C. Editor bahasa
Ns. Deny Kurniawan S.Kep., MM
Wassalam
Ketua Umum DPP HIPGABI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan Kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunia-Nya
penyusunan Modul Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) ini dapat diselesaikan. Tujuan
penyusunan modul ini adalah sebagai bahan acuan bagi para peserta pelatihan Basic Trauma
Cardiac Life Support (BTCLS) terdiri dari materi inti yang harus dikuasai oleh peserta pelatihan
sebagai dasar kompetensi dalam memberikan penanganan kasus kegawatdaruratan.
Pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) bertujuan untuk meningkatkan
kompetensi dan profesionalisme peserta dalam penanganan kasus kegawatdaruratan baik di
tatanan pre hospital maupun intra hospital. Kompetensi ini wajib dimiliki oleh tenaga perawat di
seluruh tatanan pelayanan kesehatan sehingga sasaran kita dalam menurunkan angka
kecacatan dan kematian yang terjadi akibat keterlambatan atau kesalahan dalam penanganan
kegawatdaruratan dapat tercapai.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan modul ini,
sehingga dengan kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan
penyusunan modul ke depan. Semoga modul ini dapat menjadi penguat kompetensi dasar yang
membuat perawat memiliki keyakinan dan kepercayaan diri dalam memberikan pertolongan
pada penderita yang mengalami kegawatdaruratan.
DAFTAR ISI
I. Pendahuluan
Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak di Indonesia. Dalam Kepmenkes
RI No. 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, disebutkan bahwa
perawat adalah “Seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Tenaga keperawatan yang melakukan tindakan keperawatan
harus sesuai dengan kompetensi perawat yang sudah ditetapkan dan didapatkan selama
proses pendidikan. Oleh karena itu, tanggung jawab hukum seorang perawat dalam
menjalankan praktik mandiri keperawatan harus sesuai dengan standar pelayanan
perawat, standar profesi, standar operasional dan kebutuhan kesehatan penerima
pelayanan kesehatan.
Pelayanan keperawatan gawat darurat meliputi pelayanan keperawatan yang ditujukan
kepada pasien gawat darurat yaitu pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau
akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota tubuhnya bila tidak mendapat
pertolongan secara cepat dan tepat (Musliha, 2010).
6
d. Sebagai coordinator.
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi
pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberi pelayanan kesehatan
dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.
e. Sebagai kolaborator.
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja dalam tim kesehatan yang terdiri dari
dokter, fisioterapi, ahli gizi dll dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan
keperawatan yang diperlukan.
f. Sebagai konsultan.
Perawat berperan sebagai tempat konsultasi dengan mengadakan perencanaan,
kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian
pelayanan keperawatan.
3. Penatalaksanaan psikososial
Reaksi psikologis pasien di IGD adalah cemas dan kehilangan.
a. Cemas
Kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah,
ketidaktentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual
yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart and Sundeens, 1998).
Gejala Kecemasan:
1) Fase 1
Keadaan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan, maka tubuh
mempersiapkan diri untuk fight (berjuang), atau flight (lari secepat-cepatnya).
Ketegangan dari kelompok agonis dan antagonis akanmenimbulkan tremor dan
gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan.
7
2) Fase 2
Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti gelisah, ketegangan otot,
gangguan tidur dan keluhan perut, penderita juga mulai tidak bisa mengontrol
emosinya dan tidak ada motivasi diri. Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah
menangis tanpa sebab, yang beberapa saat kemudian menjadi tertawa.
3) Fase 3
Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti: intoleransi dengan rangsang
sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap sesuatu yang sebelumnya
telah mampu ia tolerir, gangguan reaksi terhadap sesuatu yang sepintas terlihat
sebagai gangguan kepribadian.
b. Kehilangan
Kehilangan adalah kenyataan atau situasi yang mungkin terjadi dimana sesuatu yang
dihadapi, dinilai terjadi perubahan, tidak lagi memungkinkan ada atau hilang.
Bentuk – bentuk kehilangan:
1) Kehilangan yang nyata (actual loss)
Kehilangan orang atau objek yang tidak lagi dirasakan, dilihat, diraba
Misalnya Kehilangan anggota tubuh, anak, peran, hubungan.
2) Kehilangan yang dirasakan (Perceived loss)
Kehilangan yang sifatnya unik menurut orang yang mengalami kedukaan.
Misalnya Kehilangan harga diri, percaya diri.
Dampak kehilangan
1) Anak – anak
Kehilangan dapat mengancam perkembangan regresi takut ditinggal dan
sepi
2) Remaja atau dewasa muda
Kehilangan dapat menyebabkan desintegrasi dalam keluarga
3) Dewasa tua
Kehilangan khususnya kematian pasangan hidup pukulan berat dan
menghilangkan semangat.
Fase Kehilangan:
- Denial (Menolak/tidak percaya)
Reaksi: Terkejut, tidak percaya, merasa terpukul, menyangkal pernyataan
kehilangan. Kadang berhalusinasi (seolah-olah melihat atau mendengar).
Reaksi fisik: keletihan, kelemahan, wajah pucat, mual, diare, sesak nafas, detak
jantung cepat, menangis, gelisah.
- Anger (Marah)
Individu mulai sadar dengan kenyataan kehilangan. Menunjukkan perasaan
marah meningkat yang diproyeksikan pada objek tertentu. Reaksi fisik : wajah
merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.
8
- Bergaining (Tawar menawar)
Reaksi: Menyatakan kata-kata “seandainya saya hati-hati”, “kenapa harus
terjadi pada keluarga saya”.
- Depression
Reaksi: menarik diri, tidak mau bicara, putus asa. Reaksi fisik: menolak makan,
susah tidur, letih, libido menurun.
- Acceptance (Menerima)
Reorganisasi perasaan kehilangan. Gambaran objek atau orang yang hilang
mulai dilepas perlahan, perhatian dialihkan pada objek baru.
Prinsip tindakan keperawatan untuk keluarga pasien yang meninggal adalah
a) Pahami tahapan kehilangan agar mampu memberikan asuhan keperawatan
gadar dengan optimal.
b) Memberikan asuhan yang sesuai agama pasien
b) Empati akan kondisi keluarga; menunjukkan ekspresi muka tenang dan
tersenyum, menatap keluarga.
c) Mendengar aktif keluhan
d) Berdiri di samping keluarga dengan tenang
e) Memberikan lingkungan yang tenang,
f) Memberikan dukungan sesuai agamadan merujuk ke tim bina rohani
9
IV. Etik keperawatan gawat darurat.
1. Pengertian etik
Etik dari kata ” ethics” yang berarti prinsip moral atau aturan prilaku. Etik adalah apa
yang seharusnya seseorang berprilaku dan bertindak dalam hubungannya dengan
dirinya sendiri, orang lain dan lingkunganya. Prinsip moral atau aturan prilaku
tersebut dihimpun dalam suatu pedoman yang disebut kode etik (code of ethics).
Kode etik adalah suatu pedoman yang mengandung norma-norma dalam berprilaku.
Kode etik yang berlaku bagi suatu profesi tertentu disebut sebagai kode etik profesi.
Misalnya Kode etik keperawatan yang berlaku khusus untuk tenaga keperawatan.
10
f. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta
menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang
perawat untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya kepada pasien.
g. Karahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga
privasinya. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien
hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat
memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti
persetujuan (Geoffry hunt. 1994).
3. Masalah-masalah etis
a. Konflik etik antara teman sejawat
Keperawatan pada dasarnya ditujukan untuk membantu kesejahteraan pasien.
Untuk dapat menilai pemenuhan kesejahteraan pasien, maka perawat harus ma
mpu mengenal/tanggap bila ada asuhan keperawatan yang buruk dan tidak bijak,
serta berupaya untuk mengubah keadaan tersebut. Kondisi inilah yang sering
sering kali menimbulkan konflik antara perawat sebagai pelaku asuhan
keperawatan dan juga terhadap teman sejawat.Dilain pihak perawat harus
menjaga nama baik antara teman sejawat, tetapi bila ada teman sejawat yang
melakukan pelanggaran atau dilema etik hal inilah yang perlu diselesaikan dengan
bijaksana.
b. Menghadapi penolakan pasien terhadap Tindakan keperawatan atau
pengobatan.
Masalah ini sering juga terjadi, apalagi pada saat ini banyak bentuk-
bentuk pengobatan sebagai alternative tindakan. Dan berkembangnya tehnologi
yang memungkinkan orang untuk mencari jalan sesuai dengan kondisinya.
Penolakan pasien menerima pengobatan dapat saja terjadi dan dipengaruhi oleh
beberapa factor, seperti pengetahuan, tuntutan untukdapat sembuh cepat,
keuangan, social dan lain-lain.
c. Masalah antara peran merawat dan mengobati
Berbagai teori telah dijelaskan bahwa secara formal peran perawat adalah
memberikan asuhan keperawatan, tetapi dengan adanya berbagai factor sering
kali peran ini menjadi kabur dengan peran mengobati. Masalah antara peran
sebagai perawat yang memberikan asuhan keperawatan dan sebagai tenaga
kesehatan yang melakukan pengobatan banyak terjadidi Indonesia, terutama
oleh perawat yang ada didaerah perifer (puskesmas) sebagai ujung tombak
pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
11
d. Berkata Jujur atau Tidak jujur
Didalam memberikan asuhan keperawatan langsung sering kali perawat tidak
merasa bahwa, saat itu perawat berkata tidak jujur. Padahal yang dilakukan
perawat adalah benar (jujur) sesuai kaedah asuhan keperawatan.Sebagai contoh:
sering terjadi pada pasien yang terminal, saat perawat ditanya oleh pasien
berkaitan dengan kondisinya, perawat sering menjawab “tidak apa- apa
ibu/bapak, bapak/ibuakan baik, suntikan ini tidak sakit”.
e. Tanggung jawab terhadap peralatan dan barang
Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah menguntil atau pilfering, yang berarti
mencuri barang-barang sepele/kecil. Sebagai contoh: ada pasien yang sudah
meninggal dan setalah pasien meninggal ada barang-barang berupa obat-obatan
sisa yang belum dipakai pasien, perawat dengan seenaknya membereskan obat-
obatan tersebut dan memasukan dalam inventarisasi ruangan tanpa seijin
keluarga pasien. Hal ini sering terjadi karena perawat merasa obat-obatan
tersebut tidak ada artinya bagi pasien, memang benar tidak ada artinya
bagi pasien tetapi bagi keluarga kemungkinan hal itu lain. Pada kondisi ini adalah
komunikasi dan informai yang jelas terhadap keluarga pasien dan ijin dari keluarga
pasien itu merupakan hal yang sangat penting, Karena keluarga harus tahu
secara pasti untuk apa obat itu diambil.
f. Pembuatan Keputusan dalam Dilema Etik
Menurut Thompson dan Thompson (1985). dilema etik merupakan suatu masalah
yang sulit untuk diputuskan, dimana tidak ada alternative yang memuaskan atau
suatu situasi dimana alternative yang memuaskan dan tidak memuaskan
sebanding. Dalam dilema etiktidak ada yang benar atau salah. Dan untuk
membuat keputusan etis, seseorang harus bergantung pada pemikiran yang
rasional dan bukan emosional. Kerangka pemecahan dilemaetik banyak
diutarakan oleh beberapa ahli yang pada dasarnya menggunakan kerangka proses
keperawatan dengan pemecahan masalah secara ilmiah.
12
Gawat darurat adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan medis.
GawatDarurat medis adalah suatu kondisi dalam pandangan penderita, keluarga,
atau siapapun yangbertanggung jawab dalam membawa penderita ke rumah sakit
memerlukan pelayanan medis segera. Penderita gawat darurat memerlukan
pelayanan yang cepat, tepat, bermutu dan terjangkau (Notoatmojo, 2010).
Kepmenkes RI Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi dan Praktik
Keperawatan, Pasal 20, Dalam darurat yang mengancam jiwa seseorang/pasien,
perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 15, Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
Permenkes Nomor RI HK.02.02.MENKES/148/2010, tentang registrasi dan izin praktik
keperawatan Pasal 10 Ayat (1), Dalam darurat yang mengancam jiwa
seseorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Pasal 11 poin (a)
Perawat berhak memperoleh perlindungan hukum.
Permenkes Nomor 152/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin dan penyelenggaran
Praktik Kedokteraan dan kedokteran Gigi, BAB III Pasal 15 Ayat (I), Dokter dan dokter
Gigi dapat memberikan pelimpahan suatu tindakan kedokteran dan tindakan
kedokteran gigi , kepada perawat, bidan atau tenaga kesehatan lainnya secara
tertulis.
Permenkes no. 26 tahun 2019 mengenai peraturan pelaksanaan undang undang
keperawatan pada pasal 30 menyatakan bahwa memberikan tindakan pada keadaan
gawat darurat sesuai dengan kompetensi. Dan pada pasal 19, mengenai ijin praktik
perawat harus memiliki STR dan SIPP yang berlaku.
Dalam menjalankan praktik perawat pada kondisi gawat darurat sesuai UU No 36
tentang Tenaga Kesehatan tahun 2009 pasal 63 ayat (1) Dalam keadaan tertentu
Tenaga Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya. Menurut
UU No 38 tentang Keperawatan tahun 2014 pasal 35 ayat:
a. Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, Perawat dapat
melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai dengan kompetensinya.
b. Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa Klien dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
c. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan yang
mengancam nyawa atau kecacatan Klien.
d. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Perawat
sesuai dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya
13
a. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
b. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
c. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
14
e. Perawat berhak untuk mendapatkan penghargaan dan imbalan yang layak atas jasa
profesi yang diberikannya berdasarkan perjanjian atau ketentuan yang berlaku di
Institusi pelayanan yang bersangkutan.
15
Sedangkan sanksi untuk pelanggaran etik keperawatan terbagi atas:
1. Sanksi pelanggaran ringan, yaitu dengan :
a) Berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi; dan
b) Meminta maaf terhadap pihak yang dirugikan.
2. Sanksi pelanggaran sedang, yaitu dengan :
a) Harus mengembalikan barang atau uang yang diminta kepada pasien atau
keluarganya;
b) Meminta maaf terhadap pihak yang dirugikan; dan
c) Membuat surat pernyataan diatas kertas segel bermaterai tidak akan
mengulanginya lagi.
3. Sanksi pelanggaran berat, yaitu dengan :
a) Harus meminta maaf terhadap pihak yang dirugikan;
b) Membuat surat pernyataan diatas kertas segel bermaterai tidak akan
mengulanginya lagi;
c) Dilaporkan kepada pihak kepolisian; dan
d) Diberhentikan dari kedinasan dengan tidak hormat.
16
VI. DAFTAR PUSTAKA
17
MODUL 2
KONSEP KEGAWATDARURATAN
13
Prinsip dan tujuan dilakukan pertolongan adalah :
1. Menyelamatkan kehidupan
2. Mencegah keadaan menjadi lebih buruk / kecacatan
3. Mempercepat kesembuhan
Fokus pemberian pelayanan secara episodik kepada pasien-pasien yang mencari terapi
baik yang mengancam kehidupan dan Non Critical Illness atau cidera. Keperawatan
emergency ditujukan pada esensi dari praktek emergency, lingkungan di mana hal tersebut
terjadi dan konsumen keperawatan emergency. Pengkajian, diagnosa dan terapi yang
dapat diterima aktual/ potensial tiba-tiba atau urgen, masalah fisik atau psikososial dalam
episode primer atau akut yang mungkin memerlukan perawatan minimal atau akut yang
mungkin memerlukan perawatan minimal atau tindakan support hidup. Pendidikan
terpenting lainnya, rujukan yang tepat dan pengetahuan akan implikasi-implikasi legal.
Perawatan pada kasus gawat daurat dengan pasien dari segala umur dengan diagnosa,
tidak terdiagnosa dengan komplesitas yang bervariasi. Pasien-pasien memerlukan
14
intervensi nyata sebagai dampak perubahan status fisiologis atau psikososial secara tepat
yang mungkin mengancam kehidupan.
15
4. Adanya sistem pembiayaan yg jelas
5. Adanya dasar peraturan yang kondusif
Mengenai konsep Safe Community (masyarakat aman) dalam implementasi SPGDT, yang
perlu dipahami bahwa ada 3 hal yang perlu dibangun. Pertama Preparedness (Siap – siaga),
kedua Prevention (pencegahan) dan ketiga Mitigation (mitigasi / upaya mengurangi resiko
bencana). Ketiga aspek ini harus dapat dibangun pada semua stockholder pelaksana dari
SPGDT yakni masyarakat (awam-umum-terlatih), ambulan, tenaga kesehatan (dokter,
perawat dll) serta RS dan sistem komunikasi.
Masyarakat harus memiliki kemampuan dan keterampilan dasar dalam menangani awal
keadaan kegawatdaruratan disekitar mereka (TKP). Lalu Ambulan dengan tenaga
kesehatan terlatihnya menangani keadaan kegawatdaruratan lebih lanjut dan melakukan
transportasi ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat melalui sistem komunikasi yang baik
kemudian adanya mekanisme rujukan berjenjang bila membutuhkan fasilitas pelayanan
yang lebih lengkap sehingga target meminimalkan angka kejadian kematian dan kecacatan
pada korban kegawatdaruratan / bencana dapat tercapai.
16
2. Brigade Siaga Bencana (BSB).
Brigade Siaga Bencana (BSB) merupakan suatu unit khusus yang disiapkan dalam
penanganan pra rumah sakit khususnya yang berkaitan dalam pelayanan kesehatan
pada saat penanganan bencana. Pengorganisasian dibentuk oleh jajaran kesehatan
baik ditingkat pusat maupun didaerah (Depkes, Dinkes, Rumah Sakit), petugas medis
yaitu dokter dan perawat dan juga petugas non medis, gizi, sanitarium, farmasi dan
lain-lain. Pembiayaan diadapat dari instansi yang ditunjuk dam dimasukkan anggaran
rutin APBN maupun APBD
3. Pelayanan Ambulance.
Merupakan kegiatan pelayanan terpadu dalam suatu koordinasi yang
memberdayakan ambulance milik puskesmas, klinik swasta, institusi pemerintah
maupun swasta (PT. Jasa Marga, Jasa Raharja, polisi, PMI, yayasan yang bergerak
dibidang kesehatan). Dari semua komponen tersebut akan dikoordinasikan melalui
pusat pelayanan yang disepakati bersama antara pemerintah dengan non
pemerintah dalam rangka melaksanakan mobilisasi ambulance untuk kejadian
sehari-hari ataupun bila terjadi korban massal. Beberapa standarisasi ambulance:
a. Ambulance darat dengan berbagai persyaratan.
b. Ambulance udara yang sesuai dengan ketentuan internasional.
c. Sepeda motor.
4. Komunikasi.
Didalam melaksanakan kegiatan pelayanan kasus gawat darurat sehari-hari
memerlukan sebuah system komunikasi, sifatnya pembentukan jejaring
penyampaian informasi, koordinasi dan pelayanan gawat darurat. Sehingga seluruh
kegiatan dapat berlangsung dalam satu system yang terpadu terkoordinasi menjadi
satu kesatuan kegiatan.
5. Sistem pelayanan Pada Keadaaan Bencana.
Pelayanan dalam keadaan bencana yang menyebabkan korban massal memerlukan
cara-cara khusus yang harus dilakukan. Yang harus dilakukan dan diselenggarakan
adalah:
a. Koordinasi dan komando.
Dalam keadaaan bencana diperlukan kegiatan yang melibatkan unit-unit kegiatan
lintas sektor. Kegiatan trersebut bias efektif dan efisien bila berada dalam satu
komando dan satu koordinasi yang sudah disepakati oleh semua unsur yang
terlibat.
b. Eskalasi dan mobilisasi sumber daya.
Kegiatan ini merupakan penanganan bencana yang mengakibatkan korban massal
yang harus dilakukan eskalasi atatu berbagai peningkatan SDM. Untuk dapat
melakukan kegiatan penanganan bencana harus dilakukan, mobilisasi SDM,
mobilisasi fasilitas, dan sarana serta mobilisasi semua pelayanan kesehatan bagi
korban bencana.
17
c. Simulasi.
Didalam penyelenggaraan kegiatan pada penanganan bencana diperlukan
ketentuan-ketentuan berupa prosedur tetap, petunjuk pelaksana, petunjuk teknis
operasional yang harus dilaksanakan oleh petugas sebagai standar pelayanan.
Ketentuan-ketentuan tersebut perlu diuji melalui simulasi agar dapat diketahui
apakah semua system dapat diimplementasikan pada keadaan di lapangan.
d. Pelaporan monitoring dan evaluasi.
Seluruh kegiatan penanganan bencana harus di dokumentasikan dalam bentuk
pelaporan yang baik bisa bersifat manual ataupun digital dan diakumulasi menjadi
satu data yang dapat digunakan untuk melakukan monitoring, evaluasi. Dari
kegiatan tersebut baik yang bersifat keberhasilan ataupun kegagalan dari kegiatan
yang dikerjakan, sehingga untuk kegiatan yang akan datang dapat diperbaiki
kekurangan yang ada dan mutu pelayanan dapat ditingkatkan.
a. Syarat evakuasi.
Korban berada dalam keadaan yang paling stabil dan memungkinkan untuk di
evakuasi.
Korban telah disiapkan/dipasang alat yang diperlukan untuk transportasi.
Fasilitas kesehatan penerima telah diberi tahu dan siap menerima korban
sesuai dengan kondisi kesehatannya.
Kendaraan dan pengawalan yang digunakan adalah yang paling layak tersedia.
19
b. Beberapa bentuk evakuasi.
Ada beberapa bentuk evakuasi sesuai keadaan ditempat kejadian bencana.
1) Evakuasi darurat.
Korban harus segera dipindahkan karena lingkungan tempat terjadi bencana
yang membahayakan dan merupakan keadaan yang mengancam jiwa yang
harus ditolong segera ataupun memerlukan pertolongan segera.
2) Evakuasi segera.
Korban harus segera dipindahkan karena adanya ancaman jiwa tidak bisa
penanganannya ditempat kejadian seperti pasien mengalami pendarahan
banyak dan menunjukkan tanda-tanda syok harus segera dibawa kerumah
sakit, atau korban berada dilingkungan yang mengakibatkan kondisi dapat
cepat menurun misal akibat hujan, suhu dingin maupun suhu panas.
3) Evakuasi Biasa.
Korban biasanya tidak mengalami ancaman jiwa tapi mendapat pertolongan di
rumah sakit. Pada keadaan ini pasien harus distabilkan terlebih dahulu dan
keadaan umum sudah membaik, baru dievakuasi ke rumah sakit. Misal pasien-
pasien patah tulang harus dibidai dulu dan pendarahan sudah dibalut.
