Anda di halaman 1dari 197

Ba

HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI) i


Ba
sic
K E P UTrT U S A N
DEWANPENGURUSPUSATHIMPUNANPERAWATGAWATDARURATDANBENCANA
au INDONESIA
NOMOR: KEP.026/DPP HIPGABI/I/2020
ma
Tentang
Ca
TIM PENYUSUN, KONTRIBUTOR, DAN EDITOR BAHASA
rdi
MODUL BASIC TRAUMA CARDIAC LIFE SUPPORT (BTCLS)
ac
Lif
A. Tim Penyusun
1. Amelia Kurniati, S.Kp.,MN e
2. Ns. Welas Riyanto, M.Kep.,Sp.Kep.MBSu
3. pp
DR Budhi Mulyadi, S.Kp.,M.Kep.,Sp.Kep.Kom
4. Ns. Toto Suharyanto, M.Kep ort
5. Ns. Uke Pemila, M.Kep., Sp.MB (B
6. TCM.Si (Han)
Ns. Ronny Basirun Simatupang, S.Kep,
7. Ns. Endang Hertati,S.Kep LS
B. Tim Kontributor
)
1. PP HIPGABI (DIKLAT)
2. DPW HIPGABI Kalimantan Timur
3. DPW HIPGABI Sulawesi Tengah
4. DPW Kalimantan Selatan
5. DPW HIPGABI Sumatera Selatan
6. DPW HIPGABI Sulawesi Utara
7. DPW HIPGABI NTB
8. DPW HIPGABI Banten
9. DPW HIPGABI Kalimantan Barat
10. DPW HIPGABI Bali

C. Editor bahasa
Ns. Deny Kurniawan S.Kep., MM

Tim Kontributor DPW HIPGABI NTB


1. Ns. Antoni Eka Fajar Maulana, M.Kep 6. Ns. Lale Wisnu Andrayani,M.Kep
2. Ns. Lalu Aries Fahrozi, M.Kep 7. Ns. Setyono, S.Kep
3. Ns. Hikmah Lia Basuni 8. Ns. Lalu Dody Setiawan, S.Kep, M.Hum
4. Ns. Baiq Nurainun Apriani, M.Kep 9. Ns. Alwan Wijaya, S.Kep, MRS
5. Hadi Kusuma Atmaja, SST, M.Kep

HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI) ii


Ba
sic
SAMBUTAN
Tr
au
Assalamu alaikum Wr. Wb.
ma
Salam HIPGABI, Bersatu, Berkualitas, Sejahtera !
Ca
rdi
Puja dan puji syukur marilah kita panjatkan kehadirat Alloh SWT, berkat karunia dan
hidayah- Nya kita semua diberikan nikmat ac sehat serta umur panjang. Sehingga Tim bisa
menyelesaikan penyusunan modul PelatihanLif Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS).
e
Modul ini disusun sebagai acuan dalam menterjemahkan GBPP pelatihan BTCLS guna
menyiapan SDM Keperawatan di tatanan pelayanan Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana
Su
sehingga selepas mengikuti pelatihan, peserta latih mampu menampilkan kriteria unjuk kerja
pp
sesuai dengan tujuan umum dan tujuan khusus dari pelatihan BTCLS. Kesesuaian dan kedalaman
ort tujuan pembelajaran yang telah disusun dalam
materi yang dituliskan disinkronasikan dengan
Pokok Bahasan dan Sub Pokok Bahasan materi. (B Modul terdiri dari materi dasar, materi inti dan
TC kegiatan yang tidak terpisahkan.
materi penunjang yang merupakan satu rangkain
LS dan kerja cerdas para insan HIPGABI dibawah
Modul ini merupakan hasil kerja keras
Koordinator Bidang Diklat DPP HIPGABI beserta
) sejawat yang tergabung dalam tim penyusun dari
HIPGABI Provinsi dan tim editor, sesuai dengan SK DPP HIPGABI KEP.026/DPPHIPGABI/I/2020
tentang Tim penyusun dan tim Editor modul pelatihan BTCLS tertanggal 02 Januari2020. Untuk
hal tersebut saya sampaikan apresiasi yang setinggi tinggiya kepada Ketua Bidang Diklat DPP
HIPGABI Ibu Ns. Uke Pamila, S.Kep, M.Kep, Sp.Kep MB beserta tim penyusun modul, tim editor
yang telah banyak menyumbangkan pikiran, gagasanan serta waktunya sehingga modul BTCLS
tersusun tepat waktu.
Modul ini masih jauh dari kata kesempurnaan, untuk itu seiring berjalannya kegiatan
dan digunakannya modul ini saran dan masukan terhadap revisi edisi berikutnya sangat di
harapkan.
Sekali lagi kami ucapkan banyak terima kasih kepada seluruh sejawat yang telah
berkontribusi terhadap penyusunan modul BTCLS ini, semoga bisa menjadikan amal ibadah kita
bagi perkembangan profesi keperawatan umumnya dan pelayanan keperawatan gawat darurat
dan bencana khususnya.

Billlahi ta’ufik walhidayah wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Salam HIPGABI, Bersatu, Berkualitas, Sejahtera.

Wassalam
Ketua Umum DPP HIPGABI

Ns. Welas Riyanto, S.Kep, M.Kep, SP.Kep.MB


NIRA : 31710022807

HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI) iii


Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan Kehadirat Allah SWT atas berkat, rahmat dan karunia-Nya
penyusunan Modul Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) ini dapat diselesaikan. Tujuan
penyusunan modul ini adalah sebagai bahan acuan bagi para peserta pelatihan Basic Trauma
Cardiac Life Support (BTCLS) terdiri dari materi inti yang harus dikuasai oleh peserta pelatihan
sebagai dasar kompetensi dalam memberikan penanganan kasus kegawatdaruratan.
Pelatihan Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS) bertujuan untuk meningkatkan
kompetensi dan profesionalisme peserta dalam penanganan kasus kegawatdaruratan baik di
tatanan pre hospital maupun intra hospital. Kompetensi ini wajib dimiliki oleh tenaga perawat di
seluruh tatanan pelayanan kesehatan sehingga sasaran kita dalam menurunkan angka
kecacatan dan kematian yang terjadi akibat keterlambatan atau kesalahan dalam penanganan
kegawatdaruratan dapat tercapai.
Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan modul ini,
sehingga dengan kerendahan hati kami mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan
penyusunan modul ke depan. Semoga modul ini dapat menjadi penguat kompetensi dasar yang
membuat perawat memiliki keyakinan dan kepercayaan diri dalam memberikan pertolongan
pada penderita yang mengalami kegawatdaruratan.

Jakarta, Januari 2020

Atas nama Tim Penyusun,


Ketua Bidang Diklat PP HIPGABI

HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI) iv


Basic Trauma Cardiac Life Support (BTCLS)

DAFTAR ISI

Tim penyusunan modul ii


Sambutan Ketua DPP HIPGABI iii
Kata Pengantar iv
Daftar isi v
Modul 1 : Etik dan aspek legal Keperawatan Gawat Darurat 1
Modul 2 : Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu / SPGDT 15
Modul 3 : Bantuan Hidup Dasar 27
Modul 4 : Initial Assessment 38
Modul 5 : Penatalaksanaan pasien dengan gangguan Jalan nafas dan Pernafasan 57
Modul 6 : Penatalaksanaan pasien dengan Cidera Kepala dan Cidera Spinal 74
Modul 7 : Penatalaksanaan pasien dengan Trauma Abdomen 88
Modul 8 : Penatalaksanaan pasien dengan Trauma Thoraks 96
Modul 9 : Penatalaksanaan pasien dengan Trauma Muskuloskeletal 104
Modul 10 : Penatalaksanaan pasien dengan Kegawatdaruratan Kardiovaskuler 121
Sindrom Koroner Akut
Modul 11 : Electrocardiography 137
Modul 12 : Penatalaksanaan Pasien dengan gangguan Sirkulasi 150
Modul 13 : Penatalaksanaan Evakuasi 161
Modul 14 : Triage 174

HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI) v


MODUL 1
ETIK DAN ASPEK LEGAL KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

I. Pendahuluan
Perawat merupakan tenaga kesehatan yang paling banyak di Indonesia. Dalam Kepmenkes
RI No. 1239 Tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, disebutkan bahwa
perawat adalah “Seseorang yang telah lulus pendidikan tinggi keperawatan, baik di dalam
maupun di luar negeri yang diakui oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan”. Tenaga keperawatan yang melakukan tindakan keperawatan
harus sesuai dengan kompetensi perawat yang sudah ditetapkan dan didapatkan selama
proses pendidikan. Oleh karena itu, tanggung jawab hukum seorang perawat dalam
menjalankan praktik mandiri keperawatan harus sesuai dengan standar pelayanan
perawat, standar profesi, standar operasional dan kebutuhan kesehatan penerima
pelayanan kesehatan.
Pelayanan keperawatan gawat darurat meliputi pelayanan keperawatan yang ditujukan
kepada pasien gawat darurat yaitu pasien yang tiba-tiba berada dalam keadaan gawat atau
akan menjadi gawat dan terancam nyawanya atau anggota tubuhnya bila tidak mendapat
pertolongan secara cepat dan tepat (Musliha, 2010).

II. Peran perawat dalam gawat darurat.


1. Life saving
Peran perawat dalam gawat darurat untuk mempertahankan kehidupan atau
mencegah kematian adalah sebagai berikut:
a. Sebagai pemberi asuhan keperawatan.
Peran ini dapat dilakukan perawat dengan memperhatikankebutuhan dasar manusia
yang dibutuhkan melalui pemberian pelayanan keperawatan. Pemberian asuhan
keperawatan ini dilakukan dari hal sederhana hingga kompleks.
b. Sebagai advokat klien.
Peran ini dilakukan perawat dalam membantu klien dan keluarga dalam
menginterpretasikan berbagai informasi dari pemberi pelayanan khususnya dalam
pengambilan persetujuan atas tindakan keperawatan. Perawat juga berperan dalam
mempertahankan dan melindungi hak-hak pasien meliputi:
- Hak atas pelayanan sebaik-baiknya.
- Hak atas informasi tentang penyakitnya.
- Hak atas privacy.
- Hak untuk menentukan nasibnya sendiri.
- Hak menerima ganti rugi akibat kelalaian.
c. Sebagai educator.
Peran ini dilakukan dengan membantu klien dalam meningkatkan tingkat
pengetahuan kesehatan, gejala penyakit bahkan tindakan yang diberikan sehingga
terjadi perubahan perilaku dari klien setelah dilakukan pendidikan kesehatan.

6
d. Sebagai coordinator.
Peran ini dilaksanakan dengan mengarahkan, merencanakan serta mengorganisasi
pelayanan kesehatan dari tim kesehatan sehingga pemberi pelayanan kesehatan
dapat terarah serta sesuai dengan kebutuhan klien.
e. Sebagai kolaborator.
Peran ini dilakukan karena perawat bekerja dalam tim kesehatan yang terdiri dari
dokter, fisioterapi, ahli gizi dll dengan berupaya mengidentifikasi pelayanan
keperawatan yang diperlukan.
f. Sebagai konsultan.
Perawat berperan sebagai tempat konsultasi dengan mengadakan perencanaan,
kerjasama, perubahan yang sistematis dan terarah sesuai dengan metode pemberian
pelayanan keperawatan.

2. Monitoring kondisi gawat darurat.


Kondisi pasien yang sedang mengalami keadaan gawat darurat harus selalu dimonitor:
a. Vital sign meliputi: tekanan darah, suhu, nadi, frekuensi dan pola penafasan.
b. Tingkat kesadaran dengan menggunakan pendekatan Glasgow Coma Scale (GCS).
Komponen penilaian GCS meliputi:
E (eye respon) membuka mata :1–4
V (respon verbal) berbicara :1–5
M (respon motorik) gerakan :1–6
Atau dengan penilaian kesadaran dengan: Alert, Verbal, Pain, Unresponse (AVPU)
c. Hemodinamik
Monitoring hemodinamik yaitu pengukuran kardiovaskuler baik secara invasif atau
noninvasif. Adapun parameter hemodinamik meliputi: tekanan vena sentral,
tekanan arteri sistemik, curah jantung, tekanan arteri polmunalis, tekanan ventrikel
kanan.

3. Penatalaksanaan psikososial
Reaksi psikologis pasien di IGD adalah cemas dan kehilangan.
a. Cemas
Kecemasan dapat didefininisikan suatu keadaan perasaan keprihatinan, rasa gelisah,
ketidaktentuan, atau takut dari kenyataan atau persepsi ancaman sumber aktual
yang tidak diketahui atau dikenal (Stuart and Sundeens, 1998).
Gejala Kecemasan:
1) Fase 1
Keadaan fisik sebagaimana pada fase reaksi peringatan, maka tubuh
mempersiapkan diri untuk fight (berjuang), atau flight (lari secepat-cepatnya).
Ketegangan dari kelompok agonis dan antagonis akanmenimbulkan tremor dan
gemetar yang dengan mudah dapat dilihat pada jari-jari tangan.

7
2) Fase 2
Disamping gejala klinis seperti pada fase satu, seperti gelisah, ketegangan otot,
gangguan tidur dan keluhan perut, penderita juga mulai tidak bisa mengontrol
emosinya dan tidak ada motivasi diri. Labilitas emosi dapat bermanifestasi mudah
menangis tanpa sebab, yang beberapa saat kemudian menjadi tertawa.
3) Fase 3
Pada fase tiga ini dapat terlihat gejala seperti: intoleransi dengan rangsang
sensoris, kehilangan kemampuan toleransi terhadap sesuatu yang sebelumnya
telah mampu ia tolerir, gangguan reaksi terhadap sesuatu yang sepintas terlihat
sebagai gangguan kepribadian.

b. Kehilangan
Kehilangan adalah kenyataan atau situasi yang mungkin terjadi dimana sesuatu yang
dihadapi, dinilai terjadi perubahan, tidak lagi memungkinkan ada atau hilang.
Bentuk – bentuk kehilangan:
1) Kehilangan yang nyata (actual loss)
Kehilangan orang atau objek yang tidak lagi dirasakan, dilihat, diraba
Misalnya Kehilangan anggota tubuh, anak, peran, hubungan.
2) Kehilangan yang dirasakan (Perceived loss)
Kehilangan yang sifatnya unik menurut orang yang mengalami kedukaan.
Misalnya Kehilangan harga diri, percaya diri.

Dampak kehilangan
1) Anak – anak
Kehilangan dapat mengancam perkembangan regresi  takut ditinggal dan
sepi
2) Remaja atau dewasa muda
Kehilangan dapat menyebabkan desintegrasi dalam keluarga
3) Dewasa tua
Kehilangan khususnya kematian pasangan hidup  pukulan berat dan
menghilangkan semangat.
Fase Kehilangan:
- Denial (Menolak/tidak percaya)
Reaksi: Terkejut, tidak percaya, merasa terpukul, menyangkal pernyataan
kehilangan. Kadang berhalusinasi (seolah-olah melihat atau mendengar).
Reaksi fisik: keletihan, kelemahan, wajah pucat, mual, diare, sesak nafas, detak
jantung cepat, menangis, gelisah.
- Anger (Marah)
Individu mulai sadar dengan kenyataan kehilangan. Menunjukkan perasaan
marah meningkat yang diproyeksikan pada objek tertentu. Reaksi fisik : wajah
merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal.

8
- Bergaining (Tawar menawar)
Reaksi: Menyatakan kata-kata “seandainya saya hati-hati”, “kenapa harus
terjadi pada keluarga saya”.
- Depression
Reaksi: menarik diri, tidak mau bicara, putus asa. Reaksi fisik: menolak makan,
susah tidur, letih, libido menurun.
- Acceptance (Menerima)
Reorganisasi perasaan kehilangan. Gambaran objek atau orang yang hilang
mulai dilepas perlahan, perhatian dialihkan pada objek baru.
Prinsip tindakan keperawatan untuk keluarga pasien yang meninggal adalah
a) Pahami tahapan kehilangan agar mampu memberikan asuhan keperawatan
gadar dengan optimal.
b) Memberikan asuhan yang sesuai agama pasien
b) Empati akan kondisi keluarga; menunjukkan ekspresi muka tenang dan
tersenyum, menatap keluarga.
c) Mendengar aktif keluhan
d) Berdiri di samping keluarga dengan tenang
e) Memberikan lingkungan yang tenang,
f) Memberikan dukungan sesuai agamadan merujuk ke tim bina rohani

III. Fungsi Perawat


1. Fungsi Independen
Merupakan fungsi mandiri & tidak tergantung pada orang lain, dimana perawat
dalam melaksanakan tugasnya dilakukan secara sendiri dengan keputusan sendiri
dalam melakukan tindakan untuk memenuhi Kebutuhan Dasar Manusia.
2. Fungsi Dependen
Merupakan fungsi perawat dalam melaksanakan kegiatannya atas pesan atau
instruksi dari perawat lain sebagai tindakan pelimpahan tugas yang diberikan.
Biasanya dilakukan oleh perawat spesialis kepada perawat umum, atau dari perawat
primer ke perawat pelaksana.
3. Fungsi Interdependen
Fungsi ini dilakukan dalam kelompok tim yang bersifat saling ketergantungan
diantara tim satu dengan yang lainnya. Fungsi ini dapat terjadi apabila bentuk
pelayanan membutuhkan kerjasama tim dalam pemberian pelayanan. Keadaan ini
tidak dapat diatasi dengan tim perawat saja melainkan juga dari dokter ataupun
tenaga kesehatan lainnya.

9
IV. Etik keperawatan gawat darurat.
1. Pengertian etik
Etik dari kata ” ethics” yang berarti prinsip moral atau aturan prilaku. Etik adalah apa
yang seharusnya seseorang berprilaku dan bertindak dalam hubungannya dengan
dirinya sendiri, orang lain dan lingkunganya. Prinsip moral atau aturan prilaku
tersebut dihimpun dalam suatu pedoman yang disebut kode etik (code of ethics).
Kode etik adalah suatu pedoman yang mengandung norma-norma dalam berprilaku.
Kode etik yang berlaku bagi suatu profesi tertentu disebut sebagai kode etik profesi.
Misalnya Kode etik keperawatan yang berlaku khusus untuk tenaga keperawatan.

2. Prinsip-prinsip etik keperawatan gawat darurat.


a. Otonomi (Autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampu berpikir logis
dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan
memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan
atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Otonomi merupakan hak
kemandirian dan kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktek
profesional merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam
membuat keputusan tentang perawatan dirinya.
b. Berbuat baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau
kejahatan dan peningkatan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam
situasi pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
c. Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk terpai yang samadan adil terhadap orang lain
yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai ini
direfleksikan dalam prkatek profesional ketika perawat bekerja untuk terapi yang
benar sesuai hukum, standar praktek dan keyakinan yang benar untuk
memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.
d. Tidak merugikan (Nonmaleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisik dan psikologis pada klien.
e. Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai ini diperlukan oleh
pemberi pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebenaran pada setiap klien
dan untuk meyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity
berhubungan dengan kemampuan seseorang untuk mengatakan kebenaran.
Informasi harus ada agar menjadi akurat, komprensensif, dan objektif untuk
memfasilitasi pemahaman dan penerimaan materi yang ada, dan mengatakan
yang sebenarnya kepada klien tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan
keadaan dirinya selama menjalani perawatan.

10
f. Menepati janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta
menyimpan rahasia klien. Ketaatan, kesetiaan, adalah kewajiban seseorang
perawat untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya kepada pasien.
g. Karahasiaan (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasiaan adalah informasi tentang klien harus dijaga
privasinya. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan klien
hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun dapat
memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan bukti
persetujuan (Geoffry hunt. 1994).

3. Masalah-masalah etis
a. Konflik etik antara teman sejawat
Keperawatan pada dasarnya ditujukan untuk membantu kesejahteraan pasien.
Untuk dapat menilai pemenuhan kesejahteraan pasien, maka perawat harus ma
mpu mengenal/tanggap bila ada asuhan keperawatan yang buruk dan tidak bijak,
serta berupaya untuk mengubah keadaan tersebut. Kondisi inilah yang sering
sering kali menimbulkan konflik antara perawat sebagai pelaku asuhan
keperawatan dan juga terhadap teman sejawat.Dilain pihak perawat harus
menjaga nama baik antara teman sejawat, tetapi bila ada teman sejawat yang
melakukan pelanggaran atau dilema etik hal inilah yang perlu diselesaikan dengan
bijaksana.
b. Menghadapi penolakan pasien terhadap Tindakan keperawatan atau
pengobatan.
Masalah ini sering juga terjadi, apalagi pada saat ini banyak bentuk-
bentuk pengobatan sebagai alternative tindakan. Dan berkembangnya tehnologi
yang memungkinkan orang untuk mencari jalan sesuai dengan kondisinya.
Penolakan pasien menerima pengobatan dapat saja terjadi dan dipengaruhi oleh
beberapa factor, seperti pengetahuan, tuntutan untukdapat sembuh cepat,
keuangan, social dan lain-lain.
c. Masalah antara peran merawat dan mengobati
Berbagai teori telah dijelaskan bahwa secara formal peran perawat adalah
memberikan asuhan keperawatan, tetapi dengan adanya berbagai factor sering
kali peran ini menjadi kabur dengan peran mengobati. Masalah antara peran
sebagai perawat yang memberikan asuhan keperawatan dan sebagai tenaga
kesehatan yang melakukan pengobatan banyak terjadidi Indonesia, terutama
oleh perawat yang ada didaerah perifer (puskesmas) sebagai ujung tombak
pelayanan kesehatan kepada masyarakat.

11
d. Berkata Jujur atau Tidak jujur
Didalam memberikan asuhan keperawatan langsung sering kali perawat tidak
merasa bahwa, saat itu perawat berkata tidak jujur. Padahal yang dilakukan
perawat adalah benar (jujur) sesuai kaedah asuhan keperawatan.Sebagai contoh:
sering terjadi pada pasien yang terminal, saat perawat ditanya oleh pasien
berkaitan dengan kondisinya, perawat sering menjawab “tidak apa- apa
ibu/bapak, bapak/ibuakan baik, suntikan ini tidak sakit”.
e. Tanggung jawab terhadap peralatan dan barang
Dalam bahasa Indonesia dikenal istilah menguntil atau pilfering, yang berarti
mencuri barang-barang sepele/kecil. Sebagai contoh: ada pasien yang sudah
meninggal dan setalah pasien meninggal ada barang-barang berupa obat-obatan
sisa yang belum dipakai pasien, perawat dengan seenaknya membereskan obat-
obatan tersebut dan memasukan dalam inventarisasi ruangan tanpa seijin
keluarga pasien. Hal ini sering terjadi karena perawat merasa obat-obatan
tersebut tidak ada artinya bagi pasien, memang benar tidak ada artinya
bagi pasien tetapi bagi keluarga kemungkinan hal itu lain. Pada kondisi ini adalah
komunikasi dan informai yang jelas terhadap keluarga pasien dan ijin dari keluarga
pasien itu merupakan hal yang sangat penting, Karena keluarga harus tahu
secara pasti untuk apa obat itu diambil.
f. Pembuatan Keputusan dalam Dilema Etik
Menurut Thompson dan Thompson (1985). dilema etik merupakan suatu masalah
yang sulit untuk diputuskan, dimana tidak ada alternative yang memuaskan atau
suatu situasi dimana alternative yang memuaskan dan tidak memuaskan
sebanding. Dalam dilema etiktidak ada yang benar atau salah. Dan untuk
membuat keputusan etis, seseorang harus bergantung pada pemikiran yang
rasional dan bukan emosional. Kerangka pemecahan dilemaetik banyak
diutarakan oleh beberapa ahli yang pada dasarnya menggunakan kerangka proses
keperawatan dengan pemecahan masalah secara ilmiah.

V. Aspek legal keperawatan gawat darurat.


1. Kewenangan penanganan gawat darurat
Dalam Undang undang Rumah Sakit Nomor 44 tahun 2009 Bab I Ketentuan Umum
Pasal
1 Ayat (1) Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan perorangan secara
paripurna yang menyediakanpelayanan rawat Inap, Rawat Jalan dan Rawat Darurat.
Ini membuktikan bahwa rumah sakit wajib memberikan pelayanan gawat darurat
kepada pasien atau penderita dengan arti kata setiap rumah sakitwajib memiliki
sarana, pra sarana dan SDM dalam pengelolaan pelayanan gawat darurat, ini
membuktikan adanya kepastian hukum dalam pelayanan gawat darurat di rumah
sakit”.

12
Gawat darurat adalah suatu kondisi klinik yang memerlukan pelayanan medis.
GawatDarurat medis adalah suatu kondisi dalam pandangan penderita, keluarga,
atau siapapun yangbertanggung jawab dalam membawa penderita ke rumah sakit
memerlukan pelayanan medis segera. Penderita gawat darurat memerlukan
pelayanan yang cepat, tepat, bermutu dan terjangkau (Notoatmojo, 2010).
Kepmenkes RI Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 Tentang Registrasi dan Praktik
Keperawatan, Pasal 20, Dalam darurat yang mengancam jiwa seseorang/pasien,
perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar kewenangannya
sebagaimana dimaksud dalam pasal 15, Pelayanan dalam keadaan darurat sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
Permenkes Nomor RI HK.02.02.MENKES/148/2010, tentang registrasi dan izin praktik
keperawatan Pasal 10 Ayat (1), Dalam darurat yang mengancam jiwa
seseorang/pasien, perawat berwenang untuk melakukan pelayanan kesehatan diluar
kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, Pasal 11 poin (a)
Perawat berhak memperoleh perlindungan hukum.
Permenkes Nomor 152/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin dan penyelenggaran
Praktik Kedokteraan dan kedokteran Gigi, BAB III Pasal 15 Ayat (I), Dokter dan dokter
Gigi dapat memberikan pelimpahan suatu tindakan kedokteran dan tindakan
kedokteran gigi , kepada perawat, bidan atau tenaga kesehatan lainnya secara
tertulis.
Permenkes no. 26 tahun 2019 mengenai peraturan pelaksanaan undang undang
keperawatan pada pasal 30 menyatakan bahwa memberikan tindakan pada keadaan
gawat darurat sesuai dengan kompetensi. Dan pada pasal 19, mengenai ijin praktik
perawat harus memiliki STR dan SIPP yang berlaku.
Dalam menjalankan praktik perawat pada kondisi gawat darurat sesuai UU No 36
tentang Tenaga Kesehatan tahun 2009 pasal 63 ayat (1) Dalam keadaan tertentu
Tenaga Kesehatan dapat memberikan pelayanan di luar kewenangannya. Menurut
UU No 38 tentang Keperawatan tahun 2014 pasal 35 ayat:
a. Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, Perawat dapat
melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai dengan kompetensinya.
b. Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa Klien dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
c. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan yang
mengancam nyawa atau kecacatan Klien.
d. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Perawat
sesuai dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya

2. Tuntutan hukum terkait keperawatan gawat darurat


Dalam melaksanakan tindakan keperawatan pada kondisi gawat darurat seorang
perawat dapat juga terkena tuntutan hukum sesuai dengan UU No 36 Tentang
Kesehatan tahun 2009 Pasal 58 ayat :

13
a. Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,
dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
b. Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan
kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
c. Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan


Kewajiban perawat dalam Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan,
dapat dilihat dari beberapa pasal berikut:
Pasal 9:
(1) Setiap orang berkewajiban, mewujudkan, mempertahankan, dan mening- katkan
derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya;
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), pelaksanaannya meliputi upaya
kesehatan perorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan
kesehatan;
Kewajiban perawat dapat dinyatakan:
(1) Perawat wajib mematuhi peraturan Institusi yang bersangkutan; (2) Perawat wajib
memberikan pelayanan atau asuhan keperawatan sesuai dengan standar dan batas
kewenangan; (3) Perawat wajib menghormati hak pasien; (4) Perawat wajib merujuk
pasien kepada perawat atau tenaga kesehatan lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik bila yang bersangkutan tidak dapat mengatasinya; (5)
Perawat wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk berhubungan dengan
keluarganya selama tidak bertentangan dengan peraturan atau standar profesi; (6)
Perawat wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadahnya
sesuai dengan agama atau kepercayaan masing-masing selama tidak mengganggu
pasien lainnya; (7) Perawat wajib berkolaborasi dengan tenaga medis atau tenaga
kesehatan terkait lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan dan pelayanan
keperawatan kepada pasien.
Sedangkan ketentuan dalam Pasal 56 Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan dinyatakan hak-hak perawat, yaitu:
a. Perawat berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya;
b. Perawat berhak mengembangkan diri melalui kemajuan sosialisasi sesuai dengan
latar belakang pendidikannya;
c. Perawat berhak menolak keinginan pasien yang bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan serta standar dan kode etik profesi perawat;
d. Perawat berhak mendapatkan ilmu pengetahuan berdasarkan perkembangan
dalam bidang keperawatan atau kesehatan secara terus menerus;

14
e. Perawat berhak untuk mendapatkan penghargaan dan imbalan yang layak atas jasa
profesi yang diberikannya berdasarkan perjanjian atau ketentuan yang berlaku di
Institusi pelayanan yang bersangkutan.

4. Tanggung Jawab Hukum Perawat dalam Pelanggaran Etik Keperawatan


Di dalam Buku Standar Kode Etik Keperawatan, disebutkan beberapa jenis pelanggaran
etik keperawatan, antara lain:
a. Pelanggaran ringan, meliputi :
1) Melalaikan tugas;
2) Berperilaku tidak menyenangkan penderita atau keluarga;
3) Tidak bersikap sopan saat berada dalam ruang perawatan;
4) Tidak berpenampilan rapi;
5) Menjawab telepon tanpa menyebutkan identitas; dan
6) Berbicara kasar dan mendiskreditkan teman sejawat dihadapan umum/forum.
b. Pelanggaran sedang, meliputi :
1) Meminta imbalan berupa uang atau barang kepada pasien atau keluarganya
untuk kepentingan pribadi atau kelompok;
2) Memukul pasien dengan sengaja;
3) Bagi perawat yang sudah menikah dilarang menjalin cinta dengan pasien dan
keluarganya, suami atau teman sejawat;
4) Menyalahgunakan uang perawatan atau pengobatan pasien untuk kepentingan
pribadi atau kelompok;
5) Merokok dan berjudi di lingkungan rumah sakit saat memakai seragam perawat;
6) Menceritakan aib teman seprofesi atau menjelekkan profesi perawat dihadapan
profesi lain; dan
7) Melakukan pelanggaran etik ringan (minimal 3 kali).
c. Pelanggaran berat, meliputi :
1) Melakukan tindakan keperawatan tanpa mengikuti prosedur sehingga
penderitaan pasien bertambah parah bahkan meninggal
2) Salah emmberikan obat sehingga berakibat fatal bagi pasien;
3) Membiarkan pasien dalam keadaan sakit parah atau sakratul maut tanpa
memberikan pertolongan;
4) Berjudi atau meminum minuman beralkohol sampai mabuk diruangan
perawatan;
5) Menodai kehormatan pasien;
6) Memukul / berbuat kekerasan pada pasien dengan sengaja sampai terjadi cacat
fisik
7) Menyalahgunakan obat pasien untuk kepentingan pribadi atau kelompok; dan
8) Menjelekkan dan/atau membuat cerita hoax mengenai profesi keperawatan pada
profesi lain dalam forum, media cetak, maupun media online yang mengakibatkan
adanya tuntutan hukum.

15
Sedangkan sanksi untuk pelanggaran etik keperawatan terbagi atas:
1. Sanksi pelanggaran ringan, yaitu dengan :
a) Berjanji untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi; dan
b) Meminta maaf terhadap pihak yang dirugikan.
2. Sanksi pelanggaran sedang, yaitu dengan :
a) Harus mengembalikan barang atau uang yang diminta kepada pasien atau
keluarganya;
b) Meminta maaf terhadap pihak yang dirugikan; dan
c) Membuat surat pernyataan diatas kertas segel bermaterai tidak akan
mengulanginya lagi.
3. Sanksi pelanggaran berat, yaitu dengan :
a) Harus meminta maaf terhadap pihak yang dirugikan;
b) Membuat surat pernyataan diatas kertas segel bermaterai tidak akan
mengulanginya lagi;
c) Dilaporkan kepada pihak kepolisian; dan
d) Diberhentikan dari kedinasan dengan tidak hormat.

16
VI. DAFTAR PUSTAKA

Setiani, B. (2018). Pertanggungjawaban Hukum Perawat Dalam Hal Pemenuhan Kewajiban


Dan Kode Etik Dalam Praktik Keperawatan, artikel Penelitian, Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Azzahra.
Tribowo, C. (2010). Hukum Keperawatan, Panduan Hukum dan Etika bagi Perawat. Jurnal
Ilmiah Ilmu Keperawatan Indonesia Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, hlm. 62-63.
Kozier B., Erb G., Berman A., & Snyder S.J. 2004. Fundamentals of Nursing Concepts,
Process and Practice 7th Ed., New Jersey: Pearson Education Line.
Musliha. (2010). Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.
PPNI. (2000). Kode Etik Keperawatan Indonesia. Keputusan Munas VI
Prof.Dr.Soekijo Notoatmojo (2010). Etika dan Hukum Kesehatan, Jakarta
Kepmenkes RI Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik
Keperawatan
Permenkes no 26 tahun 2019 Tentang peraturan pelaksanaan undang undang
keperawatan
Permenkes Nomor RI HK.02.02.MENKES/148/2010 tentang registrasi dan izin praktik
keperawatan.
Permenkes Nomor 152/Menkes/Per/IV/2007 Tentang Izin dan penyelenggaran Praktik
Kedokteraan dan kedokteran Gigi
Undang –Undang No 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.
Undang undang Nomor 44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Undang - Undang No 38 tahun 2014 tentang Keperawatan

17
MODUL 2
KONSEP KEGAWATDARURATAN

I. Konsep Dasar dan Prinsip Kegawatdaruratan


Keperawatan gawat darurat adalah asuhan perawatan yang diberikan pada
individu dari seluruh rentang usia yang mengalammi gangguan masalah kesehatan. (ENA
(1999) dalam Keperawatan gawat darurat dan bencana sheehy, 2018). Keperawatan
gawat darurat mendasari asuhan yang diberikan pada kasus yang mengancam nyawa atau
berpotensi untuk mengancam nyawa dan menimbulkan kecacatan secara tepat, cepat dan
aman.
Undang-undang no 38 tahun 2014 tentang keperawatan lebih lanjut menjabarkan tugas
dan kewenangan perawat dalam lingkup gawat darurat di pasal 35, yaitu ;
1. Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, perawat dapat
melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai dengan komptensinya.
2. Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa klien dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
3. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan yang
mengancam nyawa atau kecacatan klien
4. Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pleh perawat sesuai
dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.
Dalam kmenjalankan tugasnya atau dalam melaksanakan praktik keperawatan,
kewenangan perawat diatur sesuai dengan Undang-Undang RI no 38 tahun 2014 pasal
30 yang diantaranya adalah :
a. Melakukan pengkajian keperawatan secara holistik
b. Menetapkan diagnosisi keperawatan
c. Menetapkan tindakan keperawatan
d. Melaksanakan tindakan keperawatan
e. Megevaluasi hasil tindakan keperawatan
f. Melakukan rujukan
g. Memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi
h. Memberikan konsultasi keperawtan dan berkolaborasi dengan dokter
i. Melakukan penyuluhan kesehatan dan konesling serta
j. Melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada klien dengan resep tenaga
medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.
Gawat artinya mengancam nyawa, sedangkan darurat adalah perlu mendapatkan
penanganan atau tindakan dengan segera untuk menghilangkan ancaman nyawa
korban. Sebenarnya dalam tubuh kita terdapat berbagai organ dan semua itu terbentuk
dari sel-sel, sel tersebut akan tetap hidup bila pasokan oksigen tidak terhenti, dan
kematian tubuh itu akan timbul jika sel tidak bisa mendapatkan pasokan oksigen.
Kematian ada dua macam yaitu mati klinis adalah apabila seorang penderita henti nafas
dan henti jantung, waktu 6-8 menit setelah terhentinya pernafasan dan sistem sirkulasi
tubuh sedangkan mati biologis adalah mulai terjadinya kerusakan sel-sel otak dan
waktunya dimulai 6 sampai dengan 8 menit setelah berhentinya sistem pernafasan dan
sirkulasi.

13
Prinsip dan tujuan dilakukan pertolongan adalah :
1. Menyelamatkan kehidupan
2. Mencegah keadaan menjadi lebih buruk / kecacatan
3. Mempercepat kesembuhan

Upaya pertolongan terhadap penderita gawat darurat dipandang sebagai satu


sistem yang terpadu dan tidak terpecah-pecah, mulai dari pre-hospital stage, hospital
stage, dan rehabilitation stage. Hal ini karena kualitas hidup penderita pasca cidera
akan sangat bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada periode pre hospital
stage bukan hanya pertam kali kejadian penderita mendaptkan bantuan yang optimal
sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacata dapat dihindari. Oleh karena
itu orang awam yang menjadi first responder harus menguasai lima kemampuan dasar
yaitu :
1. Menguasai cara meminta bantuan pertolongan
2. Menguasai tekhnik bantuan hidup dasar (resisutasi jantung paru)
3. Menguasai tekhnik menghentikan perdarahan
4. Menguasai tekhnik memasang balut-bidai
5. Menguasai tekhnik evakuasi dan transportasi

Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat diberikan kepada


masyarakat yang awam dalam bidang pertolongan medis baik secara formal maupun
informal secara berkala dan berkelanjutan dengan menggunakan kurikulum yang sama.
Prinsip umum penanganan penderita gawat darurat adalah penilaian keadaan penderita
yang cepat dan penanganan yang tepat, pembagian pasien disesuaikan dengan
klasifikasi kegawatan, pembagian klasifikasi sebagai berikut :
a. Penderita gawat darurat adalah penderita yang memerlukan pertolongan segera
dan bila tidak mendapat pertolongan segera dapat mengancam jiwanya atau
menimbulkan cacat permanen, diberi label merah.
b. Penderita tidak gawat dan darurat adalah penderita yang idak terancam jiwanya
tetapi bila tidak mendapat pertolongan segera akan menimbulkan kecacatan atau
kondisi yang parah, dan dilabelkan dengan warna kuning.
c. Penderita tidak gawat dan tidak darurat adalah penderita yang tidak terancam
jiwanya bila tidak mendapat pertolongan segera, dilabelkan dengan warna hijau.
d. Penderita yang sudah meninggal diberi label hitam.

Fokus pemberian pelayanan secara episodik kepada pasien-pasien yang mencari terapi
baik yang mengancam kehidupan dan Non Critical Illness atau cidera. Keperawatan
emergency ditujukan pada esensi dari praktek emergency, lingkungan di mana hal tersebut
terjadi dan konsumen keperawatan emergency. Pengkajian, diagnosa dan terapi yang
dapat diterima aktual/ potensial tiba-tiba atau urgen, masalah fisik atau psikososial dalam
episode primer atau akut yang mungkin memerlukan perawatan minimal atau akut yang
mungkin memerlukan perawatan minimal atau tindakan support hidup. Pendidikan
terpenting lainnya, rujukan yang tepat dan pengetahuan akan implikasi-implikasi legal.
Perawatan pada kasus gawat daurat dengan pasien dari segala umur dengan diagnosa,
tidak terdiagnosa dengan komplesitas yang bervariasi. Pasien-pasien memerlukan

14
intervensi nyata sebagai dampak perubahan status fisiologis atau psikososial secara tepat
yang mungkin mengancam kehidupan.

II. Konsep umum SPGDT


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI no 19 tahun 2016, SPGDT adalah Suatu
mekanisme pelayanan korban/pasien gawat darurat yang terintegrasi dan berbasis call
center dengan menggunakan kode akses telekomunikasi 119 dengan melibatkan
masyarakat.
SPGDT adalah sistem koordinasi berbagai unit kerja (multi sektor) dan didukung berbagai
kegiatan profesi (multi disiplin dan multi profesi) untuk menyelenggarakan pelayanan
terpadu bagi penderita. Dalam keadaan sehari-hari maupun bencana penanganan pasien
gawat darurat melibatkan pelayanan pra Rumah Sakit, di Rumah Sakit dan antar Rumah
Sakit, memerlukan penanganan terpadu dan pengaturan dalam sistem. Gawat darurat baik
dalam keadaan sehari-hari maupun bencana (SPGDT- S/B). SPGDT terdiri dari unsur Pra
Rumah Sakit, Rumah Sakit dan antar Rumah Sakit yang berpedoman pada respon cepat
yang menekankan “Time Saving is life and limb saving” yang melibatkan musyawarah
umum dan khusus, petugas medis, pelayanan ambulans gawat darurat dan komunikasi.
SPGDT sehari hari adalah SPGDT yang diterapkan pada pelayanan gawat darurat sehari hari
terhadap individu seperti penanganan kasus serangan jantung, stroke, kecelakaan kerja
kecelakaan lalulintas, dsb. Sedangkan SPGDT bencana adalah sistem penanggulangan
gawat darurat terpadu yang ditujukan untuk mengatur pelaksanaan penanganan korban
pada bencana. SPGDT bencana pada dasarnya merupakan eskalasi dari SPGDT sehari hari,
oleh karena itu SPGDT bencana tidak mungkin dapat dilaksanakan dengan baik bila SPGDT
sehari hari belum dapat dilakukan dengan baik.
Adapun SPGDT ini penting guna:
1. Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kegawatdaruratan
2. Mempercepat waktu penanganan (respon time) Korban/Pasien Gawat Darurat dan
menurunkan angka kematian serta kecacatan.
Berdasarkan tujuan tersebut maka target dan indikator keberhasilan dari pelaksanaan
SPGDT adalah menurunnya angka kematian dan angka kecacatan dari setiap kejadian
bencana atau keadaan kegawat daruratan. Kemudian Angka kesakitan menurun, RAPID
respon berjalan dan infeksi nosokomial di fasilitas pelayanan kesehatan dapat
diminimalkan. Adapun indikator proses dari implementasi SPGDT bagi rumah sakit adalah
berjalannya SOP atau hospital disaster plan dapat terlaksana dengan baik.
Sedangkan tujuan umum SPGDT ini adalah Mewujudkan masyarakat sehat, aman dan
sejahtera (safe Community) melalui implementasi SPGDT. Dengan tujuan khususnya
sebagai berikut:
1. Adanya komando kegiatan sesuai peran masing-masing
2. Tersedianya SDM kesehatan dengan kualitas dan kuantitas sesuai kebutuhan
3. Tersedianya sarana/fasilitas yg standar

15
4. Adanya sistem pembiayaan yg jelas
5. Adanya dasar peraturan yang kondusif
Mengenai konsep Safe Community (masyarakat aman) dalam implementasi SPGDT, yang
perlu dipahami bahwa ada 3 hal yang perlu dibangun. Pertama Preparedness (Siap – siaga),
kedua Prevention (pencegahan) dan ketiga Mitigation (mitigasi / upaya mengurangi resiko
bencana). Ketiga aspek ini harus dapat dibangun pada semua stockholder pelaksana dari
SPGDT yakni masyarakat (awam-umum-terlatih), ambulan, tenaga kesehatan (dokter,
perawat dll) serta RS dan sistem komunikasi.
Masyarakat harus memiliki kemampuan dan keterampilan dasar dalam menangani awal
keadaan kegawatdaruratan disekitar mereka (TKP). Lalu Ambulan dengan tenaga
kesehatan terlatihnya menangani keadaan kegawatdaruratan lebih lanjut dan melakukan
transportasi ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat melalui sistem komunikasi yang baik
kemudian adanya mekanisme rujukan berjenjang bila membutuhkan fasilitas pelayanan
yang lebih lengkap sehingga target meminimalkan angka kejadian kematian dan kecacatan
pada korban kegawatdaruratan / bencana dapat tercapai.

III. Sistem Pelayanan Fase SPGDT


Didalam memberikan pelayanan medis SPGDT dibagi menjadi 3 sub sistem, yaitu:
a. Sistem pelayanan Pra Rumah Sakit.
b. Sistem pelayanan di rumah sakit.
c. Sistem pelayanan antar rumah sakit.
Ketiga sub system ini tidak dapat terpisahkan satu dengan lainnya bersifat saling terkait
didalam pelaksanaan system.
A. Prafasilitas Pelayanan Kesehatan
1. Public safety center.
Di dalam penyelenggaraan sistem pelayanan pra rumah sakit harus dibentuk atau
didirikan suatu pusat pelayanan yang diperuntukkan buat masyarakat umum dan
bersifat emergency. Pusat perlayanan tersebut adalah suatu unit kerja yang disebut
PSC (Public Safety Center/ desa siaga). Selain itu pelayanan pra rumah sakit bias
dilakukan pula dengan membentuk satuan khusus yang bertugas dalam penanganan
bencana, sering disebut dengan Brigade Siaga Bencana (BSB), pelayanan ambulance
dan komunikasi.
Dalam pelayanan Public Safety center bias didirikan oleh masyarakat suatu desa
untuk kepentingan masyarakat dimana pengorganisasiannya dibawah pemerintah
daerah sedangkan sumber daya manusianya terdiri dari berbagai unsur, tenaga
kesehatan, ambulan, unsur pemadam kebakaran, unsur kepolisian, unsur linmas
dan masyarakat itu sendiri yang bergerak dalam bidang upaya pertolongan bagi
masyarakat. Sifat pembiayaan bias iuran dari masyarakat atau dari institusi
pemerintah. Public Safety Center berfungsi sebagai cepat tanggap didalam
penanggulangan tanggap darurat.

16
2. Brigade Siaga Bencana (BSB).
Brigade Siaga Bencana (BSB) merupakan suatu unit khusus yang disiapkan dalam
penanganan pra rumah sakit khususnya yang berkaitan dalam pelayanan kesehatan
pada saat penanganan bencana. Pengorganisasian dibentuk oleh jajaran kesehatan
baik ditingkat pusat maupun didaerah (Depkes, Dinkes, Rumah Sakit), petugas medis
yaitu dokter dan perawat dan juga petugas non medis, gizi, sanitarium, farmasi dan
lain-lain. Pembiayaan diadapat dari instansi yang ditunjuk dam dimasukkan anggaran
rutin APBN maupun APBD
3. Pelayanan Ambulance.
Merupakan kegiatan pelayanan terpadu dalam suatu koordinasi yang
memberdayakan ambulance milik puskesmas, klinik swasta, institusi pemerintah
maupun swasta (PT. Jasa Marga, Jasa Raharja, polisi, PMI, yayasan yang bergerak
dibidang kesehatan). Dari semua komponen tersebut akan dikoordinasikan melalui
pusat pelayanan yang disepakati bersama antara pemerintah dengan non
pemerintah dalam rangka melaksanakan mobilisasi ambulance untuk kejadian
sehari-hari ataupun bila terjadi korban massal. Beberapa standarisasi ambulance:
a. Ambulance darat dengan berbagai persyaratan.
b. Ambulance udara yang sesuai dengan ketentuan internasional.
c. Sepeda motor.
4. Komunikasi.
Didalam melaksanakan kegiatan pelayanan kasus gawat darurat sehari-hari
memerlukan sebuah system komunikasi, sifatnya pembentukan jejaring
penyampaian informasi, koordinasi dan pelayanan gawat darurat. Sehingga seluruh
kegiatan dapat berlangsung dalam satu system yang terpadu terkoordinasi menjadi
satu kesatuan kegiatan.
5. Sistem pelayanan Pada Keadaaan Bencana.
Pelayanan dalam keadaan bencana yang menyebabkan korban massal memerlukan
cara-cara khusus yang harus dilakukan. Yang harus dilakukan dan diselenggarakan
adalah:
a. Koordinasi dan komando.
Dalam keadaaan bencana diperlukan kegiatan yang melibatkan unit-unit kegiatan
lintas sektor. Kegiatan trersebut bias efektif dan efisien bila berada dalam satu
komando dan satu koordinasi yang sudah disepakati oleh semua unsur yang
terlibat.
b. Eskalasi dan mobilisasi sumber daya.
Kegiatan ini merupakan penanganan bencana yang mengakibatkan korban massal
yang harus dilakukan eskalasi atatu berbagai peningkatan SDM. Untuk dapat
melakukan kegiatan penanganan bencana harus dilakukan, mobilisasi SDM,
mobilisasi fasilitas, dan sarana serta mobilisasi semua pelayanan kesehatan bagi
korban bencana.

