Anda di halaman 1dari 138

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM AGROINFORMATIKA

“ANALISIS DSSAT”

Dosen Pengampu :

Ir. Hadi Suhardjono, MTP

Disusun oleh :

Fahira Nisa Aini (19025010142)

Golongan D1

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAWA


TIMUR

2020
MATERI I
WEATHER DATA EDITING PROGRAM
(WEATHERMAN)
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Iklim

Iklim (climate) adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai


unsurunsur cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang di
suatu tempat atau pada suatu wilayah. Sintesis tersebut dapat diartikan pula
sebagai nilai statistik yang meliputi: rata-rata, maksimum, minimum, frekuensi
kejadian. Iklim sering dikatakan sebagai nilai statistik cuaca jangka panjang di
suatu tempat atau suatu wilayah. Iklim dapat pula diartikan sebagai sifat cuaca di
suatu tempat atau wilayah. Data iklim terdiri dari data diskontinu (radiasi, lama
penyinaran matahari, presipitasi dan penguapan) dan data kontinu (suhu,
kelembaban, tekanan udara, kecepatan angin) (Atmaja, 2009). Data unsur unsuri
klim yang sering digunakan dalam pembagian zona iklim adalah curah
hujan.Curah hujan adalah endapan atau air dalam bentuk cair maupun padat yang
berasal dari atmosfer karena proses presipitasi (Kurnia, 2007).

1.2 Suhu udara

Menurut Kartasapoetra (2004), suhu adalah derajat panas atau dingin yang
diukur berdasarkan skala tertentu. Satuan suhu digunakan derajat celcius (ºC), di
Inggris dan beberapa negara lainnya dinyatakan ºF yang menetapkan titik didih air
dalam 212ºF dan titik lebur es 32ºF. Dalam skala perseratusan (skala Celcius)
ditetapkan titik didih air 100º dan titik lebur es 0º. Kedua skala tersebut
menunjukkan suhu yang sama pada -40º. Suhu Fahrenheit dapat diubah menjadi
derajat Celcius: F = 32+ (9 / 5)C (Tjasjono, 2004). Suhu udara dipermukaan bumi
adalah relatif, tergantung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti
misalnya lamanya pe-nyinaran matahari. Hal itu dapat berdampak langsung akan
adanya perubahan suhu di udara. Suhu udara bervariasi menurut tempat dan dari
waktu ke waktu di permukaan bumi (Ramli rahim, 2016)
1.3 Tekanan udara

Menurut Tjasyono (2004), berat sebuah kolom udara per satuan luas di
atas sebuah titik menunjukkan tekanan atmosfir (tekanan udara) pada titik
tersebut. Distribusi tekanan horizontal dinyatakan oleh isobar; garis yang
menghubungkan tempat yang mempunyai tekanan atmosfir sama pada ketinggian
tertentu. Tekanan atmosfir berubah sesuai dengan tempat dan waktu.Tekanan
udara diukur berdasarkan tekanan gaya pada permukaan dengan luas tertentu.
Satuannya atmosfir (atm) atau mm Hg atau mbar, dimana tekanan udara 1atm =
760mmHg = 1.013mbar. Tekanan udara berkurang dengan bertambahnya
ketinggian tempat (elevasi atau altitud). Tekanan udara umumnya menurun
sebesar 11mbar untuk setiap bertambahnya ketinggian tempat sebesar 100m
(Lakitan, 2002).

1.4 Kelembaban udara

Menurut Kartasapoetra (2004), kelembaban adalah banyaknya kadar uap


air yang ada di udara. Dalam kelembaban dikenal beberapa istilah. Kelembaban
mutlak adalah massa uap air yang berada dalam satu satuan udara, yang
dinyatakan gram/m3 . Kelembaban spesifik merupakan 28 Perbandingan massa
uap air di udara dengan satuan massa udara, yang dinyatakan gram/kg.
Kelembaban relatif merupakan perbandingan jumlah uap air di udara dengan
jumlah maksimum uap air yang dikandung udara pada temperatur tertentu,
dinyatakan dalam %. Angka kelembaban relatif dari 0–100%, dimana 0% artinya
udara kering, sedang 100% artinya udara jenuh dengan uap air dimana akan
terjadi titik-titik air. Besaran yang digunakan untuk menyatakan kelembaban
udara adalah kelembaban nisbi, dimana kelembaban tersebut berubah sesuai
dengan tempat dan waktu. Menjelang tengah hari kelembaban nisbi berangsur
turun, kemudian pada sore hari sampai menjelang pagi bertambah besar (Tjasjono,
2004).

Kelembapan udara adalah banyaknya uap air yang terkandung dalam


udara atau atmosfer. Besarnya tergantung dari masuknya uap air ke dalam
atmosfer karena adanya penguapan dari air yang ada di lautan, danau, dan
sungai, maupun dari air tanah. Disamping itu terjadi pula dari proses
transpirasi, yaitu penguapan dari tumbuhtumbuhan. Sedangkan banyaknya air
di dalam udara bergantung kepada banyak faktor, antara lain adalah
ketersediaan air, sumber uap, suhu udara, tekanan udara, dan angin5). Uap
air dalam atmosfer dapat berubah bentuk menjadi cair atau padat yang
akhirnya dapat jatuh ke bumi antara lain sebagai hujan. Kelembapan udara yang
cukup besar memberi petunjuk langsung bahwa udara banyak mengandung
uap air atau udara dalam keadaan basah (Akhmad Fadholi, 2011)

1.5 Curah hujan

Menurut Kartasapoetra (2004), hujan merupakan salah satu bentuk


presipitasi uap air berasal dari awan yang terdapat di atmosfir. Bentuk presipitasi
lainnya adalah salju dan es. Untuk dapat terjadinya hujan diperlukan titik-titik
kondensasi, amoniak, debu, dan asam belerang. Titik-titik kondensasi ini
mempunyai sifat dapat mengambil uap air dari udara. Jumlah curah hujan dicatat
dalam inci atau millimeter (1inci = 25.4mm). Jumlah curah hujan 1mm
menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan 1mm, jika air tersebut
tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfir (Tjasjono, 2004).

1.6 Angin

Menurut Kartasapoetra (2004), angin merupakan gerakan atau


perpindahan massa udara dari satu tempat ke tempat lain secara horizontal. Massa
udara adalah udara dalam ukuran yang sangat besar yang mempunyai sifat fisik
(temperatur dan kelembaban) seragam dalam arah yang horizontal. Gerakan angin
berasal dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan rendah. Kecepatan
angin dibagi atas kelas atau tingkatan berdasarkan kerusakan yang diakibatkan
angin dan kecepatan angin, sebagaimana yang diperlihatkan pada Tabel 1 berikut.
Angin mempunyai arah yaitu arah dari mana angin bertiup biasanya dinyatakan
dalam 16 titik kompas (U, UTL, TL, TTL dan sebagainya) untuk angin-angin
permukaan, untuk angin di atas dinyatakan derajat atau 1/10 derajat dari utara,
searah jarum jam. Kecepatan angin km/jam, mil/jam, m/det, knot, dimana
1km/jam = 0.621mil/jam = 0.278 knot, 1knot = 1.852km/jam = 1.151mil/jam =
0.514m/det.

1.7 Radiasi Matahari

Menurut Saipul Hamdi (2014) Radiasi matahari merupakan unsur


iklim/cuaca utama yang akan mempengaruhi keadaan unsur iklim/cuaca lainnya.
Radiasi matahari yang tiba di permukaan bumi persatuan luas dan waktu dikenal
sebagai insolasi. Insolasi biasanya dinyatakan dalam satuan watt /m 2. Insolasi juga
diukur dalam satuan jam/hari, yaitu lamanya matahari menyinari bumi dalam
periode satu hari. Periode satu hari disebut juga panjang hari, yaitu lama matahari
berada pada horizon.

1.8 Lama Penyinaran Matahari


Lama penyinaran matahari merupakan satu dari beberapa unsur
klimatologi. Lama penyinaran matahari atau durasi penyinaran matahari
(periodisitas) adalah lamanya matahari bersinar cerah pada permukaan bumi yang
dihitung mulai dari matahari terbit hingga terbenam. Besarnya lama penyinaran
matahari ditulis dalam satuan jam, nilai persepuluhan, atau dalam satuan persen
terhadap panjang hari maksimum (Ariffin, dkk., 2010)
Lama penyinaran matahari merupakan salah satu unsru klimatologi yang
dapat didefinisikan sebagai kekuatan matahari yang melebihi 120 w / m2. Jumlah
radiasi matahari yang diterima bumi bergantung pada keadaan atmosfer, jarak
bumi dari matahari. Intensitas dari radiasi matahari dan lamanya penyinaran
matahari. Intensitas radiasi matahari merupakan absorpsi energi matahari dalam
satuan cm2/menit. Pengukuran intensitas penyinaran matahari biasanya
menggunakan lightmeter. (Sari, et al, 2015)
Lama penyinaran matahari dipengaruhi oleh posisi atau letak matahari ke
bumi. Bulan Juni dan September atau dikenal solstice, dimana posisi matahari
berada tepat diatas daerah di katulistiwa, sehingga mempengaruhi baik lama
penyinaran serta intensitas radiasi matahari (Simatupang,2004:8). Posisi matahari
yang tepat diatas katulistiwa berpengaruh pula pada sudut datang sinar matahari
ke permukaan bumi. Pada bulan tertentu yaitu bulan Juni dan September, sudut
datang sinar matahari tepat tegak lurus ke bumi, sehingga lama penyinarannya
semakin besar (Tukidi,2004:32).
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Temperatur Minimum

Gambar 1.1 Grafik Temperatur Max/Min

Grafik diatas menunjukkan bahwa suhu atau temperatur minimum dan


maksimum terjadi di stasiun geofisika Denpasar selama satu tahun. Suhu
maksimal tercatat 35°C pada bulan Desember sedangkan suhu terendah tercatat
21°C pada bulan Januari dan September. Berdasarkan pada data tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa Kota Denpasar tergolong ke dalam daerah dataran
rendah yang dimana suhu udara pada suatu tempat dipengaruhi oleh beberapa
faktor salah satunya adalah radiasi matahari, ketinggian tempat, dan lain-lain.
Suhu udara akan naik apabila ketinggian tempat tersebut berada di dataran rendah
hal ini berlaku juga dengan sebaliknya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ramli
rahim (2016) Suhu udara dipermukaan bumi adalah relatif, tergantung pada
faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti misalnya lamanya pe-nyinaran
matahari. Hal itu dapat berdampak langsung akan adanya perubahan suhu di
udara. Suhu udara bervariasi menurut tempat dan dari waktu ke waktu di
permukaan bumi. Pengetahuan akan hal ini akan berguna bagi para petani untuk
menentukan komoditas apa yang akan di tanam di daerah tersebut.
2.2 Kelembaban Udara

Gambar 1.2 Grafik Kelembaban Udara

Berdasarkan grafik diatas dapat menunjukkan tentang kelembaban udara


harian di stasiun Denpasar. Kelembaban minimum sekitar 61 % pada bulan
januari dan 94 % pada bulan maret. Kelembapan udara adalah banyaknya uap
air yang terkandung dalam udara atau atmosfer. Besarnya tergantung dari
masuknya uap air ke dalam atmosfer karena adanya penguapan dari air yang
ada di lautan, danau, dan sungai, maupun dari air tanah. Disamping itu
terjadi pula dari proses transpirasi, yaitu penguapan dari tumbuh tumbuhan.
Sedangkan banyaknya air di dalam udara bergantung kepada banyak faktor,
antara lain adalah ketersediaan air, sumber uap, suhu udara, tekanan udara, dan
angin). Uap air dalam atmosfer dapat berubah bentuk menjadi cair atau padat
yang akhirnya dapat jatuh ke bumi antara lain sebagai hujan. Kelembapan udara
yang cukup besar memberi petunjuk langsung bahwa udara banyak
mengandung uap air atau udara dalam keadaan basah (Akhmad Fadholi,
2011). Pada daerah Denpasar yang memiliki suhu yang tinggi mengakibatkan
kelembaban udara menjadi rendah. Hal ini disebabkan oleh radiasi matahari yang
menyebabkan perpindahan air secara cepat. Data yang didapatkan berguna
untuk mengetahui dalam melakukan penanaman baik itu pada bulan basah
maupun bulan kering.
2.3 Curah Hujan

Gambar 1.3 Grafik Curah Hujan

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan rata-rata curah harian yang


dimana tercatat curah hujan maksimum 123,4 mm. curah hujan ialah jumlah air
yang jatuh pada permukaan tanah selama periode tertentu bila tidak terjadi
penghilangan oleh proses evaporasi, pengaliran dan peresapan, yang diukur dalam
satuan tinggi. Tinggi air hujan 1 mm berarti air hujan pada bidang seluas 1 m2
berisi 1 liter. Menurut Kartasapoetra (2004), hujan merupakan salah satu bentuk
presipitasi uap air berasal dari awan yang terdapat di atmosfi. Unsur-unsur hujan
yang harus diperhatikan dalam mempelajari curah hujan ialah jumlah curah hujan,
dan intensitas atau kekuatan tetesan hujan. (Arifin, 2010). Berdasarkan data yang
didapatkan bahwa hujan terjadi di awal tahun sehingga pada bulan januari tercatat
memiliki suhu dan kelembaban yang rendah. Pada saat awal bulan ,
ketersediaan air dalam tanah meningkat sehingga akan sangat berguna untuk para
petani dalam menentukan komoditas yang tahan dan butuh air. Pada bulan inilah
juga lebih baik ditanam padi karena awal bulan merupakan bulan basah.
2.4 Lama Penyinaran Matahari

Gambar 1.4 Grafik Lama Penyinaran Matahari

Berdasarkan grafik diatas menunjukkan lama penyinaran matahari di


Denpasar selama satu tahun. Lama penyinaran matahari tercatat maksimal senilai
10,5 jam pada bulan oktober dan februari . Sedangkan Lama penyinaran matahari
tercatat minimum 1 jam pada bulan januari,februari, maret, dan juli. Lama
penyinaran matahari merupakan satu dari beberapa unsur klimatologi. Menurut
Ariffin (2010) Lama penyinaran matahari atau durasi penyinaran matahari
(periodisitas) adalah lamanya matahari bersinar cerah pada permukaan bumi yang
dihitung mulai dari matahari terbit hingga terbenam. Besarnya lama penyinaran
matahari ditulis dalam satuan jam, nilai persepuluhan, atau dalam satuan persen
terhadap panjang hari maksimum. Lama penyinaran matahari berdampak pada
pertumbuhan tanaman yang dimana apabila tanaman tersebut memerlukan banyak
atau cukup sinar matahari. Lama penyinaran matahari dipengaruhi oleh tingkat
intensitas dari awan yang dimana awan akan menghalangi lama pengamatan sinar
matahari. Menurut Sari (2015) Lama penyinaran matahari merupakan salah satu
unsru klimatologi yang dapat didefinisikan sebagai kekuatan matahari yang
melebihi 120 w / m2. Jumlah radiasi matahari yang diterima bumi bergantung pada
keadaan atmosfer, jarak bumi dari matahari. Intensitas dari radiasi matahari dan
lamanya penyinaran matahari. Intensitas radiasi matahari merupakan absorpsi
energi matahari dalam satuan cm2/menit. Pengukuran intensitas penyinaran
matahari biasanya menggunakan lightmeter.
2.5 Kecepatan Angin

Gambar 1.5 Grafik Kecepatan Angin


Berdasarkan grafik diatas dapat menunjukkan total kecepatan angin di Kota
Denpasar selama satu tahun. Pada data tersebut tercatat kecepatan angin anatar 432
km/jam sampai 86,4 km/jam. Menurut Kartasapoetra (2004), angin merupakan
gerakan atau perpindahan massa udara dari satu tempat ke tempat lain secara
horizontal. Massa udara adalah udara dalam ukuran yang sangat besar yang
mempunyai sifat fisik (temperatur dan kelembaban) seragam dalam arah yang
horizontal. Gerakan angin berasal dari daerah bertekanan tinggi ke daerah bertekanan
rendah. Data yang dapatkan dapat berguna untuk mengetahui tingkat ciptanya
penyerbukan yang dibantu oleh angin. Dan juga Pergantian udara jenuh dengan uap
air dan udara yang lebih kering sangat bergantung pada kecepatan angin. Jika air
menguap ke atmosfer maka lapisan atas antara permukaan tanah dan udara menjadi
jenuh oleh penguapan air sehingga proses penguapan akan terhenti. Agar proses
dapat berjalan terus, maka lapisan jenuh harus diganti dengan udara kering.
Pergantian tersebut hanya mungkin jika ada angin yang menggeser uap air. Jadi
kecepatan angin memegang peranan penting dalam proses evapotranspirasi.
2.6 Radiasi Matahari

Gambar 1.6 Grafik Radiasi Matahari


Berdasarkan grafik diatas dapat menunjukkan total radiasi matahari harian
di Kota Denpasar. Tingkat maksimum radiasi matahari tercatat senilai 41.80382
dan terendah senilai 0,88881. Menurut Saipul Hamdi (2014) Radiasi matahari
merupakan unsur iklim/cuaca utama yang akan mempengaruhi keadaan unsur
iklim/cuaca lainnya. Radiasi matahari yang tiba di permukaan bumi persatuan luas
dan waktu dikenal sebagai insolasi. Insolasi biasanya dinyatakan dalam satuan
watt /m2. Insolasi juga diukur dalam satuan jam/hari, yaitu lamanya matahari
menyinari bumi dalam periode satu hari. Periode satu hari disebut juga panjang
hari, yaitu lama matahari berada pada horizon. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan White dan Izquerdo (1993) Penerimaan radiasi juga erat kaitannya
dengan faktor musim. Pada musim hujan, nilai curah hujan dan keawanan menjadi
meningkat serta lama penyinaran menjadi lebih singkat, sehingga wilayah dengan
keawanan yang tinggi bisa berpotensi mengalami penurunan produksi dan
produktivitas. Radiasi matahari optimum yang dibutuhkan tanaman untuk
melakukan proses fotosintesis adalah sekitar 209.3-558.2 W.m-2 dan fotosintesis
maksimum pada intensitas cahaya 300 W.m-2.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan data yang diperoleh dari praktik yang kami lakukan adalah
karateristik cuaca yang merupakan faktor utana bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dan Kota Denpasar mempunyai cuaca yang dipengaruhi
beberapa faktor antara lain penyinaran matahari, radiasi matahri, angin, curah
hujan, dan lain-lain. Setiap wilayah mempunyai karateristik cuaca yang berbeda-
beda dan komoditas yang akan ditanam pun akan berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Fadoli. 2011. Pemanfaatan Suhu Udara Dan Kelembapan Udara Dalam
Persamaan Regresi Untuk Simulasi Prediksi Total Hujan Bulanan Di
Pangkalpinang. Bangka Belitung. Stasiun Meteorologi Depati Amir
Pangkalpinang.

Atmaja, L.S. 2009. Statistika untuk Bisnis dan Ekonomi. Yogyakarta. Penerbit
Andi.

Ariffin, dkk., 2010, Modul Praktikum Klimatologi. Malang.Fakultas Pertanian


Universitas Brawijaya.

Hamdi, Saipul. 2014. Mengenal Lama Penyinaran Matahari Sebagai Salah Satu
Parameter Klimatologi. Vol 15. Peneliti pusat sains dan Teknologi
Atmosfer, Lapan.

Kartasapoetra, A.G., 2004. Klimatologi Pengaruh Iklim terhadap Tanah dan


Tanaman. Jakarta.. PT Bumi Aksara

Kurnia, I.F. 2007. Prakiraan Curah Hujan Bulanan Kecamatan


BaturadenKabupaten Banyumas dengan Model Arima di Stasiun
KlimatologiSemarang[Skripsi]. Semarang. Universitas Negeri Semarang

Ramli Rahim, dkk. 2016. Karakteristik Data Temperatur Udara dan


Kenyamanan

Termal di Makassar. Makassar. Lab. Sains dan Teknologi Bangunan,


Departemen/Program Studi Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas
Hasanuddin

Simatupang, Ferry. 2000. Solstice. Jakarta : Gramedia

Sari, Mona Berlian., Yulkifli., Kamus, Zulhendri. 2015. Sistem Pengukuran


Intensitas dan Durasi Penyinaran Matahari Realtime PC berbasis LDR dan
Motor Stepper. Jurusan Fisika FMIPA Universitas Negeri Padang.

Tukidi. 2004. Matahari. Jakarta : Gramedia.


Tjasjono, B., 2004. Klimatologi. ITB, Bandung.

White, J.W., J. Izquerdo. 1993. Physiology of yield potential and stress tolerance.
In A.V. Schoonhoven, O. Voysest (Eds.). Common Beans: Research for
Crop Improvement. CAB International, Wallingford, UK.
MATERI II
SOIL EDITING PROGRAM (SBUILD)
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Struktur Tanah

Struktur tanah yang baik adalah yang kandungan udara dan airnya dalam
jumlah cukup dan seimbang serta mantap. Hal semacam ini hanya terdapat
pada struktur yang ruang pori-porinya besar dengan perbandingan yang sama
antara pori-pori makro dan mikro serta tahan terhadap pukulan tetes air hujan.
Dikatakan pula bahwa struktur tanah yang baik apabila perbandingannya sama
antara padatan, air, dan udara (Suhardi, 2007).
Struktur tanah merupakan sifat fisik tanah yang menggambarkan susunan
keruangan partikel-partikel tanah yang bergabung antara satu dengan yang lain
membentuk agregat. Dalam tinjauan morfologi, struktur tanah diartikan
sebagai susunan partikel-partikel primer menjadi satu kelompok partikel
(cluster) yang disebut agregat, yang dapat dipisah-pisahkan kembali serta
mempunyai sifat yang berbeda dari sekumpulan partikel primer yang tidak
teragregasi (Handayani, 2008).

1.2 Warna Tanah

Warna tanah merupakan gabungan berbagai warna komponen penyusun


tanah.Warna tanah berhubungan langsung secara proporsional dari total
campuran warna yang dipantulkan permukaan tanah. Warna tanah sangat
ditentukan oleh luas permukaan spesifik yang dikali dengan proporsi
volumetrik masing-masing terhadap tanah. Makin luas permukaan spesifik
menyebabkan makin dominan menentukan warna tanah, sehingga warna butir
koloid tanah (koloid anorganik dan koloid organik) yang memiliki luas
permukaan spesifik yang sangat luas, sehingga sangat mempengaruhi warna
tanah (Hardjowigeno,2010).

1.3 Tekstur Tanah

Tekstur tanah adalah pembagian ukuran butir tanah. Butir-butir yang


paling kecil adalah butir liat, diikuti oleh butir debu, pasir, dan kerikil. Selain
itu, ada juga tanah yang terdiri dari batu-batu. Tekstur tanah dikatakan baik
apabila komposisi antara pasir, debu dan liatnya hampir seimbang. Tanah
seperti ini disebut tanah lempung. Semakin halus butir-butir tanah (semakin
banyak butir liatnya), maka semakin kuat tanah tersebut memegang air dan
unsur hara. Tanah yang kandungan liatnya terlalu tinggi akan sulit diolah,
apalagi bila tanah tersebut basah maka akan menjadi lengket. Tanah jenis ini
akan sulit melewatkan air sehingga bila tanahnya datar akan cenderung
tergenang dan pada tanah berlereng erosinya akan tinggi. Tanah dengan butir-
butir yang terlalu kasar (pasir) tidak dapat menahan air dan unsur hara.
Dengan demikian tanaman yang tumbuh pada tanah jenis ini mudah
mengalami kekeringan dan kekurangan hara (Alfian, 2016).
Intensitas warna tanah dipengaruhi tiga faktor berikut:
(1) jenis mineral dan jumlahnya
(2) kandungan bahan organik tanah
(3) kadar air tanah dan tingkat hidratasi.

1.4 Ketersediaan Air Tanah

Ketersediaan air dalam tanah merupakan salah satu faktor penting


bagi pertumbuhan tanaman. Kadar air pada berbagai keadaan tanah seperti
kadar air kapasitas lapang dapat ditetapkan dengan metode yang berbeda. Air
merupakan salah satu komponen penting bagi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Air yang diserap tanaman adalah air yang berada
pada pori-pori tanah. Setiap jenis tanah memiliki distribusi dan ukuran pori
yang berbeda-beda, yang akan mempengaruhi ketersediaan air di dalam
tanah. Kadar air kapasitas lapang didefinisikan sebagai kadar air tanah di
lapang pada saat air drainase sudah berhenti atau hampir berhenti mengalir
karena adanya gaya grafitasi setelah sebelumnya tanah tersebut mengalami
jenuh sempurna (Brendan, 2014).

