Anda di halaman 1dari 63

6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Proses Pengolahan Di Pabrik Kelapa Sawit

Pabrik kelapa sawit (PKS) merupakan pabrik yang mengolah TBS sebagai

bahan baku menjadi CPO (crude palm oil) dan inti sawit dengan menggunakan

berbagai tahapan-tahapan proses pengolahan dari mulai stasiun penerimaan bahan

baku, perebusan, pemipilan, pengempaan, pemurnian minyak. Dalam tahapan-

tahan proses pengolahan tersebut sangat mengedepan kan pencapaian rendemen

dan mutu. Dari kedua produk dan hasil olahan pabrik kelapa sawit (PKS) tersebut

terdapat perbedaan angka rendemen yang sangat jauh berbeda. Dimana rendemen

CPO selalu menjadi rendemen premier, sedangkan rendemen PKS selalu menjadi

rendemen sekunder. Padahal jika rendemen inti (kernel) dapat ditingkatkan lagi,

maka akan menambah keuntungan bagi perusahaan.

Gambar 1. 1Flow Proses Pengolahan Kelapa Sawit


7

Menurut Hanny, dkk (2018) Pabrik Kelapa Sawit (PKS) pada umumnya

mengolah bahan baku berupa Tandan Buah Segar (TBS) menjadi minyak kelapa

sawit Crude Palm Oil (CPO) dan inti sawit (kernel). Proses pengolahan kelapa

sawit sampai menjadi minyak sawit CPO terdiri dari beberapa tahapan, yaitu :

2.1.1 Jembatan Timbang

Pada PKS, jembatan timbang yang dipakai menggunakan sistem komputer

untuk meliputi berat. Perinsip kerja dari jembatan truk yang melewati jembatan

timbang tidak berhenti, kemudian dicatat berat truk awal sebelum TBS

dibongkar dan sortir, kemudian setelah dibongkar truk kembali ditimbang,

selisih berat awal dan berat akhir adalah berat TBS yang diterima oleh pabrik.

Fungsi :

1. Menimbang seluruh TBS yang diterima oleh pabrik

2. Menimbang seluruh hasil produksi CPO dan Kernel yang akan dikirim ke luar

pabrik. Menimbang material lain yang masuk serta keluar dari pabrik (seperti

abu, sampah, batu, tankos).


8

Gambar 2. 1 Jembatan Timbang

2.1.2 Loading Ramp

Kualitas buah yang diterima oleh pabrik harus diperiksa tingkat

kematangannya. Jenis buah yang masuk ke pabrik pada umumnya jenis Tenera dan

jenis Dura. Kriteria matang panen merupakan faktor penting dalam pemeriksaan

kualitas buah di stasiun penerimaan TBS. Setelah disortir TBS tersebut dimasukkan

ketempat penimbunan sementara (Loading Ramp) dan selanjutnya diteruskan

menuju stasiun perebusan (Sterilizer Continous).

Fungsi :

1. Menerima dan memindahkan TBS ke FFB.


2. Mementara TBS.
3. Menjamin kontinuitas pengolahan TBS mengikuti system “FIFO”.

Kapasitas beban pintu loading 10 ton, dan jumlah pintu loading ramp 15 pintu

jadi kapasitas beban semua pintu 150 ton untuk 1 loading ramp, ada 3 loading

ramp maka, kapasitas seluruh loading ramp yang mampu ditampung oleh pabrik

kelapa sawit SAI adalah 450 ton tandan buah segar.


9

Gambar 2. 2 Loading Ramp

2.1.3 Continous Sterilizer


Continuous Sterilizer Sistem Continous adalah system perebusan

dimanaproses perebusan TBS dilakukan secara kontinu. Sistem ini hanya dikenal

satu jenis saja yaitu system Continous Sterilizer. Prinsip pengoperasian yang

perlu diperhatikan pada continuous sterilizer antara lain:

a. Menggunakan live steam injection dengan tekanan 14,7 psi (1 bar) atau low
pressure sterilizing.
b. TBS direbus melalui conveyor dua tingkat yang berada di dalam
kompartemen sterilizer.
c. Proses perebusan continous single pressure.
d. Siklus perebusan 60 – 70 menit. Tahap-tahap system continoussterilizer.
2.1.4 Proses kerja continous sterilizer
Tahap-tahap system continoussterilizer adalah sebagai berikut :
1. Tahapan sebelum Sterilization TBS dikondisikan dengan cara merobek
janjang TBS menjadi dua menggunakan alat FFB Crusher. Tujuannya adalah
agar memudahkan penetrasi steam sampai ke dalam rachis mengingat
tekanan perebusan yang digunakan adalah pada tekanan atmosfer.
2. Tahap Sterilization TBS direbus secara kontinyu pada tekanan atmosfer (Low
Pressure Sterilizing) dengan cara melewatkan TBS yang telahdirobek
melalui suatu kompartemen menggunakan conveyor yang kemudian
10

disemprotkan steam secara kontinyu pada tekanan atmosfer. Untuk


mengurangi steam keluar dari dalam sterilizer digunakan inlet dan outlet flap
valve. Pembuangan kondensat dilakukan secara kontinu melalui talang drain
di sepanjang lantai sterilizer sehingga buah tidak tergenang kondensat.
3. Tahap Post Sterilization Pemanasan lanjut terhadap brondolan yang telah
dipipil dari tandannya menggunakan alat bejana Post HeatedCooker (PH-
Cooker). Tujuan pemanasan ini adalah untuk memanaskanbuah lebih lanjut
sehingga proses pengurangan kadar air dalam buah, pelepasan ikatan fiber
pada mesocarp dari biji dan pemecahan butiran minyak dalam buah dapat
terjadi lebih baik.
2.1.5 Tujuan Perebusan
Adapun tujuan dari perebusan ini adalah :
1. Tujuan utama proses perebusan adalah untuk mempermudah proses selanjutnya.
2. Menon-Aktifkan Enzim Lipase pada TBS.
3. TBS (Tandan Buah Segar) yang dipanen mengandung enzim lipase yang tetap
bekerja dalam buah, enzim lipase bertindak sebagai pembentuk asam lemak
bebas yang dapat mempengaruhi mutu dari CPO yang dihasilkan.
4. Melunakkan daging buah (mesocarp) sehingga mudah diaduk didalam Digaster.
5. Mengurangi kadar air dalam buah.
6. Mempermudah buah lepas dari tandannya.

Gambar 2. 3 Continous Sterilizer


11

2.1.6 Penebah (Station Thresher)

Thresher berfungsi untuk memisahkan brondolan dari janjangannya

dengancara mengangkat dan membanting serta mendorong janjang kosong ke

EmptyBunch Conveyor dan brondolan akan jatuh melalui kisi-kisi ke Fruit

Conveyor. Brondolan yang terpisah akanmasuk ke lubang-lubang yang pada

Thresher dan akan masuk ke Under Theresher Conveyor, kemudianbrondolan akan

menuju ke Fruit Elevator untuk diolah di Digester. Proses pelepasan/ perontokan

berlangsung akibat terbantingnya tandan buah secara berulang - ulang di dalam alat

penebah yang berputar.

Gambar 2. 4 Thresher

2.1.7 PH (Post Heating) Cooker

PH (post heating) cooker digunakan untuk memanaskan atau memasak

kembali brondolan karna pemanasan atau perebusan yang kurang sempurna di

stasiun perebusan continous sterilizer.


12

Gambar 2. 5 PH Cooker

2.1.8 Pengempaan (Pressing)

Proses Kempa adalah dimulainya pengambilan minyak dari buah Kelapa

Sawit dengan jalan pelumatan dan pengempaan.Baik buruknya pengoperasian

peralatan mempengaruhi efisiensi pengutipan minyak. Proses ini terdiri dari :

a. Digaster
Setelah buah dipisah dari janjangan, maka buah dikirim ke Digaster dengan
cara masuk ke Under Threser Conveyor yang berfungsi untuk membawa buah
ke Fruit Elevator yang fungsinya untuk mengangkat buah keatas masuk ke
Distribusi Conveyor yang kemudian menyalurkan buah masuk ke Digaster.
Didalam Digaster tersebut buah atau berondolan yang sudah terisi penuh diputar
atau diaduk dengan menggunakan pisau pengaduk yang terpasang pada bagian
poros, sedangkan pisau bagian dasar sebagai pelempar atau mengeluarkan buah
dari digester ke screw press.
13

Gambar 2. 6 Digester

b. Screw Press

Fungsi dari Screw Press adalah untuk memisahkan minyak denngan

ampas berondolan yang telah dilumatkan di digester untuk mendapatkan

minyak kasar. Buah- buah yang telah diaduk secara bertahap dengan

bantuan pisau-pisau pelempar dimasukkan kedalam feed screw conveyor

dan mendorongnya masuk kedalam mesin pengempa (Twin Screw Press).

Oleh adanya tekanan screw yang ditahan oleh cone, massa tersebut diperas

sehingga melaluilubang- lubang press cage minyak dipisahkan dari serabut

dan biji. Selanjutnya minyak menuju stasiun klarifikasi, sedangkan ampas

dan biji masuk kestasiun kernel.


14

Gambar 2. 7 Screw Press

2.1.9 Pengolahan Biji (Kernel Station)


Telah dijabarkan bahwasanya setelah pengepresan akan menghasilkan
CrudeOil dan Fibre. Fibre tersebut akan masuk kestasiun Kernel yang
akandijabarkan proses pengolahannya.
a. Cake Breaker Conveyor (CBC)

CBC adalah suatu unit sistem yang memiliki motor pengerak, Screw Coveyor

( ulir dan poros) dan sistem transmisi, unit CBC pada pabrik kelapa sawit

memiliki 4 unit masukan yang digunakan untuk melayani 4 unit mesin press dan 1

unit keluaran yang digunakan untuk melakukan transfer ampas dan biji kelapa

sawit pada stasiun proses berikutnya. Bagian-bagian pokok dari model metering

device tipe screw conveyor dengan dua adalah screw conveyor , hopper, sistem

transmisi, pengatur inlet dan outlet unit screw conveyor(Sianipar,2008).

