SKRIPSI
Oleh:
TAFSIYATUN ROHANAH
NIM: 99424272
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………….i
HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….iii
HALAMAN MOTTO…………………………………………………..iv
HALAMAN PERSEMBAH…………………………………………….v
KATA PENGANTAR…………………………………………………..vi
DAFTAR TABEL……………………………………………………….x
DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Penegasan Istilah………………………………………………1
C. Rumusan Masalah……………………………………………...9
E. Kerangka Teoritik…………………………………………….10
F. Metode Penelitian…………………………………………….17
G. Sistematika Pembahasan……………………………………...21
1. Letak Geografis…………………………………………....37
3. Struktur Organisasi………………………………………...39
4. Fasilitas Pendidikan………………………………………..41
1. Kurikulum………………………………………………….47
2. Materi Pelajaran……………………………………………50
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan…………………………………………………….92
B. Kritik dan Saran………………………………………………..94
C. Kata Penutup…………………………………………………...95
Daftar Pustaka…………………………………………………………...96
Lampiran-lampiran…………………………………………………….100
BAB I
PENDAHULUAN
A. Penegasan Istilah
1. Tradisi
2. Arab Pegon
Arab pegon, yaitu sebuah tulisan, aksara atau huruf arab tanpa lambang
atau tanda baca atau bunyi2. Dalam kamus Jawa-Indonesia, pegon berarti tidak
biasa mengucapkan.3 Kata lain dari “pegon” yaitu gundhil berarti gundhul atau
maupun makna yang tersurat didalam kitab kuning5 dengan menggunakan bahasa
tertentu.
3. Pondok Pesantren
1
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al barry,Kamus Ilmiah populer, Surabaya, Penerbit Arkola, 1994,
h..756
2
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al barry, Op. Cit, h.579
3
Purwadi, Kamus Jawa-Indonesia, Jakarta, Pustaka Widyatama, 2003, h. 278
4
Purwadi, Op. Cit, h. 88
5
Kitab kuning, merupakan buku tentang ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari di pesantren yang ditulis
dalam tulisan dan Bahasa Arab dengan sistemtik klasik.
Merupakan sebuah institusi agama Islam,yang masih bercorak tradisional
orang Jawa, sedangkan untuk daerah Sumatera disebut dengan aksara Arab-
Melayu6. Jadi, huruf Arab pegon atau disebut dengan aksara Arab-Melayu ini
merupakan tulisan dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa lokal. Dikatakan
bahasa lokal karena ternyata tulisan Arab pegon itu tidak hanya menggunakan
Bahasa Jawa saja tapi juga dipakai di daerah Jawa barat dengan menggunakan
Agama Islam, diduga merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh para ulama
sebagai upaya menyebarkan Agama Islam7. Selain itu aksara Arab ini juga
dalam kesusasteraan Jawa ada juga yang ditulis dengan tulisan pegon atau
gundhil, penggunaan huruf ini terutama untuk kesusasteraan Jawa yang bersifat
agama Islam,8 aksara Arab yang dipakai dalam Bahasa Jawa disebut dengan
6
Kompas, Melihat palembang dari naskah kuno, Senin 29 september 2003
7
Wawancara dengan Jadul Maula, ketua yayasan Lembaga kajian Islam dan Sosial Yogyakarta, 20
september 2003.
8
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta, Balai Pustaka, 1994, h. 20.
9
Abdul chaer, Linguistik umum, , Jakarta Rineka Cipta, 1994, h. 89.
mempelajari kesusasteraan Indonesia seringkali menggunakan aksara Arab ini,
Dengan aksara Arab ini, telah ditulis dan dikarang ratusan buku mengenai
ibadah, hikayat, tasawuf, sejarah nabi-nabi dan rosul serta buku-buku roman
kemerdekaan, banyak sekali orang yang masih buta aksara latin tetapi tidak buta
baik untuk membaca Al-Qur’an maupun menulis surat dalam bahasa daerah
dengan aksara Arab.10Menurut Prof. Dr. Denys Lombard, menjelang tahun 1880
aksara Arab masih digunakan luas untuk menuliskan Bahasa Melayu dan beberapa
Zaedi,12 aksara Arab dengan Bahasa Bugis/Walio dianggap sebagai salah satu
satu caranya yaitu dengan mengajarkan kepada murid-murid sekolah dasar (SD),
perguruan tinggi sebagai salah satu pilihan dalam kurikulum muatan lokal.
yang masih kuat kultur masyarakatnya13sampai saat ini masih tetap dipertahankan.
10
Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab, Surabaya, Penerbit Al-ikhlas, 1992,h. 29
11
Denys Lombard, Nusa jawa:Silang Budaya Jilid I, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000,
h.164
12
Wawancara dengan Laode Zaedi, Mantan Pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulawesi
Selatan untuk kesultanan Buton, 27September 2004.
13
Maksudnya yang termasuk golongan Nahdlotul Ulama terutama untuk kawasan pulau jawa,
diantaranya Pesantren Krapyak di Yogyakarta, Pesantren Tebu Ireng dan Tambak Beras di Jombang
jawa Timur juga dibanyak tempat lainnya.
Karena selama ini pesantren masih dianggap banyak membawa keberhasilan
berbahasa arab, atau berhuruf arab, sebagai produk pemikiran ulama masa lampau
(as-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M.
Dalam rumusan yang lebih rinci, definisi kitab kuning adalah kitab-kitab yang, ( a)
yang dipedomani oleh para ulama indonesia, (b) ditulis oleh ulama Indonesia
sebagai karya tulis yang “independen”, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia
Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di timur tengah, dikenal dua istilah
Perbedaan pertama dari yang kedua dicirikan, antaara lain, cara penulisannya
bahasanya yang berat, klasik, dan tanpa syakl (baca: sandangan- fatkhah,
dhommah, kasroh). Dan sebutan kitab kuning pada dasarnya mengacu pada
14
Sebutan untuk wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur
15
Sebutan untuk wilayah Jawa Barat
Spesifikasi kitab kuning secara umum terletak pada formatnya (lay-out), yang
terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti), dan syarh (komentar, teks penjelas
atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu di letakkan di bagian
bagian tengah setiap halaman kitab kuning. Ukuran panjang-lebar kertas yang
digunakan kitab kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (quarto). Ciri khas lainnya
terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia
secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri
dari beberapa korasan yang memungkinkn salah satu atau beberapa korasan itu
hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai-
ulama.
Hal yang membedakan kitab kuning dari yang lainnya adalah metode
dan metode bandongan. Pada cara pertama, santri membacakan kitab kuning
dalam konteks makna maupun bahasa (nahw dan sharf). Sementara itu, pada cara
kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai-
ulama sambil masing-masing memberikan catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa
cara membaca dengan pendekatan tata bahasa (nahw dan sharf) yang ketat.
Selain kedua metode diatas, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab
(diskusi kelompok) dan halaqoh (seminar). Kedua metode ini lebih sering
sudah sering dilakukan oleh santri. Guna membahas isu-isu kontemporer dengan
Ilustrasi berikut ini dapat memberikan suatu gambaran yang jelas bagaimana
الحمد هلل الدي فضل بني ادم بالعلم والعمل على جميع العالم
Teks tersebut diatas diambil dari kitab Ta’lim al Muta’lim. Huruf-huruf besar
syang horisontal adalah teks asli Bahasa Arab, sedangkan huruf-huruf kecil di
antara tulisan horisontal yang ditulis miring kebawah adalah terjemahannya dalam
bahasa Jawa. Teks asli dalam Bahasa Arab ditulis dengan vowels (dalam bahasa
Jawa disebut nganggo sandangan) atau Arab Pegon. Murid-murid harus belajar
dari kitab-kitab gundul yang ditulis tanpa huruf hidup atau tanpa syakal. Ilustrasi
Jawa. Perkataan Arab Al-Hamdu lillahi diterjemahkan utawi sekabehane puji iku
keduwe Alloh, yang berarti ”Segala puji adalah kepunyaan Alloh”. Perkataan Al
hamdu yang didahului oleh al dan diakhiri dengan huruf hidup U (dzamah U) dan
menunjukkan bahwa perkataan tersebut adalah mubtda’ atau pokok kalimat. Hal
16
Affandi Mochtar, Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi; Pesantren
Tradisi kitab kuning sebuah observasi umum, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999, h. 221-224
ini sangat penting untuk diketahui oleh murid-murid, sebab kitab-kitab yang
diajarkan dalam metode sorogan dan bandongan ditulis tanpa syakal, sehingga
untuk dapat membacanya dengan benar dan cocok para murid harus menguasai
tatabahasa Arab.17
Tulisan sebagai lambang tertulis dari suatu bahasa berfungsi sebagai alat untuk
menjadi paham. Pemakaian Bahasa Jawa dalam penulisan Arab Pegon sebagai
sistem yang diterapkan di Pondok Pesantren merupakan salah satu simbol masuk
dan bercampurnya Budaya Jawa sebagai usaha untuk lebih dapat memahami isi
Skripsi ini disusun sebagai salah satu upaya dalam pengembangan keilmuan
pada proses penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon saja.
Pada kesempatan ini penulis mengambil studi kasus di Madrasah Salafiyah III,
satu hal yang sangat diperhatikan, selain karena secara geografis dekat dengan
didapat, dan satu hal yang sangat penting yaitu karena Madrasah Salafiyah III ini
masuk dalam lingkup salah satu pesantren tradisional yang dari awal pendiriannya
17
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES,
1994, Cet.,ke-4, h.10-11.
C. Rumusan Masalah
Dengan berlandaskan pada latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka ada
persoalan pokok yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana
Yogyakarta?
berikut:
a. Problem apa saja yang muncul pada penerjemahan dengan Arab pegon?.
1. Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan penggunaan Arab pegon yang selama ini berkembang
Arab pegon
2. Kegunaan Penelitian
tulisan huruf arab pegon dan hubungannya bagi perkembangan agama Islam di
Nusantara.
E. Kerangka Teoritik
a. Tujuan yang berbeda pada setiap mata pelajaran sesuai dengan jenis,
18
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry,Op.cit, h.175.
d. Perbedaan pribadi dan kemampuan guru masing-masing.
Dalam pesantren, ada beberapa metode yang biasa digunakan oleh kyai atau
ustadz dalam melakukan pengajaran kitab kuning dengan Arab pegon. Terbagi
dalam dua jenis, yaitu; pertama, secara individual atau biasa disebut dengan
Selain kedua metode tersebut, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab
(diskusi kelompok) dan halaqoh (seminar). Pada awalnya metode ini lebih sering
digunakan pada tingkat kiai-ulama atau pengasuh pesantren, namun pada masa
sekarang sudah biasa dilakukan oleh santri. Biasanya untuk membahas isu-isu
1. Metode Sorogan
sistem belajar dimana para santri maju satu persatu untuk membaca dan
menguraikan isi kitab dihadapan seorang guru atau kiai. 22 Dalam Pesantren,
19
Imansyah Alpandie, Didaktik Metodik Pendidikan Umum, Usaha Nasional, Surabaya, 1984, h. 71.
20
Affandi Mochtar, Op.cit, h. 200.
21
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994, Cet.I,h. 6.
22
Wahyu Utomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternative Masa Depan, Jakarta,Gema
Insan Press, 1997, Cet. Ke-4, h. 28
sistem sorogan terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang
Ciri utama penggunaan sistem individual ini adalah; (1) lebih mengutamakan
proses belajar daripada mengajar, (2) merumuskan tujuan yang jelas, (3)
feedback atau balikan dan evaluasi, (5) memberi kesempatan kepada murid
2. Metode Bandongan
bentuk kelas (pada seklek agama). 24Dalam sistem ini sekelompok murid
membuat catatan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit, berupa syakl
kelas dari sistem bandongan ini disebut dengan halaqoh yang arti bahasanya
seorang guru.
A. Proses Terjemahan
23
S. Nasution, Berbagai pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta, Bumi Aksara, 2000,
Cet ke-7, h.58.
24
Winarno Surakhmad, Metodologi Pengajaran Nasional, Jemmars, Jakarta, 1979, h. 85
Menerjemahkan merupakan suatu usaha penyampaian berita yang terkandung
dalam bahasa sumber ke dalam bahasa penerima atau bahasa sasaran agar isinya
menyampaikan berita ke dalam bahasa penerima (bahasa sasaran), yang berarti apa
yang diterjemahkan harus dapat dimengerti dan tidak di salah fahami oleh orang-
Meskipun teori dan praktek penerjemahan dari suatu Bahasa ke dalam bahasa
lain pada umumnya hampir sama, namun dalam penerjemahan dari bahasa Arab
ke latin Indonesia atau bahkan menggunakan bahasa daerah dengan cara penulisan
Arab pegon ini jelas memiliki keunikan serta tingkat kesulitan tersendiri,
diantaranya yaitu;
Kerangka Teori
kosa kata, sintaksis, morfologi, retorik dan sejenis, dan unsur ekstralinguistik,
berupa isi kandungan dari teks kitab kuning yang akan diterjemahkan.
Dalam terjemahan ini pesan dan unsur-unsur teks bahasa sumber mendapat
25
E. Sadtono, Pedoman Penerjemahan, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Depdikbud, 1985, h. 9
26
Ali Saudah, Makalah Penerjemahan Arab-Indonesia dan Masalahnya, Panitia pertemuan Ilmiah
Nasional Bahasa Arab I, Malang, 1999, h. 5.
dalam bahasa sasaran dengan jelas. Menurut Aly Abubakar Basalamah, dalam
tradisional ini ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam usaha penerjemahannya,
yaitu27 (1) isi atau pesan ,(2) unsur linguistik teks, dan (3) unsur ekstralinguistik
teks.
menuntut berbagai pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki oleh para santri.
terhadap bahasa yang dipelajari. Prinsip lain yang terpenuhi dalam melaksanakan
terjemahan ialah bahwa ragam bahasa yang diutamakan dan perlu dipelajari adalah
bahasa tulis. Dengan tulisan, seorang pelajar bahasa dapat terhindar dari
pencemaran, sehingga apa yang dipelajari masih merupakan bahasa yang murni..
hakikatnya mencakup; telaah eksplisit, kaidah tata bahasa dan kosakata serta
analisis kaidah bahasa secara terperinci diikuti oleh penerapan pengetahuan ini
pada tugas penerjemahan kalimat-kalimat dan teks-teks kedalam dan dari bahasa
sasaran. Oleh karena itu, membaca dan menulis merupakan fokus utama atau
sasaran pokok.
27
Aly Abubkar Baslamah, “Memahami Kitab Kuning Melalui Terjemahan Tradisional (Suatu
Pendekatan Tradisional terjemahan Pondok Pesantren)”, Pesantren, Nomor Perdana, 1984, h. 61-69.
28
Syahruddin Keseng, Linguistik Terapan: Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa yang Sukses,
Jakarta, Depdikbud, 1989, h. 84
29
Henry Guntur Tarigan, Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1989, h.105-106.
Disamping bentuk pengajaran sorogan, menurut Drs. Roestiyah N.K, ada
pada santri.30
Dalam hal ini ada persetujuan antara seorang santri dengan seorang ustadz dalam
penentuan persetujuan secara garis besar, siswa menyiapkan sendiri bentuk ujian
akhir, tidak ada peraturan yang mengikat tentang bagaimana menyiapkan ujian
Tujuan khusus disetujui bersama antara santri dan ustadz, tetapi tidak ada
instruksional khusus, mungkin juga memberikan daftar bacaan yang perlu atau
sumber-sumber lain tetapi siswa tidak harus mempergunakannya apabila dia lulus,
Dalam penyajian ini santri yang menentukan untuk kepentingan dirinya, apa
tujuannya, bagaimana dia akan belajar dan sesudah itu tugas apa yang akan
dilakukannya kemudian.
instruksional itu, mungkin santri memakai materi yang sama untuk mencapai
berbeda.
instruksional tersebut dianggap tepat untuknya, juga pengajaran yang lebih tepat
baginya.
nampaknya bisa dibedakan ke dalam dua katagori, yaitu belajar bahasa Arab
sebagai tujuan dan belajar bahasa Arab sebagai alat.31 Bahasa Arab sebagai
lisan maupun tertulis dalam bahasa Arab yang berarti mampu berbahasa
secara psikologis, membentuk suatu masyarakat bahasa. Bahasa bukan hanya suatu
konformitas sosial, namun merupakan suatu alat pengembangan sumber daya fisik
F. Metode Penelitian
31
Abdul Munif, Problem Penerjemahan bahasa Arab ke Bahasa Indonesia; Suatu Pendekatan Error
Analysis, Makalah Program Diskusi Ilmiah dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, 2000, h. 5
Penelitian ini adalah penelitian lapangan. Menggunakan studi kasus dalam
terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti
gambaran yang terorganisir dengan baik dan lengkap mengenai unit sosial
tersebut.32
1. Sumber data
data tambahan seperti dokumen, dan yang lainnya.33 Data kata-kata diperoleh
dari hasil wawancara dengan berbagai sumber yang terlibat, mulai dari kyai,
ustadz, santri, sampai pengurus pondok. Selain itu data juga diperoleh dari
a. Metode Observasi
Metode observasi ini dapat dilakukan dengan dua cara; pertama observasi
lapangan.34 Dalam hal ini penulis secara langsung terlibat dalam proses belajar
32
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, h.8
33
Lexy, J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2000, cet
ke-11, h. 112.
34
Sutrisno Hadi, Metodologi research I, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, h.156.
mengajar yang diberikan oleh kyai atau ustadz kepada santri di Pondok
b. Metode Wawancara
terlebih dahulu.36
kyai, ustadz, santri, dan pengurus pondok. Hal-hal yang akan ditanyakan
apakah itu berkaitan dengan aksara Arab yang dipakai atau bahasa Jawa-nya
sendiri, serta pemahaman yang mereka dapatkan mengenai isi teks bacaan
Arab pegon.
c. Metode Dokumentasi
35
S. Nasution, Metode Reseach: Penelitian Ilmiah, Jakarta, Bumi Aksara, 2002, h.107
36
Dudung Abdurrahman, Pengantar Metodologi Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah, Yogyakarta,
IKFA Prees, 1998, h.7.
37
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta, Gramedia, 1976, h.3
geografisnya, struktur organisasi, fasilitas pendidikan apa saja yang
digunakan, juga data mengenai kyai, ustadz, santri, juga pengurus pondok
pesantren.
madrasah tersebut.
berikut:
b. Induktif, yaitu suatu cara analisa data yang dimulai dengan hal-hal yang
bersifat umum.
38
Sutrisno Hadi, Op.cit, h. 42.
ide-ide, gagasan dengan maksud untuk menemukan persamaan-persamaan
G . Sistematika Pembahasan
Untuk menjadikan penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terfokus, maka
Bab II. Tinjauan umum tentang Arab pegon. Meliputi; proses akulturasi
digunakan, materi pelajaran yang diberikan, metode yang dipakai, serta proses
dengan Arab pegon. Mencakup; (1) Problem penerjemahan dengan Arab pegon,
(2) Problem pemahaman isi teks secara utuh, (3) Problem mengkomunikasikan
pemahaman kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang menggunakan
39
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta, 1989, h. 198.