17
c. Simulasi.
Didalam penyelenggaraan kegiatan pada penanganan bencana diperlukan
ketentuan-ketentuan berupa prosedur tetap, petunjuk pelaksana, petunjuk teknis
operasional yang harus dilaksanakan oleh petugas sebagai standar pelayanan.
Ketentuan-ketentuan tersebut perlu diuji melalui simulasi agar dapat diketahui
apakah semua system dapat diimplementasikan pada keadaan di lapangan.
d. Pelaporan monitoring dan evaluasi.
Seluruh kegiatan penanganan bencana harus di dokumentasikan dalam bentuk
pelaporan yang baik bisa bersifat manual ataupun digital dan diakumulasi menjadi
satu data yang dapat digunakan untuk melakukan monitoring, evaluasi. Dari
kegiatan tersebut baik yang bersifat keberhasilan ataupun kegagalan dari kegiatan
yang dikerjakan, sehingga untuk kegiatan yang akan datang dapat diperbaiki
kekurangan yang ada dan mutu pelayanan dapat ditingkatkan.

B. Sistem Pelayanan Intra Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Dalam pelaksanaan system pelayanan medik dirumah sakit yang diperlukan adalah
penyediaan sarana, prasarana, dan SDM yang terlatih. Semua hal-hal tersebut diatas
harus tersedia di unit-unit kerja yang ada di RS. Seperti di UGD, ICU, Ruang rawat inap,
laboratorium, x-ray room, farmasi, klinik gizi, dan ruang-ruang penunjang yang lainnya
serta kamar mayat, dan lain-lain. Dalam pelaksanaan pelayanan medik dirumah sakit
untuk korban bencana diperlukan:
1. Hospital Disaster Plan.
Rumah sakit harus membuat perencanaan untuk penanggulangan bencana yang
disebut hospital disaster plan. Disaster plan dibagi menjadi 2 rencana, yaitu:
a) Perencanaan terhadap kejadian didalam rumah sakit (intra hospital disaster plan).
b) Perencanaan terhadap bencana yang terjadi diluar rumah sakit (extra hospital
disaster plan).
2. Unit Gawat Darurat (UGD).
Dalam pelayanan di UGD harus ada system yang baik pada semua bidang seperti
sarana medis, non medis, pembiayaan dan SDM yang terlatih. Prinsip utama dalam
pelayanan UGD adalah respons time kurang dari 10 menit baik standar nasional
maupun standar internasional.
3. Brigade Siaga Bencana Rumah Sakit.
Dalam rumah sakit juga dibentuk brigade siaga bencana yang merupakan satuan
tugas khusus bertugas memberikan pelayanan medis saat terjadi bencana dirumah
sakit maupun diluar rumah sakit yang menyebabkan korban massal.
4. High Care Unit (HCU).
Suatu bentuk pelayanan rumah sakit bagi pasien dengan kondisi yang sudah stabil,
respirasi, haemodinamik maupun tingkat kesadarannya tapimasih memerlukan
pengobatan, perawatan, dan pengawasan secara ketat dan terus menerus. HCU
hanya ada di rumah sakit type C dan B.
18
5. Intensive Care Unit (ICU).
Suatu bentuk pelayanan di RS yang sifatnya multi disiplin khusus untuk menghindari
ancaman kematian dan memerlukan berbagai alat bantu untuk memperbaiki fungsi
vital organ tubuh dan dan memerlukan sarana teknologi yang canggih dan
pembiayaan yang cukup besar.
6. Kamar Jenazah.
Suatu bentuk pelayanan bagi pasien yang sudah meninggal di rumah sakit mapun
diluar rumah sakit dalam keadaan sehari-hari maupun bencana. Bila terjadi kejadian
missal memerlukan system pengorganisasian yang bersifat kompleks dimana akan
dilakukan pengidentifikasian korban baik yang dikenal maupun yang tidak dikenal
dan memerlukan SDM yang khusus yang berhubungan dengan aspek legalitas.

C. Sistem Pelayanan Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Sistem pelayanan medik antar rumah sakit harus berbentuk jejaring rujukan yang dibuat
berdasarkan kemampuan rumah sakit dalam memberikan pelayanan, baik dari segi
kualitas maupun kuantitas untuk menerima pasien. Misal di Jakarta bila ada bencana,
bila ada patah tulang pasien dapat dirujuk ke RS Fatmawati. Ini semua sangat
berhubungan dengan kemampuan SDM, fasilitas medis yang tersedia di rumah sakit
tersebut. Agar system ini dapat memberikan pelayanan yang baik memerlukan system
ambulance yang baik dan dibawa oleh SDM yang terlatih dan khusus menangani
keadaan darurat.
1. Evakuasi.
Suatu bentuk pelayanan transportasi yang dilakukan dari pos komando (RS lapangan)
menuju ke rumah sakit rujukan yang dipilih sesuai kondisi korban atau transportasi
antar rumah sakit baik karena adanya bencana dirumah sakit maupun bencana yang
terjadi diluar rumah sakit karena pasien sudah terlanjur dibawa kerumah sakit
tersebut padahal daya tampung rumah sakit tersebut sudah tidak dapat menerima
lagi. Pasien-pasien tersebut harus segera di evakuasi kerumah sakit lain yang
mempunyai sarana dan prasarana yang lebih lengkap. Pelaksanaan evakuasi harus
menggunakan sarana yang berstandar memenuhi kriteria-kriteria standar
pelayanan rumah sakit yang telah ditentukan.

a. Syarat evakuasi.
 Korban berada dalam keadaan yang paling stabil dan memungkinkan untuk di
evakuasi.
 Korban telah disiapkan/dipasang alat yang diperlukan untuk transportasi.
 Fasilitas kesehatan penerima telah diberi tahu dan siap menerima korban
sesuai dengan kondisi kesehatannya.
 Kendaraan dan pengawalan yang digunakan adalah yang paling layak tersedia.

19
b. Beberapa bentuk evakuasi.
Ada beberapa bentuk evakuasi sesuai keadaan ditempat kejadian bencana.
1) Evakuasi darurat.
Korban harus segera dipindahkan karena lingkungan tempat terjadi bencana
yang membahayakan dan merupakan keadaan yang mengancam jiwa yang
harus ditolong segera ataupun memerlukan pertolongan segera.
2) Evakuasi segera.
Korban harus segera dipindahkan karena adanya ancaman jiwa tidak bisa
penanganannya ditempat kejadian seperti pasien mengalami pendarahan
banyak dan menunjukkan tanda-tanda syok harus segera dibawa kerumah
sakit, atau korban berada dilingkungan yang mengakibatkan kondisi dapat
cepat menurun misal akibat hujan, suhu dingin maupun suhu panas.
3) Evakuasi Biasa.
Korban biasanya tidak mengalami ancaman jiwa tapi mendapat pertolongan di
rumah sakit. Pada keadaan ini pasien harus distabilkan terlebih dahulu dan
keadaan umum sudah membaik, baru dievakuasi ke rumah sakit. Misal pasien-
pasien patah tulang harus dibidai dulu dan pendarahan sudah dibalut.

2. Kontrol Lalu Lintas.


Untuk kelancaran evakuasi, harus dilakukan control lalu lintas. Ini harus dilakukan
oleh kepolisian, jalan yang akan dilalui ambulance dari tempat kejadian (pos
komando) sampai kerumah sakit yang dituju harus difalisitasi oleh kepolisian untuk
dilakukan control supaya selama pelaksanaan evakuasi tidak terdapat hambatan
karena jalan yang macet (terutama Jakarta).

20
Alur Penanganan Korban Bencana

BENCANA

PEMERINTAH MASYARAKAT

ORGANISASI  PSC / institusi Kesmas


SATKORLAK
LAPANGAN  BSB
 AMBULANCE
 KOMUNIKASI
DAN SATLAK KOMANDO
LAPANGAN LAPANGAN

 TIM SAR
 TIM MEDIK
 TIM INVESTIGASI
 TIM KAMTIB SATU KOMANDO BANTUAN
 TIM SARANA /
LOGISTIK
 LAIN-LAIN

TEMPAT KEJADIAN
BENCANA

LOGISTIK PENGUNGSIAN DAPUR UMUM POS KESEHATAN

SANITASI DLL

21
Alur penanganan Korban Bencana Di lapangan

BENCANA

TIM PENILAI ( RAPID


ASSESMENT )

TIM MEDIK + BANTUAN LAINNYA

POS MEDIK
RUMAH SAKIT
LAPANGAN

STABILISASI PENGOBATAN

TRIAGE

EVAKUASI PULANG

KONTROL LALU LUINTAS


 UGD
 OK
 RAWAT INAP
 MENINGGAL ANTAR RUMAH SAKIT

22
Alur Penanganan Korban Di Rumah Sakit

KORBAN

RUMAH SAKIT

UGD

TRIAGE

GAWAT DARURAT GAWAT TIDAK DARURAT TIDAK DARURAT

 ICU RUJUK RUJUK PENGOBATAN


 HCU  HCU
 OK CYTO  OK CYTO

PULANG

MENINGGAL RUANGAN RUANGAN

KAMAR SEMBUH SEMBUH


JENAZAH

PULANG PULANG

23
Penanganan penderita gawat darurat dapat terlaksana dengan baik bila
penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT) yang meliputi pelayanan gawat
darurat pra rumah sakit sampai RS dan antar rumah sakit telah dibentuk disuatu daerah.
Semua-semua komponen dalam system penanggulangan gawat darurat terpadu telah
tersedia, antara lain :
1. Komponen pra RS, komponen RS dan komponen antar RS.
2. Komponen penunjang – komunikasi dan transportasi.
3. Komponen sumber daya manusia, petugas kesehatan (dokter, perawat/paramedik,
dan non kesehatan, awam umum, awam khusus terlatih, polisi, PMI).
4. Komponen sektor-sektor terkait (sektor kesehatan dan non kesehatan).

Sistem penanggulangan gawat terpadu (SPGDT) terbentuk bila komitmen dari semua
unsur-unsur yang terlibat baik lintas sektor terkait maupun lintas program serta
dukungan penuh dari masyarakat dan profesi-profesi terkait. Dengan terbentuknya
system penanggulangan gawat terpadu sebagai salah satu unsur penting pada gerakan
masyarakat sehat dan aman (safe community) diharapkan dapat menimbulkan angka
kematian dan kecacatan.
Sehubungan dengan keadaan tersebut diatas kementrian kesehatan RI bersama profesi
terkait telah mengembangkan dan menyusun kurikulum Generasi Emergency Life
Support (GELS) yaitu pelatihan kegawatdaruratan medik untuk dokter umum dan telah
diuji coba di sepuluh provinsi.
Profesional petugas mulai dari pra rumah sakit dan rumah sakit perlu mendapat
perhatian. Kemampuan mereka dalam penanggulangan bencana perlu ditingkatkan
dengan mengikuti kursus-kursus seperti BTCLS, dan simulasi penanganan bencana
terpadu.
Sarana dan prasarana pelayanan kesehatan khususnya pelayanan gawat darurat harus
sesuai dengan standar yang berlaku internasional agar dalam penanganan penderita
gawat darurat dapat dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan standar
tersebut.

III. Asuhan Keperawatan Gawat Darurat


Proses keperawatan pada kasus gawat darurat diawali dengan pengkajian yang
merupakan proses yang berkelanjutan di mana pada fase tersebut data objektif dan
subjektif dikumpulkan. Pada kasus gawat darurat, pengkajian ditujukan untuk dapat
mengidentifikasi kondisi pasien dan resiko yang dapat mengancam kehidupan pasien.
A. Pengkajian di area gawat darurat melalui primary survey dan secondary survey.
a. Primary survey
Primary survey adalah penilaian yang cepat dan tepat serta sistematis, dengan
menerapkan langkah-langkah DRABC (danger, respoone, airway, breathing,
circulation) yang dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

24
Danger
Periksa situasi dan kondisi bahaya, pastikan lingkungan aman bagi pasien dna
perawat sebelum memberikan pertolongan. Usahakan situasi aman dulu, sebelum
memberikan pertolongan
Respone
Kaji respon pasien. Apakah pasien berespons ketika anda bertanya, untuk
menentukan kesadaran pasien, gunakan skala AVPU (Alert, Verbal, Pain,
Unresponsive). Apakah pasien alert? Berespons terhadap stimulus verbal ?
berespons terhadap pain? Apakah unresponsive?
Airway
Kaji apakah airway paten, dan tidak ada sumbatan? Jika ya ada sumbatan dan
pasien responsif, berikan pertolongan untuk pembebasan jalan napas, seperti pada
pasien tersedak. Jika ada sumbatan jalan napas dan pasien tidak responsif, lekukan
head tilt dan chin lift untuk membuka jalan nafas, pastikan terhadap reiko adanya
obstruksi airway seperti adanya stridor. Pertimbangkan untuk menggunakan C-
spine immobilisasi, suctioning, ETT.
Breathing
Cek pernapasan dan cek apakah ventilasinya adekuat dengan mempertimbangkan
oksigen, assist ventilation.
Circulation
Kaji denyutu nadi pasien pakah nadi positif, tentukan apakah nadi adekuat dengan
cek capillary refill time, pertimbangkan defibrilasi, RJP, kontrol perdarahan, elevasi
kaki (kecuali pada spnal injury), IV akses.
Menurut emergency nursing asscociation (ENA, 2007) pengkajian primer adalah
pengkajian untuk mengidentifikasi kondisi kegawatan pasien dan tindakan yang
diperlukan.berikut adalah pengkajian primer ENA secara singkat :
Airway : kaji jalan napas pasien dari usmbatan dan lakukan pembebasan jalan
napas dengan memperhatikan kondisi cervical pasien
Breathing : kaji ada tidaknya distress pernafasan dan lakukan pemberian oksigen
Circulation : kaji nadi, adanya perdarahan dan kondisi perfusi. Lakukan
penghentian perdarahan dan IV akses. Elevasi kaki, RJP dan defibrilasi
Dissability : kaji tingkat trauma neurologis, cek kemampuan gerak ekstremitas, cek
GDS, lateralisasi pupil/refleks pupil (isokor, refleks cahaya, dilatasi), lakukan
stabilisasi.
Exposure/environmental control : kaji pasien dari kepala sampai kaki, lepaskan
pakaian pasien agar dapat mengkaji lebih baik untuk mencari trauma di tempat
lain. Cegah kehilangan panas tubuh.

25
b. Secondary survey
Secondary survey adalah pengkajian yang terstruktur dan sistematis, bertujuan
untuk mengidentifikasi kondisi pasien lebih detail yang berfokus pada (quessland
ambulance service, 2016):
1. History, dlakukan meliputi poin penting mencakup SAMPLE, kemudian
dalam poin penting pengkajian nyeri dikaji dengan OPQRST (onset;
provocation; quality; radiation; severity; timing)
2. Vital sign : dilakukan pengkajian vital sign lebih detail dan lebih lengkap,
meliputi : respiration rate, blood pressure, temperature. Dengan
pertimbangan Oxygen saturation sign, glasgow coma scale, cardiac
monitor, blood glucose level.
3. Physical examinitation : dilakukan dengan pendekatan head to toe,
pemeriksaan fisik dimulai dari area kepala, leher, dada, perut, panggul,
ekstremitas anterior dan ekstremitas eksterior.
Pada penderita yang tidak sadar atau gawat, kemungkinan untuk luput dalam
mendiagnosis cukup besar, dan merupakan pertolongan yang besar bagi tenaga
kesehatan yang bertugas di Rumah Sakit apabila dilaporkan kelainan yang
ditemukan pada survey sekunder.
Pengkajian head to toe :
a. Pengkajian kepala, leher dan wajah :
 Periksa wajah, adakah luka atau laserasi, perubahan tulang wajah dan
jaringan lunak, adakah perdarahan serta benda asing
 Periksa mata, telinga, hidung, mulut. Adakah perdarahan, benda asing,
deformitas, laserasi, perlukaan serta adanya cairan yang keluar.
 Amati bagian kepala, adakah depresi tulang belakang, tulang wajah,
kontusio/jejas, hematoma, serta krepitasi tulang.
 Kaji adanya kekakuan leher.
 Nyeri tulang servikal dan tulang belakang, deviasi trachea, distensi vena
leher, perdarahan, edema, kesulitan menelan, emfisema subcutan dan
krepitasi pada tulang
b. Pengkajian dada :
 Pernapasan : irama, kedalaman dan karakter pernapasan
 Pergerakan dinding dada anterior dan posterior
 Palpasi krepitasi tulang dan emfisema subcutan
 Amati penggunaan otot bantu pernapasan
 Perhatikan tanda-tanda injury atau cidera (ptekie, perdarahan, sianosis,
abrasi dan laserasi)

26
c. Pengkajian abdomen dan pelvis :
 Struktur tulang pada abdomen dan pelvis
 Tanda-tanda cidera eksternal, adanya luka tusuk, laserasi, abrasi, distensi
abdomen, jejas
 Massa : besarnya, lokasi dan mobilitas
 Nadi femoralis
 Nyeri abdomen, type, lokasi nyeri (OPQRST)
 Bisisng usus
 Distensi abdomen
 Genitalia dan rectal (perdarahan, cidera pada meatus, ekimosis,tonus,
spinkter ani)
d. Ekstremitas :
 Tanda-tanda injury eksternal
 Nyeri
 Pergerakan dan kekuatan otot ekstremitas
 Sensasi keempat anggota gerak
 Warna kulit
 Denyut nadi perifer
e. Tulang belakng :
 Jika tidak didapatkan adanya cidera/fraktur tulang belakang maka pasien
dimiringkan untuk mengamati defromitas tulang belakang, tanda-tanda
perdarahan, laserasi, jejas, luka
 Palpasi deformitas tulang belakang
f. Pemeriksaan penunjang :
 Radiologi dan scanning
 Pemeriksaan laboratorium (AGD)
B. Diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan dapat teridentifikasi sesuai dengan
kategori urgensi masalah berdasarkan pada sistemtriage dan pengkajian yang telah
dilakukan. Prioritas dutentukan berdasarkan besarnya ancaman kehidupan (airway,
breathing, circulation). Diagnosa yang sering terjadi pada gawat darurat adalah :
1. Bersihan jalan napas tidak efektif
2. Pola napas tidak efektif
3. Gangguan pertukaran gas
4. Gangguan perfusi jaringan perifer
5. Penurunan curah jantung
6. Nyeri
7. Volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan
8. Gangguan perfusi cerebri

27
C. Intervensi Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas b/d :
 Peningkatan produksi sputum
 Masuknya benda asing/cairan
 Penumpukan sekresi
 Tujuan : jalan nafas efektif kembali
 Kriteria hasil : pernafasan reguler, dalam dan kecepatan nafas teratur.
Pengembangan dada kiri dan kanan simetris. Batuk efektif, refleks menelan
baik. Tanda dan gejala stridor tidak ada, sesak nafas tidak ada, wheezing tidak
ada. Suara nafas vesikuler kiri dan kanan. Sputum jernih, jumlah normal, tidak
berbau dan tidak berwarna. Tanda-tanda sekresi, demam tidak ada, tachicardi
tidak ada, tachioneu tidak ada.
 Intervensi :
a. Mandiri
1. Auskultasi bunyi nafas, perhatikan apakah ada bunyi napas abnormal.
2. Monitoring pernapasan, perhatikan rasio inspirasu maupun ekspresi.
3. Berikan posisi semi fowler
4. Jauhkan dari polusi lingkungan
5. Observasi karakteristik batuk terus menerus atau produk sputum
6. Ajarkan pasien untuk napas dalam dan batuk efektif
7. Lakukan suction bila perlu
8. Lakukan jaw thrust, chin lift
9. Berikan posisi miring sesuai indikasi
b. Kolaborasi
1. Berikan O₂
2. Pemeriksaan laboratorium analisa gas darah. Pemasangan oro faringeal
airway, endo tracheal tube bila ada indikasi
2. Pola nafas tidak efektif b/d :
 Depresi Pernapasan
 Kelemaha otot pernapasan
 Penurunan ekspansi paru
 Kriteria Hasil :
a. Pernapasan reguler, dalam dan kecepatannya teratur
b. Pengembangan dada kiri dan kanan simetris
c. Tanda dan gejala obstruksi pernapasan tidak ada : stridor tidak ada,
sesak nafas tidak ada, wheezing tidak ada.
d. Suara nafas : vesikuler kanan dan kiri
e. Trachea midline
f. Analisa gas darah dalam batas normal : PaO₂ 80-100mmHg, saturasi O₂
> 95%, PaCO₂ 35-45 mmHg, PH 7,35-7,45.

28
 Intervensi :
a. Mandiri :
1. Observasi, frekuensi, kecepatan, kedalaman dan irama pernapasan
2. Observasi, penggunaan otot bantu pernapasan
3. Berikan posisi semi fowler bila tidak ada kontra indikasi
4. Ajarkan dan anjurkan napas dalam sertabatuk efektif
5. Perhatikan pengembangan dada simetris atau tidak
6. Kaji vokal fremitus dengan meletakkan tangan di punggung pasien
sambil pasien menyebutkan angka 99 atau 77
7. Bantu pasien menekan area yang sakit saat batuk
8. Lakukan fisiotherapi dada jika tidak ada kontra indikasi
9. Auskultasi bunyi napas, perhatikan ronkhi, wheezing, dan crackles
10. Lakukan suction bila perlu
11. Lakukan edukasi kepada apsien dan keluarga pasien
b. Kolaborasi :
1. Berikan O₂ sesuai kebutuhan pasien
2. Pemeriksaan laboratorium/analisa gas darah
3. Pemeriksaan rongent thorax
4. Intubasi bila pernapasan makin memburuk
5. Pemasangan oro pharingeal
6. Pemasangan water seal drainage/WSD
7. Pemberian obat-obtan sesuai indikasi
3. Gangguan pertukaran gas b/d
 Menurunnya suplay O₂ (obstruksi jalan napas oleh sekresi, spasme bronchus
 Kerusakan alveoli
 Hipoventilasi
 Tujuan : pertukaran das tidak terganggu
 Kriteria hasil :
a. Analisa gas darah dalam batas normal
b. Warna kulit normal, hangat dan kering
c. Tingkat kesadaran membaik sampai composmentis
d. Perbnafasan reguler, kecepatan dan kedalaman dalam batas normal
 Intervensi :
a. Mandiri :
1. Kaji frekuensi , irama dan kedalaman pernapasan, napas melalaui
mulut, penggunaan otot-otot pernapasan, dyspneu, ketidakmampuan
bicara
2. Tinggikan tempat tidur 30-45 derajat
3. Kaji warna kulit, kuku dan membran mukosa (adanya sianosis)
4. Ajarkan mengeluarkan sputum dengan tekhnik batuk efektif

29
5. Lakukan suction bila diindikasikan
6. Auskultasi bunyi napas adalah suara ronkhi, wheezingdan crackles
7. Awasi tanda-tanda vital dan irama jantung
8. Kaji tingkat kecemasan atau antusias
b. Kolaborasi :
1. Pemberian O₂
2. Pemeriksaan analisa gas darah
3. Pemasangan endo tracheal tube
4. Gangguan perfusi jaringan perifer
 Menurunnya aliran darah karena vasokonstriksi
 Hipovolemik
 Trauma jaringan/tulang
 Tujuan : gangguan perfusi jaringan dapat diatasi
 Kriteria hasil :
a. Akral hangat
b. Tanda vital dalam batas normal
c. Capillary refill time <2”
d. Urine output 1 ml/KgBB/jam
e. Analisa gas darah
 Intervensi :
a. Mandiri :
1. Observasi perubahan yang tiba-tiba (gangguan mental)
2. Kaji adanya pucat (akral dingin)
3. Observasi tanda-tanda vital
4. Kaji kekuatan nadi perifer
5. Kaji tanda-tanda dehidrasi
6. Obsrvasi intake dan output cairan
7. Meninggikan daerah yang cidera kecuali ada kontra indikasi
8. Observasi tanda-tanda issistemik seperti demam, hipotermia atau
peningkatan nyeri
9. Lakukan kompres es pada daerah sekitar fraktur saat terjadi bengkak
b. Kolaborasi :
1. Pemeriksaan lanboratorium lengkap
2. Pemberian cairan infus sesuai dengan indikasi
3. Pemeriksaan cairan infus sesuai dengan indikasi
4. Pemeriksaan radiologi
5. Perekaman elektro kardiogram
6. Pemberian obat-obatan sesua indikasi

30
5. Penurunan curah jantung
 Peningkatan afterload, ischemic miocard
 Gangguan kontraktilitas miocard
 Perubahan struktur organ
 Tujuan : sirkulasi miocard dalam batas normal
 Kriteria hasil :
1. Nadi perifer teraba kuat
2. Heart rate 60-100/menit
3. Suara jantung normal
4. Hasil elektro kardiogram dalam batas normal
5. Tidak ada deviasi trachea
6. Vena jugularis tidak terjadi peningkatan
7. Kulit normal : hangat dan tidak kuning
8. Tingkat kesadaran membaik (composmentis)
 Intervensi :
a. Mandiri :
1. Observasi tanda-tanda vital
2. Beri posisi yang nyaman
3. Auskultasi nadi avikal, kaji frekuensi, irama jantung
4. Palpasi nadi perifer
5. Kaji adanya pucat atau akral dingin
6. Kaji pengisian kapiler
7. Observasi intake dan output
b. Kolaborasi :
1. Pemberian O₂
2. Pemberian infus sesuai indikasi
3. Pemberian obat-obatan sesuai dengan indikasi
4. Rekam EKG pemeriksaan laboraotrium darah
6 Nyeri b/d
 Iskemik jaringan
 Sumbatan arteri koronaria
 Menurunnya aliran darah miocard
 Konsumsi oksigen meningkat
 Tujuan : pemenuhan kebutuhan oksigen pada miocard terpenuhi
 Kriteria hasil :
1. Menurunnya derajat nyeri baik respon verbal maupun pengukuran skala nyeri
2. Hilangnya indikator fisiologi nyeri : tachicardi tidak ada, tachipneu tidak ada,
diaphoresisi tidak ada, tekanan darah normal
3. Hilangnya tanda-tnda non-verbal karena nyeri : tidak meringis, tidak menangis,
mampu menunjukkan posisi yang nyaman

31
4. Mampu melakukan perintah yang tepat
 Intervensi :
a. Mandiri :
1. Kaji karakteristik nyeri dengan OPQRST
2. Bantu melakukan tekhnik relaksasi
3. Batas aktifitas
b. Kolaborasi :
1. Pemberian oksigen
2. Perekaman EKG
3. Pemberian therapy sesuai indikasi
4. IVFD sesuai indikasi
7 volume cairan tubuh kurang dari kebutuhan b/d
 pengeluaran yang berlebih
 pemasukan cairan yang kurang
 perdarahan eksternal maupun internal
 peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah
 tujuan : kebutuhan cairan dalam tubuh seimbang
 kriteria hasil :
1. tanda-tanda vital stabil dan sesuai dengan perkembangan dan usia
2. urine output 1 ml/kgBB/jam
3. nadi perifer teraba besar dan kuat
4. tingkat kesadaran membaik
5. warna kulit normal, hangat dan lembab
6. nilai hematokrit 30% dl, Hb 12-14 gr/dl
 intervensi :
a. mandiri :
1. kaji tanda-tanda vital setiap 1 jam
2. monitor intake dan output cairan
3. kaji adanya tanda-tanda dehidrasi
4. kaji perubahan turgor kulit, membran mukosa dan capillary refill time
5. anjurkan pasien untuk banyak minum 2000-2500 cc per hari
6. siapkan alat tekanan CVP bila diperlukan
7. monitor CVP
b. kolaborasi :
1. lakukan pemasangan infus line besar 2 jalur
2. berikan cairan sesuai anjuran
3. bila terjadi perdarahan hebat berikan cairan koloid dan darah
4. pemasangan CVP bila diperlukan

32
8. Gangguan perfusi cerebri b/d
 Penyempitan pembuluh darah serebral
 Peningkatan tekanan vaskuler
 Tujuan : gangguan perfusi cerebri dapat diatasi
 Kriteria hasil :
1. GCS 14-15
2. Tanda-tanda vital stabil dalam batas normal sesuai dengan perkembangan usia
3. Pupil : ukuran normal, bereaksi terhadap cahaya
4. Tanda-tanda gejala tekanan intra kranial (TIK : pupil edema, muntah proyektil,
penurunan kesadaran)
5. AGD dalam batas normal : PaO₂ 880-100 mmHg, SPO₂ 95%, PaCO₂ 35-45 mmHg,
PH 7,35-7,45
6. Kemampuan menggerakkan leher baik sesuai dengan alignment
7. Tidak didapatkan adanya tanda-tanda kejang
 Intervensi :
a. Mandiri :
1. Kaji karakteristik nyeri
2. Observasi tanda-tanda vital
3. Kaji perubahan tingkat kesadaran
4. Tinggikan kepala 15-30: bila tidak ada kontra indikasi
5. Observasi intake dan output
b. Kolaborasi :
1. Berikan oksigen
2. Lakukan pemasangan infus
3. Monitoring analisa gas darah
4. Pemberian terapi sesuai indikasi
D. Evaluasi
Evaluasi berdasarkan pada kriteria tiap kategori kegawatan, dan dilakukan paling sedikit tiap
jam, kecuali pasien dengan kondisi emergency atau urgent tiap 15 menit.
Evaluasi mencakup : proses dan hasil
1. Evaluasi proses : mengulang langkah-langkah yang menyangkut kegiatan saat proses
triage seperti respon time, lalu lintas pasien ketetapan dan kelengkapan dokumentasi
serta untuk menuliskan prosedur, kebijakan dan protokkol.
2. Evaluasi hasil : mengulang pengkajian pasien, ketepatan dalam keputusan di triage,
rujukan dan kepuasan pasien

33
IV. DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran


Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2016 tentang Fasilitas Pelayanan Kesehatan
Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan
Gawat Darurat Terpadu
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 882/Menkes/SK/X/2009 tentang Pedoman
Penanganan Evakuasi Medik
Peraturan Menteri Kesehatan nomor 47 tahun 2018 tentang pelayanan kegawatdaruratan

34
MODUL 3
BANTUAN HIDUP DASAR (BHD)

I. Pendahuluan.
Henti jantung merupakan penyebab utama kematian di Amerika, terdapat
lebih dari 500.000 kejadian henti jantung terjadi di rumah sakit dan luar rumah sakit setiap
tahun, diperkirakan bahwa 1 dari setiap 7.4 orang di Amerika meninggal dengan henti
jantung (AHA, 2018). Henti jantung akan mengakibatkan organ organ vital akan
kekurangan oksigen, yaitu pada otak dapat mengakibatkan penurunan kesadaran, pada
jantung terjadi kematian otot otot jantung dan bila tidak ditangani segera dapat
mengakibatkan kematian. Bantuan Hidup Dasar (BHD) adalah langkah awal dalam
penyelamatan nyawa pasien setelah terjadi henti jantung, secara prinsip pemberian
Bantuan Hidup Dasar meliputi mengkaji secara cepat pada henti jantung mendadak,
pengaktifan system emergency (EMS), pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi
secara cepat dengan penggunaan Automated External Defibrillator (AED) (Kleinman et. al.
(2015). Pemberian BHD ini harus dilakukan secara cepat, tepat dan tentunya memerlukan
keterampilan khusus yang harus dimiliki oleh perawat. Pada materi ini akan dibahas tahap
pemberian BHD dan Automated External Defibrillator (AED).

II. Tatalaksana Bantuan Hidup Dasar/Resusitasi Jantung Paru


1. Pengertian
Resusitasi Jantung Paru adalah suatu prosedur penyelamatan darurat yang dilakukan
ketika terjadi henti jantung. Resusitasi Jantung Paru dapat menggandakan atau tiga kali
lipat peluang bertahan hidup setelah serangan jantung. (AHA, 2017).
Resusitasi Jantung Paru adalah teknik kompresi dada yang dikombinasikan dengan
pemberian bantuan nafas yang bertujuan untuk membantu mempertahankan
oksigenisasi pada otot jantung dan otak sampai bantuan atau alat khusus tersedia
(ANZCOR, 2016)
Pemberian Resusitasi Jantung Paru yang berkualitas (Kleinman et al, 2015) dapat
meningkatkan peluang keberhasilan penyelamatan nyawa bila:
a. Memberikan kompresi dada dengan kecepatan memadai (100 – 120 kali/menit)
b. Memberikan kompresi dada dengan kedalaman memadai ( 2 – 2,4 inchi ( 5-6 cm)
c. Memaksimalkan recoil dada saat ventilasi
d. Meminimalkan interupsi saat kompresi dada
e. Menghindari ventilasi yang berlebihan

35
2. Rantai Kelangsungan Hidup (Chain of Survival)
Sistematika penanganan pasien yang mengalami henti jantung di rumah sakit dan di
luar rumah sakit telah diatur sebagai berikut :
a. Cepat mengenali keadaan gawat daruratan (henti jantung) dan mengaktifkan
sistem gawat darurat
b. Cepat melakukan Resusitasi Jantung Paru
c. Cepat melakukan defibrilasi; RJP dengan defibrilasi dalam 3-5 menit awal dapat
meningkatkan angka keberhasilan antara 45% - 75%.
d. Cepat melakukan bantuan hidup lanjut (ACLS)
e. Penanganan pasca henti jantung yang terintegrasi

3. Penyebab terjadinya henti jantunt (cardiac arrest) diantaranya yaitu:


a. Hypovelimia
b.Hypoxia
c. Hydrogen ion (acidosis)
d.Hypo/Hyperkalemia
e. Hypotermia
f. Tension pneumothora
g. Tamponade Cardiac
h.Toxins
i. Trombosis Pulmonary
j. Trombosis Coronary

36
4. Tujuan Resusitasi Jantung Paru
Resusitasi Jantung Paru merupakan bagian dari pengelolaan gawat darurat medik yang
bertujuan:
a. Mencegah berhentinya sirkulasi atau berhentinya pernafasan
b. Memberikan bantuan eksternal terhadap sirkulasi dan ventilasi

5. Langkah-Langkah Resusitasi Jantung Paru yang direkomendasikan oleh American Heart


Assosiation adalah :
a. Danger (D) :
1. Pastikan keamanan penolong (menggunakan Alat Perlindungan Diri (APD)
2. Keamanan pasien
3. Keamanan lingkungan (keamanan dari tempat kejadian apakah aman bagi
penolong maupun pasien)
b. Respon (R) :
Periksa respon pasien dengan AVPU (Alert, Verbal, Pain dan Unresponsive).
Memastikan kesadaran pasien terlebih dahulu, menepuk bahu sambil merangsang
respon verbal dengan memanggil “Buka mata pak/buk “. Bila tidak berespon
berikan rangsang nyeri. Rangsang nyeri dapat diberikan dengan melakukan
penekanan yang keras pada ujung kuku pasien atau dengan penekanan pada
sternum pasien. Bila tidak berespon dengan rangsang nyeri dapat dipastikan pasien
dalam kondisi Unresponsive.

c. Should for Help (S)


Segera berteriak minta pertolongan untuk mengaktifkan EMS (Emergency Medical
System) 119. Meminta bantuan untuk mengambilkan AED. Dan meminta bantuan
untuk memposisikan pasien. Untuk melakukan tindakan BHD yang efektif, pasien harus
dalam posisi terlentang dan berada pada permukaan yang datar dan keras. Jika pasien
ditemukan dalam posisi miring atau tengkurap, ubahlah posisi pasien dengan
mempertahankan kepala, leher dan badan dalam garis lurus.
Ingat...! Penolong harus membalikkan pasien sebagai satu kesatuan antara kepala,
leher dan bahu digerakan secara bersama-sama (kontrol servikal).
Mengatur posisi penolong berlutut disamping pasien atau sejajar dengan bahu
pasien agar saat memberikan bantuan penolong tidak perlu mengubah posisi.

37
d. Circulation (C)
Dilakukan dengan cara:
1. Memastikan ada tidaknya denyut nadi pasien.
2. Denyut nadi pasien dapat ditentukan dengan
meraba arteri karotis di daerah leher pasien
dengan dua atau tiga jari tangan (jari telunjuk
dan tengah) penolong meraba 2 – 3 cm
disamping trachea dalam waktu maximal 10
detik sambil melihat adanya pernafasan atau
tidak.
3. Bila arteri karotis tidak teraba lakukan kompresi
jantung luar dengan perbandingan 30 : 2 (kompresi : ventilasi) baik 1 atau
2 orang penolong dengan teknik sebagai berikut :
a) Letakkan salah satu pangkal telapak tangan penolong pada
pertengahan dari seperdua bagian bawah tulang dada (sternum)

b) Letakkan tumit telapak tangan yang satu lagi menumpang diatas


tangan yang pertama. Letakkan jari-jari kedua tangan atau saling
mengait untuk memastikan bahwa penekanan yang dilakukan tepat
pada sternum dan tidak pada tulang iga atau bagian atas perut.
c) Tepatkan badan penolong vertikal diatas pasien dengan bertumpu
pada kedua lengan yang diluruskan diatas`sternum pasien dan tekan
sternum tegak lurus sedalam 2’ - 2,4’ inchi (5-6 cm), rekoil dada
maksimal dan meminimalkan interupsi.

d) Kecepatan kompresi adalah 100-120x/ menit

Kedalaman kompresi dada (AHA, 2015) :


Kedalaman Rasio
Dewasa 2 – 2,4 inchi (5 – 6 cm) 30:2 (1 atau 2 penolong)
30:2 (1 penolong)
Anak 1/3 diameter AP dada 15:2 (2 penolong)

30:2 (1 penolong)
Bayi 1/3 diameter AP dada 15:2 (2 penolong)
e. Airway (A)
Setelah melakukan tindakan kompresi sebanyak 30 kali maka dilanjutkan
dengan pemberian bantuan nafas sebanyak 2 kali yang diawali dengan
membersihkan jalan nafas bila ada sumbatan dan membuka jalan nafas. Benda
asing dapat dikeluarkan dengan menggunakan finger sweep selanjutnya
dikeluarkan manual.
Pembebasan jalan nafas dapat dilakukan dengan head tilt - chin lift dan Jaw
thrust (jika dicurigai adanya cedera servikal).

f. Breathing (B)
Bantuan nafas dapat dilakukan melalui mulut ke mulut, mulut ke hidung atau
mulut ke stoma, mulut ke masker dengan cara memberikan 1 bantuan nafas
setiap 6 detik antara bantuan nafas berikutnya, volume udara yang
dihembuskan sesuai kapasitas volume tidal atau sampai dada pasien terlihat
mengembang/naik saat diberikan tiupan.
Cara Memberikan Bantuan Pernafasan:
1) Mulut ke Masker

2) Mulut Ke Stoma
Pasien dengan lobang (stoma) yang menghubungkan trakhea langsung ke
kulit. Bila pasien mengalami kesulitan pernafasan maka harus dilakukan
ventilasi dari mulut ke stoma.
3) Bag Valve Mask (BVM)
Digunakan alat bag dan mask dengan diantaranya ada katup. Dengan
teknik ” EC Clamp ”. Ibu jari dan telunjuk membentuk huruf C memegang
masker dan tiga jari lainnya membentuk huruf E ekstensi kepala.

g. Sesudah dilakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) selama 2 menit (5 siklus


ventilasi dan kompresi) pasien di evaluasi. Jika nadi tidak teraba Resusitasi
Jantung Paru dilanjutkan sebanyak 30:2 (kompresi : ventilasi).

h. Jika nadi karotis teraba, tetapi nafas belum ada maka diberikan Rescue
Breathing sebanyak 10 – 12 kali/menit selama 2 menit dan di evaluasi lagi.

i. Jika nadi teraba dan nafas sudah spontan maka berikan recovery position
(posisi pemulihan) yang bertujuan untuk mempertahankan jalan nafas tetap
paten dan mengurangi risiko sumbatan jalan nafas dan aspirasi.
3. Resusitasi Jantung Paru dapat dihentikan bila :
1) Timbul sirkulasi dan nafas yang efektif dan spontan.
2) Dilanjutkan ke tenaga profesional.
3) Pasien dinyatakan meninggal
4) Penolong tidak dapat melanjutkan karena kelehana, ada bahaya
lingkungan.
5) Terdapat kondisi valid Do Not Resusitation (DNR) pada penolong

4. Komplikasi RJP
a. Akibat bantuan napas : inflasi gaster dan regurgitasi
b. Akibat kompresi : fraktur iga, pneumothoraks, hemothoraks, kontusio paru,
laserasi hati dan limpa serta emboli lemak
III. Penggunaan Automated External Defibrillator (AED)

Automated External Defibrillator (AED) aman dan efektif


bila digunakanoleh orang awam dengan pelatihan
minimal atau tidak terlatih. Disarankan bahwa program
AED untuk korban dengan OHCA diterapkan di lokasi
umum tempat adanya kemungkinan korban serangan
jantung terlihat relatif tinggi (misalnya bandara dan
fasilitas olahraga). Banyak evidence yang menyatakan
keberhasilan dalam tingkat kelangsungan hidup korban
setelah serangan jantung bila diberikan Resusitasi Jantung Paru dan secara cepat
menggunakan AED.

Untuk manfaat optimal, penggunaan AED harus dilakukan dengan benar dengan langkah
langkah sebagai berikut:
1. Lepaskan pakaian pasien dan benda lain yang
menempel ditubuh pasien.
2. Hidupkan AED dengan menekan tombol power. AED
akan memberikan panduan dalam bentuk suara
mengenai langkah yang akan dilakukan.
3. Tempelkan pads AED yang sesuai dengan ukuran
pasien di dada. Tempatkan pads sesuai posisi yang
tampak pada gambar. (sesuaikan dengan jenis AED
yang digunakan, manual dan automatic)
4. AED menganalisis denyut jantung pasien, setelah analisis selesai AED akan
menginformasikan apakah pasien perlu segera dilanjutkan kompresi atau AED
menyarankan agar kejutan dilakukan.
5. Bila diindikasikan untuk dilakukan kejutan listrik, pastikan tidak ada penolong yang
menyentuh pasien, lalu tekan tombol “shock “ pada AED untuk memberikan kejutan
listrik, AED akan memberikan arahan kepada penolong untuk melakukan pemeriksaan
pada pernafasan atau denyut nadi pasien, melanjutkan RJP. Setelah 2 menit AED akan
kembali menganalisis denyut jantung kembali dan akan menentukan apakah perlu
dilakukan kejutan listrik lagi.
6. Jika kejutan listrik tidak diperlukan tapi penderita belum menunjukkan tanda tanda
kehidupan, terus lakukan RJP sesuai arahan AED hingga bantuan professional datang.
HIGHLIGHT

Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
V. DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association (2018). Part 2: Ethical Aspects of CPR and ECC. Diakses tanggal 26 Desember 2019 dari
https://ahajournals.org/doi/full/10.1161/circ.102.suppl_1.i-12
Advance Cardiovascular Life Support Provider Manual (2016) Americcan Heart
Association Guidelines 2015 CPR & ECC. 7272 Greenvile Avnue Dallas, Texas 75231-
4596, USA
ANZCOR (2016). Anzcor Guideline 11.1- Introduction to Advanced Life Support. Diakses tanggal 26 Desember 2019
https://www.nzrc.org.nz/assets/Guidelines/Adult-ALS/All-Adult-ALS-Guidelines- June-
2017.pdf.
Ayu, I dan Putu, G (2017). Bantuan Hidup Dasar. SMF Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana, diakses dari
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/5e25fa3ff7f4d41acb8344b
75ef64a0a.pdf tanggal 25 Desember 2019.
Kleinman ME, Brennan EE, Goldberger ZD, Swor RA, Terry M, Bobrow BJ, Gazmuri RJ,
Travers AH, Rea T. (2015) Part 5: adult basic life support and cardiopulmonary
resuscitation quality: 2015 American Heart Association Guidelines Update for
Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation.
2015; 132 (suppl 2):S414–S435.
Meaney et al (2013). AHA Consensus Statement. Cardiopulmonary Resuscitation Quality: Improving Cardiac
Resuscitation Outcomes both Inside and Outside the Hospital. Diakses tanggal 26 Desember 2019 dari
https://cpr.heart.org/-/media/cpr-files/resus-science/high-quality-cpr/cpr-
statement.pdf?la=en&hash= E65102CD1727888882A462B1723DF7ABEB46C873
American Heart Association (2018). AHA Statistical Update. Heart Disease and Stroke Statistics 2018 Update. Diakses
tanggal 26 Desember 2019 dari https://www.ahajournals.org/doi/pdf/10.1161/ CIR.0000000000000558
American Heart Association (2015). Guidelines CPR & ECC.
Campbell, J., Alson, R., Hasting, D (2016). International Trauma Life Support for Emergency Care Providers, 8 th.
Alabama Chapter. America College of Emergency Physicians.
Engk Hock Ong, Perkins, G, Cariou. A (2018). Out – of – hospital cardiac arrest: prehospital management. Diakses
tanggal 26 Desember 2019. https://pdf.sciencedirectassets.com/271074/1-s2.0-
S0140673618X00129.
Panchal, Ashish, Berg, K., et al (2018). 2018 American Heart Assosiation Focused Update on Advanced Cardiovascular
Life Support Use of Antiarrhythmic Drugs During and Immediately After Cardiac Arrest. An Update to the AHA
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2018; 138;e740-
e749.DOI:1161/CIR.0000000000000613.
MODUL 4
TRAUMA ASSESSMENT
(INITIAL ASSESSMENT)

I. Pendahuluan
Penderita yang mengalami trauma berat atau multiple seringkali jatuh dalam kondisi kritis
dalam waktu yang cepat, bahkan mengarah kepada kematian. Untuk itu, diperlukan suatu
metode penilaian dan penanganan yang sistematis dengan tujuan mengenali secara cepat
hal-hal yang mengancam nyawa serta berpotensi mengancam nyawa. Konsep Trauma
Assessment diyakini dapat membantu secara cepat mengenali dampak trauma yang
mengancam nyawa serta kaitannya dengan penanganan awal dan definitif baik pada fase
pre hospital maupun di intra hospital.

