi.

Kini, ijtihad semakin niscaya, terutama di tengah problem kemanusiaan


yang semakin kompleks. Problem kehidupan yang sedemikian struktural dan
sistemik, tentu butuh ijtihad dosis tinggi dari para ulama. Kondisi ini tidak bisa
dipasrahkan pemecahannya pada model lama seperti yang terbaca dalam sejarah.
Ideologi keislaman konservatif yang terus merujuk ke model masa lalu, bukan saja
menunjukkan watak tidak kreatif, melainkan juga tidak realistis.

Islam seharusnya dikembalikan ke posisi awalnya sebagai agama


membebaskan, mencerahkan. Islam diharapkan cukup liberatif untuk mengatasi
ketertindasan dan keterbelakangan. Islam mesti dibersihkan dari beban-beban
sejarah masa lalu yang kelam. Agama yang telah mengalami manipulasi oleh elite
sehingga tampak kacau, mesti dipulihkan kembali dengan (salah satunya)
menyemarakkan aktivitas ijtihad.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dan Landasan Ijtihad
2. Metode Ijtihad
3. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad
4. Hukum Melakukan Ijtihad
4
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dan Landasan Ijtihad
2. Untuk mengetahui Metode Ijtihad
3. Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi ijtihad
4. Untuk mengetahui bagaimana hukum melakukan ijtihad

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Landasan ijtihad


Ijtihad menurut Arti asalnya adalah "bersungguh-sungguh". Atau
"pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit ." Atas
dasar ini maka tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk melakukan
sesuatu yang mudah/ ringan. Sedangkan berdasarkan makna Terminlogi, para ulama
ushul memandang bahwa ijtihad adalah pengerahan segenap kesungguhan dan
kamantapan yang dimiliki seseorang ahli fiqh untuk menghasikan keyakinan
tentang suatu hukum sedangkan definisi lain dari ijtihad yaitu mencurahkan
segenap usaha untuk sampai kepada hukum syar‟a dari dalil tafsili yang termasuk
dalil syar‟i.

Menurut Hasbi Ash Shaddiqi Ijtihad adalah menggunakan segala


kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara‟ dengan jalan Zan. Sedangkan Al-
Dahlawi menjelaskan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mengetahui
hukum-hukum syariat dari dalil-dalilnya yang terperinci, yang secara global
kembali keempat macam dalil yaitu Kitab, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Dan Imam
Khomeini mengatakan juga Ijtihad adalah keahlian atau kemampuan yang
dengannya dia dapat menarik kesimpulan hukum dari dalil-dalil

Dari keterangan di atas bahwa ijtihad bukan perbuatan yang dilakukan


sekedar membuka-buka kitab tafsir atau hadis lalu dengan mudah ditarik sebuah
kesimpulan hukum. Sebaliknya, dalam ijtihad dibutuhkan kesungguhan dan
keseriusan dengan mencurahkan segenap kemampuan dan usaha untuk
mendapatkan hukum-hukum syariat. Hal ini menunjukkan bahwa maslah ijtihad
bukan perkara yang mudah, tetapi ijtihad juga harus diupayakan pada setiap
generasi, agar ajaran Islam tetap dinamis, tidak stagnan dan siap memberikan
solusi atas segala problematika kontemporer.

6
Boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar
hukum yang terdapat dalam nash. Kebolehan ini di isyaratkan antara lain (Q.S. Al-
Baqarah: 149)

Artinya: Dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka palingkanlah
wajahmu ke arah Masjidil Haram. (Q.S. Al-Baqarah: 149)

Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari
masjidil haram, apabila akan shalat, dapat mencari dan menentukan arah itu melalui
ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda
yang ada. Secara kodrati manusia mempunyai badan jasmani dan rohani. Badan
rohani berfungsi untuk memhami apa yang dilihat oleh manusia dan dialami oleh
akal pikiran sekaligus berfungsi untuk memahami segala sesuatu yang ada dialam
raya ini. Walaupun tidak ada petunjuk dari agama, maka dengan akal itu manusia
dapat memperoleh kebahagiaan hidup dan dapat berusaha menghindari bahaya.

Hadis lain juga yang mendukung akan persolan ini yaitu hadis nabi yang
ketika mengutus Muadz bin Jabal menjadi Guburnur di Yaman, hadis ini tidak asing
lagi bagi kita semua, “ Ketika itu Muads ditanya oleh Rasulullah : dengan apa
engkau menentukan hukum, Muazd menjawab dengan kitab Allah, jawab Muadz,
Rasulullah bertanya lagi kalau engakau tidak mendapat keterangan dari Al-Qur‟an,
Muadz menjawab saya mengambilnya dari sunnah Rasul, Rasulullah berkata lagi,
kalau engakau tidak mendapi dari keterangan sunah Rasululah SAW, Muadz
menjawab saya akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa,
Rasulullah menepuk Muadz bin Jabal menandakan persetujuannya.