Arab pegon. D) Kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ARAB PEGON
dan siapa yang tunduk, dan apakah datangnya pengaruh itu timbal balik atau
tidak.41
Apabila ditemukan unsur-unsur baru, (2) Apabila unsur baru dipinjam dari
kebudayaan lain, (3) Apabila unsur-unsur kebudayaan yang ada tidak lagi cocok
dengan lingkungan, lalu ditinggalkan atau diganti dengan yang lebih baik, (4)
Apabila ada unsur-unsur yang hilang karena gagal dalam perwujudan dari suatu
Dalam hal ini peristiwa akulturasi yang terjadi di Nusantara telah melahirkan
Arab pegon.
keyakinan penduduk Jawa ke agama Islam, pada umumnya para ahli sejarah
hipotesa yang penting dari proses tersebut., juga ditunjang oleh fakta-fakta sejarah
yang kuat. Sampai sekarang kita hanya dapat merasa puas dengan ikhtisar-ikhtisar
yang bersifat sementara, seperti yang tercantum dalam karangan B.J.O. Schrieke,
menyebutkan, bahwa Islam masuk ke Jawa melalui suatu negara yang baru
muncul di pantai barat Jazirah Melayu, yaitu Malaka. Dalam abad ke-14, ketika
Nusantara berhasil dikuasai oleh negara itu. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh
pedagang-pedagang muslim dari Gujarat dan Persia. Namun, dalam abad ke-13
juga ke kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa. Dengan demikian agama
Islam tiba dari Malaka dalam abad ke-14, bahkan mungkin sudah lebih awal.
Pedagang-pedagang Jawa dari pelabuhan dagang Gresik, Demak dan Tuban pergi
Malaka juga mengunjungi pulau Jawa. Kecuali itu banyak orang asing lain datang
ke kota-kota pelabuhan di Jawa utara, seperti orang Persia, India Selatan, Cina dan
Vietnam. Oleh karena itu, para ahli sejarah belum tahu pasti mengenai identitas
para pedagang yang paling dahulu tiba di pantai utara pulau Jawa, tetapi mereka
pelabuhan ke yang lain. Mulai dari Gujarat di sebelah barat, melalui jazirah
sebelah timur.43
Jawa. Ini karena budaya asli tersebut mempunyai watak yang elastis44, sehingga
Masuknya Islam di pulau Jawa sejak awal hingga sekarang secara terus
menerus masih merupakan suatu proses akulturasi. Tradisi Islam yang datang ke
pulau Jawa sangat akomodatif terhadap tradisi Jawa, begitu juga sebaliknya,
43
Koentjaraningrat, Op.cit, h, 47-49
44
Muh. Fatkhan, Sinkretisme Jawa-Islam, Jurnal Religi. Vol. I/ No 2, Juli 2002, h. 194
tradisi Jawa sangat apresiatif menerjemahkan tradisi Islam-Arab ke dalam sistem
budaya Jawa. Agama sebagai salah satu unsur dari kebudayaan memiliki peran
Proses interaksi antara Islam dan budaya lokal itu berlangsung terus-menerus
lingkungan keraton.
pondok pesantren, merupakan salah satu bukti bahwa mereka telah berhasil
sebagai miliknya, sebagai sesuatu yang memancar dari cipta rasa mereka.47
Terutama pada masa Mataram Islam, Islam tidak mengalami perbenturan yang
berarti dengan budaya Jawa.48 Bagi masyarakat pesantren, agama adalah nomor
satu dan segalanya, sebaliknya para penguasa dan pendukung sastra budaya Jawa,
kedudukan dan kekuasaan politik adalah yang nomor satu dan segalanya. Maka,
45
Irfatul Hidayah, Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses Marginalisasi Budaya
Lokal, Jurnal Religi, Vol. II, No. 2 Juli-Desember 2003, h.137
46
Marsono, Pergumulan Islam dalam Sistem Nilai Budaya Jawa, Religi, Vol II, NO. 2, Juli-Desember
2003, h. 163
47
M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Yogyakarta, 1995, Cet ke-5, h.19
48
Muh. Fatkhan,Op.Cit, h.202
untuk menghubungkan dua lingkungan budaya. Yaitu lingkungan budaya
pesantren dengan sastra budaya agama yang berbahasa Arab dengan lingkungan
budaya kejawen dengan sastra budaya Jawa yang berpusat di lingkungan istana
dalam budaya Jawa, dimulai dengan mengganti perhitungan tahun saka yang
Islam, untuk menyusun karya-karya baru dengan menyadap dan mengolah unsur-
budaya Jawa. Terutama aspek filsafat mistik sufisme yang sangat menarik untuk
yang ada dalam dirinya (pikiran, perasaan, keinginan, dan pengalaman) kepada si
menimbulkan reaksi pula pada si A. sehingga terjadilah interaksi antara dua orang
masyarakat.49
Dalam hal ini, bahasa yang digunakan sebagai penghubung dalam proses
interaksi khususnya daerah Jawa tentu saja menggunakan bahasa Jawa. Bahasa
akulturasi, salah satunya yaitu dengan timbulnya penggunaan aksara atau tulisan
huruf Arab yang menggunakan bahasa Jawa, kemudian dikenal dengan tulisan
Arab pegon. Belum diketahui siapakah yang pertama kali menggunakan cara ini.
ada yang menyebutkan bahwa yang pertama kali menggunakan adalah para wali,
Sebuah agama akan tersebar dan berkembang dengan baik apabila para
luas tentang kebudayaan dan segala seluk beluk kehidupan masyarakat, termasuk
bahasa, adat istiadat, kesusasteraan, seni, pandangan hidup, dan gambaran dunia
yang ada. Dalam hal ini, para wali di Jawa berhasil menjadi penyebar Islam
karena mereka mengenal dengan baik, bukan saja ilmu-ilmu agama, tetapi juga
kebudayaan Jawa.
Arab.50 Aksara Arab ini dengan berbagai modifikasi digunakan dalam bahasa
Melayu, bahasa Jawa dan beberapa bahasa daerah lainnya. Aksara Arab yang kini
di Malaysia disebut aksara Jawi, yang dipakai untuk bahasa Indonesia (waktu
dulu) disebut aksara Arab Melayu atau Arab Indonesia, dan yang dipakai dalam
dalam pertengahan abad ke-13 M, tulisan Arab ketika itu sudah digunakan oleh
ditulis dengan tulisan Arab bahasa Melayu, bahkan sampai waktu yang terakhir ini
masih ada hasil-hasil kesusasteraan Indonesia yang ditulis dengan huruf Arab
tersebut
dipengaruhi Islam yang dituliskan oleh penulis Islam Nusantara dengan tujuan
Para penyiar Islam juga mengambil kesempatan yang sama untuk menyalurkan
menyalurkan karya-karya dari sumber peradaban Islam yang diterapkan dalam ide-
Banyak teks sastra yang tadinya bernafaskan Hindu Budha digubah oleh
terjadi pada abad ke-18 dan 19 sewaktu kekuasaan keraton semakin terjepit secara
politik oleh pemerintah kolonial Belanda. Jumlah naskah dari lingkungan non
kraton (diantaranya lingkungan pondok pesantren) dan keraton belum bisa dihitung
51
C. Israr, Sejarah Kesenian Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, h. 27.
52
Ismail Hamid, Kesusasteraan Indonesia Lama Bercorak Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1989,
h.1-3.
53
Marsono, Pergumulan Islam dalam Sistem Nilai Budaya Jawa, Religi, Vol II, No. 2, Juli-Desember
2003, h. 163.
Diantara 1196 naskah koleksi Widya Budaya (perpustakaan keraton
Buwono II sampai dengan Hamengku Buwono IX, berupa karya baru, saduran dan
Di samping menulis naskah dengan huruf Jawa, para pekerja sastra tersebut
(umumnya abdi dhalem) juga menulis naskah dengan huruf Arab pegon, yaitu
huruf Arab tanpa memakai sandangan (fatkhah, dhomah dan kasroh). Naskah
yang ditulis dengan huruf Arab pegon antara lain serat Menak, serat Ambiya,
produksi zaman Hamengku Buwono V dan hikayat Bayan Budiman yang tidak
Hamengku Buwono V.
Serat Ambiya ini tidak terdapat nama penulisnya, namun disebutkan bahwa
serat ini ditulis atas prakarsa Hamengku Buwono V. penanda waktu dalam Serat
Ambiya meliputi hari, tanggal dan tahun Jawa, nama tahun Jawa, jam, tarikh Islam,
bulan dan tahun Hijriyah, nama musim, nama lambang, bulan dan tahun Masehi,
Pembacaan serat Ambiya dengan cara bergantian dengan serat yang lainnya,
berlangsung pada setiap hari jum’at dalam acara mocopatan di Bangsal Sri
Ragam bahasa digunakan, bukan saja bahasa Jawa, namun juga menggunakan
bahasa daerah lainnya. Berikut beberapa kitab yang memakai aksara Arab dan
beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (3) Kutika; beraksara Bugis dan Arab
dengan bahasa Bugis, (4) Undang-undang Johor; beraksara Arab dengan bahasa
Melayu.56
C. Hubungan antara Kitab Kuning dalam Pesantren dengan Penggunaan Arab Pegon
Pesantren merupakan salah satu tradisi pengajaran agama Islam yang juga
berlangsung di pulau Jawa. Alasan pokok dari munculnya pesantren ini adalah
kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab ini dikenal di
Pengetahuan kita mengenai asal usul pesantren sangat sedikit. Kita bahkan
tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Namun
menurut Martin Van Bruinessen,57 lembaga pesantren belum ada sebelum abad ke-
18, namun hal itu tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari sebelumnya.
Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-
16. Beberapa kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan
sastra dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang serupa.
