Anda di halaman 1dari 212

PERCOBAAN I

PEMBUATAN NATRIUM TIOSULFAT

I. TUJUAN PERCOBAAN
I.1. Mempelajari pembuatan garam natrium tiosulfat dan sifat-sifat
kimianya.

II. TINJAUAN PUSTAKA


II.1 Tiosulfat (Ananda Rihhadatul A)

Tiosulfat merupakan logam yang mengandung ion sulfat, yaitu


S2O3. Tiosulfat dapat terurai di dalam larutan asam dengan cara
menguraikan ion tiosulfat menjadi S dan ion sulfat (Natsir Arsyad, 2001).
Ion tiosulfat dapat membentuk ion kompleks, seperti Ag (S2O3) - . Natrium
tiosulfat adalah salah satu kristal yang tidak memiliki warna, sering disebut
juga hypo, dapat larut di dalam air. Digunakan juga sebagai bahan titrasi
dalam analisis volumetri (Cahyono. B, 1991).

II.2 Reaksi Tiosulfat (Viona Resda Putri)

Umumnya tiosulfat yang telah ada dapat larut didalam air tetapi
tiosulfat yang berasal dari kalium dan timpal perak hanya sedikit larut.
Banyak dari tiosulfat larut pada larutan natrium tiosulfat yang berlebih
dengan membentuk garam kompleks. Dalam mempelajari reaksi pada ion
sulfate larutan yang sering digunakan berupa natrium tiosulfat pentahidrat
(Na2S2O3.5H2O)
1. Dengan Asam Klorida Encer
Pada reaksi ini dalam keadaan dingin tidak terjadi perubahan
dengan cepat, tetapi cairan yang bersifat asam ini akan berubah
menjadi keruh disebabkan oleh adanya pemisahan belerang serta
terbentuknya asam sulfit pada larutan. Dengan adanya pemanasan
larutan maka akan terbentuk gas belerang dioksida yang ditandai
dengan timbulnya bau khas.
S2O32- + 2H+ → S↓ + SO2↑ + H2O
(Svehla, 1985)
2. Dengan Larutan Iod
Reaksi ini akan menghasilkan larutan ion tetrationat yang
tidak berwarna. Biasanya reaksi ini digunakan pada metode
iodometri dan iodimetry dari analisis titrasi. Reaksi yang
berlangsung adalah :
I2 + 2 S2O32- → 2I- + S4O62-
(Svehla, 1985)
3. Dengan Larutan Barium Klorida
Reaksi ini akan menghasilkan endapan berwarna putih
berupa barium tiosulfat dengan reaksi :
S2O32- + Ba2+ → BaS2O3↓
(Svehla, 1985)
4. Dengan Larutan Perak Nitrat
Reaksi ini aka menghasilkan endapan putih berupa perak
tiosulfat dengan reaksi :
S2O32- + 2Ag+ → Ag2S2O3↓
(Svehla, 1985)
Endapan yang diperoleh tidak stabil sehingga akan menjadi gelap
saat didiamkan dan terbentuk perak sulfida.
5. Dengan Larutan Besi (III) Klorida
Reaksi ini akan menghasilkan larutan berwarna lembayung
tua akibat terbentuknya kompleks ditiosulfatobesi (III), tetapi
setelah didiamkan warna akan menghilang sehingga terbentuk ion
tetrationat dan besi (II) dengan reaksi :
2 S2O32- + 2Fe3+ → S4O62- + 2Fe2+

(Svehla, 1985)
II.3 Alotropi Belerang (Khafiyah Balqis)

Belerang mempunyai dua alotropi yakni belerang β monoklin (TL


392 K) dan belerang α rhombik (TL 386 K), yang keduanya bersifat stabil
dengan molekul S8 dan larut dalam CS2, toluene, dan benzene. Perbedaan
bentuk pada belerang ini diikuti dengan perbedaan senyawa pada kedua
alotropnya (Sugiarto, 2015).
Belerang mempunyai bentuk fisik yang berbeda :
- Dalam satu unit sel belreang dengan struktur rombik (S𝛼)
mempunyai 16 cincin S8 dan berubah pada 15,5º.
- Belerang dengan struktur monoklinik (S𝛽) mempunyai 6 cincin es
dan akan mencair pada suhu 119℃.
- Belerang cair (S𝜇) berwarna gelap dan sangat kental mendidih pada
445℃.
- Belerang cair (S𝜇) yang ditungan dalam air dingin akan membentuk
belerang plastik. Molekul didalamnya seperti rantai, kualitas pada
awal terbentuk seperti karet, namun ketika menjadi belerang rombik
mudah rusak.
Adapun gambar struktur molekul belerang yang berbeda-beda :
Allotropi belerang sebagai fungsi suhu dapat diringkas :

(Petrucci, 1997)

II.4 Refluks (Farhan Widya) Commented [DAL1]: Cantumkan gambar set alatnya.

Refluks merupakan teknik pemisahan zat dengan melibatkan


kondensasi uap dan berbalik lagi ke zat asalnya dengan menggunakan
kondensor untuk mendinginkan uap yang dipanaskan. Pada proses refluks
digunakan panas yang akan memengatuhi kecepatan reaksi yang terjadi
selama proses perefluksan.
(Susanti, dkk., 2015)
II.5 Kristalisasi (Dimas Alifiansah)

Kristalisasi adalah metode ketika zat mengalami pemurnian dengan


pelarut serta mengalami pengendapan. Pelarut sangat berperan karena bisa
mempengaruhi senyawa organik dalam kristalisasi dan mengalami padatan
ketika pelarut kristalisasi itu terlarut, serta membentuk struktur kristal
tergantung zat terlarutnya.

(Oxtoby, 2001)

II.6 Analisa Bahan (Cinta Nur N)

2.6.1 Natrium Sulfit Anhidrat

• Sifat fisik :

Berbentuk yakni prisma tidak berwarna dengan BM


126,7 g/mol

• Sifat kimia :

Dapat terlarut di dalam air dan juga reagen pereaksi

(Sukardjo, 1986)
2.6.2 Larutan Iodium Dalam Kalium Iodide
• Sifat fisik :
Memiliki titik didih 183 oC, titik lebur 144 oC, dan pada
suhu ruang bentuknya zat padat
• Sifat kimia :
Kurang reaktifnya terhadap hydrogen

(Handoyo, 1995)

2.6.3 Larutan Asam Klorida

• Sifat fisik :
HCl memiliki titik didih sebesar 114,61 0C, memiliki
berat molekul, yaitu 36,47 g/mol, dan titik leleh sebesar
-119,29 0C
• Sifat kimia :
HCl bersifat korosif, merupakan asam kuat, dan tidak
berwarna

(Basri, 1996)

2.6.4 Serbuk Belerang

• Sifat fisik :
Zat padat berupa non logam dan berwarna kuning
• Sifat kimia :
Beracun dan juga pada air tidak larut

(Vogel, 1994)

2.6.5 Natrium Sulfat

• Sifat fisik :
Memiliki titik leleh 888 oC, tidak berwarna, dan berat
jenis sebesar 142, 05 g/mol
• Sifat kimia :
Dapat diproduksi dari hasil kristalisasi

(Perry, 1934)

2.6.6 Barium Klorida

• Sifat fisik :
Memiliki titik didih 1560 oC, titik leleh 963 oC, dan
berupa padatan berbentuk kristal
• Sifat kimia :
Dapat larut di dalam metanol dan sedikit pada asam
hidroklorat

(Perry, 1934)

2.6.7 Aquadest

• Sifat fisik :
H2O memiliki titik beku 0 0C, titik didih 100 0C, dan berat
molekul 18 g/mol
• Sifat kimia :
Bersifat polar dan dapat digunakan sebagai pelarut yang
universal

(Perry, 1984)
III. METODE PERCOBAAN (Wanda Demona)

III.1 Alat dan Bahan

III.1.1 Alat

• Neraca Analitik
• Set Alat Refluks
• Tabung Reaksi
• Set Timbangan
• Pengaduk
• Pembakar Spritius
• Cawan Penguap

III.1.2 Bahan

• Natrium Sulfit Anhidrat


• Larutan Iodium Dalam Kalium Iodide
• Larutan Asam Klorida
• Serbuk Belerang
• Natrium Sulfat
• Barium Klorida
• Aquadest
III.2 Skema Kerja (Wanda Demona)

1.1.1 Pembuatan Natrium Tiosulfat-5-hidrat


25 gram Natrium Sulfit

Labu Refluks

- Penambahan 20 mL aquades
- Penambahan 5 gram serbuk belerang
- Perefluksan selama 1 jam
- Pendinginan
- Penyaringan
Residu
Filtrat Kertas Saring

Cawan Penguapan

- Penguapan sampai volume 10 mL


- Pendinginan
- Penyaringan

Kristal

Kertas Saring

- Pengeringan
- Penimbangan

Hasil
III.2.2 Mempelajari sifat-sifat kimia Natrium Tiosulfat

a. Pengaruh Pemanasan
Natrium Tiosulfat 5 Hidrat

Tabung Reaksi

- Pemanasan
- Pengamatan
Hasil

Natrium Tiosulfat 10 Hidrat

Tabung Reaksi

- Pemanasan
- Pengamatan
Hasil
-

a. Reaksi dengan Iod


2 gram Kristal Natrium Tiosulfat
Erlenmeyer

- Pelarutan dengan 20 mL aquades


- Penambahan 2-3 mL larutan iod
- Penambahan larutan natrium sulfat berlebih

Hasil
b. Reaksi dengan Klor
2-3 mL Natrium Klor

Erlenmeyer

- Penambahan air klor berlebih


- Pengamatan
- Penambahan HCl encer
- Penambahan barium klorida
-
Hasil

c. Pengaruh Asam Encer


3 mL Natrium Tiosulfat

Erlenmeyer

- Pereaksian dengan 3 mL HCl encer


- Pengamatan
- Pembauan

Hasil
IV. DATA PENGAMATAN (Ananda Rihhadatul A)

1. Pembuatan Natrium Tiosulfat-5-hidrat


No Perlakuan Hasil
Pencampuran 25 gr Na2SO3 + Larutan berwarna kuning keruh
1. H2O + 5 gr serbuk sulfur

2. Perefluksan selama 1 jam Larutan berwarna putih


kekuningan
- Pendinginan Filtrat : putih
3.
- Penyaringan Residu : kuning
-Penguapan filtrat Menghasilkan kristal berwarna
4.
-Pendinginan putih
-Pengeringan Kristal putih natrium tiosulfat
5.
-Penimbangan sebesar 9 gr

2. Mempelajari Sifat-sifat Kimia


Pengaruh pemanasan
- Na2S2O3.5H2O + Pemanasan - Kristal meleleh
- Na2S2O3.10H2O + Pemanasan - Kristal meleleh dengan waktu yang
lebih lama
Reaksi dengan Iod
- Na2S2O3 + 20 mL air + larutan - Larutan bening dan dihasilkan
iodin gelembung

Pengaruh Asam Encer


- 3 mL Na2S2O3 + 3 mL asam - Lama kelamaan akan larut dann larutan
klorida encer menjadi keruh dan muncul bau belerang

Reaksi dengan klor


- Pencampuran 2-3 larutan - Larutan berwarna bening
natrium tiosulfat + air klor
berlebih
- Penambahan asam klorida encer - Larutan berubah menjadi putih
- Barium klorida - Larutan mengendap dan terbentuk
endapan berwarna putih
V. HIPOTESIS (Farhan Widya)
Percobaan yang memiliki judul “Pembuatan Natrium Tiosulfat”
memiliki tujuan untuk pembelajaran tentang pembuatan natrium tiosulfat
serta sifat-sifat kimianya dengan penggunaan bahan natrium sulfit, sulfurm
HCl encer, serta barium klorida. Metode yang digunakan pada percobaan
ini adalah refluks serta kristalisasi. Prinsip yang berlaku pada percobaan
adalah proses pemanasan serta pengendapan. Hasil yang kemungkinan
didapat adalah kristal natrium sulfat yang memiliki warna putih, natrium
tiosulfat yang direaksikan dengan HCl encer akan menghasilkan produk
berupa endapan putih serta beraroma sulfur, pengaruh dari pemanasan
dimana Na2SO3 tidak meleleh sedangkan Na2S2O3 meleleh, reaksi dengan
iodine akan menghasilkan larutan keruh, serta reaksi dengan chlor
penambahan HCl serta barium klorida akan menjadi kuning dan terjadi
pengendapan.
VI. PEMBAHASAN (Viona Resda Putri)
Telah dilakukan percobaan pertama praktikum kimia anorganik
yang berjudul “Pembuatan Natrium Tiosulfat” dengan tujuan agar praktikan
mampu mempelajari pembuatan garam natrium tiosulfat dan sifat-sifat
kimianya. Percobaan ini dilakukan dengan metode refluks dan kristalisasi.
Refluks merupakan teknik pemisahan zat dengan melibatkan kondensasi
uap dan berbalik lagi ke zat asalnya dengan menggunakan kondensor untuk
mendinginkan uap yang dipanaskan (Susanti dkk, 2015). Metode refluks ini
didasari oleh prinsip pemanasan. Kristalisasi adalah metode ketika zat
mengalami pemurnian dengan pelarut serta mengalami pengendapan
(Oxtoby, 2001). Metode kristalisasi ini didasari oleh prinsip pengendapan.
6.1. Pembuatan Natrium Tiosulfat-5-hidrat
Percobaan ini bertujuan untuk membuat natrium tiosulfat 5 hidrat.
Langkah pertama adalah natrium sulfit dicampurkan dengan serbuk
belerang di dalam labu refluks. Lalu, aquades ditambahkan ke campuran
tadi. Aquades sebagai pelarut dan belerang digunakan karena memiliki
struktur alotropi yang rumit. Selanjutnya, proses refluks berlangsung.
Refluks bertujuan untuk memutus ikatan cincin dari belerang agar dapat
bereaksi dengan natrium sulfit, saat pemutusan ikatan dapat terjadi dengan
cara pemanasan pada suhu tinggi. Kondensor yang digunakan pada proses
refluks ini berbentuk bulat yang bertujuan untuk memperluas permukaan,
ketika luas permukaan semakin besar, uap yang mengembun dan menuju
fasa awal akan lebih cepat prosesnya. Untuk mempermudah pelepasan
digunakan vaseline sebagai pelicin pada ujung ujung corong.
Hasil dari proses refluka adalah larutan berwarna putih kekuningan.
Kemudian, pendinginan pada suhu ruang yang bertujuan untuk
menghasilkan kristal – kristal kecil. Perbedaan bentuk kristal yang
dihasilkan dari suhu ruang dengan es batu pada laju pembentukan. Pada
suhu ruang pembentukan laju inti terbentuk lebih dahulu, sehingga kristal
yang dihasilkan lebih kokoh. Sedangkan, pada es batu laju pembentukan
luar lebih dahulu, sehingga kristal yang dihasilkan besar tetapi rapuh. Proses
selanjutnya adalah proses penguapan filtrat dengan cawan penguapan.
Penguapan ini bertujuan untuk memekatkan konsentrasi filtrat dan mengikat
air yang terkandung sehingga akan menguap dan menghasilkan kristal
berwarna putih. Kemudian, lakukan pengeringan kristal natrium tiosulfat
dan penimbangan sebesar 9 gram.
6.2. Mempelajari Sifat-sifat Kimia
6.2.1 Pengaruh Pemanasan (Khafiyah Balqis)
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui sifat kimia
natrium tiosulfat dengan uji stabilitas termal. Percobaan ini
diawali dengan penyiapan dua tabung reaksi yang kemudian ke
dalam masing-masing tabung dimasukkan natrium tiosulfat penta
hidrat (Na2S2O3.5H2O) dan natrium tiosulfat dekahidrat
(Na2S2O3.10H2O). Setelah itu dilakukan pemanasan secara
bersamaan dan dilakukan pengukuran waktu terhadap pelelehan
keduanya. Setelah itu dilakukan pengamatan terhadap keduanya.
Dari hasil percobaan ini dapat diamati bahwa natrium
tiosulfat pentahidrat lebih cepat mengalami pelelehan dibanding
dengan natrium tiosulfat dekahidrat. Hal ini dapat terjadi karena
pada natrium tiosulfat pentahidrat ini memiliki lebih sedikit
molekul air yang terikat di dalamnya dibandingkan dengan
natrium tiosulfat dekahidrat. Selain itu, jika dihubungkan dengan
energi termal dari kedua senyawa tersebut, senyawa natrium
tiosulfat dekahidrat ini memiliki energi termal yang lebih baik
dibanding dengan natrium tiosulfat pentahidrat. Hal ini
dikarenakan ikatan pada senyawa natrium tiosulfat pentahidrat
lebih lemah dibanding dengan natrium tiosulfat dekahidrat
sehingga energi yang dibutuhkan untuk pelelehannya lebih
rendah. Adapun reaksi pemanasan yang terjadi adalah:
Na2S2O3.5H2O → Na2S2O3 + 5H2O
Na2S2O3.10H2O → Na2S2O3 + 10H2O

(Svehla, 1990)
6.2.2 Reaksi dengan Iod (Khafiyah Balqis)
Percobaan ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa ion
tiosulfat merupakan reduktor kuat. Langkah awal yang dilakukan
pada percobaan ini adalah pelarutan natrium tiosulfat dengan
akuades dalam erlenmeyer. Kemudian ke dalam larutan natrium
tiosulfat tersebut ditambahkan larutan iodin. Setelah itu dilakukan
penambahan natrium sulfat berlebih.
Pada percobaan ini, reaksi yang terjadi merupakan reaksi
redoks dimana penambahan I2 ke dalam larutan natrium tiosulfat
berfungsi sebagai oksidator. Sedangkan ion tiosulfat sendiri
bertindak sebagai reduktor. Adanya reaksi redoks yang terjadi ini
dapat diketahui dengan adanya gelembung yang terbentuk serta
terjadi perubahan warna yaitu semula berwarna kuning kemudian
berubah menjadi tak berwarna. Adapun persamaan reaksinya
adalah sebagai berikut:
Reduksi : I2(aq) + 2e- → 2I-(aq)
Oksidasi : 2S2O32-(aq) → S4O62-(aq) + 2e-
2S2O32-(aq) + I2(aq) → S4O62-(aq) + 2I-(aq)

(Cotton, 1989)

6.2.3 Reaksi dengan Klor (Wanda Demona)


Tujuan percobaan ini, yaitu agar dapat diketahui dan diamati
sifat kimia garam natrium tiosulfat melalui reaksinya dengan
klor. Langkah awal percobaan ini, yaitu natrium tiosulfat
direaksikan dengan air klor berlebih dalam erlenmeyer yang
kemudian akan menghasilkan larutan berwarna bening. Hal
tersebut terjadi akibat sifat natrium tiosulfat yang mampu
menginduksi senyawa lain menjadi bening. Selanjutnya,
dilakukan penambahan HCl encer dan barium klorida yang
menyebabkan terjadi perubahan warna pada larutan menjadi
bening serta mengalami pengendapan. Hal tersebut dapat terjadi
karena penambahan HCl menyebabkan terbentuknya garam NaCl
dengan asam tiosulfit, sedangkan ketika ditambah dengan barium
klorida maka terbentuk barium tiosulfat serta asam kembali
membentuk asam klorida. Hasil yang diperoleh adalah warna
kuning dan adanya endapan karena barium adalah unsur dari
golongan IIA dan oksidasinya bersifat basa serta mempunyai
kelarutan yang kurang baik dalam air maupun asam encer. Selain
itu, barium merupakan logam yang lebih rapat serta melebur pada
suhu yang tinggi. Oleh sebab itu, saat ditambahkan dengan BaCl
larutan yang didapat mengalami pengendapan. Adapun reaksi
yang terjadi, yaitu:
Na2S2O3 + 2HCl → 2NaCl + H2S2O3
H2S2O3 + BaCl2 → BaS2O3 + 2HCl

(Svehla, 1990)

6.2.4 Pengaruh Asam Encer (Wanda Demona)


Tujuan percobaan adalah agar dapat diketahui dan diamati
sifat kimia garam natrium tiosulfat melalui reaksinya dengan
asam encer yang digunakan, yaitu HCl. Langkah awal dalam
percobaan ini adalah ke dalam Erlenmeyer natrium tiosulfat
dimasukkan lalu direaksikan dengan HCl encer. Penambahan
HCl encer berfungsi agar dapat mengendapkan sulfur dan sulfur
dioksida dapat diuapkan. Selanjutnya, dilakukan pengamatan
pada larutan.
Melalui percobaan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa
larutan semakin lama akan terlarut dan warnanya menjadi keruh
yang menandakan keberadaan belerang pada larutan. Selain itu,
muncul bau menyengat yang berasal dari gas sulfur yang
menguap. Reaksinya adalah:
Na2S2O3 + 2HCl → 2NaCl + H2S2O3
H2S2O3 → SO2(g)↑ + S(s)↓ + H2O

(Svehla, 1990)
VII. PENUTUP (Dimas Alifiansah)
VII.1 Kesimpulan
Pembuatan natrium tiosulfat dilakukan dengan cara
mereaksikan natrium sulfit dengan serbuk belerang dengan
menggunakan metode refluks dan kristalisasi. Serta prinsipnya yaitu
pemanasan dan pengendapan sehingga diperoleh hasil berupa kristal
putih natrium tiosulfat-5-hidrat dengan rendemen persentase
sebanyak 35.601%.

Pada pengaruh pemanasan diperoleh hasil bahwa natrium


tiosulfat-5-hidrat lebih cepat meleleh dibandingkan dengan natrium
tiosulfat-10-hidrat. Pada reaksi iod, akan menghasilkan larutan
bening dan bergelembung yang menandakan terjadinya reaksi
redoks. Pada reaksi klor, akan menghasilkan endapan barium
tiosulfat yang berwarna putih. Pada asam encer, akan terbentuk
endapan sulfur serta gas SO2 yang memiliki bau menyengat

VII.2 Saran
Saat percobaan praktikan harus menggunakan vaseline pada corong
labu supaya bisa melepasnya dengan mudah dari kondensor agar
tidak terjadi hal yang tidak diinginkan
LAMPIRAN PEHITUNGAN

Diketahui:

Na2SO3 = 25 gram

BM Na2SO3 = 126 gram/mol

S8 = 5 gram

BM S8 = 256 gram/mol

BM Na2S2O3 = 158 gram/mol

Rendemen nyata = 9 gram

8𝑁𝑎2 𝑆𝑂3(𝑎𝑞) + 𝑆8(𝑠) + 5𝐻2 𝑂 → 8𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3 . 5𝐻2 𝑂

1. Menentukan mol Na2SO3


Massa Na2SO3 = 25 gram
BM Na2SO3 = 126 gram/mol
Ditanya : n Na2SO3 ?
Jawab :
gram
n=
BM
25 𝑔
n Na2 𝑆𝑂3 = 𝑔
126
𝑚𝑜𝑙
n Na2 𝑆𝑂3 = 0,2 𝑚𝑜𝑙
2. Menentukan mol S8
S8 = 5 gram
BM S8 = 256 gram/mol
Ditanya : n S8 ?
Jawab :
gram
n=
BM
5𝑔
n 𝑆8 =
256 𝑔/𝑚𝑜𝑙
n 𝑆8 = 0,02 𝑚𝑜𝑙
(Farhan Widya)
3. Menentukan rendemen teoritis Natrium Tiosulfat
8𝑁𝑎2 𝑆𝑂3 + 𝑆8 → 8𝑁𝑎2 𝑆2 𝑂3
m 0,2 mol 0,02 mol -
r 0,16 mol 0,02 mol 0,16 mol
s 0,04 mol - 0,16 mol

massa Na2S2O3 = 0,16 mol x 158 g/mol

= 25,28 gram

Rendemen Teoritis = 25,28 gram

4. Menentukan rendemen presentase


Rendemen Nyata = 9 gram
Rendemen teoritis = 25,28 gram
Ditanya : Rendemen persentase?
Jawab :
rendemen nyata
Rendemen persentase = rendemen teoritis
× 100%

9 𝑔𝑟𝑎𝑚
= × 100%
25,28 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 35.601%

(Cinta Nur N)
PERCOBAAN 2
“PEMURNIAN BAHAN MELALUI KRISTALISASI”

TUJUAN PERCOBAAN
1.1. Mempelajari salah satu metode pemurnian yaitu rekristalisasi penerapannya
pada pemurnian garam dapur kasar
DASAR TEORI
1.2. Kristalisasi
Kristalisasi merupakan sebuah cara pemurnian dan pemisahan yang
berguna untuk membentuk berbagai macam bahan. Kristalisasi dapat juga
diartikan sebagai adanya perubahan fasa kristal yang diperoleh dari suatu larutan
(Febriyanto, 2019).

1.3. Proses Kristalisasi


Proses pembentukan awal kristal dengan membentuk inti atau nukleasi
yang beriringan dengan pertumbuhan kristal dengan pembentukan dari inti guna
memperoleh ukuran kristal pada keadaan yang telah lewat jenuh. Keadaan
larutan yang telah lewat jenuh diperoleh dengan menghilangkan pelarut,
penambahan temperatur, ataupun penambahan agen pereaksi sehingga dapat
menambah massa kristal. Kemudian senyawa akan mencapai pada titik
kesetimbangannya. Proses pembentukan inti akan berjalan secara berkelanjutan
dan terus – menerus dengan pertumbuhan kristal pada saat keadaan larutan yang
masih lewat jenuh. Kesetimbangan proses kristalisasi akan tercapai pada saat
larutan induk berada pada keadaan jenuh (Perry & Green, 1999).

Langkah berikutnya ialah proses pendinginan dengan tidak adanya


penahanan dari pelarut pada zat terlarut, sehingga pelarut akan mulai berangsur
– angsur melakukan pelepasan pada larutan guna membentuk padatan yaitu
kristal. Pada proses pendinginan terjadi fenomena zat terlarut akan memproses
penumbuhan kristal secara diam yang dilakukan melalui kristalnya. Apabila
kristal telah mencapai bentuknya maka dilakukan penyaringan guna melakukan
pemisahan kristal murni dengan filtratnya. Kristal yang diperoleh kemudian
dilakukan pencucian menggunakan suatu pelarut dingin (McKetta, 1983).

1.4. Rekristalisasi
Tahap memurnikan kembali zat produk kristalisasi sehingga didapatkan
zat lebih murni ialah definisi dari rekristalisasi. Rekristalisasi dengan
menambahkan solvent dilakukan pada temperatur ruang apabila produk
kristalisasi baik dan mampu lebih terlarut pada temperatur lebih tinggi.
Tujuannya yaitu supaya kontaminan mampu melewati kertas saring dan hanya
zat murni yang tertinggal pada kertas saring (Fessenden, 1993).
1.5. Proses Kristalisasi
Proses yang ada dalam rekristalisasi yaitu mula-mula melarutkan zat
produk kristalisasi pada solvent yang bersesuaian dengan memanaskannya
dalam temperatur mendekati titik didih solventnya. Kemudian, mendinginkan
larutan hingga terbentuk kristal dan melakukan filtrasi untuk mengambil kristal
yang terbentuk. Terakhir, mengeringkan kristal produk rekristalisasi (Cahyono,
1991).
1.6. Hasil Kali Kelarutan (Ksp)
Ksp atau hasil kali kelarutan berupa hasil perkalian konsentrasi ion pada
larutan jenuh garam yang sulit terlarut pada air. Hubungan Ksp dan kelarutan,
yaitu:

AmBn(s) ↔ mAn+(aq) + nBm-(aq)

Ksp AmBn = [An+]m[Bm-]n

[An+]m[Bm-]n = Ksp AmBn, tidak ada endapan (tepat jenuh)

[An+]m[Bm-]n < Ksp AmBn, tidak ada endapan (belum jenuh)

[An+]m[Bm-]n > Ksp AmBn, ada endapan (lewat jenuh)


(Wulandari & Qurniawati, 2019)

1.7. Salting Out


Salting out adalah suatu metode pada praktikum yang berguna untuk
melakukan presipitasi protein. Adapun cara untuk presipitasi protein tersebut
yaitu menambahkan garam pada protein sehingga akan menghasilkan larutan
yang jenuh dengan larutan protein. Garam yang berkonsentrasi tinggi akan
membuat kekuatan ion pada garam juga akan semakin tinggi dimana molekul –
molekul air akan terikat pada garam. Sehingga terjadi gaya tarik menarik antar
garam air dan akan membuat protein menjadi terendapkan (Alfiyulita et. al,
2014).
1.8. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kristal
a. Laju pembentukan inti (nucleus)
Dengan dinyatakan banyaknya inti yang terperoleh dalam satuan waktu.
Saat laju pembentukan inti naik akan banyak sekali kristal yang terproduk,
namun tidak satupun akan tumbuh menjadi besar, jadi yang terbentuk berupa
partikel koloid.
b. Laju pertumbuhan kristal
Faktor lainnya yang berpengaruh terhadap ukuran kristal yang terproduk
selama proses pengendapan yang terjadi berupa laju pertumbuhan kristal. Saat
laju tinggi kristal yang besar akan terbentuk, dipengaruhi juga oleh derajat
lewat jenuh.
(Skoog, D. A., 1980)

1.9. Analisa Bahan


1.9.1. Kristal Garam Dapur pasaran 20 gram (NaCl)
1.9.1.1. Sifat fisika
- Berbentuk padatan kristal putih
- Densitas 2,17 g/mL
- Titik leleh 801oC
- Titik didih 1413oC
1.9.1.2. Sifat kimia
- Larut dalam air
- Sedikit larut dalam etanol
- Dijumpai sebagai mineral
(Budavery, 1989)
1.9.2. Serbuk Kapur (CaO) 1 gram
1.9.2.1. Sifat fisika
- BM 56,08 g/mol
- Wujudnya serbuk putih kekuningan
- Bereaksi disaat di air
1.9.2.2. Sifat kimia
- Reaksi hidrasi diperoleh kalsium hidroksida
- Pada bereaksi bersama asam menghasilkan garam kalsium
(Othmer, 1998)
1.9.3. Larutan Ba(OH)2 encer
1.9.3.1. Sifat fisika
- Padatannya berupa kristal putih transparan
- BM 171,28 g/mol
- Densitas 3,743 g/cm3
- Meleleh pada suhu 78oC
- Kelarutan 101,4 g/100 mL pada suhu 100oC
1.9.3.2. Sifat kimia
- Termasuk basa kuat dan elektrolit kuat
- Korosif
- Terurai menjadi Ba2+ dan 2OH-
- Monohidratnya dikenal dengan nama barit
- Larut dalam air tetapi tidak dalam aseton
- Sebagai bahan pembuatan sabun, penyabunan lemak, dan sintesis
organik
(Basri, 2003)

1.9.4. Larutan (NH4)2CO3


1.9.4.1. Sifat fisik
- Wujudnya padat
- Tidak berwarna dan berbau seperti ammonia
- Memiliki pH 9,4 pada 100 g/L pada suhu 20oC
- Tekanan uap 9 hPa
- Kelarutan dalam air 320 g/L
1.9.4.2. Sifat kimia
- Dapat mengadakan reaksi penguraian
- Stabil pada suhu kamar
- Mudah larut dalam air
- Dapat mengadakan reaksi eksotermik
(Petrucci, 2017)
1.9.5. Larutan HCl
1.9.5.1. Sifat fisika
- Titik didih 53oC
- Titik beku -74oC
- BM 36,641 g/mol
- Berwujud cairan kekuningan
1.9.5.2. Sifat kimia
- Termasuk asam kuat
- Bersifat korosif
- Terurai menjadi H+ dan Cl-
- Termasuk asam monoprotic
- Jika bereaksi dengan molekul air membentuk ion hidronium
(Svehla, 1990)
1.9.6. H2SO4 pekat
1.9.6.1. Sifat fisik
- Berwujud cairan higroskopis bening tanpa bau
- Titik lebur 10oC
- Titik didih 337oC
- BM 98,08 g/mol
1.9.6.2. Sifat kimia
- Termasuk asam kuat
- Reaksi hidrasi sangat eksotermik
- Menghasilkan garam apabila bereaksi dengan basa
- Menghasilkan asam sulfonate apabila bereaksi dengan zat aromatic
- Sifatnya korosif
(Carey, 2000)
1.9.7. Akuades
1.9.7.1. Sifat fisik
- Titik didih 100oC
- Titik leleh 0oC
- pH netral =7
- BM 18,02 g/mol
1.9.7.2. Sifat kimia
- Bersifat polar
- Merupakan pelarut yang baik
- Memiliki senyawa organik netral yang mempunyai gugus fungsional
polar seperti gula, alkohol, aldehida, dan keton
(Nelson & Cox, 2014)
METODE PENELITIAN
1.10. Alat dan Bahan
1.10.1. Alat
• Neraca Analitik
• 1 buah Gelas beker
• 1 set Pemanas Listrik
• 1 buah Pengaduk Gelas
• 1 buah Corong
• Gelas ukur 100 mL
• Erlenmeyer
• Pipa U
• 2 buah Tabung Reaksi
1.10.2. Bahan
• Kristal garam dapur pasaran 20 gram (NaCl)
• Serbuk kapur (CaO) 1 gram
• Larutan Ba(OH)2 encer
• Larutan (NH4)2CO3
• Larutan HCl
• H2SO4 pekat
• Aquades
1.11. Skema Kerja
1.11.1. Perlakuan Awal

62,5mL Aquadest
Gelas Beker

- Pemanasan sampai mendidih


- Penambahan 20gram garam dapur
- Pengadukan
- Pemanasan sampai mendidih
- Penyaringan

Filtrat Larutan
Gelas Beker

- Pembagian menjadi dua bagian

Larutan I Larutan II

1.11.2. Kristalisasi melalui Penguapan

Larutan I
Gelas Beker

- Penambahan 0,5gram Kalsium oksida (CaO)


- Penambahan Ba(OH)2
- Penambahan 30gram/L (NH4)2CO3
- Pengadukan
- Penyaringan

Larutan Filtrat

Kristal NaCl
Gelas Beker

- Penetralan dengan HCl


- Pengukuran pH dengan kertas lakmus
- Penguapan hingga kering

1.11.3. Rekristalisasi melalui Pengendapan

Larutan II NaCl + H2SO4 pekat


Tabung Reaksi Tabung Reaksi

- Penjenuhan dengan gas HCl

Aquadest

- Penimbangan
- Perhitungan

Hasil
DATA PENGAMATAN

No. Perlakuan Hasil


1. Perlakuan Awal (Preparasi)
• 20 g NaCl + 65 mL aquades panas Garam larut
diaduk dan dipanaskan hingga
mendidih
• Larutan NaCl disaring dengan Filtrat berwarna bening
kertas saring Residu berwarna putih kecoklatan

• Filtrat dibagi menjadi 2 bagian Filtrat dibagi 2 masing – masing 30


mL
2. Kristalisasi melalui penguapan
• Larutan 1 + 0,5 g CaO Larutan berwarna putih keruh
• Penambahan Ba(OH)2 encer Endapan agak larut
• Penambahan larutan (NH4)2CO3 Warna larutan putih

• Penyaringan dan filtratnya Filtrat berwarna putih, Residu putih

dinetralkan dengan HCl kembali

• Penguapan sampai kering Solven mulai menguap

• Penimbangan Kristal berwarna putih keruh


Berat Kristal = 13 gram
3. Rekristalisasi melalui pengendapan
• Penambahan H2SO4 pada tabung Terdapat gas HCl pada tabung reaksi
reaksi yang berisi NaCl berisi NaCl sedangkan larutan
• Tabung ditutup berwarna keruh dan warna garam
NaCl yang dihasilkan lebih putih

• Penyaringan Memisahkan antara filtrat dengan


residu

• Pengeringan dan Penimbangan Didapatkan kristal 3 gram

• Pembandingan dengan hasil dari Hasil dari rekristalisasi penguapan

kristalisasi melalui penguapan lebih banyak dibandingkan dengan


rekristalisasi pengendapan
HIPOTESIS
Pada hari Selasa 16 November 2021 akan dilakukan praktikum percobaan
dua dengan judul “Pemurnian Bahan Melalui Kristalisasi” yang bertujuan untuk
melakukan pembelajaran mengenai salah satu metode pemurnian, yaitu metode
rekristalisasi dan melakukan penerapannya dalam proses pemurnian garam dapur
kasar. Pada percobaan ini menggunakan prinsip perbedaan titik didih yang
dimiliki antar pelarut dan hasil kali kelarutan (KSp) ion yang lebih besar
dibandingkan dengan tetapan hasil kali. Sedangkan metode yang digunakan ialah
penguapan dengan pengendapan. Prediksi hasil yang akan diperoleh pada
percobaan berupa garam dapur (NaCl) dengan bentuk yang lebih bersih dan
memiliki warna yang lebih putih dari garam dapur yang beredar di pasaran.
PEMBAHASAN
Telah dilakukan percobaan praktikum kedua yang berjudul judul
“Pemurnian Bahan Melalui Kristalisasi” pada hari Selasa 16 November 2021.
Adapun tujuan dari percobaan ini untuk melakukan pembelajaran mengenai salah
satu metode pemurnian, yaitu metode rekristalisasi dan melakukan penerapannya
dalam proses pemurnian garam dapur kasar. Pada percobaan ini menggunakan
prinsip perbedaan titik didih yang dimiliki antar pelarut dan hasil kali kelarutan
(KSp) ion yang lebih besar dibandingkan dengan tetapan hasil kali. Sedangkan
metode yang digunakan ialah penguapan dengan pengendapan.

