Anda di halaman 1dari 56

HUBUNGAN PENGETAHUAN, PMO DAN DUKUNGAN

KELUARGA DENGAN KEPATUHAN TERAPI PASIEN TB


PARU DI WILAYAH KERJA UPT PUSKESMAS BRINGIN
KABUPATEN NGAWI

PROPOSAL SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Keperawatan (S1)
Oleh

ISTIQOMAH
NIM: 132021030300

PEMBIMBING
1. Indanah, M. Kep., Ns., Sp. Kep. An
2. Ns. Sri Siska Mardiana. M. Kep

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH KUDUS
2022
HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul “HUBUNGAN PENGETAHUAN, PMO DAN DUKUNGAN


KELUARGA DENGAN KEPATUHAN TERAPI PASIEN TB PARU DI WILAYAH
KERJA UPT PUSKESMAS BRINGIN KABUPATEN NGAWI” ini telah disetujui
dan diperiksa oleh Pembimbing skripsi untuk dipertahankan dihadapan Tim
Penguji Skripsi Jurusan S1 Keperawatan Universitas Muhammadiyah Kudus,
pada:
Hari :
Tanggal :
Nama : Istiqomah
NIM : 132021030300

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Indanah, M. Kep., Ns., Sp. Kep. An Ns. Sri Siska Mardiana. M. Kep
NIDN : 0022037501 NIDN : 0607078701

Mengetahui
Universitas Muhammadiyah Kudus
Rektor

Rusnoto, SKM., M.Kes.(Epid)


NIDN : 0621087401
HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi dengan judul “HUBUNGAN PENGETAHUAN, PMO DAN DUKUNGAN


KELUARGA DENGAN KEPATUHAN TERAPI PASIEN TB PARU DI WILAYAH
KERJA UPT PUSKESMAS BRINGIN KABUPATEN NGAWI” ini telah diuji dan
disahkan oleh Tim Penguji skripsi Jurusan S1 Keperawatan Universitas
Muhammadiyah Kudus, pada:
Hari :
Tanggal :
Nama : Istiqomah
NIM : 132021030300

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

Indanah, M. Kep., Ns., Sp. Kep. An Ns. Sri Siska Mardiana. M. Kep
NIDN : 0022037501 NIDN : 0607078701

Mengetahui
Universitas Muhammadiyah Kudus
Rektor

Rusnoto, SKM., M.Kes.(Epid)


NIDN : 0621087401
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara dengan pasien TBC terbanyak ke-5 di
dunia setelah India, Cina, Afrika selatan dan Nigeria. Jumlah pasien TB di
Indonesia sekitar 5,8% dari total jumlah pasien TBC di dunia. Jumlah ini
akan terus bertambah mengingat setiap orang yang terinfeksi TBC akan
menularkan 10-15 orang setiap tahunnya bahkan dinyatakan setiap detik
menyebabkan terjadinya infeksi. World Health Organization (WHO) pada
tahun 2017, jumlah kasus TBC terbanyak berada pada wilayah Afrika
(37%), wilayah Asia Tenggara (28%), dan wilayah Mediterania Timur.
(17%) (WHO, 2017).
Pada tahun 2020 angka penemuan dan pengobatan semua kasus
TBC di Jawa Timur menempati urutan kedelapan di Indonesia sebanyak
42.922 kasus (Dinkes, 2020). Di kabupaten Ngawi prevalensi angka
kejadian TB adalah sebanyak 2.935 kasus dengan BTA + (Dinkes, 2020).
Penyakit TB di wilayah kerja Puskesmas Bringin pada tahun 2020
sebanyak 289 pasien. Pada tahun 2021 sebanyak 266 pasien terhitung
mulai Januari sampai dengan Desember.
Berdasarkan hasil survei pada tahun 2021 terdapat 63 kasus TB di
wliayah puskesmas Bringin yang telah mengikuti program penanggulangan
dan pengobatan yang ditetepakan Dinas Kesehaatan Kabupaten Ngawi
meliputi program edukasi yaitu pasien TB mendapatkan penyuluhan dari
petugas mengenai program pengobatan TB pada saat pasien mengambil
obat. Program selanjutnya program nutrisi untuk pasien TB yaitu program
perbaikan status nutrisi pasien untuk membantu proses penyembuhan
pasien TB. Berikutnya program PMO (pengawas minum obat), pasien
dengan TB mendapatkan pengawasan dalam minum obat oleh PMO yang
sebelumnya sudah diberikan edukasi oleh petugas. Berdasakan hasil
wawancara dengan beberapa pasien TB, pasien selalu patuh dan rutin
dalam minum obat namun terkadang masih harus diingatkan oleh PMO.
Namun ada juga pasien yang tidak rutin dalam minum obat dikarenakan
kurangnya motivasi pasien dalam pengambilan obat apabila pasien tidak
bertemu dengan pihak puskesmas.
Angka keberhasilan pengobatan TB secara nasional adalah sebesar
90% pada tahun 2020. Angka keberhasilan TB di provinsi Jawa timur pada
tahun 2019 adalah sebesar 88,9 % (Kemenkes, 2020). Sedangkan untuk
kabupaten Ngawi memiliki tingkat keberhasilan pengobatan TB sebesar
92.54 % pada tahun 2020 (Dinkes, 2020). Hal ini menjadi tantangan bagi
kita sebagai tenaga kesehatan untuk dapat menuntaskan masalah TB di
Indonesia hingga mencapai target 100%. Untuk menuntaskan masalah
tersebut perlu dilakukan tindakan eliminasi TB dengan melakukan program
penanggulangan TB Nasional yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Keberhasilan suatu pengobatan pada TB adalah ditunjang dari
kepatuhan dalam minum obat anti tuberkulosis dengan dosis yang telah
ditetapkan. Pasien yang dirawat berulangkali di rumah sakit disebabkan
ketidakpatuhan dalam mengonsumsi obat anti tuberkulosis (OAT) secara
teratur (Manalu, 2010). Hal ini tentu akan memberikan dampak drop out,
yaitu salah satu penyebab terjadinya kegagalan dalam pengobatan dan hal
ini sangat berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya resistensi obat
atau yang kita sebut sebagai Multi Drugs Resistant (MDR) TB. Apabila
terjadi resistensi terhadap obat maka biaya yang dikeluarkan untuk
pengobatan akan lebih banyak dan juga waktu yang diperlukan untuk
kesembuhan akan lebih lama (Himawan, Hadisaputro, & Suprihati, 2019).
Hal-hal yang mempengaruhi ketidakpatuhan pasien TB dalam
minum obat adalah meliputi: pendidikan, pengetahuan dan pendapatan
(Erawatyningsih, Purwanta, & Subekti, 2019). Kurangnya pengetahuan
tentang TB menjadi faktor resiko dan juga variabel yang paling dominan
terjadinya drop out pengobatan (Himawan et al., 2017). Selain hal tersebut,
motivasi atau dukungn dari keluarga (PMO) juga merupakan salah satu
kunci keberhasilan dalam penatalaksaan pengobatan TB, semakin tinggi
motivasi maka akan semakin patuh dalam melaksanakan program
pengobatan TB dengan cara rutin meminum obat anti tuberkulosis.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting dalam
membentuk tindakan seseorang (overt behavior). Pengetahuan akan
membentuk kepercayaan yang selanjutnya akan memberikan perspektif
pada manusia dalam mempersepsikan kenyataan, memberikan dasar bagi
pengambilan keputusan terhadap objek tertentu. Pengetahuan
berhubungan dengan jumlah informasi yang dimiliki seseorang, Semakin
banyak informasi yang dimiliki oleh seseorang semakin tinggi pula
pengetahuan yang dimiliki seseorang (Notoatmodjo, 2012). Begitupun
sebaliknya, keterbatasan informasi yang dimiliki seseorang maka akan
memberikan dampak yang signifikan pada tingkat motivasi dan kepatuhan
seseorang.
Perawat memiliki peranan yang cukup penting dalam tugasnya dalam
penatalaksaan dan juga pengelolaan pasien TB sebagai edukator, konselor
dan fasilitator dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien TB.
Sebagai edukator, perawat memiliki tugas untuk meningkatkan
pengetahuan pasien TB mengenai penyebab, gejala dan juga program
pengobatan yang harus dilakukan dan juga menjelaskan mengenai tujuan
alasan mengapa pengobatan tersebut harus dilaksanakan secara teratur.
Tujuan dari peran perawat sebagai edukator di sisi lain juga untuk
mengubah perilaku dari klien agar dapat menjalankan pengobatan secara
teratur sehingga akan meningkatan kesehatan klien dan mempercepat
penyembuhan klien dari TB (Kemenkes, 2012). Selain itu upaya untuk
mengantisipasi ketidakpatuhan dalam minum obat adalah dengan
meningkatkan motivasi klien, untuk meningkatkan motivasi klien perlu
dilakukan penyampaian informasi seakurat mungkin dengan cara
melakukan komunikasi secara terapeutik oleh perawat dan juga
memberikan penjelasan bahwa penyakit TB dapat disembuhkan dengan
pengobatan yang rutin sesuai program tanpa putus (pedoman tata laksana
pengobatan TB, 2020).
Namun hubungan tingkat pengetahuan dan motivasi dengan
kepatuhan minum obat anti tuberkulosis perlu diteliti lebih lanjut, maka dari
itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitan mengenai “Hubungan
pengetahuan, PMO dan dukungan keluarga dengan kepatuhan terapi
pasien TB paru “.

