I. TUJUAN PERCOBAAN
I.1. Mempelajari pembuatan garam natrium tiosulfat dan sifat-sifat
kimianya.
Umumnya tiosulfat yang telah ada dapat larut didalam air tetapi
tiosulfat yang berasal dari kalium dan timpal perak hanya sedikit larut.
Banyak dari tiosulfat larut pada larutan natrium tiosulfat yang berlebih
dengan membentuk garam kompleks. Dalam mempelajari reaksi pada ion
sulfate larutan yang sering digunakan berupa natrium tiosulfat pentahidrat
(Na2S2O3.5H2O)
1. Dengan Asam Klorida Encer
Pada reaksi ini dalam keadaan dingin tidak terjadi perubahan
dengan cepat, tetapi cairan yang bersifat asam ini akan berubah
menjadi keruh disebabkan oleh adanya pemisahan belerang serta
terbentuknya asam sulfit pada larutan. Dengan adanya pemanasan
larutan maka akan terbentuk gas belerang dioksida yang ditandai
dengan timbulnya bau khas.
S2O32- + 2H+ → S↓ + SO2↑ + H2O
(Svehla, 1985)
2. Dengan Larutan Iod
Reaksi ini akan menghasilkan larutan ion tetrationat yang
tidak berwarna. Biasanya reaksi ini digunakan pada metode
iodometri dan iodimetry dari analisis titrasi. Reaksi yang
berlangsung adalah :
I2 + 2 S2O32- → 2I- + S4O62-
(Svehla, 1985)
3. Dengan Larutan Barium Klorida
Reaksi ini akan menghasilkan endapan berwarna putih
berupa barium tiosulfat dengan reaksi :
S2O32- + Ba2+ → BaS2O3↓
(Svehla, 1985)
4. Dengan Larutan Perak Nitrat
Reaksi ini aka menghasilkan endapan putih berupa perak
tiosulfat dengan reaksi :
S2O32- + 2Ag+ → Ag2S2O3↓
(Svehla, 1985)
Endapan yang diperoleh tidak stabil sehingga akan menjadi gelap
saat didiamkan dan terbentuk perak sulfida.
5. Dengan Larutan Besi (III) Klorida
Reaksi ini akan menghasilkan larutan berwarna lembayung
tua akibat terbentuknya kompleks ditiosulfatobesi (III), tetapi
setelah didiamkan warna akan menghilang sehingga terbentuk ion
tetrationat dan besi (II) dengan reaksi :
2 S2O32- + 2Fe3+ → S4O62- + 2Fe2+
(Svehla, 1985)
II.3 Alotropi Belerang (Khafiyah Balqis)
(Petrucci, 1997)
II.4 Refluks (Farhan Widya) Commented [DAL1]: Cantumkan gambar set alatnya.
(Oxtoby, 2001)
• Sifat fisik :
• Sifat kimia :
(Sukardjo, 1986)
2.6.2 Larutan Iodium Dalam Kalium Iodide
• Sifat fisik :
Memiliki titik didih 183 oC, titik lebur 144 oC, dan pada
suhu ruang bentuknya zat padat
• Sifat kimia :
Kurang reaktifnya terhadap hydrogen
(Handoyo, 1995)
• Sifat fisik :
HCl memiliki titik didih sebesar 114,61 0C, memiliki
berat molekul, yaitu 36,47 g/mol, dan titik leleh sebesar
-119,29 0C
• Sifat kimia :
HCl bersifat korosif, merupakan asam kuat, dan tidak
berwarna
(Basri, 1996)
• Sifat fisik :
Zat padat berupa non logam dan berwarna kuning
• Sifat kimia :
Beracun dan juga pada air tidak larut
(Vogel, 1994)
• Sifat fisik :
Memiliki titik leleh 888 oC, tidak berwarna, dan berat
jenis sebesar 142, 05 g/mol
• Sifat kimia :
Dapat diproduksi dari hasil kristalisasi
(Perry, 1934)
• Sifat fisik :
Memiliki titik didih 1560 oC, titik leleh 963 oC, dan
berupa padatan berbentuk kristal
• Sifat kimia :
Dapat larut di dalam metanol dan sedikit pada asam
hidroklorat
(Perry, 1934)
2.6.7 Aquadest
• Sifat fisik :
H2O memiliki titik beku 0 0C, titik didih 100 0C, dan berat
molekul 18 g/mol
• Sifat kimia :
Bersifat polar dan dapat digunakan sebagai pelarut yang
universal
(Perry, 1984)
III. METODE PERCOBAAN (Wanda Demona)
III.1.1 Alat
• Neraca Analitik
• Set Alat Refluks
• Tabung Reaksi
• Set Timbangan
• Pengaduk
• Pembakar Spritius
• Cawan Penguap
III.1.2 Bahan
Labu Refluks
- Penambahan 20 mL aquades
- Penambahan 5 gram serbuk belerang
- Perefluksan selama 1 jam
- Pendinginan
- Penyaringan
Residu
Filtrat Kertas Saring
Cawan Penguapan
Kristal
Kertas Saring
- Pengeringan
- Penimbangan
Hasil
III.2.2 Mempelajari sifat-sifat kimia Natrium Tiosulfat
a. Pengaruh Pemanasan
Natrium Tiosulfat 5 Hidrat
Tabung Reaksi
- Pemanasan
- Pengamatan
Hasil
Tabung Reaksi
- Pemanasan
- Pengamatan
Hasil
-
Hasil
b. Reaksi dengan Klor
2-3 mL Natrium Klor
Erlenmeyer
Erlenmeyer
Hasil
IV. DATA PENGAMATAN (Ananda Rihhadatul A)
(Svehla, 1990)
6.2.2 Reaksi dengan Iod (Khafiyah Balqis)
Percobaan ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa ion
tiosulfat merupakan reduktor kuat. Langkah awal yang dilakukan
pada percobaan ini adalah pelarutan natrium tiosulfat dengan
akuades dalam erlenmeyer. Kemudian ke dalam larutan natrium
tiosulfat tersebut ditambahkan larutan iodin. Setelah itu dilakukan
penambahan natrium sulfat berlebih.
Pada percobaan ini, reaksi yang terjadi merupakan reaksi
redoks dimana penambahan I2 ke dalam larutan natrium tiosulfat
berfungsi sebagai oksidator. Sedangkan ion tiosulfat sendiri
bertindak sebagai reduktor. Adanya reaksi redoks yang terjadi ini
dapat diketahui dengan adanya gelembung yang terbentuk serta
terjadi perubahan warna yaitu semula berwarna kuning kemudian
berubah menjadi tak berwarna. Adapun persamaan reaksinya
adalah sebagai berikut:
Reduksi : I2(aq) + 2e- → 2I-(aq)
Oksidasi : 2S2O32-(aq) → S4O62-(aq) + 2e-
2S2O32-(aq) + I2(aq) → S4O62-(aq) + 2I-(aq)
(Cotton, 1989)
(Svehla, 1990)
(Svehla, 1990)
VII. PENUTUP (Dimas Alifiansah)
VII.1 Kesimpulan
Pembuatan natrium tiosulfat dilakukan dengan cara
mereaksikan natrium sulfit dengan serbuk belerang dengan
menggunakan metode refluks dan kristalisasi. Serta prinsipnya yaitu
pemanasan dan pengendapan sehingga diperoleh hasil berupa kristal
putih natrium tiosulfat-5-hidrat dengan rendemen persentase
sebanyak 35.601%.
VII.2 Saran
Saat percobaan praktikan harus menggunakan vaseline pada corong
labu supaya bisa melepasnya dengan mudah dari kondensor agar
tidak terjadi hal yang tidak diinginkan
LAMPIRAN PEHITUNGAN
Diketahui:
Na2SO3 = 25 gram
S8 = 5 gram
BM S8 = 256 gram/mol
= 25,28 gram
9 𝑔𝑟𝑎𝑚
= × 100%
25,28 𝑔𝑟𝑎𝑚
= 35.601%
(Cinta Nur N)
PERCOBAAN 2
“PEMURNIAN BAHAN MELALUI KRISTALISASI”
TUJUAN PERCOBAAN
1.1. Mempelajari salah satu metode pemurnian yaitu rekristalisasi penerapannya
pada pemurnian garam dapur kasar
DASAR TEORI
1.2. Kristalisasi
Kristalisasi merupakan sebuah cara pemurnian dan pemisahan yang
berguna untuk membentuk berbagai macam bahan. Kristalisasi dapat juga
diartikan sebagai adanya perubahan fasa kristal yang diperoleh dari suatu larutan
(Febriyanto, 2019).
1.4. Rekristalisasi
Tahap memurnikan kembali zat produk kristalisasi sehingga didapatkan
zat lebih murni ialah definisi dari rekristalisasi. Rekristalisasi dengan
menambahkan solvent dilakukan pada temperatur ruang apabila produk
kristalisasi baik dan mampu lebih terlarut pada temperatur lebih tinggi.
Tujuannya yaitu supaya kontaminan mampu melewati kertas saring dan hanya
zat murni yang tertinggal pada kertas saring (Fessenden, 1993).
1.5. Proses Kristalisasi
Proses yang ada dalam rekristalisasi yaitu mula-mula melarutkan zat
produk kristalisasi pada solvent yang bersesuaian dengan memanaskannya
dalam temperatur mendekati titik didih solventnya. Kemudian, mendinginkan
larutan hingga terbentuk kristal dan melakukan filtrasi untuk mengambil kristal
yang terbentuk. Terakhir, mengeringkan kristal produk rekristalisasi (Cahyono,
1991).
1.6. Hasil Kali Kelarutan (Ksp)
Ksp atau hasil kali kelarutan berupa hasil perkalian konsentrasi ion pada
larutan jenuh garam yang sulit terlarut pada air. Hubungan Ksp dan kelarutan,
yaitu:
62,5mL Aquadest
Gelas Beker
Filtrat Larutan
Gelas Beker
Larutan I Larutan II
Larutan I
Gelas Beker
Larutan Filtrat
Kristal NaCl
Gelas Beker
Aquadest
- Penimbangan
- Perhitungan
Hasil
DATA PENGAMATAN
(Svehla, 1990)
Selain itu, ion Ca2+ juga mampu bereaksi dengan kontaminan pada
larutan, seperti ion SO42- dan ion CO32- dengan membentuk endapan. Hal itu
disebabkan oleh nilai hasil kali kelarutan yang melampaui Kspnya dengan reaksi
sebagai berikut :
(Svehla, 1990)
Setelah itu, menambahkan (NH4)2CO3 ke dalam larutan guna mengikat
ion Ba2+ dan Ca2+ yang berlebih pada larutan dan endapan putih terbentuk
kembali. Reaksi yang terjadi yaitu :
Ba2+ + CO32- →BaCO3
Ca2+ + CO32- → CaCO3
Adapun reaksi keseluruhan :
(Svehla, 1990)
Gas HCl akan masuk dalam tabung reaksi I melewati pipa U. Filtrat
garam dari perlakuan awal akan jenuh karena adanya gas HCl sehingga terjadi
pengendapan dan terbentuk kristal. Pengendapan terjadi karena hasil kali
kelarutan ion-ion (Qc) lebih besar dari pada ketetapan hasil kali kelarutan (Ksp).
Filtrat garam NaCl menjadi lewat jenuh sehingga terbentuk endapan NaCl yang
lebih murni dengan reaksi:
(Svehla, 1990)
Adanya penambahan ion sejenis (Cl-) dari HCl, akan meningkatkan
konsentrasi ion Cl- dalam larutan NaCl. Oleh karena itu, filtrat garam (NaCl)
akan mengendap dan membentuk kristal. Ketika ion Cl- ditambahkan,
kesetimbangan akan bergeser ke kiri sehingga terbentuk endapan. Kristal NaCl
yang terbentuk melalui pengendapan diperoleh lebih lama dibandingkan melalui
penguapan. Selain itu, kristal yang terbentuk berukuran kecil dan halus serta
lebih murni dengan jumlah yang lebih sedikit. Hal ini dikarenakan oleh
penggunaan satu reagen yaitu H2SO4. Hasil dari percobaan didapatkan massa
kristal NaCl murni melalui penimbangan sebesar 3 gram dengan rendemen
prosentase sebesar 15%.
PENUTUP
1.15. Kesimpulan
Hasil yang diperoleh pada kristalisasi melalui penguapan kristal NaCl
berupa kristal dengan warna putih keruh sebesar 13 gram dan rendemen
prosentase diperoleh 65%, sedangkan pada rekristalisasi melalui pengendapan
kristal NaCl diperoleh massa sebesar 3 gram dengan rendemen prosentase sebesar
15 %.
1.16. Saran
Penggunaan Ba(OH)2 yang berfungsi untuk mengikat zat – zat pengotor
dapat diganti dengan senyawa hidroksida lainnya, seperti AgOH,
LiOH, dan lain sebagainya guna mengetahui hasil ujinya sehingga
dapat dilakukan perbandingan.
PERCOBAAN III
I. TUJUAN PERCOBAAN
1.1 Memahami pembikinan, pemurnian, serta sifat ionekompleks
[Co(NH3)4CO3]+.
a. Sifat fisika
Berupa kristal dengan warna merah, massa molar sebesar
291,03 g/mol, titik didih antara 100°C-105°C, dan titik leleh
100°C.
b. Sifat kimia
Memiliki rumus molekul Co(NO3)2.6H2O, memiliki pH 4,
dapat berisiko meledak, dapat larut dalam air, aseton,
ammonia, etanol, alcohol, dan methanol.
(Perry and Green, 2008)
3.2 Bahan
- Kobalt (II) nitrat heksahidrat pekat
- Ammonium karbonat
- Larutan ammonia
- Larutan hidrogen peroksida
- Kertas saring
- Etanol
3.3 Skema Kerja (Della Kusuma)
- Pencampuran
- Penambahan 4 mL H2O2 30%
Hasil campuran
Gelas beker
- Pemanasan
- Penambahan 2,5 g (NH4)2CO3
- Penyaringan
Filtrat Residu
Erlenmeyer Gelas beker
- Pendinginan
- Penyaringan
Kristal
(Svehla, 1990)
Co2+ berperan sebagai atom pusat sedangkan H2O yang menjadi ligannya
dalam kompleks [Co(H2O)6]2+. Berikut proses hibridisasi yang terjadi.
