pasien datang sampai dilakukan penanganan dengan ukuran keberhasilan adalah response
time selama 5 menit dan waktu definitif ≤ 2 jam(sahrul said dan andi.2018).
Response time sangat berhubungan dengan triage dimana standar triage yang
paling banyak digunakan di Rumah Sakit untuk penanganan pasien dengan menggunakan
lima kategori diantaranya, sangat mengancam hidup maka waktu tanggapnya langsung (0
menit), sedikit mengancam hidup (10 menit), beresiko mengancam hidup (30 menit),
darurat (60 menit) dan kategori biasa dengan waktu perawatan (120 menit)(sahrul said
dan andi.2018).
Kepuasan pasien ditentukan oleh pelayanan yang salah satunya adalah waktu
tanggap (response time) yang cepat dan penanganan yang tepat. Kejadian gawat darurat
bisa terjadi kepada siapa saja, kapan saja, dan dimana saja, kondisi ini menuntut kesiapan
petugas kesehatan untuk mengantisipasi kejadian itu. Manajemen pertolongan keadaan
gawat darurat pada area tersebut sampai saat ini masih sangat mengkhawatirkan(Anatolia
K,dkk. 2019)
Pelayanan pasien gawat darurat merupakan pelayanan yang memerlukan
pelayanan segera, yaitu cepat, tepat, dan cermat untuk mencegah kematian atau
kecacatan. Salah satu indikator mutu pelayanan berupa response time (waktu tanggap),
dimana merupakan indikator proses untuk mencapai indikator hasil yaitu kelangsungan
hidup. (Anatolia K,dkk. 2019)
Tahun 2007 data kunjungan pasien ke instalasi gawat darurat di seluruh Indonesia
mencapai 4.402.205 (13,3% dari total seluruh kunjungan di Rumah Sakit Umum) dengan
jumlah kunjungan 12% dari kunjungan IGD. Jumlah yang signifikan ini kemudian
memerlukan perhatian yang cukup besar dengan pelayanan pasien gawat darurat sehingga
menteri kesehatan pada tahun 2009 menetapkan acuan bagi rumah sakit dalam
mengembangkan pelayanan gawat darurat khususnya di Instalasi gawat darurat dimana
salah satu prinsip umumnya tentang penanganan pasien gawat darurat yang harus di
tangani <5 (lima) menit setelah pasien sampai di IGD yang di sebut response
time(Anatolia K,dkk. 2019)
Response time juga dapat berarti waktu emas terhadap kehidupan seorang pasien
dimana dalam banyak kasus menggambarkan semakin cepat mendapatkan pertolongan
definitif maka kemungkinan kesembuhan dan keberlangsungan hidup seseorang akan
semakin besar, sebaliknya kegagalan response time di IGD dapat diamati dari yang
berakibat fatal berupa kematian atau cacat permanen dengan kasus kegawatan organ vital
pada pasien sampai hari rawat di ruang perawatan yang panjang setelah pertolongan di
IGD sehingga berakibat ketidakpuasan pasien dan complain sampai dengan biaya
perawatan yang tinggi(sahrul said dan andi.2018).
Wilde (2009) telah membuktikan secara jelas tentang pentingnya waktu tanggap
(response time) bahkan pada pasien selain penderita penyakit jantung. Mekanisme waktu
tanggap (response time) disamping menentukan keluasan rusaknya organ-organ dalam
juga dapat mengurangi beban pembiayaan(Anatolia K,dkk. 2019)
faktor internal dan eksternal yang memengaruhi keterlambatan penanganan kasus
gawat darurat antara lain karakter pasien, penempatan staf, ketersediaan stretcher dan
petugas kesehatan, waktu ketibaan pasien, pelaksanaan manajemen dan,strategi
pemeriksaan dan penanganan yang dipilih. Hal ini bisa menjadi pertimbangan dalam
menentukan konsep tentang waktu tanggap penanganan kasus di IGD rumah sakit( Wa
Ode Nur Isnah Sabriyati.2019)
Kecepatan dan ketepatan pertolongan yang diberikan pada pasien yang datang ke
Instalasi Gawat Darurat (IGD) memerlukan standar sesuai dengan kompetensi dan
kemampuannya sehingga dapat menjamin suatu penanganan gawat darurat dengan
respons time yang cepat dan penanganan yang tepat. Hal ini dapat dicapai dengan
meningkatkan sarana, prasarana, sumber daya manusia dan manajemen IGD rumah sakit
sesuai standar(Kepmenkes RI, 2009).