II. Uraian materi


A. Prinsip dan upaya aman bagi penolong, lingkungan dan pasien
1. Jenis Alat Pelindung Diri (APD)
2. Pencegahan Infeksi
B. Konsep Trauma Assessment
1. Definisi Trauma Assessment
Trauma Assessment atau penilaian awal adalah serangkaian upaya untuk
mengidentifikasi dan memahami trauma pada penderita sehingga dapat
memberikan tindakan resusitasi dan stabilisasi yang cepat dan tepat. Fokus tujuan
untuk mengenali ancaman nyawa dan potensi ancaman nyawa serta langsung
diikuti dengan tindakkan resusitasi dan stabilisasi. Segala temuan dan informasi
yang didapatkan digunakan untuk upaya life saving, dan meminimalkan cedera
beserta dampaknya.
2. Gambaran Konsep Pra Hospital dan Intra Hospital
a. Pra Hospital
Di Indonesia, sebagian besar penderita kasus trauma ditemukan dan dibawa
ke rumah sakit bukan oleh petugas medis yang menemukan atau menyaksikan
kejadian. Hal ini dikarenakan belum tersedianya sistem respon cepat terhadap
keadaan medical emergency yang baik. Bahkan hingga dikeluarkannya
Permenkes No.19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat
Terpadu (SPGDT) yang menjelaskan aturan, kebijakan serta pengantar
rancangan sistem Public Safety Center (PSC), kondisi system respon dan
penanganan tahap pra-hospital pada korban trauma masih belum berjalan
dengan baik. Idealnya, tersedia sistem respon yang cepat dan tepat ditunjang
fasilitas call center dengan kesiapan tim dan unit-unit ambulance gawat
darurat dalam mendatangi korban. Memberikan resusitasi dan stabilisasi awal
serta membawanya ke rumah sakit dengan prinsip life saving dan menghindari
cedera tambahan (do no further harm).
Saat tiba dilokasi korban, petugas ambulance terlebih dahulu menilai dan
melakukan upaya safety (aman diri, aman lingkungan dan aman penderita),
kemudian harus memutuskan apakah diperlukan pemindahan / evakuasi
darurat jika memungkinkan atau dilakukan stabilisasi dahulu serta cedera
diimobilisasi berdasarkan kondisi keamanan lingkungan dan tingkat ancaman
dari cedera. Akan lebih baik jika dilakukan beberapa hal terlebih dahulu yaitu:
1) Masalah dan ancaman pada airway (jalan napas) telah ditanggulangi,
ditambahkan dengan kontrol servikal jika diperlukan
2) Telah dilakukan identifikasi dan penanggulangan awal terhadap masalah
pada breathing (pernapasan) dan diberikan bantuan pasokan oksigen yang
sesuai jika dibutuhkan.
3) Jika ditemukan perdarahan dan syok maka terlebih dahulu dilakukan upaya
penghentian secara cepat sambil memberikan tambahan cairan untuk
memperbaiki volume.
4) Bagian yang mengalami cedera dilakukan immobilisasi agar tidak
menyebabkan perluasan dan kerusakan lebih lanjut.
5) Telah ditentukan tujuan rumah sakit terdekat yang sesuai dengan
kebutuhan penanganan lanjut dari kondisi korban, melalui mekanisme
rujukan dengan komunikasi yang baik.

b. Intra Hospital
Saat penderita trauma tiba di rumah sakit, cara dan prinsip pemindahan
penderita dari alat transport ke brankar perlu mempertimbangkan apakah
pada fase pre-hospital sudah diberikan penanganan awal oleh petugas atau
penderita dibawa oleh bukan petugas dan tanpa penanganan awal terlebih
dahulu. Jika terindikasi, maka perlu dilakukan pengamanan terhadap spinal
terutama bagian servikal dengan melakukan imobilisasi menggunakan neck
collar, dan long spinal board, kemudian dilakukan pemeriksaan dan
penanganan di ruang tindakan IGD, proses administrasi tidak boleh terlalu
lama membuat penundaan penanganan pada penderita, bahkan untuk
penderita dengan masalah pada jalan napas, pernapasan, sirkulasi darah dan
kondisi penurunan kesadaran harus segera dilakukan penanganan tanpa
dilakukan penundaan, kecuali ada penderita lain yang lebih darurat dan jumlah
petugas tidak mencukupi.
Jika jumlah penderita yang datang lebih banyak dari kapasitas petugas jaga
IGD, perlu dilakukan pemilahan (triage) dengan beberapa pilihan konsep.
Metode pemilahan yang dipilih untuk diterapkan dapat disesuaikan dengan
karakteristik rumah sakit serta kearifan lokal, namun harus tetap
mengedepankan prinsip mempercepat bantuan pada penderita dengan
kondisi paling darurat terhadap ancaman keselamatan nyawa.
Sistematika penanganan penderita trauma di rumah sakit selalu dimulai
dengan survey primer (ABCDE) dengan mempertimbangkan tambahan lain
sesuai kondisi dan jika sudah stabil kemudian dilanjutkan dengan survey
sekunder, pendokumentasian dan rujukan yang sesuai kebutuhan dari kondisi
penderita (Ruang observasi, Ruang operasi, Ruang Intensif, atau rawat inap).

C. Konsep Tahapan Trauma Assessment


1. Primary survey
Primary survey berfokus pada penilaian dan penanganan pada masalah ABCD.
Pada tahap ini, dilakukan penilaian untuk menemukan kemungkinan keadaan yang
mengancam nyawa, khususnya pada Airway, Breathing, Circulation, dan Disability
serta tambahan prosedur penilaian dan tindakan lain jika memungkinkan. Apabila
menemukan masalah pada komponen tersebut harus dilakukan resusitasi segera.
Secara simultan satu per-satu bagian diperiksa dan masalah yang ditemukan
ditanggulangi. Misalnya, masalah pada Airway berfokus pada kepatenan jalan
napas, masalah aktual maupun resiko penyebab masalah pada jalan napas harus
segera ditanggulangi sebelum melanjutkan tindakan penilaian pada bagian
berikutnya.
2. Secondary survey
Secondary survey berisikan beberapa tindakan yang bertujuan melengkapi,
memvalidasi dan mengevaluasi temuan pada tahap primary survey. Upaya
melengkapi data dengan melakukan anamnesa kepada pasien dan keluarga
mengenai hal-hal yang berkaitan dengan masalah pada pasien serta melakukan
tindakan penjahitan luka jika diperlukan pada luka-luka yang sebelumnya hanya
dilakukan balut cepat atau balut tekan untuk meminimalisir waktu yang
digunakan. Validasi dan evaluasi dengan melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh
dari kepala hingga ujung kaki, mengukur tanda vital, berkolaborasi dalam
pemeriksaan penunjang yang sesuai serta melakukan pendokumentasian dan
persiapan operasi segera, transfer, maupun observasi.

D. Pelaksanaan Trauma Assessment


1. Primary Survey
a. Safety (Menilai serta menjaga keamanan diri, lingkungan dan penderita)
Sebelum memulai tindakan, petugas terlebih dahulu menilai dan melakukan
upaya keamanan mulai dari keamanan diri dengan menggunakan alat proteksi
diri seperti sarung tangan, masker dan apron. Tambahan APD yang lain
disesuaikan dengan kondisi penderita. Hal ini dilakukan untuk mencegah
transmisi silang agen patologis dengan berbagai metode. Sikap menjaga
keamanan diri harus sesuai dengan kondisi dan tidak berlebihan serta tidak
menimbulkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita. Kondisi kesehatan
terutama imunitas petugas juga perlu diperhatikan, sebaiknya tidak bertugas
jika sedang tidak fit. Jika terdapat luka, maka harus dipastikan sudah ditutup
agar tidak menjadi port the entry bagi agen patologis.
Untuk kemananan lingkungan yang dimaksud di ruang tindakan adalah
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi petugas dan penderita dan tidak
mengganggu konsentrasi petugas dalam bekerja secara cepat dan tepat.
Dengan komunikasi yang efektif, santun dan terapeutik, petugas meminta
keluarga atau pengantar untuk menunggu diluar.
Petugas wajib menjaga keamanan penderita dengan memastikan kesesuaian
posisi, tempat berbaring yang datar serta tidak terlalu lembut, dan mencegah
cedera berdasarkan prinsip menghindari cedera tambahan akibat kelalaian
petugas.
b. Periksa respon penderita
Penurunan respon dan kesadaran penderita trauma wajib disikapi oleh
petugas dengan menduga bahwa penderita telah mengalami trauma berat
yang mengancam nyawa. Petugas dapat menilai keasadaran atau tingkat
respon penderita dengan urutan AVPU (Alert, Verbal, Pain, Unresponsive).
Untuk penderita yang terlihat tidak bergerak, matanya tidak terbuka, petugas
dapat melakukan panggilan sesuai nama atau jenis kelamin dan usia, sambil
menepuk (memberikan nyeri ringan) pada bagian yang stabil (pundak).
Petugas memperhatikan apakah mata membuka dan apakah terdapat respon
suara. Jika penderita tidak menjawab dan mata tidak membuka ketika
distimulasi, maka dapat disimpulkan sebagai kondisi Unresponsive.
c. Mengaktifkan SPGDT
Petugas yang menangani penderita trauma tidak dapat bekerja sendiri, setelah
memastikan tingkat respon dan kesadaran penderita, petugas wajib
memanggil petugas lain untuk membantu, termasuk dokter jaga IGD dan
mengaktifkan sistem penanggulangan gawat darurat terpadu. Petugas lain
yang datang membantu harus selalu memulai dengan memastikan keamanan
diri (menggunakan APD).
d. Penilaian & Penanganan Masalah Jalan nafas (Airway) dan Kontrol Servikal
Pada spinal bagian servikal terdapat batang otak dan nervus frenikus yang
bertugas mengatur pernapasan. Cedera pada bagian ini dapat berdampak fatal
pada pengaturan fungsi pernapasan. Secara cepat petugas harus menilai
apakah penderita mungkin mengalami trauma pada bagian servikal baik
trauma langsung maupun tidak langsung. Identifikasi kemungkinan cedera
servikal dapat meliputi beberapa temuan yaitu:
• Trauma kapitis disertai dengan penurunan kesadaran
Petugas melihat apakah terdapat luka, bengkak atau keluar darah dari
tulang kapitis (frontal, temporal, parietal dan oksipital). Penurunan
kesadaran dapat diketahui sebelumnya saat melakukan pengecekan
respon. Cedera pada servikal dapat terjadi akibat trauma tidak langsung
seperti kompresi bantalan sendi servikal, rotasi mendadak atau berlebihan,
dan akselerasi.
• Multiple trauma
Petugas melakukan identifikasi secara cepat apakah terdapat lebih dari
satu bekas trauma atau benturan (luka, memar, bengkak dll). Banyaknya
bekas benturan menandakan bahwa trauma terdiri dari beberapa fase
yang mungkin mengakibatkan sulit mengontrol tubuh dan beresiko
melibatkan proses trauma yang berdampak pada servikal.
• Jejas dari area klavikula sampai dengan kepala
Identifikasi jejas atau bekas trauma (luka, memar, bengkak dll) pada area
tulang klavikula hingga wajah dan kepala. Benturan pada sekitar bagian ini
sangat beresiko melibatkan atau berdampak pada servikal.
• Biomekanika trauma mendukung
Petugas menilai dari informasi mekanisme trauma/benturan serta hal-hal
yang terkait seperti kemampuan kontrol tubuh saat benturan akibat
pengaruh alkohol, obat-obatan, alat pelindung kepala atau leher yang
digunakan dan lain sebagainya.
Jika ditemukan salah satu atau beberapa tanda diatas maka petugas wajib
mencurigai adanya cedera pada servikal dan kemudian melakukan tindakan
imobilisasi kepala dan leher penderita dimulai dengan memegang kepala agar
tidak bergerak, karena pergerakan dapat berdampak penambahan atau
perluasan cedera.
Setelah melakukan kontrol kepala, petugas membuka airway (jalan napas)
dengan ekstensi kepala atau Jaw Trust jika dicurigai cedera servikal, kemudian
melakukan penilaian terhadap ancaman atau masalah pada airway. Penderita
yang tidak sadar beresiko menyebabkan pangkal lidahnya jatuh dan menutup
jalan napas sehingga perlu dilakukan pemasangan Oro-Paringeal Airway (OPA)
untuk mencegah hal tersebut. OPA tidak boleh di fiksasi atau diplester, jika
terdapat reflek muntah atau upaya mengeluarkan OPA oleh penderita, maka
OPA harus dilepas dan diganti dengan Naso-Paringeal Airway (NPA) sambil
memperhatikan kontraindikasinya berupa tanda fraktur basis cranii.
Jika penderita sadar, maka dapat dilakukan dengan mengajak bicara. Jika
penderita dapat bicara, untuk sementara jalan napas dapat dianggap baik
namun tetap melakukan kewaspadaan. Jika penderita tidak sadar, penilaian
airway dilakukan dengan teknik look, listen and feel. Melihat apakah ada
cairan/darah atau benda padat pada jalan napas (bagian yang terlihat) dan
melihat dampaknya pada pergerakan dada. Mendengarkan bunyi napas
apakah ada jenis bunyi yang menandakan adanya sumbatan parsial (Gurgling,
Snoring dan Stridor) sambil merasakan hembusan udara dari proses bernapas.
Jika memungkinkan, benda asing yang terlihat pada jalan napas dikeluarkan.
Bunyi Gurgling (kumur-kumur) menandakan terdapat cairan dan dapat
dikeluarkan dengan cara suctioning. Bunyi Snoring (mendengkur/ngorok)
menandakan adanya penyumbatan akibat pangkal lidah jatuh kebelakang dan
menutup jalan napas. Bunyi Stridor adalah bunyi bernada tinggi yang terjadi
baik pada saat inspirasi maupun pada saat ekspirasi, dapat terdengar tanpa
menggunakan stetoskop, bunyinya ditemukan pada lokasi saluran napas atas
(laring) atau trakea, disebabkan karena adanya penyempitan pada saluran
napas tersebut. Jika terdengar bunyi Stridor, maka perlu dilakukan surgical
airway oleh Dokter. Sambil menunggu, perawat perlu melakukan tindakan
Needle Cricothyroidotomy dan memberikan oksigen dengan teknik Jet
Insuflation selama maksimal 45 menit.

Gambar 1. Pemasangan Needle Cricothyroidotomy


(Sumber: Brasel, K. J. (2013). Advanced trauma life support (ATLS))

Setelah airway dipastikan bersih atau ancaman sudah diantisipasi, penderita


yang dicurigai cedera servikal perlu dilakukan pemasangan Neck Collar dengan
ukuran yang sesuai, ditambah dengan Head Immobilizer Device atau pengganti
yang dimodifikasi berdasarkan tujuan yang sama yaitu mengimobilisasi kepala,
agar petugas yang tadinya memegang kepala dapat membantu tindakan yang
lain dan pergerakan kepala dan servikal dapat diminimalkan. Penilaian dan
penanganan selanjutnya berpindah pada poin breathing (pernapasan).

e. Penilaian & Penanganan Masalah Pernafasan (Breathing)


Dimulai dengan menghitung frekuensi napas penderita, dengan berpedoman
pada frekuensi napas normal untuk dewasa menurut AHA (American Heart
Association) yaitu 10 – 20 kali/menit. Bantuan atau resusitasi pada bagian ini
pada awalnya diberikan dengan dua kategori masalah. Jika ditemukan henti
napas atau napas tidak adekuat (<10 kali/menit) maka perlu dilakukan bantuan
napas dengan bagging (napas buatan) sebanyak 10-12 kali napas setiap
menitnya dan dievaluasi setia 2 menit. Jika ditemukan nafas lebih dari 20
kali/menit (hiperventilasi) maka perlu diberikan bantuan oksigen dengan
jumlah dan jenis media yang sesuai. Napas lebih dari 30 kali/menit
memerlukan bantuan oksigen konsentrasi tinggi dengan alat Non-Rebreathing
Mask (NRM) sebanyak 10-15 lpm. Bantuan oksigen segera dievaluasi, jika
ditemukan bantuan oksigen dengan NRM tidak membuat sesak berkurang
secara bermakna, maka harus dicari penyebab sesaknya dengan cara
melakukan pemeriksaan fisik IAPP (Insfeksi, Auskultasi, Perkusi dan Palpasi) di
area dada penderita (lihat tabel 1).
Umumnya semua jenis trauma yang mengancam nyawa pada dada dapat
menyebab munculnya tanda distress pernapasan dan temuan pada kelainan
secara anatomis. Napas umumnya menjadi cepat dan dangkal. Untuk
membantu penilaian ancaman nyawa secara cepat, perlu diantisipasi temuan
khas yang mengindikasikan terdapat dampak trauma pada dada yang
mengancam keselamatan nyawa yaitu;

 Open Pneumothorax
Tanda khas:
- Luka terbuka pada dada
- Terdengar bunyi menghisap
(sucking chest wound) pada
luka di dada
- Hasil perkusi hypersonor (lebih
nyaring)
Gambar 2. Tindakan Oclusive Dressing 3
sisi untuk Open Pneumothorax
Penanganan:
(Sumber: Brasel, K. J. (2013). Advanced
- Berikan oksigen trauma life support (ATLS))
- Tutup luka dengan Oclusive dressing (balutan kedap udara yang
diplester pada 3 sisi)
- Kolaborasi dengan Dokter dalam pemasangan Chest Tube (selang dada)
Tabel 1: Pemeriksaan Fisik Dada

Teknik Pemeriksaan Item Pemeriksaan Temuan Normal


Inspeksi (melihat) Kondisi Vena Jugularis dan Tidak ditemukan distensi
Posisi Trakea vena jugularis, posisi trakea
berada lurus ditengah.
*sebaiknya dilakukan saat
memasang neck collar
Bentuk permukaan dada Cembung (Rasio AP 2:1),
warna kulit merata, tidak
*jika terdapat luka terbuka, terdapat jejas/bekas
langsung didengarkan benturan; memar, bengkak,
tanpa stetoskop apakah ada dan luka.
bunyi menghisap (sucking
chest wound).
Pergerakan dada Pergerakan simetris dada
kiri dan kanan, tidak
terdapat pergerakan
paradoxal.
Auskultasi (dengan Mendengarkan suara napas Suara napas Vesikular pada
stetoskop) lapang paru kiri dan kanan
Mendengarkan suara Suara jantung “lup dup”
jantung terdengar jelas
Perkusi Ketuk interkosta pada titik Terdengar sonor pada area
yang sama dengan paru, dan dullness pada
auskultasi area jantung
Palpasi Pengurutan tulang klavikula Tidak terdapat nyeri,
Pengurutan seluruh tulang perubahan bentuk dan
iga/costa bunyi krepitasi
Pengurutan tulang sternum
 Tension Pneumothorax
Gambar 3. Tindakan Needle
Tanda Khas: Thoracocentesis
- Distensi Vena Jugularis
- Posisi Trakea bergeser ke arah sisi dada
yang sehat
- Hasil auskultasi suara napas terdengar
menjauh atau samar
- Hasil perkusi pada sisi dada yang sakit
terdengar hypersonor (lebih nyaring)
(Sumber: Brasel, K. J. (2013).
Penanganan: Advanced trauma life support
- Berikan oksigen (ATLS))
- Segera lakukan tindakan needle thoracocentesis pada sisi dada yang
terdengar hypersonor, tepatnya pada ICS-2 sejajar garis Mid-Clavicula.
- Kolaborasi dengan Dokter dalam pemasangan Chest Tube (selang dada).
 Massive Hematothorax
Tanda khas:
- Hasil auskultasi suara napas terdengar menjauh atau samar
- Hasil perkusi pada sisi dada yang sakit terdengar dullness (lebih redup)
Penanganan:
- Berikan oksigen
- Resusitasi cairan
- Kolaborasi dengan Dokter dalam pemasangan Chest Tube (selang dada)
- Segera rujuk ke kamar operasi untuk dilakukan Thoracotomy jika
dicurigai perdarahan aktif dan masif (output darah lebih dari 1500 cc,
atau lebih dari 200cc/jam selama 2 jam berturut-turut).
 Flail Chest dan Kontusio
Paru Tanda khas:
- Terlihat pergerakan dada
paradoxal Penanganan:
- Berikan oksigen
- Kolaborasi pemberian blok analgetik pada bagian ICS yang fraktur
- Lakukan pembebatan pada area fraktur untuk membatasi gerak
(perlukaan lebih lanjut)
 Tamponade
Jantung Tanda
khas:
- Terdapat distensi vena jugularis tanpa deviasi trakea
- Hasil auskultasi suara jantung terdengar menjauh atau
samar Penanganan:
- Berikan oksigen
- Lakukan pemasangan Monitor EKG
- Kolaborasi dengan Dokter dalam tindakan Needle Pericardiocentesis

f. Penilaian & Penanganan Masalah Sirkulasi darah (Circulation)


Henti jantung akibat trauma jarang terjadi dan tidak seketika. Penilaian dan
penangangan ancaman nyawa pada fungsi sirkulasi akibat trauma diutamakan
pada masalah perdarahan dan syok. Secara cepat petugas harus identifikasi
dan kontrol perdarahan baik internal maupun eksternal tubuh penderita serta
berupaya memperbaiki replacement volume cairan dengan cairan resusitasi
yang sesuai.
Periksa apakah ada perdarahan eksternal yang ditandai dengan adanya jejas
(luka) dan keluarnya darah. Perdarahan eksternal yang ditemukan harus
segera dihentikan secara cepat untuk sementara yaitu dengan teknik balut
tekan, titik tekan, serta dengan melakukan elevasi bagian yang keluar darah
(kecuali fraktur). Penjahitan luka dapat dilakukan di fase secondary, dimana
hal-hal yang mengancam nyawa telah diatasi terlebih dahulu. Perdarahan yang
bersifat memancar dengan darah yang lebih terang (khas arteri) harus
dihentikan diruang operasi dengan sementara melakukan balut tekan. Harus
dihindari penggunaan tourniquet, kecuali untuk luka amputasi yang bersifat
crushing (hancur). Perdarahan internal yang dapat mengancam nyawa
mengingat jumlah perdarahan yang bisa terjadi yaitu pada bagian:
- Rongga thorak, dihentikan dengan chest-tube dan thoracotomy
- Rongga Abdomen dan Retro-Peritoneal, dihentikan dengan laparatomy
- Rongga Pelvis, dihentikan dengan pemasangan PASG, C-Clamp, Gurita dan
pembedahan
- Femur (Tulang panjang), dihentikan dengan pemasangan bidai dan/atau
pembedahan
- Khusus pada anak-anak, perdarahan di kepala dapat mengancam nyawa
mengingat ukuran tubuh yang relatif masih lebih kecil dibandingkan
kepala.

Penderita yang mengalami perdarahan harus dicurigai mengalami syok


hipovolemia. Segera periksa tanda syok awal dengan meraba suhu akral dan
hitung frekuensi nadi. Jika ditemukan suhu akral dingin dan nadi cepat
(>100x/menit) maka harus diberikan cairan yang paling mirip dengan cairan
tubuh dan plasma yaitu kristaloid diutamakan ringer laktat (RL) sebanyak 1 – 2
liter dengan pemasukan yang cepat (guyur), upayakan masuknya cairan
tersebut melalui 2 jalur dengan vena yang berbeda dan menggunakan IV-
Chatheter yang cukup besar agar dalam waktu yang singkat dapat diberikan
cairan dalam jumlah yang cukup banyak (resusitasi cairan). Sebelum
memasukkan cairan, sebaiknya petugas mengambil sample darah vena untuk
dilakukan pemeriksaan Cross-match dan ukur kadar Hb guna persiapan
transfusi darah. Cairan IV yang dimasukan sebaiknya dihangatkan terlebih
dahulu untuk mencegah terjadinya hipotermia yang juga dapat mengancam
nyawa penderita. Pengukuran keseimbangan antara cairan yang masuk dan
yang keluar (urin) perlu dilakukan untuk mengevaluasi kebutuhan selanjutnya
dan mencegah kelebihan volume cairan serta peningkatan beban kerja jantung
yang dapat membahayakan.
g. Penilaian & Penanganan Masalah Ketidakmampuan (Disability)
Trauma sering dapat berdampak langsung maupun tidak langsung pada status
neurologis penderita, akibat berkurang / hilangnya suplai oksigen ke otak atau
kerusakan otak itu sendiri. Cedera pada bagian kepala dan spinal dapat
langsung berdampak pada perubahan status neurologis. Sementara itu, syok
juga dapat berdampak demikian. Perubahan status neurologis umum dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan skor GCS dan kekuatan motorik,
sedangkan untuk permasalahan pada intra-kranial dapat diketahui secara
cepat dengan melakukan pemeriksaan reaksi pupil terhadap rangsangan
cahaya.
1) Penilaian Skor GCS
Komponen yang dinilai dalam GCS adalah reaksi mata (eye), reaksi
suara/bicara (verbal) dan kemampuan/respon pergerakan (motorik).
Penderita pertama-tama diobservasi untuk menentukan apakah ada reaksi
spontan tanpa diberikan rangsangan pada ketiga komponen tersebut. Jika
tidak ditemukan fungsi spontan, penderita kemudian diberikan rangsangan
suara dengan diajak bicara dan diberikan perintah sederhana. Rangsangan
terakhir untuk penderita yang tidak berespon dengan suara adalah
pemberian rangsangan nyeri pada bagian yang tidak mudah mengalami
cedera. Penentuan skor hasil penilaian pada usia dewasa dapat dilihat
pada tabel dibawah ini:
Tabel 2. Pemeriksaan Skor GCS
4 Membuka mata tanpa rangsangan (spontan)
3 Membuka mata dengan perintah suara
Eye 2 Membuka mata ketika diberikan rangsangan nyeri
1 Tidak membuka mata
5 Berbicara dengan orientasi baik
4 Berbicara namun bingung, orientasi tidak sesuai
Verbal 3 Hanya mampu mengeluarkan kata (bukan kalimat)
2 Hanya suara tapi bukan kata (mengerang)
1 Tidak ada suara yang keluar
6 Dapat bergerak mengikuti perintah
5 Dapat melokalisir lokasi nyeri
4 Hanya dapat menarik/menjauhi pusat nyeri
Motoric 3 Fleksi Abnormal ketika diberikan nyeri
2 Ekstensi Abnormal ketika diberikan nyeri
1 Tidak ada pergerakan
*Skor dijumlahkan dari setiap komponen (GCS = E + V + M)
Untuk menilai skor GCS khusus pada anak-anak terdapat perbedaan pada poin
verbal (lihat bagian cedera kepala dan spinal).
2) Penilaian Reaksi Pupil
Pemeriksaan dilakukan dengan memberikan rangsangan cahaya pada mata
dengan fokus melihat respon pupil. Normalnya, pupil akan bergerak mengecil
ketika diberikan rangsangan cahaya. Ukuran normal diameter pupil adalah 2 –
3 mm dan sama dalam hal respon dan ukuran pada kedua mata. Pupil yang
tidak berespon terhadap rangsangan cahaya dan sudah berdilatasi maksimal
menandakan sudah terjadi kematian batang otak (mati biologis), sedangkan
pupil dengan reaksi dan ukuran yang tidak sama (an-isokor) mengindikasikan
sedang terjadi peningkatan tekanan intra- kranial atau cedera (lesi) pada otak.
Ketidaknormalan reaksi pupil cenderung bersifat ipsilateral, dengan kata lain
masalah pada pupil kanan mengindikasikan masalah pada otak sebelah kanan
begitu pula sebaliknya, meskipun pada beberapa kasus mungkin dapat
ditemukan berbeda (jarang).
3) Penilaian Kekuatan Motorik (Tanda Lateralisasi)
Pemeriksa melakukan perbandingan kekuatan motorik kiri dan kanan
penderita (tidak dilakukan pada bagian yang fraktur). Pada penderita yang
sadar, pemeriksaan dapat dilakukan dengan meminta penderita menggenggam
tangan pemeriksa kiri dan kanan, kemudian temukan mana yang mengalami
kelemahan. Pada penderita yang tidak sadar, pemeriksaan dapat dilakukan
dengan mengangkat kedua ekstremitas (kiri dan kanan) kemudian dilepaskan
secara bersamaan untuk melihat mana yang akan jatuh terlebih dahulu dan
mana yang masih memiliki tahanan. Pemeriksaan ini sulit dilakukan pada
penderita dengan skor GCS <8 karena cenderung kedua belah ekstremitas akan
sama-sama mengalami kelemahan.

h. Penilaian & Penanganan cedera lain dengan Paparan (Exposure)


Setelah melakukan penilaian dan penanganan pada masalah jalan napas,
pernapasan, sirkulasi dan neurologis penderita, petugas kemudian melakukan
penilaian untuk mencari cedera atau masalah lain dengan cara memperhatikan
dengan seksama apakah ada jejas (luka atau memar) lain pada tubuh penderita baik
dibagian depan maupun dibagian belakang tubuh. Fokus perhatian ditujukan pada
bagian yang belum diperiksa saat melakukan penilaian pada poin A sampai D.
Untuk pemeriksaan bagian belakang tubuh penderita yang dicurigai mengalami
masalah pada spinal harus dilakukan pemiringan dengan teknik log-roll. Namun
pemeriksaan ini tidak boleh lama dan sering dilakukan. Harus diupayakan hanya
satu kali dilakukan log-roll selama initial assessment pada penderita trauma spinal
untuk mencegah bertambahnya cedera akibat pergeseran. Petugas harus menilai
kembali biomekanika trauma apakah melibatkan bagian belakang tubuh dan
memeriksa apakah terdapat rembesan darah dari belakang tubuh. Jika ditemukan
kedua hal tersebut, maka pemeriksaan bagian belakang harus dilakukan saat itu
juga. Namun jika tidak ditemukan, maka sebaiknya log-roll dilakukan pada saat
fase secondary, khususnya saat melakukan pemeriksaan fisik menyeluruh (head to
toe).
i. Pemasangan Kateter Urin (Folley Chatheter)
Pada penderita trauma yang mengalami penurunan kesadaran, hambatan gerak
akibat cedera ekstremitas serta syok dan diberikan asupan cairan melalui IV,
pemasangan folley chatheter perlu dilakukan untuk membantu eliminasi urin dan
menghitung keseimbangan antara cairan yang masuk dan cairan yang keluar
melalui urin. Jumlah urin dewasa normalnya adalah 0,5cc/kgBB/jam. Sebelum
dilakukan pemasangan, petugas harus memeriksa terlebih dahulu apakah terdapat
tanda-tanda ruptur pada uretra sebagai kontra indikasinya yang terdiri dari:
1) Keluarnya darah dari Orifisium Uretra External (OUE) baik pada laki-laki
maupun perempuan,
2) Skrotum (laki-laki) atau perineum (perempuan) yang hematoma
3) Pada laki-laki dapat ditemukan tidak terabanya prostat atau High riding prostat
(bergesernya prostat ke superior) saat dilakukan pemeriksaan rectal toucher
(colok dubur).
j. Pemasangan Selang Nasogastric (Gastric Tube)
Pemasangan selang lambung diindikasikan bagi penderita yang tidak sadar atau
beberapa kondisi tertentu dengan indikasi yaitu:
1) Pemberian nutrisi dan terapi
2) Mencegah aspirasi
3) Mengurangi distensi
4) Melakukan kuras lambung
5) Persiapan operasi/pembedahan.
Perlu diperhatikan cairan lambung yang keluar apakah normal atau bercampur
darah. Selain itu, pemasangan selang lambung tidak boleh dilakukan melalui
hidung/NGT (ganti melalui mulut / OGT) pada penderita yang ditemukan tanda-
tanda fraktur pada basis cranii, yang ditandai dengan;
1) Raccoon eyes (lebam dan bengkak pada sekeliling mata),
2) Rhinorrhea (keluarnya cairan otak dari hidung),
3) Otorrhea (keluarnya cairan otak dari telinga),
4) Battle sign (lebam/memar pada bagian belakang telinga).
k. Pemasangan Hearth Monitor dan Pulse Oxymetri
Untuk menilai permasalahan pada jantung sebagai akibat dari trauma thorax atau
masalah pokok dari jantung itu sendiri serta upaya monitoring fungsi jantung dan
sirkulasi, perlu dilakukan pemasangan EKG monitor. Interpretasi gambaran EKG
sebaiknya dilakukan pada lead II. Pada set monitor EKG biasanya sudah dilengkapi
dengan pulse oxymetri sehingga bisa langsung dilakukan pemasangan pada
penderita untuk menilai saturasi oksigen dengan nilai normal 95% - 100%. Akurasi
biasanya lebih baik ketika sudah terpasang selama 1 menit.
2. Secondary survey
Sebelum memasuki tahap secondary survey petugas sebaiknya melakukan re- evaluasi
untuk memastikan apakah kondisi penderita sudah lebih stabil dan berespon baik
terhadap tindakan resusitasi. Pada keadaan tertentu, dimana penderita tidak
berespon signifikan terhadap resusitasi di IGD atau cedera terlalu berat dan mengenai
organ yang sangat vital seperti otak, maka proses transfer dan tindakan di ruang operasi
mungkin perlu dipercepat. Secondary survey terdiri dari beberapa komponen yaitu;
anamnesa, pemeriksaan tanda vital, pemeriksaan fisik menyeluruh (from head to toe),
penjahitan luka, pendokumentasian dan persiapan transport (jika diperlukan).
Anamnesa diperlukan untuk mendapatkan keterangan riwayat dan karakteristik
penderita serta hal terkait yang menunjang temuan dari hasil pemeriksaan. Sebelum
berkomunikasi dengan penanggung jawab pasien pastikan dulu petugas sudah
merencanakan jenis pemeriksaan penunjang yang relevan dengan masalah pasien.
Proses wawancara pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran atau
masalah airway dapat dilakukan pada keluarga atau orang yang menjadi penanggung
jawab penderita. Beberapa data yang perlu ditanyakan seperti pada tabel berikut ini.
Lakukan anamnesa dan jelaskan kepada keluarga atau penanggung jawab penderita
tentang; masalah yang ditemukan, tindakan yang sudah dan akan dilakukan, hal-hal
yang perlu dilakukan keluarga atau penanggung jawab, proses dan syarat klaim
jaminan kesehatan yang dimiliki, serta meminta tanda tangan persetujuan atas
rencana berikutnya (informed consent).
Tabel 3. Anamnesa dengan pendekatan KOMPAK
Keluhan terkait Tanyakan apakah beberapa waktu terakhir
K kesehatan penderita sering mengeluh masalah kesehatan
seperti lemah, pusing, penglihatan kabur, dll
Tanyakan apakah penderita secara rutin
O Obat yang dikonsumsi mengkomsumsi obat atau suplemen tertentu,
obat apa dan jam berapa konsumsi terakhir
M Makan terakhir Tanyakan jenis, jumlah, waktu makan terakhir
Tanyakan apakah pernah dirawat di RS, jika ya
P Penyakit yang diderita karena penyakit, apakah penderita memiliki
penyakit yang terdiagnosis/ tidak terdiagnosis
Alergi (Obat dan Tanyakan apakah terdapat riwayat alergi
A Makanan) makanan, serta alergi terhadap obat seperti
antibiotika dan lain-lain
Tanyakan kembali bagaimana mekanisme
K Kejadian penyebab kejadian sebelumnya (biomekanika trauma) dan
cedera cocokkan dengan cedera atau masalah yang
ditemukan

Pemeriksaan dan nilai tanda vital berkaitan dengan kondisi cedera penderita
meliputi; Tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi nafas, suhu tubuh, dan
karakteristik nyeri (jika pederita sadar). Selanjutnya lakukan pemeriksaan fisik
secara menyeluruh dari kepala hingga ujung kaki (from head to toe) untuk
mengidentifikasi dan stabilisasi cedera lain pada penderita. Pemeriksaan bagian
abdomen dapat dibagi menjadi 4 kuadran dan dilakukan dengan teknik IAPP
(Inspeksi, Auskultasi, Perkusi dan Palpasi), rencanakan USG jika diperlukan untuk
memastikan perdarahan abdominal dan retroperitoneal. Penderita dengan cedera
pelvis terlebih dahulu dilakukan pemasangan gurita sebelum melakukan tindakan
log-roll untuk pemeriksaan bagian belakang (bagi penderita yang dicurigai trauma
spinal). Selain melihat cedera yang tampak pada bagian belakang, petugas juga
perlu melakukan palpasi pada spinal untuk mengidentifikasi pergeseran posisi ruas
spinal (step up, step down) dan keluarnya urin atau feses patut dicurigai sebagai
tanda dari trauma pada lumbalis spinal. Untuk membantu melakukan pemeriksaan
fisik sekunder dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Pemeriksaan Fisik Sekunder
Item Hal Yang Dapat Komponen Temuan Penting Pemeriksaan
Dikenali pemeriksaan Penunjang
Tingkat Keparahan cedera Skor GCS  ≤8 : CKB  CT Scan
Kesadaran kepala  9-12 : CKS  MRI
 13-15 : CKR
Pupil  Tipe CK  Ukuran  Efek Massa CT Scan
 Penampakan  Bentuk  Injuri Otak Difus
cedera mata  Reaksi  Injuri Mata
Kepala  Cedera  Inspeksi lesi dan  Laserasi kulit CT Scan
kulit fraktur tulang kepala
kepala kepala  Fraktur
 Cedera  Palpasi depresi
kepala penonjolan dan  Fraktur basis
cekung (defects)
Maxillofacial  Cedera jaringan  Deformitas  Fraktur  X-Ray
lunak dan/atau  Mal Oklusi  Cedera jaringan  CT-Scan
tulang
 Krepitasi lunak
 Kerusakan saraf
 Cedera oral
Leher  Cedera Laring  Inspeksi  Deformitas  X-Ray
 Cedera Servikal  Palpasi laring  CT C-Spine
 Masalah  Auskultasi  Emfisema  Angiografi
subkutan
Vaskular  Esophagos-
 Cedera Esofagus  Hematoma copy
 Penurunan  Bunyi bruit  Laryngosco
fungsi  Penetrasi py
neurologis tulang (step-
up or step-
down)
 Nyeri dan
kemerahan
Chest /  Ada luka,  Inspeksi  Bunyi nafas :  X-Ray
Thorax
 Penetrasi, dan  Palpasi Stridor, ronchi, dll thorax
benda yang  Auskultasi  Laju  Angiografi
tertusuk. pernafasan  Bronchosco
 Krepitasi dinding meningkat py
dada  Nyeri tekan  Tube
 Periksa fraktur. Thoracosto
 Gerakan ekspansi my
dada yang sama.  Pericardioc
entesis
Abdomen  Cedera dinding  Inspeksi  Nyeri & lebam  DPL/USG-
abdomen  Auskultasi  Iritasi / luka FAST
 Cedera  Perkusi  Berkurang/  CT
Intraperitoneal Abdomen
 Palpasi Hilangnya bunyi
 Cedera bising usus  Laparatom y
Retroperitoneal  Cedera organ  X-Ray +
retro- peritoneal Kontras
 Angiografi
Pelvis  Cedera Saluran  Inspeksi lebam,  Cedera  X-Ray Pelvis
Genitourinaria lesi, deformitas Saluran  Urethrogra m
 Fraktur Pelvis pelvis, tanda Genito-
 Cystogram
rupture uretra urinaria
 IVP
 Palpasi pelvis  Ruptur uretra
 CT Kontras
thdp bunyi  Fraktur Pelvis
krepitasi,
ketidakstabil an
tulang
 Rectal
Touche
Spinal Cord  Cedera kranial Respon motorik dan  Efek unilateral  X-Ray
sensorik (nyeri)
 Cedera Spinal dari massa pada  CT Scan
kranial
Cord  MRI
 Cedera saraf tepi  Quadriplegia
 Paraplegia
 Cedera serabut
saraf
Kolom  Cedera kolom  Respon verbal  Fraktur  X-Ray
Verterbra vertebra Thdp nyeri &  Dislokasi  CT Scan
 Ketidakstabilan tanda
 MRI
vertebra lateralisasi
 Cedera syaraf  Jejas dan
deformitas
Ekstremitas  Cedera jaringan  Inspeksi  Luka,memar,p  X-Ray
lunak  Palpasi ucat, bengkak Tulang
 Fraktur dan deformitas Spesifik
 Dislokasi  Nyeri &  Pemeriksaan
krepitasi Doppler
 Masalah
neurovaskular  Nadi ujung  Pemeriksaan
tidak teraba Tek.kompar
 Penurunan temen
fungsi saraf  Angiografi

Tindakan penjahitan luka yang terbuka dapat dilakukan di IGD pada fase secondary
kecuali luka pada pembuluh arteri yang ditandai dengan warna darah lebih cerah
serta keluarnya darah secara memancar bukan mengalir seperti pada vena.
Penjahitan luka yang melibatkan perdarahan melalui arteri harus dilakukan di
ruang operasi. Setelah semua pemeriksaan dan tindakan dilakukan, petugas tidak
boleh lupa melakukan pendokumentasian sesuai dengan format dokumentasi
yang berlaku (baca bagian dokumentasi). Transport penderita ke ruang operasi
atau unit pelayanan lain sesuai kondisi penderita harus dilakukan sesuai prinsip
serah terima yang benar melalui komunikasi antar bagian pelayanan atau petugas.
Serah terima harus dilakukan oleh petugas yang melakukan initial assessment
pada penderita untuk menghindari kesalahan dalam penyampaian data mengenai
kondisi, tindakan yang sudah dan yang perlu dilakukan pada penderita

3. Highlight Critical Point (ITLS, 2018)

Critical Points
1. Penderita dengan Hipertensi sebagai penyakit penyerta dapat menyebabkan
kesalahan interpretasi dalam managemen syok dan resusitasi cairan, konsumsi
obat anti-hipertensi harus diketahui dan disesuaikan dengan temuan pemeriksaan
tekanan darah.
2. Penderita yang tidak diketahui status dan riwayat alergi antibiotika sebaiknya
dilakukan uji alergi (skin test).
3. Penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan dapat menyebabkan
luputnya identifikasi sindroma kompartemen (tekanan intra-kompartemen dalam
eksterminitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah). Tidak terabanya
nadi pada ujung ekstremitas yang mengalami cedera wajib dicurigai mengalami
sindroma kompartemen.
4. Pemeriksaan frekuensi nadi untuk identifikasi syok sebaiknya dilakukan pada
ekstremitas yang tidak cedera, jika petugas ragu apakah nadi perifer teraba atau
tidak (nadi sangat lemah), segera identifikasi nadi karotis. Jika nadi karotis teraba
maka penderita dapat dinyatakan sedangan mengalami syok berat, namun pada
kondisi ini jika nadi karotis juga tidak teraba maka segera lakukan resusitasi jantung
dan paru (trauma berat dapat menyebabkan henti jantung).
5. Petugas yang menangani penderita trauma berat di pre-hospital atau tempat
pelayanan dengan keterbatasan kelengkapan alat dan tenaga khusus yang
dibutuhkan sebaiknya tidak terlalu lama menunda transport.
HIGHLIGHT

Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
III. Daftar pustaka

Campbell, John E. & Alson, Roy L. (2018). International Trauma Life Support for Emergency
Care Provider, 8th Ed. England: Pearson Education Limited.
Brasel, K. J. (2013). Advanced trauma life support (ATLS®): The ninth edition. Journal of
Trauma and Acute Care Surgery, 74(5), 1363-1366. DOI:
10.1097/TA.0b013e31828b82f5
Wilson C.T. & Clebone A. (2014). Initial Assessment and Management of the Trauma
Patient. ResearchGate, March 2014: DOI: 10.1007/978-1-4939-0909-4_1. Retrieved
from: https://www.researchgate.net/publication/286401634
Zemaitis MR, Planas JH, Shah N, et al. Trauma Secondary Survey. [Updated 2019 Jun 6].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2019 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK441902/
WHO & IATSIC. (2004). Guidelines for essential trauma care. Geneva: WHO Library
Cataloguing-in-Publication Data. Also retrieved from: www.who.int
Wilkinson D.A. & Skinner M.W. (2000). Primary Trauma Care, Standard Edition. Oxford:
Primary Trauma Care Foundation
MODUL 5
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN GANGGUAN JALAN NAFAS
DAN PERNAFASAN

I. Pendahuluan
Pemenuhan oksigen darah ke otak dan organ vital lainnya yang tidak adekuat merupakan
pembunuh tercepat pasien (terutama trauma). Upaya perlindungan, membuka jalan nafas
dan ventilasi merupakan upaya penting dalam mencegah hipoksia. Faktanya, membuka
jalan nafas yang terganggu, memberikan oksigen, dan support ventilasi menjadi prioritas
pada manajemen jalan nafas dalam semua kondisi. Terutama pemberian Oksigen ekstra
harus diberikan kepada semua pasien trauma yang terluka parah. (Stewart, Ronald, et al,
2018)
Ada banyak strategi dan pilihan peralatan untuk mengelola jalan napas pada pasien
terutama pasien dengan trauma. Peralatan dan strategi yang memiliki tingkat keberhasilan
yang tinggi merupakan bagian dalam pengelolaan jalan. Langkah pertama adalah
mengidentifikasi dan mengelola jalan nafas yang berpotensi mengancam jiwa adalah
mengenali tanda-tanda obstruksi jalan nafas secara objektif dan mengidentifikasi trauma
atau luka bakar yang melibatkan wajah, leher, dan laring.

II. Anatomi Fisiologi


1. Anatomi
Sistem pernafasan manusia terdiri dari jalan nafas atas, jalan nafas bawah yaitu paru.
Setiap bagian dari sistem ini memegang peranan penting dalam menjamin terjadinya
pergerakan udara dalam jalan nafas (ventilasi), pertukaran gas di alveoli dan pembuluh
darah pulmonal (difusi) dan dibawanya Oksigen keseluruh tubuh (perfusi).

Gambar 1. Anatomi sistem Pernafasan


a. Jalan Nafas Atas (Upper airway)
Jalan nafas atas terdiri dari rongga hidung, faring, dan laring. Udara masuk ke rongga
hidung, pada bagian ini udara akan mengalami proses penghangatan atau
humidifikasi dan penyaringan dari segala kotoran. Faring adalah struktur yang dimulai
dari bagian belakang palatum mole (langit-langit lunak) sampai ujung bagian atas dari
esophagus. Faring terdiri dari lapisan otot dan membrane mukosa. Faring terdiri dari
3, yaitu nasofaring (bagian atas), orofaring (bagian tengah), dan hipofaring (bagian
akhir dari dari faring) dan selanjutnya kebagian laring.

Gambar 2 Anatomi sistem pernafasaan bagian atas dan bawah


(anatomysciences.com)
b. Jalan nafas bawah (lower airway)
Jalan nafas bawah terdiri dari trakea, percabangan (carina) dan brochus hingga
bronkhiolus. Pada saat inspirasi, udara berjalan melalui jalan nafas atau menuju jalan
nafas bawah sebelum mencapai paru-paru, yaitu tempat dimana pertukaran itu
terjadi. Trakea terbagi lagi menjadi dua cabang, yaitu bronkus utama kanan dan
bronkus utama kiri. Masing-masing bronkus terbagi menjadi bronkeolus. Bronkeolus
(cabang bronkus cabang yang sangat kecil) ini akan berakhir di alveoli, dimana
terdapat kantong-kantong udara kecil yang dikelilingi oleh kapiler-kapiler. Di alveoli
inilah sistem respirasi bertemu dengan sistem pembuluh darah dan disini pulalah
terjadi pertukaran gas.

2. Fisiologi
Ketika pernafasan terjadi, udara masuk ke jalan nafas mencapai alveoli. Adanya
perbedaan tekanan gas O2 dan CO2 alveoli dengan pembuluh kapiler pulmonal akan
membuat perpindahan O2 alveoli ke dalam kapiler pulmonal dan CO2 dari plasma ke
alveoli. Oksigen kemudian diikat oleh Hemoglobin, akan dibawa menuju seluruh tubuh
untuk digunakan dalam proses metabolism. Karbondioksida bergerak dari aliran darah,
melintasi membrane alveolar-kapiler, masuk ke dalam alveoli dan dikeluarkan selama
ekspirasi.
Ukuran untuk 1 kali bernapas disebut volume tidal. Volume tidal saat istirahat adalah
sekitar 500 cc, dari volume udara ini ada sebanyak 150 cc akan tetap berada dalam
ruang mati (dead space) dan tidak ikut dalam pertukaran gas. Volume tidal x frekuensi
ventilasi per menit = volume per menit.
Sistem respirasi memiliki dua fungsi, fungsi pertama adalah untuk menyediakan oksigen
dan fungsi kedua adalah untuk melepaskan karbondioksida. Namun fungsi akhir dari
pernafasan manusia ada pada tingkat sel. Pada tingkat sel maka Oksigen akan dipakai
pada siklus Kreb untuk menghasilkan energi atau metabolisme aerob yang akan
menghasilkan 38 Adenosina trifosfat (ATP). Sedangkan pada metabolisme an-aerob
maka dihasilkan 4 ATP. Energi yang dihasilkan dari reaksi hidrolisis ATP digunakan oleh
sel tubuh untuk melakukan berbagai aktivitas sel dalam menjaga kehidupan manusia.
Untuk itu, maka manajemen jalan nafas dan pernafasan selalu menjadi prioritas pertama
dalam pertolongan kegawatdaruratan (Arif, 2014).
Fungsi pernafasan sangat penting untuk menyangga kehidupan, sehingga harus dijaga
agar:
1. Jalan nafas tetap lancar/paten
2. Kecukupan Oksigen terpenuhi
3. Oksigen dapat dialirkan ke seluruh jaringan dan
4. Karbondioksida dapat dikeluarkan
Kegagalan dalam memenuhi kebutuhan oksigen bisa terjadi akibat gangguan jalan nafas
(Airway) dan pernafasan (Breathing). Kondisi ini akan memicu terjadinya hipoksemia
kemudian memicu hipoksia. Hipoksia akan menyebabkan iskhemi pada sel tubuh, dan
jika tidak diatasi akan menyebabkan kematian karena ketiadaan energi untuk aktivitas
sel.