B. Rumusan Masalah
Apakah pengetahuan, PMO dan dukungan keluarga berhubungan dengan
kepatuhan terapi pasien TB Paru di Puskesmas Bringi kabupaten Ngawi ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Menganalisis hubungan pengetahuan dan motivasi dengan kepatuhan
minum obat anti tuberkulosis pada pasien TB.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan kepatuhan terapi
pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Bringin kabupaten
Ngawi.
b. Mengetahui hubungan PMO dengan kepatuhan terapi pasien TB
Paru di wilayah kerja Puskesmas Bringin kabupaten Ngawi.
c. Mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan kepatuhan
terapi pasien TB Paru di wilayah kerja Puskesmas Bringin
kabupaten Ngawi.
d. Mengetahui tingkat kepatuhan pasien dalam therapi TB Paru di
wilayah kerja Puskesmas Bringin kabupaten Ngawi.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi:
1. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian diharapkan memperkaya literatur ilmu keperawatan
dan mampu dijadikan referensi penelitian selanjutnya tentang kasus
TB paru.
2. Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat
untuk menambah ilmu pengetahuan tentang penyakit,cara penularan
dan pengobatan penyakit TB paru.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Peneliti dapat menambah ilmu pengetahuan dan dapat menjadi sarana
untuk belajar berfikir kritis dan mengaplikasikan ilmu yang didapat dari
perkuliahan. Manfaat bagi peneliti selanjutnya adalah menambah
wawasan terkait pengetahuan, PMO dan dukungan keluarga dengan
kepatuhan terapi pasien TB paru serta menjadi referensi untuk
penelitian selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian
Metode
Judul Artikel;
No (Desain, Sampel, Variabel, Hasil Penelitian
Penulis; Tahun
Instrumen, Analisis)
1. Hubungan Motivasi Desain: Adanya hubungan yang
Pasien TB dengan Desain Non Eksperimendengan bermakna antara motivasi
Kepatuhan dalam studi korelasional dengan kepatuhan dalam
Mengikuti Program mengikuti program
Pengobatan Sampel: pengobatan sistem DOTS
Sistem Dots Di 58 responden, pusposive
Wilayah Puskesmas sampling
Genuk Semarang
(Prasetya, 2019). Variabel:
Motivasi
(variabel bebas) dengan
kepatuhan minum obat (variabel
terikat)

Instrumen:
Kuesioner, catatan medik

Analisis:
Chi-square
2. Faktor-Faktor yang Desain: - Pendidikan, pengetahuan,
Mempengaruhi Survei analitik. dengan dan pendapatan keluarga
Ketidakpatuhan menggunakan kasus berpengaruh negatif yang
Berobat pada pembanding (case control signifikan terhadap
Penderita study). ketidakpatuhan berobat pada
Tuberkulosis Paru penderita TB
(Erawatyningsih et Sampel: - Lama sakit dan efek samping
al., 2019). Total sampling obat berpengaruh positif
yang signifikan terhadap
Instrumen: Lembar ketidakpatuhan berobat pada
registrasi, Kuisioner penderita TB

Analisis:
Chi-square
3. Hubungan Desain: Pengetahuan responden yang
Pengetahuan Pasien Analitik korelasi dengan baik mempengaruhi kepatuhan
Tuberculosis Paru pendekatan cross sectional. pasien untuk makan obat OAT
dengan Kepatuhan secara teratur sesuai dengan
Pasien dalam Sampel: yang sudah dijadwalkan.
Konsumsi Obat Simple Random Sampling
yang diambil sebanyak 40
(Purwanto, 2019). responden

Variabel:
Variabel independen
tubercolusis paru.
Variabel Dependen
kepatuhan pasien dalam
mengkonsumsi obat.

Instrumen:
lembar kuesioner dan
lembar observasi

Analisis:
pearson korelasi
4. Hubungan Desain: Angka kepatuhan berobat jalan
Pengetahuan dan Jenis penelitian observasinal pasien TB di RSUD sebesar
Sikap dengan dengan pendekatan cross 72,7%. Hubungan antara
Kepatuhan Berobat sectional kelompok umur, jenis kelamin,
pada Pasien TB pendidikan, pekerjaan dan
yang Rawat Jalan Sampel: pengetahuan pasien tentang TB
di Jakarta Tahun Jumlah sampel penelitian tidak bermakna. Hubungan
2014 (Sari, sejumlah 33 responden. antara pengetahuan, sikap dan
Mubasyiroh, & kepatuhan berobat jalan pasien
Supardi, 2019). Teknik pengambilan sampel juga tidak bermakna.
menggunakan accidental
sampling.

Variabel:
Variabel terikat kepatuhan
pasien dalam berobat.
Variabel bebas adalah
pengetahuan, sikap, usia, jenis
kelamin, pendidikan,
pekerjaan serta kepemilikan
asuransi.

Instrumen:
Kuesioner

Analisis:
Chi-square
5. Patient Adherence Desain: - Motivasi dan kemauan
to Tuberculosis Metode meta-etnografi dari pasien, dan pengaruh
Treatment: Noblit dan Hare untuk insentif terhadap
A Systematic mensintesis temuan, pengobatan
Review of menggunakan terjemahan - Faktor pribadi dan sosial,
Qualitative timbal balik dan sintesis baris- termasuk kemiskinan
Research (Munro of-argumen dan marginalisasi sosial
et al., 20017). mempengaruhi
Sampel: kepatuhan dalam
7.814 kutipan dan memilih 44 pengobatan
artikel yang memenuhi kriteria - Pengetahuan pasien, sikap,
inklusi yang ditentukan dan keyakinan tentang
penyakit TB, pengobatan
Instrumen: TB, dan pasien interpretasi
Pedoman Wawancara penyakit menjadi faktor yang
mempengaruhi kepatuhan.
Analisis:
Penyajian data
6. The social Desain: - Tingkat pendidikan
determinants of Jenis penelitian observasinal mempengaruhi tingkat
knowledge and dengan pendekatan cross pengetahuan tuberkulosis.
perception on sectional Semakin tinggi Tingkat
pulmonary pendidikan, semakin rendah
tuberculosis among Sampel: risiko kekurangan
females in Jakarta, 2.323 sampel secara acak pengetahuan.
Indonesia (Fuady, - Usia, tingkat pendidikan dan
Pakasi, & Mansyur, Instrumen: memiliki asuransi kesehatan
2017) Kuesioner menentukan tingkat
pengetahuan, sedangkan
Analisis: persepsi mengenai
Chi Square tuberkulosis lebih banyak
dipengaruhi oleh tingkat
pendidikan dan pendapatan
keluarga
7. Socio-demographic Desain: - Pengetahuan tentang
determinants and Jenis penelitian cross- penyebab TB (26,7%);
prevalence of sectional survey gejala (46,8%), transmisi
Tuberculosis (54,3%),
knowledge in three Sampel: pencegahan (34%) dan
slum populations of 1.361 responden dewasa pengobatan gratis (35%).
Uganda (Obuku et al., dengan total sampling Pengetahuan tentang
2017). pengobatan TB (69,4) dan
Instrumen: penyembuhan (85,1) relatif
Kuesioner tinggi. Independen
- Faktor penentu pengetahuan
Analisis: TB yang buruk dalam
Descriptive statistics analisis multivariat
mencakup (aOR, 95% CI)
kurangnya pendidikan formal
(0,56; 0,38 -0,83, P = 0,004),
pengangguran (0,67; 0,49-
0,90, P = 0,010) dan tidak
pernah menguji HIV (0,69;
0,51-0,92,P<0,012).
Sementara, usia yang
lebih tua (1,73; 1,30-2,29,
P
<0,001) dan berada di Lira
(2,02; 1,50-2,72, P <0,001)
adalah determinan
independen pengetahuan
TB yang lebih tinggi.
8. Faktor-Faktor Yang Desain: - Tidak terdapat hubungan
Berhubungan Penelitian observasional yang bermakna antara umur
dengan Keteraturan analitik dengan desain yang dengan keteraturan minum
Minum Obat digunakan yaitu cross obat penderita tuberkulosis
Penderita sectional study. paru di Puskesmas
Tuberkulosis Paru Di Modayag Bolaang
Wilayah Kerja Sampel: Mongondow Timur.
Puskesmas Total sampling, 41 - Terdapat hubungan yang
Modayag, responden. bermakna antara jenis
Kabupaten Bolaang kelamin dengan keteraturan
Mongondow Timur Instrumen minum obat penderita
(Wayan & Rattu, Kuesioner, lembar tuberkulosis paru di
2018) observasi. Puskesmas Modayag
Bolaang Mongondow Timur.
Analisis: - Tidak terdapat hubungan
Chi-square yang bermakna antara
pekerjaan dengan
keteraturan minum obat
penderita tuberkulosis paru
di Puskesmas Modayag
Bolaang Mongondow Timur.
- Terdapat hubungan yang
bermakna antara
pengetahuan dengan
keteraturan minum obat
penderita TB Paru di
Puskesmas Modyang
Bolaang Mongodow Timur.
- Terdapat hubungan yang
bermakna antara sikap
dengan keteraturan minum
obat penderita tuberkulosis
paru di Puskesmas
Modayag Bolaang
Mongondow Timur.
- Tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara PMO
dengan keteraturan minum
obat penderita tuberkulosis
paru di Puskesmas
Modayag Bolaang
Mongondow Timur.
- Jenis kelamin, pengetahuan,
dan sikap berpengaruh
signifikan terhadap
keteraturan minum obat
penderita tuberkulosis paru
di Puskesmas Modayag
Bolaang Mongondow Timur.
Pengetahuan merupakan
variabel yang paling
dominan mempengaruhi
keteraturan minum obat
penderita tuberkulosis paru
di Puskesmas Modayag
Bolaang Mongondow Timur.
9. Hubungan Tingkat Desain: - Tingkat Pengetahuan pasien
Pengetahuan Penelitian kuantitatif dengan tuberculosis di Puskesmas
Tentang metode korelasi. Banyuanyar Surakarta dalam
Tuberkulosis Dengan minum OAT mayoritas baik.
Kepatuhan Minum Sampel: - Tingkat kepatuhan pasien
Obat Di Puskesmas Teknik sampling accidental tuberculosis di
(Fitria & Mutia, 2019) sampling dengan jumlah Puskesmas Banyuanyar
responden 20 Surakarta dalam minum
OAT mayoritas cukup.
Instrumen: - Ada hubungan yang
Kuesioner bermakna antara tingkat
pengetahuan tentang
Analisis: Tuberkulosis dengan
Spearman rank test kepatuhan minum obat di
Puskesmas Banyuanyar
Surakarta, dengan
probabilitas spearman-
rank 0,021.

