Anda di halaman 1dari 26

PENGAWASAN/PENGENDALIAN VEKTOR

D
I
S
U

S
U

N
OLEH

Kelompok 3
Anggota:
1. Dina Pebriyanti
2. Widya Kusumawati
3. Kiki Amelia Juniarti

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BINA HUSADA PALEMBANG
2021

1
KATA
PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya,
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
"Pengawasan/Pengendalian Vektor" dengan tepat waktu.. Selain itu, makalah ini
bertujuan menambah wawasan tentang Masalah pengawasan/Pengendalian Vektor,
mulai dari pengertian dan penjelasan secara rinci sehingga dapat memberi ilmu
lebih kepada pembaca dan Kelompok 3.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak WELLY SUWANDI SKM,


M.Kes selaku dosen dalam Mata Kuliah Kesling Tempat Umum. Ucapan terima
kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu diselesaikannya
makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab
itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.

Indralaya, 15 Desember 2021

Kelompok 3

2
Daftar isi
Kata pengantar
……………………………………………………………………………….2
Daftar isi
…………………………………………………………………………………….....3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................4
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................................................... 6
2.1 Pengertian...................................................................................................................6
2.2 Syarat Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu.......................................6
2.3 Penyakit Tular Vektor.............................................................................................. 7
2.4 Metodologi Pengendalian Vektor dan Tikus...........................................................7
2.4.1 Metode Kimia.......................................................................................................7
2.4.2 Metode Fisika-Mekanika......................................................................................7
2.4.3 Metode fisiologi................................................................................................... 8
2.4.4 Metode pengaturan tata tanaman..........................................................................8
2.4.5 Metode biologi..................................................................................................... 8
2.4.6 Metode menganggu keseimbangan Genetik.........................................................8
2.5 Pengaplikasian Metode Pengendalian Vektor dan Penyakit.................................9
2.5.1 Pengendalian Nyamuk............................................................................................... 9
2.5.2 Metode Pengendalian Lalat................................................................................ 12
2.5.3 Metode Pengendalian Pinjal...............................................................................15
2.5.4 Metode Pengendalian Kutu Manusia.................................................................16
2.5.5 Metode Pengendalian Kutu Busuk.....................................................................17
2.5.6 Metode Pengendalian Kecoa.............................................................................19
2.5.7 Metode Pengendalian Tikus...............................................................................19
BAB III PENUTUP................................................................................................................ 20
3.1 Kesimpulan..............................................................................................................26
3.2 Saran.........................................................................................................................26

3
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit yang ditularkan melalui vektor masih menjadi penyakit endemis yang
dapat menimbulkan wabah atau kejadian luar biasa serta dapat menimbulkan gangguan
kesehatan masyarakat sehingga perlu dilakukan upaya pengendalian atas penyebaran
vektor.
Upaya pengendalian vektor lebih dititikberatkan pada kebijakan pengendalian
vektor terpadu melalui suatu pendekatan pengendalian vektor dengan menggunakan
satu atau kombinasi beberapa metode pengendalian vektor. Upaya penyelenggaraan
pengendalian vektor dapat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
pihak swasta dengan menggunakan metode pendekatan pengendalian vektor terpadu
(PVT). Upaya pengendalian vektor secara terpadu (PVT) merupakan pendekatan
pengendalian vektor yang dilakukan berdasarkan pertimbangan keamanan, rasionalitas
dan efektivitas pelaksanaannya serta berkesinambungan. Upaya pengendalian vektor
dilaksanakan berdasarkan data hasil kajian surveilans epidemiologi antara lain
informasi tentang vektor dan dinamika penularan penyakit tular vektor.
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara
fisik atau mekanis, penggunaan agen biotik, kimiawi, baik terhadap vektor maupun
tempat perkembangbiakannya dan/atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat
mempertahankan dan mengembangkan kearifan local sebagai alternatif.
Tujuan upaya pengendalian vektor adalah untuk mencegah atau membatasi
terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah, sehingga penyakit tersebut
dapat dicegah dan dikendalikan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan vektor, pengawasan vektor dan pengendalian vektor
terpadu?
2. Bagaimana syarat dalam pengendalian vektor?
3. Penyakit apa yang ditularkan oleh vektor?
4. Metode yang dapat mengendalikan vektor?
5. Bagaimana pengaplikasian dari metode pengendalian vektor?

4
1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui maksud dari vektor, pengawasa vektor dan pengendalian vektor


terpadu

2. Mengetahui syarat dari pengendalian vektor

3. Mengetahui macam penyakit yang dapat ditularkan oleh vektor

4. Mengetahui berbagai metode yang dapat digunakan dalam pengendalian vektor

5. Mengetahui cara pengaplikasian dari metode pengendalian vektor terhadap vektor


penular penyakit

BAB II
PEMBAHASAN
5
2.1 Pengertian
Beberapa pengertian yang dijelaskan menurut Peraturan Menteri
Kesehatan No. 374 Tahun 2010 Tentang Pengendalian Vektor bahwa:
a. Vektor adalah artropoda yang dapat menularkan,memindahkah dan/atau
menjadi sumber penular penyakit terhadap manusia.
b. Pengendalian vektor adalah semua kegiatan atau tindakan yang ditujukan untuk
menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga keberadaannya tidak
lagi berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah
atau menghindari kontak masyarakat dengan vektor sehingga penularan
penyakit tular vektor dapat dicegah.
c. Pengendalian Vektor Terpadu (PVT) merupakan pendekatan yang
menggunakan kombinasi beberapa metode pengendalian vektor yang dilakukan
berdasarkan azas keamanan, rasionalitas dan efektifitas pelaksanaannya serta
dengan mempertimbangkan kelestarian keberhasilannya.