III. Patofisiologi
Kepatenan jalan nafas dapat terganggu akibat adanya sumbatan pada jalan nafas.
Sumbatan jalan nafas dapat sebagian (parsial) dan total. Kasus sumbatan jalan nafas pada
dewasa umumnya terjadi akibat tersedak makanan, sedangkan pada bayi atau anak karena
tersedak makanan ataupun mainan. Orang yang tidak sadarkan diri mudah mengalami
sumbatan jalan napas, baik yang disebabkan oleh lidah ataupun benda asing.
Penatalaksanaan yang baik merupakan kunci untuk mencegah kematian akibat sumbatan
jalan napas.
Ketidakmampuan sistem pernapasan untuk mempertahankan pertukaran udara
antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan normal akan
menyebabkan terjadinya gagal napas. Dimana sistem pulmoner tidak dapat mencukupi
kebutuhan metabolisme, yaitu eliminasi CO2 dan oksigenasi darah. Gagal napas terjadi
bila tekanan parsial oksigen arterial (PaO2) < 60 mmHg atau tekanan parsial
karbondioksida arterial (PCO2) > 45 mmHg. Gagal napas dapat diklasifikasikan menjadi
dua tipe yang utama menurut sebabnya, yaitu gagal napas hipoksemia, dan gagal napas
hiperkapnia. Gagal napas hipoksemia ditandai dengan PaO2 < 60 mmHg dengan PaCO2
normal atau rendah. Gagal napas hiperkapnia, ditandai dengan PaCO2 > 45 mmHg.
Sedangkan menurut waktunya dapat dibagi menjadi gagal napas akut dan gagal napas
kronik. Penyebab gagal napas dapat diakibatkan oleh kelainan pada otak, susunan
neuromuscular, dinding thoraks dan diafragma, paru, serta sistem kardiovaskuler. Gagal
napas akut merupakan salah satu kegawatdaruratan, sehingga membutuhkan penanganan
yang cepat dan tepat (Arif; 2014; Amelia, Trisyani dan Theresia; 2018).
IV. Pengkajian
A. Fisik Pernafasan
Inspeksi
1. Tingkat kesadaran: apatis, disorientasi, kebingungan, tidak sadar
2. Pernapasan yang sangat cepat (takipnoe) atau sangat lambat (bradipnoe)
Frekuensi pernapasan normal adalah:
a. Dewasa 12-20 x/menit
b. Anak-anak 15-30 x/menit
c. Bayi 30-50 x/menit
3. Pola pernafasan; regular atau ireguler
4. Usaha bernapas yang berlebihan / sesak
a. Tampak kesulitan bernafas/ sesak
b. Pemakaian otot pernafasan, adanya retraksi/tarikan otot diantara tulang rusuk,
dan otot sekitar leher.
c. pergerakan dada tidak sama atau hanya salah satu dinding dada yang bergerak
Pada anak-anak pernapasan dapat terjadi “chain saw” dimana pernapasan
menggunakan pergerakan dada dan perut.
5. Sianosis
a. Sianosis perifer; kuku, jari tangan
b. Sianosis central; bibir, hidung dan telinga pasien.

Auskultasi
Suara Nafas; Dengarkan bising napas, apakah vesikuler atau ada ronchi. Waspadai
dengan suara napas snoring, gurgling, crowing dan stridor.
Perkusi
Pada keadaan normal akan selalu sonor. Pada keadaan hipersonor menandakan adanya
penumpukan udara pada rongga dada (tension peumothorak)
Palpasi
Identifikasi adakah suara krepitasi dan rasa nyeri pada saat dilakukan palpasi.
Kemungkinan terjadinya patah tulang pada iga sangatlah mungkin pada kondisi trauma
thorak.
Nadi: Pada tahap lanjut, pernapasan yang tidak adekuat ditandai dengan denyut nadi
yang lemah dan lambat, dan frekuensi pernapasan yang tadinya cepat menjadi lambat.
B. Pengkajian Diagnostik
1. Pulse oxymetry
Pulse oximetry dapat mengukur saturasi oksihemoglobin (SpO2) arterial sesaat dan
frekuensi denyut jantung. SpO2 ditetapkan berdasarkan ratio absorpsi sinar merah
dan inframerah melalui jaringan. Perubahan absorpsi
sinar ini dikarenakan pulsasi darah melalui pembuluh
darah dihubungkan dengan microprocessor kecil,
untuk menetapkan saturasi arteri dan frekuensi denyut
jantung. Nilai normal SpO2 adalah > 95%. Apabila SpO2
turun sampai di bawah 90%, kemungkinan besar telah
terjadi perburukan pengiriman oksigen ke jaringan.

Gambar 1 Pulse oximetry


Berikut ini adalah indikasi untuk menentukan penambahan oksigen berdasarkan
pengukuran oxymetri:
Tabel 2 Penentuan pemberian oksigen berdasarkan nilai Sp 0 2
Saturasi oksigen Interpretasi Intervensi
(oxymeter)
95 % - 100 % Normal O2 4 liter/menit-nasal canule
90 % - <95 % Hypoxia ringan – sedang Face Mask (Simple Mask) 6-10
lpm
85 % - <90 % Hypoxia sedang – berat Face Mask dengan resepoir 8-12
liter assisted ventilation
<85 % Hypoxia berat – Assisted ventilation
mengancam nyawa

2. Analisa Gas Darah


Pengkajian gas darah berguna untuk mengukur kadar oksigen, karbondioksida, dan
tingkat asam basa darah. Hal ini penting untuk mengetahui status oksigenisasi
pasien, status keseimbangan asam basa, fungsi paru dan status metabolism pasien.
Sampe darah adalah darah arteri yang diambil dari arteri radialis, arteri brachialis,
atau arteri femoralis.
Hasil analisa gas darah dikatakan normal jika:
 pH darah arteri : 7,35-7,45
 Saturasi oksigen (SaO2) : 95-100%.
 Tekanan parsial oksigen (PaO2) : 75-100 mmHg.
 Tekanan parsial karbondioksida (PaCO2): 35-45 mmHg.
 Bikarbonat (HCO3) : 22-26 mEq/L.
IV. PENANGANAN GANGGUAN JALAN NAFAS
Penilaian jalan nafas dan pembebasan jalan nafas harus dilakukan dengan cepat dan tepat.
Ditujukan agar oksigenasi pasien segera menjadi adekuat, dilakukan pembebasan jalan
nafas dan sebaiknya diberikan tambahan oksigen sesuai kebutuhan.
Teknik menjaga jalan nafas ada 2 macam:
a. Tanpa alat  dikerjakan untuk keadaan gawat darurat dimana saja dan kapan saja
b. Dengan alat  dikerjakan dengan persiapan alat, seperti pipa orofaring, nasofaring,
pipa trachea, sungkup laring dan perangkat penunjang lainnya.

Pada kasus trauma dimana terjadi penurunan kesadaran atau terlihat jejas karena cedera
(goresan, sayatan, hematom, perdarahan) di atas klavikula maka harus diwaspadai
kemungkinan ada cedera servikal. Sebelum ada konfirmasi dengan rontgen leher, maka
leher harus dilakukan immobilisasi dengan manual atau cervical collar.
Pasien gawat darurat yang perlu pertolongan diposisikan telentang, tanpa bantal, dan pada
alas punggung datar. Bila pasien ditemukan tidak pada posisi telentang, maka harus
diupayakan posisi telentang dan pada tempat yang aman, dengan tetap melindungi posisi
kelapa dan leher bila ada kecurigaan fraktur leher. Hindari manuver yang membuat kepala
pasien ekstensi.

1. Teknik Pengelolaan Jalan Nafas Tanpa Alat


a. Chin lift manuver
Pasien pada posisi telentang dagu diangkat ke depan agar dapat mengangkat lidah
yang jatuh ke belakang dan menyumbat jalan nafas.
b. Head tilt manuver
Dahi ditengadahlan dengan pelan oleh telapak angan penolong.
c. Head tilt-chin lift manuver (hanya dilakukan pada korban tanpa indikasi cedera leher)
1) Letakkan ujung jari tangan yang lain di bawah dagu
2) Tengadahkan kepala dengan menekan perlahan dahi pasien
3) Gunakan ujung jari tangan yang lain untuk mengangkat dagu dan menahan rahang
bawah. Intervensi jari hanya pada tulang, buka jaringan lunak di bawah mulut.
4) Usahakan mulut terbuka agar pasien bernafas lewat mulut, terutama pada pasien
yang hidungnya tersumbat.
d. Jaw thrust manuver
Maneuver ini dikerjakan untuk membuka jalan nafas pasien yang tidak sadar dengan
atau tanpa cedera kepala atau leher. Teknik ini tidak membuat pergerakan leher dan
kepala. Langkah-langkahnya:
1) Pertahankan dengan hati-hati agar posisi kepala, leher, dan spinal pasien tetap
satu garis.
2) Posisi penolong diatas kepala pasien dan posisikan lengan sejajar dengan
permukaan pasien berbaring.
3) Letakkan tangan pada masing-masing sisi rahang bawah pasien, pada sudut
rahang di bawah telinga.
4) Stabilkan kepala pasien dengan lengan bawah penolong.
5) Menggunakan jari telunjuk, sudut rahang bawah pasien ditekan kearah depan.
6) Kedua ibu jari mendorong rahang bawah bagian depan sedemikian rupa sehingga
mulut dapat terbuka.
7) Kepala pasien tidak boleh ditengadahkan atau di putar.
8) Perhatikan kelancaran jlan nafas lewat mulut dan tiadanya sianosis setelah
mengerjakan maneuver ini.

Manuver tanpa alat ini dikerjakan untuk pertolongan emergensi tanpa menunda
waktu dan dapat dikerjakan dimana saja.

Gambar 3 Manuver membebaskan jalan nafas tanpa alat (nursekey.com)

e. Penanganan sumbatan jalan nafas tanpa alat dewasa


Yang harus diutamakan adalah pengenalan terhadap gejala sumbatan berat oleh
benda asing, karena tindakan tersebut memerlukan penatalaksanaan segera untuk
mencega terjadinya kematian.
1) Penatalaksanaan sumbatan total penderita tidak sadarkan diri:
 Aktifkan sistem layanan gawat darurat, panggil bantuan
 Segera baringkan penderita, lakukan kompresi 30 kali. Bila mulut penderita
terbuka, segera periksa mulut penderita apakah benda asing sudah bisa
dikeluarkan atau belum.Bila belum bisa dikeluarkan terus lakukan kompresi
jantung. Kompresi ini bertujuan untuk mengeluarkan benda asing yang
menyumbat jalan napas dan tujuan sekundernya untuk membantu sirkualsi.
 Teknik blind finger sweep tidak direkomendasikan lagi untuk mengeluarkan
benda asing pada sumbatan jalan napas. Bila benda asing yang padat sudah
bisa terlihat, makabenda asing boleh dikeluarkan secara manual.
2) Penatalaksanaan penderita sadar
Sumbatan ringan: Bila penderitan masih bisa berbicara dan hanya mengalami
sumbatan ringan, maka penolong merangsang penderita untuk batuk tanpa
melakukan tindakan dan terus mengobservasi.
Sumbatan berat: Penolong bertanya kepada penderita, apa yang terjadi. Setelah
yakin dengan kondisi penderita selanjutnya penolong melakukan abdominal
thrust dengan cara sebagai berikut:
 Penolong berdiri di belakang penderita, kemudian lingkarkan kedua lengan
padabagian atas abdomen
 Condongkan penderita ke depan, kepalkan tangan penolong dan letakkan
diantara umbilikus dan iga
 Raih kepalan tangan tersebut dengan lengan yang lain dan tarik ke dalam dan
atas secara mendadak sebanyak 5 kali. Bila tersebut gagal, lakukan kembali 5
abdominal thrust berulang.
f. Penanganan sumbatan jalan nafas pada bayi atau anak
Tindakan back blows bisa dilakukan untuk bayi atau anak. Cara melakukannyasebagai
berikut:
 Letakkan bayi atau anak dengan posisi kepala ke bawah supaya gaya gravitasi
dapat membantu pengeluaran benda asing
 Penolong berlutut atau duduk dengan menopang bayi di pangkuannya agar lebih
aman saat melakukan tindakan
 Untuk bayi, topang kepala dengan menggunakan satu tangan, hati-hati jangan
sampai menekan jaringan lunak dibawah rahang.
 Lakukan 5 hentakan back blows secara kuat dengan menggunakan telapak tangan
ditengah punggung. Tujuan tindakan tersebut untuk mengupayakan sumbatan
benda asing terlepas setelah satu hentakan, bukan karena akumulasi ke-5
hentakan
 Bila gagal, dilakukan tindakan selanjutnya yaitu chest thrust pada bayi dan
abdominal thrust pada anak berusia diatas 1 tahun

Gambar back blow pada bayi


2. Teknik Pengelolaan Jalan Nafas dengan Alat
Manuver pengelolaan jalan nafas tanpa alat bersifat sementara untuk penyelamatan
jiwa. Kadang-kadang pasien jalan nafasnya lancar dengan maneuver ini, tetapi setelah
dilepaskan terjadi obstruksi lagi oleh lidah yang jatuh ke belakang. Oleh karena tidak
mungkin penolong terus menerus memegang pasien, maka diperlukan bantuan alat
untuk mempertahankan kelancaran jalan nafas ini. Alat untuk menopang kelancaran
jalan nafas:
a. Suction
Setiap pasien trauma mempunyai resiko mengalami sumbatan jalan nafas karena
cairan yang disebabkan oleh darah, sekret, air liur atau karena muntah. Sumbatan
karena cairan dapat mengakibatkan aspirasi kedalam paru-paru pasien. Upaya
penanganan sumbatan jalan nafas karena cairan adalah dengan melakukan
pengisapan / suction sesegera mungkin. Peralatan penghisap lendir dapat berupa
unit suction portabel yang dapat dibawa kemana-mana atau unit suction yang
permanen ditempatnya.
Tindakan suction dapat menghisap oksigen yang ada dalam jalan nafas, oleh karena
itu, perlu dilakukan tindakan pemberian oksigen atau hiperoksigenasi dengan
oksigen 100% hingga mencapai saturasi O2 100% sebelum prosedur. Lamanya
prosedur suction pada orang dewasa maksimal 10 detik, maksimal 5 detik pada anak-
anak, dan 3 detik pada bayi. Sebelum dan sesudah prosedur, pasien harus diberikan
oksigen untuk mencegah terjadinya hipoksia. Bila pasien muntah dalam jumlah
banyak, dan tindakan suctioning tidak menolong, maka kepala pasien harus
dimiringkan untuk mencegah terjadinya aspirasi. Hati-hati pada pasien yang dicurigai
patah tulang leher, jangan sampai memiringkan kepalanya saja, tetapi seluruh badan
pasien dimiringkan dengan tindakan “rog roll”.
b. Nasopharingeal Airway (NPA)
Tindakan ini dilakukan dengan cara menyisipkan alat pada salah satu lubang hidung
dan dilewatkan dengan hati-hati ke orofaring posterior. Pada pasien yang masih
berespon pemasangan NPA lebih tepat dibandingkan dengan pemasangan
Oropharingeal Airway (OPA) karena lebih kecil kemungkinan menimbulkan
rangsangan muntah.

Gambar 5 Pemasangan NPA (http://www.doczero.nl/en/products/Nasopharyngeal-Airway-Insertion)


NPA digunakan untuk menjaga lidah tidak menyumbat jalan nafas pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran tetapi masih memiliki gag reflex, NPA juga
digunakan pada pasien yang tidak bisa dipasang OPA atau karena giginya yang
mengunci dan tidak bisa dibuka.
Secara umum teknik pemasangan NPA adalah sebagai berikut:
1) Pilih ukuran NPA yang sesuai :
Panjang NPA diukur dari lubang hidung sampai dengan cuping telinga dan
diameter NPA diukur dengan membandingkan NPA dengan jari kelingking pasien.
2) Lumasi NPA dengan jelly agar mudah memasukannya, selanjutnya NPA
dimasukka kelubang hidung sebelah kanan, dengan menyusur dinding septum
sampai dengan canalis auditipus atau cuping telinga, apabila ada tahanan NPA
ditarik kembali dan dicoba dimasukkan kembali. Bila tidak berhasil bisa dicoba
dilubang hidung sebelah kiri, dan jangan memaksa memasukan NPA apabila
terdapat tahanan.
Hati-hati pemasangan NPA pada kecurigaan fraktur basis kranii, karena ada
kemungkinan masuk ke rongga tengkorak.
c. Oropharingeal Airway (OPA)
Tindakan ini adalah membebaskan jalan nafas dengan menyisipkan alat kedalam
mulut (bawah lidah) dengan cara menahan lidah pasien agar tidak menyumbat jalan
nafas. Teknik ini digunakan untuk ventilasi sementara pasien yang tidak sadar
sementara intubasi sedang disiapkan, dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
dengan menyisipkan OPA secara terbalik dan dengan bantuan tongue spatel.
Teknik pertama dilakukan dengan cara menyisipkan OPA secara terbalik (up side
down), sehingga bagian yang cekung mengarah ke kranial, sampai di daerah Palatum
Molle. Pada titik ini alat di putar 180 derajat bagian cekung mengarah kebagian
kaudal, OPA diselipkan diatas lidah. Cara ini tidak boleh diterapkan pada anak-anak
karena dapat merusak mulut dan faring.
Teknik kedua dilakukan dengan cara bantuan sudip lidah / tongue spatel untuk
menekan lidah dan meluncurkan OPA ditas tongue spatel sampai sayap penahan
berhenti diatas bibir.
Yang perlu diperhatikan saat pemasangan OPA adalah sebagai berikut:
1) Selalu menjaga imobilisasi servikal pada pasien yang dicurigai mengalami fraktur
servikal
2) Pilih ukuran OPA yang cocok, dengan cara mengukur sesuai dengan jarak sudut
mulut ke auditivus eksterna pasien
3) Buka mulut pasien dengan manuver chin lift atau teknik cross finger
4) Sisipkan tongue spatel di atas lidah pasien, cukup jauh untuk menekan lidah
5) Masukkan OPA ke posterior dengan lembut meluncur diatas tongue spatel sampai
sayap penahan berhenti pada bibir pasien
6) OPA tidak boleh mendorong lidah sehingga menyumbat airway
7) Tarik tongue spatel

d. Laryngeal Mask Airway (LMA)


Laryngeal mask airway (LMA) sangat bermanfaat pada pertolongan pada pasien
dengan jalan nafas yang sulit, terutama bila intubasi endothtrakheal atau bag mask
(sungkup muka) gagal. Akan tetapi LMA bukan alat bantu jalan nafas definitif. Bila
seorang pasien terpasang LMA, maka setibanya di rumah sakit maka dokter harus
menggantinya dengan alat bantu jalan nafas definitif.

Gambar 7 Pemasangan Laringeal Mask Airway

3. Advance Airway
Advance management airway sering diartikan sebagai tindakan pemasangan airway
definitif yaitu dengan cara pemasangan pipa kedalamn trakhea. Indikasi pemasangan
airway definitif adalah dengan klinis sebagai berikut:
a. Apnea
b. Ketidakmampuan mempertahankan jalan nafas yang bebas dengan cara lain.
c. Kebutuhan untuk melindungi airway bagian bawah dari aspirasi atau vomitus.
d. Ancaman segera atau bahaya potensial sumbatan airway, seperti akibat lanjut dari
cedera inhalasi, patah tulang wajah, hematoma retri faringeal, atau kejang-kejang
berkepanjangan.
e. Adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan nafas (GCS 8)
f. Ketidakmampuan mempertahankan osigenasi yang adekuat dengan memberikan
oksigen melalui bag valve mask (BVM). Ada tiga jenis alat airway definitif, yaitu pipa
oro trakheal, pipa naso trakheal, dan airway surgical. Indikasi untuk pemasangan alat
airway definitif dapat dilihat pada tabel.
Berikut adalah beberapa intervensi pemasangan advance airway:
a. Endotracheal tube (ETT)
Pemasangan Intubasi endoktrakheal harus memperhatikan adanya kecurigaan
fraktur servikal. Sebaiknya dilaklukan oleh dua orang untuk melakukan imobilisasi
untuk segaris pada servikal. Pasien yang mempunyai skor GCS 8 atau lebih rendah
harus harus segera dilakukan intubasi, karena pasien tersebut tidak bisa menjaga
patensi jalan nafasnya dan memerlukan oksigenasi yang adekuat.

Gambar 9 Pemasangan endotracheal tube


Intubasi endotrakheal dilakukan dengan memasukkan pipa kedalam trakhea
melalui mulut atau melaalui hidung. Pemasangan pipa endotrakheal dilakukan
dengan cara seperti dibawah ini:
1) Pastikan bahwa ventilasi dan oksigenasi yang adekuat tetap berjalan sebelum
intubasi
2) Siapkan alat suction didekat tempat pemasangan intubasi sebagai
kesiapsiagaan apabila pasien muntah
3) Kembangkan balon ETT untuk memastikan balon tidak bocor, kemudian
kempeskan kembali
4) Siapkan laringoskop dan periksa dan periksa terangnya lampu laringoskop
5) Bila perlu minta satu asisten untuk mempertahankan posisi kepala dan leher
pasien agar tidak hiperekstenssi atau hiperfleksi pada saat pemasangan ETT
6) Pegang laringoskop dengan tangan kiri
7) Masukkan laringoskop dibagian kanan mulut pasien, dan menggeser lidah
kesebelah kiri
8) Dorong laringoskop kedepan sampai terlihat epiglotis dan pita suara. Jangan
menadikan gigi dan lidah sebagai tumpuan laringoskop.
9) Secara hati-hati masukan ETT kedalam trakhea dengan melewati epiglotis.
10) Kembangkan balon secukupnya, jangan mengembangkan balon berlebihan
karena akan menyebabkan kematian jaringan disekitarnya.
11) Periksa ketepatan penempatan ETT dengan cara memberikan ventilasi
dengan cara memberikan ventilasi dengan menggunakan bag valve mask
(BVM)
12) Perhatikan pengembangan dada pasien sambil melakukan ventilasi
13) Auskultasi daerah epigastrium untuk memastikan ETT tidak masuk kedalam
lambung, kemudian auskultasi paru kiri dan kanan untuk memastikan ETT
berada pada kedalaman yang sesuai
14) Amankan / fiksasi ETT dengan plester. Apabila pasien dipindahkan, letak ETT
harus dinilai ulang
Apabila intubasi tidak bisa dilakukan dalam beberapa detik atau selama waktu
yang diperlukan untuk menahan nafas sebelum ekhalasi, hentikan percobaan
intubasinya lalu berikan ventila pada pasien dengan BVM, dan coba lagi.

b. Needle Cricothyroidotomi / Jet Insulflation


Apabila pemasangan intubasi gagal atau tidak bisa dilakukan (misalnya pada
fraktur wajah) maka tindakan alternatif yang dapat dilakukan adalah tindakan
pembedahan. Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan adalah dengan
cricotiroidotomi.
Tindakan cricotiroidotomi bagi perawat hanya diperkenankan dengan teknik
needle cricotiroidotomi yaitu penusukan jarum besar (IV catheter no. 14) ke
membrana krikotiroidea untuk membuat jalan nafas dan melakukan tindakan jet
insufflation. Tindakan ini merupakan tindakan sementara (maksimal 45 menit)
sebelum pemasangan pemasangan tube cricotidotomi oleh dokter.
Jet insufflation atau oksigen tekanana tinggi dapat digunakan untuk ventilasi
pasien. Sistem ini terdiri dari oksigen tekanan tinggi dihubungkan dengan
regulator untuk mengontrol tekanan, dan katup on-off untuk mengontrol waktu
inspirasi (Amelia, Trisyani dan Theresia; 2018). Tindakan jet insufflation yang
terlalu lama mengakibatkan penumpukan CO 2 dalam tubuh pasien karena proses
ekshalasi yang tidak maksimal. Kaji naik turunnya dinding dada dan kaji waktu
inspirasi dan ekspirasi yang sesuai untuk mencegah akumulasi karbon dioksida
saat melakukan prosedur ini.

Gambar 10 Needle Cricothyroidotomi


Tindakan needle cricotiroidotomi dan jet insufflation dilakukan dengan cara
sebagai berikut:
1) Tetap memperhatikan imobilisasi servikal apabila ada kecurigaan.
2) Rakit dan siapkan selang oksigen dengan cara membuat sebuah lubang pada
salah satu ujungnya. Hubungkan ujung satunya pada sumber oksigen, yang
mampu mengeluarkan oksigen secara lancar 10 – 15 L/menit.
3) Baringkan pasien.
4) Pasang IV catheter no. 12 atau no. 14 dengan spuit 10 cc.
5) Siapkan kasa steril dan cairan antiseptik
6) Palpasi membrana krikotiroidea, pegang trakhea dengan ibu jari dan telunjuk
salah satu tangan untuk mencegah pergerakan trakhea
7) Tusuk kulit pada garis tengah (mid line) dengan jarum yang sudah terpasang
pada spuit, langsung di atas membrana krikotiroidea.
8) Arahkan jarum dengan sudut 45 derajat ke arah atas, sambil menghisap spuit.
9) Dengan hati-hati tusukan jarum melewati setengah bagian bawah
membrana, sambil melakukan aspirasi waktu mendorong.
10) Aspirasi udara menunjukkan masuknya jarum ke dalam lumen trakhea
11) Lepas spuit dan tarik mandrin sambil dengan lembut mendorong kateter.
12) Sambungkan kateter bagian luar dengan selang oksigen yang telah disiapkan,
lalu difiksasi dengan plester.
13) Ventilasi berkala dapat dicapai dengan menutup lubang yang terbuka dengan
ibu jari selama 1 detik untuk inhalasi dan membukanya selama 4 detik
ekhalasi, tindakan ini efektif selama 30 – 45 menit. Selanjutnya dilakukan
trakeostomi oleh dokter.
14) Perhatikan pergerakan dada dan auskultasi untuk mengetahui ventilasi yang
cukup.

V. PENATALAKSANAAN PERNAFASAN
A. Terapi Oksigen Non Invasif
Pemberian Oksigen bisa dilakukan dengan alat non invasif ataupun dengan ventilasi
mekanik. Keuntungan pemberian oksigen noninvasive positive pressure ventilation
adalah:
1. Pasien masi bisa melakukan aktivitas berbicara, menelan dan mekanisme
pertahanan jalan nafas fisiologis
2. Mengurangi resiko cedera dan infeksi pemakaian ventilasi mekanik
Alat-alat yang digunakan untuk pemberian oksigen noninvasive positive pressure
ventilation (NPPV) (Amelia, Trisyani, Theresia; 2018):
a. Nasal kanul
Pemberian oksigen low flow dan low consentration.
Oksigen dapat diberikan 2-4 l/mnt. Dapat meningkatan
konsentrasi oksigen perliter sebanyak 4% Oksigen.
Lakukan pembersihan pada nasal dan area cuping hidung
untuk mengurangi tersumbatnya nasal dan iritasi cuping.
b. Face mask / simple mask
Oksigen dapat diberikan 5-8 l/mnt. Face mask dapat
memberikan peningkatan konsentrasi oksigen sebesar
40%-60% oksigen.
c. Rebreathing mask
Oksigen dapat diberikan 8-12 l/mnt. Konsentrasi yang
diberikan 50%-80%. Pemakain rebreathing mask harus
menggunakan reservoir oksigen.
d. Non rebreathing mask
Konsentrasi oksigen yang dihasilkan 85%-100%. Alat ini
hampir sama dengan rebreathing mask tapi yang
membedakannya adalah alat ini dilengkapi dengan klep
agar udara inspirasi dan ekspirasi tidak tercampur. Selain
itu alat ini dilengkapi dengan reserpoir (kantung udara)
yang harus diisi oksigen untuk inspirasi. Apabila
menginginkan pemberian dengan konsentrasi tinggi, maka
pemakaian alat ini merupakan pilihan yang paling baik.

B. Pemberian ventilasi
1. Mouth to mask ventilation
Masker yang digunakan biasanya pocket mask dengan
katup searah untuk menghindari terhirupnya udara
ekspirasi pasien. Hal yang harus diperhatikan adalah
mencegah terjadinya kebocoran agar pernapasan yang
diberikan efektif. Tindakan ini juga dapat dilakukan sambil
melakukan fiksasi kepala pada pasien trauma.
2. Bag Valve Mask (BVM)
Alat BVM terdiri dari kantong udara dan non rebreathing
valve, yang dapat disambungkan dengan masker, ETT
atau alat airway definitif lainnya. Konsentrasi bisa sampai
dengan 100% bila reservoir disambungkan dengan
oksigen.

3. Terapi Oksigen Invasif dengan alat bantu nafas mekanik


Perawat gawat darurat sering menggunakan ventilasi mekanik pada klien gagal nafas
(triage merah). Merupakan pemberian oksigen high flow high consentration. Tujuan
pemberian ventilasi mekanik:
a. Tekanan positif yang diberikan pada ventilasi mekanik dapat meningkatkan
pengembangan paru pasien.
b. Mempertahankan pertukaran gas alveolar
c. Menurunkan kerja pernafasan

Komplikasi adalah distensi lambung, barotrauma, ventilator-associated pneumonia


dan gangguan jantung. Perawatan pasien dengan ventilasi mekanik dilakukan
dengan:
a. Untuk mencegah aspirasi posisikan kepala 30 derajat, kecuali ada kontra indikasi
b. Kaji pasien terkait keadekuatan ventilasi dan kemungkinan komplikasi
c. Kolaborasi untuk obat-obatan penenang dan pelemas otot
d. Kolaborasi untuk dipindahkan keruangan yang lebih sesuai (ICU)

HIGHLIGHT

Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
VI. DAFTAR PUSTAKA

Amelia, Trisyani dan Theresia (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana (ed.
Indonesia 1). Elsevier. Singapore.
Arif M., (2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan.
Salemba Medika. Jakarta
American Heart Association. 2015. Advanced Cardiovascular Life Support Provider Manual
Professional. ISBN: 978-1-61669-010-6 American Heart Association. USA.
Baird, M. S. 2016. Manual of Critical Care Nursing. Nursing Interventions and Collaborative
Management. 7th Edition. Missiori. Elsivier.
Cambell, J.E., & Alson, R.L. 2012. Internasional Trauma Life Support for Emergency Care
Providers. 7th Edition. New Jersey. Pearson Education.
Life Support Training Center. 2013. Basic Trauma Life Support. Malang. FKUB.
Stewart, Ronald, et al (2018). ATLS. Advanced Trauma Life Support. Student Course
Manual. The Committee on Trauma. Tenth Edition. ISBN 78-0-9968262-3-5. American
College of Surgeons. Chicago.
MODUL 6
PENATALAKSANAAN PASIEN
DENGAN CEDERA KEPALA DAN MEDULA SPINAL

I. Pendahuluan
Cedera kepala dan Spinal merupakan masalah kesehatan serius di dunia. Menurut The
Global Burden of Disease tahun 2010 bahwa 89% kematian akibat trauma atau hampir
enam juta kematian atau sekitar 10% kematian di seluruh dunia (Rubiano et al, 2015).
Tahun 2015, the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) memperkirakan bahwa
Cedera kepala menyumbang sekitar 2,5 juta kunjungan ke Instalasi gawat darurat (IGD).
Sekitar 87% nya dirawat, 11% lainnya dipulangkan setelah pengobatan, dan sekitar 2%
meninggal dunia. Di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah, banyak
pengguna kendaraan roda dua, terutama pengguna sepeda motor, dan lebih dari 50%
terluka atau meninggal akibat KLL salah satu penyebebnya adalah cedera kepala.
Prevalensi cedera kepala pada laki-laki lebih besar daripada perempuan.
Ducker dan Perrot melaporkan 40 % cedera medulla spinalis disebabkan karena
kecelakaan lalulintas, 20 % karena jatuh, 40 % karena luka tembak, trauma olahraga, dan
kecelakaan kerja. Lokasi fraktur atau fraktur dislokasi cervical paling sering pada vertebra
C2 diikuti dengan C5 dan C6. Untuk Insidensi trauma medulla spinalis pada laki-laki lima
kali lebih besar daripada perempuan. Angka mortalitas diperkirakan 48 % dalam 24 jam
pertama. Sekitar 80% meninggal di tempat kejadian oleh karena vertebra servikalis
memiliki risiko trauma paling besar, dengan level tersering C5, diikuti C4, C6, kemudian
T12, L1, dan T10. Berdasarkan kecacatan yang terjadi, 52% kasus menyebabkan paraplegia
dan 47% mengalami tetraplegia (Derwenskus, & Zaidat, 2004).

II. ANATOMI FISIOLOGI


1. Pengertian
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau tidak
langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis (Sjahrir, 2012)
Didefinisikan adanya benturan ke kepala atau penetrasi cedera kepala yang
mengganggu fungsi otak. Cedera kepala terjadi ketika kepala mengenai benda yang
keras dan secara tiba-tiba atau ketika benda menembus tulang dan masuk jaringan
otak. Gejala cedera kepala bisa ringan, sedang dan berat tergantung pada luasnya
kerusakan otak. Gejala ringan dapat mengakibatkan perubahan tingkat kesadaran /
status mental secara singkat, sementara untuk gejala berat dapat mengakibatkan
penurunan kesadaran, koma hingga kematian (American Association of Neurological
Surgeon / AANS, 2019)
2. Anatomi Fisiologi

Gambar 2.1 Anatomi kepala (Sumber; WHO, 2016)

3. Patofisiologi
Cedera dapat berasal dari berbagai bentuk kekuatan seperti akselerasi, rotasi,
kompresi, dan distensi sebagai akibat dari proses akselerasi dan deselerasi. Kekuatan-
kekuatan ini menyebabkan tekanan pada tulang tengkorak yang dapat mempengaruhi
neuron, glia, dan pembuluh darah dan selanjutnya menyebabkan kerusakan fokal,
multifokal maupun difus pada otak. Cedera otak dapat melibatkan parenkim otak dan /
atau pembuluh darah otak. Cedera pada parenkim dapat berupa kontusio, laserasi,
ataupun diffuse axonal injury (DAI), sedangkan cedera pada pembuluh darah otak dapat
berupa perdarahan epidural, subdural, subaraknoid, dan intraserebral yang dapat
dilihat pada CT-scan (Indharty, 2012).
Menurut Indharty (2012), cedera otak primer menimbulkan cedera otak sekunder. Hal
ini dapat terjadi akibat adanya reaksi radang, biokimia, pengaruh neurotransmitter,
gangguan autoregulasi, neuroapoptosis, dan inokulasi bakteri. Faktor intrakranial (lokal)
yang mempengaruhi cedera otak sekunder adalah adanya hematoma intrakranial,
iskemik otak akibat penurunan perfusi ke 11 jaringan di otak, herniasi, penurunan
tekanan arterial otak, tekanan intrakranial yang meningkat, demam, vasospasm, infeksi,
dan kejang. Sebaliknya, faktor ekstrakranial (sistemik) yang mempengaruhi cedera otak
sekunder dikenal dengan istilah “nine deadly H’s” meliputi hipoksemia, hipotensi,
hiperkapnia, hipokapnia, hipertermi, hiperglikemi dan hipoglikemi, hiponatremi,
hipoproteinemia, serta hemostasis.
Kompikasi cedera kepala adalah timbulnya peningkatan tekanan intra kranial (PTIK).
Menurut Pinto et al (2019) PTIK adalah kondisi klinis yang diasosiasikan dengan
meningkatnya tekanan di dalam Cranium (nilai normal <20 mmHg). Cranium terdiri dari
3 komponen utama -yang strukturnya rigid- yaitu Otak, Cairan Serebro spinal (CSF) dan
darah. Bila ada peningkatan volume pada salah satunya maka akan meningkatkan
tekanan di dalam cranium. Doktrin the Monroe-Kellie menyatakan bahwa isi Cranium
itu volumenya tetap. Artinya volume darah, jaringan otak dan cairan serebrospinal itu
tetap. Dampak klinis dari perubahan volume komponen diatas akan menurunkan aliran
darah di serebelum atau mengakibatkan herniasi otak. Efek yang berbahaya dari
hipertensi Intrakranial (TIK) akibat dari cedera kepala adalah Iskhemia serebral. Ini
terjadi karena penurunan perfusi jaringan otak karena peningkatan tekanan
intrakranial. Tekanan perfusi serebral (CPP normalnya 60 - 70 mmHg). Kecurigaan klinis
dari peningkatan i intrakranial (TIK) harus dilakukan jika klien mengalami tanda dan
gelaja: sakit kepala, muntah, perubahan status mental dari kantuk hingga koma. Trias
Cushing adalah sindrom klinis yang terdiri dari Hipertensi, bradikardia, pernafasan tak
teratur, dan tanda yang mengarah pada herniasi otak

4. Tanda dan Gejala Cedera Kepala.


Penyebab umum dari cedera kepala umumnya karena terjatuh atau kejatuhan,
tabrakan kendaraan bermotor, kekerasan (pukulan) termasuk luka tembak. Cedera
kepala dapat diklasifikasi sebagai cedera yang menembus dan tidak menembus,
istilahnya focal dan diffuse. Cedera focal diantaranya memar dan hematoma sedangkan
cedera diffuse diantaranya gegar otak dan cedera axonal diffuse otak.
Cedera primer yang terjadi dapat menimbulkan cedera sekunder akibat proses
kerusakan lanjutan pada jaringan sekitar cedera primer. Tingkat keparahan diawal
cedera akan semakin besar karena cedera sekunder (Brainline, 2018). Sebagian besar
cedera kepala merupakan perpaduan cedera primer dan cedera sekunder.
a. Cedera kepala primer yaitu cedera yang terjadi akibat langsung dari trauma:
1) Perdarahan Intrakranial adalah pecahnya pembuluh darah otak kemudian darah
tersebut mengisi jaringan otak atau ruang di otak.
2) Fraktur tulang kepala
3) Memar (kontusio) jaringan otak
4) Diffuse Axional Injury adalah Cedera akibat adanya rotasi kepala yang keras
b. Cedera kepala sekunder yaitu cedera yang disebabkan karena komplikasi:
1) Oedema serebral / Otak, akibat dari peningkatan tekanan intrakranial
2) Hipoksia / hipotensi otak
3) Hidrosepalus
4) Kelainan metabolik
III. Klasifikasi Cedera Kepala
Klasifikasi cedera kepala berdasarkan mekanismenya, adalah sebagai berikut:
a. Cedera kepala tumpul, biasanya disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh ataupun terkena pukulan benda tumpul.
b. Cedera kepala tembus, biasanya disebabkan oleh luka tusukan, atau luka tembak.
(American College Of Surgeon Commite on Trauma, 2014)

Pada kasus cedera kepala dapat timbul penurunan aliran darah dan hipoksia otak. Keadaan
hipoksia setelah cedera kepala, menimbulkan metabolisme anaerob, sehingga terjadi
penimbunan asam laktat dan menyebabkan terjadinya asidosis intraseluler dan
ekstraseluler. Kondisi asidosis menyebabkan terjadinya kerusakan neuron, jaringan glia
dan jaringan vaskuler. Kondisi hipoksia otak juga akan merangsang terjadinya edema
cerebri yang justru akan menyebabkan kondisi hipoksia semakin memburuk. Efek hipoksia
dan udema pada jaringan sekitar lokus primer akan mengakibatkan kerusakan sekitarnya
dan menimbulkan kerusakan otak sekunder. (Sharf & El-Gebali, 2013). Karenanya tujuan
utama penanganan pasien dengan cedera kepala adalah menangani kerusakan primer dan
mencegah terjadinya cedera kepala sekunder. Cara paling penting untuk membatasi
kerusakan sekunder otak adalah dengan memastikan oksigenasi yang adekuat dan
menjaga tekanan darah pada level normal sehingga perfusi ke otak cukup/ (Stewart,
Ronald, et al, 2018)
Berdasarkan Beratnya Cedera
Tingkat keparahan cedera kepala dari cedera kepala ringan hingga cedera kepala berat, ciri
cirinya dapat diperkirakan melalui Glasgow Coma Scale (GCS), yang berguna untuk
menentukan hasil dan pengobatan Cedera kepala. Perawat sangat penting menguasai
pemerikasan GCS karena dengan mengetahui tingkat cedera, maka tindakan yang
diberikan untuk klien dapat sesuai dengan berat ringannya kondisi klien.
Nilai GCS berada pada rentang 15-3 (Morton & Fontaine, 2013). GCS nilai 15
mengindikasikan bahwa pasien sadar penuh dan terorientasi dan GCS nilai 3
mengindikasikan pasien tidak responsif. Ada 3 kriteria dalam penilaian GCS yaitu: respon
membuka mata; respon suara; dan respon gerakan motorik.
Best eye-opening response Skor
Spontan 4
(rangsang) dengan suara / berbicara 3
(rangsang) dengan nyeri 2
Tidak membuka mata 1
Best verbal response
Sadar penuh / terorientasi 5
Bingung 4
Bicara tidak sesuai 3
Suara tidak jelas 2
Tidak ada respon suara 1
Best motor response
Patuh terhadap perintah 6
Melokalisasi rangsangan 5
Menarik dari rangsangan 4
Flexi abnormal (dekortikasi) 3
Ekstensi abnormal (deselebrasi) 2
Tidak ada respon motorik 1

Tingkat keparahan cedera kepala umumnya dikelompokkan menjadi 3 yakni Cedera kepala
ringan, sedang dan Berat. Dengan nilai GCS adalah (Lump, 2014);
 GCS 13 – 15 = Cedera kepala ringan,
 GCS 9 – 12 = Cedera kepala sedang
 GCS < 8 = Cedera kepala berat

GCS dapat sulit ditentukan bila pasien mendapatkan obat sedative atau terpasang
Endotrakeal tube/terintubasi ETT. Maka tingkat keparahan Cedera kepala juga diukur
dengan derajat/durasi kehilangan kesadaran, waktu terjadinya kerusakan neurologis.
Kriteria yang digunakan untuk mengklasifikasi cedera kepala yakni (Brasure et al, 2012) :
Kriteria Tingkat keparahan
Ringan Sedang Berat
Gambaran CT scan Normal Normal atau Abnormal
abnormal
Kehilangan kesadaran < 30 menit 30 menit – 24 jam > 24 jam
Amnesia setelah trauma 0 – 1 hari > 1 hingga < 7 hari 7 > hari
Nilai GCS (skor terbaik saat 24 13 – 15 9 – 12 3–8
jam pertama)
Abbraviated Injury Scale (AIS): 1 – 2 3 4–6
kepala

IV. Pemeriksaan Fisik.


Pengkajian Umum dan tindakan awal
a. Airway dan Kontrol Servikal
1) Kaji adanya sumbatan jalan nafas
2) Pertahankan kepatenan jalan nafas
3) Pertahankan cervical terkontrol
b. Breathing
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi: saturasi oksigen,
3) Berikan terapi oksigen
c. Circulation
1) Kaji keadaan perfusi jaringan perifer (akral, nadi capillary refill, sianosis pada kuku,
bibir)
2) Monitor tingkat kesadaran, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap cahaya
3) Monitoring tanda-tanda vital ; Tekanan darah, Nadi dan pernafasan
4) Siapkan/Berikan jalur IV emergency
d. Disabilitas
1) Kaji kondisi reflek dan stabilitas
e. Eksposure
1) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
2) Kaji akan adanya trauma pada daerah lainnya; bengkak, deformitas, nyeri
Gambar 4. Pengkajian Fraktur Basic Cranii
Pemeriksaan Sekunder
Pemerikasaan diagnostic dilakukan setelah kondisi klien stabil.
1. Foto polos cervikal
2. CT Scan kepala

V. Penatalaksanaan
Menurut Damkliang et al (2015) penatalaksanaan pasien dewasa dengan cedera kepala
adalah sebagai berikut:
Airway dan Buat Jalan nafas pasien aman, bersamaan dengan proteksi /
proteksi Servikal control servikal.
 lakukan manuver jaw-thrust untuk membuka dan
membersihkan jalan nafas
 gunakan BMV dengan oksigen > 10 Lpm sebelum intubasi
 lakukan manual stabilisasi selama memberikan bantuan dalam
intubasi ETT
 gunakan Collar-neck servikal yang ukurannya sesuai dan tepat
penggunaannya
Oksigenasi dan Pertahankan Oksigenasi dan ventilasi yang adekuat
ventilasi  Monitor saturasi oksigen, pertahankan SpO2 >90% dan
catat/record setiap 15 menit
 Monitor ventilasi menggunakan capnography, pertahankan
ETCO2 35 - 40 mmHg dan catat setiap 15 menit
 Monitor frekuensi pernafasan dan catat setiap 15 menit
Sirkulasi Pertahankan sirkulasi dan keseimbangan cairan
 (kolaborasi) berikan cairan Normal saline atau cairan yang
diresepkan
 Pertahankan Tekanan darah systolik >90 mmHg dan catat
setiap 15 menit
 Monitor nadi dan catat setiap 15 menit
Disability dan Monitor secara teratur nilai GCS dan ukuran pupil serta
manajemen reaktivitasnya
Tekanan intra  Monitor nilai GCS, Ukuran Pupil-reaksinya, catat setiap 15
kranial menit
 informasikan kepada dokter jika ada perubahan sebagai
berikut :
- Penurunan nilai GCS
- Dilatasi / Pupil asimetris
- Respon pupil lamban / tidak reaktif
Pertahankan Aliran balik vena serebral
 posisikan kepala dan leher sejajar
 tinggikan kepala 30 derajat (jika tidak ada kontraindikasi)
 pastikan menggunakan collar neck yang sesuai
manajemen nyeri, agitasi dan irritabilitas (mudah marah)
 Berikan obat sedative, dan analgesia yang diresepkan
 Pasang kateter urin
 Membelat fraktur ekstermitas (bila ada)
Lakukan pemeriksaan CT Scan
 Periksa CT Scan sesegera mungkin setelah ABCs stabil
 Transfer pasien aman, bila tekanan darah systolik >90mmHg,
SO2 >90%, ETCO2 35 - 40 mmHg

Penatalaksanaan Cedera Kepala (Amelia, Trisyani, Theresia; 2018):


a. Airway
Pertahankan jalan nafas dan perhatikan adanya apnoe. Untuk cedera kepala berat
lakukan intubasi endotracheal.
b. Breathing
Berikan oksigenasi adekuat sehingga saturasi O2 95%- 100% dan pertahankan PaO2 >
100 mmHg. Lakukan pengambilan Analisa gas Darah (AGD) untuk memonitor adanya
Hiperkapnia atau asidosis
c. Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya perburukan pada
CKS. Jaga kondisi normal tekanan darah (normovolemi). Lakukan pemberian cairan
untuk mengganti volume yang hilang dilanjutkan dengan mencari penyebab hipotensi.
Pasang kateter urine untuk monitor cairan tubuh pasien.
d. Disability (pemeriksaan neurologis)
Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya kebenarannya.
Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun,
ternyata menjadi normal kembali segera tekanan darahnya normal. Pemeriksaan
neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil. Periksa secara berkala
untuk mengetahui perkembangan kondisi klien. Dilatasi pupil unilateral merupakan
salah satu tanda pertama akan adanya herniasi.
e. Pengobatan
Pemberian obat-obatan, seperti antibiotik untuk cedera kepala terbuka guna mencegah
infeksi, pemberian diuretik (misalnya mannitol) dan obat anti inflamasi untuk
menurunkan TIK dan analgetik untuk mengurangi rasa nyeri. Observasi tanda-tanda
vital dan tingkat kesadaran secara berkala
f. Penatalaksanaan Peningkatan Tekanan Intrakranial
Jika terjadi tanda peningkatan tekanan intracranial, maka lapor dokter dan lakukan
tindakan mandiri dan kolaborasi.
1. Posisi klien 30 derajat kecuali ada kontra indikasi pada cedera spinal.
2. Pertahankan posisi kepala netral
3. Pemberian cairan untuk retriksi cairan dan pemberian diuretic Manitol
4. Berikan infus Manitol 0.25-1 g/kg dalam waktu 15-30 menit
5. Pertahankan pemasangan IV kateter yang baik untuk pemberian cairan hipertonik
6. Monitor pemasukan dan pengeluaran cairan
g. Penanganan umum
1. Pertahankan suhu tubuh pasien (normothermi). Jika terjadi kerusakan pengaturan
suhu tubuh klien, diperlukan kompres dingin
2. Cegah batuk, mengedan dan kejang. Lakukan kolaborasi pemberian obat anti
kejang, anti batuk
3. Jika diperlukan operasi, maka lakukan persiapan operasi
h. Prinsip Tranpotasi-Evakuasi
Prinsip penatalaksanaan klien cedera kepala dan tulang belakang adalah menjaga
kondisi dan posisi penderita/ pasien agar stabil dan segera dilakukan evakuasi ke rumah
sakit yang memiliki perlengkapan yang sesuai dengan kondisi klien. Prinsip yang harus
diperhatikan adalah;
1. Prinsip Stabiliasi :
1) Menjaga korban supaya tidak banyak bergerak sehubungan dengan keadaan yang
dialami
2) Menjaga korban agar pernafasannya tetap stabil
3) Menjaga agar posisi patah tulang yang telah dipasang bidai tidak berubah
4) Menjaga agar perdarahan tidak bertambah.
5) Menjaga agar tingkat kesadaran korban tidak menurun. Dengan cara melakukan
penilaian GCS berkala dan kolaboratif tatalaksana manajemen cedera kepala
lainnya
6) Menjaga agar perfusi cerebral tetap baik, dengan mempertahankan tekanan intra
kranial pada batas normal.
2. Prinsip dasar evakuasi
1) Lokasi kejadian: Tempat kejadian tidak memungkinkan untuk melakukan tindakan
lebih lanjut sehingga tindakan evakuasi diperlukan agar korban dapat
diselamatkan dan tidak mengalami cidera yang lebih jauh lagi.
2) Kondisi Korban selama evakuasi harus selalu dievaluasi. Kondisi yang perlu untuk
diperhatikan antara lain :
 Kontrol ABCDs  pastikan kondisi pasien stabil
 Jika terdapat trauma tulang belakang ataupun cedera leher, maka lakukan
proteksi pada tulang servikal dan pastikan kepala serta leher alignment (sejajar
lurus), gunakan collar neck yang sesuai.
 Jika terdapat patah tulang pada daerah yang lain maka hendaknya dilakukan
immobilisasi pada daerah tadi
 Selalu lakukan log roll bila melakukan pemindahan dan evakuasi pasien.