Seiring dengan masuknya Islam, aksara Arab juga ikut serta didalamnya.
aksara atau tulisan arab yang dipadukan dengan bahasa Jawa atau disebut dengan
Arab pegon ini dijadikan sebagai sarana penyampai pesan yang terkandung, baik
setiap kata, frase dan berbagai unsur gramatikal yang ada. Biasanya terjemahan ini
dilakukan ke dalam bahasa Jawa khas pesantren, yang umumnya sangat terkait
komentar (syarah) atau komentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua
(matn). Format kitab kuning yang paling umum dipakai di pesantren, kertasnya
sedikit lebih kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak dijilid.
klasik..
Mengenai isi kitab kuning, terbagi menjadi dua kelompok;59 (1) Kelompok
ajaran, mencakup (i) Ajaran dasar, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-
58
Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit, h. 42
59
A. Chozin Nasuha, Epistemologi Kitab Kuning, Jurnal Pesantren. No.1/Vol. VI/1989, h. 10-18
Hadist, (ii) Ajaran yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi ulama-ulama
Islam terhadap ajaran dasar tersebut. (2) Kelompok bukan ajaran. Maksudnya,
sesuatu yang datang ke dalam Islam sebagai hasil perkembangan Islam dalam
soal-soal khusus. Metode ini juga dipergunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk
kemunculan masalah itu. Biasanya digunakan oleh ulama ahli hadis dalam
4. Metode dialektika (Jadali). Adalah cara berfikir yang uraiannya jelas diangkat
Penyajian kitab kuning dilihat dari kandungan makna terbagi menjadi dua: (1)
Kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos. (2)
Kitab kuning dilihat dari kadar penyajiannya, terbagi menjadi tiga: (a) Kitab
masalah, baik muncul dalam bentuk nazhom (syi’ir), atau berbentuk ulasan biasa
(natsar). (b) Kitab yang membawakan uraian panjang lebar, menyajikan
argumentasi ilmiah secara komperatif dan banyak mengutip ulasan para ulama
dengan hujjahnya masing-masing. (c) Kitab yang menyajikan materi yang tidak
Dilihat dari penampilan uraiannya, kitab kuning memiliki lima dasar, yaitu (a)
Mengulas pembagian sesuatu yang umum menjadi sesuatu yang khusus, yang
global menjadi terinci. (b) Menyajikan redaksi yang teratur dengan menampilkan
beberapa pernyataan untuk menuju suatu kesimpulan yang benar-benar dituju. (c)
Suatu tulisan kitab kuning diarahkan untuk menjelaskan suatu topik tertentu,
tetapi beberapa tulisan kitab kuning ada yang memerlukan penjelasan lebih luas
lagi, yang oleh para ahli disebut syarah atau khasyiyah. Kebutuhan akan syarah
ini antara lain karena (1) Kemahiran seorang pengarang dalam menampilkan
bahasa yang sangat singkat. (2) Pengarang membuang suatu alasan karena dinilai
telah jelas dengan sendirinya, maka penulis syarah merasa perlu memunculkan
kembali ulasan yang dibuang itu. (3) Suatu pernyataan terkadang memerlukan
ulasan tegas karena pernyataan itu muncul dalam bahasa sindiran (majas dan
kinayah).
Adapun bahasa kitab kuning yang baik yaitu yang berbentuk matn atau syarh
atau hasyiyah, maka semuanya tetap memelihara ketata bahasaan Arab (nahwu
dan shorof). Kitab kuning dilihat dari segi bahasa tampak berbeda satu sama lain.
Kitab-kitab yang disusun oleh ulama kuno (salaf) memilki bahasa yang lebih
klasik daripada kitab-kitab yang disusun oleh ulama belakangan (khalaf). Begitu
pula penyajian materi memiliki gaya yang berbeda pula, misalnya kitab-kitab fiqih
yang ditulis oleh imam-imam mujtahid sangat berbeda dengan fiqih yang ditulis
masalah. Karena itu wajar jika pengikut satu madzhab saling berbeda interpretasi
BAB III
Yogyakarta
1. Letak Geografis
berada di jalan KH. Ali Maksum ini adalah; Po Box 1286,Krapyak, Yogyakarta.
Secara Geografis, jarak tempuh dusun Krapyak adalah kurang lebih 1,5 KM
Warson Munawwir.60
bermula dari usul dan saran KH. Ali Ma’sum (Guru, kakak ipar dan pengasuh
periode ke-3) kepada KH. Ahmad Warson Munawwir untuk menampung dan
mendirikan asrama bagi para santri-santri putri yang ingin mendalami ilmu-ilmu
pendidikan umum seperti SMP. SMU, dan perguruan tinggi yang tersebar di
daerah Yogyakarta.
menyediakan sebuah ruangan (kamar) yang tidak terpakai untuk tempat beberapa
santri yang sudah mendaftar. Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama,
informasi keberadaan pesantren ini kemudian tersebar luas kepada para alumni,
Pada awal berdirinya, pendidikan santri langsung ditangani oleh KH. Ahmad
Warson Munawwir karena saat itu santrinya baru beberapa orang dan
banyak dan tidak mungkin ditangani sendiri, maka untuk menjalankan sistem
60
Djunaidi A.Syakur, Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, Madrasah
Salafiyah III, Lana Usaha Press, Yogyakarta, 2002.h. 1-25
pengajaran santri selain ditangani langsung oleh Kyai Warson (panggilan untuk
KH. Ahmad Warson), juga dibantu oleh beberapa santri senior, dan untuk
santri yang semakin bertambah, dirasa perlu adanya penanganan tersendiri agar
lebih terarah tercapainya tujuan pendidikan. Maka pada tahun 1996 dibentuklah
dengan baik, namun pada tahun 1998 pendidikan santri ditangani oleh sebuah
dengan susunan personalia yang lengkap dengan pedoman umum serta tata tertib
santrinya.
Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta ini berjumlah 325 santri dengan
3. Struktur Organisasi
Warson dalam mengemban amanat para wali santri yang telah jauh datang dari
berbagai wilayah di Nusantara demi tercapai cita-citanya yaitu agar putra putrinya
Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta selama ini telah memiliki beragam
sarana yang menunjang tercapainya keberhasilan belajar mengajar. Baik itu sarana
fisik maupun non fisik. Di samping fasilitas pokok tersebut, terdapat pula fasilitas
Secara umum kondisi gedung di Madrasah Salafiyah III ini cukup memadai,
karena gedung tersebut adalah milik sendiri. Gedung yang dimiliki adalah gedung
Gedung Madrasah Salafiyah III yang dipakai untuk belajar-mengajar ada dua
lokasi, yaitu gedung utama yang terdiri dari lima ruangan dan gedung perintis satu
Perlengkapan moubelar yang dimiliki oleh Madrasah salafiyah III ini terdiri
dari perlengkapan alat-alat kantor seperti meja, kursi, mesin ketik, komputer dan
sebagainya.
Tabel 1
Peralatan Moubelar Madrasah Salafiyah III
(3). Perpustakaan
Penghargaan yang diberikan kepada santri yang berprestasi, (2) Kajian kitab-kitab
salaf, baik berupa pengajian bandongan maupun sorogan. (3) Pengadaan beragam
workshop yang dapat menunjang kehlian tenaga pengajar dan para santri.
5. Keadaan Kyai, Ustadz dan Santri
a. Keadaan Kyai
Pengasuh dalam hal ini merupakan pimpinan tertinggi dalam sebuah pondok
Madrasah Salafiyah III yang masuk dalam Pondok Pesantren Putri Al-
Munawwir, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta ini, diasuh oleh seorang kyai yang
bernama KH. Ahmad Warson Munawwir. Beliau adalah putra KH. Munawwir,
yang juga pendiri pesantren Al-Munawwir, Krapyak. Ibunya bernama Hj. Sukis,
ditinggal wafat oleh ayahnya, kemudian beliau memperoleh pendidikan dari kakak
Warson juga aktif dalam beragam organisasi. Meskipun Kyai Warson sibuk dalam
jawabnya sebagai pengasuh. Beliau masih tetap mengajar kitab kepada santrinya,
hal ini dilakukan setiap habis melaksanakan jama’ah sholat subuh dengan para
santrinya yang di imami oleh beliau sendiri. Disamping itu, beliau selalu
meluangkan waktu seminggu sekali pada hari ahad pagi untuk mengajarkan kitab
tentang akhlak dan tasawuf, dengan pertimbangan pada hari itu para santrinya
Keberadaan rumah kyai yang masih satu komplek dengan asrama santri juga
memanggilnya. Oleh karena itu beliau sangat disegani dan dihormati oleh santri-
santrinya. Adapun interaksi positif antara kyai dan santri dalam pesantren lebih
menyerupai sebuah keluarga besar yang penuh tata krama kehidupan islami
yang diharapkan.
