Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH JURNALISME INVESTIGASI

“Riset Investigasi”

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mata Kuliah Jurnalisme Investigasi

Dosen Pengampu :

Dr. Abdul Rasyid, MA

Disusun Oleh Kelompok 9 :

Devi Junita Sari (0105173201)

Nadia Tri Andini (0105171031)

Tsaniatul Jannah (0105173308)

Jurusan Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

T.A 2019/2020
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Kuasa, karena
berkat rahmat dan karunianya kita bisa melakukan berbagai macam aktifitas,
terutama kepada kami selaku penulis sehingga dapat menyelesaikan tugas ini
sesuai dengan waktu yang telah diberikan.

Dan tidak lupa sholawat dan salam kepada Nabi kita Nabi Muhammad
SAW, yang telah berjuang untuk memanusiakan manusia, hal ini sangat penting
untuk kita semua sebagai umat muslim. Kami mengucapkan terima kasih banyak
kepada Dosen Pengampu yang memberikan tugas makalah ini sehingga
pengetahuan kami semakin bertambah.

Kami menyadari bahwa dalam penyusunan tugas makalah ini masih


banyak kekurangan dimata pembaca khususnya. Oleh karena itu, saran dan kritik
sangat mohon di bantu dalam penyempurnaan tugas ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua dan kepada penulis khususnya.

Penulis

Kelompok 9
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................ i

Daftar Isi ................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN....................................................................... 2

A. Teknik Inversitigatif.................................................................. 2
B. Pentingnya Riset........................................................................ 5
C. Precision Journalism................................................................. 7
D. Hipotesis Riset............................................................................ 9

BAB III PENUTUP............................................................................... 10

A. Kesimpulan................................................................................ 10

Daftar Pustaka......................................................................................... 11
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Semua orang pasti akan membutuhkan informasi untuk menjalani hidup,


Salah satu media yang dapat menyampaikan informasi yang kita butuhkan adalah
melalui kegiatan jurnalistik, baik cetak maupun elektronik. Pada setiap kegiatan
yang dilakukan oleh para jurnalis dituntut untuk mencari fakta yang terjadi, agar
masyarakat mendapatkan informasi yang akurat.

Jurnalisme investigasi adalah memberi tahu kepada masyarakat tentang


adanya pihak-pihak yang telah berbohong atau menutup-nutupi sebuah
kebohongan dari publik. Masyarakat diharap untuk menjadi waspada terhadap
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh berbagai pihak, setelah
mendapatkan bukti-bukti yang dilaporkan. Bukti-bukti itu ditemukan melalui
pencarian dari berbagai sumber dan tipe informasi, penelaahan terhadap data-data
yang signifikan dan pemahaman terhadap data-data statistik.

Pada umumnya, wartawan investigatif mendengarkan apa-apa yang


dipikirkan orang yang kebanyakan disebabkan oleh ketidakmampuan,
ketidakinginan, ketidakdapatan narasumber mereka untuk mengungkapkan
permasalahan yang hendak diselidiki. Mereka mengambil jalur liputan yang
lepas dari agenda, di luar rutinitas agenda liputan, hal ini kerap menjadi
sebuah problem tersendiri.

Ada 4 prinsif Investigastif


1. Ada tuduan (Dugaan)
2. Mengumpulkan bukti
3. Mencari saksi
4. Mengungkap pelaku
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teknik Inversitigatif

Dalam buku Get the Facts on Anyone: How You can Use Public Sources to
Check the Back ground of Any Persen or Organization, wartawan kasat mata
yang muncul dalam peristiwa-peristiwa biasa. Para pendatang baru yang
kebetulan tertangkap oleh lensa pemberitaan media, akhirnya menguatkan
persoalan bisnis senjata dengan para pebisnis berdasi dan kerap menyatakan
dirinya orang terhormat.

Dengan demikian, kerja riset disini yang terkait dengan upaya mencari
keterkaitan dua spesifikasi data informasi yang sengaja ditutup rapat, di tempat-
tempat tidak terduga. Teknik penelitian wartawan, yang terbiasa sikap skeptis
terhadap yang terjadi di sekitarnya, merujuk pada pemikiran latar belakang
informasi dari sesuatu yang tampak terjadi. Riset investigatif dalam paparan ini,
tentu saja berbeda dengan riset ilmuwan yang mempergunakan metodelogi,
hitungan sampel, statistik penelitian dan perangkat disiplin keilmuan lainnya.