27Co = 1s2 2s2 2p6 3s2 3p6 3d7 4s2 4p0 4d0
Co2+ = [Ar] 3d7 4s0 4p0 4d0
3d 4s 4p 4d
kondisi dasar
3d 4s 4p 4d
I-< Br-< S2-< SCN-< Cl-< NO3-< F- < OH- < SO42-<H2O< NCS-<NH3< NO2- <
CN-< CO
(Petrucci, 1987)
Setelah itu, dilakukan penambahan H2O2 30% sebanyak 4 mL yang
berfungsi sebagai oksidator ion Co2+ sehingga menjadi Co3+ dan akan
membentuk kompleks [Co(NH3)4CO3]+ yang stabil. Reaksi oksidasi dapat
tergambarkan :
H2O2 H2 + O2
2+
2 Co + O2 2 Co3+ + O2-
reduksi
oksidasi
(Svehla, 1990)
Langkah yang dilakukan selanjutnya adalah pemanasan serta dilakukan
penambahan 2,5 gram (NH4)2CO3.Pada perlakuan ini (NH4)2CO3 berfungsi untuk
penambahan ion amonia untuk dijadikan ligan. Proses pemanasan bertujuan untuk
penguapan air yang terkandung dalam kompleks sehingga akan terbentuk
kompleks yang lebih murni serta menghilangkan pengotor. Pemanasan harus
terjaga sehingga tidak mendidih sehinggaokomplekseyang terbentuk tidak
terdekomposisi kembali. Panaskan hingga jumlah larutan mencapai 1/3 dari
larutan asalnya. Berikutnya disaring secara panas menggunakan kertasusaring
agar menghilangkan pengotornya serta agar pengkristalan belum terjadi. Hasil
filtrat adalah larutan dengan warna ungu gelap serta residu yang terbentuk
adalah endapan ungu. Setelah itu dilakukan pendinginan menggunakan es batu
untuk memaksimalkan hasil kristalisasi yang terjadi. Hasilnya adalah kristal
berwarna ungu yang banyak akan tetepi rapuh karena penurunan suhu dalam
pembentukan kristal terlalu cepat maka akan terbentuk kristal yang banyak
kecil-kecil, namun rapuh.
Setelah kristal [Co(NH3)4CO3]+terbrntuk dilakukan penyaringan kembali
memakai kertas saring untuk pemisahan filtrat serta residu. Setelah itu
dilakukan pemurnian menggunakann aquades dan ethanol. Fungsi dari
keduanya adalah pada aquades untuk menghilangkan pengotor yang bersifat
polar dan untuk ethanol menghilangkan pengotor yang bersifat nonpolar serta
membersihkan sisa pengotor dari pemurnian aquades. Setelah pemurnian
selesai dilakukan pengeringan selama satu malam untuk menghilangkan kadar
air serta penguapan ethanol sehngga akan terbentuk kristal yang lebih murni.
Setelah itu, dilakukan penimbangan sehingga hasil yang didapatkan dari
kristalisasi [Co(NH3)4CO3]+adalah kristal yang memiliki warna ungu seberat
1,8 gram. Dari bobot tersebut sebagai rendemen nyata, dapat dibandingkan
dengan rendemen teoritis untuk mendapatkan persentase rendemen sebesar
28,02%.
VII. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Pembuatan kristal [Co(NH3)4CO3]+ menggunakan metode
kristalisasi serta pemurnian kristal [Co(NH3)4CO3]+ menggunakan
etanol untuk pengotor nonpolar dan aquades untuk pengotor polar.
Berat kristal yang terbentuk adalah 1,8 gram dan rendemen
persentase sebesar 28,02%
7.2 Saran
𝑀𝑎𝑠𝑠𝑎(NH4)2CO3 10 𝑔𝑟𝑎𝑚
Mol (NH4)2CO3 = = = 0,1041 𝑚𝑜𝑙
𝐵𝑀 (NH4)2CO3 96 𝑔𝑟𝑎𝑚
𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑁𝑦𝑎𝑡𝑎
Rendemen Persentase = 𝑅𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑇𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠
× 100%
1,8 𝑔𝑟𝑎𝑚
= × 100%
6,4242 𝑔𝑟𝑎𝑚
= 28,02%
PERCOBAAN IV
“FOTOKIMIA REDUKSI ION BESI (III)”
I. TUJUAN PERCOBAAN
1.1. Mempelajari reaksi reduksi besi (III) secara fotokimia dan mempelajari
kegunaannya untuk cetak biru.
Fotokimia adalah salah satu cabang ilmu kimia yang mempelajari dan
menguasai tentang interaksi antara atom dan molekul-molekul kecil dengan
radiasi elektromagnetik secara langsung dan tak langsung. Sifat kimia dari
suatu molekul yang mengalami eksitasi pada elektronnya akan berbeda dari
keadaan dasar karena reaksi kimia dalam keadaan gelap mendapatkan energi
dari penyerapan foton (Alberty, 1984).
Senyawa kompleks adalah senyawa yang tersusun atas suatu ion logam
dengan satu atau lebih ligan yang menyumbangkan pasangan elektron sehingga
menghasilkan ikatan kovalen koordinasi. Biasanya logam yang menjadi pusat
dari senyawa kompleks adalah unsur logam transisi. Logam atom pusat
memiliki bilangan oksidasi 0 dan dapat berupa kation, sedangkan ligan dapat
berupa anion maupun molekul netral (Cotton dan Wilkinson, 1984). Contohnya
adalah [Ag(NH3)2]Cl dan K4[Fe(CN)6] (Tuli dkk., 2000).
2.7. Reaksi Pembentukan Kompleks
(Lawrence, 2013)
Besi dengan symbol kimia Fe adalah sebuah unsur kimia logam transisi
dengan nomor atom 26 dan nomor massa 56. Besi merupakan salah satu unsur
paling melipah di bumi dan juga meupakan unsur pembentuk inti bumi. Besi
memiliki 4 isotop alami dan memiliki 4 bentuk alotrop. Sebagian besar besi di
alam berupa mineral besi oksida, seperti hematit dan magnetit. Besi memiliki
sifat fisika, seperti titik lebur 1538oC, titik didih 2862oC, densitas 7,874
gram/cm3, dan berwarna metal mengkilap. Selainitu, besi memiliki sifat kimia,
seperti besi (III) klorida digunakan dalam pemurnian air serta senyawa kalium
ferrisianida dan kalium ferrosianida digunakan untuk membentuk warna biru
Prusia (Kohl, 1995).
Besi oksida adalah senyawa kimia berupa besi dan oksigen yang
umumnya berupa mineral alami dari besi. Contohnya adalah FeO dengan ion
Fe2+, Fe2O3 dengan ion Fe3+, dan Fe3O4 dengan ion Fe2,5+. Ion Fe2+ dapat
dioksidasi menjadi Fe3+ agar memiliki sifat sebagai reduktor kuat. Besi oksida
memiliki kegunaan sebagai bijih besi, pewarna, dan katalis. Fe2O3 merupakan
senyawa dari besi yang berkarat (Cornell dan Schwertmann, 2003).
(Suhendar, 2011)
2.13. Analisis Bahan
2.13.1. Asam Oksalat
• Sifat fisika:
1. Titik lebur : 189oC
2. Densitas : 1,9 gram/cm3 (20oC)
3. Warna : Putih
4. Bau : Tidak berbau
5. Berat molekul : 126 gram/mol
• Sifat kimia:
1. Tidak mudah meledak
2. Tidak berlaku sebagai oksidator
3. Peka terhadap lembab
(Smart-Lab, 2019)
• Sifat kimia:
1. Stabil di bawah suhu kamar
2. Akan kehilangan sekitar 8% NH3 ketika terkena udara
3. Larut dalam air
(LabChem, 2007)
• Sifat kimia:
1. Korosif terhadap logam
2. Mempunyai potensi sebagai oksidator
3. Dapat menyublim dan peka terhadap lembab
(Smart-Lab, 2019)
(Perry, 2008)
• Sifat kimia:
1. Memiliki sifat yang mudah larut dalam air
2. Bereaksi dengan alkohol menghasilkan alkohol klorida
(Ullman, 1989)
• Sifat kimia:
1. Kontak dengan asam akan memlepaskan gas yang sangat beracun
2. Warnanya mungkin akan memudar ketika terkena sinar
3. Tidak mudah terbakar
4. Larut dalam air
(Smart-Lab, 2019)
• Sifat kimia:
1. Bahan atau campurannya sebagai pengoksidasi kategori 2
2. Mempunyai efek penyulut api akibat pelepasan oksigen
3. Tidak mudah meledak
(Smart-Lab, 2019)
2.13.8. Akuades
• Sifat fisika:
1. Berat molekul : 18,02 gram/mol
2. Densitas : 1000 kg/m3
3. Tekanan uap : 2,3 kPa
4. Titik didih : 100oC
5. Bentuk : Cair
6. Rasa : Tidak memiliki rasa
• Sifat kimia:
1. Memiliki pH 7 (netral)
2. Tidak dapat terbakar
3. Tidak beracun
4. Tidak bersifat iritan pada kulit
(Petrucci, 2008)
III. METODOLOGI PERCOBAAN
3.1. Alat dan Bahan
3.1.1. Alat
- 2 buah gelas beker 400 mL
- Ruang gelap
- Keping kaca
- Neraca analitik
- Pipet tetes
- Plastik
- Gelas ukur
- Label
3.1.2. Bahan
- Asam Oksalat
- Diamonium hidrofosfat
- Besi (III) klorida
- Kertas tik
- Kertas kalkir
- Larutan HCl
- Larutan K3Fe(CN)6 0,1 M
- Larutan K2Cr2O7 0,03 M
- Tinta cina
- Akuades
3.2. Skema Kerja
Gelas beker
- Pencampuran larutan
- Penyiapan dalam ruang gelap
- Penambahan 100 mL asam oksalat
- Pengadukan
Hasil
Gelas beker
Hasil
Objek yang akan dicetak
Kertas kalkir
Lorem Ipsum
IV. DATA PENGAMATAN
No Perlakuan Hasil
Percobaan ini berjudul “Fotokimia Reduksi Ion Besi (III)” yang bertujuan
untuk mempelajari reaksi reduksi besi (III) secara fotokimia dan mempelajari
kegunaannya untuk cetak biru. Prinsip yang digunakan adalah reaksi reduksi ion
besi (III) yang dipengaruhi oleh cahaya. Metode yang digunakan adalah fotokimia.
Percobaan ini mungkin akan menghasilkan suatu pola gambar pada kertas yang
ditutup dengan tinta dan pada kertas yang tidak tertutup tinta akan berwarna biru.
VI. PEMBAHASAN
Telah dilakukan percobaan berjudul “Fotokimia Reduksi Ion Besi (III)” yang
bertujuan agar praktikkan mampu mempelajari reaksi reduksi (III) secara fotokimia
dan mempelajari kegunaan reaksi reduksi besi (III) untuk cetak biru. Cetak biru
merupakan dokumen pendukung yang penting karena memiliki kegunaan sebagai
sumber data dan informasi-informasi mengenai suatu hal, seperti konstruksi
bangunan, transportasi, dan sebagainya. Selain itu, cetak biru digunakan dalam
menentukan perbaikan hal-hal tersebut (Sitompul, 2020). Prinsip yang digunakan
dalam percobaan ini adalah reaksi reduksi ion besi (III) yang dipengaruhi oleh
cahaya. Sedangkan Metode yang digunakan adalah fotokimia, yaitu reaksi yang
diinduksi oleh cahaya baik langsung atau tidak langsung dan dapat digunakan untuk
proses cetak biru menggunakan kertas kalkir transparan dan kertas peka yang
disinari cahaya (Alberty, 1984).
Pada percobaan ini, pertama-tama melakukan pelarutan pada besi (III) klorida
dengan menggunakan aquades, sehingga FeCl3 akan larut dalam aquades dan
terbentuk larutan FeCl3 yang berwarna coklat. Pelarutan ini homogen dikarenakan
antara aquades dengan FeCl3 sama-sama polar. Sifat tersebut dapat diketahui
melalui momen dipol dua senyawa yang tidak bernilai nol. Pada senyawa polar
memiliki momen dipol > 1,7 Debye, pada FeCl3 memiliki nilai dipol sebesar > 1,7
Debye dan pada aquades memiliki nilai dipol sebesar 1,84 debye. Pengaruh lain
yang membuat aquades dan FeCl3 dapat saling larut yaitu karena kedua senyawa
ini memiliki susunan molekul yang tidak saling meniadakan, dimana pada aquades
memiliki ikatan H – O yang cenderung tertarik ke H sehingga membuat nilai dipol
aquades bernilai tidak nol, sedangkan pada FeCl3 memiliki ikatan Fe – Cl yang
cenderung untuk lebih tertarik ke Cl sehingga membuat nilai dipol FeCl3 bernilai
tidak nol. (Fessenden, Ralph J. and Fessenden, 1992).
(Svehla, 1990)
Dalam reaksi diatas yang berjalan dengan spontan serta melalui beberapa
tahap. Ketika aquades dengan FeCl3 direaksikan akan memicu terbentuknya H+ dan
OH- dari H2O dan Fe3+ dari FeCl3, dimana pada Fe3+ yang memiliki muatan positif
sehingga akan tertarik ke oksigen yang bermuatan negatif. Ion Cl- yang bermuatan
negatif yang dimiliki FeCl3 akan tertarik ke H+ dengan muatan positif. Dari tahap
tersebut, ikatan pada FeCl3 akan terputus menjadi ion-ion penyusunnya, yaitu Fe3+
dan Cl-, serta diperoleh larutan berwarna coklat dan terasa panas yang disebabkan
reaksi ionisasi ini berlangsung eksoterm.