20
Alur Penanganan Korban Bencana
BENCANA
PEMERINTAH MASYARAKAT
TIM SAR
TIM MEDIK
TIM INVESTIGASI
TIM KAMTIB SATU KOMANDO BANTUAN
TIM SARANA /
LOGISTIK
LAIN-LAIN
TEMPAT KEJADIAN
BENCANA
SANITASI DLL
21
Alur penanganan Korban Bencana Di lapangan
BENCANA
POS MEDIK
RUMAH SAKIT
LAPANGAN
STABILISASI PENGOBATAN
TRIAGE
EVAKUASI PULANG
22
Alur Penanganan Korban Di Rumah Sakit
KORBAN
RUMAH SAKIT
UGD
TRIAGE
PULANG
PULANG PULANG
23
Penanganan penderita gawat darurat dapat terlaksana dengan baik bila
penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT) yang meliputi pelayanan gawat
darurat pra rumah sakit sampai RS dan antar rumah sakit telah dibentuk disuatu daerah.
Semua-semua komponen dalam system penanggulangan gawat darurat terpadu telah
tersedia, antara lain :
1. Komponen pra RS, komponen RS dan komponen antar RS.
2. Komponen penunjang – komunikasi dan transportasi.
3. Komponen sumber daya manusia, petugas kesehatan (dokter, perawat/paramedik,
dan non kesehatan, awam umum, awam khusus terlatih, polisi, PMI).
4. Komponen sektor-sektor terkait (sektor kesehatan dan non kesehatan).
Sistem penanggulangan gawat terpadu (SPGDT) terbentuk bila komitmen dari semua
unsur-unsur yang terlibat baik lintas sektor terkait maupun lintas program serta
dukungan penuh dari masyarakat dan profesi-profesi terkait. Dengan terbentuknya
system penanggulangan gawat terpadu sebagai salah satu unsur penting pada gerakan
masyarakat sehat dan aman (safe community) diharapkan dapat menimbulkan angka
kematian dan kecacatan.
Sehubungan dengan keadaan tersebut diatas kementrian kesehatan RI bersama profesi
terkait telah mengembangkan dan menyusun kurikulum Generasi Emergency Life
Support (GELS) yaitu pelatihan kegawatdaruratan medik untuk dokter umum dan telah
diuji coba di sepuluh provinsi.
Profesional petugas mulai dari pra rumah sakit dan rumah sakit perlu mendapat
perhatian. Kemampuan mereka dalam penanggulangan bencana perlu ditingkatkan
dengan mengikuti kursus-kursus seperti BTCLS, dan simulasi penanganan bencana
terpadu.
Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan khususnya pelayanan gawat darurat harus
sesuai dengan standar yang berlaku internasional agar dalam penanganan penderita
gawat darurat dapat dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan standar
tersebut.
24
Danger
Periksa situasi dan kondisi bahaya, pastikan lingkungan aman bagi pasien dna
perawat sebelum memberikan pertolongan. Usahakan situasi aman dulu, sebelum
memberikan pertolongan
Respone
Kaji respon pasien. Apakah pasien berespons ketika anda bertanya, untuk
menentukan kesadaran pasien, gunakan skala AVPU (Alert, Verbal, Pain,
Unresponsive). Apakah pasien alert? Berespons terhadap stimulus verbal ?
berespons terhadap pain? Apakah unresponsive?
Airway
Kaji apakah airway paten, dan tidak ada sumbatan? Jika ya ada sumbatan dan
pasien responsif, berikan pertolongan untuk pembebasan jalan napas, seperti pada
pasien tersedak. Jika ada sumbatan jalan napas dan pasien tidak responsif, lekukan
head tilt dan chin lift untuk membuka jalan nafas, pastikan terhadap reiko adanya
obstruksi airway seperti adanya stridor. Pertimbangkan untuk menggunakan C-
spine immobilisasi, suctioning, ETT.
Breathing
Cek pernapasan dan cek apakah ventilasinya adekuat dengan mempertimbangkan
oksigen, assist ventilation.
Circulation
Kaji denyutu nadi pasien pakah nadi positif, tentukan apakah nadi adekuat dengan
cek capillary refill time, pertimbangkan defibrilasi, RJP, kontrol perdarahan, elevasi
kaki (kecuali pada spnal injury), IV akses.
Menurut emergency nursing asscociation (ENA, 2007) pengkajian primer adalah
pengkajian untuk mengidentifikasi kondisi kegawatan pasien dan tindakan yang
diperlukan.berikut adalah pengkajian primer ENA secara singkat :
Airway : kaji jalan napas pasien dari usmbatan dan lakukan pembebasan jalan
napas dengan memperhatikan kondisi cervical pasien
Breathing : kaji ada tidaknya distress pernafasan dan lakukan pemberian oksigen
Circulation : kaji nadi, adanya perdarahan dan kondisi perfusi. Lakukan
penghentian perdarahan dan IV akses. Elevasi kaki, RJP dan defibrilasi
Dissability : kaji tingkat trauma neurologis, cek kemampuan gerak ekstremitas, cek
GDS, lateralisasi pupil/refleks pupil (isokor, refleks cahaya, dilatasi), lakukan
stabilisasi.
Exposure/environmental control : kaji pasien dari kepala sampai kaki, lepaskan
pakaian pasien agar dapat mengkaji lebih baik untuk mencari trauma di tempat
lain. Cegah kehilangan panas tubuh.
25
b. Secondary survey
Secondary survey adalah pengkajian yang terstruktur dan sistematis, bertujuan
untuk mengidentifikasi kondisi pasien lebih detail yang berfokus pada (quessland
ambulance service, 2016):
1. History, dlakukan meliputi poin penting mencakup SAMPLE, kemudian
dalam poin penting pengkajian nyeri dikaji dengan OPQRST (onset;
provocation; quality; radiation; severity; timing)
2. Vital sign : dilakukan pengkajian vital sign lebih detail dan lebih lengkap,
meliputi : respiration rate, blood pressure, temperature. Dengan
pertimbangan Oxygen saturation sign, glasgow coma scale, cardiac
monitor, blood glucose level.
3. Physical examinitation : dilakukan dengan pendekatan head to toe,
pemeriksaan fisik dimulai dari area kepala, leher, dada, perut, panggul,
ekstremitas anterior dan ekstremitas eksterior.
Pada penderita yang tidak sadar atau gawat, kemungkinan untuk luput dalam
mendiagnosis cukup besar, dan merupakan pertolongan yang besar bagi tenaga
kesehatan yang bertugas di Rumah Sakit apabila dilaporkan kelainan yang
ditemukan pada survey sekunder.
Pengkajian head to toe :
a. Pengkajian kepala, leher dan wajah :
Periksa wajah, adakah luka atau laserasi, perubahan tulang wajah dan
jaringan lunak, adakah perdarahan serta benda asing
Periksa mata, telinga, hidung, mulut. Adakah perdarahan, benda asing,
deformitas, laserasi, perlukaan serta adanya cairan yang keluar.
Amati bagian kepala, adakah depresi tulang belakang, tulang wajah,
kontusio/jejas, hematoma, serta krepitasi tulang.
Kaji adanya kekakuan leher.
Nyeri tulang servikal dan tulang belakang, deviasi trachea, distensi vena
leher, perdarahan, edema, kesulitan menelan, emfisema subcutan dan
krepitasi pada tulang
b. Pengkajian dada :
Pernapasan : irama, kedalaman dan karakter pernapasan
Pergerakan dinding dada anterior dan posterior
Palpasi krepitasi tulang dan emfisema subcutan
Amati penggunaan otot bantu pernapasan
Perhatikan tanda-tanda injury atau cidera (ptekie, perdarahan, sianosis,
abrasi dan laserasi)
26
c. Pengkajian abdomen dan pelvis :
Struktur tulang pada abdomen dan pelvis
Tanda-tanda cidera eksternal, adanya luka tusuk, laserasi, abrasi, distensi
abdomen, jejas
Massa : besarnya, lokasi dan mobilitas
Nadi femoralis
Nyeri abdomen, type, lokasi nyeri (OPQRST)
Bisisng usus
Distensi abdomen
Genitalia dan rectal (perdarahan, cidera pada meatus, ekimosis,tonus,
spinkter ani)
d. Ekstremitas :
Tanda-tanda injury eksternal
Nyeri
Pergerakan dan kekuatan otot ekstremitas
Sensasi keempat anggota gerak
Warna kulit
Denyut nadi perifer
e. Tulang belakng :
Jika tidak didapatkan adanya cidera/fraktur tulang belakang maka pasien
dimiringkan untuk mengamati defromitas tulang belakang, tanda-tanda
perdarahan, laserasi, jejas, luka
Palpasi deformitas tulang belakang
f. Pemeriksaan penunjang :
Radiologi dan scanning
Pemeriksaan laboratorium (AGD)
B. Diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan dapat teridentifikasi sesuai dengan
kategori urgensi masalah berdasarkan pada sistemtriage dan pengkajian yang telah
dilakukan. Prioritas dutentukan berdasarkan besarnya ancaman kehidupan (airway,
breathing, circulation). Diagnosa yang sering terjadi pada gawat darurat adalah :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
2. Pola napas tidak efektif
3. Gangguan pertukaran gas
4. Gangguan perfusi jaringan perifer
5. Penurunan curah jantung
6. Nyeri
7. Volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan
8. Gangguan perfusi cerebri
27
C. Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas b/d :
Peningkatan produksi sputum
Masuknya benda asing/cairan
Penumpukan sekresi
Tujuan : jalan nafas efektif kembali
Kriteria hasil : pernafasan reguler, dalam dan kecepatan nafas teratur.
Pengembangan dada kiri dan kanan simetris. Batuk efektif, refleks menelan
baik. Tanda dan gejala stridor tidak ada, sesak nafas tidak ada, wheezing tidak
ada. Suara nafas vesikuler kiri dan kanan. Sputum jernih, jumlah normal, tidak
berbau dan tidak berwarna. Tanda-tanda sekresi, demam tidak ada, tachicardi
tidak ada, tachioneu tidak ada.
Intervensi :
a. Mandiri
1. Auskultasi bunyi nafas, perhatikan apakah ada bunyi napas abnormal.
2. Monitoring pernapasan, perhatikan rasio inspirasu maupun ekspresi.
3. Berikan posisi semi fowler
4. Jauhkan dari polusi lingkungan
5. Observasi karakteristik batuk terus menerus atau produk sputum
6. Ajarkan pasien untuk napas dalam dan batuk efektif
7. Lakukan suction bila perlu
8. Lakukan jaw thrust, chin lift
9. Berikan posisi miring sesuai indikasi
b. Kolaborasi
1. Berikan O₂
2. Pemeriksaan laboratorium analisa gas darah. Pemasangan oro faringeal
airway, endo tracheal tube bila ada indikasi
2. Pola nafas tidak efektif b/d :
Depresi Pernapasan
Kelemaha otot pernapasan
Penurunan ekspansi paru
Kriteria Hasil :
a. Pernapasan reguler, dalam dan kecepatannya teratur
b. Pengembangan dada kiri dan kanan simetris
c. Tanda dan gejala obstruksi pernapasan tidak ada : stridor tidak ada,
sesak nafas tidak ada, wheezing tidak ada.
d. Suara nafas : vesikuler kanan dan kiri
e. Trachea midline
f. Analisa gas darah dalam batas normal : PaO₂ 80-100mmHg, saturasi O₂
> 95%, PaCO₂ 35-45 mmHg, PH 7,35-7,45.
28
Intervensi :
a. Mandiri :
1. Observasi, frekuensi, kecepatan, kedalaman dan irama pernapasan
2. Observasi, penggunaan otot bantu pernapasan
3. Berikan posisi semi fowler bila tidak ada kontra indikasi
4. Ajarkan dan anjurkan napas dalam sertabatuk efektif
5. Perhatikan pengembangan dada simetris atau tidak
6. Kaji vokal fremitus dengan meletakkan tangan di punggung pasien
sambil pasien menyebutkan angka 99 atau 77
7. Bantu pasien menekan area yang sakit saat batuk
8. Lakukan fisiotherapi dada jika tidak ada kontra indikasi
9. Auskultasi bunyi napas, perhatikan ronkhi, wheezing, dan crackles
10. Lakukan suction bila perlu
11. Lakukan edukasi kepada apsien dan keluarga pasien
b. Kolaborasi :
1. Berikan O₂ sesuai kebutuhan pasien
2. Pemeriksaan laboratorium/analisa gas darah
3. Pemeriksaan rongent thorax
4. Intubasi bila pernapasan makin memburuk
5. Pemasangan oro pharingeal
6. Pemasangan water seal drainage/WSD
7. Pemberian obat-obtan sesuai indikasi
3. Gangguan pertukaran gas b/d
Menurunnya suplay O₂ (obstruksi jalan napas oleh sekresi, spasme bronchus
Kerusakan alveoli
Hipoventilasi
Tujuan : pertukaran das tidak terganggu
Kriteria hasil :
a. Analisa gas darah dalam batas normal
b. Warna kulit normal, hangat dan kering
c. Tingkat kesadaran membaik sampai composmentis
d. Perbnafasan reguler, kecepatan dan kedalaman dalam batas normal
Intervensi :
a. Mandiri :
1. Kaji frekuensi , irama dan kedalaman pernapasan, napas melalaui
mulut, penggunaan otot-otot pernapasan, dyspneu, ketidakmampuan
bicara
2. Tinggikan tempat tidur 30-45 derajat
3. Kaji warna kulit, kuku dan membran mukosa (adanya sianosis)
4. Ajarkan mengeluarkan sputum dengan tekhnik batuk efektif
29
5. Lakukan suction bila diindikasikan
6. Auskultasi bunyi napas adalah suara ronkhi, wheezingdan crackles
7. Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung
8. Kaji tingkat kecemasan atau antusias
b. Kolaborasi :
1. Pemberian O₂
2. Pemeriksaan analisa gas darah
3. Pemasangan endo tracheal tube
4. Gangguan perfusi jaringan perifer
Menurunnya aliran darah karena vasokonstriksi
Hipovolemik
Trauma jaringan/tulang
Tujuan : gangguan perfusi jaringan dapat diatasi
Kriteria hasil :
a. Akral hangat
b. Tanda vital dalam batas normal
c. Capillary refill time <2”
d. Urine output 1 ml/KgBB/jam
e. Analisa gas darah
Intervensi :
a. Mandiri :
1. Observasi perubahan yang tiba-tiba (gangguan mental)
2. Kaji adanya pucat (akral dingin)
3. Observasi tanda-tanda vital
4. Kaji kekuatan nadi perifer
5. Kaji tanda-tanda dehidrasi
6. Obsrvasi intake dan output cairan
7. Meninggikan daerah yang cidera kecuali ada kontra indikasi
8. Observasi tanda-tanda issistemik seperti demam, hipotermia atau
peningkatan nyeri
9. Lakukan kompres es pada daerah sekitar fraktur saat terjadi bengkak
b. Kolaborasi :
1. Pemeriksaan lanboratorium lengkap
2. Pemberian cairan infus sesuai dengan indikasi
3. Pemeriksaan cairan infus sesuai dengan indikasi
4. Pemeriksaan radiologi
5. Perekaman elektro kardiogram
6. Pemberian obat-obatan sesua indikasi
30
5. Penurunan curah jantung
Peningkatan afterload, ischemic miocard
Gangguan kontraktilitas miocard
Perubahan struktur organ
Tujuan : sirkulasi miocard dalam batas normal
Kriteria hasil :
1. Nadi perifer teraba kuat
2. Heart rate 60-100/menit
3. Suara jantung normal
4. Hasil elektro kardiogram dalam batas normal
5. Tidak ada deviasi trachea
6. Vena jugularis tidak terjadi peningkatan
7. Kulit normal : hangat dan tidak kuning
8. Tingkat kesadaran membaik (composmentis)
Intervensi :
a. Mandiri :
1. Observasi tanda-tanda vital
2. Beri posisi yang nyaman
3. Auskultasi nadi avikal, kaji frekuensi, irama jantung
4. Palpasi nadi perifer
5. Kaji adanya pucat atau akral dingin
6. Kaji pengisian kapiler
7. Observasi intake dan output
b. Kolaborasi :
1. Pemberian O₂
2. Pemberian infus sesuai indikasi
3. Pemberian obat-obatan sesuai dengan indikasi
4. Rekam EKG pemeriksaan laboraotrium darah
6 Nyeri b/d
Iskemik jaringan
Sumbatan arteri koronaria
Menurunnya aliran darah miocard
Konsumsi oksigen meningkat
Tujuan : pemenuhan kebutuhan oksigen pada miocard terpenuhi
Kriteria hasil :
1. Menurunnya derajat nyeri baik respon verbal maupun pengukuran skala nyeri
2. Hilangnya indikator fisiologi nyeri : tachicardi tidak ada, tachipneu tidak ada,
diaphoresisi tidak ada, tekanan darah normal
3. Hilangnya tanda-tnda non-verbal karena nyeri : tidak meringis, tidak menangis,
mampu menunjukkan posisi yang nyaman
31
4. Mampu melakukan perintah yang tepat
Intervensi :
a. Mandiri :
1. Kaji karakteristik nyeri dengan OPQRST
2. Bantu melakukan tekhnik relaksasi
3. Batas aktifitas
b. Kolaborasi :
1. Pemberian oksigen
2. Perekaman EKG
3. Pemberian therapy sesuai indikasi
4. IVFD sesuai indikasi
7 volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan b/d
pengeluaran yang berlebih
pemasukan cairan yang kurang
perdarahan eksternal maupun internal
peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
tujuan : kebutuhan cairan dalam tubuh seimbang
kriteria hasil :
1. tanda-tanda vital stabil dan sesuai dengan perkembangan dan usia
2. urine output 1 ml/kgBB/jam
3. nadi perifer teraba besar dan kuat
4. tingkat kesadaran membaik
5. warna kulit normal, hangat dan lembab
6. nilai hematokrit 30% dl, Hb 12-14 gr/dl
intervensi :
a. mandiri :
1. kaji tanda-tanda vital setiap 1 jam
2. monitor intake dan output cairan
3. kaji adanya tanda-tanda dehidrasi
4. kaji perubahan turgor kulit, membran mukosa dan capillary refill time
5. anjurkan pasien untuk banyak minum 2000-2500 cc per hari
6. siapkan alat tekanan CVP bila diperlukan
7. monitor CVP
b. kolaborasi :
1. lakukan pemasangan infus line besar 2 jalur
2. berikan cairan sesuai anjuran
3. bila terjadi perdarahan hebat berikan cairan koloid dan darah
4. pemasangan CVP bila diperlukan
32
8. Gangguan perfusi cerebri b/d
Penyempitan pembuluh darah serebral
Peningkatan tekanan vaskuler
Tujuan : gangguan perfusi cerebri dapat diatasi
Kriteria hasil :
1. GCS 14-15
2. Tanda-tanda vital stabil dalam batas normal sesuai dengan perkembangan usia
3. Pupil : ukuran normal, bereaksi terhadap cahaya
4. Tanda-tanda gejala tekanan intra kranial (TIK : pupil edema, muntah proyektil,
penurunan kesadaran)
5. AGD dalam batas normal : PaO₂ 880-100 mmHg, SPO₂ 95%, PaCO₂ 35-45 mmHg,
PH 7,35-7,45
6. Kemampuan menggerakkan leher baik sesuai dengan alignment
7. Tidak didapatkan adanya tanda-tanda kejang
Intervensi :
a. Mandiri :
1. Kaji karakteristik nyeri
2. Observasi tanda-tanda vital
3. Kaji perubahan tingkat kesadaran
4. Tinggikan kepala 15-30: bila tidak ada kontra indikasi
5. Observasi intake dan output
b. Kolaborasi :
1. Berikan oksigen
2. Lakukan pemasangan infus
3. Monitoring analisa gas darah
4. Pemberian terapi sesuai indikasi
D. Evaluasi
Evaluasi berdasarkan pada kriteria tiap kategori kegawatan, dan dilakukan paling sedikit tiap
jam, kecuali pasien dengan kondisi emergency atau urgent tiap 15 menit.
Evaluasi mencakup : proses dan hasil
1. Evaluasi proses : mengulang langkah-langkah yang menyangkut kegiatan saat proses
triage seperti respon time, lalu lintas pasien ketetapan dan kelengkapan dokumentasi
serta untuk menuliskan prosedur, kebijakan dan protokkol.
2. Evaluasi hasil : mengulang pengkajian pasien, ketepatan dalam keputusan di triage,
rujukan dan kepuasan pasien
33
IV. DAFTAR PUSTAKA
34
MODUL 3
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)
I. Pendahuluan.
Henti jantung merupakan penyebab utama kematian di Amerika, terdapat
lebih dari 500.000 kejadian henti jantung terjadi di rumah sakit dan luar rumah sakit setiap
tahun, diperkirakan bahwa 1 dari setiap 7.4 orang di Amerika meninggal dengan henti
jantung (AHA, 2018). Henti jantung akan mengakibatkan organ organ vital akan
kekurangan oksigen, yaitu pada otak dapat mengakibatkan penurunan kesadaran, pada
jantung terjadi kematian otot otot jantung dan bila tidak ditangani segera dapat
mengakibatkan kematian. Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah langkah awal dalam
penyelamatan nyawa pasien setelah terjadi henti jantung, secara prinsip pemberian
Bantuan Hidup Dasar meliputi mengkaji secara cepat pada henti jantung mendadak,
pengaktifan system emergency (EMS), pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi
secara cepat dengan penggunaan Automated External Defibrillator (AED) (Kleinman et. al.
(2015). Pemberian BHD ini harus dilakukan secara cepat, tepat dan tentunya memerlukan
keterampilan khusus yang harus dimiliki oleh perawat. Pada materi ini akan dibahas tahap
pemberian BHD dan Automated External Defibrillator (AED).
35
2. Rantai Kelangsungan Hidup (Chain of Survival)
Sistematika penanganan pasien yang mengalami henti jantung di rumah sakit dan di
luar rumah sakit telah diatur sebagai berikut :
a. Cepat mengenali keadaan gawat daruratan (henti jantung) dan mengaktifkan
sistem gawat darurat
b. Cepat melakukan Resusitasi Jantung Paru
c. Cepat melakukan defibrilasi; RJP dengan defibrilasi dalam 3-5 menit awal dapat
meningkatkan angka keberhasilan antara 45% - 75%.
d. Cepat melakukan bantuan hidup lanjut (ACLS)
e. Penanganan pasca henti jantung yang terintegrasi
36
4. Tujuan Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi Jantung Paru merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang
bertujuan:
a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya pernafasan
b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi
37
d. Circulation (C)
Dilakukan dengan cara:
1. Memastikan ada tidaknya denyut nadi pasien.
2. Denyut nadi pasien dapat ditentukan dengan
meraba arteri karotis di daerah leher pasien
dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk
dan tengah) penolong meraba 2 – 3 cm
disamping trachea dalam waktu maximal 10
detik sambil melihat adanya pernafasan atau
tidak.
