Anda di halaman 1dari 90

PEMBELAJARAN KITAB KUNING DENGAN ARAB PEGON

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Tarbiyah Universitas Islam Negeri Yogyakarta


Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S. Pd.I )

Oleh:

TAFSIYATUN ROHANAH
NIM: 99424272

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ARAB


FAKULTAS TARBIYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
YOGYAKARTA
2005

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………….i

HALAMAN NOTA DINAS ……………………………………………ii

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………….iii

HALAMAN MOTTO…………………………………………………..iv

HALAMAN PERSEMBAH…………………………………………….v

KATA PENGANTAR…………………………………………………..vi

DAFTAR ISI …………………………………………………………...vii

DAFTAR TABEL……………………………………………………….x

DAFTAR LAMPIRAN…………………………………………………xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Penegasan Istilah………………………………………………1

B. Latar Belakang Masalah……………………………….………1

C. Rumusan Masalah……………………………………………...9

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian………………………………...9

E. Kerangka Teoritik…………………………………………….10

F. Metode Penelitian…………………………………………….17

G. Sistematika Pembahasan……………………………………...21

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ARAB PEGON

A. Proses Akulturasi Budaya…………………………………….23

B. Hubungan Kesusasteraan dengan Arab pegon………………….29

C. Hubungan antara Kitab kuning dalam

Pesantren dengan Penggunaan Arab Pegon……………………..32

BAB III Tradisi Arab Pegon di Pondok Pesantren

A. Gambaran Umum Tentang Madrasah Salafiyah III,


Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta.

1. Letak Geografis…………………………………………....37

2. Sejarah Berdiri dan Berkembangnya………………………37

3. Struktur Organisasi………………………………………...39

4. Fasilitas Pendidikan………………………………………..41

5. Keadaan Kyai, Ustadz dan Santri………………………….43

B. Penggunaan Arab Pegon di Madrasah Salafiyah III

1. Kurikulum………………………………………………….47

2. Materi Pelajaran……………………………………………50

3. Metode dan Sistem Pengajaran…………………………….52

4. Proses Belajar Mengajar……………………………………56

C. Problem Pembelajaran Kitab Kuning dengan Arab pegon

1. Problem Penerjemahan dengan Arab pegon…………………69

2. Problem Pemahaman Isi Teks Secara Utuh………………..77

3. Problem Mengkomunikasikan Pemahaman

Kepada Orang lain atas Pembacaan

kitab kuning yang Menggunakan Arab pegon……………..84

F D. Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan

G Arab Pegon bagi Pemahaman Terhadap

H Isi Teks pada Siswa……………………………………………90

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………….92
B. Kritik dan Saran………………………………………………..94

C. Kata Penutup…………………………………………………...95

Daftar Pustaka…………………………………………………………...96

Lampiran-lampiran…………………………………………………….100

Daftar Riwayat Hidup………………………………………………….116

BAB I

PENDAHULUAN

A. Penegasan Istilah

1. Tradisi

Tradisi merupakan suatu kebiasaaan turun temurun1.

2. Arab Pegon

Arab pegon, yaitu sebuah tulisan, aksara atau huruf arab tanpa lambang

atau tanda baca atau bunyi2. Dalam kamus Jawa-Indonesia, pegon berarti tidak

biasa mengucapkan.3 Kata lain dari “pegon” yaitu gundhil berarti gundhul atau

polos4. Sedangkan “huruf Arab pegon” digunakan untuk menuliskan terjemahan

maupun makna yang tersurat didalam kitab kuning5 dengan menggunakan bahasa

tertentu.

3. Pondok Pesantren

1
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al barry,Kamus Ilmiah populer, Surabaya, Penerbit Arkola, 1994,
h..756
2
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al barry, Op. Cit, h.579
3
Purwadi, Kamus Jawa-Indonesia, Jakarta, Pustaka Widyatama, 2003, h. 278
4
Purwadi, Op. Cit, h. 88
5
Kitab kuning, merupakan buku tentang ilmu-ilmu keislaman yang dipelajari di pesantren yang ditulis
dalam tulisan dan Bahasa Arab dengan sistemtik klasik.
Merupakan sebuah institusi agama Islam,yang masih bercorak tradisional

selain menyelenggarakan pengajaran agama juga menyediakan asrama sebagai

usaha untuk lebih memperdalam pelajaran agama.

B. Latar Belakang Masalah

Arab pegon, sebenarnya hanya merupakan ungkapan yang digunakan oleh

orang Jawa, sedangkan untuk daerah Sumatera disebut dengan aksara Arab-

Melayu6. Jadi, huruf Arab pegon atau disebut dengan aksara Arab-Melayu ini

merupakan tulisan dengan huruf Arab tapi menggunakan bahasa lokal. Dikatakan

bahasa lokal karena ternyata tulisan Arab pegon itu tidak hanya menggunakan

Bahasa Jawa saja tapi juga dipakai di daerah Jawa barat dengan menggunakan

Bahasa Sunda, di Sulawesi menggunakan Bahasa Bugis, dan di wilayah Sumatera

menggunakan Bahasa Melayu.

Keberadaan Arab pegon di Nusantara sangat erat kaitannya dengan syi’ar

Agama Islam, diduga merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh para ulama

sebagai upaya menyebarkan Agama Islam7. Selain itu aksara Arab ini juga

digunakan dalam kesusasteraan Indonesia. Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat,

dalam kesusasteraan Jawa ada juga yang ditulis dengan tulisan pegon atau

gundhil, penggunaan huruf ini terutama untuk kesusasteraan Jawa yang bersifat

agama Islam,8 aksara Arab yang dipakai dalam Bahasa Jawa disebut dengan

aksara Pegon.9Bukan hanya kesusasteraan Jawa saja tapi ternyata mencakup

Nusantara karena menurut Drs. Juwairiyah Dahlan, bagi mereka yang

6
Kompas, Melihat palembang dari naskah kuno, Senin 29 september 2003
7
Wawancara dengan Jadul Maula, ketua yayasan Lembaga kajian Islam dan Sosial Yogyakarta, 20
september 2003.
8
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta, Balai Pustaka, 1994, h. 20.
9
Abdul chaer, Linguistik umum, , Jakarta Rineka Cipta, 1994, h. 89.
mempelajari kesusasteraan Indonesia seringkali menggunakan aksara Arab ini,

bahkan di Malaysia disebut dengan aksara Jawi.

Dengan aksara Arab ini, telah ditulis dan dikarang ratusan buku mengenai

ibadah, hikayat, tasawuf, sejarah nabi-nabi dan rosul serta buku-buku roman

sejarah. Pada zaman penjajahan Belanda, sebelum tulisan latin diajarkan di

sekolah-sekolah, seringkali aksara Arab dipergunakan dalam surat menyurat,

bahkan dikampung-kampung pada umumnya sampai zaman permulaan

kemerdekaan, banyak sekali orang yang masih buta aksara latin tetapi tidak buta

aksara Arab, karena mereka sekurang-kurangnya dapat membaca aksara Arab,

baik untuk membaca Al-Qur’an maupun menulis surat dalam bahasa daerah

dengan aksara Arab.10Menurut Prof. Dr. Denys Lombard, menjelang tahun 1880

aksara Arab masih digunakan luas untuk menuliskan Bahasa Melayu dan beberapa

bahasa setempat (seperti Bahasa Aceh atau Minangkabau) 11

Beragam usaha untuk mempertahankan penggunaan aksara Arab ini, salah

satunya di daerah Sulawesi Selatan tepatnya di daerah Buton. Menurut Laode

Zaedi,12 aksara Arab dengan Bahasa Bugis/Walio dianggap sebagai salah satu

khasanah kebudayaan daerah dan kini sedang digalakkan pelestariannya, salah

satu caranya yaitu dengan mengajarkan kepada murid-murid sekolah dasar (SD),

Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) hingga

perguruan tinggi sebagai salah satu pilihan dalam kurikulum muatan lokal.

Selain itu, keberadaan penggunaan Arab pegon di pondok pesantren terutama

yang masih kuat kultur masyarakatnya13sampai saat ini masih tetap dipertahankan.
10
Juwairiyah Dahlan, Metode Belajar Mengajar Bahasa Arab, Surabaya, Penerbit Al-ikhlas, 1992,h. 29
11
Denys Lombard, Nusa jawa:Silang Budaya Jilid I, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2000,
h.164
12
Wawancara dengan Laode Zaedi, Mantan Pegawai Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sulawesi
Selatan untuk kesultanan Buton, 27September 2004.
13
Maksudnya yang termasuk golongan Nahdlotul Ulama terutama untuk kawasan pulau jawa,
diantaranya Pesantren Krapyak di Yogyakarta, Pesantren Tebu Ireng dan Tambak Beras di Jombang
jawa Timur juga dibanyak tempat lainnya.
Karena selama ini pesantren masih dianggap banyak membawa keberhasilan

dalam pencapaian berhasilnya pelajaran dan pengajaran Bahasa Arab. Penerapan

penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon dalam

pengajarannya biasa disebut dengan Ngabsahi14atau Ngalogat15 dalam

menerjemahkan dan memberi makna pada Kitab Kuning.

Pengertian umum yang beredar di kalangan pemerhati masalah pesantren

adalah bahwa kitab kuning selalu dipandang sebagai kitab-kitab keagamaan

berbahasa arab, atau berhuruf arab, sebagai produk pemikiran ulama masa lampau

(as-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M.

Dalam rumusan yang lebih rinci, definisi kitab kuning adalah kitab-kitab yang, ( a)

ditulis oleh ulama-ulama “asing”, tetapi secara turun-temurun menjadi reference

yang dipedomani oleh para ulama indonesia, (b) ditulis oleh ulama Indonesia

sebagai karya tulis yang “independen”, dan c) ditulis oleh ulama Indonesia

sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama “asing”.

Dalam tradisi intelektual Islam, khususnya di timur tengah, dikenal dua istilah

yang menyebut kategori karya-karya ilmiah berdasarkan kurun atau format

penulisannya. Katagori pertama disebut kitab-kitab klasik (al-kutub al-qodimah),

sedangkan kategori kedua disebut kitab-kitab modern (al-kutub al-ashriyyah).

Perbedaan pertama dari yang kedua dicirikan, antaara lain, cara penulisannya

yang tidak mengenal pemberhentian, tanda baca (punctuation), dan kesan

bahasanya yang berat, klasik, dan tanpa syakl (baca: sandangan- fatkhah,

dhommah, kasroh). Dan sebutan kitab kuning pada dasarnya mengacu pada

katagori yang pertama, yakni kitab-kitab klasik (al-kutub al-qodimah).

14
Sebutan untuk wilayah Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur
15
Sebutan untuk wilayah Jawa Barat
Spesifikasi kitab kuning secara umum terletak pada formatnya (lay-out), yang

terdiri dari dua bagian: matn, teks asal (inti), dan syarh (komentar, teks penjelas

atas matn). Dalam pembagian semacam ini, matn selalu di letakkan di bagian

pinggir (margin) sebelah kanan maupun kiri, sementara syarh-karena

penuturannya jauh lebih banyak dan panjang dibandingkan matn-diletakkan di

bagian tengah setiap halaman kitab kuning. Ukuran panjang-lebar kertas yang

digunakan kitab kuning pada umumnya kira-kira 26 cm (quarto). Ciri khas lainnya

terletak dalam penjilidannya yang tidak total, yakni tidak dijilid seperti buku. Ia

hanya dilipat berdasarkan kelompok halaman (misalnya, setiap 2 halaman) yang

secara teknis dikenal dengan istilah korasan. Jadi, dalam satu kitab kuning terdiri

dari beberapa korasan yang memungkinkn salah satu atau beberapa korasan itu

dibawa secara terpisah. Biasanya, ketika berangkat ke majelis pengajian, santri

hanya membawa korasan tertentu yang akan dipelajarinya bersama sang kiai-

ulama.

Hal yang membedakan kitab kuning dari yang lainnya adalah metode

mempelajarinya. Sudah dikenal bahwa ada dua metode yang berkembang di

lingkungan pesantren untuk mempelajari kitab kuning: adalah metode sorogan

dan metode bandongan. Pada cara pertama, santri membacakan kitab kuning

dihadapan kiai-ulama yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri, baik

dalam konteks makna maupun bahasa (nahw dan sharf). Sementara itu, pada cara

kedua, santri secara kolektif mendengarkan bacaan dan penjelasan sang kiai-

ulama sambil masing-masing memberikan catatan pada kitabnya. Catatan itu bisa

berupa syakl atau makna mufrodhat atau penjelasan (keterangan tambahan).

Penting ditegaskan bahwa di kalangan pesantren, terutama yang klasik (salafi),


memiliki cara membaca tersendiri yang dikenal dengan cara utawi-iki-iku, sebuah

cara membaca dengan pendekatan tata bahasa (nahw dan sharf) yang ketat.

Selain kedua metode diatas, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab

kuning, di lingkungan pesantren, dewasa ini telah berkembang metode jalsah

(diskusi kelompok) dan halaqoh (seminar). Kedua metode ini lebih sering

digunakan ditingkat kiai-ulama atau pengasuh pesantren, namun sekarang pun

sudah sering dilakukan oleh santri. Guna membahas isu-isu kontemporer dengan

bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning.16

Ilustrasi berikut ini dapat memberikan suatu gambaran yang jelas bagaimana

metode ini dilaksanakan dalam praktik:

‫الحمد هلل الدي فضل بني ادم بالعلم والعمل على جميع العالم‬

Teks tersebut diatas diambil dari kitab Ta’lim al Muta’lim. Huruf-huruf besar

syang horisontal adalah teks asli Bahasa Arab, sedangkan huruf-huruf kecil di

antara tulisan horisontal yang ditulis miring kebawah adalah terjemahannya dalam

bahasa Jawa. Teks asli dalam Bahasa Arab ditulis dengan vowels (dalam bahasa

Jawa disebut nganggo sandangan) atau Arab Pegon. Murid-murid harus belajar

dari kitab-kitab gundul yang ditulis tanpa huruf hidup atau tanpa syakal. Ilustrasi

tersebut menunjukkan bagaimana cara penerjemahan teks Arab ke dalam Bahasa

Jawa. Perkataan Arab Al-Hamdu lillahi diterjemahkan utawi sekabehane puji iku

keduwe Alloh, yang berarti ”Segala puji adalah kepunyaan Alloh”. Perkataan Al

hamdu yang didahului oleh al dan diakhiri dengan huruf hidup U (dzamah U) dan

dalam Bahasa Jawa didahului dengan kata utawi dimaksudkan untuk

menunjukkan bahwa perkataan tersebut adalah mubtda’ atau pokok kalimat. Hal

16
Affandi Mochtar, Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan Transformasi; Pesantren
Tradisi kitab kuning sebuah observasi umum, Bandung, Pustaka Hidayah, 1999, h. 221-224
ini sangat penting untuk diketahui oleh murid-murid, sebab kitab-kitab yang

diajarkan dalam metode sorogan dan bandongan ditulis tanpa syakal, sehingga

untuk dapat membacanya dengan benar dan cocok para murid harus menguasai

tatabahasa Arab.17

Tulisan sebagai lambang tertulis dari suatu bahasa berfungsi sebagai alat untuk

dibaca agar dipahami maksud yang terkandung didalamnya. Kemampuan

membaca dipakai untuk memahami maksud tulisan sehingga membaca untuk

menjadi paham. Pemakaian Bahasa Jawa dalam penulisan Arab Pegon sebagai

sistem yang diterapkan di Pondok Pesantren merupakan salah satu simbol masuk

dan bercampurnya Budaya Jawa sebagai usaha untuk lebih dapat memahami isi

kitab kuning yang didalamnya menggunakan Bahasa Arab.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu upaya dalam pengembangan keilmuan

yang mengkaji tentang permasalahan tradisi Arab pegon di pondok pesantren,

dengan harapan dapat membantu mendudukkan pada proporsinya. Mengingat

keterbatasan waktu dan pengetahuan, skripsi ini sengaja membatasi kajiannya

pada proses penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon saja.

Pada kesempatan ini penulis mengambil studi kasus di Madrasah Salafiyah III,

Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta. Alasan pemilihan tempat merupakan salah

satu hal yang sangat diperhatikan, selain karena secara geografis dekat dengan

kampus Universitas Islam Negeri Yogyakarta, segala macam informasi mudah

didapat, dan satu hal yang sangat penting yaitu karena Madrasah Salafiyah III ini

masuk dalam lingkup salah satu pesantren tradisional yang dari awal pendiriannya

hingga saat ini masih konsisten menggunakan Arab pegon.

17
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES,
1994, Cet.,ke-4, h.10-11.
C. Rumusan Masalah

Dengan berlandaskan pada latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka ada

persoalan pokok yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana

Proses Penerjemahan Kitab Kuning Dengan Menggunakan Arab Pegon Pada

Santri Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Pondok Pesantren Krapyak,

Yogyakarta?

Untuk memperjelas pembahasan tersebut, akan dibahas juga hal-hal sebagai

berikut:

1. Problem pembelajaran kitab kuning dengan Arab pegon. Mencakup;

a. Problem apa saja yang muncul pada penerjemahan dengan Arab pegon?.

b. Apakah penerjemahan dengan Arab pegon dapat memberikan pemahaman

yang utuh terhadap isi teks?

c. Problem apa saja yang muncul ketika santri mengkomunikasikan

pemahaman kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang

menggunakan Arab pegon?.

2. Apa kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi pemahaman

terhadap isi teks pada santri.

D. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian
a. Mendeskripsikan penggunaan Arab pegon yang selama ini berkembang

dalam pondok pesantren.

b. Mendeskripsikan problem-problem pembelajaran kitab kuning dengan

Arab pegon

c. Mengetahui kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi

pemahaman terhadap isi teks pada siswa.

2. Kegunaan Penelitian

Sebagai sumbangan penulis terhadap dunia pendidikan berkenaan dengan

penggunaan Arab pegon, serta untuk mengetahui latar belakang penggunaan

tulisan huruf arab pegon dan hubungannya bagi perkembangan agama Islam di

Nusantara.

E. Kerangka Teoritik

1. Metode Pengajaran Kitab Kuning di Pesantren

Metode dapat dipahami sebagai cara yang teratur dan

sistematis untuk melaksanakan sesuatu,18 atau cara yang

digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran. Ada beberapa

faktor yang perlu diperhatikan dalam memilih metode yang akan

digunakan dalam praktek pengajaran, antara lain:

a. Tujuan yang berbeda pada setiap mata pelajaran sesuai dengan jenis,

fungsi dan sifat maupun isi pelajaran masing-masing.

b. Perbedaan latar belakang individual peserta didik, baik keturunan, usia

perkembangan (kematangan), maupun tingkat berfikirnya.

c. Perbedaan dimana kondisi pendidikan itu berlangsung.

18
Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry,Op.cit, h.175.
d. Perbedaan pribadi dan kemampuan guru masing-masing.

e. Fasilitas yang berbeda, baik kualitas maupun kuantitas.19

Dalam pesantren, ada beberapa metode yang biasa digunakan oleh kyai atau

ustadz dalam melakukan pengajaran kitab kuning dengan Arab pegon. Terbagi

dalam dua jenis, yaitu; pertama, secara individual atau biasa disebut dengan

sistem sorogan. Kedua, secara berkelompok atau disebut dengan bandongan..

Selain kedua metode tersebut, sejalan dengan usaha kontekstualisasi kajian kitab

kuning, di lingkungan pesantren dewasa ini telah berkembang metode jalsah

(diskusi kelompok) dan halaqoh (seminar). Pada awalnya metode ini lebih sering

digunakan pada tingkat kiai-ulama atau pengasuh pesantren, namun pada masa

sekarang sudah biasa dilakukan oleh santri. Biasanya untuk membahas isu-isu

kontemporer dengan bahan-bahan pemikiran yang bersumber dari kitab kuning.20

1. Metode Sorogan

Sistem Individual dalam sistem pendidikan Islam tradisional disebut dengan

sistem sorogan yang diberikan dalam pengajian kepada murid-murid yang

telah menguasai pembacaan Qur’an. Santri membacakan kitab kuning

dihadapan kiai-ulama yang langsung menyaksikan keabsahan bacaan santri,

baik dalam konteks makna maupun bahasa (nahw dan sharf).