2.2 Syarat Pengendalian Vektor dan Binatang Pengganggu


Syarat pendendalian vektor dan binatang pengganggu biasa disingkat
dengan R E S A A yang memiliki kepanjangan dari :
R = RASIONAL (berdasarkan data ilmiah)
E = EFFEKTIF (berdaya guna)
S = SUSTAINABLE (berkesinambungan)
A = ACCEPTABLE (dapat diterima)
A = AFFORDABLE (mudah dilakukan dan terjangkau secara tehnis dan finansial)

2.3 Penyakit Tular Vektor


Beberapa penyakit yang dapat ditularkan melalui vektor yaitu:
1. Penyakit malaria, merupakan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Anopheles
2. Penyakit DBD, yaitu penyakit yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti
3. Chikungunya, penyakit dari virus yang ditularkan oleh nyamuk Aedes aegypti atau
Aedes albopictus
4. Japanese B Encephalitis (radang otak), penyakit yang disebabkan oleh enterovirus
yang ditularkan oleh vektor arthropoda yaitu nyamuk dank utu
6
5. Plaque (pes/samar), penyakit yang ditularkan oleh tikus melalui perantara pinjal
6. Filariasis Limfatik (kaki gajah), penyakit yang ditularkan melalui berbagai nyamuk
yang terinfeksi cacing fillaria setelah menggigit penderita kemudian nyamuk
tersebut menyebarkan kembali ke manusia lain yang sehat melalui gigitannya.
7. Yellow Fever (demam kuning),

2.4 Metodologi Pengendalian Vektor dan Tikus


Dewasa ini ada beberapa metode yang lazim diterapkan untuk
mengendalikan vektor dan tikus, diantaranya :
2.4.1 Metode Kimia
Cara kimia ini lebih lazim disebut sebagai pegendalian menggunakan
pestisida. Penggunaan pestisida untuk mengendalikan vektor dan binatang
pengganggu memang sangat efektif, namun sebenarnya dapat juga menimbulkan
masalah yang serius bagi manusia dan lingkungannya.

2.4.2 Metode Fisika-Mekanika


Pengedalian vektor dan binatang pengganggu secara fisika-mekanika ini
menitikberatkan usahanya pada penggunaan dan pemanfaatan factor-faktor iklim,
kelembaban, suhu, dan cara-cara mekanis. Termasuk dalam cara pengendalian ini
adalah :
a. Pemasangan perangkap (tikus, burung, dan lain-lain)
b. Pemasangan jarring untuk mencegah masuknya tikus, serangga, dan lain-lain
c. Pemanfaatan sinar/cahaya untuk menarik dan atau menolak vektor dan binatang
penggganggu (to attract and to repel)
d. Pemanfaatan kondisi panas atau dingin untuk membunuh vektor dan binatang
pengganggu
e. Pemanfaatan suara untuk menolak atau menarik vektor dan binatang
pengganggu
f. Melakukan pembunuhan vektor dan binatang pengganggu dengan cara
memukul, memijit, atau menginjaknya
g. Pembalikan tanah sebelum penanaman dimulai
h. Pemanfaatan arus listrik untuk membunuh vektor dan binatang pengganggu
dikawasan perumahan
7
2.4.3 Metode fisiologi
Yang dimaksud dengan pengendalian cara fisiologi adalah suatu cara
pengendalian vektor dan binatang penggangu dengan memanipulasi bahan-bahan
penarik atau penolak vektor dan binatang pengganggu. Disampping itu juga
dipergunakan hormon dengan tujuan yang sama dalam pengedalian secara
fisiologi ini.

2.4.4 Metode pengaturan tata tanaman


Cara ini lazim digunakan dalam bidang pertanian. Penanaman padi, dan
palawija lainnya harus dikerjakan secara teratur. Dalam hal ini fakor-faktor yang
mempengaruhi tata tanaman anatara lain adalah waktu penanaman, perputaran
penanaman, cara-cara menanam dan tata dahan. Oleh karena itu petani yang
mengerjakan lahan untuk pertanan harus dapat mempergunakan cara-cara bertani
yang memenuhi persyaratan tata tanam tersebut.

2.4.5 Metode biologi


Pengendalian vektor dan binatang penganggu secara biologi dapat
dilakukan dengan cara memanfaatkan tumbuh-tumbuhan atau hewan, parasite,
predator maupun kuman pathogen terhadap vektor dan binatang pengganggu yang
menjadi sasaran. Cara ini akan berlangsung secara alamiah, karena kita hanya
mengusahakan musuh-musuh alamiahnya. Yang termasuk dalam cara ini adalah
pemeliharaan ikan pada bak-bak mandi untuk memberantas jentik-jentik nyamuk ,
ular yang memakan tikus , kecoak yang memangsa serangga dan lain-lain.

2.4.6 Metode menganggu keseimbangan Genetik


Cara pengendalian vektor dan binatang penganggu dengan metode ini
dimaksidkan untuk menguarangi populasi vektor dan binatang penganggu melalui
teknik-teknik pemandulan pada yang jantan (Sterila male techniques),
menggunakan bahan kimia penghambat pembiakan (Chemosterilsnt) dan
penghilangan (hybridization)
2.5 Pengaplikasian Metode Pengendalian Vektor dan Penyakit

8
2.5.1 Pengendalian Nyamuk
a. Pengendalian vektor Malaria
Apabila kita jabarkan maka pengendalian vektor malaria dapat kita
tujukan untuk pemutusan rantai penularan yaitu :
- Menghindari/mengurangi kontak/gigitan nyamuk Anopheles:
1. Dengan memasang kawat kassa pada setiap lubang-lubang pada rumah.
Jumlah lubang kawat kassa yang optimal: 14-16 per inchi (2,5 cm).
Bahan: Tembaga, alumunium, plastic.
2. Menggunakan kelambu sewaktu tidur, jumlah lubang per cm kelambu
sebaiknya 6-8 dengan diameter 1,2 -1,5 mm.
3. Memasang obat nyamuk. Hanya kelemahannya adalah timbulnya
iritasi/rangsangan pada orang yang sensitive.
4. Menggunakan zat penolak/repellent minyak sereh, kayu putih dapat bertahan
15-20 menit. Zat sintetik: 15 dolar, dimetil plat, dibutil plat dapat bertahan 2-
4 jam.

- Membunuh nyamuk dewasa


Secara genetic belum mendapatlan hasil sebagai yang banyak digunakan
insektisida dikenal beberapa istilah :
1. Penggunaan didalam rumah atau di luar rumah (indoor atau outdoor)
2. Aplikasi pada dinding rumah atau langsung ditujukan pada nyamuknya
(residual spraying atau knock down effect)
3. Penyemprotan atau pengabutan (spraying atau fogging/space spraying)
Residual spraying biasanya biasanya digunakan untuk residual sedangkan
malathion dan genitrotion untuk knock down efek (knock down effect)
Membunuh jentik nyamuk/kegiatan anti larva
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengendalikan larva nyamuk
Anopheles, yaitu :

1. Metode Kimiawi
Menggunakan larvasida (zat kimia yang dapat membunuh larva nyamuk).
Solar, minyak tanah, parisgreen, temephos, fention, altosid/development
inhibitor, dll. Kedalam larvasida dimasukkkan juga Bacillus thurigiensis H-
9
14 suatu toksin bakteri yang dapat membunuh larva oleh karena ia tidak
berkembang biak lagi pada setiap kali aplikasinya.
Dapat juga dilakukan herbisida yakni zat kimia yang mematikan tumbuh –
tumbuhan air yag digunakan sebagai tempat berlindung larva nyamuk.