3. Bila arteri karotis tidak teraba lakukan kompresi
jantung luar dengan perbandingan 30 : 2 (kompresi : ventilasi) baik 1 atau
2 orang penolong dengan teknik sebagai berikut :
a) Letakkan salah satu pangkal telapak tangan penolong pada
pertengahan dari seperdua bagian bawah tulang dada (sternum)
30:2 (1 penolong)
Bayi 1/3 diameter AP dada 15:2 (2 penolong)
e. Airway (A)
Setelah melakukan tindakan kompresi sebanyak 30 kali maka dilanjutkan
dengan pemberian bantuan nafas sebanyak 2 kali yang diawali dengan
membersihkan jalan nafas bila ada sumbatan dan membuka jalan nafas. Benda
asing dapat dikeluarkan dengan menggunakan finger sweep selanjutnya
dikeluarkan manual.
Pembebasan jalan nafas dapat dilakukan dengan head tilt - chin lift dan Jaw
thrust (jika dicurigai adanya cedera servikal).
f. Breathing (B)
Bantuan nafas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau
mulut ke stoma, mulut ke masker dengan cara memberikan 1 bantuan nafas
setiap 6 detik antara bantuan nafas berikutnya, volume udara yang
dihembuskan sesuai kapasitas volume tidal atau sampai dada pasien terlihat
mengembang/naik saat diberikan tiupan.
Cara Memberikan Bantuan Pernafasan:
1) Mulut ke Masker
2) Mulut Ke Stoma
Pasien dengan lobang (stoma) yang menghubungkan trakhea langsung ke
kulit. Bila pasien mengalami kesulitan pernafasan maka harus dilakukan
ventilasi dari mulut ke stoma.
3) Bag Valve Mask (BVM)
Digunakan alat bag dan mask dengan diantaranya ada katup. Dengan
teknik ” EC Clamp ”. Ibu jari dan telunjuk membentuk huruf C memegang
masker dan tiga jari lainnya membentuk huruf E ekstensi kepala.
h. Jika nadi karotis teraba, tetapi nafas belum ada maka diberikan Rescue
Breathing sebanyak 10 – 12 kali/menit selama 2 menit dan di evaluasi lagi.
i. Jika nadi teraba dan nafas sudah spontan maka berikan recovery position
(posisi pemulihan) yang bertujuan untuk mempertahankan jalan nafas tetap
paten dan mengurangi risiko sumbatan jalan nafas dan aspirasi.
3. Resusitasi Jantung Paru dapat dihentikan bila :
1) Timbul sirkulasi dan nafas yang efektif dan spontan.
2) Dilanjutkan ke tenaga profesional.
3) Pasien dinyatakan meninggal
4) Penolong tidak dapat melanjutkan karena kelehana, ada bahaya
lingkungan.
5) Terdapat kondisi valid Do Not Resusitation (DNR) pada penolong
4. Komplikasi RJP
a. Akibat bantuan napas : inflasi gaster dan regurgitasi
b. Akibat kompresi : fraktur iga, pneumothoraks, hemothoraks, kontusio paru,
laserasi hati dan limpa serta emboli lemak
III. Penggunaan Automated External Defibrillator (AED)
Untuk manfaat optimal, penggunaan AED harus dilakukan dengan benar dengan langkah
langkah sebagai berikut:
1. Lepaskan pakaian pasien dan benda lain yang
menempel ditubuh pasien.
2. Hidupkan AED dengan menekan tombol power. AED
akan memberikan panduan dalam bentuk suara
mengenai langkah yang akan dilakukan.
3. Tempelkan pads AED yang sesuai dengan ukuran
pasien di dada. Tempatkan pads sesuai posisi yang
tampak pada gambar. (sesuaikan dengan jenis AED
yang digunakan, manual dan automatic)
4. AED menganalisis denyut jantung pasien, setelah analisis selesai AED akan
menginformasikan apakah pasien perlu segera dilanjutkan kompresi atau AED
menyarankan agar kejutan dilakukan.
5. Bila diindikasikan untuk dilakukan kejutan listrik, pastikan tidak ada penolong yang
menyentuh pasien, lalu tekan tombol “shock “ pada AED untuk memberikan kejutan
listrik, AED akan memberikan arahan kepada penolong untuk melakukan pemeriksaan
pada pernafasan atau denyut nadi pasien, melanjutkan RJP. Setelah 2 menit AED akan
kembali menganalisis denyut jantung kembali dan akan menentukan apakah perlu
dilakukan kejutan listrik lagi.
6. Jika kejutan listrik tidak diperlukan tapi penderita belum menunjukkan tanda tanda
kehidupan, terus lakukan RJP sesuai arahan AED hingga bantuan professional datang.
HIGHLIGHT
Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
V. DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association (2018). Part 2: Ethical Aspects of CPR and ECC. Diakses tanggal 26 Desember 2019 dari
https://ahajournals.org/doi/full/10.1161/circ.102.suppl_1.i-12
Advance Cardiovascular Life Support Provider Manual (2016) Americcan Heart
Association Guidelines 2015 CPR & ECC. 7272 Greenvile Avnue Dallas, Texas 75231-
4596, USA
ANZCOR (2016). Anzcor Guideline 11.1- Introduction to Advanced Life Support. Diakses tanggal 26 Desember 2019
https://www.nzrc.org.nz/assets/Guidelines/Adult-ALS/All-Adult-ALS-Guidelines- June-
2017.pdf.
Ayu, I dan Putu, G (2017). Bantuan Hidup Dasar. SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, diakses dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/5e25fa3ff7f4d41acb8344b
75ef64a0a.pdf tanggal 25 Desember 2019.
Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, Swor RA, Terry M, Bobrow BJ, Gazmuri RJ,
Travers AH, Rea T. (2015) Part 5: adult basic life support and cardiopulmonary
resuscitation quality: 2015 American Heart Association Guidelines Update for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation.
2015; 132 (suppl 2):S414–S435.
Meaney et al (2013). AHA Consensus Statement. Cardiopulmonary Resuscitation Quality: Improving Cardiac
Resuscitation Outcomes both Inside and Outside the Hospital. Diakses tanggal 26 Desember 2019 dari
https://cpr.heart.org/-/media/cpr-files/resus-science/high-quality-cpr/cpr-
statement.pdf?la=en&hash= E65102CD1727888882A462B1723DF7ABEB46C873
American Heart Association (2018). AHA Statistical Update. Heart Disease and Stroke Statistics 2018 Update. Diakses
tanggal 26 Desember 2019 dari https://www.ahajournals.org/doi/pdf/10.1161/ CIR.0000000000000558
American Heart Association (2015). Guidelines CPR & ECC.
Campbell, J., Alson, R., Hasting, D (2016). International Trauma Life Support for Emergency Care Providers, 8 th.
Alabama Chapter. America College of Emergency Physicians.
Engk Hock Ong, Perkins, G, Cariou. A (2018). Out – of – hospital cardiac arrest: prehospital management. Diakses
tanggal 26 Desember 2019. https://pdf.sciencedirectassets.com/271074/1-s2.0-
S0140673618X00129.
Panchal, Ashish, Berg, K., et al (2018). 2018 American Heart Assosiation Focused Update on Advanced Cardiovascular
Life Support Use of Antiarrhythmic Drugs During and Immediately After Cardiac Arrest. An Update to the AHA
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2018; 138;e740-
e749.DOI:1161/CIR.0000000000000613.
MODUL 4
TRAUMA ASSESSMENT
(INITIAL ASSESSMENT)
I. Pendahuluan
Penderita yang mengalami trauma berat atau multiple seringkali jatuh dalam kondisi kritis
dalam waktu yang cepat, bahkan mengarah kepada kematian. Untuk itu, diperlukan suatu
metode penilaian dan penanganan yang sistematis dengan tujuan mengenali secara cepat
hal-hal yang mengancam nyawa serta berpotensi mengancam nyawa. Konsep Trauma
Assessment diyakini dapat membantu secara cepat mengenali dampak trauma yang
mengancam nyawa serta kaitannya dengan penanganan awal dan definitif baik pada fase
pre hospital maupun di intra hospital.
b. Intra Hospital
Saat penderita trauma tiba di rumah sakit, cara dan prinsip pemindahan
penderita dari alat transport ke brankar perlu mempertimbangkan apakah
pada fase pre-hospital sudah diberikan penanganan awal oleh petugas atau
penderita dibawa oleh bukan petugas dan tanpa penanganan awal terlebih
dahulu. Jika terindikasi, maka perlu dilakukan pengamanan terhadap spinal
terutama bagian servikal dengan melakukan imobilisasi menggunakan neck
collar, dan long spinal board, kemudian dilakukan pemeriksaan dan
penanganan di ruang tindakan IGD, proses administrasi tidak boleh terlalu
lama membuat penundaan penanganan pada penderita, bahkan untuk
penderita dengan masalah pada jalan napas, pernapasan, sirkulasi darah dan
kondisi penurunan kesadaran harus segera dilakukan penanganan tanpa
dilakukan penundaan, kecuali ada penderita lain yang lebih darurat dan jumlah
petugas tidak mencukupi.
Jika jumlah penderita yang datang lebih banyak dari kapasitas petugas jaga
IGD, perlu dilakukan pemilahan (triage) dengan beberapa pilihan konsep.
Metode pemilahan yang dipilih untuk diterapkan dapat disesuaikan dengan
karakteristik rumah sakit serta kearifan lokal, namun harus tetap
mengedepankan prinsip mempercepat bantuan pada penderita dengan
kondisi paling darurat terhadap ancaman keselamatan nyawa.
Sistematika penanganan penderita trauma di rumah sakit selalu dimulai
dengan survey primer (ABCDE) dengan mempertimbangkan tambahan lain
sesuai kondisi dan jika sudah stabil kemudian dilanjutkan dengan survey
sekunder, pendokumentasian dan rujukan yang sesuai kebutuhan dari kondisi
penderita (Ruang observasi, Ruang operasi, Ruang Intensif, atau rawat inap).
Open Pneumothorax
Tanda khas:
- Luka terbuka pada dada
- Terdengar bunyi menghisap
(sucking chest wound) pada
luka di dada
- Hasil perkusi hypersonor (lebih
nyaring)
Gambar 2. Tindakan Oclusive Dressing 3
sisi untuk Open Pneumothorax
Penanganan:
(Sumber: Brasel, K. J. (2013). Advanced
- Berikan oksigen trauma life support (ATLS))
- Tutup luka dengan Oclusive dressing (balutan kedap udara yang
diplester pada 3 sisi)
- Kolaborasi dengan Dokter dalam pemasangan Chest Tube (selang dada)
Tabel 1: Pemeriksaan Fisik Dada
Pemeriksaan dan nilai tanda vital berkaitan dengan kondisi cedera penderita
meliputi; Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas, suhu tubuh, dan
karakteristik nyeri (jika pederita sadar). Selanjutnya lakukan pemeriksaan fisik
secara menyeluruh dari kepala hingga ujung kaki (from head to toe) untuk
mengidentifikasi dan stabilisasi cedera lain pada penderita. Pemeriksaan bagian
abdomen dapat dibagi menjadi 4 kuadran dan dilakukan dengan teknik IAPP
(Inspeksi, Auskultasi, Perkusi dan Palpasi), rencanakan USG jika diperlukan untuk
memastikan perdarahan abdominal dan retroperitoneal. Penderita dengan cedera
pelvis terlebih dahulu dilakukan pemasangan gurita sebelum melakukan tindakan
log-roll untuk pemeriksaan bagian belakang (bagi penderita yang dicurigai trauma
spinal). Selain melihat cedera yang tampak pada bagian belakang, petugas juga
perlu melakukan palpasi pada spinal untuk mengidentifikasi pergeseran posisi ruas
spinal (step up, step down) dan keluarnya urin atau feses patut dicurigai sebagai
tanda dari trauma pada lumbalis spinal. Untuk membantu melakukan pemeriksaan
fisik sekunder dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Pemeriksaan Fisik Sekunder
Item Hal Yang Dapat Komponen Temuan Penting Pemeriksaan
Dikenali pemeriksaan Penunjang
Tingkat Keparahan cedera Skor GCS ≤8 : CKB CT Scan
Kesadaran kepala 9-12 : CKS MRI
13-15 : CKR
Pupil Tipe CK Ukuran Efek Massa CT Scan
Penampakan Bentuk Injuri Otak Difus
cedera mata Reaksi Injuri Mata
Kepala Cedera Inspeksi lesi dan Laserasi kulit CT Scan
kulit fraktur tulang kepala
kepala kepala Fraktur
Cedera Palpasi depresi
kepala penonjolan dan Fraktur basis
cekung (defects)
Maxillofacial Cedera jaringan Deformitas Fraktur X-Ray
lunak dan/atau Mal Oklusi Cedera jaringan CT-Scan
tulang
Krepitasi lunak
Kerusakan saraf
Cedera oral
Leher Cedera Laring Inspeksi Deformitas X-Ray
Cedera Servikal Palpasi laring CT C-Spine
Masalah Auskultasi Emfisema Angiografi
subkutan
Vaskular Esophagos-
Cedera Esofagus Hematoma copy
Penurunan Bunyi bruit Laryngosco
fungsi Penetrasi py
neurologis tulang (step-
up or step-
down)
Nyeri dan
kemerahan
Chest / Ada luka, Inspeksi Bunyi nafas : X-Ray
Thorax
Penetrasi, dan Palpasi Stridor, ronchi, dll thorax
benda yang Auskultasi Laju Angiografi
tertusuk. pernafasan Bronchosco
Krepitasi dinding meningkat py
dada Nyeri tekan Tube
Periksa fraktur. Thoracosto
Gerakan ekspansi my
dada yang sama. Pericardioc
entesis
Abdomen Cedera dinding Inspeksi Nyeri & lebam DPL/USG-
abdomen Auskultasi Iritasi / luka FAST
Cedera Perkusi Berkurang/ CT
Intraperitoneal Abdomen
Palpasi Hilangnya bunyi
Cedera bising usus Laparatom y
Retroperitoneal Cedera organ X-Ray +
retro- peritoneal Kontras
Angiografi
Pelvis Cedera Saluran Inspeksi lebam, Cedera X-Ray Pelvis
Genitourinaria lesi, deformitas Saluran Urethrogra m
Fraktur Pelvis pelvis, tanda Genito-
Cystogram
rupture uretra urinaria
IVP
Palpasi pelvis Ruptur uretra
CT Kontras
thdp bunyi Fraktur Pelvis
krepitasi,
ketidakstabil an
tulang
Rectal
Touche
Spinal Cord Cedera kranial Respon motorik dan Efek unilateral X-Ray
sensorik (nyeri)
Cedera Spinal dari massa pada CT Scan
kranial
Cord MRI
Cedera saraf tepi Quadriplegia
Paraplegia
Cedera serabut
saraf
Kolom Cedera kolom Respon verbal Fraktur X-Ray
Verterbra vertebra Thdp nyeri & Dislokasi CT Scan
Ketidakstabilan tanda
MRI
vertebra lateralisasi
Cedera syaraf Jejas dan
deformitas
Ekstremitas Cedera jaringan Inspeksi Luka,memar,p X-Ray
lunak Palpasi ucat, bengkak Tulang
Fraktur dan deformitas Spesifik
Dislokasi Nyeri & Pemeriksaan
krepitasi Doppler
Masalah
neurovaskular Nadi ujung Pemeriksaan
tidak teraba Tek.kompar
Penurunan temen
fungsi saraf Angiografi
Tindakan penjahitan luka yang terbuka dapat dilakukan di IGD pada fase secondary
kecuali luka pada pembuluh arteri yang ditandai dengan warna darah lebih cerah
serta keluarnya darah secara memancar bukan mengalir seperti pada vena.
Penjahitan luka yang melibatkan perdarahan melalui arteri harus dilakukan di
ruang operasi. Setelah semua pemeriksaan dan tindakan dilakukan, petugas tidak
boleh lupa melakukan pendokumentasian sesuai dengan format dokumentasi
yang berlaku (baca bagian dokumentasi). Transport penderita ke ruang operasi
atau unit pelayanan lain sesuai kondisi penderita harus dilakukan sesuai prinsip
serah terima yang benar melalui komunikasi antar bagian pelayanan atau petugas.
Serah terima harus dilakukan oleh petugas yang melakukan initial assessment
pada penderita untuk menghindari kesalahan dalam penyampaian data mengenai
kondisi, tindakan yang sudah dan yang perlu dilakukan pada penderita
Critical Points
1. Penderita dengan Hipertensi sebagai penyakit penyerta dapat menyebabkan
kesalahan interpretasi dalam managemen syok dan resusitasi cairan, konsumsi
obat anti-hipertensi harus diketahui dan disesuaikan dengan temuan pemeriksaan
tekanan darah.
2. Penderita yang tidak diketahui status dan riwayat alergi antibiotika sebaiknya
dilakukan uji alergi (skin test).
3. Penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan dapat menyebabkan
luputnya identifikasi sindroma kompartemen (tekanan intra-kompartemen dalam
eksterminitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah). Tidak terabanya
nadi pada ujung ekstremitas yang mengalami cedera wajib dicurigai mengalami
sindroma kompartemen.
4. Pemeriksaan frekuensi nadi untuk identifikasi syok sebaiknya dilakukan pada
ekstremitas yang tidak cedera, jika petugas ragu apakah nadi perifer teraba atau
tidak (nadi sangat lemah), segera identifikasi nadi karotis. Jika nadi karotis teraba
maka penderita dapat dinyatakan sedangan mengalami syok berat, namun pada
kondisi ini jika nadi karotis juga tidak teraba maka segera lakukan resusitasi jantung
dan paru (trauma berat dapat menyebabkan henti jantung).
5. Petugas yang menangani penderita trauma berat di pre-hospital atau tempat
pelayanan dengan keterbatasan kelengkapan alat dan tenaga khusus yang
dibutuhkan sebaiknya tidak terlalu lama menunda transport.
HIGHLIGHT
Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
III. Daftar pustaka
Campbell, John E. & Alson, Roy L. (2018). International Trauma Life Support for Emergency
Care Provider, 8th Ed. England: Pearson Education Limited.
Brasel, K. J. (2013). Advanced trauma life support (ATLS®): The ninth edition. Journal of
Trauma and Acute Care Surgery, 74(5), 1363-1366. DOI:
10.1097/TA.0b013e31828b82f5
Wilson C.T. & Clebone A. (2014). Initial Assessment and Management of the Trauma
Patient. ResearchGate, March 2014: DOI: 10.1007/978-1-4939-0909-4_1. Retrieved
from: https://www.researchgate.net/publication/286401634
Zemaitis MR, Planas JH, Shah N, et al. Trauma Secondary Survey. [Updated 2019 Jun 6].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441902/
WHO & IATSIC. (2004). Guidelines for essential trauma care. Geneva: WHO Library
Cataloguing-in-Publication Data. Also retrieved from: www.who.int
Wilkinson D.A. & Skinner M.W. (2000). Primary Trauma Care, Standard Edition. Oxford:
Primary Trauma Care Foundation
MODUL 5
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN GANGGUAN JALAN NAFAS
DAN PERNAFASAN
I. Pendahuluan
Pemenuhan oksigen darah ke otak dan organ vital lainnya yang tidak adekuat merupakan
pembunuh tercepat pasien (terutama trauma). Upaya perlindungan, membuka jalan nafas
dan ventilasi merupakan upaya penting dalam mencegah hipoksia. Faktanya, membuka
jalan nafas yang terganggu, memberikan oksigen, dan support ventilasi menjadi prioritas
pada manajemen jalan nafas dalam semua kondisi. Terutama pemberian Oksigen ekstra
harus diberikan kepada semua pasien trauma yang terluka parah. (Stewart, Ronald, et al,
2018)
Ada banyak strategi dan pilihan peralatan untuk mengelola jalan napas pada pasien
terutama pasien dengan trauma. Peralatan dan strategi yang memiliki tingkat keberhasilan
yang tinggi merupakan bagian dalam pengelolaan jalan. Langkah pertama adalah
mengidentifikasi dan mengelola jalan nafas yang berpotensi mengancam jiwa adalah
mengenali tanda-tanda obstruksi jalan nafas secara objektif dan mengidentifikasi trauma
atau luka bakar yang melibatkan wajah, leher, dan laring.
2. Fisiologi
Ketika pernafasan terjadi, udara masuk ke jalan nafas mencapai alveoli. Adanya
perbedaan tekanan gas O2 dan CO2 alveoli dengan pembuluh kapiler pulmonal akan
membuat perpindahan O2 alveoli ke dalam kapiler pulmonal dan CO2 dari plasma ke
alveoli. Oksigen kemudian diikat oleh Hemoglobin, akan dibawa menuju seluruh tubuh
untuk digunakan dalam proses metabolism. Karbondioksida bergerak dari aliran darah,
melintasi membrane alveolar-kapiler, masuk ke dalam alveoli dan dikeluarkan selama
ekspirasi.
Ukuran untuk 1 kali bernapas disebut volume tidal. Volume tidal saat istirahat adalah
sekitar 500 cc, dari volume udara ini ada sebanyak 150 cc akan tetap berada dalam
ruang mati (dead space) dan tidak ikut dalam pertukaran gas. Volume tidal x frekuensi
ventilasi per menit = volume per menit.
Sistem respirasi memiliki dua fungsi, fungsi pertama adalah untuk menyediakan oksigen
dan fungsi kedua adalah untuk melepaskan karbondioksida. Namun fungsi akhir dari
pernafasan manusia ada pada tingkat sel. Pada tingkat sel maka Oksigen akan dipakai
pada siklus Kreb untuk menghasilkan energi atau metabolisme aerob yang akan
menghasilkan 38 Adenosina trifosfat (ATP). Sedangkan pada metabolisme an-aerob
maka dihasilkan 4 ATP. Energi yang dihasilkan dari reaksi hidrolisis ATP digunakan oleh
sel tubuh untuk melakukan berbagai aktivitas sel dalam menjaga kehidupan manusia.
Untuk itu, maka manajemen jalan nafas dan pernafasan selalu menjadi prioritas pertama
dalam pertolongan kegawatdaruratan (Arif, 2014).
Fungsi pernafasan sangat penting untuk menyangga kehidupan, sehingga harus dijaga
agar:
1. Jalan nafas tetap lancar/paten
2. Kecukupan Oksigen terpenuhi
3. Oksigen dapat dialirkan ke seluruh jaringan dan
4. Karbondioksida dapat dikeluarkan
Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan oksigen bisa terjadi akibat gangguan jalan nafas
(Airway) dan pernafasan (Breathing). Kondisi ini akan memicu terjadinya hipoksemia
kemudian memicu hipoksia. Hipoksia akan menyebabkan iskhemi pada sel tubuh, dan
jika tidak diatasi akan menyebabkan kematian karena ketiadaan energi untuk aktivitas
sel.