Sorogan artinya belajar secara individu dimana seorang santri berhadapan

dengan seorang guru, terjadi interaksi saling mengenal diantara keduanya. 21

Sedangkan menurut Wahyu Utomo, metode sorogan merupakan sebuah

sistem belajar dimana para santri maju satu persatu untuk membaca dan

menguraikan isi kitab dihadapan seorang guru atau kiai. 22 Dalam Pesantren,

19
Imansyah Alpandie, Didaktik Metodik Pendidikan Umum, Usaha Nasional, Surabaya, 1984, h. 71.
20
Affandi Mochtar, Op.cit, h. 200.
21
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994, Cet.I,h. 6.
22
Wahyu Utomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternative Masa Depan, Jakarta,Gema
Insan Press, 1997, Cet. Ke-4, h. 28
sistem sorogan terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama bagi seorang

murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Metode ini memungkinkan

seorang guru mengawasi, menilai dan membimbing Bahasa Arab.

Ciri utama penggunaan sistem individual ini adalah; (1) lebih mengutamakan

proses belajar daripada mengajar, (2) merumuskan tujuan yang jelas, (3)

mengusahakan partisipasi aktif dari pihak murid, (4) menggunakan banyak

feedback atau balikan dan evaluasi, (5) memberi kesempatan kepada murid

untuk maju dengan kecepatan masing-masing.23

2. Metode Bandongan

Metode utama sistem pengajaran di lingkungan pesantren yaitu sistem

bandongan atau seringkali disebut sistem weton. Secara etimologi, dalam

kamus besar Bahasa Indonesia, bandongan diartikan dengan pengajaran dalam

bentuk kelas (pada seklek agama). 24Dalam sistem ini sekelompok murid

(antara 5 sampai 500) mendengarkan seorang guru yang membaca,

menerjemahkan, menerangkan dan seringkali mengulas buku-buku Islam

dalam Bahasa Arab. Setiap murid memperhatikan bukunya sendiri dan

membuat catatan tentang kata-kata atau buah pikiran yang sulit, berupa syakl

atau makna mufrodhat atau penjelasan (keterangan tambahan). Kelompok

kelas dari sistem bandongan ini disebut dengan halaqoh yang arti bahasanya

lingkaran murid atau sekelompok siswa yang belajar dibawah bimbingan

seorang guru.

2. Proses Penerjemahan Kitab Kuning: Teori dan Praktek

A. Proses Terjemahan

23
S. Nasution, Berbagai pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta, Bumi Aksara, 2000,
Cet ke-7, h.58.
24
Winarno Surakhmad, Metodologi Pengajaran Nasional, Jemmars, Jakarta, 1979, h. 85
Menerjemahkan merupakan suatu usaha penyampaian berita yang terkandung

dalam bahasa sumber ke dalam bahasa penerima atau bahasa sasaran agar isinya

benar-benar mendekati aslinya. Sedangkan tujuan penerjemahan yaitu

menyampaikan berita ke dalam bahasa penerima (bahasa sasaran), yang berarti apa

yang diterjemahkan harus dapat dimengerti dan tidak di salah fahami oleh orang-

orang yang akan mendengarkan atau membaca hasil terjemahan tersebut.25

Meskipun teori dan praktek penerjemahan dari suatu Bahasa ke dalam bahasa

lain pada umumnya hampir sama, namun dalam penerjemahan dari bahasa Arab

ke latin Indonesia atau bahkan menggunakan bahasa daerah dengan cara penulisan

Arab pegon ini jelas memiliki keunikan serta tingkat kesulitan tersendiri,

diantaranya yaitu;

a. Harus bisa dan paham tulisan dengan huruf-huruf Arab

b. Mengerti dengan bahasa yang digunakan untuk menerjemahkan dari bahasa

Arab ke bahasa yang dituju

c. Mengetahui arti serta makna apa yang sedang ditulis.26

Kerangka Teori

Terjemahan tradisional dengan Arab pegon ini merupakan terjemahan pesan

bahasa Arab sebagai bahasa sumber ke dalam bahasa Jawa, dengan

memperhatikan unsur-unsur pembentuk teks, baik berupa unsur linguistik yaitu

kosa kata, sintaksis, morfologi, retorik dan sejenis, dan unsur ekstralinguistik,

berupa isi kandungan dari teks kitab kuning yang akan diterjemahkan.

Dalam terjemahan ini pesan dan unsur-unsur teks bahasa sumber mendapat

perhatian seimbang untuk diterjemahkan. Kedua hal tersebut harus ditampakkan

25
E. Sadtono, Pedoman Penerjemahan, Jakarta, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa,
Depdikbud, 1985, h. 9
26
Ali Saudah, Makalah Penerjemahan Arab-Indonesia dan Masalahnya, Panitia pertemuan Ilmiah
Nasional Bahasa Arab I, Malang, 1999, h. 5.
dalam bahasa sasaran dengan jelas. Menurut Aly Abubakar Basalamah, dalam

artikelnya berjudul Memahami kitab kuning melalui terjemahan tradisional (suatu

pendekatan tradisional terjemahan pondok pesantren), dalam terjemahan

tradisional ini ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam usaha penerjemahannya,

yaitu27 (1) isi atau pesan ,(2) unsur linguistik teks, dan (3) unsur ekstralinguistik

teks.

Kemampuan menerjemahkan teks berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa,

menuntut berbagai pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki oleh para santri.

Menurut ahli tata bahasa tradisional tentang belajar bahasa, 28 menerjemahkan

dianggap metode yang paling efektif untuk meningkatkan kemampuan penguasaan

terhadap bahasa yang dipelajari. Prinsip lain yang terpenuhi dalam melaksanakan

terjemahan ialah bahwa ragam bahasa yang diutamakan dan perlu dipelajari adalah

bahasa tulis. Dengan tulisan, seorang pelajar bahasa dapat terhindar dari

pencemaran, sehingga apa yang dipelajari masih merupakan bahasa yang murni..

Menurut Henry Guntur Tarigan29, metode tarjamah tata bahasa pada

hakikatnya mencakup; telaah eksplisit, kaidah tata bahasa dan kosakata serta

penggunaan terjemahan. Dengan demikian terjemahan tata bahasa adalah suatu

cara menelaah bahasa yang mendekati bahasa tersebut, pertama-tama melalui

analisis kaidah bahasa secara terperinci diikuti oleh penerapan pengetahuan ini

pada tugas penerjemahan kalimat-kalimat dan teks-teks kedalam dan dari bahasa

sasaran. Oleh karena itu, membaca dan menulis merupakan fokus utama atau

sasaran pokok.

27
Aly Abubkar Baslamah, “Memahami Kitab Kuning Melalui Terjemahan Tradisional (Suatu
Pendekatan Tradisional terjemahan Pondok Pesantren)”, Pesantren, Nomor Perdana, 1984, h. 61-69.
28
Syahruddin Keseng, Linguistik Terapan: Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa yang Sukses,
Jakarta, Depdikbud, 1989, h. 84
29
Henry Guntur Tarigan, Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1989, h.105-106.
Disamping bentuk pengajaran sorogan, menurut Drs. Roestiyah N.K, ada

beberapa penyajian pengajaran individual lain yang mungkin dapat diterapkan

pada santri.30

1. Perencanaan belajar bebas (Individu Study Plan)

Dalam hal ini ada persetujuan antara seorang santri dengan seorang ustadz dalam

penentuan persetujuan secara garis besar, siswa menyiapkan sendiri bentuk ujian

akhir, tidak ada peraturan yang mengikat tentang bagaimana menyiapkan ujian

tersebut, ada ujian atau tidak terserah santri.

1. Belajar sendiri yang terarah (Self Directif Study)

Tujuan khusus disetujui bersama antara santri dan ustadz, tetapi tidak ada

ketentuan bagaimana santri belajar, ustadz mungkin memberikan daftar tujuan

instruksional khusus, mungkin juga memberikan daftar bacaan yang perlu atau

sumber-sumber lain tetapi siswa tidak harus mempergunakannya apabila dia lulus,

dan dia memperoleh kredit untuk itu.

2. Program pemusatan belajar (Learner-Centered Program)

Dalam penyajian ini santri yang menentukan untuk kepentingan dirinya, apa

tujuannya, bagaimana dia akan belajar dan sesudah itu tugas apa yang akan

dilakukannya kemudian.

3. Melangkah sendiri (Self Pacing)

Siswa menentukan sendiri langkah-langkah belajarnya, ustadz menentukan tujuan

instruksional dan semua siswa harus memenuhi tuntutan rumusan tujuan

instruksional itu, mungkin santri memakai materi yang sama untuk mencapai

tujuan pelajaran, hanya saja kecepatan perkembangan masing-masing yang

berbeda.

4. Siswa menentukan pengajaran (Student Determinded Instruction)


30
Roestiyah N.K, Masalah Pengajaran sebagai Suatu Sistem, Jakarta, Rineka Cipta,1994, h. 54.
Dalam hal ini santri menentukan instruksi sistem sendiri, memungkinkan santri

untuk memilih tujuan instruksional, memilih materi pelajaran, struktur, sumber

atau latihan-latihan yang digunakan, memilih dan menentukan jadwal mata

pelajaran apa yang akan diambil, menentukan sendiri langkah-langkah dalam

memenuhi setiap tujuan instruksional, mengevaluasi sendiri apakah tujuan-tujuan

instruksional tersebut dianggap tepat untuknya, juga pengajaran yang lebih tepat

baginya.

Pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, dilihat dari tujuannya

nampaknya bisa dibedakan ke dalam dua katagori, yaitu belajar bahasa Arab

sebagai tujuan dan belajar bahasa Arab sebagai alat.31 Bahasa Arab sebagai

tujuan berarti siswa yang memepelajari bahasa Arab diharapkan mampu

menguasai bahasa Arab secara aktif, baik dalam kemampuan muhadastah,

istima’, qiro’ah maupun kitabah. Dengan dimilikinya empat kemampuan

berbahasa tersebut, maka siswa diharapkan mampu berkomunikasi secara

lisan maupun tertulis dalam bahasa Arab yang berarti mampu berbahasa

Arab secara aktif maupun pasif.

Bahasa merupakan bagian integral dari pendidikan, bahasa membawa budaya

secara psikologis, membentuk suatu masyarakat bahasa. Bahasa bukan hanya suatu

alat pembentuk pola-pola perilaku individu untuk mencapai suatu basis

konformitas sosial, namun merupakan suatu alat pengembangan sumber daya fisik

dengan meningkatkan kapasitas produktif manusia. Fungsi utama suatu bahasa,

termasuk bahasa Arab, adalah alat untuk mengungkapkan makna-makna (pikiran,

perasaan, ide, gagasan dan sebagainya).

F. Metode Penelitian

31
Abdul Munif, Problem Penerjemahan bahasa Arab ke Bahasa Indonesia; Suatu Pendekatan Error
Analysis, Makalah Program Diskusi Ilmiah dosen Tetap IAIN Sunan Kalijaga, 2000, h. 5
Penelitian ini adalah penelitian lapangan. Menggunakan studi kasus dalam

penelitian lapangan guna mempelajari secara intensif latar belakang, status

terakhir, dan interaksi lingkungan yang terjadi pada suatu satuan sosial seperti

individu, kelompok, lembaga, atau komunitas. Bertujuan melakukan studi yang

mendalam mengenai suatu unit sosial sedemikian rupa, sehinggga menghasilkan

gambaran yang terorganisir dengan baik dan lengkap mengenai unit sosial

tersebut.32

1. Sumber data

Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat kualitatif. Sumber utama

dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan tindakan. Selebihnya adalah

data tambahan seperti dokumen, dan yang lainnya.33 Data kata-kata diperoleh

dari hasil wawancara dengan berbagai sumber yang terlibat, mulai dari kyai,

ustadz, santri, sampai pengurus pondok. Selain itu data juga diperoleh dari

membaca dokumen atau berkas-berkas yang dimiliki oleh pengurus pondok

maupun membaca kitab kuning milik santri yang terlibat.

2. Metode Pengumpulan Data

Ada beberapa metode yang di sesuaikan dengan bermacam-macam data

yang akan dikumpulkan. Adapun metode-metode tersebut adalah:

a. Metode Observasi

Metode observasi ini dapat dilakukan dengan dua cara; pertama observasi

partisipan, dimana seorang peneliti terlibat langsung atau terjun langsung ke

lapangan.34 Dalam hal ini penulis secara langsung terlibat dalam proses belajar

32
Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, h.8
33
Lexy, J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2000, cet
ke-11, h. 112.
34
Sutrisno Hadi, Metodologi research I, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM, h.156.
mengajar yang diberikan oleh kyai atau ustadz kepada santri di Pondok

Pesantren Krapyak, tepatnya pada Madrasah Salafiah III, komplek

Q,Yogyakarta. Kedua non-partisipan, yaitu peneliti tidak terlibat atau terjun

langsung melainkan penulis hanya mengamati proses belajar mengajar dan

mengamati bagaimana proses penerjemahan kitab kuning dengan

menggunakan Arab pegon yang dilakukan oleh santri.35

b. Metode Wawancara

Wawancara dilakukan dengan interview bebas, yaitu dilakukan tanpa

adanya aturan-aturan tertentu atau kerangka-kerangka yang telah disiapkan

terlebih dahulu.36

Wawancara akan ditujukan kepada semua pihak yang terkait, termasuk

kyai, ustadz, santri, dan pengurus pondok. Hal-hal yang akan ditanyakan

terutama mengenai proses belajar mengajar, berkaitan dengan penerjemahan

kitab kuning yang menggunakan Arab pegon. Termasuk didalamnya

pertanyaan mengenai kesulitan yang mereka dapatkan saat menerjemah,

apakah itu berkaitan dengan aksara Arab yang dipakai atau bahasa Jawa-nya

sendiri, serta pemahaman yang mereka dapatkan mengenai isi teks bacaan

setelah mereka melakukan penerjemahan kitab kuning yang menggunakan

Arab pegon.

c. Metode Dokumentasi

Data dalam bentuk tulisan,37 mengenai sejarah berdiri dan berkembangnya

Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta, letak

35
S. Nasution, Metode Reseach: Penelitian Ilmiah, Jakarta, Bumi Aksara, 2002, h.107
36
Dudung Abdurrahman, Pengantar Metodologi Penelitian dan Penulisan Karya Ilmiah, Yogyakarta,
IKFA Prees, 1998, h.7.
37
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta, Gramedia, 1976, h.3
geografisnya, struktur organisasi, fasilitas pendidikan apa saja yang

digunakan, juga data mengenai kyai, ustadz, santri, juga pengurus pondok

pesantren.

Untuk mengetahui segala sesuatu yang berhubungan dengan proses belajar

mengajar yang ada dalam bentuk dokumentasi tulisan, terutama cara

menerjemahkan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon,. Termasuk

kurikulum yang digunakan, materi pelajaran yang diberikan, metode yang

dipakai, juga kitab-kitab apa sajakah yang dipelajari selama berada di

madrasah tersebut.

3. Metode Analisis Data

Setelah data terkumpul, penulis akan menggunakan analisa deskriptif

untuk menganalisis data. Data yang telah terkumpul kemudian dirumuskan,

dijelaskan dan dianalisis.

Dalam menganalisa data yang ada, penulis menggunakan metode sebagai

berikut:

a. Deduktif, yaitu analisa yang dilakukan oleh seseorang dengan cara

berangkat dari fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian fakta-fakta

tersebut diambil kesimpulan dengan menggunakan kaidah-kaidah logika.38

b. Induktif, yaitu suatu cara analisa data yang dimulai dengan hal-hal yang

bersifat khusus, kemudian dijabarkan dan ditarik suatu generalisasi yang

bersifat umum.

c. Selain kedua metode tersebut, penulis juga menggunakan metode analisa

komparatif, yaitu membandingkan dua atau lebih pernyataan, peristiwa,

38
Sutrisno Hadi, Op.cit, h. 42.
ide-ide, gagasan dengan maksud untuk menemukan persamaan-persamaan

dan perbedaan di dalamnya.39

G . Sistematika Pembahasan

Untuk menjadikan penulisan skripsi ini lebih sistematis dan terfokus, maka

penulis menyajikan sistematika pembahasan sebagai gambaran umum penulisan

skripsi. Adapun sistematika pembahasan sebagai berikut:

Bab I, Pendahuluan. Terdiri dari; penegasan istilah, latar belakang masalah,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teoritik, metode

penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab II. Tinjauan umum tentang Arab pegon. Meliputi; proses akulturasi

budaya, hubungan antara kesusasteraan dengan Arab pegon, hubungan

antara kitab kuning dalam pesantren dengan penggunaan Arab pegon.

Bab III. Tradisi Arab pegon di pondok pesantren. Meliputi; A) Gambaran

umum tentang Madrasah Salafiyah III komplek Q, krapyak, Yogjakarta,

mencakup; letak geografis, sejarah berdiri dan berkembangnya, struktur

organisasi, fasilitas pendidikan, keadaan kyai, ustadz dan santri. B) Penggunaan

Arab pegon dalam Madrasah Salafiyah III. Mencakup; Kurikulum yang

digunakan, materi pelajaran yang diberikan, metode yang dipakai, serta proses

belajar mengajar yang berlangsung. C). Problem pembelajaran kitab kuning

dengan Arab pegon. Mencakup; (1) Problem penerjemahan dengan Arab pegon,

(2) Problem pemahaman isi teks secara utuh, (3) Problem mengkomunikasikan

pemahaman kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang menggunakan

39
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta, 1989, h. 198.
Arab pegon. D) Kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi

pemahaman terhadap isi teks pada siswa.

Bab IV. Penutup. Mencakup; kesimpulan, Saran-saran, dan kata penutup.

BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ARAB PEGON

A. Proses Akulturasi Budaya

Menurut Koentjaraningrat,40 akulturasi merupakan suatu proses sosial yang

timbul apabila sekelompok manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan

pada unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing sehingga unsur-unsur tersebut

lambat-laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri, tanpa

menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu.

Akulturasi terjadi apabila kelompok-kelompok individu yang memiliki

kebudayaan yang berbeda saling berhubungan secara langsung dengan intensif,

kemudian menimbulkan perubahan-perubahan besar pada pola kebudayaan dari

salah satu atau kedua kebudayaan yang bersangkutan. Di antara variabel-variabel

yang banyak itu termasuk tingkat perbedaan kebudayaan; keadaan, intensitas,


40
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996, h.155
frekuensi dan semangat persaudaraan dalam hubungannya. Siapa yang dominan

dan siapa yang tunduk, dan apakah datangnya pengaruh itu timbal balik atau

tidak.41

Terjadinya akulturasi dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya; 42 (1)

Apabila ditemukan unsur-unsur baru, (2) Apabila unsur baru dipinjam dari

kebudayaan lain, (3) Apabila unsur-unsur kebudayaan yang ada tidak lagi cocok

dengan lingkungan, lalu ditinggalkan atau diganti dengan yang lebih baik, (4)

Apabila ada unsur-unsur yang hilang karena gagal dalam perwujudan dari suatu

angkatan ke angkatan berikutnya.

Dalam hal ini peristiwa akulturasi yang terjadi di Nusantara telah melahirkan

produk kebudaayaan sehingga memunculkan terjadinya proses Islamisasi melalui

Arab pegon.

Mengenai sejarah persebaran agama Islam di pulau Jawa dan beralihnya

keyakinan penduduk Jawa ke agama Islam, pada umumnya para ahli sejarah

belum banyak mengetahuinya. Masih perlu diadakan pengumpulan data dan

penelitian untuk membuat suatu dokumentasi mengenai berbagai spekulasi serta

hipotesa yang penting dari proses tersebut., juga ditunjang oleh fakta-fakta sejarah

yang kuat. Sampai sekarang kita hanya dapat merasa puas dengan ikhtisar-ikhtisar

yang bersifat sementara, seperti yang tercantum dalam karangan B.J.O. Schrieke,

H.J. de Graaf, dan banyak yang lainnya.

Koentjaraningrat dalam bukunya yang berjudul Kebudayaan Jawa,

menyebutkan, bahwa Islam masuk ke Jawa melalui suatu negara yang baru

muncul di pantai barat Jazirah Melayu, yaitu Malaka. Dalam abad ke-14, ketika

kekuasaan Majapahit sebagai suatu kerajaan yang berdasarkan perdagangan mulai


41
William. A. Haviland (terj), Antropologi Jilid 2, Erlangga, Jakarta, 1993, edisi ke-4, H. 263
42
Taufiq dan Idris BA, Mengenal Kebudayaan Islam, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1983,H. 20
berkurang, maka bagian barat dari rute perdagangan yang melalui kepulauan

Nusantara berhasil dikuasai oleh negara itu. Pelabuhannya sering dikunjungi oleh

pedagang-pedagang muslim dari Gujarat dan Persia. Namun, dalam abad ke-13

mereka membawa Islam, mula-mula ke pantai Timur Aceh.kemudian ke Malaka,

dan selanjutnya sepanjang rute dagang ke pulau-pulau rempah di Indonesia Timur,

juga ke kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa. Dengan demikian agama

Islam tiba dari Malaka dalam abad ke-14, bahkan mungkin sudah lebih awal.