Penatalaksanaan pasien dengan Cedera Tulang Belakang

A. Pengertian dan etiologi


Cedera tulang belakang adalah kerusakan pada tulang belakang akibat dari trauma atau
akibat penyakit degenaratif (WHO, 2013). Cedera dapat terjadi pada beberapa ruas tulang
belakang, cedera dapat berupa cedera komplit (lengkap) dengan kehilangan sensasi dan
fungsi otot atau cedera tidak lengkap, artinya sinyal masih dapat melalui syaraf di area
cedera tulang belakang. Menurut pedoman Stewart, Ronald, et al (2018), bahwa
kebanyakan kasus cedera ini akibat trauma fisik seperti kecelakaan mobil, tembakan,
terjatuh, atau cedera karena olahraga. Cedera ini juga akibat nontraumatik seperti infeksi,
aliran darah yang tidak cukup, dan cancer / tumor.

B. Penyebab
Penyebab utama cedera medulla spinalis adalah trauma oleh karena kecelakaan motor,
jatuh, trauma olahraga, luka tembus sekunder seperti luka tusuk atau luka tembak.
Kecelakaan merupakan penyebab kematian ke empat, setelah penyakit jantung, kanker
dan stroke. Tercatat terjadi peningkatan ± 50 kasus per 100.000 populasi tiap tahun,
dimana 3% penyebab kematian ini karena trauma langsung pada medula spinalis, dan 2%
karena trauma ganda.
Cedera medulla spinalis akut merupakan penyebab yang paling sering dari kecacatan dan
kelemahan setelah trauma, oleh karena alasan ini maka evaluasi dan pengobatan pada
cedera tulang belakang, medulla spinalis dan akar saraf memerlukan pendekatan yang
terintegritas. Diagnosa dini, preservasi fungsi medulla spinalis dan pemeliharaan aligment
serta stabilitas merupakan kunci keberhasilan penatalaksanaannya.

C. Klasifikasi
Menurut Kretzer MR (2016), Cedera tulang belakang dapat dikelompokkan sebagai cedera
lengkap atau tidak lengkap. The American Spinal Injury Association (ASIA) memklasifikasi
cedera tulang belakang menjadi 6 tingkat (Grade) dimana ASIA A itu cedera tulang
belakang lengkap, ASIA E itu normal dan ASIA B, C, D itu bervariasi derajat cederanya.
Berikut penjelasan ASIA dari cedera tulang belakang:
Tingkat Deskripsi
A Cedera Lengkap. Tidak ada fungsi motorik dan sensorik pada segmen sacral S4 / S5.
B Sensorik tidak lengkap. Fungsi Sensori ada tapi fungsi motorik tidak ada, termasuk
pada segment sacral.
C Motorik tidak lengkap. fungsi motorik ada, dan sebagian otot kekuatan dibawah
normal (kekuatan motorik skor 3)
D Motorik tidak lengkap, Fungsi motorik ada dan hanya sedikit otot yang kekuatan
motoriknya dibawah skor 3
E Normal. tidak ada defisit fungsi motorik dan sensorik

D. Manifestasi Klinis
Menurut Stewart, Ronald, et al (2018) bahwa menyatakan ketika pasien mengalami cedera
spinal. Maka hal yang perlu diperhatikan adalah potensi terjadinya gagal nafas.
Hipoventilasi dapat terjadi karena adanya paralisis otot intercostal (cedera pada servikal
bawah atau thoracic atas) atau otot diapragma (cedera pada C3 - C5)
Berikut manifestasi klinis lainnya dari cedera pada segment tulang belakang (spinal cord):
a. Antara C1 sampai C5
Respiratori paralisis dan kuadriplegi, biasanya pasien meninggal
b. Antara C5 dan C6
Paralisis kaki, tangan, pergelangan; abduksi bahu dan fleksi siku yang lemah; kehilangan
refleks brachioradialis
c. Antara C6 dan C7
Paralisis kaki, pergelangan, dan tangan, tapi pergerakan bahu dan fleksi siku masih bisa
dilakukan; kehilangan refleks bisep
d. Antara C7 dan C8
Paralisis kaki dan tangan
e. C8 sampai T1
Horner's syndrome (ptosis, miotic pupils, facial anhidrosis), paralisis kaki
f. Antara T11 dan T12
Paralisis otot-otot kaki di atas dan bawah lutut
g. T12 sampai L1
Paralisis di bawah lutut
h. Cauda equina Hiporeflex atau paresis extremitas bawah, biasanya nyeri dan usually pain
and hyperesthesia, kehilangan control bowel dan bladder
i. S3 sampai S5 atau conus medullaris pada L1
Kehilangan kontrol bowel dan bladder secara total

E. Penatalaksanaan
Konservatif dan Simtomatis
a. Airway
b. Breathing
c. Circulation
d. Immobilisasi
1) ’Cervical collar’
2) Baringkan penderita dalam posisi terlentang (supine) pada tempat/alas yang keras
3) Penatalaksanaan Operatif Dekompresi dan stabilisasi Spinal Rehabilitas
4) Stabilisasi Medis
5) Periksa vital signs
6) Pasang ’nasogastric tube’
7) Pasang kateter urin
8) Segera normalkan ’vital signs’. Pertahankan
9) Mempertahankan posisi normal vertebra (”Spinal Alignment”)

HIGHLIGHT

Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
VI. Daftar Pustaka

Amelia, Trisyani, Theresia (2018). Keperawatan Gawat Darurat dan Bencana (ed. Indonesia
1). Elsevier. Singapore.
American College of Surgeon Committee on Trauma. (2014). Advanced Trauma Life
Support for Doctors 7 Ed. 663 N. Saint Clair St, Chicago.
American Spinal Injury Association & ISCOS. (2011). Standard Neurological Classification of
Spinal Cord Injury (PDF).
Brainline. (2019). Types of Traumatic Brain Injury. Retrieved from:
https://www.brainline.org/article/types-traumatic-brain-injury
Brunner & Suddarth. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 volume 2.
Jakarta: EGC
Centers for Disease Control and Prevention. (2015). Report to Congress on Traumatic Brain
Injury in the United States: Epidemiology and Rehabilitation. National Center for Injury
Prevention and Control; Division of Unintentional Injury Prevention: Atlanta, GA.
Damkliang, J., Considine, J., Kent, B., & Street, M. (2015). Nurses’ perceptions of using an
evidence-based care bundle for initial emergency nursing management of patients with
severe traumatic brain injury: A qualitative study. International Emergency Nursing,
23(4), 299–305. doi:10.1016/j.ienj.2015.04.004
Lump, D. (2014). Managing patients with severe traumatic brain injury. Lippincott William
& Wilkins.
Pinto, V.L, Tadi, P., Adeyinka, A. (2019). Increased Intracranial Pressure. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK482119/
Rubiano, A. M., Carney, N., Chesnut, R., & Puyana, J. C. (2015). Global neurotrauma
research challenges and opportunities. Nature, 527(7578), S193–
S197. doi:10.1038/nature16035
Stewart, Ronald, et al (2018). Advanced Trauma Life Support. Student Course Manual. The
Committee on Trauma. Tenth Edition. P.129–144. ISBN 78-0-9968262-3-5. American
College of Surgeons. Chicago.
Werner, C., & Engelhard. (2007). Pathophysiology of traumatic brain injury. British Journal
of Anaesthesia, 99(1), 4-9. doi: 10.1093/bja/aem131.
MODUL 7
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN TRAUMA ABDOMEN

I. Pendahuluan
Trauma abdomen merupakan cidera yang terjadi pada organ didalam abdomen. Organ
yang terdapat didalam abdomen seperti lambung, usus, hati, pancreas, ginjal, limfa dll.
Truma abdomen dapat terjadi Karena trauma tumpul yaitu akibat pukulan atau benturan
benda tumpul serta trauma tajam berupa tusukan dari benda tajam. Trauma abdomen
merupakan salah satu kegawatdaruratan yang harus segera ditangani untuk mencegah
terjadinya komplikasi serius seperti syok hipovolemik, infeksi, kerusakan organ dll.
Dalam penanganan trauma abdomen penting diketahui mekanisme cedera, kekuatan
cidera, lokasi cedera dan status hemodinamik, karena dengan indikator tersebut dapat
ditentukan prioritas dan metode terbaik dalam penatalaksanaan kegawatdaruratan
trauma abdomen. Penilaian awal juga sering dapat dibiaskan oleh keracunan alkohol,
penggunaan obat – obat terlarang. Semua pasien yang mengalami trauma pada tubuh
akibat pukulan, deselerasi, ledakan dan cedera penetrasi harus diindikasikan memiliki
trauma abdomen, pembuluh darah dan panggul sampai terbukti trauma primer yang
dialaminya. (Stewart, Ronald. et al, 2018)

II. Anatomi Fisiologis


1. Pengertian
Trauma Abdomen dapat didefinisikan sebagai suatu trauma yang mengenai dinding
abdomen yang secara langsung maupun tidak langsung yang berpengaruh pada pada
organ didalamnya, baik sebagai akibat dari suatu trauma tumpul maupun oleh sebab
trauma tajam.
Trauma abdomen adalah kerusakan terhadap struktur yang terletak diantara diafragma
dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau luka tembus baik yang disengaja
maupun tidak disengaja.

2. Anatomi Abdomen
Dalam initial assesment, terutama untuk kasus trauma abdomen sangat penting
dipahami tentang anatomi abdomen agar dapat melakukan penilaian secara tepat
terhadap organ yang cidera akibat trauma abdomen.
Abdomen merupakan bagian tubuh berbentuk rongga yag terletak antara thoraks dan
pelvis, rongga ini berisi viscera dan dibungkus dinding abdomen yang terbentuk dari
otot abdomen, columna vertebralis dan tulang illium. Rongga abdomen dibagi 3 regio
yaitu peritoneum, rongga retroperitoneum dan rongga pelvis. Rongga peritoneal dibagi
2 yaitu bagian atas dan bawah. Peritoneal atas ditutupi tulang torak yang termasuk
diafragma, liver, lien, gaster dan kolon transversum yang disebut área torakoabdominal.
Peritoneal bawah berisi usus halus, sebagian kolon asenden dan desenden, kolon
sigmoid, saecum dan organ reproduksi pada wanita.
Rongga retroperitoneal terdapat pada abdomen bagian belakang yang berisi aorta
abdominalis, vena cava inferior, sebagian besar duodenum, pankreas, ginjal, uréter,
permukaan paskaeriro kolon ascenden dan desenden serta komponen retroperitoneal
dari rongga pelvis. Rongga pelvis dikelilingi tulang pelvis adalah bagian bawah dari
rongga peritoneal dan retroperitoneal yang berisi rektum, kandung kemih, pembuluh
darah iliaka dan organ reprodukdi interna wanita.

3. Patofisiologi
Patofisiologi trauma abdomen sangat ditentukan oleh mekanisme trauma yang terjadi.
Konsekuensi utama dari trauma abdomen adalah perdarahan dan sepsis, sedangkan
kematian dini setelah trauma abdomen biasanya disebabkan oleh perdarahan.
Perdarahan intraabdomen sangat sulit untuk dideteksi sebelum muncul tanda-tanda
klinis pada pasien. Trauma penetrasi dari penusukan, peluru dan fragmen
menyebabkan pendarahan dari organ padat serta arteri dan vena utama di abdomen.
Sepsis adalah penyebab paling umum yang menyebabkan kematian yang terjadi lebih
dari 48 jam setelah kejadian trauma. Cedera viskus berongga dengan kebocoran isi usus
adalah penyebab umum sepsis intraabdominal setelah trauma dan sering terjadi
dengan trauma tembus. Pada trauma abdomen dengan luka tusuk, lebih mudah untuk
memprediksi organ yang terluka karena luka biasanya terbatas pada sumber tusukan.
Trauma yang disebabkan oleh benda yang berkecepatan tinggi memiliki efek kavitasi
yang dapat meluas beberapa sentimeter dari sumber area tusukan. Kasus pada pasien
dengan trauma tusuk dari belakang harus diawasi setidaknya selama 48 jam untuk
mengecualikan tanda-tanda sepsis.

4. Mekanisme Trauma Abdomen


Mekanisme cidera sangat penting untuk diketahui karena memberikan informasi
tentang tipe cidera dan bisa memprediksi outcome dan mengidentifikasi cidera organ
apa saja yang mungkin terjadi. Keparahan trauma dipengaruhi oleh kekuatan dan área
yang terkena trauma. Adapun mekanisme cidera dibagi menjadi dua yaitu trauma
tumpul (Blunt Injury) dan trauma tajam / tembus (Penetrating Injury).
a. Trauma Tumpul Abdomen
Trauma tumpul abdomen merupakan penyebab tingginya angka kematian pada
trauma abdomen dengan 10-30%. Trauma tumpul abdomen disebabkan oleh karena
kompresi langsung pada abdomen oleh suatu obyek namun tidak menyebabkan
adanya perlukaan atau terbukanya jaringan kulit. Penyebab tersering adalah
kecelakaan kendaraan bermotor yang insidennya sekitar 75% dari cidera abdomen.
Trauma tumpul sering menyebabkan cedera pada organ yang tidak berongga seperti
limpa dan hati. Perpindahan energi selama deselerasi dan kompresi merusak organ
padat dan mesenterium usus yang mengakibatkan perdarahan intraperitoneal.
Kekuatan pergeseran yang disebabkan oleh deselerasi menyebabkan organ dan
jaringan bergerak relatif satu sama lain antara struktur bergerak dan struktur tetap
seperti proksimal intra-peritoneal dan distal retroperitoneal bagian pertama dari
duodenum dan pembuluh darah yang robek. Trauma abdomen tumpul juga dapat
menyebabkan ruptur viscera berongga intraabdominal, retroperitoneal dan pelvis.
Cedera retroperitoneal (pankreas, duodenum, ureter, kolon asendens dan
desendens) sering didiagnosis terlambat karena cedera ini dapat memakan waktu
berhari-hari untuk menjadi jelas secara klinis. Komplikasi trauma tumpul abdomen
adalah peritonitis, syok hemoragik dan kematian.

b. Trauma Tajam/Tembus Abdomen


Trauma Tajam/Tembus biasanya disebabkan oleh karena tembakan dan tusukan.
Trauma tajam menyebabkan kematian sebesar 5-15% dikarenakan tingginya energi
dan organ yang terkena. Penampilan luar dari truama tajam tidak menentukan
sejauh mana cedera internal yang terjadi, sehingga sangat penting untuk
menentukan lintasan yang dilalui untuk mempertimbangkan semua kemungkinan
cedera yang terjadi diabdomen. Kematian yang terkait dengan trauma tembus
abdominal berhubungan dengan organ intra-abdominal yang terluka dan syok
hemoragik yang sulit disembuhkan.
Saat pengkajian pasien penting didapatkan informasi tentang waktu kejadian, jenis
benda tajamnya, jarak dari penyerang (terutama penting dengan luka tembak,
karena kemungkinan cedera visceral utama menurun di luar kisaran 10 kaki atau 3
meter), jumlah luka tusuk atau tembakan berkelanjutan, jumlah perdarahan
eksternal di tempat kejadian. Informasi tambahan penting untuk diperoleh dari
pasien termasuk luas dan lokasi nyeri perut. Cidera organ perut, usus kecil, dan
kolorektal terjadi lebih sering setelah trauma abrasi tembus daripada mengikuti
trauma tumpul. Usus kecil adalah organ yang paling sering terluka dengan
menembus trauma perut.
5. Manifestasi Klinik
Terjadinya trauma abdomen dapat ditandai dengan nyeri di abdomen, distensi
abdomen, mual, muntah, hematuria, retensi urin, perdarahan dari rektum, sesak nafas
dan nyeri dada serta bisa terjadi penurunan kesadaran. Tanda hemodinamik yang
normal tanpa adanya tanda-tanda peritonitis harus diperiksa secara teliti untuk
menentukan cidera sebagai penyebab kesakitan dan kematian yang tertunda, harus
dilakukan pemeriksaan fisik berulang untuk mengidentifikasi tanda perdarahan atau
peritonitis yang dapat terjadi kapan saja.
Pemeriksaan Abdomen dapat dilakukan:
a. Inspeksi :
Pakaian pasien harus dibuka agar dapat dilakukan pemeriksaan secara lebih komplit,
pada abdomen bagian depan dan belakang, bagiab bawah dada sampai perineum.
Di perhatikan apakah ada perubahan warna, luka robek, tergores, kontusio karena
(seat belt) benda asing yang tertancap, usus yang keluar atau status kehamilan.
Penderita dilakukan log roll untuk pemeriksaan punggung secara lengkap. Dan
diakhir pemeriksaan pasien diselimuti untuk mencegah terjadinya hipotermi.
b. Palpasi :
Palpasi bertujuan untuk mengetahui adanya nyeri, apakah terdapat nyeri tekan atau
nyeri lepas, apakah pasien dalam kondisi hamil atau tidak. Nyeri lepas
mengindikasikan terjadinya peritonitis yang terjadi akibat adanya perdarahan atau
isi usus, iritasi peritoneum juga ditemukan bila terdapat defans muscular.
c. Perkusi :
Dengan perkusi dapat menunjukkan bunyi timpani akibat terjadinya dilatasi lambung
akut di kuadran atau atau terdengar redup bila terdapat perdarahan pada
intraabdomen.
d. Auskultasi :
Dari pemeriksaan auskultasi dapat diketahui apakah ada bising usus atau tidak,
hilangnya bising usus dapat mengindikasikan terdapatnya ekstravasasi abdomen
atau terdapat perdarahan intraabdomen. Namun cidera pada struktur yang
berdekatan dengan abdomen seperti tulang iga, tulang belakang dan panggul juga
dapat menyebabkan ileus tanpa adanya cidera intra abdomen, sehingga hilangnya
bising usus belum pasti menandakan adanya cidera intra abdomen.
III. Penatalaksanaan
1. Primary survey
a. Airway
1) Pertahankan kepatenan jalan nafas
2) Atur posisi : posisi kepala flat dan tidak miring ke satu sisi untuk mencegah
penekanan/bendungan pada vena jugularis
3) Cek adanya pengeluaran cairan dari hidung, telinga atau mulut
b. Breathing
1) Kaji pola nafas, frekuensi, irama nafas, kedalaman
2) Monitoring ventilasi : pemeriksaan analisa gas darah, saturasi oksigen
c. Circulation
1) Kaji perfusi jaringan perifer (akral, nadi capillary refill, sianosis pada kuku, bibir)
2) Monitor tingkat kesadaran, GCS, periksa pupil, ukuran, reflek terhadap cahaya
3) Monitoring tanda-tanda vital
4) Pemberian cairan dan elektrolit dengan pasang IV line 2 jalur cairan kristaloid
5) Monitoring intake dan output,

Setelah permasalahan Airway, Breathing dan Circulation, pemasangan NGT (Naso


Gastric Tube ) dan kateter urine yang penting ditujukan untuk menurunkan risiko
dilatasi lambung akut dan dekompresi lambung. Kateter urine dipasang bertujuan untuk
menghilangkan resiko retensi urine, mengidentifikasi perdarahan, pamantauan
haluaran urine serta dapat mendekompresi kandung kemih.
Bila terdapat benda asing yang tertancap, jangan dicabut tapi di lakukan fiksasi dengan
kassa yang tebal untuk mencegah pergerakan dan perdarahan hebat.
Bila terdapat usus yang keluar, ditutup dengan kassa steril dan dipertahankan
kelembabannya.

2. Secondary survey
Tahap selanjutnya adalah meliputi penilaian terperinci dari keseluruhan kondisi pasien
dan identifikasi potensi cedera yang mengancam jiwa. Pemeriksaan fisik yang cepat dan
sistemik sangat penting untuk dilakukan dan dilaksanakan secara head to toe.
a. Riwayat
Riwayat yang harus diobservasi pada pasien dengan trauma abdomen karena benda
tumpul diantaranya jenis dampak, kerusakan kendaraan, penggunaan alat penahan
(seat belt) dan kondisi korban. Jika pasien sadar maka pasien itu sendiri atau keluarga
pasien dapat menjadi informan tentang jenis cedera yang diderita pasien, deskripsi
luka tembus dan jumlah kehilangan darah di tempat kejadian.
b. Pemeriksaan Penunjang Laboratorium
 Hitung darah lengkap
 Fungsi hati
 Fungsi ginjal
 Serum amilase
 Analisis urin
 Profil koagulasi
 Golongan darah, skrining dan pencocokan silang
 Analisis gas darah arteri dapat memberikan informasi penting pada korban
trauma, selain fungsi oksigenasi dan ventilasi, tes ini memberikan informasi
berharga tentang pengiriman oksigen.
 Skrining obat-obatan dan alkohol: lakukan skrining obat-obatan dan alkohol pada
pasien trauma yang mengalami penurunan tingkat kesadaran.
c. Pemeriksaan radiologis
 X-Ray perut terlentang dan berdiri untuk mengetahui gas bebas dibawah
diafragma menunjukkan perforasi viscera berongga dan cairan bebas di abdomen.
 Foto polos dada: akan menunjukkan fraktur tulang rusuk, haemothorax,
pneumothorax, atau keduanya. Ini juga akan menunjukkan diafragma tinggi atau
dengan viscera perut di rongga dada dalam kasus pecahnya diafragma.
d. Ultrasound
Mendeteksi pengumpulan cairan, cedera organ padat intraperitoneal dan
retroperitoneal dengan hematoma di sekitarnya. Ini adalah pemeriksaan yang sangat
penting untuk mengetahui perkembangan pasien, khususnya dalam manajemen
konservatif.

3. FAST (Focused Assessment for Sonography in Trauma)


Hal ini dilakukan untuk menilai pasien dengan potensi cedera thoracoabdominal. Tes
survei secara berurutan untuk ada tidaknya darah di kantung perikardial dan daerah
abdomen.

4. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)


Ini adalah pemeriksaan paling sensitif dalam kasus trauma abdomen. Analisis statistik
menunjukkan sensitivitas 100% untuk peritoneal lavage, akurasi 99% dan nilai prediktif
97%. Keuntungan dari peritoneal lavage adalah keandalannya yang tinggi, cara kerjanya
sederhana, tingkat salah tafsir yang rendah karena emfisema subkutan, ascites atau
meteorisme faktor-faktor yang mempengaruhi USG.
Hasil pemeriksaan lavage peritoneal dikatakan positif jika:
 Terdapat setidaknya 10 ml darah dalam kateter
 Sel darah merah lebih dari 100,000/mm3 mengindikasikan cedera organ padat
 Sel darah putih lebih dari 500/mm3
 Amilase lebih dari 175 IU dl
 Deteksi empedu, bakteri atau serat makanan
 Eksplorasi luka lokal

IV. Penatalaksanaan Medis Lanjut Pasien.


Pasien dengan trauma abdomen dapat terindikasi untuk dilakukan laparatomi.
Stabilisasi dan Evakuasi
Stabilisasi adalah proses untuk menjaga kondisi dan posisi penderita/ pasien agar tetap
stabil selama pertolongan pertama.
a. Prinsip Stabilisasi :
1) Menjaga korban supaya tidak banyak bergerak karena keadaannya yang dialami
2) Menjaga korban agar pernafasannya tetap stabil
3) Menjaga agar posisi patah tulang yang telah dipasang bidai tidak berubah
4) Menjaga agar perdarahan tidak bertambah.
5) Menjaga agar tingkat kesadaran korban tidak jatuh pada keadaan
b. Prinsip dasar evakuasi
Dalam melakukan proses evakuasi terdapat beberapa prinsip yang harus diperhatikan
yaitu:
1) Lokasi kejadian :
Tempat kejadian tidak memungkinkan untuk melakukan tindakan lebih lanjut
sehingga tindakan evakuasi diperlukan agar korban dapat diselamatkan dan tidak
mengalami cidera lebih lanjut.
2) Kondisi korban :
Evaluasi kondisi korban yang ditemukan, harus diperhatikan antara lain:
 Kondisi korban dapat bertambah parah / dapat menyebabkan kematian
 Kontrol ABC
 Tidak terdapat trauma tulang belakang ataupun cedera leher
 Jika terdapat patah tulang pada daerah yang lain maka hendaknya dilakukan
immobilisasi pada daerah tadi
 Angkat Tubuh korban bukan tangan/kaki (alat gerak)
 Jangan menambah parah kondisi korban
HIGHLIGHT

Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala

V. DAFTAR PUSTAKA

John E. Campbell & Roy L. Alson. 2015. International Trauma Life Support for Emergency
Care Providers. Eight Edition. Pearson
National Highway Traffic Safety Administration. Fatality analysis reporting system (FARS):
2016. September 2017 [internet publication].
Stewart, Ronald, et al (2018). ATLS. Advanced Trauma Life Support. Student Course
Manual. The Committee on Trauma. Tenth Edition. ISBN 78-0-9968262-3-5. American
College of Surgeons. Chicago.
Weledji EP, Fokam P, Nzade D, Eyongeta D (2014) Emergency primary repair of grade V
bladder neck injury complicating pelvic fracture. Ann Surg Innov Res 8: 4.
MODUL 8
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN TRAUMA THORAKS

I. Pendahuluan
Trauma thoraks merupakan penyebab kematian yang signifikan banyak terjadi. Faktanya,
banyak pasien dengan trauma thoraks meninggal setelah berada dirumah sakit. Walaupun,
banyak kasus kematian tersebut yang sebenarnya dapat dicegah dengan diagnosis dan
penanganan yang cepat. kurang dari 10% cedera tumpul didada dimana hanya 10%-30%
nya perlu dilakukan tindakan operasi. kebanyakan pasien yang mengalami trauma thoraks
dapat ditangani dengan prosedur teknis sesuai kemampuan tim yang terlatih (Stewart,
Ronald, et al 2018)
Beberapa jenis trauma thoraks yang sering muncul adalah Tension pneumothorax, open
pneumothorax, massive hemothorax, fail chest dan cardiac tamponade. Menurut Roberts,
D.J, et.all (2015), Tension Pnemothorax Merupakan kondisi yang tidak umum dengan
angka kematian tinggi yang terjadi pada prehospital, IGD dan ICU. Walaupun insiden ini
cenderung sedikit sekitar 1% - 3% namun perlu diagnosa dan penanganan lebih awal.

II. Trauma Thorax


A. Anatomi dan Fisiologi
Organ toraks dilindungi oleh 12 pasang tulang rusuk yang mengelilingi dari tulang
belakang ke sternum. Dinding dada terdiri dari kulit, jaringan subkutan, otot, tulang
rusuk, dan bundel neurovaskular. Perhatikan bahwa neurovaskular bundel
membentang di sekitar batas bawah tulang rusuk. Ini adalah anatomis yang penting
jika Anda harus melakukan dekompresi jarum dada. Strukturnya Di dalam dada tapi di
atas diafragma termasuk paru-paru, trakea bawah dan bronkus batang utama, jantung
dan pembuluh darah besar, dan kerongkongan. Rongga torax dewasa bisa berisi tiga
liter darah di setiap sisinya. Paru-parunya adalah sepasang organ spons dan elastis
yang dilapisi pleura, tipis selaput licin Garis pleura viseral membatasi paru-paru secara
langsung, sedangkan pleura parietal membentuk lapisan dalam dinding dada.
Bersama-sama mereka membentuk a ruang potensial (pleural space) dimana udara
(pneumotorax), cairan, atau darah (hemothorax) bisa menumpuk.
Cedera dada bisa terjadi akibat mekanisme yang berbeda. Trauma tumpul adalah hasil
dari deselerasi cepat, kekuatan geser, dan luka bakar. Biasanya, aorta, paru-paru,
Tulang rusuk, dan kurang umumnya jantung dan kerongkongan bisa terluka dalam cara
yang bisa diprediksi dari trauma tumpul Sebaliknya, trauma tembus tidak dapat
diprediksi. Sebuah peluru mungkin mengambil jalan yang tidak menentu dan dapat
menyebabkan kerusakan di luar jalurnya, tergantung pada penembakan jarak
dan kecepatan.
Kedalaman dan arah luka pisau sulit dilakukan untuk menilai pemeriksaan eksternal
saja. Namun, jelas lintasannya yang tembus Cedera setidaknya bisa menyarankan
organ yang paling berisiko mengalami luka.

Gambar 1 Anatomi Thorax

III. Trauma pada Thoraks beserta penanganannya


A. Flail Chest
1. Definisi
Flail chest terjadi dengan fraktur dua atau lebih bersebelahan tulang rusuk di dua
atau lebih tempat, menyebabkan ketidakstabilan dinding dada dan gerakan
paradoks dari "segmen flail" saat pasien bernafas spontan. Bagian rusuk akan
mengisap saat pasien bernafas masuk dan akan mendorong keluar saat pasien
bernafas. Ventilasi tekanan positif membalikkan pergerakan segmen flail. Serpihan
segmen biasanya tidak terlihat di
posterior dada karena otot punggung
yang berat biasanya mencegahnya
pergerakan segmen flail. Pasien berisiko
mengalami perkembangan dari
hemothorax atau pneumotoraks dan akan
selalu memiliki kontusi paru. Gambar 2 Fail chest
2. Penatalaksanaan
a. Pastikan saluran napas terbuka.
b. Berikan ventilasi.
c. Berikan oksigen aliran tinggi.
d. stabilkan segmen flail dengan tekanan manual kemudian stabilkan dengan
perban besar ditempelkan di dinding
e. Segera evakuasi ke tempat rujukan yang sesuai.
f. Beritahu tim medis penerima lebih awal.
g. Pertimbangkan intubasi lebih awal. CPAP bisa digunakan jika tersedia.
h. Manajemen Nyeri, hindari depresi pernapasan.
i. Cegah kelebihan cairan, yang bisa memperburuk hipoksemia.

B. Open Pneumothorax
1. Definisi
Pneumotoraks terbuka menghasilkan akumulasi udara di ruang potensial antara
pleura viseral dan parietal sekunder akibat luka tembus yang muncul sebagai luka
dada terbuka atau mengisap (berdiameter 3 cm). Luka terbuka ini menyamakan
tekanan intrathoracic dan tekanan atmosfir yang mengakibatkan kolaps paru parsial
atau lengkap. Ukuran pneumotoraks dan gejala resultan biasanya sebanding
dengan ukuran dinding dada yang luka. Ventilasi normal melibatkan pembentukan
tekanan intrathoracic negatif dengan kontraksi diafragma untuk menarik udara
masuk saluran udara dan paru-
paru. Jika luka terbuka lebih besar
dari dua pertiga diameternya dari
trakea, udara akan mengikuti jalur
yang paling lemah melalui dinding
dada ke dalam ruang mati
intrathoracic mengakibatkan
hipoksia parah dan hipoventilasi.
Gambar 3 open pneumothorax
2. Penatalaksanaan
a. Pastikan saluran napas terbuka.
b. Berikan oksigen aliran tinggi. Bantu ventilasi seperlunya.
c. Tutup luka. Kemudian tempatkan segel dada komersial (dengan satu katup
keluar, seperti Asherman Chest Seal, Bolin Chest Seal, atau ventilasi)
d. Anda bisa membuat segel dari dressing oklusif steril yang ditempelkan di tiga sisi
untuk bertindak sebagai flutter-type valve. Jangan menempelkan keempat
sisinya karena ini bisa mengubahnya menjadi terbuka pneumotoraks menjadi
tension pneumotoraks.
e. Load dan Go.
f. Pantau jantung dan catat nada jantung untuk perbandingan nanti.
g. Pantau saturasi oksigen dengan oksimeter pulsa dan CO2 ekspirasi dengan
capnografi (jika tersedia).
h. Transportasi cepat ke rumah sakit yang sesuai.
i. Beritahu tim medis lebih awal.
C. Massive Hemothorax
1. Definisi
Manifestasi adanya darah di ruang pleura disebut dengan hemothorax. hemothorax
besar terjadi sebagai akibat dari setidaknya 1.500 cc kehilangan darah ke ruang
pleura di dalamnya rongga toraks. Setiap rongga toraks bisa menampung hingga
3.000 cc darah. Hemothorax besar lebih sering terjadi karena trauma tembus
daripada trauma tumpul, namun cedera bisa mengganggu pembuluh darah paru
atau sistemik. Seiring darah terakumulasi dalam ruang pleura, paruparu di sisi yang
terkena dikompres. Pasien mungkin mengalami hipotensi dari kehilangan darah
dan kompresi jantung atau
kebocoran pembuluh darah hebat.
Kecemasan dan kebingungan
dihasilkan oleh hipovolemia dan
hipoksemia. Tanda klinis syok
mungkin tampak jelas. Tanda lain
dari hemothorax termasuk
penurunan suara nafas dan kusam
perkusi di sisi yang terkena
Hemothorax besar dapat
diidentifikasi selama Primary ITLS
Survei.
Gambar 4 massive pneumothorax
2. Penatalaksanaan
a. Pastikan jalan napas terbuka.
b. Berikan oksigen dengan aliran tinggi.
c. Load and Go.
d. Beritahu tim medis lebih awal.
e. Upayakan tekanan darah cukup tinggi untuk mempertahankan denyut perifer
(sistolik 80-90 mmHg). Masalah pada hemothorax masif biasanya syok
hemoragik, meninggikan tekanan darah meningkatkan pendarahan ke dada.
f. Amati kemungkinan pengembangan ketegangan hemopneumotoraks yang akan
terjadi, kemungkinan memerlukan dekompresi dada

D. Tension Pneumothorax
1. Definisi
Pneumotoraks adalah akumulasi udara di ruang potensial antara pleura viseral dan
parietal, udara yang terperangkap menimbulkan tekanan pneumotoraks, udara
terus menumpuk tanpa sarana keluar, sehingga menimbulkan tekanan intrathoracic
pada sisi yang terkena, menggeser jantung dan trakea ke sisi yang berlawanan, dan
menarik vena kava inferior, sehingga occaneous vein kembali ke jantung. Tanda klinis
dari tension pneumotoraks meliputi dispnea, kecemasan, takipnea, vena leher yang
membesar, dan kemungkinan penyimpangan trakea jauh dari sisi yang terkena. Dari
hasil Auskultasi suara nafas berkurang di sisi yang terkena dan akan didampingi
hiperresonansi saat perkusi. Shock dengan hipotensi akan mengikuti. Dalam sebuah
ulasan terhadap 108 pasien lapangan yang didiagnosis dengan tension pneumotoraks
dan membutuhkan dekompresi jarum, tidak ada tercatat memiliki trakea yang
menyimpang.

2. Penatalaksanaan
a. Tetapkan jalan nafas terbuka.
b. Berikan oksigen aliran tinggi.
c. Dekompresi jika diindikasikan. Indikasi untuk melakukan keadaan darurat
dekompresi adalah adanya tension pneumotoraks dengan dibuktikan oleh
lebih dari satu tanda berikut: Gangguan pernapasan dan sianosis, Hilangnya
pulse radialis (shock akhir), Penurunan tingkat kesadaran
d. Load and Go.
e. Cepat bawa ke rumah sakit yang tepat.
f. Beritahu tim medis lebih awal.

E. Cardiac Tamponade
1. Definisi
Kantung perikardial adalah membran inelastis yang mengelilingi jantung. Jika darah
terkumpul Dengan cepat antara jantung dan perikardium akibat cedera jantung,
ventrikel Jantung akan tertekan dan membuat jantung kurang bisa isi ulang, dan output
jantung hanya sejumlah kecil darah perikardial (hanya 75-100 cc). Hal ini
menyebabkan tamponade perikardial. Diagnosis tamponade jantung secara klasik
Bergantung pada adanya hipotensi dengan tekanan nadi yang sempit, kombinasi vena
leher yang membesar, bunyi jantung teredam, dan pulsus paradoxus.
(Jika pasien kehilangan denyut perifer Selama inspirasi, ini menunjukkan adanya
tamponade jantung). Diagnosis banding utama di lapangan adalah tension
pneumothorax.

Gambar 5 jantung tamponade

2. Penatalaksanaan
a. Pastikan saluran udara terbuka.
b. Berikan oksigen aliran tinggi.
c. Load and Go.
d. Transportasi cepat ke rumah sakit yang sesuai.
e. Beritahu tim medis lebih awal.
f. Pantau jantung, terutama dengan nyeri dada atau denyut nadi yang tidak teratur.
g. Jika tersedia, lakukan EKG 12-lead (termasuk V 4R).
h. Atasi shock. Infus larutan elektrolit (en route) dapat meningkatkan pengisian
jantung dan meningkatkan curah jantung. Namun, hati hati jika ada
perdarahan intrathorakal.
i. Berikan cukup cairan untuk menjaga denyut nadi (sistolik 80-90 mmHg).
j. Hati hati dengan disritmia.
k. Perhatikan komplikasi lainnya, termasuk hemothorax dan pneumotoraks.
HIGHLIGHT

Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala

IV. DAFTAR PUSTAKA

John E. Campbell & Roy L. Alson. 2015. International Trauma Life Support for Emergency
Care Providers. Eight Edition. Pearson
Stewart, Ronald, et al (2018). Advanced Trauma Life Support. Student Course Manual. The
Committee on Trauma. Tenth Edition. ISBN 78-0-9968262-3-5. American College of
Surgeons. Chicago.
Roberts, D. J., Leigh-Smith, S., Faris, P. D., Blackmore, C., Ball, C. G., Robertson, H. L.,Stelfox,
H. T. (2015). Clinical Presentation of Patients With Tension Pneumothorax. Annals of
Surgery, 261(6), 1068–1078. doi:10.1097/sla.0000000000001073
Weledji EP, Fokam P, Nzade D, Eyongeta D (2014) Emergency primary repair of grade V
bladder neck injury complicating pelvic fracture. Ann Surg Innov Res 8: 4.
National Highway Traffic Safety Administration. Fatality analysis reporting system (FARS):
2016. September 2017 [internet publication].
Greaves I, Porter KM, Ryan JM (2001) Trauma London: Arnold, UK.
Eastham JA, Wilson TG, Ahlering TE (1993) Urological evaluation and management of renal-
proximity stab wounds. J Urol 150: 1771-1773.
Miller KS, McAninch JW (1995) Radiographic assessment of renal trauma: Our 15-year
experience. J Urol 154: 352-355.
Ho YH, Pritchett CJ (1990) Blunt abdominal trauma causing a ‘degloving injury’ to the colon.
Injury 21: 119-120.
MODUL 9
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN TRAUMA MUSKULOSKELETAL

I. Pendahuluan
Banyak pasien yang mengalami trauma tumpul juga disertai cidera pada sistem
muskuloskeletalnya. cedera pada sistem muskuloskeletal sering terjadi namun jarang yang
mengakibatkan ancaman kematian secara langsung. Tim dokter dan perawat harus cermat
dalam prioritas resusitasi pada pasien dengan cedera ini agar pasien dapat terhindar dari
kecacatan lebih lanjut, komplikasi hingga kematian (Stewart, Ronald, et al, 2018)
Cedera pada sistem musculoskeletal yang paling sering terjadi adalah fraktur. Menurut
Kobbe, et. all (2013) bahwa pasien dengan cedera fraktur pada tulang panjang cenderung
rentan terjadinya komplikasi sistemik dengan angka morbiditas dan mortalitas yang
meningkat. Beberapa penelitian menunjukan bahwa pasien dengan nilai Skor keparahan
cedera (ISS) pada fraktur femur bilateral memiliki tingkat komplikasi yang tinggi dibanding
fraktur yang lainnya.

II. Mekanisme Trauma


Mekanisme trauma dapat diklasifikasikan sebagai berikut: tumpul, kompresi, ledakan dan
tembus. Mekanisme cedera terdiri dari: cidera langsung, misal kepala dipukul
menggunakan martil. Kulit kepala bisa robek, tulang kepala bisa retak atau patah, dapat
mengakibatkan perdarahan di otak. Cedera perlambatan / deselerasi, misal pada
kecelakaan motor membentur pohon.setelah badan berhenti dipohon, maka organ dalam
akan tetap bergerak maju, jantung akan terlepas dari ikatannya (aorta) sehingga dapat
mengakibatkan ruptur aorta. Cedera percepatan / akselerasi, Misalnya pengendara mobil
ditabrak dari belakang. Tabrakan dari belakang biasanya kehilangan kesadaran sebelum
tabrakan dan sebagainya.
Anamnesis yang berhubungan dengan fase ini meliputi:
a. Tipe kejadian trauma, misalnya: tabrakan kendaraan bermotor, jatuh atau trauma /
luka tembus.
b. Perkiraan intensitas energi yang terjadi misalnya: kecepatan kendaraan, ketinggian dari
tempat jatuh, kaliber atau ukuran senjata.
c. Jenis tabrakan /benturan yang terjadi pada penderita: mobil, pohon, pisau dan lain lain.
III. Jenis Trauma
A. Trauma Tumpul
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu lintas. Pada suatu
kecelakaan lalulintas, misalnya tabrakan mobil, maka penderita yang berada didalam
mobil akan mengalami beberapa benturan (collision) berturut-turut sebagai berikut:
1. Primary Collision
Terjadi pada saat mobil baru menabrak, dan penderita masih berada pada posisi
masing masing. Tabrakan dapat terjadi dengan cara: tabrakan depan (frontal),
tabrakan samping (T.Bone), Tabrakan dari belakang, Terbalik (roll over)
2. Secondary Collision
Setelah terjadi tabrakan penderita menabrak bagian dalam mobil (atau sabuk
pengaman). Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan akan sangat
tergantung dari arah tabrakan.
3. Tertiary Collision
Setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada dalam rongga
tubuh akan melaju kearah depan dan mungkin akan mengalami perlukaan langsung
ataupun terlepas (robek) dari organ pengikat dalam rongga tubuh tersebut.
4. Subsidary Collision
Kejadian berikutnya adalah kemungkinan penumpang mobil yang mengalami
tabrakan terpental kedepan atau keluar dari mobil. Selain itu barang-barang yang
berada dalam mobil turut terpental dan menambah cedera pada penderita.

B. Trauma kompresi
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak, sedangkan
bagian dalam tetap bergerak kedepan. Organ-organ terjepit dari belakang oleh bagian
belakang dinding torak abdominal dan kolumnavetrebralis, dan didepan oleh struktur
yang terjepit. Pada organ yang berongga dapat terjadi trauma. Mekanisme trauma
yang terjadi pada pengendara sepeda motor dan sepeda meliputi:
1. Benturan frontal
Bila roda depan menabrak suatu objek dan berhenti mendadak maka kendaraan
akan berputar kedepan, dengan momentum mengarah kesumbu depan.
Momentum kedepan akan tetap, sampai pengendara dan kendaraannya dihentikan
oleh tanah atau benda lain. Pada saat gerakan kedepan ini kepala, dada atau perut
pengendara mungkin membentur stang kemudi. Bila pengendara terlempar keatas
melewati stang kemudi, maka tungkainya mungkin yang akan membentur stang
kemudi, dan dapat terjadi fraktur femur bilateral.
2. Benturan lateral
Pada benturan samping, mungkin akan terjadi fraktur terbuka atau tertutup tungkai
bawah. Kalau sepeda / motor tertabrak oleh kendaraan yang bergerak maka akan
rawan untuk menglami tipe trauma yang sama dengan pemakai mobil yang
mengalami tabrakan samping. Pada tabrakan samping pengendara juga akan
terpental karena kehilangan keseimbangan sehingga akan menimbulkan cedera
tambahan.
3. Laying the bike down
Untuk menghindari terjepit kendaraan atau objek yang akan ditabraknya
pengendara mungkin akan menjatuhkan kendaraannya untuk memperlambat laju
kendaraan dan memisahkannya dari kendaraan. Cara ini dapat menimbulkan cedera
jaringan lunak yang sangat parah.
4. Helm (helmets)
Walaupun penggunaan helm untuk melindungi kepala agak terbatas namun
penggunaannya jangan diremehkan. Helm didesain untuk mengurangi kekuatan
yang mengenai kepala dengan cara mengubah energi kinetik benturan melalui kerja
deformasi dari bantalannya dan diikuti dengan mendistribusikan kekuatan yang
menimpa tersebut seluasluasnya. Secara umum petugas gawat darurat harus
berhati-hati dalam melepas helm korban kecelakaan roda dua, terutama pada
kecurigaan adanya fraktur servical harus tetap menjaga kestabilan kepala dan tulang
belakang dengan cara teknik fiksasi yang benar.

C. Trauma ledakan (Blast Injury)


Ledakan terjadi sebagai hasil perubahan yang sangat cepat dari suatu bahan dengan
volume yang relatif kecil, baik padat, cairan atau gas, menjadi produk-produk gas.
Produk gas ini yang secara cepat berkembang dan menempati suatu volume yang jauh
lebih besar dari pada volume bahan aslinya. Bilamana tidak ada rintangan,
pengembangan gas yang cepat ini akan menghasilkan suatu gelombang tekanan (shock
wave). Trauma ledakan dapat diklasifikasikan dalam 3 mekanisme kejadian trauma
yaitu primer, sekunder dan tersier.
1. Trauma ledak primer
Merupakan hasil dari efek langsung gelombang tekanan dan paling rentan terhadap
organ –organ yang berisi udara. Membrana timpani adalah yang paling peka
terhadap efek primer ledak dan mungkin mengalami ruptur bila tekanan melampaui
2 atmosfir. Jaringan paru akan menunjukan suatu kontusio, edema dan rupture yang
dapat menghasilkan pneumothoraks. Cedera ledak primer (gelombang kejut).
2. Cedera ledak sekunder
Ruptur alveoli dan vena pulmonaris dapat menyebabkan emboli udara dan
kemudian kematian mendadak. Pendarahan intraokuler dan ablasio retina
merupakan manifestasi okuler yang biasa terjadi, demikian juga ruptur intestinal.
Trauma ledak sekunder Merupakan hasil dari objek-objek yang melayang dan
kemudian membentur orang disekitarnya.
3. Trauma ledak tersier
Terjadi bila orang disekitar ledakan terlempar dan kemudian membentur suatu
objek atau tanah. Trauma ledak sekuder dan tertier dapat mengakibatkan trauma
baik tembus maupun tumpul secara bersamaan.