b. Keadaan Ustadz
Ustadz yang mengajar di Madrasah Salafiyah III ini, semuanya adalah alumni
pesantren krapyak dan merupakan santri senior. Di antara para ustadz ada yang
Ada beberapa kriteria yang diperuntukkan bagi para ustadz yang diterima
(2) Berkepribadian baik, sehingga dapat dijadikan sebagi suri tauladan yang baik
(4) Ikhlas mengbdikan diri dan bersemangat tinggi sebagai tenaga pengajar di
Tabel 2
Daftar Ustadz/ah dan Tingkat Pendidikan Terakhir
No Nama Pendidikan Bidang
1. K.H. A. Warson Munawwir Pesantren Tafsir, Fiqh
2. Ny. Hj Khusnul Khotimah Pesantren Al-Qur’an
3. H. M. Fairuz Warson Peesantren Al-Qur’an
4. H. M. Kholid Abd. Razzaq SI/IPB Tajwid
5. KH. Hafidz Abd. Qodir Pesantren Al-Qur’an
6. Taufiq Ahmad Pesantren Fiqh
7. Muslih Ilyas SI/IAIN Fiqh
8. Thoifur S2/UGM Akhlaq
9. Habib Abd. Syakur S2/IAIN Bhs. Arab
10. Suhadi Khozin SI/IAIN Tauhid
11. Djunaidi Abd. Syakur SI/IAIN Nahwu
12. Muhtarom Busyro SI/IAIN Fiqh
13. Dindin Wahyudin SI/IAIN Bhs. Arab
14. Zainal Abidin Pesantren Fiqh
15. Masykur Al-Karim Pesantren Fiqh
16. M. Yusuf Thoha Pesantren Nahwu
17. Abdul Mustaqim S2/IAIN Bhs. Arab
18. Agus najib SI/IAIN Nahwu
19. Thoha Maksum SI/IAIN Nahwu
20. Abdul latief SI/IAIN Akhlaq
21. Alfiatuz Zuhriyah SI/IAIN Akhlaq
22. Yunan SI/UGM Bhs. Arab
23. Muhammad Mawardi SI/UGM Fiqh
24. Siti Muhanik SI/UNY Tajwid
25. Siti Halimah SI/IAIN Lughoh
26. LU’luatun Nafisah SI/UII Tauhid
27. Nuriyati Si/IAIN Amaliyah
28. Alawiyah Razzaq SI/IAIN Lughoh
29. Laila Fitriana SI/UII Tarikh
c. Keadaan Santri
Jumlah santri Madrasah Salafiyah III pada tahun ajaran 2004-2005 ini
berjumlah 325 orang, dengan latar belakang pendidikan yang sangat beragam.
beda, namun secara garis besar, santri yang berasrama di pesantren ini
(2) Santri Takhassus, yaitu santri yang khusus menghafal Al-Qur’an dan pengajian
asrama pesantren ini untuk memberikan kesempatan kepada santri agar dapat
melakukan interaksi belajar setiap saat, baik sesama santri maupun dengan para
Kondisi lingkungan seperti ini sangat baik bagi proses pengajaran kitab
kuning terutama dengan metode sorogan yang membutuhkan waktu dan tenaga
yang tidak sedikit. Sehingga kesulitan belajar yang sering dihadapi santri akan
dapat teratasi karena mereka mudah untuk bertukar pikiran antar sesama santri
bahkan berkonsultasi dengan para ustadzah atau santri senior dalam belajar kitab
1. Kurikulum
Sama halnya dengan Madrasah Salafiyah III, madrasah ini dikembangkan dengan
dicapai.
Qur’ani), beramal sholeh, cakap serta memiliki kesadaran dan tanggung jawab
pengetahuan yang luas dan mendalam sesuai dengan tradisi pesantren, juga
Tujuan pengajaran yang masih bersifat umum di atas dapat diperinci lagi
(a) Melatih santri agar mampu melafalkan teks kalimat berbahasa Arab tanpa
(b) Melatih santri agar mampu menerjemahkan teks kalimat berbahasa Arab
dengan benar.
(c) Melatih santri agar mampu menjelaskan maksud teks kalimat berbahasa Arab
dengan baik.
(d) Melatih santri agar mampu menerangkan kedudukan kata dalam teks kalimat
ditetapkan;
1. Pagi hari. (ba’da subuh), yaitu pengajaran kitab fiqih Muhadzab dan
selain itu juga di adakan pengajian sorogan untuk santri pelajar sebelum
pelajar.
2. Sore Hari, yaitu pengajaran kitab Riyadus sholihin yang diikuti oleh
Tabel III
Susunan program kurikulum yang digunakan pada sistem pengajaran klasikal
didalam kelas
NO Mata pelajaran Jumlah Jam Pada Kelas
I’dad I II III IV V
1. Al-Qur’an 2 2 2 2 2 2
2. Ilmu Tafsir - - - - 1 1
3. Ilmu Tajwid 1 1 - - - -
4. Ilmu Tauhid - 1 - 1 - -
5. Ulumus Syari’ah 1 1 1 1 1 1
a. Fiqh
b. Q. Fiqhiyah
6. Akhlak/Tasawuf 1 - 1 - - 1
7. Ulumul Lughoh
a. Bhs Arab 2 1 1 1 1 1
b. Nahwu - - 2 1 2 -
c. Shorof - 1 1 1 - -
8. Tarikh - 1 - - - -
9. Praktek Ibadah 1 - - - - -
10. Qirtub - - - - - 1
11. Bahsul masail - - - - - 1
12. Munaqosah - - - - - 2
Jumlah 8 8 8 8 8 10
a). Qiro’ah, yaitu untuk mengukur kemampuan santri dalam melafalkan teks
c). Tafhim, yaitu untuk mengukur kemampuan santri dalam menjelaskan maksud
Kurikulum yang dilaksanakan oleh pondok pesantren ini pada saat bulan
ramadhan biasanya sedikit berbeda dari hari biasanya. Misalnya saja, pada saat
biasanya diganti dengan pengajian bandongan dengan ustadz tertentu juga kitab-
Agar dapat memenuhi target dalam pencapaian tujuan penguasaan materi yang
(2) Ilmu Tafsir, menggunakan kitab Rawa’iul Bayan dan Tafsir Ahkam
(3).Ilmu Tajwid, menggunakan kitab Tuhfatul Athfal, Hidayatul Mustafidz, dan Al-
Muqtathofat.
(7). Akhlak, kitab yang digunakan Taisirul Kholaq, Minhajul Muslim, Mau’idlotul
d. Al-Qiro’ah/Mahfudhot: Alala
Riyadus sholihin.
bebas, maka sebagian besar santri lebih banyak memilih kitab Taqrib sebagai
bahan kajiannya meskipun ada juga yang menggunakan kitab kuning lainnya. Hal
ini disebabkan kitab Taqrib sebagai kitab fiqih dasar sangat berguna bagi santri
pengajaran.
61
Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, Jakarta, Rajawali
Press, 1994, h. 111
Berikut adalah beberapa tehnik belajar mengajar yang selalu digunakan dalam
b. Tehnik ceramah
diatas;
Madrasah Salafiyah III.. Karenanya tehnik ini selalu digunakan dalam setiap
proses pengajaran. Penggunaaan tehnik drill ini berfungsi untuk melatih santri
Melalui tehnik drill ini, santri dapat belajar kitab kuning dengan menggunakan
- Latihan membaca
- Latihan tarjamah
Agar lebih jelas, maka penulis akan memberikan sedikit uraian tentang tehnik
latihan diatas;
Kitab Kuning merupakan referensi pokok dan sumber literatur bagi bahan
mempelajari Kitab Kuning tersebut berarti juga belajar bagaimana cara membaca
kitab dengan baik. Oleh karena itu, penggunaan tehnik latihan membaca menjadi
mutlak diperlukan.
Kitab kuning adalah kitab atau buku berbahasa asing yaitu bahasa Arab.
Kegiatan membaca buku-buku berbahasa Arab tersebut tidak bisa dilepaskan dari
Dalam hal ini tentu saja juga berkaitan dengan penggunaan Arab pegon untuk
melakukan pemaknaan terhadap kitab kuning yang sedang dibaca dan kemudian
Salafiyah III ini juga diharapkan sedikit banyak dapat mengerti, memahami dan
menguasai bahasa Jawa. Karena memang dengan bahasa Jawa itulah dilakukannya
proses penerjemahan pada kitab yang sedang dibaca atau di ajarkan oleh ustadz.
membaca kitab kuning, maka latihan gramatikal juga digunakan sebagai kegiatan
Ketiga latihan ini biasa dipakai secara bersamaan dan saling melengkapi.
b. Tehnik ceramah.
menyampaikan keterangan atau uraian tentang suatu pokok masalah secara lisan.
Tehnik ini digunakan jika santri belum memahami tentang materi yang dikaji
secara jelas, maka ustadz akan menggunakan tehnik pengajaran ceramah untuk
Tehnik ini digunakan sebagai pelengkap dari tehnik-tehnik yang sudah ada.
Bentuk pemberian tugas ini berupa pertanyaan atau tugas mencari keterangan
tambahan yang diperlukan berkaitan dengan materi yang sedang dikaji. Tehnik ini
bertujuan agar santri mendapatkan hasil belajar yang lebih mantap serta mampu
berfikir aktif. Di samping itu juga dapat mengembangkan daya insiatif dan kreatif
yang dimilikinya.
pemberian tugas sangat penting dan bermanfaat bagi proses belajar mengajar
namun sebaiknya dilakukan secara berkala atau tidak terlalu sering.22 Agar
secara wajar, mengingat sebagaian besar santri memiliki kegiatan baik didalam
Dalam proses pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan ini, tahapan
tersebut terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan sebelum pengajaran, tahapan
22
Pressiyah, N.K. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, h. 20
Dari hasil observasi terhadap proses pengajaran kitab kuning dengan metode
berikut:
Tahap ini disebut juga tahap perencanaan. Dalam pengajaran sorogan tahap
pengajaran dimulai. Santri menyalin materi kitab kuning yang akan dikajinya
terlebih dahulu ke dalam buku tulis yang telah disediakan khusus untuk
pengajian sorogan. Materi kitab kuning tersebut ditulis tanpa disertai harokat/
membacanya.
bacaan.
beberapa hal yang belum jelas mengenai materi bacaan dan masalah-masalah
menjelaskannya.
atau tugas kepada santri tentang materi kitab kuning yang telah dipahaminya.