Pedagang-pedagang Jawa dari pelabuhan dagang Gresik, Demak dan Tuban pergi

berdagang ke Malaka, dan sebaliknya pedagang-pedagang beragama Islam dari

Malaka juga mengunjungi pulau Jawa. Kecuali itu banyak orang asing lain datang

ke kota-kota pelabuhan di Jawa utara, seperti orang Persia, India Selatan, Cina dan

Vietnam. Oleh karena itu, para ahli sejarah belum tahu pasti mengenai identitas

para pedagang yang paling dahulu tiba di pantai utara pulau Jawa, tetapi mereka

menduga bahwa pedagang-pedagang itu berpindah-pindah dari satu kota

pelabuhan ke yang lain. Mulai dari Gujarat di sebelah barat, melalui jazirah

Melayu, kemudian tiba di kota-kota pelabuhan di pantai utara pulau Jawa di

sebelah timur.43

Kedatangan agama Islam yang mulai menyebar di Nusantara semenjak abad

ke-13 M, ternyata juga tidak mengganggu budaya asli animisme-dinamisme di

Jawa. Ini karena budaya asli tersebut mempunyai watak yang elastis44, sehingga

ajaran Islam yang datang dapat menyebar ke Nusantara.

Masuknya Islam di pulau Jawa sejak awal hingga sekarang secara terus

menerus masih merupakan suatu proses akulturasi. Tradisi Islam yang datang ke

pulau Jawa sangat akomodatif terhadap tradisi Jawa, begitu juga sebaliknya,

43
Koentjaraningrat, Op.cit, h, 47-49
44
Muh. Fatkhan, Sinkretisme Jawa-Islam, Jurnal Religi. Vol. I/ No 2, Juli 2002, h. 194
tradisi Jawa sangat apresiatif menerjemahkan tradisi Islam-Arab ke dalam sistem

budaya Jawa. Agama sebagai salah satu unsur dari kebudayaan memiliki peran

dalam perubahan kebudayaan itu sendiri.45

Proses interaksi antara Islam dan budaya lokal itu berlangsung terus-menerus

tanpa henti, mengalami pertumbuhan ke arah yang lebih kompleks. Proses

pertumbuhan yang berjalan rapi dikarenakan penyampaian pesan-pesan Islam

yang ditempuh melalui pendekatan kultural. Dengan masuknya agama Islam di

pulau Jawa, kemudian munculah pondok-pondok pesantren sebagai pusat

pendidikan agama Islam.46 Dari pondok-pondok pesantren inilah kemudian lahir

teks-teks keagamaan. Selain lahir di pondok pesantren , juga muncul dari

lingkungan keraton.

Keberhasilan para wali yang mula-mula menyebarkan Islam dan mendirikan

pondok pesantren, merupakan salah satu bukti bahwa mereka telah berhasil

menyerap, kemudian menerjemahkan ke dalam bahasa kebudayaan

masyarakatnya. Sehingga masyarakat melihat hasil “babaran” kebudayaan itu

sebagai miliknya, sebagai sesuatu yang memancar dari cipta rasa mereka.47

Terutama pada masa Mataram Islam, Islam tidak mengalami perbenturan yang

berarti dengan budaya Jawa.48 Bagi masyarakat pesantren, agama adalah nomor

satu dan segalanya, sebaliknya para penguasa dan pendukung sastra budaya Jawa,

kedudukan dan kekuasaan politik adalah yang nomor satu dan segalanya. Maka,

sesudah Sultan Agung berhasil mematahkan kesultanan pesisiran yang didukung

masyarakat pesantren, ia segera menyadari perlunya menetapkan strategi budaya

45
Irfatul Hidayah, Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses Marginalisasi Budaya
Lokal, Jurnal Religi, Vol. II, No. 2 Juli-Desember 2003, h.137
46
Marsono, Pergumulan Islam dalam Sistem Nilai Budaya Jawa, Religi, Vol II, NO. 2, Juli-Desember
2003, h. 163
47
M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Yogyakarta, 1995, Cet ke-5, h.19
48
Muh. Fatkhan,Op.Cit, h.202
untuk menghubungkan dua lingkungan budaya. Yaitu lingkungan budaya

pesantren dengan sastra budaya agama yang berbahasa Arab dengan lingkungan

budaya kejawen dengan sastra budaya Jawa yang berpusat di lingkungan istana

kerajaan-kerajaan Jawa. Adapun strategi untuk membaurkan unsur-unsur Islam

dalam budaya Jawa, dimulai dengan mengganti perhitungan tahun saka yang

berdasarkan perjalanan matahari, menjadi perhitungan tahun hijriyah, yang

berdasar pada perjalanan bulan.

Strategi yang dicanangkan Sultan Agung tersebut diatas ternyata

menggairahkan para sastrawan kejawen untuk menekuni pokok-pokok ajaran

Islam, untuk menyusun karya-karya baru dengan menyadap dan mengolah unsur-

unsur ajaran Islam sebagai upaya untuk memperkaya pengembangan sastra

budaya Jawa. Terutama aspek filsafat mistik sufisme yang sangat menarik untuk

memperkaya sastra budaya Jawa.

Dalam sejarah masyarakat, bahasa memungkinkan manusia membentuk

hubungan ruhaniyah. Secara jasmaniyah warga masyarakat terpisah antara satu

dengan lainnya, tapi secara ruhaniyah mereka berhubungan. Tanpa hubungan

ruhaniyah masyarakat tidak terbentuk. Dengan bahasa, si A menyampaikan apa

yang ada dalam dirinya (pikiran, perasaan, keinginan, dan pengalaman) kepada si

B, tanpa saluran tersebut si B tidak akan mengetahui apa yang dipikirkan,

dirasakan, diinginkan dan dialami si A. Kemudian si B timbul reaksi., reaksi

menimbulkan aksi lagi, melalui bahasa itu pula reaksi si B kemudian

menimbulkan reaksi pula pada si A. sehingga terjadilah interaksi antara dua orang

bahkan sekelompok orang. Dengan interaksi terwujudlah kerjasama dan

kehidupan bersama antara kelompok pribadi itu, sehingga terbentuklah


masyarakat. Sampai sekarang bahasa memainkan peranan utama dalam

masyarakat.49

Dalam hal ini, bahasa yang digunakan sebagai penghubung dalam proses

interaksi khususnya daerah Jawa tentu saja menggunakan bahasa Jawa. Bahasa

Jawa yang digunakan oleh masyarakat Jawa kemudian mengalami proses

akulturasi, salah satunya yaitu dengan timbulnya penggunaan aksara atau tulisan

huruf Arab yang menggunakan bahasa Jawa, kemudian dikenal dengan tulisan

Arab pegon. Belum diketahui siapakah yang pertama kali menggunakan cara ini.

ada yang menyebutkan bahwa yang pertama kali menggunakan adalah para wali,

sebagai upaya untuk memperlancar penyebaran agama Islam.

Sebuah agama akan tersebar dan berkembang dengan baik apabila para

penyiar agama yang bersangkutan memiliki kesanggupan dan pengetahuan yang

luas tentang kebudayaan dan segala seluk beluk kehidupan masyarakat, termasuk

bahasa, adat istiadat, kesusasteraan, seni, pandangan hidup, dan gambaran dunia

yang ada. Dalam hal ini, para wali di Jawa berhasil menjadi penyebar Islam

karena mereka mengenal dengan baik, bukan saja ilmu-ilmu agama, tetapi juga

kebudayaan Jawa.

B. Hubungan antara Kesusasteraan dengan Arab Pegon

Datangnya agama Islam di Indonesia menyebabkan tersebarnya pula aksara

Arab.50 Aksara Arab ini dengan berbagai modifikasi digunakan dalam bahasa

Melayu, bahasa Jawa dan beberapa bahasa daerah lainnya. Aksara Arab yang kini

di Malaysia disebut aksara Jawi, yang dipakai untuk bahasa Indonesia (waktu

dulu) disebut aksara Arab Melayu atau Arab Indonesia, dan yang dipakai dalam

bahasa Jawa disebut aksara pegon.


49
Siti Gazalba, Masyarakat Islam (Pengantar Sosiologi dan Sosiografi), Bulan Bintang, Jakarta, 1976,
h.61
50
Abdul Chaer, Op.Cit, h. 89.
Indonesia sudah lama mengenal tulisan Arab. Setidak-tidaknya digunakan

dalam pertengahan abad ke-13 M, tulisan Arab ketika itu sudah digunakan oleh

golongan yang terbatas di Indonesia.51 Kesusasteraan Melayu yang tertua, sebagian

ditulis dengan tulisan Arab bahasa Melayu, bahkan sampai waktu yang terakhir ini

masih ada hasil-hasil kesusasteraan Indonesia yang ditulis dengan huruf Arab

tersebut

Kesusasteraan Nusantara yang bercorak tulisan mulai berkembang dengan

pesat setelah kedatangan agama Islam. Karya-karya kesusasteraan Nusantara juga

dipengaruhi Islam yang dituliskan oleh penulis Islam Nusantara dengan tujuan

menjadikanya sebagai media penyampaian pengajaran Islam kepada pembacanya.

Para penyiar Islam juga mengambil kesempatan yang sama untuk menyalurkan

unsur-unsur pemikiran Islam dalam masyarakat Nusantara. Penulis-penulis Islam

menyalurkan karya-karya dari sumber peradaban Islam yang diterapkan dalam ide-

ide keislaman yang ada di Nusantara kemudian karya-karya tersebut dijadikan

media untuk berdakwah.52

Banyak teks sastra yang tadinya bernafaskan Hindu Budha digubah oleh

pujangga keraton menjadi bernafaskan Islam.53 Penggubahan dan penciptaan

secara besar-besaran dalam suasana religius Islam di lingkungan keraton Jawa

terjadi pada abad ke-18 dan 19 sewaktu kekuasaan keraton semakin terjepit secara

politik oleh pemerintah kolonial Belanda. Jumlah naskah dari lingkungan non

kraton (diantaranya lingkungan pondok pesantren) dan keraton belum bisa dihitung

karena banyaknya, sebagian sudah rusak karena dimakan usia.

51
C. Israr, Sejarah Kesenian Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, h. 27.
52
Ismail Hamid, Kesusasteraan Indonesia Lama Bercorak Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, 1989,
h.1-3.
53
Marsono, Pergumulan Islam dalam Sistem Nilai Budaya Jawa, Religi, Vol II, No. 2, Juli-Desember
2003, h. 163.
Diantara 1196 naskah koleksi Widya Budaya (perpustakaan keraton

Yogyakarta) yang dapat diidentifikasikan sebagai karya Produksi Hamengku

Buwono II sampai dengan Hamengku Buwono IX, berupa karya baru, saduran dan

setengah saduran dan salinan. Naskah-naskah tersebut dikelompokkan atas naskah

babad, silsilah, sastra, pewayangan, suluk, piwulang, primbon, jawuko,

penanggalan, bahasa, dan tari54.

Di samping menulis naskah dengan huruf Jawa, para pekerja sastra tersebut

(umumnya abdi dhalem) juga menulis naskah dengan huruf Arab pegon, yaitu

huruf Arab tanpa memakai sandangan (fatkhah, dhomah dan kasroh). Naskah

yang ditulis dengan huruf Arab pegon antara lain serat Menak, serat Ambiya,

produksi zaman Hamengku Buwono V dan hikayat Bayan Budiman yang tidak

mencantumkan waktu penyalinan dan diperkirakan ditulis sesudah masa

Hamengku Buwono V.

Serat Ambiya ini tidak terdapat nama penulisnya, namun disebutkan bahwa

serat ini ditulis atas prakarsa Hamengku Buwono V. penanda waktu dalam Serat

Ambiya meliputi hari, tanggal dan tahun Jawa, nama tahun Jawa, jam, tarikh Islam,

bulan dan tahun Hijriyah, nama musim, nama lambang, bulan dan tahun Masehi,

angka merta, nama wuku, sengkalan tahun Jawa.

Pembacaan serat Ambiya dengan cara bergantian dengan serat yang lainnya,

berlangsung pada setiap hari jum’at dalam acara mocopatan di Bangsal Sri

Manganti keraton Yogyakarta.55

Ragam bahasa digunakan, bukan saja bahasa Jawa, namun juga menggunakan

bahasa daerah lainnya. Berikut beberapa kitab yang memakai aksara Arab dan

berbahasa daerah, koleksi perpustakaan Nasional Republik Nusantara; (1) Hikayat


54
Slamet Riyadi, Tradisi Kehidupan Sastra di Kesultanan Yogyakarta, Gama Media, Yogyakarta,
2002, h. 74-79.
55
Wawancara dengan salah satu abdi dhalem keraton Yogyakarta, pada tanggal 10 November 2004.
Sang Boma; beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (2) Hikayat Sultan Taburat;

beraksara Arab dengan bahasa Melayu, (3) Kutika; beraksara Bugis dan Arab

dengan bahasa Bugis, (4) Undang-undang Johor; beraksara Arab dengan bahasa

Melayu.56

C. Hubungan antara Kitab Kuning dalam Pesantren dengan Penggunaan Arab Pegon

Pesantren merupakan salah satu tradisi pengajaran agama Islam yang juga

berlangsung di pulau Jawa. Alasan pokok dari munculnya pesantren ini adalah

untuk mentransmisikan Islam tradisional sebagaimana yang terdapat dalam kitab-

kitab klasik yang ditulis berabad-abad yang lalu. Kitab-kitab ini dikenal di

Nusantara sebagai kitab kuning.

Pengetahuan kita mengenai asal usul pesantren sangat sedikit. Kita bahkan

tidak mengetahui kapan lembaga tersebut muncul untuk pertama kalinya. Namun

menurut Martin Van Bruinessen,57 lembaga pesantren belum ada sebelum abad ke-

18, namun hal itu tidak berarti bahwa kitab kuning tidak dipelajari sebelumnya.

Kitab-kitab klasik berbahasa Arab jelas sudah dikenal dan dipelajari pada abad ke-

16. Beberapa kitab pada zaman itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dan

Melayu, sementara beberapa pengarang Nusantara juga telah menulis kitab-kitab

sastra dalam bahasa tersebut dengan gaya dan isi yang serupa.

Seiring dengan masuknya Islam, aksara Arab juga ikut serta didalamnya.

aksara atau tulisan arab yang dipadukan dengan bahasa Jawa atau disebut dengan

Arab pegon ini dijadikan sebagai sarana penyampai pesan yang terkandung, baik

itu melalui karangan para sastrawan maupun digunakan untuk menerjemahkan

(mema’nai) kitab kuning yang dipelajari di pesantren tradisional.


56
Katalog Pameran Manuskrip Nusantara, Yogyakarta, September 2004, h.24-45.
57
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat:Tradisi-tradisi Islam di Indonesia,
Mizan, Bandung, 1995, h. 27
Mempelajari kitab kuning di pesantren dengan pendekatan tradisional

menggunakan sistem terjemahan menggantung, karena bahasa sasaran (dalam hal

ini menggunakan bahasa Jawa) yang digunakan diletakkan menggantung pada

bahasa sumber (bahasa Arab) dan proses penerjemahnnya berlangsung terhadap

setiap kata, frase dan berbagai unsur gramatikal yang ada. Biasanya terjemahan ini

dilakukan ke dalam bahasa Jawa khas pesantren, yang umumnya sangat terkait

dengan urutan dan struktur bahasa Arab. Tahap berikutnya adalah

penerjemahannya kembali ke dalam bahasa sasaran, yang biasanya merupakan

bahasa Jawa yang wajar.

Kebanyakan kitab Arab klasik yang dipelajari di pesantren adalah kitab

komentar (syarah) atau komentar atas komentar (hasyiyah) atas teks yang lebih tua

(matn). Format kitab kuning yang paling umum dipakai di pesantren, kertasnya

sedikit lebih kecil dari kertas kuarto (26 cm) dan tidak dijilid.

Secara garis besar, lembaga-lembaga pesantren pada dewasa ini

dikelompokkan dalam 2 kelompok besar, yaitu;58 (1) Pesantren Salafi, yaitu

pesantren yang tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik sebagai inti

pendidikan di pesantren. Sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah sistem

sorogan yang dipakai dalam pengajian-pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan

pengetahuan umum. Termasuk Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak,

Yogyakarta. (2) Pesantren Khalafi. Pesantren jenis ini telah memasukkan

pelajaran-pelajaran umum, namun juga tetap mempertahankan sebagian kitab-kitab

klasik..

Mengenai isi kitab kuning, terbagi menjadi dua kelompok;59 (1) Kelompok

ajaran, mencakup (i) Ajaran dasar, sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan Al-
58
Zamakhsyari Dhofier, Op. Cit, h. 42
59
A. Chozin Nasuha, Epistemologi Kitab Kuning, Jurnal Pesantren. No.1/Vol. VI/1989, h. 10-18
Hadist, (ii) Ajaran yang timbul sebagai penafsiran dan interpretasi ulama-ulama

Islam terhadap ajaran dasar tersebut. (2) Kelompok bukan ajaran. Maksudnya,

sesuatu yang datang ke dalam Islam sebagai hasil perkembangan Islam dalam

sejarah seperti lembaga-lembaga kemasyarakatan, kebudayaan, metode keilmuan,

termasuk ijtihad dan pemikiran para ahli.

Metode penalaran yang dipakai dalam pembahasan kitab kuning, diantaranya;

1. Metode Deduktif (istinbath). Model ini banyak dipakai untuk menjabarkan

dalil-dalil keagamaan (Al-Qur’an dan Al-Hadis), masalah-masalah fiqhiyah,

termasuk masalah yang di produk melalui ushul fiqh aliran mutakalimin.

2. Metode Induktif (istiqro’I). Merupakan pengambilan kesimpulan umum dari

soal-soal khusus. Metode ini juga dipergunakan oleh ahli-ahli fiqh untuk

menetapkan suatu hukum.

3. Metode Genetika (takwini). Yaitu cara berfikir mencari kejelasan suatu

masalah dengan melihat sebab-sebab terjadinya, atau melihat sejarah

kemunculan masalah itu. Biasanya digunakan oleh ulama ahli hadis dalam

meneliti status hadis dari segi riwayah dan diroyah.

4. Metode dialektika (Jadali). Adalah cara berfikir yang uraiannya jelas diangkat

dari pertanyaan atau dari pernyataan seseorang yang dipertanyakan.

Penyajian kitab kuning dilihat dari kandungan makna terbagi menjadi dua: (1)

Kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos. (2)

Kitab kuning meyajikan materi yang terbentuk kaidah-kaidah keilmuan seperti

nahwu, ushul fiqh, mustholah hadis dan semacamnya.

Kitab kuning dilihat dari kadar penyajiannya, terbagi menjadi tiga: (a) Kitab

yang tersusun secara ringkas (mukhtasar), yang hanya menyajikan pokok-pokok

masalah, baik muncul dalam bentuk nazhom (syi’ir), atau berbentuk ulasan biasa
(natsar). (b) Kitab yang membawakan uraian panjang lebar, menyajikan

argumentasi ilmiah secara komperatif dan banyak mengutip ulasan para ulama

dengan hujjahnya masing-masing. (c) Kitab yang menyajikan materi yang tidak

terlalu panjang dan luas (mutawassithoh).

Dilihat dari penampilan uraiannya, kitab kuning memiliki lima dasar, yaitu (a)

Mengulas pembagian sesuatu yang umum menjadi sesuatu yang khusus, yang

global menjadi terinci. (b) Menyajikan redaksi yang teratur dengan menampilkan

beberapa pernyataan untuk menuju suatu kesimpulan yang benar-benar dituju. (c)

Membuat ulasan-ulasan tertentu dalam mengurai uraian-uraian yang dianggap

perlu. (d) Memberikan batasan-batasan jelas. (e) Menampilkan beberapa alasan

pernyataan yang dianggap perlu.

Suatu tulisan kitab kuning diarahkan untuk menjelaskan suatu topik tertentu,

tetapi beberapa tulisan kitab kuning ada yang memerlukan penjelasan lebih luas

lagi, yang oleh para ahli disebut syarah atau khasyiyah. Kebutuhan akan syarah

ini antara lain karena (1) Kemahiran seorang pengarang dalam menampilkan

redaksi, sehingga ia mampu memaparkan pengertian yang mendalam dengan

bahasa yang sangat singkat. (2) Pengarang membuang suatu alasan karena dinilai

telah jelas dengan sendirinya, maka penulis syarah merasa perlu memunculkan

kembali ulasan yang dibuang itu. (3) Suatu pernyataan terkadang memerlukan

ulasan tegas karena pernyataan itu muncul dalam bahasa sindiran (majas dan

kinayah).