III. Patofisiologi
Kepatenan jalan nafas dapat terganggu akibat adanya sumbatan pada jalan nafas.
Sumbatan jalan nafas dapat sebagian (parsial) dan total. Kasus sumbatan jalan nafas pada
dewasa umumnya terjadi akibat tersedak makanan, sedangkan pada bayi atau anak karena
tersedak makanan ataupun mainan. Orang yang tidak sadarkan diri mudah mengalami
sumbatan jalan napas, baik yang disebabkan oleh lidah ataupun benda asing.
Penatalaksanaan yang baik merupakan kunci untuk mencegah kematian akibat sumbatan
jalan napas.
Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan pertukaran udara
antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal akan
menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem pulmoner tidak dapat mencukupi
kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO2 dan oksigenasi darah. Gagal napas terjadi
bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) < 60 mmHg atau tekanan parsial
karbondioksida arterial (PCO2) > 45 mmHg. Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi
dua tipe yang utama menurut sebabnya, yaitu gagal napas hipoksemia, dan gagal napas
hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2
normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg.
Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas
kronik. Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan
neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Gagal
napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan penanganan
yang cepat dan tepat (Arif; 2014; Amelia, Trisyani dan Theresia; 2018).
IV. Pengkajian
A. Fisik Pernafasan
Inspeksi
1. Tingkat kesadaran: apatis, disorientasi, kebingungan, tidak sadar
2. Pernapasan yang sangat cepat (takipnoe) atau sangat lambat (bradipnoe)
Frekuensi pernapasan normal adalah:
a. Dewasa 12-20 x/menit
b. Anak-anak 15-30 x/menit
c. Bayi 30-50 x/menit
3. Pola pernafasan; regular atau ireguler
4. Usaha bernapas yang berlebihan / sesak
a. Tampak kesulitan bernafas/ sesak
b. Pemakaian otot pernafasan, adanya retraksi/tarikan otot diantara tulang rusuk,
dan otot sekitar leher.
c. pergerakan dada tidak sama atau hanya salah satu dinding dada yang bergerak
Pada anak-anak pernapasan dapat terjadi “chain saw” dimana pernapasan
menggunakan pergerakan dada dan perut.
5. Sianosis
a. Sianosis perifer; kuku, jari tangan
b. Sianosis central; bibir, hidung dan telinga pasien.
Auskultasi
Suara Nafas; Dengarkan bising napas, apakah vesikuler atau ada ronchi. Waspadai
dengan suara napas snoring, gurgling, crowing dan stridor.
Perkusi
Pada keadaan normal akan selalu sonor. Pada keadaan hipersonor menandakan adanya
penumpukan udara pada rongga dada (tension peumothorak)
Palpasi
Identifikasi adakah suara krepitasi dan rasa nyeri pada saat dilakukan palpasi.
Kemungkinan terjadinya patah tulang pada iga sangatlah mungkin pada kondisi trauma
thorak.
Nadi: Pada tahap lanjut, pernapasan yang tidak adekuat ditandai dengan denyut nadi
yang lemah dan lambat, dan frekuensi pernapasan yang tadinya cepat menjadi lambat.
B. Pengkajian Diagnostik
1. Pulse oxymetry
Pulse oximetry dapat mengukur saturasi oksihemoglobin (SpO2) arterial sesaat dan
frekuensi denyut jantung. SpO2 ditetapkan berdasarkan ratio absorpsi sinar merah
dan inframerah melalui jaringan. Perubahan absorpsi
sinar ini dikarenakan pulsasi darah melalui pembuluh
darah dihubungkan dengan microprocessor kecil,
untuk menetapkan saturasi arteri dan frekuensi denyut
jantung. Nilai normal SpO2 adalah > 95%. Apabila SpO2
turun sampai di bawah 90%, kemungkinan besar telah
terjadi perburukan pengiriman oksigen ke jaringan.
Pada kasus trauma dimana terjadi penurunan kesadaran atau terlihat jejas karena cedera
(goresan, sayatan, hematom, perdarahan) di atas klavikula maka harus diwaspadai
kemungkinan ada cedera servikal. Sebelum ada konfirmasi dengan rontgen leher, maka
leher harus dilakukan immobilisasi dengan manual atau cervical collar.
Pasien gawat darurat yang perlu pertolongan diposisikan telentang, tanpa bantal, dan pada
alas punggung datar. Bila pasien ditemukan tidak pada posisi telentang, maka harus
diupayakan posisi telentang dan pada tempat yang aman, dengan tetap melindungi posisi
kelapa dan leher bila ada kecurigaan fraktur leher. Hindari manuver yang membuat kepala
pasien ekstensi.
Manuver tanpa alat ini dikerjakan untuk pertolongan emergensi tanpa menunda
waktu dan dapat dikerjakan dimana saja.
3. Advance Airway
Advance management airway sering diartikan sebagai tindakan pemasangan airway
definitif yaitu dengan cara pemasangan pipa kedalamn trakhea. Indikasi pemasangan
airway definitif adalah dengan klinis sebagai berikut:
a. Apnea
b. Ketidakmampuan mempertahankan jalan nafas yang bebas dengan cara lain.
c. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi atau vomitus.
d. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, seperti akibat lanjut dari
cedera inhalasi, patah tulang wajah, hematoma retri faringeal, atau kejang-kejang
berkepanjangan.
e. Adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan nafas (GCS 8)
f. Ketidakmampuan mempertahankan osigenasi yang adekuat dengan memberikan
oksigen melalui bag valve mask (BVM). Ada tiga jenis alat airway definitif, yaitu pipa
oro trakheal, pipa naso trakheal, dan airway surgical. Indikasi untuk pemasangan alat
airway definitif dapat dilihat pada tabel.
Berikut adalah beberapa intervensi pemasangan advance airway:
a. Endotracheal tube (ETT)
Pemasangan Intubasi endoktrakheal harus memperhatikan adanya kecurigaan
fraktur servikal. Sebaiknya dilaklukan oleh dua orang untuk melakukan imobilisasi
untuk segaris pada servikal. Pasien yang mempunyai skor GCS 8 atau lebih rendah
harus harus segera dilakukan intubasi, karena pasien tersebut tidak bisa menjaga
patensi jalan nafasnya dan memerlukan oksigenasi yang adekuat.
V. PENATALAKSANAAN PERNAFASAN
A. Terapi Oksigen Non Invasif
Pemberian Oksigen bisa dilakukan dengan alat non invasif ataupun dengan ventilasi
mekanik. Keuntungan pemberian oksigen noninvasive positive pressure ventilation
adalah:
1. Pasien masi bisa melakukan aktivitas berbicara, menelan dan mekanisme
pertahanan jalan nafas fisiologis
2. Mengurangi resiko cedera dan infeksi pemakaian ventilasi mekanik
Alat-alat yang digunakan untuk pemberian oksigen noninvasive positive pressure
ventilation (NPPV) (Amelia, Trisyani, Theresia; 2018):
a. Nasal kanul
Pemberian oksigen low flow dan low consentration.
Oksigen dapat diberikan 2-4 l/mnt. Dapat meningkatan
konsentrasi oksigen perliter sebanyak 4% Oksigen.
Lakukan pembersihan pada nasal dan area cuping hidung
untuk mengurangi tersumbatnya nasal dan iritasi cuping.
b. Face mask / simple mask
Oksigen dapat diberikan 5-8 l/mnt. Face mask dapat
memberikan peningkatan konsentrasi oksigen sebesar
40%-60% oksigen.
c. Rebreathing mask
Oksigen dapat diberikan 8-12 l/mnt. Konsentrasi yang
diberikan 50%-80%. Pemakain rebreathing mask harus
menggunakan reservoir oksigen.
d. Non rebreathing mask
Konsentrasi oksigen yang dihasilkan 85%-100%. Alat ini
hampir sama dengan rebreathing mask tapi yang
membedakannya adalah alat ini dilengkapi dengan klep
agar udara inspirasi dan ekspirasi tidak tercampur. Selain
itu alat ini dilengkapi dengan reserpoir (kantung udara)
yang harus diisi oksigen untuk inspirasi. Apabila
menginginkan pemberian dengan konsentrasi tinggi, maka
pemakaian alat ini merupakan pilihan yang paling baik.
B. Pemberian ventilasi
1. Mouth to mask ventilation
Masker yang digunakan biasanya pocket mask dengan
katup searah untuk menghindari terhirupnya udara
ekspirasi pasien. Hal yang harus diperhatikan adalah
mencegah terjadinya kebocoran agar pernapasan yang
diberikan efektif. Tindakan ini juga dapat dilakukan sambil
melakukan fiksasi kepala pada pasien trauma.
2. Bag Valve Mask (BVM)
Alat BVM terdiri dari kantong udara dan non rebreathing
valve, yang dapat disambungkan dengan masker, ETT
atau alat airway definitif lainnya. Konsentrasi bisa sampai
dengan 100% bila reservoir disambungkan dengan
oksigen.
HIGHLIGHT
Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
VI. DAFTAR PUSTAKA
Amelia, Trisyani dan Theresia (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana (ed.
Indonesia 1). Elsevier. Singapore.
Arif M., (2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan.
Salemba Medika. Jakarta
American Heart Association. 2015. Advanced Cardiovascular Life Support Provider Manual
Professional. ISBN: 978-1-61669-010-6 American Heart Association. USA.
Baird, M. S. 2016. Manual of Critical Care Nursing. Nursing Interventions and Collaborative
Management. 7th Edition. Missiori. Elsivier.
Cambell, J.E., & Alson, R.L. 2012. Internasional Trauma Life Support for Emergency Care
Providers. 7th Edition. New Jersey. Pearson Education.
Life Support Training Center. 2013. Basic Trauma Life Support. Malang. FKUB.
Stewart, Ronald, et al (2018). ATLS. Advanced Trauma Life Support. Student Course
Manual. The Committee on Trauma. Tenth Edition. ISBN 78-0-9968262-3-5. American
College of Surgeons. Chicago.
MODUL 6
PENATALAKSANAAN PASIEN
DENGAN CEDERA KEPALA DAN MEDULA SPINAL
I. Pendahuluan
Cedera kepala dan Spinal merupakan masalah kesehatan serius di dunia. Menurut The
Global Burden of Disease tahun 2010 bahwa 89% kematian akibat trauma atau hampir
enam juta kematian atau sekitar 10% kematian di seluruh dunia (Rubiano et al, 2015).
Tahun 2015, the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa
Cedera kepala menyumbang sekitar 2,5 juta kunjungan ke Instalasi gawat darurat (IGD).
Sekitar 87% nya dirawat, 11% lainnya dipulangkan setelah pengobatan, dan sekitar 2%
meninggal dunia. Di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah, banyak
pengguna kendaraan roda dua, terutama pengguna sepeda motor, dan lebih dari 50%
terluka atau meninggal akibat KLL salah satu penyebebnya adalah cedera kepala.
Prevalensi cedera kepala pada laki-laki lebih besar daripada perempuan.
Ducker dan Perrot melaporkan 40 % cedera medulla spinalis disebabkan karena
kecelakaan lalulintas, 20 % karena jatuh, 40 % karena luka tembak, trauma olahraga, dan
kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada vertebra
C2 diikuti dengan C5 dan C6. Untuk Insidensi trauma medulla spinalis pada laki-laki lima
kali lebih besar daripada perempuan. Angka mortalitas diperkirakan 48 % dalam 24 jam
pertama. Sekitar 80% meninggal di tempat kejadian oleh karena vertebra servikalis
memiliki risiko trauma paling besar, dengan level tersering C5, diikuti C4, C6, kemudian
T12, L1, dan T10. Berdasarkan kecacatan yang terjadi, 52% kasus menyebabkan paraplegia
dan 47% mengalami tetraplegia (Derwenskus, & Zaidat, 2004).
3. Patofisiologi
Cedera dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan seperti akselerasi, rotasi,
kompresi, dan distensi sebagai akibat dari proses akselerasi dan deselerasi. Kekuatan-
kekuatan ini menyebabkan tekanan pada tulang tengkorak yang dapat mempengaruhi
neuron, glia, dan pembuluh darah dan selanjutnya menyebabkan kerusakan fokal,
multifokal maupun difus pada otak. Cedera otak dapat melibatkan parenkim otak dan /
atau pembuluh darah otak. Cedera pada parenkim dapat berupa kontusio, laserasi,
ataupun diffuse axonal injury (DAI), sedangkan cedera pada pembuluh darah otak dapat
berupa perdarahan epidural, subdural, subaraknoid, dan intraserebral yang dapat
dilihat pada CT-scan (Indharty, 2012).
Menurut Indharty (2012), cedera otak primer menimbulkan cedera otak sekunder. Hal
ini dapat terjadi akibat adanya reaksi radang, biokimia, pengaruh neurotransmitter,
gangguan autoregulasi, neuroapoptosis, dan inokulasi bakteri. Faktor intrakranial (lokal)
yang mempengaruhi cedera otak sekunder adalah adanya hematoma intrakranial,
iskemik otak akibat penurunan perfusi ke 11 jaringan di otak, herniasi, penurunan
tekanan arterial otak, tekanan intrakranial yang meningkat, demam, vasospasm, infeksi,
dan kejang. Sebaliknya, faktor ekstrakranial (sistemik) yang mempengaruhi cedera otak
sekunder dikenal dengan istilah “nine deadly H’s” meliputi hipoksemia, hipotensi,
hiperkapnia, hipokapnia, hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi, hiponatremi,
hipoproteinemia, serta hemostasis.
Kompikasi cedera kepala adalah timbulnya peningkatan tekanan intra kranial (PTIK).
Menurut Pinto et al (2019) PTIK adalah kondisi klinis yang diasosiasikan dengan
meningkatnya tekanan di dalam Cranium (nilai normal <20 mmHg). Cranium terdiri dari
3 komponen utama -yang strukturnya rigid- yaitu Otak, Cairan Serebro spinal (CSF) dan
darah. Bila ada peningkatan volume pada salah satunya maka akan meningkatkan
tekanan di dalam cranium. Doktrin the Monroe-Kellie menyatakan bahwa isi Cranium
itu volumenya tetap. Artinya volume darah, jaringan otak dan cairan serebrospinal itu
tetap. Dampak klinis dari perubahan volume komponen diatas akan menurunkan aliran
darah di serebelum atau mengakibatkan herniasi otak. Efek yang berbahaya dari
hipertensi Intrakranial (TIK) akibat dari cedera kepala adalah Iskhemia serebral. Ini
terjadi karena penurunan perfusi jaringan otak karena peningkatan tekanan
intrakranial. Tekanan perfusi serebral (CPP normalnya 60 - 70 mmHg). Kecurigaan klinis
dari peningkatan i intrakranial (TIK) harus dilakukan jika klien mengalami tanda dan
gelaja: sakit kepala, muntah, perubahan status mental dari kantuk hingga koma. Trias
Cushing adalah sindrom klinis yang terdiri dari Hipertensi, bradikardia, pernafasan tak
teratur, dan tanda yang mengarah pada herniasi otak
Pada kasus cedera kepala dapat timbul penurunan aliran darah dan hipoksia otak. Keadaan
hipoksia setelah cedera kepala, menimbulkan metabolisme anaerob, sehingga terjadi
penimbunan asam laktat dan menyebabkan terjadinya asidosis intraseluler dan
ekstraseluler. Kondisi asidosis menyebabkan terjadinya kerusakan neuron, jaringan glia
dan jaringan vaskuler. Kondisi hipoksia otak juga akan merangsang terjadinya edema
cerebri yang justru akan menyebabkan kondisi hipoksia semakin memburuk. Efek hipoksia
dan udema pada jaringan sekitar lokus primer akan mengakibatkan kerusakan sekitarnya
dan menimbulkan kerusakan otak sekunder. (Sharf & El-Gebali, 2013). Karenanya tujuan
utama penanganan pasien dengan cedera kepala adalah menangani kerusakan primer dan
mencegah terjadinya cedera kepala sekunder. Cara paling penting untuk membatasi
kerusakan sekunder otak adalah dengan memastikan oksigenasi yang adekuat dan
menjaga tekanan darah pada level normal sehingga perfusi ke otak cukup/ (Stewart,
Ronald, et al, 2018)
Berdasarkan Beratnya Cedera
Tingkat keparahan cedera kepala dari cedera kepala ringan hingga cedera kepala berat, ciri
cirinya dapat diperkirakan melalui Glasgow Coma Scale (GCS), yang berguna untuk
menentukan hasil dan pengobatan Cedera kepala. Perawat sangat penting menguasai
pemerikasan GCS karena dengan mengetahui tingkat cedera, maka tindakan yang
diberikan untuk klien dapat sesuai dengan berat ringannya kondisi klien.
Nilai GCS berada pada rentang 15-3 (Morton & Fontaine, 2013). GCS nilai 15
mengindikasikan bahwa pasien sadar penuh dan terorientasi dan GCS nilai 3
mengindikasikan pasien tidak responsif. Ada 3 kriteria dalam penilaian GCS yaitu: respon
membuka mata; respon suara; dan respon gerakan motorik.
Best eye-opening response Skor
Spontan 4
(rangsang) dengan suara / berbicara 3
(rangsang) dengan nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Best verbal response
Sadar penuh / terorientasi 5
Bingung 4
Bicara tidak sesuai 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada respon suara 1
Best motor response
Patuh terhadap perintah 6
Melokalisasi rangsangan 5
Menarik dari rangsangan 4
Flexi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi abnormal (deselebrasi) 2
Tidak ada respon motorik 1
Tingkat keparahan cedera kepala umumnya dikelompokkan menjadi 3 yakni Cedera kepala
ringan, sedang dan Berat. Dengan nilai GCS adalah (Lump, 2014);
GCS 13 – 15 = Cedera kepala ringan,
GCS 9 – 12 = Cedera kepala sedang
GCS < 8 = Cedera kepala berat
GCS dapat sulit ditentukan bila pasien mendapatkan obat sedative atau terpasang
Endotrakeal tube/terintubasi ETT. Maka tingkat keparahan Cedera kepala juga diukur
dengan derajat/durasi kehilangan kesadaran, waktu terjadinya kerusakan neurologis.
Kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasi cedera kepala yakni (Brasure et al, 2012) :
Kriteria Tingkat keparahan
Ringan Sedang Berat
Gambaran CT scan Normal Normal atau Abnormal
abnormal
Kehilangan kesadaran < 30 menit 30 menit – 24 jam > 24 jam
Amnesia setelah trauma 0 – 1 hari > 1 hingga < 7 hari 7 > hari
Nilai GCS (skor terbaik saat 24 13 – 15 9 – 12 3–8
jam pertama)
Abbraviated Injury Scale (AIS): 1 – 2 3 4–6
kepala
V. Penatalaksanaan
Menurut Damkliang et al (2015) penatalaksanaan pasien dewasa dengan cedera kepala
adalah sebagai berikut:
Airway dan Buat Jalan nafas pasien aman, bersamaan dengan proteksi /
proteksi Servikal control servikal.
lakukan manuver jaw-thrust untuk membuka dan
membersihkan jalan nafas
gunakan BMV dengan oksigen > 10 Lpm sebelum intubasi
lakukan manual stabilisasi selama memberikan bantuan dalam
intubasi ETT
gunakan Collar-neck servikal yang ukurannya sesuai dan tepat
penggunaannya
Oksigenasi dan Pertahankan Oksigenasi dan ventilasi yang adekuat
ventilasi Monitor saturasi oksigen, pertahankan SpO2 >90% dan
catat/record setiap 15 menit
Monitor ventilasi menggunakan capnography, pertahankan
ETCO2 35 - 40 mmHg dan catat setiap 15 menit
Monitor frekuensi pernafasan dan catat setiap 15 menit
Sirkulasi Pertahankan sirkulasi dan keseimbangan cairan
(kolaborasi) berikan cairan Normal saline atau cairan yang
diresepkan
Pertahankan Tekanan darah systolik >90 mmHg dan catat
setiap 15 menit
Monitor nadi dan catat setiap 15 menit
Disability dan Monitor secara teratur nilai GCS dan ukuran pupil serta
manajemen reaktivitasnya
Tekanan intra Monitor nilai GCS, Ukuran Pupil-reaksinya, catat setiap 15
kranial menit
informasikan kepada dokter jika ada perubahan sebagai
berikut :
- Penurunan nilai GCS
- Dilatasi / Pupil asimetris
- Respon pupil lamban / tidak reaktif
Pertahankan Aliran balik vena serebral
posisikan kepala dan leher sejajar
tinggikan kepala 30 derajat (jika tidak ada kontraindikasi)
pastikan menggunakan collar neck yang sesuai
manajemen nyeri, agitasi dan irritabilitas (mudah marah)
Berikan obat sedative, dan analgesia yang diresepkan
Pasang kateter urin
Membelat fraktur ekstermitas (bila ada)
Lakukan pemeriksaan CT Scan
Periksa CT Scan sesegera mungkin setelah ABCs stabil
Transfer pasien aman, bila tekanan darah systolik >90mmHg,
SO2 >90%, ETCO2 35 - 40 mmHg
B. Penyebab
Penyebab utama cedera medulla spinalis adalah trauma oleh karena kecelakaan motor,
jatuh, trauma olahraga, luka tembus sekunder seperti luka tusuk atau luka tembak.
Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung, kanker
dan stroke. Tercatat terjadi peningkatan ± 50 kasus per 100.000 populasi tiap tahun,
dimana 3% penyebab kematian ini karena trauma langsung pada medula spinalis, dan 2%
karena trauma ganda.
Cedera medulla spinalis akut merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan
kelemahan setelah trauma, oleh karena alasan ini maka evaluasi dan pengobatan pada
cedera tulang belakang, medulla spinalis dan akar saraf memerlukan pendekatan yang
terintegritas. Diagnosa dini, preservasi fungsi medulla spinalis dan pemeliharaan aligment
serta stabilitas merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaannya.
C. Klasifikasi
Menurut Kretzer MR (2016), Cedera tulang belakang dapat dikelompokkan sebagai cedera
lengkap atau tidak lengkap. The American Spinal Injury Association (ASIA) memklasifikasi
cedera tulang belakang menjadi 6 tingkat (Grade) dimana ASIA A itu cedera tulang
belakang lengkap, ASIA E itu normal dan ASIA B, C, D itu bervariasi derajat cederanya.
Berikut penjelasan ASIA dari cedera tulang belakang:
Tingkat Deskripsi
A Cedera Lengkap. Tidak ada fungsi motorik dan sensorik pada segmen sacral S4 / S5.
B Sensorik tidak lengkap. Fungsi Sensori ada tapi fungsi motorik tidak ada, termasuk
pada segment sacral.