Cake Breaker Conveyor (CBC) berfungsi Memecahkan gumpalan fiber dan

nut (cake) hasil dari keluaran press sehingga akan memudahkan pemisahan fiber

dan nut pada depericarper (fiber cylone), di CBC juga terjadi proses penguapan
15

akibat hamburan "cake" yg terjadi selama proses transportasi. Disamping itu juga

sebagai alat transportasi "cake" dari press ke 1st Depericarper (nut ke polishing

drum dan fibre dihisap oleh fibre cyclone). Jika pemisahan tidak optimal dan basah

bisa menyebabkan fiber terikut ke polishing drum. Design CBC yang perlu

diperhatikan sebab berpengaruh terhadap operasional adalah, Tipping Speed dan

model daun conveyor.

Ampas kempa (cake) dari stasiun Press akan langsung jatuh ke Cake breake

rconveyor, membawa Cake yang masih mengandung Fiber dan Nut

sertamemecahkan gumpalan Cake dari press-an agar mempermudah operasional

didalam pemisahan antara Fiber dan Nut. Fiber akan terhisap oleh Depericarper

untuk selanjutnya dibawa ke Fiber Hopper sebagai bahan bakar Boiler. Sedangkan

Nut akan jatuh menuju Nut Polishing drum untuk selanjutnya akan dibersihkan

serabut-serabut halus yang masih menempel pada bagian luar Nut yang dapat

meredam lemparan dari Riple Mill sebagai alat pemecah Nut


16

Gambar 2. 8 Cake Breaker Conveyor (CBC)

Gambar 2. 9 Bagian-bagian mesin Cake Breaker Conveyor

Sumber : Masnur & M.Khairul 2019

Pada gambar 2.18 ditunjukan bagian-bagian dari sebuah screw conveyor

yang umum digunakan pada industri bahan baku sebagai suatu sistem yang

digunakan untuk melakukan transfer bahan baku adapun rinci dari bagian screw

conveyor dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 2.1 Bagian-bagian Mesin Cake Breaker Conveyor

No Bagian Fungsi

A Ulir (Conveyor Screw)


2
B Job-Rated Components
JigDrilled Couplings, Tem-
ULac
Self-Locking Coupling Bolts

C Hangers and Bearings

4 D Trough Ends
17

5 E Troughs, Covers, Clamps and


Shrouds

F Nu-Weld® Flange

7 G Feed and Discharge Spouts

8 H Supporting Feet and Saddle

Sumber: (Masnur & M.Khairul 2019)

Adapun fungsi dari bagian bagian dari mesin Cake Breaker Conveyor
adalah sebagai berikut :

1. Screw adalah sebuah alat dari mesin Cake Breaker Conveyor yang berbentuk
seperti ulir dan panjang nya 30 meter yang berfungsi Memecahkan gumpalan
fiber dan nut (cake) hasil dari keluaran press sehingga akan memudahkan
pemisahan fiber dan nut pada depericarper (fiber cylone).
2. Pen ( pengunci)
Pen adalah besi yang dimasukan kedalam lubang As yang berfungsi untuk
mengunci dari pada sambungan antara kopling dan As Screw.

3. Bearing
Bearing berfungsi agar As Screw dapat berputar dengan baik dan menjaga agar
As Screw tidak bergesekan dengan gantungan metal blok.
4. Cover kopling /Pembatas
Cover kopling /Pembatas adalah berfungsi sebagai pembatas antara bak
conveyor dengan kopling.
5. Cover Screw
Cover Screw adalah berfungsi sebagai pentup atau pembatas Screw agar biji
olahan sawit tidak lompat keatas.
6. Feed and Discharge spouts
Feed and Discharge spouts berfungsi sebagai kedudukan dari pada bak
Conveyor.
7. kopling
18

Kopling adalah bagian dari pada mesin (Cake Breake Conveyor) yang

digunakan menghubungkan dua poros pada kedua ujungnya yang bertujuan untuk

mentransmisikan daya mekanis.

Ada 2 jenis kopling pada mesin CBC (Cake Breake Conveyor) yaitu :

1. Kopling Flexible

a .Kelebihan / keuntungan dari kopling flexible.

 Keuntungan dari kopling flexible lebih mudah dalam perbaikan atau

pemasangan dari kopling tersebut.

 Persediaan stok spart part kopling flexible tersebut dapat diperbanyak didalam

perusahaan karna dapat dibuat dengan menggunakan mesin bubut

b. Kekurangan dari kopling flexible.

 Kopling flexibel lebih cepat rusak atau pecah saat pengoprasian mesin CBC

(Cake Breake Conveyor).

2. Kopling rantai/gigi

a. Kelebihan dari jenis kopling gear


19

 Lebih tahan lama dari pada jenis kopling flexible, karna jenis kopling

menggunakan gear dan rantai yang menjadiikannya lebih tahan lama.

b. Kekurangan kopling rantai/gigi

 Harus lebih sering dilakukan penyecekan penyetelan rantai karan kalau tidak

akan terjadi kekenduran rantai yang mengakibatkan rantai terlepas dari gigi,

dan Jika metal blok ada keausan putaran Screw tidak stabil, mengakibatkan

keausan dan kerusakan rantai gigi.

c. Depericarper

Fungsi dari Depericarper adalah untuk meisahkan fiber dengan nut dan

membawa fiber untuk menjadi bahan bakar boiler. Fungsi kerjanya adalah

tergantung pada berat massa, yang massanya lebih ringan (fiber) akan terhisap oleh

fan. Yang massanya lebih berat (nut) akan masuk ke NutPolishing Drum.

Fungsi dari Nut Polishing Drum adalah :

 Membersihkan biji dari serabut yang masih melengket.

 Membawa nut dari depericarper ke nut transport.

 Memisahkan nut dari sampah.

 Memisahkan nut berdasarkan ukurannya.


20

Gambar 2. 10 Depericarper

d. Nut Silo

Nut silo berfungsi untuk pemeraman biji, biji mengandung pektin yang

terdapat antara inti dengan tempurung sebagai perekat. Silo dibuat berbentuk

persegi panjang dengan 3 (tiga) kompartment dengan kapasitas 80 m3 bahagian

bawah dibuat berbentuk limas terbalik dan dilengkapi dengan lubang

pengeluaran dan pintu sorong. Untuk mempermudah pemecahan biji di ripple

mill maka pektin ini perlu dirombak melalui proses kimia seperti fermentasi.

Dalam alat ini dilengkapi dengan injeksi udara panas yang terletak dibagian

bawah. Dengan pemakaian suhu 80-90ºC di nut silo maka kadar air dalam biji

berkurang sehingga biji akan lekang dari intinya. Atau dapat dikatakan untuk

mempermudah pemecahan biji di ripple mill.


21

Gambar 2. 11Nut Silo

e. Ripple Mill

Fungsi dari Ripple Mill adalah untuk memecahkan nut.Pada Ripple Mill

terdapat rotor bagian yang berputar pada Ripple Plate bagian yang diam. Nut

masuk diantara rotor dan Ripple Plate sehingga saling berbenturan dan

memecahkan cangkang dari nut.

Gambar 2. 12 Ripple Mill


22

f. Hydrocyclone

Fungsi dari Hydrocyclonadalah :

 Mengutip kembali inti yang terikut kecangkang.


 Mengurangi losses (inti cangkang) dan kadar kotoran

Gambar 2. 13 Hydrocyclone

g. Kernel Dryer

Fungsi dari Kernel Dryer adalah untuk mengurangi kadar air yang

terkandung dalam inti produksi. Jika kandungan air tinggi pada inti akan

mempengaruhi nilai penjualan, karena jika kadar air tinggi maka ALB juga

tinggi. Pada Kernel Silo ada 3 tingkatan yaitu atas 70°C, tengah 60°C dan bawah

50°C.Pada sebagian PKS ada yang menggunakan sebaliknya yaitu atas 50°C,

tengah 60°C dan bawah 70°C.

2.2 Pemeliharaan (Maintenance)


23

2.2.1. Pengertian Pemeliharaan (Maintenance)

Pemeliharaan adalah semua aktivitas yang dilakukan untuk mempertahankan

kondisi sebuah item atau peralatan, atau mengembalikannya ke dalam kondisi

tertentu (Sudrajat, 2011). Kemudian dengan penekanan inti definisi yang sejalan

Ansori dan Mustajib (2013) di dalam bukunya mendefinisikan perawatan atau

maintenance sebagai konsepsi dari semua aktivitas yang di perlukan untuk menjaga

atau mempertahankan kualitas fasilitas/mesin agar dapat berfungsi dengan baik

seperti kondisi awal.

Menurut Alghofari dan Djunaidi (2006) beberapa keuntungan yang di

dapatkan dengan menerapkan pemeliharaan sebagai penopang strategi perusahaan

yaitu :

1. Mengurangi total biaya pemeliharaan (biaya suku cadang dan biaya overtime)
2. Memiliki stabilitas proses yang lebih baik
3. Memperpanjang usia peralatan dan mesin
4. Mengoptimalkan jumlah suku cadang
5. Meningkatkan keselamatan karyawan/operator
6. Mengurangi kerusakan lingkungan sekitar.

2.2.2 Jenis Pemeliharaan

Menurut Sudrajat (2011), jenis pemeliharaan diklasifikasikan sebagai berikut

terdapat tiga tipe tindakan utama pada pemeliharaan, yakni :

1. Preventive Maintenance
Preventive Maintenance (Pemeliharaan Pencegahan)dilakukan guna
memperpanjang umur sistem ataumemperpanjang umur sistem ataupun
meningkatkan kehandalan dari sistem tersebut. Tindakan pemeliharaan ini
bervariasi mulai dari perawatan ringan yang membutuhkan durasi kegagalan
24

pendek seperti halnya pelumasan,testing, penggantian terencana terhadap


komponen dan sebagainya sampai pada overhaul yang memerlukan waktu durasi
kegagalan yang signifikan.Tindakan perbaikan pencehgahan biasanya sudah
direncanakan dan terjadwal.