Katherine Boo adalah reporter investigative pemenang Pulitzer-Prize untuk


The Washington Post : “Suatu kali, saya meriset sebuah kisah kecil yang remeh
diruang baca FBI yang kosong dan hanya berisi saya dan seorang pria, dihadapan
tumpukan kertas yang luar biasa tingginya. Saya mengenalinya sebagai Taylor
Branch, kendati sebelumnya tak pernah bertemu. Hanya melihatnya saja sudah
cukup membuat saya terpesona. Apa yang tengah dilakukannya? Apa yang
membuat (tumpukan kertas) itu berharga proses yang begitu sunyi, menyulitkan,
menelusuri puluhan ribu dokumen? Untuk apa semua itu? Ia tengah meriset
bukunya Parting The Waters, suatu penghiasan yang indah mengenai gerakan hak-
hak sipil. Hanya melihatnya di sana, diruang baca, menimbulkan kesan yang besar
pada saya.
Selama 20 tahun terakhir, media telah meningkatkan penggunaan survei
untuk mengumpulkan informasi bagi kisah-kisah mereka. Media menyadarkan
lebih banyak lagi keperluan informasinya pada komputer elektronik untuk merakit
dan menganalisis informasi yang kompleks dalam jumlah besar. Sudah
semestinya reporter memiliki pengetahuan kerja menyangkut bagaimana
menyelenggarakan survei, menurut Itule-Ander-Son,1 menginterpretasi hasil
reportase dan menuliskannya kembali.
Ketika seorang reporter hendak menurunkan laporan tentang, misalnya,
sebuah rumah sakit, ia mesti meyakini kepastian informasinya. Ia harus
memastikan bahwa kasus atau skandal, yang diungkapkannya memiliki kekuatan
fakta, khususnya ketika yang diungkapkannya tertuju kepada pelanggaran yang
dilakukan sebuah lembaga berikut orang-orang yang bekerja disana. Pengecekan
berkali-kali sangatlah penting. Wartawan investigasi sangatlah berkaitan dengan
deskripsi sosok-sosok yang memiliki ketekunan menggali informasi, dan
pengecekkan berkali-kali.
Pada sisi investigatif, keberadaan kerja wartawannya tetap mendimensikan
proses reportase biasa dilakukan menulis berdasarkan fakta-fakta yang terkumpul
pada berbagai undangan event berita lalu mensintesakannya ke dalam pengisahan
berita yang menarik. Dengan kata lain, berbagai kisah yang sudah menunggunya
dilapangan, mereka hanya perlu meninggalkan ruang redaksi dan menangkap
angel-nya. Tapi ciri khusus yang dimiliki wartawan investigatif ada di daya
“penciuman dan penangkapan” (smelling a story) sebuah kisah yang mengandung
kasus atau skandal atau kejahatan. Smelling a story ialah memadukan berbagai
emosi, intuisi, pengalaman masa lalu dan reaksi yang mendalam, yang akan
memberi petunjuk ke dalam riset dan penulisan kisah berita. Semua tabula rasa itu
mempengaruhi pengumpulan fakta-fakta, dan menjadi dasar dari apa yang akan
ditulis.

Karakteristik wancana investigatif

- Subjek Investigasi
Jurnalisme investigatif memerlukan disiarkan merupakan informasi
yang telah menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar (an swering
basic questions). Berbagai informasi tersebut disebut materi
keterangan dari sumber sekunder. Bagi jurnalisme investigatif, bila

1
Bruce. D. Itule dan Douglas. A.Anderson, 1994, News Writing and Reporting for
Today’s Media, third edition, New York : McGrawHill, Inc., “Human Sources : Surveys”, hlm.
251
bahan keterangan tersebut telah layak periksa (indepen dently verified),
dapat menjadi petunjuk (sign post).