Berikutnya pada larutan besi (III) klorida yang diperoleh dari langkah
sebelumnya dicampurkan dengan larutan diammonium hidrofosfat. Adanya
pencampuran dengan diammonium hidrofosfat adalah bertujuan untuk
memperlambat keberlangsungan reaksi reduksi pada ion Fe3+ menjadi Fe2+, reaksi
ini memang berlangsung dengan cepat yang dikarenakan pengaruh oleh adanya
sinar matahari. Kemudian setelah campuran homogen, campuran ini diletakkan
dalam ruangan gelap, hal ini dilakukan dengan tujuan agar sinar matahari tidak
mempengaruhi terjadinya reaksi redoks yang lebih cepat pada ion Fe3+ sehingga
sulit untuk dilakukan pengamatan. Pada diammonium hidrofosfat memiliki
kemampuan untuk mereduksi Fe3+, hal ini karena adanya senyawa yang stabil dan
berpengaruh pada adanya energi sehingga berdampak pada lambatnya reaksi yang
berlangsung. Berikut adalah reaksi yang berlangsung adalah sebagai berikut,
(Svehla, 1990)
(Svehla, 1990)
Setelah itu, dilakukan pembuatan objek pada kertas kalkir menggunakan tinta
cina. Pembuatan objek ini untuk membuktikan pengaruh cahaya terhadap reduksi
besi di mana cahaya tidak akan tembus objek dan tidak terjadi reduksi. Penggunaan
tinta cina ini bertujuan dengan memiliki warna hitam yang tebal, kepadatan partikel
yang tinggi sehingga cahaya tidak tembus objek yang dibuat. Tinta cina dapat
diganti dengan tinta lain, namun hasil yang didapatkan akan tidak maksimal
dibanding menggunakan tinta cina atau tinta penggantinya haruslah memiliki
kesamaan sifat, yaitu memiliki tingkat ketebalan tinta yang serupa sehingga objek
yang digambarkan nantinya akan jelas.
(Svehla, 1990)
(Svehla, 1990)
7.2. Saran
7.2.1. Penyinaran dapat dilakukan dengan sinar kuat lainnya seperti cahaya
lampu, senter, dan lain-lain.
7.2.2. Penggunaan tinta cina dapat digantikan dengan tinta yang lain
dengan kerapatan yang setara dengan tinta cina
7.2.3. Pada saat pencampuran larutan FeCl3 dengan diammonium
hidrofosfat dan asam oksalat pastikan dilakukan dalam ruangan
gelap agar proses reduksi tidak terlalu cepat.
LAMPIRAN
Ditanya :
Massa FeCl3?
Jawab :
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
M = ×
𝐵𝑀 𝑉
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
1M = 162,2 𝑔𝑟𝑎𝑚/𝑚𝑜𝑙 × 100
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
1 = × 10
162,2
162,2
Massa =
10
Ditanya :
Massa (NH4)2HPO4?
Jawab :
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
M = ×
𝐵𝑀 𝑉
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
0,2 M = 136,06 𝑔𝑟𝑎𝑚/𝑚𝑜𝑙 × 200
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
0,2 = ×5
136,06
136,06
Massa = 5
× 0,2
Ditanya :
Massa FeCl3?
Jawab :
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
M = 𝐵𝑀
× 𝑉
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
1M = ×
126 𝑔𝑟𝑎𝑚/𝑚𝑜𝑙 100
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
1 = × 10
126
126
Massa = ×1
10
Ditanya :
Massa K3Fe(CN)6?
Jawab :
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
M = ×
𝐵𝑀 𝑉
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
0,1 M = ×
329 𝑔𝑟𝑎𝑚/𝑚𝑜𝑙 100
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
0,1 = 329
× 10
329
Massa = × 0,1
10
Ditanya :
Massa K2Cr2O7?
Jawab :
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
M = 𝐵𝑀
× 𝑉
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎 1000
0,03 M = ×
294 𝑔𝑟𝑎𝑚/𝑚𝑜𝑙 100
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
0,03 = × 10
294
294
Massa = × 0,03
10
Ditanya:
V1 HCl?
Jawab
a. Menentukan MHCl1
𝜌 𝑖×10 𝑖× 𝑖%
M1 =i
𝐵𝑀
1,18 × 10 × 25
M1 =i 𝑖𝑔𝑟𝑎𝑚
36,5
𝑚𝑜𝑙
M1 = i8,08 𝑖𝑀
b. Menentukan VHCl1
V1 i i ix i iM1 = V2 i ix i iM2
V1 i ix i i8,08 iM = 100 iml ix i i0,1 iM i i
100 𝑖𝑚𝑙 𝑖×0,1 𝑖𝑀
V1 =
8,08 𝑖𝑀
V1 = 1,237 iml
PERCOBAAN V
“TINGKAT KELARUTAN ZAT PADAT DALAM BERBAGAI PELARUT”
I. TUJUAN PERCOBAAN
1.1 Menentukan secara kualitatif kelarutan zat padat di dalam berbagai pelarut.
II. DASAR TEORI
2.1 Larutan
Larutan dapat didefinisikan sebagai kesatuan dari dua zat ataupun lebih yang memiliki
komposisi sendiri-sendiri yang tercampur secara merata (homogen). Pada suatu larutan
berdasarkan susunannya dapat dibedakan menjadi dua komponen yaitu pelarut (solvent)
yang merupakan suatu zat jumlahnya lebih banyak dan dapat melarutkan zat lain, dan ada
juga zat terlarut (solute) yaitu suatu zat yang jumlahnya lebih sedikit dan dapat terlaruut
dalam zat lainnya (Petrucci, Harwood, & Herring, 2007).
2.2 Kelarutan
Kelarutan merupakan peleburan suatu zat menjadi suatu larutan yang dinyatakan
dalam suatu batas sebagai tingkat kelarutannya (Oxtoby dkk, 2001). Suatu zat akan
terlarut dalam pelarut tertentu, yang mana terdapat pengaruh dari komponen penyusun
zat didalamnya. Satuan yang menyatakan kelarutan adalah mol/liter atau M (Underwood,
1989).
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelarutan
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi proses kelarutan, yaitu:
a. Temperatur
Pada proses pelarutan, secara langsung suhu akan mempengaruhi proses yang
terjadi. Dimana semakin tinggi suhu pelarutan, kecepatan proses pelarutan akan
meningkat dan penyelesaian larutan menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi, sebab ketika
suhu meningkat, akan lebih banyak partikel yang terlarut sehingga gaya antarmolekul
dapat memecah lebih mudah dan memungkinkan lebih banyak partikel terlarut yang
tertarik ke partikel pelarut.
b. Tekanan
Pada proses pelarutan, tekanan akan mempengaruhi proses yang terjadi, dimana
gas yang dimaksud yaitu gas yang berada di atas permukaan pelarut. Gas akan
bergerak ke pelarut dan menempati beberapa ruang di antara partikel pelarut. Dalam
hal ini, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi tekanan gas, bahwa pada suhu
tertentu, kelarutan gas dalam suatu cairan sebanding dengan tekanan parsial gas
pada cairan tersebut yang dikenal sebagai hukum Henry.
c. Polaritas
Pada proses pelarutan, kepolaran akan mempengaruhi proses yang terjadi yang
dinyatakan sebagai prinsip like dissolves like, yang mana menyatakan bahwa suatu zat
hanya akan terlarut dalam pelarut dengan tingkat kepolaran yang sama.
d. Ukuran Zat
Pada proses pelarutan, ukuran zat akan mempengaruhi proses yang terjadi yang
mana nantinya akan menghasilkan tingkat kelarutan yang berbeda-beda dari zat
dengan ukuran yang variatif tersebut.
(Lesdantina, 2009)
2.4 Proses Pelarutan
Proses pelarutan merupakan suatu proses transformasi atau perubahan zat, dimana
zat dengan fasa padat akan berubah fasa menjadi cair. Pada prosesnya ketika terjadi
perubahan fasa menjadi larutan, terjadi pelepasan energi yang dikenal sebagai ∆H
pelarutan atau energi panas pelarutan. Energi panas pelarutan dikenal sebagai besar dari
energi yang dilepaskan saat proses pelarutan berlangsung. Persamaan yang dimaksud
sebagaimana:
∆H pelarutan = H pelarutan – H komponen
(Sugiyarto, 2003)
2.5 Hasil Kali Kelarutan (Ksp)
Hasil kali kelarutan (Ksp) merupakan konsentrasi molar dari ion penyusun dan tiap
ionnya yang dikalikan dengan koefisien stoikiometrinya melalui persamaan
kesetimbangan. Misalnya, garam AxBy dilarutkan dalam H2O, maka Ksp garam tersebut,
yaitu:
AxBy ⇌ x Ay+(aq) + y Bx-(aq) Ksp = [Ay+]x [Bx+]y
0 0 0 0 0 0 0 0 0
(Chang, 2005)
2.6 Garam Kompleks
Garam koordinasi merupakan suatu garam yang didalamnya terkandung ion
kompleks, dikatakan sebagai garam koordinasi karena didalam senyawa garam tersebut
terdapat ikatan koordinasi sehingga terbentuk ion kompleks tersebut. Saat terlarut dalam
air, garam kompleks akan mengalami disosiasi dan akan terjadi kesetimbangan antara
sisa ionnya. Adapun contoh dari garam kompleks adalah Cu(SO4)2(NH4)2 (Sukardjo, 1985).
2.7 Perpindahan Elektron Hibridisasi
Hibridisasi merupakan berpindahnya elektron dari energi rendah ke energy yang lebih
tinggi. Hibridisasi juga diartikan sebagai eksitasi. Senyawa yang memiliki banyak orbital
akan terbentuk hibridisasi yang lebih kompleks (Wilbraham, 1992).
2.8 Ikatan Ionik dan Ikatan Kovalen
Ikatan kovalen dapat didefinisikan sebagai ikatan yang dibentuk oleh penggunaan
bersama beberapa pasangan elektron oleh atom ikatan. Deskripsi ikatan kovalen ini dapat
ditemukan dalam rumus struktur Lewis, dan konsep ikatan itu sendiri adalah bahwa atom
mencapai keadaan valensi ganda (2 elektron) atau oktet (8 elektron). Ikatan ion, di sisi
lain, adalah ikatan yang diciptakan oleh pergerakan elektron antara kation (logam) dan
anion (non-logam) (Chang, 2014).
2.9 Kepolaran
Polaritas didefinisikan sebagai sifat suatu zat yang sesuai dengan medan magnet di
mana kutub sementara yang disebut dipol hadir. Polarisasi ion dalam kristal disebut
polaritas. Adanya ikatan kovalen ditunjukkan oleh polarisasi anion oleh kation, yang
mengurangi kelarutan senyawa. (Brady & Humiston, 1999)
2.10 Macam-Macam Pelarut
Secara umum, pelarut dapat diklasifikasikan menurut polaritasnya., karena
prinsip like dissolve like. Ini menjelaskan bahwa senyawa polar juga larut dalam
pelarut protik, dan senyawa non-polar juga larut dalam larutan non-polar. Hal ini
terjadi karena senyawa polar dalam pelarut polar mengalami interaksi dipol-dipol
dan memungkinkan senyawa tersebut larut dalam pelarut. Demikian pula, selain
senyawa non-polar, senyawa polar mengalami daya dispersi London dalam pelarut
non-polar, senyawa polar juga bersifat protik dan aprotik berdasarkan
kemampuannya untuk menyumbangkan atom hidrogen untuk membentuk ikatan
hidrogen. Senyawa ini terbagi dalam dua subkategori (Housecroft & Sharpe, 2012)
2.11 Padatan Ionik
Padatan ionik pada bagian kisi kristral ionnya memiliki bentuk geometri dengan posisi
saling tersusun yang menyebabkan timbul gaya tarik yang terjadi pada tingkat tinggi serta
gaya tolaknya rendah apabila pada kation dan anionnya. Padatan ionik memiliki sifat fisik
seperti titik didih cukup tinggi dan kalor uap juga tinggi (Day, 1989).
2.12 Gaya Intermolekuler
Gaya intermolekul terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:
a. Dipol dipol forces, gaya yang terjadi pada molekul polar yang bersifat netral.
b. Hydrogen bonding, gaya yang terbentuk pada saat atom H pada molekul
berinteraksi dengan atom elektronegatif, yaitu N, O, F pada molekul lain.
c. London dispersion forces, gaya yang terjadi pada molekul yang bersifat non polar
dimana posisinya berdekatan serta saling menginduksi membentuk dipol yang
sifatnya sementara.
d. Ion-dipol forces, gaya yang terjadi antara ion dengan muatan parsial pada salah
satu sisi molekul polar.