Nabi sendiri memberikan kelonggaran dalam persolan agama, dengan cara


ijtihad bahkan Nabi membrikan dorongan kepad mereka, jika ijtihad itu mengenai
sasaran, maka orang yang berijtihad mendapat dua kebaikan dan apabila tidak, dia
mendapat satu kebaikan.

7
B. Metode ijtihad

1. Ijma‟

Ijma merupakan kesepakatan seluruh mujtahid di suatu massa setelah Rasulullah


SAW wafat dan berkaitan dengan hukum syara yang tidak terdapat dalam Alquran dan
hadist. Adapun contoh ijma‟ adalah ijma‟ sahabat, yaitu ijma‟ yang dilakukan oleh
sahabat Rasulullah SAW.

2. Qiyas

Qiyas merupakan hukum tentang suatu peristiwa yang diterapkan dengan cara
membandingkannya dengan hukum peristiwa lain yang sudah ditetapkan sesuai nash.
Contohnya adalah mengqiyaskan pembunuhan yang menggunakan alat berat dengan
pembunahan menggunakan senjata tajam.

3. Istihsan

Istihsan merupakan berpindahnya mujtahid dari satu ketentuan hukum ke hukum


lainnya karena terdapat dalil yang menuntutnya. Contohnya adalah wasiat. Meski
secara qiyas tidak diperbolehan, namun karena terdapat dalam Alquran, maka wasiat
diperbolehkan.

4. Maslahah Mursalah

Maslahah mursalah merupakan hukum yang didasarkan pada kemaslahatan yang


lebih besar dibandingkan mengesampingkan kemudaratan karena tidak ada dalil yang
menganjurkan maupun melarangnya. Contohnya adalah membuat akta nikah, akta
kelahiran, dan sebagainya.

5. Istishab

Istishad merupakan metode yang dilakukan dengan menetapkan hukum yang sudah
ada sebelumnya sampai ada dalil yang merubahnya. Contohnya adalah setiap makanan
boleh dikonsumsi hingga ada dalil yang mengharamkannya.

8
6. „Urf

„Urf merupakan suatu perkataan yang sudah dikenal oleh masyarakat dan dilakukan
turun menurun. Contohnya adalah halal bi halal yang dilakukan saat hari raya.

7. Saddzui Dzariah

Sadzzui dzariah merupakan sesuatu yang secara lahiriah boleh, tetapi bisa mengarah
ke kemaksiatan. Contohnya bermain kuis yang mengarah ke perjudian.

8. Qaul Al-Shahabi

Qaul al-shahabi merupakan pendapat sahabat yang berkaitan dengan perkara yang
dirumuskan setelah Rasulullah SAW wafat. Contohnya adalah pendapat Ibnu Abbas
yang menyatakan bahwa kesaksian anak kecil tidak diterima.

9. Syar‟u Man Qablana

Syar‟u man qablana merupakan hukum Allah SWT yang disyariatkan untuk umat
terdahulu melalui nabi-nabi sebelum Rasulullah. Contohnya adalah kewajiban untuk
berpuasa.

C. Kedudukan dan Fungsi Ijtihad


Dalam sejarah pemikiran islam, Ijtihad telah banyak digunakan. Ajaran Al-
Qur‟an dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad, dari ayat Al-Qur‟an
yang jumlahnya lebih kurang 500 ayat. Menurut perkiraan ulama yang berhubungan
dengan akidah, ibadah, muamalah. Ayat-ayat tersebut, pada umumnya terbentuk
teks-teks dasar tanpa menjelaskan lebih lanjut mengenai maksud, rincian, cara
pelaksanaannya. Untuk itu ayat tersebut perlu dijelaskan oleh orang-orang yang
mengetahui Al-Qur‟an dan hadits yaitu para sahabat Nabi dan kemudian para ulama
penjelasan oleh para sahabat dan para ulama tersebut diberikan melalui ijtihad. Jadi
kedudukan ijtihad adalah sumber ke 3 sesudah al-Qur‟an dan Hadits.

Fungsi ijtihad :

Diterangkan bahwa fiqih itu adalah segala hukum yang dipetik dari
kitabullah dan sunah Rasul, dengan mempergunakan ijtihad maka menjadi
pentinglah bagi kita membahas apakah fungsi ijtihad itu. Oleh karena syariat islam

9
itu adalah syariat yang berdasarkan illahi, dipetik dari dasar-dasar yang sudah
terkenal, baik yang dinukilkan dari Nabi seperti Al-Qur‟an dan As-Sunah, ataupun
yang diwujudkan oleh akal seperti : Ijma‟, qiyas, Istihsan, dan lain-lain. Kemudian
menjadilah ijtihad itu sebagai jalan yang kita lalui untuk mengistimbatkan hukum
dari dalil-dalil itu dan jalan yang harus kita lalui untuk menentukan batasan yang
dikehendaki oleh kebutuhan masyarakat

Inilah sebabnya fungsi ijtihad itu menjadi penggerak yang sangat


diperlukan, dalam sejarah perkembangan hukum syara‟ yang menimpa masyarakat
yang tidak diketemukan hukumnya dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah.
Salah seorang pemikir kontemporer Islam (Muhammad Iqbal) menyatakan bahwa
Ijtihad merupakan “The Princple of Movement” daya gerak kemajuan Islam,
dengan kata lain ijtihad merupakan kunci dinamika ajaran Islam.