Menurut Hanafiah (2007) bahwa koefisien air tanah yang merupakan


koefisien yang menunjukkan potensi ketersediaan air tanah untuk mensuplai
kebutuhan tanaman, terdiri dari:
a. Jenuh atau retensi maksimum, yaitu kondisi di mana seluruh ruang pori
tanah terisi oleh air.
b.  Kapasitas lapang adalah kondisi dimana tebal lapisan air dalam pori-pori
tanah mulai menipis, sehingga tegangan antarair-udara meningkat hingga
lebih besar dari gaya gravitasi.
c. Koefisien layu (titik layu permanen) adalah kondisi air tanah yang
ketersediaannya sudah lebih rendah ketimbang kebutuhan tanaman untuk
aktivitas, dan mempertahankan turgornya.
d. Koefisien Higroskopis adalah kondisi di mana air tanah terikat sangat kuat
oleh gaya matrik tanah.
Faktor lainnya yang mempengaruhi kadar air tanah adalah tekstur tanah,
dengan adanya perbedaan jenis tekstur tanah dapat menggambarkan tingkat
kemampuan tanah untuk mengikat air, contohnya tanah yang bertekstur liat
lebih mampu mengikat air dalam jumlah banyak dibandingkan tanah yang
bertekstur pasir, sedangkan tanah bertekstur pasir lebih mampu mengikat air
daripada tanah bertekstur debu.
Faktor lain yang memengaruhi kadar air tanah adalah struktur tanah, pori
tanah, dan peremeabilitas tanah. Tanah yang mempunyai ruang pori lebih
banyak akan mampu menyimpan air dalam jumlah lebih banyak. Karena
ruang-ruang pori tanah akan terisi oleh air (Indranada dan Zapata, 2002).
1.5 PH
PH adalah tingakat keasaman atau kebasa-an suatu benda yang diukur
dengan menggunakan skala pH antara 0 hingga 14. Sifat asam mempunyai pH
antara 0 hingga 7 dan sifat basa mempunyai nilai pH 7 hingga 14. Sebagai
contoh, jus jeruk dan air aki mempunyai pH antara 0 hingga 7, sedangkan air
laut dan cairan pemutih mempunyai sifat basa (yang juga di sebut sebagai
alkaline) dengan nilai pH 7 – 14. Air murni adalah netral atau mempunyai
nilai pH 7 (Nopriandri, 2009).

PH tanah sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan pertumbuhan


tanaman, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung
berupa ion hidrogen sedangkan pengaruh tidak langsung yaitu tersedianya
unsur-unsur hara tertentu dan adanya unsur beracun. Kisaran PH tanah
mineral biasanya antara 3,5–10 atau lebih. Sebaliknya untuk tanah gembur,
PH tanah dapat kurang dari 3,0. Alkalis dapat menunjukkan PH lebih dari
3,6. Kebanyakan PH tanah toleran pada yang ekstrim rendah atau tinggi,
asalkan tanah mempunyai persediaan hara yang cukup bagi pertumbuhan
suatu tanaman (Sarwono, 2010).

Tanah sebagai media pertumbuhan tanaman berada dalam kondisi yang


optimum jika komposisinya terdiri dari : 25% udara, 25% air, 45% mineral
dan 5% bahan organik. Atas dasar perbandingan ini, nampak kebutuhan tanah
terhadap bahan organik adalah paling kecil.Namun demikian kehadiran bahan
organik dalam tanah mutlak dibutuhkan karena bahan organik merupakan
bahan penting dalam menciptakan kesuburan tanah, baik secara fisika, kimia
maupun dari segi biologi tanah (Lengkong dan Kawulusan, 2008).

1.6 Bahan Organik

Bahan organik adalah kumpulan beragam senyawa-senyawa organik


kompleks  yang  sedang atau telah mengalami proses dekomposisi, baik
berupa humus hasil humifikasi maupun senyawa-senyawa anorganik hasil
mineralisasi dan termasuk juga mikrobia heterotrofik dan ototrofik yang
terlibat dan berada didalamnya (Nabilussalam, 2011).
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Data Lahan A

Gambar 1. Data Lahan A

Pengertian:

SALB (Warna Tanah), SLDR (Drainease), SLRO (Runoff potential/Lereng), SLL


(Batasan yang lebih Rendah), SDUL (Batas atas drainase), SSAT (Kejenuhan);
SRGF (Faktor Pertumbuhan Akar), SSKS (Kejenuhan Hidrolik), SBDM (Bulk
density/Kepadatan Masal), SLOC(C-Organik), SLCL(Clay/Liat),
SLSI(Silt/Debu), SLCF (Stones/Pasir/Batu), SLNI (N total), SLHW (pH tanah),
SCEC (KTK).

Berdasarkan soil data di Lahan A di daerah Denpasar, Bali. Mempunyai


klasifikasi tanah yang terlihat adalah Oxisol dengan warna tanah coklat dengan
nilai SALB adalah 0,13 dengan nilai drainasenya pada nilai SLDR yaitu 0,05
sehingga tanah ini mempunyai drainase yang buruk. Tanah pada lahan A termasuk
dalam kelompok hidrologi yang tinggi (Tipe D) yang dimana Termasuk sebagian
besar tanah liat dengan tingkat pembengkakan tinggi, namun kelompok tersebut
juga mencakup beberapa tanah dangkal dengan sub horizons hampir kedap air di
dekat permukaan. Untuk berbagai kondisi hidrologi, lereng, dan praktik
konservasi lahan A mempunyai nilai 91 pada kurva runoff. Tanah yang
mempunyai tipe ini termasuk tanah yang sudah mengalami pelapukan lanjut atau
tua. Tanah ini mempunyai tekstur liat ditunjukan dengan nilai SLCL (Clay/Liat)
pada kedalaman 20 cm senilai 56 sedangkan pada kedalaman 40 cm senilai 58.
Tanah yang kandungan liatnya terlalu tinggi akan sulit diolah, apalagi bila tanah
tersebut basah maka akan menjadi lengket. Tanah jenis ini akan sulit melewatkan
air sehingga bila tanahnya datar akan cenderung tergenang dan pada tanah
berlereng erosinya akan tinggi. Tanah pada lahan A mempunyai tingkat kejenuhan
tanah yang ditunjukkan oleh SSAT yaitu pada kedalaman 20 cm senilai 0,507 dan
pada kedalaman 40 cm senilai 0.493. Tanah pada lahan A pada kedalaman 20 cm
memiliki nilai yang lebih tinggi daripada di kedalaman 40 cm dengan nilai 0.549
untuk faktor pertumbuhan akar. Tanah oxisol mempunyai tingkat kesuburan alami
yang kurang karena pada tanah ini mengandung sedikit bahan organik ditunjukan
pada kedalaman 20 cm senilai 1,75 dan pada kedalaman 40 cm senilai 1,43. Hal
ini juga membuktikan bahwa senyawa organik akan semakin sedikit sebanding
dengan kedalaman tanah. Kandungan N-total pada lahan A merupakan kategori
sedang dengan kedalaman 20 cm senilai 0,25 dan 40 cm senilai 0,24. pH tanah
kedua kedalaman yaitu bersifat masam dengan nilai pH tanah pada kedalaman 20
cmm adalah 5 dan kedalaman 40 cm adalah 5,5. Tanah pada lahan A memiliki
KTK sedang dengan nilai pada kedalaman 20 cm adalah 20,4 dan nilai pada
kedalaman 40 cm adalah 18,4. Tckstur liat tanah bertekstur halus pada kedalam 40
cm lebih besar dengan nilai 58 dibandingkan pada kedalaman 20 cm yaitu 56.
Tekstur debu tanah pada kedalaman 20 cm dan 40 cm memiliki tekstur debu
berpasir kasardan nilai tertinggi pada kedalaman 40 cm yaitu 27 dibandingkan
pada kedalaman 20 cm yaitu 25. Tekstur batu pada lahan A dengan kedalaman 20
cm memiliki nilai 1 dibandingkan dengan kedalaman 40 cm yaitu 2.

2.1 Data Lahan B

Gambar 2. Data Lahan B

Pengertian:
SALB (Warna Tanah), SLDR (Drainease), SLRO (Runoff potential/Lereng), SLL
(Batasan yang lebih Rendah), SDUL (Batas atas drainase), SSAT (Kejenuhan);
SRGF (Faktor Pertumbuhan Akar), SSKS (Kejenuhan Hidrolik), SBDM (Bulk
density/Kepadatan Masal), SLOC(C-Organik), SLCL(Clay/Liat),
SLSI(Silt/Debu), SLCF (Stones/Pasir/Batu), SLNI (N total), SLHW (pH tanah),
SCEC (KTK).

Berdasarkan soil data di Lahan B di daerah Denpasar, Bali. Mempunyai


klasifikasi tanah yang terlihat adalah Oxisol dengan warna tanah coklat dengan
nilai SALB adalah 0,13 dengan nilai drainasenya pada nilai SLDR yaitu 0,05
sehingga tanah ini mempunyai drainase yang buruk. Tanah pada lahan B termasuk
dalam kelompok hidrologi yang tinggi (Tipe D) yang dimana Termasuk sebagian
besar tanah liat dengan tingkat pembengkakan tinggi, namun kelompok tersebut
juga mencakup beberapa tanah dangkal dengan sub horizons hampir kedap air di
dekat permukaan. Untuk berbagai kondisi hidrologi, lereng, dan praktik
konservasi lahan B mempunyai nilai 91 pada kurva runoff. Tanah yang
mempunyai tipe ini termasuk tanah yang sudah mengalami pelapukan lanjut atau
tua. Tanah ini mempunyai tekstur liat ditunjukan dengan nilai SLCL (Clay/Liat)
pada kedalaman 20 cm senilai 53 sedangkan pada kedalaman 40 cm senilai 55.
Tanah yang kandungan liatnya terlalu tinggi akan sulit diolah, apalagi bila tanah
tersebut basah maka akan menjadi lengket. Tanah jenis ini akan sulit melewatkan
air sehingga bila tanahnya datar akan cenderung tergenang dan pada tanah
berlereng erosinya akan tinggi. Tanah pada lahan B mempunyai tingkat kejenuhan
tanah yang ditunjukkan oleh SSAT yaitu pada kedalaman 20 cm senilai 0,498 dan
pada kedalaman 40 cm senilai 0.495. Tanah pada lahan B pada kedalaman 20 cm
memiliki nilai yang lebih tinggi daripada di kedalaman 40 cm dengan nilai 0.549
untuk faktor pertumbuhan akar. Tanah oxisol mempunyai tingkat kesuburan alami
yang kurang karena pada tanah ini mengandung sedikit bahan organik ditunjukan
pada kedalaman 20 cm senilai 1,38 dan pada kedalaman 40 cm senilai 1,29. Hal
ini juga membuktikan bahwa senyawa organik akan semakin sedikit sebanding
dengan kedalaman tanah. Kandungan N-total pada lahan B merupakan kategori
rendah dengan kedalaman 20 cm senilai 0.18 dan 40 cm senilai 0,15. pH tanah
kedua kedalaman yaitu bersifat netral dengan nilai pH tanah pada kedalaman 20
cmm adalah 6,55/ 6,6 sedangkan di kedalaman 40 cm adalah 6,38 yang
menunjukkan agak masam. Tanah pada lahan B memiliki KTK sedang dengan
nilai pada kedalaman 20 cm adalah 24,53 dan nilai pada kedalaman 40 cm adalah
20,58. Tckstur liat tanah bertekstur halus pada kedalam 40 cm lebih besar dengan
nilai 55 dibandingkan pada kedalaman 20 cm yaitu 53. Tekstur debu tanah pada
kedalaman 20 cm dan 40 cm memiliki tekstur debu berpasir kasardan nilai
tertinggi pada kedalaman 40 cm yaitu 28 dibandingkan pada kedalaman 20 cm
yaitu 27. Tekstur batu pada lahan B dengan kedalaman 20 cm memiliki nilai yang
sama dengan kedalaman 40 cm yaitu 1.

2.3 Data Lahan C

Gambar 3. Data Lahan C

Pengertian:

SALB (Warna Tanah), SLDR (Drainease), SLRO (Runoff potential/Lereng), SLL


(Batasan yang lebih Rendah), SDUL (Batas atas drainase), SSAT (Kejenuhan);
SRGF (Faktor Pertumbuhan Akar), SSKS (Kejenuhan Hidrolik), SBDM (Bulk
density/Kepadatan Masal), SLOC(C-Organik), SLCL(Clay/Liat),
SLSI(Silt/Debu), SLCF (Stones/Pasir/Batu), SLNI (N total), SLHW (pH tanah),
SCEC (KTK).

Berdasarkan soil data di Lahan C di daerah Denpasar, Bali. Mempunyai


klasifikasi tanah yang terlihat adalah Oxisol dengan warna tanah coklat dengan
nilai SALB adalah 0,13 dengan nilai drainasenya pada nilai SLDR yaitu 0,05
sehingga tanah ini mempunyai drainase yang buruk. Tanah pada lahan C termasuk
dalam kelompok hidrologi yang tinggi (Tipe D) yang dimana Termasuk sebagian
besar tanah liat dengan tingkat pembengkakan tinggi, namun kelompok tersebut
juga mencakup beberapa tanah dangkal dengan sub horizons hampir kedap air di
dekat permukaan. Untuk berbagai kondisi hidrologi, lereng, dan praktik
konservasi lahan C mempunyai nilai 91 pada kurva runoff. Tanah yang
mempunyai tipe ini termasuk tanah yang sudah mengalami pelapukan lanjut atau
tua. Tanah ini mempunyai tekstur liat ditunjukan dengan nilai SLCL (Clay/Liat)
pada kedalaman 20 cm senilai 55 sedangkan pada kedalaman 40 cm senilai 57.
Tanah yang kandungan liatnya terlalu tinggi akan sulit diolah, apalagi bila tanah
tersebut basah maka akan menjadi lengket. Tanah jenis ini akan sulit melewatkan
air sehingga bila tanahnya datar akan cenderung tergenang dan pada tanah
berlereng erosinya akan tinggi. Tanah pada lahan C mempunyai tingkat kejenuhan
tanah yang ditunjukkan oleh SSAT yaitu pada kedalaman 20 cm senilai 0,479 dan
pada kedalaman 40 cm senilai 0.484. Tanah pada lahan C pada kedalaman 20 cm
memiliki nilai 1 yang lebih tinggi daripada di kedalaman 40 cm dengan nilai
0.549 untuk faktor pertumbuhan akar. Tanah oxisol mempunyai tingkat kesuburan
alami yang kurang karena pada tanah ini mengandung sedikit bahan organik
ditunjukan pada kedalaman 20 cm senilai 1,2 dan pada kedalaman 40 cm senilai
1,11. Hal ini juga membuktikan bahwa senyawa organik akan semakin sedikit
sebanding dengan kedalaman tanah. Kandungan N-total pada lahan C merupakan
kategori sedang dengan kedalaman 20 cm senilai 0,12 dan 40 cm senilai 0,11. pH
tanah kedua kedalaman yaitu bersifat masam dengan nilai pH tanah pada
kedalaman 20 cmm adalah 6,2 dan kedalaman 40 cm adalah 6. Tanah pada lahan
C memiliki KTK sedang dengan nilai pada kedalaman 20 cm adalah 19,65 dan
nilai pada kedalaman 40 cm adalah 23,8. Tckstur liat tanah bertekstur halus pada
kedalam 40 cm lebih besar dengan nilai 57 dibandingkan pada kedalaman 20 cm
yaitu 55. Tekstur debu tanah pada kedalaman 20 cm dan 40 cm memiliki tekstur
debu berpasir kasar dan nilai tertinggi pada kedalaman 40 cm yaitu 28
dibandingkan pada kedalaman 20 cm yaitu 24. Tekstur batu pada lahan C dengan
kedalaman 20 cm memiliki nilai 3 dibandingkan dengan kedalaman 40 cm yaitu
2.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan dari data diatas terhadap lahan A, B , dan C di
Denpasar menunjukkan bahwa tanah yang ada disana merupakan tanah Oxisol.
Tanah Oxisol merupakan tanah yang sudah mengalami pelapukan yang cukup
lama yang dimana mempunyai kandungan organik yang sangat rendah. Tanah di
Denpasar mempunyai pH antara agak masam dan netral 5-6,6. Tanah disini
mempunyai drainase yang buruk dimana air tidak akan mudah untuk meresap.
Tanah disini juga merupakan tipe tanah liat. Tanah yang kandungan liatnya terlalu
tinggi akan sulit diolah, apalagi bila tanah tersebut basah maka akan menjadi
lengket. Tanah jenis ini akan sulit melewatkan air sehingga bila tanahnya datar
akan cenderung tergenang dan pada tanah berlereng erosinya akan tinggi. Akan
tetapi, tanah oxisol dapat diolah dalam kegiatan pertanian dan perlu adanya
pengolahan seperti penambahan pH pada tanah. Data yang diperoleh seperti sifat
fisik tanah lainnya dapat bermanfaat untuk mengetahui media tumbuh yang ideal
pada sifat fisik tanah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Alfian Nopara Saifudin. 2016. Pengamatan Tanah Dengan Indra. Purwokerto.


Kementerian Riset Teknologi Dan Penddikan Tinggi Universitas Jendral
Soedirman. Fakultas Pertanian

Brendan, C., O. Kelly and V. Sivakumar. 2014. Water Content Determinations


for Peat and Other Organic Soils Using the Oven-Drying Method. Drying
Technology,  32(6): 631 – 643.
Hanafiah, K dan Sutherland, R.A. 2007. “Spatial variability of 137Cs and
influence of sampling on estimates of sediment redistribution”, Catena, 21,
Page:57 – 71.
Hardjowigeno, S. 2010. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo. Jakarta. 288 hal
Handayani, S. dan H. S. Bambang. 2008. Kajian struktur tanah lapisan olah.
Jurnal  Ilmu Tanah     dan Lingkungan. 33: 10 – 17.

Indranada dan Zapata, F. 2002, ”Handbook for the assessment of soil erosion and
sedimentology using environmental radionuclide". Vienna, Austria: Joint
FAO/IAEA Division, IAEA. Page: 97 - 106.

Lengkong, J.E., dan Kawulusan R.I. 2008. Pengelolaan Bahan Organik Untuk
Memelihara Kesuburan Tanah. Soil Environment, Vol. 6, No. 2, Hal : 91-97.

Nopriandri, Yuda. 2009. Laporan Tetap Praktikum Kimia Tanah.Palembang


Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Sriwijaya

Nabilussalam. 2011. C-Organik Dan Pengapuran. Malang. Pesantren Luhur


Malang.

Sarwono, 2010. Ilmu tanah. akademika Pressindo, Jakarta

Suhardi. 2007. Dasar-dasar Bercocok Tanam. Kanisius. Yogyakarta.


MATERI III
CROP MANAGEMENT DATA (XBUILD)
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pengertian
Daun adalah salah satu organ tanaman yang penting dalam kaitannya
dengan proses fotosintesa. Banyak sedikitnya asimilat yang dapat dihasilkan oleh
tanaman akan sangat dipengaruhi oleh jumlah daun, luas daun, dan susunan daun
suatu tanaman (Dicko dkk, 2006).

1.2 Jumlah dan Luas Daun

Jumlah dan luas daun menjadi penentu utama kecepatan pertumbuhan,


daun-daun dengan jumlah luas daun yang lebih besar mempunyai pertumbuhan
yang besar pula (Fitter, dkk, 1991) Kemampuan daun untuk menghasilkan produk
fotosintat ditentukan oleh produktifitas per satuan luas daun dan total luas daun.
Energi yang dihasilkan sangat tergantung pada rasio ekternal dan internal daun
(Fahn.l992).

Khusus pada tanaman padi, Besarnya sekapan ditentukan oleh luas dan
posisi daun, sudut datang cahaya serta sudut inklinasi daun. Semakin banyak
jumlah daun, akan semakin banyak cahaya yang diserap untuk proses fotosintesis
sehingga karbohidrat untuk pertumbuhan tanaman juga banyak. Fotosintat yang
dihasilkan akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman
(Gardner et al., 1991).

1.3 Drainase

Drainase adalah suatu usaha untuk menyalurkan dan mengeringkan


sejumlah kelebihan air dari suatu wilayah ke wilayah lain, sehingga didapat suatu
lingkungan yang kering di wilayah tersebut. Ditinjau dari letaknya, drainase
dibagi dua, yaitu drainase permukaan dan drainase bawah permukaan tanah.
Drainase secara umum dapat mempengaruhi kondisi tanah pertanian. Yaitu
pengaruhnya terhadap aerasi tanah, kelembaban tanah, transportasi dan
keefektifan nutrien dan pestisida, temperatur atau suhu tanah, bahan-bahan racun
dan hama penyakit, erosi tanah dan banjir, kesuburan tanaman dan hasil tanaman.
Drainase secara umum dapat mempengaruhi kondisi tanah pertanian. Yaitu
pengaruhnya terhadap aerasi tanah, kelembaban tanah, transportasi dan
keefektifan nutrien dan pestisida, temperatur atau suhu tanah, bahan-bahan racun
dan hama penyakit, erosi tanah dan banjir, kesuburan tanaman dan hasil tanaman
(Effendy, 2011).

1.4 Morfologi Tanaman Padi (Oryza sativa L.)


Tanaman padi termasuk keluarga padi-padian. Batangnya beruas-ruas
yang di dalamnya berongga (kosong), tingginya mencapai 1-1,5 meter tetapi
jenis padi yang tumbuh di rawa dapat lebih panjang lagi sampai 2-6 meter. Pada
tiap-tiap buku-buku batang tumbuh daun berbentuk pita dan pelepah, pelepah
tersebut hampir membalut sekeliling batang. Rangkaian ruas-ruas pada batang
padi mempunyai panjang yang berbeda-beda, pada ruas batang bawah pendek
semakin atas ruas batang yang makin panjang. Ruas batang berongga dan bulat
sehingga tanaman itu tahan pada genangan air. Di dalam tanah dari tiap buku
tumbuh ruas yang dapat mengadakan anakan. Anakan padi ini dapat pula
beranak lagi dan demikian berturut-turut. Tinggi tanaman padi Hibrida dari
berbagai jenis atau varietas tidak sama, tinggi maksimum + 1,50 meter
sedangkan tinggi rata-rata seharusnya 80-120 cm. Keluarnya anakan tergantung
dari faktor yaitu faktor keturunan dan faktor lingkungan sekitarnya (Harjadi,
1993).
Tanaman merupakan tanaman yang berumpun dan pertumbuhannya
dipengaruhi banyak faktor seperti contoh bila jarak tanamnya agak panjang maka
tanaman akan mengeluarkan anakan yang lebih banyak. Pada tiap rumpun yang
ditanamkan tiap batang akan mengeluarkan 6-10 anakan. Tanaman padi mulai
tumbuh anakannya pada umur 10 hari setelah tanam. Di samping itu umur padi
di persemaian sangat berpengaruh terhadap pembentukan jumlah anakannya.
Anakan yang terbentuk dari setiap varietas berbeda-beda yaitu antara 19 sampai
54 anakan (Fagi, 2001).
Tanaman yang termasuk jenis rumput-rumputan mempunyai daun yang
berbeda-beda baik bentuk maupun susunan atau bagian-bagiannya. Setiap
tanaman memiliki ciri daun yang khas seperti pada tanaman padi dengan ciri
khas adanya sisik dan telinga daun. Daun tanaman padi terdiri dari pelepah yang
membalut batang dan helai daun. Pada perbatasan antara kedua bagian ini di
tengah-tengahnya terdapat lidah daun dan telinga daun. Daun yang muncul pada
saat terjadi perkecambahan dinamakan coleoptile yang keluar dari benih dan
akan memanjang sampai permukaan air. Coleoptile ini baru akan membuka
diikuti daun pertama, daun kedua sampai keluar daun yang terakhir. Daun yang
keluar terakhir disebut daun bendera, permukaan daun tanaman padi berbulu,
bagian bawahnya tidak berbulu. Daun bendera merupakan daun yang terpendek
dari daun di bawahnya, namun lebih lebar daripada daun sebelumnya. Bunga
padi merupakan bunga majemuk yang galibnya disebut dengan bulir, pada tiap
bulir keluar 100 sampai 400 bunga. Tidak semua bunga dapat berubah menjadi
buah sedangkan gabah yang kosong terdapat di pangkal bulir.
Buah tanaman padi disebut dengan beras sebenarnya adalah putih
lembaganya (endosperm) dari sebutir buah yang erat berbalutkan oleh kulit ari.
Lembaga yang kecil itu menjadi bagian yang tidak ada artinya. Beras yang
dianggap baik kualitasnya adalah beras yang berbutir besar panjang dan
berwarna putih jernih dan mengkilat. Biji padi setelah masak dapat tumbuh terus
akan tetapi kebanyakan baru beberapa waktu sesudah dituai (4-6 minggu). Gabah
yang kering benar tidak akan kehilangan kekuatan tumbuhnya selama 2 tahun
apabila disimpan secara kering ( Hedy, 1994).
1.5 Varietas IR 64
Varietas padi sawah yang sering dibudidayakan salah satunya adalah
varietas IR 64. Varietas ini memiliki tinggi batang 85 cm, anakan produktif
banyak dengan bobot 1000 butir 27 g. Djunainah et al. (1993) menyatakan
bahwa varietas IR64 sangat digemari oleh para petani dan konsumen karena rasa
nasi enak, umur genjah (110–125 hari), dan potensi hasil yang tinggi yaitu
mencapai 5 ton/ha. Varietas IR64 merupakan salah satu varietas padi sawah
yang hemat dalam mengkonsumsi air. Konsumsi air bervariasi dengan kisaran
15.93–24.13 l/tanaman. Perbedaan ini disebabkan oleh adanya perbedaan
morfologi maupun karakter fisiologi antar genotipe. Menurut Supijatno et al.
(2012), varietas IR64 mengkonsumsi air sebesar 15.93 l/tanaman dan
konsumsi ini adalah yang terendah di antara varietas lain yang dicobakan,
sementara itu Jatiluhur merupakan varietas yang paling banyak mengkonsumsi
air tetapi hasil yang diperoleh juga banyak sehingga efisiensi penggunaan
airnya tinggi sebesar 0.997 g gabah kering giling per liter air.