(Brady, 1999)
2.13 Analisa Bahan
2.13.1 NiCl2
• Sifat Fisika
- Memiliki berat molekul sebesar 129,60 g/mol
- Memiliki densitas sebesar 3,55 g/cm3
- Berwujud padat berupa bubuk tanpa bau
• Sifat Kimia
- Stabil pada temperatur ruang
- Tidak dapat direaksikan dengan air
- Akan menghasilkan produk dekomposisi yang berbahaya apabila direaksikan
dengan hidrogen klorida dan nikel oksida
(LTS, 2011)
2.13.2 NaCl
• Sifat Fisika
- Memiliki berat molekul sebesar 58,44 g/mol
- Berwujud padat berwarna putih
- Titik lebur pada suhu 801°C
- Titik didih pada suhu 1461°C
- Memiliki densitas sebesar 2,17 g/cm3
• Sifat Kimia
- Stabil pada temperatur ruang
- Apabila direaksikan dengan logam basa akan terjadi reaksi eksotermik
(Smart-Lab, 2013)
2.13.3 CaCl2
• Sifat Fisika
- Memiliki berat molekul sebesar 110,98 g/mol
- Berwujud padat berwarna putih
- Titik didih pada suhu 1935°C
- Titik leleh pada suhu 782°C
- Memiliki densitas sebesar 2,15 g/cm3
• Sifat Kimia
- Akan terjadi reaksi secara eksotermis jika direaksikan dengan air
- Apabila direaksikan dengan Zn akan membentuk gas hydrogen yang mudah
meledak
(Haynes, 2010)
2.13.4 Etanol
• Sifat Fisika
- Memiliki berat molekul sebesar 46,07 g/mol
- Berwujud cair dan bening
- Titik lebur pada suhu -114,5°C
- Titik didih pada suhu 78,3°C
- Besar densitas pada rentang 0,790-0,793 g/cm3
• Sifat Kimia
- Bentuk uap etanol dapat menghasilkan campuran yang bisa meledak jika
berkontak dengan udara
- Dapat bereaksi secara eksotermik dengan asam nitra, asam perklorat, serta
H2O2
- Akan terjadi reaksi ignisi apabila bereaksi dengan senyawa halogen
(Smart-Lab, 2012)
2.13.5 Kloroform
• Sifat Fisika
- Memiliki berat molekul sebesar 119,38 g/mol
- Berwujud cair bening
- Titik lebur pada suhu -63°C
- Memiliki densitas sebesar 1,48 g/cm3
• Sifat Kimia
- Jika direaksikan dengan ammonia, senyawa nitri organic, fluorin akan beresiko
meledak
- Tidak dapat direaksikan magnesium dan lithium
- Produk hasil pengurainnya seperti oksida karbon serta gas hydrogen klorida
bersifat berbahaya
(Smart-Lab, 2012)
2.13.6 HCl
• Sifat Fisika
- Memiliki nerat molekul sebesar 36,46 g/mol
- Berwujud cair tanpa warna dan bau
- pH sebesar 1,2 pada suhu 20°C
- Memiliki densitas sebesar 1,00 g/cm3
• Sifat Kimia
- Stabil pada temperatur ruang
- Jika bereaksi dengan logam akan menimbulkan gas berbahaya
(Smart-Lab, 2014)
2.13.7 NH4OH
• Sifat Fisika
- Berwujud cairan
- Bening atau tidak berwarna
- Titik didih 27°C
• Sifat Kimia
- Bersifat sangat reaktif
- Dapat bereaksi dengan asam
- Bersifat stabil pada keadaan normal
(LabChem, 1998)
2.13.8 Aquades
• Sifat Fisika
- Berwujud cairan
- Berat molekul 18,02 g/mol
- Tidak memiliki bau
- Tidak berwarna
- Bersifat netral (pH =7)
- Titik didih 100°C
• Sifat Kimia
- Bersifat polar
- Termasuk pelarut universal
- Rumus kimia (H2O)
(LabChem, 2013)
III. METODE PERCOBAAN
3.1 Alat dan Bahan
3.1.1 Alat
1. Tabung Reaksi
2. Rak Tabung Reaksi
3. Pengaduk Kaca
4. Neraca Analitik
5. Cawan Gelas
6. Stopwatch
3.1.2 Bahan
1. Aquades 5. NH4OH
2. Kloroform 6. NaCl
3. Etanol 7. CaCl2
4. HCl 8. NiCl2
Hasil
3.3.2 Zat Terlarut CaCl2
Hasil
Hasil
IV. DATA PENGAMATAN
Solute
NaCl CaCl2 NiCl2
Solvent
(Nida Fauziyah)
V. PEMBAHASAN
Percobaan V berjudul “Tingkat Kelarutan Zat Padat dalam Berbagai Pelarut”. Tujuan dari
percobaan ini ialah untuk menentukan secara kualitatif kelarutan zat padat di dalam berbagai
pelarut. Prinsip yang digunakan pada percobaan ini adalah perbedaan kelarutan yaitu dalam
prinsip like dissolves like, dimana prinsip tersebut menerangkan bahwa suatu zat terlarut
hanya dapat larut dalam pelarut yang memiliki tingkat kepolaran sama. Metode yang
digunakan pada percobaan ini adalah dengan melakukan proses pelarutan zat terlarut dalam
berbagai jenis pelarut. Percobaan ini dilakukan pada Selasa, 16 November 2021, secara
online dan dipandu oleh asisten praktikum.
Pada percobaan ini akan menggunakan tiga jenis senyawa padatan dan menggunakan
lima pelarut yang berbeda. Senyawa padatan ynag digunakan ialah NaCl, CaCl2, dan NiCl2.
Sedangkan pelarut yang digunakan ialah aquades, etanol, kloroform, HCl, dan NH4OH.
(Nida Fauziyah)
5.1 Pelarut Aquades
Pada percobaan ini memiliki tujuan yaitu untuk menentukan secara kualitatif zat
padat yang berupa NaCl, CaCl2, dan NiCl2 dalam pelarut aquadest. Aquadest adalah suatu
pelarut yang universal dan memiliki sifat polar. Senyawa polar sendiri merupakan suatu
senyawa yang mempunyai distribusi atau persebaran electron yang tidak merata secara
menyeluruh, dan mempunyai konstanta dielektrik yang sangat tinggi, yaitu sebesar 80,4
(Triesty & Mahfud, 2017). Konstanta dielektrik atau dielectric constant menunjukkan
besarnya kekuatan suatu pelarut untuk dapat mengalami suatu polarisasi. Nilai dielectric
constant tersebut mempunyai besar yang berbanding lurus dengan tingkat kepolaran
pelarut (Raju, 2017).
(Romzanah)
5.1.1 Pelarutan NaCl dengan Aquades
Telah dilakukan percobaan dengan tujuan penentuan secara kualitatif kelarutan
NaCl dalam pelarut aquades. Pada percobaan ini diterapkan prinsip like dissolves like
yang mana senyawa yang polar akan larut pada pelarut yang bersifat polar, sedangkan
senyawa non polar akan larut dalam pelarut yang non polar. Langkah yang dilakukan
yakni melarutkan NaCl dalam pelarut aquades kemudian dilakukan penggojogan agar
larutan homogen sebab efektivitas tumbukan partikel meningkat sehingga NaCl dapat
terlarut dengan cepat dalam aquades. Hasil yang didapatkan yakni NaCl terlarut dan
warna larutannya bening cenderung keruh. NaCl dapat larut dalam aquades sebab
adanya kemampuan aquades dalam melakukan hidrasi dan stabilisasi ion Na+ serta Cl-
sehingga interaksi elektrostatik ion tersebut lemah dan tidak dapat membentuk ikatan
ionic yang menghasilkan kristal NaCl. Selain kemampuan aquades tersebut, terdapat
factor lain yang menyebabkan NaCl mudah larut dalam aquades yakni adanya interaksi
ion dipol yang kuat dibandingkan energi ikatnya sehingga NaCl cenderung berikatan
dengan aquades. Serta NaCl memiliki energi kisi yang tidak tinggi yang membuat NaCl
sangat mudah larut dalam aquades. Reaksi:
2NaCl + 2H2O → 2NaOH + Cl2 + H2
(Kusumiyati, Onggo, & Habibah, 2017)
(Syaira Adelia Putri)
5.1.2 Pelarutan CaCl2 dengan Aquades
Telah dilakukan percobaan dengan tujuan penentuan secara kualitatif kelarutan
CaCl2 dalam pelarut aquades. Pada percobaan ini diterapkan prinsip like dissolves like
yang mana senyawa yang polar akan larut pada pelarut yang bersifat polar, sedangkan
senyawa non polar akan larut dalam pelarut yang non polar. Langkah yang dilakukan
yakni melarutkan CaCl2 dalam pelarut aquades kemudian dilakukan penggojogan agar
larutan homogen sebab efektivitas tumbukan partikel meningkat sehingga CaCl2 dapat
terlarut dengan cepat dalam aquades. Hasil yang didapatkan yakni CaCl2 terlarut dan
warna larutannya bening cenderung keruh. CaCl2 mudah larut dalam aquades sebab
termasuk senyawa yang polar. Pada senyawa polar terdapat dua kutub yang beralinan
yang mana sisi satu bermuatan parsial positif sedangkan kutub satunya bermuatan
parsial negative yang sering dikenal sebagai dipol. Disebut muatan parsial sebab pada
senyawa polar muatan-muatan tersebut tidak benar-benar memiliki muatan positif
maupun negative. Setiap senyawa polar mempunyai perbedaan keelektronegatifan
yang menyebabkan adanya kutub listrik yang bersifat permanen atau dipol permanen
sehingga ketika sesama senyawa polar saling dicampurkan akan timbul gaya tarik
menarik. Reaksi:
CaCl2 + 2H2O → Ca(OH) 2 + 2HCl
(Lewis, 2017)
(Syaira Adelia Putri)
5.1.3 Pelarutan NiCl2 dengan Aquades
Telah dilakukan percobaan dengan tujuan penentuan secara kualitatif kelarutan
NiCl2 dalam pelarut aquades. Pada percobaan ini diterapkan prinsip like dissolves like
yang mana senyawa yang polar akan larut pada pelarut yang bersifat polar, sedangkan
senyawa non polar akan larut dalam pelarut yang non polar. Langkah yang dilakukan
yakni melarutkan NiCl2 dalam pelarut aquades kemudian dilakukan penggojogan agar
larutan homogen sebab efektivitas tumbukan partikel meningkat sehingga NiCl2 dapat
terlarut dengan cepat dalam aquades. Hasil yang didapatkan yakni NiCl2 terlarut dan
warna larutannya hijau bening. NiCl2 mudah larut dalam aquades sebab termasuk
senyawa polar. Pada senyawa polar terdapat dua kutub yang beralinan yang mana sisi
satu bermuatan parsial positif sedangkan kutub satunya bermuatan parsial negative
yang sering dikenal sebagai dipol. Disebut muatan parsial sebab pada senyawa polar
muatan-muatan tersebut tidak benar-benar memiliki muatan positif maupun negative.
Setiap senyawa polar mempunyai perbedaan keelektronegatifan yang menyebabkan
adanya kutub listrik yang bersifat permanen atau dipol permanen sehingga ketika esame
senyawa polar saling dicampurkan akan timbul gaya tarik menarik. Reaksi:
NiCl2 → Ni2+(aq) + 2Cl-(aq)
(Virieux, Ayad, Pirat, & Volle, 2018)
(Syaira Adelia Putri)
5.2 Pelarut Etanol
Pada percobaan ini memiliki tujuan yaitu untuk menentukan secara kualitatif zat
padat berupa NaCl, CaCl2, dan NiCl2 dalam pelarut etanol. Etanol adalah suatu pelarut yang
memiliki sifat semipolar. Senyawa semipolar sendiri merupakan suatu senyawa yang
mempunyai distribusi atau persebaran elektron yang tidak merata secara parsial, dan
mempunyai konstanta dielektrik yang tidak tinggi dan tidak juga rendah, yaitu sebesar
24,3 (MULYANI, 2016). Konstanta dielektrik atau dielectric constant menunjukkan
besarnya kekuatan suatu pelarut untuk dapat mengalami suatu polarisasi. Nilai dielectric
constant tersebut mempunyai besar yang berbanding lurus dengan tingkat kepolaran
pelarut (Raju, 2017).
(Romzanah)
5.2.1 Pelarutan NaCl dengan Etanol
Uji ini dilakukan untuk menentukan secara kualitatif kelarutan NaCl dalam pelarut
etanol. Percobaan ini menggunakan prinsip like dissolves like yang mana senyawa yang
polar akan larut pada pelarut yang bersifat polar, sedangkan senyawa non polar akan
larut dalam pelarut yang non polar. Uji ini diawali dengan melarutkan NaCl pada etanol,
kemudian dilakukan penggojogan agar homogen dan dilakukan pengamatan.
Didapatkan hasil NaCl larut sebagian dan larutan tidak berwarna (cenderung keruh). Hal
ini dikarenakan sifat ionik NaCl tergolong besar sedangkan konstanta dielektrik dari
etanol kecil (Kd = 25), sehingga etanol tidak memiliki cukup energi untuk memutus kisi
ionik pada NaCl, yang mengakibatkan NaCl tidak dapat terlalut dengan sempurna.
(Sayyidah Khiyarotul Ummah)
5.2.2 Pelarutan CaCl2 dengan Etanol
Uji ini dilakukan untuk menentukan secara kualitatif kelarutan CaCl2 dalam pelarut
etanol. Percobaan ini menggunakan prinsip like dissolves like yang mana senyawa yang
polar akan larut pada pelarut yang bersifat polar, sedangkan senyawa non polar akan
larut dalam pelarut yang non polar. Uji ini diawali dengan melarutkan CaCl2 dalam
pelarut etanol, kemudian dilakukan penggojogan agar homogen dan dilakukan
pengamatan. Didapatkan hasil CaCl2 larut dan larutannya menjadi tidak berwarna
(cenderung keruh). hal ini dikarenakan CaCl2 akan terionisasi menjadi ion-ionnya (Ca2+
dan Cl-). Berbeda dengan NaCl, CaCl2 dapat larut akibat dari ikatan ionik yang dimiliki
CaCl2 lebih kecil bila dibandingkan dengan NaCl. Hal ini menyebabkan ikatan CaCl2 dapat
lebih mudah terputus. Berikut reaksi yang terjadi:
CaCl2 ↔ Ca2+ + 2Cl-
(Virieux, Ayad, Pirat, & Volle, 2018)
(Sayyidah Khiyarotul Ummah)
adalah suatu pelarut yang memiliki sifat semipolar. Senyawa semipolar sendiri
merupakan suatu senyawa yang mempunyai distribusi atau persebaran elektron
yang tidak merata secara parsial, dan mempunyai konstanta dielektrik yang tidak
tinggi dan tidak juga rendah, yaitu sebesar 22,0 (MULYANI, 2016). Konstanta
dielektrik atau dielectric constant menunjukkan besarnya kekuatan suatu pelarut
untuk dapat mengalami suatu polarisasi. Nilai dielectric constant tersebut
mempunyai besar yang berbanding lurus dengan tingkat kepolaran pelarut (Raju,
2017).
(Akbar Satrio Perdana)
5.5.1 Pelarutan NaCl dengan NH4OH
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kelarutan NaCl di dalam
pelarut NH4OH. Mula - mula melakukan penyiapan NH4OH di dalam tabung reaksi.
Kemudian NaCl yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah
berisi NH4OH kemudian dilanjutkan dengan penggojogan. Penggojogan bertujuan untuk
mempercepat proses kelarutan NaCl. Setelah beberapa saat setelah penggojogan
kemudian pengamatan kelarutan NaCl pada NH4OH.