D. Trauma Tembus (Penetrating Injury)


1. Senjata dengan energi rendah (Low Energy)
Contoh senjata dengan energi rendah adalahpisau dan alat pemecah es. Alat ini
menyebabkan kerusakan hanya karena ujung tajamnya. Karena energi rendah,
biasanya hanya sedikit menyebabkan cidera sekunder. Cedera pada penderita dapat
diperkirakan dengan mengikuti alur senjata pada tubuh. Pada luka tusuk, wanita
mempunyai kebiasaan menusuk kebawah, sedangkan pria menusuk keatas karena
kebiasaan mengepal.Saat menilai penderita dengan luka tusuk, jangan diabaikan
kemungkinan luka tusuk multipel. Inspeksi dapat dilakukan dilokasi, dalam
perjalanan ke rumah sakit atasi saat tiba di rumah sakit, tergantung pada keadaan
disekitar lokasi dan kondisi pasien.
2. Senjata dengan energi menengah dan tinggi (medium and high energy)
Senjata dengan energi menengah contohnya adalah pistol, sedangkan senjata
dengan energi tinggi seperti senjata militer dan senjata untuk berburu. Semakin
banyak jumlah mesiu, maka akan semakin meningkat kecepatan peluru dan energi
kinetiknya. Kerusakan jaringan tidak hanya daerah yang dilalui peluru tetapi juga
pada daerah disekitar alurnya akibat tekanan dan regangan jaringan yang dilalui
peluru.

IV. Trauma Muskuloskeletal


A. Definisi
Musculoskeletal disorder atau gangguan otot rangka merupakan kerusakan pada otot,
saraf, tendon, ligament, persendian, kartilago, dan discus invertebralis. Kerusakan
pada otot dapat berupa ketegangan otot, inflamasi, dan degenerasi. Sedangkan
kerusakan pada tulang dapat berupa memar, mikro faktur, patah, atau terpelintir.
World Health Organization (2009), melaporkan setiap tahun di seluruh dunia terjadi
lebih dari 1.2 juta orang meninggal di jalan raya dan sebanyak 20–50 juta orang
mengalami cedera tidak fatal. Prevalensi cedera pada masyarakat di Indonesia pada
tahun 2007 sebesar 7,5%, dengan urutan penyebab cedera terbanyak adalah jatuh,
kecelakaan lalu lintas (KLL) darat dan terluka benda tajam/tumpul. Terdapat
peningkatan prevalensi cedera menjadi 8.2%, dengan urutan penyebab cedera
terbanyak adalah jatuh 40.9%, kecelakaan sepeda motor (40,6%), cedera karena benda
tajam/tumpul 7,3%, transportasi darat lainnya 7,1% dan kejatuhan 2,5%. (Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2007)
B. Etiologi
Penyebab cedera muskuloskeletal dapat berasal dari beberapa keadaan, antara lain:
1. Trauma langsung
Trauma yang terjadi pada sisi atau tempat masuknya energy/ benturan
2. Trauma tidak langsung
Trauma muskulo skeletal yang terjadi pada area lain yang bukan merupakan tempat
masuknya energy penyebab cedera. Energy mengalir seperti gelombang dan
merusak atau menyebabkan kerusakan pada area lain.
3. Puntiran
Trauma ini terjadi ketika ligament otot bergerak atau digerakkan diluar kemampuan
atau posisi yang semestinya.
4. Trauma penetrasi
Cedera yang disebabkan benda yang mampu menembus permukaan kulit
(tembakan, benda tajam, pisau dll).
5. Kondisi patologis
Kondisi kerusakan jaringan muskuloi skeletal akibat proses degenerative atau
penyakit lain yang menyebabkan pasien menjadi lebih rentan mengalami fraktur,
inflamasi dan deformitas.
Adapun bentuk umum dari trauma muskuloskeletal meliputi:
1. Fraktur/ patah tulang
Putusnya kontinuitas jaringan tulang
2. Dislokasi
Perubahan atau gangguan pada struktur sendi
3. Sprain
Kerusakan sendi yang disertai dengan rusaknya ligament otot
4. Strain
Perengangan atau robeknya otot
Gambar 1 Bentuk umum cidera muskuloskeletal

C. Tanda dan gejala


Tanda dan gejala trauma musculoskeletal adalah sebagai berikut.
1. Kelainan bentuk, luka terbuka, nyeri tekan dan bengkak.
2. Nyeri sedang atau berat atau ketidaknyamanan.
3. Memar (mungkin perlu waktu berjam-jam untuk muncul).
4. Ketidak mampuan untuk bergerak atau menggunakan bagian tubuh yang terkena
dampak secara normal.
5. Pecah tulang atau fragmen tulang mencuat dari luka.
6. Merasa tulang kisi atau suara kisi tulang.
7. Merasa atau mendengar suara krek atau seperti ada benda patah pada saat cedera.
8. Kehilangan sirkulasi, sensasi dan gerak (PMS) di luar lokarea distal cidera, termasuk
kesemutan, warna pucat, dingin atau kebiruan.
9. Penyebab cedera / MOI (Mechanism of Injury) (mis. jatuhnya), yang menunjukkan
bahwa cedera mungkin parah.

Gambar 2 Pemeriksaan PMS


D. Pathophysiology
Cedera muskuloskeletal menunjukkan bahwa tubuh mendapati kekuatan berlebih
yang signifikan. Pasien dengan fraktur pelvis tidak stabil dan fraktur femur terbuka
dapat disertai dengan pendarahan cepat. Cedera yang serius menyebabkan pelepasan
mioglobin dari otot, yang bisa mendap dalam tubulus ginjal sehingga mengakibtakan
kerusakan pada ginjal. Salah satu komplikasi yang dapat timbul dari fraktur yaitu
kompartemen sindrom pada area proksimal yang bilamana tidak segera di atasi akan
menyebabkan kematian pada ekstremitas tersebut

Gambar 3 fraktur

V. Penatalaksanaan
Cedera muskuloskeletal umumnya tidak menjadi fokus pemeriksaan utama pada
pengkajian trauma primer kecuali disertai dengan gangguan hemodinamik yang berat.
Kelainan bentuk pada ekstrimitas dapat diamati denan mudah pada saat pengkajian,
namun tingkat cedera mungkin tidak sepenuhnya diakui sampai survei utama selesai.
Resusitasi trauma utama dalam pedoman ATLS / ATCN berfokus pada sirkulasi udara-
sirkulasi (ABC). Jika cedera muskuloskeletal tidak menghasilkan kehilangan darah cukup
menyebabkan ketidakstabilan hemodinamik, atau deformitas yang massif, tingkat cedera
mungkin tidak diketahui sampai penelitian radiografi konfirmasi atau sampai survei
sekunder dilakukan.
Keadaan potensial yang dapat mengancam nyawa anatara lain:
1. Syok hemoragic (sangat jarang)
2. Gangguan neurovaskuler (gangguan PMS)
A. Pemeriksaan Trauma Muskoloskeletal
Untuk perdarahan eksternal kaji ekstremitas yang terluka, kaji ada atau tidaknya nadi
bagian distal, frekuensi, serta kualitas denyut nadi. Kaji pula motorik dengan
menggerakkan area distal cedera serta sensorik dengan memberikan rangsang nyeri
pada area distal cedera. Jika ekstremitas dingin, pucat, nadi lemah mengindikasikan
adanya gangguan suplai darah arteri. Pada cedera musculoskeletal jika terdapat
perdarahan aktif maka terdapat cedera pada vaskuler.
Karena luka-luka ini bisa terlihat sama, kemungkinan sulit menentukan dengan tepat
jenis cedera yang telah terjadi. Hal Ini seharusnya tidak menjadi masalah karena dari
sebagian besar kasus, perawatan yang di perlukan sebagian besar akan sama.
1. Strain dan sprain
Saat mengkaji strain dan sprain maka lakukan hal-hal mberikut.
a. Minta orang tersebut untuk secara aktif memindahkan sendi yang terluka dan
mengevaluasi rasa sakit yang terlibat.
b. Coba gerakkan sendi dan evaluasi respons orang tersebut.
c. Beritahu orang tersebut untuk tidak menggunakan bagian yang terluka jika
gerakan menyebabkan rasa sakit.
d. Tawarkan penatalaksanaan yang sesuai (mis. untuk yang terluka lutut, berikan
alat bantu berjalan, yang membatasi gerakan lutut tanpa memberi tekanan pada
tempurung lutut).

2. Dislokasi
Ketika menemukan cedera dengan dislokasi maka lakukan pemeriksaan sebagai
berikut.
a. Sendi yang terlihat tidak pada tempatnya (deformitas)
b. Nyeri dan/atau kehilangan rentang gerak normal.
c. Sebuah benjolan, lubang yang biasanya tidak ada

3. Fraktur
Saat memeriksa pasien karena fraktur yang dicurigai adalah sebagai berikut.
a. Tentukan apakah bagian yang terluka terlihat rusak dengan membandingkan sisi
yang tidak terluka. Tanyakan kepada orang tersebut apakah menurutnya bagian
itu sakit/nyeri.
b. Perlahan-lahan sentuh bagian yang terluka & cari tanda-tanda fraktur berikut ini:
1) Orang tersebut bereaksi terhadap sentuhan Anda.
2) Otot tampak spasme.
3) Area yang terluka terasa tidak stabil.
4) Satu titik terasa lebih parah daripada yang lain.
5) Pemeriksaan PMS (Puls Motorik and Sensoric) di luar lokasi cedera. Kehilangan
puls, mati rasa, kesemutan dan ketidakmampuan untuk bergerak adalah
tanda serius
6) Komplikasi yang berhubungan dengan fraktur.
B. Penatalaksanaan Trauma Muskoloskeletal
Penatalaksanaan pada trauma musculoskeletal adalah sebagai berikut.
1. Strain dan sprains
Penanganan Sprain dan strain mengacu kepada skema RICE. RICE merupakan
beberapa tindakan berupa mengistirahatkan area yang mengalami trauma,
memerikan kompres es pada fase akut, memberikan pembebatan dan meninggikan
area yang mengalami cedera.
Rest Istirahat, merupakan hal yg harus dilakukan pada area yg mengalami
(Istirahatkan) cidera, tapi untuk berapa lama?
Aktifitas dapat dilakukan, namun cegah pasien untuk melakukan
aktifitas yang akan menimbulkan stres atau cidera lagi pada area yg
sedang dalam proses penyembuhan, sehingga memperpanjang masa
penyembuhan.
NICE guideline merekomendasikan untuk mengistirahatkan 48-72 jam
setelah cidera.
Ice Berikan kompres ess pada area yang mengalami cidera Guna:
(Kompres Es) A. Mengurangi nyeri
B. Mengurangi bengkak
NICE guideline merekomendasikan untuk melakukan kompres selama
15-20 menit, setiap 2-3 jam, selama masa istirahat 48-72 jam setelah
cidera.
Compression Diberikan untuk mengurangi bengkak yg lebih besar, lakukan balutan
(Balut) dengan tidak terlalu ketat, PMS termonitor dengan baik.
Elevation Meninggikan area yang mengalami cidera, bertujuan untuk
(Tinggikan) meningkatkan venous return, & mencegah pembengkakan lebih lanjut.

2. Dislokasi

a. Untuk dislokasi bahu: Gunakan teknik Stimson segera:


1) Posisikan orang tersebut menghadap ke bawah di permukaan yang tegas
(mis., Batu atau log) dengan Lengan di sisi yang terluka menggantung turun
secara vertikal
2) Bantu orang tersebut untuk rileks.
3) Dengan kain lembut, beban beratnya sekitar 5 sampai 10 kilogram ke
pergelangan menjuntai.
4) Tunggu. Proses ini memakan waktu sekitar 20 sampai 30 menit untuk bekerja

5) Atau dengan teknik serupa namun tanpa beban yaitu:


a) Berdiri atau duduk, orang itu harus menarik lengan yang terluka lurus dan
maju, jauh dari tubuh, dengan mencengkeram pergelangan tangan dengan
sebaliknya
b) Letakkan lengan yang terluka di selempang dan bersentuhan.
c) Begitu bahu kembali ke posisi normalnya. Jangan mengikat lengan orang
tersebut jika dia perlu menggunakan lengannya darurat (mis. keluar dari
rakit terbalik).

b. Untuk dislokasi jari atau jari kaki:

1) Menjaga jari atau kaki yang terluka sebagian tertekuk (membungkuk), tarik
pada akhiri dengan satu tangan dengan lembut menekan sambungan
belakang yang terkilir ke tempatnya dengan jempolmu yang lain
2) Tempatkan kain kasa di antara keduanya jari tangan atau kaki yang terluka
dan jari tangan atau jari kaki yang tidak terluka
3) Bidai jari atau kaki yang terluka ke jari atau jari kaki tetangga yang tidak
terluka.
c. Untuk dislokasi tempurung lutut:
1) Terapkan traksi lembut ke kaki untuk meluruskannya. Hal ini dapat
menyebabkan tempurung lutut untuk kembali ke tempatnya tanpa
perawatan lebih lanjut.
2) Jika tempurung lutut tidak kembali ke tempatnya setelah kaki diluruskan, Pijat
paha dan gunakan tangan Anda untuk mendorong tempurung lutut kembali
dengan lembut keselarasan normal
3) Terapkan bebat yang tidak memberi tekanan pada tempurung lutut. Dengan
cara ini, orangnya mungkin bisa berjalan.
3. Fraktur
Penanganan pada fraktur sebagai berikut
a. Umum:
1) Jika curiga patah tulang. Selalu gunakan bidai.
2) Lanjutkan untuk memeriksa PMS setelah pembidaian untuk memastikan
bahwa sirkulasi tidak terputus.
b. Untuk patah rahang:
1) Pegang rahang di tempat dengan kain/mitela yang melintang di kepala.
2) Pastikan bungkusnya bisa dilepas dengan cepat jika orang tersebut perlu
muntah.
c. Untuk fraktur tulang selangka:
1) Fiksasi dengan sling-and-swathe.
2) Buat selempang dari perban segitiga atau improvisasi dengan mengangkat
ekornya kemeja orang di atas lengan di sisi yang terluka dan menjepitnya di
tempat.
3) Pastikan sling mengangkat siku untuk menahan tekanan dari bahu.
d. Untuk fraktur lengan bawah (termasuk pergelangan tangan dan tangan):
1) Amankan bagian yang cedera ke dukungan yang kokoh dan kaku dan letakkan
sling-and-swathe.
2) Letakkan gulungan sesuatu yang lembut di tangan untuk menyimpannya
dalam posisi berfungsi.
3) Jika tulang tangan rusak, pastikan untuk mengamankan tangan ke bidai.

e. Untuk jari yang patah bidai jari yang patah ke jari-jari terdekat yang tidak terluka

f. Untuk fraktur tulang rusuk:


1) Lindungi tulang rusuk yang cedera dengan mendukung lengan pada sisi yang
terluka dengan a sling-and-swathe.
2) Jangan membungkus sebuah band dengan pas di dada orang itu.
3) Dorong orang untuk menarik napas dalam-dalam secara teratur, bahkan jika
sakit,
4) Perhatikan orang tersebut untuk meningkatkan kesulitan bernafas.

g. Untuk panggul atau patah tulang pinggul:


1) Amankan orang itu pada papan yang kaku (tandu)
2) Tempatkan pembungkus sesuai lebar (misalnya, selembar atau selimut) dan
dasi di sekitar panggul untuk memberikan beberapa dukungan dan
keamanan.
3) Amankan kaki dengan nyaman satu sama lain
4) Pastikan untuk melihat tanda dan gejala shock karena internal perdarahan,
yang umum terjadi pada fraktur panggul.

h. Untuk patah tulang kaki (termasuk pergelangan kaki dan kaki)


Amankan bagian yang cedera engan pembidaian yang mencakup imobilisasi
pergelangan kaki dan kaki.

C. Komplikasi Trauma Muskuloskeletal


Sindrom kompartemen adalah kondisi yang terjadi akibat meningkatnya tekanan di
dalam kompartemen otot, sehingga dapat mengakibatkan cedera di dalam
kompartemen otot yang meliputi jaringan otot sendiri, pembuluh darah, dan saraf.
Kompartemen otot dikelilingi oleh lapisan atau membran, disebut fascia, yang tidak
dapat mengembang. Sehingga pembengkakan dalam kompartemen akan
meningkatkan tekanan di dalamnya. Kondisi ini dapat menyerang bagian tangan,
lengan, bokong, tungkai, dan kaki. Kebanyakan penderita lebih sering mengalaminya di
bagian lutut ke bawah. Kondisi ini harus segera ditangani untuk menghindari risiko
iskemia dan nekrosis (kematian jaringan).

Terdapat 2 jenis sindrom kompartemen yang dapat terjadi, yaitu:


1. Sindrom kompartemen akut. Kondisi yang terjadi secara mendadak, khususnya
setelah mengalami cedera atau patah tulang. Ini merupakan kondisi medis darurat
dan perlu ditangani segera untuk menghindari cedera otot permanen.
2. Sindrom kompartemen kronis (exertional). Kondisi yang terjadi dikarenakan
olahraga, terutama olahraga yang melibatkan gerakan berulang seperti bersepeda
atau berlari, dan dapat mereda dalam beberapa saat setelah olahraga dihentikan.
VI. Sindrom Kompartemen
A. Penyebab
Sindrom kompartemen merupakan komplikasi akibat cedera tertentu, baik yang
berkaitan dengan otot ataupun tulang. Patah tulang, luka tembak, luka tusuk, luka
bakar, gigitan ular, perdarahan, komplikasi operasi pembuluh darah, atau perban
yang dibebat terlalu ketat dapat menjadi pemicunya. Selain itu, olahraga berlebihan
juga bisa menjadi salah satu faktor penyebab sindrom kompartemen.
Secara umum, cedera akan memicu pembengkakan pada otot atau jaringan di dalam
kompartemen. Jaringan di dalam kompartemen dilindungi oleh membran bernama
fascia yang tidak dapat mengembang. Apabila terjadi pembengkakan, tekanan di
dalam kompartemen akan meningkat. Setelah beberapa waktu, aliran darah dan
pasokan oksigen akan menurun dan mengakibatkan kerusakan otot. Jika tidak segera
ditangani, kondisi ini akan memperburuk pembengkakan dan merusak saraf yang
menjadi bagian dari kompartemen. Otot juga akan rusak dan mengalami kematian
jaringan (nekrosis) secara permanen.

B. Gejala Sindrom Kompartemen


Penderita dapat mengalami gejala yang berbeda-beda, tergantung keparahan kondisi.
Gejala yang biasanya muncul meliputi:
1. Nyeri hebat, khususnya saat otot digerakkan.
2. Rasa penuh pada otot dan nyeri bila ditekan.
3. Otot bengkak.
4. Kesemutan atau rasa seperti terbakar.
5. Kram otot saat berolahraga.
6. Warna kulit di sekitarnya terlihat pucat dan terasa dingin.
7. Otot terasa lemas dan mati rasa.

C. Diagnosis Sindrom Kompartemen


Dalam mendiagnosis sindrom kompartemen, tanyakan gejala dan riwayat cedera, serta
melakukan pemeriksaan fisik. Tes pengukuran tekanan juga umumnya dilakukan
dengan memasukkan jarum yang dilengkapi alat pengukur di titik luka untuk melihat
tingkat tekanan pada kompartemen. Jika diperlukan, tes penunjang seperti foto
Rontgen, MRI, dan tes darah akan dilakukan.

D. Penatalaksanaan Sindrom Kompartemen


Operasi kerap menjadi pilihan utama bagi penderita sindrom kompartemen akut untuk
menghindari komplikasi lanjutan. Namun pada kondisi emergency, Tindakan fasciotomy
akan dilakukan dengan membuka lapisan pelindung kompartemen otot (fascia) untuk
mengurangi tekanan dan mengangkat sel otot yang sudah mati jika ditemukan. Luka
biasanya akan ditutup dan di buat saluran drainage dan diobservasi, agar tidak
menimbulkan sindrom kompartemen kembali. Tindakan skin grafting biasa dilakukan
jika luka tidak kunjung pulih. Operasi untuk memperbaiki sindrom kompartemen sebisa
mungkin dilakukan segera, dengan tetap memperhatikan kondisi pasien.
Bagi penderita sindrom kompartemen kronis, biasanya akan disarankan untuk
mengonsumsi obat anti inflamasi nonsteroid dan melakukan fisioterapi guna
meregangkan otot. Selain itu, penderita juga akan disarankan untuk mengganti jenis
olahraga atau mengurangi frekuensi olahraga, serta istirahat yang cukup.

E. Komplikasi Sindrom Kompartemen


Jika sindrom kompartemen tidak segera ditangani, khususnya pada kasus sindrom
kompartemen akut, beberapa komplikasi berikut ini dapat terjadi:
1. Infeksi.
2. Muncul jaringan parut pada otot, sehingga otot menjadi tidak lentur dan berkurang
fungsinya.
3. Amputasi.
4. Kerusakan saraf permanen
5. Rhabdomyolysis.
6. Gagal ginjal.
7. Kematian

F. Pencegahan Sindrom Kompartemen


Untuk mencegah terjadinya Sindrom kompartemen, beberapa hal berikut
ini dapat dilakukan:
1. Bila menggunakan gips atau alat pembidaian setelah mengalami cedera,
posisikan bagian tubuh yang dibidai lebih tinggi daripada jantung. Gunakanlah
alas yang lembut sebagai penopang.
2. Mengompres luka dengan es untuk menekan pembengkakan.
3. Mengurangi intensitas olahraga dan berhenti saat tubuh sudah merasa lelah.
HIGHLIGHT

Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
VII. DAFTAR PUSTAKA

Kobbe, P., Micansky, F., Lichte, P., Sellei, R. M., Pfeifer, R., Dombroski, D., Pape, H. C.
(2013). Increased morbidity and mortality after bilateral femoral shaft fractures:
Myth or reality in the era of damage control? Injury, 44(2),
221– 225. doi:10.1016/j.injury.2012.09.011
Stewart, Ronald, et al (2018). Advanced Trauma Life Support. Student Course Manual.
The Committee on Trauma. Tenth Edition. ISBN 78-0-9968262-3-5. American College
of Surgeons. Chicago.
John E. Campbell & Roy L. Alson. 2015. International Trauma Life Support for Emergency
Care Providers. Eight Edition. Pearson
Weledji EP, Fokam P, Nzade D, Eyongeta D (2014) Emergency primary repair of grade V
bladder neck injury complicating pelvic fracture. Ann Surg Innov Res 8: 4.
National Highway Traffic Safety Administration. Fatality analysis reporting system
(FARS): 2016. September 2017 [internet publication].
American College of Emergency Physicians. Motor vehicle safety. Ann Emerg Med. 2009
May;53(5):698.
Goss CW, Van Bramer LD, Gliner JA, et al. Increased police patrols for preventing
alcohol- impaired driving. Cochrane Database Syst Rev. 2008 Oct 8;(4):CD005242.
Allen S, Zhu S, Sauter C, et al. A comprehensive statewide analysis of seatbelt non-use
with injury and hospital admissions: new data, old problem. Acad Emerg Med. 2006
Apr;13(4):427-34.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Impact of primary laws on adult use
of safety belts-United States, 2002. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2004 Apr
2;53(12):257-60.
Nicholas JM, Rix EP, Easley KA, et al. Changing patterns in the management of
penetrating abdominal trauma: the more things change, the more they stay the
same. J Trauma. 2003 Dec;55(6):1095-108.
Greaves I, Porter KM, Ryan JM (2001) Trauma London: Arnold, UK.
Enderson BL, Reath DB, Meadors J, et al. The tertiary trauma survey: a prospective study
of missed injury. J Trauma. 1990 Jun;30(6):666-9.
Eastham JA, Wilson TG, Ahlering TE (1993) Urological evaluation and management of
renal- proximity stab wounds. J Urol 150: 1771-1773.
Miller KS, McAninch JW (1995) Radiographic assessment of renal trauma: Our 15-year
experience. J Urol 154: 352-355.
MODUL 10
PENATALAKSANAAN KEGAWATDARURATAN KARDIOVASKULER
SINDROM KORONER AKUT

I. Pendahuluan.
Penyakit jantung dan pembuluh darah sampai saat ini merupakan penyebab
kematian nomor satu di dunia. Setiap tahunnya diperkirakan semakin banyak orang yang
meninggal karena penyakit jantung dan pembuluh darah jika dibandingkan dengan
penyakit lainnya. Salah satu spektrum klinis pada penyakit jantung adalah Acute Coronary
Syndrome atau sering dikenal dengan Sindrom koroner akut (SKA). Penyakit sindrom
koroner akut (SKA) merupakan kondisi kegawatan yang membutuhkan penatalaksanaan
secara cepat dan tepat, tetapi yang terjadi yaitu waktu keterlambatan yang panjang
sebelum ke rumah sakit. Waktu keterlambatan penanganan sebelum masuk ke rumah
sakit dihitung mulai dari gejala nyeri baru dirasakan sampai tiba di IGD (George, 2013).
Kondisi ini dapat menyebabkan kematian pasien yang dikaitkan dengan dengan perilaku
pencarian pelayanan kesehatan dan jenis transportasi yang digunakan pasien. Kematian
akibat SKA di Amerika, Indonesia dan negara-negara lainnya tiap tahun mengalami
peningkatan. Kematian SKA di tahun 2015 sebesar 3% sedangkan tahun 2016 mencapai 5%
(Mozaffarian et al., 2016). Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2013 menunjukkan
prevalensi SKA tertinggi yaitu di Nusa Tenggara Timur (4,4%). Berdasarkan pedoman dari
American College of Cardiology Foundation dan American Heart Association (ACCF/AHA)
tahun 2013 standar waktu saat munculnya gejala hingga pasien tiba di IGD adalah 120
menit (O'Gara et al., 2013). Pasien SKA dikatakan terlambat tiba di IGD, apabila melebihi
dari waktu yang direkomendasikan (Goldberg et al., 2009). Hasil penelitian menunjukkan di
Amerika Serikat pasien tiba terlambat sebesar 59% (Ting et al., 2010). Di Kanada (57,3%)
(Atzema et al., 2011). Di Swedia Selatan (58%) (Angerud et al., 2013). Di Cina (51,4%)
(Peng et al., 2014). Di Yordania (72%) (Eshah, 2013). Di Iran (81%) (Tabris, 2012). Di Mesir
(67,2%) (Ghazawy et al., 2015) Di Singapura (56,3%) (Wah et al., 2017) dan di Indonesia
(52,4%) (Sholikhaningayu et al., 2013).

II. Sindrom Koroner Akut


A. Definisi SKA
Istilah sindroma koroner akut (SKA) telah dikembangkan untuk menggambarkan
kumpulan kondisi-kondisi iskemik yang meliputi spektrum diagnosis dari angina tak
stabil (UA/unstable angina) sampai infark miokard non elevasi ST (Non ST elevation
miokard infarction/NSTEMI).
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator
kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan
tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard
secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen fibrinolitik atau secara
mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis STEMI ditegakkan jika
terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi segmen ST yang persisten di
dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana revaskularisasi tidak
memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.
Diagnosis NSTEMI dan angina pektoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat keluhan
angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua sadapan yang
bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi segmen ST,
inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-normalization,
atau bahkan tanpa perubahan (Gambar 1). Sedangkan Angina Pektoris tidak stabil
dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai dengan
peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah Troponin
I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi peningkatan
bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST Non Elevasi
(NonST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada Angina Pektoris tidak stabil
marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada sindroma koroner akut, nilai
ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal adalah beberapa unit melebihi
nilai normal atas (upper limits of normal, ULN). Jika pemeriksaan EKG awal tidak
menunjukkan kelainan (normal) atau menunjukkan kelainan yang nondiagnostik
sementara angina masih berlangsung, maka pemeriksaan diulang 10-20 menit
kemudian. Jika ulangan EKG tetap menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara
keluhan angina sangat sugestif SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG
diulang tiap 6 jam dan setiap terjadi angina berulang.

B. Anatomi Jantung
Sirkulasi Arteri Koroner
Efisiensi jantung sebagai pompa tergantung dari nutrisi dan oksigenasi otot jantung.
Sirkulasi koroner meliputi seluruh permukaan jantung, membawa oksigen dan nutrisi
ke miokardium melalui cabang-cabang intramiokardial yang kecil-kecil.
Arteri koronaria kanan dan kiri merupakan cabang pertama aorta asenden, sedikit di
belakang katup aorta. Kedua arteri ini bercabang menjadi arteri kecil dan arteriol serta
kapiler. Kapiler koronaria bersatu membentuk vena koronaria ke sinus koronaria dan
kembali ke atrium kanan. Fungsi pembuluh darah koronaria adalah memasok darah ke
miokardium karena oksigen sangat penting untuk kontraksi miokardium secara normal.
Suplai darah miokardium berasal dari dua arteri koronaria yang berasal dari radiks
aorta, yaitu: Arteri koronaria adalah cabang pertama dari sirkulasi sistemik. Muara
arteri koronaria ini terdapat di dalam sinus valsava dalam aorta, tepat di atas katup
aorta. Sirkulasi koroner terdiri dari: arteri koronaria kanan dan kiri. Arteri koronaria kiri
mempunyai dua cabang besar, arteri desendens anterior kiri dan arteri sirkumfleksa kiri.
Arteri-arteri ini berjalan melingkari jantung dalam dua celah anatomi eksterna: sulkus
atrioventrikularis, yang melingkari jantung di antara atrium dan ventrikel, dan sulkus
interventrikularis, yang memisahkan kedua ventrikel.

Sumber: Pearce, E. C. (2013).

1. Arteri koroner kanan yang menyuplai sebagian besar ventrikel kanan berasal dari
sinus anterior aorta. Ia mempunyai cabang r. marginalis yang mendarahi ventrikel
dextra dan r. interventricularis posterior yang memperdarahi kedua ventrikel; Arteri
koroner kanan bertanggung jawab mensuplai darah ke atrium kanan, ventrikel
kanan,permukaan bawah dan belakang ventrikel kiri, 90% mensuplai AV Node,dan
55% mensuplai SA Node.
2. Arteri koroner kiri mempunyai 2 cabang yaitu LAD (Left Anterior Desenden) dan
arteri sirkumflek. Kedua arteri ini melingkari jantung dalam dua lekuk anatomis
eksterna, yaitu sulcus coronary atau sulcus atrioventrikuler yang melingkari jantung
diantara atrium dan ventrikel, yang kedua yaitu sulcus interventrikuler yang
memisahkan kedua ventrikel. Pertemuan kedua lekuk ini dibagian permukaan
posterior jantung yang merupakan bagian dari jantung yang sangat penting yaitu
kruks jantung. Nodus AV node berada pada titik ini LAD arteri bertanggung jawab
untuk mensuplai darah untuk otot ventrikel kiri dan kanan, serta bagian
interventrikuler septum.
Sirkumflex arteri bertanggung jawab untuk mensuplai 45% darah untuk atrium kiri
dan ventrikel kiri, 10% bertanggung jawab mensuplai SA node.

C. Patofisiologi
Sebagian besar SKA adalah manifestasi akut dari plak ateroma pembuluh darah koroner
yang koyak atau pecah. Hal ini berkaitan dengan perubahan komposisi plak dan
penipisan tudung fibrus yang menutupi plak tersebut. Kejadian ini akan diikuti oleh
proses agregasi trombosit dan aktivasi jalur koagulasi. Terbentuklah trombus yang kaya
trombosit (white thrombus). Trombus ini akan menyumbat liang pembuluh darah
koroner, baik secara total maupun parsial; atau menjadi mikro emboli yang menyumbat
pembuluh koroner yang lebih distal. Selain itu terjadi pelepasan zat vasoaktif yang
menyebabkan vasokonstriksi sehingga memperberat gangguan aliran darah koroner.
Berkurangnya aliran darah koroner menyebabkan iskemia miokardium. Pasokan
oksigen yang berhenti selama kurang-lebih 20 menit menyebabkan miokardium
mengalami nekrosis (infark miokard).
Infark miokard tidak selalu disebabkan oleh oklusi total pembuluh darah koroner.
Obstruksi subtotal yang disertai vasokonstriksi yang dinamis dapat menyebabkan
terjadinya iskemia dan nekrosis jaringan otot jantung (miokard). Akibat dari iskemia,
selain nekrosis, adalah gangguan kontraktilitas miokardium karena proses hibernating
dan stunning (setelah iskemia hilang), distritmia dan remodeling ventrikel (perubahan
bentuk, ukuran dan fungsi ventrikel). Sebagian pasien SKA tidak mengalami koyak plak
seperti diterangkan di atas. Mereka mengalami SKA karena obstruksi dinamis akibat
spasme lokal dari arteri koronaria epikardial (Angina Prinzmetal). Penyempitan arteri
koronaria, tanpa spasme maupun trombus, dapat diakibatkan oleh progresi plak atau
restenosis setelah Intervensi Koroner Perkutan (IKP). Beberapa faktor ekstrinsik, seperti
demam, anemia, tirotoksikosis, hipotensi, takikardia, dapat menjadi pencetus
terjadinya SKA pada pasien yang telah mempunyai plak aterosklerosis.

D. Klasifikasi SKA
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan elektrokardiogram (EKG), dan
pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner Akut dibagi menjadi:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevationmyocardial
infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segmentelevation
myocardial infarction)
3. Angina Pektoris tidak stabil (UAP: unstable angina pectoris)

E. Diagnosis
Dengan mengintegrasikan informasi yang diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik,
elektrokardiogram, tes marka jantung, dan foto polos dada, diagnosis awal pasien
dengan keluhan nyeri dada dapat dikelompokkan sebagai berikut: non kardiak, Angina
Stabil, Kemungkinan SKA, dan Definitif SKA.
1. Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen). Keluhan angina tipikal berupa
rasa tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang,
area interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit). Keluhan angina tipikal
sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis, mual/muntah, nyeri
abdominal, sesak napas, dan sinkop.
Presentasi angina atipikal yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran
angina tipikal, rasa gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat
diterangkan, atau rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini
lebih sering dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75
tahun), wanita, penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun
keluhan angina atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai
sebagai angina ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien
dengan riwayat penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah
terapi nitrat sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada pasien
dengan karakteristik sebagai berikut :
a. Pria
b. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri perifer
atau karotis)
c. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah
pintas koroner, atau IKP
d. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
mellitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi, risiko
sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education Program)
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard (nyeri dada
nonkardiak):
a. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
b. Nyeri abdomen tengah atau bawah
c. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
d. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
e. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
f. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah

Mengingat adanya kesulitan memprediksi angina ekuivalen sebagai keluhan SKA,


maka terminologi angina dalam dokumen ini lebih mengarah pada keluhan nyeri
dada tipikal. Selain untuk tujuan penapisan diagnosis kerja, anamnesis juga ditujukan
untuk menapis indikasi kontra terapi fibrinolisis seperti hipertensi, kemungkinan
diseksi aorta (nyeri dada tajam dan berat yang menjalar ke punggung disertai sesak
napas atau sinkop), riwayat perdarahan, atau riwayat penyakit serebrovaskular.

2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
3. Pemeriksaan elektrokardiogram
Semua pasien dengan keluhan nyeri dada atau keluhan lain yang mengarah kepada
iskemia harus menjalani pemeriksaan EKG 12 sadapan sesegera mungkin
sesampainya di ruang gawat darurat. Sebagai tambahan, sadapan V3R dan V4R, serta
V7-V9.
Gambaran EKG yang dijumpai pada pasien dengan keluhan angina cukup bervariasi,
yaitu: normal, nondiagnostik, LBBB (Left Bundle Branch Block) baru/ persangkaan
baru, elevasi segmen ST yang persisten (≥20 menit) maupun tidak persisten, atau
depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria dan
perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3 nilai
ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin. Nilai
ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun adalah ≥0,2 mV,
pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada perempuan nilai ambang
elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia, adalah ≥0,15 mV. Bagi pria
dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05
mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai
ambang di sadapan V7-V9 adalah ≥0,5 mV.

Tabel. Lokasi infark berdasarkan sadapan EKG


Sadapan dengan Deviasi Segmen ST Lokasi Iskemia atau Infark
V1-V4 Anterior
I,AVL, V5-V6 Lateral
I,AVL, V1-V6 Anterior Extensif
II, III, aVF Inferior
V7-V9 Posterior
V3R, V4R Ventrikel kanan

Adanya keluhan angina akut dan pemeriksaan EKG tidak ditemukan elevasi segmen
ST yang persisten, diagnosisnya adalah infark miokard dengan non elevasi segmen
ST (NSTEMI) atau Angina Pektoris tidak stabil (APTS/ UAP). Depresi segmen ST yang
diagnostik untuk iskemia adalah sebesar ≥0,05 mV di sadapan V1-V3 dan ≥0,1 mV di
sadapan lainnya. Bersamaan dengan depresi segmen ST, dapat dijumpai juga elevasi
segmen ST yang tidak persisten (<20menit), dan dapat terdeteksi di >2 sadapan
berdekatan. Inversi gelombang T yang simetris ≥0,2 mV mempunyai spesifitas tinggi
untuk untuk iskemia akut.
Semua perubahan EKG yang tidak sesuai dengan kriteria EKG yang diagnostik
dikategorikan sebagai perubahan EKG yang nondiagnostik.
4. Pemeriksaan marka jantung.
Kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin I/T merupakan marka nekrosis miosit
jantung dan menjadi marka untuk diagnosis infark miokard. Troponin I/T sebagai
marka nekrosis jantung mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih tinggi dari CK-
MB. Troponin I/T juga dapat meningkat oleh sebab kelainan kardiak nonkoroner
seperti takiaritmia, trauma kardiak, gagal jantung, hipertrofi ventrikel kiri,
miokarditis/perikarditis. Keadaan nonkardiak yang dapat meningkatkan kadar
troponin I/T adalah sepsis, luka bakar, gagal napas, penyakit neurologik akut, emboli
paru, hipertensi pulmoner, kemoterapi, dan insufisiensi ginjal.
Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:
a. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya
tipikal pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
b. EKG normal atau nondiagnostik, dan
c. Marka jantung normal
Definitif SKA dan angina tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya
dirawat di rumah sakit dalam ruang intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU).
5. Pemeriksaan laboratorium
Data laboratorium, di samping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid. Pemeriksaan laboratorium tidak boleh
menunda terapi SKA.
6. Pemeriksaan foto polos dada
Mengingat bahwa pasien tidak diperkenankan meninggalkan ruang gawat darurat
untuk tujuan pemeriksaan, maka foto polos dada harus dilakukan di ruang gawat
darurat dengan alat portabel. Tujuan pemeriksaan adalah untuk membuat diagnosis
banding, identifikasi komplikasi dan penyakit penyerta

IV. Tindakan umum dan langkah awal


Terapi awal yang dimaksud adalah pertama pemberian oksigen 4 LPM (jika saturasi <94%
atau ada penyakit pernafasan), Aspirin, pemberian nitroglycerin sublingual, dan pemberian
Morphine jika NTG tidak efektif. Rekomendasi berdasarkan guideline AHA 2015.
a. Tirah baring (Kelas I-C)
b. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2 arteri <95%
atau yang mengalami distres respirasi (Kelas I-C)
c. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam pertama, tanpa
mempertimbangkan saturasi O2 arteri (Kelas IIa-C)
d. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin (Kelas I-A). Aspirin tidak bersalut lebih terpilih
mengingat absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat (Kelas I-C)
e. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
1) Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkandengan dosis
pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang direncanakan untuk
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik (Kelas I-B) atau
2) Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
mg/hari (pasien yang direncanakan untuk terapi reperfusi menggunakan agen
fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang dianjurkan, clopidogrel)(Kelas IC).
f. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada yang masih
berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat (Kelas I-C). jika nyeri dada tidak hilang
dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai maksimal tiga kali.
Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak responsif dengan terapi tiga
dosis NTG sublingual (kelas I-C). dalam keadaan tidak tersedia NTG, isosorbid dinitrat
(ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti
g. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual (kelas IIa-B).
ALGORITMA ACUTE CORONARY SYNDROME

ST Elevasi / LBBB baru


Potensi tinggi injury
ST elevasi MI (STEMI)
V. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN SINDROM KORONER AKUT (SKA) / ACUTE CORONARY
SYNDROME (ACS).

A. PENGKAJIAN
1. Identitas
- Usia : SKA sering terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.
- Jenis kelamin : Insiden pada pria lebih tinggi, sedangkan pada wanita meningkat
setelah menapouse.
- Herediter : Pasien dengan riwayat keluarga penyakit jantung atau pembuluh
darah memiliki resiko lebih tinggi.

2. Pengkajian Primer
Keluhan Utama :
Nyeri dada menjadi keluhan yang paling utama dirasakan oleh pasien dengan SKA
(PERKI, 2018), pada pasien lansia dengan SKA dapat melaporkan gejala yang tidak
khas seperti dispnea, kebingungan, kelemahan dan pingsan, bukan nyeri dada
substernal yang khas (Morton, et al., 2012).
Airway.
Lihat apakah pasien dapat berjalan ?
Jika pasien dapat berjalan, berarti airway pasien paten dan saudara bisa
melanjutkan pengkajian Breathing.
Jika tidak, lihat tanda adanya gangguan jalan nafas seperti sianosis, penggunaan
otot bantu pernafasan dan suara nafas tambahan. Buka mulut pasien dan lihat
apakah ada sumbatan jalan nafas seperti secret dan benda asing lainnya.
Breathing.
- Sesak nafas dengan aktifitas ringan atau istirahat
- Ekspansi dada tidak penuh
- Dispnea
- Takipnea
- Hypoksemia (SpO2 < 94%)
Circulation.
- Capilary Refill Time (CRT) memanjang
- Nadi lemah/tidak teratur
- TD meningkat/menurun
- Akral teraba dingin dan lembab.
- Diaforesis
- Pucat
 Disability.
- Sinkop / hilang kesadaran
3. Pengkajian sekunder
Exposure
- Sebelum melakukan exposure penting untuk menjaga privacy pasien dan
menjaga suhu tubuh pasien.
- Pasien SKA mungkin mengalami demam sebagai bagian dari respon
katekolamin.
Full Vital Sign
- Tekanan Darah : Meningkat sebagai respon terhadap nyeri atau menurun
sekunder akibat gangguan haemodinamik.
- Nadi : Meningkat sebagai respon kompensasi atau sekunder akibat nyeri atau
menurun sekunder akibat iskemia atau terapi farmakologis, adanya pulsus
alternans.
- Pernafasan : Takipnea (RR normal dewasa: 12-20x/mnt).
Give a Comfort
Posisikan pasien semi-fowler 450
History And Head To Toe
Tanyakan adanya riwayat perdarahan intrakranial atau stroke dengan sumber
yang tidak diketahui kapanpun, Stroke iskemik dalam 6 bulan terakhir, Kerusakan
sistem saraf pusat atau neoplasma atau malformasi arteriovena,
Trauma/operasi/cedera kepala mayor dalam 3 minggu terakhir, Perdarahan
gastrointestinal dalam 1 bulan terakhir, Gangguan perdarahan (kecuali
menstruasi), Diseksi aorta, Lokasi tusukan yang tidak dapat dikompresi dalam 24
jam terakhir (mis. biopsi hepar, pungsi lumbal); pasien yang memiliki riwayat di
atas merupakam kontraindikasi absolut pemberian terapi Fibrinolisis.

Head To Toe :
Kepala:
Mata
 Kaji adanya xantelasma, ini merupakan indikasi hiperlipidemia, Studi
epidemiologi menunjukkan terdapat hubungan antara xantelasma dengan
risiko aterosklerosis (Cipto., dkk., 2013).
 Kaji adanya corneal arcus, ini menandakan ada perubahan kadar lipid dalam
darah. Cincin (ring) putih tersebut berupa tumpukan atau endapan lipid dan
apabila muncul pada laki-laki usia muda < 40 tahun, menjadi indikator adanya
gangguan arteri koroner / penyakit kardiovaskuler
Thorak:
 Adanya S3 : Indikator gagal ventrikel kiri
 Adanya S4 : Penurunan komplians ventrikel kiri
 Adanya murmur : dapat menunjukkan insufisiensi katup atau septum.
 Dispnea pada istirahat atau aktifitas
 Karakteristik nyeri dada pasien SKA:
Karakteristik N, O, P, R, S, T Nyeri dada

N - Normal R – Regio dan Radiasi


 Nilai dasar pasien sebelum awitan nyeri  Substernal dengan radiasi ke punggung,
lengan kiri, leher atau rahang.
 Dada atas
 Epigastrik
 Bahu kiri
 Intraskapular
O - Awitan (Onset) S – Keparahan (Severity)
 Waktu ketika nyeri / ketidaknyamanan  Penilaian nyeri dengan skala Numerik
mulai terjadi dengan range 1 - 10.
P – Faktor pencetus (Precipitating) T – Waktu (Time)
 Olahraga  Nyeri berlangsung selama 20 detik sampai
 Stess atau ansietas 20 menit.
 Kemarahan/Emosi  Nyeri dapat berlangsung lebih dari 20
 Aktivitas fisik menit pada Angina tidak stabil dan Infark
Miokard.
Q – Kualitas (Quality)
 Berat
 Tersedak
 Diremas
 Rasa terbakar
 Sufokasi
Sumber: Kidd, P. M., et al., 2011; Morton, et al., 2012

Abdomen :
 Pasien SKA biasanya mengeluh nyeri daerah epigastrik yang merupakan nyeri
referal dari iskemik otot jantung.
 Adanya keluhan mual / muntah.

4. Pemeriksaan Penunjang
 Pemeriksaan EKG :
Gambaran EKG yang dijumpai pasien dengan keluhan nyeri dada cukup bervariasi,
yaitu normal, non-diagnostik, left bundle branch blok (LBBB), elevasi segmen ST,
depresi segmen ST dengan inverse gelombang ST.
 Pemeriksaan Cardiac Marker:
Pemeriksaan biomarka jantung seperti kreatinin kinase-MB (CK-MB) atau troponin
I/T merupakan biomarka nekrosis miosis jantung dan menjadi biomarka untuk
penegakan diagnosis (PERKI, 2018).
B. Diagnosa Keperawatan (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, 2017)
1. Nyeri Akut berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen
miokardium.
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan penurunan aliran darah koroner
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan
oksigen akibat iskemia jantung.
4. Ansietas berhubungan dengan ketakutan akan penyakit, situasi yang tidak dikenal yang
tidak dapat diperkirakan dan ancaman terhadap kematian.