Adapun bahasa kitab kuning yang baik yaitu yang berbentuk matn atau syarh

atau hasyiyah, maka semuanya tetap memelihara ketata bahasaan Arab (nahwu

dan shorof). Kitab kuning dilihat dari segi bahasa tampak berbeda satu sama lain.

Kitab-kitab yang disusun oleh ulama kuno (salaf) memilki bahasa yang lebih
klasik daripada kitab-kitab yang disusun oleh ulama belakangan (khalaf). Begitu

pula penyajian materi memiliki gaya yang berbeda pula, misalnya kitab-kitab fiqih

yang ditulis oleh imam-imam mujtahid sangat berbeda dengan fiqih yang ditulis

oleh ulama-ulama pengikutnya. Perbedaan bahasa ini terkadang membawa

perbedaan penafsiran, perbedaan asumsi bahkan perbedaan konsep tentang suatu

masalah. Karena itu wajar jika pengikut satu madzhab saling berbeda interpretasi

terhadap pendapat mazhabnya.

BAB III

TRADISI ARAB PEGON DI PONDOK PESANTREN

A. Gambaran Umum Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak,

Yogyakarta

1. Letak Geografis

Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta ini terletak di

dusun Krapyak, desa Panggungharjo, kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul,

Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Alamat Madrasah Salafiyah III yang

berada di jalan KH. Ali Maksum ini adalah; Po Box 1286,Krapyak, Yogyakarta.

Telp (0274) 377374.

Secara Geografis, jarak tempuh dusun Krapyak adalah kurang lebih 1,5 KM

dari kantor desa Panggungharjo, 2,5 KM dari kecamatan, 8 Km dari kabupaten,

dan 2 KM dari kota propinsi.

2. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya


Sejarah berdirinya Madrasah Salafiyah III ini tidak terlepas dari sejarah

pondok pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, yang didirikan oleh

KH..M.Munawwir pada tanggal 15 November 1910M. Kemudian, pada tanggal

22 September 1989 didirikanlah pondok pesantren putri (PPP) Al-Munawwir,

Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta yang pendiriannya dipelopori oleh KH. Ahmad

Warson Munawwir.60

Sejarah berdirinya Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir, yang selanjutnya

untuk sistem kepesantrenannya disebut dengan Madrasah Salafiyah III ini,

bermula dari usul dan saran KH. Ali Ma’sum (Guru, kakak ipar dan pengasuh

periode ke-3) kepada KH. Ahmad Warson Munawwir untuk menampung dan

mendirikan asrama bagi para santri-santri putri yang ingin mendalami ilmu-ilmu

kepesantrenan sambil menimba ilmu pegetahuan umum di lembaga-lembaga

pendidikan umum seperti SMP. SMU, dan perguruan tinggi yang tersebar di

daerah Yogyakarta.

Dalam perjalanan sejarahnya, mula-mula KH.Ahmad Warson Munawwir

menyediakan sebuah ruangan (kamar) yang tidak terpakai untuk tempat beberapa

santri yang sudah mendaftar. Tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama,

informasi keberadaan pesantren ini kemudian tersebar luas kepada para alumni,

dan kaum muslimin yang sejak lama ingin memondokkan putri-putrinya di

pesantren ini sambil belajar di sekolah umum.

Pada awal berdirinya, pendidikan santri langsung ditangani oleh KH. Ahmad

Warson Munawwir karena saat itu santrinya baru beberapa orang dan

memungkinkan untuk ditangani sendiri. Namun setelah jumlah santrinya semakin

banyak dan tidak mungkin ditangani sendiri, maka untuk menjalankan sistem

60
Djunaidi A.Syakur, Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, Madrasah
Salafiyah III, Lana Usaha Press, Yogyakarta, 2002.h. 1-25
pengajaran santri selain ditangani langsung oleh Kyai Warson (panggilan untuk

KH. Ahmad Warson), juga dibantu oleh beberapa santri senior, dan untuk

pelaksana harian ditangani oleh kepengurusan yang merupakan bagian dari

kepengurusan pondok pesantren ini.

Setelah enam hingga tujuh tahun kependidikan berjalan, dan perkembangan

santri yang semakin bertambah, dirasa perlu adanya penanganan tersendiri agar

lebih terarah tercapainya tujuan pendidikan. Maka pada tahun 1996 dibentuklah

kepengurusan tersendiri untuk menangani masalah kependidikan yang terlepas

dari kepengurusan pondok pesantren.

Pada awalnya, perkembangan kepengurusan tersebut tidak dapat berfungsi

dengan baik, namun pada tahun 1998 pendidikan santri ditangani oleh sebuah

kepengurusan tersendiri yang mulai terorganisir, yaitu pengurus Madrasah

Salafiyah III, Pondok Pesantren AL-Munawwir Komplek Q, Krapyak

Yogyakarta. Sejak itu [1998-sekarang], perangkat kemadrasahan dilengkapi

dengan susunan personalia yang lengkap dengan pedoman umum serta tata tertib

santrinya.

Pada tahun pelajaran 1424H-1425H /2004-2005 M, jumlah santri Madrasah

Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta ini berjumlah 325 santri dengan

tenaga pengajar/ustadz 22 orang.

3. Struktur Organisasi

Madrasah Salafiyah III dalam menyelenggarakan pendidikan dan

pengajarannya telah ditangani oleh suatu kepengurusan yang dilengkapi dengan

struktur dan personalianya. Kepengurusan ini dimaksudkan agar kelangsungan

dan ketertiban bisa terjaga dengan baik,serta untuk mempermudah dan


memperlancar para santri dalam menekuni dan mendalami ilmu-ilmu

kepesantrenan. Selain itu, kepengurusan ini dimaksudkan untuk membantu Kyai

Warson dalam mengemban amanat para wali santri yang telah jauh datang dari

berbagai wilayah di Nusantara demi tercapai cita-citanya yaitu agar putra putrinya

memperoleh ilmu-ilmu keagamaan yang memadai.

Adapun susunan kepengurusan Madrasah Salafiyah III pada tahun 2004/2005

adalah sebagai berikut:

Pengasuh : KH. A Warson Munawwir


Litbang : Drs. H.Habib Abdus Syakur
Drs.Muslih Ilyas
Drs. A Thoifur, M.Si
Taufiq Ahmad
Abdullah Mustaqim M.A g
Drs.Junaidi Abd. Syakur
Dindin Wahyudin, S Ag
Kepala Madrasah : Agus Najib,S A g
Waka Ur. Kurikulum dan Pengajaran : Lu’luatul Nafsiah
Waka II Ur. Kesantrian : H.M. Kholid AR, S. Hut :
Waka III Ur.Sarana dan Humas : Drs H.Suhadi Khozin
Kepala Tata Usaha : Muhammad Mawardi
Bagian-bagian:
Bag. Jadwal dan piket : Yanti
Bag. Kurikulum : Maryam
Eli Kamaliyah
Bag. Perpus/Kitab : Nur Rofi’ah
Bag. Bp : Muflihah
Khotimah
Lutfiyah Baiti
Bag.Sarana dan Prasarana : Rahmawati Hamzah
Aam Siti Masyrifah
Bag.Humas : Laela Fitriana
Amanah
Biro-Biro:
Adm. Keuangan : Nur Hasanah
Hana Kurniaawati FN
Adm.Kesantrian : Iim Fatimah
Adm.Pengajaran/Guru : Astuti Maharani
Hestining Rahayu
Adm. Surat-menyurat : Millatul Aisyah Ardhani
4. Fasilitas Pengajaran

Agar penyelenggaraaan pendidikan dapat tercapai dengan baik, Madrasah

Salafiyah III, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta selama ini telah memiliki beragam

sarana yang menunjang tercapainya keberhasilan belajar mengajar. Baik itu sarana

fisik maupun non fisik. Di samping fasilitas pokok tersebut, terdapat pula fasilitas

menunjang lainnya berupa buku-buku/kitab-kitab tambahan.

(1). Fasilitas Gedung

Secara umum kondisi gedung di Madrasah Salafiyah III ini cukup memadai,

karena gedung tersebut adalah milik sendiri. Gedung yang dimiliki adalah gedung

berlantai I, II dan III, dan semuanya diperuntukkan untuk kegiatan belajar-

mengajar dan sarana perkantoran.

Gedung Madrasah Salafiyah III yang dipakai untuk belajar-mengajar ada dua

lokasi, yaitu gedung utama yang terdiri dari lima ruangan dan gedung perintis satu

ruangan. Sedangkan gedung untuk perkantoran dan ruang ketrampialn komputer

menjadi satu ruang.

(2) Perangkat Moubelar

Perlengkapan moubelar yang dimiliki oleh Madrasah salafiyah III ini terdiri

dari perlengkapan alat-alat kantor seperti meja, kursi, mesin ketik, komputer dan

sebagainya.

Tabel 1
Peralatan Moubelar Madrasah Salafiyah III

N Keperluan Jenis Barang Jumlah


o
1. Ruang guru dan 1. Meja dan kursi 1 Set
ruang tamu 2. Almari 1 Buah
2. Ruang kepala 1. Meja dan kursi 1 Set
2. Almari 1Buah
3. Ruang TU 1. Meja dan Kursi 1 Set
2. Almari 1 Buah
4. Ruang 1. Meja 6 Buah
perpustakan 2. Almari 4 Buah
5. Ruang Kelas 1. Meja Ganda 50 Buah
2. Kursi Tunggal 100 Buah
3. Papan Tulis
4. Meja Tunggal 7 Buah
10 Buah
6. Ruang Komputer 1. Meja dan Kursi 10 Set
2. Komputer 8 Set
3. Printer
4. Almari 5 Buah
1 Buah

(3). Perpustakaan

Madrasah Salafiyah III ini telah memiliki perpustkaan sendiri. Didalamnya

telah tersedia beragam buku-buku serta kitab-kitab yang berisi pengetahuan

Umum dan keagamaan.

Sedangkan Fasilitas pendukung yang berupa non fisik, mencakup; (1)

Penghargaan yang diberikan kepada santri yang berprestasi, (2) Kajian kitab-kitab

salaf, baik berupa pengajian bandongan maupun sorogan. (3) Pengadaan beragam

workshop yang dapat menunjang kehlian tenaga pengajar dan para santri.
5. Keadaan Kyai, Ustadz dan Santri

a. Keadaan Kyai

Pengasuh dalam hal ini merupakan pimpinan tertinggi dalam sebuah pondok

pesantren, yang juga berpeeran sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan

penentu kebijakan terhadap segala keputusan yang diambil. Sebab pengasuh

merupakan pendiri sekaligus pemilik pondok pesantren ini. Meskipun demikian,

pengasuh akan meminta pertimbangan kepada pengurus juga santrinya sebelum

mengambil keputusan bagi keberlangsungan pesantren.

Madrasah Salafiyah III yang masuk dalam Pondok Pesantren Putri Al-

Munawwir, Komplek Q, Krapyak, Yogyakarta ini, diasuh oleh seorang kyai yang

bernama KH. Ahmad Warson Munawwir. Beliau adalah putra KH. Munawwir,

yang juga pendiri pesantren Al-Munawwir, Krapyak. Ibunya bernama Hj. Sukis,

Kyai Warson dilahirkan pada tanggal 30 November 1094, bertepatan dengan

tanggal 20 Sya’ban 1354 H, di bantul, Yogyakarta. Sejak kecil beliau sudah

ditinggal wafat oleh ayahnya, kemudian beliau memperoleh pendidikan dari kakak

iparnya, yaitu KH. Ali Maksum.

Disamping sebagai pengasuh dan pengajar di dalam pesantrennya, Kyai

Warson juga aktif dalam beragam organisasi. Meskipun Kyai Warson sibuk dalam

berorganisasi, namun beliau tidak pernah melupakan tugas dan tanggung

jawabnya sebagai pengasuh. Beliau masih tetap mengajar kitab kepada santrinya,

hal ini dilakukan setiap habis melaksanakan jama’ah sholat subuh dengan para

santrinya yang di imami oleh beliau sendiri. Disamping itu, beliau selalu

meluangkan waktu seminggu sekali pada hari ahad pagi untuk mengajarkan kitab
tentang akhlak dan tasawuf, dengan pertimbangan pada hari itu para santrinya

libur dari kegiatan sekolah juga kegiatan perkuliahan.

Keberadaan rumah kyai yang masih satu komplek dengan asrama santri juga

semakin mempermudah pengasuh untuk mengontrol dan mengawasi aktivitas

santrinya. Beliau sangat memperhatikan santri-santrinya, terutama jika ada

diantara santrinya yang tidak mengikuti pengajaran, maka beliau akan

memanggilnya. Oleh karena itu beliau sangat disegani dan dihormati oleh santri-

santrinya. Adapun interaksi positif antara kyai dan santri dalam pesantren lebih

menyerupai sebuah keluarga besar yang penuh tata krama kehidupan islami

sebagai sarana untuk mengarahkan santri kepada tujuan pendidikan pesantren

yang diharapkan.

b. Keadaan Ustadz

Ustadz yang mengajar di Madrasah Salafiyah III ini, semuanya adalah alumni

pesantren krapyak dan merupakan santri senior. Di antara para ustadz ada yang

juga menempuh pendidikan di luar pesntren di samping belajar di pesantren.

Ada beberapa kriteria yang diperuntukkan bagi para ustadz yang diterima

mengajar di Madrasah Salafiyah III ini;

(1) Mempunyai kemampuan materi yang diajarkan

(2) Berkepribadian baik, sehingga dapat dijadikan sebagi suri tauladan yang baik

(3) Mempunyai keyakinan dan sifat kemandirian sesuai dengan lingkungan di

Madrasah Salafiyah III ini

(4) Ikhlas mengbdikan diri dan bersemangat tinggi sebagai tenaga pengajar di

Madrasah Salafiyah III.

Berikut ini adalah daftar tabel ustadz dan tingkat pendidikannya;

Tabel 2
Daftar Ustadz/ah dan Tingkat Pendidikan Terakhir
No Nama Pendidikan Bidang
1. K.H. A. Warson Munawwir Pesantren Tafsir, Fiqh
2. Ny. Hj Khusnul Khotimah Pesantren Al-Qur’an
3. H. M. Fairuz Warson Peesantren Al-Qur’an
4. H. M. Kholid Abd. Razzaq SI/IPB Tajwid
5. KH. Hafidz Abd. Qodir Pesantren Al-Qur’an
6. Taufiq Ahmad Pesantren Fiqh
7. Muslih Ilyas SI/IAIN Fiqh
8. Thoifur S2/UGM Akhlaq
9. Habib Abd. Syakur S2/IAIN Bhs. Arab
10. Suhadi Khozin SI/IAIN Tauhid
11. Djunaidi Abd. Syakur SI/IAIN Nahwu
12. Muhtarom Busyro SI/IAIN Fiqh
13. Dindin Wahyudin SI/IAIN Bhs. Arab
14. Zainal Abidin Pesantren Fiqh
15. Masykur Al-Karim Pesantren Fiqh
16. M. Yusuf Thoha Pesantren Nahwu
17. Abdul Mustaqim S2/IAIN Bhs. Arab
18. Agus najib SI/IAIN Nahwu
19. Thoha Maksum SI/IAIN Nahwu
20. Abdul latief SI/IAIN Akhlaq
21. Alfiatuz Zuhriyah SI/IAIN Akhlaq
22. Yunan SI/UGM Bhs. Arab
23. Muhammad Mawardi SI/UGM Fiqh
24. Siti Muhanik SI/UNY Tajwid
25. Siti Halimah SI/IAIN Lughoh
26. LU’luatun Nafisah SI/UII Tauhid
27. Nuriyati Si/IAIN Amaliyah
28. Alawiyah Razzaq SI/IAIN Lughoh
29. Laila Fitriana SI/UII Tarikh

c. Keadaan Santri

Jumlah santri Madrasah Salafiyah III pada tahun ajaran 2004-2005 ini

berjumlah 325 orang, dengan latar belakang pendidikan yang sangat beragam.

Diantara mereka ada yang lulusan SD/Madrasah Ibtida’iyah, SMP/Madrasah

Tsanawiyah, SMU/ Madrasah Aliyah. Di pesantren ini, selain mereka belajar

tentang agama juga belajar pengetahuan umum di lembaga pendidikan non

pesantren. Disamping mereka berstatus sebagai santri, kebanyakan dari mereka

juga berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa.


Meskipun berasal dari latar belakang pendidikan dan daerah yang berbeda-

beda, namun secara garis besar, santri yang berasrama di pesantren ini

dikelompokkan menjadi dua katagori, yaitu;

(1) Santri yang belajar di lembaga pendidikan umum (SMP/Tsanawiyah,

SMU/Aliyah, dan perguruan tinggi), serta aktif mengikuti program

kepesantrenan dan kemadrasahan serta tinggal di pondok pesantren.

(2) Santri Takhassus, yaitu santri yang khusus menghafal Al-Qur’an dan pengajian

kitab serta program Madrasah Salafiyah III.

Setiap santri yang mengikuti pendidikan di Madrasah Salafiyah III ini,

diwajibkan untuk tinggal di asrama yaitu didalam pondok pesantren. Adanya

asrama pesantren ini untuk memberikan kesempatan kepada santri agar dapat

melakukan interaksi belajar setiap saat, baik sesama santri maupun dengan para

ustadz pengajar yang ada.

Kondisi lingkungan seperti ini sangat baik bagi proses pengajaran kitab

kuning terutama dengan metode sorogan yang membutuhkan waktu dan tenaga

yang tidak sedikit. Sehingga kesulitan belajar yang sering dihadapi santri akan

dapat teratasi karena mereka mudah untuk bertukar pikiran antar sesama santri

bahkan berkonsultasi dengan para ustadzah atau santri senior dalam belajar kitab

kuning tanpa dibatasi waktu yang mengikat.

B. Penggunaan Arab pegon di Madrasah Salafiyah III

1. Kurikulum

Dalam pesantren, yang disebut dengan kurikulum pesantren sebenarnya

meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan di pesantren selama sehari semalam.

Sama halnya dengan Madrasah Salafiyah III, madrasah ini dikembangkan dengan

muatan kurikulum kepesantrenan atau tahassus, ditambah dengan beberapa


keterampilan yang dapat menunjang keberhasilan tujuan pendidikan yang hendak

dicapai.

Tujuan kurikulum pengajaran kitab kuning di Madrasah Salafiyah III ini

mengacu pada tujuan institusional pondok pesantren Al-Munawwir, yaitu:

a. Menghasilkan pribadi muslim yang beriman, berakhlak karimah (akhlak

Qur’ani), beramal sholeh, cakap serta memiliki kesadaran dan tanggung jawab

atas kesejahteraan umat dan masa depan negara Republik Nusantara.

b. Menghasilkan pribadi muslim yang beriman, pandai membaca Al-Qur’an

beserta tafsirnya dan hadis-hadisnya.

c. Menghasilkan pribadi muslim yang memahami ajaran Islam serta berilmu

pengetahuan yang luas dan mendalam sesuai dengan tradisi pesantren, juga

mengerti isi kitab kuning (kitab salaf ash-shohih).

d. Menghasilkan pribadi muslim yang memiliki keahlian, kecakapan dan

ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat, bangsa dan agama.

Tujuan pengajaran yang masih bersifat umum di atas dapat diperinci lagi

menjadi tujuan pengajaran khusus sebagai berikut;

(a) Melatih santri agar mampu melafalkan teks kalimat berbahasa Arab tanpa

harokat (teks gundul) dengan fasih.

(b) Melatih santri agar mampu menerjemahkan teks kalimat berbahasa Arab

dengan benar.

(c) Melatih santri agar mampu menjelaskan maksud teks kalimat berbahasa Arab

dengan baik.

(d) Melatih santri agar mampu menerangkan kedudukan kata dalam teks kalimat

berbahasa Arab dengan tepat.