2. Corrective Maintenance

Corrective maintenance adalah pemeliharaan yang menggunakan pendekatan


aktifitas pemeliharaan hanya dilakukan ketika mesin/alat breakdown. Pengertian
corrective maintenance adalah pemeliharaan yang yang dilakukan setelah
mengenali kerusakan yang terjadi dan bertujuan untuk mengembalikan kondisi ke
keadaan dimana mesin/peralatan tersebut dapat berfungsi dengan baik.

3. Breakdown Maintenance (reactive maintenance)

Breakdown Maintenance adalah perawatan yang dilakukan ketika sudah


terjadi kerusakan pada mesin atau peralatan kerja sehingga Mesin tersebut tidak
dapat beroperasi secara normal atau terhentinya operasional secara total dalam
kondisi mendadak. Breakdown Maintenance ini harus dihindari karena akan terjadi
kerugian akibat berhentinya Mesin produksi yang menyebabkan tidak tercapai
kualitas ataupun Output Produksi.

4. Predictive Maintenance

Predictive maintenance merupakan bagian dari pemeliharaan pencegahan.


Predictive maintenance ini dapat diartikan sebagai strategi pemeliharaan dimana
pelaksanaannya didasarkan kondisi mesin itu sendiri. Predictve maintenance
disebut juga pemeliharaan berdasarkan kondisi (condition based maintenance) atau
juga sering disebut monitoring kondisi mesin (machinery condision monitoring),
yang artinya sebagai penentuan kondisi mesin dengan cara memeriksa mesin secara
rutin, sehingga dapat diketahui keandalan mesin serta keselamatan kerja terjamin.
2.2.3 Tujuan Pemeliharaan (Maintenance)
25

Beberapa tujuan maintenance yang utama antara lain :

1. Kemampuan berproduksi dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan rencana


produksi.
2. Menjaga kualitas pada tingkat yang tepat untuk memenuhi apa yang dibutuhkan
oleh produk itu sendiri dari kegiatan produksi yang tidak terganggu.
3. Untuk membantu mengurangi pemakaian dan penyimpangan yang diluar batas
dan menjaga modal yang diinvestasikan dalam perusahaan selama waktu yang
ditentukan sesuai dengan kebijakan perusahaan mengenai investasi tersebut.
4. Untuk mencapai tingkat biaya maintenance secara efektif dan efisien
keseluruhannya.
5. Untuk menjamin keselamatan orang yang menggunakan sarana tersebut.
6. Memaksimalkan ketersediaan semua peralatan sistem produksi (mengurangi
downtime).
7. Untuk memperpanjang umur/masa pakai dari mesin/peralatan.
2.3 Reliability Centered Maintenance (RCM)

Reliability Centered Maintenance (RCM) adalah proses penentuan

pendekatan pemeliharaan yang paling efektif, Reliability Centered Maintenance

didefinisikan sebagai suatu proses yang digunakan untuk menentukan apa yang

seharusnya dilakukan untuk menjamin setiap aset fisik atau suatu sistem dapat

berjalan dengan baik sesuai dengan fungsi yang diinginkan oleh penggunanya.

Reliability Centered Maintenance adalah suatu proses untuk menjamin suatu aset

fisik berjalan sesuai keinginan pengguna (Mufarikhah, dkk2016).

2.3.1 Prinsip Utama Reliability Centered Maintenance

a) Orientasi Fungsi

RCM bertujuan melestarikan sistem atau fungsi peralatan, bukan hanya

operabilitas untuk pengoperasian. Redundansi fungsi melalui beberapa


26

peralatan, meningkatkan kehandalan fungsional, tetapi meningkatkan biaya

siklus hidup dari segi biaya pengadaan dan operasional.

b) Sistem Terfokus

RCM lebih peduli menjaga fungsi sistem daripada fungsi komponen individu.

c) Keandalan Terpusat

RCM memperlakukan statistik kegagalan secara aktuaria. Hubungan antara

usia operasi dan kegagalan yang dialami penting. RCM tidak terlalu peduli

dengan tingkat kegagalan yang sederhana, berusaha untuk mengetahui

probabilitas kondisional kegagalan pada usia tertentu (probabilitas kegagalan

akan terjadi pada setiap kelompok usia operasi yang diberikan).

d) Mengakui Keterbatasan Desain

Tujuannya adalah untuk mempertahankan keandalan yang melekat pada

desain peralatan, mengakui bahwa perubahan keandalan yang melekat adalah

bagian desain daripada pemeliharaan. Pemeliharaan terbaik hanya dicapai dan

dipertahankan tingkat keandalan untuk peralatan yang disediakan oleh desain.

Namun RCM mengakui bahwa umpan balik pemeliharaan dapat memperbaiki

desain asli. Selain itu RCM mengakui bahwa perbedaan sering ada diantara

desain untuk masa pakai dan desain intrinsik atau aktual, dan perbedaan ini

melalui proses Age Exploration (AE).

e) Didorong oleh Keselamatan dan Ekonomi

Keselamatan harus terjamn pada biaya apapun setelah itu, efektivitas biaya

menjadi kriteria.

2.3.2 Tujuan Reliability Centered Maintenance RCM


27

Tujuan RCM adalah teknik mengindentifikasi dengan maksud hemat biaya

dan pemeliharaan untuk meminimalkan risiko dan dampak dari kegagalan dalam

fasilitas dan utilitas peralatan dan sistem (Sari, 2016). Hal ini memungkinkan

sistem dan fungsi peralatan untuk dipertahankan dengan cara yang paling

ekonomis. Tujuan RCM spesifik seperti yang dinyatakan adalah sebagai berikut

adalah:

a. Untuk memastikan realisasi tingkat keamanan dan keandalan yang melekat pada

peralatan.

b. Untuk mengembalikan peralatan kepada kondisi awal ketika kerusakan terjadi.

c. Untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk perbaikan desain perlatan

dimana keandalan bawaan peralatan terbukti harus diperbaiki.

d. Untuk mencapai tujuan ini dengan total biaya minimum, termasuk biaya

pemeliharaan, biaya dukungan, dan konsekuensi ekonomi dari kegagalan

operasional.

e. Membentuk desain yang berhubungan supaya dapat memfasilitasi Preventive

maintenance (PM).

f. Mendapatkan informasi yang berguna untuk meningkatkan desain dari

produkatau mesin yang ternyata tidak memuaskan, yang berhubungan dengan

kehandalan.

g. Membentuk PM dan tugas yang berhubungan yang dapat

mengembalikankehandalan dan keamanan pada levelnya semula pada saat

terjadinya penurunan kondisi peralatan atau sistem.

h. Untuk mewujudkan semua tujuan diatas dengan biaya minimum.


28

Reliability centered maintenance merupakan suatu teknik yang dipakai untuk

mengembangkan Preventive maintenance. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa

keandalan dari peralatan dan struktur dari kinerja yana akan dicapai adalah fungsi

dari perencanaan dan pembentukan preventive maintenance yang efektif.

Perencanaan tersebut juga meliputi komponen penggantiyang telah diprediksikan

dan direkomendasikan (Sari,2016). Reliability centered maintenance didefinisikan

proses yang digunakan untuk menentukan kebutuhan pemeliharaan terhadap aset

yang bersifat fisik dalam konteks operasinya. Secara mendasar, metodologi RCM

menyadari bahwa semua peralatan pada sebuah fasilitas tidak memiliki tingkat

prioritas yang sama. RCM menyadari bahwa desain dan operasi dari peralatan

berbeda beda sehingga memiliki peluang kegagalan yang berbeda beda juga(Ratna

&Sudiyono, 2015).

Adapun keuntungan dari RCM adalah sebagai berikut:

1. Dapat menjadi program perawaatan yang paling efisisien


2. Biaya yang lebih rendah dengan mengeliminasi kegiatan perawatan yang tidak
diperlukan
3. Minimasi frekuensi overhoul
4. Minimasi peluang kegagalan peralatan secara mendadak
5. Dapat memfokuskan kegiatan perawatan pada komponen komponen kritis
6. Meningkatkan reliability komponen
7. Menggabungkan root cause analysis
2.3.3 Ruang Lingkup RCM

Ada empat komponen besar dalam Reliability Centered Maintenance(RCM)

dijelaskan pada gambar dibawah ini, yaitu Reactive Maintenance, Preventive


29

Maintenance, Predictive Testing And Inspection, dan Proactive Maintenance.

Untuk lebih jelasnya dirangkum ke dalam bagan seperti di bawah ini :

Gambar 2. 14 Komponen-komponen RCM

a. Preventive maintenance (PM)

Preventive maintenance (PM)merupakan bagian terpenting dalam aktifitas

perawatan. Preventive maintenance dapat diartikan sebagai sebuah tindakan

perawatan untuk menjaga sistem/sub-assembly agar tetap beroperasi sesuai dengan

fungsinya dengan cara mempersiapkan inspeksi secara sistematik, deteksi dan

koreksi pada kerusakan yang kecil untuk mencegah terjadinya kerusakan yang lebih

besar. Beberapa tujuan utama dari preventive maintenance adalah untuk

meningkatkan umur produktif komponen, mengurangi terjadinya breakdown pada

komponen kritis, untuk mendapatkan perancanaan dan penjadwalan perawatan

yang dibutuhkan. Untuk mengembangkan program preventive maintenance yang

efektif, diperlukan beberapa hal yang diantaranya adalah historical records dari

perawatan sepeda motor, rekomendasi manufaktur, petunjuk service(service

manual), identifikasi dari semua komponen, peralatan pengujian dan alat bantu,
30

informasi kerusakan berdasarkan permasalah, penyebab atau tindakan yang

diambil.

b. Reactive Maintenance

Reactive MaintenanceJenis perawatan ini juga dikenal sebagai breakdown,

membenarkan apabila terjadi kerusakan, run-to-failure atau repair maintenance.