Setelah pengamatan, didapatkan NaCl dapat larut secara sempurna di dalam
pelarut NH4OH dan larutan tidak berwarna serta cenderung keruh. Hasil percobaan ini
sesuai dengan prinsip teori berdasarkan literatur yaitu prinsip like dissolve like dimana
suatu zat akan dapat larut pada pelarut yang memiliki sifat kepolaran yang sejenis
(Jamalzadeh, 2016). Pada percobaan NaCl bersifat polar cenderung dapat larut pada
senyawa atau pelarut NH4OH yang bersifat polar juga. Sehingga NH4OH dapat dikatakan
sebagai pelarut yang baik untuk senyawa yang ionik. Mekanisme reaksi pelarutan NaCl
pada NH4OH yaitu sebagai berikut:
NaCl(s) + NH4OH(aq) ⇌ NaOH(aq) + NH4Cl(aq)
(Alkan, 2016)
(Farida Isnaeni)
5.5.2 Pelarutan CaCl2 dengan NH4OH
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kelarutan CaCl2 di dalam pelarut
NH4OH. Mula - mula dalam percobaan ini menyiapkan NH4OH di dalam tabung reaksi.
Kemudian CaCl2 yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
sebelumnya sudah berisi NH4OH. Selanjutnya dilakukan penggojogan yang bertujuan
untuk mempercepat proses kelarutan CaCl2. Setelah beberapa saat setelah penggojogan
kemudian pengamatan kelarutan CaCl2 pada NH4OH.
Setelah pengamatan, didapatkan CaCl2 dapat larut secara sempurna di dalam
pelarut NH4OH dan larutan berwarna putih keruh. Hasil percobaan ini sesuai dengan
prinsip teori berdasarkan literatur yaitu prinsip like dissolve like dimana suatu zat akan
dapat larut pada pelarut yang memiliki sifat kepolaran yang sejenis (Jamalzadeh, 2016).
Pada percobaan CaCl2 yang bersifat ionik akan cenderung dapat larut pada senyawa atau
pelarut NH4OH yang bersifat polar juga. Sehingga NH4OH dapat dikatakan sebagai
pelarut yang baik untuk senyawa yang ionik. Mekanisme reaksi pelarutan CaCl2 pada
NH4OH yaitu sebagai berikut:
CaCl2 (s) + NH4OH(aq) ⇌ Ca(OH)2 (aq) + 2NH4Cl(aq)
(Alkan, 2016)
(Farida Isnaeni)
5.5.3 Pelarutan NiCl2 dengan NH4OH
Percobaan ini bertujuan untuk mengetahui kelarutan NiCl2 di dalam pelarut
NH4OH. Mula - mula dalam percobaan ini menyiapkan NH4OH di dalam tabung reaksi.
Kemudian NiCl2 yang sudah ditimbang dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
sebelumnya sudah berisi NH4OH. Selanjutnya dilakukan penggojogan yang bertujuan
untuk mempercepat proses kelarutan NiCl2 . Setelah beberapa saat setelah penggojogan
kemudian pengamatan kelarutan NiCl2 pada NH4OH.
Setelah pengamatan, didapatkan NiCl2 yang bersifat polar dapat larut karena
solven NH4OH juga bersifat polar (like dissolve like). Selain itu karena NH4OH sebagai
solven yang baik untuk senyawa ionik seperti NiCl2 serta kereaktifannya terhadap garam
sehingga menjadikan NiCl2 dapat larut sempurna. Dengan pelarutan NH4OH
menghasilkan larutan berwarna biru. Hal ini karena ada pembentukan kompleks
[Ni(NH3)6]2+ yang berwarna biru pada larutan. Pada pelarutan NiCl2 terjadi proses
penggaraman kompleks. Senyawa kompleks merupakan senyawa yang ion atau
molekulnya dapat berikatan secara koordinasi dengan ion atau logam (Jamalzadeh,
2016). Terdapat orbital kosong di kulit d Ni, sehingga elektron pada ammonia akan diikat
dengan kovalen koordinasi. Berikut adalah hibridisasi Ni pada kompleks [Ni(NH3)6]2+:
(Naomi Permata)
I. TUJUAN PERCOBAAN
1.1 Menentukan cara mensitesis garam rangkap tembaga (II) ammonium sulfat
dan garam kompleks tetramintembaga (II) sulfat monohidrat
1.2 Menentukan sifat-sifat garam hasil percobaan
(Arwinda Saniya)
2.5 Stabilitas kompleks dan faktor yang mempengaruhi
Senyawa kompleks dapat digolongkan menjadi kompleks stabil dan
kompleks tidak stabil. Kompleks stabil berarti kompleks yang memiliki
kemampuan yang besar untuk tetap mempertahankan identitasnya dalam
suatu larutan, sementara kompleks yang tidak stabil akan mudah terurai dalam
larutan . Berikut adalah reaksi setimbang dalam larutan:
aA + bB ⇌ cC + dD
𝑎𝐶 𝑐 ×𝑎𝐷 𝑑
Kc = 𝑎𝐴𝑎 ×𝑎𝐵𝑏 , a adalah aktivitas
a. Faktor ruang
Karena pengaruh ruang, maka ligan yang banyak cabangnya
lebih tidak stabil isbanding ligan-ligan yang sederhana.
b. Faktor pembentukan khelat
ligan polidentat akan membentuk kompleks yang lebih stabil
dibanding monodentate asal tidak terlalu besar ligan
polidentatnya
c. Besar dan muatan ion
Makin besar muatan ligan dan makin kecil jari-jarinya, maka
semakin stabil kompleks yang terbentuk.
d. Sifat basa
Makin besar sifat basa, maka kompleks yang terbentuk akan
makin stabil apabila berikatan dengan logam kelas A
(Svehla, 1990)
3d 4s 4p
1. Ionisasi
3d 4s 4p 4d
2. Promosi
3d s p3 4d
3. Hibridisasi
NH3=
SO2 H2O
3d s p3 4d
Hibridisasi Ulang
3d sp3d2 4d
3 2
Hibridisasi sp d yang terbentuk memiliki geometri berbentuk
octahedral.
(Sukardjo,1992)
• Sіfat kіmіa :
Larutan іοԁіum ԁіԁalam KІ paԁa suasana nеtral ataupun basa
ԁіtіttrasі maka rеaksіnуa aԁalah sеbagaі bеrіkut:
І3- +2S2Ο3 2- > 3І- + S4Ο6 2-
(Harjaԁі, 2000)
2.10.3. Larutan HCl еncеr
• Sіfat fіsіk :
Bеrbеntuk caіran, tіԁak bеrwarna, memiliki tіtіk ԁіԁіh sebesar -
85°C, berat molekul: 36,5 g/mol
• Sіfat kіmіa :
Muԁah larut ԁalam aіr dan bеrsіfat asam kuat.
(Pеrrу, R.H., 1999)
2.10.4. Sеrbuk bеlеrang
• Sіfat fіsіk :
Bеrbеntuk krіstal, bеrwarna kunіng, memiliki tіtіk lеbur sebesar
388.36 K
• Sіfat kіmіa :
Bеlеrang bеrеaksі lеbіh kuat ԁеngan lοgam, dan bеlеrang mampu
bеrеaksі ԁеngan οksіgеn mеmbеntuk οksіԁa gas
(Pеrrу, 2008)
2.10.5. Natrіum Sulfat
• Sіfat fіsіk :
0
Tіtіk lеlеh 500 C, bеrwarna putіh, dan bеrbеntuk krіstal
• Sіfat kіmіa :
Rеaktіfіtas Na2SΟ4 cukup rеnԁah paԁa suhu kamar ԁan sеbalіknуa
sangat rеaktіf paԁa suhu tіnggі dan krіstal Na2SΟ4 pеka tеrhaԁap
bеsі, sеnуawa bеsі ԁan bеbеrapa sеnуawa οrganіk.
(Pеrrу, 2008)
2.10.6. Barіum Klοrіԁa
• Sіfat fіsіk :
Bеrat mοlеkul 169,393 g/mοl, bеrbеntuk bubuk, bеrwarna
putіh, dan tіtіk lеlеh 1200oC
(Pеrrу 8th :1999)
• Sіfat kіmіa :
Jіka bеrеaksі ԁеngan CΟ2 ԁan H2Ο akan mеnghasіlkan BaCΟ3 dan
jіka bеrеaksі ԁеngan sοԁa ash akan mеnghasіlkan BaCΟ3.
(Pеrrу, R.H., 1999)
(Salwa Khamila Cahya)
III. METODOLOGI PERCOBAAN
3.1 Alat
• Nеraca Analіtіs
• Satu Sеt Alat Rеfluks
• 5 Buah Tabung Rеaksі
• 1 Sеt Tіmbangan
• 1 Buah Pеngaԁuk
• 1 Sеt Pеmbakar Spіrіtus
• 1 Buah Cawan Pеnguapan
3.2 Bahan
Hasil
8 ml larutan ammonia 15 M
Cawan penguapan
Pendiaman semalaman
Pendiaman semalaman
- Pengadukan perlahan
- Pemisahan kristal dengan pendekantasian
- Penapisan kristal dengan kertas saring
- Pembilasan dengan campuran ammonia dan etanol
(1:1) yaitu 3-5 tetes
- Pembilasan dengan 5 ml etil alkohol
- Penyaringan dengan pompa vakum
- Penimbangan kristal
- Perhitungan mol
Hasil
Percobaan I
Garam CuSO4.5H2O
Tabung reaksi
pengadukan
Hasil
Percobaan II
Garam CuSO4.5H2O
Tabung reaksi
- Pengadukan
Hasil
(Sarifatul Fatimah)
No Perlakuan Hasil
1. Pembuatan garam rangkap
CuSO4(NH4)2SO4.6H2O :
5 g CuSO4.5H2O + 2,6 g
(NH4)SO4
Penambahan 10 ml aquades
Pemanasan hingga larut sempurna Larutan biru muda
Pendinginan pada suhu ruang dan Larutan biru muda yang
dingin pendiaman selama semalam mengendap dan mengeras
Dekantir
Penyaringan dengan kertas saring Residu berupa endapan
berwarna biru muda
CuSO4(NH4)2SO4.6H2O
Filtrat berupa larutan
berwarna biru muda dan tidak
dipakai
Pengeringan Hasil kristal berwarna biru
muda. Pada suhu ruang
kristal berukuran kecil dan
kuat.
Pada suhu dingin kristal
berukuran besar dan rapuh
Penimbangan Massa kristal + kertas saring
= 9 gram
m kertas saring = 2,5 gram
m kristal = 6,5 gram
2. Pembuatan garam kompleks
Cu(NH3)4SO4(H2O) :
8 ml larutan ammonia 15 M + 0,02
g CuSO4.5H2O
Pengenceran dengan aquades 15 Larutan biru tua
ml
Pencampuran
Pengadukan sampai larut sempurna Larutan biru tua yang
Penambahan 8 ml etanol mengendap dan mengeras
Penutupan dengan kaca arloji
Pendiaman selama semalam
Pengadukan
Dekantir
Penyaringan dengan kertas saring Residu berupa endapan biru
tua
Cu(NH3)4SO4(H2O)
Filtrate berupa larutan biru
tua dan tidak dipakai
Pembilasan dengan 3-5 ml NH3
dan 3-5 ml etanol
Pencucian dengan 5 ml etil alcohol
Penyaringan dengan pompa vakum Hasil kristal serbuk berwarna
biru tua
Pengeringan
Tabung I
Kristal CuSO4 secukupnya Terdapat 4 lapisan, yaitu :
Penambahan 2-3 ml aquades Lapisan I (paling atas) :
Penambahan tetes demi tetes NH3 warna biru jernih (aquades)
Tanpa pengadukan Lapisan II : warna biru tua,
Pengamatan perubahan yang terjadi lapisan antara dari kompleks
dengan aquades
Lapisan III : kompleks
tetraamin tembaga (II) sulfat
monohidrat berwarna biru
Lapisan IV (paling bawah) :
endapan ammonium sulfat
berwarna biru tua.
Tabung II
Kristal CuSO4 secukupnya + Kristal CuSO4 larut
penambahan 2-3 ml aquades
Pengadukan Larutan biru pekat
Pengamatan perubahan yang
terjadi
↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑
3d 4s 4p
1. Ionisasi
Cu2+ = [Ar] 3d9 4s0
↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑
3d 4s 4p 4d
2. Promosi
↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑
3d sp3 4d
3. Hibridisasi
NH3
SO2 H2O
↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑
3d sp3 4d
Hibridisasi Ulang
↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓ ↑↓
3d sp3d2 4d
(Oktahedral)
(Sukardjo, 1985)
Berdasarkan ilustrasi yang ada, diketahui bahwa kompleks yang
terbentuk memiliki hibridisasi sp3d2 yang mengakibatkan bentuk
geometrinya octahedral. Saat dalam keadaan larutan bentuk geometrinya
oktahedral yang mempunyai 2 ligan H2O dan 4 ligan NH3. Dalam larutan
molekul H2O banyak. Ketika bentuknya menjadi padatan atau serbuk, zat H2O
nya akan berkurang, satu ikatan H2O dari struktur akan putus sehingga
bentuk geometrinya berubah menjadi persegi pyramidal karena adanya
molekul H2O yang hilang.
Setelah itu, larutan kompleks yang ada ditambahkan etanol yang
berfungsi untuk melapisi ammonia agar tidak mudah menguap sehingga
mampu menjaga kompleks dengan mengalirkannya secara perlahan melalui
dinding beker. Selain itu, etanol juga berfungsi untuk mengikat pengotor
yang bersifat polar karena etanol memiliki sifat semipolar tapi cenderung
polar. Etanol dapat digantikan dengan pelarut lain yang mempunyai sifat
sama seperti methanol maupun aseton. Setelah itu, dilakukan pendinginan
larutan pada temperature ruang dengan ditutup menggunakan gelas arloji.
Penutupan bertujuan untuk mencegah menguapnya ammonia dan
menghalang masuknya material yang tidak diinginkan.
Pada proses ini dihasilkan endapan berwarna biru tua yang kemudian
dilakukan filtrasi untuk menghilangkan filtrate yang masih tercampur dengan
kristal menggunakan filtrate hisap, dimana proses ini menghasilkan kristal
berwarna biru.
Kristal ini kemudian dicuci menggunakan campuran etanol dengan
ammonia 1:1 untuk menghilangkan zat pengotor polar seperti etanol,
ammonia, dan air suling, yang mana menghasilkan kristal biru yang bersifat
basa. Pencucian ini didasarkan pada prinsip like dissolve like yang mana
pelarut polar akan melarutkan senyawa polar, begitupun sebaliknya.