Pikiran Dokumentatif
Sumber informasi sekunder kerap menjadi penunjuk kepada
pencarian dokumen-dokumen utama (primary documents). Transkrip-
transkrip "dengar pendapat" legislatif dapat menjadi pri mary document,
seperti persetujuan mengenai pembangunan perumahan, laporan
keuangan kandidat kampanye politik, perkara hukum, kebijakan
asuransi, perubahan keputusan militer. Tetapi, berbagai dokumen
tersebut dapat berubah. "Seperti orang bisa berbohong," kata Weinberg.
Disebabkan oleh beberapa lama, dokumen tersebut kemungkinan diubah
oleh berbagai pihak yang berkepentingan. Dan tidak ada pihak yang
dapat menunjukkan adanya perubahan tersebut.
Primary documents merupakan rujukan wartawan dalam
melaksanakan banyak investigasi. "Documents state of mind," kata
Steele dan Barlett, adalah wacana jurnalisme investigatifvyang harus
diketahui tiap wartawan investigator. lstilah ini mengasumsikan
adanya catatan-catatan di suatu tempat yang bisa menjadi pembuka
rahasia, dan semua itu menjadi cara wartawan investigatif untuk
bergerak, menganalisis, dan membuktikan dugaan dugaannya.

Ada beberapa tahapan dalam jurnalisme investigasi sebagai berikut:

Tahap pertama :Melakukan riset. Seperti mendefinisikan isu, pencarian


acuan literatur teori, penggerakan rancangan liputan, penelusuran, pengolahan dan
pembahasan.

Tahap kedua : Tahap kerja penulisan dari berbagai informasi hasil liputan
sebelumnya di format masuk ke dalam wacana pelaporan. Pelaporan jurnalistik
merupakan kerja penyampaian pesan yang memakai kaidah penulisan berita.
Menekankan pelaporan yang mengandung nilai kelengkapan pemberian atribut
narasumber keseimbangan melaporkan pihak yang berkonflik, keobjektifan,
kejelasan, keringkasan, dan kesederhana penyajian berita.

B. Pentingnya Riset
“Akar dari setiap investigasi ialah informasi,” menurut Carole Fleming,2 dan
pekerjaan dari setiap wartawan investigatif ialah mendapatkan informasi,
mengevaluasi dan menganalisisnya, dan mengkomunikasikannya dengan cara
memberitahukan, dan membangkitkannya, ke sebanyak orang.” Maka itulah,
muncul persoalan pencarian ketepatan jenis informasi, dari sejumlah besar sumber
dan media, seperti bentukan traditional print, broadcasting, internet dan pelayanan
data elektronis.
Selain itu, ialah upaya menyusun kembali informasi yang tidak netral, yang
membawa muatan ideologis. Hal ini, menurut Fleming, dengan memakai pikiran
Stuart Hall (1982) yang menyatakan, bahwa dikarenakan sebuah pemahaman itu
tidak diberi tapi dibuat, not given but produced, maka berbagai perbedaan tafsir
dapat diberikan kepada sejumlah kejadian. Disinilah kekuatan media massa
menjadi pilar dari penyebaran informasi yang telah diolah, berdasarkan pengaruh
ideologikal tertentu, melalui struktur sosial modern.
Para wartawan mengambil informasi dari berbagai sumber kerap untuk
kebutuhan sebuah interpretasi-kejadian. Upaya mempersentasikannya ke dalam
konteks yang telah mendapat legitimasi dan kredibilitas untuk
menginterpretasikannya, untuk memarginalisasikannya atau mendelegitimasikan
sebuah alternatif konstruksi. Dengan kata lain, pekerjaan jurnalis ialah penyeleksi
informasi ke dalam angle yang diinginkannya dan dikembangkannya ke berbagai
bentukan.
Maka itulah, di dalam proses kerja investigative reporting dipakai beberapa
langakah dan penekanan yang dapat membedakannya dengan peliputan reguler.
Secara umum ada beberapa teknik yang biasanya dipakai seorang investigator,
yakni :

2
Carole Fleming, dalam Hugo De Burgh (ed),2000, Investigative Journalism : Context
and Practice, London : Routledge, hlm. 176-177.
 Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang untuk
membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis;
 Paper trail (pencarian jejak dokumen) yang berupa upaya pelacakan
dokumen, publik maupun pribadi, untuk mencari kebenaran-kebenaran
untuk mendukung hipotesis;
 Wawancara yang mendalam dengan pihak-pihak yang terkait investigasi,
baik para pemain langsung maupun mereka yang memberikan background
terhadap topik investigasi;
 Pemakaian metode penyelidikan polisi dan peralatan anti kriminalitas.
Metode ini termasuk melakukan penyamaran. Sedangkan alat-alat bisa
termasuk kamera tersembunyi atau alat-alat komunikasi elektronik untuk
merekam pembicaraan pihak-pihak yang dianggap tahu persoalan tersebut.
Ini memamng mirip kerja detektif.
 Pembokaran informasi yang tidak diketahui publik maupun informasi yang
sengaja disembunyikan oleh pihak-pihak yang melakukan atau terlibat
kejahatan.