(6). Sebagai akhir untuk menutup proses pengajaran kitab kuning dengan
(7). Setelah materi kitab kuning yang telah ditandatangani tersebut genap
tersebut dalam satu bulan tidak bisa mencukupi ketentuan 8x yang telah
ditetapkan oleh pengurus, maka santri tersebut akan dikenakan sangsi. Sangsi
tersebut diatur sesuai dengan kebijakan pengurus yang berlaku, yaitu santri
pengaajian sorogan kurang dari 80% dari yang waktu yang yang telah
ditetapkan.
sorogan yang telah dilakukan, baik oleh santri maupun ustadz pengajar
kepada santrinya setiap saat santri setelah selesai melakukan setoran sorogan.
b. Proses pengajaran kitab kuning dengan metode bandongan
Dari hasil observasi terhadap proses pengajaran kitab kuning dengan metode
berlangsung tampak lebih mudah karena untuk dapat mengikuti pengajian ini,
santri tidak dikenakan ketentuan khusus seperti yang di terapkan sesuai aturan
Pengajian yang diperuntukkan oleh seluruh santri mahasiswi atau untuk santri
pelajar, atau bahkan keduanya ini, tidak dituntut prosentase kehadirannya. Untuk
tersebut diwajibkan untuk memiliki dan membawa kitab dari pengajian yang
sedang dilaksanakan, namun masih saja ada beberapa santri yang sengaja datang
untuk menghadiri pengajian tersebut meskipun tidak dengan membawa kitab yang
ditentukan.
yang dilakukan oleh ustadz pengajar bandongan, selalu tampak satu-dua yang
tampak jika yang menjadi ustadz pengajar bandongan adalah Kyai Warson,
sedangkan untuk ustadz yang lain santri tampak lebih santai menanggapinya.
arah meja ustadz yang terletak didepannya, seperti halnya saat orang menghadiri
ceramah agama.
(b). Kemudian ustadz hadir dan memulai pengajian dengan cara membacakan
para santrinya, namun untuk pengajian bandongan hal tersebut jarang sekali
terjadi. Dalam pengajian jenis ini pula tidak dapat diketahui secara pasti para
santri menjadi paham pada kitab yang sedang diajarkan ataukah tidak, selain
karena jumlah santri yang mengikuti pengajian ini dalam jumlah yang banyak,
ditambah tidak adanya kontrol juga tidak adanya evaluasi dalam pengajian ini.
ketidak hadiran karena sedikit banyak hal itu juga berpengaruh terhadap
pegon sebagai bahasa sasaran yang ditulis secara menggantung ini, diletakkan
pada bahasa sumber (bahasa Arab). Proses penerjemahannya berlangsung setiap
kosa kata, sintaksis, morfologi, retorik dan sejenis, dan unsur ekstralinguistik,
berupa isi kandungan dari teks kitab kuning yang akan diterjemahkan. Dalam
terjemahan ini pesan dan unsur-unsur teks bahasa sumber mendapat perhatian
tradisional ini adalah62 (1) isi atau pesan ,(2) unsur linguistik teks, dan (3) unsur
ekstralinguistik teks.
Contoh proses penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon yang dilakukan
oleh santri;
“Al-Hamdu utawi sekabehane jenise puji iku lilahi tetep kagungane Allah”
mubtada (subjek isim, kata benda), dan dilambangkan dengan huruf ( مmim) serta
ditulis diatas kata al-hamdu. Kata sekabehane jenise, untuk menunjukkan ( الal)
listigraraqil jins, yaitu (al) yang digunakan untuk makna cakupan, segala
62
Aly Abubakar Basalamah, Op.Cit, h. 61-69.
Kata iku yang dilambangkan dengan huruf خmenunjukkan status khobar,
(lillahi, “bagi Allah), tetep untuk menunjukkan ta’alluq jar wa majrur (keterkaitan
fungsi jar dan majrur yang wajib dibuang, yaitu kata mustaqorrun, yang berarti
tetep (tetap) atau kata istaqarra (tetap dengan dibatasi waktu lampau), kaduwe
menunjukkan arti leksikal kata li (al-jar) yang men-jarkan kata “Allah’, sedangkan
teks linguistik, ektralinguistik dan isi atau pesan teks. Unsur linguistik yang
alhamdu, “puji”, dan llahi, kagungane Allah (sebagai unsur leksikal), dan
jinsul hamdi al-arba’i, “jenis puji yang empat” (sebagai yang dimaksudkan
dihasilkan dari terjemahan adalah segala puji milik Allah. Salah satu
unsur teks dalam bahasa sasaran, sehingga kalimat yang diterjemah dapat
membuat santri paham pada struktur tata bahasanya secara lebih detail.
Dalam kalimat tersebut diatas, bahasa sasaran yaitu bahasa Jawa yang
dipakaipun susunan dan urutannya mengikuti urutan kata atau frase dalam kalimat
bahasa Arab. Dalam tata bahasa Arab, kalimat diatas disebut jumlah ismiyah
(kalimat nominal).
Contoh kedua;
نويت الوضوء
“Nawitu wus niat sapa ingsun al-wudhu’a ing wudu”
Kata wus dalam kalimat tersebut menunjukkan kala (zaman, waktu), fi’il
(kata kerja) madi (bentuk lampau), niat menunjukkan arti leksikal kata nawa,
sapa menunjukkan fail (subjek verbal ), ingsun menunjukkan arti leksikal kata tu,
yang ditulis di atas kata al-wudu’a , sedangkan kata wudhu menunjukkan arti
(waktu) “wus”, fail “sapa”, maf’ul-bih “ing” (sebagai unsur tata bahasa), nawa
ekstralinguistiknya adalah al-whudu’a dalam arti fiqh, sedangkan pesan atau isi
Contoh ketiga;
و ان تصوم خير لكم ان كنتم تعملو ن
kang “yang”(morfologis)
luwih ” lebih”(morfologis)
Adapun isi atau pesan dari kalimat tersebut adalah pasa sira kabeh iku luwih
becik yen sira kabeh weruh (hakikate pasa), yaitu puasa kamu akan lebih baik
apabila kamu semua mengerti (hakikat puasa). Keseluruhan teks tersebut berbunyi:
wa antasuumu lan utawi arep yento pasa sapa sira kabeh iku khairun kang luwih
becik lakum keduwe sira kabeh inkuntum lamun ana sapa sira kabeh iku
untuk menggali pesan yang dimaksud, yaitu berupa ilmu tentang bahasa teks atau
Arab pegon ini. Akan tetapi ketepatan penerjemahan pesan atau isi tersebut harus
dan ekstralinguistik.
namun sebenarnya terjemahan semacam ini juga sangat memperhatikan isi atau
ini adalah sebuah upaya strategis untuk menanggulangi kelemahan hasil karya
terjemahan pada umumnya, sebab sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli,
tidak ada karya terjemahan yang dapat mewakili bahasa sumber secara lengkap.
sedang dibacanya tanpa harus dengan susah payah melacak teks sumbernya. Oleh
karena itu, terjemahan ini memberikan kesempatan untuk dapat menangkap isi atau
pesan yang diperkirakan dapat berbeda dengan penerjemah yang lain, namun tetap
munculnya arti dan makna yang berbeda. Sehingga terjemahan semacam ini tidak
saja sebagai referensi pesan yang diterima oleh santri yang membacanya, akan
tetapi juga sebagai bahan perbandingan bagi pesan yang ditemukannya sendiri
melalui teks asli yang ikut terbaca bersamaan dengan membaca karya yang
diterjemahkan.
Beberapa hal yang terdapat dalam terjemahan tradisional dengan Arab pegon
63
Aly Abubkar Basalamah, Op.Cit, h. 69
Kang
10. ظ Atas Tanda zarf (leksikal) يصوم عمر والخميس
Ing
dhalem
11. ع Atas Tanda maf’ul liajlih دهبت الى المعهد تعلما
Krana (leksikal)
12. عط Atas Tanda ma’tuf dan يق~~~~ول الفق~~~~ير المتص~~~~ف ب~~~~ا ل~~~~دل
ma’tuf alaih (leksikal) والتقصير
13. غة Atas Tanda ghayah ان الموت مال قيكم ولوكنتم في بروج
Senajan (leksikal) مشيده
14. ف Atas Tanda fa’il bukan تسير السيا رة
Apa orang (leksikal)
15. سن Atas Tanda fail orang تعلم الطا لب مجتهدا
Sapa (‘aqil)
16. م Atas Tanda mubtada’ زيد قا ئم
Utawi (leksikal)
17. مف Atas Tanda maf’ul bih ضرب زيد عمرا
Ing (leksikal)
18. نف Atas Tanda nafi (leksikal) وما هللا بغا فل عما تعملون
Ora
19. مط Atas Tanda maf’ul mutlaq نصر خا لد بكرا نصرا
Kelawan (leksikal)
20. تعق Atas Tanda ta’aluq قر ات القر ان في المسجد
21. .. Bawah Tanda dhomir sya’n فا علم انه ال اله اال اللله
Kelakoh leksikal (leksikal)
an
kosakata bahasa Jawa khas yang dapat menunjuk pada variasi gramatikal bahasa
sumber, yaitu bahasa Arab. Maksud dari bahasa Jawa khas adalah bahasa Jawa
tersebut tidak seperti bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari, artinya tidak
1. apane =tamyiz=sintaksis=apanya
2. anging pesthine=qasr=retorika=hanya
3. bayane=bayan=sintaksis=jelasnya
4. hale=hal=sintaksis=keadaannya
5. ing dhalem=zarf=sintaksis=di dalam
6. iku=khabar=sintaksis=itu
7. kang=sifat naat=sintaksis=yang
9. kelawan=maf’ul mutlaq=sintaksis=dengan
11. apa/sapa=fa’il=sintaksis=apa/siapa
12. rupane=badal=sintaksis=atau/bermula
13. utawi=mubtada’=sintaksis=atau/bermula
saja karena bahasa Arab sebagai bahasa teks kitab kuning, namun
sasaran.