1.6 Pemupukan
Pemupukan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mencukupi
kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, supaya tanaman dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga menghasilkan produksi dan mutu
hasil dari tanaman dapat maksimal, dengan cara memberikan subuah pupuk
melalui daun (disemprotkan pada daun) dan akar (dibenamkan ke dalam tanah),
baik pupuk organik maupun anorganik. Besar pupuk yang diberikan ditentukan
berdasarkan kadar unsur hara yang dibutuhkan oleh masing-masing tumbuhan,
karena jika pemberian pupuk terlalu banyak atau terlalu sedikit juga kurang dapat
memaksilkan pertumbuhan atau malah dapat mengakibatkan tanaman menjadi
mati (Yousaf, 2017).
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Luas Daun

Gambar 1. Grafik Luas Daun

Grafik diatas menunjukkan adanya peningkatan luas daun tanaman padi dari lahan
A, lahan B, dan lahan C. Pada lahan A, B, dan C memiliki luas daun yang sama
pada saat tanaman padi mengalami fase vegetatif dari hari pertama sampai dengan
hari ke-16 dengan indeks luas daun yaitu 0,1-0,24. Hal ini dikarenakan
fotosintesis terjadi secara merata [ada daerah ketiga laha tersebut. Akan tetapi,
terjadi perubahan pada hari ke-21 yang dimana indeks luas daun pada lahan C
mengalami penurunan laju pertumbuhan dibandingkan dengan luas daun A dan B.
Hal ini dikarenakan pada lahan C terjadi kekeringan yang menyebabkan laju
fotosintesis tanaman padi pada lahan tersebut menurun. Peningkatan luas daun
tanaman pada ketiga lahan tersebut terus meningkat hingga puncaknya yaitu pada
hari ke-60. Peningkatan luas daun pada ketiga lahan tersebut berbeda, peningkatan
jumlah daun yang terbaik terlihat pada lahan B, sedangkan untuk yang rendah
yaitu pada lahan C. Setelah hari ke-60 tanaman padi mengalami penurunan di
lahan A, lahan B, dan lahan C hingga hari ke 90. Hal ini mengindikasikan bahwa
masa optimal tanaman padi pada hari ke-60.

2.2 Berat Bulir

Gambar 2. Grafik Berat Bulir

Grafik diatas menunjukkan berat bulir pada tanaman padi padaketiga lahan yaitu
lahan A, lahan B, dan lahan C. Pada grafik tersebut menunjukkan tidak adanya
perubahan berat bulir pada pada hari ke-1 sampai dengan hari ke-67. Hal ini
terjadi dikarenakan tanaman padi pada hari ke satu belum menghasilkan bulir atau
bisa disebut masih dalam tahap vegetatif yang dimana hasil fotosintesis masih
digunakan untuk pembentukan tubuh tanaman seperti daun, batang, dan akar.
Terjadi sebuah perubahan yaitu pada hari ke-68 sampai dengan hari ke- 94 dimana
hal ini menunjukkan bahwa pada hari tersebut tanaman padi sudah pada fase
generatif yang dimana tanaman padi sudah mulai untuk menyimpan cadangan
makanannya berupa bulir. Ditemukan indeks berat bulir pada hari ke-68 di lahan
A 1561 [dm]/ha, lahan B 1615 [dm]/ha, lahan C 1528 [dm]/ha. Berat bulir pada
tanaman padi mengalami kenaikan yang berbeda-beda hal ini ditunjukkan bahwa
pada hari ke-94 lahan C mempunyai berat bulir 2385 [dm]/ha, lahan B 2610
[dm]/ha, lahan A 2531 [dm]/ha. Dengan demikian terlihat bahwa berat bulir pada
tanaman padi pada lahan C mempunyai nilai yang rendah jika dibandingkan
dengan lahan A dan B.

2.3 Drainase

Gambar 3. Grafik Drainase

Grafik diatas menunjukkan tingkat drainase pada tanaman padi pada ketiga lahan
yaitu lahan A, lahan B, dan lahan C. Pada hari ke-1 sampai denga hari ke-21
mempunyai peningkatan yang berubah-ubah karena pada masa ini tanaman padi
mengalami fase vegetatif yang dimana membutuhkan air yang cukup untuk
pembentukan jaringan sel tanaman. Hal ini terlihat pada indeks pada lahan A yaitu
7,9,19, dan 32 Untuk pada lahan B yaitu 6, 9, 18, 32, dan 33, sedangkan pada
lahan C yaitu 7, 10, 20, dan 34. Kenaikan jumlah drainase terjadi sampai pada
keadaan konstan. Akan tetapi mengalami perubahan pada hari ke -58 sampai
dengan hari ke-63 dan setalah itu mengalami hal konstan. Pada hari ke-95 terlihat
bahwa lahan A memiliki nilai drainase yang sedikit yaitu 65 sedangkan indeks
pada lahan B 69 dan lahan C 74. Hal ini dapat disebabkan karena curah hujan
pada ketiga lahan tersebut berbeda-beda. Pada lahan C memiliki pengolahaan
lahan terhadap saluran drainase masih belum baik sehingga tanaman padi
mempunyai nilai drainase yang tinggi. Berdasarkan pernyataan Effendy (2011)
Drainase secara umum dapat mempengaruhi kondisi tanah pertanian. Yaitu
pengaruhnya terhadap aerasi tanah, kelembaban tanah, transportasi dan
keefektifan nutrien dan pestisida, temperatur atau suhu tanah, bahan-bahan racun
dan hama penyakit, erosi tanah dan banjir, kesuburan tanaman dan hasil tanaman.

2.4 Jumlah Daun

Gambar 4. Grafik Jumlah Daun

Grafik diatas menunjukkan tingkat jumlah daun pada tanaman padi pada
ketiga lahan terdiri dari lahan A, lahan B, dan lahan C. Hal ini dapat menandakan
bahwa setiap pertumbuhan tanaman jumlah daun akan terus meningkat. Hal ini
dikarenakan setiap pertumbuhan tanaman membutuhkan hasil fotosintesis sesuai
dengan fase tanaman itu tumbuh. Hal ini terlihat pada indeks lahan A, lahan B,
dan lahan C. Adanya peningkatan jumlah daun pada tanaman akan berpengaruh
pada peningkatan jumlah intensitas matahari ke tanaman. Hal ini diperkuat oleh
pernyataan Fitter, dkk (1991) “Jumlah dan luas daun menjadi penentu utama
kecepatan pertumbuhan, daun-daun dengan jumlah luas daun yang lebih besar
mempunyai pertumbuhan yang besar pula”. Hal ini diperkuat oleh penyataan
daun Fahn (1992) “Suatu aspek yang sangat penting dalam proses pertumbuhan
tanaman adalam penyediaan substrat. Substrat yang digunakan untuk membentuk
bahan baru tanaman yang sebagian besar adalah karbohidrat, diperoleh dari proses
fotosintesis pada organ yaitu daun” Hal ini juga diperkuat oleh Gardner et al.,
(1991) dengan pernyataan “pada tanaman padi, Besarnya sekapan ditentukan oleh
luas dan posisi daun, sudut datang cahaya serta sudut inklinasi daun. Semakin
banyak jumlah daun, akan semakin banyak cahaya yang diserap untuk proses
fotosintesis sehingga karbohidrat untuk pertumbuhan tanaman juga banyak.
Fotosintat yang dihasilkan akan digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan
tanaman.”

2.5 Hasil Panen

Gambar 5. Grafik Hasil Panen

Rice YIELD : 2533 kg/ha [Dry weight]

Rice YIELD : 2612 kg/ha [Dry weight]

Rice YIELD : 2387 kg/ha [Dry weight]

Grafik diatas menunjukkan hasil panen pada tanaman padi pada ketiga lahan yaitu
lahan A, lahan B, dan lahan C. Dimana grafik ini menunjukkan nilai berat kering
yang dihasilkan oleh ketiga lahan. Lahan A menghasilkan 2533 kg/ha. Lahan B
menghasilkan 2612 kg/ha. Lahan C menghasilkan 2387 kg/ha. Salah satu
penyebab perbedaan hasil panen ialah besarnya luas lahan yang dimiliki oleh
petani. Perbedaan luas lahan yang dimiliki petani akan memiliki modal yang
berbeda-beda. Hal ini diperkuat oleh Mudakir, 2011 Perbedaan status penguasaan
lahan akan menentukan akses petani terhadap modal. Yang selanjutnya akan
mempengaruhi faktor-faktor produksi yang akan digunakan dan yang pada
akhirnya akan mempengaruhi produksi. Selain itu tinggi rendahnya hasil produksi
dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti drainase, berat bulir pada tanaman, luas
daun pada tanaman, dan faktor lainnya. Berdasarkan data yang telah diperoleh
sebelum-sebelumnya dapat diperoleh bahwa lahan B mempunyai hasil produksi
yang tinggi dibandingan dengan lahan A maupun di lahan C.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Kesimpulan berdasarkan praktikum “Crop Management Data” mengenai
tanaman padi IR 64 dapat disimpulkan bahwa tanaman padi yang tanam pada
daerah Denpasar dengan kondisi lahan yang berbeda – beda, dengan perlakuan
pengairan dan pemupukan yang sama. Menunjukkan hasil yang berbeda-beda,
seperti :

a. Indeks luas daun tertinggi pada Lahan B dengan nilai 2,82 sedangkan yang
terendah pada Lahan C dengan nilai 2,53.

b. Jumlah daun tiap batang pada ketiga lahan tidak mempunyai perbedaan dan
semua memiliki jumlah sama dikarenakan waktu penanaman dilakukan secara
bersamaan

c. Lahan B mempunyai berat bulir yang terbaik dibandingkan lahan A maupun


lahan C dengan nilai indeks 2610 [dm]/ha. Berbeda dengan lahan C memiliki
berat bulir terendah dengan nilai indeks 2385 [dm]/ha dan lahan A 2531
[dm]/ha

d. Drainase tertinggi terdapat di Lahan C dengan nilai 73 dan terendah di Lahan


A dengan nilai 64.

e. Lahan B memiliki hasil produksi tertinggi dengan hasil produksi sebesar 2610
kg/ha. Sedangkan hasil terendah pada Lahan C dengan hasil produksi sebesar
2385 kg/ha. Hal tersebut menandakan bahwa lahan B lebih baik dari pada
lahan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Dicko, M.H., H. Gruppen, A.S. Traoré, W.J.H van Berkel, and A.G.J Voragen.
2006. Sorghum grain as human food in Africa: Relevance of content of
starch and amylase activities. African Journal of Biotechnology. 5(5): 384-
395.

Djunainah, Suwanto TW, Husni K. 1993. Deskripsi Varietas Unggul Padi.


Jakarta (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Effendy. 2011. Drainase Untuk Meningkatkan Lahan Rawa. Palembang.


Politeknik Negeri Sriwijaya

Fitter, A.H. dan R.K.H. Hay, 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gadjah
Mada University Press. Yoyakarta

Fahn. A. l992. Anatomi Tumbuhan. Jakarta. PT Gramedia Jakarta

Fagi. 2001. Peran Padi Indonesia Sebagai Sumber Daya Genetik Padi Modern.
Badan Litbang Unisri. Surakata.

Gardner, F., Pearce, B., dan Mitchell, R., 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Penerjemah Susilo, H. University Indonesia Press. Jakarta

Harjadi, S. 1993. Budidaya Tanaman Pangan Padi Hibrida. Gramedia Pustaka


Utama. Jakarta.

Hedy, S.1994. Pengantar Produksi Tanaman dan Penanganan Pasca Panen.


Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Mudakir, B., (2011). Produktivitas Lahan dan Distribusi Pendapatan


Berdasarkan Status Penguasaan Lahan Pada Usahatani Padi. Jurnal
Dinamika Ekonomi Pembangunan, Volume 1, Nomor 1
Supijatno, Chozin MA, Soepandi D, Lubis I, Junaedi A,
Trikoesoemaningtyas. 2012. Evaluasi konsumsi air genotipe padi untuk
potensi efisiensi penggunaan air. J Agron Indonesia. 40(1):15–20.

Yousaf, M., Jifu, L., Jianwei, L., Teo, R., Rihuan, C., Shah, F., dan Xiaoku, L.
2017. Effects of Fertilization on Crop Production and Nutrient-Supplying
Capacity Under Rice-Oilseed Rape Rotation System. Scientific reports.
7(1270): 1-9.
MATERI IV
SIMULATION ABSORBTION OF
NUTRIENT AND ORGANIK FERTILIZER
OF TOMATO PLANT
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pupuk Organik


Pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari tumbuhan mati,
kotoran hewan dan/atau bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya
yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat
diperkaya dengan bahan mineral, dan/atau mikroba yang bermanfaat untuk
meningkatkan kandungan hara dan bahan organik tanah serta mem-
perbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Kompos merupakan salah
satu pupuk organik yang digunakan pada pertanian untuk mengurangi
penggunaan pupuk anorganik. Penggunaan kompos dapat memperbaiki
sifat fisik tanah dan mikrobiologi tanah (Syam, 2003). Kompos memiliki
kandungan unsur hara seperti nitrogen dan fosfat dalam bentuk senyawa
kompleks argon, protein, dan humat yang sulit diserap tanaman (Setyotini
et al., 2006). Pupuk kandang dapat digolongkan ke dalam pupuk organik
yang memiliki kelebihan. Beberapa kelebihan pupuk kandang sehingga
sangat disukai para petani seperti, memperbaiki struktur dan tekstur tanah,
menaikkan daya serap tanah terhadap air, menaikkan kondisi kehidupan di
dalam tanah dan sebagai sumber zat makanan bagi tanaman (Wiryanta,
2003).
1.2 Nitrogen
Nitrogen merupakan sumber energi bagi mikroorganisme dalam
tanah yang berperan penting dalam proses pelapukan bahan organik.
Nitrogen ini diperlukan dalam proses fotosintesis (Hajama, 2014).
Semakin banyak kandungan nitrogen, maka akan semakin cepat bahan
organik terurai, karena mikroorganisme yang menguraikan bahan kompos
memerlukan nitrogen untuk perkembangannya (Sriharti dan Salim, 2010)
1.3 Karbon
Bahan organik tanah adalah semua jenis senyawa organik yang
terdapat di dalam tanah, termasuk fraksi bahan organik ringan, biomassa
mikroorganisme, bahan organik didalam air, dan bahan organik yang stabil
atau humus. Karbon (C) adalah komponen utama dari bahan organik.
Bahan organik tanah menyumbangkan simpanan karbon terbesar dalam
ekosistem daratan dan memainkan peran penting dalam siklus karbon
global (Steven, 2006).
1.4 Luas Daun

Lakitan (1996) menambahkan jika kandungan hara dalam


tanah cukup tersedia (subur) maka ILD (Indeks Luas Daun) suatu
tanaman akan semakin tinggi, dimana sebagian besar asimilat
dialokasikan untuk pembentukan daun yang mengakibatkan luas daun
bertambah.
1.5 Berat Vegetatif

Peningkatan dosis perlakuan diiringi dengan penambahan unsur hara


seperti unsur N,P dan K yang sangat dibutuhkan oleh tanaman sehingga
mendukung pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tanaman yang
mempengaruhi berat kering bibit. Prawiranata, dkk. (1995) menyatakan
berat kering tanaman mencerminkan status nutrisi suatu tanaman dan berat
kering tanaman merupakan indikator yang menentukan baik tidaknya
suatu tanaman dan sangat erat kaitannya dengan ketersediaan hara.
Tanaman akan tumbuh subur jika unsur hara yang dibutuhkan tanaman
tersedia dalam jumlah yang cukup dan dapat diserap oleh tanaman. Oleh
karena itu pertumbuhan vegetatif yang baik seperti tinggi tanaman, jumlah
daun, diameter bonggol dan volume akar akan mempengaruhi berat kering
bibit. Menurut Jumin (2002) meningkatnya pertumbuhan vegetatif
tanaman tidak terlepas dari ketersediaan unsur hara di dalam tanah.
Ketersediaan unsur hara akan menentukan produksi berat kering tanaman
yang merupakan hasil dari tiga proses yaitu proses penumpukan asimilat
melalui proses fotosintesis, respirasi dan akumulasi senyawa organik.
Menurut Prawiranata, dkk. (1995) berat kering tanaman mencerminkan
status nutrisi suatu tanaman dan juga merupakan indikator yang
menentukan baik tidaknya suatu pertumbuhan dan perkembangan tanaman
sehingga erat kaitannya dengan ketersediaan hara
1.6 Berat Akar

Hasil berat kering tajuk dan akar menunjukkan penyerapan air dan
unsur hara oleh akar yang ditranslokasikan ke tajuk tanaman (Raby
Kurniawan, dkk, 2017).

Gardner dkk. (1991) menyatakan nilai ratio tajuk akar (RTA)


menunjukkan seberapa besar hasil fotosintat yang terakumulasi pada
bagian–bagian tubuh tanaman. Rasio tajuk akar merupakan faktor penting
dalam pertumbuhan tanaman dimana mencerminkan proses penyerapan
unsur hara.

Nyakpa, dkk. (1998) menyatakan perkembangan akar selain


dipengaruhi oleh sifat genetik juga dipengaruhi oleh ketersediaan air dan
nutrisi. Perbandingan antara tajuk akar dan akar mempunyai pengertian
bahwa pertumbuhan suatu bagian tanaman diikuti dengan pertumbuhan
bagian tanaman lainnya.

1.7 Tanaman Tomat

Tomat (Solanum lycopersicum) merupakan salah satu komoditas


hortikultura yang memiliki nilai ekonomi penting di Indonesia. Tomat
adalah salah satu jenis sayuran buah yang mempunyai prospek yang baik
dalam pengembangan agribisnis, karena nilai ekonominya tinggi, gizi yang
dikandung seperti protein, karbohidrat, lemak, mineral dan vitamin
(Bernadus & Wahyu, 2002).

Klasifikasi Tanaman Tomat :

Kingdom : Plantae
Sub kingdom : Tracheobionta
Sub divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Sub Kelas : Asteridae
Ordo : Solanales
Famili : Solanaceae
Genus : Solanum
Spesies : Solanum lycopersicum L
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Luas Daun Tanaman Tomat

Gambar 2.1 Grafik Luas daun tanaman Tomat

Grafik diatas menunjukkan adanya sebuah peningkatan luas daun tanaman


dari berbagai perlakuan pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan 2 dosis yaitu
pemupukan 15 dan pemupukan 30. Pemupukan pertama yaitu pemupukan 15
dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 1 Bo 1. Kedua pemupukan 15
dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 1 Bo 2. Pemupukan kedua
pemupukan 30 dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 2 Bo 1. Kedua
pemupukan 30 dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 2 Bo 2. Data
yang ditemukan tanaman diberi perlakuan pada hari pertama sampai hari 18
memiliki nilai indeks yaitu 0,009-0,03. Pada hari setelahnya luas daun tanaman
tomat menunjukkan perkembangan yang berbeda beda. Pada hari ke 61
mengalami penurunan. Setelah hari ke 61- 78, luas daun tetap naik secara
bertahap dengan mengalami kenaikan dan penurunan secara berulang. Perbedaan
indeks luas daun pada perlakuan A dan C dengan B dan D dengan indeks
pertumbuhan luas daun pada perlakuan B dan D atau dengan bahan Organik
pupuk kandang mengalami perlambatan dibandingkan dengan pemberian pupuk
kompos atau A dan C. hal ini dikarenakan pupuk kompos menunjukkan ph sampai
mendekati batas maksimal yaitu 7,49. Hal ini menyebabkan kelembaban pada
tanaman bertambah sehingga laju transpirasi pada tanaman meningkat dan luas
daun pada tanaman menambah. Luas daun yang tertinggi terjadi pada hari ke-75
dengan nilai 2.014 pada data A dan C (Bahan organic pupuk kompos) serta B dan
D (Bahan organic pupuk kandang) dengan nilai 1.943.

2.2 Berat vegetatif

Gambar 2.2 Grafik Berat Vegetative Tanaman Tomat


Grafik diatas menunjukkan adanya sebuah peningkatan berat vegetatif
tanaman dari berbagai perlakuan pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan 2
dosis yaitu pemupukan 15 dan pemupukan 30. Pemupukan pertama yaitu
pemupukan 15 dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 1 Bo 1. Kedua
pemupukan 15 dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 1 Bo 2.
Pemupukan kedua pemupukan 30 dengan bahan organik kompos dengan label
pupuk 2 Bo 1. Kedua pemupukan 30 dengan bahan organik kandang dengan label
pupuk 2 Bo 2. Data yang kami temukan pada data yang ditemukan pada seluruh
perlakuan pada hari pertama sampai hari ke-18 memiliki indeks yang sama yaitu
7-28. Data yang kami temukan juga pada hari pertama hingga hari ke 44 , berat
vegetatif mnegalami kenaikan hingga pada hari ke 45 tanaman A dan C
mengalami penurunan sedangkan B dan D mengalami penurunan pada hari ke 46.
Penurunan berat terjadi sampai hari ke 61. Setelah hari ke 61- 78, berat vegetative
tetap naik secara bertahap dengan mengalami kenaikan dan penurunan secara
berulang. Perbedaan indeks berat vegetatif dengan perlakuan B dan D atau dengan
bahan Organik pupuk kandang mengalami perlambatan dibandingkan dengan
pemberian pupuk kompos atau A dan C. hal ini dikarenakan pada tanaman yang
diberikan perlakuan dengan pupuk kandang mengalami kekurangan nutrisi yang
dimana berat vegetatif tanaman dipengaruhi oleh faktor terpenuhinya unsur hara
seperti N,P, dan K. Berat vegetatif yang tertinggi terjadi pada hari ke-76 dengan
nilai 1.745 pada data A dan C (Bahan organic pupuk kompos) serta B dan D
(Bahan organic pupuk kandang) dengan nilai 1.735.

2.3 Berat Akar Tanaman Tomat

Gambar 2.3 Grafik Berat akar tanaman tomat


Grafik diatas menunjukkan adanya sebuah peningkatan berat akar tanaman
dari berbagai perlakuan pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan 2 dosis yaitu
pemupukan 15 dan pemupukan 30. Pemupukan pertama yaitu pemupukan 15
dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 1 Bo 1. Kedua pemupukan 15
dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 1 Bo 2. Pemupukan kedua
pemupukan 30 dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 2 Bo 1. Kedua
pemupukan 30 dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 2 Bo 2. Data
yang ditemukan dari seluruh perlakuan pada hari pertama sampai hari ke-14
memiliki indeks yang sama yaitu 3-18. Data yang ditemukan pada hari pertama
hingga hari ke 49, berat akar mnegalami kenaikan hingga pada hari ke 45 tanaman
A dan C mengalami penurunan sedangkan B dan D mengalami penurunan pada
hari ke 46. Penurunan berat terjad isampai hari ke 61. Setelelah hari ke 61- 78,
berat akar tetap naik secara bertahap dengan mengalami kenaikan dan penurunan
secara berulang. Perbedaan berat akar pada perlakuan A dan C dengan B dan D
dengan indeks berat akar pada perlakuan B dan D atau dengan bahan Organik
pupuk kandang mengalami perlambatan dibandingkan dengan pemberian pupuk
kompos atau A dan C. hal ini dikarenakan pada tanaman dengan pemberian pupuk
kompos mendapatkan nutrisi yang cukup sehingga pertumbuhan akar maksimal
yang dimana akan mempengaruhi peningkatan volume akar. Berat akar yang
tertinggi terjadi pada hari ke-77 dengan nilai 627 pada data A dan C (Bahan
organic pupuk kompos) serta B dan D (Bahan organic pupuk kandang) dengan
nilai 597 pad hari ke-78.