Ketika menggunakan pendekatan perawatan, equipment repair, maintenance, atau

replacement hanya pada saat item menghasilkan kegagalan fungsi. Pada jenis

perawatan ini diasumsikan sama dengan kesempatan terjadinya kegagalan pada

berbagai part, komponen atau sistem. Ketika reactive maintenance jarang

diterapkan, tingkat pergantian part yang tinggi, usaha maintenance yang jarang

dilakukan, tingginya persentase aktifitas perawatan yang tidak direncanakan adalah

sudah biasa. Untuk lebih jauh, program reactive maintenance kelihatannya

mempunyai pengaruh terhadap item survivability. Reactive maintenance dapat

dilatih dengan efektif hanya jika dilakukan sebagai sebuah keputusan yang sangat

penting, berdasarkan dari kesimpulan analisa RCM bahwa resiko perbandingan

biaya kerusakan dengan biaya perawatan dibutuhkan untuk mengurangi biaya

kerusakan.

c. Proactive Maintenance

Proactive Maintenance Jenis perawatan ini membantu meningkatkan

perawatan melalui tindakan seperti desain yang lebih baik, workmanship,

pemasangan, penjadwalan, dan prosedur perawatan. Karakteristik dari proactive

maintenance termasuk menerapkan sebuah proses pengembangan yang

berkelanjutan, menggunakan feedback dan komunikasi untuk memastikan bahwa


31

perubahan desain/prosedur yang dibuat desainer/management tersebut adalah

efektif, memastikan bahwa tidak berpengaruh perawatan yang terjadi dalam isolasi

keseluruhan, dengan tujuan akhir mengoptimalisasikan dan menggabungkan

metode perawatan dengan teknologi pada masing – masing aplikasi. Hal tersebut

termasuk dalam melaksanakan root-cause failure analysis dan predictive analysis

untuk meningkatkan efektifitas perawatan, mempengaruhi evaluasi secara periodik

dari kandungan teknis dan performa jarak yang terjadi antara maintenance task yang

satu dengan yang lain, meningkatkan fungsi dengan mendukung perawatan dalam

perencanaan program perawatan, dan menggunakan tampilan dari perawatan

berdasarkan life-cycle dan fungsi – fungsi yang mendukung.

d. Predictive Maintenance

Predictve maintenance adalah perawatan yang dilakukan untuk

mengantisipasi kegagalan sebelum terjadi kerusakan total. Predictive maintenance

ini akan memprediksi kapan akan terjadinya keruskan pada komponen tertentu pada

mesin dengan cara melakukan analisa trentdperilaku mesin/ peralatan kerja.

2.3.4 Langkah-langkah Penerapan RCM

Menurut Smith dan Hinchcliffle (2004) Sebelum menerapkan RCM, kita

harus memperhatikan langkah-langkahyang dibutuhkan dalam pelaksanaan RCM.

Adapun langkah-langkah yang diperlukan dalam RCM dijelaskan dalam bagian

berikut:

2.3.4.1. Pemilihan Sistem dan Pengumpulan Informasi


Berikut ini akan dibahas mengenai pemilihan sistem dan pengumpulaninformasi:

1. Pemilihan Sistem
32

Pada saat kita akan menggunakan RCM pada fasilitas ada dua hal yang

menjadi bahan pertimbangan, yaitu:

a. Sistem yang akan dilakukan analisis

Proses analisis RCM pada tingkat sistem kita akan memperoleh informasi yang

lebih jelas mengenai fungsi dan kegagalan fungsi komponen.

b. Seluruh sistem akan dilakukan proses analisis dan bila tidak dilakukan pemilihan

sistem

Biasanya analisis tidak dapat dilakukan pada semua sistem. Hal ini dikarenakan

bila dilakukan proses analisis secara bersamaan untuk dua sistem atau lebih

proses analisis akan sangat luas. Sehingga, kita dituntut untuk melakukan

analisis secara terpisah, sehingga dapat lebih mudah untuk menunjukkan setiap

karakteristik sistem dari fasilitas (mesin/peralatan) yang dibahas.

2. Pengumpulan Informasi

Pengumpulan informasi bertujuan untuk memperoleh deskripsi dan

pengertian yang lebih jelas mengenai suatu sistem dan bagaimana suatu sistem itu

bekerja. Informasi yang diperoleh tersebut dapat melalui pengamatan langsung di

lapangan, wawancara dan sejumlah buku referensi.

2.3.4.2. Pendefinisian Batasan Sistem

Jumlah sistem dalam suatu pabrik sangat luas tergantung dari

kekompleksitasan fasilitas dari pabrik tersebut, karena itu perlu dilakukan

definisibatas sistem. Lebih jauh lagi pendefinisian batas sistem ini bertujuan untuk

menghindari tumpang tindih antara satu sistem dengan sistem lainnya.


33

2.3.4.3. Deskripsi Sistem dan Functionsl Block Diagram (FBD)

Tahap ketiga dari RCM adalah mengidentifikasi dan mendokumentasikan

data-data informasi detail bagaimana sistem tersebut bekerja. Langkah

pendeskripsian sistem diperlukan untuk mengetahui komponen-komponen yang

terdapat didalam sistem tersebut beroperasi. Sedangkan informasi fungsi peralatan

dan cara sistem beroperasinya dapat dipakai sebagai informasi untuk membuat

dasar untuk menentukan kegiatan pemeliharaan pencegahan.

Functionsl Block Diagram memperlihatkan interaksi antara satu blok

diagram fungsi dengan blok diagram fungsi lainnya. Melalui pembuatan blok

diagram fungsi suatu sistem maka masukan, keluaran dan interaksi antara sub-sub

sistem tersebut dapat tergambar dengan jelas (Nainggolan,2017).

2.3.4.4. Fungsi Sistem dan Kegagalan Fungsi

Pada bagian ini, proses analisis lebih difokuskan pada kegagalan fungsi,

bukan kepada kegagalan peralatan karena kegagalan komponen akan dibahas lebih

lanjut di tahapan berikutnya (FMEA). Biasanya kegagalan fungsi memiliki dua atau

lebih kondisi yang menyebabkan kegagalan parsial, minor maupun mayor pada

sistem.

2.3.4.5. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)

Menurut Lukodono,dkk (2013) FMEA merupakan suatu metode yang

bertujuan untuk mengevaluasi desain sistem dengan mempertimbangkan

bermacam-macam mode kegagalan dari sistem yang terdiri dari komponen dan
34

menganalisis pengaruh terhadap keandalansistem tersebut. Dengan penelusuran

pengaruh-pengaruh kegagalan komponen sesuai dengan level sistem, item-item

khusus yang kritis dapat dinilai dan tindakan-tindakan perbaikan diperlukan untuk

memperbaiki desain dan mengeliminasi atau mereduksi probabilitas dari mode

kegagalan yang kritis.

Komponen berbagai mode kegagalan berikut dampaknya pada sistem

dituliskan pada sebuah FMEA Worksheet. Risk Priority Number (RPN) adalah

sebuah pengukuran dari resiko yang bersifat relatif. RPN diperoleh melalui hasil

perkalian antara rating Severity, Occurrence dan Detection. RPN ditentukan

sebelum mengimplementasikan rekomendasi dari tindakan perbaikan, dan ini

digunakan untuk mengetahui bagian manakah yang menjadi prioritas utama

berdasarkan nilai RPN tertinggi.

RPN = Severity * Occurrence * Detection

RPN = S * O * D

Hasil RPN menunjukkan tingkatan prioritas peralatan yang dianggap

beresiko tinggi, sebagai penunjuk ke arah tindakan perbaikan. Ada tiga komponen

yang membentuk nilai RPN . Ketiga komponen tersebut adalah:

1. Severity (S)

Severity adalah tingkat keparahan atau efek yang ditimbulkan oleh mode

kegagalan terhadap keseluruhan mesin. Nilai rating Severity antara 1 sampai 10.

Nilai 10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki dampak yang sangat besar

terhadap sistem.

Tabel 2.2 Tingkatan Severity


35

Efek Ranking Keterangan

Berbahaya tanpa ada 10 Tingkat keseriusan operator


peringatan maintenance dan keselamatan tidak
sesuai dengan peraturan pemerintah
yang tidak disertai peringatan.

Berbahaya dan ada 9 Tingkat operator maintenance dan


peringatan keselamatan tidak sesuai dengan
peraturan pemerintah yang disertai
peringatan.

Sangat Tinggi 8 Downtime lebih dari 8 jam

Tinggi 7 Downtime diantara 4 – 8 jam

Sedang 6 Downtime diantara 1 - 4 jam.

Rendah 5 Downtime diantara 0,5 – 1 jam

Sangat Rendah 4 Downtime diantara 10 - 30 menit

Kecil 3 Downtime terjadi hingga 10 menit

Sangat Kecil 2 Variasi parameter proses tidak


didalam batas spesifikasi.
Pengaturan atau pengendalian
proses lainnya dibutuhkan selama
produksi.Tidak terdapat downtime.

Tidak Ada 1 Variasi parameter proses didalam


batas spesifikasi.Pengaturan atau
pengendalian proses dapat dilakukan
selama maintenance rutin

Sumber: Dyadem Engineering Corp.

2. Occurrence

Occurence adalah tingkat keseringan terjadinya kerusakan atau kegagalan.

Occurence berhubungan dengan estimasi jumlah kegagalan kumulatif yang muncul

akibat suatu penyebab tertentu pada mesin. Nilai rating Occurence antara 1 sampai
36

10. Nilai 10 diberikan jika kegagalan yang terjadi memiliki nilai kumulatif yang

tinggi atau sangat sering terjadi.

Tabel 2.3 Tingkatan Occurrence

Rating Probability of Occurance

10 Lebih besar dari 50 per 7200 jam penggunaan

9 35-50 per 7200 jam penggunaan

8 31-35 per 7200 jam penggunaan

7 26-30 per 7200 jam penggunaan

6 21-25 per 7200 jam penggunaan

5 15-20 per 7200 jam penggunaan

4 11-14 per 7200 jam penggunaan

3 5-10 per 7200 jam penggunaan

2 Lebih kecil dari 5 per 7200 jam penggunaan

1 Tidak pernah sama sekali

(Sumber: Harpco Systems)

3. Detection

Detection adalah pengukuran terhadap kemampuan mengendalikan atau

mengontrol kegagalan yang dapat terjadi. Berikut nilai dari detection.