C. Rencana Tindakan Keperawatan


Diagnosa Nyeri Akut.
Kriteria hasil:
 Penurunan rasa tidak nyaman di dada
 Pasien tampak nyaman dan bebas dari nyeri: penurunan respiratory rate, denyut
jantung dan tekanan darah, kulit hangat dan kering.
 Segment ST kembali isoelektris.
Intervensi:
 Kaji, catat dan laporkan penyebab dan faktor yang mempengaruhi rasa tidak
nyaman di dada. Deskripsikan pasien tentang rasa tidak nyaman di dada termasuk lokasi,
itensitas, penjalaran, durasi dan faktor-faktor yang mempengaruhi gejala. Gejala lain
seperti mual, keringat dingin, atau mengeluh fatigue yang tidak biasa.
 Beri oksigen 2 - 4 liter/menit melalui nasal canule. Terapi oksigen dapat
meningkatkan suplai ke miokardium.
 Pasang dan pertahankan slang Intravena untuk pemberian obat kedaruratan dan
resusitasi cairan.
 Beri terapi sesuai program (Aspirin 160-325 mg oral, Nitrogliserin oral 0.3 – 0.4 mg
sublingual setiap 5 menit, maksimal 3 kali / NGT sepray, Morfin sulfat 1-5 mg IV).
Terapi pengobatan merupakan pertahanan utama dalam memperbaiki jaringan miokard
yang rusak.
 Monitor EKG 12 lead serial selama gejala guna deteksi dini adanya perluasan infark.
 Monitor TTV dan SpO2 dengan sering selama episode angina dan pada pemberian
agens antiangina. Hipotensi dan takikardi refleks dapat terjadi selama pemberian agens
tersebut.
 Monitor hasil pemeriksaan cardiac marker, untuk mengetahui perubahan
karakteristik infark miokardium.
 Monitor Pengaruh rasa tidak nyaman didada terhadap perfusi kardiovaskuler
misalnya perubahan pada tekanan darah, terhadap otak misalnya perubahan
tingkat kesadaran, terhadap ginjal misalnya penurunan urine output, dan terhadap
kulit misalnya perubahan warna dan suhu.
VI. Daftar Pustaka
American Heart Association (AHA). (2015). BLS Healthcare Provider. Student Manual Professional.
USA: American Heart Association (AHA).
American Heart Association (AHA). (2015). Advanced Cardiac Life Support. Student Manual
Professional. USA: American Heart Association (AHA).
American Heart Association (AHA). (2015). Highlight of the 2015 American Heart Association
Guidelines Update for CPR adn ECC. USA: American Heart Association (AHA).
Burns E. (2015). ECG Axis Interpretation. Life in the fast lane. [Cited 2019 Jan 11]. Available from:
http://lifeinthefastlane.com/ecg-library/basics/axis/
Harte, Mellisa, Glenn Michael (2013). Advance Trauma Care For Nurse for Student Manual 2013
Edition. Lexington: Society of Trauma Nurses
Irman, O., Poeranto, S., Suharsono, T. (2017). The Correlation Of Health Seeking Behavior And
Transportation Mode With Prehospital Delay Time In Patients With Acute Coronary Syndrome
At Emergency Department Of Regional Public Hospital Of Dr. Tc. Hillers Maumere. Nurseline
Journal. Vol. 2(2). pp: 87-96
Kidd Pamela S., Sturt, P. N., Fultz Julia. (2011). Pedoman Keperawatan Emergensi. Edisi 2. EGC.
Jakarta.
Morton, P. C. Fontaine, D., Hudak, C. M., et al. (2012). Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan
Holistik. Volume 2. Edisi 8. EGC. Jakarta.
Longmore M, Wilkinson IB, Baldwin A, Wallin E. (2014). Oxford Handbook of Clinical Medicine. 9th
ed. Oxford: Oxford University Press
Lumbantoruan, P., Fitriany, Y., & Martina, S.E. (2017). BTCLS and Disaster Management.
Jakarta: Medhatama Restyan
Oktavianus, Rachmawati, A.N. (2014). Patofisiologi Kardiovaskuler. Yogyakarta: Graha Ilmu
Pearce, E. C. (2013). Anantomy dan fisiology untuk paramedis. Edisi kedua. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
PERKI. (2018). Pedoman Tata Laksana Sindrom Koroner Akut. Jurnal Kardiologi Indonesia.
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia.
PERKI. (2017). Kursus Bantuan Hidup Dasar Lanjut, ACLS Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia
PERKI (2015). Pedoman Tatalaksana Sindrome Koroner Akut. Edisi ketiga. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1.
Cetakan III. Jakarta. DPP PPNI.
Smeltzer S.C dan Bare Brenda G (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth (Ed. 12 Vol 2). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Stillwell, Susan M. (2011). Pedoman Keperawatan Kritis. Edisi 3. EGC. Jakarta.
Thaler, M.S. (2016). Satu-satunya Buku EKG yang anda Perlukan. Edisi ke 8. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
MODUL 11
ELEKTRO KARDIO GRAFI (EKG) DAN DEFIBRILASI

I. Pendahuluan.
Elektrokardiografi merupakan salah satu alat diagnostik yang sangat bermanfaat bagi
tenaga kesehatan untuk dapat melakukan interpretasi EKG dengan tepat. Selain itu, EKG
juga mampu memberikan gambaran terhadap kondisi kelainan jantung, baik kelainan
secara anatomis maupun fisiologis.
Pada modul ini, akan dijelaskan mengenai bagaimana aliran listrik jantung bekerja dan
gambarannya pada EKG. Kondisi kelainan jantung yang disebabkan oleh pembesaran ruang
jantung maupun gangguan irama juga akan dijelaskan beserta mekanismenya. Modul ini
memberikan penjelasan secara sistematis, menggunakan bahasa yang mudah
dipahami.Modul ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi tenaga kesehatan untuk
mengembangkan kompetensinya sehingga dapat memberikan pelayanan yang terbaik
kepada pasien.

II. Elektrokardiogram
A. Pengertian Elektrokardiogram
Elektrokardiografi adalah ilmu yang mempelajari aktifitas listrik jantung.
Elektrokardiogram (EKG) adalah grafik yang dibuat oleh sebuah elektrokardiograf yang
merekam aktifitas kelistrikan jantung dalam waktu tertentu. Elektrokardiogram (EKG)
adalah suatu grafik yang menggambarkan rekaman listrik jantung. Kegiatan listrik
jantung dalam tubuh dapat dicatat dan direkam melalui elektroda-elektroda yang
dipasang pada permukaan tubuh. Namanya terdiri atas sejumlah bagian yang berbeda:
Elektro, karena berkaitan dengan elektronika, Kardio, kata Yunani untuk jantung dan
Gram, sebuah akar Yunani yang berarti menulis. “Analisis sejumlah gelombang dan
vektor normal depolarisasi dan repolarisasi menghasilkan informasi diagnostik yang
penting.

B. Fungsi dan Peran Elekrokardiogram


EKG berperan sebagai sarana alat bantu untuk mengetahui anatomi jantung:
1. Mengetahui gangguan hantaran (Aritmia)
2. Mengetahui daerah Iskemi dan IMA pada otot jantung
3. Mengetahui pembesaran ruang-ruang jantung, atrium dan ventrikel
4. Mengetahui efek dari obat-obatan seperti Digitalis anti Aritmia
5. Mengetahui gangguan keseimbangan elektrolit khususnya Kalium
6. Mengetahui penilaian fungsi jantung
C. Anatomi dan Fisiologi Kardiovaskuler
Jantung adalah pompa berotot didalam dada yang bekerja terus menerus tanpa henti
memompa darah keseluruh tubuh. Fungsi utama jantung adalah memberikan dan
mengalirkan suplai oksigen dan nutrisi ke seluruh jaringan dan organ tubuh yang
diperlukan dalam proses metabolisme. Pada keadaan tertentu, darah akan lebih banyak
dialirkan pada organ-organ vital seperti jantung dan otak untuk memelihara sistem
sirkulasi organ tersebut.Ketika oksigen telah diserap oleh jaringan, pembuluh vena
membawa balik darah yang berwarna biru dan mengandung sedikit sekali oksigen ke
jantung.

1. Sistem Konduksi Listrik Jantung

Sumber : https://metrohealth.net/healthwise

a. Nodus Sinoatrial (Nodus SA)


Merupakan sekumpulan sel yang terletak dibagian sudut kanan atas atrium
kanan, tepatnya di dekat muara vena cava superior. (panjang 10-20 mm, lebar 2-
3 mm), merupakan pacemaker jantung. Menghasilkan dan Mengatur ritme
jantung (60-100 x/menit) dengan mempertahankan kecepatan depolarisasi serta
mengawali siklus jantung ditandai dengan sistol atrium.Impuls dari nodul SA
menyebar pertama sekali ke atrium kanan lalu ke atrium kiri yang selanjutnya
diteruskan ke nodal atrioventrikular (AV).

b. Nodus Atrioventrikular (Nodus AV)


Terletak dekat interatrial septum bagian bawah, diatas sinus koronarius dan
dibelakang katup trikuspidalis di dekat muara sinus kornarius, yang berfungsi
memperlambat kecepetan konduksi sehingga memberi kesempatan atrium
mengisi ventrikel sebelum sistol ventrikel serta melindungi ventrikel dari stimulasi
berlebihan atrium (seperti pada atrial fibrilasi).Menghasilkan impuls 40-60
x/menit
Impuls dari nodal AV akan diteruskan ke berkas His. Secara anatomis Nodus AV
memiliki panjang sekitar 7 mm, lebar 3 mm, dan tebal 1 mm.
c. Berkas HIS
Berkas HIS memiliki fungsi sebagai penghantar impuls listrik nadi Nodus AV.
Secara anatomis, berkas his memiliki panjang sekitar 10mm dengan diameter
2mm. Berkas His terbagi menjadi 2 cabang berkas (LBB) dan (RBB).

d. Serabut Bachman
Serabut Bachman merupakan jalur yang menghubungkan impuls listrik dari
atrium kanan dengan atrium kiri.

e. Serabut Purkinje
Serabut purkinje terletak didalam endokardium dan merupakan akhir dari
perjalanan impuls listrik untuk disampaikan ke endokardium agar terjadi
depolarisasi dikedua ventrikel. Impuls listrik menyebar mulai dari endocardium ke
miokardium dan terakhir mencapai epikardium, yang selanjutnya otot jantung
akan bergerak (twisting) dan memompa darah keluar dari ruang ventrikel ke
arteri. Serabut purkinje secara normal mampu menghasilkan impuls 20-40 kali
permenit.

2. Elektrofisilogi Jantung
Aktivitas listrik dari jantung merupakan akibat dari perubahan pada permiabelitas
membran sel, yang memungkinkan pergerakan ion-ion. Dengan masuknya ion-ion
tersebut maka muatan listrik sepanjang membran itu mengalami perubahan relative.
Ada tiga ion yang mempunyai fungsi penting sekali dalam elektrofisiologi sel, yaitu :
kalium, natrium dan kalsium. Adalah kation intrasel yang dominan sedangkan
konsentrasi Na dan Ca tertinggi pada lingkungan ekstrasel.
Membran sel otot jantung pada keadaan istirahat berada dalam polarisasi, dengan
bagian luar berpotensi positif dibandingkan bagian dalam selisih potensial ini disebut
potensial membrane. Bila membran otot jantung dirangsang, sifat permeabel
berubah sehingga ion Na masuk ke dalam sel, yang menyebabkan potensial
membrane. Perubahan potensial membran karena stimulasi ini disebut depolarisasi.
Setelah proses depolarisasi selesai, maka potensial membran kembali mencapai
keadaan semula yaitu proses repolarisasi.

Keadaan Sel Otot Muatan Listik


Di luar sel Di dalam sel

Repolarisasi Positif Negatif


Depolarisasi Negatif Positif
Sumber:
https://accessmedicina.mhmedical.com/content.aspx?bookid=1858&sectionid=134366307

Apabila dalam single sel mengalami perubahan muatan mendadak, yang mana
didalam sel sebelumnya bermuatan negatif berubah muatan menjadi bermuatan
positif, maka proses ini dinamakan potensial aksi. Perbedaan potensial muatan
membran sel -90 mV.
Aksi Potensial terdiri dari 5 fase, diantaranya:
a. Fase o
Dinamakan fase depolarisasi yang menggambarkan arus masuk Natrium
ekstraseluler ke dalam intra seluler yang berlangsung dengan cepat. Terjadi
perubahan muatan dalam sel menjadi positif dan diluar menjadi negatif.
b. Fase 1
Merupakan fase permulaan proses repolarisasi yang mengembalikan potensial
dalam sel menjadi 0 mV. Terjadi akibat penutupan saluran Natrium
c. Fase 2
Kalsium masuk kedalam sel miokard dengan lajut relatif lebih lambat
danmenyebabkan keadaan stabil yang agak lama sesuai masa istirahat (refrakter)
absolut miokardium
d. Fase 3
Fase ini merupakan fase pengembalian potensial intrasel ke potensial istirahat,
akibat pengeluaran Kalium dari dalam sel keluar sel, sehingga mengurangi muatan
positif di dalam sel
e. Fase 4
Disebut sebagai fase istirahat , dimana sel miokard kembali bermuatan positif di
luar sel dan negatif di dalam sel hal ini disebut POLARISASI
3. Axis Jantung
Axis jantung singkatnya adalah resultan dari
seluruh vektor dari arus listrik jantung yang
menandakan arah sebagian besar arus listrik
jantung berada. Normalnya arah aliran listrik
jantung itu berada pada arah ventrikel kiri,
diakibatkan otot ventrikel kiri yang lebih tebal
sehingga arus listrik jantung akan dominan ke
arah dari ventrikel kiri atau pada gambar di
samping di kuadran kanan bawah
Aksis jantung merujuk pada arah rata-rata
gelombang depolarisasi ventrikuler yang
direpresentasikan oleh gelombang QRS pada bidang vertikal, diukur dari sebuah titik
referensi nol. Titik referensi nol meninjau jantung dari sudut pandang yang sama
dengan lead I. Sebuah aksis yang berada di atas lead I diberi sebuah nomor negatif,
dan sebuah aksis yang berada di bawahnya diberi sebuah nomor positif.
Secara teoritis, aksis jantung dapat berada di manapun antara sudut 180° dan -180°.
Kisaran normal aksis jantung adalah antara −30° dan +90°. Sebuah aksis yang berada
lebih dari sudut −30° dinamakan deviasi aksis kiri/left axis deviation/LAD, sedangkan
sebuah aksis yang berada >90° dinamakan deviasi aksis kanan/right axis
deviation/RAD. Aksis jantung antara -90 dan 180 derajat (beberapa ada yang
menyebut sebagai aksis barat laut/northwest axis) disebut sebagai deviasi aksis
ekstrem/extreme axis deviation/EAD.

4. Sadapan Elektrokardiogram (EKG)


Sadapan EKG standard sebanyak 12 sadapan yang terdiri dari 6 sadapan ekstermitas
yang merekam aktifitas listrik dari bidang frontal dan 6 sadapan precordial yang
merekam aktifitas listrik pada bidang horizontal.
Terdapat 2 jenis sadapan (leads) EKG yaitu Unipolar dan Bipolar
a. Sadapan Bipolar:merekam perbedaan potensial dari 2 elektrode, terdiri dari Lead
I, II, III
1) Lead I
Merekam beda potensial antara tangan kanan (RA) dengan tangan kiri (LA)
yang mana tangan kanan bermuatan (-) dan tangan kiri bermuatan (+)
2) Lead II
Merekam beda potensial antara tangan kanan (RA) dengan kaki kiri (LF) yang
mana tangan kanan bermuatan (-) dan kaki kiri bermuatan (+)
3) Lead III
Merekam beda potensial antara tangan kiri (LA) dengan kaki kiri (LF) yang
mana tangan kiri bermuatan (-) dan kaki kiri bermuatan (+)

b. Sadapan Unipolar yaitu : merekam beda potensial lebih dari 2 elektode, terdiri
dariLead Unipolar ekstremitas(aVR, aVL, aVF) & Lead Unipolar Perikardial (V1,
V2, V3, V4, V5, V6)
1) Lead Ekstremitas
- Lead aVR
Merekam beda potensial pada tangan kanan
(RA) dengan tangan kiri dan kaki kiri yang
mana tangan kanan bermuatan (+)
- Lead aVL
Merekam beda potensial pada tangan kiri
(LA) dengan tangan kanan dan kaki kiri yang
mana tangan kiri bermuatan (+)
- Lead aVF
Merekam beda potensial pada kaki kiri (LF) dengan tangan kanan dan
tangan kiri yang mana kaki kiri bermuatan (+)
2) Lead Perikardial
Elektroda dada (precordial)
V1 : Interkostal ke IV pinggir kanan sternum
V2 : Interkostal ke IV sebelah pinggir kiri sternum
V3 : Diantara V2 dan V4
V4 : Interkostal ke V garis mid klavikula kiri
V5 : Sejajar V4 garis aksilaris anterior kiri
V6 : Sejajar V4 garis mid aksilaris kiri

cxlii Ba
sic
Tr
Untuk perekaman posterior
V7 : Sejajar V6 garis aksilaris posterior kiri (imajiner dengan V5)
V8 : Sejajar V6 garis midscapula kiri (imajiner dengan V4)
V9 : Sejajar V8 garis paravertebralis kiri (imajiner dengan V3)

Untuk perekaman dada kanan (dextra)


V1R :adalah elektroda V2 pada perekaman EKG biasa (ICS 4 mid sternalis kiri)
V2R :adalah elektroda V1 pada perekaman EKG biasa (ICS 4 mid sternalis kanan)
V3R :adalah elektroda V3 yang dipindah ke dada sebelah kanan (antara V2R dan V4R)
V4R :adalah elektroda V4 yang dipindah ke dada sebelah kanan
(ICS 5 mid clavicularis kanan)
V5R :adalah elektroda V5 yang dipindah ke dada sebelah kanan
(sejajar dengan V4R, axilaris anterior kanan)
V6R :adalah elektroda V5 yang dipindah ke dada sebelah kanan
(sejajar dengan V4R, mid axilaris kanan)

5. Kertas Elektrokardiogram (EKG)


Kertas EKG merupakan kertas grafik yang terdiri dari garis horisontal dan vertikal
berbentuk bujur sangkar dengan jarak 1 mm. Garis yang lebih tebal (kotak besar)
terdapat pada setiap 5 mm. Garis horizontal menggambarkan waktu (detik) yang
mana 1 mm (1 kotak kecil) = 0,04 detik, 5 mm (1 kotak besar) = 0,20 detik. Garis
vertical menggambarkan voltase yang mana 1 mm (1 kotak kecil) = 0,1 mV.
1 menit = 60 detik x 25 kotak kecil = 1500 kotak kecil = 300 kotak sedang

cxliii Ba
sic
Tr
6. Kalibrasi EKG
Kalibrasi / penentuan ukuran kertas secara standar (sistm international) lebih sering
dibuat dengan voltase 1 mV (10 kotak kecil), dengan kecepatan 25 mm/detik (25
kotak kecil / 5 kotak besar). Artinya mesin EKG diatur agar dapat merekam gambar
selama 1 detik sejauh 25 mm atau 5 kotak besar, amplitudonya setinggi 10mm.
jika kalibrasi dibuat 1 mV dengan kecepatan 25 mm/detik, untuk arah horizontal 1
kotak kecil sama dengan 0,04 detik yang didapat dari 60 detik : 25. Sedangkan arah
ventrikel 1 kotak kecil sama dengan 0,1 mV.

7. Gelombang, Interval dan Segmen pada EKG

a. Gelombang P
1). Gelombang P merupakan gambaran proses depolarisasi atrium (atrium
berkontraksi)
2). Lebar kurang dari 0,12 detik (3 kotak kecil)
3). Tinggi kurang dari 0,3 mVolt (3 kotak kecil)
4). P selalu positif di lead II
5). P selalu negatif di lead AVR
6). Hipertrofi atrium kanan, ditandai gelombang P pulmonal : gelombang P yang
lancip dan tinggi, paling jelas di lead I dan II
7). Hipertrofi atrium kiri, ditandai gelombang P mitral : gelombang P yang lebar
dan berlekuk, paling jelas di lead I dan II

cxliv Ba
sic
Tr
b. PR interval
1). Diukur dari permulaan gelombang P samai permulaan gelombang QRS
2). Normal antara 0,12-0,20 detik (3-5 kotak kecil)
3). Merupakan waktu yang dibutuhkan untuk depolarisasi atrium dan jalannya
impuls melalui berkas his sampai pada permulaan depolarisasi ventrikel.
4). Nilai klinis untuk mengetahui apakah hantaran impuls di berkas his normal atau
mengalami gangguan.

c. Kompleks QRS
1). Komplesk QRS merupakan gambaran proses depolarisasi ventrikel (ventrikel
berkontraksi)
2). Lebar 0,06-0,12 detik (1,5-3 kotak kecil)
3). Tinggi tergantung lead
4). Gelombang Q merupakan defleksi negatif I dari gelombang QRS
5). Lebar gelombang Q kurang dari 0,04 detik (1 kotak kecil)
6). Dalamnya gelombang Q kurang dari 1/3 R
7). Q yang tidak normal adalah Q patologis
8). Gelombang R merupakan defleksi positif I sesudah Q dari gelombang QRS
9). Gelombang S merupakan defleksi negatif sesudah gelombang R
d. ST segmen
1). Diukur dari akhir gelombang S sampai awal gelombang T
2). Nilai klinis untuk mengukur adanya infark atau iskhemik
3). Perhatikan apakah ada ST Depresi dan ST Elevasi

8. Cara Menghitung Frekuensi dan Axis Jantung


a. Irama
Memahami sumber pace maker
1). SA Node : Sinus : HR : 60-100 x/menit
2). AV Node : Junctional : HR : 40-60 x/menit
3). Purkinje sel/Ventrikel : Idioventricular : HR : 20-40 x/menit
Irama dikatakan sinus (sinus rytme) apabila impuls atau sumber pace maker
berasal dari SA Node, tandanya setiap gelombang P selalu di ikuti kompleks QRS.
Sinus tachikardi : HR > 100 x/menit
Sinus bradikardi : HR < 60 x/menit

cxlv Ba
sic
Tr
b. Frekuensi jantung (heart rate = HR)
Untuk menetukan HR, maka perhatikan jarak antara kedua gelombang R disetiap
lead. Jika sama berarti regular, jika tidak sama berarti irregular.
1). Jika regular
a). Cara cepat

b). Cara kedua


Hitung berapa jumlaaah kotak kecil antara 2 puncak gelombang R, hitung
frekuensi sesuai dengan rumus :
1500
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 =
jumlah kotak kecil R − R

Atau Hitung berapa jumlaaah kotak kecil antara 2 puncak gelombang R,


hitung frekuensi sesuai dengan rumus :
300
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 =
jumlah kotak Besar R − R

2). Jika irregular


Ambil lead II panjang, caranya adalah:
a). Hitung jumlah R dalam 6 detik (6 kotak besar atau 30 kotak kecil) dikali
10  Jumlah R x 10 = HR atau
b). Hitung jumlah R dalam 10 detik (10 kotak besar atau 50 kotak kecil) dikali
6 Jumlah R x 6 = HR atau
c). Hitung jumlah R dalam 12 detik (12 kotak besar atau 60 kotak kecil) dikali
5 Jumlah R x 5 = HR

D. Gambaran EKG yang mengancam nyawa


1. Ventrikel Tachikardi (VT) tanpa nadi
Secara klinis terjadi gejala penurunan curah jantung (ortostasis, hipotensi, sinkop,
keterbatasan aktivitas dll. VT Monomorfik dapat bersifat asimtomatis , walaupun
pada umumnya VT yang berkepanjangan selalu menunjukan gejala. VT yang tidak
ditagani dan berkepanjangan akan memburuk menjadi VT yang tidak stabil, dan
seringkali menjadi VF.

cxlvi Ba
sic
Tr
Gambar : VT Monomorfik
Kriteria penentuan berdasarkan EKG
- Durasi VT < 30 detik adalah VT yang tidak berkepanjangan (Non Sustainned VT)
dan tidak membutuhkan intervensi
- Durasi VT > 30 detik adalah VT yang berkepanjangan (Sustainned VT)
- Kecepatan ventrikel >100x/menit, khususnya 125-250 x/menit
- Irama reguler
- Gelombang P jarang terlihat, VT merupakan suatu bentuk dososiasi AV. Pada
takikardi kompleks QRS lebar dan aneh, kompleks seperti PVC > 0,12 detik dengan
gelombang T yang besar dan memiliki polaritas yang berlawanan dengan QRS
- PR Interval tidak ditemukan
- Fusion Beat kadang tertangkap akibat gelombang P yang terkonduksi

2. Ventrikel Fibrilasi (VF)


Denyut nadi menghilamg dengan dimulai VF, denyut dapat menghilang sebelum
dimulainya VF bila suatu pertanda lazim (VT yang cepat) terjadi sebelum VF, jatuh
pingsan dan tidak memberikan respon, megap-megap sangat sulit bernafas yang
kemudian tidak bernafas, serta mulai terjadi kematian yang tidak dapat
balik/ireversibel.

Gambar : Ventrikel Fibrilasi kasar

Gambar : Ventrikel Fibrilasi Halus

cxlvii Ba
sic
Tr
Kriteria Penentu Berdasarkan EKG
- Nilai/Komplek QRS tidak dapat ditentukan, tidak ada gelombang P, QRS atau T
yang dapat dikenali. Gelombang pada garis dasar terjadi antara 150 – 500 x/menit.
- Irama tidak dapat ditentukan, Pola naik (puncak) dan turun (palung) yang tajam
- Amplitudo : diukur dari puncak ke palung, biasa digunakan secara subjektif untuk
menggambarkan VF halus (2 - 5mm), medium / sedang (5 - < 10mm) dan kasar (10
- < 15mm).

3. Asistole
Secara klasik asistol digambarkan sebagai suatu garis datar dan secara virtual tidak
ada kriteria penentu. Irama tidak dapat ditetapkan, terkadang terlihat adanya
gelombang P, tetapi berdasarkan definisinya gelombang R harus tidak tampak. Pada
Komplek QRS tidak terlihat defleksi yang konsisten dengan suatu komplek QRS.

Gambar : Asistol

4. Pulseles Elektrikal Activity (PEA)


PEA bukanlah suatu irama jantung tertentu, melainkan suatu kondisi klinis dimana
rekaman EKG menunjukan aktivitas listrik/ depolarisasi ventrikel, tetapi ventrikel
tidak mampu menghasilkan nadi yang dapat dideteksi secara klinis.

Gambar : Pulseles Elektrikal Activity (PEA

Kriteria Penentu berdasarkan EKG


- Irama menunjukan aktivitas listrik/depolarisasi ventrikel (tapi bukan VF atau VT
tanpa nadi)
- Dapat berupa irama dengan QRS sempit (QRS < 10 detik) atau lebar (QRS > 12
detik), cepat (> 100 x/menit atau lambat (< 60 x/menit).

cxlviii Ba
sic
Tr
III. DEFIBRILASI
1. Terapi Elektrik (DC Shock)
Defibrilasi adalah suatu tindakan terapi dengan cara memberikan aliran listrik yang kuat
dengan metode asinkron ke jantung pasien melalui elektroda yang ditempatkan pada
permukaan dada pasien. Tujuannya adalah untuk koordinasi aktivitas listrik jantung dan
mekanisme pemompaan, ditunjukkan dengan membaiknya cardiac output, perfusi
jaringan dan oksigenasi.
American Heart Association (AHA) merekomendasikan agar defibrilasi diberikan
secepat mungkin saat pasien mengalami gambaran VT non-pulse atau VF, yaitu 3 menit
atau kurang untuk setting rumah sakit dan dalam waktu 5 menit atau kurang dalam
setting luar rumah sakit. Defibrilasi dapat dilakukan diluar rumah sakit karena sekarang
ini sudah ada defibrillator yang bisa dioperasikan oleh orang awam yang disebut
automatic external defibrillation (AED).

Defibrilator
Defibrilator adalah peralatan elektronik yang dirancang untuk memberikan kejut
listrik dengan waktu yang relatif singkat dan intensitas yang tinggi kepada pasien
penyakit jantung. Defibrilator adalah alat yang dapat memberikan shock listrik
dan dapat menyebabkan depolarisasi sementara dari jantung yang denyutnya
tidak teratur, sehingga memungkinkan timbulnya kembali aktifitas listrik jantung
yang terkoordinir. Energi dialirkan melalui suatu elektrode yang disebut paddle.
Defibrilator diklasifikasikan menurut 2 tipe bentuk gelombangnya yaitu
monophasic dan biphasic. Defibrilator monophasic adalah tipe defibrilator yang
pertama kali diperkenalkan, defibrilator biphasic adalah defibrilator yang
digunakan pada defibrilator manual yang banyak dipasarkan saat ini.

Indikasi Defibrilasi
Defibrilasi merupakan tindakan resusitasi prioritas utama yang ditujukan pada :
Ventrikel fibrilasi (VF) dan Ventrikel takikardi tanpa nadi (VT non-pulse).
Defibrilasi harus dilakukan sedini mungkin dengan alasan :
a. Irama yang didapat pada permulaan henti jantung umumnya adalah ventrikel
fibrilasi (VF)
b. Pengobatan yang paling efektif untuk ventrikel fibrilasi adalah defibrilasi.
c. Makin lambat defibrilasi dilakukan, makin kurang kemungkinan keberhasilannya.
d. Ventrikel fibrilasi cenderung untuk berubah menjadi asistol dalam waktu
beberapa menit
cxlix Ba
sic
Tr
Alat yang digunakan
a. Defibrilator, Elektrode Pads
Defibrilator adalah alat yang dapat memberikan shock listrik dan dapat
menyebabkan depolarisasi sementara dari jantung yang denyutnya tidak
teratur, sehingga memungkinkan timbulnya kembali aktifitas listrik
jantung yang terkoordinir. Energi dialirkan melalui suatu elektrode yang
disebut paddle. Defibrilator diklasifikasikan menurut 2 tipe bentuk
gelombangnya yaitu monophasic dan biphasic
b. Jelly
Jeli digunakan untuk mengurangi tahanan dada dan membantu menghantarkan
aliran listrik ke jantung, jeli dioleskan pada kedua paddle.
c. Energy
Untuk VF dan VT tanpa nadi, energi awal 360 joule dengan menggunakan
monophasic deflbrilator, dapat diulang tiap 2 menit dengan energi yang sama, jika
menggunakan biphasic deflbrilator energi yang diperlukan berkisar antara 120 - 200
joule.
d. Trolly Emergency

Penatalaksanaan Kondisi Penderita (Survei ABCD Pimer)


Fokus : CPR dan Defibrilasi
Langkah – langkah :
1. Nilai Kesadaran
2. Aktifkan sistem Gawat Darurat
3. Panggil Bantuan / ambil alat Defibrilator

Prosedur defibrilasi
1. Nyalakan deflbrilator
2. Tentukan energi yang diperlukan dengan cara memutar atau menggeser tombol
energi
3. Paddle diberi jeli secukupnya.
4. Letakkan paddle dengan posisi paddle apex diletakkan pada apeks jantung dan
paddle sternum diletakkan pada garis sternal kanan di bawah klavikula.
5. Isi (Charge) energi, tunggu sampai energi terisi penuh, untuk mengetahui energi
sudah penuh, banyak macamnya tergantung dari defibrilator yang dipakai, ada yang
memberi tanda dengan menunjukkan angka joule yang diset, ada pula yang memberi
tanda dengan bunyi bahkan ada juga yang memberi tanda dengan nyala lampu.
6. Jika energi sudah penuh, beri aba-aba dengan suara keras dan jelas agar tidak ada
lagi anggota tim yang masih ada kontak dengan pasien atau korban, termasuk juga
yang meng-operatorkan defibrilator, sebagai contoh:"Energi siap " "Saya siap " "Tim
lain siap"

cl Ba
sic
Tr
7. Kaji ulang layar monitor defibrillator, pastikan irama masih VF/VT tanda nadi,
pastikan energi sesuai dengan yang diset, dan pastikan modus yang dipakai adalah
asinkron, jika semua benar, berikan energi tersebut dengan cara menekan
keduatombol discharge pada kedua paddle. Pastikan paddle menempel dengan baik pada
dada pasien (beban tekanan pada paddle kira-kira 10 kg).
8. Kaji ulang di layar monitor defibrilator apakah irama berubah atau tetap sama seperti
sebelum dilakukan defibrilasi, jika berubah cek nadi untuk menentukan perlu
tidaknya dilakukan RJP, jika tidak berubah lakukan RJP untuk selanjutnya lakukan
survey kedua.

Automated External Defibrilator (AED). AED adalah sebuah defibrilator yang


bekerja secara komputer yang dapat :
1. Menganalisa irama jantung seorang korban yang mengalami henti jantung.
2. Mengenal irama yang dapat dilakukan tindakan defibrilasi ( shock)
3. Memberikan petunjuk pada operator (dengan memperdengarkan suara
atau dengan indikator cahaya)
AED digunakan jika korban mengalami henti jantung :
1. Tidak berespon
2. Tidak bernafas
3. Nadi tidak teraba atau tanda - tanda sirkulasi lain

Elektroda adhesif ditempatkan pada dada korban dan disambungkan ke mesin


AED, paddle elektroda mempunyai 2 fungsi yaitu : Menangkap sinyal listrik
jantung dan mengirimkan sinyal tersebut ke komputer, dan Memberikan
shock melalui elektroda jika terdapat indikasi.

cli Ba
sic
Tr
IV. DAFTAR PUSTAKA
American Heart Association (AHA). (2015). BLS Healthcare Provider. Student Manual
Professional. USA: American Heart Association (AHA).
American Heart Association (AHA). (2015). Advanced Cardiac Life Support. Student Manual
Professional. USA: American Heart Association (AHA).
American Heart Association (AHA). (2015). Highlight of the 2015 American Heart Association
Guidelines Update for CPR adn ECC. USA: American Heart Association.
Burns E. (2015). ECG Axis Interpretation. Life in the fast lane. [Cited 2019 Jan 11]. Available from:
http://lifeinthefastlane.com/ecg-library/basics/axis/
Harte, Mellisa, Glenn Michael (2013). Advance Trauma Care For Nurse for Student Manual 2013
Edition. Lexington: Society of Trauma Nurses
Irman, O., Poeranto, S., Suharsono, T. (2017). The Correlation Of Health Seeking Behavior And
Transportation Mode With Prehospital Delay Time In Patients With Acute Coronary Syndrome
At Emergency Department Of Regional Public Hospital Of Dr. Tc. Hillers Maumere. Nurseline
Journal. Vol. 2(2). pp: 87-96
Longmore M, Wilkinson IB, Baldwin A, Wallin E. (2014). Oxford Handbook of Clinical Medicine.
9th ed. Oxford: Oxford University Press
Lumbantoruan, P., Fitriany, Y., & Martina, S.E. (2017). BTCLS and Disaster Management.
Jakarta: Medhatama Restyan
Oktavianus, Rachmawati, A.N. (2014). Patofisiologi Kardiovaskuler. Yogyakarta: Graha Ilmu
Pearce, E. C. (2013). Anantomy dan fisiology untuk paramedis. Edisi kedua. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
PERKI. (2017). Kursus Bantuan Hidup Dasar Lanjut, ACLS Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter
Spesialis Kardiovaskular Indonesia
PERKI (2015). Pedoman Tatalaksana Sindrome Koroner Akut. Edisi ketiga. Jakarta: Perhimpunan
Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia
Smeltzer S.C dan Bare Brenda G (2014). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
&Suddarth (Ed. 12 Vol 2). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Thaler, M.S. (2016). Satu-satunya Buku EKG yang anda Perlukan. Edisi ke 8. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC.

clii Ba
sic
Tr
MODUL 12
PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN GANGGUAN SIRKULASI

I. Pendahuluan
Gangguan Sirkulasi atau yang lebih dikenal dengan istilah Syok menjadi fokus subyek
penelitian secara mendalam selama beberapa dekade terahir. Update ilmu dan
pengobatan syok hemoragik terus dilakukan dalam menemukan rekomendasi yang tepat
selama masa prehospital. Pengalaman militer A.S saat perang di Irak dan Afghanistan telah
berdampak terhadap pemikiran baru dalam pengelolaan perdarahan yang mengancam
jiwa.
Kondisi syok dapat memperburuk keadaan pasien dengan cepat, maka penanganannya
harus segera dilakukan. Jika tidak, syok dapat menyebabkan komplikasi bahkan kematian.
Bab ini akan akan membahas teori terkini dan hasil penelitian terbaru tentang
patofisiologi dan penanganan syok pada pasien trauma dan pada pasien dengan berbagai
keadaan syok lainnya.

II. Syok
A. Pengertian
Syok adalah keadaan kegagalan sirkulasi akut yang menyebabkan penurunan pasokan
nutrisi dan oksigen pada organ dan jaringan tubuh atau terganggu pemanfaatan oksigen
oleh jaringan perifer sehingga menghasilkan disfungsi organ (Emergency Medicine
Practice, 2014).

B. Patofisiologi Dasar
Perfusi normal dalam tubuh dipengaruhi oleh empat hal :
1. System vaskularisasi yang utuh untuk dapat mengalilrkan oksigen keseluruh
pembuluh darah
2. System pertukaran gas yang adequate didalam paru : oksigen mampu masuk
kedalam darah (darah teroksigenasi)
3. Volume cairan adequate didalam pembuluh darah : sel darah merah dan plasma
4. Fungsi pompa yang baik : jantung
Penting untuk diingat bahwa tekanan darah membutuhkan semua komponen diatas
dalam kondisi "stabil". Jantung harus memompa, volume darah Harus cukup,
pembuluh darah harus utuh, dan paru-parunya harus mengoksidasi darah.

Tekanan darah = cardiac output x Peripheral Vascular Resistance


Rumus cardiac output

cliii Ba
sic
Tr
Jadi, jika curah jantung turun atau jika resistansi pembuluh darah perifer turun (seperti
pada arteri yang melebar yang terjadi syok neurogenik), maka tekanan darah akan
turun.

Manajemen shok yang tepat berkaitan dengan 4 komponen diatas :


1. Stabilkan airway
2. Stabilkan oksigenasi dan ventilasi
3. Control perdarahan
4. pertahankan sirkulasi melalui denyut jantung yang memadai dan volume
intravaskular.

Catatan: Saat anda melakukan ventilasi kepada sesorang, tekanan udara yang masuk
akan mendorong darah kembali kejantung sehingga menurunkan curah jantung

Syok menggambarkan suatu kondisi yang terjadi saat perfusi Jaringan tubuh dengan
oksigen, elektrolit, glukosa, dan cairan menjadi tidak adekuat dengan kebutuhan tubuh.
Beberapa proses menyebabkan penurunan perfusi ini. Sebagai contoh, Hilangnya sel
darah merah dalam pendarahan pasien mengakibatkan kurang transportasi oksigen ke
jaringan tubuh. Penurunan volume darah yang beredar menyebabkan penurunan
glukosa, volume cairan, dan elektrolit ke sel. Terjadinya gangguan peredaran darah,
mengakibatkan sel-sel tubuh menjadi "mengkerut", dan perubahan serius pada jaringan
tubuh mulai terjadi. Pada akhirnya terjadilah kematian sel.
Saat oksigen tidak ada, maka metabolism terjadi menggunakan cadangan oksigen yang
ada, hasil pembakaran cadangan oksigen ini menghasilkan toksik berupa asam laktat.
Penggunaan cadangan oksigen ini dapat menghambat kematian sel dalam beberapa

HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI)


waktu tertentu, namun karena produk yang dihasilkan berupa racun akan
mempengaruhi fungsi dari mitokondria. Akumulasi asam laktat didalam sel akan
mengakibatkan gangguan sistemik (asidosis) yang berpengaruh terhadap fungsi sel.
Dampaknya, fungsi otot pernafasan melemah, gagal nafas mulai berkembang, dan
terjadi hipoksia.
Ketidak adekuatan oksigen didalam darah menyebabkan tubuh merepon dengan
meningkatkan aktivitas saraf sympatic, mengakibatkan pelepasan katekolamin yang
beredar (epinefrin dan norepinephrine) meningkat. Hormon tersebut berpengaruh
terhadap kekuatan kontraksi jantung dan menyempitkan pembuluh darah arteri perifer.
Respon Otak tengah terhadap hipoksia progresif dan asidosis melalui peningkatan laju
pernafasan.

Manifestasi klinis yang ditemukan adalah: pucat, diaporetik, dan takikardi. Sedangkan
pada tingkatan sel terjadi kekurangan oksigen dan nutrisi yang berdampak terhadap
kerusakan dan kematian sel. Buruknya perfusi jaringan pada pasien yang mengalami
syok dapat merusak organ-organ secara reversible ataupun permanen yang dapat
mengakibatkan kecacatan dan atau kematian terutama jika yang mengalami kerusakan
adalah organ vital.

III. Pengkajian syok


Pasien syok akan memperlihatkan tanda-tanda yang dapat diobservasi selama proses
assessment.
Diagnosis awal fase syok sering ditemukan dari kondisi fisik. Tekanan darah harus sering
dipantau untuk membantu menentukan apakah perfusi organ adekuat, hipotensi

HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI)


merupakan indikasi ketidakadekuatan perfusi organ. Yang menjadi pertanyaan adalah
“apakah setiap hipotensi merupakan syok?” mengingat bahwa pasien dewasa yang sehat
mampu memperthankan perfusi organ meski dalam kondisi hipotensi. Sebaliknya, pasien
yang lebih tua, pasien hipertensi, dan mereka yang memiliki cedera kepala seringkali tidak
bias mentolerir hipotensi untuk periode yang singkat sekalipun. Untuk dapat menentukan
tanda syok dapat dilihat dari jenisnya

Syok terkompensasi Vs syok tidak terkompensasi


IV. Syok terkompensasi
Tanda yang muncul saat terjadi syok dan tubuh mampu mengkompensasi:
a. Kelemahan :penurunan volume darah
b. Haus :hypovolemia
c. Pucat
d. Takikardia
e. Diaphoresis
f. Tachypnea
g. Penurunan volume urin
h. Weakened peripheral pulses
Catatan: tanda yang ada merupakan sebuah perjalanan tubuh dalam mengkompensasi
kondisi syok.

V. Syok tidak terkompenasai


a. Hipotensi
b. Perubahan status mental: kebingungan, gelisah, kesadaran menurun.
c. Cardiac arrest

Respon yang terlihat saat setelah masa syok pada pasien dapat dibagi menjadi “early”
dan “late” syok.
HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI)
a. Early syok: kehilangan 15-25% volume darah. Kondisi ini dapat menyebabkan
takikardi, pucat, penyempitan nadi, kehausan, kelemahan, memungkinkan
keterlambatan CRT.
b. Late syok : kehilangan 30-45% volume darah. Kondisi ini dapat menyebabkan
hypotensi secara cepat. Ketika terjadi late syok, kemampuan tubuh untuk
mengkompensasi gagal.

Klasifikasi syok juga dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan sebagai


berikut:
Drajat syok Klas I Klas II Klas III Klas IV
Kehilangan <750 750-1500 1500-2000 >2000
darah/cc
Darah <15 15-30 30-40 >40
hilang/%EBV
Nadi <100 >100 >120 >140
Tekanan darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan nadi Normal;meningkat Menurun Menurun Menurun
Respirasi 14-20 20-30 30-40 >35
Produksi urin (cc) >30 20-30 5-15 tidak ada
Kesadaran Agak gelisah Gelisah Gelisah + bingung Bingung + latergi
Cairan pengganti Kristaloid Kristaloid Kristaloid+darah Kristaloid+darah

Dari table diatas jelas bahwa syok harus dapat dikenali secara cepat tanpa harus dibantu
pemeriksaan penunjang yang lengkap. Bahkan pada kasus trauma, bila ditemukan ada
takikardi dan ekstermitas yang dingin, sudah harus dipikirkan adanya syok.

Kategori syok
kategori syok dapat dilihat pada table dibawah ini

HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI)


IV. Penanganan Syok
Penanganan post traumatik syok harus memenuhi prinsip sebagai berikut :
1. Control bleeding : sel darah merah merupakan pembawa oksigen keseluruh tubuh :
pencegahan perdarahan dapat dilakukan secara langsung menekan pada area bladding,
tourniket, hemostatic agent, atau segera dilakukan pembedahan.
2. Hight flow oxygen : pasien syok sangat membutuhkan oksigen, observasi terhadap
perubahan warna kulit tidak memberikan informasi yang jelas kebutuhan oksigen. Pada
umumnya pasien syok hemoragic akan pucat. Sianosis pada ekstermitas merupakan
tanda keparahan hipoxemia akibat kehilangan darah.
3. Load and go : syok karena trauma dari berbagai sebab masuk dalam katagori load and
go. Lakukan transportasi pasien segera setelah initial assasement dilakukan. Intervensi
yang lain dapat dilakukan di ambulan selama perjalanan.
4. Manajemen syok : perdarahan terkontrol
a) Letakkan pasien pada posisi harizontal
b) Berikan hight flow oxigen : dianjurkan dengan nonrebreathing mask
c) Segera transport ke fasilitas kesehatan yang lebih memadai
d) Berikan akses intravena dengan abochat besar (size 16 jika memungkinkan). 
pertimbangkan IO (intraosseus) vaskular akses jika pasien masuk fase kritis dan IV
line tidak efektif.
e) Bolus pemberian Cairan Kristaloid (NS atau RL) dibatasi hanya 1 liter pada fase Initial
Assessment dan untuk Pediatri BB kurang 40 kg 20 Ml/kg IV line secara cepat.
f) Bila Pemberian Kristaloid tidak berespon, langsung dapat diberikan produk darah
(1:1:1 Ratio) 1 U sel darah merah : 1 U Plasma : 1 U Trombosit
g) Penggunaan Tranexamic Acid (TXA)

V. Manajemen syok : perdarahan tidak terkontrol


Pasien dengan perdarahan external yang tidak dapat dikontrol harus segera dirujuk ke
fasilitas yang lebih memadai untuk mendapat tindakan operasi sehingga proses
homeostatis dapat kembali seimbang. Dalam proses penanganan pasien dengan syok
hemoragic tidak terkontrol dapat dilakukan dengan beberapa langkah berikut :
a. Tekan pada daerah perdarahan (femoral artery, facial hemodargic)
b. Posisikan pasien pada bidang harizontal
c. Jangan ragu menggunakan tourniquet diektremitas untuk menghentikan perdarahan
hebat yang tidak dapat dikendalikan
d. Apabila dengan teknik penekanan dan tourniket tidak dapat mengontrol pendarahan,
pergunakan agen homeostatis seperti “Quickclot”, “combat Gueza”, “hemcon” atau
“Celox”. (Kolaborasi dengan dokter).
e. Berikan hight flow oxygen dengan nonrebreathing mask
f. Segera transport dengan kondisi aman
g. Berikan Double IV line : Berikan hanya Normal salin untuk mengatur tekanan darah
sudah cukup untuk memperbaiki perfusi.
HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI)
Perdarahan internal
a. Segera transport pasien ke fasilitas lebih memadai
b. Letakkan pasien pada posisi horizontal
c. Berikan hight flow oksigen
d. Berikan IV line menggunakan selang infus ukuran besar
e. Perhatikan irama jantung, pantau saturasi oksigen dengan oksimetri

VI. Penatalaksanaan Syok


A. Syok Hipovolemik

Sumber: Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment

HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI)


B. Syok Neurogenik

C. Syok Kardiogenik

Sumber: Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment

HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI)


D. Syok Anafilaktik

E. Syok Sepsis

Sumber: Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment

HIMPUNAN PERAWAT GAWAT DARURAT DAN BENCANA INDONESIA (HIPGABI)


Tanda keberhasilan resusitasi:
a. Otak : kembalinya kesadaran
b. Ginjal : volume urin bertambag
c. Kulit ekstermitas menjadi hangat
d. Jantung denyut nadi turun
Prognosis tergantung pada beberapa hal diantaranya:
1. Lamanya syok
2. Beratnya syok
3. Kecepatan penanganan yang benar
5. Kondisi sebelumnya
6. Penyakit penyerta
Akibat dari syok yang berlanjut adalah kematian yang disebabkan gagalnya fungsi yang
bersifat irreversible. Makin lama berlangsungnya dan makin berat drajat
sykemungkinan terjadinya kerusakan organ akan makin besar. Oleh karena itu,
mapertolongan diberikan makin besar kemungkinan keberhasilnnya. Disamping
hadiatas, keadaa penderita secara umum seperti usia, gizi dan adanya penyakit lain
dapatmempengaruhi hasil penanganan syok. Pendertita usia lanjut, gizi buruk,
dansistematik seperti diabetes dan sirosis hati akan memperburuk prognosis.
VII. Pengkajian
Fokus Pengkajian :
 Airway, Breathing, Circulation (ABC)
 Tanda dan Gejala Syok :
o Perifer : Penurunan Nadi Perifer, Kulit dingin dan lembab/basah, CRT > 2 deik,
pucat, sianosis
o Renal : Output Urine kurang 0,5 mg/kg/jam, peningkatan ureum, peningkatan
kreatinin, peningkatan BJ urin
o Cerebral : ansietas, pusing, agitasi, penurunan kesadaran
o Kardiopulmonal : penurunan TD, takikardia, disritmia, penurunan JVP,
penurunan CVP, takipnea, penurunan SpO2, gagal napas
o Gastrointestinal : penurunan bunyi usu, ileus paralitik, hiper/hipogikemia
o Hepatic : peningkatan enzim liver (ALT, AST) dan laktat
VIII. Diagnosa Keperawatan
 Perfusi Jaringan Perifer tidak efektif b.d :
o Penurunan Volume darah
o Penurunan kontraktilitas jantung
o Gangguan aliran darah sirkulasi
o Vasodilatasi yang luas
 Defisit volume cairan b.d kehilangan darah aktif, perpindahan cairan ke interstisial
 Penurunan curah jantung b.d perubahan preload, kontraktilitas, afterload,
blockade simpatis
 Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan
kebutuhan metabolic

IX. Intervensi Keperawatan


Penanganan Gawat Darurat di IGD
- Airway : menjamin jalan napas paten
- Breathing : memberikan oksigen  pertahankan SaO2 > 95%
- Circulation :
 Hentikan perdarahan eksternal dengan penekanan langsung
 Pasang akses IV berukuran besar (no. 14 atau 16)
 Pemberian cairan

Ringkasan

Penilaian dan perawatan pasien selalu dimulai dengan ABC, pertahankan pembukaan jalan
nafas, monitor respiirasi dan ventilasi jika dibutuhkan. Lakukan penilaian sirkulasi dengan
mengukur pulsasi radial, dan control perdahan eksternal. Perdarahan eksternal parah harus
diidentifikasi dan dikontrol selama penilaian awal. Metode utama untuk mengontrol
perdarahan eksternal adalah:

 Tekan langsung/balut tekan


 Elevasi/tinggikan
 Presusure poin : penekanan arteri brackialais dan femoralis

Metode lain termasuk pembidaian, dan penggunaan Pneumatic Anti Syok Garment (PASG).

keadaan pasien dalam keadaan syok berat untuk menyelamatkan nyawa. Setelah perdarahan
diatasai selanjutnya adalah memperbaiki kekurangan cairan intravaskuler dengan memberikan
cairan dengan jumlah yang dukup dalam waktu yang singkat. Pada umumnya cairan yang
diberikan adalah RL 20-40 cc/kg BB yang diberikan dalam tempo 10-15 menit. Pemberian cairan
ini dapat diualangi satu sampai 2 kali tergantung situasi. Hal lain yang harus diperhatikan disini
adalah cara pemasangan infus. Pilihlah jarum serta selang infus ukuran besar sehingga
memungkinkan transfuse dengan lancar. Jangan lupa untuk mengambil sample darah untuk
pemeriksaan cross test apabila transfuse darah harus diberikan
HIGHLIGH
T
Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus
selalu ingat akan prinsip prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan
tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO)
dengan mengutamakan keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara
X. Daftar pustaka
berkala

Stewart, Ronald, et al (2018). Advanced Trauma Life Support. Student Course


Manual. The Committee on Trauma. Tenth Edition. ISBN 78-0-9968262-3-5.
American College of Surgeons. Chicago.
Campbell, John Emory. 2008. International trauma life support for emergency
care providers—7th ed., Pearson Education: US
Emergency Nurses Assosiation, 2005.Sheehys manual of Emergency care.
Mosby Elsevier.Philadelphia
Soenarto RF. Fisiologi Kardiovaskuler. In: Soenarto RF, Chandra S, editors. Buku
Ajar Anestesiologi. Jakarta: FKUI; 2012. p. 75-89.
Guyton A, Hall J. Circulation (Unit IV, Chapter 14- 24). Textbook of Medical
Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania: Saunders; 2010. p. 45-300.
George Y, Harijanto E, Wahyuprajitno B. Syok: Definisi, Klasifikasi dan
Patofisiologi. In: Harijanto E, editor. Panduan Tatalaksana Terapi Cairan
Perioperatif. Jakarta: Perhimpunan Dokter spesialis Anestesiologi dan
Reanimasi Indonesia; 2009. p. 16-36.
Guyton A, Hall J. Circulatory Shock and Physiology of Its Treatment (Chapter
24). Textbook of Medical Physiology. 12th ed. Philadelphia, Pensylvania:
Saunders; 2010. p. 273-84.
MODUL 13
PENATALAKSANAAN EVAKUASI EMERGENCY

I. Pendahuluan
Prinsip tatalaksana pada kasus kegawatdaruratan sangatlah penting terutama pada saat
penolong mengangkat dan memindahkan korban ataupun proses evakuasi. Penolong
dituntut agar dapat memberikan tindakan secara cepat dan tepat, hal tersebut mengingat
golden period pasien dengan trauma dan kasus kegawatdaruratan tidaklah lama, serta
perlu diingat bahwa dalam tatalaksana jangan sampai menambah cedera korban dan
mencederai penolong (Do Not Futher Harm).
Penanganan pasien trauma yang definitif, apakah itu membutuhkan monitoring di ICU atau
tindakan operasi atau masuk ke unit perawatan umum, membutuhkan kehadiran dan
keterlibatan aktif dari tim penolong dengan keterampilan dan pengetahuan yang baik dan
kompeten. Keputusan untuk memindahkan pasien ke fasilitas rumah sakit baik pre
maupun intrahospital sangat tergantung pada kondisi pasien dan sumber daya yang ada di
unit atau rumah sakit tersebut. Keputusan tentang pasien mana yang perlu ditransfer,
kapan dan bagaimana transfer itu dilakukan adalah berdasarkan pada penilaian klinis
pasien. (Stewart, Ronald, et al, 2018)
Beberapa hal terkait proses evakuasi ataupun memindahkan pasien dalam kasus
kegawatdaruratan antara lain : proses evakuasi pre hospital dan transfer pasien intra-
hospital, teknik mengangkat dan memindahkan korban, mekanika tubuh penolong saat
menolong korban, teknik penggunaan ekstrikasi korban serta sistem transportasi dalam
hal ini ambulans sebagai sarana transportasi pasien. Hal tersebut sangatlah penting
dipelajari perawat agar pada saat melakukan pertolongan serta proses evakuasi tidak
membahayakan pasien dan perawat tersebut serta mampu menekan angka mortalitas dan
morbiditas.