2.4 Kandungan Karbon Pada Daun Tanaman Tomat

Gambar 2.4 Kandungan Karbon pada daun tanaman tomat


. Grafik diatas menunjukkan kandungan karbon pada daun tanaman tomat dari
berbagai perlakuan pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan 2 dosis yaitu
pemupukan 15 dan pemupukan 30. Pemupukan pertama yaitu pemupukan 15
dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 1 Bo 1. Kedua pemupukan 15
dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 1 Bo 2. Pemupukan kedua
pemupukan 30 dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 2 Bo 1. Kedua
pemupukan 30 dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 2 Bo 2. Data
yang ditemukan dari seluruh perlakuan pada hari pertama sampai hari ke-18
memiliki indeks yang sama yaitu 3.924-3.333. Pada hari pertama hingga hari ke
44, perlakuan dengan pupuk kompos (A dan C) mengalami kenaikan hingga pada
hari ke 45 mengalami penurunan secara kontinu. Sedangkan pada perlakuan
dengan pupuk kandang , tanah B dan D mengalami kenaikan hingga hari ke 46.
Penurunan kandungan karbon terjadi penurunan hingga hari ke-62. Setelah itu,
kandungan karbon didalam daun terjadi peningkatan hingga secara bertahap.
Perbedaan kandungan karbon pada daun di perlakuan A dan C dengan B dan D
dengan indeks berat akar pada perlakuan B dan D atau dengan bahan Organik
pupuk kandang mengalami perlambatan dibandingkan dengan pemberian pupuk
kompos atau A dan C. hal ini dikarenakan kompos merupakan bahan-bahan
organik (sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya
interaksi antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya
dan selama proses pengomposan, senyawa organik akan berkurang dan terjadi
pelepasan karbondioksida karena aktivitas mikroorganisme sehingga
mempengaruhi kadar C-organik kompos yang dihasilkan sehingga kadar carbon
dalam batang meningkat. Kandungan karbon maksimal terjadi pada hari ke 76
dengan nilai 10.169 pada perlakuan dengan pupuk kompos dan 10.142 pada
perlakuan dengan pupuk kandang.

2.5 Kandungan Karbon pada batang tanaman tomat

Gambar 2.5 Kandungan Karbon pada batang tanaman tomat


. Grafik diatas menunjukkan kandungan karbon pada batang tanaman tomat
dari berbagai perlakuan pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan 2 dosis yaitu
pemupukan 15 dan pemupukan 30. Pemupukan pertama yaitu pemupukan 15
dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 1 Bo 1. Kedua pemupukan 15
dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 1 Bo 2. Pemupukan kedua
pemupukan 30 dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 2 Bo 1. Kedua
pemupukan 30 dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 2 Bo 2. Data
yang ditemukan pada seluruh perlakuan pada hari pertama sampai hari ke-18
memiliki indeks yang sama yaitu 7.841-6.496. pada hari pertama hingga hari ke
44, perlakuan dengan pupuk kompos (A dan C) mengalami kenaikan hingga pada
hari ke 45 mengalami penurunan secara kontinu. Sedangkan pada perlakuan
dengan pupuk kandang , tanah B dan D mengalami kenaikan hingga hari ke 46.
Penurunan kandungan karbon terjadi penurunan hingga hari ke-62. Setelah itu,
kandungan karbon didalam daun terjadi peningkatan hingga secara bertahap.
Perbedaan pada perlakuan A dan C dengan B dan D dengan indeks kandungan
karbon pada batang di perlakuan B dan D atau dengan bahan Organik pupuk
kandang mengalami perlambatan dibandingkan dengan pemberian pupuk kompos
atau A dan C. hal ini dikarenakan kompos merupakan bahan-bahan organik
(sampah organik) yang telah mengalami proses pelapukan karena adanya interaksi
antara mikroorganisme (bakteri pembusuk) yang bekerja di dalamnya dan selama
proses pengomposan, senyawa organik akan berkurang dan terjadi pelepasan
karbondioksida karena aktivitas mikroorganisme sehingga mempengaruhi kadar
C-organik kompos yang dihasilkan sehingga kadar carbon dalam batang
meningkat. Kandungan karbon maksimal terjadi pada hari ke 76 dengan nilai
22.73 pada perlakuan dengan pupuk kompos dan 22.341 pada perlakuan dengan
pupuk kandang.

2.6 Konsentrasi Nitrogen di daun

Gambar 2.6 Konsentrasi Nitrogen di daun tanaman tomat


Grafik diatas menunjukkan kandungan nitrogen pada daun tanaman tomat
dari berbagai perlakuan pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan 2 dosis yaitu
pemupukan 15 dan pemupukan 30. Pemupukan pertama yaitu pemupukan 15
dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 1 Bo 1. Kedua pemupukan 15
dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 1 Bo 2. Pemupukan kedua
pemupukan 30 dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 2 Bo 1. Kedua
pemupukan 30 dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 2 Bo 2. Data
yang ditemukan pada seluruh perlakuan mengalami perubahan konsentrasi nilai
yang relative sama sampai pada hari ke 41. Pada hari ke 41, sampel B dan D
(bahan organic pupuk kandang) mengalami penurunan sedangkan sampe A dan C
(Bahan kompos) mengalami peningkatan. Setelah mengalami penurunan, sampel
konsentrasi B dan D mengalami peningkatan tajam hingga melebihi kadar
konsentrasi pada A dan C. Pada hari ke 61, seluruh sampel mengalami penurunan
hingga hari ke 76. Konsentrasi maksimum yang terjadi pada data diatas adalah
nilai 4.61 oleh sampe A dan C (Sampel pupuk kompos) di hari ke 61 sedangkan
sampel B dan D (Sampel pupuk kandang) di hari ke 59. Nitrogen merupakan
sumber energi bagi mikroorganisme dalam tanah yang berperan penting dalam
proses pelapukan bahan organik. Nitrogen ini diperlukan dalam proses fotosintesis
(Hajama, 2014). Semakin banyak kandungan nitrogen, maka akan semakin cepat
bahan organik terurai, karena mikroorganisme yang menguraikan bahan kompos
memerlukan nitrogen untuk perkembangannya (Sriharti dan Salim, 2010) maka
dari itu kandungan tanaman yang dipengaruhi pupuk kompos jauh lebih tinggi.

2.7 Konsentrasi Nitrogen di batang

Gambar 2.7 Konsentrasi Nitrogen di batang


Grafik diatas menunjukkan kandungan nitogen pada batang tanaman tomat
dari berbagai perlakuan pemupukan. Pemupukan dilakukan dengan 2 dosis yaitu
pemupukan 15 dan pemupukan 30. Pemupukan pertama yaitu pemupukan 15
dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 1 Bo 1. Kedua pemupukan 15
dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 1 Bo 2. Pemupukan kedua
pemupukan 30 dengan bahan organik kompos dengan label pupuk 2 Bo 1. Kedua
pemupukan 30 dengan bahan organik kandang dengan label pupuk 2 Bo 2. Data
yang ditemukan pada seluruh perlakuan mengalami perubahan konsentrasi nilai
yang relative sama sampai pada hari ke 40. Pada hari ke 40, sampel B dan D
(bahan organic pupuk kandang) mengalami penurunan sedangkan sampe A dan C
(Bahan kompos) tetap dan mengalami kenaikan. Pada hari ke 61, seluruh sampel
mengalami penurunan hingga hari ke 76. Konsentrasi maksimum yang terjadi
pada data diatas adalah nilai 3.01 oleh sampe A dan C (Sampel pupuk kompos) di
hari ke 61 sedangkan sampel B dan D (Sampel pupuk kandang) di hari ke 59
dengan nilai 2.99. Nitrogen merupakan sumber energi bagi mikroorganisme
dalam tanah yang berperan penting dalam proses pelapukan bahan organik.
Nitrogen ini diperlukan dalam proses fotosintesis (Hajama, 2014). Semakin
banyak kandungan nitrogen, maka akan semakin cepat bahan organik terurai,
karena mikroorganisme yang menguraikan bahan kompos memerlukan nitrogen
untuk perkembangannya (Sriharti dan Salim, 2010) maka dari itu kandungan
tanaman yang dipengaruhi pupuk kompos jauh lebih tinggi.

2.8 Hasil Produksi

Gambar. 2.8 Hasil Produksi tanaman Tomat


Gambar diatas merupakan hasil produksi dari keempat perlakuan.
Tanaman tomat yang diberi pupuk dengan bahan pupuk dan bahan organic
kompos memiliki hasil apanen 950 kg / Ha sedangkan tanaman tomat yang
diberikan pupu kandang dengan tambahan pupuk kandang menghasilkan 1352 Kg
Ha. Hal ini sebabkan ketersediaanya unsur hara pada tanah dalam pemberian
pupuk kandang terus ada karena pupuk kandang memerlukan proses yang cukup
lama untuk diserap oleh tanaman sehingga tanaman dapat mengambil saat
tanaman itu perlukan walaupun pada awalnya tanaman yang diberi perlakuan
dengan pupuk kompos lebih baik.

Pupuk 1 Bo1 Tomato YIELD : 950 kg/ha [Dry weight]


Pupuk 1 Bo2 Tomato YIELD : 1352 kg/ha [Dry weight]
Pupuk 2 Bo1 Tomato YIELD : 950 kg/ha [Dry weight]
Pupuk 2 Bo2 Tomato YIELD : 1352 kg/ha [Dry weight]
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hasil praktikum yang kami dapatkan dapat diambil kesimpulan bahwa


tanaman yang diberi perlakuan dengan pupuk kandang lebih tinggi hasil
produksinya daripada tanaman yang diberi perlakuan dengan pupuk kompos. Hal
ini dikarenakan pupuk kompos lebih cepat untuk diserap tanaman sehingga pada
awal penananam terlihat bahwa tanaman yang diberi perlakuan lebih besar dan
dan kandungan hara pada tanaman pun lebih tinggi dan begitu juga sebaliknya.
Pupuk kandang lebih menghasilkan produktivitas yang tinggi karena unsur yang
dipakai harus menunggu untuk adanya dekomposer atau pengolahan sehingga
tanaman bisa mengambil unsur hara jika tanaman membutuhkan unsur hara.
DAFTAR PUSTAKA

Bernadus, T. & W. Wahyu. 2002. Bertanam Tomat. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Gardner, F. P. R. B Pear dan F. L. Mitaheel. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.


Terjemahan Universitas Indonesia Press. Jakarta. 428 hal

Hajama,2014.Studi Pemanfaatan Eceng Gondok sebagai Bahan Pembuatan


Pupuk Kompos dengan Menggunakan Aktivator EM4 dan MOL serta
Prospek Pengembangannya.Makassar : Program Studi Teknik Lingkungan
Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

Jumin, H,B. 2002. Ekologi Tanaman Suatu Pendekatan Fisiologi. Rajawali.


Jakarta.

Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT Raja


Grafindo Persada. Jakarta

Nyakpa, M. Y., A. M. Lubis., M. A. Pulung., Amrah, A. G., A. Munawar., G. B


Hong, N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Bandar
Lampung.

Prawiranata, W, S. Harran dan P. Tjandronegoro. 1995. Dasar – Dasar Fisiologi


Tumbuhan II. Fakultas Pertanian IPB. Bogor.

Raby Kurniawan Andri, dkk. 2017. EFFECT OF GRANTING OF SOME


COMPOSTED FERTILIZER DOSE (GREENBOTANE) ON GROWTH OF
PALM OIL PALM (ELAEIS QUIENEENSIS JACQ) IN MAIN
PUBLICATION. Pekanbaru Program Studi Agroteknologi, Jurusan
Agroteknologi

Sriharti dan Salim, T. 2010. Pemanfaatan sampah taman (rumput-rumput) untuk


pembuatan kompos. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia
“Kejuangan” Yogyakarta, 26 Januari 2010.Hal.1-8.

Setyotini, D. R., & Saraswati, dan Anwar, E. K. (2006). Kompos. Jurnal Pupuk
Organik dan Pupuk Hayati. 2(3), 11-40.
Syam, A. (2003). Efektivitas Pupuk Organik dan Anorganik terhadap
Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Jurnal Agrivigor 3 (2), 232–244.

Steven, K. Alexander, Dennis Strere. Mary Jane Niles et al. 2004. Laboratory
Exercises in Organismal and Molecular Microbiology. Mc Graw Hill. USA.

Wiryanta. W. 2003. Bertanam Cabai Hibrida Secara Intensif.Agromedia Pustaka.


Jakarta.
MATERI V

INTRODUCTORY CROP SIMULATION


TOOL (ICSIM)
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pupuk Organik


Pupuk organik merupakan pupuk yang berasal dari tumbuhan mati,
kotoran hewan dan/atau bagian hewan dan/atau limbah organik lainnya
yang telah melalui proses rekayasa, berbentuk padat atau cair, dapat
diperkaya dengan bahan mineral, dan/atau mikroba yang bermanfaat untuk
meningkatkan kandungan hara dan bahan organik tanah serta mem-
perbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Kompos merupakan salah
satu pupuk organik yang digunakan pada pertanian untuk mengurangi
penggunaan pupuk anorganik. Penggunaan kompos dapat memperbaiki
sifat fisik tanah dan mikrobiologi tanah (Syam, 2003). Kompos memiliki
kandungan unsur hara seperti nitrogen dan fosfat dalam bentuk senyawa
kompleks argon, protein, dan humat yang sulit diserap tanaman (Setyotini
et al., 2006). Pupuk kandang dapat digolongkan ke dalam pupuk organik
yang memiliki kelebihan. Beberapa kelebihan pupuk kandang sehingga
sangat disukai para petani seperti, memperbaiki struktur dan tekstur tanah,
menaikkan daya serap tanah terhadap air, menaikkan kondisi kehidupan di
dalam tanah dan sebagai sumber zat makanan bagi tanaman (Wiryanta,
2003).
1.2 Nitrogen
Nitrogen merupakan sumber energi bagi mikroorganisme dalam
tanah yang berperan penting dalam proses pelapukan bahan organik.
Nitrogen ini diperlukan dalam proses fotosintesis (Hajama, 2014).
Semakin banyak kandungan nitrogen, maka akan semakin cepat bahan
organik terurai, karena mikroorganisme yang menguraikan bahan kompos
memerlukan nitrogen untuk perkembangannya (Sriharti dan Salim, 2010)
Nitrogen (N) merupakan unsur hara makro yang dibutuhkan dalam
jumlah paling banyak oleh tanaman, yang dapat memacu pertumbuhan dan
perkembangan daun, cabang, dan produksi buah. Nitrogen merupakan
komponen dasar dalam sintesis protein, enzim, asam amino, asam nukleat,
dan bagian integral dari klorofil, yang juga berperan dalam mengontrol
semua reaksi metabolisme di dalam tanaman (Stefanelli et al. 2010,
Subhan et al. 2009, Mathuis 2009).
1.3 Luas Daun

Lakitan (1996) menambahkan jika kandungan hara dalam tanah


cukup tersedia (subur) maka ILD (Indeks Luas Daun) suatu tanaman akan
semakin tinggi, dimana sebagian besar asimilat dialokasikan untuk
pembentukan daun yang mengakibatkan luas daun bertambah.

1.4 Berat Akar


Nyakpa, dkk. (1998) menyatakan perkembangan akar selain
dipengaruhi oleh sifat genetik juga dipengaruhi oleh ketersediaan air dan
nutrisi. Perbandingan antara tajuk akar dan akar mempunyai pengertian
bahwa pertumbuhan suatu bagian tanaman diikuti dengan pertumbuhan
bagian tanaman lainnya.

1.5 Irigasi

Irigasi adalah semua atau segala kegiatan yang mempunyai


hubungan dengan usaha untuk mendapatkan air guna keperluan pertanian.
Usaha yang dilakukan tersebut dapat meliputi perencanaan, pembuatan,
pengelolaan, serta pemeliharaan sarana untuk mengambil air dari sumber
air dan membagi air tersebut secara teratur dan apabila terjadi kelebihan
air dengan membuangnya melalui saluran drainasi (Sigit, 2014).
Irigasi: berasal dari istilah Irrigatie (Bahasa Belanda) atau
Irrigation (Bahasa Inggris) yang diartikan sebagai suatu usaha yang
dilakukan untuk mendatangkan air dari sumbernya guna keperluan
pertanian mengalirkan dan membagikan air secara teratur, setelah
digunakan dapat pula dibuang kembali melalui saluran pembuang
(Mohamad bagus, dkk, 2018).
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Luas Permukaan Daun

Gambar 2.1 Grafik Luas Daun

Grafik diatas menunjukkan peningkatan luas daun dalam percobaan


tanaman padi sebanyak 82 dan jarak tanaman sebayak 25 cm dengan diberikan
pemupukan dan irigas yang terbatas. Hasil grafik diatas menunjukkan pada
percobaan tanaman padi menghasilkan nilai yang lebih rendah daripada Yeild
Potential. Hal ini disebabkan pada tanaman yang diberi perlakuan yeild potential
memiliki batasan antara air dan nitrogen sehingga menunjukkan hasil yang tinggi
dimana nutrisi untuk pembentukan jaringan pada tanaman terutama bagian daun
dapat terpenuhi dengan baik. Hal ini dibuktikan pada grafik bahwa pada hari ke
18 mulai adanya peningkatan yang berbeda sampai dengan hari ke 59. Pada grafik
diatas juga diunjukan adanya penurunann mulai terjadi ada hari ke 69 hingga hari
panen tiba. Yield Potential menunjukkan angka indeks 4,75 sedangkan untuk
Percobaan Tanaman Padi menunjukkan angka ini  1,59. Pengaruh pemberian
pupuk pada tanaman pada tahap vegetatif tanaman mengakibatkan secara aktif
tanaman dapat menyerap unsur hara seperti unsur N. Unsur N diserap dalam
bentuk ion nitrat (NO3-) dan juga ion ammonium (NH4+). Hal ini yang
mengakibatkan luas indeks daun diawal penanaman memiliki nilai yang besar.
Kemudian, pada hari ke 69 terjadi penurunan dikarenakan tanaman padi sudah
mulai memasuki fase generatif yang dimana tanaman mulai memproduksi bunga
dan pengisian malai padi.

2.2 Berat Akar Tanaman Padi

Gambar 2.2 Grafik Berat Akar

Grafik diatas menunjukkan peningkatan berat akar dalam percobaan


tanaman padi dengan populasi tanaman sebanyak 82 dan jarak tanaman sebayak
25 cm yang diberi pemupukan dan irigasi yang terbatas. Hasil percobaan dapat
dilhat pada grafik yaitu bahwa perlakuan pada percobaan dengan yeild potential
lebih tinggi daripada dengan percobaan tanaman padi tanpa batasan. Pada grafik
diatas pada hari pertama hingga hari kelima tanaman padi memiliki jumlah yang
sama. Pada grafik juga terlihat adanya kenaikan secara signifikan pada hari ke 28
yaitu pada percobaan tanaman padi tanpa batasan terlihat menunjukkan 158 kg/ha
dan untuk Yeild Potential menunjukkan 171 kg/ha. Pada grafik diatas juga
menunjukkan tanaman terus mengalami kenaikan yang berbeda beda seperti pada
percobaan tanaman padi tanpa batasan adanya sedikit penurunan pada hari ke 73
menjadi 1020 kg/ha. Sedangkan untuk yeild potential terus mengalami kenaikan
hingga paling tinggi sebesar 1662 kg/ha. Pertumbuhan akar dapat terjadi karena
terjadi adanya penambahan unsur N pada proses pemupukan yang dimana unsur
ini akan merangsang pertumbuhan akar dan meningkatkan daya serap yang
dilaukan oleh akar. Penurunan pada perlakuan percobaan tanamn padi karena ada
batasan dan nitrogen. Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Gardner dkk. (1991)
menyatakan nilai ratio tajuk akar (RTA) menunjukkan seberapa besar hasil
fotosintat yang terakumulasi pada bagian–bagian tubuh tanaman. Rasio tajuk akar
merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman dimana mencerminkan
proses penyerapan unsur hara.

2.3 Konsentrasi Nitrogen

Gambar 2.3 Grafik Konsentrasi Nitrogen

Grafik diatas menunjukkan konsentrasi nitrogen dalam percobaan tanaman


padi dengan satu perlakuan yaitu percobaan tanaman padi tanpa batasan dan yield
potential dengan populasi tanaman sebanyak 82 dan jarak tanaman sebayak 25
cm. Pada grafik bahwa pada hari pertama hingga hari ke 4 normal dan pada hari
ke 5 adanya penurunan yang cukup signifikan yang pada awalnya pada hari
pertama sampai dengan hari ke 4 adalah 4,4 % menjadi 2,34 %. Pada hari
selanjutnya yaitu pada hari ke 6 adanya peningkatan lagi menjadi 5 % dan pada
hari ke 7 mengalami penurunan kembali menjadi 4.25 %. Pada grafik tersebut
terdapat penurunan mulai terjadi secara terus menerus mulai hari ke 23 sampai
dengan akhir grafik yang menunjukkan ketidakstabilan dalam keadaan terus
menurun hingga menyentuh 1,41%. Nitrogen (N) merupakan unsur hara makro
yang dibutuhkan dalam jumlah paling banyak oleh tanaman, yang dapat memacu
pertumbuhan dan perkembangan daun, cabang, dan produksi buah. Nitrogen
merupakan komponen dasar dalam sintesis protein, enzim, asam amino, asam
nukleat, dan bagian integral dari klorofil, yang juga berperan dalam mengontrol
semua reaksi metabolisme di dalam tanaman (Stefanelli et al. 2010, Subhan et al.
2009, Mathuis 2009).

2.4 Hasil Produksi Tanaman Padi

Hasil Produksi
12000
10000
8000 9617
6000
4000
2000
2242
0
Perlakuan 1 Perlakuan 2

Rice YIELD kg/ha

Gambar 2.4 Grafik Hasil Produksi

Keterangan :

Percobaan Tanaman Padi : 2242 kg/ha

Yield Potensial : 9617 kg/ha

Grafik diatas menunjukkan hasil produksi dalam percobaan tanaman padi


dengan melakukan beberapa perlakuan yaitu percobaan tanaman padi tanpa
batasan dan yield potential dengan populasi tanaman sebanyak 82 dan jarak
tanaman sebanyak 25 cm dengan pemberian pupuk dan irigasi yang terbatas.
Program ini menghitung potensi hasil dengan asumsi tidak ada batasan dalam air
dan nitrogen untuk input yang sama. Percobaan dilakukan dengan memasukkan
beberapa data, pertama dengan Irrigation Aplications dimana terdapat enam
tanggal, type dan amount. Type yang digunakan semuanya sama yaitu dengan
Flood dan untuk amountnya antara 40, 50, dan 60. Selanjutnya memasukkan
Fertilizer Aplications dimana ini menggunakan tiga tangga, type, dan N in
Applied atau sama seperti menerapkan N. Type yang digunakan ada dua yaitu ZA
dan urea, untuk N in Applied menggunakan 75 dan 150. Setelah melakukan dan
memasukkan data tersebut kita dapat mengetahui hasil produksi percobaan pada
tanaman padi ini, yang pertama menunjukkan hasil 2242 kg/ha dimana ini
menunjukan perlakuan yang menggunakan nitrogen dan irigasi. Sedangkan untuk
hasil kedua kg/ha dimana hasil jauh lebih besar daripada sebelumnya, pada hasil
kedua ini dilakukan perlakuan tanpa adanya batasan irigasi dan pupuk dilahan
yaitu sebesar 9617 kg/ha. Hal ini dikarenakan dengan dapat dilakukan peninjauan
potensi lahan yang mana sejalan dengan melimpahnya kandungan N yang dapat
membuat produksi menjadi melimpah. Penambahan pupuk urea menjadi satu
perlakuan yang dimana urea tidak berjalan dengan efektif apabila diterapkan pada
waktu yang salah, karena pada dasarnya urea bersifat yang mudah tercuci dan
begitu juga dengan penambahan ZA yang dimana ZA memiliki sifat yang mudah
terlarut. Hal ini bisa dikatakan akan terjadi tindakan pemborosan apabila
diterapkan pada waktu yang tidak tepat.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil dari grafik diatas adalah : 


1. Hasil grafik pada peningkatan Luas Daun menunjukkan pada Yeild
Potential mengalami indeks yang lebih tinggi daripada Percobaan
Tanaman Padi. Yield Potential menunjukkan angka indeks 4,75 sedangkan
untuk Percobaan Tanaman Padi menunjukkan angka ini  1,59.
2. Hasil grafik peningkatan Berat Akar menunjukkan Yeild Potential
memiliki nilai yang paling tinggi dan mengalami peningkatan yang
menunjukkan tanaman terus mengalami kenaikan yang berbeda beda
seperti pada percobaan tanaman padi tanpa batasan adanya sedikit
penurunan pada hari ke 73 menjadi 1020 kg/ha. Sedangkan untuk yeild
potential terus mengalami kenaikan hingga paling tinggi sebesar 1662
kg/ha.
3. Hasil grafik konsentrasi nitrogen vegetatif percobaan tanaman padi sangat
tidak stabil.
4. Hasil produksi pada tanaman padi adalah 2251 kg/ha dan Yeild Potential
sebesar 9617 kg/ha.
DAFTAR PUSTAKA
Gardner, F. P. R. B Pear dan F. L. Mitaheel. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.
Terjemahan Universitas Indonesia Press. Jakarta. 428 hal

Hajama,2014.Studi Pemanfaatan Eceng Gondok sebagai Bahan Pembuatan


Pupuk Kompos dengan Menggunakan Aktivator EM4 dan MOL serta
Prospek Pengembangannya.Makassar : Program Studi Teknik Lingkungan
Jurusan Sipil Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.