C Motorik tidak lengkap. fungsi motorik ada, dan sebagian otot kekuatan dibawah
normal (kekuatan motorik skor 3)
D Motorik tidak lengkap, Fungsi motorik ada dan hanya sedikit otot yang kekuatan
motoriknya dibawah skor 3
E Normal. tidak ada defisit fungsi motorik dan sensorik
D. Manifestasi Klinis
Menurut Stewart, Ronald, et al (2018) bahwa menyatakan ketika pasien mengalami cedera
spinal. Maka hal yang perlu diperhatikan adalah potensi terjadinya gagal nafas.
Hipoventilasi dapat terjadi karena adanya paralisis otot intercostal (cedera pada servikal
bawah atau thoracic atas) atau otot diapragma (cedera pada C3 - C5)
Berikut manifestasi klinis lainnya dari cedera pada segment tulang belakang (spinal cord):
a. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal
b. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah; kehilangan
refleks brachioradialis
c. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi siku masih bisa
dilakukan; kehilangan refleks bisep
d. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
e. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki
f. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
g. T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut
h. Cauda equina Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan usually pain
and hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder
i. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total
E. Penatalaksanaan
Konservatif dan Simtomatis
a. Airway
b. Breathing
c. Circulation
d. Immobilisasi
1) ’Cervical collar’
2) Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras
3) Penatalaksanaan Operatif Dekompresi dan stabilisasi Spinal Rehabilitas
4) Stabilisasi Medis
5) Periksa vital signs
6) Pasang ’nasogastric tube’
7) Pasang kateter urin
8) Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan
9) Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)
HIGHLIGHT
Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
VI. Daftar Pustaka
Amelia, Trisyani, Theresia (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana (ed. Indonesia
1). Elsevier. Singapore.
American College of Surgeon Committee on Trauma. (2014). Advanced Trauma Life
Support for Doctors 7 Ed. 663 N. Saint Clair St, Chicago.
American Spinal Injury Association & ISCOS. (2011). Standard Neurological Classification of
Spinal Cord Injury (PDF).
Brainline. (2019). Types of Traumatic Brain Injury. Retrieved from:
https://www.brainline.org/article/types-traumatic-brain-injury
Brunner & Suddarth. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2.
Jakarta: EGC
Centers for Disease Control and Prevention. (2015). Report to Congress on Traumatic Brain
Injury in the United States: Epidemiology and Rehabilitation. National Center for Injury
Prevention and Control; Division of Unintentional Injury Prevention: Atlanta, GA.
Damkliang, J., Considine, J., Kent, B., & Street, M. (2015). Nurses’ perceptions of using an
evidence-based care bundle for initial emergency nursing management of patients with
severe traumatic brain injury: A qualitative study. International Emergency Nursing,
23(4), 299–305. doi:10.1016/j.ienj.2015.04.004
Lump, D. (2014). Managing patients with severe traumatic brain injury. Lippincott William
& Wilkins.
Pinto, V.L, Tadi, P., Adeyinka, A. (2019). Increased Intracranial Pressure. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482119/
Rubiano, A. M., Carney, N., Chesnut, R., & Puyana, J. C. (2015). Global neurotrauma
research challenges and opportunities. Nature, 527(7578), S193–
S197. doi:10.1038/nature16035
Stewart, Ronald, et al (2018). Advanced Trauma Life Support. Student Course Manual. The
Committee on Trauma. Tenth Edition. P.129–144. ISBN 78-0-9968262-3-5. American
College of Surgeons. Chicago.
Werner, C., & Engelhard. (2007). Pathophysiology of traumatic brain injury. British Journal
of Anaesthesia, 99(1), 4-9. doi: 10.1093/bja/aem131.
MODUL 7
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN TRAUMA ABDOMEN
I. Pendahuluan
Trauma abdomen merupakan cidera yang terjadi pada organ didalam abdomen. Organ
yang terdapat didalam abdomen seperti lambung, usus, hati, pancreas, ginjal, limfa dll.
Truma abdomen dapat terjadi Karena trauma tumpul yaitu akibat pukulan atau benturan
benda tumpul serta trauma tajam berupa tusukan dari benda tajam. Trauma abdomen
merupakan salah satu kegawatdaruratan yang harus segera ditangani untuk mencegah
terjadinya komplikasi serius seperti syok hipovolemik, infeksi, kerusakan organ dll.
Dalam penanganan trauma abdomen penting diketahui mekanisme cedera, kekuatan
cidera, lokasi cedera dan status hemodinamik, karena dengan indikator tersebut dapat
ditentukan prioritas dan metode terbaik dalam penatalaksanaan kegawatdaruratan
trauma abdomen. Penilaian awal juga sering dapat dibiaskan oleh keracunan alkohol,
penggunaan obat – obat terlarang. Semua pasien yang mengalami trauma pada tubuh
akibat pukulan, deselerasi, ledakan dan cedera penetrasi harus diindikasikan memiliki
trauma abdomen, pembuluh darah dan panggul sampai terbukti trauma primer yang
dialaminya. (Stewart, Ronald. et al, 2018)
2. Anatomi Abdomen
Dalam initial assesment, terutama untuk kasus trauma abdomen sangat penting
dipahami tentang anatomi abdomen agar dapat melakukan penilaian secara tepat
terhadap organ yang cidera akibat trauma abdomen.
Abdomen merupakan bagian tubuh berbentuk rongga yag terletak antara thoraks dan
pelvis, rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk dari
otot abdomen, columna vertebralis dan tulang illium. Rongga abdomen dibagi 3 regio
yaitu peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. Rongga peritoneal dibagi
2 yaitu bagian atas dan bawah. Peritoneal atas ditutupi tulang torak yang termasuk
diafragma, liver, lien, gaster dan kolon transversum yang disebut área torakoabdominal.
Peritoneal bawah berisi usus halus, sebagian kolon asenden dan desenden, kolon
sigmoid, saecum dan organ reproduksi pada wanita.
Rongga retroperitoneal terdapat pada abdomen bagian belakang yang berisi aorta
abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum, pankreas, ginjal, uréter,
permukaan paskaeriro kolon ascenden dan desenden serta komponen retroperitoneal
dari rongga pelvis. Rongga pelvis dikelilingi tulang pelvis adalah bagian bawah dari
rongga peritoneal dan retroperitoneal yang berisi rektum, kandung kemih, pembuluh
darah iliaka dan organ reprodukdi interna wanita.
3. Patofisiologi
Patofisiologi trauma abdomen sangat ditentukan oleh mekanisme trauma yang terjadi.
Konsekuensi utama dari trauma abdomen adalah perdarahan dan sepsis, sedangkan
kematian dini setelah trauma abdomen biasanya disebabkan oleh perdarahan.
Perdarahan intraabdomen sangat sulit untuk dideteksi sebelum muncul tanda-tanda
klinis pada pasien. Trauma penetrasi dari penusukan, peluru dan fragmen
menyebabkan pendarahan dari organ padat serta arteri dan vena utama di abdomen.
Sepsis adalah penyebab paling umum yang menyebabkan kematian yang terjadi lebih
dari 48 jam setelah kejadian trauma. Cedera viskus berongga dengan kebocoran isi usus
adalah penyebab umum sepsis intraabdominal setelah trauma dan sering terjadi
dengan trauma tembus. Pada trauma abdomen dengan luka tusuk, lebih mudah untuk
memprediksi organ yang terluka karena luka biasanya terbatas pada sumber tusukan.
Trauma yang disebabkan oleh benda yang berkecepatan tinggi memiliki efek kavitasi
yang dapat meluas beberapa sentimeter dari sumber area tusukan. Kasus pada pasien
dengan trauma tusuk dari belakang harus diawasi setidaknya selama 48 jam untuk
mengecualikan tanda-tanda sepsis.
2. Secondary survey
Tahap selanjutnya adalah meliputi penilaian terperinci dari keseluruhan kondisi pasien
dan identifikasi potensi cedera yang mengancam jiwa. Pemeriksaan fisik yang cepat dan
sistemik sangat penting untuk dilakukan dan dilaksanakan secara head to toe.
a. Riwayat
Riwayat yang harus diobservasi pada pasien dengan trauma abdomen karena benda
tumpul diantaranya jenis dampak, kerusakan kendaraan, penggunaan alat penahan
(seat belt) dan kondisi korban. Jika pasien sadar maka pasien itu sendiri atau keluarga
pasien dapat menjadi informan tentang jenis cedera yang diderita pasien, deskripsi
luka tembus dan jumlah kehilangan darah di tempat kejadian.
b. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
Hitung darah lengkap
Fungsi hati
Fungsi ginjal
Serum amilase
Analisis urin
Profil koagulasi
Golongan darah, skrining dan pencocokan silang
Analisis gas darah arteri dapat memberikan informasi penting pada korban
trauma, selain fungsi oksigenasi dan ventilasi, tes ini memberikan informasi
berharga tentang pengiriman oksigen.
Skrining obat-obatan dan alkohol: lakukan skrining obat-obatan dan alkohol pada
pasien trauma yang mengalami penurunan tingkat kesadaran.
c. Pemeriksaan radiologis
X-Ray perut terlentang dan berdiri untuk mengetahui gas bebas dibawah
diafragma menunjukkan perforasi viscera berongga dan cairan bebas di abdomen.
Foto polos dada: akan menunjukkan fraktur tulang rusuk, haemothorax,
pneumothorax, atau keduanya. Ini juga akan menunjukkan diafragma tinggi atau
dengan viscera perut di rongga dada dalam kasus pecahnya diafragma.
d. Ultrasound
Mendeteksi pengumpulan cairan, cedera organ padat intraperitoneal dan
retroperitoneal dengan hematoma di sekitarnya. Ini adalah pemeriksaan yang sangat
penting untuk mengetahui perkembangan pasien, khususnya dalam manajemen
konservatif.
Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
V. DAFTAR PUSTAKA
John E. Campbell & Roy L. Alson. 2015. International Trauma Life Support for Emergency
Care Providers. Eight Edition. Pearson
National Highway Traffic Safety Administration. Fatality analysis reporting system (FARS):
2016. September 2017 [internet publication].
Stewart, Ronald, et al (2018). ATLS. Advanced Trauma Life Support. Student Course
Manual. The Committee on Trauma. Tenth Edition. ISBN 78-0-9968262-3-5. American
College of Surgeons. Chicago.
Weledji EP, Fokam P, Nzade D, Eyongeta D (2014) Emergency primary repair of grade V
bladder neck injury complicating pelvic fracture. Ann Surg Innov Res 8: 4.
MODUL 8
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN TRAUMA THORAKS
I. Pendahuluan
Trauma thoraks merupakan penyebab kematian yang signifikan banyak terjadi. Faktanya,
banyak pasien dengan trauma thoraks meninggal setelah berada dirumah sakit. Walaupun,
banyak kasus kematian tersebut yang sebenarnya dapat dicegah dengan diagnosis dan
penanganan yang cepat. kurang dari 10% cedera tumpul didada dimana hanya 10%-30%
nya perlu dilakukan tindakan operasi. kebanyakan pasien yang mengalami trauma thoraks
dapat ditangani dengan prosedur teknis sesuai kemampuan tim yang terlatih (Stewart,
Ronald, et al 2018)
Beberapa jenis trauma thoraks yang sering muncul adalah Tension pneumothorax, open
pneumothorax, massive hemothorax, fail chest dan cardiac tamponade. Menurut Roberts,
D.J, et.all (2015), Tension Pnemothorax Merupakan kondisi yang tidak umum dengan
angka kematian tinggi yang terjadi pada prehospital, IGD dan ICU. Walaupun insiden ini
cenderung sedikit sekitar 1% - 3% namun perlu diagnosa dan penanganan lebih awal.
B. Open Pneumothorax
1. Definisi
Pneumotoraks terbuka menghasilkan akumulasi udara di ruang potensial antara
pleura viseral dan parietal sekunder akibat luka tembus yang muncul sebagai luka
dada terbuka atau mengisap (berdiameter 3 cm). Luka terbuka ini menyamakan
tekanan intrathoracic dan tekanan atmosfir yang mengakibatkan kolaps paru parsial
atau lengkap. Ukuran pneumotoraks dan gejala resultan biasanya sebanding
dengan ukuran dinding dada yang luka. Ventilasi normal melibatkan pembentukan
tekanan intrathoracic negatif dengan kontraksi diafragma untuk menarik udara
masuk saluran udara dan paru-
paru. Jika luka terbuka lebih besar
dari dua pertiga diameternya dari
trakea, udara akan mengikuti jalur
yang paling lemah melalui dinding
dada ke dalam ruang mati
intrathoracic mengakibatkan
hipoksia parah dan hipoventilasi.
Gambar 3 open pneumothorax
2. Penatalaksanaan
a. Pastikan saluran napas terbuka.
b. Berikan oksigen aliran tinggi. Bantu ventilasi seperlunya.
c. Tutup luka. Kemudian tempatkan segel dada komersial (dengan satu katup
keluar, seperti Asherman Chest Seal, Bolin Chest Seal, atau ventilasi)
d. Anda bisa membuat segel dari dressing oklusif steril yang ditempelkan di tiga sisi
untuk bertindak sebagai flutter-type valve. Jangan menempelkan keempat
sisinya karena ini bisa mengubahnya menjadi terbuka pneumotoraks menjadi
tension pneumotoraks.
e. Load dan Go.
f. Pantau jantung dan catat nada jantung untuk perbandingan nanti.
g. Pantau saturasi oksigen dengan oksimeter pulsa dan CO2 ekspirasi dengan
capnografi (jika tersedia).
h. Transportasi cepat ke rumah sakit yang sesuai.
i. Beritahu tim medis lebih awal.
C. Massive Hemothorax
1. Definisi
Manifestasi adanya darah di ruang pleura disebut dengan hemothorax. hemothorax
besar terjadi sebagai akibat dari setidaknya 1.500 cc kehilangan darah ke ruang
pleura di dalamnya rongga toraks. Setiap rongga toraks bisa menampung hingga
3.000 cc darah. Hemothorax besar lebih sering terjadi karena trauma tembus
daripada trauma tumpul, namun cedera bisa mengganggu pembuluh darah paru
atau sistemik. Seiring darah terakumulasi dalam ruang pleura, paruparu di sisi yang
terkena dikompres. Pasien mungkin mengalami hipotensi dari kehilangan darah
dan kompresi jantung atau
kebocoran pembuluh darah hebat.
Kecemasan dan kebingungan
dihasilkan oleh hipovolemia dan
hipoksemia. Tanda klinis syok
mungkin tampak jelas. Tanda lain
dari hemothorax termasuk
penurunan suara nafas dan kusam
perkusi di sisi yang terkena
Hemothorax besar dapat
diidentifikasi selama Primary ITLS
Survei.
Gambar 4 massive pneumothorax
2. Penatalaksanaan
a. Pastikan jalan napas terbuka.
b. Berikan oksigen dengan aliran tinggi.
c. Load and Go.
d. Beritahu tim medis lebih awal.
e. Upayakan tekanan darah cukup tinggi untuk mempertahankan denyut perifer
(sistolik 80-90 mmHg). Masalah pada hemothorax masif biasanya syok
hemoragik, meninggikan tekanan darah meningkatkan pendarahan ke dada.
f. Amati kemungkinan pengembangan ketegangan hemopneumotoraks yang akan
terjadi, kemungkinan memerlukan dekompresi dada
D. Tension Pneumothorax
1. Definisi
Pneumotoraks adalah akumulasi udara di ruang potensial antara pleura viseral dan
parietal, udara yang terperangkap menimbulkan tekanan pneumotoraks, udara
terus menumpuk tanpa sarana keluar, sehingga menimbulkan tekanan intrathoracic
pada sisi yang terkena, menggeser jantung dan trakea ke sisi yang berlawanan, dan
menarik vena kava inferior, sehingga occaneous vein kembali ke jantung. Tanda klinis
dari tension pneumotoraks meliputi dispnea, kecemasan, takipnea, vena leher yang
membesar, dan kemungkinan penyimpangan trakea jauh dari sisi yang terkena. Dari
hasil Auskultasi suara nafas berkurang di sisi yang terkena dan akan didampingi
hiperresonansi saat perkusi. Shock dengan hipotensi akan mengikuti. Dalam sebuah
ulasan terhadap 108 pasien lapangan yang didiagnosis dengan tension pneumotoraks
dan membutuhkan dekompresi jarum, tidak ada tercatat memiliki trakea yang
menyimpang.
2. Penatalaksanaan
a. Tetapkan jalan nafas terbuka.
b. Berikan oksigen aliran tinggi.
c. Dekompresi jika diindikasikan. Indikasi untuk melakukan keadaan darurat
dekompresi adalah adanya tension pneumotoraks dengan dibuktikan oleh
lebih dari satu tanda berikut: Gangguan pernapasan dan sianosis, Hilangnya
pulse radialis (shock akhir), Penurunan tingkat kesadaran
d. Load and Go.
e. Cepat bawa ke rumah sakit yang tepat.
f. Beritahu tim medis lebih awal.
E. Cardiac Tamponade
1. Definisi
Kantung perikardial adalah membran inelastis yang mengelilingi jantung. Jika darah
terkumpul Dengan cepat antara jantung dan perikardium akibat cedera jantung,
ventrikel Jantung akan tertekan dan membuat jantung kurang bisa isi ulang, dan output
jantung hanya sejumlah kecil darah perikardial (hanya 75-100 cc). Hal ini
menyebabkan tamponade perikardial. Diagnosis tamponade jantung secara klasik
Bergantung pada adanya hipotensi dengan tekanan nadi yang sempit, kombinasi vena
leher yang membesar, bunyi jantung teredam, dan pulsus paradoxus.
(Jika pasien kehilangan denyut perifer Selama inspirasi, ini menunjukkan adanya
tamponade jantung). Diagnosis banding utama di lapangan adalah tension
pneumothorax.
2. Penatalaksanaan
a. Pastikan saluran udara terbuka.
b. Berikan oksigen aliran tinggi.
c. Load and Go.
d. Transportasi cepat ke rumah sakit yang sesuai.
e. Beritahu tim medis lebih awal.
f. Pantau jantung, terutama dengan nyeri dada atau denyut nadi yang tidak teratur.
g. Jika tersedia, lakukan EKG 12-lead (termasuk V 4R).
h. Atasi shock. Infus larutan elektrolit (en route) dapat meningkatkan pengisian
jantung dan meningkatkan curah jantung. Namun, hati hati jika ada
perdarahan intrathorakal.
i. Berikan cukup cairan untuk menjaga denyut nadi (sistolik 80-90 mmHg).
j. Hati hati dengan disritmia.
k. Perhatikan komplikasi lainnya, termasuk hemothorax dan pneumotoraks.
HIGHLIGHT
Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
John E. Campbell & Roy L. Alson. 2015. International Trauma Life Support for Emergency
Care Providers. Eight Edition. Pearson
Stewart, Ronald, et al (2018). Advanced Trauma Life Support. Student Course Manual. The
Committee on Trauma. Tenth Edition. ISBN 78-0-9968262-3-5. American College of
Surgeons. Chicago.
Roberts, D. J., Leigh-Smith, S., Faris, P. D., Blackmore, C., Ball, C. G., Robertson, H. L.,Stelfox,
H. T. (2015). Clinical Presentation of Patients With Tension Pneumothorax. Annals of
Surgery, 261(6), 1068–1078. doi:10.1097/sla.0000000000001073
Weledji EP, Fokam P, Nzade D, Eyongeta D (2014) Emergency primary repair of grade V
bladder neck injury complicating pelvic fracture. Ann Surg Innov Res 8: 4.
National Highway Traffic Safety Administration. Fatality analysis reporting system (FARS):
2016. September 2017 [internet publication].
Greaves I, Porter KM, Ryan JM (2001) Trauma London: Arnold, UK.
Eastham JA, Wilson TG, Ahlering TE (1993) Urological evaluation and management of renal-
proximity stab wounds. J Urol 150: 1771-1773.
Miller KS, McAninch JW (1995) Radiographic assessment of renal trauma: Our 15-year
experience. J Urol 154: 352-355.
Ho YH, Pritchett CJ (1990) Blunt abdominal trauma causing a ‘degloving injury’ to the colon.
Injury 21: 119-120.
MODUL 9
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL
I. Pendahuluan
Banyak pasien yang mengalami trauma tumpul juga disertai cidera pada sistem
muskuloskeletalnya. cedera pada sistem muskuloskeletal sering terjadi namun jarang yang
mengakibatkan ancaman kematian secara langsung. Tim dokter dan perawat harus cermat
dalam prioritas resusitasi pada pasien dengan cedera ini agar pasien dapat terhindar dari
kecacatan lebih lanjut, komplikasi hingga kematian (Stewart, Ronald, et al, 2018)
Cedera pada sistem musculoskeletal yang paling sering terjadi adalah fraktur. Menurut
Kobbe, et. all (2013) bahwa pasien dengan cedera fraktur pada tulang panjang cenderung
rentan terjadinya komplikasi sistemik dengan angka morbiditas dan mortalitas yang
meningkat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pasien dengan nilai Skor keparahan
cedera (ISS) pada fraktur femur bilateral memiliki tingkat komplikasi yang tinggi dibanding
fraktur yang lainnya.
B. Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak, sedangkan
bagian dalam tetap bergerak kedepan. Organ-organ terjepit dari belakang oleh bagian
belakang dinding torak abdominal dan kolumnavetrebralis, dan didepan oleh struktur
yang terjepit. Pada organ yang berongga dapat terjadi trauma. Mekanisme trauma
yang terjadi pada pengendara sepeda motor dan sepeda meliputi:
1. Benturan frontal
Bila roda depan menabrak suatu objek dan berhenti mendadak maka kendaraan
akan berputar kedepan, dengan momentum mengarah kesumbu depan.
Momentum kedepan akan tetap, sampai pengendara dan kendaraannya dihentikan
oleh tanah atau benda lain. Pada saat gerakan kedepan ini kepala, dada atau perut
pengendara mungkin membentur stang kemudi. Bila pengendara terlempar keatas
melewati stang kemudi, maka tungkainya mungkin yang akan membentur stang
kemudi, dan dapat terjadi fraktur femur bilateral.
2. Benturan lateral
Pada benturan samping, mungkin akan terjadi fraktur terbuka atau tertutup tungkai
bawah. Kalau sepeda / motor tertabrak oleh kendaraan yang bergerak maka akan
rawan untuk menglami tipe trauma yang sama dengan pemakai mobil yang
mengalami tabrakan samping. Pada tabrakan samping pengendara juga akan
terpental karena kehilangan keseimbangan sehingga akan menimbulkan cedera
tambahan.
3. Laying the bike down
Untuk menghindari terjepit kendaraan atau objek yang akan ditabraknya
pengendara mungkin akan menjatuhkan kendaraannya untuk memperlambat laju
kendaraan dan memisahkannya dari kendaraan. Cara ini dapat menimbulkan cedera
jaringan lunak yang sangat parah.