Tabel 2.4 Tingkat Detection

Rating Detection Design Control

10 Tidak mampu terdeteksi

9 Kesempatan yang sangat rendah dan sangat sulit


untuk terdeteksi
37

8 Kesempatan yang sangat rendah dan sulit untuk


terdeteksi

7 Kesempatan yang sangat rendah untuk terdeteksi

6 Kesempatan yang rendah untuk terdeteksi

5 Kesempatan yang sedang untuk terdeteksi

4 Kesempatan yang cukup tinggi untuk terdeteksi

3 Kesempatan yang tinggi untuk terdeteksi

2 Kesempatan yang sangat tinggi untuk terdeteksi

1 Pasti terdeteksi

2.3.4.6. Logic Tree Analysis (LTA)

Penyusunan Logic Tree Analysis (LTA) memiliki tujuan untuk memberikan

prioritas pada tiap mode kerusakan dan melakukan tinjauan dan fungsi, kegagalan

fungsi sehingga status mode kerusakan tidak sama (Denur,dkk 2017). Prioritas

suatu mode kerusakan dapat diketahui dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan

yang telah disediakan dalam LTA.

Pada bagian kolom tabel LTA mengandung informasi mengenai nomor dan

nama kegagalan fungsi, nomor dan mode kerusakan, analisis kekritisan dan

keterangan tambahan yang dibutuhkan. Analisis kekritisan menempatkan setiap

mode kerusakan ke dalam satu dari empat kategori. Empat hal yang penting dalam

analisis kekritisan yaitu sebagai berikut:

a) Evident, yaitu apakah operator mengetahui dalam kondisi normal, telah terjadi

ganguan dalam sistem?

b) Safety, yaitu apakah mode kerusakan ini menyebabkan masalah keselamatan?


38

c) Outage, yaitu apakah mode kerusakan ini mengakibatkan seluruh atau sebagian

mesin terhenti?

d) Category, yaitu pengkategorian yang diperoleh setelah menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang diajukan. Pada bagian ini komponen terbagi dalam 4 kategori,

yakni:

 Kategori A (Safety problem), apabila kegagalan komponen mengakibatkan

masalah keselamatan karyawan.

 Kategori B (Outage problem), apabila kegagalan komponen mengakibatkan

seluruh atau sebagian mesin berhenti.

 Kategori C (Economic problem), apabila kegagalan komponen

mengakibatkan masalah ekonomi perusahaan.

 Kategori D (Hidden failure), apabila karyawan tidak mengetahui telah

terjadinya kegagalan komponen dalam kondisi normal.

Pada diagram 2.1 dapat dilihat struktur pertanyaan dari Logic Tree Analysis (LTA).
39

Gambar 2. 15Logic Tree Analysis

Sumber: Smith and Hinchcliffe (2004)

2.3.5 Pemilihan Tindakan

Pemilihan tindakan merupakan tahap terakhir dalam proses RCM. Proses ini

akan menentukan tindakan yang tepat untuk mode kerusakan tertentu. Jika tugas

pencegahan secara teknis tidak menguntungkan untuk dilakukan, tindakan standar

yang harus dilakukan bergantung pada konsekuensi kegagalan yang terjadi

(Syahruddin,2018).
40

a. Jika tindakan pencegahan tidak dapat mengurangi resiko terjadinya kegagalan

majemuk sampai suatu batas yang dapat diterima, maka perlu dilakukan tugas

menemukan kegagalan secara berkala. Jika tugas menemukan kegagalan berkala

tersebut tidak menghasilkan apa-apa, maka keputusan standard selanjutnya yang

wajib dilakukan adalah mendesain ulang sistem tersebut (tergantung dari

konsekuensi kegagalan majemuk yang terjadi). Jika tindakan pencegahan tidak

dapat mengurangi resiko terjadinya kegagalan yang dapat mengancam

keselamatan atau 32pun dampak lingkungan sampai batas aman, maka

sebaiknya dilakukan desain ulang maupun perubahan terhadap sistem tersebut.

b. Jika tindakan pencegahan dilakukan, akan tetapi biaya proses total masih lebih

besar daripada jika tidak dilakukan, yang dapat menyebabkan terjadinya

konsekuensi operasional, maka keputusan awalnya adalah tidak perlu dilakuakn

maintenance terjadwal (jika hal ini telah dilakukan dan ternyata konsekuensi

operasional yang terjadi masih terlalu besar, maka sudah saatnya untuk

dilakukan desain ulang terhadap sistem).

c. Jika dilakukan tindakan pencegahan, akan tetapi biaya proses total masih lebih

besar dari pada jika tidak dilakukan tindakan pencegahan, yang dapat

menyebabkan terjadinya konsekuensi non operasional, maka keputusan awalnya

adalah tidak perlu dilakukan maintenance terjadwal, akan tetapi apabila biaya

perbaikannya terlalu tinggi, maka sekali lagi sudah saatnya dilakukan desain

ulang terhadap sistem.

Pada gambar 2.3 berikut dapat dilihat Road map pemilihan tindakan dengan

pendekatan Reliability Centered Maintenance (RCM).


41

Gambar 2. 16Road Map Pemilihan Tindakan

Sumber: Smith and Hinchcliffe (2004)

Tindakan perawatan terbagi menjadi 3 jenis yaitu:

1. Condition Directed (C.D), tindakan yang diambil yang bertujuan untuk

mendeteksi kerusakan dengan cara visual inspection, memeriksa alat, serta

memonitoring sejumlah data yang ada. Apabila ada pendeteksian ditemukan

gejala-gejala kerusakan peralatan maka dilanjutkan dengan perbaikan atau

penggantian komponen.

2. Time Directed (T.D), tindakan yang bertujuan untuk melakukan pencegahan

langsung terhadap sumber kerusakan yang didasarkan pada waktu atau umur

komponen.
42

3. Finding Failure (F.F), tindakan yang diambil dengan tujuan untuk menemukan

kerusakan tersembunyi dengan pemeriksaan berkala.

2.3.6 Fishbone Diagram

Diagram Cause and Effect atau Diagram Sebab Akibat adalah alat yang

membantu mengidentifikasi, memilah, dan menampilkan berbagai penyebab yang

mungkin dari suatu masalah atau karakteristik kualitas tertentu. Diagram ini

menggambarkan hubungan antara masalah dengan semua faktor penyebab yang

mempengaruhi masalah tersebut. Jenis diagram ini kadang‐kadang disebut diagram

“Ishikawa" karena ditemukan oleh Kaoru Ishikawa, atau diagram “fishbone” atau

“tulang ikan" karena tampak mirip dengan tulang ikan. Diagram fishbone ini dapat

digunakan ketika :

1. Mengenali akar penyebab masalah atau sebab mendasar dari akibat, masalah,
atau kondisi tertentu.
2. Memilah dan menguraikan pengaruh timbal balik antara berbagai faktor yang
mempengaruhi akibat atau proses tertentu.
3. Menganalisa masalah yang ada sehingga tindakan yang tepat dapat diambil.

Pada tahapan analisis fishbone diagram merupakan tahapan yang digunakan

untuk mencari penyebab terjadinya pemborosan saat aktivitas perawatan yang

digambarkan pada current state map. Berdasarkan hasil pengamatan dan

wawancara terhadap perusahaan maka didapatkan bentuk pemborosan yaiu

aktivitas delay. Berikut adalah pembahasan dengan memperhatikan faktor-faktor

terjadinya delay dengan penyebab yang termasuk aktivitas nonvalue added

sebagai berikut :
43

1. Fakor Manusia (Manpower)

manusia yang menyebabkan delay yaitu mental dan kekurangan pengetahuan.

Penyebab mental adalah lingkungan yang tidak bersih, usia sudah tua dan motivasi

yang kurang. Penyebab kurangnya pengetahuan didapatkan dari pendidikan yang

kurang, belum ada SOP pemeliharaan dan kurang pelatihan tentang perawatan

mesin terhadap mekanik maupun operator.

2. Faktor Mesin (Mechines)

Faktor mesin yang menyebabkan delay yaitu penurunan fungsi dan kegagalan

fungsi. Penyebab penurunan fungsi diperoleh dari usian komponen sudah

melebihi batas, sedangkan penyebab kegagalan fungsi adalah analisis keandalan

belum diterapkan dan metode identifikasi yang kurang sesuai.

3 Faktor Material

(Materials)Faktor material yang menyebabkan delay yaitu tidak tersedianya

bahan alat perbaikan yang memadai dan belum ada penjadwalan spare part

cadangankomponen kritis.

4 Faktor Metode (Methods)

Faktor metode yang menyebabkan delay yaitu aktivitas belum selesai

yangdiperoleh dari belum adanya SOP pada perawatan mesin. Faktor Lingkungan

(Media).
44

Manfaat menggunakan diagram fishbone ini:

1. membantu menentukan akar penyebab masalah dengan pendekatan yang

terstruktur.

2. Mendorong kelompok untuk berpartisipasi dan memanfaatkan pengetahuan


kelompok tentang proses yang dianalisis.
3. Menunjukkan penyebab yang mungkin dari variasi atau perbedaan yang terjadi
dalam suatu proses.
4. Meningkatkan pengetahuan tentang proses yang dianalisis dengan membantu
setiap orang untuk mempelajari lebih lanjut berbagai faktor kerja dan bagaimana
faktor‐faktor tersebut saling berhubungan.
5. Mengenali area dimana data seharusnya dikumpulkan untuk pengkajian lebih
lanjut

Diagram ini berguna untuk menganalisa dan menenemukan faktor-faktor

yang berpengaruh secara signifikan didalam menentukan karakterisitik output

kerja. Disamping juga untuk mencari penyebab-penyebab yang sesungguhnya dari

suatu masalah. Dalam hal ini metode sumbang saran (brainstorming method) akan

cukup efektif digunakan untuk mencari faktor-faktor penyebab terjadinya

penyimpangan kerja secara detail (Wingnjosoebroto, 2008).

Bahan Baku Mesin Manusia


- Kualitas - Kopling Flexibel - kurangnya
material pada rusak. tenaga mekanik
komponen Keausan pada metal dalam perusahaan
rendah blok -
45

Kerusakan

cake breaker
conveyor

Lingkungan Metode
- Banyaknyan sisa biji biji kelapa sawit - Pemeliharaan
disekitaran mesin cake breaker /perbaikan dilakukan
conveyor pada terjadi
kerusakan

Gambar 2. 17 Diagram Fishbone pada mesin cake breaker conveyor.