25
Syahruddin Keseng, Linguistik Terapan: Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa yang Sukses,
Jakarta, Depdikbud, 1989, h. 84
Menurut Henry Guntur Tarigan64, metode tarjamah tata bahasa pada
hakikatnya mencakup; telaah eksplisit, kaidah tata bahasa dan kosakata serta
analisis kaidah bahasa secara terperinci diikuti oleh penerapan pengetahuan ini
pada tugas penerjemahan kalimat-kalimat dan teks-teks kedalam dan dari bahasa
sasaran. Oleh karena itu, membaca dan menulis merupakan fokus utama atau
sasaran pokok.
penerjemah (dalam hal ini adalah santri) dari bahasa sasaran ke bahasa ibu adalah
membaca teks-teks Arab namun belum sampai pada keterampilan menulis kitab
yang berbahasa Arab. Masih menurut Henry Guntur Tarigan, bahwa dalam metode
terjamah tata bahasa, bahasa asli atau bahasa ibu merupakan media pengajaran
bahasa yang dipakai untuk menjelaskan butir-butir atau hal-hal baru yang
memudahkan pembuatan perbandingan antara bahasa asing dan bahasa ibu. Oleh
karena itu pula, bahasa Jawa (yang merupkan bahasa ibu) dipakai dalam
sumber ke dalam bahasa penerima atau bahasa sasaran agar isinya benar-benar
dalam bahasa penerima (bahasa sasaran), yang berarti apa yang diterjemahkan
harus dapat dimengerti dan tidak di salah fahami oleh orang-orang yang akan
64
Henry Guntur Tarigan,Op.Cit h.105-106.
65
Zamakhsyari Dhofier, Op.Cit, h. 51
66
E. Sadtono, Op. Cit, h. 9
Kemampuan menerjemahkan teks berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa
berbagai pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki oleh para santri. Beragam
disebutkan pada bagian sebelum ini. Hal tersebut tentu saja menimbulkan berbagai
problem pada santri, meskipun setiap santri tentu tidak mengalami problem yang
sama.
temukan selama melakukan penelitian pada Madrasah Salafiyah III ini, pada
dasarnya terbagi menjadi dua katagori, yaitu problematika linguistik dan non
linguistik.
a. Problematika Linguistik
dan perubahan bentuk kata serta makna akibat perubahan bentuk itu.67 Dalam
bahasa Arab, morfologi identik dengan ilmu shorof yang merupakan cabang
linguistik yang mempelajari perubahan bentuk kata dari satu wazan menjadi
pada penentuan makna yang salah, yang berakibat pada kesalahan penerjemahan
secara keseluruhan.
67
Mansoer Pateda, Linguistik:Sebuah Pengantar, Bandung, Angkasa, 1990, h. 71.
68
Abdul Munif, Op. Cit, h. 5
Sintaksis merupakan bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan
seluk beluk wacana, kalimat, klausa dan frase.69 Dalam linguistik bahasa Arab,
sintaksis dikenal dengan sebutan ilmu nahwu , yaitu linguistik yang mempelajari
kesalahan menentukan peran kata atau frase dalam hubungan sintaksis tertentu.
dalam hal ini adalah bahasa Arab. Seperti diketahui, bahwa analisis bahasa
kembali) isi atau pesan dari materi terjemahan dalam bahasa sasaran. Kesalahan
dalam melakukan analisis kalimat bahasa sumber akan berakibat pada kesalahan
pemahaman terhadap isi atau pesan yang diterjemahkan, yang nantinya akan
menentukan jenis kalimat dan kedudukan kata atau frase dalam sebuah kalimat.
Misalnya kata mana yang menduduki posisi subjek (musnad ilaih), predikat
(musnad), objek (maf’ul bih) atau keterangan. Kesalahan tersebut antara lain
makna atau arti.70 Dalam bahasa Arab, semantik identik dengan ilmu dalali yaitu
69
Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia-Sintaksis, Yogyakarta, UP Karyono, 1981,h. 1
70
JD. Parera, Teori Semantik, Erlangga, Jakarta, 1991, h. 3
ilmu yang mempelajari hubungan antara lambang dengan maknanya atau arti yang
dimaksud oleh lambang bahasa tersebut. Dalam semantik dikenal adanya dua
makna, yaitu makna leksikal dan makna kontekstual atau gramatikal. Makna
leksikal adalah makna yang diperoleh dari kamus, sedangkan makna kontekstuaal
atau gramatikal adalah makna yang diperoleh akibat proses gramatikal tertentu
ini pada umumnya berkaitan dengan kesalahan menentukan padaan kata yang
yang dihadapi santri ketika berusaha melakukan penyusunan kembali makna atau
isi terjemahan yang berupa Arab pegon dan diterjemahkan secara terpisah-pisah
kedalam bahasa sasaran. Pada umumnya kesalahan yang dilakukan pada tahap ini
karena masih adanya interferensi struktur bahasa Arab sebagi bahasa sumber ke
Selain faktor linguistik, juga ada beberapa faktor non linguistik yang menjadi
1. Banyak santri yang belum menguasai bahasa sumber (bahasa Arab) dengan
baik.71
2. Belum dikuasainya bahasa sasaran dengan lebih baik, dalam hal ini
Umumnya para santri bukan saja datang dari lingkungan daerah Jawa saja,
namun banyak juga dari mereka yang berasal dari daerah luar Jawa yang
71
Ali Audah, Op.Cit, h. 5
belum tentu dapat berbahasa Jawa. Hal ini tentu saja menyulitkan santri dalam
3. Adanya perbedaan dalam tata cara penulisan antara huruf Arab yang
sama, penerjemahan dari bahasa Arab ke selain bahasa Arab tentu meminta
Problem mengenai perbedaan bahasa juga perbedaan huruf ini, sudah mulai
III. Namun menurut beberapa orang santri, hal tersebut belum begitu
maksimal karena pengenalan huruf yang ada dengan apa yang digunakan oleh
pegon ini berbeda, sehingga apa yang ditulis oleh satu santri belum tentu dapat
dibaca oleh santri yang lain. Hal ini memang bukanlah masalah yang besar,
namun kurang lebih akan dapat menghambat proses jalannya sistem belajar
Agar problem ini dapat mudah diatasi, agaknya para pengguna Arab pegon
mulai sekarang harus sudah mulai berfikir untuk membuat kamus khusus Arab
Sebuah teks yang berisi permasalahan tertentu pada salah satu bidang tertentu,
gaya penuturan dan istilah-istilah teknis yang digunakan dalam bidang disiplin
yang berbeda.
Misalnya saja ketika santri harus menerjemahkan kitab yang berisi tentang
ilmu tasawuf tentu berbeda ketika menerjemahkan kitab yang berisi tentang
pula harus dilakukan pendekatan yang berbeda agar santri akhirnya mampu
waktu yang cukup.Misalnya saja pada saat pengajian bandongan, jika para
73
Romdoni, Op.Cit, h. 66.
2. Problem Pemahaman Isi Teks secara Utuh
memberikan pemahaman yang utuh terhadap isi teks?. Pertanyaan seperti itulah
pesantren.
penggunaan Arab pegon dalam terjemahan kitab kuning, merupakan salah satu
tujuan pokok. Setiap santri selalu mengharapkan bahwa apa yang dipelajarinya
santri dapat sukses mendapatkannya. Ada saja problem yang muncul sehingga
santri harus terus bekerja keras untuk dapat memahami isi teks secara utuh setiap
perkembangan kemampuan dasar, ada santri yang cerdas namun ada juga
yang sedang-sedang saja dan ada pula yang lamban dalam menerima
sehingga ada anak yang rajin tetapi juga ada anak yang malas.73Perlu adanya
73
H. Tyar Yusuf dan Drs. Syaiful Anwar, Op.Cit, h. 103.
membuat sebagian santri belum mampu memahami isi teks kitab kuning yang
5. Mutu Pengajaran.74
Namun, jika dilihat dari kapasitas jumlah muridnya, penggunan pengajaran sistem
keseluruhan santri, dalam satu jam pengajian yang terdiri kurang dari 60 menit,
akan sulit bagi ustadz untuk memberi waktu yang cukup bagi setiap anak. Ustadz
apakah hal itu juga disadari oleh setiap ustadz?. Menurut penuturan beberapa
Menurut Dr. Henry Guntur Tarigan, ada 4 segi dalam keterampilan berbahasa,
74
S. Nasution, Op.Cit, h. 40
75
Henry Guntur Tarigan, Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung, Angkasa, 1984,
h.1
76
Sri Utari dan Subyakto Nababan, Metodologi Pengajaran Berbahasa, Jakarta, Depdikbud, 1988, h.
132.
empat ketrampilan diatas juga terdiri atas tingkah laku bahasa lisan yaitu berbicara
dan menyimak serta tingkah laku bahasa tulis yaitu menulis dan membaca.77
reseptif, namun demikian bukan berarti pasif. Karena dalam membaca kitab, santri
Dra. Juwairiyah Dahlan, bahwa dalam mempelajari bahasa Arab siswa akan
memahami bahasa Arab (tulisannya) terlebih dahulu sebelum tulisan itu dibacanya,
huruf Arab biasanya tanpa disertai harokat, sedangkan harokat pada huruf akhir
Meskipun penggunaan Arab pegon ini hanya menggunakan bahasa Jawa yang
banyak digunakan sehari-hari dan tampak mudah dipahami, namun bagi orang
yang berada di luar Jawa atau yang tidak menggunakan bahasa Jawa tetaplah
merasa kesulitan.