4. Helm (helmets)
Walaupun penggunaan helm untuk melindungi kepala agak terbatas namun
penggunaannya jangan diremehkan. Helm didesain untuk mengurangi kekuatan
yang mengenai kepala dengan cara mengubah energi kinetik benturan melalui kerja
deformasi dari bantalannya dan diikuti dengan mendistribusikan kekuatan yang
menimpa tersebut seluasluasnya. Secara umum petugas gawat darurat harus
berhati-hati dalam melepas helm korban kecelakaan roda dua, terutama pada
kecurigaan adanya fraktur servical harus tetap menjaga kestabilan kepala dan tulang
belakang dengan cara teknik fiksasi yang benar.
Gambar 3 fraktur
V. Penatalaksanaan
Cedera muskuloskeletal umumnya tidak menjadi fokus pemeriksaan utama pada
pengkajian trauma primer kecuali disertai dengan gangguan hemodinamik yang berat.
Kelainan bentuk pada ekstrimitas dapat diamati denan mudah pada saat pengkajian,
namun tingkat cedera mungkin tidak sepenuhnya diakui sampai survei utama selesai.
Resusitasi trauma utama dalam pedoman ATLS / ATCN berfokus pada sirkulasi udara-
sirkulasi (ABC). Jika cedera muskuloskeletal tidak menghasilkan kehilangan darah cukup
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik, atau deformitas yang massif, tingkat cedera
mungkin tidak diketahui sampai penelitian radiografi konfirmasi atau sampai survei
sekunder dilakukan.
Keadaan potensial yang dapat mengancam nyawa anatara lain:
1. Syok hemoragic (sangat jarang)
2. Gangguan neurovaskuler (gangguan PMS)
A. Pemeriksaan Trauma Muskoloskeletal
Untuk perdarahan eksternal kaji ekstremitas yang terluka, kaji ada atau tidaknya nadi
bagian distal, frekuensi, serta kualitas denyut nadi. Kaji pula motorik dengan
menggerakkan area distal cedera serta sensorik dengan memberikan rangsang nyeri
pada area distal cedera. Jika ekstremitas dingin, pucat, nadi lemah mengindikasikan
adanya gangguan suplai darah arteri. Pada cedera musculoskeletal jika terdapat
perdarahan aktif maka terdapat cedera pada vaskuler.
Karena luka-luka ini bisa terlihat sama, kemungkinan sulit menentukan dengan tepat
jenis cedera yang telah terjadi. Hal Ini seharusnya tidak menjadi masalah karena dari
sebagian besar kasus, perawatan yang di perlukan sebagian besar akan sama.
1. Strain dan sprain
Saat mengkaji strain dan sprain maka lakukan hal-hal mberikut.
a. Minta orang tersebut untuk secara aktif memindahkan sendi yang terluka dan
mengevaluasi rasa sakit yang terlibat.
b. Coba gerakkan sendi dan evaluasi respons orang tersebut.
c. Beritahu orang tersebut untuk tidak menggunakan bagian yang terluka jika
gerakan menyebabkan rasa sakit.
d. Tawarkan penatalaksanaan yang sesuai (mis. untuk yang terluka lutut, berikan
alat bantu berjalan, yang membatasi gerakan lutut tanpa memberi tekanan pada
tempurung lutut).
2. Dislokasi
Ketika menemukan cedera dengan dislokasi maka lakukan pemeriksaan sebagai
berikut.
a. Sendi yang terlihat tidak pada tempatnya (deformitas)
b. Nyeri dan/atau kehilangan rentang gerak normal.
c. Sebuah benjolan, lubang yang biasanya tidak ada
3. Fraktur
Saat memeriksa pasien karena fraktur yang dicurigai adalah sebagai berikut.
a. Tentukan apakah bagian yang terluka terlihat rusak dengan membandingkan sisi
yang tidak terluka. Tanyakan kepada orang tersebut apakah menurutnya bagian
itu sakit/nyeri.
b. Perlahan-lahan sentuh bagian yang terluka & cari tanda-tanda fraktur berikut ini:
1) Orang tersebut bereaksi terhadap sentuhan Anda.
2) Otot tampak spasme.
3) Area yang terluka terasa tidak stabil.
4) Satu titik terasa lebih parah daripada yang lain.
5) Pemeriksaan PMS (Puls Motorik and Sensoric) di luar lokasi cedera. Kehilangan
puls, mati rasa, kesemutan dan ketidakmampuan untuk bergerak adalah
tanda serius
6) Komplikasi yang berhubungan dengan fraktur.
B. Penatalaksanaan Trauma Muskoloskeletal
Penatalaksanaan pada trauma musculoskeletal adalah sebagai berikut.
1. Strain dan sprains
Penanganan Sprain dan strain mengacu kepada skema RICE. RICE merupakan
beberapa tindakan berupa mengistirahatkan area yang mengalami trauma,
memerikan kompres es pada fase akut, memberikan pembebatan dan meninggikan
area yang mengalami cedera.
Rest Istirahat, merupakan hal yg harus dilakukan pada area yg mengalami
(Istirahatkan) cidera, tapi untuk berapa lama?
Aktifitas dapat dilakukan, namun cegah pasien untuk melakukan
aktifitas yang akan menimbulkan stres atau cidera lagi pada area yg
sedang dalam proses penyembuhan, sehingga memperpanjang masa
penyembuhan.
NICE guideline merekomendasikan untuk mengistirahatkan 48-72 jam
setelah cidera.
Ice Berikan kompres ess pada area yang mengalami cidera Guna:
(Kompres Es) A. Mengurangi nyeri
B. Mengurangi bengkak
NICE guideline merekomendasikan untuk melakukan kompres selama
15-20 menit, setiap 2-3 jam, selama masa istirahat 48-72 jam setelah
cidera.
Compression Diberikan untuk mengurangi bengkak yg lebih besar, lakukan balutan
(Balut) dengan tidak terlalu ketat, PMS termonitor dengan baik.
Elevation Meninggikan area yang mengalami cidera, bertujuan untuk
(Tinggikan) meningkatkan venous return, & mencegah pembengkakan lebih lanjut.
2. Dislokasi
1) Menjaga jari atau kaki yang terluka sebagian tertekuk (membungkuk), tarik
pada akhiri dengan satu tangan dengan lembut menekan sambungan
belakang yang terkilir ke tempatnya dengan jempolmu yang lain
2) Tempatkan kain kasa di antara keduanya jari tangan atau kaki yang terluka
dan jari tangan atau jari kaki yang tidak terluka
3) Bidai jari atau kaki yang terluka ke jari atau jari kaki tetangga yang tidak
terluka.
c. Untuk dislokasi tempurung lutut:
1) Terapkan traksi lembut ke kaki untuk meluruskannya. Hal ini dapat
menyebabkan tempurung lutut untuk kembali ke tempatnya tanpa
perawatan lebih lanjut.
2) Jika tempurung lutut tidak kembali ke tempatnya setelah kaki diluruskan, Pijat
paha dan gunakan tangan Anda untuk mendorong tempurung lutut kembali
dengan lembut keselarasan normal
3) Terapkan bebat yang tidak memberi tekanan pada tempurung lutut. Dengan
cara ini, orangnya mungkin bisa berjalan.
3. Fraktur
Penanganan pada fraktur sebagai berikut
a. Umum:
1) Jika curiga patah tulang. Selalu gunakan bidai.
2) Lanjutkan untuk memeriksa PMS setelah pembidaian untuk memastikan
bahwa sirkulasi tidak terputus.
b. Untuk patah rahang:
1) Pegang rahang di tempat dengan kain/mitela yang melintang di kepala.
2) Pastikan bungkusnya bisa dilepas dengan cepat jika orang tersebut perlu
muntah.
c. Untuk fraktur tulang selangka:
1) Fiksasi dengan sling-and-swathe.
2) Buat selempang dari perban segitiga atau improvisasi dengan mengangkat
ekornya kemeja orang di atas lengan di sisi yang terluka dan menjepitnya di
tempat.
3) Pastikan sling mengangkat siku untuk menahan tekanan dari bahu.
d. Untuk fraktur lengan bawah (termasuk pergelangan tangan dan tangan):
1) Amankan bagian yang cedera ke dukungan yang kokoh dan kaku dan letakkan
sling-and-swathe.
2) Letakkan gulungan sesuatu yang lembut di tangan untuk menyimpannya
dalam posisi berfungsi.
3) Jika tulang tangan rusak, pastikan untuk mengamankan tangan ke bidai.
e. Untuk jari yang patah bidai jari yang patah ke jari-jari terdekat yang tidak terluka
Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
VII. DAFTAR PUSTAKA
Kobbe, P., Micansky, F., Lichte, P., Sellei, R. M., Pfeifer, R., Dombroski, D., Pape, H. C.
(2013). Increased morbidity and mortality after bilateral femoral shaft fractures:
Myth or reality in the era of damage control? Injury, 44(2),
221– 225. doi:10.1016/j.injury.2012.09.011
Stewart, Ronald, et al (2018). Advanced Trauma Life Support. Student Course Manual.
The Committee on Trauma. Tenth Edition. ISBN 78-0-9968262-3-5. American College
of Surgeons. Chicago.
John E. Campbell & Roy L. Alson. 2015. International Trauma Life Support for Emergency
Care Providers. Eight Edition. Pearson
Weledji EP, Fokam P, Nzade D, Eyongeta D (2014) Emergency primary repair of grade V
bladder neck injury complicating pelvic fracture. Ann Surg Innov Res 8: 4.
National Highway Traffic Safety Administration. Fatality analysis reporting system
(FARS): 2016. September 2017 [internet publication].
American College of Emergency Physicians. Motor vehicle safety. Ann Emerg Med. 2009
May;53(5):698.
Goss CW, Van Bramer LD, Gliner JA, et al. Increased police patrols for preventing
alcohol- impaired driving. Cochrane Database Syst Rev. 2008 Oct 8;(4):CD005242.
Allen S, Zhu S, Sauter C, et al. A comprehensive statewide analysis of seatbelt non-use
with injury and hospital admissions: new data, old problem. Acad Emerg Med. 2006
Apr;13(4):427-34.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Impact of primary laws on adult use
of safety belts-United States, 2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2004 Apr
2;53(12):257-60.
Nicholas JM, Rix EP, Easley KA, et al. Changing patterns in the management of
penetrating abdominal trauma: the more things change, the more they stay the
same. J Trauma. 2003 Dec;55(6):1095-108.
Greaves I, Porter KM, Ryan JM (2001) Trauma London: Arnold, UK.
Enderson BL, Reath DB, Meadors J, et al. The tertiary trauma survey: a prospective study
of missed injury. J Trauma. 1990 Jun;30(6):666-9.
Eastham JA, Wilson TG, Ahlering TE (1993) Urological evaluation and management of
renal- proximity stab wounds. J Urol 150: 1771-1773.
Miller KS, McAninch JW (1995) Radiographic assessment of renal trauma: Our 15-year
experience. J Urol 154: 352-355.
MODUL 10
PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN KARDIOVASKULER
SINDROM KORONER AKUT
I. Pendahuluan.
Penyakit jantung dan pembuluh darah sampai saat ini merupakan penyebab
kematian nomor satu di dunia. Setiap tahunnya diperkirakan semakin banyak orang yang
meninggal karena penyakit jantung dan pembuluh darah jika dibandingkan dengan
penyakit lainnya. Salah satu spektrum klinis pada penyakit jantung adalah Acute Coronary
Syndrome atau sering dikenal dengan Sindrom koroner akut (SKA). Penyakit sindrom
koroner akut (SKA) merupakan kondisi kegawatan yang membutuhkan penatalaksanaan
secara cepat dan tepat, tetapi yang terjadi yaitu waktu keterlambatan yang panjang
sebelum ke rumah sakit. Waktu keterlambatan penanganan sebelum masuk ke rumah
sakit dihitung mulai dari gejala nyeri baru dirasakan sampai tiba di IGD (George, 2013).
Kondisi ini dapat menyebabkan kematian pasien yang dikaitkan dengan dengan perilaku
pencarian pelayanan kesehatan dan jenis transportasi yang digunakan pasien. Kematian
akibat SKA di Amerika, Indonesia dan negara-negara lainnya tiap tahun mengalami
peningkatan. Kematian SKA di tahun 2015 sebesar 3% sedangkan tahun 2016 mencapai 5%
(Mozaffarian et al., 2016). Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan
prevalensi SKA tertinggi yaitu di Nusa Tenggara Timur (4,4%). Berdasarkan pedoman dari
American College of Cardiology Foundation dan American Heart Association (ACCF/AHA)
tahun 2013 standar waktu saat munculnya gejala hingga pasien tiba di IGD adalah 120
menit (O'Gara et al., 2013). Pasien SKA dikatakan terlambat tiba di IGD, apabila melebihi
dari waktu yang direkomendasikan (Goldberg et al., 2009). Hasil penelitian menunjukkan di
Amerika Serikat pasien tiba terlambat sebesar 59% (Ting et al., 2010). Di Kanada (57,3%)
(Atzema et al., 2011). Di Swedia Selatan (58%) (Angerud et al., 2013). Di Cina (51,4%)
(Peng et al., 2014). Di Yordania (72%) (Eshah, 2013). Di Iran (81%) (Tabris, 2012). Di Mesir
(67,2%) (Ghazawy et al., 2015) Di Singapura (56,3%) (Wah et al., 2017) dan di Indonesia
(52,4%) (Sholikhaningayu et al., 2013).
B. Anatomi Jantung
Sirkulasi Arteri Koroner
Efisiensi jantung sebagai pompa tergantung dari nutrisi dan oksigenasi otot jantung.
Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan jantung, membawa oksigen dan nutrisi
ke miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil-kecil.
Arteri koronaria kanan dan kiri merupakan cabang pertama aorta asenden, sedikit di
belakang katup aorta. Kedua arteri ini bercabang menjadi arteri kecil dan arteriol serta
kapiler. Kapiler koronaria bersatu membentuk vena koronaria ke sinus koronaria dan
kembali ke atrium kanan. Fungsi pembuluh darah koronaria adalah memasok darah ke
miokardium karena oksigen sangat penting untuk kontraksi miokardium secara normal.
Suplai darah miokardium berasal dari dua arteri koronaria yang berasal dari radiks
aorta, yaitu: Arteri koronaria adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik. Muara
arteri koronaria ini terdapat di dalam sinus valsava dalam aorta, tepat di atas katup
aorta. Sirkulasi koroner terdiri dari: arteri koronaria kanan dan kiri. Arteri koronaria kiri
mempunyai dua cabang besar, arteri desendens anterior kiri dan arteri sirkumfleksa kiri.
Arteri-arteri ini berjalan melingkari jantung dalam dua celah anatomi eksterna: sulkus
atrioventrikularis, yang melingkari jantung di antara atrium dan ventrikel, dan sulkus
interventrikularis, yang memisahkan kedua ventrikel.
1. Arteri koroner kanan yang menyuplai sebagian besar ventrikel kanan berasal dari
sinus anterior aorta. Ia mempunyai cabang r. marginalis yang mendarahi ventrikel
dextra dan r. interventricularis posterior yang memperdarahi kedua ventrikel; Arteri
koroner kanan bertanggung jawab mensuplai darah ke atrium kanan, ventrikel
kanan,permukaan bawah dan belakang ventrikel kiri, 90% mensuplai AV Node,dan
55% mensuplai SA Node.
2. Arteri koroner kiri mempunyai 2 cabang yaitu LAD (Left Anterior Desenden) dan
arteri sirkumflek. Kedua arteri ini melingkari jantung dalam dua lekuk anatomis
eksterna, yaitu sulcus coronary atau sulcus atrioventrikuler yang melingkari jantung
diantara atrium dan ventrikel, yang kedua yaitu sulcus interventrikuler yang
memisahkan kedua ventrikel. Pertemuan kedua lekuk ini dibagian permukaan
posterior jantung yang merupakan bagian dari jantung yang sangat penting yaitu
kruks jantung. Nodus AV node berada pada titik ini LAD arteri bertanggung jawab
untuk mensuplai darah untuk otot ventrikel kiri dan kanan, serta bagian
interventrikuler septum.
Sirkumflex arteri bertanggung jawab untuk mensuplai 45% darah untuk atrium kiri
dan ventrikel kiri, 10% bertanggung jawab mensuplai SA node.
C. Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner
yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh
proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya
trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah
koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikro emboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan
terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia,
selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating
dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan
bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak
seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat
spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri
koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau
restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.
D. Klasifikasi SKA
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan
pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevationmyocardial
infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segmentelevation
myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)
E. Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien
dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina
Stabil, Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.
1. Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa
rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang,
area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran
angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini
lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75
tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun
keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai
sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien
dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah
terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien
dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Pria
b. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer
atau karotis)
c. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah
pintas koroner, atau IKP
d. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko
sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada
nonkardiak):
a. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
b. Nyeri abdomen tengah atau bawah
c. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
d. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
e. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
f. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
3. Pemeriksaan elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta
V7-V9.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi,
yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan
baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau
depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai
ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV,
pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang
elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria
dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05
mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai
ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV.
Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen
ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen
ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang
diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di
sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan
berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi
untuk untuk iskemia akut.
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik
dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.
4. Pemeriksaan marka jantung.
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai
marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-
MB. Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner
seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli
paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal.
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:
a. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya
tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
b. EKG normal atau nondiagnostik, dan
c. Marka jantung normal
Definitif SKA dan angina tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya
dirawat di rumah sakit dalam ruang intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU).
5. Pemeriksaan laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh
menunda terapi SKA.
6. Pemeriksaan foto polos dada
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat
untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat
darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis
banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta
A. PENGKAJIAN
1. Identitas
- Usia : SKA sering terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.
- Jenis kelamin : Insiden pada pria lebih tinggi, sedangkan pada wanita meningkat
setelah menapouse.
- Herediter : Pasien dengan riwayat keluarga penyakit jantung atau pembuluh
darah memiliki resiko lebih tinggi.
2. Pengkajian Primer
Keluhan Utama :
Nyeri dada menjadi keluhan yang paling utama dirasakan oleh pasien dengan SKA
(PERKI, 2018), pada pasien lansia dengan SKA dapat melaporkan gejala yang tidak
khas seperti dispnea, kebingungan, kelemahan dan pingsan, bukan nyeri dada
substernal yang khas (Morton, et al., 2012).
Airway.
Lihat apakah pasien dapat berjalan ?
Jika pasien dapat berjalan, berarti airway pasien paten dan saudara bisa
melanjutkan pengkajian Breathing.
Jika tidak, lihat tanda adanya gangguan jalan nafas seperti sianosis, penggunaan
otot bantu pernafasan dan suara nafas tambahan. Buka mulut pasien dan lihat
apakah ada sumbatan jalan nafas seperti secret dan benda asing lainnya.
Breathing.
- Sesak nafas dengan aktifitas ringan atau istirahat
- Ekspansi dada tidak penuh
- Dispnea
- Takipnea
- Hypoksemia (SpO2 < 94%)
Circulation.
- Capilary Refill Time (CRT) memanjang
- Nadi lemah/tidak teratur
- TD meningkat/menurun
- Akral teraba dingin dan lembab.
- Diaforesis
- Pucat
Disability.
- Sinkop / hilang kesadaran
3. Pengkajian sekunder
Exposure
- Sebelum melakukan exposure penting untuk menjaga privacy pasien dan
menjaga suhu tubuh pasien.
- Pasien SKA mungkin mengalami demam sebagai bagian dari respon
katekolamin.
Full Vital Sign
- Tekanan Darah : Meningkat sebagai respon terhadap nyeri atau menurun
sekunder akibat gangguan haemodinamik.
- Nadi : Meningkat sebagai respon kompensasi atau sekunder akibat nyeri atau
menurun sekunder akibat iskemia atau terapi farmakologis, adanya pulsus
alternans.
- Pernafasan : Takipnea (RR normal dewasa: 12-20x/mnt).
Give a Comfort
Posisikan pasien semi-fowler 450
History And Head To Toe
Tanyakan adanya riwayat perdarahan intrakranial atau stroke dengan sumber
yang tidak diketahui kapanpun, Stroke iskemik dalam 6 bulan terakhir, Kerusakan
sistem saraf pusat atau neoplasma atau malformasi arteriovena,
Trauma/operasi/cedera kepala mayor dalam 3 minggu terakhir, Perdarahan
gastrointestinal dalam 1 bulan terakhir, Gangguan perdarahan (kecuali
menstruasi), Diseksi aorta, Lokasi tusukan yang tidak dapat dikompresi dalam 24
jam terakhir (mis. biopsi hepar, pungsi lumbal); pasien yang memiliki riwayat di
atas merupakam kontraindikasi absolut pemberian terapi Fibrinolisis.
Head To Toe :
Kepala:
Mata
Kaji adanya xantelasma, ini merupakan indikasi hiperlipidemia, Studi
epidemiologi menunjukkan terdapat hubungan antara xantelasma dengan
risiko aterosklerosis (Cipto., dkk., 2013).
Kaji adanya corneal arcus, ini menandakan ada perubahan kadar lipid dalam
darah. Cincin (ring) putih tersebut berupa tumpukan atau endapan lipid dan
apabila muncul pada laki-laki usia muda < 40 tahun, menjadi indikator adanya
gangguan arteri koroner / penyakit kardiovaskuler
Thorak:
Adanya S3 : Indikator gagal ventrikel kiri
Adanya S4 : Penurunan komplians ventrikel kiri
Adanya murmur : dapat menunjukkan insufisiensi katup atau septum.
Dispnea pada istirahat atau aktifitas
Karakteristik nyeri dada pasien SKA:
Karakteristik N, O, P, R, S, T Nyeri dada
Abdomen :
Pasien SKA biasanya mengeluh nyeri daerah epigastrik yang merupakan nyeri
referal dari iskemik otot jantung.
Adanya keluhan mual / muntah.
4. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EKG :
Gambaran EKG yang dijumpai pasien dengan keluhan nyeri dada cukup bervariasi,
yaitu normal, non-diagnostik, left bundle branch blok (LBBB), elevasi segmen ST,
depresi segmen ST dengan inverse gelombang ST.
Pemeriksaan Cardiac Marker:
Pemeriksaan biomarka jantung seperti kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin
I/T merupakan biomarka nekrosis miosis jantung dan menjadi biomarka untuk
penegakan diagnosis (PERKI, 2018).
B. Diagnosa Keperawatan (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, 2017)
1. Nyeri Akut berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen
miokardium.
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan aliran darah koroner
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen akibat iskemia jantung.
4. Ansietas berhubungan dengan ketakutan akan penyakit, situasi yang tidak dikenal yang
tidak dapat diperkirakan dan ancaman terhadap kematian.