Maathuis, FJM 2009, ‘Physiological functions of mineral macronutrients’, Plant


Biol., no. 12, pp. 250-58.

Mohamad Bagus, dkk. 2018. Irigasi Dan Bagunan Air. Surabaya. Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.

Nyakpa, M. Y., A. M. Lubis., M. A. Pulung., Amrah, A. G., A. Munawar., G. B


Hong, N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Universitas Lampung. Bandar
Lampung.

Sigit, 2014. Penuntun Praktikum Irigasi dan Drainase. Lab. Agronomi. Fak.
Pertanian. UNIB. Bengkulu.
Sriharti dan Salim, T. 2010. Pemanfaatan sampah taman (rumput-rumput) untuk
pembuatan kompos. Prosiding Seminar Nasional Teknik Kimia
“Kejuangan” Yogyakarta, 26 Januari 2010.Hal.1-8.

Stefanelli, D, Goodwin, I, & Jones, R 2010, ‘Minimal nitrogen and water use in
horticulture: Effects on quality and content of selected nutrients’, Food
Research International, no. 43, pp. 1833-43.

Subhan, Nurtika, N, & Gunadi, N 2009, ‘Respons tanaman tomat terhadap


penggunaan pupuk majemuk NPK 15:15:15 pada tanah latosol pada musim
kemarau’, J. Hort., vol. 19, no. 1, hlm. 40-48

Setyotini, D. R., & Saraswati, dan Anwar, E. K. (2006). Kompos. Jurnal Pupuk
Organik dan Pupuk Hayati. 2(3), 11-40.
Syam, A. (2003). Efektivitas Pupuk Organik dan Anorganik terhadap
Produktivitas Padi di Lahan Sawah. Jurnal Agrivigor 3 (2), 232–244.

Wiryanta. W. 2003. Bertanam Cabai Hibrida Secara Intensif.Agromedia Pustaka.


Jakarta.
MATERI VI
SEASONAL ANALYSIS PROGRAM
(VARAN)
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Tanaman Jagung

Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang
terpenting, selain gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di
Amerika Tengah dan Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di
Amerika Serikat. Penduduk beberapa daerah di Indonesia (misalnya di Madura
dan Nusa Tenggara) juga menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain
sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam sebagai pakan ternak (hijauan
maupun tongkolnya), diambil minyaknya (dari biji), dibuat tepung (dari biji,
dikenal dengan istilah tepung jagung atau maizena), dan bahan baku industri (dari
tepung biji dan tepung tongkolnya). Tongkol jagung kaya akan pentosa, yang
dipakai sebagai bahan baku pembuatan furfural. Jagung yang telah direkayasa
genetika juga sekarang ditanam sebagai penghasil bahan farmasi (Sofian, 2018).

1.2 Irigasi

Irigasi adalah semua atau segala kegiatan yang mempunyai hubungan dengan
usaha untuk mendapatkan air guna keperluan pertanian. Usaha yang dilakukan
tersebut dapat meliputi perencanaan, pembuatan, pengelolaan, serta pemeliharaan
sarana untuk mengambil air dari sumber air dan membagi air tersebut secara
teratur dan apabila terjadi kelebihan air dengan membuangnya melalui saluran
drainasi (Sigit, 2014).

Irigasi: berasal dari istilah Irrigatie (Bahasa Belanda) atau Irrigation (Bahasa
Inggris) yang diartikan sebagai suatu usaha yang dilakukan untuk mendatangkan
air dari sumbernya guna keperluan pertanian mengalirkan dan membagikan air
secara teratur, setelah digunakan dapat pula dibuang kembali melalui saluran
pembuang (Mohamad bagus, dkk, 2018).

1.3 Iklim

Iklim (climate) adalah sintesis atau kesimpulan dari perubahan nilai


unsurunsur cuaca (hari demi hari dan bulan demi bulan) dalam jangka panjang di
suatu tempat atau pada suatu wilayah. Sintesis tersebut dapat diartikan pula
sebagai nilai statistik yang meliputi: rata-rata, maksimum, minimum, frekuensi
kejadian. Iklim sering dikatakan sebagai nilai statistik cuaca jangka panjang di
suatu tempat atau suatu wilayah. Iklim dapat pula diartikan sebagai sifat cuaca di
suatu tempat atau wilayah. Data iklim terdiri dari data diskontinu (radiasi, lama
penyinaran matahari, presipitasi dan penguapan) dan data kontinu (suhu,
kelembaban, tekanan udara, kecepatan angin) (Atmaja, 2009). Data unsur unsuri
klim yang sering digunakan dalam pembagian zona iklim adalah curah
hujan.Curah hujan adalah endapan atau air dalam bentuk cair maupun padat yang
berasal dari atmosfer karena proses presipitasi (Kurnia, 2007).

1.4 Curah hujan

Menurut Kartasapoetra (2004), hujan merupakan salah satu bentuk


presipitasi uap air berasal dari awan yang terdapat di atmosfir. Bentuk presipitasi
lainnya adalah salju dan es. Untuk dapat terjadinya hujan diperlukan titik-titik
kondensasi, amoniak, debu, dan asam belerang. Titik-titik kondensasi ini
mempunyai sifat dapat mengambil uap air dari udara. Jumlah curah hujan dicatat
dalam inci atau millimeter (1inci = 25.4mm). Jumlah curah hujan 1mm
menunjukkan tinggi air hujan yang menutupi permukaan 1mm, jika air tersebut
tidak meresap ke dalam tanah atau menguap ke atmosfir (Tjasjono, 2004).

1.5 Pemupukan

Usaha yang dilakukan untuk memperbaiki kesuburan tanah adalah dengan


melakukan pemupukan menggunakan pupuk organik. Kandungan unsur hara
dalam pupuk kandang tidak terlalu tinggi, tetapi jenis pupuk ini mempunyai lain
yaitu dapat memperbaiki sifat – sifat fisik tanah. Penambahan bahan organik
sangat penting untuk mempertahankan produktivitas tanah, karena dapat
menentukan ketersediaan hara dalam tanah, memperbaiki sifat kimia, fisika, dan
biologi tanah akan tetapi dipihak yang lain bahan organik dapat mempengaruhi
efektifitas herbisida dalam mengendalikan gulma (Baidhawi, 2014).
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Regresi Planting Date

Gambar 2.1 Grafik dari analisa Regresi Planting Date

Hasil grafik dari analisa Regresi Planting Date pada penanaman tanaman
jagung menunjukkan hasil sebesar 0.988005 menggunakan data variabel
Harvested Yield. Hal ini menunjukkan bahwa hasil produksi tanaman jagung
dipengaruhi dengan waktu tanam.Variabel Harvested Yield tanaman jagung
memakai tiga lahan yaitu pada Lahan A, Lahan B, dan Lahan C. Penanaman
dilakukan di dua bulan yang berbeda, yaitu bulan April dan bulan Mei. Hasil pada
grafik diatas menunjukkan bahwa pada Lahan A, Lahan B, dan Lahan C Bulan
April memiliki hasil nilai yang sama yang dan lebih tinggi sekitar 140.0 jika
dibandingkan dengan Lahan A, Lahan B, dan Lahan C Bulan Mei sekitar 110.0.
Hal ini menunjukkan bahwa Bulan April merupakan waktu tanam yang cukup
bagus. Hal ini dikarenakan pengaruh dari iklim dan cuaca pada Bulan April
merupakan awal musim penghujan, yang dimana hal ini akan berpengaruh pada
curah hujan yang akan berpengaruh juga pada jumlah air yang tersedia pada tanah.
Jumlah air yang tersedia selalu berubah dari waktu ke waktu, karena itu perlu di
tentukan besarnya jumlah air yang tersedia, yang dipergunakan sebagai dasar
perencanaan dalam menentukan rencana pembagian air. Dalam kenyataannya
jumlah air yang tersedia belum tentu akan sama dengan yang direncanakan,
mungkin lebih atau kurang (Dedi, 2014). Menurut Poespodarsono (1996)
Pengaturan waktu tanam dalam sistem tumpangsari mempunyai peran yang sangat
penting, karena akan sangat berpengaruh terhadap hasil tanaman. Pengaturan
waktu tanam pada dasarnya untuk memperkecil persaingan cahaya dan faktor
tumbuh lainnya.

2.2. Maturity Date

Gambar 2.2 Grafik Analisa Regresi Maturity Date

Grafik Analisa Regresi Maturity Date Tanaman Jagung menunjukkan hasil


sebesar 0.988286 dengan menggunakan data variabel Harvested Yield. Hal ini
menunjukkan bahwa hasil produksi dipengaruhi oleh waktu berbunga (Maturity
Date). Percobaan dilakukan menggunakan tanaman jagung dengan memakai tiga
lahan yaitu Lahan A, Lahan B, dan Lahan C. Penanaman dilakukan di dua bulan
yang berbeda, yaitu bulan April dan bulan Mei. Hasil grafik diatas menunjukkan
bahwa Lahan A, Lahan B, dan Lahan C Bulan April memiliki hasil yang lebih
tinggi yaitu 227.0 dibandingkan dengan Lahan A, Lahan B, dan Lahan C Bulan
Mei yaitu 196.0. Waktu berbunga ini berpengaruh pada pola sebaran serbuk sari.
Pola sebaran serbuk sari merupakan salah satu faktor yang ikut menentukan nilai
inbreeding, ukuran populasi efektif dan level keragaman genetik di dalam dan
antar populasi (Burczyk dan Prat 1997). Pola sebaran ini ditentukan oleh fenologi
pembungaan seperti kemampuan berbunga, jumlah produksi bunga dan
sinkronisasi kematangan bunga jantan dan betina, dan efektivitas polinator, yang
membawa serbuk sari ke kepala putik sehingga terjadi penyerbukan (Robledo-
Arnuncio dkk, 2004).

2.3 Regresi Yd – Rain

Gambar 2.3 Grafik Analisa Regresi Yd – Rain

Grafik Analisa Regresi Yd – Rain tanaman jagung menunjukkan hasil


0.999374. Hal ini menunjukkan bahwa hasil produksi dipengaruhi oleh curah
hujan. Percobaan menggunakan tanaman jagung memakai tiga lahan yaitu Lahan
A, Lahan B, dan Lahan C. Penanaman dilakukan di dua bulan yang berbeda, yaitu
bulan April dan bulan Mei. Pada percobaan tersebut terlihat curah hujan pada
Lahan A, Lahan B, dan Lahan C pada Bulan April mempunyai tingkat yang lebih
tinggi dibandingkan dengan Bulan Mei yaitu senilai 15.0, 16.1, dan 14.1
sedangkan untuk Lahan A, Lahan B, dan Lahan C pada Bulan Mei yaitu memiliki
nilai 6.0, 6.2, dan 5.9. Dapat diketahui bahwa bulan mei merupakan waktu masuk
musim kemarau, dimana pada bulan tersebut mempunyai kapasitas curah hujan
rendah atau bisa jadi tidak ada sehingga hasil produksi pada ketiga lahan pada
bulan mei memiliki nilai yang rendah yang mengakibatkan masak fisiologis
tanaman jagung menjadi lebih lama. Tanaman jagung mempunyai curah hujan
yang ideal. Hal ini dikemukakan oleh Surtinah dan Lidar (2012) bahwa Curah
hujan ideal sekitar 85-200 mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan
dan pengisian biji perlu mendapatkan cukup air.

2.4 Anthesis Date

Gambar 4. Grafik Analisa Regresi Anthesis Date

Grafik Analisa Regresi Anthesis Date anaman Jagung menunjukkan hasil


0.988108. Hal ini menunjukkan bahwa hasil produksi dipengaruhi oleh waktu
masak fisiologis waktu pembungaan. Anthesis Date merupakan waktu dimana
bunga siap untuk dilakukan penyerbukan. Percobaan dilakukan dengan
menggunakan tanaman jagung memakai pada tiga lahan yaitu Lahan A, Lahan B,
dan Lahan C. Penanaman dilakukan di dua bulan yang berbeda, yaitu Bulan April
dan Bulan Mei. Lahan A, Lahan B, dan Lahan C Bulan April memiliki grafik
yang cukup bagus dibandingkan dengan di Bulan Mei. Terlihat pada grafik yaitu
untuk Bulan April ketiga lahan memiliki hasil yang sama yaitu 191.0 sedangkan
untuk Bulan Mei pada ketiga lahan menunjukkan hasil 160.5. Proses reproduksi
dipengaruhi oleh banyak faktor yang diawali dengan fenologi pembungaan
sampai terjadinya buah/biji. Fenologi pembungaan dikendalikan oleh gen
pengendali sintesa hormon pembungaan dan fitohormon (Burczyk dan Chalupka
1997). Fenologi pembungaan juga didukung oleh faktor lingkungan seperti
kecukupan matahari dan kecukupan unsur hara. Terbentuknya buah selain
dipengaruhi oleh jumlah dan sinkronisasi kematangan bunga jantan dan bunga
betina, efektivitas polinator, juga dipengaruhi oleh fakor lingkungan diantaranya
kecukupan sinar matahari, yang dipengaruhi oleh topografi, kerapatan pohon,
posisi tajuk dan arah mata angin (Burzcyk dan Chalupka 1997). Selain itu,
tanaman yang penyerbukannya dibantu oleh hewan, khususnya serangga,
cenderung mempunyai pemindahan gen (gene flow) yang tidak terlalu jauh,
karena keterbatasan jarak terbang serangga (Chaix dkk. 2003).

2.5 Hasil Produksi

Gambar 2.5 Grafik Hasil Produksi

Hasil pada Grafik Box-Plot pada Harvested Yield tanaman jagung yang
menggunakan tiga lahan percobaan yaitu Lahan A, Lahan B, dan Lahan C. Pada
tahap penanaman dilakukan pada dua bulan yang berbeda, yaitu pada bulan April
dan bulan Mei. Hal ini bertujuan untuk mengetahui bulan manakah tanaman
jagung cocok untuk ditanam. Selain itu, kita dapat mengetahui seberapa besar
pengaruh iklim, masak fisiologis, serta berapa lama waktu pembungaan pada
tanaman jagung. Pada data yang didapatkan pada Grafik Box-Plot pada Lahan B
penanaman di Bulan April memiliki hasil maksimal paling tinggi mencapai
6836.0 kg/ha dan memperoleh hasil yang minimum pada bulan mei sebesar
1756.0 kg/ha. Selanjutnya, pada Lahan A penanaman di Bulan Mei juga memiliki
hasil maksimum yaitu sebesar 6643.0 kg/ha pada bulan April dan memiliki hasil
minimum sebesar 1646.0 pada bulan Mei. Lahan C memiliki hasil maksimal pada
penanaman Bulan April sebesar 5993.0 kg/ha sedangkan untuk hasil minimum
terjadi pada penanaman pada bulan Mei yaitu 1616.0 kg/ha. Berdasarkan hasil
simulasi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa penanaman tanaman jagung
cocok dilakukan pada Bulan April dibandingkan dengan penanaman pada Bulan
Mei. Hal ini dikarenakan hasil produktivitas pada ketiga lahan tersebut pada
Bulan April mencapai hasil maksimum yang tinggi. Hal ini juga dipengaruhi juga
oleh faktor-faktor lainnya yaitu seperti waktu tanam, waktu pembungaan,
intensitas air (curah hujan).
BAB III

PENUTUPAN

3.1 Kesimpulan

Hasil dari percobaan simulasi penanaman tanaman jagung Seasonal Analysis


Program dapat diambil kesimpulan :

 Pertumbuhan tanaman pada lahan A, lahan B, dan lahan C menunjukkan


hasil yang paling tinggi pada bulan April sebesar 6643.0 kg/ha, 6836.0
kg/ha, dan 5993.0 kg/ha.
 Hasil produksi Bulan April lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
produksi di Bulan Mei. Hal ini disebabkan karena faktor iklim, kondisi
lahan, dan juga daya tumbuh tanaman.
DAFTAR PUSTAKA

Burczyk, J., Chalupka, W. 1997. Flowering and cone production variability and
its effect on parental balance in a Scots pine clonal seed orchard. Annual
Science Forest 54: 129-144

Burczyk, J., and Prat, D. 1997. Male reproductive success in Pseudotsuga


menziesii (Mirb.) Franco: the effects of spatial structure and flowering
characteristics. Heredity 79: 638-647

Baidhawi. 2014. Persistensi Herbisida Metolachlor Pada Tanah Yang Berbeda


Kandungan Bahan Organik. Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.
Aceh.

Chaix, G., Gerber, S., Razafimaharo, V., Vigneron, P., Verhaegen, D., Hamon,
S. . 2003. Gene flow estimates with microsatellites in a Malagasy seed
orchard of Eucalyptus grandis. Theoretical and Applied Genetics 107: 705-
712

Kurnia, I.F. 2007. Prakiraan Curah Hujan Bulanan Kecamatan


BaturadenKabupaten Banyumas dengan Model Arima di Stasiun
KlimatologiSemarang[Skripsi]. Semarang. Universitas Negeri Semarang

Mulyono, Dedi. 2014. Analisis Karakteristik Curah Hujan Hujan Di Wilayah


Kabupaten Garut Selatan. Jurnal Konstruksi. Sekolah Tinggi Teknologi
Garut.

Mohamad Bagus, dkk. 2018. Irigasi Dan Bagunan Air. Surabaya. Institut
Teknologi Sepuluh Nopember.

Poespodarsono, S. 1996. Pola tanam tumpangsari dan pengolahannya. Lembaga


penerbitan Fakultas Pertanian

Robledo-Arnuncio, J.J. Alia, R., Gil, L. 2004. Increased selfing and correlated
paternity in a small population of a predominantly outcrossing conifer,
Pinus sylvestris. Molecular Ecology 13: 2567-2577
Surtinah, dan Lidar, S. 2012. Pertumbuhan Vegetatif dan Kadar Gula Biji Jagung
Manis (Zea mays saccharata, Sturt) di Pekanbaru. J.Ilmiah Pertanian

Sigit, 2014. Penuntun Praktikum Irigasi dan Drainase. Lab. Agronomi. Fak.
Pertanian. UNIB. Bengkulu.
Tjasjono, B., 2004. Klimatologi. Bandung. ITB
MATERI VII
SEASONAL ANALYSIS PROGRAM
(VARAN) ON VARIOUS PLANT
_ANALYSIS ECONOMIC PLANT
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Kacang Hijau

Kacang hijau merupakan salah satu tanaman pangan sumber protein nabati.
Kandungan protein kacang hijau sebesar 22% menempati urutan ketiga setelah
kedelai dan kacang tanah (Purwono dan Hartono, 2005). Kacang hijau berumur
genjah (55-65 hari), tahan kekeringan, variasi jenis penyakit relatif sedikit, dapat
ditanam pada lahan kurang subur dan harga jual relatif tinggi serta stabil.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2015), produksi kacang hijau di
Indonesia mengalami penurunan dari 341.342 ton tahun-1 menjadi 271.463 ton
tahun-1 (tahun 2011 dibanding 2015). Berbagai faktor menyebabkan penurunan
produksi kacang hijau, antara lain kesuburan tanah rendah, alih fungsi lahan,
faktor iklim tidak mendukung, dan praktik budidaya tidak tepat. Upaya
peningkatan produktivitas kacang hijau dapat dilakukan dengan memperbaiki
efisiensi pemupukan dan jumlah tanaman per lubang tanam. Pupuk organik
mempunyai peran penting dalam memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi
tanah. Pupuk organik dapat menggemburkan tanah, memacu aktivitas
mikroorganisme tanah dan membantu pengangkutan unsur hara ke dalam akar
tanaman, meskipun ketersediaan unsur hara essensial (makro dan mikro) relatif
lebih rendah daripada pupuk anorganik (Suwahyono, 2011).

1.2 Kacang Tanah


Kacang tanah adalah komoditas agrobisnis yang bernilai ekonomi cukup tinggi
dan merupakan salah satu sumber protein dalam pola pangan penduduk Indonesia.
Kebutuhan kacang tanah dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan dengan
bertambahnya jumlah penduduk, kebutuhan gizi masyarakat, diversifikasi pangan,
serta meningkatnya kapasitas industri pakan dan makanan di Indonesia. Namun
produksi kacang tanah dalam negeri belum mencukupi kebutuhan Indonesia yang
masih memerlukan subsitusi impor dari luar negeri. Oleh sebab itu pemerintah
terus berupaya meningkatkan jumlah produksi melalui intensifikasi, perluasan
areal pertanaman dan penggunaan pemupukan yang tepat (Adisarwanto, 2000).
Pada umumnya kacang tanah ditanam di dataran rendah dengan ketinggian
maksimal 1000 meter dari permukaan laut. Tanaman kacang tanah cocok ditanam
di dataran yang berketinggian di bawah 500 meter diatas permukaan laut,
mendapat sinar matahari yang cukup oleh karna itu tanaman harus terbebas dari
naungan pepohonan, apabila ditanam di suatu daerah dengan ketinggian melebihi
ketinggian tempat tersebut maka tanaman akan berumur lebih panjang (Tim Bina
Karya Tani, 2009). Kacang tanah tumbuh dengan baik apabila didukung oleh
iklim yang cocok, suhu yag dibutuhkan antara 25°C sampai 32°C, curah hujan
yang cocok untuk bertanam kacang tanah yaitu berkisar 800 mm-1300 mm per
tahun ditempat terbuka, dan musim kering rata-rata sekitar 4 bulan/tahun (Tim
Bina Karya Tani, 2009).

1.3 Kacang Kedelai

Kedelai (dalam rangka peningkatan gizi masyarakat karena aman bagi kesehatan
dan murah harganya. Kedelai dapat diolah sebagai bahan industri olahan pangan
seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai, tauco, snack dan sebagainyaGlycine
max) adalah komoditas tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung.
Kedelai berperan sebagai sumber protein nabati yang sangat penting (Wahyudin,
2017).