F. Ruang Lingkup
1. Ruang lingkup waktu
Waktu penelitian dimulai dari perencanaan dan penelitian akan
dilaksanakn pada bulan Februari sampai bulan April 2022.
2. Ruang lingkup tempat
Penelitian ini dilakukan pada pasien penderita TB Paru di Puskesmas
Bringin Kabupaten Ngawi. Pemilihan tempat penelitian berdasarkan
pada domisili peneliti serta banyaknya pasien TB di lingkup puskesmas
Bringin Kabupaten Ngawi
3. Ruang lingkup materi
Materi penelitian disesuaikan dengan judul yaitu Hubungan
Pengetahuan, PMO dan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan
Terapi Pasien TB Paru Di Puskesmas Bringin Kabupaten Ngawi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori
1. Konsep Tuberkulosis
a. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular secara langsung yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis, yaitu kuman aerob
yang dapat hidup terutama di paru atau diberbagi organ tubuh yang
lainnya yang mempunyai tekanan parsial oksigen yang tinggi.
Kuman ini mempunyai kandungan lemak yang tinggi membran
selnya, sehingga menyebabkan bakteri ini menjadi tahan terhadap
asam dan pertumbuhan dan kumannyya berlangsung secara lambat
(Tabrani, 2012).
Tuberkulosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh
berbagai strain mikobakteria, umumnya Mycobacterium
tuberculosis. Tuberkulosis biasanya menyerang paru-paru, namun
juga bisa berdampak pada bagian tubuh lainnya. Tuberkulosis
menyebar melulai udara ketika seseorang dengan infeksi TB aktif
batuk, bersin atau menyabarkan butiran ludah mereka melalui
udara. Namun hanya satu dari sepuluh kasus infeksi laten yang
berkembang menjadi penyakit aktif (Andareto, 2015).
b. Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis.
Bakteri tersebut mempunyai ukuran panjang 0,5 – 4 mikron dan
tebal 0,3 – 0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak
bengkok, bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi
mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam
mikolat) dan digolongkan dalam basil tahan asam (BTA) (Widoyono,
2012).
Ada dua macam mikobakteria tuberkulosis yaitu tipe human
dan tipe bovin. Basil tipe bovin berada dalam susu sapi yang
menderita mastitis tuberkulosis usus. Basil tipe human bisa berada
di bercak ludah (droplet) di udara yang berasal dari penderita
tuberkulosis dan orang yang rentan terinfeksi tuberkulosis bila
menghirup bercak ini.
Bakteri tuberkulosis ini mati pada pemanasan 100°C selama
5-10 menit atau pada pemanasan 60°C selama 30 menit, dan
dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan
selama 1-2 jam di udara terutama di tempat yang lembab dan gelap
(bisa berbulan-bulan), namun tidak tahan terhadap sinar matahari
(Gillespie & Bamford, 2012).
c. Klasifikasi
Menurut American ThoracicSociety tuberkulosis diklasifikasikan
menjadi beberapa kategori, diantaranya
1) Kategori 0
Tidak pernah terpapar/terinfeksi, riwayat kontak negatif, hasil tes
tuberkulin negatif, tidak menderita TB.
2) Kategori 1
Terpapar kuman TB tetapi tidak terbukti adanya infeksi, riwayat
kontak negatif, tes tuberkulin negatif.
3) Kategori 2
Terinfeksi kuman TB, tes tuberkulin positif, tetapi tidak menderita
TB. Tidak ada gejala TB, hasil pemeriksaan radiologi dan sputum
negatif.
4) Kategori 3
Terinfeksi kuman TB dan hasil pemeriksaan putum positif.
d. Patofisiologi
Infeksi awal disebabkan karena seseorang menghirup bakteri
Mycobacterium tuberculosis melalui jalan napas menuju ke alveoli
dan mealukan proses perkembangbiakan (Irman Somantri, 2012).
Pada suatu titik bakteri akan melakukan implantasi juga akan
melakukan proses penggndaan diri atau yang sering diebut dengan
istilah multiplying. Dalam proses ini akan menghasilkan lesi primer
atau fokus ghon. Setelah terinfeksi dan menghasilkan fokus ghon,
infeksi dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui berbagai jalan,
yaitu prcabangan bronkus, saluran limfe, dan aliran darah menuju
ke tulang, ginjal dan otak. Jika pertahanan tubuh dari penderita
kuat, maka infeksi tidak akan menyebar tetapi bakteri bakteri
tersebut akan tertidur atau menjadi dorman dan akan aktif kembali
ketika daya tahan tubuh penderita melemah (Muttaqin, 2012).
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi

inflamasi. Fagosit (neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri;

limfosit spesifik tuberkulosis melisis (menghancurkan) basil dan

jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan penumpukan

eksudat dalam alveoli yang menyebabkan terjadinya penebalan

membran alveolar kapiler dan kolaps pada alveoli sehingga

menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas (Smeltzer &

Bare, 2017).

Pada saat terjadi infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis,

maka proses inflamasi yang terjadi pada rongga alveoli akan

menyebabkan rongga alveoli menghasilkan banyak sputum yang

menyebabkan konsolidasi paru dan akan berdampak pada proses

difusi dan juga pertukaran gas yang tidak maksimal. Akibat adanya

gangguan tersebut, maka akan muncul masalah keperawatan

Gangguan Pertukaran Gas. Saat terjadi gangguan pertukaran gas

maka suplai oksigen ke seluruh tubuh juga akan mengalami

penurunan, hal ini akan ditandai dengan adanya peningkatan

frekuensi pernapasan, penurunan saturasi oksigen, sianosis pada

bibir dan Clubbing finger (Irman Somantri, 2017).

Berpangkal dari kompleks primer, infeksi dapat menyebar ke


seluruh tubuh melalui berbagai jalan, salah satunya adalah melalui
percabangan bronkus, penyebaran infeksi melalui percabangan
bronkus dapat mengenai area paru atau melalui sputum menyebar
ke area laring yang dapat menyebabkan Ulserasi laring, kondisi ini
akan menyebabkan terjadinya sumbatan pada jalan napas akibat
adanya penumpukan sekret (Muttaqin, 2012)
e. Penatalaksanaan
1) Pengobatan
Kemenkes (2019) pengobatan TB bertujuan untuk
menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah
kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah
terjadinya resistensi kuman terhadap Obat Anti Tuberkulosis
(OAT).
Jenis, sifat dan dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang
akan dijelaskan pada bab ini adalah yang tergolong pada lini
pertama. Secara ringkas Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini
pertama dijelaskan pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1 Pengelompokan Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Golongan dan Jenis Obat
Golongan-1 Obat Lini 1. Isoniazid (H) 1. Pyrazinamide (Z)
Pertama 2. Ethambutol (E) 2. Rifampicin (R)
3. Streptomycin (S)
Golongan-2 / Obat 1. Kanamycin (Km) 1. Amikacin (Am)
Suntik / Suntikan lini 2. Capreomycin (Cm)
Kedua
Golongan-3 / 1. Ofloxacin (Ofx) 1. Moxifloxacin (Mfx)
Golongan 2. Levofloxacin (Lfx
Floroquinolone
1. Ethionamide (Eto) 1. Para amino
2. Prothionamide (Pto) salisilat (PAS)
3. Clycoserine (Cs) 2. Terizidone (Trd)
Golongan-5 / Obat 1. Clofazimine (Cfz) 1. Thioacetazone (Thz)
yang belum terbukti 2. Linezolid (Lzd) 2. Clarithromycin (Clr)
efikasinya dan tidak 3. Amoxilin-Clavulanate 3. Imipenem (Ipm)
direkomendasikan oleh (Amx-Clv)
WHO
Sumber : (Kemenkes, 2019).
Table 2.2 Jenis, Sifat dan Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama
Dosis yang direkomendasikan
Jenis OAT Sifat Harian 3 x seminggu
5 10
Isoniazid (H) Bakterisid
(4 - 6) (8 - 12)
10 10
Rifampicin (R) Bakterisid
(8 - 12) (8 - 12)
25 35
Pyrazinamide Bakterisid (20 - (30 -
(Z) 30) 40)
15 15
Streptomycin Bakterisid
(12 - (12 -
(S) 18) 18)
15 30
Ethambutol (E) Bakteriostati
(15 - (20 -
k 20) 35)
Sumber : (Kemenkes, 2019).
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a) Obat Anti Tuberkulosis (OAT) harus diberikan dalam bentuk
kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis
tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) tunggal (monoterapi).
Pemakaian Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
b) Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
c) Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap yaitu:
(1) Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap
hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah
terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif
tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menjadi
tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian
besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
(2) Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih
sedikit namun dalam jangka waktu yang lebih lama.
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.
Berdasarkan Kemenkes (2016) pengobatan tuberkulosis paru
menggunakan obat antituberkulosis (OAT) dengan metode Directly
Observed Treatment Shortcourse (DOTS) yaitu :
a) Kategori I (2 HZRE / 4 H3R3) untuk pasien TB baru.
b) Kategori II (2 HRZES / HRZE / 5 H3R3E3) untuk pasien
ulangan (pasien yang pengobatan kategori I-nya gagal atau
pasien yang kambuh).
c) Kategori III (2 HRZ / 4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA
(-) negatif dan Ro (+) positif.
d) Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada
pemeriksaan akhir tahap intensif dari pengobatan dengan
kategori I atau kategori II ditemukan BTA (+) positif.
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Lini Pertama dan
Peruntukannya Menurut Kemenkes (2016) ada beberapa kategori
paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) lini pertama dan
peruntukannya, diantaranya:
a) Kategori I (2HRZE/ 4H3R3)
(1) Pasien baru TB BTA positif
(2) Pasien TB BTA negatif foto toraks positif
(3) Pasien TB ekstra paru
(4) Tahap permulaan diberikan setiap hari selama 2 bulan (2
HRZE) :
(a) INH (H) : 300 mg – 1 tablet
(b) Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet
(c) Pirazinamid (Z) : 1500 mg – 3 kaplet @ 500 mg
(d) Etambutol (E) : 750 mg – 3 kaplet @ 250 mg
Obat tersebut diminum setiap hari secara intensif
sebanyak 56 kali. Regimen ini disebut KOMBIPAK II.
(5) Tahap lanjutan diberikan 3 kali dalam seminggu selama 4
bulan (4 H3R3):
(a) INH (H) : 600 mg – 2 tablet @00 mg
(b) Rifampisin (R) : 450 mg – 1 kaplet
Obat tersebut diminum 3 kali dalam seminggu (intermiten)
sebanyak 48 kali. Regimen ini disebut KOMBIPAK III.