Melakukan Riset secara seksama adalah penting karena:


 Memperkenalkan reporter ke dalam bahasa topik yang kompleks. Hal ini
berarti mengharuskan reporter untuk mempersiapkan diri dengan meminta
nasihat kepada para ahli/pakar dibidang tertentu. Meminta mereka
menjelaskan berbagai hal yang menyangkut pengertian terhadap dasar
permasalahan, serta berbagai prosedur teknis yang terkait dengan
permasalahan yang tengah diinvestigasi.
 Memperkenalkan reporter pada orang-orang yang telah menjadi sumber
berita, mengenai kisah-kisah yang sama pada masa lalu. “Biasanya, jika
mereka sebelumnya pernah berbicara pada seorang reporter, mereka akan
melakukannya lagi,” nilai Itule-Anderson.
 Membantu reporter untuk menyusun daftar pertanyaan. Para reporter
menjadi mengenali berbagai subjek yang hendak diinvestigasi. Dengan
memahaminya, mereka pun tidak akan kesulitan untuk mempersiapkan
pertanyaan-pertanyaan apa yang harus dikemukakan untuk mendapat
jawaban yang diinginkan.
 Mendapatkan berbagai bahan artikel lain, yang memiliki kesamaan topik.
 Memberi petunjuk tentang the good things and bad things, sesuatu yang
baik dan buruk, selama wawancara. Temuan yang mendadak hadir, ketika
melakukan wawancara ini, tidak akan didapat jika tidak melalui proses
studi terhadap berbagai catatan dan dokumen yang telah diteliti, dan
ditemukan asumsi-asumsi hipotetifnya. Wawancara, pada tingkat tertentu,
sering hanya menjadi bagian dari konfirmasi terhadap berbagai fakta yang
telah ditemukan selama melakukan penelusuran dokumentatif.

C. Precision Journalism
Gambaran kerja keilmuan yang dipakai jurnalisme itu memiliki dimensi
historis, dan aplikatif. Kedua dimensi itu dapat ditelusuri melalui langkah-langkah
survei di dalam terminologi Jurnalisme Presisi (Precision Journalism). Proses
kerja Jurnalisme Presisi banyak dipakai di dalam kegiatan riset jurnalisme, dari
pertimbangan apa saja yang mesti diperhatikan di dalam mengerjakan sebuah
survei, bagaimana memformulasi pertanyaan yang harus disusun, sampai
bagaimanakah mendekati publik bila hendak diposisikan sebagai sampel.
Semua ini telah diuraikan Philip Meyer, pada tahun 1973, ketika
menerbitkan tulisan Precision Journalism : A reporter’s Introduction to Social
Science Methods. Melalui tulisannya, ia mengingatkan jurnalisme tentang
penggunaan metode-metode ilmu pengetahuan sosial, seperti prosedur pemilihan
sampel, dan penganalisisannya, sebagai alat untuk memvaliditaskan akumulasi
fakta-fakta agar mendekati ketepatan dan keakuratan objektivitas pemberitaan.
Jurnalisme sendiri, menurut Mayer, merupakan sebuah ilmu sosial yang selalu
dipenuhi oleh perubahan dan perkembangan.
Para wartawan dan editor diajak memakai pendekatan keilmuan di dalam
menjarig dan mengoleksi informasi fakta berita mereka. Teknik keilmuan untuk
menemukan fakta-fakta, menelusuri pemahaman yang diperlukan ketika
mengamati suatu gejala, dalam ketergesa-gesaan tuntutan waktu terbit dan
aktualitas berita. Selain itu, adalah upaya menekankan pentingnya “angka-angka”
untuk mengukur san mengevaluasi arah opini publik yang hendak dilaporkan
wartawan. Jurnalisme diberi jalan untuk memakai metodelogi kuantitatif, di dalam
kerja peliputan para wartawan.
Dalam amatan Fred Fedler, seorang komunikolog yang mencatat fenomena
Precision Journalism berdasar gejala perkembangan New Journalism di Amerika,
pada paruh tahun 1970-an menjelaskan bahwa precision journalism adalah
kegiatan jurnalistik yang menekankan ketepatan memaknakan informasi, yakni
sebuah pola kerja pencarian data yang tertuju pada target membentuk ukuran
ketepatan informasi empirik. Pola kegiatan jurnalisme mencari data yang
memakai nilai kredibilitas akademis ketika hendak diinterpretasi masyarakat di
dalam menilai sebuah peristiwa kemasyarakatan.
Peliputan Precision, karena itu mempergunakan rancangan penelitian
sistematis dan terencana. Rancangan sistematika peliputannya antara lain
menggunakan metode penelitian seperti perumusan masalah, penetapan tujuan,
identifikasi hipotesis, pengumpulan dan pengolahan serta penginterpratasian
data;walau tidak sekonsisten riset kaum akademisi.
Waktu kerja jurnalisme yang pendek mengharuskan hasil liputan secepatnya
ditulis. Kemampuan jurnalis yang bukan peneliti an sich menjadikan kerja
penelitian (liputan) mereka tidak sekonsiten peneliti universitas. Dalam beberapa
kerja liputan, penelitian jurnalis Precision kerap dilaksanakan dengan hanya
mengambil beberapa langkah peneliti akademis diharuskan konsisten dengan
langkah kerja metodelogi penelitian yang dipilih. Namun, dengan tetap memakai
patokan nilai prinsip keilmuan, jurnalis presisi mencoba menghindari biasa hasil
kerja liputan yang terlalu tinggi. Pada akhirnya, kemampuan jurnalis meneliti
data-fakta yang terkumpul serta menganalis dam menginterpretasikannya,
ditambah menyampaikannya ke dalam wacana pesan jurnalistik, adalah nilai
sesungguhnya dari kerja Jurnalisme Presisi.3