Tanaman kedelai berbatang pendek (30-100 cm), memiliki 3-6 percabangan,


berbentuk tanaman perdu, dan berkayu. Batang tanaman kedelai biasanya kaku
dan tahan rebah, kecuali yang dibudidayakan di musim hujan atau tanaman yang
hidup di tempat yang ternaungi (Pitojo 2003). Adisarwanto (2005), menambahkan
bahwa pertumbuhan batang kedelai dibedakan menjadi dua tipe yaitu tipe
determinate dan indeterminate, keduanya dibedakan berdasarkan atas keberadaan
bunga pada pucuk batang. Pertumbuhan batang tipe determinate ditunjukkan
dengan batang yang tidak tumbuh lagi pada saat tanaman mulai berbunga.
Sedangkan pertumbuhan indeterminate dicirikan dengan pucuk batang tetap
tumbuh daun, walaupun tanaman sudah mulai berbunga. Di Indonesia, kondisi
iklim yang paling cocok adalah daerah-daerah yang mempunyai suhu antara 25 0-
270C, kelembaban udara rata-rata 65 %, penyinaran matahari 12 jam/hari atau
minimal 10 jam/hari dan curah hujan paling optimum antara 100-200 mm/bulan
(Rukmana, 1996).
1.4 Kacang Faba

Tanaman kacang babi merupakan salah satu tanaman asli Afrika namun dapat
ditemukan pada berbagai macam habitat antara lain savanna, padang rumput,
pinggiran hutan, tanah bero, tanah-tanah yang terkena limbah (Mwaura et al.,
2013). Tanaman ini mampu tumbuh pada ketinggian antara 300-1200 meter diatas
permukaan laut (mdpl) dengan curah hujan 850-2.650 mm. Tanaman kacang babi
mampu hidup pada suhu lingkungan 12-27o C dan mampu hidup dengan baik
pada tanah andosol pada pH 5-5,6 dan toleran terhadap tanah dengan pH masam.
Tanaman tersebut juga tumbuh baik pada tanah lempung berliat
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Hasil Panen

Gambar 2.1 Hasil Panen tanaman kacang pada lahan di Denpasar

Gambar 2.2 Diagram Batang Hasil Panen tanaman kacang di Denpasar


Gambar diatas merupakan hasil panen tanaman kacang – kacangan dengan
menggunakan lima cultivar yang berbeda-beda dan juga tanaman yang
berbeda. Lima cultivar dan tanaman tersebut ialah Peanut dengan Cultivar
Cianjur, Cowpea dengan Cultivar Kananado, Soybean dengan Cultivar Samira,
Fababean dengan Cultivar Alame dan yang terakhir yaitu Green Bean dengan
Cultivar Bronco Habit. Tabel ini bertujuan untuk dapat mengetahuin hasil
keuntugan yang dapat diperoleh dan dapat mengetahui jenis tanaman kacang
kacangan yang paling efektif untuk ditanam.. Hasil panen pada tanaman
kacang babi menunjukkan nilai tertinggi dengan hasil minimum yaitu 851 kg,
hasil rerataan 1811kg, nilai maksimal 2725 kg dengan simpangan baku sebesar
491,3 kg. Hasil panen kacang tanah menunjukkan hasil minimum 1103 kg,
hasil rerataan 1717,2kg, nilai maksimal 2188 kg dengan simpangan baku
sebesar 244 kg. Hasil panen kacang kedelai menunjukkan hasil panen dengan
hasil minimum 853 kg, hasil rerataan 1165,5 kg, nilai maksimal 1428 kg
dengan simpangan baku sebesar 123,3 kg. Hasil panen kacang tunggak
menunjukkan hasil panen tertinggi dengan hasil minimum 632 kg, hasil
rerataan 762.8 kg, nilai maksimal 851 kg dengan simpangan baku sebesar 60,9
kg. Hasil panen kacang hijau menunjukkan hasil panen tertinggi dengan hasil
minimum 234 kg, hasil rerataan 613,2 kg, nilai maksimal 874 kg dengan
simpangan baku sebesar 160,7 Kg. Berdasarkan data tersebut dapat diambil
kesimpulan bahwa kacang babi memilki hasil panen yang tertinggi. Hal ini
dikarenakan lahan di kota Denpasar sangat cocok untuk ditanami oleh kacang
babi.
2.2 Analisis Ekonomi

Gambar 2.3 Analisis ekonomi tanaman kacang kacangan


Gambar diatas merupakan hasil analisis ekonomi tanaman kacang –
kacangan dengan menggunakan lima cultivar yang berbeda-beda dan juga
tanaman yang berbeda. Lima cultivar dan tanaman tersebut ialah Peanut
dengan Cultivar Cianjur, Cowpea dengan Cultivar Kananado, Soybean dengan
Cultivar Samira, Fababean dengan Cultivar Alame dan yang terakhir yaitu
Green Bean dengan Cultivar Bronco Habit. Tabel ini bertujuan untuk dapat
mengetahuin hasil keuntugan yang dapat diperoleh dan dapat mengetahui jenis
tanaman kacang kacangan yang paling efektif untuk ditanam. Hasil keuntungan
maksimum diperoleh apabila menanam kacang kedelai dengan keuntungan
minimal yaitu 4938,6 dollar, rerataan 5193,6 dollar, maksimal 5407,8 dollar,
dan simpangan baku 100,6 dollar. Jenis tanaman kedua yang memiliki
keuntungan tertinggi ialah kacang hijau dengan keuntungan minimal 4552,3
dollar, rerataan 4942,7 dollar, maksimal 5205,1 dollar, dan simpangan baku
161,9 dollar. Jenis tanaman ketiga yang memiliki keuntungan tertinggi ialah
kacang babi dengan memilki keuntungan minimal 3794,2 dollar, rerataan
4316,5 dollar, maksimal 4813,7 dollar, dan simpangan baku 267,3 dollar. Jenis
tanaman keempat yang memiliki keuntungan tertinggi adalah kacang tunggak
dengan keuntungan minimal 3513 dollar, rerataan 3735,3 dollar, maksimal
3885,3 dollar, dan simpangan baku 103,6 dollar. Untuk jenis tanaman terakhir
yang memiliki keuntungan tertinggi ialah kacang tanah dengan keuntungan
minimal 3155,5 dollar, rerataan 3531,4 dollar, maksimal 3819,5 dollar, dan
simpangan baku 149,5 dollar. Hasil ini menunjukkan bahwa tanaman kedelai
mempunyai keuntungan yang jauh lebih tinggi. Tanaman kacang kedelai
mempunyai harga yang lebih tinggi yaitu 816 dibandingkan dengan kacang
babi 544.
2.4 Mean-Gini Dominance

Gambar 2.4 Hasil Analisa Mean-Gini dominance tanaman kacang kacangan


Gambar diatas merupakan hasil analisa Mean-Gini dominance tanaman kacang –
kacangan dengan menggunakan lima cultivar yang berbeda-beda dan juga
tanaman yang berbeda. Lima cultivar dan tanaman tersebut ialah Peanut dengan
Cultivar Cianjur, Cowpea dengan Cultivar Kananado, Soybean dengan Cultivar
Samira, Fababean dengan Cultivar Alame dan yang terakhir yaitu Green Bean
dengan Cultivar Bronco Habit. Tabel ini bertujuan untuk dapat mengetahui hasil
keuntugan yang dapat diperoleh dan dapat mengetahui jenis tanaman kacang
kacangan yang paling efektif untuk ditanam. Koefisien gini adalah koefisien
pemerataan yang diperoleh dari data penduduk. Sehingga harga rerataaan yang
didapatkan dari hasil penjualan dikurangi nilai koefesien gini merupakan nilai
yang diterima oleh masyarakat. Berdasarkan data tersebut selisih dari harga
ekspetasi yang diperoleh dari analisa sebelumnya menunjukkan bahwa nilai
ekspetasi yang tidak jauh beda dengan nilai dengan harga yang diterima
masyarakat adalah adalah harga kacang kedelai. Selain kacang kedelai, tanaman
kacang kacangan lainnya menunjukkan hasil data yang begitu jauh dari hasil
ekspetasi, yaitu kacang tanah memiliki harga 3446,0 dollar per hektar
dibandingkan dengan harga ekspetasinya senilai 3531, 4 dollar per hektar; kacang
tunggak memiliki harga 3676 dollar per hektar dibandingkan dengan harga
ekspetasinya senilai 3735 dollar per hektar; kacang babi memiliki harga 4161,8
dollar per hektar dibandingkan dengan harga ekspetasinya senilai 4316,5 dollar
per hektar; dan kacang hijau memiliki harga 4850,7 dollar per hektar
dibandingkan dengan harga ekspetasinya senilai 4942,7 dollar per hektar.
Sehingga selain kacang kedelai, tanaman tanaman kacangan lainnya tidak
direkomendasikan untuk dibudidaya karena ekspetasi harga yang diharapkan jauh
dengan harga yang dijangkau penduduk.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah :

 Hasil produksi tertinggi berdasarkan data yang diambil ialah tanaman


kacang babi yang menunjukkan hasil panen tertinggi dengan hasil rerataan
1811 kg sedangkan untuk hasil terendah yaitu tanaman kacang hijau yaitu
613,2 kg.

 Hasil analisis ekonomi menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata tanaman


dengan yang paling besar diperoleh tanaman kedelai sebesar $5193.6/ha
dan paling sedikit hasil rata-rata pendapatnya tanaman kacang faba sebesar
$4316.5/ha.
DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2000. Meningkatkan Produksi Kacang Tanah di Lahan Sawah


dan Lahan kering. Penebar Swadaya, Jakarta.

Adisarwanto. 2005. Kedelai. Jakarta: Penebar Swadaya.

Badan Pusat Statistik, [BPS]. 2015. Produksi Kacang Hijau Menurut Provinsi
(ton), 1993 2015.

Mwaura L, Stevensin PC, Ofari DA, Anjarwalla P, Jamnadass R, Smith P. 2013.


Pesticidal Plant Leaflet Tephrosia vogelii Hook.f. World Agroforestry
Centre and The University of Greenwich.

Purwono, & Hartono, R. 2005. Kacang Hijau. Jakarta: Penebar Swadaya.

Pitojo, S. 2003. Benih Kedelai. Yogyakarta: Kanisius.

Rukmana, R. 1996. Kedelai Budi Daya dan Perkembangannya. Yogyakarta:


Kanisius.

Suwahyono, U. 2011. Petunjuk Praktis Penggunaan Pupuk Organik Secara


Efektif & Efisien. Jakarta: Penebar Swadaya.

Tim bina karya tani. 2009. Budidaya kacang tanah. Yrama widya. Bandung. 110
hal.

Wahyudin. 2017. Respons tanaman kedelai (Glycine max) varietas Wilis akibat
pemberian berbagai dosis pupuk N, P, K, dan pupuk guano pada tanah
Inceptisol Jatinangor. Jurnal Kultivasi Vol. 16(2) Agustus 2017.
MATERI VIII
GENETIC PARAMETER ESTIMATION
TOOL (GENCALC)
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Tanaman Jagung

Jagung merupakan salah satu pangan dunia yang terpenting selain gandum dan
padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung
juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa
daerah di Indonesia juga menggunakan jagung sebagai bahan pangan yang
penting. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam (Suprapto,
1999). Tanaman jagung berasal dari daerah tropis. Iklim yang dikehendaki oleh
sebagian besar tanaman jagung adalah daerah-daerah beriklim sedang hingga
daerah beriklim sub tropis atau tropis basah. Jagung ditanam di awal musim hujan
atau menjelang musim kemarau. Tanaman jagung menghendaki suhu antara 21-34
derajat C, namun idelanya tanaman ini dapat tumbuh pada suhu 23-27 derajat C,
sedangkan pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu sekitar 30
derajat C (Budiman, 2013).

1.2 Morfologi Tanaman Jagung

Tanaman jagung (Zea Mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman
pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Tanaman ini merupakan salah
satu tanaman pangan yang penting, selain gandum dan padi. Tanaman jagung
berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika, melalui kegiatan bisnis
orang Eropa ke Amerika. Pada abad ke-16 orang portugal menyerbarluaskannya
ke Asia termasuk Indonesia. Jagung oleh orang Belanda dinamakan main dan oleh
orang Inggris. Secara umum, jagung memiliki kandungan gizi dan vitamin. Di
antaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, dan mengandung banyak
vitamin.

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotiledon
Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Zea

Spesies : Zea mays L .

Secara morfologi bagian-bagain tanaman jagung adalah Akar-Akar jagung


tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun sebagian
besar berada pada kisaran 2 m. Pada tanaman yang sudah cukup dewasa muncul
akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang membantu menyangga
tegaknya tanaman

Batang jagung Batang jagung tegak dan mudah terlihat, sebagaimana sorgum
dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum. Terdapat mutan yang batangnya
tidak tumbuh pesat sehingga tanaman berbentuk roset. Batang beruas-ruas. Ruas
terbungkus pelepah daun yang muncul dari buku. Batang jagung cukup kokoh
namun tidak banyak mengandung lignin (Irfan, 1999).

Daun Daun jagung adalah daun sempurna. Bentuknya memanjang. Antara


pelepah dan helai daun terdapat ligula. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang
daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut. Stomata pada daun
jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki familia Poaceae. Setiap stomata
dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam
respon tanaman menanggapi defisit air pada selsel daun.

Bunga Jagung memiliki bunga jantandan bunga betina yang terpisah (diklin)
dalam satu tanaman (monoecious). Tiap kuntum bunga memiliki struktur khas
bunga dari suku Poaceae, yang disebut floret. Pada jagung, dua floret dibatasi oleh
sepasang glumae (tunggal: gluma). Bunga jantan tumbuh di bagian puncak
tanaman, berupa karangan bunga (inflorescence). Serbuk sari berwarna kuning
dan beraroma khas. Bunga betina tersusun dalam tongkol.

Tongkol Tongkol tumbuh dari buku, di antara batang dan pelepah daun. Pada
umumnya, satu tanaman hanya dapat menghasilkan satu tongkol produktif
meskipun memiliki sejumlah bunga betina. Buah Jagung siap panen Beberapa
varietas unggul dapat menghasilkan lebih dari satu tongkol produktif, dan disebut
sebagai varietas prolifik. Bunga jantan jagung cenderung siap untuk penyerbukan
2-5 hari lebih dini daripada bunga betinanya protandri.

Syarat tumbuh tanaman jagung  Iklim Iklim sedang hingga daerah beriklim
basah. Pada lahan tidak beririgasi, curah hujan ideal 85-200 mm/bulan dan harus
merata. Sinar matahari cukup dan tidak ternaungi Suhu 21-340C, optimum 23-
270C. Perkecambahan benih memerlukan suhu ± 300C (Effendi, 1999).  Tanah
Tanah gembur, subur dan kaya humus. Jenis tanah: andosol, latosol, grumosol,
dan tanah berpasir. Tanah grumosol memerlukan pengolahan tanah yang baik.
Tanah terbaik bertekstur lempung/liat berdebu. pH tanah 5,6 – 7,5. Aerasi dan
ketersediaan air dalam kondisi baik. Kemiringan ≤ 8%, lahan miring > 8%, perlu
di teras. Tinggi tempat 1.000-1800 m dpl, optimum 0-600 m dpl

1.3 Pertumbuhan dan perkembangan jagung

Secara umum jagung mempunyai pola pertumbuhan yang sama, namun


interval waktu antar tahap pertumbuhan dan jumlah daun yang berkembang dapat
berbeda. Pertumbuhan jagung dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu:

1. Fase perkecambahan, saat proses imbibisi air yang ditandai dengan


pembengkakan biji sampai dengan sebelum munculnya daun pertama;
2. Fase pertumbuhan vegetatif, yaitu fase mulai munculnya daun pertama
yang terbuka sempurna sampai tasseling dan sebelum keluarnya bunga
betina (silking), fase ini di identifiksi dengan jumlah daun yang terbentuk;
3. Fase reproduktif, yaitu fase pertumbuhan setelah silking sampai masak
fisiologis.

Perbaikan sifat tanaman jagung dapat dilakukan melalui modifikasi


genetik, baik dengan pemuliaan tanaman secara konvensional maupun dengan
bioteknologi, khususnya melalui rekayasa genetik. Kadang kala, dalam
perakitan varietas jagung tahan serangga hama, pemulia konvensional
menghadapi kendala yang sulit dipecahkan, yaitu langkanya atau tidak
adanya sumber gen ketahanan di dalam koleksi plasma nutfah jagung
(Rinaldi, 2009).

Tanaman jagung umur 18 sampai 35 hari, bahwa perkembangan akar dan


penyebarannya di tanah sangat cepat dan pemanjangan batang meningkat
dengan cepat. Tanaman mulai menyerap unsur hara dalam jumlah banyak.
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam pola tumpangsari adalah waktu tanam,
karena waktu tanam berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif,
pertumbuhan vegetatif yang lebih cepat dan dominan menguasai ruang maka
akan lebih mampu berkompetisi dalam memperebutkan air, unsur hara dan
cahaya dibandingkan dengan pertumbuhan vegetatifnya yang lambat,
akhirnya akan mempengaruhi produksi. Pertumbuhan vegetatif jagung yang
lebih cepat dan dominan di atas tanah (Rinaldi, 2009).

1.4 Pemupukan

Usaha yang dilakukan untuk memperbaiki kesuburan tanah adalah dengan


melakukan pemupukan menggunakan pupuk organik. Kandungan unsur hara
dalam pupuk kandang tidak terlalu tinggi, tetapi jenis pupuk ini mempunyai
lain yaitu dapat memperbaiki sifat – sifat fisik tanah. Penambahan bahan
organik sangat penting untuk mempertahankan produktivitas tanah, karena
dapat menentukan ketersediaan hara dalam tanah, memperbaiki sifat kimia,
fisika, dan biologi tanah akan tetapi dipihak yang lain bahan organik dapat
mempengaruhi efektifitas herbisida dalam mengendalikan gulma (Baidhawi,
2014). Pemupukan urea yang sesuai dapat mencapai hasil yang optimal,
sedangkan penggunaan pupuk yang berlebihan akan memperbesar biaya
produksi, tanaman mudah rebah, mudah terserang hama/penyakit,
pembentukan bunga tertunda dan merusak lingkungan (Novizan, 2002 ; Wahid,
2003)

1.5 GENCALC (Penghitungan Koefisien Genotipe- lator)

Sejumlah model simulasi tanaman digunakan sebagai model masukan


tertentu koefisien yang menjelaskan perbedaan antar kultivar. Coeficients ini,
sering disebut sebagai genotypecoefficients, memungkinkan model untuk
mensimulasikan kinerja beragam genotipe di bawah tanah yang berbeda, cuaca,
dan kondisi manajemen. Oleh karena itu, model dapat secara potensial
digunakan untuk menyelesaikan interaksi genotipe × lingkungan menjadi
koefisien yang mendasari. GENCALC (Penghitungan Koefisien Genotipe-
lator) adalah paket perangkat lunak yang memfasilitasi perhitungan ini
koefisien untuk digunakan dalam model tanaman yang ada. GENCALC,
koefisien untuk suatu genotipe diperkirakan secara iteratif dengan menjalankan
model tanaman pribadi dengan data masukan model dan koefisien perkiraan,
membandingkan keluaran model dengan data aktual, dan kemudian mengubah
koefisien tersebut hingga nilai simulasi dan pengukuran cocok. Koefisien
ditentukan dalam urutan tertentu, dimulai dengan itu yang berhubungan dengan
aspek perkembangan. GENCAL Juga memungkinkan untuk perhitungan rata-
rata untuk koefisien ditentukan fr, ~ m spesifik percobaan. Ini memfasilitasi
pemilihan koefisien dengan variabilitas terendah, yang kemudian dapat
disimpan dalam file database khusus tanaman. GENCALC terdiri dari beberapa
program dan membutuhkan model additi ¢ .nal dan memodelkan file input, jadi
hard disk dengan = 2 Mb quired. GENCALC akan berjalan di komputer yang
kompatibel dengan IBM atau IBM dengan Dos versi 3.0 atau yang lebih baru
(Hunt, 1993).

1.6 Kerapatan Tanaman


Menurut Haryadi (1988), kerapatan tanaman mempengaruhi penampilan
dan produksi tanaman. Pada umumnya produksi per satuan luas yang tinggi di
dapat dari populasi tertentu yang dapat memanfaatkan penggunaan cahaya
secara maksimal. Menurut Gardner et al. (1996), pengaturan kerapatan
tanaman bertujuan untuk meminimalkan kompetisi intrapopulasi agar kanopi
dan akar tanaman dapat memanfaatkan lingkungan secara optimal. jarak tanam
jarang (populasi rendah) dapat memperbaiki pertumbuhan individu tanaman,
tetapi memberikan peluang terhadap perkembangan gulma. Tanaman jagung
bila banyak ditumbuhi gulma berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan
produksi tanaman jagung karena terjadi kompetisi dalam pemanfaatan unsur
hara, air, cahaya dan ruang tumbuh. Jarak tanam yang terlalu lebar dapat
mengurangi jumlah populasi tanaman menyebabkan berkurangnya
pemanfaatan cahaya matahari, dan unsur hara oleh tanaman, karena sebagian
cahaya akan jatuh ke permukaan tanah dan unsur hara akan hilang karena
penguapan dan pencucian.
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Hasil Produksi

Gambar 2.1 Hasil Grafik Hasil Produksi

Grafik diatas menujukkan hasil produksi dari penaman jagung cultivar Pertiwi
TY1. Penanaman jagung digunakan metode dry seed dengan jarak tanam 70 cm
dan kedalaman 5 cm. Pemupukan urea dengan aplikasiannya Broadcast,
incorporated pada pemupukan awal menggunakan pupuk kandungan N sebanyak
150 dan pada pemupukan kedua dibulan selanjutnya kandungan yang berbeda
dimana terdiri dari kandungan N 50, P 50, dan K 50. Selain itu ada pemupukan
organik (kompos) material yang berasal dari Generic Crop Residu dengan
kandungan N sebanyak 1,7, P sebanyak 1,6, dan K sebanyak 1,2. Namun, dengan
data yang telah diedit yang bergantung dari P1, P2, P5, G2, dan PHINT.
Perlakuan ini menghasilkan hasil produksi dari jagung sebanyak 2964 kg/ha.
Akan tetapi hasil ini masih dianggap sedikit bila dibandingkan ketika telah
dilakukan Gen calculate, hasil setelah Gen calculate tanpa adanya perbedaan
perlakuan menujukkan hasil sebanyak 3174 kg/ha. Hal ini disebabkan adanya
pewarisan sifat yang dimana dikatakan akan adanya varietas unggul baru. Adanya
varietas unggul akan membuat tanaman jauh lebih tahan terhadap gangguan baik
Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), Lingkungan yang kurang mendukung.
Hal ini juga menyebabkan tanaman dapat berproduksi secara maksimal sehingga
hasil produksi meningkat.

2.2 Siklus Rekayasa Genetika

Gambar 2. Siklus Rekayasa Genetika

Gambar diatas merupakan siklus rekayasa gen. Rekayasa genetik atau rekombinan
DNA merupakan kumpulan teknik-teknik eksperimental yang memungkinkan
peneliti untuk mengisolasi, mengidentifikasi, dan melipatgandakan suatu fragmen
dari materi genetika (DNA) dalam bentuk murninya. Pemanfaatan teknik genetika
di dalam bidang pertanian maupun peternakan diharapkan dapat memberikan
sumbangan, baik dalam membantu memahami mekanisme-mekanisme dasar
proses metabolisme maupun dalam penerapan praktisnya seperti misalnya untuk
pengembangan tanaman-tanaman pertanian maupun hewan-hewan ternak dengan
sifat unggul. Untuk tujuan ini dapat dilakukan melalui pengklonan atau
pemindahan gengen penyandi sifat-sifat ekonomis penting pada hewan maupun
tumbuhan, pemanfaatan klon-klon DNA sebagai marker (penanda) di dalam
membantu meningkatkan efisiensi seleksi dalam program pemuliaan (Sutarno,
2002). Rekayasa genetika merupakan dasar dari bioteknologi yang di dalamnya
meliputi manipulasi gen, kloning gen, DNA rekombinan, teknologi modifikasi
genetik, dan genetika modern dengan menggunakan prosedur identifikasi,
replikasi, modifikasi dan transfer materi genetik dari sel, jaringan, maupun organ.
Sebagian besar teknik yang dilakukan adalah memanipulasi langsung DNA
dengan orientasi pada ekspresi gen tertentu. Dalam skala yang lebih luas, rekayasa
genetik melibatkan penanda atau marker yang sering disebut sebagai Marker-
Assisted Selection (MAS) yang bertujuan meningkatkan efisiensi suatu organisme
berdasarkan informasi fenotipnya .Salah satu aplikasi dari rekayasa genetik adalah
berupa manipulasi genom hewan. Hewan yang sering digunakan menjadi uji coba
adalah mamalia. Mamalia memiliki ukuran genom yang lebih besar dan kompleks
dibandingkan dengan virus, bakteri, dan tanaman. Sebagai konsekuensinya, untuk
memodifikasi genetik dari hewan mamalia harus menggunakan teknik genetika
molekular dan teknologi rekombinan DNA. Keunggulan rekayasa genetik adalah
mampu memindahkan materi genetik dari sumber yang sangat beragam dengan
ketepatan tinggi dan terkontrol dalam waktu yang lebih singkat. Melalui proses
rekayasa genetika ini, telah berhasil dikembangkan berbagai organisme maupun
produk yang menguntungkan bagi kehidupan manusia (Sutarno, 2016). Proses
Rekasa genetika terdapat beberapa namun, secara singkat tahapannya proses
rekayasa genetika ini bisa atau dapat meliputi tahapan-tahapan berikut ini.