Setelah itu, dilakukan penyaringan menggunakan pompa vakum yang
bertujuan untuk menghilangkan filtrate pencuci yang telah digunakan
sebelumnya sehingga kristal lebih murni. Lalu, dilakukan pengeringan
dengan waktu yang singkat untuk memperoleh kristal yang kering.
Pengeringan yang singkat ini bertujuan untuk meminimalisir penguapan
ammonia pada kristal yang bersifat mudah menguap.
Pada proses ini diperoleh kristal berwarna biru tua Cu(NH3)SO4.H2O
yang merupakan garam kompleks dengan bentuk kristal yang lebih kecil serta
strukturnya yang lebih halus dibandingkan dengan garam rangkap. Setelah
penimbangan, diperoleh berat kristal garam rangkap sebesar 3,9 gram
dengan rendemen presentase sebesar 89,74%.
(Vogel, 1985)
(Vogel, 1985)
Pada percobaan ini dilakukan uji sifat kimia pada hasil produk berupa
garam dengan metode dilakukan pemanasan. Untuk garam rangkap setelah
dilakukan pemanasan maka didapatkan hasil berupa hilangnya endapan
warna biru tua dan dihasilkan bau yang tidak menyengat.
Sedangkan untuk garam kompleks, setelah dilakukan proses pemanasan
maka didapatkan hasil berupa suatu endapan dengan warna biru tua dan
dihasilkan bau amonia. Hasil bau didapatkan dari adanya penguapan NH3
dalam proses pemanasan.
(Vogel, 1985)
(Nadilah Rahma Putri)
VII. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
7.1.1 Garam rangkap CuSO4(NH4)2SO4.5H2O diperoleh dengan
mereaksikan CuSO4.5H2O dengan (NH4)2SO4. Lalu hasilnya terbentuk
larutan biru muda tak berbau yang merupakan garam
CuSO4(NH4)2SO4.5H2O. massa kristal yang terbentuk yaitu 6,5 gr
dengan rendemen prosentasenya ialah 81%.
7.1.2 Garam kompleks Cu(NH3)4SO4(H2O) didapatkan dengan mereaksikan
CuSO4.5H2O dengan NH3 lalu hasilnya terbentuk larutan berwarna
biru tua dan saat dilelehkan dan dipanaskan menghasilkan bau
ammonia. Massa keistal yang terbentuk yaitu 3,5 gr dengan
rendemen prosentase 89,74%.
7.1.3 Garam tunggal diperoleh dengan melakukan reaksi pada dua tabung
reaksi, pada tabung reaksi pertama terbentuk 4 lapisan yaitu lapisan
pertama berwarna biru muda (H2O), lapisan kedua berwarna biru tua
(Cu(NH3)4)SO4·H2O, lapisan ketiga adanya endapan berwarna putih
(garam (NH4)2SO4), lapisan ke empat sendiri warnanya biru tua yakni
CuSO4.5H2O. Lalu untuk tabung kedua didapatkan hasil kristal CuSO4
yang larut berwarna biru pekat.
7.2 Saran
7.2.1 Praktikan memastikan filtrat dan residu terpisah dengan baik agar
tidak mempengaruhi hasil akhir perhitungan.
7.2.2 Penggunaan ligan bisa divariasikan selain NH3 karena ligan ini
menghasilkan bau tidak sedap.
LAMPIRAN PERHITUNGAN
1. Garam Rangkap
Diketahui :
m kertas saring = 2,5 gram
m CuSO4.5H2O = 5 gram
m (NH4)2SO4 = 2,6 gram
BM CuSO4.5H2O =249,5 g/mol
BM (NH4)2SO4 = 132 g/mol
Rendeman nyata = 6,5 gram
= 81%
Diketahui :
m kertas saring = 2,5 gram
m CuSO4.5H2O = 5 gram
V NH3 = 8 mL
BM CuSO4.5H2O = 249,5 g/mol
M NH3 = 15 M
BM NH3 = 17 g/mol
Rendeman nyata = 3,5 gram
I. Tujuan Percobaan
Mempelajari pembuatan dan sifat-sifat isomer cis dan trans dari garam
kompleks kalium dioksalatodiakuokromat(III).
Larutan campuran
Gelas beker
- Penutupan dengan gelas arloji
- Penguapan hingga volume tinggal separuh
- Pendiaman dalam suhu kamar
- Penyaringan
Kristal Filtrat
- Penyaringan
- Pencucian dengan aquades dingin
- Pencucian dengan alkohol
Hasil
3.2.2. Pembuatan isomer cis- kalium dioksalatodiakuokromat (III) Commented [SN2]: revisi skema cis
Commented [dk3R2]: sudah mba
2 g K2Cr2O7 + 6 g asam oksalat
Cawan penguapan
- Penetesan aquades
- Penutupan dengan gelas arloji
- Penambahan 20 mL etanol
- Penyaringan
Filtrat Kristal
- Pencucian etanol
- Pengeringan dengan
pompa vakum
Hasil
Hasil
Hasil
C C
O
O O
3+ 2-
Cr 3C2O4 2H2O
Cr O C
O
O C
O C O
O
C
O
OH2 H2O
Cr O C
2-
O
C2O4
O C
O C O
O
C
(Keenan, 1980)
Selanjutnya, uji kemurnian untuk kristal trans-
kaliumdioksalatodiaquokromat (III). Uji kemurnian untuk kristal trans-
kaliumdioksalatodiaquokromat (III) ini tahap yang dilakukan sama seperti
perlakuan pada uji kemurnian untuk kristal cis-
kaliumdioksalatodiaquokromat (III). Langkah pertama yang dilakukan ialah
meletakkan kristal yang mana sudah didapat pada kertas saring dan dilanjut
dengan penetesan ammonia encer atau NH3 pada kedua kristal yang
didapatkan. Setelah dilakukan pengamatan, pada isomer trans-
kaliumdioksalatodiaquokromat (III) untuk larutannya terbentuk warna yakni
warna coklat muda. Ketika dilakukan penambahan NH3 encer terjadi reaksi
pergantian ligan, yang mana ligan aquo (H2O) digantikan oleh ligan NH3.
Ligan aquo dapat dengan mudah digantikan oleh ligan NH3 karena pada ligan
aquo memiliki kekuatan ligan yang lebih kecil dari ligan NH3. Urutan
kekuatan ligan : l- < Br- < Sr2- < ScN- < Cl- < NO̅3 < F- < SO42- < H2O <
NCS- < NH3 < NO2- < CN- < CO (Petrucci, 1987).
Ketika proses pergantian ligan, pada kristal kompleks trans-
kaliumdioksalatodiaquokromat (III) ini lebih lama dibandingkan dengan
kristal kompleks cis-kaliumdioksalatodiaquokromat (III). Hal tersebut dapat
terjadi karena pada kompleks trans-kaliumdioksalatodiaquokromat (III) lebih
stabil dan gaya tolakannya lebih kecil dibanding kompleks cis-
kaliumdioksalatodiaquokromat (III). Reaksi :
(S) (R) (r)
OH2 C2O4 H3N C2O4 H3N C2O4
NH3 NH3
Cr Cr Cr
NH4 NH4
OH2 C2O4 C2O4 H2O C2O4 NH3
(R) (r)
(Keenan, 1991)
(Salma Azzahwa, Muhamad Adam Zidane)
VII. Penutup
7.1. Kesimpulan
Pembuatan garam kompleks kalium diaksolatodiakuokromat (III)
dapat dilakukan dengan melarutkan asam oksalat dan kalium dikromat ke
dalam aquades. Hasil yang didapatkan dari percobaan ini berupa kristal trans-
kalium diaksolatodiakuokromat (III) yang berwarna hitam dengan massa
sebesar 4,5 gram dan rendemen persentase sebesar 92,8%, sementara pada
kristal cis-kalium diaksolatodiakuokromat (III) berwarna hitam padat seperti
pasta dengan massa sebesar 3,8 gram dan rendemen persentase sebesar 78,36
%. Pada uji kemurnian dilakukan penambahan dengan amonia dan didapatkan
hasil kristal trans berwarna cokelat muda dan pada kristal cis berwarna hijau.
7.2. Saran
Pada penambahan etanol untuk pembentukan garam kompleks cis dapat
diganti dengan metanol, aseton, butanol, dan senyawa serupa lainnya.
(Kemilau Permata Hati)
LAMPIRAN
= 92,8%
= 78,36 %
PERCOBAAN VIII
“KEMAMPUAN KOAGULASI GARAM-GARAM SULFAT DAN
KLORIDA”
II. TUJUAN PERCOBAAN
I.1 Mempelajari daya koagulasi dari berbagai macam garam-garam sulfat dan
klorida.
(Salsa)
(Daffa)
1. Dispersi
Dispersi merupakan sebuah proses pembuatan koloid dengan
menggunakan partikel yang lebih kasar daripada koloid yang akan
dibuat. Terdapat tiga jenis disperse, yaitu:
2. Kondensasi
Kondensasi merupakan sebuah proses pembuatan koloid
dengan reaksi kimia, seperti reaksi redoks dan reaksi hidrolisis.
Contohnya adalah pembuatan sol Fe(OH)3. Reaksinya adalah
sebagai berikut.
(Farhan)
(Sabila)
II.5 Koagulasi
Suatu proses mencampurkan suatu bahan kimia atau koagulan
kedalam air baku dimana terjadi perputaran yang lebih cepat juga dengan
waktu yg singkat dinamakan koagulasi. Koagulan merupakan suatu bahan
kimia yang diperlukan oleh air baku untuk memudahkan pengendapan
partikel yang berukuran kecil dimana tidak mampu mengendap menurut
gravimetri.
(Susanti, 2003)
(Daffa)
(Achmad, 2004)
(Resita)
➢ Sifat Kimia :
1. Higroskopik
2. Tidak kompatibel dengan oksidator kuat
(Acros Organics, 2015)
II.12.5 FeSO4
➢ Sifat Fisik :
1. BEM : 278 gram/mol
2. Densitas : 1,89 g/cm3 (20oC)
3. Titik lebur : > 60oC
4. Bentuk : Padat
5. Warna : Hijau kebiruan
➢ Sifat Kimia :
1. Memiliki pH 7 (netral)
2. Tidak dapat terbakar
3. Berbahaya bila bereaksi dengan basa dan oksidator
4. Tidak bersifat iritan pada kulit
(Smart-Lab, 2019)
II.12.6 MgSO4
➢ Sifat Fisik :
1. BEM : 120,37 gram/mol
2. Densitas : 2,66 g/cm3 (20oC)
3. Titik lebur : 1124oC
4. Bentuk : Padat
5. Warna : Putih
➢ Sifat Kimia :
1. Tidak bersifat sebagai oksidator
2. Tidak dapat terbakar
3. Stabil di bawah suhu kamar
(Merck, 2018)
III.1.2 Bahan
- Poli Alumunium Klorida (PAC)
- FeCl3
- ZnSO4
- CaSO4
- FeSO4
- MgSO4
- Air waduk
III.2 Skema Kerja (Salsa, Daffa)
III.2.1 Koagulasi dengan Poli alumunium klorida (PAC)
Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
III.2.3 Koagulasi dengan ZnSO4
Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
III.2.5 Koagulasi dengan FeSO4
Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
Residu Filtrat
Erlenmeyer
Pengamatan kejernihan
Hasil
V. DATA PENGAMATAN (Sabila)
No. Perlakuan Hasil
1. 200 mL air sumur + 1 gram PAC Tetap keruh
Pendiaman selama 30 menit Tetap keruh, ada endapan
Penyaringan Filtrat keruh
2. 200 mL air sumur + 1 gram FeCl3 Larutan berwarna orange
kecoklatan
Pendiaman selama 30 menit Larutan coklat pekat, ada endapan
Penyaringan Filtrat coklat tua
3. 200 mL air sumur + 1 gram ZnSO4 Tetap keruh
Pendiaman selama 30 menit Keruh, ada endapan
Penyaringan Filtrat jenih
4. 200 mL air sumur + 1 gram CaSO4 Tetap keruh
Pendiaman selama 30 menit Larutan keruh kekuningan
Penyaringan Filtrat jernih agak kekuningan
5. 200 mL air sumur + 1 gram FeSO4 Larutan berwarna coklat
Pendiaman selama 30 menit Keruh orange kekuningan,
endapan coklat
Penyaringan Filtrat tidak jernih, endapan coklat
6. 200 mL air sumur + 1 gram MgSO4 Tetap keruh
Pendiaman selama 30 menit Larutan agak jernih
Penyaringan Filtrat jernih
Urutan Kejernihan
Urutan
Kejernihan 1 2 3 4 5 6
air sumur
Koagulan ZnSO4 PAC MgSO4 CaSO4 FeSO4 FeCl3
ZnSO4 > PAC > MgSO4 > CaSO4 > FeSO4 > FeCl3
VI. PEMBAHASAN (Semua anggota)
Percobaan yang mempunyai judul “Kemampuan Koagulasi Garam-
Garam Sulfat dan Klorida” telah dilakukan yang bertujuan untuk membuat serta
mempelajari kekuatan koagulasi yang dimiliki oleh berbagai senyawa garam
sulfat dan klorida kemudian membandingkan antar koagulan garam sulfat dengan
garam klorida terkait kefektifan koagulannya. Percobaan berprinsip pada
pengaruh koagulan positif dalam koloid dalam mengurangi muatan negatif
dengan menetralkan garam garam pemisah sehingga koloid mengalami
destabilasi. Dalam percobaan, digunakan metode koagulasi dan dilanjutkan
dengan metode flokulasi. Koagulasi merupakan proses ketidakstabilan koloid saat
tercampurnya koagulan (gumpalan) yang dibersamai dengan pengadukan secara
cepat yang menimbulkan adanya mikroflok. Sedangkan flokulasi adalah lanjutan
koagulasi dalam pembentukan flok yang lebih besar yang dibersamai dengan
pengadukan yang cepat. Proses koagulasi ataupun penegndapan pada koloid
hanya dapat terjadi dari bebebrapa hal berikut :
1. Pemansan dan juga pendinginan.
2. Terjadi penambahan senyawa elektrolit pada suatu kolois sehingga nantinya
menyebabkan terbentuknya gumpalan.
3. Pencampuran pada dua senyawa yang memiliki koloid didalamnya dan
bermuatan berbeda yaitu anion dan kation.