Tabel 2.3 Dosis untuk paduan Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) untuk Kategori 1
Tahap Lanjutan 3 kali
Tahap Intensif tiap hari selama seminggu selama 16
Berat
56 hari RHZE minggu RHZE
Badan
(150/75/400/275) (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 2KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 2KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 2KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 2KDT
Sumber: (Kemenkes, 2019)

Tabel 2.4 Dosis Panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kombipak Kategori I
Dosis per hari / kali Jumlah
Tablet Tablet hari/ kali
Tahap Lama Kaplet Tablet menelan
Pengobatan Pengobatan Isoniasid Etambut
Rifampis Pirazina obat
@ 300 ol @
in @ 450 mid @
mg 250 mg
mg 500 mg
56
Intensif 2 Bulan 1 1 3 3
48
Lanjutan 4 Bulan 2 1 - -
Sumber: (Kemenkes, 2019)
b) Kategori II (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) ini diberikan untuk
pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
(1) Pasien kambuh
(2) Pasien gagal
(3) Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
(default)
Tabel 2.5 Dosis untuk paduan Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap
(OAT-KDT) untuk Kategori II

Tahap Intensif tiap hari selama 56 hari Tahap Lanjutan 3 kali


Berat RHZE (150/75/400/275) + S seminggu selama 16
Badan minggu
RHZE (150/75/400/275)
Selama 56 hari Selama 28 Hari Selama 20 Minggu
2 tablet 4KDT + 500 2 tablet 2KDT + 2
30 – 37 kg mg Streptomisin inj. 2 tablet 4KDT tablet Etambutol
3 tablet 4KDT + 750 3 tablet 2KDT + 3
38 – 54 kg mg Streptomisin inj 3 tablet 4KDT tablet Etambutol
.
4 tablet 4KDT + 1000 4 tablet 2KDT + 4
55 – 70 kg mg Streptomisin inj. 4 tablet 4KDT tablet Etambutol
Sumber : (Kemenkes, 2019)

Tabel 2.6 Dosis paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kombipak


untuk Kategori II
Tablet Etambutol Jumla
Isonias Tablet Tablet Strepto h hari /
Tahap L Tabl Tabl
id @ Rifampi Pirazin m isin kali
pengobat ama et et
300mg sin @ amid injeksi menel
an Pen @ @
450mg @ 250mg 400 an
gob 500mg obat
atan mg
Tahap
intensif 2 1 1 3 3 - 0, 75 gr 56
bulan
(dosis 1 1 1 3 3 - - 28
bulan
harian)
Tahap
lanjutan 4 2 1 - 1 2 -
(dosis 3 bulan 60
kali se-
minggu)
Sumber : (Kemenkes, 2019)
c) Kategori Sisipan (HRZE)
Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk
tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28
hari).

Tabel 2.7 Dosis Kombinasi Dosis Tetap (KDT) untuk Kategori Sisipan
Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE
Berat Badan
(150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Sumber : (Kemenkes, 2019)

Tabel 2.8 Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kombipak Kategori Sisipan
Jumlah
Tablet Kaplet Tablet Tablet hari /
Tahap Lama Isoniasid Rifampisi Pirazinami Etambutol kali
Pengobatan Pengobata @ 300 n @ 450 d @ 500 @ 250 menela
n mg mg mg mg n obat
Tahap intensif
(dosis harian) 1 Bulan 1 1 3 3 28

Sumber : (Kemenkes, 2019)

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam


bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat
dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai
selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa
pengobatan.
Kombinasi Dosis Tetap (KDT) mempunyai beberapa
keuntungan dalam pengobatan TB yaitu:
1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga
menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping.
2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan
resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi
kesalahan penulisan resep.
2) Pengobatan TB pada Anak (Kategori Anak 2RHZ / 4RH)
Menurut Kemenkes (2019), prinsip dasar pengobatan TB
adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam waktu 6
bulan. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada anak diberikan setiap
hari, baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan dosis obat
harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 2.9 Dosis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) Kombipak pada Anak
Jenis Obat BB < 10 kg BB 10 – 19 kg BB 20 – 32 kg
Isoniasid 50 mg 100 mg 200 mg
Rifampicin 75 mg 150 mg 300 mg
Pirasinamid 150 mg 300 mg 600 mg
Sumber: (Kemenkes, 2019)

Tabel 2.10 Dosis Obat Anti Tuberkulosis - Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT)
pada Anak
2 bulan tiap hari RHZ 4 bulan tiap hari RH
Berat Badan (kg)
(75/50/150) (75/50)
5–9 1 tablet 1 tablet
10 – 14 2 tablet 2 tablet
15 – 19 3 tablet 3 tablet
20 – 32 4 tablet 4 tablet
Sumber : (Kemenkes, 2019)

Keterangan:
a) Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah
sakit
b) Anak dengan BB 15 – 19 kg dapat diberikan 3 tablet
c) Anak dengan BB >33 kg, dirujuk ke rumah sakit
d) Obat harus diberikan secara utuh, tiak boleh dibelah.
3) Pengobatan Tuberkulosis dengan infeksi HIV/AIDS
Menurut Kemenkes (2019) penatalaksanaan pengobatan TB
pada orang dengan HIV-AIDS (ODHA) adalah sama seperti pasien
TB lainnya. Pada prinsipnya pengobatan TB diberikan segera,
sedangkan pengobatan atro retroviral (ARV) dimulai berdasarkan
stadium klinis HIV atau hasil CD4. Penting diperhatikan dari
pengobatan TB pada orang dengan HIV- AIDS (ODHA) adalah
apakah pasien tersebut sedang dalam pengobatan atro retroviral
(ARV) atau tidak.
Bila pasien tidak dalam pengobatan atro retroviral (ARV),
segera mulai pengobatan TB. Pemberian atro retroviral (ARV)
dilakukan dengan prinsip (Kemenkes, 2016):
a) Semua ODHA dengan stadium klinis 3 perlu dipikirkan untuk
mulai pengobatan ARV bila CD4 < 350/mm 3 tapi harus dimulai
sebelum CD4 turun dibawah 200/mm3.
b) Semua ODHA stadium klinis 3 yang hamil atau menderita TB
dengan CD4 < 350/mm3 harus dimulai pengobatan atro
retroviral (ARV).
c) Semua ODHA stadium klinis 4 perlu diberikan pengobatan
ARV tanpa memandang nilai CD4.
Bila pasien sedang dalam pengobatan atro retroviral (ARV),
sebaiknya pengobatan TB tidak dimulai di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar (strata I), rujuk pasien tersebut ke RS rujukan
pengobatan ARV.
4) Pengobatan Tuberkulosis Resisten Obat
Pengobatan TB resisten obat khususnya TB dengan Multiple
Direct Resistance (MDR) adalah sebagai berikut:
a) Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang
masih efektif.
b) Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan
resistan silang (cross-resistance).
c) Membatasi pengunaan obat yang tidak aman.
d) Gunakan obat dari golongan/kelompok 1-5 secara hirarkis
sesuai potensinya. Penggunaan OAT golongan 5 harus
didasarkan pada pertimbangan khusus dari Tim Ahli Klinis
(TAK) dan disesuaikan dengan kondisi program.
e) Paduan pengobatan ini diberikan dalam dua tahap yaitu tahap
awal dan tahap lanjutan. Tahap awal adalah tahap pemberian
suntikan dengan lama minimal 6 bulan atau 4 bulan setelah
terjadi konversi biakan.
f) Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi
biakan. Dikatakan konversi bila hasil pemeriksaan biakan 2
kali berurutan dengan jarak pemeriksaan 30 hari.
g) Pemberian obat selama periode pengobatan tahap awal dan
tahap lanjutan menganut prinsip DOT = Directly/Daily
Observed Treatment, dengan PMO diutamakan adalah tenaga
kesehatan atau kader kesehatan (Kemenkes, 2016).
Pilihan paduan baku Obat Anti Tuberkulosis (OAT) untuk
pasien TB dengan MDR saat ini adalah paduan standar
(standardized treatment) yaitu : Km - E - Eto - Lfx - Z - Cs / E - Eto
- Lfx - Z – Cs. Paduan ini diberikan pada pasien yang sudah
terkonfirmasi TB MDR secara laboratoris dan dapat disesuaikan
bila:
a) Etambutol tidak diberikan bila terbukti telah resisten atau
riwayat penggunaan sebelumnya menunjukkan kemungkinan
besar terjadinya resistensi terhadap etambutol.
b) Panduan OAT disesuaikan paduan atau dosis pada:
(1) Pasien TB MDR yang diagnosis awal menggunakan.
Rapid test, kemudian hasil konfirmasi DST menunjukkan
hasil resistensi yang berbeda.
(2) Bila ada riwayat penggunaan salah satu obat tersebut
diatas sebelumnya sehingga dicurigai telah ada
resistensi.
(3) Terjadi efek samping yang berat akibat salah satu obat
yang dapat diidentifikasi penyebabnya.
(4) Terjadi perburukan klinis.
5) Pengobatan Tuberkulosis Pada Keadaan Khusus
Menurut Kemenkes (2016) pengobatan tuberkulosis pada
keadaan khusus, diantaranya:
a) Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak
berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Hampir
semua Obat Anti Tuberkulosis (OAT) aman untuk kehamilan,
kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada
kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat
menembus barier plasenta.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan
pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi
yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil
bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya
supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang
akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.
b) Ibu menyusui dan bayinya
Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui
tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua
jenis Obat Anti Tuberkulosis (OAT) aman untuk ibu menyusui.
Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat
paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) secara adekuat.
Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman
TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan
bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan
dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan
berat badannya.
c) Pasien TB pengguna kontrasepsi
Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal
(pil KB, suntikan KB, susuk KB) sehingga dapat menurunkan
efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya
mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi
yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mcg).
d) Pasien TB dengan hepatitis akut
Pemberian Obat Anti Tuberkulosis (OAT) pada pasien
TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada
keadaan dimana pengobatan TB sangat diperlukan dapat
diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3
bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.
e) Pasien TB dengan kelainan hati kronik
Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan
pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Jika SGOT
dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus
dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali,
pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan
pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid
(Z) tidak boleh digunakan. Paduan Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau
2HES/10HE.
f) Pasien TB dengan gagal ginjal
Isoniazid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat
di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi
senyawa-senyawa yang tidak toksik. Obat Anti Tuberkulosis
(OAT) jenis ini dapat diberikan dengan dosis standar pada
pasien-pasien dengan gangguan ginjal.
Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal,
oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan
gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal
tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan
dengan dosis yang sesuai faal ginjal. Paduan Obat Anti
Tuberkulosis (OAT) yang paling aman untuk pasien dengan
gagal ginjal adalah 2HRZ / 4HR.
g) Pasien TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat
mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea)
sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin
dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai
pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada
pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy
diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian
etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.
h) Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus
yang membahayakan jiwa pasien seperti:
(1) Meningitis TB
(2) TB milier dengan atau tanpa meningitis
(3) TB dengan pleuritis eksudativa
(4) TB dengan perikarditis konstriktiva.
Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-
40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama
pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan
pengobatan.