1.12. Perlakuan Awal


Percobaan ini dilakukan untuk melarutkan garam dapur (NaCl) kasar
yang akan dipakai dalam percobaan selanjutnya. Mulanya aquadest dimasukan
dalam gelas beker dan dipanaskan hingga mendidih. Pemanasan ini berfungsi
supaya proses kelarutan garam NaCl terjadi dengan cepat. Selanjutnya
masukkan NaCl dan lakukan pengadukan hingga larut sempurna. Setelah itu
larutan dipanaskan hingga mendidih supaya tumbukan antar partikel dalam
larutan cepat akibatnya daya kelarutan NaCl akan semakin besar dan cepat.
Melarutnya NaCl dalam percobaan ini disebabkan karena NaCl
merupakan senyawa bersifat polar sehingga membutuhkan pelarut polar seperti
aquadest. Hal ini sesuai dengan prinsip like dissolve like dimana zat terlarut polar
akan larut dalam pelarut polar begitu juga sebaliknya (Syukri, 1999). Selain itu,
NaCl termasuk senyawa ionic yang akan terionisasi dalam larutan menjadi ion-
ion. Supaya kelarutan terjadi dengan cepat, harga Ksp NaCl harus lebih besar
dibanding hasil kali ion-ionnya. NaCl juga termasuk elektrolit kuat yang
menyebabkan ion-ionnya dapat larut sempurnya dalam air.
Selanjutnya dilakukan penyaringan sehingga diperoleh filtrat dan residu.
Residu yang diperoleh berwarna putih kecoklatan sedangkan filtrat berwarna
bening. Filtrat yang bening ini dibagi dua menjadi 2 larutan dalam jumlah yang
sama. salah satu filtrat akan dilakukan untuk kristalisasi dengan penguapan,
filtrat lainnya akan dilakukan rekristalisasi melalui pengendapan.

1.13. Kristalisasi Melalui Penguapan


Percobaan ini dilakukan dengan menggunakan metode penguapan
berdasar prinsip diferensiasi titik didih solute dan solvent dengan titik didih
solvent harus lebih kecil dari titik didih solute.

Langkah awal dalam percobaan ini yaitu menambahkan CaO ke dalam


larutan NaCl. Penambahan CaO bertujuan untuk memperbesar diferensiasi
kelarutan NaCl dengan kontaminannya. Sebab, ion Cl- pada NaCl akan ditarik
oleh ion Ca2+ pada CaO sehingga endapan putih CaCl2 terbentuk sesuai dengan
reaksi sebagai berikut :

2 NaCl(aq) + CaO(s) + H2O(l) → CaCl2↓ + 2 Na+ + 2 OH-

(Svehla, 1990)

Selain itu, ion Ca2+ juga mampu bereaksi dengan kontaminan pada
larutan, seperti ion SO42- dan ion CO32- dengan membentuk endapan. Hal itu
disebabkan oleh nilai hasil kali kelarutan yang melampaui Kspnya dengan reaksi
sebagai berikut :

CaO → Ca2+ + O2-


Ca2+ + CO32- → CaCO3 Ksp = 4,8 x 10-9
Ca2+ + SO42-→ CaSO4 Ksp = 2,3 x 10-4
(Svehla, 1990)
Kemudian, menambahkan Ba(OH)2 ke dalam larutan hingga endapan
yang terbentuk sebelumnya menghilang. Penambahan barium hidroksida
berperan untuk memisahkan ion Cl- dari endapan CaCl2. Barium hidroksida
terionisasi menjadi ion Ba2+ dan ion OH- yang akan mengikat pengotor seperti
Fe2+, Mg2+ dan Cl-.
Adapun reaksi yang terjadi :
Ba(OH)2 → Ba2+ + 2 OH-
Fe2+ + 2 OH- → Fe(OH)2 Ksp = 4,8 x 10-16
Mg2+ + 2 OH- → Mg(OH)2 Ksp = 3,4 x 10-11
(Svehla, 1990)
Reaksi keseluruhan pada NaCl setelah penambahan CaO dan Ba(OH)2
yaitu:

2NaCl(aq)+ CaO(s)+ Ba(OH)2 (aq)+ H2O → BaCl2 + Na+ + 4OH- + Ca2+

(Svehla, 1990)
Setelah itu, menambahkan (NH4)2CO3 ke dalam larutan guna mengikat
ion Ba2+ dan Ca2+ yang berlebih pada larutan dan endapan putih terbentuk
kembali. Reaksi yang terjadi yaitu :
Ba2+ + CO32- →BaCO3
Ca2+ + CO32- → CaCO3
Adapun reaksi keseluruhan :

BaCl2+ Na+ + 4OH- + Ca2+ + (NH4)2CO3 →BaCO3 +NH3↑+Na2CO3


+CaCl2
(Svehla, 1990)

Selanjutnya, menyaring larutan untuk memisahkan residu yang berwarna


coklat dari filtrat yang berwarna putih. Kemudian, menambahkan HCl pada
filtrat guna menurunkan pH yang sebelumnya bersifat basa akibat dari
penambahan reagen (NH4)2CO3 supaya pH filtrat kembali bersifat netral.
Penggunaan HCl tidak dapat diganti dengan asam kuat lain seperti H2SO4 sebab
memungkinkan terbentuknya pengotor berupa Na2SO4 yang mengganggu
produk reaksi.
Kemudian, menguapkan filtrat hingga kering agar NH4+ dan H2O mampu
dihilangkan dan diperoleh kristal NaCl yang berwarna putih keruh. Terakhir,
menimbang massa kristal NaCl yang diperoleh.

Hasil percobaan diperoleh kristal NaCl berwarna putih keruh dengan


massa sebesar 13 gram dan rendemen sebesar 65%. Hasil kristal garam pada
metode ini lebih banyak daripada metode rekristalisasi melalui pengendapan,
tetapi kristalnya berwarna putih keruh.

1.14. Rekristalisasi Melalui Pengendapan


Percobaan ini menggunakan metode pengendapan, dimana hasil kali
kelarutan ion-ion (Qc) lebih besar dari pada ketetapan hasil kali kelarutan (Ksp).
Pada percobaan ini diperlukan 2 tabung reaksi, dimana tabung reaksi I berisi
larutan 2 (filtrat garam) dari tahap perlakuan awal. Sedangkan tabung II berisi
NaCl dan H2SO4 pekat. Tabung reaksi I dan II selanjutnya dihubungkan dengan
pipa U. NaCl dan H2SO4 pekat dalam tabung II akan bereaksi sehingga
menghasilkan gas HCl. Reaksi yang terjadi adalah:

2NaCl (s) + H2SO4 (aq) → 2HCl (g) + Na2SO4 (aq)

(Svehla, 1990)

Gas HCl akan masuk dalam tabung reaksi I melewati pipa U. Filtrat
garam dari perlakuan awal akan jenuh karena adanya gas HCl sehingga terjadi
pengendapan dan terbentuk kristal. Pengendapan terjadi karena hasil kali
kelarutan ion-ion (Qc) lebih besar dari pada ketetapan hasil kali kelarutan (Ksp).
Filtrat garam NaCl menjadi lewat jenuh sehingga terbentuk endapan NaCl yang
lebih murni dengan reaksi:

NaCl → Na+ + Cl-

(Svehla, 1990)
Adanya penambahan ion sejenis (Cl-) dari HCl, akan meningkatkan
konsentrasi ion Cl- dalam larutan NaCl. Oleh karena itu, filtrat garam (NaCl)
akan mengendap dan membentuk kristal. Ketika ion Cl- ditambahkan,
kesetimbangan akan bergeser ke kiri sehingga terbentuk endapan. Kristal NaCl
yang terbentuk melalui pengendapan diperoleh lebih lama dibandingkan melalui
penguapan. Selain itu, kristal yang terbentuk berukuran kecil dan halus serta
lebih murni dengan jumlah yang lebih sedikit. Hal ini dikarenakan oleh
penggunaan satu reagen yaitu H2SO4. Hasil dari percobaan didapatkan massa
kristal NaCl murni melalui penimbangan sebesar 3 gram dengan rendemen
prosentase sebesar 15%.
PENUTUP
1.15. Kesimpulan
Hasil yang diperoleh pada kristalisasi melalui penguapan kristal NaCl
berupa kristal dengan warna putih keruh sebesar 13 gram dan rendemen
prosentase diperoleh 65%, sedangkan pada rekristalisasi melalui pengendapan
kristal NaCl diperoleh massa sebesar 3 gram dengan rendemen prosentase sebesar
15 %.

1.16. Saran
Penggunaan Ba(OH)2 yang berfungsi untuk mengikat zat – zat pengotor
dapat diganti dengan senyawa hidroksida lainnya, seperti AgOH,
LiOH, dan lain sebagainya guna mengetahui hasil ujinya sehingga
dapat dilakukan perbandingan.
PERCOBAAN III

“ION KOMPLEKS KARBONATOTETRAAMMINKOBALTAT (III)”

I. TUJUAN PERCOBAAN
1.1 Memahami pembikinan, pemurnian, serta sifat ionekompleks
[Co(NH3)4CO3]+.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Senyawa Kompleks dan Ion Kompleks (Afif Rieka )
Senyawaeyang merupakan logam dan disekitarnya terdapat ligan
yang mengelilinginya. Ciri-ciri dari senyawa kompleks yaitu antara lain
tersusun dari 2 ion atau lebih, dapat menghasilkan warna, antara ionnya
terdapat ikatan kovalen, bersifat magnetik.
Ion kompleks ialah gabungan dari atom ataupun ion logam
bersama molekul netral yang merupakan kovalen koordinasi. Ciri – ciri
struktur ion tersebut tergantung terhadap bilangan kordinasinya, bentuk
senyawa, serta banyak atom transfer dari tiap ligan.
(Chang, 2004)
2.2 Pembentukan Kompleks (Alisa fasya)
Berdasarkan teori medan kristal menjelaskan bahwa senyawa
kompleks dapat terbetnuk karena adanya innteraksi elektrostatik antara ion
atau atom pusatnya dengan ligan disekitarnya. Saat ada 4 ligan yang
berikatan lansung denggan ion atau atom pusat dari arah yang berbeda,
maka medan ligan yang lebih besar akan mempengaruhi daripada orbital
lainnya. Apabila energi cahaya masuk ke dalam senyawa kompleks, maka
electron pada orbital lebih rendah akan mengalami eksitasi ke orbital
melalui energi lebih tinggi dengan menyerap energi cahaya sama
(Daintith, 2004).
2.3 Ligan (Danang Adi )
Ligan memiliki peran sebagai pemberi pasangan elektro bebas
kepada atom pusat di senyawa kompleks. Pengertian ligan sendiri adalah
ion atau molekul yang berikatan secara koordinasi dengan atom pusat. Ada
beberapa jenis pengelompokan ligan yaitu monodentat, bidentat, dan
polidentat (Chang, 2004).
2.4 Atom Pusat (Rengkuh Hardiyanto)
Atom pusat merupakan suatu kation yang pada umumnya berasal
dari unsur transisi. Pada senyawa kompleks, atom pusat akan mengikat
ligan-ligan untuk berikatan karena pada atom pusat terdapat orbital kosong
yang nantinya dapat ditempati oleh ligan sehingga membentuk suatu
senyawa kompleks (Chang, 2004).
2.5 Geometri Senyawa Kompleks (Lantip Wijayanto)
Bentuk geometri pada senyawa kompleks didasarkan pada ikatan
hibrida yang melakukan pembentukannya. Pada beberapa konfigurasi,
orbital hidrida membentuk suatu geometri tertentu. Adapun beberapa
bentuk geometri senyawa kompleks adalah sebagai berikut(Svehla, 1985):

Bilangan Ikatan hibrida Bentuk geometri Contoh


koordinasi kompleks
2 sp Linier Ag[(NH3)4]2+
3 sp2 Trigonal [HgI3]-
4 sp3 Tetrahedral Ni(CO)4
dsp2 Square planar [Ni(CN)4]2-
5 dsp3 Trigonal bipiramid [CuCl5]3-
dsp3 Square pyramid [Ni(CN)5]3-
6 d sp , sp3d2
2 3
oktahdral [Co(NH3)6]3+
2.6 Stabilitas Kompleks dan Faktor yang Mempengaruhi (Syahda Niswah)
2.6.1 Stabilitas Kompleks
Untuk membentuk suatu kompleks tentunya ada banyak tahap-
tahapannya dan dalam setiap tahapnya tetapan stabilitas dapat
dijabarkan dengan persamaan, sebagai berikut:

MLn-1 + L ↔ MLn Kn = [MLn]


[MLn-1][L]
Kn disebut sebagai tetapan stabilitas secara berurutan dan dapat di
nyatakan dalam persamaan berikut:
M + nL ↔ MLn βn = [MLn]
[M][L]n

Dengan βn merupakan tetapan stabilitas total dan n ialah tetapan


stabilitas total ke-n. Persamaan (1.1) dan (1.2) dengan K = β
berhubungan, maka dihasilkan persamaan akhir sebagai berikut:
βn = K1 x K2 x …. x Kn
log βn = log K1 + log K2 + ……. + log Kn
Dengan begitu βn ialah bentuk dariustabilitasosenyawaekompleks,
semakin tinggi akan semakin stabil pula senyawa kompleknya.
(Huheey, et al, 2006)

2.6.2 Faktor yang Mempengaruhi


Senyawa kompleks memiliki stabilitas yang dapat
terpengaruhi oleh 2 faktor utama, yaitu pengaruh logam pusat seperti
ukuran dan muatan logam pusat, faktor CFSE, elektronegatifitas dan
kemampuan polarisasi dari logam dan jenis logam. Sedangkan
pengaruh dari ligan yaitu berupa ukuran dan muatannya, momen
dipolnya, sifat basa dari ligannya, kemampuan membentuk ikatan
phi, efek sterik dan khelat (Huheey, et al, 2006).
2.7 Teori – Teori Senyawa Kompleks (Della Kusuma)
2.7.1 Teori Ikatan Valensi

Suatu ikatan dapat terjadi antara orbital atom pusat dengan


ligannya. Ikatan yang terjadi dikarenakan terdapat orbital yang
tumpang tindih antara orbital logam dalam keadaan kosong dengan
electron bebas yang berasal dari suatu ligan dan membentuk suatu
ikatan kovalen koordinasi (Lee, 1991).
2.7.2 Teori Medan Kristal
Suatu teori yang menyebutkan bahwa suatu ikatan dapat
terjadi ketika atom pusat dengan ligan terdapat gaya elektrostatik
diantara keduanya. Atom pusat akan bertindak sebagai kation
sedangkan ligan akan bertindak sebagai anion sehingga terbentuk
suatu ikatan ion yang murni (Syarifuddin, 1994).
2.7.3 Teori Orbital Molekul
Suatu teori di dalam atom pusat dan ligan terdapat electron
yang mampu berikatan kovalen karena adanya nephalauxetic effect.
Ketika elektron memiliki gaya tolakan yang berkurang, maka
terjadilah efek tersebut yang dapat membentuk orbital dari molekul
yang lebih besar (Huheey, Keiter, & Keiter, 1993)

2.8 Ion Kompleks Karbonatotetraamminkobaltat (Zahra Afiyah)


Ion kompleks ini memiliki rumus kimia [Co(NH3)4CO3]+. Ion
kompleks ini dapat larut dalam air sehingga dia termasuk kompleks
Werner. Pembuatan ion kompleks tersebut melalui metode pencampuran
Co(NH3)2.6H2O dengan NH4OH dan (NH4)2CO3 pada pelarutoakuades
dimana hal tersebut akan dilanjutkan dengan oksidasi oleh air (Huheey,
1983).

2.9 Kristalisasi (Afif Rieka)


Suatu metode pemurnian serta mengambil suatu zat pada bentuk
padatan. Sebuah penciptaan partikel solid dalam sebuah fasa homogen
juga dapat disebut sebagai kristalisasi. Kristalisasi dapat dimanfaatkan
supaya didapatkan suatu produk dengan nilai kemurnian yang lebih
tinggi. (Khopkar, 2008)
2.10 Warna Ion Kompleks (Alisa Fasya)
Spesies ion dalam larutan membutuhkan electron dalam ion yang
dapat berpindah dari satu tingkat ke tingkat yang lain untuk proses
absorbs radiasi elektromagnetik. Cahayauyang diabsorbsioharus
mempunyai energiayang samaodengan adanya ketidaksamaan energi
pada transisi. Apabila energi transisiuterletak padaepanjangugelombang
cahayaetampak, maka komposisi cahaya akan diabsorbsi, kemudian
cahaya yangediteruskanuakanoberwarna. Komposisi cahaya yang
memiliki warna putih dapat diabsorsi, hal ini karena adanya peningkatan
sebuahoelektron darietingkat energi terhadap yang lebih besar (Chang,
2010).
2.11 Analisa Bahan
2.11.1 Kobalt (II) nitrat heksahidrat (Danang Adi)

a. Sifat fisika
Berupa kristal dengan warna merah, massa molar sebesar
291,03 g/mol, titik didih antara 100°C-105°C, dan titik leleh
100°C.
b. Sifat kimia
Memiliki rumus molekul Co(NO3)2.6H2O, memiliki pH 4,
dapat berisiko meledak, dapat larut dalam air, aseton,
ammonia, etanol, alcohol, dan methanol.
(Perry and Green, 2008)

2.11.2 Ammonium karbonat (Rengkuh Hardiyanto)


a. Sifat fisika
Berupa padatan berwarna putih keabuan, titik didih sebesar
210°C, titik lebur sebesar 169°C dan massa molar sebesar
80,043 g/mol.
b. Sifat kimia
Dapat larut di dalam air, memiliki pH 9,4 dan menyebabkan
iritasi, bereaksi eksotermik dengan alkalis kuat dan asam
lainnya, sulit terbakar.
(Patnaik, 2003)
2.11.3 Larutan ammonia (Lantip Wijayanto)
a. Sifat fisika
Berupa larutan yang tidak berwarna, memiliki titik beku -
78°C, titik didih -33°C dan massa molar sebesar 17,03 g/mol.
b. Sifat kimia
Bersifat korosif terhadap timah dan tembaga, memiliki bau
yang menyengat, dapat larut dalam air.
(Yost, 2007)
2.11.4 Larutan hidrogen peroksida (Syahda Niswah)
a. Sifat fisika
Berupa larutan berwarna biru yang sangat muda bahkan
hampir menyerupai tidak berwarna,memiliki titik lebur
sebesar -0,43°C, titik diidh 150,2°C dan massa molar sebesar
34,0147 g/mol.
b. Sifat kimia
Dapat larut dalam air, alcohol dan eter, memiliki sifat korosif,
memiliki pH 3,5 dan bisa mengoksidasi.
(Easton, Mitchell & Wynne-Jonnes, 1952)

2.11.5 Kertas saring (Zahra Afiyah)


a. Sifat fisika
Berwarna putih dengan luas sebesar 10 cm2, memiliki pori,
dan digunting agar membentuk lingkaran.
b. Sifat kimia
Kertas saring digunakan untuk menyaring larutan sehingga
diperoleh filtrat dan residu. Partikel yang berukuran besar
akan tertinggal di kertas dan partikel kecil akan melewati
pori-pori kertas.
(Paulaparo, 2002)
2.11.6 Etanol (Della Kusuma)
a. Sifat fisika
Berupa larutan yang tidak berwarna, memiliki bau yang
cukup khas, titik lebur sebesar -114°C dan titik didih 78,29°C,
memiliki massa molar 46,06 g/mol.
b. Sifat kimia
Bersifat polar dan biasanya digunkan sebagai pelarut, mudah
menguap atau volatil, memiliki ikatan hidrogen dalam
senyawanya.
(Lide & Haynes, 2010)
2.11.7 Aquadest (Afif Rieka)
a. Sifat fisika
Merupakan larutan yang tidak memiliki warna, tidakuberasa,
dan tidak memilikiabau. Titik didih sebesar 100°C dan titik
leleh sebesar 0°C dan memiliki pH netral.
b. Sifat kimia
Tidak bersifat korosif, tidak menyebabkan iritasi, digunakan
sebagai pelarut, di alam ditemukan dalam keadaan yang tidak
murni, terbentuk dari unsur hidrogen dan oksigen.
(Basri, 1996)
III. METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat (Alisa Fasya)
- Gelas beker 250 mL serta 500 mL
- Gelas ukur
- Corong gelas
- Pemanas spiritus
- Erlenmeyer 250 mL
- Neraca analitik
- Pompa vakum

3.2 Bahan
- Kobalt (II) nitrat heksahidrat pekat
- Ammonium karbonat
- Larutan ammonia
- Larutan hidrogen peroksida
- Kertas saring
- Etanol
3.3 Skema Kerja (Della Kusuma)

7,5 g kristal Co(NO3)2.6H2O 10 g kristal (NH4)2CO3


Gelas beker 250 mL Gelas beker
- Penambahan 30 mL aquades
- Penambahan 15 mL aquades - Penambahan 30 mL NH4OH
- Pengadukan
Larutan 1 Larutan 2
Gelas beker Gelas beker

- Pencampuran
- Penambahan 4 mL H2O2 30%

Hasil campuran
Gelas beker
- Pemanasan
- Penambahan 2,5 g (NH4)2CO3
- Penyaringan

Filtrat Residu
Erlenmeyer Gelas beker
- Pendinginan
- Penyaringan
Kristal

- Pencucian dengan aquades dan etanol


- Penimbangan
- Perhitungan rendemen
Hasil
IV. DATA PENGAMATAN

No. Perlakuan Hasil

Larutan I : 7,5 gram kristal


1 Co(NO3)2.6H2O + 15 ml aquadest Larutan berwarna merah

Larutan II : 10 gram (NH4)2CO3 + 30 ml


2 aquades + 30 ml NH4OH Larutan berwara bening

Larutan berwarna ungu dan


3 Pencampuran larutan I dan larutan II
terbentuk gas

4 Penambahan 4 ml H2O2 30% Larutan berwarna ungu

Pemanasan dan penambahan 2,5 gram


5 Larutan berwarna ungu
(NH4)2CO3

6 Penambahan 2,5 gram (NH4)2CO3 Larutan berwarna ungu

Filtrat berwarna merah


7 Penyaringan keunguan dan residu
berwarna merah keunguan

8 Pencucian dengan aquades dan etanol Kristal murni berwarna ungu

Berat kristal 1,8 gram


9. Penimbangan Rendemen prosentase
28,02%
V. HIPOTESIS
Pada percobaan III yang berjudul “Ion Kompleks
Karbonatotetraamminkobaltat (III)” memiliki tujuan agar praktikan
memahami pembikinan, pemurnian, serta sifat ionukompleks
+
[Co(NH3)4CO3] . Prinsip yang digunakan pada percobaan ini berdasarkan
pada pergantian ligan yang diikuti oleh oksidasi. Percobaan tersebut memiliki
metode ialah kristalisasi yang merupakan suatu proses pemurnian dengan
melakukan pembentukan pada suatu partikel yang pada bentuk sebelumnya
merupakan padatan. Hasil pada percobaan tersebut di prediksi terbentuknya
kristal dari karbonatotetraamminkobaltat warna ungu dan kristal yang
berbentuk seperti jarum.
VI. PEMBAHASAN
Telah dilakukan percobaan III yang berjudul “Ion Kompleks
Karbonatotetraamminkobaltat (III)” yang memiliki tujuan dapat memahami
pembikinan, pemurnian, serta sifat ionukompleks [Co(NH3)4CO3]+. Prinsip
dalam percobaan ini didasarkan pada pergantian ligan H2O dengan ligan NH3
dan CO3 dengn mengoksidasi Co2+ menjadi Co3+ dengan menggunakan H2O2
sebagai oksidator. Metode yang digunakan pada percobaa ini adalah metode
kristalisasi. Kristalisasi merupakan suatu metode pemurnian serta mengambil
suatu zat pada bentuk padatan. Sebuah penciptaan partikel solid dalam sebuah
fasa homogen juga dapat disebut sebagai kristalisasi. Kristalisasi dapat
dimanfaatkan supaya didapatkan suatu produk dengan nilai kemurnian yang
lebih tinggi (Khopkar, 2008).
Pada percobaan tersebut akan dibuat ionukompleks [Co(NH3)4CO3]+
dengan cara melakukan reaksi dengan Co(NO3)2.6H2O, NH4OH dan
(NH4)2CO3 dengan menggunakan pelarut air dengan mengoksidasi pada atom
pusatnya yaitu Co2+ menjadi Co3+ dengan penggunaan H2O2 sebagai
oksidatornya. Langkah awal yang dilakukan adalah perparasi larutan I yaitu
pemasukan kristal Co(NO3)2.6H2O sebanyak 7,5 gram pada gelas beker serta
dilakukan pelarutan dengan aquades sebanyak 15 mL. Penggunaan
Co(NO3)2.6H2O adalah untuk dijadikan sebagai atom pusat dalam kompleks
yang akan dibentuk yaitu Co. Akan diperoleh perubahan warna larutan
menjadi merah yang merupakan splitting elektron di orbital d sehingga terjadi
eksitasi dari energi rendah ke tinggi (Sukardjo, 1992). Reaksi :
Co(NO3)2.6H2O(S) + H2O(l)→[Co(H2O)6]2+(aq) + 2NO3-(aq) + H2O(l)

(Svehla, 1990)

Co2+ berperan sebagai atom pusat sedangkan H2O yang menjadi ligannya
dalam kompleks [Co(H2O)6]2+. Berikut proses hibridisasi yang terjadi.
27Co = 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 3d7 4s2 4p0 4d0
Co2+ = [Ar] 3d7 4s0 4p0 4d0
3d 4s 4p 4d

kondisi dasar
3d 4s 4p 4d

Co2+ dalam [Co(H2O)6]2+

Pada hibridisasi diatas menggambarkan bahwa hibridisasi yang terbentuk


adalah sp3d2 dikarenakan pada orbital s dan p terisi secara penuh serta pada
orbital d terisi 2 saja ruangnya. Ligan H2O menempati bagian yang tak terisi
pada orbital d pada atom Co2+. Hasil yang ddapatkan adalah kompleks yang
dikatakan stabil yaitu [Co(H2O)6]2+.
Kemudian preparasi larutan II yaitu dengan cara pemasukan
(NH4)2CO3sebanyak 10 gr ke dalam gelas beker dan dilakukan penambahan
30 mL aquades dan 30 mL NH4OH. Pelarutan dengan menggunakan aquades
adalah salah satu cara untuk mendisosiasikan (NH4)2CO3serta penambahan
NH4OH adalah untuk penambahan jumlah ion amonia pada larutan sehingga
dapat digunakan sebagai sumber tambahan ligan yang terbentuk. Diperoleh
larutan berwarna bening. Reaksi :

(NH4)2CO3(s)+ 2NH4OH(l)→ (NH3)4CO32-(aq) + 2H3O+(aq)


(Svehla, 1990)
Setelah preparasi kedua larutan kemudian dilakukan penyampuran kedua
larutan yang telah terbentuk diperoleh larutan yang memiliki warna ungu
pekat. warna tersebut berasal dari splitting elektron serta pergantian ligan
yaitu ligan H2O tergantikan oleh NH3 dikarenakan NH3 lebih kuat daripada
H2O dan diperoleh kompleks [Co(NH3)4CO3]. Kekuatan ligan menurut
literatur ialah:

I-< Br-< S2-< SCN-< Cl-< NO3-< F- < OH- < SO42-<H2O< NCS-<NH3< NO2- <
CN-< CO
(Petrucci, 1987)
Setelah itu, dilakukan penambahan H2O2 30% sebanyak 4 mL yang
berfungsi sebagai oksidator ion Co2+ sehingga menjadi Co3+ dan akan
membentuk kompleks [Co(NH3)4CO3]+ yang stabil. Reaksi oksidasi dapat
tergambarkan :

H2O2 H2 + O2
2+
2 Co + O2 2 Co3+ + O2-
reduksi
oksidasi

Bentuk yang dapat tergambarkan pada kompleks [Co(NH3)4CO3]+adalah


oktahedral. Reaksi yang terjadi adalah sebagai :
[Co(H2O)6]2+(aq) + (NH3)4CO32-(aq) → [Co(NH3)4CO3]+ + 6H2O
merah tak berwarna ungu

(Svehla, 1990)
Langkah yang dilakukan selanjutnya adalah pemanasan serta dilakukan
penambahan 2,5 gram (NH4)2CO3.Pada perlakuan ini (NH4)2CO3 berfungsi untuk
penambahan ion amonia untuk dijadikan ligan. Proses pemanasan bertujuan untuk
penguapan air yang terkandung dalam kompleks sehingga akan terbentuk
kompleks yang lebih murni serta menghilangkan pengotor. Pemanasan harus
terjaga sehingga tidak mendidih sehinggaokomplekseyang terbentuk tidak
terdekomposisi kembali. Panaskan hingga jumlah larutan mencapai 1/3 dari
larutan asalnya. Berikutnya disaring secara panas menggunakan kertasusaring
agar menghilangkan pengotornya serta agar pengkristalan belum terjadi. Hasil
filtrat adalah larutan dengan warna ungu gelap serta residu yang terbentuk
adalah endapan ungu. Setelah itu dilakukan pendinginan menggunakan es batu
untuk memaksimalkan hasil kristalisasi yang terjadi. Hasilnya adalah kristal
berwarna ungu yang banyak akan tetepi rapuh karena penurunan suhu dalam
pembentukan kristal terlalu cepat maka akan terbentuk kristal yang banyak
kecil-kecil, namun rapuh.
Setelah kristal [Co(NH3)4CO3]+terbrntuk dilakukan penyaringan kembali
memakai kertas saring untuk pemisahan filtrat serta residu. Setelah itu
dilakukan pemurnian menggunakann aquades dan ethanol. Fungsi dari
keduanya adalah pada aquades untuk menghilangkan pengotor yang bersifat
polar dan untuk ethanol menghilangkan pengotor yang bersifat nonpolar serta
membersihkan sisa pengotor dari pemurnian aquades. Setelah pemurnian
selesai dilakukan pengeringan selama satu malam untuk menghilangkan kadar
air serta penguapan ethanol sehngga akan terbentuk kristal yang lebih murni.
Setelah itu, dilakukan penimbangan sehingga hasil yang didapatkan dari
kristalisasi [Co(NH3)4CO3]+adalah kristal yang memiliki warna ungu seberat
1,8 gram. Dari bobot tersebut sebagai rendemen nyata, dapat dibandingkan
dengan rendemen teoritis untuk mendapatkan persentase rendemen sebesar
28,02%.
VII. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Pembuatan kristal [Co(NH3)4CO3]+ menggunakan metode
kristalisasi serta pemurnian kristal [Co(NH3)4CO3]+ menggunakan
etanol untuk pengotor nonpolar dan aquades untuk pengotor polar.
Berat kristal yang terbentuk adalah 1,8 gram dan rendemen
persentase sebesar 28,02%

7.2 Saran

Saat pengeringan Kristal sebaiknya dilakukan pada suhu


ruang karena Kristal dapat terdekomposisi pada suhu tinggi. Dan
proses ini sebaiknya dilakukan hingga benar-benar kering sehingga
bobot yang ditimbang di akhir benar-benar hanya bobot Kristal
sehingga hasil yang didapatkan lebih akura
LAMPIRAN PERHITUNGAN

- Massa Co(NO3)2.6H2O = 7,5 gram


- Massa (NH4)2CO3 = 10 gram
- BM Co(NO3)2.6H2O = 291 gram/mol
- BM (NH4)2CO3 = 96 gram/mol
- Massa kristal kompleks [Co(NH3)4CO3]NO3 = 1,8 gram (Rendemen Nyata)
- BM [Co(NH3)4CO3]NO3 = 249 gram/mol

𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎 Co(NO3)2.6H2O 7,5 𝑔𝑟𝑎𝑚


Mol Co(NO3)2.6H2O = = = 0,0258 𝑚𝑜𝑙
𝐵𝑀 Co(NO3)2.6H2O 291 𝑔𝑟𝑎𝑚/𝑚𝑜𝑙

𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎(NH4)2CO3 10 𝑔𝑟𝑎𝑚
Mol (NH4)2CO3 = = = 0,1041 𝑚𝑜𝑙
𝐵𝑀 (NH4)2CO3 96 𝑔𝑟𝑎𝑚

Co(NO3)2.6H2O (s) + (NH4)2CO3 (s) + 2NH4OH (l) → [Co(NH3)4CO3]NO3 + 2H3O+ (aq) +


6H2O

0,0258 mol 0,1041 mol - -


-

0,0258 mol 0,0258 mol 0,0258 mol 0,0258 mol 0,0258


mol

- 0,0783 mol 0,0258 mol 0,0258 mol 0,0258


mol

Massa [Co(NH3)4CO3]NO3 = mol [Co(NH3)4CO3]NO3 × BM [Co(NH3)4CO3]NO3

= 0,0258 mol × 249 gram/mol = 6,4242 gram

Rendemen Teoritis = 6,4242 gram

𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑁𝑦𝑎𝑡𝑎
Rendemen Persentase = 𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑇𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠
× 100%

1,8 𝑔𝑟𝑎𝑚
= × 100%
6,4242 𝑔𝑟𝑎𝑚

= 28,02%
PERCOBAAN IV
“FOTOKIMIA REDUKSI ION BESI (III)”

I. TUJUAN PERCOBAAN
1.1. Mempelajari reaksi reduksi besi (III) secara fotokimia dan mempelajari
kegunaannya untuk cetak biru.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Fotokimia

Fotokimia adalah salah satu cabang ilmu kimia yang mempelajari dan
menguasai tentang interaksi antara atom dan molekul-molekul kecil dengan
radiasi elektromagnetik secara langsung dan tak langsung. Sifat kimia dari
suatu molekul yang mengalami eksitasi pada elektronnya akan berbeda dari
keadaan dasar karena reaksi kimia dalam keadaan gelap mendapatkan energi
dari penyerapan foton (Alberty, 1984).

2.2. Hukum Fotokimia

Terdapat dua hukum dalam fotokimia, yaitu hukum Grotthuss-Draper


yang dicetuskan oleh Theodor Grotthuss dan John W. Draper yang
menerangkan cahaya harus diserap oleh suatu molekul agar reaksi fotokimia
dapat berjalan serta hukum Stark-Einstein yang dicetuskan oleh Johannes Stark
dan Albert Einstein yang menerangkan satu molekul yang diaktifkan sama
dengan hasil kuantum dari cahaya yang diserap (Alberty, 1984).

2.3. Manfaat Fotokimia

Fotokimia memiliki banyak manfaat dalam kehidupan. Contohnya


adalah proses fotosintesis pada tumbuhan, cetak putih, dan bioluminescence.
Fotosintesis pada tumbuhan mengubah CO2 dan H2O menjadi C6H12O6 dan O2
dengan bantuan cahaya matahari (Foyer, 1989). Cetak putih yang merupakan
produksi ulang suatu dokumen menggunakan proses kimia diazo, dimana akan
terbentuk garis biru pada dokumen berwarna putih (Considine, 2002). Contoh
bioluminescence adalah kunang-kunang, dimana dalam tubuhnya terdapat
reaksi kimia yang menghasilkan cahaya (Widder, 2018)

2.4. Cetak Biru

Cetak biru adalah sebuah dokumen berwarna biru dengan tulisan


berwarna putih berisi rancangan terperinci yang berguna sebagai dasar dan
landasan dalam penyusunan strategi, pelaksanaan kegiatan, dan langkah-
langkah kerjanya. Cetak biru harus memiliki beberapa syarat, yaitu visi dan
misi yang jelas, dapat menganalisis kondisi saat ini, rencana yang dibuat harus
memiliki tujuan yang jelas dan terstruktur, serta strategi dan langkah-langkah
yang runtut (Supriatna, 2009).

2.5. Pembentukan Warna pada Ion Kompleks

Warna ion kompleks dapat berbeda-beda yang disebabkan oleh


perpindahan electron dengan tingkat energi tertentu yang akan menyerap
cahaya yang ditembakkan sehingga warna dari ion tersebut akan terlihat
panjang gelombangnya. Contohnya adalah titanium oksida berwarna putih,
natrium kromat berwarna kuning, potassium ferrisianida berwarna orange,
nikel (II) nitrat berwarna hijau, dan lain sebagainya (Maharani, 2016).