D. Hipotesis Riset
3
Septiawan Santana H. Jurnalisme Investigasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia 2003,
hlm.197
Bantuan bagaimana yang dibutuhkan, dan bagaiamana
mengaktualisasikannya? Siapa menang dan siapa kalah? Mengapa? Bagaiamana?
Beberapa pertanyaan ini yang mendasari pengembangan kerja jurnalisme
investigative.

Hipotesis tentatif yang dilakukan di dalam kerja investigasi berbeda dengan


ketertutupan pikiran. “Wartawan investigator yang baik”, menurut
Weinberg,”memperhatikan dengan penuh perhatian dengan keterangan-
keterangan fakta kontradiksi yang akan membantunya.

Sumber Sekunder

Informasi yang telah dipublikasikan

- catatan kelahiran dari rumah sakit, berikut kemungkinan adanya


pemalsuan akte kelahiran.
- laporan tahunan akademik ketika bersekolah dari SD sampai SLTA.
- catatan asuransi mobil yang dilacak. melalui pemilikan SIM (surat
ijin mengemudi) -bila di Arnorika.
- catatan beasiswa yang didapat ketika di kampus,
riwayat hidup dan referensi kerja yang telah dimilikinya,
belanjaan kartu kreditnya, lembaran buku eek
(keuangannya), penggunaan asuransi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
“Akar dari setiap investigasi ialah informasi,” dan pekerjaan dari setiap
wartawan investigatif ialah mendapatkan informasi, mengevaluasi dan
menganalisisnya, dan mengkomunikasikannya dengan cara memberitahukan, dan
membangkitkannya, ke sebanyak orang.” Maka itulah, muncul persoalan
pencarian ketepatan jenis informasi, dari sejumlah besar sumber dan media,
seperti bentukan traditional print, broadcasting, internet dan pelayanan data
elektronis.
Kerja Riset terkait dengan upaya mencari keterkaitan dua spesifikasi data
informasi yang sengaja ditutup rapat, di tempat-tempat tidak terduga. Teknik
penelitian wartawan, yang terbiasa sikap skeptis terhadap yang terjadi di
sekitarnya, merujuk pada pemikiran latar belakang informasi dari sesuatu yang
tampak terjadi. Riset investigatif dalam paparan ini, tentu saja berbeda dengan
riset ilmuwan yang mempergunakan metodelogi, hitungan sampel, statistik
penelitian dan perangkat disiplin keilmuan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Bruce. D. Itule dan Douglas. A.Anderson, 1994, News Writing and Reporting for
Today’s Media, third edition, New York : McGrawHill, Inc., “Human
Sources : Surveys”

Carole Fleming, dalam Hugo De Burgh (ed),2000, Investigative Journalism :


Context and Practice, London : Routledge

Santana, Septiawan.Jurnalisme Investigasi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia


2003

Anda mungkin juga menyukai