2. Konsep Pengetahuan
a. Definisi
Pengetahuan adalah suatu hasil yang terjadi setelah
seseorang melakukan penginderaan terhadap suatu objek
tertentu, dari pengalaman yang didapat. Perilaku seseorang yang
didasari oleh pengetahuan akan lebih berkualitas daripada
perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo,
2012).
b. Tingkat Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2012) tingkatan pengetahuan dibagi
menjadi enam yaitu:
1) Tahu (Know)
Tahu diartikan hanya sebagai recall (memanggil) memori yang
telah ada sebelumnya setelah mengamati sesuatu. Untuk
mengetahui atau mengukur bahwa orang tahu sesuatu dapat
menggunakan pertanyaan – pertanyaan.
2) Memahami (Comprehension)
Memahami suatu objek bukan sekedar tahu terhadap objek
tersebut. Tidak sekedar dapat menyebutkan, tetapi orang
tersebut harus dapat menginterpresaentasikan secara benar
tentang objek yang diketahui tersebut.
3) Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan apabila orang yang telah memahami objek
yang dimaksud dapat menggunakan atau mengaplikasikan
prinsip yang diketahui tersebut pada situasi yang lain.
4) Analisis (Analysis)
Analisa adalah kemampuan seseorang untuk menjabarkan
atau memisahkan, kemudian mencari hubungan antara
komponen – komponen yang terdapat dalam suatu masalah
atau objek yang diketahui. Indikasi bahwa pengetahuan
seseorang itu sudah sampai pada tingkat analisis adalah
apabila orang tersebut telah dapat membedakan, atau
memisahkan, mengelompokkan, membuat diagram (bagan)
terhadap pengetahuan atas objek tersebut.
5) Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjukkan suatu kemampuan seseorang untuk
merangkum atau meletakkan dalam satu hubungan yang logis
dari komponen – komponen pengetahuan yang dimiliki.
Dengan kata lain, sintesis adalah suatu kemampuan untuk
menyusun formulasi baru dari formulasi – formulasi yang telah
ada.
6) Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk
melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek
tertentu. Penilaian ini dengan sendirinya didasarkan pada
suatu criteria yang ditentukan sendiri atau norma yang berlaku
di masyarakat.
Indikator yang dapat digunkan untuk mengetahui tingkat
pengetahuan atau kesadaran terhadap kesehatan, dapat
dikelompokkan menjadi:
1) Pengetahuan tentang sakit dan penyakit yang meliputi:
a) Penyebab penyakit
b) Gejala atau tanda – tanda penyakit
c) Bagaimana cara pengobatan, atau kemana mencari
pengobatan
d) Bagaimana cara penularannya
e) Bagaimana cara mencegahnya
2) Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara
hidup sehat, meliputi:
a) Jenis makanan yang bergizi
b) Manfaat makanan yang bergizi bagi kesehatannya
c) Pentingnya olahraga bagi kesehatan
d) Penyakit atau TB
e) Pentingnya istirahat cukup, relaksasi, rekreasi, dan
sebagainya bagi kesehatan
3) Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan:
a) Manfaat air bersih
b) Cara pembuangan limbah sehat, termasuk pembuangan
kotoran yang sehat dan sampah
c) Manfaat penchayaan dan penerangan rumah yang sehat
d) Akibat polusi (polusi air, udara, dan tanah) bagi
kesehatan, dan sebagaianya.
c. Cara memperoleh pengetahuan
Cara memperoleh pengetahuan menurut Notoatmodjo (2012)

dari berbagai macam cara yang telah di gunakan untuk memperoleh

kebenaran pengetahuan sepanjang sejarah, dapat dikelompokkan

menjadi dua yakni:

1) Cara kuno untuk memperoleh pengetahuan

a) Cara coba salah (Trial and Error)

Cara ini telah dipakai oleh orang sebelum kebudayan, bahkan

mungkin sebelum adanya peradaban. Cara coba salah ini

dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam

memecahkan masalah dan apabila kemungkinan

kemungkinan itu tidak berhasil maka dicoba kemungkinan

yang lain sampai masalah tersebut dapat dipecahkan.


b) Cara kekuasaan atau otoritas

Sumber pengetahuan cara ini dapat berupa pemimpin-

pemimpin masyarakat baik formal atau informal, ahli agama,

pemegang pemerintah, dan berbagai prinsip orang lain yang

menerima mempunyai yang dikemukakan oleh orang yang

mempunyai otoritas, tanpa menguji terlebih dahulu atau

membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris

maupun penalaran sendiri.

c) Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi dalam hal ini dapat digunakan sebagai

upaya memperoleh pengetahuan dengan cara mengulang

kembali pengalaman yang pernah diperoleh dalam

memecahkan permasalahan yang dihadapi di masa lalu.

d) Jalan pikiran

Sejalan perkembangan kebudayaan umat kebudayaan umat

manusia cara berpikir umat manusia pun ikut berkembang.

Dari sini anusia telah mampu menggunakan penalarannya

dalam memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, dalam

memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah

menjalankan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun

deduksi. Induksi dan deduksi pada dasarnya adalah cara

melahirkan pemikiran secara tidak langsung melalui

pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan.


2) Cara modern dalam memperoleh pengetahuan

Cara ini disebut sebagai metode penelitian ilmiah atau lebih

popular dengan sebutan metodologi penelitian. Cara ini lebih

sistematis, logis dan ilmiah. Kemudian metode berpikir induktif

bahwa dalam memperoleh kesimpulan dilakukan dengan

mengadakan onservasi langsung, membuat catatan terhdap

semua fakta sehubungan dengan objek yang diamati

(Notoatmodjo, 2012).