2.4 Realibility
Keandalan atau realibility merupakan besarnya probabilitas suatu

komponen atau sistem untuk dapat beroperasi atau melaksanakan fungsinya dalam

jangka waktu dan kondisi waktu tertentu (Ebeling, 1997). Dengan kata lain,

keandalan merupakan kemungkinan suatu sistem atau komponen untuk tidak

mengalami kegagalan atau dapat melaksanakan fungsinya selama periode waktu (t)

tertentu. Nilai keandalan dapat dihitung dengan menggunakan Persamaan 2.1

berikut.

R(t) = 1 – F(t) = (2.1)

dimana :

F(t) = Cumulative Distribution Function (CDF)

R(t) = Reliability Function


46

f(t) = Probability Density Function (PDF)

Evaluasi keandalan dapat ditentukan dengan menggunakan

metode kuantitatif dan kualitatif.

Dalam teori reliability menurut Charles Ebeling (1973) terdapat empat

konsep yang dipakai dalam pengukuran tingkat keandalan (reliability) suatu sistem

atau produk, yaitu:

1. Fungsi Kepadatan Probabilitas

Pada fungsi ini menunjukkan bahwa kerusakan terjadi secara terus-menerus

(continuous) dan bersifat probabilistik dalam selang waktu (0, ∞). Pengukuran

kerusakan dilakukan dengan menggunakan data variabel seperti tinggi, jarak,

jangka waktu. Dimana fungsi 𝑓(𝑥) dinyatakan fungsi kepadatan probabilitas.

2. Fungsi Distribusi Kumulatif

Fungsi ini menyatakan probabilitas kerusakan dalam percobaan acak, dimana

variabel acak tidak lebih dari 𝑥.

3. Fungsi Keandalan

Bila variabel acak dinyatakan sebagai suatu waktu kegagalan atau umur

komponen maka fungsi keandalan dinotasikan dengan 𝑅(𝑡) memiliki range 0 <

𝑅(𝑡) < 1, dimana:

𝑅 = 1 sistem dapat melaksanakan fungsi dengan baik.


47

𝑅 = 0 sistem tidak dapat melaksanakan fungsi dengan baik.

Maka rumus fungsi keandalan adalah:

𝑅 (𝑡 ) = 1 − 𝑃 (𝑇 < 3 ) (2.1)


𝑅(𝑡) = ∫ 𝑓 (𝑡)𝑑𝑡 (2.2)
𝑡

𝑅 (𝑡 ) = 1 − 𝑓 (𝑡 ) (2.3)

Fungsi keandalan 𝑅(𝑡) untuk preventive maintenance dirumuskan sebagai


berikut:

𝑅(𝑡 − 𝑛𝑇) = 1 − 𝐹 (𝑡 − 𝑛𝑇) (2.4)

dimana:
𝑛 : Jumlah penggantian pencegahan yang telah dilakukan sampai
kurun waktu 𝑡

𝑇 : Interval penggantian komponen

𝐹(𝑡) : Frekuensi distribusi kumulatif komponen

4. Fungsi Laju Kerusakan


Fungsi laju kerusakan didefinisikan sebagai limit dari laju kerusakan dengan

panjang interval waktu mendekati nol, maka fungsi laju kerusakan adalah laju

kerusakan sesaat. Laju kegagalan (λ) adalah banyaknya kegagalan per satuan

waktu. Laju kegagalan dapat dinyatakan sebagai perbandingan antara


48

banyaknya kegagalan yang terjadi selama selang waktu tertentu dengan total

waktu operasi komponen atau sistem. Laju kegagalan dalam beberapa kasus

dapat ditunjukkan sebagai penambahan atau increasing failure rate (IFR),

sebagai penurunan atau decreasing failure rate (DFR), dan sebagai konstan

atau constant failure rate (CFR), pada saat fungsi laju kegagalan λ(t) adalah

fungsi penambahan, penurunan atau konstan.

2.4.1 Pola Distribusi Data Dalam Keandalan


Untuk mengetahui pola data yang terbentuk, maka digunakan 4 macam

distribusi. Distribusi tersebut adalah distribusi normal, lognormal, weibull, dan

eksponensial (Ebeling, 1997).

1. Distribusi Normal
Distribusi normal atau biasa disebut distribusi gaussian merupakan salah

satu jenis distribusi yang paling sering digunakan untuk menjelaskan penyebaran

data. Probability Density Function (PDF) dari distribusi normal adalah simetris

terhadap nilai rata-rata (mean). Dispersi terhadap nilai rata-rata distribusi normal

diukur berdasarkan nilai standar deviasi. Dengan kata lain parameter distribusi

normal adalah mean dan standar deviasi. PDF dari distribusi normal dapat ditulis

seperti Persamaan 2.4 berikut (Ebeling, 1997) :

1 1 𝑡−𝜇 2
𝑓 (𝑡 ) = exp [− 2 ( ) ] (2.6)
𝜎√ 2π 𝜎

Jika distribusi waktu antar kegagalan suatu sistem mengikuti

distribusi normal, maka :


49

a. Fungsi keandalan distribusi normal adalah:


𝑡−𝜇
𝑅 (𝑡 ) = 1 − Φ ( ) (2.7)
𝜎

b. Laju kegagalan distribusi normal adalah:


exp[−(𝑡−𝜇)2 /2𝜎 2 ]
λ (𝑡 ) = ∞ (2.8)
∫𝑡 𝑒𝑥𝑝[−(𝑡−𝜇)2 2𝜎 2 ]𝑑𝑡

2. Distribusi Lognormal
Pada saat variabel acak T (waktu kegagalan) mempunyai distribusi

lognormal, logaritma T memiliki distribusi normal. Fungsi kerapatan peluang untuk

distribusi lognormal ditunjukkan pada Persamaan 2.7 berikut (Ebeling, 1997).

1 1 𝐼𝑛 𝑡−𝜇 2
𝑓 (𝑡 ) = 𝑒𝑥𝑝 [− 2 ( ) ] (2.9)
𝜎𝑡√ 2𝜋 𝜎

Karakteristik distribusi lognormal memiliki dua parameter, yaitu parameter


lokasi ( 𝜇 ) dan parameter skala ( 𝜎 ), sama dengan standar deviasi. Jika distribusi
waktu antar kegagalan mengikuti distribusi lognormal, maka (Ebeling, 1997) :

a. Fungsi keandalan distribusi lognormal adalah:

𝑡 1 1 𝐼𝑛 𝑡−𝜇 2
𝑅(𝑡) = 1 − ∫0 𝜎𝑡 𝑒𝑥𝑝 [− 2 ( ) ] 𝑑𝑡 (2.10)
√ 2𝜋 𝜎

b. Laju kegagalan distribusi lognormal adalah:

𝑓 (𝑡 )
λ(t) = (2.11)
𝑅 (𝑡 )
50

c. Waktu rata-rata kegagalan distribusi lignormal adalah :


𝜎2
𝑀𝑇𝑇𝐹 = exp(𝜇 + ) (2.12)
2

3. Distribusi Weibull

Distribusi ini merupakan distribusi yang paling sering digunakan untuk

menganalisa data kerusakan, karena distribusi weilbull dapat memenuhi beberapa

periode kerusakan yang terjadi, yaitu periode awal (early failure), periode normal

dan periode pengausan (wear out). Periode tersebut tergantung dari nilai parameter

bentuk fungsi distribusi weilbull. Distribusi weilbull mempunyai laju kerusakan

menurun untuk β < 1, laju kerusakan konstan β = 1 dan laju kerusakan naik β > 1.

Fungsi-fungsi distribusi weilbull adalah sebagai berikut :

a. Fungsi kepadatan kerusakan :

𝛽 𝑡 𝛽−1 𝑡 𝛽
𝑓 (𝑡 ) = 𝛼 ( 𝛼 ) 𝑒 [− (𝛼 ) ] (2.13)

Dimana untuk t > 0


𝛼 = parameter skala dengan 𝛼 > 0
𝛽 = paremeter bentuk dengan 𝛽 > 0
b. Fungsi distribusi kumulatif :
𝑡 𝛽
[−( ) ]
𝐹 (𝑡 ) = 1 − 𝑅 (𝑡 ) = 1 − 𝑒 𝛼 (2.14)
c. Fungsi kehandalan :
𝑡 𝛽
[−( ) ]
𝑅 (𝑡 ) = 𝑒 𝛼 (2.15)

d. Fungsi laju kerusakan :


𝑓(𝑡) 𝛽 𝑡 𝛽−1
𝑟 (𝑡 ) = = 𝛼 (𝛼 ) (2.16)
𝑅(𝑡)
51

Penambahan nilai 𝛽 akan mengakibatkan distribusi weillbull ekuivalen


dengan distribusi tertentu, akibatnya sering digunakan sebagai penekatan untuk
mengetahui karakteristik fungsi kerusakan. Hal ini dapat dilihat pada perubahan
nilai 𝛽 sebagai berikut :
1. Distribusi weilbull ekuivalen dengan distribusi eksponential, jika 𝛽 = 1
2. Distribusi weilbull ekuivalen dengan distribusi hypereksponential, jika
𝛽=0
3. Distribusi weilbull ekuivalen dengan distribusi normal, jika 𝛽 < 4

Tabel 2.5 Nilai parameter bentuk (𝜷) Distribusi Weilbull


Nilai Laju Kerusakan

0<𝛽<1 Laju kerusakan menurun (deceasing failure rate) DFR

𝛽=1 Laju kerusakan konstan (constant failure rate) CFR

Distribusi Eksponensial

1<𝛽<2 Laju kerusakan meningkat (increasing failure rate) IFR

Kurva berbentuk konkaf

𝛽<2 Laju kerusakan linear (linear failure rate) LFR

Distribusi Reyleigh

𝛽>2 Laju kerusakan meningkat (increasing failure rate) IFR

Kurva berbentuk konveks

3=𝛽=4 Laju kerusakan meningkat (increasing failure rate) IFR

Kurva berbentuk simetris

Distribusi Normal

(Sumber : Charles E. Ebeling, 1997)


52

Tabel 2.6 Decrising Failure Rate (DFR) dan Eksponential Distribution (CFR)
Value Bentuk Grafis Jenis Maintenance