2.6. Senyawa Kompleks

Senyawa kompleks adalah senyawa yang tersusun atas suatu ion logam
dengan satu atau lebih ligan yang menyumbangkan pasangan elektron sehingga
menghasilkan ikatan kovalen koordinasi. Biasanya logam yang menjadi pusat
dari senyawa kompleks adalah unsur logam transisi. Logam atom pusat
memiliki bilangan oksidasi 0 dan dapat berupa kation, sedangkan ligan dapat
berupa anion maupun molekul netral (Cotton dan Wilkinson, 1984). Contohnya
adalah [Ag(NH3)2]Cl dan K4[Fe(CN)6] (Tuli dkk., 2000).
2.7. Reaksi Pembentukan Kompleks

Pembentukan senyawa kompleks dapat dilihat dari beberapa sudut


pandang tergantung dari logam pusat dan ligan yang berikatan, berbagai teori
berkembang dan menyempurnakan proses pembentukan senyawa kompleks
ini. Contoh reaksinya adalah sebagai berikut.

Co(NO3)2.6H2O (s) + (NH4)2CO3 (s) + 2 NH4OH (l) → [Co(NH3)4CO3]NO3


(s) + 2H3O+ (aq) + 6 H2O (l)

(Rosbiono dkk., 2016)

Pembentukan senyawa kompleks dapat dilihat dan digambarkan melalui


2 jenis model yakni model ikatan ionik dan model ikatan kovalen.

a. Model ikatan ionic

Model ini merujuk pada pendekatan teori medan kristal di mana


repulsi dan atraksi elektrostatis antar awan elektron dan orbital pada logam
dan ligan membentuk suatu ikatan. Logam sebagai pusat koordinasi
senyawa kompleks biasanya berupa kation dan ligannya berupa anion atau
molekul netral dengan densitas elektron tinggi pada atom donornya
sehingga memiliki atraksi yang kuat terhadap kation logam. Atom donor
akan tersusun mengeliilingi ion logam pusat dalam susunan berdasarkan
tarikan elektrostatis menuju logam pusat dan repulsi elektrostatis menuju
ligan lainnya.

b. Model ikatan kovalen

Model ikatan kovalen merujuk pada pendekatan kombinasi orbital-


orbital yang dijelaskan melalui teori orbital molekul. Kombinasi orbital-
orbital logam pusat dan ligan menghasilkan paket orbital dengan energi
yang berbeda. Ketika satu orbital atom A dikombinasi dengan satu orbital
dari atom X, akan dihasilkan 2 orbital, 1 terstabilisasi (orbital
bonding,energi rendah) dan 1 terdestabilisasi (orbital anti-bonding,energi
tinggi). Elektron yang masuk ke dalam orbital bonding akan membentuk
situasi stabil di mana A dan X terhubung melalui sebuah ikatan, membentuk
senyawa stabil AX.

(Lawrence, 2013)

2.8. Ion Kompleks dan Senyawa Koordinasi


2.8.1. Ion Kompleks

Ion kompleks adalah sebuah ion yang dibentuk oleh kombinasi


ion logam yang menjadi atom pusat dan molekul netral atau ion melalui
ikatan kovalen koordinasi yang dapat terdisosiasi dan tertahan dalam
larutan dengan komponen pembentuknya untuk mengadakan
kesetimbangan. Contohnya adalah [Cu(NH3)4]2+ (Rosbiono dkk., 2016).

2.8.2. Senyawa Koordinasi

Senyawa koordinasi adalah suatu senyawa yang memiliki satu


atau lebih ion kompleks berupa ligan dengan atom pusat berupa logam
golongan transisi. Senyawa koordinasi memiliki dua jenis valensi, yaitu
primer atau bilangan oksidasi dan sekunder atau bilangan koordinasi.
Bilangan koordinasi adalah jumlah ligan pendonor pada atom logam
pusat. Contohnya adalah [Fe(CN)6]3- dengan bilangan koordinasi Fe3+
sebesar 6 (Anjarsari, 2016).

2.9. Kelarutan Senyawa Kompleks

Kelarutan suatu senyawa kompleks dalam air didasarkan pada muatan


kompleksnya. Senyawa kompleks yang bermuatan bersifat mudah larut dalam
air, sedangkan senyawa kompleks yang tidak bermuatan bersifat susah larut
dalam air (Rivai, 1995). Selain itu, kekuatan ikatan logam pada senyawa
kompleks juga dapat memengaruhinya. Kompleks yang berikatan dengan
logam berat umumnya susah larut dalam air (Thorn dan Ludwig, 1962).
2.10. Besi

Besi dengan symbol kimia Fe adalah sebuah unsur kimia logam transisi
dengan nomor atom 26 dan nomor massa 56. Besi merupakan salah satu unsur
paling melipah di bumi dan juga meupakan unsur pembentuk inti bumi. Besi
memiliki 4 isotop alami dan memiliki 4 bentuk alotrop. Sebagian besar besi di
alam berupa mineral besi oksida, seperti hematit dan magnetit. Besi memiliki
sifat fisika, seperti titik lebur 1538oC, titik didih 2862oC, densitas 7,874
gram/cm3, dan berwarna metal mengkilap. Selainitu, besi memiliki sifat kimia,
seperti besi (III) klorida digunakan dalam pemurnian air serta senyawa kalium
ferrisianida dan kalium ferrosianida digunakan untuk membentuk warna biru
Prusia (Kohl, 1995).

2.11. Besi Oksida

Besi oksida adalah senyawa kimia berupa besi dan oksigen yang
umumnya berupa mineral alami dari besi. Contohnya adalah FeO dengan ion
Fe2+, Fe2O3 dengan ion Fe3+, dan Fe3O4 dengan ion Fe2,5+. Ion Fe2+ dapat
dioksidasi menjadi Fe3+ agar memiliki sifat sebagai reduktor kuat. Besi oksida
memiliki kegunaan sebagai bijih besi, pewarna, dan katalis. Fe2O3 merupakan
senyawa dari besi yang berkarat (Cornell dan Schwertmann, 2003).

2.12. Reaksi Redoks

Reaksi redoks merupakan gabungan dari reaksi reduksi dan oksidasi


dengan hal utamanya adalah penurunan dan peningkatan bilangan oksidasi.
Contohnya adalah sebagai berikut.

Zn (s) + CuSO4 (aq) → ZnSO4 (aq) + Cu (s)

Biloks Zn: Zn = 0 → ZnSO4 = +2 (oksidasi)

Biloks Cu: CuSO4 = +2 → Cu = 0 (reduksi)

(Suhendar, 2011)
2.13. Analisis Bahan
2.13.1. Asam Oksalat
• Sifat fisika:
1. Titik lebur : 189oC
2. Densitas : 1,9 gram/cm3 (20oC)
3. Warna : Putih
4. Bau : Tidak berbau
5. Berat molekul : 126 gram/mol

• Sifat kimia:
1. Tidak mudah meledak
2. Tidak berlaku sebagai oksidator
3. Peka terhadap lembab

(Smart-Lab, 2019)

2.13.2. Diamonium Hidrofosfat


• Sifat fisika:
1. Titik lebur : 235oC
2. Warna : Putih
3. Bentuk : Serbuk
4. Densitas : 1,619 gram/cm3 (20oC)
5. Berat molekul : 132,06 gram/mol

• Sifat kimia:
1. Stabil di bawah suhu kamar
2. Akan kehilangan sekitar 8% NH3 ketika terkena udara
3. Larut dalam air

(LabChem, 2007)

2.13.3. Besi (III) Klorida


• Sifat fisika:
1. Titik lebur : 306oC (penguraian)
2. Densitas : 2,89 gram/cm3 (20oC)
3. Warna : Hijau hingga hitam
4. Bentuk : Serbuk
5. Berat molekul : 162,21 gram/mol

• Sifat kimia:
1. Korosif terhadap logam
2. Mempunyai potensi sebagai oksidator
3. Dapat menyublim dan peka terhadap lembab

(Smart-Lab, 2019)

2.13.4. Larutan HCl


• Sifat fisika:
1. Titik didih : -85oC
2. Warna : Tidak berwarna
3. Bentuk : Cair
4. Berat molekul : 36,5 gram/mol

(Perry, 2008)

• Sifat kimia:
1. Memiliki sifat yang mudah larut dalam air
2. Bereaksi dengan alkohol menghasilkan alkohol klorida

(Ullman, 1989)

2.13.5. Larutan K3Fe(CN)6 0,1 M


• Sifat fisika:
1. Berat molekul : 329,25 gram/mol
2. Bentuk : Cair
3. Densitas : 1,89 gram /cm3 (20oC)
4. Titik lebur : 300oC

• Sifat kimia:
1. Kontak dengan asam akan memlepaskan gas yang sangat beracun
2. Warnanya mungkin akan memudar ketika terkena sinar
3. Tidak mudah terbakar
4. Larut dalam air

(Smart-Lab, 2019)

2.13.6. Larutan K2Cr2O7 0,03 M


• Sifat fisika:
1. Titik didih : > 500oC (1,013 hPa)
2. Densitas : 2,7 gram/cm3 (20oC)
3. Warna : Jingga
4. Bentuk : Kristal
5. Berat molekul : 249 gram/mol
6. Titik lebur : 398oC

• Sifat kimia:
1. Bahan atau campurannya sebagai pengoksidasi kategori 2
2. Mempunyai efek penyulut api akibat pelepasan oksigen
3. Tidak mudah meledak

(Smart-Lab, 2019)

2.13.7. Tinta Cina


• Sifat fisika:
1. Bentuk : Cairan kental
2. Warna : Hitam pekat
• Sifat kimia:
1. Tidak larut dalam air, namun larut dalam lemak dan memberikan
warna
2. Stabil

(Director of Chemical Safety, 2013)

2.13.8. Akuades
• Sifat fisika:
1. Berat molekul : 18,02 gram/mol
2. Densitas : 1000 kg/m3
3. Tekanan uap : 2,3 kPa
4. Titik didih : 100oC
5. Bentuk : Cair
6. Rasa : Tidak memiliki rasa

• Sifat kimia:
1. Memiliki pH 7 (netral)
2. Tidak dapat terbakar
3. Tidak beracun
4. Tidak bersifat iritan pada kulit

(Petrucci, 2008)
III. METODOLOGI PERCOBAAN
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat
- 2 buah gelas beker 400 mL
- Ruang gelap
- Keping kaca
- Neraca analitik
- Pipet tetes
- Plastik
- Gelas ukur
- Label
3.1.2. Bahan
- Asam Oksalat
- Diamonium hidrofosfat
- Besi (III) klorida
- Kertas tik
- Kertas kalkir
- Larutan HCl
- Larutan K3Fe(CN)6 0,1 M
- Larutan K2Cr2O7 0,03 M
- Tinta cina
- Akuades
3.2. Skema Kerja

100 mL larutan besi (III) klorida + 200 mL


larutan diammonium hidrofosfat

Gelas beker

- Pencampuran larutan
- Penyiapan dalam ruang gelap
- Penambahan 100 mL asam oksalat
- Pengadukan

Hasil

4 helai kertas kalkir

Gelas beker

- Pencelupan kertas ke dalam larutan campuran


besi (III) klorida dan diammonium hidrofosfat
- Pengeluaran kertas
- Peletakan kertas di antara 2 kertas saring
- Pendiaman selama 10-15 menit

Hasil
Objek yang akan dicetak

Kertas kalkir

- Penbuatan objek yang akan dicetak dengan


tinta cina
- Peletakkan objek di atas plastik
- Penjepitan dengan 2 keping kaca
- Penyinaran dengan sinar matahari kurang
lebih 5-7 menit

Kertas kalkir yang telah disinari

- Pencelupan ke dalam larutan kaliu


heksasianoferat (III) 0,1 M
- Pengeluaran kertas
- Pencelupan dalam kalium dikromat 0,03 M
- Pencucian dengan 100 mL HCl 0,1 N dan
akuades
- Pengeringan
- Pengamatan

Lorem Ipsum
IV. DATA PENGAMATAN

No Perlakuan Hasil

1. Pencampuran larutan besi (III) klorida Larutan berwarna coklat


dengan larutan diammonium hidrofosfat
dalam ruang gelap atau lemari.

2. Penambahan larutan asam oksalat ke dalam Larutan berwarna coklat


campuran dalam ruang gelap

3. Pencelupan kertas kalkir ke dalam campuran Kertas berwarna kuning


sampai terendam dalam ruang gelap.

4. Pengeluaran kertas dari campuran dengan Kertas menjadi kering


pendiaman selama 10 menit. dan berwarna kuning

5. Peletakkan objek di atas kertas buram kering Kertas berwarna kuning


dan jepit di antara dua keping kaca. dan dihasilkan kertas
peka

6. Penyinaran dengan sinar matahari hingga Kertas berwarna kuning


kering

7. Pencelupan kertas buram ke dalam larutan Kertas berwarna biru


ion heksasianoferrat (III) 0,1 M

8. Pencelupan kertas buram ke dalam larutan Bagian kertas yang tidak


kalium dikromat; 0,03 M HCl; dan aquades tertutup oleh tinta
berwarna biru tua
sedangkan bagian kertas
yang ditutup oleh tinta
berwarna biru
V. HIPOTESIS

Percobaan ini berjudul “Fotokimia Reduksi Ion Besi (III)” yang bertujuan
untuk mempelajari reaksi reduksi besi (III) secara fotokimia dan mempelajari
kegunaannya untuk cetak biru. Prinsip yang digunakan adalah reaksi reduksi ion
besi (III) yang dipengaruhi oleh cahaya. Metode yang digunakan adalah fotokimia.
Percobaan ini mungkin akan menghasilkan suatu pola gambar pada kertas yang
ditutup dengan tinta dan pada kertas yang tidak tertutup tinta akan berwarna biru.
VI. PEMBAHASAN

Telah dilakukan percobaan berjudul “Fotokimia Reduksi Ion Besi (III)” yang
bertujuan agar praktikkan mampu mempelajari reaksi reduksi (III) secara fotokimia
dan mempelajari kegunaan reaksi reduksi besi (III) untuk cetak biru. Cetak biru
merupakan dokumen pendukung yang penting karena memiliki kegunaan sebagai
sumber data dan informasi-informasi mengenai suatu hal, seperti konstruksi
bangunan, transportasi, dan sebagainya. Selain itu, cetak biru digunakan dalam
menentukan perbaikan hal-hal tersebut (Sitompul, 2020). Prinsip yang digunakan
dalam percobaan ini adalah reaksi reduksi ion besi (III) yang dipengaruhi oleh
cahaya. Sedangkan Metode yang digunakan adalah fotokimia, yaitu reaksi yang
diinduksi oleh cahaya baik langsung atau tidak langsung dan dapat digunakan untuk
proses cetak biru menggunakan kertas kalkir transparan dan kertas peka yang
disinari cahaya (Alberty, 1984).

Pada percobaan ini, pertama-tama melakukan pelarutan pada besi (III) klorida
dengan menggunakan aquades, sehingga FeCl3 akan larut dalam aquades dan
terbentuk larutan FeCl3 yang berwarna coklat. Pelarutan ini homogen dikarenakan
antara aquades dengan FeCl3 sama-sama polar. Sifat tersebut dapat diketahui
melalui momen dipol dua senyawa yang tidak bernilai nol. Pada senyawa polar
memiliki momen dipol > 1,7 Debye, pada FeCl3 memiliki nilai dipol sebesar > 1,7
Debye dan pada aquades memiliki nilai dipol sebesar 1,84 debye. Pengaruh lain
yang membuat aquades dan FeCl3 dapat saling larut yaitu karena kedua senyawa
ini memiliki susunan molekul yang tidak saling meniadakan, dimana pada aquades
memiliki ikatan H – O yang cenderung tertarik ke H sehingga membuat nilai dipol
aquades bernilai tidak nol, sedangkan pada FeCl3 memiliki ikatan Fe – Cl yang
cenderung untuk lebih tertarik ke Cl sehingga membuat nilai dipol FeCl3 bernilai
tidak nol. (Fessenden, Ralph J. and Fessenden, 1992).

Berikut reaksi yang terjadi dalam pelarutan FeCl3 menggunakan aquades,


dimana terjadi reaksi ionisasi FeCl3 dengan H2O, proses reaksi ionisasi ini akan
diperoleh ion Fe3+ dari FeCl3.
FeCl3(s) + H2O(l) → Fe3+(aq) + 3Cl-(aq) + H2O(l)

(Svehla, 1990)

Dalam reaksi diatas yang berjalan dengan spontan serta melalui beberapa
tahap. Ketika aquades dengan FeCl3 direaksikan akan memicu terbentuknya H+ dan
OH- dari H2O dan Fe3+ dari FeCl3, dimana pada Fe3+ yang memiliki muatan positif
sehingga akan tertarik ke oksigen yang bermuatan negatif. Ion Cl- yang bermuatan
negatif yang dimiliki FeCl3 akan tertarik ke H+ dengan muatan positif. Dari tahap
tersebut, ikatan pada FeCl3 akan terputus menjadi ion-ion penyusunnya, yaitu Fe3+
dan Cl-, serta diperoleh larutan berwarna coklat dan terasa panas yang disebabkan
reaksi ionisasi ini berlangsung eksoterm.

Berikutnya pada larutan besi (III) klorida yang diperoleh dari langkah
sebelumnya dicampurkan dengan larutan diammonium hidrofosfat. Adanya
pencampuran dengan diammonium hidrofosfat adalah bertujuan untuk
memperlambat keberlangsungan reaksi reduksi pada ion Fe3+ menjadi Fe2+, reaksi
ini memang berlangsung dengan cepat yang dikarenakan pengaruh oleh adanya
sinar matahari. Kemudian setelah campuran homogen, campuran ini diletakkan
dalam ruangan gelap, hal ini dilakukan dengan tujuan agar sinar matahari tidak
mempengaruhi terjadinya reaksi redoks yang lebih cepat pada ion Fe3+ sehingga
sulit untuk dilakukan pengamatan. Pada diammonium hidrofosfat memiliki
kemampuan untuk mereduksi Fe3+, hal ini karena adanya senyawa yang stabil dan
berpengaruh pada adanya energi sehingga berdampak pada lambatnya reaksi yang
berlangsung. Berikut adalah reaksi yang berlangsung adalah sebagai berikut,

FeCl3(aq) + (NH4)2HPO4(aq) → FePO4(aq) + 2NH4Cl + HCl

(Svehla, 1990)

Kemudian dilakukan penambahan asam oksalat kedalam campuran dan


dilakukan pengadukan hingga larutan homogen. Asam oksalat dalam tahap ini
berperan sebagai agen reduktor yang akan mereduksi ion Fe3+ menjadi Fe2+ serta
juga berperan untuk mencegah terjadinya proses oksidasi pada ion Fe2+ kembali
menjadi Fe3+, dalam reaksi ini dilakukan dalam ruangan gelap. Berikut adalah
reaksi yang terjadi.

2FePO4 + 3H2C2O4 → 2FeC2O4 + 2H3PO4 +2CO2

Reduksi: 2Fe3+ + 2e- → 2Fe2+

Oksidasi: C2O42- → 2CO2 + 2e-

Reaksi total: 2Fe3+ + C2O42- → 2Fe2+ + 2CO2

(Svehla, 1990)

Selanjutnya, pencelupan kertas tik ke dalam larutan campuran besi (III)


klorida dan diammonium hidrosfosfat dan dilakukan hingga tercelup sempurna.
Tujuannya yaitu sebagai tempat untuk cetak biru nanti. Selama proses pencelupan
dilakukan di ruang gelap. Kertas dikeluarkan dan disaring menggunakan kertas
saring di tempat yang gelap bertujuan untuk proses reduksi besi dapat terjadi secara
maksimal dan nantinya kertas kalkir akan berubah warna menjadi warna kuning
akibat penyerapan ion Fe3+. Kertas peka tersebut kemudian diletakkan diantara dua
kertas saring dan dilakukan pengeringan selama 10-15 menit. Setelah pengeringan
kertas menjadi kering dan tetap berwarna kuning. Tujuan digunakan kertas saring
pada saat pengeringan yaitu karena daya serap yang dimiliki oleh kertas saring
tinggi sehingga pengeringan berlangsung secara cepat dan reaksi reduksi berjalan
secara menyeluruh oleh besi pada kertas tik atau peka dapat maksimal diprosesnya.
Pengeringan dilakukan dengan menggunakan kertas saring di tempat gelap hingga
seluruh larutan terserap.

Setelah itu, dilakukan pembuatan objek pada kertas kalkir menggunakan tinta
cina. Pembuatan objek ini untuk membuktikan pengaruh cahaya terhadap reduksi
besi di mana cahaya tidak akan tembus objek dan tidak terjadi reduksi. Penggunaan
tinta cina ini bertujuan dengan memiliki warna hitam yang tebal, kepadatan partikel
yang tinggi sehingga cahaya tidak tembus objek yang dibuat. Tinta cina dapat
diganti dengan tinta lain, namun hasil yang didapatkan akan tidak maksimal
dibanding menggunakan tinta cina atau tinta penggantinya haruslah memiliki
kesamaan sifat, yaitu memiliki tingkat ketebalan tinta yang serupa sehingga objek
yang digambarkan nantinya akan jelas.

Setelah objek selesai dibuat, objek disusun dengan dilakukan penjepitan


menggunakan 2 keping kaca dan kertas peka dengan urutan kaca, kertas peka, kertas
kalkir (objek), kertas peka, dan kaca. Penggunaan kaca yang bertujuan agar objek
tidak terkena sinar secara langsung serta alasan penjepitan dengan 2 kaca
dimaksudkan agar penyinaran dengan cahaya tidak mengenai langsung kertas peka
dan objek sehingga pada kertas peka dihasilkan cetakan objek yang jelas.

Proses selanjutnya adalah penyinaran dengan cahaya selama 5 – 7 menit,


cahaya yang digunakan dapat menggunakan cahaya lampu. Pada proses inilah yang
disebut dengan “fotokimia”, yaitu reaksi yang diinduksi oleh sinar, di mana dengan
adanya sinar akan terjadi reaksi oksidasi Fe2+ menjadi Fe3+. Pada penyinaran ini
terjadi pemindahan objek dari kertas kalkir ke kertas peka.

Setelah dilakukan penyinaran, kertas kalkir dicelupkan ke dalam larutan


kalium heksasianoferat (III). Tujuan pencelupan kertas kalkir ke dalam larutan
kalium heksasianoferat (III) adalah untuk memperjelas objek serta untuk
membuktikan adanya ion besi (III) ditandai terdapat perubahan menjadi warna biru
tua. Namun kertas yang tertutupi objek akan berwarna lebih muda karena pada
kertas yang tertutup objek terjadi oksidasi yang tidak sempurna. Pada proses ini
[Fe(CN)6]3- pada K3Fe(CN)6 mengikat ion Fe3+ sehingga dihasilkan KFe[Fe(CN)6].

Reaksinya adalah sebagai berikut:

Fe2+(aq) + [Fe(CN)6](aq) → Fe3+(aq) + [Fe(CN)6]4-(aq)

4Fe3+ (aq)+ [Fe(CN)6]4-(aq) → Fe4[Fe(CN)6]3(aq)


(Svehla, 1990)

Setelah itu, kertas dikeluarkan dan dicelupkan ke dalam larutan kalium


dikromat yang bertujuan untuk mengikat pengotor dan menghilangkan kelebihan
dari ion heksasianoferat serta mempertajam pencetakan. Reaksi yang terjadi adalah:

3K2Cr2O7 + 2[Fe(CN)6]3- → 2K3[Fe(CN)6] + 3Cr2O72-

(Svehla, 1990)

Selanjutnya dilakukan pencucian dengan HCl dan aquades yang berfungsi


untuk mengikat pengotor yang tidak hilang pada saat pencelupan dalam kalium
dikromat. Sedangkan pencucian dengan aquades digunakan untuk menghilangkan
pengotor yang bersifat polar serta menghilangkan kelebihan HCl. Reaksi yang
terjadi saat pencucian dengan HCl adalah:

K2Cr2O7 + 2HCl → 2KCl + H2Cr2O7

(Svehla, 1990)

Setelah itu, dilakukan pengeringan kertas kalkir dan dilakukan pengamatan.


Dari hasil pengamatan, didapatkan hasil bagian kertas yang tidak tertutup oleh tinta
berwarna biru tua, sedangkan bagian objek berwarna biru. Warna biru tua yang
dihasilkan pada background objek menunjukkan adanya Fe3+. Dan warna biru pada
bagian objek menandakan adanya Fe2+ yang tidak teroksidasi akibat adanya proses
fotokimia.
VII.PENUTUP
7.1. Kesimpulan
7.1.1. Praktikkan dapat mempelajari reaksi reduksi besi (III) secara
fotokimia dan mempelajari kegunaan untuk cetak biru. Pada
percobaan ini, didapatkan cetak biru yang terlihat jelas dengan
bagian kertas yang tertutup objek berwarna biru muda sedangkan
bagian kertas yang tidak tertutup objek berwarna biru tua. Warna
biru yang timbul disebabkan karea adanya reaksi oksidasi Fe2+
menjadi Fe3+ membentuk kompleks K3[Fe(CN)6].

7.2. Saran
7.2.1. Penyinaran dapat dilakukan dengan sinar kuat lainnya seperti cahaya
lampu, senter, dan lain-lain.
7.2.2. Penggunaan tinta cina dapat digantikan dengan tinta yang lain
dengan kerapatan yang setara dengan tinta cina
7.2.3. Pada saat pencampuran larutan FeCl3 dengan diammonium
hidrofosfat dan asam oksalat pastikan dilakukan dalam ruangan
gelap agar proses reduksi tidak terlalu cepat.
LAMPIRAN

1. Menentukan massa FeCl3


Diketahui :
M FeCl3 = 1M
BM FeCl3 = 162,2 gram/mol
Volume = 100 ml

Ditanya :

Massa FeCl3?

Jawab :

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
M = ×
𝐵𝑀 𝑉

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
1M = 162,2 𝑔𝑟𝑎𝑚/𝑚𝑜𝑙 × 100

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
1 = × 10
162,2

162,2
Massa =
10

Massa FeCl3 = 16,22 gram

2. Menentukan massa (NH4)2HPO4


Diketahui :
M (NH4)2HPO4 = 0,2 M
BM (NH4)2HPO4 = 136,06 gram/mol
Volume = 200 ml

Ditanya :
Massa (NH4)2HPO4?

Jawab :

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
M = ×
𝐵𝑀 𝑉

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
0,2 M = 136,06 𝑔𝑟𝑎𝑚/𝑚𝑜𝑙 × 200

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
0,2 = ×5
136,06

136,06
Massa = 5
× 0,2

Massa = 5,442 gram

Massa (NH4)2HPO4 = 5,442 gram

3. Menentukan massa H2C2O4 (asam oksalat)


Diketahui :
M H2C2O4 = 1M
BM H2C2O4 = 126 gram/mol
Volume = 100 ml

Ditanya :

Massa FeCl3?

Jawab :

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
M = 𝐵𝑀
× 𝑉

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
1M = ×
126 𝑔𝑟𝑎𝑚/𝑚𝑜𝑙 100
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
1 = × 10
126

126
Massa = ×1
10

Massa H2C2O4 = 12,6 gram

4. Menentukan massa K3Fe(CN)6


Diketahui :
M K3Fe(CN)6 = 0,1 M
BM K3Fe(CN)6 = 329 gram/mol
Volume = 100 ml

Ditanya :

Massa K3Fe(CN)6?

Jawab :

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
M = ×
𝐵𝑀 𝑉

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
0,1 M = ×
329 𝑔𝑟𝑎𝑚/𝑚𝑜𝑙 100

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
0,1 = 329
× 10

329
Massa = × 0,1
10

Massa K3Fe(CN)6 = 3,29 gram

5. Menentukan massa K2Cr2O7


Diketahui :
M K2Cr2O7 = 0,03M
BM K2Cr2O7 = 294 gram/mol
Volume = 100 ml

Ditanya :

Massa K2Cr2O7?

Jawab :

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
M = 𝐵𝑀
× 𝑉

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
0,03 M = ×
294 𝑔𝑟𝑎𝑚/𝑚𝑜𝑙 100

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
0,03 = × 10
294

294
Massa = × 0,03
10

Massa K2Cr2O7= 0,882 gram

6. Menentukan Volume Awal HCl


Diketahui:
Massa ijenis = i1,18 igram/cm3
Kadar = i25 i%
BM iHCl = i36,5 igram/mol
V2 iHCl = i100 iml
M2 iHCl = i0,1 iM

Ditanya:

V1 HCl?

Jawab
a. Menentukan MHCl1
𝜌 𝑖×10 𝑖× 𝑖%
M1 =i
𝐵𝑀
1,18 × 10 × 25
M1 =i 𝑖𝑔𝑟𝑎𝑚
36,5
𝑚𝑜𝑙

M1 = i8,08 𝑖𝑀
b. Menentukan VHCl1
V1 i i ix i iM1 = V2 i ix i iM2
V1 i ix i i8,08 iM = 100 iml ix i i0,1 iM i i
100 𝑖𝑚𝑙 𝑖×0,1 𝑖𝑀
V1 =
8,08 𝑖𝑀

V1 = 1,237 iml
PERCOBAAN V
“TINGKAT KELARUTAN ZAT PADAT DALAM BERBAGAI PELARUT”

I. TUJUAN PERCOBAAN
1.1 Menentukan secara kualitatif kelarutan zat padat di dalam berbagai pelarut.
II. DASAR TEORI
2.1 Larutan
Larutan dapat didefinisikan sebagai kesatuan dari dua zat ataupun lebih yang memiliki
komposisi sendiri-sendiri yang tercampur secara merata (homogen). Pada suatu larutan
berdasarkan susunannya dapat dibedakan menjadi dua komponen yaitu pelarut (solvent)
yang merupakan suatu zat jumlahnya lebih banyak dan dapat melarutkan zat lain, dan ada
juga zat terlarut (solute) yaitu suatu zat yang jumlahnya lebih sedikit dan dapat terlaruut
dalam zat lainnya (Petrucci, Harwood, & Herring, 2007).
2.2 Kelarutan
Kelarutan merupakan peleburan suatu zat menjadi suatu larutan yang dinyatakan
dalam suatu batas sebagai tingkat kelarutannya (Oxtoby dkk, 2001). Suatu zat akan
terlarut dalam pelarut tertentu, yang mana terdapat pengaruh dari komponen penyusun
zat didalamnya. Satuan yang menyatakan kelarutan adalah mol/liter atau M (Underwood,
1989).
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelarutan
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses kelarutan, yaitu:
a. Temperatur
Pada proses pelarutan, secara langsung suhu akan mempengaruhi proses yang
terjadi. Dimana semakin tinggi suhu pelarutan, kecepatan proses pelarutan akan
meningkat dan penyelesaian larutan menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi, sebab ketika
suhu meningkat, akan lebih banyak partikel yang terlarut sehingga gaya antarmolekul
dapat memecah lebih mudah dan memungkinkan lebih banyak partikel terlarut yang
tertarik ke partikel pelarut.
b. Tekanan
Pada proses pelarutan, tekanan akan mempengaruhi proses yang terjadi, dimana
gas yang dimaksud yaitu gas yang berada di atas permukaan pelarut. Gas akan
bergerak ke pelarut dan menempati beberapa ruang di antara partikel pelarut. Dalam
hal ini, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan gas, bahwa pada suhu
tertentu, kelarutan gas dalam suatu cairan sebanding dengan tekanan parsial gas
pada cairan tersebut yang dikenal sebagai hukum Henry.
c. Polaritas
Pada proses pelarutan, kepolaran akan mempengaruhi proses yang terjadi yang
dinyatakan sebagai prinsip like dissolves like, yang mana menyatakan bahwa suatu zat
hanya akan terlarut dalam pelarut dengan tingkat kepolaran yang sama.
d. Ukuran Zat
Pada proses pelarutan, ukuran zat akan mempengaruhi proses yang terjadi yang
mana nantinya akan menghasilkan tingkat kelarutan yang berbeda-beda dari zat
dengan ukuran yang variatif tersebut.
(Lesdantina, 2009)
2.4 Proses Pelarutan
Proses pelarutan merupakan suatu proses transformasi atau perubahan zat, dimana
zat dengan fasa padat akan berubah fasa menjadi cair. Pada prosesnya ketika terjadi
perubahan fasa menjadi larutan, terjadi pelepasan energi yang dikenal sebagai ∆H
pelarutan atau energi panas pelarutan. Energi panas pelarutan dikenal sebagai besar dari
energi yang dilepaskan saat proses pelarutan berlangsung. Persamaan yang dimaksud
sebagaimana:
∆H pelarutan = H pelarutan – H komponen
(Sugiyarto, 2003)
2.5 Hasil Kali Kelarutan (Ksp)
Hasil kali kelarutan (Ksp) merupakan konsentrasi molar dari ion penyusun dan tiap
ionnya yang dikalikan dengan koefisien stoikiometrinya melalui persamaan
kesetimbangan. Misalnya, garam AxBy dilarutkan dalam H2O, maka Ksp garam tersebut,
yaitu:
AxBy ⇌ x Ay+(aq) + y Bx-(aq) Ksp = [Ay+]x [Bx+]y
0 0 0 0 0 0 0 0 0