Adapun keuntungan dan kerugian dari penggunaan larvasida yaitu:


 Keuntungan:
- Semua larva dari semua stadium dapat terbunuh
- Daerah yang disemprot larvasida terbatas pada tempat perindukan
(breeding places) Penggunaan insektisida untuk membunuh nyamuk
dewasa pada umumnya dilakukan di daerah yang lebih luas.

 Kerugian:
- Pengaruh larvasida bersifat sementara sehingga membutuhhkan
aplikasi ulangan.
- Beberapa larvasida mempunyai pengaruh yang tidak
menguntungkan terutama terhadap predator complex. Berkurangnya
populasi pemangsa larva menyebabkan tidak tercapainya
pemberantasan larva nyamuk secara biologic.

2. Metode Biologik
a. Menggunakan ikan pemakan larva nyamuk (larvivorous fish) seperti
gambusia, guppy, panchax-panchax/ikan kepala timah dan ikan mujair.
b. Protozoa (nozema), jamur coelomomyces dan berbagai jenis nematode
lain

Pemberantasan secara biologic adalah pengaturan populasi vektor oleh


musuh-musuhnya di alam. Adapun beberapa musuh vektor malaria yang
telah diselidiki,
1. Protozoa yaitu : Nosema algerae dan Vavcaica culicis
2. Vitus yaitu : Cytopasmic polyhedrosis, Nuclear polyhedrosis dan
iridescent viruses.
3. Fungi/jamur yaitu : Beauveria, Entromopthora, Metarhizium,
10
Coelomomyces, Culicinomyces dan Lagedinium spp.
4. Nematoda yaitu: Romanomermis culicivorax, Romanonermis iyengari
5. Bakteri: Bacillus sphaericus dan Bacillus thuringiensisserotipe H-14
6. Ikan misal: Poecilia retiulata, Gambusia affinis, Panchax-pan (kepala
timah), Cyrpinus carpio, Tillapia mossambica dan mojair.
7. Pemangsa larva: toxorynchites spp, Water beetles, hemipterans,
dragonflies, dan damselflies.

3. Metode Pengelolaan Lingkungan Hidup (Environmental management)


1. Pengubahan linkungan hidup ( environmental modification) sehingga
larva anopheles tidak mungkin hidup
2. “Manipulasi” lingkungan hidup (environmental manipulaton) sehingga
tidak mungkin larva anopheles berkembang dengan baik. Kegiatan ini
mencakup pengubahan kadar garam, pembersihan tanaman air atau
lumut, dan penanaman pohon bakau (mangroves) pada tempat
perindukan nyamuk sehingga tempat itu tidak mendapatkan sinar
matahari.
Cara yang banyak dilakukan di Indonesia adalah metode
kimiawi dengan speading agent yaitu zat kimia yang dapat mempercepat
penyebaran bahan aktif yang digunakan.

b. Pengendalian vektor DBD


Upaya pengelolaan lingkungan yang dapat diterapkan dalam rangka
mengendalikan populasi Ae. aegypti adalah :
1. Metode modifikasi lingkungan : Menurut Kusnoputranto (2000), modifikasi
lingkungan adalah suatu transformasi fisik permanen (jangka panjang) terhadap
tanah, air dan tumbuhtumbuhan untuk mencegah/menurunkan habitat jentik
tanpa mengakibatkan kerugian bagi manusia. Kegiatan-kegiatan yang dapat
dilakukan untuk modifikasi lingkungan antara lain : perbaikan persediaan air bersih,
tanki air atau reservoar di atas atau di bawah tanah dibuat anti nyamuk dan
pengubahan fisik habitat jentik yang tahan lama (WHO, 2001).
2. Metode manipulasi lingkungan : Menurut Kusnoputranto (2000), manipulasi
lingkungan adalah suatu pengkondisian sementara yang tidak menguntungkan
11
atau tidak cocok sebagai tempat berkembangbiak vektor penular
penyakit. Beberapa usaha yang memungkinkan dapat dilakukan antara
lain antara lain pemusnahan tempat perkembangbiakan vector, misalnya dengan 3
M plus.
3. Metode perubahan habitat atau perilaku manusia : Upaya untuk mengurangi
kontak antara manusia dengan vektor, misalnya pemakaian obat nyamuk bakar,
penolak serangga dan penggunaan kelambu (WHO, 2001).
4. Metode Biologi : Antara lain dengan menggunakan ikan pemakan jentik (ikan
cupang) dan penggunaan bakteri endotoxinseperti Bacillus
thuringiensis dan Bacillus sphaericus.
5. Metode Kimia : Antara lain dengan cara pengasapan (fogging)menggunakan
malathion sebagai upaya pemberantasan terhadap nyamuk dewasa dan
pemberantasan terhadap jentik dengan memberikan bubuk abate (abatisasi)
yang biasa digunakan yakni temephos (Depkes, 2004).

2.5.2 Metode Pengendalian Lalat


1. Kontrol manajemen
Penanganan feses dengan baik sehingga feses tetap kering merupakan teknik
pengendalian lalat yang paling efektif. Kita tahu, feses yang lembab menjadi tempat
perkembangbiakan lalat yang sangat baik (termasuk tempat perkembangbiakan bibit
penyakit). Dalam 0,45 kg feses yang lembab dapat dijadikan tempat berkembang biak
(melangsungkan siklus hidup) 1.000 ekor lalat. Feses yang baru dikeluarkan oleh ayam
yang memiliki kadar air sebesar 75-80% merupakan kondisi ideal bagi
perkembangbiakan lalat. Feses ini harus segera diturunkan kadar airnya menjadi 30%
atau kurang untuk mencegah perkembangbiakan lalat. Lakukan pembersihan feses
minimal 1 x seminggu sehingga dapat memutus siklus perkembangbiakan lalat. Hal ini
berdasarkan periode waktu lalat bertelur, yaitu setiap minggu (4-7 hari)
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menghambat perkembangbiakan lalat
ialah :
1. Membersihkan feses minimal setiap minggu sekali. Hal ini berdasarkan lama siklus
hidup lalat, dimana lalat bertelur setiap seminggu sekali
2. Berikan ransum dengan kandungan zat nutrisi yang sesuai, terutama kandungan
protein kasar dan garam. Ransum dengan kandungan protein kasar dan garam yang
tinggi dapat memicu ayam minum banyak sehingga feses menjadi encer (basah)