𝛽<1 Reactive, inspection dan


preventive
Fr

Time

𝛽=1 Reactive, inspection dan


predictive
Fr

Time
𝛽 >1 Preventive dan time based

Fr

Time
(Sumber : Anthony Smith, 1999)

Adapun langkah-langkah perhitungan untuk menentukan nilai-nilai

parameter distribusi weilbull dua parameter adalah sebagai berikut :

a. Untuk menaksir parameter α dan parameter 𝛽, dapat dilakukan dengan cara

pendekatan Linear Regresi. Misalkan t1, t2, t3,......,tn adalah sejumlah data

waktu antar kerusakan sistem yang telah disusun menurut urutan terkecil, untuk

setiap ti (i = 1, 2, 3,......n) berlaku hubungan berikut :


53

Xi = In ti (2.17)

1
Yi = 𝐼𝑛 [𝑛 ] (2.18)
1−𝐹(𝑡𝑖)

Dimana :
𝑖−0.5
F(ti) = [ ] (2.19)
𝑁

Setelah itu dengan menggunakan metode Least Square, nilai konstan α dan 𝛽 dapat
diperoleh sebagai berikut :

b = 𝑁𝛴𝑋𝑖.𝑌𝑖−(𝛴𝑋𝑖)(𝛴𝑌𝑖)
𝑁(𝛴𝑋𝑖 2 )−(𝛴𝑋𝑖)2
(2.20)

𝛴𝑌𝑖 𝛴𝑋𝑖
a= −𝑏 (2.21)
𝑁 𝑁

Dengan diketahui nilai kedua konstanta a dan b, maka parameter distribusi


weibull dapat ditentukan yaitu :

a = 𝑒 −𝛼/𝛽 (2.22)

𝛽=b (2.23)

Dimana :
e = 2,718
t = waktu terjadi kerusakan
α = characteristic life (CL)
𝛽 = probabilitas kumulatif dan waktu terjadi kerusakan sebelum atau sama
dengan t
54

f (t) = fungsi padat distribusi frekuensi


Dengan metode diatas yang digabungkan dengan metode pengujian

distribusi kerusakan maka akan didapat nilai parameter fungsi kerusakan. Setelah

diketahui nilai-nilai parameter distribusinya, maka perhitungan fungsi distribusi

dan ongkos perawatan akan diketahui, kemudian akan didapatkan interval waktu

yang optimum untuk melakukan perawatan dan penggantian pencegahan dengan

meminimasi ongkos yang terjadi.

Beberapa Fungsi dalam distribusi Weibull:

e. Fungsi Gamma Γ(n)

Fungsi Gamma merupakan salah satu dari beberapa fungsi khusus

di dalam matematika. Fungsi Gamma merupakan perluasan dari transformasi

laplace yang sangat penting dalam matematika dan sebagai dasar dalam

perkembangan teknologi dan sains modern. Fungsi Gamma yang dinotasikan

dengan Γ(n)yaitu : Amran ( 2016) :

Fungsi gamma yang dinotasikan dengan Γ(n) didefinisikan sebagai : Γ(n)=.dimana

adalah bilangan real positi f (>0).

Γ(n)=∫𝑒−𝑦𝑦𝑝−1𝑑𝑦,𝑝>0

f. Fungsi Teta θ

Fungsi Teta juga merupakam salah satu fungsi khusus yang ada di dalam

matematika. Fungsi Teta digunakan untuk mengevaluasi integral tentu.

θ (𝑝,𝑞)=∫𝑥𝑝−1(1−𝑥)𝑞−1𝑑𝑥,𝑝>0,𝑞>010𝐵(𝑝,𝑞)=∫𝑥𝑝−1(1+𝑥)𝑝+𝑞𝑑𝑥,𝑝>0,𝑞>0
55

Fungsi Gamma dan Fungsi Teta Pada penelitian ini fungsi gamma

danfungsi Teta digunakan untuk mempermudah dalam mencari momen ke-dari

distribusi, generalized, distribusi, distribusi- student dan distribusi Laplace.

Maka, dapat disimpulkan nilai Teta dan Gamma adalah bilangan real (0), dan hanya

dapat difungsikan jika nilai Gamma dan Teta itu sendiri harus dikonotasikan dengan

nilai (n) nya.

4. Distribusi Ekponensial
PDF distribusi eksponensial ditunjukkan pada Persamaan 2.24 berikut
(Ebeling, 1997) :

𝑓(𝑡) = λe−λ(𝑡−𝛾) , 𝑡 > 0, λ > 0, t ≥ 𝛾 (2.24)

Jika distribusi waktu antar kegagalan suatu sistem mengikuti distribusi


eksponensial, maka (Ebeling, 1997) :
a. Fungsi keandalan distribusi eksponensial adalah:
𝑅(𝑡) = e−λ(𝑡𝛾) (2.25)

b. Laju kegagalan distribusi eksponensial adalah:


λ(𝑡) = λ (2.26)
c. Waktu rata–rata kegagalan distribusi eksponensial adalah:

1
MTTF = 𝛾 + λ (2.27)

2.4.2 Uji Kecocokan


Distribusi yang telah diamati selanjutnya harus dipertimbangkan agar sesuai

dengan harapan. Ditribusi yang telah diamati harus sesuai dengan nilai teoritis yang

telah ada agar bisa dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Uji kecocokan distribusi yang

gunakan adalah uji Goodness of Fit. Pengujian tersebut digunakan karena memiliki
56

probablitas yang lebih besar dalam menolak suatu distribusi yang tidak sesuai

(Ebeling, 1997).

Uji Goodness of Fit dibagi menjadi dua jenis yaitu uji umum (General Test)

dan uji khusus (Spesific Test). Untuk General Test digunakan untuk ukuran sampel

yang lebih besar dan menggunakan Chi Square Test. Sedangkan untuk Spesific Test

digunakan untuk ukuran sampel yang lebih kecil dan menggunakan Least Square

Test. Yang termasuk dalam Spesific Test yaitu Kolmogorov-Smirnov Test untuk

distribusi normal dan lognormal, Barlett Test digunakan untuk untuk distribusi

eksponensial, dan Mann’s Test untuk distribusi weibull (Ebeling, 1997).

1. Kolmogorov-Smirnov Test untuk distribusi normal dan lognormal


𝐻0 : data time to failure berdistribusi normal/lognormal
𝐻1 : data time to failure tidak berdistribusi normal/lognormal

𝐷𝑛 = 𝑚𝑎𝑥 (𝐷1 , 𝐷2 ) (2.28)

𝑡𝑖 − 𝑡̅ 𝑖−1
𝐷1 = 𝑚𝑎𝑥 {𝜙 ( )−( )} (2.29)
𝑠 𝑛

1 𝑡𝑖 − 𝑡̅
𝐷2 = 𝑚𝑎𝑥 {( ) − 𝜙 ( )} (2.30)
𝑛 𝑠

∑𝑛𝑖=1(𝑡𝑖 − 𝑡̅)2
𝑠= √ (2.31)
𝑛−1

keterangan:

𝑡𝑖 : time to failure ke-𝑖


57

𝑡̅ : rata-rata time to failure

𝑠 : standar deviasi

𝑛 : banyaknya data

2. Mann’s Test untuk distribusi weibull


𝐻0 : data time to failure berdistribusi weibull
𝐻1 : data time to failure tidak berdistribusi weibull

𝑘1 ∑[(ln 𝑡𝑖+1 − ln 𝑡𝑖 )⁄𝑀𝑖 ]


𝑀= (2.32)
𝑘2 ∑[(ln 𝑡𝑖+1 − ln 𝑡𝑖 )⁄𝑀𝑖 ]

𝑟
𝑘1 = [ ] (2.33)
𝑛

𝑟−1
𝑘2 = [ ] (2.34)
2

𝑀𝑖 = 𝑍𝑖+1 − 𝑍𝑖 (2.35)

𝑖 − 0,5
𝑍𝑖 = ln [− ln (1 − )] (2.36)
𝑛 + 0,25

keterangan:

𝑡𝑖 : data antar waktu kerusakan ke-𝑖

𝑛 : jumlah data antar kerusakan suatu komponen

𝑀𝑖 : nilai pendekatan Mann untuk data ke-𝑖

𝑀 : nilai perhitungan distribusi weibull


58

𝑀0,05;𝑘2 ;𝑘1 : nilai distribusi weibull

𝑟 : Koefision korelasi ( index of fit)

3. Barlett Test untuk distribusi eksponensial


𝐻0 : data time to failure berdistribusi eksponensial
𝐻1 : data time to failure tidak berdistribusi eksponensial

1 1
2𝑟 {[ln (( 𝑟 ) ∑𝑟𝑖=1 𝑡𝑖 )] − [(𝑟 ) ∑𝑟𝑖=1 ln(𝑡𝑖 )]}
𝐵= (2.37)
(𝑟 + 1)
1 + 6𝑟

keterangan:

𝑡𝑖 : waktu kerusakan ke-𝑖

𝑟 : jumlah kerusakan

Data waktu antar kerusakan terdistribusi eksponensial apabila:

2
Χ(1− 𝛼
,𝑟−1)
< 𝐵 < Χ(2𝛼,𝑟−1)  tabel chi kuadrat
2 2
(2.38)

a. Nilai Tengah Kerusakan


𝑖 − 0,3
𝐹 (𝑡𝑖 ) = (2.39)
𝑛 + 0,4

keterangan:

F (ti) : fungsi distribusi kumulatif


59

zi : hubungan linier dua pengubah acak

xi,ti : data kerusakan i

i : urutan data kerusakan 1,2,3………..n

n : jumlah kerusakan

r : koefisien korelasi ( index of fit)

b. Index of Fit
𝑛 ∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 . 𝑦𝑖 − (∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 )(∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 )
𝑟= (2.40)
√[𝑛(∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 2 ) − (∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 )2 ][𝑛(∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 2 ) − (∑𝑛𝑖=1 𝑦𝑖 )2 ]

4. Estimasi Parameter
Estimasi parameter masing-masing distribusi menggunakan Maximum
Likelihood Estimator (MLE) untuk menentukan estimasi parameter paling
maksimal. Di bawah ini adalah MLE untuk masing-masing distribusi:

1. Distribusi Normal
𝑛
𝜇=∑ 𝑡𝑖 (2.41)
𝑖=1

∑𝑛𝑖=1(𝑡𝑖 − 𝜇)2
𝜎= √ (2.42)
𝑛−1

keterangan:

𝑡𝑖 : data waktu kerusakan ke-𝑖

𝑛 : banyaknya data kerusakan

𝜇 : nilai tengah

𝜎 : standar deviasi
60

2. Distribusi Lognormal
∑𝑛𝑖=1 ln 𝑡𝑖
𝜇= (2.43)
𝑛

∑𝑛𝑖=1[ln(𝑡𝑖 ) − 𝜇]2
𝑠=√ (2.44)
𝑛

𝑡𝑚𝑒𝑑 = 𝑒 𝜇 (2.45)

keterangan:

𝑡𝑖 : data waktu kerusakan ke-𝑖

𝑛 : banyaknya data kerusakan

𝜇 : nilai tengah

𝜎 : standar deviasi

3. Distribusi Weibull
∑ 𝑦𝑖 ∑ 𝑥𝑖
𝛼= − (2.46)
𝑛 𝑛

𝑛 ∑ 𝑥𝑖 𝑦𝑖 − ∑ 𝑥𝑖 ∑ 𝑦𝑖
𝛽=𝑏= (2.47)
𝑛 ∑ 𝑥𝑖 2 − (∑ 𝑥𝑖 )2

𝛼
− (2.48)
𝛼=𝑒 𝛽

keterangan:

𝑡𝑖 : data waktu kerusakan ke-𝑖

𝑛 : banyaknya data kerusakan

𝛼 : parameter skala
61

𝛽 : parameter bentuk

4. Distribusi Eksponensial
𝑛
𝜆= (2.49)
𝑇

keterangan:

𝑛 : banyaknya data kerusakan

𝑇 : jumlah waktu kerusakan

2.4.3 Mean Time to Failure (MTTF)


Mean Time to Failure (MTTF) adalah rata-rata selang waktu kerusakan dari

distribusi kerusakan dan digunakan untuk memprediksi atau mempertimbangkan

terjadinya suatu kerusakan saat suatu mesin atau suatu sistem berjalan normal. Di

bawah ini adalah nilai MTTF untuk masing-masing distribusi (Ebeling, 1997):

1. Distribusi Normal
𝑀𝑇𝑇𝐹 = 𝜇 (2.50)

2. Distribusi Lognormal
𝑠2
𝑀𝑇𝑇𝐹 = 𝑡𝑚𝑒𝑑 . 𝑒 2 (2.51)
62

3. Distribusi Weibull
1
𝑀𝑇𝑇𝑅 = 𝛼Γ (1 + ) (2.52)
𝛽

4. Distribusi Eksponensial
1
𝑀𝑇𝑇𝐹 = (2.53)
𝜆

2.4.4 Mean Time to Repair (MTTR)


Mean Time to Repair (MTTR) adalah rata-rata selang waktu kerusakan dari

probabilitas waktu perbaikan dan digunakan untuk memprediksi atau

mempertimbangkan dilakukannya suatu perbaikan saat kerusakan terjadi. Di bawah

ini adalah nilai MTTR untuk masing-masing distribusi (Ebeling, 1997):

1. Distribusi Normal
𝑀𝑇𝑇𝑅 = 𝜇 (2.54)

2. Distribusi Lognormal
𝑠2
𝑀𝑇𝑇𝑅 = 𝑡𝑚𝑒𝑑 . 𝑒 2 (2.55)

3. Distribusi Weibull
1
𝑀𝑇𝑇𝑅 = 𝛼Γ (1 + ) (2.56)
𝛽

4. Distribusi Eksponensial
1 (2.57)
𝑀𝑇𝑇𝑅 =
𝜆

5. Diagram Pareto
63

Alfredo Pareto adalah orang yang pertama kali memperkenalkan diagram

pareto ini. Diagram pareto adalah grafik yang menguraikan klasifikasi data secara

menurun mulai dari kiri ke kanan. Diagram pareto digunakan untuk

mengidentifikasi masalah dari yang paling besar sampai yang paling kecil.

Adapun kegunaan dari diagram pareto antara lain:

1) Untuk menganalisa suatu fenomena, agar dapat diketahui hal-hal yang prioritas
dari fenomena tersebut.
2) Untuk dapat menentukan”pangkal persoalan”.

3) Sebagai alat interpretasi dalam menentukan frekuensi atau tingkat kepentingan


relatif dari berbagai persoalan atau sebab.
4) Menfokuskan pada pokok persoalan vital dengan cara mengurutkan berdasarkan
kepentingan.
5) Menunjukkan hasil perbaikan. Sesudah dilakukan tindakan koretif berdasarkan
prioritas, kita dapat mengadakan pengukuran ulang dan membuat diagram
pareto baru.
6) Menyusun data menjadi informasi yang berguna. Dengan menggunakan
diagram pareto sejumlah data yang besar dapat disaring menjadi informasi yang
signifikan.

Diagram Pareto dibuat berdasarkan data statistik dan prinsip bahwa 20%

penyebab bertanggungjawab terhadap 80% masalah yang muncul atau

sebaliknya.. Diagram pareto mempunyai ciri khas yaitu sumbu y merupakan

persentase terhadap total kerusakan dan penyajian data dalam grafik garis dan

diagram batang sekaligus. Gambar grafik garis menunjukan nilai persentase

frekuensi masing-masing kerusakan terhadap total kerusakan dan diagram batang

menunjukkan nilai persentase kumulatifnya. Oleh karena itu diagram pareto


64

digunakan untuk menunjukkan prioritas pada suatu masalah dimana kepada

masalah dominan tersebut dapat dilakukan penyelesaian yang terarah.

2.4.5 Model Perawatan


1. Model Perawatan Age Replacement Berdasarkan Downtime

Pada model ini penggantian pencegahan dilakukan tergantung pada umur pakai

dari komponen. Tujuan model ini menentukan umur optimal dimana penggantian

pencegahan harus dilakukan sehingga dapat meminimasi total downtime. Formulasi

perhitungan model Age Replacement adalah sebagai berikut:

𝑇𝑝 . 𝑅(𝑡𝑝) + 𝑇𝑓 [1 − 𝑅(𝑡𝑝) ]
𝐷(𝑡𝑝) = (2.58)
(𝑡𝑝 + 𝑇𝑝). 𝑅(𝑡𝑝) + [𝑀(𝑡𝑝) + 𝑇𝑓 ][1 − 𝑅(𝑡𝑝) ]

keterangan:

𝐷(𝑡𝑝) : total downtime per unit waktu untuk penggantian preventif

𝑡𝑝 : panjang siklus (interval waktu) preventif

𝑇𝑝 : downtime karena tindakan preventif (waktu yang diperlukan untuk


penggantian komponen karena tindakan preventif)

𝑇𝑓 : downtime karena kerusakan komponen (waktu yang diperlukan


untuk penggantian komponen karena kerusakan)

𝑅(𝑡𝑝) : peluang dari siklus preventif (pencegahan)

𝑀(𝑡𝑝) : nilai harapan panjang siklus kerusakan (kegagalan)

2. Keandalan Komponen Sebelum dan Sesudah Diterapkan Metode Perawatan


Pencegahan
65

Dalam teknologi yang semakin rumit, untuk melakukan peningkatan keandalan

dapat menggunakan model perawatan pencegahan. Model perawatan pencegahan

dapat meminimalisir wearout suatu komponen atau sistem dan dapat mengetahui

umur mesin dengan signifikan. Model perawatan ini mengasumsikan bahwa

keandalan mesin atau suatu sistem kembali ke kondisi semula setelah dilakukannya

perawatan pencegahan (Ebeling, 1997). Formulasi keandalan saat 𝑡 adalah sebagai

berikut :

𝑅𝑚(𝑡) = 𝑅(𝑡) (2.59)

untuk 0 ≤ 𝑡 ≤ 𝑇

𝑅𝑚(𝑡) = 𝑅(𝑡) . 𝑅(𝑡−𝑇) (2.60)

untuk 𝑇 ≤ 𝑡 ≤ 2𝑇

keterangan:

𝑇 : interval waktu penggantian pencegahan kerusakan

𝑅𝑚(𝑡) : keandalan dari sistem perawatan pencegahan

𝑅(𝑡) : keandalan sistem tanpa perawatan pencegahan

𝑅(𝑇) : peluang dari keandalan hingga perawatan pencegahan pertama

𝑅(𝑡−𝑇) : peluang dari keandalan antar 𝑡 − 𝑇 setelah sistem dikembalikan


pada kondisi awal saat 𝑇

3. Interval Waktu Pemeriksaan Berdasarkan Downtime


66

Pemeriksaan bertujuan untuk mengetahui apakah suatu komponen atau perlatan

masih dalam keadaan baik atau perlu dilakukannya perbaikan atau penggantian.

Dibawah adalah formulasi menghitung interval waktu pemeriksaan:

𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑘𝑒𝑟𝑢𝑠𝑎𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑑𝑎 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑛


𝑘= (2.61)
𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑘𝑡𝑖𝑓 𝑝𝑒𝑟𝑖𝑜𝑑𝑒 𝑛

𝑡
𝜇= (2.62)
𝑀𝑇𝑇𝑅

𝑡
𝑖= (2.63)
𝑡𝑖

𝑘. 𝑖
𝑛=√ (2.64)
𝜇

(2.65)

1
𝑖𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙 𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑝𝑒𝑚𝑒𝑟𝑖𝑘𝑠𝑎𝑎𝑛 = ×𝑡
𝑛

keterangan:

𝑡 : jam kerja per bulan

𝑡𝑖 : rata-rata waktu pemeriksaan

𝑘 : rata-rata jumlah kerusakan tiap bulan

𝜇 : rasio jam kerja sebulan terhadap rata-rata waktu perbaikan

𝑖 : rasio jam kerja sebulan terhadap waktu pemeriksaan


67

𝑛 : frekuensi pemeriksaan optimal tiap bulan


68

Anda mungkin juga menyukai