D. Hukum melakukan Ijtihad


Ijtihad dalam Islam adalah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui
hukum syar‟i dari dalil-dalil syari‟atnya. Hukumnya wajib atas setiap orang yang
mampu melakukannya karena Allah telah berfirman,

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak
mengetahui.” [An-Nahl/16 : 43, Al-Anbiya/21 : 7]

Orang yang mampu berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui yang


haq dengan sendirinya, namun demikian ia harus memiliki ilmu yang luas dan
mengkaji nash-nash syari‟at, dasar-dasar syari‟at dan pendapat-pendapat para ahlul
ilmi agar tidak menyelisihi itu semua. Di antara manusia, ada golongan para
penuntut ilmu (thalib „ilm) yang hanya mengetahui sedikit ilmu tapi telah
menganggap dirinya mujtahid (mampu berijtihad), akibatnya ia menggunakan
hadits-hadits umum yang sebenarnya ada hadits-hadits lain yang
mengkhususkannya, atau menggunakan hadits-hadits yang mansukh (dihapus)
karena tidak mengetahui hadits-hadits nasikhnya (yang menghapusnya), atau
10
menggunakan hadits-hadits yang telah disepakati ulama bahwa hadits-hadits
tersebut bertolak belakang dengan zhahirnya, atau tidak mengetahui kesepakatan
para ulama. Fenomena semacam ini tentu sangat berbahaya, maka seorang mujtahid
harus memiliki pengetahuan tentang dalil-dalil syari‟at dan dasar-dasarnya. Jika ia
mengetahuinya, tentu bisa menyimpulkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Di
samping itu, ia pun harus mengetahui ijma‟ para ulama sehingga tidak menyelelisihi
ijma‟ tanpa disadarinya. Jika syarat-syarat ini telah terpatri dalam dirinya, maka ia
bisa berijtihad. Ijtihad bisa juga dilakukan seseorang dalam suatu masalah saja,
yang mana ia mengkaji dan menganalisa sehingga menjadi seorang mujtahid dalam
masalah tersebut, atau dalam suatu bab ilmu, misalnya bab thaharah saja, ia
mengkaji dan menganalisanya sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah
tersebut.

11
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut pembahasan diatas dapat kita simpulkan bahwa ijtihad
menurut asalnya adalah "bersungguh-sungguh" atau "pengerahan segala
kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit" Atas dasar ini maka
tidak tepat apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk melakukan sesuatu
yang mudah/ ringan.
Dasar hukum ijtihad adalah apabila dalam suatu masalah tidak ada
dasar hukum yang terdapat dalam nas. Kebolehan ini di isyaratkan antara
lain (Q.S. Al-Baqarah: 149).
Dalam sejarah pemikiran islam, Ijtihad telah banyak digunakan.
Ajaran Al-Qur‟an dan hadis memang menghendaki digunakannya ijtihad,
dari ayat Al-Qur‟an yang jumlahnya lebih kurang 500 ayat.
Fungsi ijtihad adalah ijtihad itu sebagai jalan yang kita lalui untuk
mengistimbatkan hukum dari dalil-dalil itu dan jalan yang harus kita lalui
untuk menentukan batasan yang dikehendaki oleh kebutuhan masyarakat.

B. Saran
Disarankan kepada kita semua agar lebih mendalami tentang ijtihad ini,
terutama di tengah problem kemanusiaan yang semakin kompleks. Problem
kehidupan yang sedemikian struktural dan sistemik, tentu butuh ijtihad dosis
tinggi dari para ulama. Kondisi ini tidak bisa dipasrahkan pemecahannya pada
model lama seperti yang terbaca dalam sejarah. Ideologi keislaman konservatif
yang terus merujuk ke model masa lalu, bukan saja menunjukkan watak tidak
kreatif, melainkan juga tidak realistis.

12
DAFTAR PUSTAKA

Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki al-Syathibi, al-Muwâfaqât fỉ


Ushûl al-Fiqh, Beirut: Dar al-Ma‟rifah, tt.

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Jawa Timur: PT Logos Wacana Ilmu,
1999.

Hasbi ash-Shiddiqy, Pokok – Pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT.


Pustaka Rizki Putra, 1997.

Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, cet. 2, Kuwait: An-Nashie, 1977.

13

Anda mungkin juga menyukai