12
3. Jika perlu tambahkan batu kapur maupun abu pada litter sehingga dapat membantu
mengembalikan kemampuan tanah menyerap air
4. Hati-hati saat penggantian atau pengisian tempat minum. Jangan sampai air minum
tumpah. Selain itu perhatikan kondisi tempat minum atau paralon dan segera
perbaiki kondisi genting yang bocor
5. Jika feses akan disimpan, keringkan feses terlebih dahulu (kadar air < 30%) dengan
cara dijemur diterik matahari (jika memungkinkan). Feses yang disimpan dalam
kondisi lembab bisa mempercepat perkembangbiakan larva lalat
6. Perhatikan sistem sirkulasi udara (ventilasi). Kondisi ventilasi kandang yang baik
dapat mempercepat proses pengeringan feses
7. Lakukan perbaikan pada atap yang bocor
8. Pastikan intalasi saluran pembuangan air berfungsi baik, jangan biarkan air
mengendap

2. Metode biologi

Terdengar asing ditelinga kita dengan istilah ini. Memang, karena teknik ini
relatif jarang diaplikasikan peternak. Meskipun demikian, teknik ini terbukti ampuh
dalam mengendalikan populasi lalat. Terbukti, dari sepasang lalat dalam waktu 3-4 hari
tidak bisa menghasilkan lalat sebanyak 191,01 x 1018 ekor karena secara alami larva
lalat telah dibasmi oleh “lawan” lalat. Selain itu, penggunaan teknik ini akan menjaga
keseimbangan ekosistem kandang.

Parasit lalat biasanya membunuh lalat pada saat fase larva dan pupa. Spalangia
nigroaenea merupakan sejenis tawon (lebah penyengat) yang menjadi parasit bagi pupa
lalat. Mekanismenya ialah tawon dewasa bertelur pada pupa lalat, yaitu
dibagian puparium (selubung pupa) dan perkembangan dari telur tawon memangsa
pupa lalat (pupa lalat mati). Selain tawon, tungau (Macrochelis
muscaedomesticae danFuscuropoda vegetans) dan kumbang (Carnicops pumilio,
Gnathoncus nanus) juga merupakan “lawan” lalat.

Aplikasi dari teknik pengendalian lalat ini memerlukan suatu menajemen yang
relatif sulit. Siklus hidup hewan pemangsa lalat tersebut juga relatif lebih lama. Selain
itu, hewan pemangsa lalat ini dapat juga menjadi agen penularan penyakit. Meskipun
demikian, keseimbangan ekosistem akan tetap terjaga, terlebih lagi keberadaan lalat di
kandang juga membantu dalam proses dekomposisi (penguraian) feses atau sampah

13
organik lainnya sehingga baik jika digunakan sebagai pupuk kompos.

3. Metode mekanik

Teknik pengendalian lalat ini relatif banyak diaplikasikan oleh masyarakat pada
umumnya. Di pasaran, juga telah banyak dijual perangkat alat untuk membasmi lalat,
biasanya disebut sebagai perangkap lalat. Perangkap tersebut bekerja secara elektrikal
(aliran arus listrik) dan dilengkapi dengan bahan yang dapat menarik perhatian lalat
untuk mendekat. Perangkap lalat seringkali diletakkan di tengah kandang. Di tempat
penyimpanan telur sebaiknya juga diletakkan perangkap lalat ini.

Lalat tidak akan bergerak atau terbang melawan arus atau arah angin. Oleh
karenanya tempatkan fan atau kipas angin dengan arah aliran angin keluar kandang
atau ke arah pintu kandang. Penggunaan plastik yang berisi air (biasanya di warung
makan) juga bisa digunakan untuk mengusir lalat meskipun mekanisme kerjanya
belum diketahui. Teknik pengendalian lalat ini (kontrol mekanik) relatif kurang efektif
untuk diaplikasikan ji-ka populasi lalat banyak.

4. Metode kimiawi

Teknik pengendalian lalat ini, seringkali menjadi andalan bagi peternak. Sedikit
terlihat adanya peningkatan populasi lalat, peternak segera memberikan obat lalat.
Namun, saat populasi lalat tidak menurun meski telah diberikan obat lalat, maka
peternak akan langsung memberikan klaim maupun komplain ke produsen obat lalat
tersebut. Kasus ini relatif sering terjadi. Lalu bagian manakah yang kurang tepat?

Point dasar yang perlu kita pahami bersama, bahwa pemberian obat lalat (kontrol
kimiawi) bukan merupakan inti dari teknik pengendalian lalat, melainkan menjadi
penyempurna dari teknik pengendalian lalat melalui teknik sanitasi dan desinfeksi
kandang (teknik manajemen). Oleh karenanya, kita tidak bisa menggantungkan
pembasmian lalat hanya dari pemberian obat lalat dan teknik pemberian obat lalat juga

14
harus dilakukan dengan tepat.

Dari data yang kami peroleh, obat pembasmi lalat yang beredar di lapangan
(Indonesia) dapat diklasifikasikan (berdasarkan kerja obat lalat pada tahapan siklus
hidup lalat) menjadi 2 kelompok, yaitu obat lalat yang bekerja membunuh larva lalat
dan membasmi lalat dewasa. Agar daya kerja obat lalat bisa optimal, maka pemilihan
jenis obat harus disesuaikan dengan tahapan siklus hidup lalatnya. Jika tidak maka
daya kerja obat tidak akan optimal. Cyromazine merupakan zat aktif yang digunakan
untuk membunuh larva lalat sedangkan azamethiposdan cypermethrin merupakan zat
aktif yang bekerja membunuh lalat dewasa. Penggunaan cyromazine untuk membasmi
lalat dewasa tidak akan memberikan hasil yang optimal (lalat dewasa tidak bisa mati)
dan begitu juga sebaliknya (pemberian cypermethrin tidak akan bisa membunuh larva
lalat).