Di dalam pesantren sendiri, terdapat dua bentuk pengajaran

yang digunakan, yaitu pengajaran klasikal/semester dan

pengajaran ekstra kurikuler yang meliputi pengajian bandongan

dan sorogan. Dalam setiap diadakan pengajaran kitab kuning, baik

itu masuk dalam kelas klasikal maupun pengajian bandongan dan

sorogan maka setiap santri diwajibkan untuk selalu menggunakan

Arab pegon guna mema’nai atau dalam rangka menerjemahkan

bahasa Arab yang tercantum dalam kitab dengan menggunakan

aksara Arab berbahasa Jawa yang telah diajarkan. Adapun

pelaksanaan pengajaran dilakukan pada waktu-waktu yang telah

ditetapkan;

1. Pagi hari. (ba’da subuh), yaitu pengajaran kitab fiqih Muhadzab dan

tafsir Al-Muraghi. Adapun pesertanya adalah seluruh santri mahasiswi,

selain itu juga di adakan pengajian sorogan untuk santri pelajar sebelum

berangkat sekolah. Setelah itu bagi santri mahasiswa dilanjutkan dengan

pengajian bandongan dengan kitab At-Taqrib sebagai pegangan wajib

disamping kitab-kitab pilihan lainnya. Khusus pada hari minggu pagi

setelah pengajian sorogan diadakan pengajian tentang pelajaran Akhlak

dengan kitab Mau’idlotul Mukminin dan Ta’limul Muta’lim untuk santri

pelajar.

2. Sore Hari, yaitu pengajaran kitab Riyadus sholihin yang diikuti oleh

seluruh santri, baik mahasiswi maupun pelajar.

3. Malam hari, yaitu pelajaran klasikal dan pengajaran Al-Qur’an.

Tabel III
Susunan program kurikulum yang digunakan pada sistem pengajaran klasikal
didalam kelas
NO Mata pelajaran Jumlah Jam Pada Kelas
I’dad I II III IV V
1. Al-Qur’an 2 2 2 2 2 2
2. Ilmu Tafsir - - - - 1 1
3. Ilmu Tajwid 1 1 - - - -
4. Ilmu Tauhid - 1 - 1 - -
5. Ulumus Syari’ah 1 1 1 1 1 1
a. Fiqh
b. Q. Fiqhiyah
6. Akhlak/Tasawuf 1 - 1 - - 1
7. Ulumul Lughoh
a. Bhs Arab 2 1 1 1 1 1
b. Nahwu - - 2 1 2 -
c. Shorof - 1 1 1 - -
8. Tarikh - 1 - - - -
9. Praktek Ibadah 1 - - - - -
10. Qirtub - - - - - 1
11. Bahsul masail - - - - - 1
12. Munaqosah - - - - - 2
Jumlah 8 8 8 8 8 10

Adapun aspek-aspek yang diukur dalam pengajaran kitab kuning meliputi:

a). Qiro’ah, yaitu untuk mengukur kemampuan santri dalam melafalkan teks

kalimat berbahasa Arab tanpa harokat (teks gundul) dengan fasih

b). Tarjamah, yaitu untuk mengukur kemampuan santri dalam menerjemahkan

teks kalimat berbahasa Arab dengan benar

c). Tafhim, yaitu untuk mengukur kemampuan santri dalam menjelaskan maksud

teks kalimat berbahsa Arab dengan baik

d). Nahwu/shorof, yaitu untuk mengukur kmampuan santri dalam menerangkan

kedudukan kata dalam teks kalimat berbahasa Arab dengan tepat.

Kurikulum yang dilaksanakan oleh pondok pesantren ini pada saat bulan

ramadhan biasanya sedikit berbeda dari hari biasanya. Misalnya saja, pada saat

bulan ramadhan pelajaran klasikal sengaja ditiadakan dan sebagai gantinya

biasanya diganti dengan pengajian bandongan dengan ustadz tertentu juga kitab-

kitab tertentu pula.


2. Materi Pelajaran

Agar dapat memenuhi target dalam pencapaian tujuan penguasaan materi yang

telah direncanakan, maka perlu adanya pemilihan terhadap kitab-kitab yang

dianggap representatif untuk digunakan selama proses pengajaran di Madrasah

Salafiyah III in, diantaranya;

(1). Pengajian Al-Qur’an, yang digunakan adalah kitab al-Qur’an Al-Karim

(2) Ilmu Tafsir, menggunakan kitab Rawa’iul Bayan dan Tafsir Ahkam

(3).Ilmu Tajwid, menggunakan kitab Tuhfatul Athfal, Hidayatul Mustafidz, dan Al-

Muqtathofat.

(4). Hadis, menggunakan kitab Ibanatul Ahkam

(5). Ilmu Tauhid, menggunakan kitab Jawahirul Kalamiyah,Al-qo’id Hasan Al-

Bana, dan kitab Minhajul Muslim

(6).Ulum As-syari’ah, kitab yang digunakan

a. Fiqh: Al-Mabadi’ al-Fiqhyyahi

b. Ushul Fiqh: Ghoyatul Wushul fi ‘ilmil Wushul, Al-Waroqot

c. Qowa’idul Fiqh: Idhlohu Qowaidul Fiqhiyah

(7). Akhlak, kitab yang digunakan Taisirul Kholaq, Minhajul Muslim, Mau’idlotul

Mukminin, Ta ‘limul Muta’alim.

(8). Ulumul Lughoh Al-Arobiyah;

a. Bahasa Arab : Al-Arobiyah Bin Namadzij

b. Nahwu: Alfiyah, Jurumiyah, Mulakhosh Qowaidul Lughoh.

c. Shorof: Qowaidul I’lal, At-Tasrif Al-Isytiqoqi, At-Tasyrif Ma’ad

Dhoma’ir, Qowaiddul Asasiyah.

d. Al-Qiro’ah/Mahfudhot: Alala

(9). Tarikh: Khulashoh Nurul Yaqin, Tarikh Daulah Umayah Wa Abasiyah.


(10) Kitab yang diperkenankan untuk sorogan:

- Kelas I’dad dan I : Safinatun Najah

- Kelas II dan III : Fathul Mu'in

- Kelas IV : Ahkamun Nisa'

- Kelas V : Bebas ( Bidang Fiqh/ Akhlaq/ Nahwu /Shorof)

(11).Kitab-kitab yang digunakan pada pengajian Bandongan : Fiqih Muhadzab,

Tafsir Al-Muraghi, At-Taqrib, Mau’idlotul Mukminin, Ta’limul Muta’lim dan

Riyadus sholihin.

Untuk pengajian sorogan yang diperbolehkan memilih kitab sendiri secara

bebas, maka sebagian besar santri lebih banyak memilih kitab Taqrib sebagai

bahan kajiannya meskipun ada juga yang menggunakan kitab kuning lainnya. Hal

ini disebabkan kitab Taqrib sebagai kitab fiqih dasar sangat berguna bagi santri

dalam melaksanakan ibadah sehari-hari. Dalam pengajaran sorogan, santri

disamping memperoleh latihan keterampilan membaca kitab juga dapat mengambil

pelajaran dari materi kitab kuning yang dibacanya.


Hal ini sesuai dengan prinsip korelasi dan konsentrasi dalam pengajaran yang menghendaki, bahwa adanya
hubungan di antara obyek pelajaran secara utuh dan bulat.61

3. Metode dan Sistem Pengajaran

Metode pengajaran sebagai suatu strategi atau tehnik belajar mengajar

merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan proses

pengajaran. Pemilihan metode pengajaran yang tepat akan menjadikan proses

belajar mengajar dapat berjalan menarik dan memudahkan tercapainya tujuan

pengajaran.

61
Tayar Yusuf dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab, Jakarta, Rajawali
Press, 1994, h. 111
Berikut adalah beberapa tehnik belajar mengajar yang selalu digunakan dalam

setiap kegiatan proses belajar mengajar di Madrasah Salafiyah III, meliputi:

a. Tehnik drill/latihan siap

b. Tehnik ceramah

c. Tehik tanya jawab

d. Tehnik pembagian tugas

Disini penulis akan menjelaskan tentang berbagai macam penggunaan tehnik

diatas;

a. Tehnik drill/latihan siap

Tehnik drill merupakan tehnik pengajaran pokok dalam setiap pengajaran di

Madrasah Salafiyah III.. Karenanya tehnik ini selalu digunakan dalam setiap

proses pengajaran. Penggunaaan tehnik drill ini berfungsi untuk melatih santri

dalam belajar kitab kuning secara mandiri melalui bimbingan ustadz.

Melalui tehnik drill ini, santri dapat belajar kitab kuning dengan menggunakan

beberapa metode sebagai berikut:

- Latihan membaca

- Latihan tarjamah

- Latihan tata bahasa/ gramatika

Agar lebih jelas, maka penulis akan memberikan sedikit uraian tentang tehnik

latihan diatas;

(1). Latihan membaca

Kitab Kuning merupakan referensi pokok dan sumber literatur bagi bahan

pengajaran keagamaan di pondok pesantren salaf pada umumnya. Dalam

mempelajari Kitab Kuning tersebut berarti juga belajar bagaimana cara membaca
kitab dengan baik. Oleh karena itu, penggunaan tehnik latihan membaca menjadi

mutlak diperlukan.

(2). Latihan tarjamah

Kitab kuning adalah kitab atau buku berbahasa asing yaitu bahasa Arab.

Kegiatan membaca buku-buku berbahasa Arab tersebut tidak bisa dilepaskan dari

kegiatan menerjemah. Dengan demikian latihan menerjemah sangat penting untuk

membantu pemahaman dalam belajar baca kitab kuning.

Dalam hal ini tentu saja juga berkaitan dengan penggunaan Arab pegon untuk

melakukan pemaknaan terhadap kitab kuning yang sedang dibaca dan kemudian

diterjemahkan. Agar dapat menunjang kegiatan ini, maka santri Madrasah

Salafiyah III ini juga diharapkan sedikit banyak dapat mengerti, memahami dan

menguasai bahasa Jawa. Karena memang dengan bahasa Jawa itulah dilakukannya

proses penerjemahan pada kitab yang sedang dibaca atau di ajarkan oleh ustadz.

(3). Latihan tata bahasa /gramatika

Agar diperoleh hasil penerjemahan dan pemahaman yang baik dalam

membaca kitab kuning, maka latihan gramatikal juga digunakan sebagai kegiatan

untuk mempraktekkan penerapan kaidah-kaidah tata bahasa Arab dalam bacaan

teks kitab kuning.

Ketiga latihan ini biasa dipakai secara bersamaan dan saling melengkapi.

b. Tehnik ceramah.

Tehnik cermah merupakan cara mengajar yang digunakan untuk

menyampaikan keterangan atau uraian tentang suatu pokok masalah secara lisan.

Tehnik ini digunakan jika santri belum memahami tentang materi yang dikaji

secara jelas, maka ustadz akan menggunakan tehnik pengajaran ceramah untuk

menjelaskan materi secara lebih mendalam.


Dengan tehnik ceramah ini, biasanya seorang ustadz juga menggunakannya

dalam pengajian klasikal, sorogan maupun bandongan.

c. Tehnik Tanya Jawab (Dialog)


Untuk menciptakan kehidupan interaksi belajar mengajar yang baik, maka dalam metode pembelajarannya Madrasah
Salafiyah III salah satunya juga menggunakan tehnik tanya jawab atau dialog. Tujuannya yaitu agar dapat memberikan
motivasi dan menumbuhkan minat serta perhatian sehingga dapat membangkitkan pemikiran santri untuk bertanya atau
menjawab pertanyaan setiap materi yang diajarkan sehingga santri dapat memahaminya secara lebih mendalam dan luas
serta mampu menjelaskan langkah berfikir dalam memecahkan masalah tentang fakta yang sedang dipelajari.

d. Tehnik pemberian tugas (resitasi)

Tehnik ini digunakan sebagai pelengkap dari tehnik-tehnik yang sudah ada.

Bentuk pemberian tugas ini berupa pertanyaan atau tugas mencari keterangan

tambahan yang diperlukan berkaitan dengan materi yang sedang dikaji. Tehnik ini

bertujuan agar santri mendapatkan hasil belajar yang lebih mantap serta mampu

berfikir aktif. Di samping itu juga dapat mengembangkan daya insiatif dan kreatif

yang dimilikinya.

Dapat disimpulkan bahwa pemberian tugas dalam pengajaran sorogan

khususnya hanya dilakukan kadang-kadang. Hal ini dikarenakan meskipun

pemberian tugas sangat penting dan bermanfaat bagi proses belajar mengajar

namun sebaiknya dilakukan secara berkala atau tidak terlalu sering.22 Agar

pemberian tugas ini tidak mengganggu pertumbuhan dan perkembangan santri

secara wajar, mengingat sebagaian besar santri memiliki kegiatan baik didalam

maupun diluar pesamtren yang akan sangat menyita waktunya.

4. Proses Belajar Mengajar

a. Proses pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan

Dalam proses pengajaran kitab kuning dengan metode sorogan ini, tahapan

tersebut terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahapan sebelum pengajaran, tahapan

pengajaran dan tahapan sesudah pengajaran.

22
Pressiyah, N.K. Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, Rineka Cipta, 1991, h. 20
Dari hasil observasi terhadap proses pengajaran kitab kuning dengan metode

sorogan di Madrasah Salafiyah III ini, penulis dapat menguraikan sebagai

berikut:

(1). Tahapan Sebelum Pengajaran

Tahap ini disebut juga tahap perencanaan. Dalam pengajaran sorogan tahap

perencanaan dilakukan oleh santri dengan mempersiapkan materi sebelum

pengajaran dimulai. Santri menyalin materi kitab kuning yang akan dikajinya

terlebih dahulu ke dalam buku tulis yang telah disediakan khusus untuk

pengajian sorogan. Materi kitab kuning tersebut ditulis tanpa disertai harokat/

syakal serta terjemahannya, sehingga santri harus mempersiapkan juga cara

membacanya.

(2). Tahap Pengajaran

Dalam tahapan ini, santri melakukan interaksi dengan ustadz pengajar

sorogan untuk memperoleh bimbingan dalam belajar kitab kuning sesuai

dengan yang telah direncanakannya. Adapun langkah-langkah tahapan

pengajaran dalam pengajian sorogan adalah:

(a).Santri membaca materi kitab kuning yang sudah dipersiapkannya secara

persorangan di hadapan ustadz pengajar sorogannya.

(b).Ustadz sorogan mendengarkan bacaan kitab kuning tersebut dan akan

menegur serta membenarkannya secara langsung jika terjadi kesalahan

bacaan.

(c).Setelah selesai membaca, santri diberi kesempatan bertanya tentang

beberapa hal yang belum jelas mengenai materi bacaan dan masalah-masalah

yang berkaitan dengannya.


(d).Ustadz sorogan menjawab pertanyaan yang diajukan santri dan

menjelaskannya.

(e).Kemudian ustadz pengajar sorogan akan memberikan beberapa pertanyaan

atau tugas kepada santri tentang materi kitab kuning yang telah dipahaminya.

(6). Sebagai akhir untuk menutup proses pengajaran kitab kuning dengan

metode sorogan, yaitu ustadz akan menantandatangani materi kitab kuning

yang telah dibaca tersebut.

(7). Setelah materi kitab kuning yang telah ditandatangani tersebut genap

berjumlah 8x dalam sebulan dengan hitungan 2x dalam seminggu, maka untuk

menandakan santri tersebut telah melaksanakan kewajibannya mengikuti

pengajian, kemudian buku tersebut di cap/ stempel yang dilakukan oleh

pengurus bagian kurikulum Madrasah Salafiyah III. Namun apabila santri

tersebut dalam satu bulan tidak bisa mencukupi ketentuan 8x yang telah

ditetapkan oleh pengurus, maka santri tersebut akan dikenakan sangsi. Sangsi

tersebut diatur sesuai dengan kebijakan pengurus yang berlaku, yaitu santri

tidak boleh mengikuti ujian kenaikan tingkat apabila keikutsertaannya dalam

pengaajian sorogan kurang dari 80% dari yang waktu yang yang telah

ditetapkan.

(3). Tahapan Sesudah Pengajaran

Tahap ini digunakan untuk melakukan penilaian terhadap proses belajar

mengajar yang berlangsung, sehingga dari hasil penilaian tersebut dapat

diketahui keberhasilan pelaksanaan pengajaran kitab kuning dengan metode

sorogan yang telah dilakukan, baik oleh santri maupun ustadz pengajar

sorogannya. Penilaian tersebut dilakukan oleh ustadz pengajar sorogan

kepada santrinya setiap saat santri setelah selesai melakukan setoran sorogan.
b. Proses pengajaran kitab kuning dengan metode bandongan

Dari hasil observasi terhadap proses pengajaran kitab kuning dengan metode

bandongan di Madrasah Salafiyah III ini, proses belajar mengajar yang

berlangsung tampak lebih mudah karena untuk dapat mengikuti pengajian ini,

santri tidak dikenakan ketentuan khusus seperti yang di terapkan sesuai aturan

yang dibuat oleh pengurus dari pihak madrasah.

Santri memang diharapkan untuk dapat menghadiri pengajian bandongan ini

(biasanya dilaksanakan di mushola pondok), pengajian ini bersifat umum.

Pengajian yang diperuntukkan oleh seluruh santri mahasiswi atau untuk santri

pelajar, atau bahkan keduanya ini, tidak dituntut prosentase kehadirannya. Untuk

kesiapan mengikuti pengajian, meskipun para santri yang mengikuti pengajian

tersebut diwajibkan untuk memiliki dan membawa kitab dari pengajian yang

sedang dilaksanakan, namun masih saja ada beberapa santri yang sengaja datang

untuk menghadiri pengajian tersebut meskipun tidak dengan membawa kitab yang

ditentukan.

Malahan, dalam mengikuti pengajian bandongan tersebut, tidak seluruh santri

yang menghadirinya secara khusuk mendengarkan pembacaan serta penjelasan

yang dilakukan oleh ustadz pengajar bandongan, selalu tampak satu-dua yang

malahan asyik ngobrol dengan santri disebelahnya. Kekhusukan santri biasanya

tampak jika yang menjadi ustadz pengajar bandongan adalah Kyai Warson,

sedangkan untuk ustadz yang lain santri tampak lebih santai menanggapinya.

Proses pengajian bandongan yang berlangsung adalah sebagai berikut;


(a). Para santri datang dan menghadiri mushola yang ditetapkan sebagai tempat

pengajian bandongan, masing-masing santri sambil membawa kitabnya masing

masing. Mereka kemudian duduk dengan cara mengelilingi atau menghadap ke

arah meja ustadz yang terletak didepannya, seperti halnya saat orang menghadiri

ceramah agama.

(b). Kemudian ustadz hadir dan memulai pengajian dengan cara membacakan

materi kelanjutan dari hari sebelumnya. Setelah membaca, kemudian

diterjemahkan dengan Arab pegon sambil sesekali menerangkan susunan

gramatikal bahasanya juga menjelaskan artinya

(c). Santri mendengarkan dan menyimak kitab masing-masing serta membuat

beberapa catatan mengenai hal-hal yang dianggapnya penting.

Adakalanya ustadz pengajar memberikan kesempatan untuk bertanya kepada

para santrinya, namun untuk pengajian bandongan hal tersebut jarang sekali

terjadi. Dalam pengajian jenis ini pula tidak dapat diketahui secara pasti para

santri menjadi paham pada kitab yang sedang diajarkan ataukah tidak, selain

karena jumlah santri yang mengikuti pengajian ini dalam jumlah yang banyak,

ditambah tidak adanya kontrol juga tidak adanya evaluasi dalam pengajian ini.

Sehingga tidak dapat terdeteksi lebih banyak prosentase kehadiran ataukah

ketidak hadiran karena sedikit banyak hal itu juga berpengaruh terhadap

pemahaman santri terhadap kitab yang sedang diajarkan.

c. Proses Penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab


pegon pada santri Madrasah Salafiyah III, Komplek Q, Pondok
Pesantren Krapyak, Yogyakarta
Mempelajari kitab kuning dengan pendekatan tradisional menggunakan Arab

pegon sebagai bahasa sasaran yang ditulis secara menggantung ini, diletakkan
pada bahasa sumber (bahasa Arab). Proses penerjemahannya berlangsung setiap

kata, frase dan berbagai unsur gramatikal yang ada.

Terjemahan tradisional dengan Arab pegon ini merupakan terjemahan pesan

bahasa Arab sebagai bahasa sumber ke dalam bahasa Jawa, dengan

memperhatikan unsur-unsur pembentuk teks, baik berupa unsur linguistik yaitu

kosa kata, sintaksis, morfologi, retorik dan sejenis, dan unsur ekstralinguistik,

berupa isi kandungan dari teks kitab kuning yang akan diterjemahkan. Dalam

terjemahan ini pesan dan unsur-unsur teks bahasa sumber mendapat perhatian

seimbang untuk diterjemahkan. Kedua hal tersebut harus ditampakkan dalam

bahasa sasaran dengan jelas. Jadi yang diterjemahkan dalam terjemahan

tradisional ini adalah62 (1) isi atau pesan ,(2) unsur linguistik teks, dan (3) unsur

ekstralinguistik teks.