I. Pendahuluan.
Elektrokardiografi merupakan salah satu alat diagnostik yang sangat bermanfaat bagi
tenaga kesehatan untuk dapat melakukan interpretasi EKG dengan tepat. Selain itu, EKG
juga mampu memberikan gambaran terhadap kondisi kelainan jantung, baik kelainan
secara anatomis maupun fisiologis.
Pada modul ini, akan dijelaskan mengenai bagaimana aliran listrik jantung bekerja dan
gambarannya pada EKG. Kondisi kelainan jantung yang disebabkan oleh pembesaran ruang
jantung maupun gangguan irama juga akan dijelaskan beserta mekanismenya. Modul ini
memberikan penjelasan secara sistematis, menggunakan bahasa yang mudah
dipahami.Modul ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi tenaga kesehatan untuk
mengembangkan kompetensinya sehingga dapat memberikan pelayanan yang terbaik
kepada pasien.
II. Elektrokardiogram
A. Pengertian Elektrokardiogram
Elektrokardiografi adalah ilmu yang mempelajari aktifitas listrik jantung.
Elektrokardiogram (EKG) adalah grafik yang dibuat oleh sebuah elektrokardiograf yang
merekam aktifitas kelistrikan jantung dalam waktu tertentu. Elektrokardiogram (EKG)
adalah suatu grafik yang menggambarkan rekaman listrik jantung. Kegiatan listrik
jantung dalam tubuh dapat dicatat dan direkam melalui elektroda-elektroda yang
dipasang pada permukaan tubuh. Namanya terdiri atas sejumlah bagian yang berbeda:
Elektro, karena berkaitan dengan elektronika, Kardio, kata Yunani untuk jantung dan
Gram, sebuah akar Yunani yang berarti menulis. “Analisis sejumlah gelombang dan
vektor normal depolarisasi dan repolarisasi menghasilkan informasi diagnostik yang
penting.
Sumber : https://metrohealth.net/healthwise
d. Serabut Bachman
Serabut Bachman merupakan jalur yang menghubungkan impuls listrik dari
atrium kanan dengan atrium kiri.
e. Serabut Purkinje
Serabut purkinje terletak didalam endokardium dan merupakan akhir dari
perjalanan impuls listrik untuk disampaikan ke endokardium agar terjadi
depolarisasi dikedua ventrikel. Impuls listrik menyebar mulai dari endocardium ke
miokardium dan terakhir mencapai epikardium, yang selanjutnya otot jantung
akan bergerak (twisting) dan memompa darah keluar dari ruang ventrikel ke
arteri. Serabut purkinje secara normal mampu menghasilkan impuls 20-40 kali
permenit.
2. Elektrofisilogi Jantung
Aktivitas listrik dari jantung merupakan akibat dari perubahan pada permiabelitas
membran sel, yang memungkinkan pergerakan ion-ion. Dengan masuknya ion-ion
tersebut maka muatan listrik sepanjang membran itu mengalami perubahan relative.
Ada tiga ion yang mempunyai fungsi penting sekali dalam elektrofisiologi sel, yaitu :
kalium, natrium dan kalsium. Adalah kation intrasel yang dominan sedangkan
konsentrasi Na dan Ca tertinggi pada lingkungan ekstrasel.
Membran sel otot jantung pada keadaan istirahat berada dalam polarisasi, dengan
bagian luar berpotensi positif dibandingkan bagian dalam selisih potensial ini disebut
potensial membrane. Bila membran otot jantung dirangsang, sifat permeabel
berubah sehingga ion Na masuk ke dalam sel, yang menyebabkan potensial
membrane. Perubahan potensial membran karena stimulasi ini disebut depolarisasi.
Setelah proses depolarisasi selesai, maka potensial membran kembali mencapai
keadaan semula yaitu proses repolarisasi.
Apabila dalam single sel mengalami perubahan muatan mendadak, yang mana
didalam sel sebelumnya bermuatan negatif berubah muatan menjadi bermuatan
positif, maka proses ini dinamakan potensial aksi. Perbedaan potensial muatan
membran sel -90 mV.
Aksi Potensial terdiri dari 5 fase, diantaranya:
a. Fase o
Dinamakan fase depolarisasi yang menggambarkan arus masuk Natrium
ekstraseluler ke dalam intra seluler yang berlangsung dengan cepat. Terjadi
perubahan muatan dalam sel menjadi positif dan diluar menjadi negatif.
b. Fase 1
Merupakan fase permulaan proses repolarisasi yang mengembalikan potensial
dalam sel menjadi 0 mV. Terjadi akibat penutupan saluran Natrium
c. Fase 2
Kalsium masuk kedalam sel miokard dengan lajut relatif lebih lambat
danmenyebabkan keadaan stabil yang agak lama sesuai masa istirahat (refrakter)
absolut miokardium
d. Fase 3
Fase ini merupakan fase pengembalian potensial intrasel ke potensial istirahat,
akibat pengeluaran Kalium dari dalam sel keluar sel, sehingga mengurangi muatan
positif di dalam sel
e. Fase 4
Disebut sebagai fase istirahat , dimana sel miokard kembali bermuatan positif di
luar sel dan negatif di dalam sel hal ini disebut POLARISASI
3. Axis Jantung
Axis jantung singkatnya adalah resultan dari
seluruh vektor dari arus listrik jantung yang
menandakan arah sebagian besar arus listrik
jantung berada. Normalnya arah aliran listrik
jantung itu berada pada arah ventrikel kiri,
diakibatkan otot ventrikel kiri yang lebih tebal
sehingga arus listrik jantung akan dominan ke
arah dari ventrikel kiri atau pada gambar di
samping di kuadran kanan bawah
Aksis jantung merujuk pada arah rata-rata
gelombang depolarisasi ventrikuler yang
direpresentasikan oleh gelombang QRS pada bidang vertikal, diukur dari sebuah titik
referensi nol. Titik referensi nol meninjau jantung dari sudut pandang yang sama
dengan lead I. Sebuah aksis yang berada di atas lead I diberi sebuah nomor negatif,
dan sebuah aksis yang berada di bawahnya diberi sebuah nomor positif.
Secara teoritis, aksis jantung dapat berada di manapun antara sudut 180° dan -180°.
Kisaran normal aksis jantung adalah antara −30° dan +90°. Sebuah aksis yang berada
lebih dari sudut −30° dinamakan deviasi aksis kiri/left axis deviation/LAD, sedangkan
sebuah aksis yang berada >90° dinamakan deviasi aksis kanan/right axis
deviation/RAD. Aksis jantung antara -90 dan 180 derajat (beberapa ada yang
menyebut sebagai aksis barat laut/northwest axis) disebut sebagai deviasi aksis
ekstrem/extreme axis deviation/EAD.
b. Sadapan Unipolar yaitu : merekam beda potensial lebih dari 2 elektode, terdiri
dariLead Unipolar ekstremitas(aVR, aVL, aVF) & Lead Unipolar Perikardial (V1,
V2, V3, V4, V5, V6)
1) Lead Ekstremitas
- Lead aVR
Merekam beda potensial pada tangan kanan
(RA) dengan tangan kiri dan kaki kiri yang
mana tangan kanan bermuatan (+)
- Lead aVL
Merekam beda potensial pada tangan kiri
(LA) dengan tangan kanan dan kaki kiri yang
mana tangan kiri bermuatan (+)
- Lead aVF
Merekam beda potensial pada kaki kiri (LF) dengan tangan kanan dan
tangan kiri yang mana kaki kiri bermuatan (+)
2) Lead Perikardial
Elektroda dada (precordial)
V1 : Interkostal ke IV pinggir kanan sternum
V2 : Interkostal ke IV sebelah pinggir kiri sternum
V3 : Diantara V2 dan V4
V4 : Interkostal ke V garis mid klavikula kiri
V5 : Sejajar V4 garis aksilaris anterior kiri
V6 : Sejajar V4 garis mid aksilaris kiri
cxlii Ba
sic
Tr
Untuk perekaman posterior
V7 : Sejajar V6 garis aksilaris posterior kiri (imajiner dengan V5)
V8 : Sejajar V6 garis midscapula kiri (imajiner dengan V4)
V9 : Sejajar V8 garis paravertebralis kiri (imajiner dengan V3)
cxliii Ba
sic
Tr
6. Kalibrasi EKG
Kalibrasi / penentuan ukuran kertas secara standar (sistm international) lebih sering
dibuat dengan voltase 1 mV (10 kotak kecil), dengan kecepatan 25 mm/detik (25
kotak kecil / 5 kotak besar). Artinya mesin EKG diatur agar dapat merekam gambar
selama 1 detik sejauh 25 mm atau 5 kotak besar, amplitudonya setinggi 10mm.
jika kalibrasi dibuat 1 mV dengan kecepatan 25 mm/detik, untuk arah horizontal 1
kotak kecil sama dengan 0,04 detik yang didapat dari 60 detik : 25. Sedangkan arah
ventrikel 1 kotak kecil sama dengan 0,1 mV.
a. Gelombang P
1). Gelombang P merupakan gambaran proses depolarisasi atrium (atrium
berkontraksi)
2). Lebar kurang dari 0,12 detik (3 kotak kecil)
3). Tinggi kurang dari 0,3 mVolt (3 kotak kecil)
4). P selalu positif di lead II
5). P selalu negatif di lead AVR
6). Hipertrofi atrium kanan, ditandai gelombang P pulmonal : gelombang P yang
lancip dan tinggi, paling jelas di lead I dan II
7). Hipertrofi atrium kiri, ditandai gelombang P mitral : gelombang P yang lebar
dan berlekuk, paling jelas di lead I dan II
cxliv Ba
sic
Tr
b. PR interval
1). Diukur dari permulaan gelombang P samai permulaan gelombang QRS
2). Normal antara 0,12-0,20 detik (3-5 kotak kecil)
3). Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk depolarisasi atrium dan jalannya
impuls melalui berkas his sampai pada permulaan depolarisasi ventrikel.
4). Nilai klinis untuk mengetahui apakah hantaran impuls di berkas his normal atau
mengalami gangguan.
c. Kompleks QRS
1). Komplesk QRS merupakan gambaran proses depolarisasi ventrikel (ventrikel
berkontraksi)
2). Lebar 0,06-0,12 detik (1,5-3 kotak kecil)
3). Tinggi tergantung lead
4). Gelombang Q merupakan defleksi negatif I dari gelombang QRS
5). Lebar gelombang Q kurang dari 0,04 detik (1 kotak kecil)
6). Dalamnya gelombang Q kurang dari 1/3 R
7). Q yang tidak normal adalah Q patologis
8). Gelombang R merupakan defleksi positif I sesudah Q dari gelombang QRS
9). Gelombang S merupakan defleksi negatif sesudah gelombang R
d. ST segmen
1). Diukur dari akhir gelombang S sampai awal gelombang T
2). Nilai klinis untuk mengukur adanya infark atau iskhemik
3). Perhatikan apakah ada ST Depresi dan ST Elevasi
cxlv Ba
sic
Tr
b. Frekuensi jantung (heart rate = HR)
Untuk menetukan HR, maka perhatikan jarak antara kedua gelombang R disetiap
lead. Jika sama berarti regular, jika tidak sama berarti irregular.
1). Jika regular
a). Cara cepat
cxlvi Ba
sic
Tr
Gambar : VT Monomorfik
Kriteria penentuan berdasarkan EKG
- Durasi VT < 30 detik adalah VT yang tidak berkepanjangan (Non Sustainned VT)
dan tidak membutuhkan intervensi
- Durasi VT > 30 detik adalah VT yang berkepanjangan (Sustainned VT)
- Kecepatan ventrikel >100x/menit, khususnya 125-250 x/menit
- Irama reguler
- Gelombang P jarang terlihat, VT merupakan suatu bentuk dososiasi AV. Pada
takikardi kompleks QRS lebar dan aneh, kompleks seperti PVC > 0,12 detik dengan
gelombang T yang besar dan memiliki polaritas yang berlawanan dengan QRS
- PR Interval tidak ditemukan
- Fusion Beat kadang tertangkap akibat gelombang P yang terkonduksi
cxlvii Ba
sic
Tr
Kriteria Penentu Berdasarkan EKG
- Nilai/Komplek QRS tidak dapat ditentukan, tidak ada gelombang P, QRS atau T
yang dapat dikenali. Gelombang pada garis dasar terjadi antara 150 – 500 x/menit.
- Irama tidak dapat ditentukan, Pola naik (puncak) dan turun (palung) yang tajam
- Amplitudo : diukur dari puncak ke palung, biasa digunakan secara subjektif untuk
menggambarkan VF halus (2 - 5mm), medium / sedang (5 - < 10mm) dan kasar (10
- < 15mm).
3. Asistole
Secara klasik asistol digambarkan sebagai suatu garis datar dan secara virtual tidak
ada kriteria penentu. Irama tidak dapat ditetapkan, terkadang terlihat adanya
gelombang P, tetapi berdasarkan definisinya gelombang R harus tidak tampak. Pada
Komplek QRS tidak terlihat defleksi yang konsisten dengan suatu komplek QRS.
Gambar : Asistol
cxlviii Ba
sic
Tr
III. DEFIBRILASI
1. Terapi Elektrik (DC Shock)
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran listrik yang kuat
dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang ditempatkan pada
permukaan dada pasien. Tujuannya adalah untuk koordinasi aktivitas listrik jantung dan
mekanisme pemompaan, ditunjukkan dengan membaiknya cardiac output, perfusi
jaringan dan oksigenasi.
American Heart Association (AHA) merekomendasikan agar defibrilasi diberikan
secepat mungkin saat pasien mengalami gambaran VT non-pulse atau VF, yaitu 3 menit
atau kurang untuk setting rumah sakit dan dalam waktu 5 menit atau kurang dalam
setting luar rumah sakit. Defibrilasi dapat dilakukan diluar rumah sakit karena sekarang
ini sudah ada defibrillator yang bisa dioperasikan oleh orang awam yang disebut
automatic external defibrillation (AED).
Defibrilator
Defibrilator adalah peralatan elektronik yang dirancang untuk memberikan kejut
listrik dengan waktu yang relatif singkat dan intensitas yang tinggi kepada pasien
penyakit jantung. Defibrilator adalah alat yang dapat memberikan shock listrik
dan dapat menyebabkan depolarisasi sementara dari jantung yang denyutnya
tidak teratur, sehingga memungkinkan timbulnya kembali aktifitas listrik jantung
yang terkoordinir. Energi dialirkan melalui suatu elektrode yang disebut paddle.
Defibrilator diklasifikasikan menurut 2 tipe bentuk gelombangnya yaitu
monophasic dan biphasic. Defibrilator monophasic adalah tipe defibrilator yang
pertama kali diperkenalkan, defibrilator biphasic adalah defibrilator yang
digunakan pada defibrilator manual yang banyak dipasarkan saat ini.
Indikasi Defibrilasi
Defibrilasi merupakan tindakan resusitasi prioritas utama yang ditujukan pada :
Ventrikel fibrilasi (VF) dan Ventrikel takikardi tanpa nadi (VT non-pulse).
Defibrilasi harus dilakukan sedini mungkin dengan alasan :
a. Irama yang didapat pada permulaan henti jantung umumnya adalah ventrikel
fibrilasi (VF)
b. Pengobatan yang paling efektif untuk ventrikel fibrilasi adalah defibrilasi.
c. Makin lambat defibrilasi dilakukan, makin kurang kemungkinan keberhasilannya.
d. Ventrikel fibrilasi cenderung untuk berubah menjadi asistol dalam waktu
beberapa menit
cxlix Ba
sic
Tr
Alat yang digunakan
a. Defibrilator, Elektrode Pads
Defibrilator adalah alat yang dapat memberikan shock listrik dan dapat
menyebabkan depolarisasi sementara dari jantung yang denyutnya tidak
teratur, sehingga memungkinkan timbulnya kembali aktifitas listrik
jantung yang terkoordinir. Energi dialirkan melalui suatu elektrode yang
disebut paddle. Defibrilator diklasifikasikan menurut 2 tipe bentuk
gelombangnya yaitu monophasic dan biphasic
b. Jelly
Jeli digunakan untuk mengurangi tahanan dada dan membantu menghantarkan
aliran listrik ke jantung, jeli dioleskan pada kedua paddle.
c. Energy
Untuk VF dan VT tanpa nadi, energi awal 360 joule dengan menggunakan
monophasic deflbrilator, dapat diulang tiap 2 menit dengan energi yang sama, jika
menggunakan biphasic deflbrilator energi yang diperlukan berkisar antara 120 - 200
joule.
d. Trolly Emergency
Prosedur defibrilasi
1. Nyalakan deflbrilator
2. Tentukan energi yang diperlukan dengan cara memutar atau menggeser tombol
energi
3. Paddle diberi jeli secukupnya.
4. Letakkan paddle dengan posisi paddle apex diletakkan pada apeks jantung dan
paddle sternum diletakkan pada garis sternal kanan di bawah klavikula.
5. Isi (Charge) energi, tunggu sampai energi terisi penuh, untuk mengetahui energi
sudah penuh, banyak macamnya tergantung dari defibrilator yang dipakai, ada yang
memberi tanda dengan menunjukkan angka joule yang diset, ada pula yang memberi
tanda dengan bunyi bahkan ada juga yang memberi tanda dengan nyala lampu.
6. Jika energi sudah penuh, beri aba-aba dengan suara keras dan jelas agar tidak ada
lagi anggota tim yang masih ada kontak dengan pasien atau korban, termasuk juga
yang meng-operatorkan defibrilator, sebagai contoh:"Energi siap " "Saya siap " "Tim
lain siap"
cl Ba
sic
Tr
7. Kaji ulang layar monitor defibrillator, pastikan irama masih VF/VT tanda nadi,
pastikan energi sesuai dengan yang diset, dan pastikan modus yang dipakai adalah
asinkron, jika semua benar, berikan energi tersebut dengan cara menekan
keduatombol discharge pada kedua paddle. Pastikan paddle menempel dengan baik pada
dada pasien (beban tekanan pada paddle kira-kira 10 kg).
8. Kaji ulang di layar monitor defibrilator apakah irama berubah atau tetap sama seperti
sebelum dilakukan defibrilasi, jika berubah cek nadi untuk menentukan perlu
tidaknya dilakukan RJP, jika tidak berubah lakukan RJP untuk selanjutnya lakukan
survey kedua.
cli Ba
sic
Tr
IV. DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association (AHA). (2015). BLS Healthcare Provider. Student Manual
Professional. USA: American Heart Association (AHA).
American Heart Association (AHA). (2015). Advanced Cardiac Life Support. Student Manual
Professional. USA: American Heart Association (AHA).
American Heart Association (AHA). (2015). Highlight of the 2015 American Heart Association
Guidelines Update for CPR adn ECC. USA: American Heart Association.
Burns E. (2015). ECG Axis Interpretation. Life in the fast lane. [Cited 2019 Jan 11]. Available from:
http://lifeinthefastlane.com/ecg-library/basics/axis/
Harte, Mellisa, Glenn Michael (2013). Advance Trauma Care For Nurse for Student Manual 2013
Edition. Lexington: Society of Trauma Nurses
Irman, O., Poeranto, S., Suharsono, T. (2017). The Correlation Of Health Seeking Behavior And
Transportation Mode With Prehospital Delay Time In Patients With Acute Coronary Syndrome
At Emergency Department Of Regional Public Hospital Of Dr. Tc. Hillers Maumere. Nurseline
Journal. Vol. 2(2). pp: 87-96
Longmore M, Wilkinson IB, Baldwin A, Wallin E. (2014). Oxford Handbook of Clinical Medicine.
9th ed. Oxford: Oxford University Press
Lumbantoruan, P., Fitriany, Y., & Martina, S.E. (2017). BTCLS and Disaster Management.
Jakarta: Medhatama Restyan
Oktavianus, Rachmawati, A.N. (2014). Patofisiologi Kardiovaskuler. Yogyakarta: Graha Ilmu
Pearce, E. C. (2013). Anantomy dan fisiology untuk paramedis. Edisi kedua. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
PERKI. (2017). Kursus Bantuan Hidup Dasar Lanjut, ACLS Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia
PERKI (2015). Pedoman Tatalaksana Sindrome Koroner Akut. Edisi ketiga. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
Smeltzer S.C dan Bare Brenda G (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
&Suddarth (Ed. 12 Vol 2). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Thaler, M.S. (2016). Satu-satunya Buku EKG yang anda Perlukan. Edisi ke 8. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
clii Ba
sic
Tr
MODUL 12
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN GANGGUAN SIRKULASI
I. Pendahuluan
Gangguan Sirkulasi atau yang lebih dikenal dengan istilah Syok menjadi fokus subyek
penelitian secara mendalam selama beberapa dekade terahir. Update ilmu dan
pengobatan syok hemoragik terus dilakukan dalam menemukan rekomendasi yang tepat
selama masa prehospital. Pengalaman militer A.S saat perang di Irak dan Afghanistan telah
berdampak terhadap pemikiran baru dalam pengelolaan perdarahan yang mengancam
jiwa.
Kondisi syok dapat memperburuk keadaan pasien dengan cepat, maka penanganannya
harus segera dilakukan. Jika tidak, syok dapat menyebabkan komplikasi bahkan kematian.
Bab ini akan akan membahas teori terkini dan hasil penelitian terbaru tentang
patofisiologi dan penanganan syok pada pasien trauma dan pada pasien dengan berbagai
keadaan syok lainnya.
II. Syok
A. Pengertian
Syok adalah keadaan kegagalan sirkulasi akut yang menyebabkan penurunan pasokan
nutrisi dan oksigen pada organ dan jaringan tubuh atau terganggu pemanfaatan oksigen
oleh jaringan perifer sehingga menghasilkan disfungsi organ (Emergency Medicine
Practice, 2014).
B. Patofisiologi Dasar
Perfusi normal dalam tubuh dipengaruhi oleh empat hal :
1. System vaskularisasi yang utuh untuk dapat mengalilrkan oksigen keseluruh
pembuluh darah
2. System pertukaran gas yang adequate didalam paru : oksigen mampu masuk
kedalam darah (darah teroksigenasi)
3. Volume cairan adequate didalam pembuluh darah : sel darah merah dan plasma
4. Fungsi pompa yang baik : jantung
Penting untuk diingat bahwa tekanan darah membutuhkan semua komponen diatas
dalam kondisi "stabil". Jantung harus memompa, volume darah Harus cukup,
pembuluh darah harus utuh, dan paru-parunya harus mengoksidasi darah.
cliii Ba
sic
Tr
Jadi, jika curah jantung turun atau jika resistansi pembuluh darah perifer turun (seperti
pada arteri yang melebar yang terjadi syok neurogenik), maka tekanan darah akan
turun.
Catatan: Saat anda melakukan ventilasi kepada sesorang, tekanan udara yang masuk
akan mendorong darah kembali kejantung sehingga menurunkan curah jantung
Syok menggambarkan suatu kondisi yang terjadi saat perfusi Jaringan tubuh dengan
oksigen, elektrolit, glukosa, dan cairan menjadi tidak adekuat dengan kebutuhan tubuh.