2.5.3 Metode Pengendalian Pinjal


Menurut Soviana dkk (2003) Pengendalian pinjal terbagi menjadi 2 cara yaitu :
1. Metode Mekanika-Fisika
Pengendalian pinjal secara mekanik atau fisik dilakukan dengan cara
membersihkan karpet, alas kandang, daerah di dalam rumah yang biasa
disinggahi tikus atau hewan lain dengan menggunakan vaccum cleaner
berkekuatan penuh, yang bertujuan untuk membersihkan telur, larva dan pupa
pinjal yang ada. Sedangkan tindakan fisik dilakukan dengan menjaga sanitasi
kandang dan lingkungan sekitar hewan piaraan, member nutrisi yang bergizi
tinggi untuk meningkatkan daya tahan hewan juga perlindungan dari kontak
hewan peliharaan dengan hewan liar atau tidak terawat lain di sekitarnya.
2. Metode Kimia
Pengendalian pinjal secara kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan
insektisida. Repelen seperti dietil toluamide (deet) atau benzilbenzoat bisa
melindungi orang dari gigitan pinjal. Sejauh ini resistensi terhadap insektisida
dari golongan organoklor, organofosfor, karbamat, piretrin, piretroid pada pinjal
telah dilaporkan di berbagai belahan dunia. Namun demikian insektisida masih
tetap menjadi alat utama dalam pengendalian pinjal, bahkan saat ini terdapat
kecenderungan meningkatnya penggunaan Insect Growth Regulator (IGR).

15
2.5.4 Metode Pengendalian Kutu Manusia
Penanganan kutu sangat tergantung dari kebersihan pribadi dan
menghindaripemakaian alat-alat yang memungkinkan terjadi penularan kutu
secara bersama, seperti sisir, topi, pakaian, dll.
Perawatan yang bisa dilakukan agar menjaga kepala atau tubuh dari kutu
antara lain :
1. Metode perawan secara kimia (Chemical treatments)
Dalam perawatan kutu secara kimia harus memperhatikan beberapa hal
sebagai berikut:
- Pastikan agar kepala yang dirawat benar-benar mempunyai kutu dan  jangan
dirawat jika tidak. Tidak ada perawatan pencegahan, jadi merawat
anggota  keluarga yang tidak mempunyai kutu tidak bermanfaat tetapi dapat
menyumbang pada masalah bertambahnya kekebalan kutu terhadap
perawatan kimia.
- Bayi di bawah usia dua belas bulan, wanita yang hamil atau menyusui, atau
orang yang mempunyai kulit kepala yang terganggu atau mengalami
peradangan tidak harus dirawat. Konsultasikanlah dengan ahli kesehatan
untuk  meminta nasihat.
- Jangan biarkan bahan kimia masuk ke dalam mata.
- Banyak produk berbau kuat. Bahan berbau kuat yang dibiarkan pada rambut
untuk waktu yang lama mungkin mengganggu anak.
- Sewaktu melakukan perawatan kutu, pastikan agar membaca label terlebih
dahulu dan menggunakannya sebagaimana yang diarahkan saja.
- Jangan gunakan insektisida, alkohol atau minyak tanah pada kepala anak.
- Jangan keringkan rambut dengan alat pengering setelah perawatan.
- Jangan cuci rambut lagi selama 1-2 hari setelah perawatan.
- Bubuh produk pada setiap helai rambut dan urut, biarkan selama 20 menit,
dan sisir dengan sisir kutu yang berkualitas tinggi, dan bersihkan produk
pada serbet kertas.
- Jika ada kutu mati yang ditemui, maka produk telah berhasil. Namun,
penting diingat bahwa karena tidak ada produk yang terbukti dapat
membunuh telur, segala perawatan kimia harus dibubuh kembali tujuh hari
kemudian untuk membunuh segala kutu yang mungkin menetas sejak
16
perawatan pertama.
- Jika Anda menemui kutu hidup, mungkin sekali perawatan tidak berhasil.
Gunakan produk lain dengan bahan aktif yang berlainan (baca label) atau
cobalah metode sisir dan kondisioner.

2. Metode sisir dan kondisioner (Comb and conditioner method) Kutu


bernapas melalui lubang kecil sepanjang perutnya. Dengan menyaluti
rambut dan makanya menyaluti kutu dengan bahan yang pekat dan
berminyak, ubang ini tutup,dan kutu tidak dapat bernapas selama kira-kira
20 menit. Walaupun sayangnya kutu tidak mati dengan metode ini,
akibatnya kutu lebih lamban dan lebihmudah ditangkap. Nitbusting
merupakan metode yang menggunakan sisir dan kondisioner (atau bahan
lain yang berminyak) untuk merawat kutu. Penggunaan metode ini tidak
akan membunuh kutu atau telur tetapi siri kutu yang berkualitas tinggi akan
mengangkat kutu.

2.5.5 Metode Pengendalian Kutu Busuk


Cara pengendalian yang paling penting adalah menjaga kebersihan
lingkungandengan memelihara kebersihan tempat tinggal. Kutu busuk dapat
berpindah dengan mudah tanpa diketahui dari satu tempat ke tempat lainnya,
terutama melalui telur yang menempel di pakaian, sprei, koper, barang-barang
bekas, dan lain sebagainya.
1.      Secara teknis :
Bila ditemukan masalah kutu busuk sebelum dilakukan pemeriksaan oleh ahli dan
belum dilakukan upaya pengendalian, maka yang harus dilakukan adalah :
- Bila terjadi di kamar hotel, rumah, asrama, jangan memindahkan barang
apapun dari kamar, bila hal ini dilakukan. kutu busuk akan mudah
menyebar ke tempat  lain. Setelah pemeriksaan oleh ahli dilakukan,
semua seprei, gorden dan pakaian yang ada harus dikeluarkan (termasuk
tempat tidur, jangan memindahkan tempat tidur ke gudang, apalagi
memindahkan ke kamar lain, karena akan menyebarkan kutu busuk ke
tempat lain). Barang-barang tersebut harus diperiksa dengan teliti
17
sebelum dipindahkan ke tempat lain, terlebih dahulu dimasukkan ke
kantong plastik dan ditutup erat-erat.
- Dengan cara penjemuran, misalnya menjemur kursi, sofa, kasur dan lain-
lain.
- Menyedot serangga, pengobatan panas atau membungkus kasur.