Contoh proses penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon yang dilakukan

oleh santri;

‫الحمد لله رب العا لمين‬

“Al-Hamdu utawi sekabehane jenise puji iku lilahi tetep kagungane Allah”

(segala puji bagi Allah).

Kata utawi dalam terjemahan tersebut digunakan untuk menunjukkan status

mubtada (subjek isim, kata benda), dan dilambangkan dengan huruf ‫( م‬mim) serta
ditulis diatas kata al-hamdu. Kata sekabehane jenise, untuk menunjukkan ‫( ال‬al)

listigraraqil jins, yaitu (al) yang digunakan untuk makna cakupan, segala

(istigraqiyah), sedang kata puji untuk menunjuk leksikal hamdu.

62
Aly Abubakar Basalamah, Op.Cit, h. 61-69.
Kata iku yang dilambangkan dengan huruf ‫ خ‬menunjukkan status khobar,

(lillahi, “bagi Allah), tetep untuk menunjukkan ta’alluq jar wa majrur (keterkaitan

fungsi jar dan majrur yang wajib dibuang, yaitu kata mustaqorrun, yang berarti

tetep (tetap) atau kata istaqarra (tetap dengan dibatasi waktu lampau), kaduwe

menunjukkan arti leksikal kata li (al-jar) yang men-jarkan kata “Allah’, sedangkan

“Allah” adalah terjemahan dari Allah.

Yang diterjemahkan dalam kalimat tersebut mencakup unsur pembentuk

teks linguistik, ektralinguistik dan isi atau pesan teks. Unsur linguistik yang

diterjemahkan adalah mubtada, “utawi”, khabar, “iku”, istigraqul jins,

“sekabehe”, “jenise”, ta’aluq, “tetep” (semuanya sebagai unsur tata bahasa);

alhamdu, “puji”, dan llahi, kagungane Allah (sebagai unsur leksikal), dan

jinsul hamdi al-arba’i, “jenis puji yang empat” (sebagai yang dimaksudkan

kata jenis puji) sebagai terjemahan unsur ekstralinguistik yang berupa

pengetahuan yang berhubungan dengan tauhid. Adapun pesan yang

dihasilkan dari terjemahan adalah segala puji milik Allah. Salah satu

kelebihan dari penggunaan terjamahan ini adalah ditampakkannya semua

unsur teks dalam bahasa sasaran, sehingga kalimat yang diterjemah dapat

membuat santri paham pada struktur tata bahasanya secara lebih detail.

Dalam kalimat tersebut diatas, bahasa sasaran yaitu bahasa Jawa yang

dipakaipun susunan dan urutannya mengikuti urutan kata atau frase dalam kalimat

bahasa Arab. Dalam tata bahasa Arab, kalimat diatas disebut jumlah ismiyah

(kalimat nominal).

Contoh kedua;

‫نويت الوضوء‬
“Nawitu wus niat sapa ingsun al-wudhu’a ing wudu”

(saya berniat wudhu).

Kata wus dalam kalimat tersebut menunjukkan kala (zaman, waktu), fi’il

(kata kerja) madi (bentuk lampau), niat menunjukkan arti leksikal kata nawa,

sapa menunjukkan fail (subjek verbal ), ingsun menunjukkan arti leksikal kata tu,

ing menunjukkan maf’ul-bih (objek langsung) yang dilambangkan dengan‫مف‬

yang ditulis di atas kata al-wudu’a , sedangkan kata wudhu menunjukkan arti

leksikal kata alwudu’a.

Unsur linguistik yang diterjamahkan dalam kalimat tersebut adalah zaman

(waktu) “wus”, fail “sapa”, maf’ul-bih “ing” (sebagai unsur tata bahasa), nawa

“niat”, tu “ingsun”, dan al-wudhu’a “wudu” (sebagai unsur leksikal). Unsur

ekstralinguistiknya adalah al-whudu’a dalam arti fiqh, sedangkan pesan atau isi

yang diterjemahkan adalah saya berniat wudhu.

Contoh ketiga;
‫و ان تصوم خير لكم ان كنتم تعملو ن‬

(Wa antasuumu khairul lakum inkuntum ta’lamuuna)


1 2 3 4 5 6

1= lan “dan “ (leksikal)

2= utawi “atau” (sintaksis)

arep ”akan” (morfologis)

yenta “bahkan” , jika (morfologis)

pasa “puasa” (leksikal

sapa ”siapa” (sintaksis)

sira kabeh “kamu semua” (Leksikal)


3= iku “itu” (leksikal)

kang “yang”(morfologis)

luwih ” lebih”(morfologis)

becik “baik” (leksikal)

4= luwih becik “lebih baik” (sintaksis)

keduwe sira kabeh “bagi kamu semua” (leksikal)

5= lamun “jika” (leksikal)

wus “telah” (morfologi)

ana ”ada” (sintaksis)

sapa ”siapa” (sintaksis)

sira kabeh ”kamu semua” (leksikal)

6= Iku ”itu” (leksikal)

weruh “tahu” (leksikal)

sapa ” siapa” (leksikal)

sira kabeh ”kamu semua” (leksikal)

ing “di” dalam” (retorik)

haqiqota-shaumi “ hahikate puasa” (retorik, sintaksis)

Adapun isi atau pesan dari kalimat tersebut adalah pasa sira kabeh iku luwih

becik yen sira kabeh weruh (hakikate pasa), yaitu puasa kamu akan lebih baik

apabila kamu semua mengerti (hakikat puasa). Keseluruhan teks tersebut berbunyi:

wa antasuumu lan utawi arep yento pasa sapa sira kabeh iku khairun kang luwih

becik lakum keduwe sira kabeh inkuntum lamun ana sapa sira kabeh iku

ta’lamuna weruh sapa sira kabeh haqiqotash shaum hakikate pasa.

Untuk dapat mengontrol kebenaran pesan dan penyampaian terjemahan ini

dalam mengungkapkan bahasa sasaran, yaitu menggunakan beberapa cara; (1)


tetap mencantumkan teks aslinya (2) memperlihatkan semua piranti yang dipakai

untuk menggali pesan yang dimaksud, yaitu berupa ilmu tentang bahasa teks atau

linguistik dan ilmu-ilmu terkait lainnya.

Ketepatan penerjemahan pesan dalam kalimat-kalimat contoh diatas, pada

dasarnya merupakan tujuan yang penting dalam penerjemahan tradisional dengan

Arab pegon ini. Akan tetapi ketepatan penerjemahan pesan atau isi tersebut harus

dikontrol dengan menerjemahkan unsur-unsur teks yang lainnya, yaitu linguistik

dan ekstralinguistik.

Timbul kesan bahwa terjemahan semacam ini lebih mementingkan bentuk

atau persamaan bentuk linguistiknya, terutama apabila dilihat dari penampilannya

namun sebenarnya terjemahan semacam ini juga sangat memperhatikan isi atau

pesan yang terkandung didalamnya.

Dalam setiap terjemahan tradisional yang menggunakan Arab pegon selalu

mencantumkan teks sumber. Mencantumkan teks bahasa sumber dalam terjemahan

ini adalah sebuah upaya strategis untuk menanggulangi kelemahan hasil karya

terjemahan pada umumnya, sebab sebagaimana yang dikemukakan oleh para ahli,

tidak ada karya terjemahan yang dapat mewakili bahasa sumber secara lengkap.

Dengan demikian seorang pembaca hasil karya terjemahan dapat diberi

kesempatan untuk dapat melakukan koreksi terhadap karya terjemahan yang

sedang dibacanya tanpa harus dengan susah payah melacak teks sumbernya. Oleh

karena itu, terjemahan ini memberikan kesempatan untuk dapat menangkap isi atau

pesan yang diperkirakan dapat berbeda dengan penerjemah yang lain, namun tetap

bersumber pada teks yang sama.

Pencantuman teks sumber dan penampakan unsur-unsur teks sumber dalam

bahasa sasaran, dapat dijadikan tolak ukur penilaian kemampuan penerjemahan


yang dilakukan oleh santri. Dengan tetap mencantumkan teks asli dan

menampakkan semua piranti yang dipakai dalam menerjemahkan, maka

terjemahan tradisional ini dapat memberikan kesempatan terhadap kemungkinan

munculnya arti dan makna yang berbeda. Sehingga terjemahan semacam ini tidak

saja sebagai referensi pesan yang diterima oleh santri yang membacanya, akan

tetapi juga sebagai bahan perbandingan bagi pesan yang ditemukannya sendiri

melalui teks asli yang ikut terbaca bersamaan dengan membaca karya yang

diterjemahkan.

Beberapa hal yang terdapat dalam terjemahan tradisional dengan Arab pegon

ini;63 (1) simbol-simbol linguistik, (2) bahasa-bahasa simbolik (3) penampakan

gramatika bahasa sumber dalam bahasa sasaran, yang sekaligus membedakannya

dari pendekatan penerjemahan yang lain.

Berikut simbol-simbol yang digunakan dalam terjemahan kitab kuning dengan


Arab pegon:
No Simbol Tempat Variasi tata bahasa Penempatan struktur
bacaan
1 2 3 4 5
1. ‫ب‬ Atas Tanda ‘atf
Bayane bayan/bayan ‫ر ايت زيدا و غيره من عمر وبكر‬
(leksikal)
2. ‫بد‬ Atas Tanda badal (leksikal) ‫ا كلت الر غيف نصفة‬
Rupane
3. ‫تم‬ Atas Tanda tamyiz ‫كثير زيد علما‬
Apane (leksikal)
4. ‫ج‬ Bawah Tanda jamak ‫تعلمت العلوم‬
Pira- (morfologis)
pira
5. ‫ج‬ Atas Tanda jawab ‫ان تجتهد تنجح‬
Mangka (leksikal)
6. ‫ج‬ Atas Tanda ‘atf dengan fa ‫حضر التلميد~ ثم المدرس‬
Mangka dan tsumma (leksikal)
7. ‫ما‬ Atas Tanda hal (leksikal) ‫قراء الطا لب جا لسا‬
Hale
8. ‫خ‬ Atas Tanda khabar ‫الحيا ة صفة قديمة بدا ته‬
Iku (leksikal)
9. ‫ص‬ Atas Tanda sifat (leksikal) ‫الحمد هلل المنز ه عن صفة الحدوث‬

63
Aly Abubkar Basalamah, Op.Cit, h. 69
Kang
10. ‫ظ‬ Atas Tanda zarf (leksikal) ‫يصوم عمر والخميس‬
Ing
dhalem
11. ‫ع‬ Atas Tanda maf’ul liajlih ‫دهبت الى المعهد تعلما‬
Krana (leksikal)
12. ‫عط‬ Atas Tanda ma’tuf dan ‫يق~~~~ول الفق~~~~ير المتص~~~~ف ب~~~~ا ل~~~~دل‬
ma’tuf alaih (leksikal) ‫والتقصير‬
13. ‫غة‬ Atas Tanda ghayah ‫ان الموت مال قيكم ولوكنتم في بروج‬
Senajan (leksikal) ‫مشيده‬
14. ‫ف‬ Atas Tanda fa’il bukan ‫تسير السيا رة‬
Apa orang (leksikal)
15. ‫سن‬ Atas Tanda fail orang ‫تعلم الطا لب مجتهدا‬
Sapa (‘aqil)
16. ‫م‬ Atas Tanda mubtada’ ‫زيد قا ئم‬
Utawi (leksikal)
17. ‫مف‬ Atas Tanda maf’ul bih ‫ضرب زيد عمرا‬
Ing (leksikal)
18. ‫نف‬ Atas Tanda nafi (leksikal) ‫وما هللا بغا فل عما تعملون‬
Ora
19. ‫مط‬ Atas Tanda maf’ul mutlaq ‫نصر خا لد بكرا نصرا‬
Kelawan (leksikal)
20. ‫تعق‬ Atas Tanda ta’aluq ‫قر ات القر ان في المسجد‬
21. .. Bawah Tanda dhomir sya’n ‫فا علم انه ال اله اال اللله‬
Kelakoh leksikal (leksikal)
an

Adapun bahasa simbolik yang digunakan dalam terjemahan ini adalah

kosakata bahasa Jawa khas yang dapat menunjuk pada variasi gramatikal bahasa

sumber, yaitu bahasa Arab. Maksud dari bahasa Jawa khas adalah bahasa Jawa

tersebut tidak seperti bahasa Jawa yang digunakan sehari-hari, artinya tidak

fungfsional dalam aturan bahsa Jawa yang baku.

Berikut adalah bahasa-bahasa simbolik yang sering digunakan dalam

terjemahan kitab kuning dengan Arab pegon ini;

1. apane =tamyiz=sintaksis=apanya

2. anging pesthine=qasr=retorika=hanya

3. bayane=bayan=sintaksis=jelasnya

4. hale=hal=sintaksis=keadaannya
5. ing dhalem=zarf=sintaksis=di dalam

6. iku=khabar=sintaksis=itu

7. kang=sifat naat=sintaksis=yang

8. ing=maf’ul bih=sintaksis=obyek penderita

9. kelawan=maf’ul mutlaq=sintaksis=dengan

10. kelakoohan=dhamir sya’n=sintaksis=bahwasanya

11. apa/sapa=fa’il=sintaksis=apa/siapa

12. rupane=badal=sintaksis=atau/bermula

13. utawi=mubtada’=sintaksis=atau/bermula

14. yento=masdar mu’awal=morfologis=itulah

15. pengulangan =ta’aluq=sintaksis

Dalam menghadapi teks kitab kuning seperti ini, seseorang

yang ingin menerjemahkannya dengan Arab pegon terlebih

dahulu harus menguasai seluk beluk bahasa Arab dan cara

mengungkapkan pesan atau isinya. Penguasaan bahasa Arab tidak

saja karena bahasa Arab sebagai bahasa teks kitab kuning, namun

karena beberapa ciri bahasa Arab harus dapat mewarnai bahasa

sasaran.

C. Problem Pembelajaran Kitab Kuning dengan Arab Pegon

1. Problem Penerjemahan dengan Arab Pegon


Belajar membaca kitab kuning, berarti belajar bahasa asing. Dalam mempelajari bahasa asing, salah satu kegiatannya
adalah menerjemah. Menurut pandangan tata bahasa tradisional tentang belajar bahasa, 25 menerjemahkan dianggap metode
yang paling efktif untuk meningkatkan kemampuan penguasaan terhadap bahasa yang dipelajari. Prinsip lain yang
terpenuhi dalam melaksanakan terjemahan ialah bahwa ragam bahasa yang diutamakan dan perlu dipelajari adalah bahasa
tulis. Dengan tulisan, seorang pelajar bahasa dapat terhindar dari pencemaran, sehingga apa yang dipelajari masih
merupakan bahasa yang murni.

25
Syahruddin Keseng, Linguistik Terapan: Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa yang Sukses,
Jakarta, Depdikbud, 1989, h. 84
Menurut Henry Guntur Tarigan64, metode tarjamah tata bahasa pada

hakikatnya mencakup; telaah eksplisit, kaidah tata bahasa dan kosakata serta

penggunaan terjemahan. Dengan demikian terjemahan tata bahasa adalah suatu

cara menelaah bahasa yang mendekati bahasa tersebut, pertama-tama melalui

analisis kaidah bahasa secara terperinci diikuti oleh penerapan pengetahuan ini

pada tugas penerjemahan kalimat-kalimat dan teks-teks kedalam dan dari bahasa

sasaran. Oleh karena itu, membaca dan menulis merupakan fokus utama atau

sasaran pokok.

Dalam penerjemahan kitab kuning, hal yang lebih ditekankan kepada

penerjemah (dalam hal ini adalah santri) dari bahasa sasaran ke bahasa ibu adalah

membaca teks-teks Arab namun belum sampai pada keterampilan menulis kitab

yang berbahasa Arab. Masih menurut Henry Guntur Tarigan, bahwa dalam metode

terjamah tata bahasa, bahasa asli atau bahasa ibu merupakan media pengajaran

bahasa yang dipakai untuk menjelaskan butir-butir atau hal-hal baru yang

memudahkan pembuatan perbandingan antara bahasa asing dan bahasa ibu. Oleh

karena itu pula, bahasa Jawa (yang merupkan bahasa ibu) dipakai dalam

penerjemahan kitab kuning di pesantren dalam pengajaran kitab kuning.65

Menerjemahkan adalah menyampaikan berita yang terkandung dalam bahasa

sumber ke dalam bahasa penerima atau bahasa sasaran agar isinya benar-benar

mendekati aslinya. Sedangkan tujuan penerjemahan yaitu menyampaikan berita ke

dalam bahasa penerima (bahasa sasaran), yang berarti apa yang diterjemahkan

harus dapat dimengerti dan tidak di salah fahami oleh orang-orang yang akan

mendengarkan atau membaca hasil terjemahan tersebut.66

64
Henry Guntur Tarigan,Op.Cit h.105-106.
65
Zamakhsyari Dhofier, Op.Cit, h. 51
66
E. Sadtono, Op. Cit, h. 9
Kemampuan menerjemahkan teks berbahasa Arab ke dalam bahasa Jawa

khususnya dalam pengajaran kitab kuning didalam pondok pesantren, menuntut

berbagai pengetahuan prasyarat yang harus dimiliki oleh para santri. Beragam

pengetahuan tentang penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon telah

disebutkan pada bagian sebelum ini. Hal tersebut tentu saja menimbulkan berbagai

problem pada santri, meskipun setiap santri tentu tidak mengalami problem yang

sama.

Problem-problem penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon yang penulis

temukan selama melakukan penelitian pada Madrasah Salafiyah III ini, pada

dasarnya terbagi menjadi dua katagori, yaitu problematika linguistik dan non

linguistik.

a. Problematika Linguistik

(1). Problem morfologis

Morfologi merupakan cabang linguistik yang mempelajari bentuk-bentuk kata

dan perubahan bentuk kata serta makna akibat perubahan bentuk itu.67 Dalam

bahasa Arab, morfologi identik dengan ilmu shorof yang merupakan cabang

linguistik yang mempelajari perubahan bentuk kata dari satu wazan menjadi

beberapa wazan lainnya yang membawa konsekuensi pada perubahan makna.68

Umumnya kesalahan penerjemahan terletak pada kesalahan menentukan

katagori jenis kata tertentu yang dilambangkan dengan kesalahan membaca

(memberi syakal/harokat). Kesalahan membaca ini jelas membawa konsekuensi

pada penentuan makna yang salah, yang berakibat pada kesalahan penerjemahan

secara keseluruhan.

(2). Problem sintaksis

67
Mansoer Pateda, Linguistik:Sebuah Pengantar, Bandung, Angkasa, 1990, h. 71.
68
Abdul Munif, Op. Cit, h. 5
Sintaksis merupakan bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan

seluk beluk wacana, kalimat, klausa dan frase.69 Dalam linguistik bahasa Arab,

sintaksis dikenal dengan sebutan ilmu nahwu , yaitu linguistik yang mempelajari

tentang kalimat serta segala hal yang berkaitan dengannya.

Kesalahan sintaksis dalam proses penerjemahan umumnya berkaitan dengan

kesalahan menentukan peran kata atau frase dalam hubungan sintaksis tertentu.

Dengan kata lain, kesalahan sintaksis lebih sering disebabkan karena

ketidakmampuan atau kesalahan dalam melakukan analisis bahasa sumber yang

dalam hal ini adalah bahasa Arab. Seperti diketahui, bahwa analisis bahasa

sumber merupakan langkah awal dalam proses penerjemahan yang harus

dilakukan oleh penerjemah sebelum ia melakukan restrukturisasi (penyusunan

kembali) isi atau pesan dari materi terjemahan dalam bahasa sasaran. Kesalahan

dalam melakukan analisis kalimat bahasa sumber akan berakibat pada kesalahan

pemahaman terhadap isi atau pesan yang diterjemahkan, yang nantinya akan

diwujudkan dalam hasil terjemahan bahasa sasaran.

Pada umumnya, kesalahan yang banyak dilakukan adalah kesalahan dalam

menentukan jenis kalimat dan kedudukan kata atau frase dalam sebuah kalimat.

Misalnya kata mana yang menduduki posisi subjek (musnad ilaih), predikat

(musnad), objek (maf’ul bih) atau keterangan. Kesalahan tersebut antara lain

diwujudkan dengan kesalahan I’rob, yakni kesalahan dalam memberi

harokat/syakal huruf terakhir suatu kata dalam sebuah kalimat.