1. Mengindetifikasikan gen dan mengisolasi gen yang diinginkan,

2. Membuat DNA/AND salinan dari RNAd,

3. Pemasangan cDNA pada cincin plasmid,

4. Penyisipan DNA rekombinan kedalam tubuh/sel bakteri,

5. Membuat klon bakteri yang mengandung DNA rekombinan,

6. Pemanenan produk.

Proses rekayasa genetika diatas, praktiknya ialah mengadopsi prinsip dari teknik
rekayasa sebagai berikut:

a. Kloning gen ialah tahapan awal dari rakayasa genetika. Dibawah ini
merupakan tahapan-tahapan di dalam kloning gen, diataranya
- Pemotongan DNA itu menjadi fragmen-fragmen yakni dengan ukuran
beberapa ratus hingga ribuan kb (kilobase),
- Kemudian fragmen itu dimasukkan ke dalam sebuah vektor bakteri untuk
kloning.
- Segala macam vektor itu didesain untuk da[at membawa DNA dengan
panjang yang berbeda.
- Tiap-tiap vektor hanya mengandung satu DNA yang setelah itu
teramplifikasi membentuk suatu klon di dalam dinding bakteri.
- Dari setiap klon sejumlah fragmen DNA itu kemudian akan diisolasi
yang setelah itu akan diekspresikan. DNA rantai tunggal ini akan diubah
menjadi rantai ganda yakni dengan bantuan DNA polimerase.
- Fragmen DNA yang dihasilkan itu selanjutnya dikloning ke dalam
plasmid untuk kemudian menghasilkan bank cDNA.
b. Sekuensing ini adalah teknik penentuan urutan basa suatu fragmen DNA
yang membutuhkan proses serta juga waktu yang lama. Saat ini proses ini
sudah memiliki sifat automatis,maksudnya ialah sekuensing yang
dilakukan itu memungkinkan dalam skala industri sampai ribu kilobasa
per hari.
c. Amplifikasi gen secara in-vitro merupakan suatu Proses dari suatu
amplifikasi DNA untuk mensitesis komplementer disuatu fragmen DNA
yangdimulai dari suatu rantai primer yang dikenal dengan istilah kata
teknik PCR (Polimerase Chain Reaction).
d. Pada tiap-tiap gen tersebut terdiri atas promotor (yakni daerah yang
bertanggungan jawab di dalam transkripsi gen yang berakhir diwilayah
terminator), gen pendanda ini dipilih (yakni suatu gen yang memiliki
peran ialah sebagai resistensi antibiotik yang membantu di dalam
membedakan perubahan sel), serta juga terimanator. Konstruksi gen ini
mengandung sedikitnya daerah promotor, daerah transkrip, serta juga
daerah terminator. Oleh karna itu, konstruksi gen ini disebut dengan vektor
ekspresi. Konstruksi gen ini mengimplikasikan suatu penggunaan pada
elemen-elemen seperti sistesis nukleotida dengan secara kimiawi, enzim
restriksi yang memotong DNA didaerah spesifik, amplifikasi fragmen
DNA itu dengan secara in vitro yakni dengan menggunakan teknik PCR,
serta juga menyambungn fragmen DNA yang berbeda dengan ikatan
kovalen yakni menggunakan enzim ligase. Setelah itu fragmen ini
kemudian ditambahkan dalam plasmid yang selanjutnya ajab ditransfer ke
dalam bakteri membentuk klon bakteri. Klon bakteri ini kemudian akan
diseleksi serta diamplifikasi. Penambahan elemen di dalam konstruksi gen
tersebut bergantung pada suatu tujuan eksperimen, terutamanya pada jenis
sel konstruksi itu kemudian akan diekspresikan.
e. Suatu gen hasil isolasi bisa atau dapat ditranskripsikan dengan secara in
vitro serta mRNA nya ini juga dapat ditranskripsikan disuatu sistem bebas
sel. Untuk kemudian dikodekan secara efektif serta ditranslasikan menjadi
protein, suatu gen ini harus ditransfer ke dalam sel yang secara alami itu
bisa atau dapat mengandung seluruh faktor yang diperlukan di dalam
proses transkripsi serta translasi. Transfer gen ini pun di dalam praktiknya
ini terdiri dari variasi teknik, diantaranya fusi sel, mikroinjeksi,
elektroporasi, penggunaan senyawa kimia,serta juga injeksi menggunakan
vektor virus.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hasil produksi tanaman jagung pada lahan Denpasar sebelum dilakukan


rekayasa genetika mencapai 2964 kg/Ha, Sedangkan hasil panen sesudah
melakukan rekayasa gentika mencapai 3174 kg/ha. Berdasarkan hasil tersebut
dapat dikatakan bahwa tanaman jagung menjadi lebih mempunyai genotip
yang sudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sehingga mempunyai sfat
yang ketahanan yang tinggi. Hal ini mengakibatkan hasil panen tanaman
jagung menjadi maksimal dan juga memiliki nilai hasil produksi pun naik.
DAFTAR PUSTAKA
Budiman, Haryanto. 2013. Budidaya Jagung Organik Varietas Baru Yang Kian di
Buru. Pustaka Baru Putra. Yogyakarta. 206 hal.

Baidhawi. 2014. Persistensi Herbisida Metolachlor Pada Tanah Yang Berbeda


Kandungan Bahan Organik. Universitas Malikussaleh Lhokseumawe.
Aceh.

Gardner, F. P. Pearce. R. B. and Michell. R. L. (1996). Physiology of crop plant.


Terjemahan Herawati, Susilo, dan Subiyanto. UI Pres, Jakarta. p. 61-68;
343.

Haryadi.S.S. 1988. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta.

Hunt. 1993. GENCALC: Software to Facilitate the Use of Crop Models for
Analyzing Field Experiments. Published in Agron. J. 85:1090-1094 (1993).

Irfan, M. 1999. Respons tanaman jagung (Zea mays L.) terhadap pengelolaan
tanah dan kerapatan tanam pada tanah Andisol. Tesis Program Pasca
Sarjana USU, Medan. p. 13-74.

Novizan. 2002. Petunjuk Pemupukan yang Efektif, Agro Medika Pustaka, Jakarta

Rinaldi, dkk. 2009. Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Jagung (Zea Mays L.)
Yang Ditumpangsarikan Dengan Kedelai (Glycine Max L.). Fakultas
Pertanian Jurusan Agroteknologi Universitas Taman siswa, Padang.

Suprapto. 1999. Budidaya Jagung. Penebar Swadaya. Jakarta


Sutarno, Cummins, J.M., Greeff, J., Lymbery, A.J. (2002). Mitochondrial DNA
polymorphisms and fertility in beef cattle. Theriogenology, an International
Journal of Animal Reproduction 57: 1603-1610.
Sutarno. 2016. Rekayasa Geteik Dan Perkembangan Bioteknologi Dibidang
Peternakan. Surakarta. Universitas Sebelas Maret
Wahid, A.S., 2003, Peningkatan Efisiensi Pupuk Nitrogen Pada Padi Sawah
Dengan Metode Bagan Warna Daun. Jurnal Libang Pertanian.
MATERI IX
ROTATIONAL ANALYSIS POGRAM
(SUSTAIN )
BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Analisis Rotasi Tanaman

Aplikasi analisis rotasi tanaman (atau analisis urutan) memungkinkan pengguna


untuk menghasilkan simulasi jangka panjang dari sistem tanam tertentu untuk
prediksi keberlanjutan sistem pertanian seperti kehilangan karbon tanah, degradasi
kesuburan tanah, penurunan hasil, dan peningkatan emisi gas rumah kaca
(Thornton et. Al., 1995). Pengguna dapat mengeksplorasi keberlanjutan berbagai
pilihan dalam jangka waktu yang lama dan mengoptimalkan pilihan untuk
mengelola lahan guna mempertahankan produktivitas, kesehatan tanah, dan
sumber daya alam (Tsuji et al., 1998). Bahan organik tanah terkait dengan
ketersediaan hara tanaman dan dengan demikian juga dengan hasil, pendapatan,
dan ketahanan pangan. Bahan organik juga meningkatkan efisiensi penggunaan
air dan nutrisi serta mengurangi kerugian dan pencemaran lingkungan. Tanah juga
menyediakan bak untuk atmosfer C, mekanisme mitigasi perubahan iklim yang
berpotensi penting yang disebut sebagai penyerapan karbon tanah. Analisis rotasi
tanaman dalam DSSAT umumnya digunakan untuk mengeksplorasi opsi sistem
tanam berdasarkan pola tanaman yang ditanam secara berurutan.

1.2 Rotasi Tanaman

Rotasi tanaman merupakan salah satu praktek penting dalam sistem pertanian
berkelanjutan yang dapat meningkatkan retensi air dan hara, menurunkan
kebutuhan pupuk sintetis melalui penanaman tanaman kacang-kacangan
(Christensen et al. 2012). Rotasi tanam antara tanaman padi dengan palawija
maupun hortikultura merupakan salah alternatif yang bijak untuk tetap
mempertahankan produktivitas dan kesuburan lahan, dan perekonomian petani.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rotasi tanaman padi dengan palawija dapat
memperbaiki struktur tanah sawah (Chen et al. 2012). Struktur tanah yang baik
akan memperbaiki drainase, mengurangi aliran permukaan (run off) dan
meningkatkan ketersediaan air tanah. Rotasi tanaman dapat mengendalikan gulma
dan serangan hama sehingga dapat menurunkan penggunaan pestisida kimia
(Christensen et al. 2012).

1.3 Tanaman Jagung

Jagung merupakan salah satu pangan dunia yang terpenting selain gandum dan
padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan Selatan, jagung
juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat. Penduduk beberapa
daerah di Indonesia juga menggunakan jagung sebagai bahan pangan yang
penting. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga ditanam (Suprapto,
1999). Tanaman jagung berasal dari daerah tropis. Iklim yang dikehendaki oleh
sebagian besar tanaman jagung adalah daerah-daerah beriklim sedang hingga
daerah beriklim sub tropis atau tropis basah. Jagung ditanam di awal musim hujan
atau menjelang musim kemarau. Tanaman jagung menghendaki suhu antara 21-34
derajat C, namun idelanya tanaman ini dapat tumbuh pada suhu 23-27 derajat C,
sedangkan pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu sekitar 30
derajat C (Budiman, 2013).

1.4 Morfologi Tanaman Jagung

Tanaman jagung (Zea Mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman
pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Tanaman ini merupakan salah
satu tanaman pangan yang penting, selain gandum dan padi. Tanaman jagung
berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika, melalui kegiatan bisnis
orang Eropa ke Amerika. Pada abad ke-16 orang portugal menyerbarluaskannya
ke Asia termasuk Indonesia. Jagung oleh orang Belanda dinamakan main dan oleh
orang Inggris. Secara umum, jagung memiliki kandungan gizi dan vitamin. Di
antaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat, kalsium, dan mengandung banyak
vitamin.

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotiledon
Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Zea

Spesies : Zea mays L .

Secara morfologi bagian-bagain tanaman jagung adalah Akar-Akar jagung


tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun sebagian
besar berada pada kisaran 2 m. Pada tanaman yang sudah cukup dewasa muncul
akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang membantu menyangga
tegaknya tanaman

Batang jagung Batang jagung tegak dan mudah terlihat, sebagaimana sorgum
dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum. Terdapat mutan yang batangnya
tidak tumbuh pesat sehingga tanaman berbentuk roset. Batang beruas-ruas. Ruas
terbungkus pelepah daun yang muncul dari buku. Batang jagung cukup kokoh
namun tidak banyak mengandung lignin (Irfan, 1999).

Daun Daun jagung adalah daun sempurna. Bentuknya memanjang. Antara


pelepah dan helai daun terdapat ligula. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang
daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut. Stomata pada daun
jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki familia Poaceae. Setiap stomata
dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam
respon tanaman menanggapi defisit air pada selsel daun.

Bunga Jagung memiliki bunga jantandan bunga betina yang terpisah (diklin)
dalam satu tanaman (monoecious). Tiap kuntum bunga memiliki struktur khas
bunga dari suku Poaceae, yang disebut floret. Pada jagung, dua floret dibatasi oleh
sepasang glumae (tunggal: gluma). Bunga jantan tumbuh di bagian puncak
tanaman, berupa karangan bunga (inflorescence). Serbuk sari berwarna kuning
dan beraroma khas. Bunga betina tersusun dalam tongkol.

Tongkol Tongkol tumbuh dari buku, di antara batang dan pelepah daun. Pada
umumnya, satu tanaman hanya dapat menghasilkan satu tongkol produktif
meskipun memiliki sejumlah bunga betina. Buah Jagung siap panen Beberapa
varietas unggul dapat menghasilkan lebih dari satu tongkol produktif, dan disebut
sebagai varietas prolifik. Bunga jantan jagung cenderung siap untuk penyerbukan
2-5 hari lebih dini daripada bunga betinanya protandri.

Syarat tumbuh tanaman jagung  Iklim Iklim sedang hingga daerah beriklim
basah. Pada lahan tidak beririgasi, curah hujan ideal 85-200 mm/bulan dan harus
merata. Sinar matahari cukup dan tidak ternaungi Suhu 21-34ºC, optimum 23-
27ºC. Perkecambahan benih memerlukan suhu ± 30ºC. Tanah Tanah gembur,
subur dan kaya humus. Jenis tanah: andosol, latosol, grumosol, dan tanah berpasir.
Tanah grumosol memerlukan pengolahan tanah yang baik. Tanah terbaik
bertekstur lempung/liat berdebu. pH tanah 5,6 – 7,5. Aerasi dan ketersediaan air
dalam kondisi baik. Kemiringan ≤ 8%, lahan miring > 8%, perlu di teras. Tinggi
tempat 1.000-1800 m dpl, optimum 0-600 m dpl

1.5 Pertumbuhan dan perkembangan jagung

Secara umum jagung mempunyai pola pertumbuhan yang sama, namun


interval waktu antar tahap pertumbuhan dan jumlah daun yang berkembang dapat
berbeda. Pertumbuhan jagung dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap yaitu:

4. Fase perkecambahan, saat proses imbibisi air yang ditandai dengan


pembengkakan biji sampai dengan sebelum munculnya daun pertama;
5. Fase pertumbuhan vegetatif, yaitu fase mulai munculnya daun pertama
yang terbuka sempurna sampai tasseling dan sebelum keluarnya bunga
betina (silking), fase ini di identifiksi dengan jumlah daun yang terbentuk;
6. Fase reproduktif, yaitu fase pertumbuhan setelah silking sampai masak
fisiologis.

Perbaikan sifat tanaman jagung dapat dilakukan melalui modifikasi


genetik, baik dengan pemuliaan tanaman secara konvensional maupun dengan
bioteknologi, khususnya melalui rekayasa genetik. Kadang kala, dalam perakitan
varietas jagung tahan serangga hama, pemulia konvensional menghadapi kendala
yang sulit dipecahkan, yaitu langkanya atau tidak adanya sumber gen ketahanan di
dalam koleksi plasma nutfah jagung (Rinaldi, 2009).
Tanaman jagung umur 18 sampai 35 hari, bahwa perkembangan akar dan
penyebarannya di tanah sangat cepat dan pemanjangan batang meningkat dengan
cepat. Tanaman mulai menyerap unsur hara dalam jumlah banyak. Hal lain yang
perlu diperhatikan dalam pola tumpangsari adalah waktu tanam, karena waktu
tanam berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan vegetatif yang
lebih cepat dan dominan menguasai ruang maka akan lebih mampu berkompetisi
dalam memperebutkan air, unsur hara dan cahaya dibandingkan dengan
pertumbuhan vegetatifnya yang lambat, akhirnya akan mempengaruhi produksi.
Pertumbuhan vegetatif jagung yang lebih cepat dan dominan di atas tanah
(Rinaldi, 2009).

1.6 Serapan Unsur Hara


Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan
unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hadisuwito, 2008). Pemupukan
perlu dilakukan karena kandungan unsur hara dalam tanah bervariasi dan berubah-
ubah disebabkan terjadinya kehilangan unsur hara melalui pencucian. Salah satu
faktor yang menunjang tanaman untuk tumbuh dan berproduksi secara optimal
adalah ketersediaan unsur hara dalam jumlah yang cukup di dalam tanah. Jika
tanah tidak dapat menyediakan unsur hara yang cukup bagi tanaman, maka
pemberian pupuk perlu dilakukan untuk memenuhi kekurangan tersebut. Setiap
jenis tanaman membutuhkan unsur hara dalam jumlah yang berbeda.
Ketidaktepatan pemberian unsur hara/pupuk selain akan menyebabkan tanaman
tidak dapat tumbuh dan berproduksi secara optimal juga merupakan pemborosan
tenaga dan biaya (tidak efisien)
1.7 Pemupukan
Pemupukan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mencukupi
kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, supaya tanaman dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga menghasilkan produksi dan mutu
hasil dari tanaman dapat maksimal, dengan cara memberikan subuah pupuk
melalui daun (disemprotkan pada daun) dan akar (dibenamkan ke dalam tanah),
baik pupuk organik maupun anorganik. Besar pupuk yang diberikan ditentukan
berdasarkan kadar unsur hara yang dibutuhkan oleh masing-masing tumbuhan,
karena jika pemberian pupuk terlalu banyak atau terlalu sedikit juga kurang dapat
memaksilkan pertumbuhan atau malah dapat mengakibatkan tanaman menjadi
mati (Yousaf, 2017).
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Hasil Panen

Gambar 2.1 Tabel Hasil Panen beberapa tanaman pada tahun 2019-
2033

Gambar 2.2 Grafik batang hasil panen beberapa tanaman pada tahun
2019-2033

Gambar 1 dan 2 diatas menunjukkan adanya hasil panen pada tanaman


jagung, kacang dan ketela ungu pada lahan di daerah bali pada tahun 2019-
2033. Hasil panen pada tanaman jagung menunjukkan hasil minimum
yaitu sebesar 19110 kg/Ha, hasil maksimum yaitu sebesar 7468 Kg/Ha,
hasil rerataan yaitu 4663 kg/ Ha dan simpangan baku sebesar 1219, 8 Kg/
Ha. Tanaman Kedua yaitu tanaman kacang memiliki hasil panen minimum
yaitu sebesar 758 Kg/Ha, hasil maksimal sebesar 2244 Kg/ Ha, hasil
rerataan 1645,1 Kg/Ha dan simpangan baku sebesar 317 Kg/Ha. Dan pada
tanaman ketiga yaitu tanaman Ketela Ungu. Ketela ungu memiliki hasil
panen minimum 607 Kg/Ha dan hasil maksimum sebesar 1393 Kg/Ha,
hasil rerataan sebesar 864,1 Kg dan simpangan baku sebesar 200,3 Kg/Ha.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil panen
utama di Denpasar adalah tanaman jagung. Hal ini disebakan pada daerah
denpasar mempunyai lingkungan yang sangat cocok untuk ditanami
tanaman jagung. Jagung memiliki pertumbuhan yang optimal di
penyinaran matahari yang penuh. Di tempat-tempat yang teduh
pertumbuhan jagung akan merana dan tidak mampu membentuk buah. Di
Indonesia suhu semacam ini terdapat di daerah dengan ketinggian antara 0
- 600 m dpl dan curah hujan optimal yang dihendaki antara 85 - 100 mm
per bulan merata sepanjang pertumbuhan tanaman (Wakman dan
Burhanuddin, 2007). Hal ini juga dipengaruhi suhu di daerah Denpasar
yaitu sekitar suhu maksimal tercatat 35°C pada bulan Desember
sedangkan suhu terendah tercatat 21°C pada bulan Januari dan September,
sedangkan untuk tanaman jagung sendiri dapat tumbuh dengan baik yaitu
suhu antara 21-34 derajat C, namun idelanya tanaman ini dapat tumbuh
pada suhu 23-27 derajat C, sedangkan pada proses perkecambahan benih
jagung memerlukan suhu sekitar 30 derajat C (Budiman, 2013). Hal ini
juga dipengaruhi oleh adanya sistem rotasi tanaman. Rotasi tanaman
dilakukan untuk mendukung keberlanjutan pemanfaatan lahan pertanian.
Rotasi tanaman dilakukan dengan melakukan penanaman dengan urutan
jagung, kacang, dan ketela ungu. Rotasi tanaman meningkatkan kualitas
struktur tanah, karena peningkatan bahan organik, perbaikan aerasi dan
pergantian antara tanaman berakar dalam dengan tanaman berakar dangkal
(Katsvairo et al. 2002, Govaerts et al. 2008). Dengan demikian kualitas
lahan akan terus dapat digunakan secara berkelanjutan karena nutrisi yang
ada dalam tanah akan tetap ada karena adanya sistem rotasi tanaman.
2.2 Analisis rotasi tanam pada jangka waktu tertentu

Gambar 2.3 Hasil Panen beberapa tanaman pada periode tertentu

Gambar 2.4 Diagram Comulative function plot

Gambar 3 dan 4 diatas menunjukkan bahwa adanya hasil panen pada pada
tahun 2019-2033. Hasil panen tanaman jagung menunjukkan hasil
minimum sebesar 19110 kg/Ha pada tahun 2030 dan hasil maksimum
sebesar 7468 Kg/Ha pada tahun 2021. Tanaman Kedua yaitu kacang
memiliki hasil panen minimum yaitu sebesar 758 Kg/Ha pada tahun 2028,
hasil maksimum sebesar 2244 Kg/ Ha pada tahun 2025. Tanaman ketiga
yaitu adalah tanaman Ketela Ungu. Tanaman ketela ungu memiliki hasil
panen minimum 607 Kg/Ha pada tahun 2029 dan hasil maksimum sebesar
1393 Kg/Ha pada tahun 2020.
Berdasarkan hasil data tersebut terlihat bahwa ketiga tanaman
mengalami penurunan hasil panen pada periode tertentu. Hal ini
dibuktikan dengan adanya hasil panen pada periode minimum terjadi
setelah periode tanam maksimum. Hal ini dapat terjadi karena adanya
perubahan iklim maupun adanya serangan hama penyakit pada lahan
tersebut. Ataupun dapat dipengaruhi oleh penggunakan pestisida yang
digunakan oleh petani yang mengakibatkan kesuburan tanah menurun
yang dimana pestisida tersebut meninggalkan residu ditanah yang nantinya
akan menurunkan kualitas lahan walaupun dilakukan sistem rotasi pada
lahan. Berdasarkan pernyataan Miskiyah dan Munarso (2009) bahwa
pestisida merupakan bahan kimia berbahaya, sehingga pemakaian yang
berlebihan dapat menjadi sumber pencemar pada bahan pangan, air, dan
lingkungan hidup. Lebih jauh residu yang ditinggalkan dapat secara
langsung maupun tidak langsung sampai ke manusia.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil adalah : 


a. Hasil panen utama di Denpasar adalah tanaman jagung disusul dengan
tanaman kacang lalu tanaman ketela ungu. Hasil panen pada tanaman
jagung menunjukkan hasil minimum yaitu sebesar 19110 kg/Ha, hasil
maksimum yaitu sebesar 7468 Kg/Ha, hasil rerataan yaitu 4663 kg/ Ha dan
simpangan baku sebesar 1219, 8 Kg/ Ha. Tanaman Kedua yaitu tanaman
kacang memiliki hasil panen minimum yaitu sebesar 758 Kg/Ha, hasil
maksimal sebesar 2244 Kg/ Ha, hasil rerataan 1645,1 Kg/Ha dan simpangan
baku sebesar 317 Kg/Ha. Dan pada tanaman ketiga yaitu tanaman Ketela
Ungu. Ketela ungu memiliki hasil panen minimum 607 Kg/Ha dan hasil
maksimum sebesar 1393 Kg/Ha, hasil rerataan sebesar 864,1 Kg dan
simpangan baku sebesar 200,3 Kg/Ha. Hal ini dapat disebabkan karena
iklim yang ada di daerah tersebut sangat cocok untuk ditanami tanaman
jagung. Sedangkan untuk tanaman selingan adalah tanaman kacang dan
ketela ungu yang dimana hal ini menunjukkan adanya perlakuan sistem
rotasi tanaman. Rotasi tanaman dimaksudkan untuk menjaga kualitas lahan
akan dapat digunakan secara berkelanjutan.
b. Hasil data tersebut terlihat bahwa ketiga tanaman mengalami penurunan
hasil panen pada periode tertentu. Hal ini dapat disebabkan karena faktor
iklim yang pada saat itu , adanya serangan hama penyakit pada tanaman,
ataupun penggunaan pestisida yang berlebihan oleh para petani yang dapat
menurunkan kualitas lahan.
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Haryanto. 2013. Budidaya Jagung Organik Varietas Baru Yang Kian
di Buru. Pustaka Baru Putra. Yogyakarta. 206 hal.

Chen S, Zheng X, Wang D, Chen L, Xu C, Zhang X. 2012. Effect of long-term


paddy-uppland yearly rotations on rice (Oryza sativa) yield, soil properties,
and bacteria community diversity. The Scientific World Journal 2012: 1 –
11

Christensen H, Becheva S, Meredith S, Ulmer K. 2012. Crop Rotation:


Benefiting Farmers, The Environment and The Economy.

Govaerts, B., M. Mezzalama, K. D. Sayre, J.Crossa, K. Lichter, V. Troch, K.


Vanherck, P. D. Corte, dan J. Deckers. 2008. Longterm consequences of
tillage, residue management, and crop rotation on selected soil microflora
groups in the subtropical highlands. Applied Soil Ecology 38: 197-210.

Hadisuwito, S. 2008. Membuat Pupuk Kompos Cair. PT. Agromedia Pustaka.


Jakarta.

Irfan, M. 1999. Respons tanaman jagung (Zea mays L.) terhadap pengelolaan
tanah dan kerapatan tanam pada tanah Andisol. Tesis Program Pasca
Sarjana USU, Medan. p. 13-74.

Katsvairo, T., W.J. Cox and H. van Es. 2002. Tillage and rotation effects on soil
physical characteristics. Agron. J.94:299-304

Miskiyah dan S.J. Munarso. 2009. Kontaminasi Residu Pestisida pada Cabai
Merah, Selada, dan Bawang Merah (Studi Kasus di Bandungan dan Brebes
Jawa Tengah serta Cianjur Jawa Barat). Jurnal Hortikultura. Vol 19 No 1.
Halaman 101-111.