d. Proses terjadinya pengetahuan


Menurut Notoatmodjo (2012) pengetahuan mengungkapkan
bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru didalam diri orang
tersebut terjadi proses sebagai berikut:
1) Kesadaran (Awareness), dimana orang tersebut menyadari dalam
arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulasi (obyek).
2) Merasa (Interest), tertarik terhadap stimulasi atau obyek tersebut
disini sikap obyek mulai timbul.
3) Menimbang-nimbang (Evaluation), terhadap baik dan tidaknya
stimulasi tersebut bagi dirinya, hal ini berarti sikap responden
sudah lebih baik lagi.
4) Mencoba (Trial), dimana subyek mulai mencoba melakukan
sesuatu sesuai dengan apa yang dikehendaki.
5) Adaption, dimana subyek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikap terhadap stimulasi.
e. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan
1) Faktor Internal
a) Pendidikan
Pendidikan diartikan sebagai bimbingan yang diberikan
seseorang terhadap perkembangan orang lain menuju ke arah
cita-cita tertentu yang menentukan manusia untuk berbuat
dan mengisi kehidupan untuk mencapai keselamatan dan
kebahagiaan. Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan
informasi misalnya hal-hal yang menunjang kesehatan
sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup, pendidikan
dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku untuk
sikap berperan serta dalam pembangunan (Nursalam, 2003)
pada umumnya makin tinggi pendidikan seeorang maka akan
mudah dalam mereima informasi.
b) Pekerjaan
Menurut Thomas yang dikutip oleh Nursalam (2003),
pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama
untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarga.
Pekerjan bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak
merupakan cara mencari nafkah yang membosankan,
berulang dan banyak tantangan. Sedangkan bekerja
umumnya merupakan kegiatan yang menyita waktu. Bekerja
bagi ibu-ibu akan mempunyai pengaruh terhadap kehidupan
keluarga.
c) Umur
Menurut Agus (2019 umur mempengaruhi daya tangkap dan
pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia akan semakin
berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga
pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia
madya, individu akan lebih berperan aktif dalam masyarakat
dan kehidupan sosial, serta lebih banyak melakukan
persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju
usia tua. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan
kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan
pada usia ini. Dua sikap tradisional mengenai jalannya
perkembangan selama hidup adalah sebagai berikut:
(1) Semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak
informasi yang dijumpai semakin banyak hal yang
dikerjakan sehingga menambah pengetahuan.
(2) Tidak dapat mengajarkan kepandaian baru kepada orang
yang sudah tua karena telah mengalami kemunduran baik
fisik maupun mental. Dapat diperkirakan IQ akan
menurun sejalan dengan bertambahnya usia, khususnya
pada beberapa kemampuan yang lain, seperti kosa kata
dan pengetahuan umum. Beberapa teori berpendapat
ternyata IQ seseorang akan menurun cukup cepat sejalan
dengan bertambahnya usia.
2) Faktor Eksternal
a) Faktor Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar
individu, baik lingkungan fisik, biologis, maupun sosial.
Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya
pengetahuan kedalam individu yang berada dalam lingkungan
tersebut. Hal ini terjadi karena adanya interaksi timbal balik
ataupun tidak, yang akan direspon sebagai pengetahuan oleh
setiap individu.
b) Sosial, Budaya dan Ekonomi
Kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan orang-orang tidak
melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk.
Dengan demikian, seseorang akan bertambah
pengetahuannya walaupun tidak melakukan. Status ekonomi
seseorang juga akan menentukan tersedianya suatu fasilitas
yang diperlukan untuk kegiatan tertentu sehingga status sosial
ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.
f. Kriteria tingkat pengetahuan
Menurut Arikunto (2006) dalam Wawan & Dewi (2011),
pengetahuan seseorang dapat diketahui dan diinterpretasikan dengan
skala yang bersifat kualitatif, yaitu:
a. Baik : hasil presentase 76% - 100%.
b. Cukup : hasil presentase 56% - 75%.
c. Kurang : hasil presentase <56%.
3. Konsep PMO
a. Definisi PMO
Menurut Depkes RI PMO (Pengawas Menelan Obat) merupakan
komponen DOTS (Directly Observed Therapy Short Course)
pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan
langsung menelan obat pada pasien tuberkulosis, dengan tujuan untuk
memastikan pasien menelan semua obat yang dianjurkan. PMO
(Pengawas Menelan Obat) adalah seseorang yang memberikan
dorongan kepada penderita agar mau berobat secara teratur dan
mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu yang
ditentukan.
b. Persyaratan PMO
1) Seseorang yang dikenal, dipercayai dan disetujui, baik oleh
petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani
dan dihormati oleh pasien.
2) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
3) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
4) Bersedia dilatih dan atau mendapatkan penyuluhan bersama-
sama dengan pasien.
c. Klasifikasi PMO
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan
di desa, perawat, pekarya, sanitarian, juru immunisasi, dan lain-
lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO
dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK,
atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. PMO yang
berasal dari anggota keluarga dianggap memiliki peran yang besar
dalam meningkatkan pengobatan pasien, misalnya memotivasi
dan melakukan pengawasan secara langsung kepada pasien saat
berobat (Kartikasari 2012).
d. Tugas Seorang PMO
1) Mengawasi pasien TBC agar menelan obat secara
teratur sampai selesai pengobatan.
2) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat
teratur.
3) Mengingatkan pasien untuk periksa kembali ulang
dahak pada waktu yang telah ditentukan.
4) Memberikan penyuluhan pada anggota keluarga pasien
TBC yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TBC
untuk segera memeriksakan diri ke fasilitas pelayanan
kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk
mengganti kewajiban pasien mengambil obat dari unit
pelayanan ksehatan (Depkes RI, 2020).
e. Hal-hal yang Perlu Dihadapi PMO Untuk Sampai Kepada
Pasien dan Keluarganya:
1) TBC disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau
kutukan.
2) TBC dapat disembuhkan dengan pengobatan yang
teratur.
3) Cara memberikan pengobatan pasien (tahap intensif
dan lanjutan).
4) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara
teratur.
5) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan
perlunya segera meminta pertolongan ke fasyankes.

4. Konsep Kepatuhan
a. Definisi
Kepatuhan merupakan perilaku positif yang dilakukan oleh
penderita dalam mencapai tujuan pengobatan dan juga terapi
(Suparyanto, 2010). Menurut Sarfino (1990) dalam Suparyanto
(2010), kepatuhan adalah suatu tingkatan seorang penderita
dalam melaksanakan yang dianjurkan atau disarankan oleh
tenaga kesehatan.
b. Faktor – faktor yang mempengaruhi kepatuhan minum obat anti
tuberculosis (OAT) menurut Notoatmodjo (2012):
1) Faktor Predisposisi (Predisposing Factors)
Faktor-faktor predisposisi (Predisposing Factors), faktor
sebelum terjadinya suatu perilaku yang termasuk dalam faktor
predisposisi:
a) Usia
Usia sebagai salah satu sifat karakteristik tentang orang
yang dalam studi epidemologi merupakan variabel yang
cukup penting karena cukup banyak penyakit ditemukan
dengan berbagai variabel frekuensi yang disebabkan oleh
umur. Penyakit TBC yang paling sering ditemukan pada
usia muda atau usia produktif 15-50 tahun (Noor, 2018).
b) Jenis Kelamin
Berdasarkan penelitian Kodoy dkk (2017) jumlah pasien
lebih banyak terjadi pada laki-laki 63,2% dibandingkan
perempuan 36,8%. Tingginya angka pasien laki-laki
meningkat penularan yang sangat luas. Hal ini
dikarenakan kelompok laki- laki kebanyakan keluar rumah
mencari nafkah, dengan frekuensi keluar rumah yang
menungkinkan terjadinya penularan TBC, mobilitas yang
tinggi. Daripada perempuan laki-laki dapat menurunkan
kekebalan tubuh sehingga mudah terkena TBC. Selain itu
kebiasaan merokok dan mengkonsumsi alkohol dapat
menurunkan kekebalan tubuh sehingga dapat mudah
terkena TBC.
c) Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan merupakan landasan seseorang
dalam berbuat sesuatu, membuat lebih mengerti dan
memahami sesuatu, atau menerima dan menolak
sesuatu. Tingkat pendidikan juga memungkinkan
perbedaan pengetahuan dan pengambilan keputusan.
Pada pasein yang tidak patuh berobat adalah pasien
dengan pendidikan yang rendah hal ini membuktikan
bahwa tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi
pengetahuan seseorang, seperti mengenali rumah yang
memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan tentang
penyakit TBC. Sehingga dengan pengetahuan yang
cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai
perilaku hidup bersih dan sehat (Kodoy dkk. 2014).
d) Status Pekerjaan
Pekerjaan merupakan sesuatu yang dilakukan untuk
mencari nafkah. Untuk melakukan suatu pekerjaan tentu
membutuhkan waktu yang relatif lama, kemungkinan
untuk memperhatikan lingkungan cenderung menurun.
Selain itu, dengan kondisi pekerjaan yang menyita
banyak waktu ditambah dengan pendapatan yang relatif
rendah masyarakat akan cenderung untuk lebih
memikirkan hal-hal pokok antara lain pangan, sandang,
papan (Rahmansyah, 2018).
2) Faktor Pendukung (Enabling Factors)
Faktor-faktor pendukung (enabling factors), agar terjadi perilaku
tertentu dipelukan suatu motivasi, yang terwujud dalam lingkungan
fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana -
sarana kesehatan.
a) Efek samping OAT (Obat Anti Tuberkulosis)
Penderita TBC sebagian besar dapat mengalami efek
samping. Karena itu pemantauan kemungkian terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Pada
umumnya gejala efek samping obat yang ditemukan pada
penderita adalah sakit kepala, mual muntah, serta sakit sendi
tulang. Efek samping obat dapat terjadi pada fase intensif atau
awal pengobatan bahwa obat yang harus diminum penderita
sangat banyak sehingga membuat penderita malas untuk
minum obat (Erawatyningsih dkk, 2019).
b) Tipe pasien
Pada pengobatan ulang penderita TBC BTA positif kategori 2
dapat menimbulkan resistensi kuman TBC terhadap BTA. Hal
tersebut tentu akan mempengaruhi kesembuhan penderita
TBC BTA positif karena pengobatannya akan lebih lama
daripada penderita yang mendapatkan OAT kategori 1
(penderita yang baru) (Kartika, 2019).
c) Kepemilikan kartu asuransi kesehatan
Sistem pembiayaan yang sering digunakan ke pelayanan
kesehatan di Indonesia, antara lain biaya sendiri, umum dan
asuransi kesehatan. Jaminan kesehatan diselenggarakan
dengan tujuan agar peserta memperoleh manfaat
pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan kesehatan dasar, hal ini merupakan bentuk agar
masyarakat dapat dengan mudah melakukan akses ke
fasilitas kesehatan.
d) Akses ke pelayanan kesehatan
Akses yang dapat menghambat yaitu tidak tersedianya alat
transportasi menuju tempat berobat dan tidak tersedianya
biaya untuk menjangkau ke pelayanan kesehatan yang jauh
dari rumah tempat tinggal penderita. Jarak tempat tinggal
dengan pelayanan kesehatan juga dapat mempengaruhi
ketidakpatuhan dalam pengobatan (Siswantoro, 2012).
3) Faktor Penguat (Reinforce Factors)
Faktor-faktor pengkuat (Reinforce Factors) merupakan faktor
perilaku yang memberikan peran bagi menetapkan suatu perilaku,
yang terwujud dalam sikap dan perilaku dukungan keluarga dan
peran pertugas kesehatan.
a) Peran petugas kesehatan
Peran petugas kesehatan merupakan suatu sistem
pendukung bagi pasien dengan memberikan bantuan berupa
informasi atau nasehat dan bantuan nyata. Peran petugas
kesehatan dalam melayani pasien TBC diharapkan dapat
membangun hubungan yang baik dengan pasien. Unsur
kinerja petugas kesehatan mempunyai pengaruh terhadap
kualitas pelayanan kesehatan, termasuk pelayanan kesehatan
terhadap pasien TBC yang secara langsung atau tidak
langsung akan berpengaruh terhadap keteraturan berobat
(Pare, 2017).
b) Dukungan keluarga
Keluarga adalah orang yang dekat dengan pasien. Peran
keluarga sangatlah dibutuhkan dalam memperhatikan anggota
keluarganya. Sebagai keluarga harus memberikan dukungan
dan motivasi agar penderita dapat meneyelesaikan
pengobatan secara rutin.Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Erni Erawayningsih, dkk (2012) didapatkan
hasil bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan
minum obat anti tuberkulosis meliputi: pendidikan,
pengetahuan dan dukungan keluarga.
c. Cara Mengukur Tingkat Keberhasilan Pengobatan TBC
Tingkat keberhasilan pengobatan dapat diukur dengan
menghitung jumlah pasien yang sembuh dalam waktu satu periode
pengobatan.