(Chang, 2005)
2.6 Garam Kompleks
Garam koordinasi merupakan suatu garam yang didalamnya terkandung ion
kompleks, dikatakan sebagai garam koordinasi karena didalam senyawa garam tersebut
terdapat ikatan koordinasi sehingga terbentuk ion kompleks tersebut. Saat terlarut dalam
air, garam kompleks akan mengalami disosiasi dan akan terjadi kesetimbangan antara
sisa ionnya. Adapun contoh dari garam kompleks adalah Cu(SO4)2(NH4)2 (Sukardjo, 1985).
2.7 Perpindahan Elektron Hibridisasi
Hibridisasi merupakan berpindahnya elektron dari energi rendah ke energy yang lebih
tinggi. Hibridisasi juga diartikan sebagai eksitasi. Senyawa yang memiliki banyak orbital
akan terbentuk hibridisasi yang lebih kompleks (Wilbraham, 1992).
2.8 Ikatan Ionik dan Ikatan Kovalen
Ikatan kovalen dapat didefinisikan sebagai ikatan yang dibentuk oleh penggunaan
bersama beberapa pasangan elektron oleh atom ikatan. Deskripsi ikatan kovalen ini dapat
ditemukan dalam rumus struktur Lewis, dan konsep ikatan itu sendiri adalah bahwa atom
mencapai keadaan valensi ganda (2 elektron) atau oktet (8 elektron). Ikatan ion, di sisi
lain, adalah ikatan yang diciptakan oleh pergerakan elektron antara kation (logam) dan
anion (non-logam) (Chang, 2014).
2.9 Kepolaran
Polaritas didefinisikan sebagai sifat suatu zat yang sesuai dengan medan magnet di
mana kutub sementara yang disebut dipol hadir. Polarisasi ion dalam kristal disebut
polaritas. Adanya ikatan kovalen ditunjukkan oleh polarisasi anion oleh kation, yang
mengurangi kelarutan senyawa. (Brady & Humiston, 1999)
2.10 Macam-Macam Pelarut
Secara umum, pelarut dapat diklasifikasikan menurut polaritasnya., karena
prinsip like dissolve like. Ini menjelaskan bahwa senyawa polar juga larut dalam
pelarut protik, dan senyawa non-polar juga larut dalam larutan non-polar. Hal ini
terjadi karena senyawa polar dalam pelarut polar mengalami interaksi dipol-dipol
dan memungkinkan senyawa tersebut larut dalam pelarut. Demikian pula, selain
senyawa non-polar, senyawa polar mengalami daya dispersi London dalam pelarut
non-polar, senyawa polar juga bersifat protik dan aprotik berdasarkan
kemampuannya untuk menyumbangkan atom hidrogen untuk membentuk ikatan
hidrogen. Senyawa ini terbagi dalam dua subkategori (Housecroft & Sharpe, 2012)
2.11 Padatan Ionik
Padatan ionik pada bagian kisi kristral ionnya memiliki bentuk geometri dengan posisi
saling tersusun yang menyebabkan timbul gaya tarik yang terjadi pada tingkat tinggi serta
gaya tolaknya rendah apabila pada kation dan anionnya. Padatan ionik memiliki sifat fisik
seperti titik didih cukup tinggi dan kalor uap juga tinggi (Day, 1989).
2.12 Gaya Intermolekuler
Gaya intermolekul terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. Dipol dipol forces, gaya yang terjadi pada molekul polar yang bersifat netral.
b. Hydrogen bonding, gaya yang terbentuk pada saat atom H pada molekul
berinteraksi dengan atom elektronegatif, yaitu N, O, F pada molekul lain.
c. London dispersion forces, gaya yang terjadi pada molekul yang bersifat non polar
dimana posisinya berdekatan serta saling menginduksi membentuk dipol yang
sifatnya sementara.
d. Ion-dipol forces, gaya yang terjadi antara ion dengan muatan parsial pada salah
satu sisi molekul polar.
(Brady, 1999)
2.13 Analisa Bahan
2.13.1 NiCl2
• Sifat Fisika
- Memiliki berat molekul sebesar 129,60 g/mol
- Memiliki densitas sebesar 3,55 g/cm3
- Berwujud padat berupa bubuk tanpa bau
• Sifat Kimia
- Stabil pada temperatur ruang
- Tidak dapat direaksikan dengan air
- Akan menghasilkan produk dekomposisi yang berbahaya apabila direaksikan
dengan hidrogen klorida dan nikel oksida
(LTS, 2011)
2.13.2 NaCl
• Sifat Fisika
- Memiliki berat molekul sebesar 58,44 g/mol
- Berwujud padat berwarna putih
- Titik lebur pada suhu 801°C
- Titik didih pada suhu 1461°C
- Memiliki densitas sebesar 2,17 g/cm3
• Sifat Kimia
- Stabil pada temperatur ruang
- Apabila direaksikan dengan logam basa akan terjadi reaksi eksotermik
(Smart-Lab, 2013)
2.13.3 CaCl2
• Sifat Fisika
- Memiliki berat molekul sebesar 110,98 g/mol
- Berwujud padat berwarna putih
- Titik didih pada suhu 1935°C
- Titik leleh pada suhu 782°C
- Memiliki densitas sebesar 2,15 g/cm3
• Sifat Kimia
- Akan terjadi reaksi secara eksotermis jika direaksikan dengan air
- Apabila direaksikan dengan Zn akan membentuk gas hydrogen yang mudah
meledak
(Haynes, 2010)
2.13.4 Etanol
• Sifat Fisika
- Memiliki berat molekul sebesar 46,07 g/mol
- Berwujud cair dan bening
- Titik lebur pada suhu -114,5°C
- Titik didih pada suhu 78,3°C
- Besar densitas pada rentang 0,790-0,793 g/cm3
• Sifat Kimia
- Bentuk uap etanol dapat menghasilkan campuran yang bisa meledak jika
berkontak dengan udara
- Dapat bereaksi secara eksotermik dengan asam nitra, asam perklorat, serta
H2O2
- Akan terjadi reaksi ignisi apabila bereaksi dengan senyawa halogen
(Smart-Lab, 2012)
2.13.5 Kloroform
• Sifat Fisika
- Memiliki berat molekul sebesar 119,38 g/mol
- Berwujud cair bening
- Titik lebur pada suhu -63°C
- Memiliki densitas sebesar 1,48 g/cm3
• Sifat Kimia
- Jika direaksikan dengan ammonia, senyawa nitri organic, fluorin akan beresiko
meledak
- Tidak dapat direaksikan magnesium dan lithium
- Produk hasil pengurainnya seperti oksida karbon serta gas hydrogen klorida
bersifat berbahaya
(Smart-Lab, 2012)
2.13.6 HCl
• Sifat Fisika
- Memiliki nerat molekul sebesar 36,46 g/mol
- Berwujud cair tanpa warna dan bau
- pH sebesar 1,2 pada suhu 20°C
- Memiliki densitas sebesar 1,00 g/cm3
• Sifat Kimia
- Stabil pada temperatur ruang
- Jika bereaksi dengan logam akan menimbulkan gas berbahaya
(Smart-Lab, 2014)
2.13.7 NH4OH
• Sifat Fisika
- Berwujud cairan
- Bening atau tidak berwarna
- Titik didih 27°C
• Sifat Kimia
- Bersifat sangat reaktif
- Dapat bereaksi dengan asam
- Bersifat stabil pada keadaan normal
(LabChem, 1998)
2.13.8 Aquades
• Sifat Fisika
- Berwujud cairan
- Berat molekul 18,02 g/mol
- Tidak memiliki bau
- Tidak berwarna
- Bersifat netral (pH =7)
- Titik didih 100°C
• Sifat Kimia
- Bersifat polar
- Termasuk pelarut universal
- Rumus kimia (H2O)
(LabChem, 2013)
III. METODE PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1. Tabung Reaksi
2. Rak Tabung Reaksi
3. Pengaduk Kaca
4. Neraca Analitik
5. Cawan Gelas
6. Stopwatch

3.1.2 Bahan
1. Aquades 5. NH4OH
2. Kloroform 6. NaCl
3. Etanol 7. CaCl2
4. HCl 8. NiCl2

3.2 Gambar Alat dan Bahan


3.2.1 Gambar Alat

Tabung Reaksi Rak Tabung Reaksi Pengaduk Kaca

Cawan Gelas Stopwatch


Neraca Analitik
3.2.2 Gambar Bahan

NiCl2 NaCl CaCl2 Ehanol

Kloroform HCl NH4OH Aquades

3.3 Skema Kerja


3.3.1 Zat Terlarut NaCl

10 mL akuades 10 mL etanol 10 mL kloroform 10 mL HCl 10 mL NH4OH


Tabung Reaksi Tabung Reaksi Tabung Reaksi Tabung Reaksi Tabung Reaksi

- Menambahkan padatan NaCl sebanyak 0,3


gram
- Menggojog larutan
- Mengamati larutan
- Mencatat waktu hingga padatan larut
secara sempurna

Hasil
3.3.2 Zat Terlarut CaCl2

10 mL akuades 10 mL etanol 10 mL kloroform 10 mL HCl 10 mL NH4OH


Tabung Reaksi Tabung Reaksi Tabung Reaksi Tabung Reaksi Tabung Reaksi

- Menambahkan padatan CaCl2 sebanyak 0,3


gram
- Menggojog larutan
- Mengamati larutan
- Mencatat waktu hingga padatan larut
secara sempurna

Hasil

3.3.3 Zat Terlarut NiCl2

10 mL akuades 10 mL etanol 10 mL kloroform 10 mL HCl 10 mL NH4OH


Tabung Reaksi Tabung Reaksi Tabung Reaksi Tabung Reaksi Tabung Reaksi

- Menambahkan padatan NiCl2 sebanyak 0,3


gram
- Menggojog larutan
- Mengamati larutan
- Mencatat waktu hingga padatan larut
secara sempurna

Hasil
IV. DATA PENGAMATAN

Solute
NaCl CaCl2 NiCl2
Solvent

Tidak berwarna Tidak berwarna (cenderung Hijau Bening


Aquades (cenderung keruh) keruh) (Larut)
(Larut) (Larut)
Tidak berwarna Tidak berwarna (cenderung Hijau Bening
Etanol (cenderung keruh) keruh) (Larut)
(Larut sebagian) (Larut)
Terbentuk endapan ▪ Terbentuk endapan Terbentuk dua lapisan.
Kloroform putih NaCl putih CaCl2 Atas: hijau
(Tidak larut) ▪ Adanya kepingan Bawah: tidak
CaCl2 yang tidak larut berwarna/hijau bening
(Tidak larut) (Larut)
Tidak berwarna Tidak berwarna Hijau
HCl (cenderung keruh) (Larut) (Larut)
(Larut)
Tidak berwarna Putih Keruh Biru
NH4OH (cenderung keruh) (Larut) (Larut)
(Larut)

(Nida Fauziyah)
V. PEMBAHASAN
Percobaan V berjudul “Tingkat Kelarutan Zat Padat dalam Berbagai Pelarut”. Tujuan dari
percobaan ini ialah untuk menentukan secara kualitatif kelarutan zat padat di dalam berbagai
pelarut. Prinsip yang digunakan pada percobaan ini adalah perbedaan kelarutan yaitu dalam
prinsip like dissolves like, dimana prinsip tersebut menerangkan bahwa suatu zat terlarut
hanya dapat larut dalam pelarut yang memiliki tingkat kepolaran sama. Metode yang
digunakan pada percobaan ini adalah dengan melakukan proses pelarutan zat terlarut dalam
berbagai jenis pelarut. Percobaan ini dilakukan pada Selasa, 16 November 2021, secara
online dan dipandu oleh asisten praktikum.
Pada percobaan ini akan menggunakan tiga jenis senyawa padatan dan menggunakan
lima pelarut yang berbeda. Senyawa padatan ynag digunakan ialah NaCl, CaCl2, dan NiCl2.
Sedangkan pelarut yang digunakan ialah aquades, etanol, kloroform, HCl, dan NH4OH.
(Nida Fauziyah)
5.1 Pelarut Aquades
Pada percobaan ini memiliki tujuan yaitu untuk menentukan secara kualitatif zat
padat yang berupa NaCl, CaCl2, dan NiCl2 dalam pelarut aquadest. Aquadest adalah suatu
pelarut yang universal dan memiliki sifat polar. Senyawa polar sendiri merupakan suatu
senyawa yang mempunyai distribusi atau persebaran electron yang tidak merata secara
menyeluruh, dan mempunyai konstanta dielektrik yang sangat tinggi, yaitu sebesar 80,4
(Triesty & Mahfud, 2017). Konstanta dielektrik atau dielectric constant menunjukkan
besarnya kekuatan suatu pelarut untuk dapat mengalami suatu polarisasi. Nilai dielectric
constant tersebut mempunyai besar yang berbanding lurus dengan tingkat kepolaran
pelarut (Raju, 2017).
(Romzanah)
5.1.1 Pelarutan NaCl dengan Aquades
Telah dilakukan percobaan dengan tujuan penentuan secara kualitatif kelarutan
NaCl dalam pelarut aquades. Pada percobaan ini diterapkan prinsip like dissolves like
yang mana senyawa yang polar akan larut pada pelarut yang bersifat polar, sedangkan
senyawa non polar akan larut dalam pelarut yang non polar. Langkah yang dilakukan
yakni melarutkan NaCl dalam pelarut aquades kemudian dilakukan penggojogan agar
larutan homogen sebab efektivitas tumbukan partikel meningkat sehingga NaCl dapat
terlarut dengan cepat dalam aquades. Hasil yang didapatkan yakni NaCl terlarut dan
warna larutannya bening cenderung keruh. NaCl dapat larut dalam aquades sebab
adanya kemampuan aquades dalam melakukan hidrasi dan stabilisasi ion Na+ serta Cl-
sehingga interaksi elektrostatik ion tersebut lemah dan tidak dapat membentuk ikatan
ionic yang menghasilkan kristal NaCl. Selain kemampuan aquades tersebut, terdapat
factor lain yang menyebabkan NaCl mudah larut dalam aquades yakni adanya interaksi
ion dipol yang kuat dibandingkan energi ikatnya sehingga NaCl cenderung berikatan
dengan aquades. Serta NaCl memiliki energi kisi yang tidak tinggi yang membuat NaCl
sangat mudah larut dalam aquades. Reaksi:
2NaCl + 2H2O → 2NaOH + Cl2 + H2
(Kusumiyati, Onggo, & Habibah, 2017)
(Syaira Adelia Putri)
5.1.2 Pelarutan CaCl2 dengan Aquades
Telah dilakukan percobaan dengan tujuan penentuan secara kualitatif kelarutan
CaCl2 dalam pelarut aquades. Pada percobaan ini diterapkan prinsip like dissolves like
yang mana senyawa yang polar akan larut pada pelarut yang bersifat polar, sedangkan
senyawa non polar akan larut dalam pelarut yang non polar. Langkah yang dilakukan
yakni melarutkan CaCl2 dalam pelarut aquades kemudian dilakukan penggojogan agar
larutan homogen sebab efektivitas tumbukan partikel meningkat sehingga CaCl2 dapat
terlarut dengan cepat dalam aquades. Hasil yang didapatkan yakni CaCl2 terlarut dan
warna larutannya bening cenderung keruh. CaCl2 mudah larut dalam aquades sebab
termasuk senyawa yang polar. Pada senyawa polar terdapat dua kutub yang beralinan
yang mana sisi satu bermuatan parsial positif sedangkan kutub satunya bermuatan
parsial negative yang sering dikenal sebagai dipol. Disebut muatan parsial sebab pada
senyawa polar muatan-muatan tersebut tidak benar-benar memiliki muatan positif
maupun negative. Setiap senyawa polar mempunyai perbedaan keelektronegatifan
yang menyebabkan adanya kutub listrik yang bersifat permanen atau dipol permanen
sehingga ketika sesama senyawa polar saling dicampurkan akan timbul gaya tarik
menarik. Reaksi:
CaCl2 + 2H2O → Ca(OH) 2 + 2HCl
(Lewis, 2017)
(Syaira Adelia Putri)
5.1.3 Pelarutan NiCl2 dengan Aquades
Telah dilakukan percobaan dengan tujuan penentuan secara kualitatif kelarutan
NiCl2 dalam pelarut aquades. Pada percobaan ini diterapkan prinsip like dissolves like
yang mana senyawa yang polar akan larut pada pelarut yang bersifat polar, sedangkan
senyawa non polar akan larut dalam pelarut yang non polar. Langkah yang dilakukan
yakni melarutkan NiCl2 dalam pelarut aquades kemudian dilakukan penggojogan agar
larutan homogen sebab efektivitas tumbukan partikel meningkat sehingga NiCl2 dapat
terlarut dengan cepat dalam aquades. Hasil yang didapatkan yakni NiCl2 terlarut dan
warna larutannya hijau bening. NiCl2 mudah larut dalam aquades sebab termasuk
senyawa polar. Pada senyawa polar terdapat dua kutub yang beralinan yang mana sisi
satu bermuatan parsial positif sedangkan kutub satunya bermuatan parsial negative
yang sering dikenal sebagai dipol. Disebut muatan parsial sebab pada senyawa polar
muatan-muatan tersebut tidak benar-benar memiliki muatan positif maupun negative.
Setiap senyawa polar mempunyai perbedaan keelektronegatifan yang menyebabkan
adanya kutub listrik yang bersifat permanen atau dipol permanen sehingga ketika esame
senyawa polar saling dicampurkan akan timbul gaya tarik menarik. Reaksi:
NiCl2 → Ni2+(aq) + 2Cl-(aq)
(Virieux, Ayad, Pirat, & Volle, 2018)
(Syaira Adelia Putri)
5.2 Pelarut Etanol
Pada percobaan ini memiliki tujuan yaitu untuk menentukan secara kualitatif zat
padat berupa NaCl, CaCl2, dan NiCl2 dalam pelarut etanol. Etanol adalah suatu pelarut yang
memiliki sifat semipolar. Senyawa semipolar sendiri merupakan suatu senyawa yang
mempunyai distribusi atau persebaran elektron yang tidak merata secara parsial, dan
mempunyai konstanta dielektrik yang tidak tinggi dan tidak juga rendah, yaitu sebesar
24,3 (MULYANI, 2016). Konstanta dielektrik atau dielectric constant menunjukkan
besarnya kekuatan suatu pelarut untuk dapat mengalami suatu polarisasi. Nilai dielectric
constant tersebut mempunyai besar yang berbanding lurus dengan tingkat kepolaran
pelarut (Raju, 2017).
(Romzanah)
5.2.1 Pelarutan NaCl dengan Etanol
Uji ini dilakukan untuk menentukan secara kualitatif kelarutan NaCl dalam pelarut
etanol. Percobaan ini menggunakan prinsip like dissolves like yang mana senyawa yang
polar akan larut pada pelarut yang bersifat polar, sedangkan senyawa non polar akan
larut dalam pelarut yang non polar. Uji ini diawali dengan melarutkan NaCl pada etanol,
kemudian dilakukan penggojogan agar homogen dan dilakukan pengamatan.
Didapatkan hasil NaCl larut sebagian dan larutan tidak berwarna (cenderung keruh). Hal
ini dikarenakan sifat ionik NaCl tergolong besar sedangkan konstanta dielektrik dari
etanol kecil (Kd = 25), sehingga etanol tidak memiliki cukup energi untuk memutus kisi
ionik pada NaCl, yang mengakibatkan NaCl tidak dapat terlalut dengan sempurna.
(Sayyidah Khiyarotul Ummah)
5.2.2 Pelarutan CaCl2 dengan Etanol
Uji ini dilakukan untuk menentukan secara kualitatif kelarutan CaCl2 dalam pelarut
etanol. Percobaan ini menggunakan prinsip like dissolves like yang mana senyawa yang
polar akan larut pada pelarut yang bersifat polar, sedangkan senyawa non polar akan
larut dalam pelarut yang non polar. Uji ini diawali dengan melarutkan CaCl2 dalam
pelarut etanol, kemudian dilakukan penggojogan agar homogen dan dilakukan
pengamatan. Didapatkan hasil CaCl2 larut dan larutannya menjadi tidak berwarna
(cenderung keruh). hal ini dikarenakan CaCl2 akan terionisasi menjadi ion-ionnya (Ca2+
dan Cl-). Berbeda dengan NaCl, CaCl2 dapat larut akibat dari ikatan ionik yang dimiliki
CaCl2 lebih kecil bila dibandingkan dengan NaCl. Hal ini menyebabkan ikatan CaCl2 dapat
lebih mudah terputus. Berikut reaksi yang terjadi:
CaCl2 ↔ Ca2+ + 2Cl-
(Virieux, Ayad, Pirat, & Volle, 2018)
(Sayyidah Khiyarotul Ummah)

5.2.3 Pelarutan NiCl2 dengan Etanol


Uji ini dilakukan untuk menentukan secara kualitatif kelarutan NiCl2 dalam pelarut
etanol. Percobaan ini menggunakan prinsip like dissolves like yang mana senyawa yang
polar akan larut pada pelarut yang bersifat polar, sedangkan senyawa non polar akan
larut dalam pelarut yang non polar. Uji ini diawali dengan melarutkan NiCl2 dalam pelarut
etanol, kemudian dilakukan penggojogan agar homogen dan dilakukan pengamatan.
Didapatkan hasil NiCl2 akan larut dan larutan berwarna hijau bening. Hal ini dikarenakan
NiCl2 terionisasi menjadi ion-ionnya, (Ni2+ dan Cl-). Berbeda dengan NaCl, NiCl2 dapat larut
akibat dari ikatan ionik yang dimiliki NiCl2 lebih kecil bila dibandingkan dengan NaCl. Hal
ini menyebabkan ikatan NiCl2 akan lebih mudah terputus. Adapun mekanisme reaksi
yang terjadi adalah:
NiCl2 ↔ Ni2+ + 2Cl-
(Virieux, Ayad, Pirat, & Volle, 2018)
(Sayyidah Khiyarotul Ummah)
5.3 Pelarut Kloroform
Percobaan ini memiliki tujuan yaitu untuk menentukan secara kualitatif zat padat
berupa NaCl, CaCl2, dan NiCl2 dalam pelarut kloroform. Kloroform adalah suatu pelarut
yang memiliki sifat non polar. Senyawa non polar adalah suatu senyawa yang mempunyai
distribusi atau persebaran elektron merata secara menyeluruh dan dan mempunyai
konstanta dielektrik yang tidak tinggi dan tidak juga rendah, yaitu sebesar 4,81 (Fajri,
Marfu'ah, & Artanti, 2018). Konstanta dielektrik atau dielectric constant menunjukkan
besarnya kekuatan suatu pelarut untuk dapat mengalami suatu polarisasi. Nilai dielectric
constant tersebut mempunyai besar yang berbanding lurus dengan tingkat kepolaran
pelarut (Raju, 2017).
(Akbar Satrio Perdana)

5.3.1 Pelarutan NaCl dengan Kloroform


Percobaan ini memiliki tujuan untuk menentukan secara kualitatif kelarutan zat
padat berupa NaCl dalam pelarut kloroform. Dalam percobaan ini dilakukan pelarutan,
dimana NaCl dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan kloroform.
Sehingga, terbentuk larutan yang mana terjadi dari transformasi fasa zat dari padatan
menjadi larutan. Kemudian, dilakukan penggojogan untuk meningkatkan kecepatan
pelarutan dan homogenisasi larutan. Lalu, campuran tersebut diamati dalam jangka
waktu tertentu, pengamatan dilakukan apabila larutan tersebut telah menunjukkan
indikasi gejala reaksi, seperti perubahan wujud dan warna pada larutan. Hasil yang
diperoleh yaitu terbentuk endapan NaCl namun campuran tidak larut, hal ini terjadi
karena tidak tercapainya homogenitas larutan. Apabila merujuk pada literatur, NaCl
bersifat polar sedangkan kloroform bersifat non polar, sehingga tidak terjadi
homogenitas larutan, sebagaimana prinsip like dissolves like, bahwa suatu zat akan larut
dengan mudah jika sifat dari kedua zat tersebut sama yaitu polar larut dalam pelarut
polar dan non polar larut dalam pelarut non polar. Reaksi yang terjadi:
NaCl (s) + CHCl3 (l)
(Hana Afifah)
5.3.2 Pelarutan CaCl2 dengan Kloroform
Percobaan ini memiliki tujuan untuk menentukan secara kualitatif kelarutan zat
padat berupa CaCl2 dalam pelarut kloroform. Dalam percobaan ini dilakukan pelarutan,
dimana CaCl2 dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan kloroform.
Sehingga, terbentuk larutan yang mana terjadi dari transformasi fasa zat dari padatan
menjadi larutan. Kemudian, dilakukan penggojogan untuk meningkatkan kecepatan
pelarutan dan homogenisasi larutan. Lalu, campuran tersebut diamati dalam jangka
waktu tertentu, pengamatan dilakukan apabila larutan tersebut telah menunjukkan
indikasi gejala reaksi, seperti perubahan wujud dan warna pada larutan. Hasil yang
diperoleh yaitu terbentuk endapan putih dan kepingan-kepingan dari CaCl2 namun
campuran tidak larut, hal ini terjadi karena tidak tercapainya homogenitas larutan.
Apabila merujuk pada literatur, CaCl2 bersifat polar sedangkan kloroform bersifat non
polar, sehingga tidak terjadi homogenitas larutan, sebagaimana prinsip like dissolves
like, bahwa suatu zat akan larut dengan mudah jika sifat dari kedua zat tersebut sama
yaitu polar larut dalam pelarut polar dan non polar larut dalam pelarut non polar. Reaksi
yang terjadi:
CaCl2 (s) + CHCl3 (l)
(Hana Afifah)
5.3.3 Pelarutan NiCl2 dengan Kloroform
Percobaan ini memiliki tujuan untuk menentukan secara kualitatif kelarutan zat
padat berupa NiCl2 dalam pelarut kloroform. Dalam percobaan ini dilakukan pelarutan,
dimana NiCl2 dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan kloroform.
Sehingga, terbentuk larutan yang mana terjadi dari transformasi fasa zat dari padatan
menjadi larutan. Kemudian, dilakukan penggojogan untuk meningkatkan kecepatan
pelarutan dan homogenisasi larutan. Lalu, campuran tersebut diamati dalam jangka
waktu tertentu, pengamatan dilakukan apabila larutan tersebut telah menunjukkan
indikasi gejala reaksi, seperti perubahan wujud dan warna pada larutan. Hasil yang
diperoleh yaitu terbentuk dua lapisan, lapisan atas berwarna hijau dan lapisan bawah
berwarna hijau bening hampir tak berwarna. Apabila merujuk pada literatur, NiCl2
bersifat polar sedangkan kloroform bersifat non polar, sebagaimana prinsip like
dissolves like, bahwa suatu zat akan larut dengan mudah jika sifat dari kedua zat tersebut
sama yaitu polar larut dalam pelarut polar dan non polar larut dalam pelarut non polar.
Reaksi yang terjadi:
NiCl2 (s) + CHCl3 (l)
Pada percobaan, hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan literatur, dimana NiCl2
dapat larut dalam kloroform. Perbedaan sifat dari kedua zat menghasilkan suatu
campuran larutan, hal ini bertentangan dengan prinsip pelarutan yaitu like dissolves like.
Ketidaksesuaian hasil ini kemungkinan besar diakibatkan oleh kualitas sampel yang
kurang bagus atau dari faktor human error, seperti penambahan kuantitas sampel yang
tidak sesuai dengan prosedur atau cara kerja yang menyimpang dari aturan.
(Hana Afifah)
5.4 Pelarut HCl
Pada percobaan ini memiliki tujuan yaitu untuk menentukan secara kualitatif zat
padat berupa NaCl, CaCl2, dan NiCl2 dalam pelarut asam klorida. Asam klorida adalah suatu
pelarut yang memiliki sifat polar. Senyawa polar sendiri merupakan suatu senyawa yang
mempunyai distribusi atau persebaran elektron tidak merata secara menyeluruh, dan
mempunyai konstanta dielektrik yang sangat tinggi, yaitu sebesar 78 (Saady et al., 2018).
Konstanta dielektrik atau dielectric constant menunjukkan besarnya kekuatan suatu
pelarut untuk dapat mengalami suatu polarisasi. Nilai dielectric constant tersebut
mempunyai besar yang berbanding lurus dengan tingkat kepolaran pelarut (Raju, 2017).
(Romzanah)
5.4.1 Pelarutan NaCl dengan HCl
Ketika NaCl dilarutkan dalam pelarut HCl, NaCl terionisasi menjadi ion-ionnya
yaitu Na+ dan Cl-. Karena NaCl bersifat polar, maka NaCl larut jika dilarutkan dalam
pelarut HCl yang juga bersifat polar. Ini sesuai dengan prinsip like dissolve like bahwa
suatu zat akan larut dengan cepat dalam pelarut dengan polaritasnya sama. Setelah
percobaan selesai, NaCl ditemukan larut dalam HCl, menghasilkan larutan jernih. Reaksi
berikut yang terjadi:
NaCl + H+ ↔ Na+ + HCl
(Alkan, 2016)
(Shallom Vicrencia Jelita)
5.4.2 Pelarutan CaCl2 dengan HCl
Ketika CaCl2 dilarutkan dalam pelarut HCl, CaCl2 terionisasi menjadi ion-ionnya,
Ca2+ dan Cl-. Karena polaritas CaCl2, CaCl2 juga larut ketika dilarutkan dalam pelarut HCl
polar. Ini sesuai dengan prinsip bahwa suatu zat larut dengan cepat dalam pelarut
dengan polaritas yang sama. Setelah percobaan selesai, ditemukan bahwa CaCl2
dilarutkan dalam HCl, menghasilkan larutan jernih. Reaksi berikut yang terjadi:
CaCl2 + 2H+ ↔ Ca2+ + 2HCl
(Alkan, 2016)
(Shallom Vicrencia Jelita)
5.4.3 Pelarutan NiCl2 dengan HCl
Ketika NiCl2 dilarutkan dalam pelarut HCl, NiCl2 terionisasi menjadi ion-
ionnya, Ni2+ dan Cl-. Karena NiCl2 bersifat polar, ia juga larut ketika dilarutkan
dalam pelarut HCl polar. Ini sesuai dengan prinsip bahwa suatu zat larut dengan
cepat dalam pelarut dengan polaritas yang sama. Ketika percobaan selesai,
ditemukan bahwa NiCl2 dilarutkan dalam HCl, menghasilkan larutan berwarna
hijau jernih. Warna hijau ini disebabkan oleh warna kristal NiCl2 yang juga
berwarna hijau. Reaksi berikut yang terjadi:
NiCl2 + 2H+ ↔ Ni2+ + 2HCl
(Alkan, 2016)
(Shallom Vicrencia Jelita)
5.5 Pelarut NH4OH
Pada percobaan ini memiliki tujuan yaitu untuk menentukan secara
kualitatif zat padat berupa NaCl, CaCl dan NiCl dalam pelarut NH4OH. NH4OH
2, 2

adalah suatu pelarut yang memiliki sifat semipolar. Senyawa semipolar sendiri
merupakan suatu senyawa yang mempunyai distribusi atau persebaran elektron
yang tidak merata secara parsial, dan mempunyai konstanta dielektrik yang tidak
tinggi dan tidak juga rendah, yaitu sebesar 22,0 (MULYANI, 2016). Konstanta
dielektrik atau dielectric constant menunjukkan besarnya kekuatan suatu pelarut
untuk dapat mengalami suatu polarisasi. Nilai dielectric constant tersebut
mempunyai besar yang berbanding lurus dengan tingkat kepolaran pelarut (Raju,
2017).
(Akbar Satrio Perdana)
5.5.1 Pelarutan NaCl dengan NH4OH
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelarutan NaCl di dalam
pelarut NH4OH. Mula - mula melakukan penyiapan NH4OH di dalam tabung reaksi.
Kemudian NaCl yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah
berisi NH4OH kemudian dilanjutkan dengan penggojogan. Penggojogan bertujuan untuk
mempercepat proses kelarutan NaCl. Setelah beberapa saat setelah penggojogan
kemudian pengamatan kelarutan NaCl pada NH4OH.
Setelah pengamatan, didapatkan NaCl dapat larut secara sempurna di dalam
pelarut NH4OH dan larutan tidak berwarna serta cenderung keruh. Hasil percobaan ini
sesuai dengan prinsip teori berdasarkan literatur yaitu prinsip like dissolve like dimana
suatu zat akan dapat larut pada pelarut yang memiliki sifat kepolaran yang sejenis
(Jamalzadeh, 2016). Pada percobaan NaCl bersifat polar cenderung dapat larut pada
senyawa atau pelarut NH4OH yang bersifat polar juga. Sehingga NH4OH dapat dikatakan
sebagai pelarut yang baik untuk senyawa yang ionik. Mekanisme reaksi pelarutan NaCl
pada NH4OH yaitu sebagai berikut:
NaCl(s) + NH4OH(aq) ⇌ NaOH(aq) + NH4Cl(aq)
(Alkan, 2016)
(Farida Isnaeni)
5.5.2 Pelarutan CaCl2 dengan NH4OH
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kelarutan CaCl2 di dalam pelarut
NH4OH. Mula - mula dalam percobaan ini menyiapkan NH4OH di dalam tabung reaksi.
Kemudian CaCl2 yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
sebelumnya sudah berisi NH4OH. Selanjutnya dilakukan penggojogan yang bertujuan
untuk mempercepat proses kelarutan CaCl2. Setelah beberapa saat setelah penggojogan
kemudian pengamatan kelarutan CaCl2 pada NH4OH.
Setelah pengamatan, didapatkan CaCl2 dapat larut secara sempurna di dalam
pelarut NH4OH dan larutan berwarna putih keruh. Hasil percobaan ini sesuai dengan
prinsip teori berdasarkan literatur yaitu prinsip like dissolve like dimana suatu zat akan
dapat larut pada pelarut yang memiliki sifat kepolaran yang sejenis (Jamalzadeh, 2016).
Pada percobaan CaCl2 yang bersifat ionik akan cenderung dapat larut pada senyawa atau
pelarut NH4OH yang bersifat polar juga. Sehingga NH4OH dapat dikatakan sebagai
pelarut yang baik untuk senyawa yang ionik. Mekanisme reaksi pelarutan CaCl2 pada
NH4OH yaitu sebagai berikut:
CaCl2 (s) + NH4OH(aq) ⇌ Ca(OH)2 (aq) + 2NH4Cl(aq)
(Alkan, 2016)
(Farida Isnaeni)
5.5.3 Pelarutan NiCl2 dengan NH4OH
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kelarutan NiCl2 di dalam pelarut
NH4OH. Mula - mula dalam percobaan ini menyiapkan NH4OH di dalam tabung reaksi.
Kemudian NiCl2 yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
sebelumnya sudah berisi NH4OH. Selanjutnya dilakukan penggojogan yang bertujuan
untuk mempercepat proses kelarutan NiCl2 . Setelah beberapa saat setelah penggojogan
kemudian pengamatan kelarutan NiCl2 pada NH4OH.
Setelah pengamatan, didapatkan NiCl2 yang bersifat polar dapat larut karena
solven NH4OH juga bersifat polar (like dissolve like). Selain itu karena NH4OH sebagai
solven yang baik untuk senyawa ionik seperti NiCl2 serta kereaktifannya terhadap garam
sehingga menjadikan NiCl2 dapat larut sempurna. Dengan pelarutan NH4OH
menghasilkan larutan berwarna biru. Hal ini karena ada pembentukan kompleks
[Ni(NH3)6]2+ yang berwarna biru pada larutan. Pada pelarutan NiCl2 terjadi proses
penggaraman kompleks. Senyawa kompleks merupakan senyawa yang ion atau
molekulnya dapat berikatan secara koordinasi dengan ion atau logam (Jamalzadeh,
2016). Terdapat orbital kosong di kulit d Ni, sehingga elektron pada ammonia akan diikat
dengan kovalen koordinasi. Berikut adalah hibridisasi Ni pada kompleks [Ni(NH3)6]2+:

Reaksi pembentukan kompleksnya adalah:


6NH4OH → 6NH4+ + 6OH-
Ni2+ + 6NH4+ + 6OH- → [Ni(NH3)6]2+ + 6H2O
(Alkan, 2016)
(Farida Isnaeni)
VI. PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Pada percobaan ini, hasil yang diperoleh adalah NaCl bisa larut sempurna
di dalam aquadest, asam klorida, dan juga ammonium hidroksida, NaCl ini bisa
larut sebagian dalam etanol, dan tidak bisa larut dalam kloroform. Untuk CaCl2
bisa larut sempurna pada semua pelarut kecuali pada kloroform. Untuk NiCl2 bisa
larut secara sempurna dalam semua pelarut. Sehingga pelarut yang paling ideal
digunakan adalah aquadest.
(Akbar Satrio Perdana)
6.2 Saran
6.2.1 Melakukan penggojogan dengan alat vortex sehingga hasil penggojogan yang
didapatkan lebih maksimal.
6.2.2 Penggunaan pelarut nonpolar seperti eter atau padatan yang bersifat nonpolar
seperti wax atau lilin dapat ditambahkan pada percobaan ini untuk melihat lebih
banyak variasi selain pelarutan senyawa ionik.
(Akbar Satrio Perdana)
PERCOBAAN VI
GARAM KOMPLEKS DAN GARAM RANGKAP

(Naomi Permata)

I. TUJUAN PERCOBAAN
1.1 Menentukan cara mensitesis garam rangkap tembaga (II) ammonium sulfat
dan garam kompleks tetramintembaga (II) sulfat monohidrat
1.2 Menentukan sifat-sifat garam hasil percobaan

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Senyawa kompleks
2.1.1 Pembentukan senyawa kompleks
Terdapat berbagai teori dalam formasi senyawa kompleks. Teori
pertama merupakan teori ikatan valensi dengan pernyataan berupa adanya
kesamaan dalam jumlah orbital pada atom pusat dengan jumlah ligan dengan
hasil berupa ikatan kovalen kompleks pada ion pusat dengan orbital logam
Terjadinya overlapping antara orbital ion pusat dengan ligan akan
menimbulkan kuatnya ikatan kovalen dan menimbulkan hibridisasi
formasiobitalbaru yang menunjukan karakteristik ruang senyawa kompleks.
Teori selanjutnya adalah teori medan kristal dengan pernyataan
berupa adanya interaksi logam-ligan yang berlaku pada tingkat yang berbeda
sehingga sebuah kompleks akan mengalami penstabilan dalam ion bebas
akibat adanya interaksi antara kation logam dengan anion ligan Medan listrik
pada logam menjadi faktor pengaruh dari penambahan energi orbital d dan
terpisah melalui energi yang tidak sama, dimana lima orbital d pada ion pusat
yang mengalami pemisahan memiliki sebutan sebagai medan kristal (Huheey,
dkk., 1993).
Teori terakhir adalah teori orbital molekul dengan pernyataan berupa
adanya penggabungan antara orbital ligan dengan orbital atom yang
menghasilkan orbital molekul melalui ikatan kovalen (Zumdahl dan Zumdahl,
2007).

2.1.2 pembuatan senyawa kompleks


Pembuatan senyawa kompleks dilakukan dengan melakukan
kristalisasi serta pengisolasian dengan baik agar dapat memberikan
hasil yang cukup banyak. Pengisolasian yang baik dapat dilakukan
dengan memerhatikan tahapan berupa diuapkannya pelarut dan dan
didinginkannya larutan yang pekat dalam campuran pendingin es
garam, ditambahkan perlakuan perupa pencampuran pelarut dan
pelarut semula,tanpa melibatkan zat terlarut, dilakukan pendinginan
dan penambahan kristal zat terlarut, serta dilakukan penambahan
anion ke dalam larutan sehingga terjadi formasiendapan jika kompleks
merupakan kation serta dapat dilakukan sebaliknya jika kompleks
merupakan anion (Sukardjo, 1992).

2.2 Garam rangkap dan garam kompleks


Garam rangkap memiliki definisi sebagai garam dengan komponen
penyusun berupa kation sejumlah dua yang berbeda serta anion dengan
kesamaan dalam kisi kristalnya. Umumnya garam rangkap memiliki kapabilitas
yang lebih tinggi untuk melakukan formasi kristal besar jika dilakukan
komparasi terhadap garam tunggal penyusuunya. Kation garam rangkap
sebagai penyusun garam rangkap merupakan sebuah kation logam transisi
yang melakukan penggabungan dengan kation logam alkali atau dengan ion
ammonium. Formasi garam rangkap terwujud melalui pengkristalan dua
garam yang memiliki karakteristik strukturnya masing-masing secara
bersamaan melalui perlakuan berupa perbandingan molekul tertentu.
Garam rangkap yang diletakan ke dalam larutan akan mengalami ionisasi
yang mengakibatkan garam berubah struktur menjadi ion-ion komponen
penyusunnya (Soraya,2014).
Garam kompleks secara sederhana didefinisikan sebagai garam dengan
komponen penyusunnya berupa ion-ion kompleks dimana sebutan lain dari
garam kompleks ialah senyawa koordinasi. Pelarutan garam kompleks akan
menghasilkan disosiasi yang menyebabkan pembentukan kesetimbangan
antara sisa kompleks yang masih terbentuk dengan hasil berupa munculnya
ion kompleks di dalam larutan (Harjadi, 1993).