(3). Problem semantik

Semantik merupakan cabang sistematika bahasa yang menyelidiki tentang

makna atau arti.70 Dalam bahasa Arab, semantik identik dengan ilmu dalali yaitu

69
Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia-Sintaksis, Yogyakarta, UP Karyono, 1981,h. 1
70
JD. Parera, Teori Semantik, Erlangga, Jakarta, 1991, h. 3
ilmu yang mempelajari hubungan antara lambang dengan maknanya atau arti yang

dimaksud oleh lambang bahasa tersebut. Dalam semantik dikenal adanya dua

makna, yaitu makna leksikal dan makna kontekstual atau gramatikal. Makna

leksikal adalah makna yang diperoleh dari kamus, sedangkan makna kontekstuaal

atau gramatikal adalah makna yang diperoleh akibat proses gramatikal tertentu

atau berada dalam konteks tertentu.

Problematika semantik dalam penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon

ini pada umumnya berkaitan dengan kesalahan menentukan padaan kata yang

tepat dalam bahasa sasaran.

(4). Problematika restrukturisasi

Yang dimaksud dengan problematika restrukturisasi adalah kesulitan-ksulitan

yang dihadapi santri ketika berusaha melakukan penyusunan kembali makna atau

isi terjemahan yang berupa Arab pegon dan diterjemahkan secara terpisah-pisah

kedalam bahasa sasaran. Pada umumnya kesalahan yang dilakukan pada tahap ini

karena masih adanya interferensi struktur bahasa Arab sebagi bahasa sumber ke

dalam bahasa Jawa atau Nusantara sebagai bahasa sasaran..

b. Problem non linguistik

Selain faktor linguistik, juga ada beberapa faktor non linguistik yang menjadi

problem dalam proses penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon;

1. Banyak santri yang belum menguasai bahasa sumber (bahasa Arab) dengan

baik.71

2. Belum dikuasainya bahasa sasaran dengan lebih baik, dalam hal ini

menyangkut bahasa Jawa yang digunakan.

Umumnya para santri bukan saja datang dari lingkungan daerah Jawa saja,

namun banyak juga dari mereka yang berasal dari daerah luar Jawa yang
71
Ali Audah, Op.Cit, h. 5
belum tentu dapat berbahasa Jawa. Hal ini tentu saja menyulitkan santri dalam

mengikuti setiap pengajaran kitab kuning, karena meskipun ada beberapa

ustadz yang ketika mengajar sudah menggunakan dua bahasa (Jawa-

Nusantara) namun umumnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.

3. Adanya perbedaan dalam tata cara penulisan antara huruf Arab yang

berbahasa Arab dengan penulisan Arab pegon.

Berbeda dengan penerjemahan antar bahasa yang menggunakan huruf yang

sama, penerjemahan dari bahasa Arab ke selain bahasa Arab tentu meminta

perhatian tersendiri, termasuk masalah hurufnya. Diantaranya yaitu;

C : ‫ ج‬contohnya, ‫سو جي فو جي جها ي‬

G : contohnya, ‫كو نا‬

NG : ‫ غ‬contohnya, ‫ا عدا لم وو غكغ‬

NYA : ‫ ث ب‬contohnya, 27 ‫ديدا لمي‬

Deskrates : ‫ديكا رث‬

Goebbels : ‫غو بلس‬

Pengajaran : ‫فعا جران‬

Problem mengenai perbedaan bahasa juga perbedaan huruf ini, sudah mulai

diperkenalkan juga sedikit diajarkan pada kelas awal di Madrasah Salafiyah

III. Namun menurut beberapa orang santri, hal tersebut belum begitu

maksimal karena pengenalan huruf yang ada dengan apa yang digunakan oleh

santri belum berjalan teratur. Masing-masing santri dalam menggunakan Arab

pegon ini berbeda, sehingga apa yang ditulis oleh satu santri belum tentu dapat

dibaca oleh santri yang lain. Hal ini memang bukanlah masalah yang besar,

namun kurang lebih akan dapat menghambat proses jalannya sistem belajar

mengajar antar sesama santri karena masing-masing Arab pegon yang


72
Romdoni, Pedoman membaca Arab Melayu, Intimedia, Jakarta, 2004, h. v
digunakan masih bersifat individu. Misalnya saja dalam penulisan kata

kebijaksanaan, ada santri yang menulisnya dengan ‫ كبجكس~~نا‬, sedangkan

menurut buku pedoman membaca Arab Melayu karangan Romdoni


37
kebijaksanaan ditulis dengan ‫كبجقسنا ن‬

Agar problem ini dapat mudah diatasi, agaknya para pengguna Arab pegon

mulai sekarang harus sudah mulai berfikir untuk membuat kamus khusus Arab

pegon untuk para santrinya.

4. Isi atau materi dari bentuk naskah yang diterjemahkan.

Sebuah teks yang berisi permasalahan tertentu pada salah satu bidang tertentu,

tentu berbeda dengan bidang yang lainnya. Menyangkut.perbedaan corak,

gaya penuturan dan istilah-istilah teknis yang digunakan dalam bidang disiplin

yang berbeda.

Misalnya saja ketika santri harus menerjemahkan kitab yang berisi tentang

ilmu tasawuf tentu berbeda ketika menerjemahkan kitab yang berisi tentang

ilmu balaghoh atau yang lainnya. Masing-masing memiliki perbedaan dan

pula harus dilakukan pendekatan yang berbeda agar santri akhirnya mampu

meenerjemahkan kitab tersebut dengan baik dan benar..

5. Kondisi pada saat menerjemahkan

Proses penerjemahan yang dilakukan dengan tergesa-gesa tentu akan berbeda

hasilnya dengan proses penerjemahan yang dilakukan dengan tenang dan

waktu yang cukup.Misalnya saja pada saat pengajian bandongan, jika para

santri yang mengikuti pengajian tersebut dapat serius mengikuti pengajaran

yang diberikan tentu saja akan berdampak positif bagi perkembangan

keilmuan para santri.

73
Romdoni, Op.Cit, h. 66.
2. Problem Pemahaman Isi Teks secara Utuh

Apakah penerjemahan kitab kuning dengan menggunakan Arab pegon dapat

memberikan pemahaman yang utuh terhadap isi teks?. Pertanyaan seperti itulah

yang seringkali dilontarkan oleh orang-orang yang khususnya berada di luar

pesantren.

Faktor pemahaman dalam setiap proses belajar-mengajar termasuk proses

penggunaan Arab pegon dalam terjemahan kitab kuning, merupakan salah satu

tujuan pokok. Setiap santri selalu mengharapkan bahwa apa yang dipelajarinya

dapat membuat pengetahuan keilmuannya bertambah, namun ternyata tidak semua

santri dapat sukses mendapatkannya. Ada saja problem yang muncul sehingga

santri harus terus bekerja keras untuk dapat memahami isi teks secara utuh setiap

terjemahan Arab pegon pada kitab kuning yang dipelajarinya.

Timbulnya problem pemahaman isi teks secara utuh ini dikarenakan

adanya perbedaan pada setiap individu santri. Diantaranya; faktor

perkembangan kemampuan dasar, ada santri yang cerdas namun ada juga

yang sedang-sedang saja dan ada pula yang lamban dalam menerima

pelajaran, faktor lingkungan, termasuk lingkungan pendidikan yang

menimbulkan perbedaan seperti dalam cara berfikir antara pelajar dan

mahasiswa, juga faktor kepribadian, contohnya perbedaan minat dan bakat

sehingga ada anak yang rajin tetapi juga ada anak yang malas.73Perlu adanya

perhatian terhadap perbedaan individu, sesuai dengan minat dan

kemampuan santri yang ingin belajar kitab kuning.

Di kalangan santri sendiri, khususnya pada santri Madrasah Salafiyah III,

Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, terdapat beberapa permasalahan yang

73
H. Tyar Yusuf dan Drs. Syaiful Anwar, Op.Cit, h. 103.
membuat sebagian santri belum mampu memahami isi teks kitab kuning yang

dipelajarinya secara utuh, yaitu;

5. Mutu Pengajaran.74

Di dalam pesantren terdapat dua macam pola pengajaran tradisional, yaitu

bandongan dan sorogan yang didalamnya tercakup kelebihan dan kekurangannya.

Namun, jika dilihat dari kapasitas jumlah muridnya, penggunan pengajaran sistem

bandongan didalam pesantren akan memberikan dampak tersendiri. Pada

pengajaran bandongan, yang mengikutinya adalah sebagian santri atau keseluruhan

santri dengan jumlah diatas 40 orang.

Hal yang harus diperhatikan oleh seorang ustadz pengajar adalah

keseluruhan santri, dalam satu jam pengajian yang terdiri kurang dari 60 menit,

akan sulit bagi ustadz untuk memberi waktu yang cukup bagi setiap anak. Ustadz

mencoba menyesuaikan pengajarannya dengan kemampuan santri rata-rata, namun

apakah hal itu juga disadari oleh setiap ustadz?. Menurut penuturan beberapa

santri, ia sering merasa kesulitan saat mengikuti pengajian bandongan yang

ustadznya dianggap terlalu cepat mema’nani kitab.

Menurut Dr. Henry Guntur Tarigan, ada 4 segi dalam keterampilan berbahasa,

yaitu:75 (1) keterampilan menyimak, (2) keterampilan berbicara, (3) keterampilan

membaca, (4) keterampilan menulis. Menyimak dan membaca merupakan

keterampilan pemahaman yang disebut juga dengan ketrampilan reseptif.

Sedangkan berbicara dan menulis (mengarang) merupakan keterampilan

pengungkapan pikiran yang disebut juga dengan keterampilan produktif.76 Ke-

74
S. Nasution, Op.Cit, h. 40
75
Henry Guntur Tarigan, Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, Bandung, Angkasa, 1984,
h.1
76
Sri Utari dan Subyakto Nababan, Metodologi Pengajaran Berbahasa, Jakarta, Depdikbud, 1988, h.
132.
empat ketrampilan diatas juga terdiri atas tingkah laku bahasa lisan yaitu berbicara

dan menyimak serta tingkah laku bahasa tulis yaitu menulis dan membaca.77

Pengajaran membaca kitab merupakan pengajaran bahasa tulis yang bersifat

reseptif, namun demikian bukan berarti pasif. Karena dalam membaca kitab, santri

dituntut untuk memahami teks-teks Arab yang dibacanya. Sebagaimana dikatakan

Dra. Juwairiyah Dahlan, bahwa dalam mempelajari bahasa Arab siswa akan

memahami bahasa Arab (tulisannya) terlebih dahulu sebelum tulisan itu dibacanya,

bukannya membaca baru kemudian memahaminya.78 Hal ini disebabkan penulisan

huruf Arab biasanya tanpa disertai harokat, sedangkan harokat pada huruf akhir

akan sangat menentukan pemahaman, arti dan maksudnya.

2. Persoalan penggunaan bahasa

Meskipun penggunaan Arab pegon ini hanya menggunakan bahasa Jawa yang

banyak digunakan sehari-hari dan tampak mudah dipahami, namun bagi orang

yang berada di luar Jawa atau yang tidak menggunakan bahasa Jawa tetaplah

merasa kesulitan.

3. Kecepatan menangkap pelajaran

Setiap santri merupakan individu yang berbeda-beda, ada santri yang cepat

menangkap pelajaran, namun ada pula yang lamban menerimanya. Menghadapi

keadaan yang seperti ini, jelas memerlukan sistem pengajaran yang berbeda

dengan kemampuan penangkapan yang berbeda.

Penggunaan sistem pengajaran sorogan di pesantren yang merupakan salah

satu sistem pengajaran individual yang ada, jelas dapat dikembangkan lagi sesuai

daya kreatifitas pengajar yang ada. Disamping bentuk pengajaran sorogan,

77
Fuad Abdul Hamid, Proses Belajar Mengajar Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1987, h. I

7
Juwairiyah Dahlan, MA,Op.Cit ,h 45.
menurut Drs. Roestiyah N.K, ada beberapa penyajian pengajaran individual lain

yang mungkin dapat diterapkan pada santri.79

1. Perencanaan belajar bebas (Individu Study Plan)

Dalam hal ini ada persetujuan antara seorang santri dengan seorang ustadz dalam

penentuan persetujuan secara garis besar, siswa menyiapkan sendiri bentuk ujian

akhir, tidak ada peraturan yang mengikat tentang bagaimana menyiapkan ujian

tersebut, ada ujian atau tidak terserah santri.

6. Belajar sendiri yang terarah (Self Directif Study)

Tujuan khusus disetujui bersama antara santri dan ustadz, tetapi tidak ada

ketentuan bagaimana santri belajar, ustadz mungkin memberikan daftar tujuan

instruksional khusus, mungkin juga memberikan daftar bacaan yang perlu atau

sumber-sumber lain tetapi siswa tidak harus mempergunakannya apabila dia lulus,

dan dia memperoleh kredit untuk itu.

7. Program pemusatan belajar (Learner-Centered Program)

Dalam penyajian ini santri yang menentukan untuk kepentingan dirinya, apa

tujuannya, bagaimana dia akan belajar dan sesudah itu tugas apa yang akan

dilakukannya kemudian.

8. Melangkah sendiri (Self Pacing)

Siswa menentukan sendiri langkah-langkah belajarnya, ustadz menentukan tujuan

instruksional dan semua siswa harus memenuhi tuntutan rumusan tujuan

instruksional itu, mungkin santri memakai materi yang sama untuk mencapai

tujuan pelajaran, hanya saja kecepatan perkembangan masing-masing yang

berbeda.

9. Siswa menentukan pengajaran (Student Determinded Instruction)

79
Roestiyah N.K,Op.Cit, h. 54.
Dalam hal ini santri menentukan instruksi sistem sendiri, memungkinkan santri

untuk memilih tujuan instruksional, memilih materi pelajaran, struktur, sumber

atau latihan-latihan yang digunakan, memilih dan menentukan jadwal mata

pelajaran apa yang akan diambil, menentukan sendiri langkah-langkah dalam

memenuhi setiap tujuan instruksional, mengevaluasi sendiri apakah tujuan-tujuan

instruksional tersebut dianggap tepat untuknya, juga pengajaran yang lebih tepat

baginya.

Prinsip pembelajaran adalah melakukan kegiatan, tidak ada

belajar yang tanpa aktivitas.80 Prinsip aktivitas dalam pengajaran

meliputi aktivitas mengajar yang dilakukan oleh ustadz dan

santri. Dalam pandangan ilmu jiwa modern, aktivitas mengajar

hanyalah sebatas tugas guru untuk mengatur lingkungan belajar

sebaik-baiknya, mengarahkan dan membimbing santri agar dapat

belajar dan mengembangkan kemampuannya secara kreatif.

Sehingga aktivitas belajar lebih dominan dibanding aktivitas

mengajar yang membawa impliksi bahwa siswalah yang aktif

mengembangkan aktivitasnya sendiri.

Aktivitas belajar santri dalam pengajaran sorogan meliputi

kegaiatan fisik maupun mental. Aktifitas fisik dapat dilakukan

santri dengan keterlibatannya secara langsung dalam membaca

kitab kuning, sedangkan aktivitas mental berupa aktivitas berfikir.

Demikian juga sebaliknya, ketika santri belajar membaca kitab,

maka pikiran harus tertuju dan terpusat pada bacaan.

80
Sardiman, A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, cet ke-5, Jakarta, Raja Grafindo Persada,
1994, h. 109.
Peran aktif santri dalam pengajaran sorogan memungkinkan

santri mendapat pengalaman secara langsung. Terutama sekali

pengetahuan tentang bahasa Arab yang sangat berguna bagi

santri ketika meembaca teks-teks berbahasa arab, serta dapat

meningkatkan kemampuan membaca teks-teks berbahasa Arab.

4. Ketekunan santri

Ketekunan itu nyata dari jumlah waktu yang diberikan oleh santri untuk

mempelajari sesuatu. Jika santri memberikan waktu yang kurang dari yang

diperlukan utuk mempelajarinya, maka ia tidak akan menguasai bahan itu

sepenuhnya. Ketekunan belajar ini tampaknya bertalian dengan sikap dan minat

terhadap pelajaran. Bila suatu pelajaran karena sesuatu hal tidak menarik minatnya,

maka tentu sulit bagi santri untuk dapat menangkap apa yang diajarkan.81

5. Waktu yang tersedia untuk belajar

Dalam sistem pendidikan di pesantren, meskipun kurikulum yang diterapkan

tidak selalu juga menentukan waktu tertentu untuk pelajaran tertentu, namun tetep

ditentukan misalnya untuk satu semester atau satu tahun. Maksudnya, agar bahan

yang sama dikuasai semua murid dalam jangka waktu yang sama. Padahal,

menentukan satu waktu yang sama untuk bahan yang sama tidak akan sesuai bagi

semua murid berhubungan dengan perbedaan individual. Bagi murid yang pandai

waktu itu mungkin terlampau lama, sedangkan untuk murid yang tidak terlalu

pandai waktu yang ditentukan itu mungkin tidak cukup.

Apa yang harus dipelajari santri di pondok pesantren mungkin saja sama

banyaknya dengan apa yang dipelajari santri pada aktivitasnya di luar pesantren,

misalnya untuk santri yang juga berstatus sebagai pelajar atau santri yang juga

81
S. Nasution, Op.Cit , h. 46
menjalankan tugasnya sebagai mahasiswa. Ada juga santri yang aktif namun ada

yang tidak aktif, semuanya ikut berpengaruh pada pemahaman santri terhadap

penerimaan pengajaran kitab yang menuntut pemahaman atas apa yang tertuang

dalam isi teks kitab tersebut. Selain karena dibutuhkan waktu yang cukup, juga

dibutuhkan konsentrasi yang tinggi. .

3.Problem Mengkomunikasikan Pemahaman Kepada Orang Lain Atas Pembacaan Kitab

Kuning yang Menggunakan Arab pegon

Pembelajaran bahasa Arab di Indonesia, dilihat dari tujuannya

nampaknya bisa dibedakan ke dalam dua katagori, yaitu belajar bahasa Arab

sebagai tujuan dan belajar bahasa Arab sebagai alat.82 Bahasa Arab sebagai

tujuan berarti siswa yang memepelajari bahasa Arab diharapkan mampu

menguasai bahasa Arab secara aktif, baik dalam kemampuan muhadastah,

istima’, qiro’ah maupun kitabah. Dengan dimilikinya empat kemampuan

berbahasa tersebut, maka siswa diharapkan mampu berkomunikasi secara

lisan maupun tertulis dalam bahasa Arab yang berarti mampu berbahasa

Arab secara aktif maupun pasif.

Bahasa merupakan bagian integral dari pendidikan, bahasa membawa budaya

secara psikologis, membentuk suatu masyarakat bahasa. Bahasa bukan hanya suatu

alat pembentuk pola-pola perilaku individu untuk mencapai suatu basis

konformitas sosial, namun merupakan suatu alat pengembangan sumber daya fisik

dengan meningkatkan kapasitas produktif manusia. Fungsi utama suatu bahasa,

termasuk bahasa Arab, adalah alat untuk mengungkapkan makna-makna (pikiran,

perasaan, ide, gagasan dan sebagainya).

82
Abdul Munif, Op.Cit, h. 2
Problem apa sajakah yang muncul ketika santri berusaha

mengkomunikasikan pemahaman kepda orang lain atas pembacan kitab

kuning yang menggunakan Arab pegon?. Pertanyaan seperti ini muncul

karena penulis melihat fenomena yang selama ini ada di pesantren, dimana

santri yang lebih dari dua kali mempelajari satu kitab yang sama pun belum

tentu memahami, mengerti, dan belum tentu dapat menyampaikan apa yang

selama ini dipelajarinya.

Jangankan memahami satu kitab, memahami satu paragraf dari satu

uraian yang diajarkan oleh ustadz pun terkadang masih sulit dilakukan. Hal

ini semakin terlihat ketika berlangsung pengajian bandongan, seorang ustadz

dalam satu kali pertemuan membaca hingga satu lembar penuh salah satu

kitab, padahal dalam satu lembar saja terdapat puluhan kalimat dan belasan

paragraf. Untuk ustadz yang jeli, biasanya dalam satu kali pertemuan satu

jam tersebut, seorang ustadz berusaha membaca sedikit kemudian

menerjemahkan, menerangkan struktur kalimatnya dan menerangkan isi

pesan didalamnya, bahkan ada juga yang sampai mendiskusikannya. Namun

sayangnya hal ini jarang terjadi. Akibatnya santri saat mengikuti pengajian

bandongan banyak yang terlihat tidak serius, terlihat sambil mengantuk atau

bercanda meskipun ada juga santri yang serius.