1. Metode kimiawi :
Menggunakan repellent, obat nyamuk bakar, insektisida, pestisida,
jaring nyamuk yang digunakan bersama dangan insektisida pyrethroid sangat
efektif dalam menangkis, dan membunuh kutu busuk dan generator asap yang
mengandung pyrethroid insektisida.
Pengendalian dengan kimiawi ini perlu diulang (biasanya hanya
membunuh nimfa dan dewasa) sampai semua telur kutu busuk yang ada
menetas dan terkena insektisida dan mati. Tetapi pilihan penggunaan pestisida
untuk pengendalian amat terbatas, karena dari beberapa penelitian yang
dilaporkan menunjukkan banyak kutu busuk yang sudah resisten (misalnya
terhadap DDT, organofosfat dan karbamat).
Insektisida Para propoxur karbamat sangat beracun untuk kutu busuk,
namun di Amerika Serikat Environtmental Protection Agency (EPA) telah
enggan menyetujui seperti penggunaan indoor karena potensi toksisitas untuk
anak – anak setelah paparan kronis.
2. Merode Biologi
Dengan ditemukannya musuh-musuh alam kutu busuk, misalnya
kecoak, semut, laba – laba (terutama Thanatus flavidus), tungau dan kelabang
ataupun binatang yang dikenal dengan nama Reduvius personatus dapat
mengurangi populasi kutu busuk, namun pengendalian biologis sangat tidak
praktis untuk menghilangkan kutu busuk di lingkungan tempat tinggal
manusia.

3. Metode Fisika atau Mekanik termasuk kebersihan


Dengan menjaga kebersihan lingkungan, misalnya dengan memelihara
kebersihan tempat tinggal.

18
Pengendalian kutu busuk sering memerlukan kombinasi pendekatan
pestisida dan non – pestisida. Hal ini karena perlawanan terhadap pestisida
telah meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu sehingga ada
kekhawatiran efek negatif terhadap kesehata dari penggunaan pestisida. (Intan
Ahmad, Ph. D. (Entomologis) SITH-IPB)

2.5.6 Metode Pengendalian Kecoa


Cara pengendalian kecoa menurut Depkes RI (2002), ditujukan terhadap
kapsul telur dan kecoa :
a. Pembersihan kapsul telur yang dilakukan dengan cara :
Mekanis yaitu mengambil kapsul telur yang terdapat pada celah-celah
dinding, celah-celah almari, celah-celah peralatan, dan dimusnahkan dengan
membakar/dihancurkan.
b. Pengendalian kecoa
Pengendalian kecoa dapat dilakukan secara fisik dan kimia.
1. Metode fisik atau mekanis dengan :
- Membunuh langsung kecoa dengan alat pemukul atau tangan.
-  Menyiram tempat perindukkan dengan air panas.
- Menutup celah-celah dinding.
2. Metode Kimiawi :
Menggunakan bahan kimia (insektisida) dengan
formulasi spray(pengasapan), dust (bubuk), aerosol (semprotan) atau bait
(umpan).
Selanjutnya kebersihan merupakan kunci utama dalam pemberantasan
kecoa yang dapat dilakukan dengan cara-cara seperti sanitasi lingkungan,
menyimpan makanan dengan baik dan intervensi kimiawi (insektisida, repellent,
attractan).