(Bratby, 1980)
Sampel yang digunakan adalah senyawa-senyawa dari garam sulfat, garam
klorida, serta air sumur. Bahan yang berfungsi sebagai koloid adalah air sumur,
sedangkan yang berfungsi sebagai koagulan adalah senyawa garam, baik garam
sulfat maupun garam klorida. Garam-garam sulfat yang berperan koagulan dalam
percobaan ini adalah garam-garam ZnSO4, MgSO4, CaSO4, dan FeSO4 sedangkan
garam garam klorida yang digunakan adalah garam-garam FeCl3 dan PAC.
Pada langkah pertama dilakukan penimbangan pada massa garam-garam
sampel yang mana nantinya aka ditambahkan juga pada sistem koloid atau air
sumur. Penambahan koagulan ini mempunyai fungsi nantinya larutan dapat
menjadi jernih serta partikel-partikel koloid akan mengendap pada dasar gelas
beaker dan menyebabkan kekeruhan pada larutan. Pada koloid terdapat partikel-
partikel yang mempunyai muatan listrik dikarenakan adanya adsorb ion
didalamnya. Kemudian pada sistem koloid , anion SO42- dan Cl- akan membentuk
lapisan primer yang mana akan berwujud partikel koloid, kemudian pada kation
Fe3+, Zn2+, Ca2+, Fe2+, Ca2+ dan Mg2+ akan membentuk lapisan sekunder dengan
wujud koloid. Kedua lapisan ini berfungsi untuk memunculkan suatu tingkat
stabilitas disperse koloid yang mana dikarenakan membentuk lapisan rangkap dan
menyebabkan terjadi tolakan antar partikel koloid sehingga terjadi penggumpalan
sehingga nantinya menyebabkan partikel turun dan juga mengendap, tolakan
inilah yang terjadi akibat adanya muatan negatif pada suatu sistem koloid yang
nantinya muatan positif dapat menetralkan muatan negatif. Penetralan inilah yang
berfungsi untuk menurunkan tolakan yang terjadi agar endapan yang terbentuk
semakin banyak. Sebagai contoh lapisan yang nantinya sudah terbentuk dengan
sifat stabil dan juga ekuivalen maupun kation dan anionnya saling berikatan satu
sama lain, yang menandakan ion-ion susah untuk dipisahkan sehingga agar dapat
mempermudah pada saat pemisahan ditambahkan koagulan pada larutan
dikarenakan kation pada air sumur yang kemudian akan menggagegasi ion positif
dari koagulan untuk menetralkan ion negatif.
Kemudian dilakukan pengadukan dengan tujuan untuk mempercepat
reaksi karena didalamnya terjadi tabrakan antara koloid dan koagulan, pada hal
ini baik tidaknya dari koagulan dipengaruhi beberapa faktor diantaranya adalah
kekuatan pengadukan ,kecepatan, serta frekuensi. Kemudian dilakukan
pendiaman dengan tujuan untuk membentuk flok-flok yang sempurna , kemudian
setelah flok-flok terbentuk dilakukan penyaringan dengan tujuan untuk
memisahkan larutan keruh agar menjadi jernih kembali.
Dalam percobaan ini didapatkan hasil berupa air limbah yang berubah menjadi
jernih dengan urutan:
ZnSO4 > PAC > MgSO4 > CaSO4 > FeSO4 > FeCl3
Hasil ini berbeda dengan hasil pada literatur dengan urutan:
ZnSO4 > MgSO4 > CaSO4 > FeSO4 > FeCl3> PAC
(Brady, 2000)
PAC dalam percobaan tidak sesuai dengan literatur yang ada. Dikatakan
bahwa kekuatan destabilisasi muatan negative di koloid makin besar apabila
muatan positif yang berasal dari koagulen semakin besar. Anion dan muatan
kation pada ZnSO4, MgSO4, CaSO4 dan FeSO4 sama, dimana anionnya adalah
SO4- da kationnya +2. Daya koagulasi makin besar apabila jari-jari pada atomnya
makin kecil, dimana pada satu golongan, dari atas ke bawah jari-jarinya makin
besar. Mg dan Ca yang berada dalam satu golongan menghasilkan daya koagulasi
yang berbeda dimana Ca mempunyai jari-jari atom yang lebih besar sehingga daya
koagulasi CaSO4 lebih kecil dibandingkan MgSO4 sesuai dengan hasil percobaan.
Dalam satu periode urutan besarnya jari-jari ato ialah Ca, Fe, kemudian Zn, akan
tetapi dari hasil percobaan tidak didapatkan kesesuaian dengan hasil percobaan
dan literatur dimana daya koagulasi dari FeSO4 lebih lemah dibandingkan dengan
CaSO4. Dalam hal ini kekuatan koagulan dalam melakukan koagulasi didasari
pada mampu atau tidaknya koagulan untuk bisa membuat netral partikel dari
koloidnya, dimana partikel koloid akan lebih banyak netral jika konsentrasi dari
koagulennya makin tinggi. Akan tetapi hal ini tidak selalu terjadi, dimana semakin
banyak konsentrasi dari koagulan maka akan berbanding lurus dengan jumlah dari
partikel yang melakukan koagulasi (Hardjadi, 1993).
Pada koagulasi dengan garam FeCl3 didapatkan ketika setelah
penambahan FeCl3 larutan menjadi berwarna orange kecoklatan dengan muatan
+3, hal ini dipengaruhi adanya suatu sifat higroskopis dari FeCl3 yang
menyebabkan mudah berikatan dengan air dan nantnya membentuk larutan
kuning coklat. Selain itu adanya adanya daya hantar listrik dengan koagulasi untuk
memperkirakan banyaknya suatu padatan yang terlarut dalam air yang mana
berbanding lurus dengan daya hantar listriknya. Kemudian setelah pendiaman
larutan berubah warna menjadi coklat pekat dengan adanya endapan yang
terbentuk.Hal ini juga dikarenakan pada daya koagulasi yang dimiliki garam
klorida lebih rendah dari garam sulfat. Kemudian larutan disaring agar filtrat dan
endapan terpisah dan didapatkan filtrat dengan warna coklat tua.
Kemudian pada PAC (poli alumunium klorida) merupakan koagulan yang
terburuk, dikarenakan PAC merupakan suatu polimer dengan susunan dari
monomer-monomer gabungan dari alumunium dan klorida. Yang mana ikatan
yang dihasilkan stabil karena ikatan yang dihasilkan tidak mudah putus, akibatnya
polimer ini nantinya sukar untuk terionisasi serta bereaksi dengan muatan pada
koloid sehingga daya koagulasi yang dihasilkan kecil. Hasil yang didapatkan pada
koagulasi PAC ini tetap jernih, dikarenakan kemungkinan pengaruh dari proses
pengadukan sehingga hasilnya tetap jernih.
Koagulan dari garam sulfat lebih baik dari koagulan garam klorida
dikarenakan terdapat perbedaan muatan negatif dengan keelektronegatifan dari
SO42- yang lebih kecil dari Cl- yang mempunyai keelektronegatifan yang lebih
besar. Pada hal inilah yang menyebabkan ion sulfat lebih mudah berikatan dengan
partikel koloid yang bermuatan positif pada lapisan sekunder pada sistem koloid,
sehingga nantinya koagulan dengan garam sulfat lebih mudah untuk menstabilkan
sistem koloid dengan cara membentuk suatu partikel yang lebih besar. Selain
kedua garam juga terdapat garam yang lain seperti garam bromida dan juga garam
iodida.
Pada air sumur mempunyai muatan partikel koloid negatif akibat terdapat
kesamaan pada muatan yang dimiliki sehingga partikelnya tolak-menolak.
Kemudian terdapat perubahan pada muatannya dikarenakan penambahan
koagulan, adanya muatan positif inilah menyebabkan terjadinya tarik-menarik
antara partikel dan membentuk flok-flok yang akan mengendap dan menyebabkan
pemisahan terjadi dan air dapat menjadu bening.
Mekanisme reaksi :
a. PAC
(Al2(OH)5)+ + H2O 2Al(OH)3 + H+
b. FeCl3
Fe3+ + 2H2O Fe(OH)3 + 3H+
c. ZnSO4
Zn2+ + 2H2O Zn(OH)2 +2H+
d. CaSO4
Ca2+ + 2H2O Ca(OH)2 +2H+
e. FeSO4
Fe2+ +2H2O Fe(OH)2 + 2H+
f. MgSO4
Mg2++ 2H2O. Mg(OH)2 + 2H+
(Mayasari & Hastarina, 2018; Said, 2009; Wirandani, Sudarno, &
Purwono, 2017)
Beberapa faktor yang mempengaruhi daya koagulasi :
1. Efek Pengadukan
Pengadukan ini dengan tujuan untuk meningkatkan frekuensi
singgungan antara suatu partikel pengotor dengan koagulan nantinya
dapat diperoleh hasil yang optimal.
2. ph lingkungan
Pada ph yang rendah koagulan akan bermuatan negatif seperti contoh
PAC sehingga berperan untuk menetralsir partikel. Sebaliknya pada
proses koagulasi membutuhkan ph yang tinggi dengan larutan yang
bersifat asam dikarenakan flokulasi optimal dengan suhu tinggi.
3. Konsentrasi koagulan
Pada konsentrasi koagulan tinggi maka partikel yang dinetralkan juga
semakin banyak, akan tetapi bertambahnya konsentrasi koagulan
sebanding dengan banyak partikel yang berkoagulasi.
(Harjadi, 1993)
Mekanisme koagulasi antara koagulan dengan air :
(Prabowo, Nursaidah, & Safitri, 2019)
Mekanisme koagulasi dalam proses pengelolaan air limbah yang
menjadi sampel dilakukan dalam beberapa tahapan dimana dimulai dari
tahap penambahan koagulan kedalam sampel. Penambahan koagulan
dilakukan untuk proses destabilisasi koloid pada sampel. Hal tersebut perlu
dilakukan dikarenakan pada sampel air koloid yang terbentuk memiliki
kemampuan ionik yang rendah sehingga bersifat stabil. Sifat stabil koloid-
kolid tersebut mengakibatkan timbulnya gaya tolak-menolak antara koloid
sehingga koloid tidak dapat membentuk endapan. Penambahan koagulan
kedalam sampel menimbulkan perubahan pada interaksi antar koloid
koagulan berperan sebagai pemberi muatan sehingga menimbulkan gaya
tarik-menarik antar koloid. Hal tersebut mengakibatkan terbentuk flok dan
mengendap didasar wadah sehingga memudahkan proses pemisahan sampel
air dengan zat pengotornya.
PERCOBAAN IX
“PERCOBAAN PEMBUATAN KALIUM NITRAT”
TUJUAN PERCOBAAN
Mempelajari pembuatan garam kalium nitrat hasil reaksi antara natrium
nitrat dengan kalium klorida dan mempelajari pemisahan garam tersebut dari
hasil samping natrium klorida berdasarkan perbedaan kelarutan.
DASAR TEORI
Kalium Nitrat
Kalium nitrat merupakan senyawa kimia dengan rumus
kimia KNO3dan mrupakan logam nitrat alkali. Terdapat di alam
sebagai mineral niter dan merupakan sumber nitrogen. Penggunaan
luasnya adalah sebagai pupuk, bahan kembang api, dan komponen
utama dalam pembuatan mesiu. Senyawa ini larut dalam air dan
meningkat kelarutannya seiring dengan peningkatan suhu. Sifatnya
netral dalam larutannya. Padatannya tidak terlalu higroskopik, dan
dapat bereaksi secara eksplosif dengan reduktor, tetapi tidak
eksplosif tanpanya.
(Kosanke, 2004)
Kristalisasi
Kristalisasi atau pengkristalan adalah sebuah tahap
pemisahan dan pembentukan padatan dari sebuah campuran
homogen. (Fachry dkk,2008). Pada proses ini, larutan berada dalam
kondisi jenuh dan terbentuklah padatan yang dapat dilakukan dengan
penambahan pereaksi atau pengenapan dalam kondisi dingin.
(Gotama, 2015)
Kelarutan Endapan
Merubah kelarutan suatu substansi dapat digunakan untuk
melakukan pemisahan, salah satunya adalah dengan cara
pengendapan. Konsentrasi zat-zat lain dapat pula mempengaruhi
kelarutan substansi. Kelarutan substansi yang akan diendapkan dapat
menurun drastic ketika ditambahkan salah satu ion sejenis. Namun
penambahan secara berlebihan dapat menyebabkan endapan yang
terbentuk kembali larut karena berubah menjadi senyawa kompleks.
Sebaliknya, penambahan ion tak sejenis kelarutan endapan
meningkat, terlebih lagi jika terjadi reaksi kimia diantaranya.
(Svehla, 1990)
Larutan Jenuh
Larutan jenuh adalah keaadaan larutan yang terjadi ketika
konsentrasi zat terlarut dalam suatu larutan melebihi konsentrasi
larutannya, yang secara spesifik dijelaskan oleh nilai kesetimbangan
kelarutan. Hal ini dapat membuat larutan setimbang dengan
memaksa kelebihan zat terlarut untuk berpisah dari larutannya
dengan cara mengendap atau menguap. Hal ini dapat terjadi pada
larutan yang memiliki solvent cairan dengan zat terlarut padatan atau
gas.
(Linnikov, 2014)
Proses Kristalisasi
Proses kristalisasi merupakan penyusunan atom dan molekul
membentuk struktur kristal. Prosesnya secara keseluruhan terbagi
menjadi dua tahap, yaitu nukleasi dan pertumbuhan kristal. Nukleasi
biasa terjadi pada proses kristalisasi yang terjadi pada larutan lewat
jenuh atau larutan lewat dingin. Pada tahap ini zat terlarut akan
terdispersi kedalam pelarut dan berkumpul hingga mencapai ukuran
inti yang stabil. Kestabilan ini bergantung pada suhu maupun
kejenuhan larutan. Pada proses inilah atom atau molekul tersusun
membentuk struktur kristal.
(Mersmann, 2001)
Garam Nitrat
Garam yang mengandung gugus -NO3 merupakan garam
nitrat. Anion nitrat membentuk garam dengan beragam unsur-unsur
lain. Nitrat mengandung satu atom nitrogen pusat yang dikelilingi
oleh tiga atom oksigen yang identic dalam susunan planar segitiga.