2.3 Kompleks Warner dan kompleks karbonil


Teori Warner menjelaskan pembentukan senyawa kompleks dengan total
tiga aturan : Ion logam memiliki valensi utama serta valensi tambahan dengan
istilah valensi koordinasi dimana valensi tambahan memiliki keterkatikan
dengan biloks pada ion logam dan valensi utama memiliki keterkaitan dengan
aspek ion logam dalam keadaan oksidasinya, kondisi valensi utama dan valensi
tambahannya yang cenderung jenuh, serta kecenderungan arah pada valensi
koordinasi yang ke dalam ruangan dan melakukan pengelilingan pada pusat
ion logam (Sjahrul, 2010).

2.4 kompleks inert dan labil


Kestabilan kompleks dipengaruhi oleh karakteristik ion pusat dalam
aspek besar dan muatan ioonya, faktor distribusi muatan, faktor CSFE, serta
karateristik ligan berupa ukuran serta muatan ion, dimana sifat basa serta
faktor ruang dan lingkaran ikut memengaruhi. Kompleks yang memiliki
karakteristik stabil memiliki sebutan inert. Kompleks dapat memiliki kelabilan
sebagai karakterisasinya jika terjadi penggantian ligan secara cepat pada
kompleksnya.
Kompleks yang memiliki karakteristik inert akan memiliki waktu
penggantian ligan yang lebih lambat. Kelabilan kompleks ditentukan oleh
pengaruh dari beda energi senyawa dimana semakin besar energi, maka reaksi
akan berjalan lambat dan menyebabkan kompleks memiliki sifat inert,
Kelabilan suatu kompleks merupakan karakteristik kompleks dalam aspek
kinetik, sedangkan stabilitas tergolong ke dalam karakteristik termodinamik
kompleks (Sukardjo, 1992).

(Arwinda Saniya)
2.5 Stabilitas kompleks dan faktor yang mempengaruhi
Senyawa kompleks dapat digolongkan menjadi kompleks stabil dan
kompleks tidak stabil. Kompleks stabil berarti kompleks yang memiliki
kemampuan yang besar untuk tetap mempertahankan identitasnya dalam
suatu larutan, sementara kompleks yang tidak stabil akan mudah terurai dalam
larutan . Berikut adalah reaksi setimbang dalam larutan:

aA + bB ⇌ cC + dD

dengan besar konstanta kestabilan Kc :

𝑎𝐶 𝑐 ×𝑎𝐷 𝑑
Kc = 𝑎𝐴𝑎 ×𝑎𝐵𝑏 , a adalah aktivitas

Apabila reaksi di atas digunakkan juga pada pembentukan senyawa


kompleks, maka konstanta kestabilan yang diperoleh atau terjadi bisa disebut
sebagai konstanta kestabilan kompleks. Konstanta disosiasi (Kdis) atau
konstanta ketidakstabilan, semakin besar harga Kdis maka kompleks makin
kurang stabil dan makin lemah, menyebabkan kompleks mudah terpecah
menjadi komponen penyusunnya (Sukardjo, 1992).
Berikut adalah beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi
stabilitas ion kompleks:

1. Pengaruh Ion Pusat

a. Besar dan muatan dari ion mempengaruhi


ion kompleks akan menstabilkan saat jari jari kecil dan
muuatannya besar
b. Energi penstabilan medan ligan (CFSE),
makin besar harga CFSE maka harga K kompleks juga akan makin
besar
c. Polarisabilitas, ion logam pada Kelas A (asam keras)
Unsur yang mempunyai muatan besar dan jari jari kecil akan
membentuk kompleks stabil apabila ligannya berasa dari basa
keras.
d. Faktor distribusi muatan.
Kestabilan ion konpleks bertambah dengan adanya ikatan γ
disamping ikatan π antara logam dan ligan. Kemudian, kompleks
paling stabil dibentuk oleh logam yang elektronegatif yang
dapat menerima electron d dari logam apabila berikatan dengan
ligan.
2. Pengaruh Ligan

a. Faktor ruang
Karena pengaruh ruang, maka ligan yang banyak cabangnya
lebih tidak stabil isbanding ligan-ligan yang sederhana.
b. Faktor pembentukan khelat
ligan polidentat akan membentuk kompleks yang lebih stabil
dibanding monodentate asal tidak terlalu besar ligan
polidentatnya
c. Besar dan muatan ion
Makin besar muatan ligan dan makin kecil jari-jarinya, maka
semakin stabil kompleks yang terbentuk.
d. Sifat basa
Makin besar sifat basa, maka kompleks yang terbentuk akan
makin stabil apabila berikatan dengan logam kelas A

(Petrucci dkk., 2002)

2.6 Reaksi ion tembaga

Tembaga merupakan unsur logam dengan nomor atom 29 dengan


simbol Cu yang berwarna merah muda dan lunak. Ketika larutan tembaga
(II) sulfat ditambah dengan larutan ammonia akan terbentuk endapan
biru yang merupakan garam basa (tembaga sulfat basa). Selanjuntya
ketika ditambah reagensia secara berlebih maka akan larut akibat
terbentuknya ion kompleks tetraaminokuprat (II) yang menyebabkan
warna larutan berwarna biru tua. Reaksi:

2Cu2+ + SO42- + 2NH3 + 2H2O → Cu(OH)2.CuSO4 ↓ + 2NH4+

Dan ketika ditambah reagensia berlebihan :

Cu(OH)2.CuSO4 + 8NH3 → 2[Cu(NH3)4]2+ + SO42- + 2OH-

(Svehla, 1990)

2.7 Hibridisasi pada ion [Cu(NH3)4]2+


Pada hibridisasi ion [Cu(NH3)4]2+ ,yang mempunyai peran sebagai ion
logam pusat adalah Cu2+ dan ligannya adalah NH3. Sedangkan, bilangan
koordinasinya adalah 4. Proses hibridisasinya adalah sebagai berikut:

29Cu = [Ar] 3d10 4s1

3d 4s 4p
1. Ionisasi

Cu2+ = [Ar] 3d9 4s0

3d 4s 4p 4d

2. Promosi

3d s p3 4d

3. Hibridisasi

NH3=
SO2 H2O

3d s p3 4d

Hibridisasi Ulang

3d sp3d2 4d
3 2
Hibridisasi sp d yang terbentuk memiliki geometri berbentuk
octahedral.
(Sukardjo,1992)

2.8 larutan akuo


Larutan akuo merupakan sebuah larutan yang pada senyawanya
mengandung molekul H2O dan merupakan zat yang pelarutnya berupa air atau
larut dalam air. Ion aquo merupakan larutan air yang berbentuk kompleks
dengan bentuk stoikiometri pada umumnya yaitu [M(H2O)n]z+. Larutan akuo
merupakan gabungan dari asam klorida dan asam nitrat degan perbandingan
3:1(Chang, 2005).
(Salwa Khamila Cahya)
2.9 Kristalisasi dan Rekristalisasi
Kristalisasi adalah sebuah metode untuk memurnikan dan mengambil
hasil dalam wujud solid. Kristalisasi berguna agar diperoleh produk dengan
kemurnian dan tingkat yield yang tinggi. Kelebihan daalam aspek keperluan
energi, yaitu hanya diperlukan lebih sedikit energi saat kristalisasi
dibandingkan dengan proses pemisahan lainnya. (Fachry et al., 2008).
Rekristaisasi adalah teknik untuk memurnikan zat solid dari
pencemar/pengotornya menggunakan metode membuat zat tersebut kembali
menjadi mengkristal setelah mengalami pelarutan dengan solven yang cocok.
Rekristalisasi mempunyai prinsip dimana kelarutan zat atau
pencemar/pengotor memiliki perbedaan dengan kelarutan zat yang ingin
dibuat murni (Agustina et al., 2013).

2.10 Analisa bahan

2.10.1. Natrіum Sulfat Anhіԁrat


• Sіfat fіsіk :
Bеrbеntuk krіstal rοmbіk, tіԁak bеrwarna, tіtіk lеlеh 888oC, dan
memiliki bеrat mοlеkul 142,05 g/mοl
• Sіfat kіmіa :
Muԁah larut ԁalam aіr ԁan hіgrοskοpіs serta bеrsіfat mеastabіl
(Rіcharԁ J.L, 1987)
2.10.2. Larutan Iοԁіum ԁalam KI
• Sіfat fіsіk :
Bеrbеntuk caіr
Berat Molekul: 166 g/mol
Warnanya keunguan

• Sіfat kіmіa :
Larutan іοԁіum ԁіԁalam KІ paԁa suasana nеtral ataupun basa
ԁіtіttrasі maka rеaksіnуa aԁalah sеbagaі bеrіkut:
І3- +2S2Ο3 2- > 3І- + S4Ο6 2-
(Harjaԁі, 2000)
2.10.3. Larutan HCl еncеr
• Sіfat fіsіk :
Bеrbеntuk caіran, tіԁak bеrwarna, memiliki tіtіk ԁіԁіh sebesar -
85°C, berat molekul: 36,5 g/mol
• Sіfat kіmіa :
Muԁah larut ԁalam aіr dan bеrsіfat asam kuat.
(Pеrrу, R.H., 1999)
2.10.4. Sеrbuk bеlеrang
• Sіfat fіsіk :
Bеrbеntuk krіstal, bеrwarna kunіng, memiliki tіtіk lеbur sebesar
388.36 K
• Sіfat kіmіa :
Bеlеrang bеrеaksі lеbіh kuat ԁеngan lοgam, dan bеlеrang mampu
bеrеaksі ԁеngan οksіgеn mеmbеntuk οksіԁa gas
(Pеrrу, 2008)
2.10.5. Natrіum Sulfat
• Sіfat fіsіk :
0
Tіtіk lеlеh 500 C, bеrwarna putіh, dan bеrbеntuk krіstal
• Sіfat kіmіa :
Rеaktіfіtas Na2SΟ4 cukup rеnԁah paԁa suhu kamar ԁan sеbalіknуa
sangat rеaktіf paԁa suhu tіnggі dan krіstal Na2SΟ4 pеka tеrhaԁap
bеsі, sеnуawa bеsі ԁan bеbеrapa sеnуawa οrganіk.
(Pеrrу, 2008)
2.10.6. Barіum Klοrіԁa
• Sіfat fіsіk :
Bеrat mοlеkul 169,393 g/mοl, bеrbеntuk bubuk, bеrwarna
putіh, dan tіtіk lеlеh 1200oC
(Pеrrу 8th :1999)
• Sіfat kіmіa :
Jіka bеrеaksі ԁеngan CΟ2 ԁan H2Ο akan mеnghasіlkan BaCΟ3 dan
jіka bеrеaksі ԁеngan sοԁa ash akan mеnghasіlkan BaCΟ3.
(Pеrrу, R.H., 1999)
(Salwa Khamila Cahya)
III. METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat

• Nеraca Analіtіs
• Satu Sеt Alat Rеfluks
• 5 Buah Tabung Rеaksі
• 1 Sеt Tіmbangan
• 1 Buah Pеngaԁuk
• 1 Sеt Pеmbakar Spіrіtus
• 1 Buah Cawan Pеnguapan

3.2 Bahan

• Natrіum Sulfіt Anhіԁrat


• Larutan Іοԁіum Ԁalam Kalіum Іοԁіԁе
• Larutan Asam Klοrіԁa Еncеr
• Sеrbuk Bеlеrang
• Natrіum Sulfat
• Barіum Klοrіԁa
(Afrilla Afrocha)
3.3 Skema Kerja
3.3.1 Pembuatan Garam Rangkap Kupri Ammonium Sulfat
CuSO4(NH4)2SO4.6H2O

0,02 mol CuSO4. 5H2O 5 g + 2,6 g ammonium sulfat (NH4)2SO4 dalam 10


ml akuades
Gelas beker
‒ Pendinginan dengan suhu ruang
‒ Pendinginan dengan penangas air
‒ Pendekantasian
‒ Pengeringan kristal
‒ Penimbangan kristal
‒ Pencatatan jumlah mol kristal
‒ Perhitungan hasil rendemen

Hasil

3.3.2 Pembuatan Garam Tetraamintembaga(II) Sulfat Monohidrat


Cu(NH3)4SO4(H2O)

8 ml larutan ammonia 15 M

Cawan penguapan

- Pengenceran dengan 5 ml akuades


Penimbanagan 0,02 mol CuSO4.5H2O

- Pembubuhan dalam larutan ammonia


- Pengadukan secara sempurna
- Pembubuhan etanol pada dinding gelas beker
- Tanpa pengadukan dan penggoyangan
- Penutupan dengan gelas arloji

Pendiaman semalaman
Pendiaman semalaman

- Pengadukan perlahan
- Pemisahan kristal dengan pendekantasian
- Penapisan kristal dengan kertas saring
- Pembilasan dengan campuran ammonia dan etanol
(1:1) yaitu 3-5 tetes
- Pembilasan dengan 5 ml etil alkohol
- Penyaringan dengan pompa vakum
- Penimbangan kristal
- Perhitungan mol

Hasil

3.3.3 . Uji Garam Tunggal

Percobaan I

Garam CuSO4.5H2O

Tabung reaksi

- Penambahan 2-3 ml akuades


- Penambahan NH3 hingga 5 mL tanpa

pengadukan

Hasil

Percobaan II

Garam CuSO4.5H2O

Tabung reaksi

- Penambahan 2-3 ml akuades


- Penambahan NH3 hingga 5 Ml

- Pengadukan

Hasil
(Sarifatul Fatimah)

IV. DATA PENGAMATAN

No Perlakuan Hasil
1. Pembuatan garam rangkap
CuSO4(NH4)2SO4.6H2O :
5 g CuSO4.5H2O + 2,6 g
(NH4)SO4
Penambahan 10 ml aquades
Pemanasan hingga larut sempurna Larutan biru muda
Pendinginan pada suhu ruang dan Larutan biru muda yang
dingin pendiaman selama semalam mengendap dan mengeras

Dekantir
Penyaringan dengan kertas saring Residu berupa endapan
berwarna biru muda
CuSO4(NH4)2SO4.6H2O
Filtrat berupa larutan
berwarna biru muda dan tidak
dipakai
Pengeringan Hasil kristal berwarna biru
muda. Pada suhu ruang
kristal berukuran kecil dan
kuat.
Pada suhu dingin kristal
berukuran besar dan rapuh
Penimbangan Massa kristal + kertas saring
= 9 gram
m kertas saring = 2,5 gram
m kristal = 6,5 gram
2. Pembuatan garam kompleks
Cu(NH3)4SO4(H2O) :
8 ml larutan ammonia 15 M + 0,02
g CuSO4.5H2O
Pengenceran dengan aquades 15 Larutan biru tua
ml
Pencampuran
Pengadukan sampai larut sempurna Larutan biru tua yang
Penambahan 8 ml etanol mengendap dan mengeras
Penutupan dengan kaca arloji
Pendiaman selama semalam

Pengadukan
Dekantir
Penyaringan dengan kertas saring Residu berupa endapan biru
tua
Cu(NH3)4SO4(H2O)
Filtrate berupa larutan biru
tua dan tidak dipakai
Pembilasan dengan 3-5 ml NH3
dan 3-5 ml etanol
Pencucian dengan 5 ml etil alcohol
Penyaringan dengan pompa vakum Hasil kristal serbuk berwarna
biru tua
Pengeringan

Penimbangan kristal Massa kristal + kertas saring


= 6 gram
m kertas saring = 2,5 gram
m kristal = 3,5 gram
3. Uji garam tunggal

Tabung I
Kristal CuSO4 secukupnya Terdapat 4 lapisan, yaitu :
Penambahan 2-3 ml aquades Lapisan I (paling atas) :
Penambahan tetes demi tetes NH3 warna biru jernih (aquades)
Tanpa pengadukan Lapisan II : warna biru tua,
Pengamatan perubahan yang terjadi lapisan antara dari kompleks
dengan aquades
Lapisan III : kompleks
tetraamin tembaga (II) sulfat
monohidrat berwarna biru
Lapisan IV (paling bawah) :
endapan ammonium sulfat
berwarna biru tua.

Tabung II
Kristal CuSO4 secukupnya + Kristal CuSO4 larut
penambahan 2-3 ml aquades
Pengadukan Larutan biru pekat
Pengamatan perubahan yang
terjadi

Kristal CuSO4 secukupnya + 20 ml Kristal larut, larutan


aquades berwarna biru pudar
Kristal CuSO4 secukupnya +
pemanasan
Pengadukan Meleleh, tidak ada bau,
Pengamatan perubahan yang warna biru muda
terjadi
(Nadilah Rahma Putri)
V. HIPOTESIS
Percobaan VI yang berjudul “Garam Kompleks dan Garam Rangkap”
memiliki tujuan menentukan cara mensintesis garam rangkap tembaga (II)
ammonium sulfat dan garam kompleks tetraamintembaga (II) sulfat monohidrat
dan menentukan sifat-sifat garam hasil yang telah di sintesis. Metode percobaan
kali ini menggunakan metode kristalisasi dan rekristalisasi. Percobaan ini berdasar
pada prinsip sintesis garam rangkap dan garam kompleks. Hipotesis yang
diperkirakan untuk percobaan ini adalah hasil pada garam tunggal membentuk
empat lapisan yang pada tiap lapisannya memiliki warna berbeda-beda. Warna
yang muncul yaitu lapisan paling atas biru jernih, lapisan kedua biru tua, lapisan
ketiga berwarna biru, lapisan keempat berwarna biru tua dengan muncul
endapan. Lalu pada proses pemanasan pemanasan akan menimbulkan bau yang
tidak sedap karena adanya ammonia dalam proses pemanasan tersebut.
VI. PEMBAHASAN
Telah dilakukan percobaan VI yang berjudul “Garam Kompleks dan Garam
Rangkap”. Tujuan dari percobaan ini yaitu menentukan cara mensintesis garam
rangkap tembaga (II) ammonium sulfat dan garam kompleks tetraamintembaga (II)
sulfat monohidrat dan menentukan sifat-sifat garam hasil yang telah di sintesis.
Percobaan ini berdasar pada prinsip sintesis garam rangkap dan garam kompleks.
Metode percobaan kali ini menggunakan metode kristalisasi dan rekristalisasi.
Kristalisasi yaitu metode untuk memurnikan dan mengambil hasil dalam wujud
solid dengan kemurnian dan tingkat yield yang tinggi (Fachry et al., 2008).
Rekristaisasi yaitu teknik memurnikan zat solid dari pengotornya dengan metode
membuat zat tersebut kembali menjadi mengkristal setelah mengalami pelarutan
dengan solven yang cocok (Agustina et al., 2013).

(Nadia Fauziah Hakim)


6.1 Pembuatan Garam Rangkap Kupri Ammonium Sulfat CuSO4(NH4)2SO4.6H2O
Percobaan ini ditujukan untuk mengetahui sifat-sifat dari rangkap
tembaga (ІІ) AmmοnіumxSulfat CuSΟ4(NH4)2SΟ4.6H2Ο. Pеrcοbaan іnі
berprinsip pada pеngkrіstalalisasi garam yang dilakukan paԁa suhuxkamar
(40 C
ͦ ) dalam rentang waktu 24 jam. Langkah pertama percobaan adalah
mencampurkan krіstal padatan CuSΟ4.5H2Ο ԁеngan krіstal padatan
(NH4)2SΟ4 dan kemudian ԁіtambah H2Ο. Pencampuran ini diikuti dengan
proses pemanasan untuk mempercepat kristal larut dan menjadi homogen
bersama larutan. Hal ini dapat terjadi karena kelarutan sebanding dengan
suhu, yang mana semakin tinggi suhu makan kelarutan pada suatu zat akan
semakin besar begitu pula sebaliknya. Dari pencampuran ketiga senyawa
tersebut, reaksi menghasilkan garam rangkap tеmbaga (ІІ) ammοnіum sulfat.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :

CuSO4.5H2O(s) + (NH4)2SO4(s) + H2O(l) → CuSO4(NH4)2SO4.6H2O(aq)


Biru putih ↑ biru muda
(Shevla, 1985)
Ditambahkannya (NH4)2SΟ4 dalam percobaan ini dimaksudkan
sebagai pengganti ligan dari H2O. Pengantian ligan dapat terjadi karena
kekuatan ligan yang dimiliki oleh NH3 lebih kuat dibandingkan H2O sehingga
dapat mendesak ligan akuo dalam senyawanya. Dapat dilihat dari literatir,
bahwa urutan kekuatanxligan NH3 di sebelah kiri H2O. Urutanxkekuatan ligan
adalah sebagai berikut :
CN- > NΟ2-> NH3> еn > pу ≈ NH3> SCN-> H2Ο > ΟH-> F-> Cl-> Br- > І-
(Petrucci, 1987)
Setelah semua garamxterlarut atau larutan sesudah homogen
sempurna, proses dilanjutkan dengan pendinginanx 40oC yang mana adalah
suhu kamar. Pendinginan ini dilakukan untuk menjadikan garam menjadi
kristal dengan ukuran yang diperoleh adalahxbesar. Walaupun kristal yang
diperoleh besar, tetapi kristal ini rapuh dan berjumlah sedikit. Berbeda jika
dilakukan pada suhu yang rendah, kristal akan bersifat kecil, kuat, dan
banyak. Hal ini karena pada pendinginan pada garam rangkap ini
pertumbuhan kristal lebih tinggi daripada pembentukan inti.
Kemudian dilakukan tahap filterisasi untuk memisahkan residu
(kristal) dari filtrat (larutan) kristal yang diperoleh akan dikeringkan tanpa
adanya sinarxmatahari secara langsung. Pengeringan bertujuan untuk
menghilangkan sisaxair yang berada di dalam kristal. Hasil yang didapatkan
adalah kristal CuSΟ4(NH4)2SΟ4.6H2Ο dengan berat 6,5 gram dengan
presentasexrendemen sebesar 81%.
(Sarifatul Fatimah)
6.2 Pembuatan Garam Kompleks
Percobaan ini bertujuan untuk mensintesis garam kompleks
Cu(NH3)4SO4(H2O) dengan metode yang digunakan yaitu kristalisasi dan
rekristalisasi dengan prinsip pembentukan garam kompleks. Percobaan ini
diawali dengan melarutkan serbuk tembaga (II) sulfat 5-hidrat dala air suling
dengan stirrer untuk mempermudah proses pencampurannya. Serbuk
tembaga (II) berperan sebagai sumber atom pusat dan terbentuk larutan
berwarna biru.
CuSO4.5H2O(aq) + 4NH3(aq) + H2O(l) → Cu(NH3)4SO4.5H2O↓(s) + 5H2O
Serbuk biru Endapan biru tua
(Svehla, 1990)
Setelah itu, tambahkan ammonia kedalamnya yang berfungsi sebagai
pembuat suasana basa pada larutan dan sebagai pengganti ligan SO42- pada
CuSO4.5H2O karena ligan NH3 yang lebih kuat dari ligan SO42- sesuai dengan
deret kekuatan yang telah ditunjukkan sebelumnya. Pembentukan ion
kompleks [Cu(NH3)4]2+ hanya dapat terjadi dalam suasana basa. Jika
penambahan ammonianya sedikit, maka reaksi yang terjadi adalah sebagai
berikut :
2Cu2+ + SO42- + 2NH3 + 2H2O → Cu(OH)2.CuSO4↓ + 2NH4+ (biru)
(Svehla, 1990)
Endapan biru yang terbentuk disebabkan oleh tembaga hidroksida
yang tidak larut dalam air suling. Jika ditambahkan dengan ammonia berlebih
maka akan larut dan menghasilkan larutan kompleks berwarna biru tua.
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
Cu(OH)2.CuSO4 + 8NH3 → 2[Cu(NH3)4]2+ + SO42- + 2OH-
(Svehla, 1990)
Berdasarkan senyawa yang dihasilkan tersebut, Cu2+ berperan sebagai
atom pusat dan NH3 sebagai ligan. NH3 mempunyai pasangan elektron bebas
yang dapat diberikan atau dipakai bersama dengan Cu2+ sehingga berperan
sebagai ligan. Ligan SO42- dapat digantikan oleh NH3. Hal ini terjadi karena
kekuatan ligan NH3 yang lebih besar sehingga bisa menggantikan posisi ligan
SO42- yang kekuatannya lebih rendah. PEB dari NH3 ini akan mengisi orbital d
yang kosong pada Cu2+ yang berperan sebagai atom pusat. Hibridisasi
pembentukan kompleksnya adalah sebagai berikut :
29Cu = 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 4s1 3d10

Cu2+ = 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 4s0 3d9

29Cu = [Ar] 3d10 4s1

↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑

3d 4s 4p
1. Ionisasi
Cu2+ = [Ar] 3d9 4s0

↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑

3d 4s 4p 4d
2. Promosi

↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑

3d sp3 4d
3. Hibridisasi
NH3
SO2 H2O

↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑

3d sp3 4d
Hibridisasi Ulang

↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓

3d sp3d2 4d

(Oktahedral)
(Sukardjo, 1985)
Berdasarkan ilustrasi yang ada, diketahui bahwa kompleks yang
terbentuk memiliki hibridisasi sp3d2 yang mengakibatkan bentuk
geometrinya octahedral. Saat dalam keadaan larutan bentuk geometrinya
oktahedral yang mempunyai 2 ligan H2O dan 4 ligan NH3. Dalam larutan
molekul H2O banyak. Ketika bentuknya menjadi padatan atau serbuk, zat H2O
nya akan berkurang, satu ikatan H2O dari struktur akan putus sehingga
bentuk geometrinya berubah menjadi persegi pyramidal karena adanya
molekul H2O yang hilang.
Setelah itu, larutan kompleks yang ada ditambahkan etanol yang
berfungsi untuk melapisi ammonia agar tidak mudah menguap sehingga
mampu menjaga kompleks dengan mengalirkannya secara perlahan melalui
dinding beker. Selain itu, etanol juga berfungsi untuk mengikat pengotor
yang bersifat polar karena etanol memiliki sifat semipolar tapi cenderung
polar. Etanol dapat digantikan dengan pelarut lain yang mempunyai sifat
sama seperti methanol maupun aseton. Setelah itu, dilakukan pendinginan
larutan pada temperature ruang dengan ditutup menggunakan gelas arloji.
Penutupan bertujuan untuk mencegah menguapnya ammonia dan
menghalang masuknya material yang tidak diinginkan.
Pada proses ini dihasilkan endapan berwarna biru tua yang kemudian
dilakukan filtrasi untuk menghilangkan filtrate yang masih tercampur dengan
kristal menggunakan filtrate hisap, dimana proses ini menghasilkan kristal
berwarna biru.
Kristal ini kemudian dicuci menggunakan campuran etanol dengan
ammonia 1:1 untuk menghilangkan zat pengotor polar seperti etanol,
ammonia, dan air suling, yang mana menghasilkan kristal biru yang bersifat
basa. Pencucian ini didasarkan pada prinsip like dissolve like yang mana
pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, begitupun sebaliknya.
Setelah itu, dilakukan penyaringan menggunakan pompa vakum yang
bertujuan untuk menghilangkan filtrate pencuci yang telah digunakan
sebelumnya sehingga kristal lebih murni. Lalu, dilakukan pengeringan
dengan waktu yang singkat untuk memperoleh kristal yang kering.
Pengeringan yang singkat ini bertujuan untuk meminimalisir penguapan
ammonia pada kristal yang bersifat mudah menguap.
Pada proses ini diperoleh kristal berwarna biru tua Cu(NH3)SO4.H2O
yang merupakan garam kompleks dengan bentuk kristal yang lebih kecil serta
strukturnya yang lebih halus dibandingkan dengan garam rangkap. Setelah
penimbangan, diperoleh berat kristal garam rangkap sebesar 3,9 gram
dengan rendemen presentase sebesar 89,74%.

(Wildan Akbar Firdausi)


6.3 Perbandingan Beberapa Sifat Garam Tunggal, Garam Rangkap, dan Garam
Kompleks
Pada percobaan ini telah dilakukan perbandingan beberapa sifat
garam tunggal, garam rangkap, dan garam kompleks yang memiliki tujuan
untuk melakukan perbandingan dan mengetahui sifat garam tunggal
(CuSO4.5H2O), garam rangkap CuSO4(NH4)2SO4.6H2O, dan garam kompleks
dari hasil sintesis. Perbandingan sendiri dilakukan dengan melihat sifat fisik
dan kimianya.
a. Uji Sifat Fisik Garam Tunggal CuSO4.5H2O
Untuk uji fisik sifat garam tunggal CuSO4.5H2O pada percobaan ini telah
dilakukan dua hal untuk menguji sifat fisik garam, yang pertama yaitu
dilakukan penambahan 3 mL H2O dan yang kedua, yaitu dilakukan
penambahan NH3 sehingga volume 5 mL. Dua penambahan dilakukan
dengan disertai pengadukan hingga larutan menjadi berwarna biru tua
berupa lapisan. Lapisan yang terbentuk sendiri berupa satu lapis. Hasil
kompleks yang yang mungkin didapat, yaitu [Cu(NH3)4SO4]-. Sedangkan untuk
perlakuan kedua, yaitu dilakukan penambahan H2O sebanyak 3 mL dan NH3
hingga volume menjadi 5 mL pada garam CuSO4.5H2O. Setelah dilakukan
penambahan ini larutan tidak dilakukan pengocokkan dan pengadukan.
Setelah dilakukan penambahan ini maka didapatkan 5 lapisan pada larutan,
di mana lapisan paling atas, yaitu berupa lapisan dengan warna biru muda
yang berupa akuades, untuk lapisan kedua sendiri, berupa warna biru tua
(kompleks [Cu(NH3)SO4.H2O], untuk lapisan ketiga berupa suatu endapan
putih (garam (NH4)2SO4, untuk lapisan keempat berupa hijau bening, dan
untuk lapisan kelima berupa endapan CuSO4.5H2O dengan warna biru tua.
Hasil 5 lapisan ini sendiri menandakan adanya perbedaan massa jenis, yaitu
5H2O < [Cu(NH3)4SO4H2O] < (NH4)2SO4 < CuSO4.5H2O.

b. Uji Sifat Kimia Pelarutan (Hidrolisis) dengan H2O


Pada percobaan ini dilakukan uji sifat kimia pelarutan (hidrolisis) dengan
H2O terhadap rangkap dan garam kompleks. Pada kedua garam sendiri
memiliki hasil produk yang berbeda setelah dilakukan perlakuan. Untuk
garam rangkap, ketika dilakukan hidrolisis akan mengalami penguraian
menjadi suatu garam-garam penyusun. Sedangkan untuk garam kompleks
ketika dilakukan hidrolisis maka akan mengalami ionisasi. Berikut merupakan
reaksi yang terjadi:
1. Hidrolisis Garam Rangkap

CuSO4(NH4)2SO4.6H2O(s) + H2O(l) → CuSO4.5H2O(aq) + (NH4)2SO4(aq) + 2H2O(l)

(Vogel, 1985)

2. Hidrolisis Garam Kompleks

Cu(NH3)4SO4.H2O(s) + H2O(l) → Cu2+(aq) + SO42-(aq) + 4NH3(aq) + 2H2O(l)

(Vogel, 1985)

Dalam percobaan ini garam rangkap dan kompleks dilakukan


pelarutan pada 5 mL dan 20 mL. Pada garam rangkap sendiri didapatkan
larutan dengan warna biru muda dan endapan garamnya sendiri memiliki
sifat larut (ketika dilakukan pelarutan pada 5 mL akuades). Selain itu
didapatkan larutan dengan warna biru muda lebih bening ketika dilakukan
pelarutran garam rangkap pada akuades 20 mL (dalam artian lebih encer).

Sedangkan untuk garam kompleks ketika dilakukan pelarutan pada 5


mL akuades didapatkan suatu larutan dengan warna biru tua dan tidak larut
untuk garamnya. Ketika dilakukan pelarutan pada 20 mL akuades maka
didapatkan larutan dengan warna biru dan garamnya memiliki sifat tidak
larut. Garam tersebut mengalami pengendapan dengan warna biru pada
dasar tabung reaksi.

3. Uji Sifat Kimia (Pemanasan)

Pada percobaan ini dilakukan uji sifat kimia pada hasil produk berupa
garam dengan metode dilakukan pemanasan. Untuk garam rangkap setelah
dilakukan pemanasan maka didapatkan hasil berupa hilangnya endapan
warna biru tua dan dihasilkan bau yang tidak menyengat.
Sedangkan untuk garam kompleks, setelah dilakukan proses pemanasan
maka didapatkan hasil berupa suatu endapan dengan warna biru tua dan
dihasilkan bau amonia. Hasil bau didapatkan dari adanya penguapan NH3
dalam proses pemanasan.

Berikut merupakan reaksi yang terjadi:

2Cu(NH3)4SO4.H2O(aq) → ↑ 8NH3(g) + 2CuSO4.5H2O(s)

(Vogel, 1985)
(Nadilah Rahma Putri)
VII. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
7.1.1 Garam rangkap CuSO4(NH4)2SO4.5H2O diperoleh dengan
mereaksikan CuSO4.5H2O dengan (NH4)2SO4. Lalu hasilnya terbentuk
larutan biru muda tak berbau yang merupakan garam
CuSO4(NH4)2SO4.5H2O. massa kristal yang terbentuk yaitu 6,5 gr
dengan rendemen prosentasenya ialah 81%.
7.1.2 Garam kompleks Cu(NH3)4SO4(H2O) didapatkan dengan mereaksikan
CuSO4.5H2O dengan NH3 lalu hasilnya terbentuk larutan berwarna
biru tua dan saat dilelehkan dan dipanaskan menghasilkan bau
ammonia. Massa keistal yang terbentuk yaitu 3,5 gr dengan
rendemen prosentase 89,74%.
7.1.3 Garam tunggal diperoleh dengan melakukan reaksi pada dua tabung
reaksi, pada tabung reaksi pertama terbentuk 4 lapisan yaitu lapisan
pertama berwarna biru muda (H2O), lapisan kedua berwarna biru tua
(Cu(NH3)4)SO4·H2O, lapisan ketiga adanya endapan berwarna putih
(garam (NH4)2SO4), lapisan ke empat sendiri warnanya biru tua yakni
CuSO4.5H2O. Lalu untuk tabung kedua didapatkan hasil kristal CuSO4
yang larut berwarna biru pekat.
7.2 Saran
7.2.1 Praktikan memastikan filtrat dan residu terpisah dengan baik agar
tidak mempengaruhi hasil akhir perhitungan.
7.2.2 Penggunaan ligan bisa divariasikan selain NH3 karena ligan ini
menghasilkan bau tidak sedap.
LAMPIRAN PERHITUNGAN

1. Garam Rangkap
Diketahui :
m kertas saring = 2,5 gram
m CuSO4.5H2O = 5 gram
m (NH4)2SO4 = 2,6 gram
BM CuSO4.5H2O =249,5 g/mol
BM (NH4)2SO4 = 132 g/mol
Rendeman nyata = 6,5 gram

Mol CuSO4.5H2O = 5 gram = 0,02 mol


249,5 g/mol
Mol (NH4)2SO4 = 2,6 gram = 0,02 mol
132 g/mol

Reaksi kimia yang terjadi :


CuSO4.5H2O + (NH4)2SO4 + H2O → CuSO4(NH4)2SO4.6H2O
Mula-mula : 0,02 mol 0,02 mol - -
Setimbang : 0,02 mol 0,02 mol 0,02 mol 0,02 mol
Sisa : - - 0,02 mol 0,02 mol

Mol CuSO4(NH4)2SO4.6H2O = 0,02 mol


BM CuSO4(NH4)2SO4.6H2O = 399,5 g/mol
Massa CuSO4(NH4)2SO4.6H2O = (mol x BM) CuSO4(NH4)2SO4.6H2O
= 7,99 gram
Rendemen Prosentase = Rendemen nyata x 100 %
Rendemen teoritis
= 6,5 gram x 100 %
7,99 gram

= 81%

Jadi, hasil rendemen prosentase garam rangkap sebesar 81%


2. Garam Kompleks

Diketahui :
m kertas saring = 2,5 gram
m CuSO4.5H2O = 5 gram
V NH3 = 8 mL
BM CuSO4.5H2O = 249,5 g/mol
M NH3 = 15 M
BM NH3 = 17 g/mol
Rendeman nyata = 3,5 gram

Mol CuSO4.5H2O = 5 gram = 0,02 mol


249,5 g/mol
M = gram x 1000
Mr p
15 M = massa x 1000
17 g/mol 8 mL

massa NH3 = 2,04 gram

mol NH3 = m = 2,04 g = 0,12 mol


BM 17 g/mol
Reaksi Kimia :
H2O + CuSO4.5H2O + 4NH3 → Cu(NH3)SO4.H2O + 5H2O
Mula-mula : 0,02 mol 0,12 mol - -
Setimbang : 0,02 mol 0,08 mol 0,02 mol 0,02 mol
Sisa : -
m Cu(NH3)4SO4.H2O = (mol x BM) Cu(NH3)4SO4.H2O
= 0,02 mol x 195g/mol
= 3,9 gram
Rendemen prosentase = Rendemen nyata x 100%
Rendemen teoritis
= 3,5 gram x 100%
3,9 gram
= 89,74%

Jadi, rendemen prosentase garam kompleks sebesar 89,74%


PERCOBAAN 7
PEMBUATAN CIS DAN TRANS-KALIUM
DIOKSALATODIAKUOKROMAT (III)

I. Tujuan Percobaan
Mempelajari pembuatan dan sifat-sifat isomer cis dan trans dari garam
kompleks kalium dioksalatodiakuokromat(III).