II. Evakuasi pasien


Istilah evakuasi pasien diartikan sebagai upaya memindahkan pasien ke pusat pelayanan
kesehatan atau tempat rujukan lainnya agar pasien mendapatkan perawatan dan
pengobatan lebih lanjut. Evakuasi pasien merupakan kegiatan memindahkan pasien dari
lokasi kejadian menuju ke tempat aman, sehinggga akhirnya pasien mendapatkan
perawatan dan pengobatan lebih lanjut. Upaya ini dalam situasi dan keadaan tertentu
sangat penting, misalnya saat evakuasi pasien gawat darurat, ketika pasien harus
mendapatkan perawatan dan pengobatan dirumah sakit sehingga evakuasi pasien harus
dilakukan secara cepat dan waspada serta diusahakan tidak memperburuk keadaaan
pasien atau menambah cidera baru.
Menurut Stewart, Ronald, et al (2018), bahwa menyatakan bahwa Pasien yang
memerlukan transfer cepat dapat diidentifikasi berdasarkan pengukuran fisiologis (hasil
dari initial assessment), cedera spesifik yang dapat diidentifikasi, dan mekanisme cedera.
Misal pada pasien dengan cedera kepala parah (skor GCS 8 atau kurang) dan hipotensi,
pasien yang menunjukkan tanda dan gejala syok, penurunan fisiologis yang signifikan, atau
penurunan progresif pada pasien status neurologis, kondisi kondisi tersebut
membutuhkan pemindahan segera dan level perawatan lanjutan.
Menurut American College of Surgeons Committee on Trauma (2010), pada saat petugas
akan mengangkat atau memindahkan, merujuk pasien, ada beberapa syarat yang harus
diperhatikan yaitu:
1. (What is the problem? (Apa masalahnya?)
Dalam hal ini perlu diketahui cedera yang dialami oleh pasien, Informasi pendahuluan
dari pengantar dan kebutuhan pasien.
2. Who do I transport? (Siapa yang akan di transport?)
Apakah pasien multiple injuries,pasien memerlukan sarana yang memada, adanya
resiko kematian atau pasien manula
3. Where should I send the Patient? (Kemana pasien akan dikirim?)
Sebelum melakukan rujukan beberapa hal yang diperhatikan dari rumah sakit yang akan
dituju seperti Rumah Sakit yang mampu baik peralatan maupun sumber dayanya,
rumah sakit yang tepat, ada dokter bedah yang dapat mendiagnosis dan menangani
pasien yang cedera.
4. When should I transfer the pastient? (Kapan pasien akan dirujuk?)
Setelah life saving dikerjakan, setelah cedera distabilisasi, setelah rencana transfer
dibuat, jangan melakukan pemeriksaan yang tidak perlu dan hindari penundaan
transfer pasien.
5. How should I transport the patient?(Bagaimana cara pasien akan ditransport?)
Beberapa hal yang perlu dipastikan dalam merujuk pasien adalah: petugas pendamping
pasien selama rujukan, perawatan yang diperlukan di perjalanan serta melakukan
komunikasi dengan petugas penerima pasien terkait kondisi pasien dan hal yang perlu
dipersiapkan saat tiba di RS, kesediaan alat medis dan obat-obatan selama perjalanan
dan persiapan mobil ambulance yang akan digunakan untuk merujuk serta persetujuan
rujukan.

Menurut Stewart, Ronald, et al (2018), perawat / petugas yang memindahkan pasien harus
terlatih, sesuai dengan kondisi dan masalah potensial pasien. Selama proses transfer
pasien, petugas harus melakukan penanganan / perawat meliputi:
1. Observasi tanda-tanda vital dan oksimetri nadi
2. Treatment untuk sistem jantung dan pernafasan secara berkelanjutan
3. Resusitasi cairan seimbang yang berkelanjutan
4. Menggunakan obat-obatan sesuai instruksi
5. Berkomunikasi intens dengan dokter atau leader team selama transfer
6. Menyimpan catatan yang akurat selama transfer

III. Pengangkatan dan pemindahan pasien


Berdasarkan masalah keselamatan, pengangkatan dan pemindahan penderita dibagi
menjadi 2 (dua) macam yaitu pemindahan darurat dan pemindahan biasa (tidak darurat).
Yang dimaksud dengan darurat di sini bukan pada masalah peralatan, namun pada masalah
keadaan dan situasi di tempat kejadian.

1. Pemindahan Darurat
Lakukan pemindahan darurat hanya jika ada bahaya segera terhadap penderita ataupun
penolong dan juga jika penderita menghalangi akses ke penderita lainnya. Tindakan ini
dapat dilakukan tanpa dimulai dengan penilaian dini (respon, nafas dan nadi) mengingat
faktor bahaya dan resiko di tempat kejadian.
Pemindahan ini juga dapat menimbulkan resiko bertambah parahnya cedera penderita
terutama penderita yang mengalami cedera spinal (tulang belakang mulai dari tulang
leher sampai tulang ekor).Contoh pemindahan darurat antara lain:
a) Tarikan Lengan
Posisikan tubuh penolong di atas kepala penderita. Kemudian masukkan lengan di
bawah ketiak penderita dan pegang lengan bawah penderita. Selanjutnya silangkan
kedua lengan penderita di depan dada dan tarik penderita menuju tempat aman.
Hati-hati terhadap kaki penderita yang mungkin akan membentur benda di sekitar
lokasi kejadian.

Gambar 1 : Pemindahan dengan tarikan lengan


(sumber : Foto Tim Hipgabi Bali, 2019)
b) Tarikan Bahu
Cara ini berbahaya bagi penderita cedera spinal (tulang belakang dari tulang leher
sampai tulang ekor). Posisikan penolong berlutut di atas kepala penderita. Masukkan
kedua lengan di bawah ketiak penderita kemudian tarik ke belakang.
c) Tarikan Menjulang
Cara ini umumnya digunakan oleh petugas pemadam kebakaran yaitu dengan
menggendong penderita di belakang punggung penolong dengan cara mengangkat
lalu membopong penderita

Gambar 3 : pemindahan dengan tarikan menjulang (Langkah I dan langkah II)


(sumber : Foto Tim Hipgabi Bali, 2019)

Gambar 5 : pemindahan dengan tarikan menjulang (Langkah III)


(sumber : Foto Tim Hipgabi Bali, 2019)

2. Pemindahan Biasa (Tidak Darurat)


Pemindahan biasa (tidak darurat) dapat dilakukan ketika:
a. Penilaian awal (penilaian dini dan penilaian fisik) sudah dilakukan.
b. Denyut nadi dan pernafasan stabil.
c. Perdarahan sudah dikendalikan.
d. Tidak ada cedera leher.
e. Semua patah tulang sudah diimobilisasi.
Contoh pemindahan biasa (tidak darurat):
a. Teknik Angkat Langsung
Teknik ini dilakukan oleh 3 orang terutama pada penderita yang memiliki berat
badan tinggi dan atau jika tandu tidak di dapat di lokasi kejadian.
1) Ketiga penolong berlutut di sisi penderita yang paling sedikit mengalami cedera.
2) Penolong pertama menyisipkan satu lengan di bawah leher dan bahu lengan
penderita, kemudian lengan satunya disisipkan di bawah punggung penderita.
3) Penolong ke dua menyisipkan lengannya di bawah punggung dan bokong
penderita.
4) Penolong ke tiga satu lengan disisipkan di bawah bokong penderita dan lengan
satunya di bawah lutut penderita.
5) Penderita siap diangkat dengan satu aba-aba.

Gambar 6 : pemindahan penderita siap diangkat


(sumber : Foto Tim Hipgabi Bali, 2019)

6) Angkat penderita di atas lutut ketiga penolong secara bersamaan. Jika terdapat
tandu, maka penolong lain menyiapkan tandu di bawah penderita kemudian
meletakkan penderita di atas tandu dengan satu aba-aba.

Gambar7: Penderita Diangkat Di Atas Lutut Ketiga Penolong


(sumber : Foto Tim Hipgabi Bali, 2019)
7) Jika tidak terdapat tandu untuk pemindahan penderita, maka miringkan penderita
di atas dada ketiga penolong kemudian ketiga penolong berdiri bersama-sama
dengan satu aba-aba.
8) Ketiga penolong memindahkan penderita dengan melangkah bertahap dengan
satu aba-aba.

Gambar 8 : Ketiga Penolong Berdiri Bersamaan dengan Satu Aba-Aba


(sumber : Foto Tim Hipgabi Bali, 2019)

b. Pemindahan Dengan Tandu


Dilakukan oleh 4 (empat) penolong.
1) Empat penolong berjongkok di masing-masing ujung tandu menghadap ke arah
yang sama (ujung kaki penderita sebagai arah depan).
2) Penolong memposisikan kaki pada jarak yang tepat kemudian menggenggam
pegangan tandu dengan erat.
3) Punggung lurus, kepala menghadap ke depan dengan posisi netral.
4) Kencangkan otot punggung dan perut penolong dan angkat tandu dengan satu
aba-aba.
5) Pindahkan penderita ke tempat yang aman dengan satu aba-aba.
6) Turunkan penderita secara hati-hati dengan mengulang langkah-langkah di atas
secara mundur (berkebalikan).

c. Teknik Angkat Anggota Gerak


Dilakukan oleh 2 (dua) orang penolong.
1) Masing-masing penolong berjongkok berhadap-hadapan, penolong pertama di
ujung kepala penderita, penolong kedua di antara kaki penderita.
2) Penolong pertama mengangkat kedua lengan penderita dengan kedua tangannya.
3) Penolong ke dua mengangkat kedua lutut penderita.
4) Kedua penolong berdiri secara bersamaan dengan satu aba-aba dan mulai
memindahkan penderita ke tempat aman.
IV. Sistem mekanika tubuh penolong saat mengangkat dan memindahkan pasien
A. Pengertian
Body mekanik merupakan penggunaan tubuh yang efisien, terkoordinir dan aman untuk
menghasilkan pergerakan dan mempertahankan keseimbangan selama aktivitas.
Mekanika tubuh dan ambulasi merupakan bagian dari kebutuhan aktivitas manusia.
Body Mekanik meliputi 3 elemen dasar yaitu :
1. Body Aligement (Postur Tubuh)
2. Susunan geometrik bagian-bagian tubuh dalam hubungannya dengan bagian tubuh
yang lain.
3. Balance / Keseimbangan
Keseimbangan tergantung pada interaksi antara pusat gravity, line gravity and base
of support. Koordinated Body Movement (Gerakan tubuh yang terkoordinir). Dimana
body mekanik berinteraksi dalam fungsi muskuloskeletal dan sistem saraf.

B. Panduan dalam Mengangkat Penderita


1. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita
2. Nilailah beban yang akan diangkat secara bersama dan bila merasa tidak mampu,
jangan dipaksakan. Selalu komunikasikan secara teratur dengan pasangan kita.
3. Kedua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit didepan sebelahnya.
4. Posisi berjongkok dan jangan membungkuk saat mengangkat. Punggung harus selalu
dijaga tegak lurus.
5. Tangan yang memegang menghadal ke depan. Jarak antara kedua tangan yang
memegang (misal tandu) minimal 30 cm.
6. Tubuh sedekat mungkin ke beban yang harus diangkat.
7. Jangan memutar tubuh saat mengangkat
8. Panduan diatas juga berlaku saat menarik atau mendorong / menggeser penderita.

V. Alat Ekstriksi dan Transportasi


Adapun alat-alat yang digunakan untuk Ekstrikasi dan Transportasi antara lain :
Extrication (ekstrikasi) adalah teknik-tehnik yang dilakukan untuk melepaskan penderita
dari jepitan dan kondisi medan yang sulit dengan mengedepankan prinsipstabilisasi ABCD
(Airway, Breathing, Circulation dan Disability). Ekstrikasi dapat dilakukan setelah keadaan
aman bagi petugas penolong, dan seringkali memerlukan hal-hal yang bersifat rescue
untuk mempermudah pertolongan yang akan dilakukan dan membebaskan benda-benda
yangmempersulit pelaksanaan ekstrikasi contohnya memotong pintu kendaraan,
membukakap kendaraan, mengangkat korban dari dasar atau tepi jurang, menolong
korban terjun payung yang tersangkut di gedung atau pohon yang tinggi dan seterusnya
(Emergency Nurses Association, 2013).
1. Kendrik Ekstrication Device(KED)
Alat ini untuk mempermudah mengeluarkan korban dari dalam mobil atau tempat
padasaat korban dalam posisi duduk.

Gambar 9 : KED (Kendrik Ekstrication Device)

2. Long Spine Board


Alat ini biasanya terbuat dari kayu/fiber yang tidak menyerap cairan. Biasanya
adalubang dibagian sisinya untuk tali pengikat. Indikasi: untuk pasien yang dicurigai
cideratulang belakang. Jangan meletakan psien di atas LSB terlalu lam (>2 jam). Short
Spine Board sama seperti LSB hanya panjangnya lebih pendek (sekitar 1 meter).

Gambar 10 : LSB (Long Spine Board)

3. Scoop Strecher
Hanya untuk memindahkan pasien (dari brankard ke tempat tidur atau
sebaliknya).Bukan alat untuk imobilisasi pasien, bukan alat transportasi, dan jangan
mengangkatscoop strecher hanya pada ujungnya saja karena dapat
menyebabkanscoop strecher melengkung ditengah bahkan sampai patah.

Gambar 11 : Scoop Strecher dan Pandu Basket


Gambar 14: Structure Ambulance Gambar 15: Kursi roda Gambar 16 :
Brankar

VI. ALAT TRANSPORTASI DENGAN AMBULANS (KEMENKES RI,2014)


A. Definisi Ambulans
Secara terminology ambulans adalah suatu kendaraan untuk memindahkan orang
sakit atau cidera ke suatu tempat untuk mendapatkan pengobatan. Kendaraan
tersebut dilengkapi dengan lampu tanda darurat dan sirine. Ambulan digunakan
untuk kepentingan urgen maupun non urgen dengan jenis kendaraan yang
bervariasi, termasuk truck, van, bus, kereta api, station wagon, sepeda motor,
helicopter, pesawat terbang, dan kapal. Ambulan merupakan alat transportasi
yang digunakan untuk mengangkut pasien yang dilengkapi dengan peralatan
medis sesuai standar.
Pelayanan ambulans berada dalam Sistem Pelayanan Gawat Darurat Terpadu
(SPGDT) khususnya pra rumah sakit dan antar Rumah Sakit. Sehingga semua
kegiatan ambulans harus terkoneksi dengan system tersebut dan ditunjang
system komunikasi dan informasi yang handal.
B. Jenis Ambulans
Jenis ambulan yang digunakan harus mempertimbangkan jarak tempuh, waktu,
cuaca dan intervensi medis yang harus di lakukan. Ambulan di bagi menjadi 3 (Tiga)
jenis yaitu: Ambulan darat (Ambulan Transport, Ambulan Gawat Darurat/Medical
emergency, kereta jenasah), ambulan air, ambulan udara.
C. Syarat Ambulans
Ambulans transport (patient transport ambulance) adalah ambulance yang
tidak di lengkapi dengan peralatan untuk bantuan hidup/life support, dengan kru
yang sedikit memiliki kualifikasi. Kendaraan ini hanya digunakan untuk mengantar
pasien dari satu tempat ke tempat yang lain yang untuk mendapatkan pengobatan.
1. Spesifikasi Teknis Ambulans Transport
1) Peralatan Medis
Ambulan transport minimals mempunyai brankard, Oksigen, emergency kit, obat-
obatan, dan alat komunikasi.
2) Kendaraan ambulans
Kendaraan Ambulan Transport dapat berupa kendaraan jenis apa saja. Jenis
Kendaraan yang difungsikan sebagai ambulan dapat menyesuaikan kondisi
daerah. Dan dalam kondisi bencana dapat menggunakan Bus atau Kereta Api.
Ambulan Transport mempunyai rincian spesifikasi teknis yaitu:
b. Interior
 Interior ambulans harus dari bahan non porosif dan mudah dibersihkan
 Lemari/kompartemen tempat obat atau alat kesehatan penunjang
ambulans harus dapat memuat obat atau alat kesehatan yang diperlukan
 Landasan stretcher yang dilengkapi dengan laci untuk menyimpan peralatan
medis (Long Spine Board/Scoop Stretcher) cover base stretcher dilapisi vinyl
dan kuncian berbahan stainless
 Tabung gas medis harus diberi pengaman atau indicator untuk menjaga
kestabilan waktu ambulans
 Pemasangan dan penggunaan amply sirine & saklar ligh barharus mengikuti
peraturan terkait yang berlaku
 Sistem komunikasi ambulans harus terintegrasi dengan fasilitas pelayanan
kesehatan dan penyelenggara pelayanan ambulan dan ditunjang dengan
teknologi tepat guna. Sistem komunikasi harus dua arah. Pemakain
frekuensi yang digunakan akan diatur pada peraturan perundang-undangan
yang lain.
 Sistem kelistrikan harus dapat digunakan oleh peralatan medis yang dipakai,
sumber listrik (UPS) harus terpisah antara yang dipakai oleh kendaraan dan
yang dipakai oleh peralatan medis.
c. Eksterior
 Kendaraan harus mampu menampung peralatan medis yang diperlukan.
 Warna ambulans putih dan penulisan nama ambulans mengikuti Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 882/Menkes/SK/X/2009
tentang Pedoman Penanganan Evakuasi Medik.
 Pekerjaan pemasangan Lampu LED Flas/Blits Light Barwarna merah lengkap
dengan Speaker (warna disesuaikan, berdasarkan Undang-Undang Lalu
Lintas No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum)
 Suara Sirine mengacu pada standar suara sirine “TWO TONE” (High Low)

2. Spesifikasi Teknis Ambulan Gawat Darurat/Medical Emergency


Ambulan Gawat Darurat merupakan salah satu Ambulans yang dilengkapi dengan
peralatan yang bisa menangani gangguan Airway, Breathing, Circulation, Disability
dan Eksposure. Peralatan yang tersedia di Ambulans Gawat Darurat terdiri dari
peralatan pada Ambulans Transport di tambah minimal peralatan komplet
otomatis/manual untuk resusitasi, Diagnostic monitor, Defibrilator, tool kit untuk
minor surgery, dan Patient Monitor.
Semua peralatan medik harus dapat terkoneksi sambungan AC/DC dan memiliki back
up battery. Ambulan Gawat Darurat mempunyai rincian spesifikasi teknis sebagai
berikut:
a. Interior
 Interior ambulans harus dari bahan non porosif dan mudah di bersihkan.
 Lemari/kompartemen tempat obat atau alat kesehatan penunjang ambulans
harus dapat memuat obat dan alat kesehatan yang diperlukan.
 Landasan stretcher yang dilengkapi dengan laci untuk menyimpan peralatan
medis (Long Spine Board/Scoop Stretcher) cover base stretcher dilapisi vinyl
dan kuncian berbahan stainless
 Tabung gas medis harus diberi pengaman untuk menjaga kestabilan waktu
ambulan bergerak
 Pemasangan dan penggunaan amply sirine & saklar ligh bar harus mengikuti
peraturan terkait yang berlaku
 Sistem komunikasi ambulans harus terintegrasi dengan fasilitas pelayanan
kesehatan dan penyelenggara pelayanan ambulans dan ditunjang dengan
teknologi tepat guna. Pemakaian frekuensi yang digunakan akan diatur pada
perundang-undangan yang lain.
 Sistem kelistrikan harus dapat digunakan oleh peralatan medis yang dipakai,
sumber listrik (UPS) harus terpisah anatara yang dipakai oleh kendaraan dan
yang di pakai oleh peralatan medis.

b. Exsterior
 Kendaraan harus mampu menampung peralatan medis yang diperlukan
 Warna ambulan putih dan penulisan nama ambulans mengikuti Keputusan
Menteri Republik Indonesia Nomor 882/Menkes/SK/X/2009 TENTANG
Pedoman Penanganan Evakuasi Medik
 Di lengkapi dengan tanda cross of life sebagai tanda bahwa pada
ambulans tersebut terdapat penanganan bantuan hidup/life support/life
safety
 Pekerjaan pemasangan Lampu LED Flas/Blits Light Barwarna merah
lengkap dengan Speaker (warna disesuaikan, berdasarkan Undang-
Undang Lalu Lintas No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Umum)
 Suara Sirine mengacu pada standar suara sirine “TWO TONE” (High Low)

Gambar 17. Contoh Ambulans transport

2. KESIMPULAN
Proses rujukan pasien pada kasus kegawatdaruratan merupaka salah satu hal penting
dalam penanganan pasien dalam kondisi kegawatdaruratan, terutama pada kasus yang
harus segera mendapatkan penanganan lebih lanjut, dalam proses rujuka kita harus
memperhatikan indikasi dan kontraindikasi serta syarat pasien dilakukan rujukan. Prinsip
DO NOT FUTHER HARM yaitu jangan menambah parah kondisi pasien penting
diperhatikan serta keselamatan penolong juga perlu diperhatian. Proses rujukan dan
komunikasi yang baik serta cepat dan tepat dapat menekan angka mortalitas dan
morbiditas pasien dengan kondisi gawatdarurat.

HIGHLIGHT

Seorang perawat dalam melakukan tindakan kegawatdaruratan harus selalu ingat akan prinsip
prinsip sebagai berikut:
1. Memperkenalkan diri , senyum dan sapa
2. Melakukan Informed consent
3. Melakukan edukasi pada pasien atau keluarga saat memberikan terapi dan tindakan
4. Melakukan komunikasi Terapeutik pada pasien atau keluarga
5. Melakukan tindakan sesuai dengan Standar Prosedur Operasional (SPO) dengan mengutamakan
keselamatan pasien.
6. Melakukan Monitoring dan pelaporan perkembangan kondisi pasien secara berkala
VI. DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons Committee on Trauma. (2010). Advanced Trauma Life Support for
Doctors. Chicago, American College of Surgeon.
Stewart, Ronald, et al (2018). Advanced Trauma Life Support. Student Course Manual. The
Committee on Trauma. Tenth Edition. P.242–251. ISBN 78-0-9968262-3-5. American College
of Surgeons. Chicago.
Emergency Nurses Association. (2013). Sheehy's Manual of Emergency Care. United State of
America, Elsevier Mosby.
Kementrian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Teknis Ambulans. Ditjen. PUK. KEMKES.RI
MODUL 14
TRIAGE

I. Pendahuluan
Berdasarkan UU RI No. 44 tahun 2009, rumah sakit merupakan instansi
pelayanan dalam bidang kesehatan untuk melakukan pelayanan kesehatan perorangan
secara komprehensif yang ditunjang dengan adanya pelayanan rawat inap, rawat jalan
dan gawat darurat. Pelayanan kesehatan paripurna merupakan pelayanan kesehatan
yang meliputi promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Tujuan utama didirikannya
Instalasi Gawat Darurat adalah menyelenggarakan pelayanan gawat darurat dan
menyelenggarakan informasi medis darurat. Untuk masalah pelayanan Instalasi Gawat
Darurat perlu dilengkapi dengan alat komunikasi yang memadai, disamping tenaga
medis yang terdiri dari dokter dan perawat yang bekerja di Instalasi Gawat Darurat
Rumah Sakit. Perawat Instalasi Gawat Darurat melaksanakan tugas yang kompleks salah
satunya adalah menerima pasien yang datang dan melakukan pengkajian untuk menilai
kondisi kegawatannya melalui proses triage.
Triase menjadi komponen yang sangat penting dalam pelayanan di Unit Gawat
Darurat terutama bila terjadi peningkatan jumlah kunjungan pasien ke rumah sakit
melalui unit ini. Berbagai laporan dari IGD menyatakan adanya kepadatan
(overcrowding) yang menyebabkan perlu adanya metode menentukan siapa pasien
yang lebih prioritas sejak awal pasien kedatangan. Ketepatan dalam menentukan Triase
dapat memperbaiki alur pasien yang datang ke IGD, menjaga Sumber Daya IGD agar
dapat fokus menangani kasus yang benar benar gawat, dan mengalihkan kasus tidak
gawat darurat ke fasilitas kesehatan atau unit pelayanan yang sesuai (Hadiki H. et al,
2016).
Triase juga dapat diterapkan dan dilakukan pada kondisi pasien sebelum masuk
rumah sakit atau Triase Pra-hospital. Dalam beberapa kondisi seperti bencana, atau
kecelakaan masal atau mass casualty incident dibutuhkan koordinasi, intervensi medis
yang kompleks serta proses triase yang efektif. Triase pra hospital bertujuan untuk
mengidentifikasi dan memprioritaskan pasien yang membutuhkan intervensi dan atau
evakuasi segera. Dengan kondisi diatas maka dibutuhkan petugas kesehatan yang
professional dan harus disiapkan menangani kondisi kegawatan secara adequate (Lampi
M. et al 2017).
Triase yang sesuai tidak hanya memastikan pengelolaan pasien di IGD tepat
namun juga memainkan peran dalam meningkatkan kepuasan pasien dalam hal
perawatan yang pasien terima kemudian triase di IGD yang awalnya dilakukan oleh
dokter, kini pelayanan tersebut dapat diberikan oleh perawat yang pengalaman
(terlatih). mereka mampu menjalankan triase, mengelola dan menangani pasien yang
datang ke IGD secara mandiri setidak 30% untuk berbagai kasus cedera dan masalah
kesehatan lainnya (Rehman A.S. et al, 2015)
Maka modul ini akanmembahas tentang konsep dasar triage serta hal apa penting yang
harus dipahami perawat dalam menjalankan peran dan fungsi sebagai perawat triase di
IGD (intra-hospital) maupun dari luar RS (pra-hospital)

A. Pengertian
Triage berasal dari bahasa prancis "Trier" yang berarti memilah atau menyaring. Triase
didefinisikan sebagai prosedur pemilahan pasien sesuai dengan urgensi dan kebutuhan
akan perawatan. Diseluruh dunia, triase dimaknai sebagai prosedur pemilahan di area
masuk pelayanan gawat darurat menilai secara cepat apakah pasien sakit dengan
kegawatdaruratan atau tidak (Scrofine s., 2014).
Menurut Emergency Nursing Assosiation (2017), Triase adalah proses mengumpulkan
informasi terkait pasien yang membutuhkan perawatan gawat darurat dengan
melakukan prosedur pengambilan keputusan pemilahan kegawatandaruratan
menggunakan sistem yang valid dan konsisten, dapat dipercayai. Triase yang dilakukan
dengan cepat dan akurat merupakan hal penting untuk keberhasilan perawatan dan
kepulihan pasien di instalasi gawat darurat.Proses Triase terdiri dari mengumpulkan
informasi pasien, penkajian terfokus, menetapkan tingkat cedera/kesakitan,
memprioritaskan kebutuhan pasien akan perawatan kegawatdaruratan, semua
dilakukan dengan waktu yang singkat.
Perawat dalam melakukan pengkajian dan menentukan prioritas perawatan (triage)
tidak hanya didasarkan pada kondisi fisik, lingkungan dan psikososial pasien tetapi juga
memperhatikan patient flow di departemen emergensi dan akses perawat. Triage
departemen emergensi memiliki beberapa fungsi diantaranya: 1) identifikasi pasien
yang tidak harus menunggu untuk dilihat, dan 2) memprioritaskan pasien (Mace and
Mayer, 2013). Berbagai macam sistem triage telah digunakan diseluruh dunia yaitu The
AustralianTriage Scale (ATS), The Manchester Triage Scale, The Canadian Triage and
Acuity Scale (CTAS) dan Emergency Severity Index (ESI). CTAS (Canadian Triage and
Acuity Scale) diakui sebagai sistem triage yang handal dalam penilaian pasien dengan
cepat. Kehandalan dan validitasnya telah dibuktikan dalam triage pada pasien pediatrik
dan pasien dewasa (Lee, Et al, 2011).

B. Dasar Triage:
1. Check pernapasan
2. Check pernapasan lagi
3. Sesudah menjaga arus pernapasan
4. Check Peredaran (denyut nadi &Branch test)
5. Check kesadaran
6. Check respons
Triase dilakukan berdasar observasi:
1. Pernafasan(respiratory)
2. Sirkulasi (perfusion)
3. Status mental(mental state)

C. Prinsip Triage
Time saving is life saving (waktu keselamata adalah keselamatan hidup), the right
patient, to the right place at the right time, with the right care provider. Triage
seharusnya segera dan tepat waktu, penanganan yang segera dan tepat waktu akan
segera mengatasi masalah pasien dan mengurangi terjadi kecacatan akibat kerusakan
organ. Pengkajian seharusnya adekuat dan akurat, data yang didapatkan dengan
adekuat dan akurat menghasilkan diagnosa masalah yang tepat. Keputusan didasarkan
dari pengkajian, penegakan diagnose dan keputusan tindakan yang diberikan sesuai
kondisi pasien. Intervensi dilakukan sesuai kondisi korban, penanganan atau tindakan
yang diberikan sesuai dengan masalah/keluhan pasien. Kepuasan korban harus dicapai,
kepuasan korban menunjukkan teratasinya masalah. Dokumentasi dengan benar,
dokumentasi yang benar merupakan sarana komunikasi antar tim gawat darurat dan
merupakan aspek legal.

D. Klasfikasi Triage pre hospital


Klasifikasi Triage Berdasarkan Kasus
a. Prioritas 1 : Kasus Berat
 Perdarahan berat
 Asfiksia, cedera cervical, cedera pada maxilla
 Trauma kepala dengan koma dan proses shock yang cepat
 Fraktur terbuka dan fraktur compound
 Luka bakar > 30 % / Extensive Burn
 Shock tipe apapun
b. Prioritas 2 : Kasus Sedang
 Trauma thorax non asfiksia
 Fraktur tertutup pada tulang panjang
 Luka bakar terbatas
 Cedera pada bagian / jaringan lunak.
c. Prioritas 3 : Kasus Ringan
 Minor injuries
 Seluruh kasus-kasus ambulant / jalan
d. Prioritas 0 : Kasus Meninggal
 Tidak ada respon pada semua rangsangan
 Tidak ada respirasi spontan
 Tidak ada bukti aktivitas jantung
 Tidak ada respon pupil terhadap cahaya

E. Tipe-tipe Triage di Rumah Sakit


1. Traffic Director or Non Nurse Triage
 Triage dilakukan oleh petugas pendaftaran, health attendant / health care
assistant.
 Penilaian visual
 Pengkajian minimal terbatas pada keluhan utama
 Tidak ada standar baku
 Tidak ada atau minimal dokumentasi
2. Spot Check Triage
 Dilakukan oleh petugas yang berlisensi, dokter atau perawat
 Quick look, mencakup riwayat penyakit serta evaluasi subjektif dan objektif
 Seringkali terdapat perbedaan penilaian karena variasi pengalaman dan
kemampuan
 Protokol standard yang minimal
3. Comprehensive Triage
 Triage dilakukan oleh staf dengan kemampuan dan pelatihan yang cukup
 Kategori prioritas menggunakan empat atau lima tingkatan
 Ada protokol standar yang tertulis untuk proses triage termasuk dimulainya tes
diagnostik, penanganan terbatas, serta reevaluasi pasien
 Dokumentasi juga dilakukan secara tepat

F. Sistem Triage
Sistem triage ada 2 yaitu:
a. Non disaster: Untuk menyediakan perawatan sebaik mungkin bagi setiap individu
pasien
 Identifikasi pasien-pasien yang membutuhkan penatalaksanaan segera
 Menentukan area tatalaksana yang tepat
 Memudahkan alur pasien di IGD dan menghindari kemacetan yang tidak perlu
b. Disaster : Untuk menyediakan perawatan yg lebih efektif untuk pasien dalam jumlah
banyak
Salah satu metode yang paling sederhana dan umum digunakan adalah metode S.T.A.R.T
atau Simple Triage and Rapid Treatment.
(START) Simple Triage and Rapid Treatment, fokus pada:
 Penilaian pertama tidak lebih dari 30 detik / orang.
 Konsentrasi untuk laksanakan triage, tidak lakukan pengobatan
Metode ini membagi penderita menjadi 4 kategori:

Tingkat Warna Kode Kategori Keadaan penyakit / luka


1 I Kelompok Merupakan prioritas utama, diberikan
utama untuk kepada para penderita yang kritis
pengobatan keadaannya seperti gangguan jalan
napas, gangguan pernapasan,
perdarahan berat / perdarahan tidak
terkontrol, penurunan status mental.
2 II Kelompok Merupakan prioritas berikutnya
yang bisa diberikan kepada para penderita yang
menunggu mengalami keadaan seperti luka bakar
sementara tanpa gangguan saluran napas atau
kerusakan alat gerak, patah tulang
tertutup yang tidak dapat berjalan,
cedera punggung.
3 III Kelompok Merupakan kelompok yang paling akhir
yang bisa prioritasnya, dikenal juga sebagai
ditangguhkan ‘Walking Wounded” atau orang cedera
yang dapat berjalan sendiri.
4 0 Kelompok yang Diberikan kepada mereka yang
sudah mati / meninggal atau mengalami cedera yang
tidak bisa mematikan.
diselamatkan
G. Level Sistem Triage
Hasil dari proses triage adalah pengelompokan pederita sesuai berat ringannya
masalah pada penderita tersebut. Agar pengelompokannya mudah dikenali oleh
petugas lain maka dalam triage penting sekali untuk melakukan labeling dengan
warna yang sudah diakui secara international yaitu Merah, Kuning, Hijau, dan Hitam.
a. MERAH --> High Priority --> memerlukan penanganan segera
b. KUNING --> Intermediate Priority --> apabila tidak segera diberi pertolongan akan
memburuk
c. HIJAU --> Low Priority --> Penanganan penderita dapat ditunda
d. HITAM --> Lowest Priority --> penderita yang tidak bisa dipertahankan lagi atau
sudah meninggal
2 level 3 level 4 level 5 level
Emergensi Emergensi Mengancam jiwa Resusitasi / kritis
Non emergensi Urgensi Emergensi Emergensi
Non urgensi Urgensi Urgensi
Non urgensi Non urgensi
Poliklinik / Poli Umum

H. Prosedur START :
Lakukan triase sebelum pengobatan, jangan melakukan triase lebih dari 60 detik
Langkah 0
Panggil korban yang masih bisa berjalan untuk mendekat kearah petugas yang
berada dilokasi aman (collecting area). Korban yang bisa berjalan mendekat
diberikan label Hijau.
Langkah 1 (Airway + Breathing)
Cek pernapasan, Apabila tidak bernapas buka jalan napasnya, jika tetap tidak
bernapas berikan label HITAM. Pernapasan > 30 kali / menit atau <> Pernapasan 10-
30 kali permenit kelangkah berikutnya
Langkah 2 (Circulation)
Cek Capilary test (Tekan Kuku tangan penderita) kemudian lepas, apabila kembali
merah lebih dari 2 detik (> 2 detik) berikan label MERAH. Apabila <> Apabila
pencahayaan kurang untuk capilary test, lakukan cek nadi radialis, apabila tidak
teraba atau lemah berikan label MERAH. Apabila nadi radialis teraba kelangkah
berikut.
Langkah 3 (Mental Status)
Berikan perintah sederhana kepada penderita, Apabila mengikuti berikan label
KUNING. Apabila tidak dapat mengikuti perintah berikan label MERAH.
Setelah melakukan langkah-langkah triage dan memberikan label/tanda pada
penderita, segera untuk menuju kependerita lain yang belum dilakukan triage.Triage
harus selalu dievaluasi untuk menghindari kemungkinan terjadi kesalahan waktu triage.

184
Atau bisa juga perubahan terjadi ketika kondisi penderita membaik atau memburuk.

Pelaksanaan Triage Metode S.T.A.R.T


Untuk memudahkan pelaksanaan triage maka dapat dilakukan suatu pemeriksaan
yaitu:
1. Kumpulkan semua penderita yang dapat / mampu berjalan sendiri ke areal yang
telah ditentukan, dan beri mereka label hijau.
2. Setelah itu alihkan kepada penderita yang tersisa periksa :
3. Pernapasan :
a. Bila pernapasan lebih dari 30 kali / menit beri label merah.
b. Bila penderita tidak bernapas maka upayakan membuka jalan napas dan
bersihkan jalan napas satu kali, bila pernapasan spontan mulai maka beri label
merah, bila tidak beri hitam.
c. Bila pernapasan kurang dari 30 kali /menit nilai waktu pengisian kapiler.
4. Waktu pengisian kapiler :
a. > 2 detik berarti kurang baik, beri merah, hentikan perdarahan besar bila ada.
b. Bila kurang dari 2 detik maka nilai status mentalnya.
c. Bila penerangan kurang maka periksa nadi radial penderita. Bila tidak ada maka
ini berarti bahwa tekanan darah penderita sudah rendah dan perfusi jaringan
sudah menurun.
5. Pemeriksaan status mental :
a. Pemeriksaan untuk mengikuti perintah-perintah sederhana
b. Bila penderita tidak mampu mengikuti suatu perintah sederhana maka beri
merah.
c. Bila mampu beri kuning

II. Algoritma Model START


Stein, L., 2008 menjelaskan Sistem START tidak harus dilakukan oleh penyedia layanan
kesehatan yang sangat terampil. Bahkan, dapat dilakukan oleh penyedia dengan tingkat
pertolongan pertama pelatihan. Tujuannya adalah untuk dengan cepat mengidentifikasi
individu yang membutuhkan perawatan, waktu yang dibutuhkan untuk triase setiap
korban kurang dari 60 detik.
START membagi korban menjadi 4 kelompok dan masing-masing memberikan
mengelompokkan warna. START triase memiliki tag empat warna untuk mengidentifikasi
status korban. Langkah pertama adalah meminta semua korban yang membutuhkan
perhatian untuk pindah ke daerah perawatan. Ini mengidentifikasi semua korban dengan
luka ringan yang mampu merespon perintah dan berjalan singkat jarak ke area
pengobatan. Ini adalah GREEN kelompok dan diidentifikasi untuk pengobatan delayed,
mereka memang membutuhkan perhatian. Jika anggota kelompok ini tidak merasa bahwa
mereka yang menerima pengobatan mereka sendiri akan menyebarkan ke rumah sakit
185
pilihan mereka. Langkah selanjutnya menilai pernapasan. Jika respirasi lebih besar dari 30
tag korban sebagai RED (Immediate), jika tidak ada reposisi respirasi jalan napas. Jika tidak
ada respirasi setelah reposisi untuk membuka jalan napas, tag korban BLACK (mati). Jika
tingkat pernapasan kurang dari 30 bpm, periksa denyut nadi radial dan refill kapiler. Jika
tidak ada pulsa radial teraba atau jika kapiler isi ulang lebih besar dari 2 detik, menandai
korban RED (Immediate). Jika ada perdarahan yang jelas, maka kontrol perdarahan dengan
tekanan. Minta orang lain, bahkan korban GREEN untuk menerapkan tekanan dan
melanjutkan untuk triase dan tag individu. Jika ada nadi radial, nilai status mental korban
dengan meminta mereka untuk mengikuti perintah sederhana seperti meremas tangan.
Jika mereka tidak bisa mengikuti perintah sederhana, maka tag mereka RED (Immediate)
dan jika mereka dapat mengikuti perintah sederhana, maka tag mereka YELLOW (delayed).
Algoritma dibawah ini membuat lebih mudah untuk mengikuti. Pemeriksaan tiga
parameter, pernapasan, perfusi dan status mental kelompok dapat dengan cepat
diprioritaskan atau disortir menjadi 4 kelompok warna berdasarkan apakah mereka
membutuhkan intervensi langsung yang kelompok RED, intervensi tertunda (sampai satu
jam) yang merupakan kelompok YELLOW, luka ringan dimana intervensi dapat ditunda
hingga tiga jam yang adalah kelompok GREEN dan mereka yang mati yang 4 kelompok
BLACK. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan menghapus mereka yang
membutuhkanperhatian yang paling mendesak. Pada kelompok YELLOW dan GREEN perlu
dinilai kembali untuk menentukan apakah status mereka berubah.

JUMPSTART
Anak-anak memiliki nilai rentang normal yang berbeda dari yang pernapasan tergantung
pada usia mereka, sehingga metode START berdasarkan tingkat pernapasan 30 tidak akan
sesuai untuk anak-anak. Selain itu, anak-anak lebih cenderung memiliki masalah
pernapasan utama sebagai lawan masalah kardiovaskular dan anak-anak yang tidak
bernapas mungkin hanya memerlukan pernapasan buatan untuk diresusitasi. Selain itu,
anak-anak mungkin tidak mudah dibagi sesuai dengan yang dapat berjalan kaki kelokasi
yang ditunjuk karena perkembangan, keterampilan, kesediaan mereka untuk
meninggalkan orangtua terluka dan kecenderungan orang tua untuk membawa anak. Hal
ini digunakan secara luas di Amerika Serikat dan Kanada dan merupakan modifikasi sistem
START. Alat ini digunakan untuk anak-anak usia 1 dan 8 tahun. Mungkin tidak mudah untuk
menentukan usia anak sehingga korban tampak masih anakanak maka menggunakan
JUMP START dan jika korban terlihat seperti orang dewasa muda menggunakan START.
Modifikasi dan penilaian tambahan akan diperlukan untuk anakanak kurang dari usia 1
tahun, dengan keterlambatan perkembangan, cacat kronis atau cedera terjadi sebelum
kejadian. (Jumpstart, 2008 dalam Stein, L., 2008)

186
187
188
III. Daftar Pustaka
Australian Government Department of Health and Aging. Emergency Triage Education Kit.
Department of Health and Aging. 2009.
Einav S, Feigenberg Z, Weissman C, et al. Evacuation priorities in mass casualty terror- related events.
Ann Surg 2004; 239(3): 304-310. Melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1356226
Habib H, Sulistio S, Unit E, Mangunkusumo C, Mulyana RM, Albar IA. Triase Modern Rumah Sakit dan
Aplikasinya di Indonesia Triase Modern Rumah Sakit dan Aplikasinya diIndonesia. 2016; (December).
Emergency Nurses Association. (2017). Emergency nursing triage course. Retrieved from
https://www.ena.org/education/onlinelearning/Pages/ENT.aspx
Habib H, Sulistio S, Unit E, Mangunkusumo C, Mulyana RM, Albar IA. Triase Modern Rumah Sakit dan
Aplikasinya di Indonesia Triase Modern Rumah Sakit dan Aplikasinya di Indonesia. 2016; Availaible from:
https://www.researchgate.net/publication/311715654_Triase_Modern_Rumah_Sakit
_dan_Aplikasinya_di_Indonesia
Lee, Et al. (2011). The validity of the Canadian Triage and Acuity Scale in predicting resource utilization and the
need for immediate life-saving interventions in elderly emergency department patients. Scandinavian of
Journal Trauma, Resucitation andEmergency Medicine. 19: 68. P.1-8.
Lampi M, Et al (2017). TRIAGE Management of the trauma patient. Department of Clinical and Experimental
Medicine, Center for Teaching and Research in Disaster Medicine and Traumatology Linköping University
Medical Faculty SE-581 83 Linköping, Sweden Linköping 2017.
Mace, Sharon E and Mayer, Thom A. (2013). Triage. Chapter 15. Section IV. The Practice Environment.
Robertson-Steel I. Evolution of triage systems. Emerg Med J. 2006; 23:154-6. Stein, L., (2008).
Mass Casualty Triage. The Oklahoma Nurse. P 18-21.
Scrofine s., (2014). Triage: The Sorting of Patients. Jurnal of Emergency Nursing May 2014 Volume 40, Issue
3, P.289–290

189

Anda mungkin juga menyukai