Contoh dari garam nitrat, diantaranya adalah: ammonium nitrat,
natrium nitrat, dan kalium nitrat. Informasi tentang senyawa nitrat
lainnya dapat dilihat pada table dibawah ini:
• Warna : putih
• Bentuk : padatan
• Massa molar : 74,56 g/mol
• Densitas : 1,98 g/cm³
• Titik Lebur : 770 °C
• Titik Didih : 1420 °C
• Kelarutan : 339,7 g/L
2.11.1.2 Sifat Kimia
(Pradyot, 2002)
• Berwarna putih
• Bentuk : Padatan bubuk atau kristal tak berwarna
• Massa molar : 84,995 g/mol
• Densitas : 2,257 g/cm³, padat
• Titik Lebur : 308 °C
• Titik didih : 380 °C
• Kelarutan : 91,2 g/100 g air
(Haynes, 2014)
METODE PENELITIAN
3.1 Alat
• Gelas beker
• Gelas Kimia
• Corong Penuapan
• Corong Gelas
• Neraca analitik
3.2 Bahan
• Kalium Klorida
• Natrium Nitrat
- Pencampuran
- Penguapan hingga volume 40 mL
- Penyaringan
- Penguapan hingga volume 20 mL
- Pendinginan
- Penyaringan
- Menimbang kristal
- Menghitung rendeman
Hasil
DATA PENGAMATAN
No Perlakuan Hasil
1 Pembuatan garam KNO3
• KCl ditambahkan NaNO3 Terbentuk endapan NaCl
• Penguapan sampai volume 40 ml Pengotor (H2O) menguap
• Penyaringan dalam keadaan panas NaCl terpisah dari KNO3
• Pendinginan
• Penyaringan Terbentuk kristal KNO3
Kristal KNO3 terpisah dari pengotor
Massa kristal hasil kristalisasi 7,5
gram
2 Rekristalisasi garam KNO3
• Pemanasan NaCl atau sisa pengotor hilang
• Penyaringan Terbentuk kristal KNO3
• Pendinginan
• Pendiaman diruang terbuka Sisa air yang terkandung pada filtrat
• Penimbangan menguap
Kristal KNO3 diperoleh sebesar 5
gram
HIPOTESIS
Akan dilakukan suatu percobaan dengan judul “Pembuatan Kalium
Nitrat” tujuan dilakukannya percobaan ini adalah untuk mempelajari
pembuatan garam kalium nitrat hasil reaksi antara natrium nitrat dengan
kalium klorida dan mempelajari pemisahan garam kalium nitrat dari hasil
samping natriumklorida berdasarkan perbedaan kelarutan. Adapun metode
yang digunakan adalah kristalisasi yaitu proses untuk mendapatkan kristal
padat dari larutan induk yang homogen dan rekristalisasi yaitu proses
lanjutan dari kristalisasi untuk memurnikan zat padat dengan melarutkannya
pada suatu pelarut lalu dikristalkan kembali. Sedangkan untuk prinsipnya
adalah adanya perbedaan kelarutan senyawa daam suatu pelarut. Hasil yang
mungkin diperoleh adalah kristal garam kalium nitrat yang berwarna putih.
IV. PEMBAHASAN
Telah dilakukan percobaan yang memiliki judul “Pembuatan Kalium
Nitrat” dengan tujuan percobaan yakni untuk mempelajari pembuatan
garam kalium nitrat hasil reaksi antara natrium nitrat dengan kalium klorida
serta mempelajari pemisahan garam tersebut dari hasil samping natrium
klorida berdasarkan adanya perbedaan kelarutan. Percobaan ini dilakukan
dengan didasari oleh prinsip perbedaan kelarutan yang memiliki pengertian
sebagai perbedaan pada senyawa yang melakukan pelarutan didalam sebuah
pelarut. Penggunaan metode pada percobaaninidigunakan 2 jenismetode,
yaitukristalisasi dan rekristalisasi. Kristalisasi merupakan metode
pemisahan suatu zat yang terjadi dengan cara pembentukan kristal
berdasarkan perbedaan kelarutan antara zat yang akan dimurnikan dengan
kelarutan zat-zat yang tidak diharapkan. Untuk rekristalisasi adalah proses
terbentuknya kristal kembali dalam jumlah banyak dengan keadaan murni
akibat zat-zat pengotor dalam pelarut yang berhasil dihilangkan.
6.1 Pembuatan garam kalium nitrat
Percobaan ini dilakukan dengan tujuan yaitu untuk melakukan
pembuatan dari garam kalium nitrat sebagai hasil reaksi natrium nitrat
bersama kalium klorida. Percobaan ini didasari oleh prinsip perbedaan
kelarutan dengan kristalisasi sebagai metode yang digunakan selama
percobaan. Percobaan diawali dengan memasukkan KCl serta NaNO3
dalam masing-masing gelas beker yang kemudian kedua larutan
tersebut dilarutkan menggunakan aquadest panas serta dilakukan
pengadukan secara baik dan benar. Tujuan digunakannya aquades
panas dalam pelarutan kedua larutan tersebut adalah untuk
mempercepat proses kelarutan serta agar larutan berlangsung jenuh
sehingga cepat untuk mudah bereaksi. Lakukan pengadukan agar
reaksi dapat cepat berlangsung membentuk suatu larutan yang
homogen. Dalam perbedaan kelarutan, larutan kalium nitrat jauh lebih
sukar larut apabila dibandingkan dengan natrium nitrat. Hal tersebut
diakibatkan karena dari natrium nitrat memiliki sifat higroskopis yang
membuatnya dapat lebih cepat larut daripada kalium klorida. Dapat
dilihat dari garam yang dihasilkan yaitu KNO3 dengan kepemilikan
sifat nitratdari natrium nitratnya. Reaksi yang terjadi :
KCl(aq) + NaNO3(aq) → KNO3(aq) + NaCl(aq)
(Svehla, 1985)
Kedua larutan kemudian dicampurkan dan lakukan pemanasan
hingga campuran larutan tersebut menguap sampai volume 40 mL.
Pemanasan dilakukan untuk mempercepat proses terjadi reaksi serta
mempercepat proses penguapan. Selain itu, terjadinya penguapan ini
dapat menghilangkan pengotor yang sulit terlarut dalam larutan
seperti contoh adalah pelarut H2O yang dapat dihilangkan dengan cara
pemisahan menjadi gas O2 dan H2 yang teruapkan.
Reaksi yang terjadi :
2H2O(l)→ 2H2(g) + O2(g)
(Svehla, 1985)
Terjadi pembentukan NaCl dari campuran larutan sebelumnya
yang kemudian akan mengendap dikarenakan kemampuan terlarut
dalam aquades lebih sulit terlarut apabila dibandingkan dengan
kelarutan KNO3. NaCl juga memiliki nilai Qc lebih besar yang
membuatnya dapat lebih mudah untuk mengendap dibandingkan
dengan nilai Qc KNO3. Larutan kemudian dilakukan penyaringan
ketika dalam keadaan panas dengan tujuan menghindari
mengkristalnya garam KNO3. Hal tersebut dikarenakan KNO3 yang
mudah mengendap di suhu rendah. Penyaringan dilakukan untuk
memisahkan larutan dari pengotor. Larutan diuapkan kembali sampai
volume 20 mL. Penguapan dilakukan sebanyak dua kali untuk
menghilangkan penguap lebih banyak, sehingga kristal yang akan
diperoleh nanti jauh lebih murni. Larutan kemudian didinginkan
menggunakan bantuan es batu. Tujuan dari pendinginan dengan es
batu adalah untuk mempercepat pembentukan kristal. Akan tetapi,
Kristal hasil pendinginan menggunakan es batu akan lebih mudah
rapuh dan bentuk Kristal besar-besar dikarenakan ketidak sempurnasn
pembentukan inti dari kristal. Apabila pendinginan dilakukan di suhu
ruang, maka kristal yang diperoleh lebih kuat serta bentuk kristal yang
dihasilkan kecil-kecil dikarenakan pembentukan inti dari kristal
terbentuk secara sempurna. Endapan kemudian disaring kembali
dengan kertas saring untuk diperoleh filtrat dan endapan kristal KNO3.
Hasil percobaan yang diperoleh adalah kristal KNO3 seberat 7,5 gram
yang memiliki warna putih.
m NaNO3 = 8,5 gr
Ar NaNO3 = 85 g/mol
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
Mol KCl =
𝐴𝑟𝐾𝐶𝑙
7,5𝑔
=
74,5𝑔/𝑚𝑜𝑙
= 0,1 mol
𝑚𝑎𝑠𝑠𝑎
Mol NaNO3 =
𝐴𝑟𝑁𝑎𝑁𝑂3
8,5𝑔
=
85𝑔/𝑚𝑜𝑙
= 0,1 mol
m : 0,1mol 0,1mol
m KNO3= mol x Mr
Rendementeoritis = 10,1 gr
= 5 gr – 0,5 gr
= 4,5 gr
𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑛𝑦𝑎𝑡𝑎
Rendemenpresentase = 𝑥 100%
𝑟𝑒𝑛𝑑𝑒𝑚𝑒𝑛 𝑡𝑒𝑜𝑟𝑖𝑡𝑖𝑠
4,5𝑔
= 𝑥 100%
10,1𝑔
= 44,5 %
PERCOBAAN 10
“PENJERAPAN ZAT CAIR PADA MATERIAL BERPORI”
II.9.3 NaOH
a. Sifat fisika : wujudnya padat, berta molekulnya 40 g/mol,
meleleh pada 318oC dan melebur pada. 1390oC densitasnya
2,1 g/ml
b. Sifat kimia : larut dalam air dan methanol, dapat
menghasilkan garam dan air jika direaksikan antara HCl
dengan NaOH
(Kirk R.E., and Othmer, 1952)
II.9.4 FeCl3
a. Sifat fisika : berat molekulnya 162,23 g/mol, mendidih pada
315 oC, meleleh pada suhu 305 oC, dan warnya kekuningan
b. Sifat kimia : dapat melarut dalam alcohol, gliserol, dan
senyawa polar, sifatnya yang korosif.
(Perry, R. H. a. G., 1999)
II.9.5 Akuades
a. Sifat fisika : wujudnya cair tidak berwarna, titik didihnya
100oC, berat molekulnya 18,02 g/mol
b. Sifat kimia : mempunyai pH 7, tidak beracun, tidak
berbahaya, dan tidak dapat terbakar
(Aziz et al., 2013)
II.9.6 Indikator Metil Orange
a. Sifat fisika: warna jingga, berbau khas yang lemah, pH kira-
kira 6,5 pada 5 g/l 20 °C, titik lebur > 300 °C
b. Sifat kimia: larut dalam air dan alcohol
(PT.Smart-Lab, 2014)
III.2 Bahan
a. Zeolit alam
b. Larutan HCl 0,1 M
c. Larutan NaOH 0,1 M
d. Larutan FeCl3 0,1 M
e. Akuades
f. Indikator Metil Orange
g. Indikator PP
Botol aqua
Gelas Beker
- Pengamatan warna
- Pengukuran pH dengan indikator
universal
- Penuangan ke dalam kolom penjerap
yang sudah disediakan
- Tunggu sampai tidak ada cairan yang
menetes pada gelas penampung lagi
Botol
- Pengamatan warna
- Pengamatan pH
Hasil
Gelas Beker
Botol
- Pengamatan warna
- Pengamatan pH
Hasil
III.3.4 Penjerapan NaOH pada Zeolit
50 mL NaOH 0,1 M
Gelas Beker
Botol
- Pengamatan warna
- Pengamatan pH
Hasil
III.3.5 Penjerapan FeCl3 pada Zeolit
50 mL FeCl3 0,1 M
Gelas Beker
- Pengamatan warna
- Pengukuran pH menggunakan indikator
universal
- Penuangan ke dalam kolom penjerap
yang sudah disediakan
- Tunggu sampai tidak ada cairan yang
menetes pada gelas penampung lagi
Botol
- Pengamatan warna
- Pengamatan pH
Hasil
HIPOTESIS
Percobaan ini berjudul “Penjerapan Zat Cair pada Material Berpori”
yang bertujuan untuk mempelajari fenomena penjerapan/adsorbsi larutan
baik asam, basa, netral, dan larutan yang mengandung ion logam pada
berbagai material berpori. Metode yang digunakan adalah adsorpsi. Prinsip
yang digunakan adalah gaya van der Waals. Hasil yang mungkin dihasilkan
dari percobaan ini adalah zat yang berubah warna dan nilai pH yang berubah
juga.
VI. PEMBAHASAN
(Mulyono, 2005)
Kemudian HCl yang telah terjadi perubahan warna dan pH,
dimasukan dalam kolom penjerap dan tunggu sampai penetesan selesai.
Setelah pengadsorpsian selesai, maka akan terpisah adsorben (zeolite)
dengan adsorbatnya (HCl). HCl hasil adsorpsi lalu diukur pH dan diamati
perubahan warnanya. Hasilnya didapatkan pH menjadi 3 dengan warnanya
menjadi orange jernih. pH yang naik ini sebab zeolite yang mengadsorp H+
pada HCl yang membuat konsentrasi H+ berkurang sehingga pH nya naik.
Selain itu warna HCl yang berubah juga disebabkan oleh zeolite yang
mengadsorp warna HCl yang membuat warnanya menjadi orange jernih.
Adanya perubahan warna dan pH dapat menandakan bahwa dalam
percobaan ini menggunakan zeolite (adsorben) yang bagus.
(Ronald, 2003)
Adanya perubahan warna dan pH larutan antara sebelum dan setelah
proses adsorpsi menunjukkan kandungan kadar OH- dalam larutan NaOH
terjerap pada zeolit dan terjadi interaksi tolak-menolak antar ion OH- yang
terlampau banyak dengan zat warna sehingga serapannya mengalami
penurunan.
7.1 Kesimpulan
7.2 Saran
• Sampel dalam percobaan dapat ditambahkan air kotor agar diketahui
pengaruh absorbansi yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat
• Senyawan sampel dapat digunakan dengan bahan yang berbeda tergantung
pada stok lab, seperti HCl dapat diganti H2SO4
LAMPIRAN PERHITUNGAN