II. Tinjauan Pustaka


2.1. Ion kompleks
Ion kompleks adalah ion hasil gabungan dari atom/ion logam dengan
atom/ion netral yang berikatan dan membentuk ikatan kovalen koordinasi.
Ion kompleks juga dapat diartikan sebagai ion yang dapat terdisosiasi dalam
air dapat mengadakan kesetimbangan dengan komponen-komponennya
(Rosbino, 2008).
Syafannah Regita Aldama
2.2. Senyawa kompleks
Senyawa yang terbentuk dari ikatan antara ion pusat dengan ligannya.
Senyawa kompleks terdiri dari kation atau logam dan donor ion electron.
Molekul netral atau ion donor electron berfungsi sebagai ligan yang akan
menyumbang electron bebas kepada ion logam pusat (Rosbino, 2008).
Syafannah Regita Aldama
2.3. Stabilitas kompleks
Stabilitas kompleks bergantung pada ikatan yang terbentuk pada ligan
tunggal dimana mengikat struktur sebuah ikatan. Berdasarkan jenis ligannya,
senyawa kompleks stabil jika :
a. Ligan yang memiliki kecenderungan besar terhadap ion H+.
b. Ligan memiliki efek khelat yang lebih besar.
c. Khelat ligan berbentuk cincin, 5 cincin berikatan jenuh dan 6 cincin
berikatan tidak jenuh.
d. Ukuran ligan yang semakin kecil.
e. Berdasarkan logam inti dalam ion kompleks, senyawa akan lebih
stabil jika:
f. Jari-jari ion logam inti semakin kecil.
g. Bilangan oksidasi logam inti semakin kecil.
h. Efek medan kristal seusai dengan urutan Ca > Si > Ti > Cr > Mn >
Fe > Co > Ni > Cu > Zn (biloks 2).
i. Asam keras-basa keras dan asam lunak-basa lunak.
(Sukardjo, 1985)
Wanda Setyo Rahayu
2.4. Ligan dan macam ligan
Dalam senyawa kompleks, ligan berperan sebagai pendonor elektron.
Beberapa contoh dari ligan yaitu F-,Cl-,H2O,CH3OH,CN-. Terdapat
beberapa macam ligan, yaitu :
a. Ligan monodentate
Ligan jenis ini mendonorkan sepasang elektron ke atom ligan.
Seperti contohnya, klorida, hidroksida, amina.
b. Ligan bidentat
Biasanya dua atom disumbangkan dan terikat pada logam yang
sama. Seperti contohnya etilendiamin, ion oksalat, diamin, diester.
c. Ligan polidentat
Ligan ini dapat menyumbangkan dua atau lebih atom secara
berdampingan dan melekat pada logam. Seperti contohnya, ligan
trikuadripenta, heksadentat, etilen.
(Brady, 1992)
Wanda Setyo Rahayu
2.5. Teori medan ligan
Untuk teori ini, secara umum diketahui sebagai teori medan kristal,
akan tetapi sudah dimodifikasi yakni dengan imemasukkan iinteraksi
ikovalen, kemudian teori ini disebut teori medan ligan. Dijelaskan bahwa
dalam pembentukan suatu kompleks ada suatu interaksi yakni interaksi
elektrostattik, yaitu ion logam atau atom pusatnya dan juga dengan ligannya.
Ketika ada enam ligan yang mana asalnya dari arah yang berbeda yang
kemudian berinteraksi dengan ion logam atau atom pusat, yang terjadi ialah
lima sub orbital dari inti tadi pada interaksi yang terjadi akan berbeda. Untuk
orbital yang mana bertatapan langsung dengan ligan akan mendapatkan
pengaruh dari medan Ketika dibandingkan dengan orbital lain. Ini
mengakibatkan orbital tadi terjadi peningkatan energi yang mana kelima sub
orbital dari d akan terjadi splitting atau pecah dan menjadi dua, yakni dua
kelompok tingkat energi, kedua kelompok tersebut ialah dua sub orbital yakni
idx2, idy2, idz2 dan bisa dikatakan dy atau eo yang mana untuk tingkat
energinya lebih rendah. Diketahui bahwa ada perbedaan tingkat enrgi yang
mana memperlihatkan bahwa teori dari medan kristal bisa menjelaskan
adanya suatu perbedaan, yakni warna kompleks pada larutan (Hauser, 2004).
Muhamad Adam Zidane
2.6. Kompleks inert dan labil
Suatu kompleks yang mana disimpulkan labil ialah kompleks yang
ligannya dengan waktu cepat bisa diganti ligan lain. Sedangkan kompleks
inert merupakan kompleks yang saat ligannya digantikan dengan ligan lain
prosesnya berjalan lambat. Meskipun biasanya kompleks labil tidak stabil dan
kompleks inert merupakan kompleks stabil, tetapi sebenarnya tidak ada
hubungan antara keduanya sebab stabilitas ialah sifat termodinamik
sedangkan labilitas ialah sifat kinetic.
Energi reaksi akan menentukan stabilitas dari kompleks. Energi reaksi
ialah beda antara energi pereaksi dengan hasil reaksi. Apabila besar energi
reaksinya, maka untuk hasil reaksinya yakni stabil. Labilitas kompleks
dipengaruhi oleh perbedaan energi senyawa dengan kompleks aktif. Apabila
besar energinya, maka untuk reaksi akan berjalan dengan lambat dan juga
kompleks yang mana dihasilkan akan bersifat inert.
(Cahyana, 2016)
Muhamad Adam Zidane
2.7. Isomer geometri
Isomer geometri merupakan satu jenis di antara isomer dalam
senyawa kimia. Isomer geometri didefinisikan sebagai sekumpulan senyawa
yang mempunyai rumus molekul serupa tetapi struktur ruang antar senyawa
tersebut saling berlainan. Terjadinya isomer geometri akibat adanya
perbedaan peletakan dari gugus fungsi tertentu dalam struktur ruang suatu
senyawa. Gugus-gugus yang berkedudukan pada sisi sama dinamakan cis;
sementara gugus-gugus yang berkedudukan lain sisi dinamakan trans. Oleh
karena itu, isomer geometri ini memiliki sebutan lain berupa isomer cis-trans.
(Chang & Overby, 1986)
Suatu senyawa dapat dikatakan berisomer geometri jika senyawa itu
mempunyai double bond C=C, yang mana dalam ikatan tersebut terikat dua
gugus beda jenis. Pusat atau sumbu dari isomer geometri adalah double bond
dari C=C. Adapun contoh dua senyawa yang berisomer geometri adalah
senyawa cis-2-butena dan trans-2-butena dengan struktur molekul sebagai
berikut. (J. E. Brady, Humiston, & Heikkinen, 1990)

Figure 1. Cis-2-Butena Figure 2. Trans-2-Butena

(Cotton, Wilkinson, Murillo, Bochmann, & Grimes, 1988)


Ahadiah Nurul Ifada
2.8. Perbedaan sifat fisik senyawa cis dan trans
Perbedaan sifat fisik antara senyawa berisomer cis dengan senyawa
berisomer trans dapat ditinjau dari beberapa aspek yang secara umum
dipengaruhi oleh struktur geometris senyawa. Aspek tersebut meliputi titik
leleh, titik didih, kestabilan, kepolaran, kelarutan, dan kekuatan asam. Aspek
tersebut dapat disajikan dalam tabel di bawah ini.
No. Aspek Cis Trans
1 Titik Leleh Rendah, karena Tinggi, karena
molekul terikat secara molekul terikat secara
longgar. padat.
2 Titik Didih Tinggi, karena gaya Rendah, karena gaya
tarik antaratom kuat. tarik antaratom lemah.
3 Kestabilan Ikatan kurang stabil. Ikatan lebih stabil.
4 Kepolaran Sebagian besar Senyawa bersifat
senyawa bersifat polar. kurang polar atau
nonpolar.
5 Kelarutan Sangat larut dalam Kurang larut dalam
pelarut inert. pelarut inert.
6 Kekuatan Tinggi, karena proton Rendah, karena proton
Asam mudah dilepaskan. sulit dilepaskan.
(Vogel & Svehla, 1979)
Ahadiah Nurul Ifada
2.9. Isomer cis dan trans pada senyawa kompleks
Pada senyawa kompleks, tidak semua terdapat isomer bentuk cis dan
trans.untuk senyawa yang memiliki struktur linear, trigonal planar, serta
tetrahedral tidak terdapat isomer cis dan trans. Namun pada senyawa yang
bertruktur segi empat planar serta tetrahedral pada umumnya terdapat isomer
cis dan trans. Contohnya pada segi empat planar adalah platina (Sugiyarto,
2012)
Alfu Alvin Maghfiroh
2.10. Kristalisasi
Kristalisasi .merupakan .proses .suatu .partikel .padat .terbentuk .pada
.suatu .fasa .yang .homogen. .Partikel .padat .juga .dapat .terbentuk .pada .saat
.fasa .uap. .Misalnya .dalam .proses .kristal .salju .yang .terbentuk .atau
.sebagai .cairan .dalam .titik .lelehnya .yang .terpadatkan .atau .suatu .larutan
.(cair) .yang .terkristalisasi (Fachry, Tumanggor, & Yuni, 2008)
Alfu Alvin Maghfiroh
2.11. Analisa bahan
2.11.1. Asam oksalat (H2C2O4)
a. Sifat fisik
Berwujud padat, berwarna putih, dan tidak punya bau.
Memiliki nilai titik lebur pada 98-100 °C dan nilai titik
didih pada 149-160 °C pada 1.013 hPa.
b. Sifat kimia
Bersifat mudah menyala, mudah meledak terhadap udara
apabila dalam kodisi pemanasan yang dilakukan secara
terus-menerus, dapat stabil dalam kondisi dibawah suhu
ruang.
(Kirk & Othmer, 1994)
Salma Azzahwa
2.11.2. Kalium dikromat (K2Cr2O7)
a. Sifat fisik
Berwujud kristal jingga-merah. Memiliki nilai densitas
2,67 g/ml dan nilai titk leburnya 396 oC.
a. Sifat kimia
Bersifat dapat larut dalam air, tetapi tidak dalam alkohol.
Memiliki sifat monoklinik, yang mana akan mengalami
perubahan menjadi triklinik ketika pada suhu 241,6 oC.
(Artioli, 2008)
Salma Azzahwa
2.11.3. Etanol
a. Sifat fisika
Larutan tidak berwarna, baunya khas, titik leburnya
sebesar -114,14C, titik didihnya 78,29C, massa
molarnya sebesar 46,06 g/mol.
b. Sifat kimia
C2H5OH yang larut air, mudah mengalami proses
penguapan dan memiliki ikatan hidrogen di dalam
senyawanya.
(Lide & Haynes, 2010)
Kemilau Permata Hati
2.11.4. Akuades
a. Sifat fisika
Merupakan larutan yang memiliki rasa, bau, dan warna,
memiliki pH netral, memiliki titik beku 0°C, titik didihnya
100°C, dapat berbentuk cair, padat, maupun gas.
b. Sifat kimia
Merupakan senyawa yang terbentuk dari unsur hidrogen
dan oksigen, sangat baik sebagai zat pelarut, di alam
didapatkan dalam keadaan yang tidak murni.
(Basri, 1996)
Kemilau Permata Hati
III. Metodelogi Percobaan
3.1. Alat dan bahan
3.1.1. Alat
a. Gelas beker 200 mL e. Cawan penguapan
b. Gelas arloji f. Gelas ukur 25 mL
c. Pemanas spiritus g. Pipet tetes
d. Pompa vakum h. Neraca analitik
3.1.2. Bahan
a. Asam oksalat c. Etanol
b. Kalium dikromat d. Akuades
Komang Diamantiarani Karyasa
3.2. Skema kerja
3.2.1. Pembuatan isomer trans-kalium dioksalatodiakuokromat (III)

6 g asam oksalat 2 g K2Cr2O7


Gelas beker Gelas beker

- Penambahan aquades - Pelarutan dengan


aquades panas

Larutan campuran
Gelas beker
- Penutupan dengan gelas arloji
- Penguapan hingga volume tinggal separuh
- Pendiaman dalam suhu kamar
- Penyaringan

Kristal Filtrat

- Penyaringan
- Pencucian dengan aquades dingin
- Pencucian dengan alkohol

Hasil
3.2.2. Pembuatan isomer cis- kalium dioksalatodiakuokromat (III) Commented [SN2]: revisi skema cis
Commented [dk3R2]: sudah mba
2 g K2Cr2O7 + 6 g asam oksalat
Cawan penguapan
- Penetesan aquades
- Penutupan dengan gelas arloji
- Penambahan 20 mL etanol
- Penyaringan

Filtrat Kristal

- Pencucian etanol
- Pengeringan dengan
pompa vakum

Hasil

3.2.3. Uji kemurnian isomer


Kristal kompleks cis
Kertas saring

- Penambahan sedikit amonia encer

Hasil

Kristal kompleks trans


Kertas saring

- Penambahan sedikit amonia encer

Hasil

Kemilau Permata Hati


IV. Data Pengamatan
No. Perlakuan Hasil
1 Pembuatan isomer trans-kalium dioksalatodiakuokromat (III)
Asam oksalat + aquades Asam oksalat larut dalam aquades
K2Cr2O7 + aquades panas Kalium dikromat larut dalam aquades
Larutan asam oksalat + larutan • Reaksi eksoterm dengan letupan uap
K2Cr2O7 air dan CO2
(penguapan) • Volume larutan berkurang sampai
setengah
Penyaringan Diperoleh residu berupa kristal dan
filtrat
Pencucian dengan aquades dan etanol Zat pengotor kristal hilang
Pengeringan Kristal berwarna hitam dengan tekstur
jarum
Massa : 4,5 gram
2 Pembuatan isomer cis-kalium dioksalatodiakuokromat (III)
Asam oksalat + K2Cr2O7 + aquades Reaksi eksoterm dengan letupan uap
air dan CO2
Penambahan etanol Zat pengotor kristal hilang
(pengadukan)
(pengeringan)
Penyaringan Diperoleh residu berupa kristal dan
filtrat
Pengeringan Kristal berwarna hitam dengan bentuk
padat seperti pasta
Massa : 3,8 gram
3 Uji kemurnian
Kristal kompleks cis + NH3 Kristal berwarna hijau
4 Kristal kompleks trans + NH3 Kristal berwarna cokelat muda
V. Hipotesis
Percobaan 7 dengan judul “Pembuatan Cis dan Trans-Kalium
Dioksalatodiakuokromat (III)” akan dilakukan dengan tujuan menyintesis senyawa
kompleks kalium dioksalatodiakuokromat (III) dengan bentuk isomer cis dan trans
serta mempelajari sifat-sifatnya. Percobaan ini akan dilakukan dengan metode
pembuatan senyawa kompleks melalui kristalisasi yang berprinsip pada pengaruh
isomer trans serta kelarutan ligan. Percobaan ini diprediksi akan menghasilkan
produk berupa senyawa trans-kalium dioksalatodiakuokromat (III) dan senyawa
kompleks cis-kalium dioksalatodiakuokromat (III) yang menunjukkan perbedaan
warna pada penambahan amonia dalam uji kemurnian. Senyawa kompleks
berisomer trans akan berwarna coklat dan senyawa berisomer cis akan memiliki
warna hijau.
Komang Diamantiarani Karyasa
VI. Pembahasan
Percobaan 7 dengan judul “Pembuatan Cis dan Trans-Kalium
Dioksalatodiakuokromat (III)” dilakukan dengan tujuan menyintesis senyawa
kompleks kalium dioksalatodiakuokromat (III) dengan bentuk isomer cis dan
trans serta mempelajari sifat-sifatnya. Percobaan ini dilakukan dengan metode
pembuatan senyawa kompleks melalui kristalisasi yang berprinsip pada
pengaruh isomer trans serta kelarutan ligan. Hasil sintesis dan uji kemurnian
dijabarkan dalam poin-poin berikut.

6.1. Pembuatan isomer Cis-Kaliumdioksalatodiakuokromat (III)


Percobaan ini bertujuan untuk membuat senyawa cis-
kaliumdioksalatodiakuokromat (III) dengan menggunakan metode
pembentukan senyawa kompleks melalui kristalisasi dan menggunakan
prinsip pembentukan senyawa kompleks yang dipengaruhi oleh kekuatan
efek trans dan kelarutan ligan. Dalam percobaan ini terdapat beberapa bahan
yang digunakan, yaitu C2H2O4, K2Cr2O7, aquades, dan alkohol.
Mekanisme percobaan ini diawali dengan pencampuran asam oksalat
dan kalium dikromat dalam cawan penguapan. Campuran ditambahkan H2O
sebanyak satu tetes. Sedikitnya kuantitas penambahan H2O ini karena
senyawa cis memiliki kelarutan yang tinggi dalam H2O. Apabila penambahan
H2O berlebih dapat menyebabkan terbentuknya senyawa trans, yang mana
tidak sesuai dengan tujuan percobaan ini. Setelah diperoleh campuran hasil
pelarutan, campuran dimasukkan ke dalam gelas beker. Proses reaksi harus
dalam sistem tertutup sehingga gelas beker ditutup menggunakan gelas arloji.
Hal ini karena pada proses ini terjadi perpindahan panas dari sistem ke
lingkungan atau disebut sebagai reaksi eksoterm. Reaksi eksoterm tersebut
ditandai dengan munculnya panas yang terasa pada gelas beker. Karena itu,
campuran harus ditutup agar panas yang terbentuk tidak keluar dari sistem.
Selain menghasilkan panas, penambahan H2O juga membentuk gelembung-
gelembung gas berupa gas CO2 dan H2O.
Setelah reaksi berhenti, ditandai dengan berhentinya pembentukan
panas atau letupan air, dilakukan penambahan etanol dalam campuran. Commented [SN4]: Kapan dilakukan penambahan
etanolnya?
Penambahan etanol ditujukan untuk memadatkan (penggumpalan)
Commented [dk5R4]: Sudah mba
kristal/endapan hal ini dikaitkan dengan perubahan bentuk Cr6+ menjadi Cr3+
yang merupakan bentuk ion Cr yang paling stabil. Etanol dapt diganti dengan
larutan lain dengan sifat fisik yang sama.
Reaksi pembentukan Cis-Kaliumdioksalatodiakuokromat (III)
merupakan reaksi pembentukan kompleks melalui subtitusi ligan-ligan.
Pembentukan kompleks ini diawali dengan reaksi antara senyawa kromat
dengan asam oksalat. Asam oksalat merupakan anion organic yang mampu
membentuk kompleks koordinasi stabil, yang umumnya bertindak sebagai
gugus bidentate. Pembentukan cis-kaliumdioksalatodiakuokromat (III)
diawali dengan pergantian ligan-ligan heksaakuokromium(III) [Cr(H2O)6]3+
dengan ion oksalat membentuk isomerase [Cr(H2O)2OX2]-1 (Khan, 1985),
namun pada percobaan ini, digunakan reaksi antara kalium dikromat dan
oksalat membentuk kompleks trioksalatokromat (III). Pembentukan
kompleks trioksalatokromat(III) mungkin terjadi akibat preferensi atom Cr3+
terhadap ligan oksalat.
Kompleks cis-kaliumdioksalatodiakuokromat (III) didapat dari reaksi
trioksalatokromat (III) dengan H2O. Saat tumbukan terjadi, molekul air
‘menendang’ salah satu ujung gugus oksalat keluar dari kompleks, melakukan
subtitusi dan berikatan dengan ion logam Cr (III). Subtitusi terjadi pada ligan
dengan efek trans yang lebih kecil dan keberadaan oksalat lain yang masih
berikatan kemudian menyebabkan terjadinya isomerase membentuk senyawa
cis-kaliumdioksalatodiakuokromat (III) (Khan, 1985). Pergantian ligan
oksalat oleh H2O ini mungkin terjadi karena kekuatan medan kristal ligan
H2O membentuk kompleks stabil lebih besar dibandingan dengan ion oksalat
(Shimura, 1988). Reaksi yang terjadi pada sintesis kompleks cis tergambar
dalam skema berikut
O O

C C

O
O O
3+ 2-
Cr 3C2O4 2H2O
Cr O C
O
O C
O C O
O
C

O
OH2 H2O

Cr O C
2-
O
C2O4
O C
O C O
O
C

(Fessenden & Fessenden, 1986)


Setelah penambahan etanol, campuran didiamkan hingga
pembentukan endapan dan penyaringan. Kristal dilakukan pencucian dengan
etanol bertujuan untuk menghilangkan pengotor atau kontaminan yang ada.
Pencucian dengan etanol ditujukan untuk mencegah penggunaan air sebagai
reagen pencuci karena kelarutannya yang tinggi dalam air dan kemungkinan
perusakan isomer/struktur cis. Setelahnya dilakukan penyaringan dengan
pompa vakum untuk menghilangkan pelarut serta didapatkan kristal kering
berwarna hitam, setelahnya kristal dilakukan penimbangan. Diperoleh massa
kristal cis kalium dioksalatodiakuokromat (III) sebanyak 3,8 gram. Melalui
perhitungan, didapatkan persentase rendemen kristal cis kalium
dioksalatodiakuokromat (III) sebesar 78,36%.
(Ahadiah Nurul Ifada, Komang Diamantiarani Karyasa)
6.2. Pembuatan isomer Trans- Kaliumdioksalatodiakuokromat (III)
Pada percobaan ini dilakukan dengan tujuan pembuatan kristal isomer
trans kompleks kalium dioksalatiodiakuokromat (III). Percobaan ini dimulai
dengan menambahkan akuades pada asam oksalat untuk mempercepat proses
reaksi. Didapatkan larutan yang berwarna putih. Kemudian dilakukan
penambahan akuades panas pada K2Cr2O7. Hal ini bertujuan agar kalium
dikromat terlarut sempurna karena garam kromat sukar terlarut pada suhu
kamar. Penambahan akuades panas ini menghasilkan senyawa
heksakuokromat (III) yaitu senyawa kompleks Cr yang mempunyai 6 tangan
yang mengikat H2O sebagai ligan. Selain itu penambahan akuades panas juga
dilakukan agar mempercepat terjadinya reduksi Cr6+ ke Cr3+. Mekanisme
reaksinya sebagi berikut
Reduksi: Cr2O72- + 14H+ + 6e → 2Cr3+ + 7H2O
Oksidasi: C2O42- → 2CO2 + 2e

Cr2O72- + 3C2O42- + 14H+ → 2Cr3+ + 6CO2 + 7H2O


(W. C. Keenan, Kleinfelter, C. Donald, Wood, H. Jesse, 1990)
Selanjutnya dilakukan percampuran heksakuokromat (III) dengan
asam oksalat. Pencampuran ini mengakibatkan terjadinya reaksi penggantian
ligan. dimana 4 ligan monodentat akuo dari heksakuokromat (III) digantikan
oleh 2 ligan bidentat oksalato. Hal ini dikarenakan ligan bidentat oksalato ini
mempunyai kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan ligan
monodentat akuo. dalam membentuk senyawa trans. Sehingga terjadi
pergantian ligan pada posisi trans. Kemudian larutan tersebut diletakkan
kedalam gelas beker. Dan dilakukan penutupan dengan gelas arloji. Hal ini
dikarenakan pada proses ini terjadi reaksi eksoterm dimana saat reaksi gelas
beker menjadi panas dan terdapat letupan-letupan air dan uap air. Kemudian
setelah pada reaksi sudah tidak ada letupan-letupan atau uap air lagi dan gelas
beker sudah tidak panas, hal tersebut menandakan reaksi sudah selesai.
Kemudian dilakukan proses penguapan yang bertujuan agar air yang
tidak digunakan atau diperlukan menguap dan tidak dapat mempengaruhi
dalam proses pembentukan senyawa kompleks kalium
dioksalatodiakuokromat. Hal ini berkaitan dengan adanya dua molekul air
dan dua molekul C2O42- yang berperan sebagai ligan. Pada saat masih banyak
air yang melampaui keinginan, maka perlu dilakukan penguapan. Proses
penguapan dilakukan secara bertahap untuk memperoleh kristal dalam jumlah
yang banyak. Dengan dilakukannya penguapan larutan hingga setengah
volume awal dengan pemanasan lalu diuapkan di dalam suhu kamar.
Kristal yang terbentuk setelahnya dikeringkan dan dicuci
menggunakan aquades dan etanol. Pencucian kristal menggunakan aquades
bertujuan untuk mengikat pengotor yang bersifat polar, sedangkan pencucian
menggunakan etanol untuk memungkinkan terdapat senyawa cis yang
bersifat polar yang terikat pada senyawa trans. Etanol mempunyai sifat
volatile sehingga larutan dari pengotor yaitu laurtan cis dapat terikat dan
teruapkan. Reaksi pembentukan isomer trans-kaliumdioksalatodiakuokromat
(III) adalah sebagai berikut :

(W. C. Keenan, Kleinfelter, C. Donald, Wood, H. Jesse, 1990)


Hasil yang diperoleh dari percobaan ini yaitu kristal-kristal trans-
kaliumdioksalatodiakuokromat (III) berwarna hitam yang memiliki tekstur
serbuk dengan massa sebesar 4,5 gram dan rendemen yang diperoleh sebesar
92,8%.
(Wanda Setyo Rahayu, Alfu Alvin Maghfiroh)
6.3. Uji kemurnian isomer
Pada percobaan ini untuk tujuannya ialah untuk membedakan yakni
antara isomer cis-kaliumdioksalatodiakuokromat (III) dan juga isomer trans-
kaliumdioksalatodiakuokromat yang didapat dari percobaan sebelumnya.
Langkah pertama yang dilakukan ialah meletakkan kristal yang mana sudah
didapat pada kertas saring dan dilanjut dengan penetesan ammonia encer atau
NH3 pada kedua kristal yang didapatkan. Setelah dilakukan pengamatan, pada
isomer cis-kaliumdioksalatodiaquokromat (III) untuk larutannya terbentuk
warna yakni warna hijau tua yang memiliki kelarutan yang lebih tinggi dari
isomer trans-nya. Hal ini lah yang menyebabkan larutan ini mempunyai
kelarutan yang baik ketika diberi tetesan aquades yang mana membuat kristal
ini lebih mudah untuk terlarut. Kemudian pada isomer cis terdapat ligan aquo
yang mana ligan ini bisa tergantikan dengan ammonia, adanya pergantian
tersebut dikarenakan terdapat gaya tolakan yang besar antara keduanya,
sehingga ligan aquo akan mudah terpisah dan digantikan oleh ligan ammonia.
Urutan kekuatan ligan : l- < Br- < Sr2- < ScN- < Cl- < NO3̅ < F- < SO42- < H2O
< NCS- < NH3 < NO2- < CN- < CO (Petrucci, 1987). Lalu, untuk reaksinya
antara isomer cis-kaliumdioksalatodiaquokromat (III) dan larutan ammonia
encer ialah:
(S) (S) (S)
OH2 C2O4 OH2 C2O4 H3 N C2O4
NH3 NH3
Cr Cr Cr
NH4 NH4
OH2 C2O4 H3 N C2O4 H3 N C2O4
(R) (R) (R)

(Keenan, 1980)
Selanjutnya, uji kemurnian untuk kristal trans-
kaliumdioksalatodiaquokromat (III). Uji kemurnian untuk kristal trans-
kaliumdioksalatodiaquokromat (III) ini tahap yang dilakukan sama seperti
perlakuan pada uji kemurnian untuk kristal cis-
kaliumdioksalatodiaquokromat (III). Langkah pertama yang dilakukan ialah
meletakkan kristal yang mana sudah didapat pada kertas saring dan dilanjut
dengan penetesan ammonia encer atau NH3 pada kedua kristal yang
didapatkan. Setelah dilakukan pengamatan, pada isomer trans-
kaliumdioksalatodiaquokromat (III) untuk larutannya terbentuk warna yakni
warna coklat muda. Ketika dilakukan penambahan NH3 encer terjadi reaksi
pergantian ligan, yang mana ligan aquo (H2O) digantikan oleh ligan NH3.
Ligan aquo dapat dengan mudah digantikan oleh ligan NH3 karena pada ligan
aquo memiliki kekuatan ligan yang lebih kecil dari ligan NH3. Urutan
kekuatan ligan : l- < Br- < Sr2- < ScN- < Cl- < NO̅3 < F- < SO42- < H2O <
NCS- < NH3 < NO2- < CN- < CO (Petrucci, 1987).
Ketika proses pergantian ligan, pada kristal kompleks trans-
kaliumdioksalatodiaquokromat (III) ini lebih lama dibandingkan dengan
kristal kompleks cis-kaliumdioksalatodiaquokromat (III). Hal tersebut dapat
terjadi karena pada kompleks trans-kaliumdioksalatodiaquokromat (III) lebih
stabil dan gaya tolakannya lebih kecil dibanding kompleks cis-
kaliumdioksalatodiaquokromat (III). Reaksi :
(S) (R) (r)
OH2 C2O4 H3N C2O4 H3N C2O4
NH3 NH3
Cr Cr Cr
NH4 NH4
OH2 C2O4 C2O4 H2O C2O4 NH3
(R) (r)

(Keenan, 1991)
(Salma Azzahwa, Muhamad Adam Zidane)
VII. Penutup
7.1. Kesimpulan
Pembuatan garam kompleks kalium diaksolatodiakuokromat (III)
dapat dilakukan dengan melarutkan asam oksalat dan kalium dikromat ke
dalam aquades. Hasil yang didapatkan dari percobaan ini berupa kristal trans-
kalium diaksolatodiakuokromat (III) yang berwarna hitam dengan massa
sebesar 4,5 gram dan rendemen persentase sebesar 92,8%, sementara pada
kristal cis-kalium diaksolatodiakuokromat (III) berwarna hitam padat seperti
pasta dengan massa sebesar 3,8 gram dan rendemen persentase sebesar 78,36
%. Pada uji kemurnian dilakukan penambahan dengan amonia dan didapatkan
hasil kristal trans berwarna cokelat muda dan pada kristal cis berwarna hijau.
7.2. Saran
Pada penambahan etanol untuk pembentukan garam kompleks cis dapat
diganti dengan metanol, aseton, butanol, dan senyawa serupa lainnya.
(Kemilau Permata Hati)
LAMPIRAN

1. Pembuatan isomer trans kalium dioksalatodiakuokromat


Diketahui : m asam oksalat dihidrat = 6 gram
m kalium kromat = 2 gram
BM asam oksalat dihidrat = 126 g/mol
BM K2Cr2O7 = 294 g/mol
M kristal trans = 4,5 gram
Ditanya : % trans = …..
Jawab :
• Mol H2C2O4.2H2O = 0,048 mol
• mol K2Cr2O7 = 0,008 mol
Reaksi :
4H2C2O4.2H2O + K2Cr2O7 2K[Cr(C2O4)2(H2O)2]
Mula-mula 0,048 mol 0,008 mol -
Bereaksi 0,032 mol 0,008 mol 0,016 mol
Setimbang 0,016 mol - 0,016 mol

• massa K[Cr(C2O4)2(H2O)2] = (mol x BM)


= 0,016 mol x 303g/mol
= 4,848 gram
• massa H2C2O4.2H2O setimbang = 0,0016 mol x 124,05 g/mol = 1,98 x 10-
4
g
• Massa nyata = 4,5 g – 1,98 x 10-4 g = 4,499 g
𝟒,𝟒𝟗𝟗
• % isomer trans K[Cr(C2O4)2(H2O)2] = x 100%
𝟒,𝟖𝟒𝟖

= 92,8%

2. Pembuatan isomer cis kalium dioksalatodiakuokromat


Diketahui : m asam oksalat dihidrat = 6 gram
m kalium kromat = 2 gram
BM asam oksalat dihidrat= 126 g/mol
BM K2Cr2O7 = 294 g/mol
M kristal cis = 3,8 gram
Ditanya : % cis = …..
Jawab :
• Mol H2C2O4.2H2O = 0,048 mol
• mol K2Cr2O7 = 0,008 mol
Reaksi :
4H2C2O4.2H2O + K2Cr2O7 2K[Cr(C2O4)2(H2O)2]
Mula-mula 0,048 mol 0,008 mol -
Bereaksi 0,032 mol 0,008 mol 0,016 mol
Setimbang 0,016 mol - 0,016 mol

• massa K[Cr(C2O4)2(H2O)2] = (mol x BM)


= 0,016 mol x 303g/mol
= 4,848 gram
• massa H2C2O4.2H2O setimbang = 0,016 mol x 124,05 g/mol = 1,98 x 10-4 g
• Massa nyata = 3,8 g – 1,98 x 10-4 g = 3,799 g
𝟑,𝟕𝟗𝟗
• % isomer cis K[Cr(C2O4)2(H2O)2] = x 100%
𝟒,𝟖𝟒𝟖

= 78,36 %
PERCOBAAN VIII
“KEMAMPUAN KOAGULASI GARAM-GARAM SULFAT DAN
KLORIDA”
II. TUJUAN PERCOBAAN
I.1 Mempelajari daya koagulasi dari berbagai macam garam-garam sulfat dan
klorida.
(Salsa)

III. TINJAUAN PUSTAKA


II.1 Sistem Koloid
System koloid merupakan suatu system terdispersi dimana partikel-
partikel yang terdispersi mempunyai diameter berukuran 1-100 mµ (Syukri,
1999). Posisi dari koloid terletak antara suatu suspense kasar dan larutan yang
sejati dimana pada system ini suspense kasar memiliki ukuran yang lebih
besar dibandingkan dengan partiklnya sehingga fasa yang terbentuk tidak
memisah, akan tetapi ukuran dari partikel lebih besar daripada larutan
sejatinya. Sifat dari suspense kasar dan larutan sejati akan ditunjukkan oleh
partikel yang melarut (Sunarya, 2013).
Koloid sendiri ialah suatu system yang berisi dua fasa yang merupakan
fasa yang terdispersi secara kontinu dan fasa yang tidak terdispersi secara
kontinu. Koloid memiliki dua jenis yaitu yang suka dengan air bernama koloid
hidrofil dan yang tidak suka air bernama kolid hidrofob. Beberapa contoh dari
koloid hidrofil ialah agar-agar, gelatin, dan juga tanah liat, sedangkan contoh
dari koloid hidrofob ialah belerang dan juga silika gel (Mulyono, 2006).
Berdasarkan interaksi dari fasa koloid yang terdipersi dan mediumnya koloid
bisa dibagi menjadi:
a. Koloid liofobik
Koloid ini tidak menyukai pelarut sehingga tidak membentuk ikatan
dengan pelarut yang ditambahkan yang mengakibatkan koloid ini
termodinamikanya tidak bersifat stabil dan partikelnya bisa menghasilkan
partikel ukuran besar non-koloid dan menghasilkan dua lapisan atau fasa.
b. Koloid liofilik
Koloid ini kebalikan dari liofonik dimana koloid iolifik menyukai pelarut
dimana ia memiliki molekul besar dan kecil yang akan teratrik dan terikat
pada pelarut yang ditambahkan, hal ini menyebabkan koloid ini bersifat
stabil sehingga hampir sama dengan larutan yang sebenarnya kecuali pada
partikel zat terlarut yang memiliki ukuran seperti koloid.
(Sastrohamidjojo, 2010)
(Hiza)

II.2 Kestabilan Koloid


Kestabilan koloid yang terbentuk dari sintesis dengan menggunakan
pelarut cair dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut berupa
interaksi sterik, gaya Van der Waals, double layer repulsion, serta ukuran
partikel koloid yang terbentuk. Ukuran partikel koloid yang terbentuk
berakibat pada perbedaan perilaku pada mekanisme koagulasi dan
flokulasi(Caruso, 2004). Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan pemisahan
dari dispersi koloid, dimana berupa proses penggumpalan maupun
pengendapan koloid(Tadros, 2018).