2.5.7 Metode Pengendalian Tikus


Tikus dapat menyerang padi pada berbagai stadia pertumbuhan, tetapi tikus
paling senang menyerang padi pada stadia generatif. Pad stadia generatif tikus
biasanya memakan bulir dan malai padi. Pada stadia persemaian tikus mencabut
tanaman padi yang baru tumbuh untuk memakan bagian biji yang masih tersisa.
19
Pada stadia vegetatif tikus memakan batangnya dengan cara memotong pangkal
batang. Secara umum metode pengendalian tikus sama dengan pengendalian
hama-hama yang lain. Pengendalian tikus hendaknya menggunakan konsep PHT
dimana penggunaan pestisida atau rodentisida hanya digunakan pada kondisi
terpaksa atau jika metode yang lain sudah tidak mampu menanggulangi populasi
hama tikus. Berukut beberapa metode dalam pengendalian tikus :
a. Metode pengedalian secara kultur teknis
Pengendalian secara kultur teknis merupakan cara pengendalian dengan
membuat lingkungan yang tidak menguntungkan bagi kehidupan dan
perkembangan populasi tikus. Beberapa cara pengendalian secara kultur teknis
adalah sebagai berikut :
1. Pengaturan pola tanam
Pengaturan pola tanam hanya berlaku pada tanaman semusim. Dengan
melakukan pengaturan pola tanam maka keberadan pakan bagi tikus tidak
kontinyu sehingga populasinya dapat menurun. Pergiliran pola tanam antara
lain dapat padi – padi – palawija / padi – palawija – palawija / padi – palawija
– padi. Dengan demikian maka kebutuhan pakan tikus ajan semain berkurang,
karena serealia merupakan pakan yang berkualitas baik bagi tikus jika pakan
tersebut berkurang atau tidak ada maka populasinya akan menurun. Palawija
yang dapat digunakan sebagai tanaman berikutnya adalah jagung, kacang
tanah, kedelai, sayur-sayuran, ubi jalar, ubi kayu. Atau dapat juga di rotasi
dengan sayuran jika kondisi di tempat tersebut cocok untuk ditanami sayuran.
2. Pengaturan waktu tanam
Pengaturan waktu tanam serempak dapat mengurangi kerugian persatuan
luas yang diakibatkan oleh tikus karena kerusakannya menyebar. Selain itu
dengan adanya waktu panen yang bersamaan membuat sumber pangan bagi
tikus tidak kontinyu, sehingga tikus kehilangan kesempatan untuk
berkembang biak secara kontinyu. Karena keadaan pakan yang ada pada
waktu tertentu saja maka pertumbuhan populasi tikus dapat diperkirakan.
Waktu tanam serempak harus dilakukan oleh petani-petani minimum dalah
areal lahan seluas 100Ha, mengingat tikus memiliki mobilisasi mencapai
lebih dari 700m dari sarang.
3. Pengaturan jarak tanam
20
Tikus sangat menyukai tempat tempat yang berantakan, semprawut,
kotor, sehingga melalui pengaturan jarak tanam populasi tikus dapat ditekan
karena lingkungannya tidak disenagi. Tikus paling tidak suka bergerak di
tempat yang terbuka, tikus lebih sengang bersembunyi, sehingga kalau di lihat
pada lahan pertanaman yang terserang oleh tikus, lahan pada bagian tengah
lah yang diserang, sedangkan pada bagian tepi dekat dengan pematang tidak
diserang. Ada dua hal yang menyebabkan tikus lebih senang menyerang pada
bagian tengah lahan. Yang pertama adalah untuk melindungi sarang yang
berada pada pematang agar tidak terlihat, sehingga tanaman yang berada di
dekat pematang tidak diserang. Yang kedua adalah dengan menyerang pada
vagian tengah lahan maka tikus terhindar dari gangguan manusia. Pengaturan
jarak tanam ini dapat disesuaikan dengan pola tanam, misalnya pada musim
pertanaman pertama jarak tanamnya diperlebar, tetapi pada musim
pertanaman ke dua jarak tanamnya di kembalikan seperti jarak tanam yang
sebenarnya.
Pengaturan jarak tanam juga dapat dilakukan dengan cara tanam
Legowo, dimana nantinya jarak antar baris pertanaman menjadi lebar
sehingga tikus takut untuk menyerang pada bagian tengah lahan dan bagian
tepi lahan.
4. Penggunaan tanaman perangkap (trap crop)
Penggunaan tanaman perangkap adalah cara pengendalian tikus dengan
menanami terlebih dahulu lahan yang berada di tengah-tengah areal
persawahan, kemudian baru menanami daerah disekitar lahan tersebut. Cara
tersebut dimaksudkan agar tanaman pada lahan yang berada di tengah
mengalami fase generatif lebih awal sehingga serangan tikus akan terpusat
pad lahan tersebut, untuk selanjutnya dapat dilakukan gropyokan. Atau dapat
juga menanam varietas padi yang berumur pendek pada bagian tengah areal
pertanaman. Penggunaan tanaman perangkap dapat dikombinasikan
dengan Trap Barrier System (TBS) agar lebih efektif.
b. Metode pengendalian secara sanitasi
Sesuai dengan ciri khas tikus yang tidak suka dengan tempat terbuka maka
pengendaliannya dapat dengan cara melakukan pembersihan gulma di sekitar
tanaman. Dengan demikian tikus juga akan kehilangan sumber pakan alternatif
21
pada saat bera.
c. Metode pengendalian secara fisik-mekanis
Pengendalian sercara fisik merupakan usaha manusia untuk merubah faktor
lingkungan fisik agar dapat menyebabkan kematian pada tikus. Faktor fisik
tersebut dapat dirubah diatas atau dibawah toleran tikus. Pada prinsipnya
pengendalian secara fisik dan mekanis adalah sebagai berikut :
1. Membunuh tikus secara langsung dengan bantuan alat-alat
2. Mengusir tikus dengan bermacam-macam alat yang tidak bersifat
kimia( menggunakan sinar ultraviolet,gelombang elektro magnetik, dan suara
ultrasonik)
3. Melingdungi tanaman dari serangan tikus
Salah satu pengendalian secara fisik dan mekanis adalah penggunaan pagar plastik,
penggunaan pagar plastik dimaksudkan untuk menghalau tikus memasuki areal
pertanaman. Biasanya diterapkan pada lahan persemaian dan dikombinasikan
dengan perangkap yang ditaruh atau diletakkan pada pintu masuk persemaian. Jika
populasi tikus banyak dan modal usahatani besar maka teknik ini dapat
dipergunakan, pada intinya penggunaan pagar plastik akan membuat tikus tidak
dapat memasuki lahan persemaian sehingga tikus akan berusaha mencari jalan
masuk, pada jalan masuk tersebut dapat dipasangi perangkap.
Gropyokan juga merupakan pengendalian fisik mekanis, biasanya kegiatan
ini yang sering dilakukan oleh banyak petani yang pernah Saya temui. Selain
adanya rasa puas karena melihat secara langsung tikus yang mati, pengendalian
secara gropyokan juga memupuk rasa kegotongroyongan karena dilakukan secara
bersama-sama. Gropyokan pada lahan sawah biasanya ditujukan pada sarang tikus
masih aktif yang berada di pematng sawah atau lahan tidak ditanami yang berada
disekitar sawah. Tindakan untuk mengeluarkan tikus dari liangnya dapat dengan
cara menggenangi liang dan membongkar liang, agar tidak merusak tanaman
kegiatan ini dapat dilakukan pada saat pasca panen. Gropyokan yang dilakukan di
malam hari dengan bantuan lampu petromak juga efektif karena pergerakan tikus
akan lambat karena lampu petromaks (mata tikus menjadi tidak jelas
pandangannya saat terkena cahaya terang). Dalam gropyokan digunakan pula
barang-barang dari logam dan bambu yang dipukul-pukul untuk mengusir tikus
dari sarangnya dan digiring menuju perangkap bisanya berupa jaring yang pasang
22
di dekat pematang sawah atau tempat terbuka, selanjutnya tikus dapat dibunus
secara beramai-ramai di tempat tersebut.
d. Metode pengendalian secara biologis atau hayati
Pengendalian secara hayati dilakukan dengan penggunaan parasit, predator,
atau patogen untuk mengurangi bahkan menghilangkan populasi tikus pada suatu
habitat.predator tikus dapat dibagi berdasarkan klasifikasinya yaitu kelas reptilia
(hewan melata), kelas aves (burung), dan kelas mamalia (hewan menyusui). Secara
ekologis kelas aves merupakan predator terbaik dalam mencari dan mengkonsumsi
mangsanya, diikuti kelas mamalia dan terakhir reptilia. Kelas avea memiliki laju
fisiologi tertinggi sehingga mampu mengkonsumsi tikus dalam jumlah tinggi. Dari
ketiga kelas predator tersebut dalam hal memangsa tikus dapat dibauat
perbandingan sebagai berikut Aves (10) : Mamalia (4) : Reptilia (1).
Dalam kelas aves beberapa spesies yang menjadi predator tikus adalah Tyto
alba (burung hantu putih), Bubo ketupu (burung hantu cokelat), Nyctitorac
nyctitorac (burung alap alap tikus).
Dalam kelas Mamalia beberapa spesies yang menjadi predator tikus
adalah Paradoxurus hermaphroditus (musang atau luwak), Viverricula
malaccensis (musang bulan), Herpetes javanicus (garangan), Felis catus (kucing),
dan Canis familiaris (anjing)
Dalam kelas Reptilia yang menjadi predator tikus adalah Ptyas koros (ular
tikus), Naja naja (ular kobra), Ophiphagus hannah (ular kobra
raksasa), Trimeresurus hagleri (ular hijau), dan Phyton reticulatus (ular sanca).
e. Metode pengendalian secara kimiawi
Pengendalian kimiawi didefinisikan sebagai penggunaan bahan-bahan yang
dapat membunuh tikus atau dapat mengganggu aktivitas tikus, baik aktivitas untuk
makan, minum, mencari pasangan, maupun reproduksinya. Secara umum
pengendalian kimiawi terhadap tikus dapat dibagi menjadi empat yaitu :
1. Penggunaan umpan beracun (racun perut)
Berdasarkan cara kerjanya racun tikus dapat dibagi kedalam 2 macam :
a. Racun akut, bekerja cepat dengan cara merusak sistem syaraf tikus (Arsenik
trioksida, Bromethalin, crimidine, alpha chloralose, ANTU, Norbornmide, red
squill, dsb). Cocok diterapkan pada saat populasi tikus tinggi.
b. Racun kronis (antikoagulan), bekerja lambat dengan cara menghambat proses
23
koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler
(antikoagulan 1 : Warfarin, Fumarin, Courmachlor, dsb. Antikoagulan 2 :
Diphenacoum, brodifacoum, Flocumafen, Bromadiolone). Cocok diterapkan
pada populasi tikus yang tersisa setelah penerapan racun akut.
Secara umum perbedaan dua macam racun ini terdapat pada penerapan
di lapang dan efek pada tikus. Pada penerapan di lapang racun akut
membutuhkan umpan pendahuluan dan kebutuhan umpan yang beracun sedikit
sedangkan racun kronis tidak membutuhkan umpan pendahuluan, karena
rekasinya yang lambat maka dibutuhkan banyak umpan yang mengandung
racun. Efek pada tikus untuk racun akut adalah langsung membunuh tikus, dan
jika tidak diberi umpan pendahuluan dapat menyebabkan jera umpan. Pada
racun kronis adalah membunuh secara perlahan sehingga kadang tikus malah
menjadi resisten terhadap racun tersebut.
Menurut Surachman dan Widodo (2007) pengendalian tikus dapat menggunakan
umpan anti koagulan Brodifakum 0,005 RMB. Penerapan yang tepat adalah pada
saaat padi memasuki fase vegetatif karena tikus habis beranak dan menyusui
anaknya. Setelah memakan umpan tersebut dalam 3-4 hari tikus akan mati.
2. Penggunaan bahan fumigan (racun nafas)
Fumigasi adalah proses peracunan tikus beserta ektoparasitnya dengan
menggunakan gas beracun (fumigan). Fumigan ini berbahaya bukan hanya
bagi tikus tetapi juga bagi manusia dan hewan lain yang berada di sekitar
tempat fumigasi. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum
melakukan fumigasi yaitu :
a. Fumigan yang akan digunakan harus mempunyai berat molekul lebih
dari 28 (berat molekul N2 di udara)
b. Kelembapan relatif udara di dalam sarang tikus harus tinggi dan
ukuran partikel tanah yang kecil sehingga gas beracun tidak keluar
melalui celah-celah tanah.
Fumigan ini dapat berupa Hidrogen sianida (HCN), Karbon monoksida
(CO), karbon dioksida (CO2), metil bromida (CH3Br), Kloropikrin (CCl3NO2),
Hidogen fosfosida (PH3).
Racun nafas juga dapat bibuat melalui pembakaran merang, serabut
kelapa, atau klaras daun pisang yang kadang-kadang ditambahkan belerang
24
sehingga menghasilkan gas CO, CO2, dan SO2. perbandingan merang dengan
belerang biasanya 13 : 1. Penggunaan racun nafas lebih baik pada saat tanaman
memasuki fase generatif karena induk tikus baru melahirkan dan menyusui
anak-anaknya.
3. Penggunaan bahan kimia penolak (repellent) atau bahan kimia penarik
(attractant),
Attractant merupkan bahan kimia penarik tikus agar tikus mendekati umpan
atau masuk perangkap. Attractant menarik tikus melalui bau yang
ditimbulkannya. Salah satu attractant yang memberikan hasil efektif adalah
penggunaan urine tikus betina yang memasuki fase estrus untuk menarik tikus
jantan.