Rinaldi, dkk. 2009. Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Jagung (Zea Mays L.)
Yang Ditumpangsarikan Dengan Kedelai (Glycine Max L.). Fakultas
Pertanian Jurusan Agroteknologi Universitas Taman siswa, Padang.
Suprapto. 1999. Budidaya Jagung. Penebar Swadaya. Jakarta
Thornton, PK, Hoogenboom, G., Wilkens, PW dan Bowen, WT. 1995. Komputer
Program Untuk Menganalisis Keluaran Model Tanaman Beberapa Musim.
Jurnal Agronomi 87(1), 131-6

Tsuji, GY., Hoogenboom, G dan Thornton, PK,. 1998. Memahami Opsi Untuk
Produksi Agrikultur. Kluwer Academic Publisher. Dordrecht. Belanda

Wakman, W., Pakki, S., & Kontong, S. 2007. Evaluasi ketahanan varietas/galur
jagung terhadap penyakit bulai. Laporan Tahunan Kelompok Peneliti Hama
dan Penyakit. Balitsereal, Maros, 121

Yousaf, M., Jifu, L., Jianwei, L., Teo, R., Rihuan, C., Shah, F., dan Xiaoku, L.
2017. Effects of Fertilization on Crop Production and Nutrient-Supplying
Capacity Under Rice-Oilseed Rape Rotation System. Scientific reports.
7(1270): 1-9.
MATERI X

PEST AND DESEASE DAMAGE MODULE


BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Organisme Pengganggu Tanaman (OPT)


Organisme pengganggu tanaman (OPT) adalah setiap organisme yang
dapat mengganggu pertumbuhan dan atau perkembangan tanaman sehingga
tanaman menjadi rusak, pertumbuhannya terhambat, dan atau mati. UU No. 12
tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman menyatakan bahwa “Organisme
Pengganggu Tanaman (OPT) adalah “Semua Organisme yang dapat merusak,
mengganggu kehidupan atau menyebabkan kematian tumbuhan”(Sembel,
2012).
Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) merupakan salah satu faktor
pembatas penting dalam upaya peningkatan produksi sayuran. Serangan OPT
terjadi di semua tahap pengelolaan agribisnis sayuran dimulai dari sebelum
masa tanam, di pertanaman, sampai penyimpanan dan pengangkutan produk.
Masyarakat sudah tidak asing dengan nama-nama OPT sayuran, seperti ulat
daun kubis, lalat pengorok daun, kutu daun, penyakit hawar daun, penyakit
layu bakteri, penyakit bengkak akar, nematoda sista kentang (NSK) dan masih
banyak lagi. Kehilangan hasil tanaman sayuran akibat serangan OPT di
pertanaman diperkirakan mencapai 25-100% dari potensi hasil. Di samping
sangat menurunkan kuantitas produksi, serangan OPT juga dapat menurunkan
kualitas dan harga produk, serta daya saing produk di pasar. Secara ekonomis
kerugian tersebut mencapai miliaran rupiah setiap tahun (Setiawati et al.,
2008).
1.2 Fungisida

Fungisida adalah senyawa kimia beracun untuk memberantas dan


mencegah perkembangan fungi/ jamur. Penggunaan fungisida adalah termasuk
dalam pengendalian secara chemis (kimia). Adapun keuntungan yang diperoleh
adalah: mudah diaplikasikan, memerlukan sedikit tenaga kerja, penggunaanya
praktis, jenis dan ragamnya bervariasi, hasil pengendalian tuntas
(Djojosumarto, 2000). Menurut cara kerjanya di dalam tubuh tanaman sasaran
yang diaplikasi fungisida dibagi menjadi 3. Pertama fungisida sistematik yaitu
fungisida yang diabsorpsi oleh organ-organ tanaman dan ditranslokasikan
kebagian tanaman lainnya lewat aliran cairan tanaman. Kedua fungisida
nonsistematik yaitu fungisida yang tidak dapat diserap oleh jaringan tanaman,
yaitu fungisida ini hanya membentuk lapisan penghalang di permukaan daun
tanaman sehingga perkecambahan spora dan miselia jamur menjadi terhambat.
Ketiga fungisida sistem lokal yaitu fungisida yang diabsorpsi oleh jaringan
tanaman tetapi tidak ditransformasikan ke bagian tanaman lainnya. Pada
fungisida, terutama fungisida sistematik dan nonsistematik, pembagian ini erat
hubungannya dengan sifat dan aktivitas fungisida terhadap jasad sasarannya
(Djojosumarto, 2000).

1.3 Tanaman Jagung

Jagung merupakan salah satu pangan dunia yang terpenting selain


gandum dan padi. Sebagai sumber karbohidrat utama di Amerika Tengah dan
Selatan, jagung juga menjadi alternatif sumber pangan di Amerika Serikat.
Penduduk beberapa daerah di Indonesia juga menggunakan jagung sebagai
bahan pangan yang penting. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga
ditanam (Suprapto, 1999). Tanaman jagung berasal dari daerah tropis. Iklim
yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah-daerah
beriklim sedang hingga daerah beriklim sub tropis atau tropis basah. Jagung
ditanam di awal musim hujan atau menjelang musim kemarau. Tanaman
jagung menghendaki suhu antara 21-34 derajat C, namun idelanya tanaman ini
dapat tumbuh pada suhu 23-27 derajat C, sedangkan pada proses
perkecambahan benih jagung memerlukan suhu sekitar 30 derajat C (Budiman,
2013).

1.4 Morfologi Tanaman Jagung

Tanaman jagung (Zea Mays L.) merupakan salah satu jenis tanaman
pangan biji-bijian dari keluarga rumput-rumputan. Tanaman ini merupakan
salah satu tanaman pangan yang penting, selain gandum dan padi. Tanaman
jagung berasal dari Amerika yang tersebar ke Asia dan Afrika, melalui
kegiatan bisnis orang Eropa ke Amerika. Pada abad ke-16 orang portugal
menyerbarluaskannya ke Asia termasuk Indonesia. Jagung oleh orang Belanda
dinamakan main dan oleh orang Inggris. Secara umum, jagung memiliki
kandungan gizi dan vitamin. Di antaranya kalori, protein, lemak, karbohidrat,
kalsium, dan mengandung banyak vitamin.

Kingdom : Plantae

Divisio : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotiledon

Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Zea

Spesies : Zea mays L .

Secara morfologi bagian-bagain tanaman jagung adalah Akar-Akar jagung


tergolong akar serabut yang dapat mencapai kedalaman 8 m meskipun sebagian
besar berada pada kisaran 2 m. Pada tanaman yang sudah cukup dewasa
muncul akar adventif dari buku-buku batang bagian bawah yang membantu
menyangga tegaknya tanaman

Batang jagung Batang jagung tegak dan mudah terlihat, sebagaimana


sorgum dan tebu, namun tidak seperti padi atau gandum. Terdapat mutan yang
batangnya tidak tumbuh pesat sehingga tanaman berbentuk roset. Batang
beruas-ruas. Ruas terbungkus pelepah daun yang muncul dari buku. Batang
jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin (Irfan, 1999).

Daun Daun jagung adalah daun sempurna. Bentuknya memanjang. Antara


pelepah dan helai daun terdapat ligula. Tulang daun sejajar dengan ibu tulang
daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut. Stomata pada
daun jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki familia Poaceae. Setiap
stomata dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan
penting dalam respon tanaman menanggapi defisit air pada selsel daun.

Bunga Jagung memiliki bunga jantandan bunga betina yang terpisah (diklin)
dalam satu tanaman (monoecious). Tiap kuntum bunga memiliki struktur khas
bunga dari suku Poaceae, yang disebut floret. Pada jagung, dua floret dibatasi
oleh sepasang glumae (tunggal: gluma). Bunga jantan tumbuh di bagian
puncak tanaman, berupa karangan bunga (inflorescence). Serbuk sari berwarna
kuning dan beraroma khas. Bunga betina tersusun dalam tongkol.

Tongkol Tongkol tumbuh dari buku, di antara batang dan pelepah daun.
Pada umumnya, satu tanaman hanya dapat menghasilkan satu tongkol
produktif meskipun memiliki sejumlah bunga betina. Buah Jagung siap panen
Beberapa varietas unggul dapat menghasilkan lebih dari satu tongkol produktif,
dan disebut sebagai varietas prolifik. Bunga jantan jagung cenderung siap
untuk penyerbukan 2-5 hari lebih dini daripada bunga betinanya protandri.

Syarat tumbuh tanaman jagung Iklim-Iklim sedang hingga daerah beriklim


basah. Pada lahan tidak beririgasi, curah hujan ideal 85-200 mm/bulan dan
harus merata. Sinar matahari cukup dan tidak ternaungi Suhu 21-34ºC,
optimum 23-27ºC. Perkecambahan benih memerlukan suhu ± 30ºC. Tanah
Tanah gembur, subur dan kaya humus. Jenis tanah: andosol, latosol, grumosol,
dan tanah berpasir. Tanah grumosol memerlukan pengolahan tanah yang baik.
Tanah terbaik bertekstur lempung/liat berdebu. pH tanah 5,6 – 7,5. Aerasi dan
ketersediaan air dalam kondisi baik. Kemiringan ≤ 8%, lahan miring > 8%,
perlu di teras. Tinggi tempat 1.000-1800 m dpl, optimum 0-600 m dpl

1.5 Pertumbuhan dan perkembangan jagung

Secara umum jagung mempunyai pola pertumbuhan yang sama, namun


interval waktu antar tahap pertumbuhan dan jumlah daun yang berkembang
dapat berbeda. Pertumbuhan jagung dapat dikelompokkan ke dalam tiga tahap
yaitu:
7. Fase perkecambahan, saat proses imbibisi air yang ditandai dengan
pembengkakan biji sampai dengan sebelum munculnya daun pertama;
8. Fase pertumbuhan vegetatif, yaitu fase mulai munculnya daun pertama
yang terbuka sempurna sampai tasseling dan sebelum keluarnya bunga betina
(silking), fase ini di identifiksi dengan jumlah daun yang terbentuk;
9. Fase reproduktif, yaitu fase pertumbuhan setelah silking sampai masak
fisiologis.

Perbaikan sifat tanaman jagung dapat dilakukan melalui modifikasi


genetik, baik dengan pemuliaan tanaman secara konvensional maupun dengan
bioteknologi, khususnya melalui rekayasa genetik. Kadang kala, dalam
perakitan varietas jagung tahan serangga hama, pemulia konvensional
menghadapi kendala yang sulit dipecahkan, yaitu langkanya atau tidak adanya
sumber gen ketahanan di dalam koleksi plasma nutfah jagung (Rinaldi, 2009).

Tanaman jagung umur 18 sampai 35 hari, bahwa perkembangan akar dan


penyebarannya di tanah sangat cepat dan pemanjangan batang meningkat
dengan cepat. Tanaman mulai menyerap unsur hara dalam jumlah banyak. Hal
lain yang perlu diperhatikan dalam pola tumpangsari adalah waktu tanam,
karena waktu tanam berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan
vegetatif yang lebih cepat dan dominan menguasai ruang maka akan lebih
mampu berkompetisi dalam memperebutkan air, unsur hara dan cahaya
dibandingkan dengan pertumbuhan vegetatifnya yang lambat, akhirnya akan
mempengaruhi produksi. Pertumbuhan vegetatif jagung yang lebih cepat dan
dominan di atas tanah (Rinaldi, 2009).

1.6 Pemupukan
Pemupukan merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mencukupi
kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, supaya tanaman dapat
tumbuh dan berkembang dengan baik sehingga menghasilkan produksi dan
mutu hasil dari tanaman dapat maksimal, dengan cara memberikan subuah
pupuk melalui daun (disemprotkan pada daun) dan akar (dibenamkan ke dalam
tanah), baik pupuk organik maupun anorganik. Besar pupuk yang diberikan
ditentukan berdasarkan kadar unsur hara yang dibutuhkan oleh masing-masing
tumbuhan, karena jika pemberian pupuk terlalu banyak atau terlalu sedikit juga
kurang dapat memaksilkan pertumbuhan atau malah dapat mengakibatkan
tanaman menjadi mati (Yousaf, 2017).
BAB II

HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Cumulative leaf area consumed

Gambar 2.1 Cumulative leaf area consumed


Gambar tersebut merupakan hasil dari praktikum serangan hama dan
penyakit pada tanaman jagung. Metode penanaman yang dilakukan yaitu dry
seed dengan menggunakan jarak tanam 60 cm dengan kedalaman 5 cm.
Pemupukan yang dipakai 2 jenis yakni pupuk organik dan anorganik.
Pemupukan anorganik menggunakan jenis urea dengan kedalaman 5 cm.
Pemberian pupuk urea dilakukan sebanyak 2 kali. Pupuk organik yang
digunakan adalah pupuk kompos jenis generic crop residu dengan jumlah
1000 kg/ha. Dalam pemakaian pestisida diazonin dan basudin
pengaplikasiannya secara foliar spray dengan kedalaman 1 cm dan sebanyak
10 kg/ha. Daerah Denpasar merupakan daerah yang optimum untuk
pertumbuhan tanaman jagung. Oleh karena itu sangat berguna sekali untuk
mengatur penanganan hama dan penyakit pada tanaman jagung. Jagung
memiliki pertumbuhan yang optimal di penyinaran matahari yang penuh. Di
tempat-tempat yang teduh pertumbuhan jagung akan merana dan tidak
mampu membentuk buah. Di Indonesia suhu semacam ini terdapat di daerah
dengan ketinggian antara 0 - 600 m dpl dan curah hujan optimal yang
dihendaki antara 85 - 100 mm per bulan merata sepanjang pertumbuhan
tanaman (Wakman dan Burhanuddin, 2007). Berdasarkan data hasil komulatif
area kerusakan pada daun akibat serangan ulat grayak tanpa adanya
pengendalian menggunakan pestisida ditunjukkan dengan garis merah yang
dimana pada hari ke 19 dengan angka 0,1 sampai hari ke 103 dengan
mencapai angka 0,8. Hal ini menandakan bahwa kerusakan akibat dai
serangan hama dan penyakit pada bagian daun di tanaman yang tidak
menggunakan pengendalian hama atau penyakit terus meningkat setiap
harinya. Sedangkan, hasil komulatif pada tanaman yang menggunakan
pestisida ditunjukkan dengan grafik bergaris merah muda yang dimana pada
hari ke 22 sampai hari ke 103 hanya menunjukkan peningkatan sebesar 0,2.
Dengan demikian perlakuan penangan dengan penggunaan pestisida sangat
penting dilakukan.
2.2 Cumulative leaf mass consumed

Gambar 2.2 Cumulative leaf mass consumed

Gambar tersebut merupakan hasil dari praktikum serangan hama dan


penyakit pada tanaman jagung. Metode penanaman yang dilakukan yaitu dry
seed dengan menggunakan jarak tanam 60 cm dengan kedalaman 5 cm.
Pemupukan yang dipakai 2 jenis yakni pupuk organik dan anorganik.
Pemupukan anorganik menggunakan jenis urea dengan kedalaman 5 cm.
Pemberian pupuk urea dilakukan sebanyak 2 kali. Pupuk organik yang
digunakan adalah pupuk kompos jenis generic crop residu dengan jumlah
1000 kg/ha. Dalam pemakaian pestisida diazonin dan basudin
pengaplikasiannya secara foliar spray dengan kedalaman 1 cm dan sebanyak
10 kg/ha. Berdasarkan grafik diatas menunjukkan adanya pengaruh serangan
ulat grayak terhadap berat daun dengan adanya perlakuan pemberian pestisida
dan tidak adanya perlakuan pemberian pestisida pada tanaman. Tanaman
yang diberi pestisida menunjukkan hasil yang baik dengan grafik yang
ditunjukkan adanya garis merah muda dimana hari ke 15 mencapai angka 2
dan di hari 103 hanya mencapai angka 136 sangat berbanding jauh dengan
tanaman yang diberi perlakuan tanaman tanpa menggunakan pestisida yang
pada hari 103 sudah mencapi angka 430. Hal ini mengakibat pengurangan
massa daun secara masal.
2.3 Cumulative stem mass consumed

Gambar 2.3 Cumulative stem mass consumed


Gambar tersebut merupakan hasil dari praktikum serangan hama dan
penyakit pada tanaman jagung. Metode penanaman yang dilakukan yaitu dry
seed dengan menggunakan jarak tanam 60 cm dengan kedalaman 5 cm.
Pemupukan yang dipakai 2 jenis yakni pupuk organik dan anorganik.
Pemupukan anorganik menggunakan jenis urea dengan kedalaman 5 cm.
Pemberian pupuk urea dilakukan sebanyak 2 kali. Pupuk organik yang
digunakan adalah pupuk kompos jenis generic crop residu dengan jumlah
1000 kg/ha. Dalam pemakaian pestisida diazonin dan basudin
pengaplikasiannya secara foliar spray dengan kedalaman 1 cm dan sebanyak
10 kg/ha. Dalam pemakaian pestisida Furadan pengaplikasiannya secara
foliar spray dengan kedalaman 1 cm dan besaran yang dipakai 14 kg/ha.
Berdasarkan hasil yang didapatkan menujukkan penggunaan pestisida furadan
dinilai sangat efektif pada hama Pyrasauta Nubilasis. Hal ini dikarenakan
adanya perbandingan pada tanaman tanpa menggunakan pestisida dengan
kerusakan pada masa batang sebesar 15% dengan yang menggunakan furadan
dihari ke-47 terjadi selisih yang cukup besar dapat dikatakan 2 kali lipat
tanaman dengan pestisida furadan. Hal ini sesuai Indraningsih (2008)
toksisitas karbofuran bersifat reversibel, hambatan langsung terhadap
aktivitas kholinesterase melalui karbomoylasi dari gugus ester enzim tersebut.
Akumulasi asetilkholin pada simpul saraf simpangan (junction) myoneural
menimbulkan efek keracunan. Enzim karbomoyl mengalami reaktivasi secara
spontan dan cepat.Karbofuran dan metabolit ester bersifat aktif. Karbofuran
( 2 , 3 – dihydro - 2 , 2 - dimethyl - 7 – benzo - furanyl methylcarbamate)
adalah pestisida dari golongan karbamat yang berspektrum luas untuk
pengendalian hama pada tanaman padi, jagung, jeruk, alfalfa, dan tembakau.
2.4 Cumulative root mass consumed

Gambar 2.4 Cumulative root mass consumed


Gambar tersebut merupakan hasil dari praktikum serangan hama dan
penyakit pada tanaman jagung. Metode penanaman yang dilakukan yaitu dry
seed dengan menggunakan jarak tanam 60 cm dengan kedalaman 5 cm.
Pemupukan yang dipakai 2 jenis yakni pupuk organik dan anorganik.
Pemupukan anorganik menggunakan jenis urea dengan kedalaman 5 cm.
Pemberian pupuk urea dilakukan sebanyak 2 kali. Pupuk organik yang
digunakan adalah pupuk kompos jenis generic crop residu dengan jumlah
1000 kg/ha. Dalam pemakaian pestisida diazonin dan basudin
pengaplikasiannya secara foliar spray dengan kedalaman 1 cm dan sebanyak
10 kg/ha. Dalam pemakaian pestisida Zineb pengaplikasiannya secara foliar
spray dengan kedalaman 1 cm dan besaran yang dipakai 10 kg/ha.
Berdasarkan hasil kumulatif pada massa akar yang terserang penyakit pada
tanaman jagung yang ditanam pada lahan di Denpasar. Terlihat bahwa dari
dua perlakuan dimana yang pertama terjadi serangan penyakit Charcoal Rot
pada akar dengan memiliki intensitas serangan sebesar 10 % dan untuk
perlakuan kedua yaitu pengendalian serangan pada akar dengan
menggunakan fungisida Zineb dengan dosis 10 kg/ ha dengan metode
pemberian foliar spray. Hasil grafik tersebut menunjukkan pengendalian
serangan pada akar menggunakan fungisida Zineb dinilai tidak efektif. Hal
ini dikarenakan pada perlakuan tanpa pengendalian serangan penyakit pada
hari ke 6 dengan nilai yang terserang yaitu 2 dan pada perlakuan dengan
pengendalian serangan penyakit juga sama yakni pada hari ke 6 dengan nilai
2. Kemudian, pada perlakuan dengan tanpa pengendalian dan dengan
pengendalian meningkat seiring waktu dengan memiliki selisih nilai yang
tidak begitu jauh berbeda satu sama lain. Pada hari ke 40 tanaman yang diberi
perlakuan tanpa pengendalian serangan penyakit yang menyerang massa akar
senilai 55. Sedangkan, pada tanaman yang diberi perlakuan dengan
menggunakan pengendalian pada hari ke 51 senilai 61.
2.5 Cumulative root length consumed
Gambar 2.5 Cumulative root length consumed

Gambar tersebut merupakan hasil dari praktikum serangan hama dan


penyakit pada tanaman jagung. Metode penanaman yang dilakukan yaitu
dry seed dengan menggunakan jarak tanam 60 cm dengan kedalaman 5 cm.
Pemupukan yang dipakai 2 jenis yakni pupuk organik dan anorganik.
Pemupukan anorganik menggunakan jenis urea dengan kedalaman 5 cm.
Pemberian pupuk urea dilakukan sebanyak 2 kali. Pupuk organik yang
digunakan adalah pupuk kompos jenis generic crop residu dengan jumlah
1000 kg/ha. Dalam pemakaian pestisida Zineb pengaplikasiannya secara
foliar spray dengan kedalaman 1 cm dan besaran yang dipakai 10 kg/ha.
Hasil kumulatif panjang akar yang terserang penyakit pada tanaman jagung
yang ditanam pada lahan di Denpasar. Terlihat dua perlakuan dimana yang
pertama terjadi serangan penyakit Charcoal Rot pada akar dengan intensitas
serangan sebesar 10 % dan perlakuan kedua yaitu pengendalian serangan
pada akar dengan menggunakan fungisida Zineb dengan dosis 10 kg/ ha
dengan metode pemberian foliar spray. Hasil grafik diatas menunjukkan
tanaman yang diberi pengendalian serangan pada akar dengan menggunakan
fungisida Zineb dinilai tidak efektif untuk mengendalikan patogen yang
menyerang akar pada tanaman jagung. Hal ini dapat dilihat dari hasil
tanaman yang mengunakan pengendalian menggnakan fungisida zineb yang
dimana tidak menunjukkan hasil yang tidak jauh berbeda. Pada perlakuan
tanpa pengendalian penyakit menyerang pada hari ke 6 dengan nilai yang
terserang 0,4 dan pada perlakuan dengan pengendalian penyakit juga sama
menyerang pada hari ke 6 dengan nilai 0,4. Kemudian, pada tanaman
dengan perlakuan tanpa pengendalian dan dengan pengendalian meningkat
seiring waktu dengan selisih nilai yang tidak jauh berbeda satu sama lain.
Pada hari ke 40 perlakuan tanpa pengendalian serangan penyakit pada massa
akar senilai 7,5. Sedangkan pada perlakuan dengan pengendalian pada hari
ke 51 senilai 7,8.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

a. Penggunaan pestisida furadan dinilai sangat efektif pada hama Pyrasauta


Nubilasis. Hal ini dikarenakan adanya perbandingan pada tanaman tanpa
menggunakan pestisida dengan kerusakan pada masa batang sebesar 15%
dengan yang menggunakan furadan dihari ke-47 terjadi selisih yang
cukup besar dapat dikatakan 2 kali lipat tanaman dengan pestisida
furadan.
b. Pengendalian serangan pada akar menggunakan fungisida Zineb dinilai
tidak efektif. Hal ini dikarenakan terlhat tidak adanya perbedaan yang
signifikan antara tanaman yang diberi perlakuan dengan yang tidak diberi
perlakuan.
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Haryanto. 2013. Budidaya Jagung Organik Varietas Baru Yang Kian di
Buru. Pustaka Baru Putra. Yogyakarta. 206 hal.

Djojosumarto, P., 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Penerbit Kanisius.


Yogyakarta

Indraningsih. 2008. Pengaruh Penggunaan Insektisida Karbamat Terhadap


Kesehatan Ternak dan Produknya.Wartozoa.Vol. 18, No. 2, Hal.105-106

Irfan, M. 1999. Respons tanaman jagung (Zea mays L.) terhadap pengelolaan
tanah dan kerapatan tanam pada tanah Andisol. Tesis Program Pasca
Sarjana USU, Medan. p. 13-74.

Rinaldi, dkk. 2009. Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Jagung (Zea Mays L.)
Yang Ditumpangsarikan Dengan Kedelai (Glycine Max L.). Fakultas
Pertanian Jurusan Agroteknologi Universitas Taman siswa, Padang.

Suprapto. 1999. Budidaya Jagung. Penebar Swadaya. Jakarta


Setiawati, W., K. Udiarto, dan T.A. Soetiarso. 2008. Pengaruh varietas dan sistem
tanam cabai merah terhadap penekanan populasi hama kutu kebul. J. Hort.
18(1): 55-61.

Sembel, D. T., 2012. “Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman”, Fakultas Pertanian


UNSRAT Manado.

Wakman, W., Pakki, S., & Kontong, S. 2007. Evaluasi ketahanan varietas/galur
jagung terhadap penyakit bulai. Laporan Tahunan Kelompok Peneliti Hama
dan Penyakit. Balitsereal, Maros, 121.

Yousaf, M., Jifu, L., Jianwei, L., Teo, R., Rihuan, C., Shah, F., dan Xiaoku, L.
2017. Effects of Fertilization on Crop Production and Nutrient-Supplying
Capacity Under Rice-Oilseed Rape Rotation System. Scientific reports.
7(1270): 1-9.

Anda mungkin juga menyukai