(Daffa)

II.3 Mekanisme Pembentukan Koloid


Koloid dapat terbentuk melalui dua mekanisme, yaitu sebagai berikut.

1. Dispersi
Dispersi merupakan sebuah proses pembuatan koloid dengan
menggunakan partikel yang lebih kasar daripada koloid yang akan
dibuat. Terdapat tiga jenis disperse, yaitu:

a. Mekanik,jenis ini biasanya digunakan dalam pembuatan sol


belerang dengan penggerusan dan penggilingan.
b. Busur Bredig, jenis ini biasanya digunakan dalam pembuatan sol
koloid dari suatu logam, seperti platinum, emas, dan sebagainya,
dengan meletakkan logam pada dua ujung elektroda yang dialiri
arus listrik yang cukup kuat.
c. Peptisasi, jenis ini biasanya digunakan dalam pembuatan sol
belerang dari endapan nikel sulfida yang dialiri gas asam sulfida
dengan cara penggojogan menggunakan zat pendispersi yang
ditambah dengan sedikit elektrolit.

2. Kondensasi
Kondensasi merupakan sebuah proses pembuatan koloid
dengan reaksi kimia, seperti reaksi redoks dan reaksi hidrolisis.
Contohnya adalah pembuatan sol Fe(OH)3. Reaksinya adalah
sebagai berikut.

FeCl2 + 3 H2O → Fe(OH)3 + 3 HCl

(Basolo dan Johnson, 1986)

(Farhan)

II.4 Larutan dan Suspensi


Dua zat atau lebih ketika dicampurkan dan dapat saling homogen
maka campuran tersebut dinamakan larutan. Pada larutan salah satu zatnya
dapat memiliki wujud berupa padatan yang biasa disebut zat terlarut dan zat
lainnya yang berupa cairan disebut pelarut, dimana pelarut terkadang tidak
mampu sebagai penghantar listrik namun ada pula yang mampu sebagai
penghantar listrik (Ramadhan, Nugraheni, & Abkary, 2019). Adanya
partikulat padat yang tidak melarut pada sediaan cair yang mana partikulat
ini mengalami dispersi dengan fase cair merupakan gambaran keadaan dari
sebuah suspensi. Partikel yang terkandung pada suspensi biasanya
cenderung akan mengalami flokulasi atau menyatu dan berkumpul menjadi
gumpalan kemudian mengendap. Suatu suspensi dikatakan suspensi yang
baik ketika suspensi tersebut telah mengendap namun memiliki kemampuan
dapat mudah kembali terdispersi (Alfauziah, 2019). Pada dasarnya keadaan
sebagai wujud larutan dengan keadaan wujud sediaan suspensi secara kimia
lebih stabil keadaan dalam wujud sediaan suspensi. Penstabilan suspensi
sendiri dapat dilakukan dengan menambahkan suspending agent yang
dimaksudkan untuk menghambat pengendapan, menjaga peningkatan
viskositas, dan menstabilkan tingkat keasaman (LESTARI, 2018).

(Sabila)

II.5 Koagulasi
Suatu proses mencampurkan suatu bahan kimia atau koagulan
kedalam air baku dimana terjadi perputaran yang lebih cepat juga dengan
waktu yg singkat dinamakan koagulasi. Koagulan merupakan suatu bahan
kimia yang diperlukan oleh air baku untuk memudahkan pengendapan
partikel yang berukuran kecil dimana tidak mampu mengendap menurut
gravimetri.

Koagulasi bertujuan membuat perubahan pada partikel zat padat


dalam air baku yang awalnya tidak mampu mengendap menjadi mudah
untuk mengendap. Hal tersebut dikarenakan dari proses mencampur
koagulan sehingga membuat partikel zat padat yang kecil-kecil menjadi
besar serta lebih berat massanya yang mampu mengendap. Koagulasi bisa
dilakukan dengan proses pengadukan antara air baku dengan koagulan.
Faktor yang berpengaruh terhadap proses koagulasi :
- Suhu air baku
- Karakter dari ion-ion dalam air
- pH
- Kualitas dari air itu sendiri
- Cepat dalam pengadukan
(Wagiman dan Desy, 2014)
(Resita)
II.6 Flokulasi
Proses dalam membentuk flok dengan pengadukan lambat disebut
dengan flokulasi. Flokulasi adalah lanjutan dari koagulasi. Mikroflok yang
merupakan produk dari koagulasi diaduk perlahan sampai menghasilkan
makroflok kemudian sistem koloid akan membentuk endapan secara cepat.
flokulasi memiliki dua proses yang berbeda dalam pembentukkanya, yaitu
flokulasi perikinetik yang mana terjadi karena pergerakan thermal (gerak
brown) dan juga flokulasi orthokinetik yang mana merupakan proses
membentuk flok karena adanya gerak media yang mempengaruhi.
(Rahimah Zikri dkk, 2016)
(Salsa)

II.7 Proses Pembentuakn Endapan Melalui Koagulasi dan Flokulasi


Proses pembentukan endapan dari limbah zat cair dapat dilakukan
dengan menggunakan proses koagulasi flokulasi. Tahapan pertama yang
dilakukan adalah proses koagulasi dengan melakukan destabilisasi terhadap
koloid dengan menambahkan suatu zat koagulan. Salah satu zat koagulan
yang dapat ditambahkan adalah Al(SO4)3. Penambahan zat koagulan
tersebut mengakibatkan terjadinya reaksi dissosiasi pada air, adapun reaksi
yang terbentuk yakni.

Al(SO4)3 → 2Al3+ + 3SO42-

Al2(SO4)3 + 6H2O → 2Al(OH)3 + 3H2SO4

(Susanti, 2003)

Selama penambahan koagulan pada sampel dilakukan pengadukan


cepat untuk menghomogenkan larutan sampel. Proses ini mengakibatkan
perubahan partikel koloid yang terbentuk menjadi lebih besar dan tidak
dapat mengalami presipitasi. Proses koagulasi dilanjutkan dengan proses
flokulasi. Proses ini dilakukan dengan melakuakn pengadukan sampel
secara lambat untuk membentuk flok pada larutan hingga ukuran flok
berubah lebih besar serta lebih mudah mengalami presipitasi(Chaerul et al.,
2021). Proses flokulasi dapat dilakukan dalam beberapa bentuk kontak
antara partikel yang terdapat dalam sampel, yaitu kontak dengan dasar gaya
Brown, gerak zat cair, serta kontak antara partikel yang belum mengendap
dengan partikel yang telah mengendap(Susanti, 2003).

(Daffa)

II.8 Mekanisme Pembentukan Koagulasi dan Flokulasi


Dalam menarik partikel dari koloid untuk menghasilkan gumpalan
dengan ukuran yang lebih besar maka harus dilakukan dua cara yaitu
partikel koloid harus melalui proses destabilisasi dan pemindahan. Proses
destibilisasi dilakukan dengan cara menekan lapisan pada ganda listrik,
netralisasi dengan cara menyerap, menjerap presipitasi, serta membentuk
antar partikelnya. Pada proses menekan lapisan ganda listri dan netralisasi
dengan menyerap termasuk ke dalam koagulasi. Untuk proses menjerap
presipitasi dan membentuk antar partikel termasuk ke dalam flokulasi.
Pendestibilisasi partikel melalui cara menekan lapisan bisa diperoleh
dengan cara menambahkan elektrolit muatan yang berbeda dari muatan
partikel pada koloid, jika muatan pada partikel koloid + maka harus
menambahkan muatan – (Benefield, 1982). Mekanisme ini didasarkan pada
interaksi antara koagulen dengan partikel koloid bisa berjalan dikarenakan
adanya efek elektrolistatik dimana partikel pada koloid akan tolak-menolak
dengan ion sejenis yang ada dan akan tarik menarik dengan muatan ion yang
berbeda (Elykurniati, 2010).
(Hiza)
II.9 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Koagulasi
a. Suhu air memiliki pengaruh terhadap efektivitas koagulasi. Turun atau
naiknya temperatur akan mempengaruhi daerah pH optimum. Dengan
begitu pembubuhan koagulen juga akan berbeda karena terpengaruhnya
efektivitas proses koagulasi.
b. Derajat keasaman, proses koagulasi berjalan dengan efektif bila proses
berada dalam derajat keasaman optimum. Tiap jenis koagulen berbeda
dalam ditentukannya rentang pH optimum.
c. Jenis koagulan, pemilihan bahan kimia yang digunakan berdasarkan
pertimbangan dari segi ekonomis serta daya efektivitasnya dalam
membentuk flok. Biasanya, digunakan jenis koagulan berupa garam
logam atau polimer
d. Dosis koagulan, dosis koagulan yang digunakan haruslah sama dengan
dosis yang diperlukan dalam proses, sehingga pembentukan mikroflok
akan berjalan baik
e. Kekeruhan, saat sistem koloid memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi
akan menyebabakan proses destabilasi sukar terjadi. Berlaku pula
sebaliknya, saat air memiliki kondisi yang sangat keruh maka proses
destabilasi akan terjadi dengan cepat.
f. Kecepatan pengadukan, apabila pengadukan yang dilakukan sangat
lambat maka flok akan terbentuk dengan lampat pula. Jika pengadukan
dilakukan dengan terlalu cepat maka akan menyebabkan flok yang
terbentuk menjadi pecah.
g. Alkalinitas, alkalinitas dalam air dapat menjadi faktor pembentuk flok
dengan memproduksi ion OH- saat reaksi hidrolisa.
(Rahimah Zikri dkk, 2016)
(Salsa)

II.10 Garam Sulfat


Garam sulfat ditemukan dialam dengan memiliki sifat kontaminan
yang dapat merugikan. Diantara banyaknya garam sulfat kebanyakan
merupakan garam yang berada pada tanah alkalis seperti Natrium Sulfat
(NaSO4), Kalium Sulfat (K2SO4), dan Magnesium Sulfat (MgSO4) (Afiyah &
Pramuditha, 2021). Garam ini biasanya dinotasika dengan rumus R2SO4,
dengan R adalah gugus organik. Garam-garam sulfat terbentuk apabila ion
hidrogen dari asam sulfat digantikan oleh ion ammonium (Putri, Hasibuan, &
Hawari, 2019). (Sabila)

II.11 Garam Klorida


Garam klorida dapat dihasilkan jika ion hidrogen dari HCl
tergantikan oleh ion logam ataupun ion amonium, (NH4+). Contohnya pada
tabel dibawah :
Kation Asam Sulfat Formula Garam Nama Garam

Ba2+ BaCl2 Barium klorida

Zn2+ HCl ZnCl2 Zink klorida

NH4+ NH4Cl Ammonium klorida

Klorida sendiri merupakan salah satu ion yg didapatkan dari perairan


alam. Senyawa klorida tersebut dapat membentuk proses disosiasi dengan
H2O menghasilkan ion-ion. Kation dari garam Cl dalam aquades terdapat
dalam kondisi yang mudah larut. Ion Cl- umumnya tidak menghasilkan
kompleks yang kuat dengan ion logam. Ion tersebut juga tidak bisa
mengalami oksidasi dalam kondisi normal dan tidak memiliki sifat beracun
atau toksik. Namun jika diperoleh garam klorida yang berlebih bisa
mengakibatkan kualitas air menurun.

(Achmad, 2004)

(Resita)

II.12 Analisa Bahan (Farhan)


II.12.1 Poli Alumunium Klorida (PAC)
➢ Sifat Fisik :
1. Titik beku : -10oC
2. Densitas : 1,2 ± 0,05 gram/cm3 (20oC)
3. Warna : Kuning muda
4. Bau : Tidak berbau
➢ Sifat Kimia:
1. Tidak mudah terbakar
2. Bersifat oligomer
3. Stabil pada suhu dan tekanan normal
4. Menggumpalkan zat-zat yang tersuspensi atau terdispersi dalam
air
(Pure Chems, 2019)
II.12.2 FeCl3
➢ Sifat Fisik :
1. Titik lebur : 306oC (penguraian)
2. Densitas : 2,89 gram/cm3 (20oC)
3. Warna : Hijau hingga hitam
4. Bentuk : Serbuk
5. BEM : 162,21 gram/mol
➢ Sifat Kimia:
1. Korosif terhadap logam
2. Mempunyai potensi sebagai oksidator
3. Dapat menyublim dan peka terhadap lembab
(Smart-Lab, 2019)
II.12.3 ZnSO4
➢ Sifat Fisik :
1. Titik lebur : 100oC
2. Warna : Putih
3. BEM : 287,56 gram/mol
4. Densitas : 1,97 gram/cm3 (20oC)
5. Bentuk : Padat
➢ Sifat Kimia :
1. Sangat toksik pada perairan
2. Melepaskan air kristal ketika dipanaskan
3. Tidak mudah meledak
(Smart-Lab, 2019)
II.12.4 CaSO4
➢ Sifat Fisik :
1. BEM : 136 gram/mol
2. Titik didih : 1450oC
3. Bentuk : Padat
4. Warna : Putih pucat

➢ Sifat Kimia :
1. Higroskopik
2. Tidak kompatibel dengan oksidator kuat
(Acros Organics, 2015)
II.12.5 FeSO4
➢ Sifat Fisik :
1. BEM : 278 gram/mol
2. Densitas : 1,89 g/cm3 (20oC)
3. Titik lebur : > 60oC
4. Bentuk : Padat
5. Warna : Hijau kebiruan
➢ Sifat Kimia :
1. Memiliki pH 7 (netral)
2. Tidak dapat terbakar
3. Berbahaya bila bereaksi dengan basa dan oksidator
4. Tidak bersifat iritan pada kulit
(Smart-Lab, 2019)
II.12.6 MgSO4
➢ Sifat Fisik :
1. BEM : 120,37 gram/mol
2. Densitas : 2,66 g/cm3 (20oC)
3. Titik lebur : 1124oC
4. Bentuk : Padat
5. Warna : Putih
➢ Sifat Kimia :
1. Tidak bersifat sebagai oksidator
2. Tidak dapat terbakar
3. Stabil di bawah suhu kamar
(Merck, 2018)

II.12.7 Air sumur yang keruh


➢ Sifat Fisik :
1. BEM : 18,02 gram/mol
2. Bentuk : Cair
3. Warna : Keruh
4. Bau : Dapat sangat menyengat
➢ Sifat Kimia :
1. Memiliki pH yang beragam, tergantung zat terlarut yang ada di
dalamnya.
2. Warnanya akan berubah ketika dikoagulasikan
(Ramadhani dan Dumilah, 2019)

IV. METODOLOGI PERCOBAAN


III.1 Alat dan Bahan (Resita)
III.1.1 Alat
- Gelas Beker
- Erlenmeyer
- Pengaduk
- Kertas Saring
- Corong

III.1.2 Bahan
- Poli Alumunium Klorida (PAC)
- FeCl3
- ZnSO4
- CaSO4
- FeSO4
- MgSO4
- Air waduk
III.2 Skema Kerja (Salsa, Daffa)
III.2.1 Koagulasi dengan Poli alumunium klorida (PAC)

200ml Air Sumur


Gelas Beker
- Penambahan 1 gram PAC
- Pengadukan
- Pendiaman selama 30 menit
- Penyaringan

Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil

III.2.2 Koagulasi dengan FeCl3

200ml Air Sumur


Gelas Beker
- Penambahan 1 gram FeCl3
- Pengadukan
- Pendiaman selama 30 menit
- Penyaringan

Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
III.2.3 Koagulasi dengan ZnSO4

200ml Air Sumur


Gelas Beker
- Penambahan 1 gram ZnSO4
- Pengadukan
- Pendiaman selama 30 menit
- Penyaringan

Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil

III.2.4 Koagulasi dengan CaSO4

200ml Air Sumur


Gelas Beker
- Penambahan 1 gram CaSO4
- Pengadukan
- Pendiaman selama 30 menit
- Penyaringan

Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
III.2.5 Koagulasi dengan FeSO4

200ml Air Sumur


Gelas Beker
- Penambahan 1 gram FeSO4
- Pengadukan
- Pendiaman selama 30 menit
- Penyaringan

Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil

III.2.6 Koagulasi dengan MgSO4

200ml Air Sumur


Gelas Beker
- Penambahan 1 gram MgSO4
- Pengadukan
- Pendiaman selama 30 menit
- Penyaringan

Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
V. DATA PENGAMATAN (Sabila)
No. Perlakuan Hasil
1. 200 mL air sumur + 1 gram PAC Tetap keruh
Pendiaman selama 30 menit Tetap keruh, ada endapan
Penyaringan Filtrat keruh
2. 200 mL air sumur + 1 gram FeCl3 Larutan berwarna orange
kecoklatan
Pendiaman selama 30 menit Larutan coklat pekat, ada endapan
Penyaringan Filtrat coklat tua
3. 200 mL air sumur + 1 gram ZnSO4 Tetap keruh
Pendiaman selama 30 menit Keruh, ada endapan
Penyaringan Filtrat jenih
4. 200 mL air sumur + 1 gram CaSO4 Tetap keruh
Pendiaman selama 30 menit Larutan keruh kekuningan
Penyaringan Filtrat jernih agak kekuningan
5. 200 mL air sumur + 1 gram FeSO4 Larutan berwarna coklat
Pendiaman selama 30 menit Keruh orange kekuningan,
endapan coklat
Penyaringan Filtrat tidak jernih, endapan coklat
6. 200 mL air sumur + 1 gram MgSO4 Tetap keruh
Pendiaman selama 30 menit Larutan agak jernih
Penyaringan Filtrat jernih

Urutan Kejernihan

Urutan
Kejernihan 1 2 3 4 5 6
air sumur
Koagulan ZnSO4 PAC MgSO4 CaSO4 FeSO4 FeCl3

ZnSO4 > PAC > MgSO4 > CaSO4 > FeSO4 > FeCl3
VI. PEMBAHASAN (Semua anggota)
Percobaan yang mempunyai judul “Kemampuan Koagulasi Garam-
Garam Sulfat dan Klorida” telah dilakukan yang bertujuan untuk membuat serta
mempelajari kekuatan koagulasi yang dimiliki oleh berbagai senyawa garam
sulfat dan klorida kemudian membandingkan antar koagulan garam sulfat dengan
garam klorida terkait kefektifan koagulannya. Percobaan berprinsip pada
pengaruh koagulan positif dalam koloid dalam mengurangi muatan negatif
dengan menetralkan garam garam pemisah sehingga koloid mengalami
destabilasi. Dalam percobaan, digunakan metode koagulasi dan dilanjutkan
dengan metode flokulasi. Koagulasi merupakan proses ketidakstabilan koloid saat
tercampurnya koagulan (gumpalan) yang dibersamai dengan pengadukan secara
cepat yang menimbulkan adanya mikroflok. Sedangkan flokulasi adalah lanjutan
koagulasi dalam pembentukan flok yang lebih besar yang dibersamai dengan
pengadukan yang cepat. Proses koagulasi ataupun penegndapan pada koloid
hanya dapat terjadi dari bebebrapa hal berikut :
1. Pemansan dan juga pendinginan.
2. Terjadi penambahan senyawa elektrolit pada suatu kolois sehingga nantinya
menyebabkan terbentuknya gumpalan.
3. Pencampuran pada dua senyawa yang memiliki koloid didalamnya dan
bermuatan berbeda yaitu anion dan kation.
(Bratby, 1980)
Sampel yang digunakan adalah senyawa-senyawa dari garam sulfat, garam
klorida, serta air sumur. Bahan yang berfungsi sebagai koloid adalah air sumur,
sedangkan yang berfungsi sebagai koagulan adalah senyawa garam, baik garam
sulfat maupun garam klorida. Garam-garam sulfat yang berperan koagulan dalam
percobaan ini adalah garam-garam ZnSO4, MgSO4, CaSO4, dan FeSO4 sedangkan
garam garam klorida yang digunakan adalah garam-garam FeCl3 dan PAC.
Pada langkah pertama dilakukan penimbangan pada massa garam-garam
sampel yang mana nantinya aka ditambahkan juga pada sistem koloid atau air
sumur. Penambahan koagulan ini mempunyai fungsi nantinya larutan dapat
menjadi jernih serta partikel-partikel koloid akan mengendap pada dasar gelas
beaker dan menyebabkan kekeruhan pada larutan. Pada koloid terdapat partikel-
partikel yang mempunyai muatan listrik dikarenakan adanya adsorb ion
didalamnya. Kemudian pada sistem koloid , anion SO42- dan Cl- akan membentuk
lapisan primer yang mana akan berwujud partikel koloid, kemudian pada kation
Fe3+, Zn2+, Ca2+, Fe2+, Ca2+ dan Mg2+ akan membentuk lapisan sekunder dengan
wujud koloid. Kedua lapisan ini berfungsi untuk memunculkan suatu tingkat
stabilitas disperse koloid yang mana dikarenakan membentuk lapisan rangkap dan
menyebabkan terjadi tolakan antar partikel koloid sehingga terjadi penggumpalan
sehingga nantinya menyebabkan partikel turun dan juga mengendap, tolakan
inilah yang terjadi akibat adanya muatan negatif pada suatu sistem koloid yang
nantinya muatan positif dapat menetralkan muatan negatif. Penetralan inilah yang
berfungsi untuk menurunkan tolakan yang terjadi agar endapan yang terbentuk
semakin banyak. Sebagai contoh lapisan yang nantinya sudah terbentuk dengan
sifat stabil dan juga ekuivalen maupun kation dan anionnya saling berikatan satu
sama lain, yang menandakan ion-ion susah untuk dipisahkan sehingga agar dapat
mempermudah pada saat pemisahan ditambahkan koagulan pada larutan
dikarenakan kation pada air sumur yang kemudian akan menggagegasi ion positif
dari koagulan untuk menetralkan ion negatif.
Kemudian dilakukan pengadukan dengan tujuan untuk mempercepat
reaksi karena didalamnya terjadi tabrakan antara koloid dan koagulan, pada hal
ini baik tidaknya dari koagulan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah
kekuatan pengadukan ,kecepatan, serta frekuensi. Kemudian dilakukan
pendiaman dengan tujuan untuk membentuk flok-flok yang sempurna , kemudian
setelah flok-flok terbentuk dilakukan penyaringan dengan tujuan untuk
memisahkan larutan keruh agar menjadi jernih kembali.
Dalam percobaan ini didapatkan hasil berupa air limbah yang berubah menjadi
jernih dengan urutan:
ZnSO4 > PAC > MgSO4 > CaSO4 > FeSO4 > FeCl3
Hasil ini berbeda dengan hasil pada literatur dengan urutan:
ZnSO4 > MgSO4 > CaSO4 > FeSO4 > FeCl3> PAC
(Brady, 2000)
PAC dalam percobaan tidak sesuai dengan literatur yang ada. Dikatakan
bahwa kekuatan destabilisasi muatan negative di koloid makin besar apabila
muatan positif yang berasal dari koagulen semakin besar. Anion dan muatan
kation pada ZnSO4, MgSO4, CaSO4 dan FeSO4 sama, dimana anionnya adalah
SO4- da kationnya +2. Daya koagulasi makin besar apabila jari-jari pada atomnya
makin kecil, dimana pada satu golongan, dari atas ke bawah jari-jarinya makin
besar. Mg dan Ca yang berada dalam satu golongan menghasilkan daya koagulasi
yang berbeda dimana Ca mempunyai jari-jari atom yang lebih besar sehingga daya
koagulasi CaSO4 lebih kecil dibandingkan MgSO4 sesuai dengan hasil percobaan.
Dalam satu periode urutan besarnya jari-jari ato ialah Ca, Fe, kemudian Zn, akan
tetapi dari hasil percobaan tidak didapatkan kesesuaian dengan hasil percobaan
dan literatur dimana daya koagulasi dari FeSO4 lebih lemah dibandingkan dengan
CaSO4. Dalam hal ini kekuatan koagulan dalam melakukan koagulasi didasari
pada mampu atau tidaknya koagulan untuk bisa membuat netral partikel dari
koloidnya, dimana partikel koloid akan lebih banyak netral jika konsentrasi dari
koagulennya makin tinggi. Akan tetapi hal ini tidak selalu terjadi, dimana semakin
banyak konsentrasi dari koagulan maka akan berbanding lurus dengan jumlah dari
partikel yang melakukan koagulasi (Hardjadi, 1993).
Pada koagulasi dengan garam FeCl3 didapatkan ketika setelah
penambahan FeCl3 larutan menjadi berwarna orange kecoklatan dengan muatan
+3, hal ini dipengaruhi adanya suatu sifat higroskopis dari FeCl3 yang
menyebabkan mudah berikatan dengan air dan nantnya membentuk larutan
kuning coklat. Selain itu adanya adanya daya hantar listrik dengan koagulasi untuk
memperkirakan banyaknya suatu padatan yang terlarut dalam air yang mana
berbanding lurus dengan daya hantar listriknya. Kemudian setelah pendiaman
larutan berubah warna menjadi coklat pekat dengan adanya endapan yang
terbentuk.Hal ini juga dikarenakan pada daya koagulasi yang dimiliki garam
klorida lebih rendah dari garam sulfat. Kemudian larutan disaring agar filtrat dan
endapan terpisah dan didapatkan filtrat dengan warna coklat tua.
Kemudian pada PAC (poli alumunium klorida) merupakan koagulan yang
terburuk, dikarenakan PAC merupakan suatu polimer dengan susunan dari
monomer-monomer gabungan dari alumunium dan klorida. Yang mana ikatan
yang dihasilkan stabil karena ikatan yang dihasilkan tidak mudah putus, akibatnya
polimer ini nantinya sukar untuk terionisasi serta bereaksi dengan muatan pada
koloid sehingga daya koagulasi yang dihasilkan kecil. Hasil yang didapatkan pada
koagulasi PAC ini tetap jernih, dikarenakan kemungkinan pengaruh dari proses
pengadukan sehingga hasilnya tetap jernih.
Koagulan dari garam sulfat lebih baik dari koagulan garam klorida
dikarenakan terdapat perbedaan muatan negatif dengan keelektronegatifan dari
SO42- yang lebih kecil dari Cl- yang mempunyai keelektronegatifan yang lebih
besar. Pada hal inilah yang menyebabkan ion sulfat lebih mudah berikatan dengan
partikel koloid yang bermuatan positif pada lapisan sekunder pada sistem koloid,
sehingga nantinya koagulan dengan garam sulfat lebih mudah untuk menstabilkan
sistem koloid dengan cara membentuk suatu partikel yang lebih besar. Selain
kedua garam juga terdapat garam yang lain seperti garam bromida dan juga garam
iodida.
Pada air sumur mempunyai muatan partikel koloid negatif akibat terdapat
kesamaan pada muatan yang dimiliki sehingga partikelnya tolak-menolak.
Kemudian terdapat perubahan pada muatannya dikarenakan penambahan
koagulan, adanya muatan positif inilah menyebabkan terjadinya tarik-menarik
antara partikel dan membentuk flok-flok yang akan mengendap dan menyebabkan
pemisahan terjadi dan air dapat menjadu bening.
Mekanisme reaksi :

a. PAC
(Al2(OH)5)+ + H2O 2Al(OH)3 + H+
b. FeCl3
Fe3+ + 2H2O Fe(OH)3 + 3H+
c. ZnSO4
Zn2+ + 2H2O Zn(OH)2 +2H+
d. CaSO4
Ca2+ + 2H2O Ca(OH)2 +2H+
e. FeSO4
Fe2+ +2H2O Fe(OH)2 + 2H+
f. MgSO4
Mg2++ 2H2O. Mg(OH)2 + 2H+
(Mayasari & Hastarina, 2018; Said, 2009; Wirandani, Sudarno, &
Purwono, 2017)
Beberapa faktor yang mempengaruhi daya koagulasi :

1. Efek Pengadukan
Pengadukan ini dengan tujuan untuk meningkatkan frekuensi
singgungan antara suatu partikel pengotor dengan koagulan nantinya
dapat diperoleh hasil yang optimal.
2. ph lingkungan
Pada ph yang rendah koagulan akan bermuatan negatif seperti contoh
PAC sehingga berperan untuk menetralsir partikel. Sebaliknya pada
proses koagulasi membutuhkan ph yang tinggi dengan larutan yang
bersifat asam dikarenakan flokulasi optimal dengan suhu tinggi.
3. Konsentrasi koagulan
Pada konsentrasi koagulan tinggi maka partikel yang dinetralkan juga
semakin banyak, akan tetapi bertambahnya konsentrasi koagulan
sebanding dengan banyak partikel yang berkoagulasi.
(Harjadi, 1993)
Mekanisme koagulasi antara koagulan dengan air :
(Prabowo, Nursaidah, & Safitri, 2019)
Mekanisme koagulasi dalam proses pengelolaan air limbah yang
menjadi sampel dilakukan dalam beberapa tahapan dimana dimulai dari
tahap penambahan koagulan kedalam sampel. Penambahan koagulan
dilakukan untuk proses destabilisasi koloid pada sampel. Hal tersebut perlu
dilakukan dikarenakan pada sampel air koloid yang terbentuk memiliki
kemampuan ionik yang rendah sehingga bersifat stabil. Sifat stabil koloid-
kolid tersebut mengakibatkan timbulnya gaya tolak-menolak antara koloid
sehingga koloid tidak dapat membentuk endapan. Penambahan koagulan
kedalam sampel menimbulkan perubahan pada interaksi antar koloid
koagulan berperan sebagai pemberi muatan sehingga menimbulkan gaya
tarik-menarik antar koloid. Hal tersebut mengakibatkan terbentuk flok dan
mengendap didasar wadah sehingga memudahkan proses pemisahan sampel
air dengan zat pengotornya.
PERCOBAAN IX
“PERCOBAAN PEMBUATAN KALIUM NITRAT”

TUJUAN PERCOBAAN
Mempelajari pembuatan garam kalium nitrat hasil reaksi antara natrium
nitrat dengan kalium klorida dan mempelajari pemisahan garam tersebut dari
hasil samping natrium klorida berdasarkan perbedaan kelarutan.

DASAR TEORI
Kalium Nitrat
Kalium nitrat merupakan senyawa kimia dengan rumus
kimia KNO3dan mrupakan logam nitrat alkali. Terdapat di alam
sebagai mineral niter dan merupakan sumber nitrogen. Penggunaan
luasnya adalah sebagai pupuk, bahan kembang api, dan komponen
utama dalam pembuatan mesiu. Senyawa ini larut dalam air dan
meningkat kelarutannya seiring dengan peningkatan suhu. Sifatnya
netral dalam larutannya. Padatannya tidak terlalu higroskopik, dan
dapat bereaksi secara eksplosif dengan reduktor, tetapi tidak
eksplosif tanpanya.

(Kosanke, 2004)

Kristalisasi
Kristalisasi atau pengkristalan adalah sebuah tahap
pemisahan dan pembentukan padatan dari sebuah campuran
homogen. (Fachry dkk,2008). Pada proses ini, larutan berada dalam
kondisi jenuh dan terbentuklah padatan yang dapat dilakukan dengan
penambahan pereaksi atau pengenapan dalam kondisi dingin.

(Gotama, 2015)
Kelarutan Endapan
Merubah kelarutan suatu substansi dapat digunakan untuk
melakukan pemisahan, salah satunya adalah dengan cara
pengendapan. Konsentrasi zat-zat lain dapat pula mempengaruhi
kelarutan substansi. Kelarutan substansi yang akan diendapkan dapat
menurun drastic ketika ditambahkan salah satu ion sejenis. Namun
penambahan secara berlebihan dapat menyebabkan endapan yang
terbentuk kembali larut karena berubah menjadi senyawa kompleks.
Sebaliknya, penambahan ion tak sejenis kelarutan endapan
meningkat, terlebih lagi jika terjadi reaksi kimia diantaranya.
(Svehla, 1990)
Larutan Jenuh
Larutan jenuh adalah keaadaan larutan yang terjadi ketika
konsentrasi zat terlarut dalam suatu larutan melebihi konsentrasi
larutannya, yang secara spesifik dijelaskan oleh nilai kesetimbangan
kelarutan. Hal ini dapat membuat larutan setimbang dengan
memaksa kelebihan zat terlarut untuk berpisah dari larutannya
dengan cara mengendap atau menguap. Hal ini dapat terjadi pada
larutan yang memiliki solvent cairan dengan zat terlarut padatan atau
gas.

(Linnikov, 2014)

Proses Kristalisasi
Proses kristalisasi merupakan penyusunan atom dan molekul
membentuk struktur kristal. Prosesnya secara keseluruhan terbagi
menjadi dua tahap, yaitu nukleasi dan pertumbuhan kristal. Nukleasi
biasa terjadi pada proses kristalisasi yang terjadi pada larutan lewat
jenuh atau larutan lewat dingin. Pada tahap ini zat terlarut akan
terdispersi kedalam pelarut dan berkumpul hingga mencapai ukuran
inti yang stabil. Kestabilan ini bergantung pada suhu maupun
kejenuhan larutan. Pada proses inilah atom atau molekul tersusun
membentuk struktur kristal.

Pertumbuhan kristal akan meningkatkan ukuran kristal.


Langkah penting pada tahap ini adalah pelepasan partikel pada
permukaan kristal sehingga permukaannya tak halus karena terbuka
seperti terdapat retakan atau pori. Proses pertumbuhan kristal
merupakan proses dinamis yang berlangsung pada kesetimbangan
dimana zat terlarut atau atom terendapkan dari larutan, dan melarut
kembali ke larutan. Pertumbuhan kristal dipenagruhi beberapa factor
seperti kejenuhan, tegangan permukaan, tekanan, suhu, dan lain-lain.

(Mersmann, 2001)

Garam Nitrat
Garam yang mengandung gugus -NO3 merupakan garam
nitrat. Anion nitrat membentuk garam dengan beragam unsur-unsur
lain. Nitrat mengandung satu atom nitrogen pusat yang dikelilingi
oleh tiga atom oksigen yang identic dalam susunan planar segitiga.
Contoh dari garam nitrat, diantaranya adalah: ammonium nitrat,
natrium nitrat, dan kalium nitrat. Informasi tentang senyawa nitrat
lainnya dapat dilihat pada table dibawah ini:

(Laue, Thiemann, Scheibler, & Wiegand, 2000)


Rekristalisasi
Rekristalisasi atau pengkristalan kembali merupakan proses
pemisahan zat padat dari suatu campuran dengan penambahan pereaksi
yang sesuai untuk memurnikan zat kimia. Pereaksi tersebut harus
menciptakan daya larut antara zat yang ingin dipisahkan dengan daya
larut campurannya berbeda jauh, dan pereaksi tersebut harus membuat
keduanya mudah untuk dipisahkan sehingga tidak ada yang tersisa
antara satu sama lainnya.

(Agustina Leokristi, Citra, & Danny, 2013)

Faktor-Faktor Pembentukan Kristal


Factor-faktor yang mempengaruhi kristal diantaranya adalah:

• Suhu larutan : Ada perbedaan antara kristal yang terbentuk pada


suhu ruang dibanding kristal yang terbentuk pada suhu es. Kristal
yang terbentuk pada suhu ruang akan terbentuk kristal yang lebih
kecil dan halus karena laju pembentukan kristalnya lambat dan
terfokus pada pembentukan inti kristal. Sedangkan kristal yang
terbentuk pada suhu es akan terbentuk kristal yang lebih besar dan
kasar karena laju pembentukan kristalnya lebih cepat atau biasa
disebut rapid akibat laju pertumbuhan kristalnya yang tinggi.
• Adanya senyawa organic ataupun anorganik : keberadaaan senyawa
lain dalam larutan mempengaruhi kristal. Senyawa anorganik
dengan kelarutan yang lebih besar daripada kristal menyebabkan
terbentuknya kristal yang lebih sederhana dibandingkan yang
terbentuk pada larutan murni dengan laju pembentukan yang sama.
Namun jika senyawa anorganik tersebut memiliki kelarutan yang
lebih kecil maka kristal yang terbentuk akan lebih rumit.
(Walcott, 1926)
Analisa Bahan
2.11.1 Kalium Klorida
2.11.1.1 Sifat Fisik

• Warna : putih
• Bentuk : padatan
• Massa molar : 74,56 g/mol
• Densitas : 1,98 g/cm³
• Titik Lebur : 770 °C
• Titik Didih : 1420 °C
• Kelarutan : 339,7 g/L
2.11.1.2 Sifat Kimia

• Dapat direduksi menjadi logamnya dengan logam


natrium pada 850°C

• Dapat diproduksi dengan mereaksikan KOH dengan


HCl

(Pradyot, 2002)

2.11.2 Natrium Nitrat

2.11.2.1 Sifat Fisika

• Berwarna putih
• Bentuk : Padatan bubuk atau kristal tak berwarna
• Massa molar : 84,995 g/mol
• Densitas : 2,257 g/cm³, padat
• Titik Lebur : 308 °C
• Titik didih : 380 °C
• Kelarutan : 91,2 g/100 g air

2.11.2.2 Sifat Kimia


• Biasa disintesis dengan proses netralisasi asam nitrat
dengan natrium karbonat atau natrium bikarbonat atau
natrium hidroksida. Dapat disintesis juga dengan
mereaksikan ammonium nitrat dengan natrium
hidroksida, atau natrium bikarbonat, atau natrium
karbonat.