Untuk pengajian sorogan, sistem yang diterapkan cukup membuat santri

mau mempelajari kitab kuning lebih mendalam, namun sayangnya intensitas

waktunya yang hanya 8x dalam sebulan. Berikut adalah penjabaran dari

beberapa problem yang dialami santri ketika berusaha mengkumunikasikan

pemahaman kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang

menggunakan Arab pegon;


1. Problem gramatika bahasa

Agar dapat menerjemahkan kitab dengan baik, terlebih dahulu harus mempelajari tata

bahasa bahasa Arab, termasuk nahwu-shorof, namun tidak semua santri

menguasainya. Padahal.tanpa pemahaman keduanya, sangat sulit untuk

dapat menerjemahkan kitab kuning dengan baik dan benar.

2. Problem penggunaan metode terjemahan kata demi kata

Dalam penggunaan terjemahan jenis ini, urutan kata-kata bahasa sumber

dipertahankan dan kosakatanya diterjemahkan apa adanya berdasarkan

kamus. Kegunaan utama terjemahan kata demi kata adalah untuk

memahami sistem dan struktur bahasa sumber. Penggunaan terjemahan

jenis ini memang baik, namun sangat berpengaruh pada ketrampilan

pemahaman pada santri, sehingga umumnya santri ketika diharuskan

mengutarakan kembali uraian tentang apa yang diterjemahkan, mereka

lamban dan merasa kesulitan.

3. Problem dengan bahasa yang digunakan

Bahasa pada prinsipnya dugunakan oleh para pemakainya sebagai pembawa pesan

yang ingin disampaikan kepada orang lain. Namun hal ini tidak akan

dapat terpenuhi jika para pemakai bahasa tersebut (santri) tidak

mengetahui arti serta makna dari bahasa yang digunakan. Arab pegon

merupakan tulisan dengan aksara Arab menggunakan bahasa Jawa,

digunakan pada pesantren-pesantren tradisional yang ada di Jawa.

Penggunaan bahasa Jawa bagi orang Jawa maupun yang mengerti bahasa

Jawa bukanlah suatu problem, namun bagi yang sama sekali tidak

mengerti bahasa Jawa hal tersebut merupakan problem yang sangat

besar. Hal seperti ini tentu dapat diminimalisir dengan penggunaan dwi
bahasa yaitu Jawa-Indonesia pada setiap kali proses belajar mengajar

kitab kuning.

4. Adanya kesulitan materi

Meskipun para santri telah lama belajar kitab kuning dan sudah pernah

memperoleh pendidikan dari beberapa pesantren, namun kesulitan materi kitab

tetap dialami. Ada beberapa tingkatan dalam materi yang digunakan, yaitu

mudah, sedang dan sulit. Ada beberapa kitab yang didalamnya berisi tingkatan

gramatikal yang lebih rumit dibanding dengan kitab yang lain, adapula yang

tingkat balaghohnya sangat tinggi sehingga untuk dapat mempelajarinya

terlebih dahulu santri harus memulainya dengan kitab lain yang balaghohnya

lebih rendah.

Ada beragam cara yang dapat mempermudah para santri dalam mengatasi

kesulitan materi juga lebih mempermudah komunikasi,83 yaitu;

(1). Belajar kelompok, belajar bersama dan saling membantu dalam pelajaran.

Santri sering lebih paham akan apa yang disampaikan temannya daripada oleh

ustadz. Bahasa yang digunakan oleh santri lebih mudah ditangkap santri lain,

maka memanfaatkan bantuan santri dapat meningkatkan pemahaman dan

penguasaan bahan yang dipelajari.

(2). Bantuan tutor, yaitu orang yang dapat membantu santri secara individual.

(3).Adanya kitab penunjang selain kitab yang diajarkan, hal ini dapat

memberikan pemahaman lebih kepada santri selain apa yang sedang

dipelajarinya.

5. Kesanggupan untuk memahami pengajaran

Jika santri tidak dapat memahami apa yang dikatakan atau disampaikan oleh

ustadznya, atau apabila ustadz tidak dapat berkomunikasi dengan santrinya,


83
S. Nasution, Op.Cit, h. 43
maka besar kemungkinan santri tidak dapat menguasai kitab yang diajarkan.

Karena kemampuan santri untuk menguasai suatu kitab banyak bergantung

pada kemampuannya untuk memahami ucapan ustadznya.

Adapun asas-asas atau prinsip-prinsip secara umum yang harus diperhatikan

dalam setiap belajar mengajar;84 pertama, motivasi; dalam kegiatan belajar

mengajar, keyakinan akan tujuan serta minat belajar anak harus dibangkitkan

terlebih dahulu sesuai dengan tingkat perkembangan kematangannya. Kedua,

keingintahuan; pada dasarnya anak didik selalu ingin tahu segala sesuatu

disekitarnya. Keingintahuan ini akan berkembang juga, jika didukung oleh

lingkungan yang bersikap terbuka. Hubungan yang akrab antara ustadz dan

santri dapat mengembangkan rasa keingintahuannya. Ketiga, mengalami

sendiri; anak didik atau santri adalah manusia hidup yang pada dasarnya

memiliki dorongan kuat untuk bekerja aktif. Aktifitas ini bisa dikembangkan

jika didukung oleh lingkungan yang melibatkan santri dalam belajar. Keempat,

pemecahan masalah; dengan mengalami sendiri dapat menimbulkan

bermacam-macam pertanyaan bagi mereka yang telah berkembang

keingintahuannya. Menimbulkan dan mengembangkan pertanyaan dalam

kegiatan belajar-mengajar berarti mengembangkan kemampuan anak untuk

mmengembangkan kemampuan anak untuk menemukan masalah kemudian

memecahkannya. Untuk itulah bimbingan sangat diperlukan dalam

penmgembangan kemampuan memecahkan masalah ini. Kelima, analisis

sintesis; erat hubungannya dengan pemecahan masalah adalah asas analisis

sintesis. Dalam memahami sesuatu, berfikir analisis sintesis sangat penting agr

diperoleh pengetahuan tentang sesuatu. Berfikir analisis dilakukan untuk

84
S. Effendi, Beberapa Pokok Pikiran tentang Pengajaran Bahasa, (Pengajaran Bahasa Arab dan
Sastra), Nomor I/I/1975, h. 9-11.
menemukan ciri-ciri sesuatu, sedangkan berfikir analisis dilakukan untuk

menyatakan hubungan dari ciri-ciri tersebuty dalam suatu pernyataan yang

utuh. Oleh karena itu, analisis sintesis sangat menunjang dalam berfikir kritis.

Keenam, perbedaan individual; anak didik bukanlah manusia yang memiliki

kesamaan, baik dalam kemampuan maupun kematangan. Setiap anak didik

memiliki tingkat kemampuan belajar tersendiri atau tingkat kesiapan berfikir

abstrak tersendiri pula.

D. Kelebihan dan kekurangan penggunaan Arab pegon bagi pemahaman isi teks pada

santri

Arab pegon yang sangat kental dengan khasanah budaya Jawa ini, meskipun

telah ratusan tahun bahkan melampaui beberapa abad, diantara pro-kontra

antara kelompok pesantren tradisional yang tetap memakainya dengan

pesantren yang dianggap modern-tanpa Arab pegon, pastilah memiliki alasan

masing-masing yang membuat keduanya tetap mempertahankan atau

menghilangkan.

Ada kelebihan juga terdapat kekurangan dalam penggunaan Arab pegon ini,

diantaranya yaitu;.

1. Beberapa kelebihan dalam penggunaan Arab pegon;

(1). Salah satu kelebihan dari penggunaan terjamahan ini adalah ditampakkannya semua

unsur teks dalam bahasa sasaran, sehingga kalimat yang diterjemah dapat

membuat santri paham pada struktur tata bahasanya secara lebih detail.

(2). Santri bisa mengetahui kedudukan kalimat dalam setiap tulisan.

(3). Meenggunakan simbol-simbol linguistik tertentu, sehingga mempermudah

untuk mengetahui kedudukan kalimat.


(4).Mendapatkan banyak kosakata. Hal ini bisa diamati karena dalam membaca

kitab satu fasal saja, mencapai ratusan kosakata, apalagi jika beberapa fasal.

(5). Para santri dapat menghayati dzauqul arabiyah. (rasa bahasa). Hal ini akan

sangat berpengaruh terhadap pemahaman santri akan nilai makna yang terkandung

didalamnya kitab.

(6). Keunikan yang patut dilestarikan. Menggunakan Arab pegon berarti sedikit banyak

kita telah berusaha menjaga kelestarian khasanah budaya Nusantara,

khususnya budaya bahasa Jawa.

2. Kekurangan atau kelemahan dalam penggunan Arab pegon;

(1). Membutuhkan waktu yang lama.

Untuk dapat memahami satu paragraf saja, seorang santri diharuskan membaca

serta menerjemahkan dengan menggunakan beragam unsur,

mencakup unsur struktur bahasa (nahwu-shorof), kosakata,

balaghohnya, serta isi kandungannya.

(2). Membutuhkan tenaga pengajar yang banyak.

Apabila proses belajar-mengajar kitab kuning ini diharapkan dapat

memberikan pemahaman penuh kepda santri, maka nyata

dibutuhkan tenaga pengajar yang cukup banyak untuk jumlah

santri yang berlimpah. Karena jika melihat sistem pengajaran

yang ada yaitu bandongan dan sorogan, maka yang dinilai lebih

teliti dalam memberikan pengajaran kepada santri adalah

pengajian sorogan. Namun sorogan ini membutuhkan waktu yang

lama, tenaga pengajar yang banyak juga kedisiplinan tinggi dalam

belajar.
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menguraikan dan menganalisis proses penerjemahan kitab kuning

dengan menggunakan Arab pegon pada santri Madrasah Salafiyah III, Komplek

Q, Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, maka penulis dapat menyimpulkan

hal-hal sebagai berikut:

1. Proses penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon ini mengungkap tiga

hal, yaitu (1) isi atau pesan (2) unsur linguistik teks dan (3) unsur

ekstralinguistik teks.

2. Problematika penerjemahan kitab kuning dengan Arab pegon yang timbul

pada santri terbagi menjadi dua katagori, yaitu (1) Problem linguistik,

mencakup morfologis, sintaksis, semantik, dan restrukturisasi. (2)

Problem non linguistik, mencakup kurangnya penguasaan bahasa sumber dan

bahasa sasaran, perbedaan tata cara penulisan antara huruf Arab yang

berbahasa Arab dengan penulisan Arab pegon, kesulitan materi kitab yang

diterjemah, serta kondisi pada saat menerjemahkan.


3. Setiap santri selalu mengharapkan bahwa apa yang dipelajarinya dapat

membuat pengetahuan keilmuannya bertambah, namun ternyata tidak semua

santri dapat sukses mendapatkannya. Problem yang dialami santri dalam hal

ini yaitu; mutu pengajaran, persoalan penggunaan bahasa, kecepatan

menangkap pelajaran, ketekunan santri, waktu yang tersedia untuk belajar.

4. Problem yang muncul ketika santri mengkomunikasikan pemahamannya

kepada orang lain atas pembacaan kitab kuning yang menggunakan Arab

pegon, yaitu; problem gramatika bahasa, penggunaan metode terjemahan kata

demi kata, bahasa yang digunakan, kesulitan materi, dan kesanggupan untuk

memahami pengajaran.

5. Kelebihan penggunaan Arab pegon yaitu;

a. Memperlihatkan semua unsur teks yang ada

b. Santri dapat mengetahui kedudukan kalimat dalam setiap tulisan

c. Menggunakan simbol-simbol linguistik tertentu yang memudahkan santri

mengetahui kedudukan kalimat

d. Mendapatkan banyak kosakata

e. Para santri dapat menghayati dzauqul arabiyah. (rasa bahasa)

f. Menggunakan Arab pegon berarti sedikit banyak kita telah berusaha

menjaga kelestarian khasanah budaya Nusantara, khususnya budaya

bahasa Jawa.

6. Kekurangannya penggunaan Arab pegon, yaitu membutuhkan waktu yang

lama dan tenaga pengajar yang banyak


B. Saran-saran

1. Pimpinan Pondok Pesantren;

Mempertahankan serta mengembangkan berlangsungnya proses pengajaran kitab

kuning dengan menggunakan Arab pegon.

2. Pimpinan Madrasah Salafiyah III;

a. Mengembangkan pelaksanaan pengajaran kitab kuning dengan

metode–metode baru dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan

pesantren.

b. Membuat tata tertib yang mengatur kedisiplinan serta mengontrol

pelaksanaannya dan melakukan tindakan tegas bagi yang melanggar.

c. Meningkatkan kinerja kepengurusan madrasah, khususnya yang

menangani masalah kegiatan belajar-mengajar.

3. Para ustadz

a. Hendaknya dalam mengajar kitab kuning, para ustadz agar lebih

memperhatikan keadaan santrinya, termasuk memperhatikan para

santri yang belum mengerti bahasa Jawa.

b. Menjaga kedisiplinan dalam mengajar kitab kuning.

4. Para Santri

Menggunakan kesempatan menimba ilmu dengan sebaik-baiknya.

C. Kata Penutup

Matur sembah nuwun kepada Allah penguasa bumi raya yang telah memberi

kemudahan dan jalan terang sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan,

untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca. Semoga

skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah

mambantu dalam penulisan skripsi ini.

Yogyakarta, 14 Nopember 2004

Penyusun

Tafsiyatun Rohanah

DAFTAR PUSTAKA

A, Djunaidi, Syakur, Pondok Pesantren Putri Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta


Madrasah Salafiyah III, Lana Usaha Press, Yogyakarta, 2002

Abdul Fuad, Hamid, Proses Belajar Mengajar Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1987

Abdurrahman, Dudung, Pengantar Metodologi Penelitian dan Penulisan Karya


Ilmiah, Yogyakarta, IKFA Prees, 1998

Abubakar Aly, Basalamah, “Memahami Kitab Kuning Melalui Terjemahan


Tradisional (Suatu Pendekatan Tradisional terjemahan Pondok Pesantren)”,
Pesantren, Nomor Perdana, 1984

Alpandie, Imansyah, Didaktik Metodik Pendidikan Umum, Usaha Nasional,


Surabaya, 1984

A.M, Sardiman, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, Cet ke-5, 1994

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta, 1989

Azwar, Saifuddin, Metode Penelitian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999


Bruinessen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat:Tradisi-tradisi
Islam di Indonesia, Mizan, Bandung, 1995

Chaer, Abdul, Linguistik umum, , Jakarta Rineka Cipta, 1994

Chozin A, Nasuha, Epistemologi Kitab Kuning, Jurnal Pesantren. No.1/Vo l.


VI/1989

Dahlan, Juwairiyah, Metode Belajar Mengajar Bahasa arab, Surabaya, Penerbit


Al-Ikhlas, 1992

Dawam M, Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, LP3ES, Yogyakarta, 1995

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai,


Jakarta, LP3ES Cet.,ke-4, 1994

Effendi, S., Beberapa Pokok Pikiran tentang Pengajaran Bahasa, (Pengajaran


Bahasa Arab dan Sastra), Nomor I/I/1975

Fatkhan, Muh, Sinkretisme Jawa-Islam, Jurnal Religi. Vol. I/ No 2, Juli 2002

Gazalba, Siti, Masyarakat Islam (Pengantar Sosiologi dan Sosiografi), Bulan


Bintang, Jakarta, 1976

Guntur Henry, Tarigan, Membaca sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa,


Bandung, Angkasa, 1984

__________________,Metodologi Pengajaran Bahasa, Jakarta, Depdikbud, 1989

Hadi, Sutrisno, Metodologi research I, Yogyakarta: Fakultas Psikologi UGM

Hamid, Ismail, Kesusasteraan Indonesia Lama Bercorak Islam, Pustaka Al-


Husna, Jakarta, 1989

Hartono, Belajar Menerjemahkan, UMM Press, Malang Cet ke-2, 2003

William A, Haviland (terj), Antropologi Jilid 2, Erlangga, Jakarta, edisi ke-4,1993

Hidayah, Irfatul, Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama dalam Proses
Marginalisasi Budaya Lokal, Jurnal Religi, Vol. II, No. 2 Juli-Desember 2003

Israr, C, Sejarah Kesenian Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1978, h. 27.

Keseng, Syahruddin, Linguistik Terapan: Pengantar Menuju Pengajaran Bahasa


yang Sukses, Jakarta, Depdikbud, 1989

Katalog Pameran Manuskrip Nusantara, Yogyakarta, September 2004

Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta, Balai Pustaka, 1994


____________, Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta, Gramedia, 1976

____________ , Pengantar Antropologi, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1996

Kompas, Melihat palembang dari naskah kuno, Senin 29 september 2003

Lexy J, Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, PT. Remaja


Rosdakarya, Cet ke-11, 2000

Lombard, Denys, Nusa jawa:Silang Budaya Jilid I, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka
Utama, 2000

Marsono, Pergumulan Islam dalam Sistem Nilai Budaya Jawa,Religi,VolII, NO.2,


Juli-Desember 2003

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta, INIS, 1994

Mochtar, Affandi, Pesantren Masa Depan, Wacana Pemberdayaan dan


Transformasi; Pesantren Tradisi Kitab Kuning Sebuah Observasi Umum,
Bandung, Pustaka Hidayah, 1999

Munif, Abdul, Problem Penerjemahan Bahasa Arab ke Bahasa Indonesia; Suatu


Pendekatan Error Analysis, Makalah Program Diskusi Ilmiah dosen Tetap
IAIN Sunan Kalijaga, 2000

Nasution, S, Berbagai pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta,


Bumi Aksara, Cet ke-7, 2000

Nasution, S, Metode Reseach: Penelitian Ilmiah, Jakarta, Bumi Aksara, 2002

N.K, Roestiyah, Masalah Pengajaran sebagai Suatu Sistem, Jakarta, Rineka


Cipta,1994

N.K, Roestiyah, Strategi Belajar Mengajar, Jakarta, Rineka Cipta, 1991

Parera, JD., Teori Semantik, Erlangga, Jakarta, 1991

Pius A Partanto dan M. Dahlan Al barry,Kamus ilmiah populer, Surabaya,


Penerbit Arkola 1994

Pateda, Mansoer, Linguistik:Sebuah Pengantar, Bandung, Angkasa, 1990


Purwadi, Kamus Jawa-Indonesia, Jakarta, Pustaka Widyatama, 2003

Ramlan, Ilmu Bahasa Indonesia-Sintaksis, Yogyakarta, UP Karyono, 1981

Riyadi, Slamet, Tradisi Kehidupan Sastra di Kesultanan Yogyakarta, Gama


Media, Yogyakarta, 2002

Romdoni, Pedoman Membaca Arab Melayu, Intimedia, Jakarta, 2004


Sandtono, E, Pedoman Penerjemahan, Jakarta, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Depdikbud, 1985

Saudah, Ali, Makalah Penerjemahan Arab-Indonesia dan Masalahnya, Panitia


Pertemuan Ilmiah Nasional Bahasa Arab I, Malang, 1999

Surakhmad, Winarno, Metodologi Pengajaran Nasional, Jemmars, Jakarta, 1979

Taufiq dan Idris BA, Mengenal Kebudayaan Islam,PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1983

Utari, Sri, dan Subyakto Nababan, Metodologi Pengajaran Berbahasa, Jakarta,


Depdikbud, 1988

Utomo, Wahyu, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternative Masa


Depan, Jakarta,Gema Insan Press, Cet. Ke-4, 1997

Yusuf, Tayar dan Syaiful Anwar, Metodologi Pengajaran Agama dan Bahasa Arab,
Jakarta, Rajawali Press, 1994

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Serat Menak berhuruf Arab pegon…………………………………100

Lampiran II : Hikayat Bayan Budiman………………………………………….…101

Lampiran III : Daftar Naskah Tulisan Tangan Arab-Melayu………………….102

Lampiran IV : Siroj Al-Ma’rifah……………………………………………………..106

Lampiran V : Kitab Fatkhul Qorib al-Mujib………………………………………107

Lampiran VI : Salinan Catatan Milik Salah Satu Santri………………………..108

Lampiran VII : Bukti Seminar Proposal………………………………………....109


Lampiran VIII : Surat Keterangan/Ijin dari BAPEDA……………………………110

Lampiran IX : Permohonan Izin Riset Kepada kepala Madrasah Salafiyah III…111

Lampiran X : Surat Pernyataan Riset dari Madrasah Salafiyah III…………….112

Lampiran XI : Permohonan Izin riset Kepada Gubernur………………………..113

Lampiran XII : Sertifikat KKN…………………………………………………..114

Lampiran XIII : Sertifikat PPL II…………………………………………………115

Anda mungkin juga menyukai