Kepatuhan = × 100%
Data yang terkumpul dimasukkan dalam kategori dengan
ketentuan sebagai berikut :
1) < 40% dari skor maksimal : Tidak patuh
2) 40-55% dari skor maksimal : Kurang patuh
3) 56-75% dari skor maksimal : Cukup patuh
4) 76-100% dari skor maksimal : Patuh
B. Kerangka Teori

Gambar 2.1. Kerangka Konseptual Penelitian


Faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan (Green dan Kreuter, 1991)

Keterangan:
= Variabel yang diteliti
= Variabel yang tidak diteliti
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Variabel
Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari
orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang
diterapkan oleh peneliti untuk mempelajari kemudian membuat kesimpulan
(Sugiyono, 2017). Menurut Silaen (2018: 69) variabel penelitian adalah
konsep yang mempunyai nilai yang bervariasi yakni suatu sifat,
karakteristik atau fenomena yang dapat menunjukan sesuatu agar dapat
diamati atau diukur yang memiliki nilai bervariasi.
Variabel penelitian terdiri dari variabel bebas (independent) dan
variabel terikat (dependent). Menurut Sugiyono (2017) variabel
independent adalah variabel yang mempuntai pengaruh atau menjadi
sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependent. Kemudian
variabel dependent adalah variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat
karena adanya variabel independent.
Dalam penelitian ini memiliki empat variabel yaitu tiga variabel
dependen dan satu variabel independen. Variabel independen dalam
penelitian ini adalah tingkat pengetahuan pasien, PMO dan dukungan
keluarga sedangkan variabel dependen dalam penelitian ini adalah
kepatuhan minum obat anti tuberkulosis (OAT).
B. Hipotesis
Menurut Notoatmodjo (2014) hipotesis merupakan jawaban
sementara dari rumusan masalah penelitian yang disampaikan dalam
bentuk kalimat pertanyaan tentang sesuatu yang diduga atau terdapat
hubungan seperti yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang
dapat diuji secara empiris. Hipotesis dikatakan jawaban sementara karena
jawaban yang diberikan hanya berdasarkan teori yang relevan, belum
berdasarkan fakta – fakta empiris yang didapatkan melalui pengumpulan
data (Sugiyono, 2019).
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
1. Hipotesis nol (H0): Tidak ada hubungan antara Pengetahuan, PMO
(Pengawas Menelan Obat) dan dukungan keluarga dengan kepatuhan
terapi pasien TB Paru di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Bringin.
2. Hipotesis alternative (Ha): Ada hubungan antara Pengetahuan, PMO
(Pengawas Menelan Obat) dan dukungan keluarga dengan kepatuhan
terapi pasien TB Paru di Wilayah Kerja UPT Puskesmas Bringin.
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian merupakan uraian dan visualisasi
hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep lainnya atau
antara variabel satu dengan variabel yang lain dari masalah yang diteliti.
Agar konsep dapat diamati dan diukur maka harus dijabarkan ke dalam
variabel tersebut (Notoarmodjo, 2014).

Variabel Bebas (independent) Variabel Terikat (dependent)


Gambar 3.1 Kerangka Konsep

D. Rencana Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif
dengan rancangan desain cross sectional. Desain penelitian ini
digunakan untuk meneliti suatu kejadian dalam waktu yang bersamaan
atau dalam sekali waktu. Variabel dependen dan independen dalam
desain penelitian ini dinilai secara bersamaan (Nursalam, 2017).
2. Pendekatan Pengumpulan Data
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif
dengan rancangan desain cross sectional. Desain penelitian ini
digunakan untuk meneliti suatu kejadian dalam waktu yang bersamaan
atau dalam sekali waktu. Variabel dependen dan independen dalam
desain penelitian ini dinilai secara bersamaan (Nursalam, 2017).
3. Metode Pengumpulan Data
Peneliti memulai penelitian pada bulan Juli – Agustus 2022.
Pertama peneliti memilih responden sesuai dengan kriteria inklusi
sampel, kemudian peneliti memberikan lembar informed consent
(lembar persetujuan) dan kuesioner yang telah dipersiapkan kepada
sampel yang akan diteliti. Data yang digunakan dalam penelitian
berdasarkan data primer dan sekunder.
4. Populasi
Populasi dalam penelitian merupakan subjek yang memenuhi
kriteria yang telah ditetapkan oleh peneliti (Nursalam, 2017). Populasi
dalam penelitian ini adalah seluruh pasien dengan TB di wilayah kerja
UPT Puskemas Bringin mulai Januari sampai dengan Desember 2021
sejumlah 62 pasien.
5. Prosedur Sampling dan Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi terjangkau yang dapat
digunakan sebagai subjek penelitian yang diambil dan ditentukan
melalui sampling (Nursalam, 2016).
Rumus sampel:
N
n=
½ + N (d)
Keterangan:
n = Jumlah sampel
N = Jumlah populasi
d = Tingkat kesalahan
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB yang
memenuhi kriteria di wilayah kerja UPT Puskesmas Bringin periode
Januari sampai dengan Desember sebanyak 38 sampel. Dalam
penentuan sampel ini, peneliti menggunakan kriteria sampel baik
inklusi maupun eksklusi yang bertujuan membantu mengurangi bias
hasil penelitian.
a. Kriteria Inklusi
Kriteria umum yang dimiliki oleh subyek yang masuk dalam
penelitian (Nursalam, 2013). Berdasarkan pengertian diatas,
peneliti menentukan kriteria inklusi penelitian ini sebagi berikut:
1) Responden usia 18 tahun sampai dengan 60 tahun
2) Pasien TB dengan program pengobatan fase intensif dan fase
lanjutan.
b. Kriteria Eksklusi
Kriteria subjek yang tidak akan dimasukkan dalam
penelitian ini sebagai berikut:
1) Responden memiliki penyakit penyerta (kelainan fungsi hati
dan ginjal).
2) Pasien TB dengan MDR (Multi drugs resistant).
3) Responden yang tidak memiliki anggota keluarga
4) Responen yang menolak utuk dilakukan penelitian.
6. Definisi Operasional dan Skala Pengukuran
Definisi operasional bertujuan untuk merupakan mendefinisikan
variabel penelitian yang akan dilakukan berdasarkan karakterstik yang
akan diamati, sehingga dapat membuat peneliti semakin cermat dalam
melakukan pengukuran suatu objek.
Tabel 3.1 Definisi Operasional Penelitian Hubungan Pengetahuan, PMO dan Dukungan Keluarga dengan
Kepatuhan Terapi Pasien TB Paru Di Wilayah Kerja UPT Pusksmas Bringin
No Variabel Penelitian Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Skor
1. Pengetahuan pasien Segala sesuatu yang Pengetahuan pasien Kuesioner Ordinal Skor 0 apabila jawaban salah
TB (Independen) diketahui pasien TB TB meliputi: dan skor 1 apabila jawaban
mengenai penyakitnya - Tahu benar. Skoring dibagi menjadi
dan cara Dalam hal yang tiga tingkatan:
penanganannya berkaitan 1. Baik : presentase 76-100%
2. Cukup : presentase 56-
engan definisi TB, 75%
etiologi TB, cara 3. Kurang : preentase 0-55%
penularan dan
pengobatannya.
- Memahami
Tentang

cara pencegahan
penularan dan
pengobatan TB
2. PMO Seseorang yang Tugas seorang PMO Kuesioner Ordinal PMO mendukung skor = 1
mendampingi pasien 1. Mengawasi penderita PMO tidak mendukung skor =
TBC dan TBC agar menelan obat 0
mengingatkan untuk secara teratur. Skoring dibagi 2 :
meminum obat 2. Memberikan 1. PMO mendukung skor >
dorongan kepada 7,5
penderita agar mau 2. PMO tidak mendukung
berobat secara teratur.
skor < 7,5
3. Mingingatkan
penderita untuk segera
periksa ulang dahak
pada waktu-waktu yang
telah ditentukan.
4. Memberi penyuluhan
kepada anggota
keluarga penderita TBC
yang mempunyai
gejala-gejala yang
muncul untuk segera
memeriksakan dirinya
ke unit
Kesehatan

3. Dukungan Penilaian/perasaan Dukungan berupa : Kuesioner Ordinal Skor 0 : dukungan kurang


Keluarga responden terhadap 1. Emosional 1 : dukungan baik
(Independen) sikap dan perilaku 2. Penghargaan
anggota keluarga 3. Informasi
selama menjalani 4. Instrumrntal
terapi TB