Setiap santri merupakan individu yang berbeda-beda, ada santri yang cepat
keadaan yang seperti ini, jelas memerlukan sistem pengajaran yang berbeda
satu sistem pengajaran individual yang ada, jelas dapat dikembangkan lagi sesuai
77
Fuad Abdul Hamid, Proses Belajar Mengajar Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1987, h. I
7
Juwairiyah Dahlan, MA,Op.Cit ,h 45.
menurut Drs. Roestiyah N.K, ada beberapa penyajian pengajaran individual lain
Dalam hal ini ada persetujuan antara seorang santri dengan seorang ustadz dalam
penentuan persetujuan secara garis besar, siswa menyiapkan sendiri bentuk ujian
akhir, tidak ada peraturan yang mengikat tentang bagaimana menyiapkan ujian
Tujuan khusus disetujui bersama antara santri dan ustadz, tetapi tidak ada
instruksional khusus, mungkin juga memberikan daftar bacaan yang perlu atau
sumber-sumber lain tetapi siswa tidak harus mempergunakannya apabila dia lulus,
Dalam penyajian ini santri yang menentukan untuk kepentingan dirinya, apa
tujuannya, bagaimana dia akan belajar dan sesudah itu tugas apa yang akan
dilakukannya kemudian.
instruksional itu, mungkin santri memakai materi yang sama untuk mencapai
berbeda.
79
Roestiyah N.K,Op.Cit, h. 54.
Dalam hal ini santri menentukan instruksi sistem sendiri, memungkinkan santri
instruksional tersebut dianggap tepat untuknya, juga pengajaran yang lebih tepat
baginya.
80
Sardiman, A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, cet ke-5, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
1994, h. 109.
Peran aktif santri dalam pengajaran sorogan memungkinkan
4. Ketekunan santri
Ketekunan itu nyata dari jumlah waktu yang diberikan oleh santri untuk
mempelajari sesuatu. Jika santri memberikan waktu yang kurang dari yang
sepenuhnya. Ketekunan belajar ini tampaknya bertalian dengan sikap dan minat
terhadap pelajaran. Bila suatu pelajaran karena sesuatu hal tidak menarik minatnya,
maka tentu sulit bagi santri untuk dapat menangkap apa yang diajarkan.81
tidak selalu juga menentukan waktu tertentu untuk pelajaran tertentu, namun tetep
ditentukan misalnya untuk satu semester atau satu tahun. Maksudnya, agar bahan
yang sama dikuasai semua murid dalam jangka waktu yang sama. Padahal,
menentukan satu waktu yang sama untuk bahan yang sama tidak akan sesuai bagi
semua murid berhubungan dengan perbedaan individual. Bagi murid yang pandai
waktu itu mungkin terlampau lama, sedangkan untuk murid yang tidak terlalu
Apa yang harus dipelajari santri di pondok pesantren mungkin saja sama
banyaknya dengan apa yang dipelajari santri pada aktivitasnya di luar pesantren,
misalnya untuk santri yang juga berstatus sebagai pelajar atau santri yang juga
81
S. Nasution, Op.Cit , h. 46
menjalankan tugasnya sebagai mahasiswa. Ada juga santri yang aktif namun ada
yang tidak aktif, semuanya ikut berpengaruh pada pemahaman santri terhadap
penerimaan pengajaran kitab yang menuntut pemahaman atas apa yang tertuang
dalam isi teks kitab tersebut. Selain karena dibutuhkan waktu yang cukup, juga
nampaknya bisa dibedakan ke dalam dua katagori, yaitu belajar bahasa Arab
sebagai tujuan dan belajar bahasa Arab sebagai alat.82 Bahasa Arab sebagai
lisan maupun tertulis dalam bahasa Arab yang berarti mampu berbahasa
secara psikologis, membentuk suatu masyarakat bahasa. Bahasa bukan hanya suatu
konformitas sosial, namun merupakan suatu alat pengembangan sumber daya fisik
82
Abdul Munif, Op.Cit, h. 2
Problem apa sajakah yang muncul ketika santri berusaha
karena penulis melihat fenomena yang selama ini ada di pesantren, dimana
santri yang lebih dari dua kali mempelajari satu kitab yang sama pun belum
tentu memahami, mengerti, dan belum tentu dapat menyampaikan apa yang
uraian yang diajarkan oleh ustadz pun terkadang masih sulit dilakukan. Hal
dalam satu kali pertemuan membaca hingga satu lembar penuh salah satu
kitab, padahal dalam satu lembar saja terdapat puluhan kalimat dan belasan
paragraf. Untuk ustadz yang jeli, biasanya dalam satu kali pertemuan satu
sayangnya hal ini jarang terjadi. Akibatnya santri saat mengikuti pengajian
bandongan banyak yang terlihat tidak serius, terlihat sambil mengantuk atau
Agar dapat menerjemahkan kitab dengan baik, terlebih dahulu harus mempelajari tata
Bahasa pada prinsipnya dugunakan oleh para pemakainya sebagai pembawa pesan
yang ingin disampaikan kepada orang lain. Namun hal ini tidak akan
mengetahui arti serta makna dari bahasa yang digunakan. Arab pegon
Penggunaan bahasa Jawa bagi orang Jawa maupun yang mengerti bahasa
Jawa bukanlah suatu problem, namun bagi yang sama sekali tidak
besar. Hal seperti ini tentu dapat diminimalisir dengan penggunaan dwi
bahasa yaitu Jawa-Indonesia pada setiap kali proses belajar mengajar
kitab kuning.
Meskipun para santri telah lama belajar kitab kuning dan sudah pernah
tetap dialami. Ada beberapa tingkatan dalam materi yang digunakan, yaitu
mudah, sedang dan sulit. Ada beberapa kitab yang didalamnya berisi tingkatan
gramatikal yang lebih rumit dibanding dengan kitab yang lain, adapula yang
terlebih dahulu santri harus memulainya dengan kitab lain yang balaghohnya
lebih rendah.
Ada beragam cara yang dapat mempermudah para santri dalam mengatasi
(1). Belajar kelompok, belajar bersama dan saling membantu dalam pelajaran.
Santri sering lebih paham akan apa yang disampaikan temannya daripada oleh
ustadz. Bahasa yang digunakan oleh santri lebih mudah ditangkap santri lain,
(2). Bantuan tutor, yaitu orang yang dapat membantu santri secara individual.
(3).Adanya kitab penunjang selain kitab yang diajarkan, hal ini dapat
dipelajarinya.
Jika santri tidak dapat memahami apa yang dikatakan atau disampaikan oleh
mengajar, keyakinan akan tujuan serta minat belajar anak harus dibangkitkan
keingintahuan; pada dasarnya anak didik selalu ingin tahu segala sesuatu
lingkungan yang bersikap terbuka. Hubungan yang akrab antara ustadz dan
sendiri; anak didik atau santri adalah manusia hidup yang pada dasarnya
memiliki dorongan kuat untuk bekerja aktif. Aktifitas ini bisa dikembangkan
jika didukung oleh lingkungan yang melibatkan santri dalam belajar. Keempat,
sintesis. Dalam memahami sesuatu, berfikir analisis sintesis sangat penting agr
84
S. Effendi, Beberapa Pokok Pikiran tentang Pengajaran Bahasa, (Pengajaran Bahasa Arab dan
Sastra), Nomor I/I/1975, h. 9-11.
menemukan ciri-ciri sesuatu, sedangkan berfikir analisis dilakukan untuk
utuh. Oleh karena itu, analisis sintesis sangat menunjang dalam berfikir kritis.
D. Kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi pemahaman isi teks pada
santri
Arab pegon yang sangat kental dengan khasanah budaya Jawa ini, meskipun
menghilangkan.
Ada kelebihan juga terdapat kekurangan dalam penggunaan Arab pegon ini,
diantaranya yaitu;.
(1). Salah satu kelebihan dari penggunaan terjamahan ini adalah ditampakkannya semua
unsur teks dalam bahasa sasaran, sehingga kalimat yang diterjemah dapat
membuat santri paham pada struktur tata bahasanya secara lebih detail.
kitab satu fasal saja, mencapai ratusan kosakata, apalagi jika beberapa fasal.
(5). Para santri dapat menghayati dzauqul arabiyah. (rasa bahasa). Hal ini akan
sangat berpengaruh terhadap pemahaman santri akan nilai makna yang terkandung
didalamnya kitab.
(6). Keunikan yang patut dilestarikan. Menggunakan Arab pegon berarti sedikit banyak
Untuk dapat memahami satu paragraf saja, seorang santri diharuskan membaca
yang ada yaitu bandongan dan sorogan, maka yang dinilai lebih
belajar.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
dengan menggunakan Arab pegon pada santri Madrasah Salafiyah III, Komplek
1. Proses penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon ini mengungkap tiga
hal, yaitu (1) isi atau pesan (2) unsur linguistik teks dan (3) unsur
ekstralinguistik teks.
pada santri terbagi menjadi dua katagori, yaitu (1) Problem linguistik,
bahasa sasaran, perbedaan tata cara penulisan antara huruf Arab yang
berbahasa Arab dengan penulisan Arab pegon, kesulitan materi kitab yang
santri dapat sukses mendapatkannya. Problem yang dialami santri dalam hal
kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang menggunakan Arab
demi kata, bahasa yang digunakan, kesulitan materi, dan kesanggupan untuk
memahami pengajaran.
bahasa Jawa.
pesantren.
3. Para ustadz
4. Para Santri
C. Kata Penutup
Matur sembah nuwun kepada Allah penguasa bumi raya yang telah memberi
kemudahan dan jalan terang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan,
untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Semoga
Penyusun
Tafsiyatun Rohanah
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Fuad, Hamid, Proses Belajar Mengajar Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1987
A.M, Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, Cet ke-5, 1994
Hidayah, Irfatul, Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses
Marginalisasi Budaya Lokal, Jurnal Religi, Vol. II, No. 2 Juli-Desember 2003
Lombard, Denys, Nusa jawa:Silang Budaya Jilid I, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2000
Taufiq dan Idris BA, Mengenal Kebudayaan Islam,PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1983
Yusuf, Tayar dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab,
Jakarta, Rajawali Press, 1994
DAFTAR LAMPIRAN