Faktor lain yang mempengaruhi yaitu usia responden, dalam usia responden
sesuai Depkes (2009) pada penelitian ini terdapat 9.5% dengan usia remaja akhir (17-25
tahun) yang memiliki respon time cukup tanggap sedangkan pada usia dewasa akhir (36-
45 tahun) sebanyak 14.3% yang semuanya memiliki respon time sangat tanggap atau (<5
menit). Dalam teori Notoatmojo, (2005) mengatakan bahwa usia berpengaruh terhadap
daya tangkap dan pola pikir seseorang, semakin bertambah usia akan semakin
berkembang pula daya tangkap dan pola pikir sehingga pengetahuan yang diperoleh
semakin baik(sahrul said dan andi.2018).
Kematangan individu dapat dilihat langsung secara objektif dengan periode
umur, sehingga berbagai proses pegalaman, pengetahuan, ketrampilan, kemandirian
terkait sejalan bertambahnya dengan bertambahnya umur individu, umur yang lebih tua,
akan cenderung memiliki pengalaman yang lebih dalam menghadapi masalah. Tingkat
kematangan dalam berpikir dan berperilaku dipengaruhi oleh pengalaman kehidupan
sehari-hari, hal ini menunjukkan bahwa semakin lama masa kerja akan semakin tinggi
tingkat kematangan seseorang dalam berpikir sehingga lebih meningkatkan pengetahuan
yang dimilikinya(sahrul said dan andi.2018).
Menurut (Junjungsari F. S, dkk, 2019) Faktor-faktor yang turut
memengaruhi lamanya waktu tunggu pelayanan laboratorium antara lain:
1. Sumber Daya Manusia
Salah satu penyebab lamanya waktu tunggu pada pelayanan
laboratorium adalah jumlah tenaga yang masih belum mencukupi walaupun
pembagian shiftnya sudah teratur. Hal ini diperjelas dengan hasil observasi
bahwa hanya ada satu petugas yang mengerjakan 3 pekerjaan, yaitu menjaga
administrasi laboratorium, mengambil sampel pasien, dan mengantar sampel
tersebut ke ruang laboratorium di lantai basement sehingga terjadi delay pada proses
pelayanan laboratorium. Kekurangan tenaga juga terjadi pada pemeriksaan
sampel karena hanya ada 2 petugas yang bertugas untuk melakukan
pemeriksaan, baik itu dari pasien rawat inap maupun pasien rawat jalan. Kemampuan
dan pengalaman pegawai dalam melakukan pemeriksaan sampel dianggap
berpengaruh terhadap kecepatan pelayanan laboratorium, namun selama ini masih
jarang diadakan pelatihan khusus bagi pegawai terkait pelayanan laboratorium.
2. Sarana Prasarana
Peralatan yang terdapat pada laboratorium sudah cukup lengkap dan optimal
dalam melakukan pelayanan laboratorium, namun memangmasih ada beberapa
pemeriksaan yang dirujuk ke laboratorium lain. Luas ruangan laboratorium
dianggap sempit sehingga penempatan alat-alat untuk pemeriksaan sampel
masih belum teratur dikarenakan alat-alatnya yang terbilang besar. Tata letak
ruangan juga dianggap masih belum optimal dikarenakan terpisahnya ruangan
sampling dengan ruang laboratorium, dimana ruang sampling terdapat di lantai
1 sedangkan ruang laboratorium terdapat di lantai basement. Hal ini pun
menyebabkan delay pada pemeriksaan sampel. Kemudian ruang penyimpanan yang
masih menjadi satu dengan area pemeriksaan. Begitu pula dengan teknik
pembuangan limbah yang belum sesuai dengan standar.
3. Standar Prosedur Operasional (SPO)
Standar prosedur operasional untuk pelayanan laboratorium sudah tersedia dan
sudah disosialisasikan kepada pegawai laboratorium. Namun SPO yang sudah
ada belum sepenuhnya digunakan sebagai pedoman kerja oleh pegawai. Hal ini
diperjelas dengan hasil pengamatan bahwa dalam melakukan pemeriksaan sampel,
pegawai tidak ada yang memakai APD.selain itu petugas sudah mengambil sampel
pasien, padahal pasien tersebut belum melakukan pembayaran di kasir.
Kemudian untuk pengawasan terhadap pelaksaan SPO dilakukan oleh
koordinator laboratorium meskipun pengawasan yang dilakukan masih kurang
optimal. Hal ini diperjelas oleh hasil pengamatan dimana koordinator
laboratorium tidak melakukan apa-apa ketika melihat pegawai lain tidak
menggunakan APD pada saat melakukan pemeriksaan sampel. Penanganan kepada
petugas yang melanggar SPO adalahdiberikan teguran secara lisan. Bila tidak
berubah baru dilaporkan kepada kepala departemen penunjang medik dan HRD.
Standar respon time tertuang dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia No 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar Instalasi Gawat Darurat Rumah
Sakit yang menyebutkan bahwa pasien gawat darurat harus terlayani paling lama 5 (lima)
menit setelah sampai di gawat darurat.