4. Kepatuhan minum Perilaku positif yang Tindakan pasien Panduan Nomina Penilaian patuh dinilai sejak
obat anti Dilakukan oleh terkait wawancar l awal pasien didiagnois TB
tuberkulosis (OAT) penderita dalam dengan ketaatan a dan sampai penelitian dilakukan,
(dependen) melaksanakan dalam proses minum tidak pernah sekalipun tidak
pengobatan atas obat. cross minum obat. Sedangkan tidak
anjuran yang check patuh dinilai apabila pasien
dilakukan oleh tenaga pernah tidak minum obat
kesehatan walaupun hanya satu kali.
pada form
TB 01
7. Instrumen Penelitian dan Cara Peneliti
Instrumen penelitian merupakan alat-alat penelitian yang
berupa kuesioner atau daftar item pertanyaan – pernyataan yang
digunakan untuk mengumpulkan data dan berkaitan dengan
pencatatan data yang ada dalam penelitian tersebut (Sugiyono, 2012).
Pada penelitian ini teknik pengumpulan data yandigunakan adalah
kuesioner.
a. Kuesioner Penelitian
Dalam pengumpulan data dan memperoleh informasi dari
responden, peneliti menggunakan alat berupa kuesioner yaitu
kuesioner yang berisi kategori responden dan kuesioner untuk
mengukur tingkat kepatuhan diet, dan juga lembar observasi luka.
Kuesioner yang berisi karakteristik responden yang didapat tidak
dianalisis melainkan untuk mendiskripsikan distribusi dan
presentase dalam bentuk table.
Pedoman observasi yang digunakan dalam penelitian
menggunakan etika penelitian menurut Hidayat (2011) yaitu:
1) Informed Consent
Sebuah lembar persetujuan untuk menjadi responden pada
penelitian yang diberikan kepada calon responden yang
dianggap memenuhi kriteria inkluasi dan disertai judul
penelitian, apabila calon responden menolak menjadi
responden maka peneliti tidak boleh memaksakan dan akan
tetap menghormati hak – hak calon responden.
2) Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan identitas responden, maka
peneliti tidak akan mencantumkan nama responden dan
diganti dengan kode yang hanya diketahui oleh peneliti saja.
3) Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasian informasi pribadi dijamin oleh peneliti, hanya
kelompok data tertentu yang akan dipublikasikan sebagai
hasil penelitian dan tidak memberikan data pribadi responden
kepada khalayak umum.
b. Cara Penelitian
Peneliti memulai penelitian pada bulan Juli – Agustus 2022.
Pertama peneliti memilih responden sesuai dengan kriteria inklusi
sampel. Kemudian peneliti memberikan lembar informed consent
dan membagikan kuesioner yang sudah dipersiapkan untuk
mengumpulkan data.
c. Alat dan Bahan
1) Kuesioner dan lembar wawancara.
2) Data rekam medis Puskesmas Bringin pada bulan Januari –
Mei 2022.
8. Teknik Pengolahan Data dan Analisa
Data yang telah terkumpul diolah dengan proses pengolahan
data. Menurut Notoatmodjo (2012) ada beberapa tahap pengolahan
data, yaitu sebagai berikut:
a. Editing merupakan upaya untuk memeriksa kembali kebenaran
data yang diperoleh. Peneliti melakukan pengecekan terhadap
kelengkapan data, jika terdapat data yang salah, maka data
tersebut tidak dipakai.
b. Coding merupakan pengklasifikasian hasil observasi/ pemeriksaan
yang sudah ada menurut jenisnya, dengan cara memberi tanda
pada masing- masing kolom dengan kode berupa angka/ huruf/
simbol lainnya. Peneliti membuat daftar kode untuk memudahkan
melihat dan mengetahui arti kode tersebut.
c. Data Entry merupakan mengisi kolom-kolom sesuai dengan data
hasil penelitian yang diperoleh.
d. Tabulating merupakan suatu kegiatan memasukkan data dari hasil
penelitian ke dalam tabel berdasarkan kriteria yang sudah ada.
Tabulasi juga dilakukan untuk menyusun dan menghitung data
hasil pengkodean untuk disajikan dalam tabel sesuai kategori
variabel.
Setelah pengolahan data selesai kemudian dilakukan analisa
data menggunakan Analisa Univariat dan Analisa Bivariat.
a. Analisa Univariat
Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau
mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Variabel
yang dianalisis dengan analisis univariat adalah karakteristik
responden (usia, jenis kelamin, pendidikan, dan pengalaman
dirawat sebelumnya) dan tingkat kepatuhan diet Diabetes Melitus
dengan dianalisis menggunakan distribusi frekuensi.
b. Analisa Bivariat
Analisis yang dilakukan pada penelitian untuk mengetahui
hubungan antar variable menggunakan Uji statistik Gamma (ℽ)
dengan program SPSS versi 16.0. Uji analisis Gamma dengan
mengukur 2 variabel skala ordinal. Nilai Gamma (ℽ) pada
penelitian jika menunjukkan hasil ℽ = 1.000 artinya terdapat
hubungan yang signifikan antara kepatuhan diet dengan
penyembuhan luka, yang berarti menunjukkan hubungan lurus
dimana hubungan yang terjadi adalah hubungan positif antar
variabel. Kenaikan antara variabel akan menyebabkan kenaikan
variabel lain, sedangkan penurunan suatu variabel akan
menyebabkan penurunan variabel lain.
E. Jadwal Penelitian
1. Tahap Persiapan
Penelitia mengurus perizinan pengambilan data awal terlebih dahulu
ke kepala UPT Puskesmas Bringin. Peneliti menyerahkan surat
pengantar dari Kepala UPT Puskesmas Bringin kepada kepala Desa di
wilayah kerja UPT Puskesmas Bringin yang menadi tempat penelitian.
2. Tahap Pelaksanaan
Peneliti menyeleksi responden sesuai dengan kriteria inklusi tipe
purposive sampling di wilayah kerja UPT Puskesmas Bringin. Peneliti
memberikan penjelasan kepada responden dan bila bersedia diteliti
dipersilakan untuk menandatangani lembar persetujuan (informed
consent). Peneliti mengambil data melalui Kuesioner yang diberikan
kepada responden. Data mengenai kepatuhan minum obat diambil
dengan cara melakukan wawancara kepada keluarga pasien
menggunakan panduan wawancara dan menggunakan form TB 01
yang tersedia di puskesmas.
3. Tahap Akhir
Setelah data terkumpul peneliti melakukan pengolahan data untuk
mempermudah analisi data yang akan dilakukan. Kemudian peneliti
melakukan analisa data berdasarkan kriteria sampel penelitian dan
menginterprestasikan hasil analisa dilanjutkan penyusunan laporan
penelitian. Hasil penelitian kemudian dikonsultasikan kepada
pembimbing. Setelah pembimbing menyetujui laporan hasil penelitian
yang dilakukan oleh peneliti, peneliti melakukan seminar hasil
penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Craig, G. M., Joly, L. M., & Zumla, A. (2014). “ Complex ”
but coping : experience of symptoms of tuberculosis and health care
seeking behaviours - a qualitative interview study of urban risk groups ,
London , UK, 1–9.
Dinkes. (2021). Profil Kesehatan Provinsi Jawa Timur. Dinkes.
(2021). Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Ngawi.
Djojodibroto, D. (2013). Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Erawatyningsih, E., Purwanta, & Subekti, H. (2019). Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan Factors Affecting Incompliance With
Medication, 25(3), 117–124.
Fitria, C. N., & Mutia, A. (2013). Hubungan Tingkat Pengetahuan
tentang Tuberkulosis dengan Kepatuhan Minum Obat di Puskesmas,
7(6), 41–45.
Fuady, A., Pakasi, T. A., & Mansyur, M. (2014). The Social
Determinants of Knowledge and Perception on Pulmonary Tuberculosis
among Females in Jakarta , Indonesia, 23(2), 99–105.
Hidayat, A. A. (2017). Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik
Analisa Data. Jakarta: Salemba Medika.
Himawan, A. B., Hadisaputro, S., & Suprihati. (2015). Berbagai
Faktor Resiko Kejadian TB Paru Drop Out.
Irman Somantri. (2017). Keperawatan Medikal Bedah Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: Salemba Medika.
Kemenkes. (2019). Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis.
Kemenkes. (2019). Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 67 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Tuberkulosis.
Kemenkes. (2019). Pusat Data dan Informasi Kementerian
Kesehatan RI. Lestari, T. (2015). Kumpulan Teori untuk Kajian Pustaka
Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Munro, S. A., Lewin, S. A., Smith, H. J., Engel, M. E., Fretheim, A.,
& Volmink, J. (2012). Patient Adherence to Tuberculosis Treatment :
A Systematic Reviewof Qualitative Research, 4(7).
https://doi.org/10.1371/journal.pmed.0040238
Muttaqin, A. (2018). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Notoatmodjo, S. (2012). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta.

Notoatmodjo, S. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.


Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba
Medika.

Nurwidji, & Fajri, T. (2013). Hubungan Motivasi Kesembuhan dengan


Kepatuhan Pelaksanaan Pengobatan pada Pasien TB Paru di Wilayah Kerja
Puskesmas Mojosari Mojokerto, 5(2), 68–82.

Obuku, E. A., Meynell, C., Kiboss-kyeyune, J., Blankley, S., Atuhairwe, C.,
Nabankema, E., … Ndungutse, D. (2012). Socio-Demographic Determinants and
Prevalence of Tuberculosis Knowledge in Three Slum Populations of Uganda.
BMC Public Health, 12(1), 1. https://doi.org/10.1186/1471-2458- 12-536

Polit, D. F., & Beck, C. T. (2012). Nursing Research, Generating and


Assessing Evidence for Nursing Practice. Baltimore: Wolters Kluwer Health.

Prasetya, J. (2009). Hubungan Motivasi Pasien TB Paru dengan


Kepatuhan dalam Mengikuti Program Pengobatan Sistem DOTS di Wilayah
Puskesmas Genuk, 46–53.

Purwanto, N. H. (2010). Jurnal Keperawatan & Kebidanan - Stikes Dian


Husada Mojokerto, 40–46.

Sari, I. D., Mubasyiroh, R., & Supardi, S. (2016). Hubungan Pengetahuan


dan Sikap dengan Kepatuhan Berobat pada Pasien TB Paru yang Rawat Jalan di
Jakarta Tahun 2014, 243–248.Suarli, S., & Bahtiar, Y. (2013). Manajemen
Keperawatan dengan Pendekatan Praktis. Ciracas: Erlangga.

Anda mungkin juga menyukai