4. Penggunaan bahan kimia pemandul (chemosterilant)


Bahan kimia pemandul merupakan bahan kimia yang menyebabkan
kemunduran reproduksi, baik secara permanen maupun sementara. Contoh :
mestranol, hexastrol, oestrogenic streroid, diosgenin. Dalam penerapannya
bahan-bahan kimia tersebut perlu menggunakan umpan pendahuluan.

BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pengendalian vektor penyakit diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan No.
374 Tahun 2010 Tentang Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan pengelolaan lingkungan secara
fisik atau mekanis, penggunaan agen biotik, kimiawi, baik terhadap vektor maupun
tempat perkembangbiakannya dan/atau perubahan perilaku masyarakat serta dapat
mempertahankan dan mengembangkan kearifan local sebagai alternatif. Dalam
pengaplikasian dari metode pengendalian terhadap vektor dan tikus setiap metode yang
dilakukan berbeda-beda tergantung sifat dan kebiasaan dari jenis vektor dan tikus yang
akan kita kendalikan, dengan tujuan untuk mencegah atau membatasi terjadinya
penularan penyakit tular vektor di suatu wilayah, sehingga penyakit tersebut dapat
dicegah dan dikendalikan.
Adapun syarat yang harus dipenuhi dalam pengendalian vektor yang memiliki

25
singkatan R E E S A A yaitu, RASIONAL (berdasarkan data ilmiah), EFFEKTIF
(berdaya guna), SUSTAINABLE (berkesinambungan), ACCEPTABLE (dapat
diterima), AFFORDABLE (mudah dilakukan dan terjangkau secara tehnis dan
finansial).

3.2 Saran
Dalam melakukan pengendalian vektor dan tikus sebaiknya kita
memperhatikan lingkungan sekitar agar tidak ikut terkena dampak negatif. Metode
pengendalian vektor dan tikus yang dilakukan harus memenuhi syarat dengan
berdasarkan data ilmiah, berdaya guna, berkesinambungan, dapat diterima, mudah
dilakukan dan terjangkau secara teknis dan finansial.

26

Anda mungkin juga menyukai