(Haynes, 2014)
METODE PENELITIAN
3.1 Alat
• Gelas beker
• Gelas Kimia
• Corong Penuapan
• Corong Gelas
• Neraca analitik
3.2 Bahan
• Kalium Klorida
• Natrium Nitrat

3.3 Cara Kerja


3.3.1 Pembuatan Garam Kalium Nitrat

7,5 gram KCl 8,5 gram NaNO3

Gelas Beker Gelas Beker

- Pelarutan dalam 50 mL air panas - Pelarutan dalam 50 mL air panas

- Pencampuran
- Penguapan hingga volume 40 mL
- Penyaringan
- Penguapan hingga volume 20 mL
- Pendinginan
- Penyaringan

Kristal Kalium Nitrat

3.3.2 Pemurnian Kristal Kalium Nitrat


Kristal KNO3
Gelas Beker
Filtrat Residu

- Menimbang kristal
- Menghitung rendeman

Hasil

DATA PENGAMATAN
No Perlakuan Hasil
1 Pembuatan garam KNO3
• KCl ditambahkan NaNO3 Terbentuk endapan NaCl
• Penguapan sampai volume 40 ml Pengotor (H2O) menguap
• Penyaringan dalam keadaan panas NaCl terpisah dari KNO3
• Pendinginan
• Penyaringan Terbentuk kristal KNO3
Kristal KNO3 terpisah dari pengotor
Massa kristal hasil kristalisasi 7,5
gram
2 Rekristalisasi garam KNO3
• Pemanasan NaCl atau sisa pengotor hilang
• Penyaringan Terbentuk kristal KNO3
• Pendinginan
• Pendiaman diruang terbuka Sisa air yang terkandung pada filtrat
• Penimbangan menguap
Kristal KNO3 diperoleh sebesar 5
gram
HIPOTESIS
Akan dilakukan suatu percobaan dengan judul “Pembuatan Kalium
Nitrat” tujuan dilakukannya percobaan ini adalah untuk mempelajari
pembuatan garam kalium nitrat hasil reaksi antara natrium nitrat dengan
kalium klorida dan mempelajari pemisahan garam kalium nitrat dari hasil
samping natriumklorida berdasarkan perbedaan kelarutan. Adapun metode
yang digunakan adalah kristalisasi yaitu proses untuk mendapatkan kristal
padat dari larutan induk yang homogen dan rekristalisasi yaitu proses
lanjutan dari kristalisasi untuk memurnikan zat padat dengan melarutkannya
pada suatu pelarut lalu dikristalkan kembali. Sedangkan untuk prinsipnya
adalah adanya perbedaan kelarutan senyawa daam suatu pelarut. Hasil yang
mungkin diperoleh adalah kristal garam kalium nitrat yang berwarna putih.
IV. PEMBAHASAN
Telah dilakukan percobaan yang memiliki judul “Pembuatan Kalium
Nitrat” dengan tujuan percobaan yakni untuk mempelajari pembuatan
garam kalium nitrat hasil reaksi antara natrium nitrat dengan kalium klorida
serta mempelajari pemisahan garam tersebut dari hasil samping natrium
klorida berdasarkan adanya perbedaan kelarutan. Percobaan ini dilakukan
dengan didasari oleh prinsip perbedaan kelarutan yang memiliki pengertian
sebagai perbedaan pada senyawa yang melakukan pelarutan didalam sebuah
pelarut. Penggunaan metode pada percobaaninidigunakan 2 jenismetode,
yaitukristalisasi dan rekristalisasi. Kristalisasi merupakan metode
pemisahan suatu zat yang terjadi dengan cara pembentukan kristal
berdasarkan perbedaan kelarutan antara zat yang akan dimurnikan dengan
kelarutan zat-zat yang tidak diharapkan. Untuk rekristalisasi adalah proses
terbentuknya kristal kembali dalam jumlah banyak dengan keadaan murni
akibat zat-zat pengotor dalam pelarut yang berhasil dihilangkan.
6.1 Pembuatan garam kalium nitrat
Percobaan ini dilakukan dengan tujuan yaitu untuk melakukan
pembuatan dari garam kalium nitrat sebagai hasil reaksi natrium nitrat
bersama kalium klorida. Percobaan ini didasari oleh prinsip perbedaan
kelarutan dengan kristalisasi sebagai metode yang digunakan selama
percobaan. Percobaan diawali dengan memasukkan KCl serta NaNO3
dalam masing-masing gelas beker yang kemudian kedua larutan
tersebut dilarutkan menggunakan aquadest panas serta dilakukan
pengadukan secara baik dan benar. Tujuan digunakannya aquades
panas dalam pelarutan kedua larutan tersebut adalah untuk
mempercepat proses kelarutan serta agar larutan berlangsung jenuh
sehingga cepat untuk mudah bereaksi. Lakukan pengadukan agar
reaksi dapat cepat berlangsung membentuk suatu larutan yang
homogen. Dalam perbedaan kelarutan, larutan kalium nitrat jauh lebih
sukar larut apabila dibandingkan dengan natrium nitrat. Hal tersebut
diakibatkan karena dari natrium nitrat memiliki sifat higroskopis yang
membuatnya dapat lebih cepat larut daripada kalium klorida. Dapat
dilihat dari garam yang dihasilkan yaitu KNO3 dengan kepemilikan
sifat nitratdari natrium nitratnya. Reaksi yang terjadi :
KCl(aq) + NaNO3(aq) → KNO3(aq) + NaCl(aq)
(Svehla, 1985)
Kedua larutan kemudian dicampurkan dan lakukan pemanasan
hingga campuran larutan tersebut menguap sampai volume 40 mL.
Pemanasan dilakukan untuk mempercepat proses terjadi reaksi serta
mempercepat proses penguapan. Selain itu, terjadinya penguapan ini
dapat menghilangkan pengotor yang sulit terlarut dalam larutan
seperti contoh adalah pelarut H2O yang dapat dihilangkan dengan cara
pemisahan menjadi gas O2 dan H2 yang teruapkan.
Reaksi yang terjadi :
2H2O(l)→ 2H2(g) + O2(g)
(Svehla, 1985)
Terjadi pembentukan NaCl dari campuran larutan sebelumnya
yang kemudian akan mengendap dikarenakan kemampuan terlarut
dalam aquades lebih sulit terlarut apabila dibandingkan dengan
kelarutan KNO3. NaCl juga memiliki nilai Qc lebih besar yang
membuatnya dapat lebih mudah untuk mengendap dibandingkan
dengan nilai Qc KNO3. Larutan kemudian dilakukan penyaringan
ketika dalam keadaan panas dengan tujuan menghindari
mengkristalnya garam KNO3. Hal tersebut dikarenakan KNO3 yang
mudah mengendap di suhu rendah. Penyaringan dilakukan untuk
memisahkan larutan dari pengotor. Larutan diuapkan kembali sampai
volume 20 mL. Penguapan dilakukan sebanyak dua kali untuk
menghilangkan penguap lebih banyak, sehingga kristal yang akan
diperoleh nanti jauh lebih murni. Larutan kemudian didinginkan
menggunakan bantuan es batu. Tujuan dari pendinginan dengan es
batu adalah untuk mempercepat pembentukan kristal. Akan tetapi,
Kristal hasil pendinginan menggunakan es batu akan lebih mudah
rapuh dan bentuk Kristal besar-besar dikarenakan ketidak sempurnasn
pembentukan inti dari kristal. Apabila pendinginan dilakukan di suhu
ruang, maka kristal yang diperoleh lebih kuat serta bentuk kristal yang
dihasilkan kecil-kecil dikarenakan pembentukan inti dari kristal
terbentuk secara sempurna. Endapan kemudian disaring kembali
dengan kertas saring untuk diperoleh filtrat dan endapan kristal KNO3.
Hasil percobaan yang diperoleh adalah kristal KNO3 seberat 7,5 gram
yang memiliki warna putih.

6.2 Pemurnian kristal kalium nitrat


Percobaan ini dilakukan dengan tujuan yaitu untuk mempelajari
pemisahan kalium nitrat dari hasil samping natrium klorida
berdasarkan perbedaan kelarutan. Penggunaan metode pada
percobaan ini adalah metode rekristalisasi. Percobaan diawali dengan
menambahkan aquades terhadap kristal KNO3 yang berada pada gelas
beker. Dilakukan penambahan aquades untuk menarik pengotor dari
kristal yang berupa natrium klorida untuk dipisahkan dari KNO3.
KNO3 akan larut dalam aquades dari hasil samping berupa NaCl yang
kurang larut dalam aquades karena memiliki perbedaan kelarutan
dengan KNO3. Natrium klorida merupakan larutan jenuh yang tidak
dapat dilakukan pelarutan berulang kali.Lakukan pemanasan untuk
mempercepat reaksi dengan melakukan pemecahan pada aquades
dengan membentuk gas H2 dan O2 yang akan menguap untuk
menghilangkan zat pengotor dan aquades itu sendiri.
Reaksi yang terjadi :
2H2O(l)→ 2H2(g) + O2(g)
(Svehla, 1985)

Larutan kemudian akan didinginkan untuk memperkecil daya larut


sehingga larutannya akan membentuk endapan. Hasil endapan yang
diperolehakan dipisahkan dari sisa pengotor dan kemudian
dimurnikan melalui proses rekristalisasi. Apabila kristal yang
dihasilkan semakin besar maka semakin baik dan kecil kemungkinan
untuk Kristal dapat tercemar oleh pengotor. Kristal yang sudah
diperoleh kemudian di diamkan selama dua hari sudah kering atau
kemungkinan seminggu jika ingin didapatkan hasil yang lebih murni.
Lakukan penimbangan pada kristal dan diperoleh pada percobaan
ini adalah terbentuknya Kristal murni berupa garam kalium nitrat
murni yang bebas dari klorida dikarenakan pengotor-pengotornya
sudah hilang ataupun berkurang ketika dilakukan rekristalisasi.
Kristal yang terbentuk dilakukan penimbangan serta didapatkan
seberat 5 gram dengan persentase rendemen 44,5%. Hasil rendemen
persentase yang dihitung tidak diperoleh 100% akibat lamanya waktu
penguapan sehingga sifat higroskopis yang dimiliki kristal
memungkinan adanya kristal yang bereaksi dengan O2, serta
penyaringan yang kurang sempurna seperti beberapa kristal yang
dapat ikut tersaring atau pun hal lain seperti adanya zat pengotor yang
masih belum hilang dari kristal.
LAMPIRAN PERHITUNGAN
m KCl = 7,5 gr

ArKCl = 74,5 g/mol

m NaNO3 = 8,5 gr

Ar NaNO3 = 85 g/mol

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
Mol KCl =
𝐴𝑟𝐾𝐶𝑙

7,5𝑔
=
74,5𝑔/𝑚𝑜𝑙

= 0,1 mol

𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
Mol NaNO3 =
𝐴𝑟𝑁𝑎𝑁𝑂3

8,5𝑔
=
85𝑔/𝑚𝑜𝑙

= 0,1 mol

𝐾𝐶𝑙(𝑎𝑞) + 𝑁𝑎𝑁𝑂3(𝑎𝑞) → 𝐾𝑁𝑂3(𝑎𝑞) + 𝑁𝑎𝐶𝑙(𝑎𝑞)

m : 0,1mol 0,1mol

b : 0,1 mol 0,1 mol 0,1 mol 0,1 mol

s: - - 0,1 mol 0,1 mol

m KNO3= mol x Mr

= 0,1 mol x 101 g/mol


= 10,1 gr

Rendementeoritis = 10,1 gr

Rendemennyata = massakristal KNO3 – massakertassaring

= 5 gr – 0,5 gr

= 4,5 gr

𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑛𝑦𝑎𝑡𝑎
Rendemenpresentase = 𝑥 100%
𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠

4,5𝑔
= 𝑥 100%
10,1𝑔

= 44,5 %
PERCOBAAN 10
“PENJERAPAN ZAT CAIR PADA MATERIAL BERPORI”

VII. TUJUAN PERCOBAAN


Mempelajari fenomena penjerapan/adsorbsi larutan baik asam, basa,
netral, dan larutan yang mengandung ion logam pada berbagai material
berpori.

VIII. DASAR TEORI


II.1 Adsorpsi
Adsorpsiiadalah serangkaian proses yang terdiri atasireaksi-
reaksi permukaan zat padati (disebut adsorben) dengan zat
pencemari(disebut adsorbat), baik pada fasa cairimaupun gas.
Karena adsorpsi adalah fenomena dimana molekul,iatom atau ion
dalam bentukigas atau cairan terkumpul di permukaanizat padat
lainnya. Adsorpsi mencakup penghilangan padataniterlarut dalam
larutan atau pelarut oleh permukaan zatipadat atau pemulihan
pelarut terlarutioleh permukaan tersebut yang prosesnyaibiasa
disebut pemerasan. Adsorpsiisendiri melibatkan perubahan energi
bebas (ΔG),ientropi (ΔS) dan suhu. Kemudian adsorpsiidibedakan
menjadi dua berdasarkan pembentukan lapisan molekul,
yaituiadsorpsi unimolekuler dan adsorpsi multimolekul.
Adsorpsiiunimolekuler terbatas pada pembentukan lapisan
molekulitunggal pada permukaan solid, sedangkaniadsorpsi
multimolekul melibatkanipembentukan beberapa lapisan molekul
pada permukaanisolid (Mhemeed, 2018).

II.2 Jenis Adsorpsi


Berdasarkan jenis gayaiyang berpengaruh pada
prosesiadsorpsi, adsorpsi dibedakanimenjadi dua jenis, yaitu
adsorpsi fisiki(alami) dan adsorpsi kimia.iAdsorpsi fisik atau bisa
juga disebut adsorpsiiVan der Waals, disebabkan oleh gaya
tarikimenarik antara permukaan atom dengan atom,ipartikel atau
ion yang teradsorpsiipada permukaan. Sedangkan adsorpsiikimia
disebabkan oleh gaya yang dihasilkan dari laju inter-unionipendek
yang melibatkan pembentukaniinternal senyawa, yang meliputi
mekanisme pertukaraniikatan dan ikatan simbiosis, dan
ikatanihidrogen (Mhemeed, 2018).

II.3 Karakteristik Adsorpsi


Secara istilah, adsorpsi ini dapat didefinisikan sebagai
tertariknya adsorbat menuju adsorben akibat adanya gaya tarik
antarmolekul, kedua zat tersebut akan tergabung dalam satu media
permukaan (Vogel et al., 1989).Adsorbat adalah material yang
terakumulasi atau terserap pada permukaan, sedangkan absorben
adalah material padat yang menyerap suatu permukaan dari suatu
fluida (Giyatmi & Melati, 2008).

II.4 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Adsorpsi


Adsorpsi suatu larutan dapat dipengaruhi tiga faktor berupa:
1. Tekanan (P), Tekanan yang dimaksud adalah tekanan adsorbat,
kenaikan tekanan adsorbat dapat menaikkan tekanan yang
diadsorpsi.
2. Temperatur absolute (T), temperature yang dimaksud adalah
temperature absorbat, pada saat molekuk-molekul gas atau
absorbat melekat pada permukaan absorben akan terjadi
pembebasan sejumlah energy yang dinamakan peristiwa
exothermic. Berkurangnya temperature akan menambah jumlah
adsorbat yang terapsopsi demikian juga untuk peristiwa
sebaliknya.
3. Interaksi potensial (E), interaksi potensial antara adsobat dengan
dinding adsorben sangat berfariasi, tergantung dari sifat
adsobat-adsorben.
(Ginting, 2008)

II.5 Gaya Van Der Waals


Van Der Walls sendiri merupakan gaya dimana terjadi tarik
menarik antar molekul sehingga terbentuknya sebuah gaya kohesi
atau tarik menarik atas molekul sejenis. Dalam gaya van der walls
terdapat tiga jenis.
1.1. Gaya Dipol-Dipol, merupakan gaya pada molekul polar
dan momen dipol dimana gaya ini terbentuk dari adanya
ikatan elektrostatis.
1.2. Interaksi Dipol-Dipol yang mengalami induksi dipol,
dimana gaya ini diakibatkan oleh interaksi antara dipol
dengan dipol terinduksi.
1.3. Gaya Dispersi dimana gaya ini diakibatkan oleh dipol-
dipol temporer.
(Ginting, 2008)

II.6 Adsorpsi Zat Berpori


Salah satu jenis pada karbon bebas adalah arang aktif dimana
pembuatannya sendiri melalui tahap demi tahap sehingga pori-pori
permukaannya akan terbuka, hal ini mengakibatkan daya serap
menjadi tinggi ketika bertemu dengan zat dengan fasa cair maupun
gas. Permukaan arang ini cenderung bersifat non-polar dimana
struktur porinya dipengaruhi oleh luas permukaan dan jika porinya
semakin besar maka luas permukaannya pun semakin kecil begitupun
sebaliknya, jika pori arang aktif besar akan menyulitkan proses
adsorpsi (Petrucci, 1987).
II.7 Zeolit
Zeolit adalah kristal alumina silikat yang terhidrasi. Zeolit
sendiri bersifat asam dengan kation berupa alkali tanah atau alkali,
memiliki selektif kation yang bsar, kapasitas penukaran kation tinggi,
dan volume pori yang besar. Zeolit sendiri terdiri dari dua jenis, yakni
zeolit alam dan zeolit siresis. Zeolit alam didapatkan dari
penambangan mineral, sedangkan zeolit sintesis diperoleh dengan
reaksi kimia hingga didapatkan sifat fisik dan kimia yang menyerupai
zeolit alam dengan tingkat kemurnian yang lebih tinggi (Atikah,
2017).

II.8 Karbon Aktif


Karbon aktif merupakan adsorben (penyerap) yang umumnya
digunakan untuk menjernihkan air, yang dapat meningkatkan kualitas
air dengan cara menghilangkan bau, warna dan polutan pada air
tersebut. Karbon aktif sendiri memiliki tingkat porositas dan luas
permukaan yang besar. Karbon aktif dapat diperoleh dari bahan yang
di dalamnya terdapat senyawa pektin, hemiselulosa, atau lignin.
Bahan tersebut dapat berupa kulit kayu, batu bara, dan tempurung
kelapa (Lubis et al., 2021).

II.9 Analisa Bahan


II.9.1 Zeolit
a. Sifat Fisika: berupa serbuk yang warnanya putih, meleleh
pada suhu > 1600 oC, densitasnya 1,9 – 2,3 g/cm3
b. Sifat Kimia: sifatnya higroskopis, termasuk senyawa
aluminosilikat hidrat, berguna sebagai katalis untuk alcohol
(Daintith, 1994)
II.9.2 HCl
a. Sifat Fisik : cairan yang tidak mengandung warna,
mempunyai titik didih 850C dan titik leleh -140C
b. Sifat Kimia : merupakan golongan asam kuat, dapat
dilarutkan dengan mereaksikan NaCl dengan H2SO4 pekat,
dan bisa larut di dalam pelarut air
(Mulyono, 2005)

II.9.3 NaOH
a. Sifat fisika : wujudnya padat, berta molekulnya 40 g/mol,
meleleh pada 318oC dan melebur pada. 1390oC densitasnya
2,1 g/ml
b. Sifat kimia : larut dalam air dan methanol, dapat
menghasilkan garam dan air jika direaksikan antara HCl
dengan NaOH
(Kirk R.E., and Othmer, 1952)

II.9.4 FeCl3
a. Sifat fisika : berat molekulnya 162,23 g/mol, mendidih pada
315 oC, meleleh pada suhu 305 oC, dan warnya kekuningan
b. Sifat kimia : dapat melarut dalam alcohol, gliserol, dan
senyawa polar, sifatnya yang korosif.
(Perry, R. H. a. G., 1999)

II.9.5 Akuades
a. Sifat fisika : wujudnya cair tidak berwarna, titik didihnya
100oC, berat molekulnya 18,02 g/mol
b. Sifat kimia : mempunyai pH 7, tidak beracun, tidak
berbahaya, dan tidak dapat terbakar
(Aziz et al., 2013)
II.9.6 Indikator Metil Orange
a. Sifat fisika: warna jingga, berbau khas yang lemah, pH kira-
kira 6,5 pada 5 g/l 20 °C, titik lebur > 300 °C
b. Sifat kimia: larut dalam air dan alcohol
(PT.Smart-Lab, 2014)

II.9.7 Indikator PP (Phenolphthalein)


a. Sifat fisik: warnanya kuning keputihan, baunya busuk,
wujudnya cair, melelh pada 114,1 oC, mendidih pada 78,5 oC
b. Sifat kimia: tidak dapat larut dalam air tetapi larut dalam
alkali dan alcohol
(Basri, 1999)
IX. METODOLOGI PERCOBAAN
III.1 Alat
a. Botol aqua
b. Gelas beker
c. Indikator universal
d. Erlenmeyer
e. Corong
f. Kapas
g. Pengaduk
h. Gelas ukur
i. Pipet tetes

III.2 Bahan
a. Zeolit alam
b. Larutan HCl 0,1 M
c. Larutan NaOH 0,1 M
d. Larutan FeCl3 0,1 M
e. Akuades
f. Indikator Metil Orange
g. Indikator PP

III.3 Skema Kerja


III.3.1 Penyiapan Kolom Penjerap

Botol aqua

- Botol dibagi menjadi 2


- Pembalikan botol
- Penyumbatan dengan kapas
- Pemasukan zeolite alam 20 gram
Hasil

III.3.2 Penjerapan Akuades pada Zeolit


50 mL Akuades

Gelas Beker

- Pengamatan warna
- Pengukuran pH dengan indikator
universal
- Penuangan ke dalam kolom penjerap
yang sudah disediakan
- Tunggu sampai tidak ada cairan yang
menetes pada gelas penampung lagi

Residu Zeolit Filtrat

Botol

- Pengamatan warna
- Pengamatan pH

Hasil

III.3.3 Penjerapan HCl pada Zeolit


50 mL HCl 0,1 M

Gelas Beker

- Penambahan 2 tetes indicator MO


- Pengamatan warna
- Pengukuran pH menggunakan indikator
universal
- Penuangan ke dalam kolom penjerap
yang sudah disediakan
- Tunggu sampai tidak ada cairan yang
menetes pada gelas penampung lagi

Residu Zeolit Filtrat

Botol

- Pengamatan warna
- Pengamatan pH

Hasil
III.3.4 Penjerapan NaOH pada Zeolit

50 mL NaOH 0,1 M

Gelas Beker

- Penambahan 2 tetes indicator PP


- Pengamatan warna
- Pengukuran pH menggunakan indikator
universal
- Penuangan ke dalam kolom penjerap
yang sudah disediakan
- Tunggu sampai tidak ada cairan yang
menetes pada gelas penampung lagi

Residu Zeolit Filtrat

Botol

- Pengamatan warna
- Pengamatan pH

Hasil
III.3.5 Penjerapan FeCl3 pada Zeolit

50 mL FeCl3 0,1 M

Gelas Beker

- Pengamatan warna
- Pengukuran pH menggunakan indikator
universal
- Penuangan ke dalam kolom penjerap
yang sudah disediakan
- Tunggu sampai tidak ada cairan yang
menetes pada gelas penampung lagi

Residu Zeolit Filtrat

Botol

- Pengamatan warna
- Pengamatan pH

Hasil
HIPOTESIS
Percobaan ini berjudul “Penjerapan Zat Cair pada Material Berpori”
yang bertujuan untuk mempelajari fenomena penjerapan/adsorbsi larutan
baik asam, basa, netral, dan larutan yang mengandung ion logam pada
berbagai material berpori. Metode yang digunakan adalah adsorpsi. Prinsip
yang digunakan adalah gaya van der Waals. Hasil yang mungkin dihasilkan
dari percobaan ini adalah zat yang berubah warna dan nilai pH yang berubah
juga.
VI. PEMBAHASAN

Telah dilakukan percobaan yang berjudul “Penjerapan Zat Cair Pada


Material Berpori”, yang bertujuan untuk untuk mempelajari fenomena
penjerapan/adsorbsi larutan baik asam, basa, netral, dan larutan yang mengandung
ion logam pada berbagai material berpori. Metode yang digunakan adalah adsorpsi.
Adsorpsi adalah serangkaian proses yang terdiri atasireaksi- reaksi permukaan zat
padati (disebut adsorben) dengan zat pencemari(disebut adsorbat), baik pada fasa
cairimaupun gas (Mhemeed, 2018). Prinsip yang digunakan adalah gaya van der
Waals. Van Der Walls sendiri merupakan gaya dimana terjadi tarik menarik antar
molekul sehingga terbentuknya sebuah gaya kohesi atau tarik menarik atas molekul
sejenis. Dalam gaya van der walls terdapat tiga jenis yaitu Gaya Dipol-Dipol
merupakan gaya pada molekul polar dan momen dipol dimana gaya ini terbentuk
dari adanya ikatan elektrostatis, Interaksi Dipol-Dipol yang mengalami induksi
dipol dimana gaya ini diakibatkan oleh interaksi antara dipol dengan dipol
terinduksi, dan Gaya Dispersi dimana gaya ini diakibatkan oleh dipol-dipol
temporer (Ginting, 2008).

Hal pertama yang dilakukan adalah mempersiapkan kolom penjerap dengan


menyiapkan botol aqua kemudian dipotong menjadi dua bagian. Setelah itu pada
botol bagian atas dibalikkan menghadap ke botol bagian atas sehingga membentuk
seperti corong. Kemudian pada bagian atas botol disumbat dengan kapas kemudian
dimasukkan zeolit alam.

6.1 Penjerapan Akuades Pada Zeolit

Tujuan percobaan ini adalah untuk mengetahui fenomena terhadap


akuades sebelum serta sesudah adsorpsi. Aquades memiliki peran sebagai
larutan pembanding karena memiliki sifat netral. Percobaan dimulai dengan
pemasukkan zeolite yang sudah ditimbang ke dalam corong yang disumbat
dengan kapas. Tujuannya utnuk memisahkan adsorben dan adsorbat. Kapas
adalah bahan berpori yang membuat larutan dapat keluar secara perlahan.
Selanjutnya adalah pengamatan aquades dari segi pH dan warna nya.
Tujuannya untuk mengetahui pH dan warna aquades sebelum diadsorpsi.
Lalu, aquades dimasukkan ke dalam penjerap dan tunggu hingga tidak ada
tetesan. Setelah itu, dilakukan pengamatan aquades dari segi pH dan warna,
untuk mengetahui kondisi larutan sesudah diadsorpsi.

Hasil percobaan didapatkan aquades yang tidak ada perubahannya


dari sisi warna, dan ada perubahan sedikit dari pH larutan. Hal ini terjadi
karena zeolit memperangkap kandungan ion dalam air atau disebut adanya
pertukaran ion. Zeolit dapat mengikat kation-kation dan ion pengotor,
seperti logam berat, sehingga menurunkan kadar logam berat berlebihan
yang menjadikan air memiliki perubahan pada pH dan menghasilkan larutan
yang lebih jernih dan bebas ion.

6.2 Penjerapan HCl Pada Zeolit

Dilakukannya percobaan ini ditujukan agar dapat diketahui


perubahan warna dan pH HCl yang muncul sebelum dan setelah dilakukan
adsorpsi dengan zeolite. Langkah awalnya yakni menyiapkan HCl 0,1 M
sebanyak 50 mL dalam gelas beker. Namun karena di laboratorium hanya
terdapat HCl 1M maka dilakukan perhitungan dan diperoleh volume HCl
sebanyak 5 mL yang kemudian diencerkan menggunakan aquades sampai
mencapai 50 mL HCl 0,1 M.

Dilanjut dengan ditambahkannya indikator metil orange (MO)


sebanyak 2 tetes yang berperan sebagai indikator perubahan warna dan pH
yang terjadi pada HCl saat adsorpsi dilakukan. Adanya indikator MO ini
akan menandakan bagus atau tidaknya zeolite yang digunakan. Percobaan
ini menggunakan MO sebagai indikator, sebab range pH antara 3,3-4,6 yang
mana termasuk pH asam dan pH HCl masih dalam range tersebut, sehingga
tidak akan mengubah keasamaan HCl. Setelah diamati, warna HCl yang
awalnya bening berubah menjadi orange pekat dan setelah diukur pH nya
didapatkan pH 1. Dilakukan pengukuran pH supaya bisa diketahui besarnya
pH HCl sebelum dilakukan proses adsorpsi. Reaksi antara HCl dengan
indikator metil orange yakni:

(Mulyono, 2005)
Kemudian HCl yang telah terjadi perubahan warna dan pH,
dimasukan dalam kolom penjerap dan tunggu sampai penetesan selesai.
Setelah pengadsorpsian selesai, maka akan terpisah adsorben (zeolite)
dengan adsorbatnya (HCl). HCl hasil adsorpsi lalu diukur pH dan diamati
perubahan warnanya. Hasilnya didapatkan pH menjadi 3 dengan warnanya
menjadi orange jernih. pH yang naik ini sebab zeolite yang mengadsorp H+
pada HCl yang membuat konsentrasi H+ berkurang sehingga pH nya naik.
Selain itu warna HCl yang berubah juga disebabkan oleh zeolite yang
mengadsorp warna HCl yang membuat warnanya menjadi orange jernih.
Adanya perubahan warna dan pH dapat menandakan bahwa dalam
percobaan ini menggunakan zeolite (adsorben) yang bagus.

6.3 Penjerapan NaOH Pada Zeolit

Percobaan ini bertujuan untuk mempelajari fenomena adsorpsi


larutan basa NaOH pada material berpori zeolit (pasir borobudur). Pertama
dilakukan persiapan kolom penjerap dengan pemotongan botol plastik air
mineral menjadi dua. kemudian mengambil bagian atas botol yang seperti
corong dan menyumbatnya dengan kapas. Kapas yang merupakan material
berpori dapat membantu memaksimalkan proses adsorpsi dengan membuat
adsorben dan adsorbat terpisah dan larutan dapat keluar secara perlahan
dalam proses adsorpsi. Selanjutnya pemasukan zeolit sebagai adsorben ke
dalam kolom penjerap lalu menempatkan kolom penjerap tersebut di atas
erlenmeyer layaknya corong. Setelah itu persiapan larutan NaOH sebagai
adsorbat dalam gelas beker lalu penambahan indikator basa PP
(phenolphthalein) ke dalam larutan NaOH untuk menunjukkan perubahan
warna selama proses adsorpsi. Indikator PP memiliki pH 8,3-10,2
mendekati pH larutan basa NaOH sehingga PP dapat berperan sebagai
indicator dalam percobaan ini (Brady,1990). Hasil menunjukkan larutan
berwarna merah keunguan pekat ber-pH 12. Selanjutnya pemasukan larutan
NaOH ke dalam kolom penjerap dan pendiaman hingga larutan berhenti
menetes ke dalam erlenmeyer. Setelah pemisahan selesai dilakukan
pengamatan warna dan pengukuran pH pada hasil filtratnya.
Hasil percobaan menunjukkan larutan mengalami perubahan warna
dan pH yang semula merah keunguan pekat ber-pH 12 menjadi merah
keunguan pink. Berikut reaksi yang terjadi

(Ronald, 2003)
Adanya perubahan warna dan pH larutan antara sebelum dan setelah
proses adsorpsi menunjukkan kandungan kadar OH- dalam larutan NaOH
terjerap pada zeolit dan terjadi interaksi tolak-menolak antar ion OH- yang
terlampau banyak dengan zat warna sehingga serapannya mengalami
penurunan.

6.4 Penjerapan FeCl3 Pada Zeolit

Percobaan dilakukan menggunakan FeCl3 sebagai bahan yang


dijerap, tujuannya agar kita tahu fenomena penjerapan yang akan terjadi
pada larutan berion logam. FeCl3 dipilih sebagai bahan yang dijerap karena
termasuk dalam golongan logam (PubChem, 2021). Percobaan diawali
dengan mengamati warna dan pH dari larutan FeCl3, tujuannya adalah
sebagai pembanding dengan hasil setelah percobaan, sehingga kita akan
tahu apa saja yang mempengaruhi terjadinya penjerapan. Pada sampel
FeCl3 sebelum diabsorbansi akan dilakukan pengukuran pH dan didapatkan
nilai 2 yang berarti dalam keadaan asam, FeCl3 pada mulanya berwarna
Coklat.
Kemudian kita lanjutkan proses percobaan dengan menuangkan
larutan FeCl3 ke dalam kolom penjerap yang terbuat dari potongan botol dan
pada lubang mulutnya disumbat dengan kapas serta diisi dengan zeolit
(materi penjerap), tujuan penyumbatan dengan kapas adalah untuk
meningkatkan pori-pori saat penjerapan, sehingga saat terjadi peningkatan
suhu pada saat proses reaksi, tidak terjadi proses desorpsi (Al-Haj Ali & El-
Bishtawi, 1997). Pada prosesnya, akan terjadi pengeluaran spesies alumina
dari zeolit yang disebabkan karena interaksi permukaan zeolit dengan kation
logam. Hal itu karena terbentuk ikatan koordinasi antara Ion Fe3+ yang
berasal dari FeCl3 dan atom O. Dengan demikian akan terjadi polarisasi
ikatan Al-O karena kekurangan elektron dan tidak sekuat sebelumnya,
sehingga Al akan putus dari ikatannya. Untuk perkiraan reaksinya sebagai
berikut:

(Gressangga et al., 2011).


Setelah kita melakukan percobaan didapatkan hasil bahwa proses
adsorpsi terjadi dilarutan FeCl3, pada permukaan zeolit nantinya akan
terbentuk fluida yang tersusun atas ion Fe3+. Selain itu pada hasil
pengamatan setelah percobaan, didapatkan pH = 3 dengan warna larutan
coklat muda .
VII. PENUTUP

7.1 Kesimpulan

Dari percobaan yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan


bahwa sebuah larutan netral tidak dapat mengalami penjerapan, hal itu
dikarenakan di dalam larutan tersebut tidak terdapat ion logam maupun
padatan yang lain, berbeda dengan larutan asam, basa dan berion logam.
Berbeda hal nya, pada adsorpsi HCl, NaOH, FeCl3 dengan karbon aktif
sebagian besar menunjukkan bahwa zeolit mampu bertindak sebagai
penjerap karena setelah dilakukan adsorpsi dengan zeolit larutan menjadi
lebih netral atau mendekati netral. Hal ini disebabkan oleh sifat zeolit
sebagai penukar ion yang menjadikan zeolit sebagai penetral muatan lstrik.
Ukuran pori memengaruhi daya adsorpsi.
pH akuades sebelum diadsorpsi adalah 5 dan setelah diadsorpsi
pHnya tetap 5 yang sama-sama berwarna bening, pH larutan HCl sebelum
diadsorpsi adalah 1 berwarna merah muda dan setelah diadsorpsi pHnya
adalah 3 berwarna merah muda jernih, pH larutan NaOH sebelum diadsorpsi
adalah 13 berwarna oranye pekat dan setelah diadsorpsi pH nya adalah 10
berwarna bening, pH larutan FeCl3 sebelum diadsorpsi adalah 2 berwarna
coklat muda dan setelah diadsorpsi pH nya adalah 3 berwarna coklat muda
jernih.

7.2 Saran
• Sampel dalam percobaan dapat ditambahkan air kotor agar diketahui
pengaruh absorbansi yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat
• Senyawan sampel dapat digunakan dengan bahan yang berbeda tergantung
pada stok lab, seperti HCl dapat diganti H2SO4
LAMPIRAN PERHITUNGAN

1) Pengenceran Larutan HCl 1 M


Diketahui: M1 = 0,1 M; V1 = 50 mL; M2 = 1 M
Ditanya: nilai V2
Jawab:
𝑉1 𝑀1 = 𝑉2 𝑀2
50 .0,1 = 𝑉2 . 1
50.0,1
𝑉2 = = 5𝑚𝐿
1

2) Pengenceran Larutan NaOH 1 M


Diketahui: M1 = 0,1 M; V1 = 50 mL; M2 = 1 M
Ditanya: nilai V2
Jawab:
𝑉1 𝑀1 = 𝑉2 𝑀2
50 .0,1 = 𝑉2 . 1
50.0,1
𝑉2 = = 5𝑚𝐿
1

3) Perhitungan massa FeCl3 dalam Larutan


Diketahui: V = 50 mL; M = 0,1 M, Mr = 162,2 g/mol
Ditanya: nilai m
Jawab:
𝑚 1000
𝑀= .
𝑀𝑟 𝑉
𝑚 1000
1𝑀 = .
162,5 200
0,1.162,2.50
𝑚= = 0,811 𝑔𝑟𝑎𝑚
1000

Anda mungkin juga menyukai