Beberapa proses menyebabkan penurunan perfusi ini. Sebagai contoh, Hilangnya sel
darah merah dalam pendarahan pasien mengakibatkan kurang transportasi oksigen ke
jaringan tubuh. Penurunan volume darah yang beredar menyebabkan penurunan
glukosa, volume cairan, dan elektrolit ke sel. Terjadinya gangguan peredaran darah,
mengakibatkan sel-sel tubuh menjadi "mengkerut", dan perubahan serius pada jaringan
tubuh mulai terjadi. Pada akhirnya terjadilah kematian sel.
Saat oksigen tidak ada, maka metabolism terjadi menggunakan cadangan oksigen yang
ada, hasil pembakaran cadangan oksigen ini menghasilkan toksik berupa asam laktat.
Penggunaan cadangan oksigen ini dapat menghambat kematian sel dalam beberapa
Manifestasi klinis yang ditemukan adalah: pucat, diaporetik, dan takikardi. Sedangkan
pada tingkatan sel terjadi kekurangan oksigen dan nutrisi yang berdampak terhadap
kerusakan dan kematian sel. Buruknya perfusi jaringan pada pasien yang mengalami
syok dapat merusak organ-organ secara reversible ataupun permanen yang dapat
mengakibatkan kecacatan dan atau kematian terutama jika yang mengalami kerusakan
adalah organ vital.
Respon yang terlihat saat setelah masa syok pada pasien dapat dibagi menjadi “early”
dan “late” syok.
HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI)
a. Early syok: kehilangan 15-25% volume darah. Kondisi ini dapat menyebabkan
takikardi, pucat, penyempitan nadi, kehausan, kelemahan, memungkinkan
keterlambatan CRT.
b. Late syok : kehilangan 30-45% volume darah. Kondisi ini dapat menyebabkan
hypotensi secara cepat. Ketika terjadi late syok, kemampuan tubuh untuk
mengkompensasi gagal.
Dari table diatas jelas bahwa syok harus dapat dikenali secara cepat tanpa harus dibantu
pemeriksaan penunjang yang lengkap. Bahkan pada kasus trauma, bila ditemukan ada
takikardi dan ekstermitas yang dingin, sudah harus dipikirkan adanya syok.
Kategori syok
kategori syok dapat dilihat pada table dibawah ini
C. Syok Kardiogenik
E. Syok Sepsis
Ringkasan
Penilaian dan perawatan pasien selalu dimulai dengan ABC, pertahankan pembukaan jalan
nafas, monitor respiirasi dan ventilasi jika dibutuhkan. Lakukan penilaian sirkulasi dengan
mengukur pulsasi radial, dan control perdahan eksternal. Perdarahan eksternal parah harus
diidentifikasi dan dikontrol selama penilaian awal. Metode utama untuk mengontrol
perdarahan eksternal adalah:
Metode lain termasuk pembidaian, dan penggunaan Pneumatic Anti Syok Garment (PASG).
keadaan pasien dalam keadaan syok berat untuk menyelamatkan nyawa. Setelah perdarahan
diatasai selanjutnya adalah memperbaiki kekurangan cairan intravaskuler dengan memberikan
cairan dengan jumlah yang dukup dalam waktu yang singkat. Pada umumnya cairan yang
diberikan adalah RL 20-40 cc/kg BB yang diberikan dalam tempo 10-15 menit. Pemberian cairan
ini dapat diualangi satu sampai 2 kali tergantung situasi. Hal lain yang harus diperhatikan disini
adalah cara pemasangan infus. Pilihlah jarum serta selang infus ukuran besar sehingga
memungkinkan transfuse dengan lancar. Jangan lupa untuk mengambil sample darah untuk
pemeriksaan cross test apabila transfuse darah harus diberikan
HIGHLIGH
T
Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus
selalu ingat akan prinsip prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan
tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO)
dengan mengutamakan keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara
X. Daftar pustaka
berkala
I. Pendahuluan
Prinsip tatalaksana pada kasus kegawatdaruratan sangatlah penting terutama pada saat
penolong mengangkat dan memindahkan korban ataupun proses evakuasi. Penolong
dituntut agar dapat memberikan tindakan secara cepat dan tepat, hal tersebut mengingat
golden period pasien dengan trauma dan kasus kegawatdaruratan tidaklah lama, serta
perlu diingat bahwa dalam tatalaksana jangan sampai menambah cedera korban dan
mencederai penolong (Do Not Futher Harm).
Penanganan pasien trauma yang definitif, apakah itu membutuhkan monitoring di ICU atau
tindakan operasi atau masuk ke unit perawatan umum, membutuhkan kehadiran dan
keterlibatan aktif dari tim penolong dengan keterampilan dan pengetahuan yang baik dan
kompeten. Keputusan untuk memindahkan pasien ke fasilitas rumah sakit baik pre
maupun intrahospital sangat tergantung pada kondisi pasien dan sumber daya yang ada di
unit atau rumah sakit tersebut. Keputusan tentang pasien mana yang perlu ditransfer,
kapan dan bagaimana transfer itu dilakukan adalah berdasarkan pada penilaian klinis
pasien. (Stewart, Ronald, et al, 2018)
Beberapa hal terkait proses evakuasi ataupun memindahkan pasien dalam kasus
kegawatdaruratan antara lain : proses evakuasi pre hospital dan transfer pasien intra-
hospital, teknik mengangkat dan memindahkan korban, mekanika tubuh penolong saat
menolong korban, teknik penggunaan ekstrikasi korban serta sistem transportasi dalam
hal ini ambulans sebagai sarana transportasi pasien. Hal tersebut sangatlah penting
dipelajari perawat agar pada saat melakukan pertolongan serta proses evakuasi tidak
membahayakan pasien dan perawat tersebut serta mampu menekan angka mortalitas dan
morbiditas.
Menurut Stewart, Ronald, et al (2018), perawat / petugas yang memindahkan pasien harus
terlatih, sesuai dengan kondisi dan masalah potensial pasien. Selama proses transfer
pasien, petugas harus melakukan penanganan / perawat meliputi:
1. Observasi tanda-tanda vital dan oksimetri nadi
2. Treatment untuk sistem jantung dan pernafasan secara berkelanjutan
3. Resusitasi cairan seimbang yang berkelanjutan
4. Menggunakan obat-obatan sesuai instruksi
5. Berkomunikasi intens dengan dokter atau leader team selama transfer
6. Menyimpan catatan yang akurat selama transfer
1. Pemindahan Darurat
Lakukan pemindahan darurat hanya jika ada bahaya segera terhadap penderita ataupun
penolong dan juga jika penderita menghalangi akses ke penderita lainnya. Tindakan ini
dapat dilakukan tanpa dimulai dengan penilaian dini (respon, nafas dan nadi) mengingat
faktor bahaya dan resiko di tempat kejadian.
Pemindahan ini juga dapat menimbulkan resiko bertambah parahnya cedera penderita
terutama penderita yang mengalami cedera spinal (tulang belakang mulai dari tulang
leher sampai tulang ekor).Contoh pemindahan darurat antara lain:
a) Tarikan Lengan
Posisikan tubuh penolong di atas kepala penderita. Kemudian masukkan lengan di
bawah ketiak penderita dan pegang lengan bawah penderita. Selanjutnya silangkan
kedua lengan penderita di depan dada dan tarik penderita menuju tempat aman.
Hati-hati terhadap kaki penderita yang mungkin akan membentur benda di sekitar
lokasi kejadian.
6) Angkat penderita di atas lutut ketiga penolong secara bersamaan. Jika terdapat
tandu, maka penolong lain menyiapkan tandu di bawah penderita kemudian
meletakkan penderita di atas tandu dengan satu aba-aba.
3. Scoop Strecher
Hanya untuk memindahkan pasien (dari brankard ke tempat tidur atau
sebaliknya).Bukan alat untuk imobilisasi pasien, bukan alat transportasi, dan jangan
mengangkatscoop strecher hanya pada ujungnya saja karena dapat
menyebabkanscoop strecher melengkung ditengah bahkan sampai patah.
b. Exsterior
Kendaraan harus mampu menampung peralatan medis yang diperlukan
Warna ambulan putih dan penulisan nama ambulans mengikuti Keputusan
Menteri Republik Indonesia Nomor 882/Menkes/SK/X/2009 TENTANG
Pedoman Penanganan Evakuasi Medik
Di lengkapi dengan tanda cross of life sebagai tanda bahwa pada
ambulans tersebut terdapat penanganan bantuan hidup/life support/life
safety
Pekerjaan pemasangan Lampu LED Flas/Blits Light Barwarna merah
lengkap dengan Speaker (warna disesuaikan, berdasarkan Undang-
Undang Lalu Lintas No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Umum)
Suara Sirine mengacu pada standar suara sirine “TWO TONE” (High Low)
2. KESIMPULAN
Proses rujukan pasien pada kasus kegawatdaruratan merupaka salah satu hal penting
dalam penanganan pasien dalam kondisi kegawatdaruratan, terutama pada kasus yang
harus segera mendapatkan penanganan lebih lanjut, dalam proses rujuka kita harus
memperhatikan indikasi dan kontraindikasi serta syarat pasien dilakukan rujukan. Prinsip
DO NOT FUTHER HARM yaitu jangan menambah parah kondisi pasien penting
diperhatikan serta keselamatan penolong juga perlu diperhatian. Proses rujukan dan
komunikasi yang baik serta cepat dan tepat dapat menekan angka mortalitas dan
morbiditas pasien dengan kondisi gawatdarurat.
HIGHLIGHT
Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
VI. DAFTAR PUSTAKA
American College of Surgeons Committee on Trauma. (2010). Advanced Trauma Life Support for
Doctors. Chicago, American College of Surgeon.
Stewart, Ronald, et al (2018). Advanced Trauma Life Support. Student Course Manual. The
Committee on Trauma. Tenth Edition. P.242–251. ISBN 78-0-9968262-3-5. American College
of Surgeons. Chicago.
Emergency Nurses Association. (2013). Sheehy's Manual of Emergency Care. United State of
America, Elsevier Mosby.
Kementrian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Teknis Ambulans. Ditjen. PUK. KEMKES.RI
MODUL 14
TRIAGE
I. Pendahuluan
Berdasarkan UU RI No. 44 tahun 2009, rumah sakit merupakan instansi
pelayanan dalam bidang kesehatan untuk melakukan pelayanan kesehatan perorangan
secara komprehensif yang ditunjang dengan adanya pelayanan rawat inap, rawat jalan
dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna merupakan pelayanan kesehatan
yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Tujuan utama didirikannya
Instalasi Gawat Darurat adalah menyelenggarakan pelayanan gawat darurat dan
menyelenggarakan informasi medis darurat. Untuk masalah pelayanan Instalasi Gawat
Darurat perlu dilengkapi dengan alat komunikasi yang memadai, disamping tenaga
medis yang terdiri dari dokter dan perawat yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit. Perawat Instalasi Gawat Darurat melaksanakan tugas yang kompleks salah
satunya adalah menerima pasien yang datang dan melakukan pengkajian untuk menilai
kondisi kegawatannya melalui proses triage.
Triase menjadi komponen yang sangat penting dalam pelayanan di Unit Gawat
Darurat terutama bila terjadi peningkatan jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit
melalui unit ini. Berbagai laporan dari IGD menyatakan adanya kepadatan
(overcrowding) yang menyebabkan perlu adanya metode menentukan siapa pasien
yang lebih prioritas sejak awal pasien kedatangan. Ketepatan dalam menentukan Triase
dapat memperbaiki alur pasien yang datang ke IGD, menjaga Sumber Daya IGD agar
dapat fokus menangani kasus yang benar benar gawat, dan mengalihkan kasus tidak
gawat darurat ke fasilitas kesehatan atau unit pelayanan yang sesuai (Hadiki H. et al,
2016).
Triase juga dapat diterapkan dan dilakukan pada kondisi pasien sebelum masuk
rumah sakit atau Triase Pra-hospital. Dalam beberapa kondisi seperti bencana, atau
kecelakaan masal atau mass casualty incident dibutuhkan koordinasi, intervensi medis
yang kompleks serta proses triase yang efektif. Triase pra hospital bertujuan untuk
mengidentifikasi dan memprioritaskan pasien yang membutuhkan intervensi dan atau
evakuasi segera. Dengan kondisi diatas maka dibutuhkan petugas kesehatan yang
professional dan harus disiapkan menangani kondisi kegawatan secara adequate (Lampi
M. et al 2017).
Triase yang sesuai tidak hanya memastikan pengelolaan pasien di IGD tepat
namun juga memainkan peran dalam meningkatkan kepuasan pasien dalam hal
perawatan yang pasien terima kemudian triase di IGD yang awalnya dilakukan oleh
dokter, kini pelayanan tersebut dapat diberikan oleh perawat yang pengalaman
(terlatih). mereka mampu menjalankan triase, mengelola dan menangani pasien yang
datang ke IGD secara mandiri setidak 30% untuk berbagai kasus cedera dan masalah
kesehatan lainnya (Rehman A.S. et al, 2015)
Maka modul ini akanmembahas tentang konsep dasar triage serta hal apa penting yang
harus dipahami perawat dalam menjalankan peran dan fungsi sebagai perawat triase di
IGD (intra-hospital) maupun dari luar RS (pra-hospital)
A. Pengertian
Triage berasal dari bahasa prancis "Trier" yang berarti memilah atau menyaring. Triase
didefinisikan sebagai prosedur pemilahan pasien sesuai dengan urgensi dan kebutuhan
akan perawatan. Diseluruh dunia, triase dimaknai sebagai prosedur pemilahan di area
masuk pelayanan gawat darurat menilai secara cepat apakah pasien sakit dengan
kegawatdaruratan atau tidak (Scrofine s., 2014).
Menurut Emergency Nursing Assosiation (2017), Triase adalah proses mengumpulkan
informasi terkait pasien yang membutuhkan perawatan gawat darurat dengan
melakukan prosedur pengambilan keputusan pemilahan kegawatandaruratan
menggunakan sistem yang valid dan konsisten, dapat dipercayai. Triase yang dilakukan
dengan cepat dan akurat merupakan hal penting untuk keberhasilan perawatan dan
kepulihan pasien di instalasi gawat darurat.Proses Triase terdiri dari mengumpulkan
informasi pasien, penkajian terfokus, menetapkan tingkat cedera/kesakitan,
memprioritaskan kebutuhan pasien akan perawatan kegawatdaruratan, semua
dilakukan dengan waktu yang singkat.
Perawat dalam melakukan pengkajian dan menentukan prioritas perawatan (triage)
tidak hanya didasarkan pada kondisi fisik, lingkungan dan psikososial pasien tetapi juga
memperhatikan patient flow di departemen emergensi dan akses perawat. Triage
departemen emergensi memiliki beberapa fungsi diantaranya: 1) identifikasi pasien
yang tidak harus menunggu untuk dilihat, dan 2) memprioritaskan pasien (Mace and
Mayer, 2013). Berbagai macam sistem triage telah digunakan diseluruh dunia yaitu The
AustralianTriage Scale (ATS), The Manchester Triage Scale, The Canadian Triage and
Acuity Scale (CTAS) dan Emergency Severity Index (ESI). CTAS (Canadian Triage and
Acuity Scale) diakui sebagai sistem triage yang handal dalam penilaian pasien dengan
cepat. Kehandalan dan validitasnya telah dibuktikan dalam triage pada pasien pediatrik
dan pasien dewasa (Lee, Et al, 2011).
B. Dasar Triage:
1. Check pernapasan
2. Check pernapasan lagi
3. Sesudah menjaga arus pernapasan
4. Check Peredaran (denyut nadi &Branch test)
5. Check kesadaran
6. Check respons
Triase dilakukan berdasar observasi:
1. Pernafasan(respiratory)
2. Sirkulasi (perfusion)
3. Status mental(mental state)
C. Prinsip Triage
Time saving is life saving (waktu keselamata adalah keselamatan hidup), the right
patient, to the right place at the right time, with the right care provider. Triage
seharusnya segera dan tepat waktu, penanganan yang segera dan tepat waktu akan
segera mengatasi masalah pasien dan mengurangi terjadi kecacatan akibat kerusakan
organ. Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat, data yang didapatkan dengan
adekuat dan akurat menghasilkan diagnosa masalah yang tepat. Keputusan didasarkan
dari pengkajian, penegakan diagnose dan keputusan tindakan yang diberikan sesuai
kondisi pasien. Intervensi dilakukan sesuai kondisi korban, penanganan atau tindakan
yang diberikan sesuai dengan masalah/keluhan pasien. Kepuasan korban harus dicapai,
kepuasan korban menunjukkan teratasinya masalah. Dokumentasi dengan benar,
dokumentasi yang benar merupakan sarana komunikasi antar tim gawat darurat dan
merupakan aspek legal.
F. Sistem Triage
Sistem triage ada 2 yaitu:
a. Non disaster: Untuk menyediakan perawatan sebaik mungkin bagi setiap individu
pasien
Identifikasi pasien-pasien yang membutuhkan penatalaksanaan segera
Menentukan area tatalaksana yang tepat
Memudahkan alur pasien di IGD dan menghindari kemacetan yang tidak perlu
b. Disaster : Untuk menyediakan perawatan yg lebih efektif untuk pasien dalam jumlah
banyak
Salah satu metode yang paling sederhana dan umum digunakan adalah metode S.T.A.R.T
atau Simple Triage and Rapid Treatment.
(START) Simple Triage and Rapid Treatment, fokus pada:
Penilaian pertama tidak lebih dari 30 detik / orang.
Konsentrasi untuk laksanakan triage, tidak lakukan pengobatan
Metode ini membagi penderita menjadi 4 kategori:
H. Prosedur START :
Lakukan triase sebelum pengobatan, jangan melakukan triase lebih dari 60 detik
Langkah 0
Panggil korban yang masih bisa berjalan untuk mendekat kearah petugas yang
berada dilokasi aman (collecting area). Korban yang bisa berjalan mendekat
diberikan label Hijau.
Langkah 1 (Airway + Breathing)
Cek pernapasan, Apabila tidak bernapas buka jalan napasnya, jika tetap tidak
bernapas berikan label HITAM. Pernapasan > 30 kali / menit atau <> Pernapasan 10-
30 kali permenit kelangkah berikutnya
Langkah 2 (Circulation)
Cek Capilary test (Tekan Kuku tangan penderita) kemudian lepas, apabila kembali
merah lebih dari 2 detik (> 2 detik) berikan label MERAH. Apabila <> Apabila
pencahayaan kurang untuk capilary test, lakukan cek nadi radialis, apabila tidak
teraba atau lemah berikan label MERAH. Apabila nadi radialis teraba kelangkah
berikut.
Langkah 3 (Mental Status)
Berikan perintah sederhana kepada penderita, Apabila mengikuti berikan label
KUNING. Apabila tidak dapat mengikuti perintah berikan label MERAH.
Setelah melakukan langkah-langkah triage dan memberikan label/tanda pada
penderita, segera untuk menuju kependerita lain yang belum dilakukan triage.Triage
harus selalu dievaluasi untuk menghindari kemungkinan terjadi kesalahan waktu triage.
184
Atau bisa juga perubahan terjadi ketika kondisi penderita membaik atau memburuk.
JUMPSTART
Anak-anak memiliki nilai rentang normal yang berbeda dari yang pernapasan tergantung
pada usia mereka, sehingga metode START berdasarkan tingkat pernapasan 30 tidak akan
sesuai untuk anak-anak. Selain itu, anak-anak lebih cenderung memiliki masalah
pernapasan utama sebagai lawan masalah kardiovaskular dan anak-anak yang tidak
bernapas mungkin hanya memerlukan pernapasan buatan untuk diresusitasi. Selain itu,
anak-anak mungkin tidak mudah dibagi sesuai dengan yang dapat berjalan kaki kelokasi
yang ditunjuk karena perkembangan, keterampilan, kesediaan mereka untuk
meninggalkan orangtua terluka dan kecenderungan orang tua untuk membawa anak. Hal
ini digunakan secara luas di Amerika Serikat dan Kanada dan merupakan modifikasi sistem
START. Alat ini digunakan untuk anak-anak usia 1 dan 8 tahun. Mungkin tidak mudah untuk
menentukan usia anak sehingga korban tampak masih anakanak maka menggunakan
JUMP START dan jika korban terlihat seperti orang dewasa muda menggunakan START.
Modifikasi dan penilaian tambahan akan diperlukan untuk anakanak kurang dari usia 1
tahun, dengan keterlambatan perkembangan, cacat kronis atau cedera terjadi sebelum
kejadian. (Jumpstart, 2008 dalam Stein, L., 2008)
186
187
188
III. Daftar Pustaka
Australian Government Department of Health and Aging. Emergency Triage Education Kit.
Department of Health and Aging. 2009.
Einav S, Feigenberg Z, Weissman C, et al. Evacuation priorities in mass casualty terror- related events.
Ann Surg 2004; 239(3): 304-310. Melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1356226
Habib H, Sulistio S, Unit E, Mangunkusumo C, Mulyana RM, Albar IA. Triase Modern Rumah Sakit dan
Aplikasinya di Indonesia Triase Modern Rumah Sakit dan Aplikasinya diIndonesia. 2016; (December).
Emergency Nurses Association. (2017). Emergency nursing triage course. Retrieved from
https://www.ena.org/education/onlinelearning/Pages/ENT.aspx
Habib H, Sulistio S, Unit E, Mangunkusumo C, Mulyana RM, Albar IA. Triase Modern Rumah Sakit dan
Aplikasinya di Indonesia Triase Modern Rumah Sakit dan Aplikasinya di Indonesia. 2016; Availaible from:
https://www.researchgate.net/publication/311715654_Triase_Modern_Rumah_Sakit
_dan_Aplikasinya_di_Indonesia
Lee, Et al. (2011). The validity of the Canadian Triage and Acuity Scale in predicting resource utilization and the
need for immediate life-saving interventions in elderly emergency department patients. Scandinavian of
Journal Trauma, Resucitation andEmergency Medicine. 19: 68. P.1-8.
Lampi M, Et al (2017). TRIAGE Management of the trauma patient. Department of Clinical and Experimental
Medicine, Center for Teaching and Research in Disaster Medicine and Traumatology Linköping University
Medical Faculty SE-581 83 Linköping, Sweden Linköping 2017.
Mace, Sharon E and Mayer, Thom A. (2013). Triage. Chapter 15. Section IV. The Practice Environment.
Robertson-Steel I. Evolution of triage systems. Emerg Med J. 2006; 23:154-6. Stein, L., (2008).
Mass Casualty Triage. The Oklahoma Nurse. P 18-21.
Scrofine s., (2014). Triage: The Sorting of Patients. Jurnal of Emergency Nursing May 2014 Volume 40, Issue
3, P.289–290
189